GHOUL
VERSUS
VERSUS
MAHESA WERDAYA
[Tantangan N7]
oleh: Arieska Arief
oleh: Arieska Arief
---
UNDERGROUND CITY OF GENOCIDE,
29 Februari
Lash: Underground City of Genocide, 29 Februari
(*) We are, we are, we are made from broken parts
We are, we are, we are broken from the start
Our hearts, our hearts, they were beating in the dark
We are, we're, we are built from broken parts (*)
"Tangkap! Tangkap orang itu sekarang juga!"
Pemuda berambut kuning itu semakin mempercepat pelariannya begitu suara itu memecah keheningan malam. "Hosh! Hosh!"
Tap tap tap! Meski napasnya sudah di ujung tanduk sekali pun, ia masih saja terus berlari.
Bruk! Terjatuh untuk yang kesekian kalinya pun, ia akan terus memaksa otot-otot kakinya untuk menjauhi "neraka" itu sesegera mungkin.
Akhirnya tibalah ia di hadapan pagar kawat berduri yang menjunjung tinggi di hadapannya. Didongakkannya kepalanya mencari-cari puncak pagar berkawat yang berdiri angkuh itu. Tinggi… tinggiiii sekali baginya!
"Guk guk guk guk!!!"
Sekali lagi, ia langsung menolehkan kepalanya ke belakang. Tampak poninya yang melekat di keningnya karena mandi keringat. Samar-samar, tampak bayangan-bayangan yang tengah berlari kencang ke arahnya. Matanya yang merah dan bersorot tajam, melebar ketakutan. Kembali diluruskannya matanya ke pagar berbahaya tersebut. Tapi ia sudah tak punya pilihan lain lagi!
"Cara pernapasan kera!" Ia kemudian tampak mengumpulkan konsentrasinya hanya untuk mengatur napasnya. Dipejamkannya matanya sejenak kemudian menarik napas panjang selama 5 detik dan menahannya selama 2 detik kemudian mengembuskannya dengan kencang selama 3 detik. Segera dibukanya matanya dan mulai memanjat.
"Akh!" ia meringis kesakitan di awal panjatannya itu. Ia mendesis begitu melihat telapak tangannya mengucurkan darah segar.
"Guk guk guk guk grrrrrrrrr guk guk!!!"
Mendengar suara mengancam itu, ia lebih memilih untuk menahan sakit habis-habisan demi tujuan utamanya. Ia melanjutkan panjatannya—mengesampingkan rasa sakit di tangannya dan juga di telapak kakinya yang bertelanjang kaki. Hampir tak ada celah yang nyaman untuk tangannya berpegangan juga pada kakinya untuk berpijak. Ia juga tentunya tak sempat memikirkan kenyamanan karena harus bergerak cepat. Terpaksa ia harus berkorban dengan lecet sana-sini di tangan dan kakinya.
Sesakit apa pun itu, ia tak juga berhenti—membiarkan darah di tangannya mengalir di sepanjang lengannya. Ia harus memantapkan pegangannya agar tak terjatuh ke bawah sana—meski ia sadar betul, semakin kuat pegangannya akan membuat luka di telapak tangannya semakin melebar. Tapi ia tak boleh gagal sampai di puncak gerbang terkutuk itu. Tak boleh ada kesalahan di sini!
Dengan gerakan cepat, akhirnya tibalah ia di puncak pagar berkawat duri itu. Tanpa mau memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk menarik napas lega, ia segera melanjutkan pelariannya dengan melompat ke atap mobil terdekat dan melompat ke daratan. Jejak darah di telapak kakinya membekas di atap mobil itu.
Bruk. Ia kembali terjatuh karena pendaratannya yang tidak sempurna. Kakinya yang berdarah-darah masih perih. Dibiarkannya tubuhnya telentang sejenak—memandangi bulan di balik kabut. Tampaklah wajahnya yang rusak pada bagian kanannya dan luka gores di mata sebelah kiri yang masih memerah. Pandangannya sudah agak berputar-putar saking lelahnya meloloskan diri. Dadanya masih naik-turun dengan cepatnya. Ia memejamkan mata tajamnya—mengusir rasa sakit yang berdenyut dan lelah yang belum berakhir.
"Cara pernapasan kuda!" karena tahu perjuangannya belum selesai, ia kembali menarik napas sebanyak-banyaknya, menahannya selama 4 detik, mengembuskannya secara perlahan selama 5 detik…
"Guk guk guk guk guk!!!"
Tak lama, konsentrasinya itu segera direngut oleh suara-suara buas di sana, padahal ia belum menuntaskan kemampuan bernapas kudanya. Pemuda itu segera menarik kelopak matanya selebar mungkin. Saat ia terduduk, dilihatnya pintu gerbang berduri itu sudah terbuka lebar dan anjing-anjing kelaparan itu kembali memburunya.
"Astaga!" Buru-buru ditegakkannya tubuhnya dan kembali berlari meskipun paru-parunya harus pecah untuk itu. "Aku tak boleh berakhir di sini!"
***
"Guk guk guk guk!!!"
Clap clap clap. Kaki-kaki telanjangnya yang lelah itu menapak lancar di atas genangan air. Di balik kegelapan malam itu, ia tampak menyibak tabir kabut yang agak menghalangi pandangannya. Sesekali ia menoleh ke belakang. Takkan dibiarkannya anjing-anjing itu mendapatkannya!
Tapi ia sadar betul keterbatasannya sebagai manusia biasa. Staminanya untuk berlari lebih jauh lagi tentunya tak sebanding dengan hewan-hewan di belakangnya yang semakin menggila karena proses pengambilan napas kudanya masih belum selesai tadi. Mereka sepertinya kelaparan!
Suara geraman dan salakan yang mengancam bagaikan lecutan baginya untuk semakin mempercepat kakinya. Namun bukannya semakin cepat, larinya malah semakin melambat. Pandangannya mulai mengabur. Ia tahu ini bukan saat yang tepat untuk pingsan, namun—
"Krauk!"
"Argh!" Pemuda itu tersungkur begitu seekor anjing menggigit bahu kirinya dari belakang begitu tiba di ujung tebing.
Pemuda itu berusaha mati-matian membebaskan dirinya dari gigitan anjing itu, namun kawanannya segera menyusulnya untuk melakukan hal yang sama. Ia harus segera berpikir cepat untuk menyelamatkan dirinya!
"Grrrrrrrrr!"
Duak! Untung saja pemuda itu melihat sebuah balok kayu dan ia pun segera mengayunkannya ke kepala anjing di belakangnya itu kencang-kencang. Ia segera menjauh sambil memegangi bahunya yang berlumuran darah segar begitu terlepas dari gigitannya. Anjing yang menggigitnya tadi tampak puyeng dan menjauh, tapi ia terus menggeram dalam posisi siaga menyerang.
Sekarang, anjing-anjing itu berjejer mengepungnya dalam posisi siaga. Mereka jadi tampak menakutkan—bersiap menyerangnya ramai-ramai. Pemuda itu mendelik membalas mata-mata menakutkan itu. Ia juga menunjukkan wajah bengisnya—tak ada lagi ringisan di sana.
Ia memejamkan matanya—mengumpulkan konsentrasinya untuk proses pernapasan istimewa hewan yang diinginkannya. Ia memilih cara bernapas tupai agar bisa bergerak lincah dipadukan dengan cara bernapas gorila yang bertenaga kuat. Ia pun menarik napas sebanyak-banyaknya kemudian mengembuskannya pendek-pendek. Begitu siap, ia kembali membuka matanya dengan tenang. Senyum percaya dirinya pun melengkung.
Krek! Dipatahkannya balok kayu di genggamannya menjadi dua bagian ke pahanya. Ia mengacungkan salah satu potongan balok kayu yang ujungnya menjadi runcing tak beraturan setelah dipatahkan tadi, ke anjing-anjing tadi sebagai pertanda ia sudah siap memulai pertarungannya dengan mereka semua.
"Kalian siap?" Bibirnya tersenyum melecehkan.
Seolah mengerti aba-aba itu, para anjing itu kemudian serentak menyerangnya berbarengan. Pemuda itu tak pikir panjang segera menebaskan kedua balok yang menjadi senjatanya itu ke arah mereka—tak peduli dirinya dikeroyok sekalipun, ia tetap percaya diri.
"Kaing!"
Sudah beberapa ekor anjing yang tertusuk di ujung balok kayunya yang sudah berlumuran darah. Ada yang lehernya tertusuk, dadanya ditebas, dan yang perutnya dikoyak. Ada pula yang dilemparkannya ke jurang. Percikan darah menghiasi wajahnya.
Sebagai hasilnya, ada anjing yang tewas dan ada pula yang kejang-kejang. Bahkan ada di antara yang berhasil dilumpuhkannya tadi berusaha untuk bangkit meski gemetaran tapi terkulai lagi. Pemuda itu tersenyum puas. Tak seharusnya ia puas secepat itu karena—
"Krauk!"
Ada seekor anjing memanfaatkan kelengahannya itu dengan menggigit kaki kanannya. Pemuda itu terkejut dan berusaha untuk membebaskan dirinya. Ia menjerit kesakitan begitu anjing itu semakin mendalamkan gigitannya.
"Arrrrgghhhhhhhhhhhhhh!"
Duak! Tendangan mendadaknya ke perut anjing itu berhasil melepaskan gigitannya. Tapi anjing itu masih terus mencoba membekuknya—kali ini ganti dengan menggigit lengan kirinya. Sialnya—belum sempat pemuda itu mencoba melepaskan gigitan itu—anjing yang berikutnya datang menerjang dadanya hingga ia pun terjengkang. Posisinya tersudutkan!
Beberapa anjing yang tersisa mendekat sementara anjing yang menerjang dadanya tadi berusaha menggigit lehernya. Ia kembali dikeroyok dengan jumlah yang tak seimbang. Ia harus menghentikan mereka. Anjing-anjing itu seolah ingin memangsanya hidup-hidup!
Anjing yang menggigit lengannya tadi semakin melemahkannya. Ia lebih memilih untuk fokus ke anjing yang hendak menerkam lehernya dengan menahannya habis-habisan—dengan tangan di moncong si anjing. Anjing yang menggigit lengannya itu cerdik juga. Ia menahan pemuda itu dan mendalamkan gigitannya agar pemuda itu semakin melemah hingga rekannya bisa melancarkan serangan brutal ke lehernya. Tapi pemuda itu tak mau dikalahkan begitu saja oleh anjing-anjing petarung terlatih itu.
Mereka saling adu kekuatan. Pemuda itu sadar staminanya yang semakin menipis—belum lagi ia harus siap akan serangan tak terduga anjing-anjing lainnya yang masih hidup di belakang mereka itu. Tak mau ambil risiko, ia nekat menarik kembali tangannya yang menahan si anjing penyergap dan dengan secepat kilat mengarahkan tusukan dari balok di genggamannya ke tubuh anjing itu.
Ia harus mempertaruhkan nyawanya siapa yang lebih cepat. Tusukannya ataukah gigitan anjing itu mendarat ke lehernya?!
Crot! Darah memercik deras ke wajah dan lehernya dari mulut si anjing yang ditusuknya tadi. Segera disingkirkannya anjing itu dari atas tubuhnya dan membereskan yang satunya lagi. Posisinya memudahkannya menikam tengkuk anjing itu hingga tembus untuk membebaskannya dari rasa sakit yang menyiksanya daritadi.
Disingkirkannya bangkai anjing itu. Dengan wajah pucat, dipandanginya sisa anjing lainnya yang malah meringkuk ketakutan. Meskipun sudah setengah mati, pemuda itu masih bisa mendelik tajam. Melihat tatapan mengerikan pemuda itu, anjing-anjing yang ngeri melihat kawanannya dibantai itu pun segera membalikkan badan dan melarikan diri.
"Kaing-kaing!"
Begitu merasa aman, sorot mata merah pemuda itu langsung berubah menjadi lemah tak berdaya. Matanya tampak sayu setelah menerima siksaan bertubi-tubi. Tertatih-tatih, ditegakkannya kembali tubuhnya sambil bertumpu pada balok kayunya untuk membantunya berdiri. Ia berdiri meski masih terhuyung-huyung. Kondisinya cukup menggenaskan. Pakaiannya yang berwarna abu-abu tampak kucel dan berlumuran darah—tubuhnya luka sana-sini dan masih saja terus mengucurkan darah. Lengannya yang tergigit tadi sudah tak bisa digerakkan lagi hingga tampak lunglai di sisi tubuhnya karena beberapa urat syarafnya yang putus. Ya, lengannya hampir putus digigit anjing biadab tadi.
Ia tertunduk lemah. Napasnya naik-turun—tak kalah cepatnya dengan pertarungan dan pelariannya yang melelahkan tadi. Rasa sakit yang tak ada habis-habisnya membungkamnya. Ia tahu ia harus segera melanjutkan pelariannya, tapi ia yakin ia sudah tak sanggup lagi untuk itu. Haruskah ia menyerah sampai di sini saja?
"Anjing-anjing kesayanganku…"
Suara lirih itu membuatnya mengangkat kepalanya secara perlahan dan menolehi sumber suara. Ditatapnya orang itu dengan sayu kemudian ia memejamkan matanya sejenak begitu melihat siapa yang datang…
"Anak-anakku!" Pemuda belia berjaket Tim Nasional Panahan yang memegang pistol itu tampak terpukul melihat bangkai-bangkai anjing kesayangannya di mana-mana—dalam kondisi yang menggenaskan pula.
Trek.
"Dasar pembunuh! Kau takkan bisa lolos dari neraka Cerberus atau namaku bukan Mahesa Werdaya!" Pemuda bernama Mahesa itu langsung menodongkan pistol bernama Kamandaka A-4 miliknya.
Pemuda itu perlahan membuka matanya dan menatap letih Mahesa. Mahesa sendiri tahu perlawanan yang akan dilakukan pemuda itu tak akan seimbang jika mereka harus bertarung sekarang juga. Diamatinya tubuh pemuda yang penuh luka-luka itu. Meskipun ia sadar akan lebih mudah membekuknya dengan kondisi memprihatinkan seperti itu, tapi ia merasa tak adil jika melakukannya—sama saja seperti merebut permen dari anak kecil.
"Mahesa," pemuda itu membuka suaranya yang terdengar lemah, "kau tak tahu apa-apa."
Mahesa malah semakin waspada—bersiap akan menembak jika pemuda sekarat itu nekat menyerangnya.
"Aku…" Bibir pemuda yang sudah berlumuran darah itu tersenyum getir. "Aku… tidak… bersalah…!" Pemuda itu kemudian melakukan sesuatu yang tak terduga!
Dor! Spontan saja, Mahesa menarik picu pistolnya bersamaan dengan serangan pemuda itu. Mata Mahesa terbelalak begitu sebuah balok kayu berujung runcing melayang kencang ke kepalanya. Mahesa tak sempat menghindar lebih jauh lagi hingga sisi pelipis kanannya pun terserempet ketajaman balok itu. Darahnya mengucur menetesi matanya. Tapi ia masih belum mau menyerah mendapatkan mangsanya.
Kembali difokuskannya pandangannya ke sasaran dan masih sempat melihat pemuda itu tengah merentangkan tangannya dan menjatuhkan dirinya sendiri ke jurang.
"Tak mungkin!" Segera dicek-nya bibir tebing dan buru-buru mendekatkan tangannya ke gelang logam berwarna kuning tembaga berukir di tangan kanannya hingga muncullah sebuah busur dan anak panah secara otomatis. Ia menembakkannya ke bawah sana. "Astra Sarotama!"
Anak panah itu kemudian berubah menjadi rantai yang meluncur deras ke bawah sana untuk membelitnya. Ia masih sempat melihat mata merah pemuda itu mendelikinya geram. Namun—
Byur!
Mahesa tampak syok menyaksikannya. Di dasar jurang itu terdapat air yang bukan sembarang air. "Bu-bunuh diri?!"
Blup-blup-blup. Air di dasar jurang itu menjawabnya dengan letupan mendidihnya.
"Ghoul?"
***
2 Lashes: Dare to Dream?
"Ng?" Gadis kecil yang suka "mengamati" berbagai jenis impian dalam kepala bantalnya itu bertanya-tanya begitu ia tiba di sebuah tempat yang sangat gelap pekat. "Di mana ini?" Ia melayangkan "pandangan"-nya, tapi tentu saja ia tak bisa "melihat" apa pun di sana.
"Huh! Padahal aku hanya ingin melihat mimpi pertarungan lainnya yang lebih seru. Eh, malah nyasar ke mimpi tak jelas begini. Tapi ini mimpi apaan? Kok tak ada gambar dan suaranya? Jangan-jangan—" Ia mulai berpikiran buruk tentang impian yang "dilihat"-nya itu.
Dalam kepala bantalnya, gadis kecil itu pernah "menyaksikan" impian beberapa makhluk hebat yang juga mencintai pertarungan. Ini adalah kunjungannya yang ke-29 dari 57 daftar mimpi pertarungan yang hendak dikunjunginya. "Ah! Yang ini nggak seru. Sebaiknya kucoret saja dari daftar kunjunganku. Tapi tunggu dulu!"
Gadis kecil itu masih penasaran. "Sebenarnya ini mimpi siapa? Mungkin aku sudah salah membuka portalnya dan berada di mimpi yang tak ingin kukunjungi ini. Kupikir ini akan menarik. Sebaiknya aku segera pergi saja dari sini sebelum tersesat. Aku yakin betul ini adalah mimpi orang yang sudah meninggal!"
Namun sebelum ia sempat membuka portal impian dengan tongkat gagang payungnya untuk berpindah, tiba-tiba saja kegelapan yang mengelilinginya itu berubah menjadi gelombang merah darah mengerikan. Gadis kecil yang bernama Ratu Huban itu "melebarkan mata"-nya kemudian sebuah kota yang mendung mulai terbentuk.
"I-ini kan Distrik Kabut Asap?"
***
3 Lashes: Anthem of The Lonely
Distrik Kabut Asap, 28 Februari
"Hei, coba lihat anak baru itu!" bisik seorang siswa pada temannya.
Seorang pemuda belia tampak melangkah lesu dengan kepala tertunduk di hadapan mereka. Rambutnya kuning dan terdapat bekas luka bakar di wajah kanannya. Ia menutupi bekas lukanya itu dengan poninya meski tak semuanya tertutupi.
"Dia itu kan anak baru di kelas kita—dari desa sebelah," timpal suara lainnya yang masih bisa pemuda itu dengar. "Sepertinya ia tak punya teman di sini."
"Siapa juga yang mau temenen ama orang mengerikan seperti itu? Tahu nggak, sih? Saat musibah kebakaran yang membakar hangus gedung sekolahnya dulu, hanya dia saja yang selamat sementara semua murid dan guru di sana mati terpanggang api."
"Dia hanya menderita bekas luka bakar di wajahnya. Tapi kenapa yang lainnya mati menggenaskan? Dia pasti punya kekuatan iblis!" tuding anak-anak di sana.
"Iya! Di tengah kobaran api, ia masih bisa berdiri dan keluar perlahan dari sana. Kenapa juga sih sekolah kita ini mau menerima iblis?"
"Ngomong-ngomong, nama anak itu siapa?"
"Orang-orang memanggilnya Ghoul. Dengar-dengar sih, ia tuh kerasukan ruh ghoul 29 Februari karena ia lahir pada tanggal yang sama. Kasihan ya hanya bisa ulang tahun 4 tahun sekali. Besok kan tanggal 1 Maret."
"Hei!" Salah seorang dari mereka kemudian mencelah. "Jangan bicara sembarangan tentang anak baru itu. Kasihan, kan?"
"Bayu," teman di sampingnya kemudian menepuk bahunya sambil menggelengkan kepala tenang agar ia tak banyak ikut campur dalam pembicaraan mereka meskipun ia sendiri tak setuju anak baru itu dicaci-maki seperti itu.
"Tapi, Sa! Anak itu sudah mengalami musibah dan membutuhkan teman. Bagaimana kalau kita kenalan dengannya—"
"Sebaiknya kau jangan mendekati anak itu," tegur Mahesa—saudara seayahnya itu.
"Tapi kenapa, Dik? Mahesa! Jangan bilang kau setuju dengan gosip itu! Heh, 29 Februari? Omong kosong!"
Mahesa mengeraskan wajahnya. Ia tertunduk dengan sorot mata serius. "Entahlah! Tapi firasatku mengatakan ada yang tak beres dengan anak baru itu."
***
"Ghoul, ya?" Pemuda berambut kuning itu tertegun di sepanjang jalannya. "Mungkin seharusnya aku mati saja dalam kebakaran itu." Ia menghela napas sendu.
Ia tak menyadari jika ada sebuah mobil yang segera mendekatinya. "Itu dia anaknya! Tak salah lagi. Cepat tangkap anak itu!"
Jok pintu belakang mobil itu pun terbuka lebar dan ada dua orang pria kekar langsung membekapnya. Pemuda yang dijuluki Ghoul itu meronta dan berusaha melawan. Namun sebuah tinju di perutnya kemudian membungkamnya. Ghoul terkulai dan diseret memasuki mobil itu.
"Jadi, anak ini cocok untuk menjalani Torakoplasti?" sebuah suara di jok kemudi memecah suasana. Ia tampak seperti seorang dokter dengan jas putihnya.
"Dia model yang pas untuk itu. Dia kan anak ajaib yang lolos dari kebakaran itu. Jadi pasti ada yang istimewa padanya untuk diteliti. Semoga reseksi iga ini akan berjalan dengan lancar," respon wanita yang juga seorang dokter—di jok sebelahnya.
***
4 Lashes: Destroy My Pain
Distrik Kabut Asap, 1 Maret
"Ukh?" Ghoul membuka matanya begitu sinar mentari menyinarinya. "A-apa yang—"
Sekarang didapatinya dirinya berada di dasar sebuah bukit—seorang diri. Belum selesai ia menjawab kebingungannya, rasa sakit yang teramat membelah kesadarannya. Dengan mata terbelalak, ia melirik sisi perut kirinya—di sekitar tulang iganya—yang berlumuran darah. "Ini…"
Ia masih tak mengerti kenapa ia diculik dan dibuang ke sana. Dibekapnya luka gores yang sepertinya bekas pembedahan itu karena goresannya yang teratur. "Kalau mereka mau membunuhku, kenapa harus setengah-setengah seperti ini?"
Lukanya masih berdarah-darah dan membanjiri telapak tangannya yang membekap luka itu. Napasnya mulai tak beraturan dan sesak saking syoknya. "Tolooooong…" Ia memekik-mekik, tapi sayangnya suaranya terdengar sangat lemah.
Akhirnya ia berusaha merayap menaiki bukit itu dengan susah-payah. Ia tak sanggup berdiri karena lukanya itu. Sedikit-sedikit, ia terhenti sejenak untuk mengatur napas kemudian lanjut merayap. Darahnya pun berceceran di sepanjang tanah bukit yang dirayapinya.
Rasa lelah, sesak setengah mati, dan sakit yang luar biasa akhirnya menghentikan langkahnya sejam kemudian—padahal bukit itu bisa dilalui selama 7 menit saja dalam keadaan normal. Ia harus berhenti sampai di sana saja—jauh dari tujuannya menuju puncak bukit, di mana pemukiman penduduk berada.
Matanya mulai redup, namun kembali terangkat begitu seseorang berdiri di hadapannya. Orang itu menatapnya iba. "Ghoul?" sapa orang itu.
Ghoul mengenal orang itu. "Tolong…," suara Ghoul terdengar serak dan sangat lemah. Tapi orang tersebut masih terpaku melihat kondisinya yang hancur. "Tolong bunuh aku…"
Orang itu malah mendekatinya—semakin mengasihaninya. Ia hampir tak mendengar kalimat terakhirnya. "Aku akan membawamu ke rumah sakit. Kamu pasti sangat kesakitan, ya?"
Tiba-tiba saja, mata Ghoul semakin memerah. "Tidak. Tolong jangan dekati aku… jauhi aku…"
"Jangan begitu. Aku akan menolongmu!"
"Jangan… jangaaaaaaaaaaaan…"
Mata orang itu kemudian melotot begitu tubuhnya terasa dialiri hawa panas dan napasnya pun jadi sesak. "A-a…" Ia jadi tak bisa bersuara lagi saking sesaknya. Bruk.
Ghoul perlahan menegakkan tubuhnya meski tertatih. Diarahkannya wajahnya ke langit kemudian memejamkan matanya dengan tenang. Ia menarik napas dalam-dalam—tampak menikmatinya.
Tak lama, ia kembali menunduk memandangi orang yang tergeletak itu. Air matanya mengalir sedih. "Kenapa… kenapa kau tak mendengarkan aku?"
***
5 Lashes: Torakoplasti
"Bayuuuuuuuuu!" Mahesa terbangun sambil terduduk—termegap-megap. Ia lalu menghela peluh di wajahnya dan tersentak begitu melihat siapa yang ada di sampingnya. "Eh, kamu siapa?"
"Aduuuh!" Si Kepala Bantal mengusap bokongnya yang sakit. "Bilang-bilang dulu dong kalau mau bangun! Aku kan lagi asyik melihat mimpi kalian."
Mahesa mengernyitkan keningnya. "'Mimpi kalian'? Apa maksudmu?"
"Iya! Aku melihat mimpi kenangan masa lalu kalian. Aku masuk lewat mimpi orang yang hampir mati itu, tapi malah dikeluarkan secara paksa olehmu."
"'Orang-yang-hampir-mati'?"Mahesa kembali mengulangi "Siapa?!" tanyanya tegas.
Ratu Huban berdiri. "Pertama-tama, kita kenalan dulu dong! Aku Ratu Huban—si Penjelajah Mimpi. Hm, sepertinya alam mimpi kalian terhubung satu sama lainnya karena kalian memimpikan hal yang sama—di waktu yang sama pula. Itulah yang menjembataniku hingga aku bisa keluar lewat mimpimu."
Mahesa langsung berdiri pula dan memegang kedua bahu Ratu Huban. "Cepat katakan siapa yang memiliki mimpi yang sama dengan yang kuimpikan barusan!" serunya dengan rahang yang hampir rapat.
"Si pemilik mimpi itu adalah… seorang pemuda yang telah mengalami pembedahan pengeluaran beberapa tulang iga tertentu dari dalam tubuhnya." Ratu Huban lalu tampak sendu. "Ia dibedah oleh para dokter yang tak bertanggung-jawab. Ia diculik dan setelah dibedah, luka bedahnya tak dijahit sama sekali. Lukanya dibiarkan saja terbuka dan mengeluarkan banyak darah. Sebagai penutupnya, ia malah dibuang seperti binatang."
Pegangan di bahu Ratu Huban mengendur. Mahesa tertunduk. "Iga itu… iga itu mereka racik sebagai obat kuat khusus atlet."
Ratu Huban "melebarkan mata"-nya. "Hah?! Tega sekali mereka!"
"Mereka berpikir salah satu bahan obat kuat itu adalah tulang iga manusia seperti Ghoul. Oleh karena itulah, aku berhenti menjadi atlet panahan setelah tahu mereka menyuntikkan obat kuat pada atlet peserta PON. Kuberpikir itu adalah cara yang curang dan tak berprikemanusiaan. Aku beralih profesi menjadi pemburu hadiah begitu lulus sekolah. Kumelatih anjing-anjingku agar bisa membantuku mengejar buruanku dan Ghoul adalah salah satu orang yang kuincar karena—"
Ratu Huban tertegun. Ia tahu apa alasan Mahesa memburu Ghoul habis-habisan.
"Ia sudah banyak membunuh orang! Tapi ia membunuh ketika sesak napasnya kambuh setelah torakoplasti itu. Masalahnya, ia jadi tak pandang bulu soal itu. Sudah banyak pemburu hadiah yang menjadi korbannya. Ia 'mencuri' napas orang-orang tak berdosa dan aku harus menghentikannya sebelum jatuh lebih banyak korban lagi."
Ratu Huban malah "menitikkan air mata"-nya. "Kasihan!"
"Sekarang katakan!" Mahesa kembali mencengkram bahu Ratu Huban. "Kita harus menghentikan kejahatannya itu. Di mana tepatnya anak itu berada?"
Ratu Huban menggeleng lesu. "Aku tak tahu karena asal masuk mimpi. Aku kan keluar melalui mimpimu."
"Ck! Bagaimana ini?!" Mahesa tampak berpikir keras. "Bagaimana caraku bisa menemukan dan membunuhnya? Kupikir dia sudah mati setelah menjatuhkan diri ke jurang berisi air mendidih itu."
"Bagaimana aku bisa menolongmu, ya?"
Tak lama, Mahesa malah melebarkan matanya antusias. "Ratu Huban, apakah anak itu masih bermimpi?"
***
6 Lashes: Warrior Inside
"Torakoplasti yang kita jalankan ini harus berhasil! Kita tinggal memilih iga yang bisa mengeluarkan zat yang kita butuhkan agar napas para atlet negeri kita tahan banting karena di iga tertentu, terdapat virus langka yang bisa menghasilkan zat itu. Dengan begitu, mereka bisa mengikuti kejuaraan dengan baik. Hanya orang tertentu yang bisa memiliki keistimewaan seperti ini. Nah, aku sudah menemukannya! Cepat dipotong!"
…
Distrik Kabut Asap—Setiap pohon di sepanjang jalan setapak itu terbakar sehingga terlihat seperti dedaunan api. Indah dipandang memang, belum lagi pohon-pohon yang terbakar itu tak akan habis terbakar dan tetap utuh seperti itu. Siapa yang berani memanjatinya?
…
"Reseksi iga berhasil! Kita sudah tak membutuhkan bocah ini lagi."
"Apa yang akan terjadi dengan anak ini setelah pembedahan ini? Bukankah kita sudah mencuri sesuatu darinya?"
"Siapa juga yang mau menangisi kalau saja anak ini mati? Sudahlah, tak usah pikirkan itu. Yang penting iga yang kita butuhkan sudah bisa kita racik untuk para atlet kita. Kalau pun anak ini masih hidup, palingan ia akan mengalami sesak napas parah. Itu pun kalau ia masih bisa bertahan hidup."
"Hm. Kalau begitu, sekarang kita tinggal jahit bekas luka bedahnya."
"Ah, tak usah! Biarkan saja begitu. Untuk apa buang-buang bahan? Mending kita pakai untuk keperluan bisnis di rumah sakit. Terserah kalian mau apakan anak ini. Tapi segera singkirkan dia sejauh mungkin sebelum dia sadar. Mau mati kek, mau sekarat kek, itu bukan urusan kita lagi."
…
Distrik Kabut Asap—Sepasang kaki telanjang melangkah pelan di atas pasir—tapi bukan sembarang pasir karena ada api-api kecil menyala-nyala di celah-celahnya dalam jarak tertentu. Tapi si pemilik kaki yang menapak di sana tak merasakan panas sedikit pun.
"Air mendidih ternyata tak bisa membunuhku."
Si pemilik kaki itu menarik napas kemudian berlutut dengan satu kaki. Digenggamnya pasir berapi itu, menggesekkannya dengan lembut kemudian mencecerkannya sedikit demi sedikit. Pasir yang berhujanan jatuh dari tangannya itu terlihat indah.
"Huft, sudah lama aku tak melihat tanah airku sendiri," komentar si pemilik tangan—seorang pemuda berkaos merah tanpa lengan yang ditutupi rompi hitam. "Dan aku juga sudah tak mengenakan pakaian napi lagi."
Tanpa merasa kepanasan, ia lalu mengarahkan segenggam pasir berapi kemudian mencecerkannya di atas luka di bahu dan lengannya yang masih mengucurkan darah. Ia melakukan hal yang sama di kakinya. "Tanah tumpah darahku cukup sebagai penawar luka-luka kecil ini. Tapi kenapa aku bisa seberuntung ini?"
Mata merahnya menggelinding begitu teringat sesuatu…
…
"Anjing-anjing kesayanganku…"
Suara lirih itu membuatnya mengangkat kepalanya secara perlahan dan menolehi sumber suara. Ditatapnya orang itu dengan sayu kemudian ia memejamkan matanya sejenak begitu melihat siapa yang datang… untuk melakukan jurus pernapasan tingkat ekstrem yang belum pernah dikuasai oleh siapa pun!
…
"Rupanya ilmu pernapasan yang kulakukan sebelum terjun ke air mendidih itu berhasil. Padahal aku belum cukup menguasai cara pernapasan beruang air yang tahan suhu tinggi dan udara hampa. Itu adalah jurus terberat dan belum ada yang bisa menguasainya. Tapi… aku tak nyangka di saat-saat seperti ini, aku bisa menggunakan jurus tertinggi itu." Matanya melebar. "Wow!"
Ghoul menegakkan tubuhnya yang mulai pulih. "Tapi di mana anak itu sekarang?" Dilayangkannya pandangannya ke sekitarnya dan… syut!
Ghoul menghindarkan wajahnya ke sisi kiri tanpa ekspresi. Hanya pipinya saja yang tergores anak panah. Ghoul menghela darah di pipinya kemudian tersenyum kecut. "Bocah," bisiknya.
"Mencari aku?!" seru suara seseorang yang dikenal baik oleh Ghoul. "Terima kasih sudah memikirkanku hingga aku bisa dengan mudahnya menemukan keberadaanmu di sini."
"Tak masalah," respon Ghoul tanpa ekspresi. "Kau tahu kan di mana sekarang kau berpijak?"
Mahesa menodongkan pistolnya. "Menyerahlah! Kali ini takkan meleset, loh."
Masih miskin ekspresi, Ghoul malah membungkukkan tubuhnya dan melumuri kedua tangannya dengan pasir berapi. Setelah itu, ia menendang-nendangkan kaki telanjangnya hingga berlumuran pasir juga. Sementara itu, Mahesa hanya mengernyit kebingungan.
"Kamu mau apa?"
"Lihat, Kawan." Ghoul merentangkan kedua tangannya perlahan hingga masing-masing kepalan tangannya menyentuh kobaran api di pohon berapi terdekatnya. Api pun mengalir ke kepalan tangannya!
Mata Mahesa melebar—syok. "Ka-kau…"
Ghoul mengacungkan tinju kanan berapinya di depan wajahnya sebagai tanda seriusnya. Cahaya api berderak-derak—terbayang di wajahnya yang kelam. Tanpa basa-basi lagi, ia langsung meluncur menyerang Mahesa.
Dor dor dor! Mahesa spontan menembak karena kaget. Tapi peluru-peluru yang dilancarkan Mahesa disambar oleh kilatan api di tinju Ghoul hingga peluru-peluru itu pun terbakar habis.
"Akh!" Mahesa menjerit begitu Ghoul memegang pergelangan tangannya dengan tangan apinya. Tahu-tahunya saja Ghoul sudah ada di dekatnya. Pistolnya pun terjatuh. Trek.
Duk! Mahesa mencoba melepaskan pergelangannya dengan melancarkan tendangan ke sisi perut Ghoul. Ghoul melepaskan tangan Mahesa sambil tersenyum menyeringai seolah mencemooh, padahal tendangan itu tak seberapa hingga membuatnya mau melepaskan musuhnya.
"Permainan ini akan mengasyikkan! Sayang sekali kalau kau buru-buru kuhanguskan."
Mahesa menjauh sambil memegangi pergelangan tangannya yang luka bakar. "Ck!" Ia berdecak kesal sambil mengecek tangan kanannya kemudian tersadar. "Gelangku!"
Gelang itu sekarang berada di tangan api Ghoul. Ia menyeringai keji sambil menunjukkan gelang itu padanya—seolah mempermainkannya. Belum sempat Mahesa ingin merebutnya, dengan wajah bengis Ghoul langsung membungkus gelang itu di tangannya kemudian membakarnya hingga tak tersisa. Mahesa terperangah—syok.
Mahesa tak putus asa untuk mencoba mengeluarkan senjata lainnya. Ghoul pun tak ingin itu terjadi dan ingin segera menghanguskan Mahesa. Ia mencoba meraih Mahesa hingga membuat Mahesa sibuk menghindar dan tak sempat mengeluarkan senjata andalan lainnya. Mahesa lebih menfokuskan diri untuk menghindar tentunya daripada terbakar. Tapi semakin ia menjauhi Ghoul, ia malah mendekat ke pohon api dan terpojok.
Ghoul melancarkan serangan penutup dan Mahesa berusaha agar tak dempet ke pohon api. Ia segera bersalto melewati Ghoul hingga tendangan Ghoul menancap ke badan pohon api. Tep! Kakinya pun terbakar hingga tumit. Ghoul membakar kaki sebelahnya juga.
Mahesa malah semakin dalam bahaya. Ia berusaha agar tak terkena serangan berapi Ghoul. "Bagaimana ini?" desisnya yang sudah mulai kelelahan. "Dipegang saja sudah kesakitan, apalagi kalau dibakar!"
"Aha!" Mahesa malah memutuskan untuk lari. Ghoul semakin kalap. Tapi Mahesa punya tempat persembunyian yang aman dari serangannya. Bukannya ia mau lari terus karena Ghoul pun tak kalah cepat darinya, tapi ia punya ide untuk itu!
***
7 Lashes: Over Kill
Ghoul memburunya hingga Mahesa memasuki sebuah ruangan. Namun begitu memasuki ruangan itu, Ghoul tertegun. "Ge-gelap sekali!" Kegelapan itu membuat api di kedua tangan dan kakinya redup seketika. "Sial! Aku harus keluar dari sini. Kalau tidak, aku bisa…"
Namun pintunya terkunci rapat dan ia tak bisa melihat apa pun di sana.
Bugh! Sebuah serangan tak terduga muncul dengan cepatnya menyapu wajahnya. Ia terjengkang, namun kepanikan karena tak bisa melihat penyerangnya itu. Serangan berikutnya menyusul dengan cepat. Dia seolah dikeroyok dan tak bisa melakukan perlawanan.
"Cepat sekali!" gerutu Ghoul yang hanya bisa menerima serangan brutal Mahesa yang beruntun. Bruk. Akhirnya ia tersungkur dengan napas yang terengah-engah—mulai sesak.
"Selamat datang di alam mimpiku, Ghoul!" pekik lantang Mahesa yang dipikirkan Ghoul tengah berkacak pinggang—sombong. "Rasakan pembalasanku karena kau tak akan bisa menggunakan kekuatanmu lagi di sini. Tak nyangka ya, semudah ini aku bisa memancingmu keluar dari area alam mimpimu menuju alam mimpiku yang bisa kuatur semaunya ini."
Ghoul mencoba untuk bangkit. "Hosh-hosh! Mimpi?" desisnya hampir tak bersuara. "Kalau begitu, aku harus terbangun!" Ghoul memegangi dadanya sambil mencoba melangkah meski sempoyongan. Ia mencari jalan keluar. "Tapi bagaimana caranya? Hosh-hosh…"
"Tak semudah itu, Ghoul!" pekik Mahesa lagi yang seolah memberinya kesempatan untuk bernapas. "Kau harus membunuhku dulu. Itulah permainan alam mimpi. Hanya salah satu dari kita yang bisa terbangun."
Ghoul jatuh berlutut—syok. Matanya melebar menahan sesak yang semakin mengikat dadanya. "Hosh-hosh…"
Sementara itu, Mahesa mendekatinya. "Terima sajalah nasibmu berakhir di sini, Ghoul! Aku tak mungkin bisa membiarkanmu hidup lebih lama lagi setelah apa yang kaulakukan pada saudaraku—Bayu."
"Bayu?" desis Ghoul. Ia bisa merasakan langkah kaki Mahesa perlahan mendekatinya. Ia sudah tak berdaya lagi, namun—
"Ndus? Ndus?" Ghoul tersadar begitu merasakan embusan napas favoritnya di tengkuknya. Bayu sepertinya ada di belakangnya!
"Ada pesan terakhir?" Tapi itu bukanlah Bayu melainkan adiknya!
Mahesa semakin mendekat dan terlambat menyadari jika ia melakukan hal yang fatal. Ghoul langsung mencengkram kerah bajunya erat-erat dan tampaklah sesuatu yang bercahaya mengalir dari hidung Mahesa menuju hidung Ghoul. Ghoul tampak menikmati pernapasannya dengan memejamkan matanya. Sementara Mahesa merasakan udara panas yang tak biasa mengalir di tubuhnya dan juga… rasa sesak!
Mahesa terbelalak begitu dadanya terasa diikat kencang. Secara perlahan pula, alam mimpi yang diciptakannya retak dan hancur. Kegelapan itu pecah berkeping-keping dan runtuh bagai cermin retak hingga menyisakan warna alam mimpi yang sesungguhnya: langit biru.
"Hufhh… aku hafal betul cara bernapas Bayu dan bisa menirukannya dengan sangat baik. Dengan meniru napas seseorang, asmaku bisa sembuh sejenak. Ya, meskipun orang itu harus mati. Napas Bayu adalah napas favoritku. Tapi napasmu lebih terasa nikmat. Mau tahu kenapa?" Ghoul menjelaskan panjang lebar.
Ia lalu membuka matanya dan tersenyum menyeringai begitu melihat jaket Mahesa. "Karena kau adalah seorang atlet! Napas Bayu tak bisa menyembuhkanku untuk seterusnya karena ia tak pernah mendapatkan racikan obat kuat terobosan terbaru untuk para atlet. Tapi kamu?"
Mahesa terbelalak sementara napasnya terus "dicuri". Ia teringat suntikan para dokter sebelum ia bertanding dulu.
"Rasanya jadi lebih bersemangat lagi menghirup kehidupanmu. Tak kusangka kaulah orangnya! Ternyata orang yang memburuku selama inilah yang menerima berkah dariku. Seharusnya kau berterima kasih padaku karena kau bisa berstamina tinggi seperti itu semuanya berkat organ tubuhku yang direseksi. Seandainya saja aku tahu sejak awal, seharusnya aku tak lari darimu. Kaulah penawarku untuk terbebas dari penyakit terkutuk ini untuk selamanya. Dan sekarang, aku meminta hak-ku kembali!"
Mahesa mengepalkan jemarinya kuat-kuat. Ia harus mengumpulkan kesadarannya untuk membebaskan diri!
Duagh! Dengan sekuat tenaga, Mahesa melayangkan tinjunya ke wajah Ghoul hingga proses menyesakkan itu berakhir. Ghoul terpelanting dan tersungkur. Ia mencoba untuk bangkit, tapi Mahesa kembali melancarkan serangan beruntun dengan lincahnya. Ghoul tak bisa sepenuhnya menghindari serangan itu. Beberapa serangan amarah Mahesa banyak yang masuk.
Bruk. Ghoul jatuh berlutut sambil memuntahkan darah. Tak lama, ia malah tersungkur. "Sial! Padahal tinggal sedikit lagi aku sembuh," gerutunya sambil mencoba untuk bangkit dengan kedua lengannya, namun terjerembab juga. Sekarang yang terdengar darinya tinggal suara napas beratnya. "Hosh-hosh…"
Mahesa datang menghampirinya dengan langkah sempoyongan. Ghoul menatapnya dengan sorot mata yang redup. "Tutup pertarungan ini… jangan setengah-setengah…," bisiknya.
Mahesa tersenyum kecut. "Kau sudah kalah, Kawan! Tak usah suruh-suruh aku segala. Aku memang mengharapkan kematianmu. Tapi aku sudah berbaik hati mengantarmu ke depan pintu gerbang kematian. Silakan kau masuk sendiri! Tak usah ada napas lagi dan tak akan ada lagi orang yang mati karena penyakitmu yang menyiksa. Kematian secara alami itu lebih indah untukmu."
Bibir berdarah Ghoul melengkung—tersenyum pahit. Ia sudah tak berdaya untuk bangkit. Bernapas pun semakin sulit. Akhirnya ia memejamkan matanya—menanti keputusan Yang Kuasa.
Mahesa berbalik memunggungi Ghoul dan melangkah menjauh. Langkahnya terseok-seok. Ia melangkah sambil memegangi dadanya yang terasa sesak juga. Belum sempat ia membuka pintu, …
Bruk!
***
8 Lashes: Ken
"Ken, ayo bangun!"
Suara lembut itu menyapu kelopak mata pemuda bernama Ken itu. Pemuda belia itu membuka matanya perlahan. Sorot matanya yang redup tampak tenang. Begitu tersadar, didapatinya tubuhnya tengah telentang di atas genangan air sebuah gua. Genangan air itu merendam perut dan dadanya, sementara air yang sebatas tenggorokannya hampir menelan wajahnya.
"Ghoul?"
Mata pemuda itu melebar begitu melihat mahluk aneh yang tengah berjongkok di sampingnya. "Kepala Bantal?"
"Aku Ratu Huban. Bagaimana perasaanmu kini?"
"Ukh." Ghoul mencoba untuk duduk meski di atas genangan air itu. Ia merasakan ada yang berbeda dengannya. "Sepertinya ada yang berubah. Khususnya di bagian sini," katanya sambil memegangi dadanya. "Dadaku jadi terasa lebih segar." Ia kemudian menghirup udara segar di sekelilingnya sambil memejamkan mata. Ia tampak sangat menikmatinya. "Segar! Segar sekali tanpa rasa sakit yang menyesakkan."
Ratu Huban malah tampak sedih "melihat" kebahagiaan pemuda itu. "Sepertinya kau sudah sembuh."
Ghoul membuka mata dan menatap gadis aneh itu. "Sembuh apanya?" tanyanya kebingungan. "Oh iya, kenapa kau bisa ada di sini?"
"Kau tak ingat tadi habis mimpi apa?"
"Ya, itu mimpi terburuk yang pernah ada. Sepertinya aku harus kabur lagi darinya." Ghoul kemudian menegakkan tubuhnya.
Namun sebelum pergi, Ratu Huban mencegatnya. "Kau tak perlu lari ke mana-mana lagi karena mimpi itu bukan mimpi pertarungan biasa. Itu kenyataan yang berada di alam mimpi."
Ghoul mengernyitkan kening. "Maksud kamu ini apa? Bicara yang jelas! Jangan buang-buang waktuku lagi. Aku sangat sibuk!"
"Aku belum menjawab pertanyaanmu yang tadi itu."
"Kenapa kau bisa ada di sini?" Ghoul mengulangi pertanyaan yang menurutnya sekarang tak penting itu—tapi agar urusannya dengan gadis aneh itu cepat selesai, ia menanyakannya lagi meski tak mau tahu lagi.
"Aku bisa berada di sini—keluar dari alam mimpi kalian melalui dirimu—karena aku… aku tak bisa keluar dari mimpi orang yang sudah…"
Ghoul menatapnya dengan tatapan teduh. "Bukankah sudah kubilang padanya agar jangan membunuhku setengah-setengah?"
Ratu Huban menatap Ghoul dengan "tatapan mendung". "Selamat, ya," ia mengucapkannya dengan nada sedih. "Ken…"
***
9 Lashes: In The End
"Nguk?"
Para anjing petarung itu mengerumuni tubuh Mahesa yang tampak terpulas. Salah seekor dari mereka menjilati pipinya agar Mahesa mau membuka matanya…
***
"Ng? Di mana aku?" Mahesa terbangun di sebuah tempat yang sangat bersih, cerah, dan tenang. Dipandanginya tempatnya berbaring dan pakaiannya. "Sudah berapa lama aku dirawat di rumah sakit ini?"
Ia mendudukkan tubuhnya secara perlahan sambil memegangi dadanya yang agak sesak.
Krek. Seorang dokter berparas cantik tapi minim ekspresi memasuki ruangan itu. "Kau sudah sadar rupanya. Baguslah! Kita mulai saja."
"Kau? Kau dokter yang menyuntikkan obat kuat dari bahan tak lazim itu padaku, kan?" Mahesa mendeliknya marah. "Kau harus bertanggung jawab akan apa yang terjadi padaku. Gara-gara kamu, aku jadi menderita seperti ini!"
"Tenanglah, semuanya akan segera berakhir," dokter cantik itu menjawab santai sambil mengeluarkan sebuah crossbow dari saku lebarnya.
Wajah Mahesa menegang. "A-apa yang mau kaulakukan padaku?"
"Kau akan segera tahu," kata dokter itu tanpa ekspresi. Ia kemudian mengarahkan crossbow-nya pada Mahesa dan mulai menembak. Srek!
"Hei! Apa yang—" Mahesa lalu dengan sigap menghindarinya.
Zeb! Panah crossbow dokter itu menancap di kasur. "Tenanglah! Aku hanya ingin mengobatimu," dokter itu masih berkata santai sambil mengambil anak panahnya lagi dan kembali menembaki Mahesa yang sudah berada di lantai.
"Mengobati?! Omong kosong!" raung Mahesa sambil kembali menghindar.
Zeb. Kali ini, panahnya tertancap ke kaki ranjang. Mahesa terus menghindari tembakan panah dari crossbow dokter gila itu dengan lincahnya.
"Ayolah! Percayalah padaku. Aku tak bermaksud mencelakaimu. Panah ini adalah penawar bagi penyakit sesak napasmu dan itu bukan penyakit sembarangan," dokter itu menjelaskan sambil terus memanah dengan santainya. "Penyakit asma pemuda itu sudah berpindah padamu dan hanya akulah yang tahu obatnya karena akulah yang sudah membuat penyakit itu padanya."
Sementara mendengarkannya, Mahesa terus menghindar karena masih tak percaya. "Kenapa kau mau menolongku?"
"Karena kau adalah pemanah idolaku dan aku tak mau kau 'mencuri' napas orang seperti halnya Ghoul dulu—ketika nanti sesakmu yang mematikan kambuh."
Mahesa tertegun dan mematung hingga anak panah dokter itu menancap ke lengan bajunya dan menahannya ke tembok. Zreb!
Sekarang dokter itu memiliki kesempatan besar sebelum Mahesa mencoba untuk membebaskan diri. "Aku tak ingin melihatmu menderita. Penyakit itu tak bisa membuatmu mati dan akan membuatmu gila di saat kambuh. Nah sekarang, izinkan aku mengobatimu!"
Mata Mahesa melebar ketika panah itu melayang dan… zreb! Panah itu menancap tepat di sisi perutnya—di bawah iganya. "A-apa yang kaulakukan?!" geramnya kesakitan luar biasa. Darah mulai mengalir dari sela bibirnya. Ia mencoba mencabut panah itu dari perutnya.
"Jangan dicabut!" seru dokter itu masih tanpa ekspresi. "Obatnya akan segera bekerja." Dokter itu kemudian melangkah pergi meninggalkannya dengan tenang.
Sementara itu, Mahesa menahan sakit habis-habisan. "Sial! Aaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrggggggggggghhhhhhh!!!"
***
"Ini kunjunganku yang selanjutnya!" seru Ratu Huban riang begitu tiba di sebuah alam mimpi lainnya. Ia "mengamati" sekitarnya, kemudian tersadar. "Hei, sepertinya aku sudah pernah ke sini sebelumnya. Sebaiknya aku pergi saja!"
Tep. Tiba-tiba saja, seseorang menepuk bahunya dari belakang. "Jangan buru-buru begitu, anak kecil!"
Ratu Huban yang mengenali suara itu terpaku. Secara perlahan, ia lalu membalikkan badan dan "terbelalak" begitu melihat si pemilik suara itu. "Ka-kau?! Bukannya kau sudah—"
"Tolong bantu aku menemukannya lagi…"
(**) So I'll break it!
Knowing what you said The pain is what you make it Sadly you are so mistaken.
Right now Never want to leave this place… And right now See it in a different way
So right now Even if you take me on… I'll stand the lonely Stand the lonely (**)
(*) opening song: Holliwood Undead (We Are)
(**) ending song: Nine Lashes (Anthem of The Lonely)
Hello Hello~~
BalasHapusSeperti yang diharapkan dari seorang yang menjabarkan hampir semua aspek dalam cerita, ceritamu bagus..
Cara bernafas kera? Cara bernafas kuda? menarik sekali seni beladirinya hmm mungkin suatu hari ane bikin char dengan ngeplagiat tehnik charmu ini (plak)
Anjing-anjing yang diawal itu kejam-kejam banget ya, kaget ketika mereka ternyata milik Mahesa. Ngomong-ngomong latar tempatnya itu apa? pertama pagar, terus mobil, kirain di Kota... kok mendadak jadi tebing =="
Ratu Huban melebarkan matanya walau dalam kutip sih, soalnya dia kaga punya mata xD
Ini baru Mahesa~~ Emosi tinggi, semangat juang tinggi. Akhirnya ada Mahesa yang tidak OOC dari Charsheetnya...
Duelnya seru, mantap...
OK langsung saja Nilai : 10 ~~~
OC: Rose Vinensine
belum pernah riset cara bernapas hewan lain, selain kucing dan anjing :=(D
BalasHapusaku suka banget karakternya Mahesa, karena aku suka anjing galak dan petarung, jadi kuizinkan Mahesa memilikinya sekitar 29 ekor lah jenis siberian husky campuran herder berkekuatan gigitan 250 pon squire inchi. ga dijelaskan karena dah kuedit habis karna melewati jumlah 6K.
settingnya juga direm habis, dipangkas sana-sini penjelasannya karena melewati 6K.ceritanya di hutan...
ratu Huban ga punya mata, jadi kesannya aja terbelalak (bisa melihat).
mahesa oc fave-ku si jadi ga tega aku matiin, :=(9
:=(D
Di awal aku bacanya deg deg an.. serasa di kejar" juga... o.O
BalasHapusKukira itu prolog nya... tapi ternyata udah masuk battle aja #plakk
Woohhh... dan Ghoul ternyata temen dari Mahesa (plotnya beda dari canon aslinya)
Sejauh itu aku nikmati ceritanya walau rada pusing serasa di puter" #plakk
At least, aku titip 8.. :)
Sign,
Lyre Reinn
OC : Altair Natsuki
aku suka kalo prolog yang langsung ngos-ngosan >.<
Hapuskusuka kalo to the point aja battlenya soalnya karakternya minim >.<
cuma temen sekolah, ga akrab n ga pernah bicara dulu di skul >.<
plotnya dibuat muter-muter kayak film yang diacak-acak plotnya, tapi di sini ada tulisan italic sebagai adegan tempo dulunya, pengganti adegan hitam putih di film >.<
makasi komentarnya >.<
i luv mahesa vs ghoul (ken)
Setelah membaca entri ii, mari kita mulai dari nilai 10 (nilai kotor).
BalasHapusTapi ... karena bagi saya membaca dengan penuh sfx dan teriakan dengan huruf berlebihan berikut tanda baca yang menyertainya itu sungguh mengganggu. Maka nilainya berkurang 1.
Nilai jadi 9.
Tapi karena dalam cerita Ghoul dinyatakan mengalami luka operasi (pemotongan beberapa iga) dan gak dijahit. Terus dia terdampar dan dengan luka di dada itu, dia ... Merayap! Iya! MERAYAP! Gak masuk logika banget, padahal di CS Ghoul gak dijelasin kalau doi itu memiliki batasan yang gak manusiawi. Lalu kamu menjawab "Kan dari awal saya udah kasih tahu, bahkan dia bisa selamet dari kebakaran gedung sekolah dengan hanya luyka bakar di setengah wajah." Itu gak cukup. Dan kalau kamu bilang "Ghoul kan ahli pernafasan." Mungkin pernafasan bisa menghilangkan rasa sakit (walau saya gak tahu pernafasa model apa). Tapi, apa pernafasan bisa mengembalikan darah yang terbuang? Enggak. Jadi, nilai-nya berkurang 1, lagi.
Nilai jadi 8.
Namun, saya menemukan juga tiba2 orang yang mau nolong Ghouol mati dengan cara yang gak jelas. Terus Ghoul juga tahan panas secara ekstrim. Lalu kamu menjawab lagi, "Kan Ghoul makai pernafasan beruang air." WTF. Gak ada logikanya banget. Emang ii fantasi, tapi fantasi juga harus sesuai logika, saya jomplang bvanget waktu baca bagian ini. Jadi, nilai minus satu, lagi.
Nilai jadi 7.
Terus, saya ngebaca lagi ada adegan Ghoul tangannya bisa berlapis api cuma karean disentuhin ke kobaran api. WTF, lagi. Api gak bakal gitu mudah ngebakar itu tangan. Emangnya itu tangan sumbu kompor berlapis minyak tanah? Astaga! Berkurang lagi, deh, nilainya.
Nilai jadi 6.
Terus setelah saya selesai baca. Saya gak mendapatkan koherensi antar kemampuan Ghoul dengan apa yang tertera di CS. Di cerita Ghoul bagai manusia super. Memiliki daya tahan tubuh luar biasa, tapi di CS sama sekali gak dijelasin. Bahkan untuk kemampuan pernafasannya aja, di CDS gak dijelasin secara terbuka. Jadi, saya pikir kemampuan pernafasan itu ya semacam kemampuan khas para pesilat aja. Apalagi dijelaskan kalau Ghoul itu juga bisa silat. Tapi di cerita, udah lain lagi. Pernafasan hewani yang bisa memberi kemampuan seperti manusai super. Bah! Di cerita juga gaya tarug Ghoul berkesan serampangan, gak berteknik, jadi nama "Ilmu Silat Aliran Merpati Putih" itu cuman tempelan, doang. So, nilaimu turun lagi.
Nilai jadi 5.
Tapi karena cerita kamu rapi dan plot-nya cukup oke, maka nilai nambah 2.
Jadi, nilai akhir yang saya berikan adalah 7. Selamat :D
OC : Fionn Coileain na Claonai (gak sempet copas yang ada diakritiknya)
duh aku suka masukan ini karna panjang >.<
Hapushm dah brusaha nulis sekece mungkin kayak di anime punya plot >.<
hurufnya didobelin agar bisa ngena dibayangkannya seperti apa tempo durasinya teriakan memekik itu. cus di komik teksnya hurufnya dobel kalo neriak2. btw gimana bagusnya? >.<
hm sebenarnya di entri ada dialog yang bilang dy dirasuki roh ghoul 29 februari, jadi kayak ghoul setengah manusia. tenaganya meski kesakitan ga kayak manusia biasa, masih bisa bertindak hm kayak di anime ghoul-lah >.< lukanya di sisi perut di bawah iga, jadi dia bisa beregenerasi proses pembuatan sel darah merahnya kayak ghoul >.<
terus logisnya bagaimana? karna pernapasan beruang air dy terus bernapas hanya aja tubuhnya tahan suhu ekstrem dan bisa terus hidup di hampa udara kayak on the spot bilang >.<
bisa kebakar karna di alam mimpi di areanya sendiri, lain kalo di alam mimpinya mahesa dia yang berkuasa semacam lucid dream, jadi bisa kontrol mimpi sendiri masing2 >.<
merpati putihnya tempelan >.< cus aku hanya tahu cara pernapasan merpati putih dikit banget hanya ampe tingkat 2 doang, aku ga pernah latihan pernapasan lagi >.<
soal charshet aku masih bingung buatnya, cus biasanya aku nulis cerita dulu baru karaternya ditambahin ke entri. >.<
makasih kritikannya >.< kalo pertanyaanku dijawab tuk lebih diperbaikin lagi lebih makasih lagi. aku seneng dikrisanin >.<
Akhirnya bisa komen di sini...
BalasHapusKemampuan Ghoul yang pertama ditunjukan di sini adalah kemampuannya mengatur nafas seperti hewan. Unik, tapi saya kurang dapat efek cara bernafas ini. Apakah pola gerakannya berubah, sifatnya ataukah sistem regenerasi tubuhnya yang berubah? atau ini hanya cara untuk meregulasi udara ketika berlari? Jika lebih dicabarkan akan lebih bagus!
Dan... sama seperti komentar di atas, saya nggak suka SFX yang dipakai dalam entri ini, terutama jeritan yang terlalu panjang. Cukup "AGH!" saja nggak usah "aaaaaaaggggghhh....."
Karena banyak yang sudah di bahas di atas, saya langsung kasih nilai saja.
Nilai : 8
OC : Opi Sang Operator.
hm jumlah karakter membatasi (hehe ngelez). iya sih, lebih bagusnya diterangkan detail-detailnya, tapi nih aja aku edit habis cus melebihi taksiran >.<
Hapusoke deh, >.<
makasi nilenya n masukannya >.<
kalo nulis aku suka lebay dalam hal sfx itu >.<
Plotnya bagus, narasi cukup bagus, tapi biji wijennya juga kebanyakan.
BalasHapusBiji wijen rasa pertama itu adalah kata 'nya' yang berlebihan dalam 1 paragraf menurutku di beberapa paragraf awal seperti contoh ini:
"Cara pernapasan kera!" Ia kemudian tampak mengumpulkan konsentrasinya hanya untuk mengatur napasnya. Dipejamkannya matanya sejenak kemudian menarik napas panjang selama 5 detik dan menahannya selama 2 detik kemudian mengembuskannya dengan kencang selama 3 detik. Segera dibukanya matanya dan mulai memanjat.
Setelah dikurangi:
"Cara pernapasan kera!" Ia kemudian tampak mengumpulkan konsentrasi hanya untuk mengatur napas. Dipejamkan mata sejenak kemudian menarik napas panjang selama 5 detik dan menahannya selama 2 detik kemudian mengembuskannya dengan kencang selama 3 detik. Segera dibukanya mata dan mulai memanjat.
Tetap tidak mengurangi cita rasa 'kan?
Biji wijen kedua itu penggunaan em dash yang berlebihan, menurutku lagi :v ada beberapa bagian yang tidak perlu seharusnya~~~
Dan terakhir ini:
"Ng?" Gadis kecil yang suka "mengamati" berbagai jenis impian dalam kepala bantalnya itu bertanya-tanya begitu ia tiba di sebuah tempat yang sangat gelap pekat. "Di mana ini?" Ia melayangkan "pandangan"-nya, tapi tentu saja ia tak bisa "melihat" apa pun di sana.
Ratu Huban "melebarkan mata"-nya. "Hah?! Tega sekali mereka!"
Pertama kali dibaca, gw kira yang dalam tanda "~~~" itu dialog, eh ternyata bukan. Dan juga aku tak menemukan alasan penggunaannya.
Mungkin maksud dibuat gitu mau kek gini ya? Biasanya gw pake petik satu.
"Berhenti kau, keparat!"
"Keparat, katamu?" Dia mengulang kata 'keparat' dengan nada berat.
Sekian dari saya~ CMIIW~ :D
Overall 8
OC: Samara Yesta
biji wijen rasa pertama itu banyak orang bilang aku kelebihan vitamin 'nya' sejak tahun 2011 orang-orang bilang begitu n terulang lagi. >.< mungkin karena kebiasaan nulis begitu >.<
BalasHapusem dash-nya berlebihan ya? >.<
bukan mengulangi kata tapi tanda petiknya sebagai kiasan saja seolah-olah ratu huban melihat tapi kan dia tak punya mata. aku juga pernah pake petik tunggal, tapi kata EYD pake petik rangkap dua. kecuali kalo dalam petik rangkap dua, boleh ada petik tunggal, tapi tanda petik tunggal tak boleh ada tanpa petik rangkap dua, begitu kata mentor >.<
arigatou >.<
Mahesa... Mahesa... ♥
BalasHapusTulisannya rapih sekali, aku sangat menyukainya ♥ enak dibaca
Ghoul ini di cerita seperti manusia super yang agak melenceng dari Charsheet. Penggunaaan 'nya' itu bisa dikurangi lagi kok meski menggunakan PoV 3. Dan SFX itu memang selera pembaca
Yaahh sudah banyak diulas jadi cukup sekian #disepak
6 untuk Ghoul + 2 karena Mahesa tampan dan karakterisasinya bener bener Mahesa Werdaya
Total 8 ♥
OC Rea Beneventum
iya, aku kurang pintar bikin charsheet, bingung banget bikinnya T0T jadinya charsheetnya kacau banget n ga enak dibaca...
Hapusiya, kata orang aku kelebihan 'nya' dan 'itu' dalam tulisanku, tapi dah refleks aja ne jari kebanyakan cat kukunya...
kalo SFX (meski ga tahu apa kepanjangannya) memang dah budaya aku begitu, ikuti budaya sound efec manga punya...
I luv Mahesa >.< but I luv Ghoul too (my son), i luv Kaneki Ken, I luv Sui Ishida, I luv Tokyo Ghoul...
makasih kritikannya >.<
ceritanya yang enak dibaca walau partikel -nya dan sfx yang agak mengganggu. endingnya masih kurang sreg, apalagi bagian ghoul "mengambil nafas" milik Mahesa kan belum 100% dan Ghoul seperti kalah. tapi tiba-tiba Ghoul "bangun" dengan Ratu Huban di sampingnya dan Mahesa kena asma dari Ghoul. jadi ada missing link antar kedua kejadian itu.
BalasHapusnilai 8 dari saya
OC Nano Reinfeld
hm 'nya' itu ga sadar dah over nulisnya, ne kuku kebanyakan cat kukunya (ngeles) >.<
HapusSFX budaya spontanku >.< mang SFX apa si definisinya (meski dah bisa tangkap maksudnya)?
ending gantung dipake soalnya >.< itu karena Mahesa nyia2kan kesempatan tuk habisi Ghoul, terus Ghoul manfaatkan kesempatan itu tuk ambil napasnya muanya. tapi ga dibilang di teks agar mancing daya tangkap aja >.<
makasi kritikannya >.< i luv battle cus i am made from broken parts...
Ekspektasi awal: Baca cerita Kaneki Ken KW Super
BalasHapusKenyataan: Baca cerita dengan beberapa hal yang masih berusaha untuk dimengerti, terutama cara bekerja dari kemampuannya ghoul dan dua dokter itu.
Pembawaan udah lumayan, tapi ya elemen ceritanya masih membutuhkan waktu untuk dipahami sama saya. Tapi saya enjoy kok sama battlenya, dan karakterisasi Mahesa udah kuat, cuma si Ghoul-nya sendiri masih kerasa kurang.
Jadi saya kasih 8 deh.
Salam Sejahtera dari Zarid Al-Farabi mewakili Enryuumaru
hoho, kapan tuh sison 3-nya Haise Sasaki. duh KW >.<
Hapushm charsheetnya jelek soalnya, maaf deh. bingung rakit charsheet, masi newbie soalnya. jadi ga jelas charsheetnya ama cerpen jadi jauh beda kualitasnya.
i like Mahesa, duh Ghoul-nya kurang ya >.< charshetnya lemah, ancur kayak terjemahan lirik lagunya Unravel.
makasi kritikannya terutama soal charsheet hm >.<
Hmm ... pertama saya mau bicarakan soal em dash dulu. Em dash emang kece tapi jangan sampai terjebak untuk mengeksploitasinya padahal penggunaannya tidak terlalu perlu. Em dash itu normalnya——sesuai fungsinya——digunakan untuk menyelipkan penjelasan di dalam satu kalimat, seperti ini. Ketika bagian di dalam em dash-nya dihilangkan, susunan kalimatnya tentu masih utuh. Memang di dalam fiksi, fungsi em dash bisa sedikit bergeser. Kadang cuma sebagai penggayaan saja. Saya sih tak terlalu mempermasalahkan andai saja tidak terlalu over seperti yang terjadi di cerita ini. Banyak em dash yang sebenarnya tak perlu dipakai dan cukup diganti dengan koma (,) ataupun titik (.) kemudian dilanjutkan dengan kalimat baru. Total ada sekitar 61 em dash di sini. Coba dicek lagi.
BalasHapusAh iya. Untuk menyelipkan sesuatu di kalimat, seperti ini misalnya, penggunaan dua koma juga tidak salah. Jadi tidak melulu pakai dash~
Kemudian perhatikan lagi efektifitas dari setiap kalimat. Paling mudah terjebak itu di pengulangan yang tak perlu. Contoh:
Seolah mengerti aba-aba itu, para anjing itu kemudian serentak menyerangnya berbarengan.
^sudah serentak, ditulis pula berbarengan. Pakai salah satu saja :D
Lalu konsistensi penggunaan predikat:
"Tak mungkin!" Segera dicek-nya bibir tebing dan buru-buru mendekatkan tangannya ke gelang logam berwarna kuning tembaga berukir di tangan kanannya hingga muncullah sebuah busur dan anak panah secara otomatis.
Kata kerja pertama adalah diceknya (pasif) tapi langsung diikuti dengan mendekatkan (aktif). Kalau mau konsisten, mestinya kata kerja kedua juga pasif, yaitu didekatkan
Lalu masuk ke cerita, saya masih belum menangkap sesuatu yang kuat dari Ghoul ini seperti komentar author Zarid di atas. Oh iya, kalau butuh bantuan menyusun charsheet, panitia selalu siap memberikan konsultasi. Jadinya tak ada protes lagi dari pembaca yang mengatakan "tidak sesuai charsheet, nih!".
Yuk ikutan BoR6~
Ponten 7-
- hewan -
aku over em-dash juga. deg! >.< kebiasaan ngetik kalimat panjang jadi doyan ngeluarin jurus em-dash.
Hapusefektifitas kalimat ya? >.< over mungkin nulisnya sambil nyimeng cat kering. kelemahan berikutnya >.<
oke, ntar aku pelajari charsheet temen2 cus kurang referensi. maklum maba... sekalian kapan2 konsultasi charsheetnya biar ga blur lagi ama battlenya. freeze...
makasi senpai kritikannya >.<