EMOAR CYANITH
VERSUS
FATANIR
MIMA SHIKI REID
[Tantangan NV5]
VERSUS
FATANIR
MIMA SHIKI REID
[Tantangan NV5]
oleh: Dimas Pamungkas
---
[Hari Penghakiman]
Prolog
Ketika kubayangkan kembali neraka yang telah kulewati demi mencapai keadilan paling sempurna, rasanya sangat mustahil kalau ternyata sekarang aku masih hidup.
Benar, aku semestinya mati—jiwaku, ragaku, seharusnya sudah mati pada saat itu.
Aku tidak melebih-lebihkan, tidak juga mendramatisir apapun yang terjadi beberapa saat yang lalu. Meski hanya sebatas satu kedipan mata, semua yang kualami terasa seperti sebuah keabadian. Bagaikan mimpi, walau jika saja memanglah mimpi, aku yakin itu adalah mimpiku yang paling buruk.
… Atau bahkan paling baik.
Yang manapun itu, aku rasa siapa saja bisa menilai sendiri esensi apa yang sebenarnya kudapatkan. Meski aku mengatakannya sebagai keadilan paling sempurna, bukan berarti itu sempurna sepenuhnya. Atau mungkin lebih tepatnya, alat yang kugunakan itu sendirilah yang sempurna.
Aku tidak sempurna. Aku yang menggunakannya tidaklah sempurna. Sama sekali tidak.
Jadi, apabila ada suatu kesalahan yang kubuat—kumohon beritahu aku.
Karena aku menginginkannya.
Karena aku menginginkan kesempurnaannya.
Sebab, apa yang kurasakan setelah menutup tirai yang akan aku buka kembali ini—
—bagaikan memimpikan sesuatu yang semu.
***
Aku tidak ingat kapan dan di mana aku menutup mataku. Tanpa kusadari, aku sudah bermimpi.
Ya, aku tahu kalau ini adalah mimpi.
Itu karena saat ini, aku berada di sebuah ruangan yang tak seharusnya ada di duniaku tinggal. Tidak ada secercah memori di kepalaku yang mampu mengenali tempat ini.
Bagaimana caraku menggambarkannya? Perasaan ini… seperti sedang melihat mimpi orang lain.
Ada orang berkulit hitam tengah berburu rusa untuk keluarganya, ada suster berbalut perban tengah menangisi kepergian kekasihnya, dan lain sebagainya. Semua silih berganti sangat cepat hingga mataku tak mampu menangkap kembali apa yang ditampilkan.
Lalu tiba-tiba aku merasa mual.
Saat itu juga aku tahu bahwa aku tak semestinya berada di sini. Ini bukanlah tempat yang bisa ditinggali oleh manusia sepertiku.
Segera setelah aku mampu menemukan pintu yang warnanya hitam, aku bergegas keluar. Namun sebelum aku sempat menyentuh knop pintu, sesuatu menghalangi langkahku.
Sosok itu… malaikat? Atau iblis? Aku kurang bisa mencernanya. Dia memiliki senyum yang lembut, begitu juga menggoda. Aku tahu kalau itu tidak mungkin, namun dia seolah sedang menggunakan kedua ekspresi tersebut.
Aku yakin dia bukanlah manusia.
Tidak ada manusia yang hidup mampu melakukan sesuatu semustahil itu.
"Apa kau punya keinginan?"
Yang dengan menawan membisikkan hal yang membuat mataku terbelalak.
"Ke-Keinginan…?"
"Benar," balasnya yang kembali tersenyum. "Ini adalah sangkar yang mampu mengabulkan keinginan."
Di atas telapak tangannya terdapat sebuah sangkar kayu yang biasa saja, namun entah kenapa terpancar aura yang di luar akal.
Saat itu juga aku mengerti bahwa sangkar itu bukanlah sekedar sangkar belaka. Benda tersebut bisa kusebut sebagai relik yang tabu untuk manusia. Sangkar terlarang yang mampu mengurung segala pendosa di muka bumi.
Tapi…
"… Sudah kuduga kau akan—"
Aku menerimanya.
Aku meraih sangkar tersebut dari tangan sosok yang kukenal, namun tidak sekalipun pernah kutemui. Sangat aneh hingga aku sendiri tidak bisa memercayainya.
Ini adalah mimpi, dan aku memimpikan benda yang bisa mengabulkan keinginanku. Anak kecil saja tahu kalau itu hanyalah sebuah impian semu. Harapan yang selalu ada di alam bawah sadar manusia. Sebuah angan yang akan segera menghilang ditelan udara sedetik setelah aku terbangun. Meski begitu, dalam keadaan percaya tidak percaya, aku bertaruh pada kemungkinan bahwa ini bukanlah mimpi. Kenapa begitu?
Mungkin itu semua karena ada satu hal yang takkan pernah bisa kuperoleh di dunia ini.
Maka, aku menerimanya—sesederhana itu.
"Kau benar-benar mempunyai mimpi yang menarik."
Sedetik setelah aku menerima sangkar tersebut, segalanya tersedot begitu saja ke dalamnya. Pandanganku seharusnya berputar-putar, namun entah kenapa justru aku menjadi orang yang mengobservasi kejadian tersebut berlangsung. Bisa kulihat diriku dan semuanya memanjang dan menembus horizon, menjadi benang-benang tipis.
Hingga saat segalanya terhisap ke dalam sangkar itu, semua warna sirna, menciptakan ketiadaan yang gelap.
Emoar Cyanith
Musuh paling berbahaya yang ingin kukalahkan hanyalah satu, yaitu kejahatan.
Apapun yang sudah tercemar oleh kejahatan akan menjadi negatif dengan sendirinya, dan apapun yang negatif itu pasti tidak baik—berlaku juga sebaliknya. Keburukan demi kebaikan hanyalah alasan klise untuk seseorang menjustifikasi perbuatan busuknya. Mereka yang seperti itu harusnya membunuh diri mereka sendiri agar tidak menular.
Mereka semua harus mati.
Mereka semua semestinya musnah.
Tapi sebenarnya aku bukanlah penyuka kekerasan. Hanya saja, semuanya terasa seperti itu jika diriku tak mampu berbuat apa-apa selain mengutuk mereka. Dan hal itu sendiri adalah keburukan yang kumiliki.
Maka, aku tahu pasti bagaimana cara menghapus negativitas tanpa harus membunuh mereka.
Itu adalah—dengan membanjiri hati mereka dengan hal positif.
Kalau kupikir kembali, seperti itulah seorang anak tumbuh dewasa dengan bimbingan orang tua yang baik.
… Ah, aku salah—biar aku koreksi.
Seperti itulah seharusnya seorang anak tumbuh dewasa dengan bimbingan orang tua yang baik. Karena pada kenyataannya, aku jarang mendapati hal tersebut terjadi.
Bagaikan barang mahal, makanan mewah, bahkan jam antik—positivitas yang ditanamkan hanyalah terjadi pada anak-anak dari keluarga yang bermartabat, prestis, dan sejenisnya. Kami kaum menengah ke bawah selalu menelan pahit apa yang disebut sebagai negativitas.
Kau harus bisa membuat malu bocah bangsawan itu, atau, tidak ada gunanya sekolah kalau bayar biaya pendidikan saja tidak bisa. Seharmonis, seramah, selembut, secemerlang apapun senyum orang bawah, semuanya hanyalah topeng belaka. Di dalamnya, tersembunyi keirian hati yang menjalar hingga ke akar jiwa. Yang kemudian semua diwariskan pada anak, bahkan sanak-saudara.
Rantai negativitas tercipta—membentuk sebuah lingkaran setan yang terus terakumulasi dan tak lama kemudian akan meledak. Mengubah segala tatanan artifisial yang mereka ciptakan sendiri, yaitu topeng rapuh yang perlahan runtuh diguncang oleh realita kehidupan.
—Itulah kenapa aku memerangi kejahatan, musuh terbesar yang pernah kumiliki dan mungkin satu-satunya yang selalu ada di dunia.
Meski begitu…
"Anjay! Kok aku idup lagi?"
"Aku… di mana aku? Kenapa aku ada di tempat ini lagi?"
Meski begitu, apa hubungannya seorang bocah bergerigi emas di dada dan wanita yang mengenakan kaos bertuliskan 'Running Mama' ini dengan tujuanku memerangi kejahatan?
Apakah mereka orang jahat?
"Loh, ada si Emak lagi! Bukannya urusan kita udah kelar yak?" ujar Fata yang belum kuketahui namanya.
"Aku… juga tidak mengerti," balas Mima yang tak kukenal sama sekali.
… Eh? Sepertinya ada yang aneh?
Kami bertiga tengah duduk saling berhadapan yang terpisahkan oleh sebuah meja kecil berbentuk segitiga. Aku rasa ini adalah sebuah kafe—dan itu tidak penting. Maksudku, kenapa aku ada di sini?
"Terus lu, iya elu, siapa lu?" tunjuk Fata kepadaku. "Emoar Cyanith, siapa lu? Siapa nama elu?"
"E-Eh? A-A-A…"
Kenapa dia menanyakan namaku selagi dia sudah bisa menyebutkannya? Dari awal, kenapa dia bisa tahu namaku?
"Ah," adalah yang kemudian keluar dari mulut Fata. "Jadi nganu toh. Paham aku sekarang."
Mendengar Fata, Mima langsung angkat bicara. "Tahu apa kamu?"
"Tahu sumedang enak keknya, ada nggak di sini?"
"Kamu benar-benar tidak berubah, setelah semua yang terjadi. Masih saja jadi bocah kurang pendidikan."
"Wah, Mak, nyolot amat ngomongnya. Sante aja nape! Lagian nih ya, apa untungnya aku ngasih tau ke lu semua coba? Nggak ada!"
Untung? Jadi ada juga kerugian? Apa yang sebenarnya terjadi hingga mereka atau mungkin bahkan aku, berada di posisi seperti itu? Kalau tak salah…
Apakah kau ingin mengalahkan musuh paling tangguh bagimu?
"Ah!"
"Hooo, kayaknya nih anak surem lebih pinter dari si Emak," seloroh si gimbal yang bernama Fata itu. "Gampangannya nih ya, kita semua lagi ada di dimensi yang mirip kayak Alforea."
"Ma-Maksudmu ini Battle of Realms? Bagaimana bisa? Bukankah kita sudah—"
"Siapa juga yang bilang kalau kita lagi ngeBoR? Aku cuma bilang mirip, mirip! Masa gitu aja nggak paham?"
"Jadi kita sedang berada di dalam pertempuran, tetapi masih misterius siapa yang menyelenggarakannya?"
"Nah itu ngerti si Emak. Aku juga nggak tau siapa yang kumpulin kita ditambah cewek surem ini. Tapi awalnya aja sih. Sekarang aku paham banget dan kayaknya kita kudu berantem lagi deh Mak."
"Bertarung lagi? Jadi sederhananya, ini adalah sesuatu yang mirip dengan Battle of Realms, minus tidak adanya penjelasan atau setidaknya kehadiran panitia turnamen. Tidak ada Tamon, Syana, Kairos. Artinya—"
"—ada eksistensi lain yang punya kekuatan mirip mereka itu dan bikin turnamen baru," sambung Fata. "Ah aku lupa bilang kalau aslinya kita juga udah ketemu sama panitianya kok!"
"Kapan? Di mana?"
"Inget nggak sebelum di kafe ini, lu semua ada di mana?"
"Sebelum di sini aku ada di… ah!"
"Nah, gampang kan Mak mikirnya? Makanya jangan suka nyolot dulu!"
Maksud Fata adalah mimpi.
Sebelum ini aku bermimpi, dan itulah satu-satunya hal teraneh yang kualami. Artinya, diriku yang berada di kafe yang tak familier bersama dengan orang-orang yang tak kukenal ini pasti disebabkan oleh hal tersebut. Karena keganjilan hanya akan terlahir dari keganjilan lain.
"Jadi mimpi apa lu?"
"Aku mimpi bertemu dengan sesosok berwajah bantal dan menanyakan apa aku ingin melawan musuh paling tangguh apa tidak."
"Trus lu jawab apa?"
"Saat itu aku bermimpi Philla sedang diculik komplotan desertir SWAT dan dijadikan sandra. Tentu saja aku mengiyakan karena aku ingin menyelamatkan Philla. Tapi entah harus lega atau khawatir, aku malahan bertemu lagi denganmu."
Fata melengos. "Ebuset, ngeremehin amat lu!" Sebelum kemudian dia menatapku. "Trus lu mimpi apa?"
Mima juga beralih menatapku, membuatku gugup. Mata keduanya begitu tegas hingga aku merasa terancam. Rasanya seperti keselamatan nyawaku di hadapan mereka yang dari tadi membicarakan soal 'pertarungan' ini bergantung pada jawabanku.
"A-A-A…" tidak kuselesaikan dan kembali diam.
"Au au, gagu ya lu?"
"Hei, kamu Emoar, kan? Kamu tidak punya kapasitas untuk bicara, kah?"
Apa yang sebaiknya kulakukan? Haruskah aku bicara? Kalau iya, apa yang semestinya kukatakan?
Untuk sementara, aku menggeleng saja.
"Bisu ini cewek surem!"
"Hus! Tidak boleh begitu. Yang sopan, Nak."
"Bawel lu."
"Lalu?"
"Apaan?"
"Lalu bagaimana denganmu, Fata. Kamu mimpi apa?"
"Mau tau aja apa mau tau bingit?"
"Eh?"
"Perlu ya aku jawab pertanyaan lu?"
"A-Apa maksudmu, Fata?"
"Lu pikir aku mau aja gitu sebarin informasi kayak orang bloon? Ini medan perang! Ngapain juga harus kasih lawan keuntungan pakai informasi tambahan?"
"Bukannya kamu sendiri tadi yang menjelaskan semua? Pertarungan, mirip Battle of Realms, dan sejenisnya?"
"Oh… ntu mah cuma praduga aja! Makanya aku ciptain sendiri cocoklogi biar bisa diterima logika kalian terus jadi percaya ma omonganku, dan mengorek informasi dari lu. Sayang banget si gagu ini ga bisa bicara, padahal kali aja aku bisa tahu kelemahannya dari ceritanya."
Dan karena itulah aku memilih diam dan dianggap bisu.
Jika aku berada di sini, ada di tempat di mana aku melawan musuh yang paling tangguh, artinya salah satu dari mereka atau bahkan keduanya adalah kejahatan itu sendiri. Tak mungkin aku membantu kejahatan.
"Kamu…Kamu menipuku, Fata?"
"Nipu? Siapa? Salesman abal-abal?" balas Fata seraya mengupil. "Denger, ye. Aku cuma tanya dan lu jawab, bagian mana dari itu yang disebut nipu? Yang bener aje!"
"Kalau begitu kita memang haruslah bertarung tanpa basa-basi lagi…"
"Yap, bener banget! Buat apa ngobrol kalau pada akhirnya lu mati juga?"
Sebelum kemudian, suasana kafe mendadak senyap.
Terlambat membaca situasi, aku terhentak jatuh dari kursiku karena tergesa-gesa mundur kala Mima menggebrak meja yang entah bagaimana bisa terpental ke arah Fata.
Sakit di pantat tidak menghentikanku melihat si Kribo yang dengan lihai merendahkan tubuhnya, menghindari serangan Mima. Layaknya gerakan lambat di dalam film aksi, kuperhatikan Fata sedang melafalkan sesuatu dan tiba-tiba saja terkonstruksi roket jauh di atas kecepatan gerak mereka berdua. Spontan, roket itu menyala dan mendorong Fata yang kemudian menyundul perut Mima.
"KURISTIANO!"
"Ukh!" Mima hanya bisa mengerang kesakitan dan terlempar.
"Eits, hampir aja kelupaan," ucap si Kribo tenang seraya menghampiriku. "Sebelum makan besar, harusnya ke makanan pembuka dulu."
Mata tajamnya yang dihiasi oleh senyum santai begitu dingin menusuk, memaku diriku hingga tak mampu menggerakkan jemari sedikitpun
"Hentikan!"
Untung saja aku diselamatkan oleh Mima yang dengan cepat menendang Fata. Hentakan kerasnya membuat bocah itu mencelat dan jatuh di atas meja.
"Kamu tidak apa-apa? Tidak ada yang luka, kan?"
Tubuh Mima yang meminjamkan bahunya terasa hangat, meyakinkanku kalau ini bukanlah mimpi. Namun karena aku tidak terbiasa dengan pertolongan dari orang lain, aku hanya menggeleng saja.
"Aduduh… Lu apa-apaan sih, Mak! Itu kan musuh lu juga, ngapain dibantu segala ya elah bego ko pake telor!"
"Kamu yang apa-apaan! Kalau ini seperti turnamen lalu, artinya ada kemungkinan Emoar bukanlah petarung seperti kita! Apa jadinya kalo dia ternyata orang seperti Kana?!"
Sejenak Fata diam seolah baru saja tersentak.
"Mana adaaaaaa?! Semuanya kan udah ancur, semuanya udah kereset, tombolnya udah 'cetut', aku pencet! Harusnya kan—"
"Justru itu, Fata. Kalau ini mirip turnamen terdahulu, artinya kamulah musuhku. Lalu dia? Apa kamu kenal gadis ini?"
"Lah gimana sih, Mak!" ketus si Kribo. "Kita kan pernah kenal nih ye, pernah musuhan, rampung juga cerita tarung kita, makanya aku bisa nyantai dan yakin kalau nggak ada yang lebih bahaya dari lu! Justru aku yang nggak tahu identitasnya itulah yang malah bahaya, karena aku nggak tahu sama sekali kapasitas sebesar apa yang bisa ni cewe lakuin!"
Aku melongo mendengar percakapan mereka.
Maksudku, aku sendiri bahkan tidak tahu kapasitasku seperti apa. Jangankan bertarung, nilai olahragaku saja selalu di bawah rata-rata. Lalu apa yang membuat Fata begitu waspada terhadapku? Apa itu bentuk pengalamannya sebagai petarung?
"Mak, dengerin nih ye," tiba-tiba suara Fate membuyarkan pemikiranku. "Ngerasa aneh nggak kenapa kita tahu nama die padahal kenalan aja kagak? Aku yakin tuh cewek juga tahu nama kita. Artinya, dia juga sama kek kita—petarung!"
"Yang intinye, kudu aku hajar pake bogem ini!"
Dengan tinju roketnya, si Kribo meluncur. Namun sekali lagi, Mima dengan teknik khusus petarungnya mampu membelokkan laju luncuran Fata. Si Kribo kini menabrak atap kafe ini, terhempas di udara.
"Anying! Batu juga ini si emak-emak! Ashura!" serunya seraya berputar-putar. Di bahunya termaterialisasi sebuah benda berbentuk bazoka yang langsung meluncurkan roketnya. "Kalau gitu aku hajar aja dua-duanya!"
"Gawat!" seru Mima yang langsung menarik tanganku. Tapi reaksi gerakan kami terlalu lambat. Ditambah, Mima punya beban yaitu diriku yang kakinya masih kaku.
Alhasil, ledakan yang begitu dahsyat terjadi sangat dekat, menghempaskan tubuhku dan juga bebatuan yang melukaiku. Suaranya yang keras memekakkan telingaku.
Sakit.
Detik itu juga aku tahu kalau sebentar lagi ajal akan menjemputku.
Apakah ini?
Apakah ini akhirku?
Tanpa melakukan apapun, tanpa bergerak sedikitpun, tanpa mengutarakan apa yang ada di dalam pikiranku sekalipun.
Kalah begitu saja tanpa perlawanan berarti.
Bagaikan seonggok lalat yang membusuk di pinggir tong sampah.
Dan sosok itu adalah aku yang dikalahkan oleh kejahatan.
Apakah aku akan membiarkannya begitu saja?
Tentu saja—
"Tidak akan!"
Mana mau aku mengalah pada kejahatan?
Tapi bagaimana? Bagaimana caraku menang? Bagaimana aku bisa mengalahkan kejahatan?
Aku—
"Apa kau punya mimpi?"
Saat itulah suara tersebut berkumandang di ruangan serba putih—untuk yang kedua kalinya.
Sosoknya berdiri di hadapanku yang tengah berbaring di lantai, bersimbahkan darah.
"Si-Siapa?" Dan baru kali ini saja aku bisa mempersepsikan wujudnya yang berupa gadis kecil berkepala bantal. "…Melainkan, kamu itu apa?"
"Aku adalah Ratu Huban, Sang Pencipta dunia yang baru saja kamu singgahi sepuluh detik yang lalu."
"Jadi aku sudah benar-benar mati, ya?"
"Kamu belum mati. Kamu masih hidup. Mimpimu masih hidup. Atau aku salah sangka sahaja?"
"Kalau semuanya seperti itu, artinya tidak ada yang benar-benar mati di dunia ini. Apa aku harus tertawa di sini?"
"Kenapa kamu harus tertawa? Memang begitulah kenyataannya. Roh mereka yang telah tiada pergi ke dunia mimpi. Surga dan neraka tercipta dari imajinasi mereka sendiri sejenak sebelum mereka mati. Bagi pendosa, logika mereka pasti akan menghasut diri sendiri menuju ke neraka, begitu juga orang baik, akan percaya kalau surga menanti mereka—meski sebenarnya surga dan neraka hanyalah ada di dunia mimpi. Itulah rahasia keduanya."
"Rahasia, eh?"
"Jangan ragu. Coba rasakan sendiri, sebagaimana dirimu yang cukup berbeda denganmu yang tidak pandai berbicara. Inilah kamu yang sebenarnya. Apa yang kamu sembunyikan hingga dirimu melupakannya. Kamu pasti tidak ingat, tapi aku tahu kalau kamu terpaksa untuk menjadi orang pendiam dan suram."
"Begitukah?"
"Ya, begitu."
"Ah, aku lupa bertanya. Apakah kamu juga yang memberiku sangkar itu?"
Ratu Huban memiringkan bantalnya. "Sangkar?"
"Iya, sangkar ini."
Aku mengeluarkan sangkar yang berasal entah dari mana dalam genggamanku. Ratu Huban langsung menggeleng dengan yakin.
"Sangkar itu bukan pemberianku."
"Kamu mengenalnya?"
"Tidak. Tapi aku tahu siapa dan apa sosok itu. Dan aku yakin eksistensinya tidak penting untuk saat ini selain jadi pemberi kekuatan."
"Kekuatan?"
"Apa kamu lupa dengan apa yang dia katakan dalam ruangan putih ini?"
Lupa…Tentu saja tidak. Dia berkata—
"Apa kau punya keinginan?"
"Ah…"
Pada detik itu juga rantai pemikiran mulai tercipta dan saling menyambung dalam kepala. Membentuk sebuah kesimpulan yang membuatku tersenyum.
Lalu aku kembali beralih ke si Kepala Bantal.
"Hei, Ratu Huban. Apa tujuanmu mendatangiku di sini?"
"Kamu pasti sudah tahu jawabannya, kan?"
Dengan itu, Ratu Huban mulai berjalan riang meninggalkanku. Langkahnya tampak ringan seakan tampak bahagia.
Tapi itu bukan urusanku.
Ya, yang harus kulakukan sekarang adalah kembali ke dunia itu untuk ronde kedua.
—Tidak. Mungkin bisa jadi, ini adalah awal dari rentetan pertarungan tanpa akhir.
Maka dengan ini, aku menciptakan senjata terkuat untuk menghancurkan musuh terbesarku.
Aku akan merangkai sebuah perangkat di mana kejahatan musnah di dunia ini. Sesuatu yang dengan leluasa mampu menghapuskan negativitas dalam hati manusia. Hal yang bisa kugunakan untuk menampilkan segala perbuatan buruk para pendosa agar mereka tahu betapa kejinya tindakan mereka.
Aku akan menciptakannya—dan itu adalah…
[Hari Penghakiman]
Tiba-tiba, ruangan putih ini hancur berkeping-keping. Serpihan-serpihannya mulai membentuk benda yang berbeda-beda, bahkan menyembuhkan tubuhku yang penuh lubang—kembali seperti semula.
Hingga ketika aku bisa berdiri tegap, ruangan putih ini sudah berubah menjadi tempat yang kusebut sebagai ruang persidangan. Sangat megah hingga membuat jiwaku bergejolak senang, membara ketika melihat banyaknya penonton yang duduk di kursi-kursi panjang itu.
Termasuk mereka.
Fatanir.
Mima Shiki Reid.
Kedua orang yang akan kukirim ke hari penghakiman akhir.
Merentangkan tangan seakan aku hendak meraih segala keadilan yang ada dari semua dimensi, aku menyerukan kalimat yang menggema di ruangan ini.
"Mari kita lihat, kebusukan apa yang akan muncul dari dalam diri kalian wahai para pendosa!"
Mima Shiki Reid
Saat Ratu Huban menanyakan siapakah musuh paling tangguhku, tentu saja Fatanirlah orangnya.
Setelah terlelap, aku mendapatkan segala memori tentang Battle of Realms, apa yang terjadi kala aku sudah kalah mulai membanjiri kepalaku. Fatanir yang menciptakan dunia semu, Fatanir yang mereset segalanya, dan Fatanir yang lenyap dari dunia baru.
Dunia tanpa Fatanir tercipta di akhir kisahnya.
Segalanya telah usai.
Seharusnya, pertempuran itu tidak akan terjadi lagi. Tapi sekali lagi, aku dihadapkan pada Fatanir yang kurasa juga mengalami hal yang serupa denganku—bertemu dengan Ratu Huban. Ditambah, kini ada gadis baru yang tak kukenal namun kuketahui namanya.
Fatanir bilang itu ada sangkut-pautnya dengan turnamen baru, yang artinya, gadis kurus berambut hitam berantakan bernama Emoar Cyanith itu adalah peserta juga.
Meski begitu, sulit untuk bisa percaya kalau gadis serentan dia adalah seorang petarung. Saat aku menolongnya tadi, tangan Emoar terasa dingin. Kulitnya empuk sekali dan tubuh gadis itu sangatlah ringan, hingga aku sempat mengira kalau dia adalah bayi.
…Tadinya.
Karena apa yang ada di hadapanku sekarang—
"Mari kita lihat, kebusukan apa yang akan muncul dari dalam diri kalian wahai para pendosa!"
—adalah bukti konkret bahwa Emoar Cyanith adalah seorang petarung.
"Wah gila aku kena tipu! Ternyata si surem itu bisa bacot juga!"
Aku bisa mendengar suara Fatanir berada di dalam kerumunan kursi pengunjung.
Saat ini, kami bertiga berada di dalam ruang sidang. Ramainya pengunjung yang duduk di kursi jati antik tampak cukup antusias. Hadirnya semua perangkat umum dalam persidangan juga sudah membuat atmosfir mulai memanas. Ditambah, sosok Emoar yang tidak duduk bersama kami—melainkan di sayap kiri ruang persidangan. Gadis yang sekarang tampak penuh percaya diri itu menatapku tajam dengan senyum sinisnya.
Yang dengan puasnya berkata, "Sudah saatnya kalian para pendosa dihakimi!"
Lalu, pintu yang beberapa meter ada di sebelahnya terbuka. Semua pengunjung mendadak bisu, seakan mengiringi datangnya tiga pria berjubah hitam dengan nyanyian kalbu. Hingga saat ketiganya duduk di meja tengah yang ada di ujung depan sana, ruangan ini mendadak hening seperti makam.
Dengan suara yang tegas dan entah kenapa terdengar enigmatis, pria yang di tengah berkata, "Sidang pengadilan akhir dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum!"
Tiga ketukan palunya cukup menggetarkan jiwa. Lalu tanpa berlama-lama, pria yang kutangkap sebagai Hakim Ketua itu melanjutkan kalimatnya. "Apakah terdakwa siap untuk dihadirkan pada sidang hari ini?"
Emoar Cyanith, yang ternyata merupakan jaksa pada sidang hari ini kembali tersenyum. "Ohoo, jadi begitu caranya." Kemudian gadis itu mengangguk. "Siap Yang Mulia."
Saat itu juga, sebuah layar proyektor yang sangatlah besar perlahan turun di belakang Emoar.
[Terdakwa akan dipilih secara acak.]
Perlahan, tulisan tersebut menghilang dan digantikan oleh sebuah foto dengan nama yang tercantum di bawahnya.
[Mima Shiki Reid.]
Layar tersebut mengukirkan namaku di dalamnya—sebagai terdakwa.
…Terdakwa? Kenapa?
[Selain terdakwa, peserta bebas memilih menjadi pengunjung atau pengacara hukum. Sidang akan dimulai setelah peserta memilih, atau setelah satu menit berlangsung. Jika perserta tidak memilih, maka peserta akan ditetapkan sebagai pengunjung atau pengacara secara acak. Siapapun tanpa terkecuali, harap menjaga ketentraman persidangan agar terhindar dari kerusuhan dan kekerasan. Sanksi yang tegas akan dijatuhkan pada pihak terkait pelanggaran.]
Jadi kita tidak boleh bertarung fisik di sini?
[Sidang akan segera dimulai.]
Namun seolah tidak memedulikan kekhawatiranku, tiba-tiba saja aku sudah duduk di tengah ruang persidangan dan menjadi pusat perhatian.
xxx
Tanpa menanyakan apakah aku ingin didampingi pengacara atau tidak, Hakim Ketua sudah mempersilakan jaksa untuk membacakan surat dakwaan. Di sayap kanan, bisa kulihat pengacara yang tak kukenal tengah membuka-buka dokumen. Dia bukan Fatanir, artinya anak itu antara tidak memilih dan berakhir menjadi pengunjung atau dia memanglah memilih posisi itu.
Di sayap kiri, Emoar berdiri mantap dan mulai mengeluarkan sebuah kertas yang entah dari kapan dia persiapkan. Aneh, aku sendiri tidak tahu bukti atau saksi apa saja yang sudah kupersiapkan untuk membantuku.
Bahkan dari awal, aku tidak tahu apa yang sudah kulakukan sehingga aku pantas untuk duduk di kursi para pendosa ini.
"Dakwaan terhadap manusia yang bernama Mima Shiki Reid, umur 33 tahun. Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Akhir…"
Apa-apaan ini?
"…bahwa Terdakwa, Mima telah melakukan kejahatan pada umat manusia di sepanjang hidupnya."
Surat dakwaan macam apa ini?
"Demikian surat dakwaan ini dibacakan."
Bukankah itu sangat ambigu?
Terlebih, Hakim Ketua bertanya apakah aku mengerti dengan dakwaan atau tidak. Tentu saja tidak. Alih-alih kepadaku, seharusnya dia menanyai Emoar—mengapa surat dakwaannya se-absurd itu?
Yang malahan, Hakim Ketua mengizinkan ketika Emoar berkata, "Setelah ini saya akan menjabarkannya secara detail, Yang Mulia."
"Tapi bukannya itu aneh dan tidak adil?"
"Bicara apa kamu? Ini adalah Pengadilan Akhir dan kamu sebut tidak adil? Jangan bercanda!"
"Mana ada ini Pengadilan Akhir! Ini kan buatan—ah!"
…Jadi begitu.
Aku mengerti sekarang. Tentu saja tidak adil. Itu karena, keseluruhan persidangan yang terjadi di tempat ini adalah ciptaan Emoar. Kenyataan bahwa dia adalah Jaksa Penuntut dan aku adalah Terdakwa itu sendiri sudah bisa menjadi bukti konkretnya.
Maka, tentu saja segala prosesinya akan lebih tidak menguntungkanku.
Tidak adil.
Aku sudah berada dalam zona musuh, tentu saja aku tidak diuntungkan. Jadi aku hanya bisa menerimanya.
"Saya sudah mengerti, Yang Mulia."
Barusan aku hanya memastikan dua hal: sejauh apa prosesi bisa melenceng dan seberapa adil persidangan ini. Keduanya sudah cukup terjawab dan kurasa sekarang adalah inti pertarungannya.
Maka, Hakim Ketua mempersilakan Emoar untuk memulai. "Terima kasih, Yang Mulia," balas Emoar.
"Langsung saja, dakwaan pertama adalah kelalaian Mima Shiki Reid akan tugasnya sebagai seorang Ibu di sepanjang turnamen Battle of Realms. Siapapun juga tahu kalau ibu rumah tangga seharusnya merawat dan mengedukasi anak dengan baik. Lalu apa yang Terdakwa lakukan? Dia malah menyerahkan tugasnya tersebut pada sang ayah, Weasel, dan bertualang liar di dunia pararel multidimensi itu."
"Bagaimana Terdakwa? Apakah ada eksepsi?"
"Tidak, Yang Mulia."
"Pengacara hukum?"
"Tidak, Pak Hakim."
"Kalau begitu, sidang akan dilanjutkan pada sidang pembuktian."
Bila dipikir-pikir, seberapa kompetenkah pengacara yang disandingkan untukku? Tapi karena ini persidangan ciptaan Emoar, aku pasti disudutkan oleh semua pihak.
Meski begitu, aku tetap bertanya pada pengacara hukumku, "Apa kita bisa menang?"
"Persidangan di tahap ini sulit dimenangkan. Kita pikir bagaimana caranya mengurangi tuntutan saja."
"Begitu ya," balasku tak terkejut. "Tapi menurutmu bagaimana? Maksudku, prosesi persidangan ini cukup aneh, kan? Lalu dakwaan jaksa itu juga tidak wajar."
Kali ini, pengacara tersebut melirikku remeh. "Bicara apa kau? Persidangan itu ya seperti ini. Kau kalau tidak tahu jangan asal mengklaimnya."
…Jadi begitu.
Aku mengerti sekarang. Ya, aku mulai memahami karakter—tidak, mungkin lebih tepatnya khuluk—dari kemampuan Emoar, [Hari Penghakiman] ini.
Sederhananya, semua yang ada di tempat ini adalah manifestasi dari apa yang disebut sebagai Emoar Cyanith.
Pengadilan ini diciptakan berdasarkan apa yang diinginkan Emoar, sekaligus yang dia ketahui. Itulah kenapa segala prosesi, sikap serta cara pandang seluruh staf, dan kepemihakan terasa tidak wajar dan menyudutkan.
Sekalipun begitu, dengan segala kesempatan yang sangat tidak menguntungkanku ini, aku harus menang.
Atau itulah yang ingin aku ucapkan dengan lantang bila saja—
"Untuk sidang kali ini, saya hanya akan menghadirkan bukti, Yang Mulia. Berupa tayangan ini."
—gadis itu tidak menampilkan dua buah layar video yang berbeda.
"Apa ini Jaksa Penuntut?"
"Ini adalah dua rekaman yang menjadi bukti tindak kriminal Terdakwa, Yang Mulia."
"Bisa dijelaskan apa yang terjadi di sana?"
"Di layar pertama bisa kita lihat perjalanan Terdakwa dalam turnamen Battle of Realms kelima. Sedangkan di sisi kiri adalah kehidupan sehari-hari anak-anaknya, Orlick dan Philla."
Segala hal yang kulakukan mulai dari sebelum memulai turnamen hingga berada di tengah-tengahnya terpampang jelas di layar itu. Detail-detail kecil seperti percakapan ringanku dengan peserta yang berbeda-beda bahkan juga ada di sana, sama persis dengan kenyataannya. Lalu di sebelahnya, terekam jelas kehidupan sekolah Orlick dan Philla yang seperti biasanya.
"Lalu di mana letak permasalahannya?"
"Mohon bersabar menunggu, Yang Mulia. Sebentar lagi pertunjukannya akan dimulai."
Di layar pertama terdapat diriku yang tengah beristirahat di tengah pertempuran. Aku masih ingat betul apa yang kupikirkan saat itu—layaknya monolog dalam sebuah film—dengan pipi yang berat bernostalgia, merindukan anak-anakku.
"Aku ingin tahu apa yang sedang mereka lakukan sekarang. Sudah malamkah? Atau mereka baru saja bangun? Aku ingin melihat senyum mereka lagi…"
Di saat yang bersamaan, bisa kulihat Philla baru saja masuk ke toilet sekolahnya. Langkahnya terhenti ketika segerombolan anak lain seakan tengah menunggunya di sana.
"Masuk."
"A-Aku cari toilet lain sa—"
"Masuk!"
Enggan, Philla terpaksa masuk ke dalam toilet itu.
"Kamu tahu salahmu apa?"
"Ti…Tidak."
"Pakai pura-pura lagi!"
Sedetik kemudian, gadis itu menendang Philla hingga jatuh tersungkur. Membuatku refleks hampir berdiri, jika saja pengacara hukum tidak menahanku.
"Tenang dulu. Ingat, ini persidangan. Apa yang ada di sana sudah terjadi dan kau takkan bisa mengubahnya."
"Ta-Tapi, bagaimana—"
Bagaimana bisa itu terjadi?!
Apa yang ada dipikiran anak-anak itu hingga mereka seakan punya hak untuk menyiksa Philla secara bergantian?!
"Jangan sok jadi pahlawan, mentang-mentang ortunya polisi!"
"Kecil aja belagu!"
"Segini doang anak polisi?"
Namun seolah sedang mendengar pertanyaanku, mereka menjelaskan sendiri garis besar situasinya. Mungkin singkatnya, Philla melakukan sesuatu yang heroik namun tidak disukai gadis-gadis tersebut. Itulah mengapa mereka melakukannya.
Sekalipun begitu, aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Duduk di sini, dengan keringat yang terus mengucur aku hanya mampu menggigit bibir seraya mengepalkan tangan hingga berdarah. Kepalaku terasa pening ketika melihat Philla yang sudah bergeming di sudut toilet dengan rambut berantakan.
Aku tidak ingin melihatnya. Tapi entah kenapa aku merasa ingin melihatnya. Aku ingin memastikan keadaan Philla. Aku sangat ingin menolongnya. Namun—
"Mommy…"
—semuanya sudah terlambat. Aku tidak bisa, karena segalanya terjadi di masa lalu.
"…Uuuuh."
Spontan, sensasi menusuk menyerang dadaku.
Tapi semuanya tidak berhenti sampai di situ. Apa yang terjadi selanjutnya telah menghancurkan sesuatu dalam diriku.
Di hari selanjutnya ketika gadis-gadis tersebut menyuruh gerombolan pemuda untuk membawa Philla ke bangunan kosong, seketika itu juga hatiku remuk—tercerai-berai.
Inikah yang terjadi ketika aku absen dalam kehidupan mereka?
"Mommy… tolong Philla, Mom…"
Rintihan Philla semakin menyesakkan dada. Tubuhku terasa mendidih dan sudah tidak bisa tenang lagi.
Oleh karena itu aku berteriak, "Hentikan!"
Semua orang terkejut mendengarku, termasuk Emoar, yang sesaat kemudian kembali tersenyum.
"Ah, tentu saja, ini sangat tidak layak tayang. Video ini akan saya serahkan pada Yang Mulia agar bisa diinspeksi lebih lanjut bila diperlukan."
"Apakah ada pertanyaan Terdakwa yang ingin ditujukan perihal bukti tersebut?"
Mulutku sudah terbuka, namun pengacara hukum menghentikanku. "Saat ini kau gusar, sebaiknya serahkan padaku saja."
"Jaksa Penuntut," mulainya. "Apakah benar video bukti tersebut adalah asli dan bukanlah rekayasa saja?"
"Tentu saja asli. Ini adalah bukti video yang berasal dari Catatan Akasha yang tersimpan di perpustakaan rahasia dunia. Hakim Ketua bisa mengeceknya sendiri."
Emoar menyerahkan tape video kepada mereka dan diperiksa bergantian oleh ketiga hakim. Terjadi percakapan tertutup antara para titisan keadilan itu, sebelum kemudian Sang Ketua mulai menyuarakan kesimpulannya.
"Ini adalah bukti asli dari Catatan Akasha."
Mendengar itu, pengacara hukum menelan ludah. "Itu saja pertanyaan saya, Pak Hakim." Yang tentu saja membuatku tidak terima. Lagi pula dari awal, bagaimana Emoar bisa mempunyai bukti semenguntungkan tersebut?
"Itu adalah bukti yang paling kuat di antara segala bukti. Kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Di mana dia mendapatkannya, bukan lagi jadi permasalahannya di sini," jelasnya.
"Kalau begitu aku ingin Philla datang sebagai saksi korban! Tidak mungkin itu terjadi! Ini semua hanya rekayasa belaka! Aku yakin Philla pasti akan jujur padaku."
"Sebenarnya aku sudah mempersiapkan Philla sebagai saksi. Tapi aku rasa itu tidak perlu."
"Eh?"
Suara Emoar membuatku sejenak tersentak. "Apa maksudmu? Apa kamu takut kalau buktimu akan hancur?"
"Tidak, bukan itu." Namun dia menggeleng. "Justru, aku takut kalau hatimulah yang akan hancur."
Aku terbelalak, tapi hanya sesaat saja. Ya, pasti barusan itu hanya gertakan belaka. Karena memang tidak mungkin hal sekeji itu terjadi di saat aku tidak bersama mereka. Maksudku, apa yang Weasel lakukan? Aku yakin dia bisa melindungi Philla jauh lebih baik dariku.
"Aku tidak keberatan. Aku ingin dengar langsung dari Philla."
"Baiklah kalau begitu. Yang Mulia, bolehkah saya?"
"Silakan, untuk segera menghadirkan saksi korban."
Dua orang petugas mulai meninggalkan ruangan. Sementara, ruang persidangan menjadi sedikit ramai dengan bisikan. Bahkan aku bisa mendengar Fatanir teriak-teriak.
"MAK, JANGAN MAK! ADUH KO BEGO DIPELIHARA SIH! JANGAN MAK, APA TUJUANNYA PULAK?!" Sebelum kemudian Hakim Ketua menyuruhnya untuk tenang.
Apa makasud Fatanir?
Tujuan apa yang kumiliki dengan menghadirkan Philla di sini—itu yang dia tanyakan?
Tentu saja… apa?
Apa yang ingin kulakukan? Tunggu. Kenapa aku jadi tidak mengerti lagi begini?
Namun sebelum aku sempat mendapatkan jawabannya, pintu yang terbuka dan menghadirkan sosok Philla tersebut membuyarkan pikiran itu.
Philla ada. Philla ada dan tampak sehat—sama sekali tidak tersakiti. Tubuh mungilnya yang kemudian duduk di tengah pengadilan itu jelas-jelas Philla. Tidak salah lagi, kebenarannya akan terkuak di sini. Bahwa apa yang ditunjukkan Emoar hanyalah kepalsuan belaka.
Oleh karenanya, setelah Hakim Ketua menanyakan kebenaran dari Philla, tentu saja dia pasti akan menjawab kalau video tersebut adalah rekayasa—
"Benar, Yang Mulia. Semua yang terjadi di dalam video itu adalah kebenarannya."
—atau tidak.
Ah… aku mengerti sekarang.
Jadi begitu, ya?
Jadi itu yang aku cari dari kehadiran Philla di sini.
Tajam tatapan matanya, tegas dan jujur kalimatnya, ketegaran kuat di balik tubuh kecilnya, dan keberanian tiada tanding yang menyokong semua yang dimilikinya. Seakan dia adalah cerminan diriku—tidak, Philla memang cerminan orang tuanya. Karena seperti itulah pembentukan pribadi seorang anak.
Perasaan yang muncul kembali ini, keinginanku untuk melindungi keluargaku, anak-anakku—melindungi diriku sendiri—adalah apa yang kucari di dalam situasi ini.
Ya, sebenarnya aku sudah memahami kalau hal itu benar-benar mungkin terjadi.
Sekali, aku pernah tersesat ke dalam sebuah permainan untuk menghibur diriku sendiri. Dalam proses itu tentu saja ada kalanya aku melupakan keluarga yang kucintai, dan hal tersebut sangatlah salah.
Ini adalah salahku.
Ini adalah buah hasil dari kelalaianku sendiri.
Keegoisanku.
Aku bahkan tidak tahu kapan turnamen tersebut akan usai, padahal Philla dan Orlick sedang dalam masa yang membutuhkan perhatian penuh.
Hingga karena ulahku, Philla harus menanggung luka yang takkan pernah bisa disembuhkan bahkan oleh kasih sayangku seumur hidup untuknya.
Maka, setelah aku dipersilakan untuk mengajukan pertanyaan, langkahku pada Philla sudah tidak bisa kuhentikan lagi.
"Mommy…"
Kemudian, aku memeluknya erat.
"Kamu tak apa, sayang?"
Aku usap pelan rambutnya yang beraroma vanila.
"Aku tak apa, Mommy. Tapi boleh aku minta sesuatu?"
"Tentu saja."
"Aku ingin Mommy janji tidak bicara soal ini ke Daddy."
"Kenapa?"
"Aku tidak ingin Daddy marah dan menghukum mereka…"
Seketika itu juga mataku terasa berat dan tanpa kusadari, air mata sudah membasahi pipiku. Dengan kasar, aku kembali memeluk Philla erat.
"Sakit, Mommy… Sakit…"
"Aku takut Mommy… Sakit…"
Isak tangis tidak bisa dia tahan lagi, begitu juga aku.
Dia benar-benar anakku.
Dia adalah anak yang aku asuh.
—Maka, aku akan melindunginya dengan segenap kekuatan yang kumiliki bagaimanapun caranya.
Tidak ada tempat untuk keegoisanku. Tujuan terbesar yang kumiliki sudah jelas-jelas terpampang di depan mata. Aku tidak akan membiarkan Philla yang berada di dunia baru mengalami hal yang serupa. Persidangan ini adalah peringatan bagiku agar kembali pada tujuan utamaku.
"Kalau kamu tidak mengikuti hal sekonyol turnamen ini, mungkin Philla tidak akan bernasib setragis itu. Jadi sekarang adalah waktumu kembali ke dunia asal, agar kejadian yang sama tidak terulang lagi."
Oleh karena itulah, aku menyetujui perkataan Emoar demi melindungi mereka.
Benar, sudah waktunya aku kembali. Sudah saatnya aku menyadari bahwa tugasku adalah mengabdikan diri untuk keluarga. Sekalipun aku membutuhkan hiburan, aku seharusnya mencari kebahagiaan dan hal yang menyenangkan di dalamnya. Pada keseharian di mana aku tidak membiarkan anak-anakku terluka.
—Hingga pada akhirnya, aku terbangun dari mimpi.
Fatanir
Kalau ditanya siapa musuh paling tangguh bagiku, sudah jelas jawabannya adalah Emoar Cyanith.
Mima adalah lawan yang tangguh, tetapi sudah tidak lagi. Setidaknya, aku pernah mengalahkannya sekali. Ditambah, posisi saat ini adalah Mima yang baru saja dikalahkan oleh Emoar.
Yang terkuat mengalahkan yang lebih lemah, bukankah sudah jelas siapa yang lebih tangguh?
"Jangan bercanda!" adalah yang keluar dari mulutku ketika Mima terhapus dari dimensi ini.
Sosoknya hilang, kurasa sudah tidak ada lagi di Alam Mimpi ciptaan Ratu Huban.
Dia menyerah, dia tak melanjutkan lagi mimpinya—maka, Mima menghilang. Meskipun baru satu perkara saja yang didakwakan, tapi sangatlah efektif untuk melawan Mima.
Begitulah cara kerja [Hari Penghakiman] ciptaan Emoar.
Sekecil apapun, manusia pasti memiliki dosa yang bisa melahap dirinya sendiri. Dan hal tersebut adalah senjata yang akan selalu digunakan oleh Emoar, yang berarti, keparat itu hampir selalu bisa mengalahkan musuh yang memiliki 'hati'.
Sungguh kemampuan yang merepotkan.
Pertama kali aku memasuki realita semu yang diciptakan oleh gadis suram itu, aku langsung menyuruh Ashura untuk memetakan strukturnya. Tak disangka, ternyata tempat ini terbentuk dari material non-duniawi berasal dari dunia ekstraterestrial yang belum pernah terjamah oleh teknologi kekinian. Bahkan Ashura tidak mampu melakukan apa-apa untuk merusaknya. Yang artinya, Emoar memiliki kemampuan di luar batas nalar yang mendekati kegaiban.
Meski begitu…
Sekalipun begitu, aku akan tetap menang.
"Aku kasih tau, ya. Yang bakal menang itu aku."
Maka, ketika aku sudah duduk di kursi panas persidangan, kalimat itu kudeklarasikan dengan lantang.
Kalimat tersebut sudah pasti membuat Emoar tertegun, walau hanya sesaat sebelum kemudian senyumnya kembali terkembang. Ini bukanlah strategiku, tapi menambahkan beban ke lawan tidak akan merugikanku sedikitpun. Malahan, aku diuntungkan.
"Bahwa terdakwa, telah melakukan kejahatan terhadap umat manusia di sepanjang hidupnya."
Tak lama kemudian Emoar membacakan dakwaan yang sama seperti tadi—klise.
"Ngebantai semua manusia? Ancurin semua planet dan galaksi? Atau ngebegoin emak-emak dan cecunguk lainnya? Mana yang mau lu dakw—"
"Bukan semuanya," potong Emoar. "Kamu dan Mima telah melakukan hal yang sama. Tentu saja itu akan berakhir di neraka, tapi memang bukan itu yang ingin kudakwakan."
Neraka? Siapa anak ini? Tuhan? Jangan bercanda!
"Terus lu mau dakwain ape? Jangan bilang lu mau nyerah git…"
Tiba-tiba, tawa Emoar meledak. "Kamu pintar juga melucu, adek item."
Bisa kurasakan dahiku berkedut, namun sebelum aku sempat membalas, gadis itu sudah duluan melanjutkan kalimatnya. "Yang ingin kubacakan adalah bahwasannya Terdakwa telah menelantarkan Kana dan anaknya dengan bunuh diri."
… Ha?
"EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEHHHHHHHHHHHHH? BUSET, KAPAN AKU PUNYA ANAK COBAK ADUH LU NGACO AMAT!"
"Itu yang akan kutampilkan dalam video sebagai buktinya."
Segera setelah sidang pembuktian dimulai, Emoar menyalakan layar proyektor yang menampilkan sebuah adegan.
"Aku sayang Kak Fata. Aku cinta Kak Fata."
"Wah, anjir. Bokep nih pasti, mantap! Kapan lagi nonton bokep di pengadilan."
Meski begitu, perasaanku mulai berkata lain. Seiring dengan kelanjutan adegan Kana menusuk kepalaku, sesuatu di dalam hatiku tergetar hebat.
Aku ingat kembali, ya, aku teringat kembali oleh keputusasaan pada kala itu.
—Apa yang sebenarnya telah kulakukan sampai saat ini?
Aku mulai kehilangan tujuan, aku mulai diselimuti oleh segala kepalsuan, kesemuan, hingga semuanya menyerangku sendiri. Itulah mengapa aku meminta Kana untuk membunuhku.
"Aku ingin memiliki anak Kak Fata."
"Adegan selanjutnya kurang pantas dilihat khalayak umum. Para Hakim bisa melakukan inspeksi setelah pembuktian ini demi mengetahui kenyataannya. Dari saya akan menjelaskan, bahwa pada saat itu Kana mendapatkan informasi dari Fatanir yang sebenarnya belum mati. Kana hanya membuat Terdakwa tidak sadarkan diri, namun insting untuk melanjutkan keturunan yang dimiliki keduanya nyata ada. Oleh karenanya Kana mengambil 'benih' dari Terdakwa."
Layar proyektor yang kembali menyala, menampilkan diriku yang memejamkan mata dengan kepala berdarah bersama Kana yang tengah berbaring di sebelahku seraya mengusap-usap perutnya.
"Aku akan merawatnya dengan baik, Kak Fata."
"BUANGKEEEEEEEEEEEEE! MASA AKU ESEK-ESEK TAPI GA NYADAR?!"
Meski berkata begitu, sebenarnya aku tengah menahan tangis.
Karena apa yang ditampilkan selanjutnya benar-benar sesuai dugaanku.
"Oeeeek oeeeek!"
"Aku namakan kamu Fana, dari Fata dan Kana, begitu juga eksistensi yang terlahir dari kefanaan abadi."
Air mata mengganggu mataku untuk melihat Kana yang dengan penuh kasih sayang membesarkan Fana. Mereka hidup bersama denganku yang terbujur kaku di kasur. Itu karena aku sudah membunuh 'diriku' sendiri, memutuskan untuk melenyapkan jiwaku, eksistensiku. Oleh karenanya, jasad dari 'Fatanir' masih hidup, walaupun isinya adalah jiwa kosong saja.
Akan tetapi, Kana dan Fana tetap menjalani kehidupan berdua dengan suka cita. Kana berulang kali mencoba mengambil benih dariku, namun percuma karena penciptaannya yang tidak sempurna tak mampu menerima eksistensi nyataku lebih dari sekali. Jadi setelah sekian tahun terlewat, Kana mulai menyerah dan meneruskan kebahagiaannya bersama Fana hingga di akhir ajal.
Saat itulah, apa yang menghancurkan hatiku terjadi.
Fana menjadi sendirian di dalam kehidupan fana tersebut. Senyumnya mulai sirna, semangatnya telah lama menguap. Dia sudah tidak memiliki tujuan hidup. Bertahun-tahun Fana habiskan tanpa berbicara.
Pernah berulang kali Fana berpikir untuk mengambil benih milikku, namun dia urungkan seketika setelah mengusap pipiku seraya menangis. Itu bukan karena eksistensinya yang setengah berasal dari Kana, melainkan dia tidak mau kejadian yang sama terulang kembali.
Fana tidak ingin keturunannya merasakan hal yang sama dengan yang dia alami saat itu.
Maka, sebelum dirinya kehilangan akal dalam kesendirian dan kesedihan yang abadi—Fana membunuhku.
Fana melanjutkan tugas ibunya yang tertunda.
Dia melepaskan nyawa yang diembannya dan menyerahkan segalanya pada dunia baru—sama seperti yang kupikirkan.
Anak itu… benar-benar adalah anakku.
"Begitulah video bukti bahwa Terdakwa telah menelantarkan Kana dan Fana, memberikan mereka kehidupan yang tidak berarti dan meninggalkan kesedihan yang abadi bagi keduanya. Selanjutnya saya mempunyai saksi korban, tapi rasanya tidak perlu…"
Benar, karena video itu saja sudah cukup untuk menghancurkan hatiku.
"Apa Terdakwa tidak keberatan?"
Aku menggeleng. "Nggak usah pakai bacot atau lama-lama. Njut lah."
"Apakah Terdakwa ingin melakukan pembelaan?"
"Nggak ada, Pak Hakim, nggak mau nanya juga, males!"
Lalu berlanjut pada pemeriksaan terhadapku. Apa yang ditanyakan adalah seputar benar tidaknya kejadian yang ada di video tersebut dan tentu saja aku bilang seadanya. Aku tidak tahu apa yang terjadi sesaat setelah kehilangan kesadaran, namun aku masih bisa menjawab yang sebelum itu. Prosesinya berjalan relatif singkat hingga sampai tahap pembacaan tuntutan.
"Kamu sudah benar-benar pasrah, ya?" seloroh Emoar dengan senyum menyebalkannya.
"Lho, aku jujur gitu loh, apa adanya, nak teladan. Nggak kayak cewek surem yang beraninya bacot di rumahnya sendiri!"
Meski aku bicara begitu, Emoar tampak tidak terprovokasi sama sekali. Tentu saja, karena dia sudah menang. Ah, aku koreksi.
Itu karena dia merasa kalau dia sudah menang.
"Saya, Jaksa Pengadilan Akhir menuntut Terdakwa Fatanir harus menyerah dan pergi dari Alam Mimpi, jika tidak, Terdakwa akan dihukum dengan hukuman yang setimpal."
"Emoh," balasku cepat, pada tuntutan yang sesuai dengan dugaanku.
Sepanjang prosesi, ekspresi Emoar masih tampak sama namun aku bisa melihat ada sedikit perubahan padanya.
Setelah itu tidak ada yang banyak dilakukan karena aku mengikuti alur yang intinya memperjelas kesalahanku. Itu artinya, di sidang selanjutnya yang sudah dimulai ini adalah pemberian hukuman padaku—
"Terdakwa dinyatakan tidak diberi sanksi!"
—atau itu yang dipikirkan Emoar, sebelum kemudian hancur sudah raut percaya dirinya itu.
Aku menang.
"Ke-Kenapa bisa begitu?!"
Dan pada saat itu juga lah aku benar-benar tertawa puas.
"ITU SALAHMU BEGOOOOOOOOOOOOOOOO!" teriakku yang diikuti tawa lagi.
"Salahku?!"
"Hei, goblok, dengerin ye," balasku. "Yang selama ini lu lakuin itu ngontrol hati orang tapi nggak punya niat ngehukum kita!"
"A-Apa…?!"
"Dari tadi lu fokus gimana caranya ngancurin hati si Emak, terus aku. Lu percaya kalau itu doang udah cukup buat menangin ini semua kayak yang lu lakuin ke Mima! Makanya lu nggak kepikiran soal hukuman, karena kemampuan lu cuma memanipulasi perasaan kami semua! Coba pikir, hukuman setimpal? Kek gimana? Keambiguan kayak gitu mana berlaku di sini!"
Terlebih, aku yakin ini kali pertamanya Emoar menggunakan kemampuannya. Tampak dari sikap di awal tadi kalau dia juga baru tahu bagaimana cara kerjanya. Dia sendiri tidak tahu kapasitas apa yang bisa dilakukan dalam persidangan ini. Oleh karena itu apa yang gadis itu lakukan hanyalah membuat kami menyerah dengan menghadapkan dosa-dosa tersebut, lalu bertaubat dan pensiun dari turnamen ini.
Terbukti dari prosesi dan detil persidangan ini sangatlah tidak lengkap, yang kurasa semuanya karena Emoar sendiri tidak tahu seperti apa persidangan yang sesungguhnya. Segalanya yang ada di sini tercipta dari dirinya sendiri—cerminan semua pengetahuan, keinginan, dan apapun yang Emoar miliki.
Setengah dari Emoar percaya bisa menghukumku dan Mima—tapi setengah yang lain tidak percaya kalau manusia biasa bisa melakukan penghakiman.
Oleh karena itulah, [Hari Penghakiman] ini cacat.
Bagaimana aku bisa tahu?
Tentu saja semua berkat Ashura yang tidak mampu menganalisis komponen ruangan ini. Jika Ashura saja tidak tahu, tidak mungkin gadis biasa itu bisa. Tidak ada yang mengerti bagaimana kegaiban itu bekerja—maka, Emoar memiliki keraguan atas kemampuannya sendiri.
"Aku yakin banget ini bukan kemampuan yang asalnya dari lu sendiri! Siapa yang kasih? Salesman abal-abal?"
Terkejut, Emoar berseru, "Kenapa kamu bisa tahu?!"
"Yaelah, gitu aja bingung. Gampang kali, kalau lu nggak tahu tentang kekuatan sendiri, bukannya itu berarti kemampuan itu bukan punyalu? Ah, dan keknya aku tahu siapa pelakunya."
Bila [Hari Penghakiman] bukanlah kemampuan milik Emoar, berarti ada suatu eksistensi yang memberikannya. Tentu saja eksistensi tersebut akan selalu berada di dekatnya untuk mengawasi dan mengobservasi—entah apa aku tidak tahu tujuannya. Lalu, agar dia bisa leluasa berada di ruangan ini tanpa gangguan, sekaligus bisa mengontrol segalanya jika hal yang tidak dia inginkan terjadi, otomatis dia pasti punya posisi yang paling tinggi.
Maka eksistensi itu adalah—
"Lu kan yang kasih cewek surem ini kemampuan, Pak Hakim!"
Yang membuat wajahnya yang mulai terdistorsi itu tertawa.
"HUAHUAHUAHUA!" suaranya menggelegar di penjuru ruangan. "Menarik sekali! Benar-benar pertunjukan yang menarik!"
Seketika itu juga sosoknya mulai tak berbentuk dan berubah-ubah menyerupai berbagai macam manusia. Yang membuatku mual ketika daging-daging yang ada di kepalanya mulai menyerupai sesuatu secara menjijikkan.
"Siapa lu? Pasti bukan manusia!"
"Tidak penting siapa aku. Yang membuatku terkejut adalah dirimu yang bisa menebak segalanya dengan akurat. Ahh, benar juga. Kalian ingin memenangkan pertarungan ini kan?"
"Kasih tau nggak ya?"
"Haha! Benar-benar menarik. Sebagai hadiah karena kau sudah menemukanku, akan aku beri posisi yang seimbang untukmu."
"Seimbang? Jangan-jangan yang lu maksud—"
"Benar. Kali ini kau adalah Jaksa dan Emoar adalah Terdakwa. Menarik bukan?"
Sekarang aku yang giliran tertawa.
"Anjir parah abis ini makhluk gaje! Okelah kalau begitu!"
"Baiklah. Setelah ini aku akan mencabut posisi hakim dalam persidangan sehingga kalian bisa saling menghancurkan dalam keabadian."
Lalu pada saat itu jugalah—
"Selamat bermain!"
—kehidupan dalam neraka dimulai.
Epilog
Sama seperti Fatanir dan Mima—aku juga memiliki dosa.
Sewaktu duduk di kelas 1 SMA, aku punya teman baik bernama Liola. Dia adalah gadis yang muram dan pendiam, namun setelah beberapa kali aku mendekatinya, ternyata Liola hanya pemalu saja.
Seiring dengan persahabatan kami yang berjalan dengan baik, Liola mulai sering tersenyum. Kita selalu bermain di taman hiburan bersama, makan crepes bersama, ke toilet bersama, mengerjakan PR bersama, dan lain sebagainya—bersama. Namun entah sejak kapan, dia kembali pada sosoknya yang muram.
Belakangan kuketahui kalau ternyata ada yang cemburu melihat Liola bahagia, karena dia semestinya menderita dengan perekonomian keluarga yang sulit. Tanpa perlu menebak, aku tahu pasti kalau orang tersebut tidak bahagia, makanya dia tidak suka melihat Liola tersenyum setiap harinya.
Yang tak kuduga adalah—ada sepuluh orang yang merasakan hal serupa.
Itulah mengapa aku takut membantu Liola. Aku takut bila ikut campur, bisa-bisa aku juga dirundung oleh mereka. Aku takut bila mati karenanya, aku tidak bisa menegakkan keadilan lagi.
Meski itu hanya alasanku saja yang sebenarnya hanya tidak ingin terluka.
—Maka, saat Liola terbujur kaku tak bernyawa setelah disiksa oleh kesepuluh orang tersebut, secara tak langsung kehidupanku sendiri ikut runtuh terbawa jasadnya.
Apanya yang sahabat kalau hilang begitu saja saat temannya dipojokkan?
Apanya yang keadilan kalau menolong teman saja tidak bisa?
Sialan.
Itu karena aku tidak punya kekuatan untuk melakukan sesuatu. Mati sia-sia memanglah percuma dan tak mengubah apapun, setengah dariku melakukan hal yang benar. Tapi membiarkan sahabatku dibunuh?
Apanya yang benar?!
Bukankah dengan itu, segala yang ada pada diriku—esensi, tujuan, dan mimpi—segalanya runtuh seketika?
Oleh karena itulah aku menghukum diriku sendiri, dengan menjadi Liola.
Aku buang pribadi sok pembela keadilan tersebut.
Aku buang keceriaan yang takkan pernah dimiliki lagi oleh Liola itu.
Aku menjadi Liola.
Aku yang tidak mempunyai kekuatan, menjadi seorang Liola.
Hingga pada saat 'sosok' itu muncul dan memberikanku sebuah 'sangkar', barulah aku kembali menjadi Emoar Cyanith.
Kali ini, aku punya kekuatan.
Kali ini, aku punya keadilan.
Kini, aku bisa mengadili semua kejahatan.
"Ini adalah bukti pengabaian Terdakwa terhadap korban, Liola Thumper."
Dan sekarang, aku dihancurkan oleh keadilanku sendiri.
"Emoar… tolong aku…"
Rintihan Liola menyayat hatiku hingga tak tersisa lagi. Air mata tidak bisa kubendung lagi sampai menjadi darah. Jeritanku tidak akan pernah bisa mengembalikan lagi senyum Liola.
Di situlah 'diriku' mati untuk kedua kalinya.
Yang tak lama kemudian, setelah aku menjalani siksaan batin yang terasa seperti seumur hidup itu, giliranku menjadi Jaksa datang.
Perasaanku kembali pulih. Aku menjadi Emoar Cyanith lagi. Aku menghakimi Fatanir lagi.
Anak itu tertawa, menangis, menjerit, menyesali segalanya, hingga tiba gilirannya menjadi Jaksa yang menghakimiku.
Begitu terus berulang-ulang tiada berakhir.
Perasaan kami, hati kami saling dihancurkan, lalu dipulihkan di sidang berikutnya. Bagaikan neraka hidup—atau mimpi. Aku dan Fatanir menjalani keabadian dengan menghancurkan jiwa masing-masing.
Sidang keseratus.
Sidang keseribu.
Sidang kesatujutalimaratusenampuluhtujuhributigaratusajfhkdiuchaf…
…
…
…
…
… Apakah aku masih benar-benar hidup?
Kalau iya, apa tujuanku hidup?
Ah… aku sepertinya ingat.
Keadilan.
Kami sedang menjalani persidangan ke sekian ratus miliar. Segalanya adalah demi membuktikan sebuah keadilan. Jika begitu, bukankah yang kita lakukan itu percuma?
Aku mengakui dosa, dan aku menerimanya.
Fatanir mengakui dosa, dan dia menerimanya.
Tidak ada gunanya menghukum orang yang sudah mengetahui akan dosanya, dan menerima kesalahannya.
Karena semua orang yang benar-benar telah melakukan keduanya, mereka akan mencoba menjadi pribadi yang lebih baik.
Tidak seperti anak kecil yang menurut sesaat karena takut, dan mengulangi lagi kesalahannya.
Aku dan Fatanir sudah tidak bisa dihakimi lagi.
Oleh karena itu aku berkata. "Hei Fata. Bukankah sudah saatnya kita berhenti?"
"Jadi lu mau ngaku kalah?"
"Bukan begitu," balasku menggeleng. "Aku tidak akan menyerah karena aku benar."
"Trus kenapa aku musti berenti? Nggak maulah!"
"Dengar. Kalau kamu menang, tidak ada yang kamu dapatkan di sini. Yang kamu lakukan selama ini hanyalah membawa kehancuran, maka dari itu kamu menciptakan dunia baru di mana tanpa adanya dirimu, kan?"
Mendengarku, Fatanir terbelalak.
"Kalau begitu, bagaimana jika kamu membiarkan aku yang membawa keadilan ini merealisasikan segala mimpi? Mima telah kembali pada keluarganya sebagai ibu yang baik. Kamu bisa beristirahat dengan tenang di sana. Lalu aku akan terus memanipulasi hati manusia agar bisa menjadi seperti Mima, menegakkan keadilan, kebaikan. Di mana orang tidak perlu saling menyakiti, menderita. Di mana orang tidak perlu mengalami nasib yang sama dengan Philla, aku, dan bahkan dirimu."
"Karena dari awal, kamu juga menginginkan keadilan bukan?" lanjutku mengakhiri semuanya.
Ya, Fatanir tidak mempunyai ayah, ibu, bahkan tidak bisa hidup bersama dengan gadis yang dicintainya. Itu adalah sebuah ketidakadilan—saat orang lain merasakan kebahagiaan yang tak pernah didapatkan bocah penyandang relik kehancuran tersebut.
"Ya, bener. Kayaknya udah saatnya aku berenti main-mainnya."
Maka, kupersembahkan keadilan untuk Fatanir—begitu juga semua orang di dunia.
Bahwa dengan ini, aku bisa mengubah dunia menjadi lebih baik lagi.
Jadi, saat Fatanir mulai menghilang dari hadapan, aku menerima dengan senang hati kalimat terakhirnya.
"Ini emang bukan urusanku. Tapi kuharap lu bisa bikin dunia di mana Kana dan Fana bahagia selamanya."
"Tentu saja."
Sebelum kemudian, turnamen di Alam Mimpi ini berakhir.
***
"Lalu, apa yang kamu dapatkan dari cerita itu?"
Ratu Huban muncul lagi di mimpiku, bertanya demikian. Ya, sesuatu yang aku bingungkan jawabannya sampai-sampai aku mengingat berulang kali kejadian tersebut. Pertarungan yang terasa seperti neraka, membunuhku berkali-kali hingga kematian sangat tidak signifikan lagi bagiku.
Tapi—
"Kurasa sekarang aku sudah tahu jawabannya."
Itu adalah esensi tentang keadilan yang kumiliki.
Benar, Fatanir sudah menjelaskannya padaku, bahwa kekuatan yang kumiliki ini cacat. Namun dari kecacatan itu, aku menemukan sebuah keadilan yang sempurna.
Yaitu dengan percaya bahwa di suatu tempat dalam hati manusia, masih tersimpan keadilan dan kebaikan.
Kepositivan.
Aku tidak perlu menghukum mereka, aku tidak perlu membunuh semua orang.
Aku hanya perlu membuat mereka menyadari keadilan itu sendiri, dengan memanipulasi hati mereka.
Dengan itu, aku yakin segalanya akan baik-baik saja.
Pasti, tanpa ada keraguan sedikitpun.
Fatanir - Po
BalasHapusAkirnya entri yg kutunggu ini datang juga. Ada tiga hal yg mau kukomen sbagai masukan.
1. Emoar kerasa kurang khas sebagai pribadi. Dia menjadi khas karena kemampuannya, tapi dari segi sifat mah Fata masi lebih nonjol karena Fata dirancang utk bisa mengungkapkan sifatnya pada pembaca cukup lewat dialog. Berarti masukannya adalah, Mas Dim perlu ngerancang gestur, mimik muka, cara bergerak atau bicara yg lebih khas utk Emoar supaya dia jadi noticeable bagi pembaca bahkan meski dia cuma gerak sedikit doang.
2. Ada kejanggalan plot, kenapa Emoar atau Fata nggak bisa ngerumusin metode hukuman yg valid di dalam sangkar, meski udah sidang kesejuta kali? Apalagi Fata langsung tau kecacatan sangkar sejak pertama, dan Emoar jg dgn ambisi yg meluap jg mestinya bisa figure it out di sidang keberapa lah gitu.
Ada jg sih jalan keluar utk pembenaran kenapa emoar atau fata gak bisa2 ngerumusin, yaitu krn tiap kali sidang, beban mentalnya terlalu berat sehingga boro2 ngerumusin hukuman, mikiri aja sulit. tapi, ini jg baiknya dicantumin di narasi, supaya gak jadi plothole.
3. Kemampuan penghakimannya keren, tapi aku kuatir kalo Emoar cuma punya SATU bentuk sidang, jatohnya di entri kedua ketiga dst bakal ngulang2 wae plotnya kyk gini. Jadi mnurutku justru bentuk penghakiman ini cocoknya adalah sebagai bentuk final atau mendekati final dari Emoar, sementara pas awal mah bentuknya beda aja, atau skalanya beda dan lebih kecil. Misal, dgn kekuatan sangkar itu Emoar belum bisa bikin reality marble kyk gini, tapi dia bisa tau masa lalu orang yg dark atau painful dan menyerang mental lawan dari sana. Atau justru dia bisa memanen rahasia gelap lawan, dan dengan panen satu persatu maka dia bertambag kuat secara fisik atau lawannya bertambah lemah atau bertambah sakit (psikis atau fisik ya atur2 aja), jadi bisa nambah drama dan tensi ping pong bolak balik dari interaksi kasual juga, gak mesti udah langsung bisa pake judgment day dulu di entri2 awal.
Sisanya superb. Entri terbaik di FBC sampai saat ini, menurutku.
Nilai 10.
wwww makasih pak po~
HapusIya, saya akui yg pertama emang karakterisasinya kurang tampak kuat, mungkin karena saya terlalu mementingkan ceritanya jadi lupa berkarakterisasi, sementara Fata udah solid gitu u,u jadi ngiri...
Kalau yang kedua, sebenernya yg saya maksudkan itu 'manusia saling menghancurkan satu sama lain lewat sidang itu' jadi sebenernya ga perlu juga hukuman, dan ga perlu juga mikirin hukuman karena Fata juga pengen bales dendam ngancurin hati Emoar wwww, jadi aslinya kuat2an mental doang...
Nah yang ketiga ini yang saya sadari abis bikin CS: cuma bisa sekali pakai. WWWW, sebenernya ada awalnya kepikiran metode kedua, yaitu beneran menghancurkan hati, literally liver peserta, trus pada keracunan asap yang ga bisa ditangkal pake hati, tapi rada absurd dan ga jadi karena batas katanya tidak memungkinkan (awalnya berniat Mima sidang dua kali, yg kedua dibantu Fata tp nanti kepanjangan). Dan sayang sekali, saya juga ga begitu berminat Emoar ikut BoR 6 misal, karena saya yakin bakalan terlalu monoton sekalipun bervariasi wwww,,, dan yg jelas sih, terlalu 'terinspirasi' dan 'nyontek' sehingga saya ga ngerasa originalitasnya #plak
Anyway, thanks pak po~ terheru saya dinilai terbaik u,u
tambahan buat yg kedua, sangkarnya udah dibentuk, jadi mereka mainan di sangkar cacat www
HapusWhoa, mantap dim. Bagian Mima itu cobanget ngebawa perasaan orang. Saya barusan baca deskripsi OCmu dan agak sedikit sepakat sama Pak Po soal potensinya yang kemungkinan jatoh monoton. Tapi enggak kok, walaupun cuma punya satu bentuk sidang, tapi dalam sidang itu bisa banyak yang terjadi. Lagipula ini sidang membuka tabir si OC lain, dan pastinya berpotensi lebih dalam daripada sekadar tarung-tarung biasa.
BalasHapusMenurut saya sih saya enjoy di sebagian besar cerita ini, tapi adegan pertarungan Fata dan Mima itu saya rasa cukup berlebihan dan tidak perlu. Walaupun perlu--untuk ngetrigger [Hari Penghakiman]-nya si gadis suram ini, tapi cukup aneh juga, semacam pertarungan yang dipaksakan.
Overall mantap dim, dirimu ngasih kemungkinan lain kalau menang itu gak cuma dari tarung-tarung biasa, tapi dari kemampuan OC ini. Saya pasti ngikutin.
Nilai: 8
Sekalian promosi: http://battle-of-realms-6.blogspot.co.id/2016/03/fbc-022-eleanor-tiffany.html :p
iya, saya sendiri sadar kok, sevariasi apapun bentuknya, orang pasti mikir 'ah paling sidang lagi bongkar ini itu', yang mana pas ditanya bangher kalau ini mau dijadikan OC buat BoR 6, tentu saya bilang engga www
Hapus.
Hmmm, kalo soal itu keknya setuju ga setuju sih, karena tujuan saya juga untuk pembacaan situasi, sekaligus pemanfaatan kemampuan Mima sama Fata yang ga akan bisa dilakukan di dalam [Hari Penghakiman], tentu juga jalan untuk Emoar bisa memaksakan [wish] dan [dream] nya yang menyeruak karena desperate hampir mati.
.
wwww, makasih~ Mungkin next saya bakal rancang kemampuan lain yang lebih terbuka dan lebar ketimbang ini~
Kayaknya baru sekarang saya liat prosesi sidang dalam bentuk narasi
BalasHapus.
Ini fresh, asik diikutin. Mungkin Emoar emang ga kerasa kayak satu karakter, dan mungkin gimmicknya agak terbatas, tapi kemasannya lumayan bagus. Cocok pula buat FBC yang notabene emang bagusnya satu cerita lepas aja
.
Nilai 10
www entah pengen aja walau saya malas terlalu kaku macam pengadilan asli
Hapus<---beneran nonton berulang2 pengadilan semu
Nah bener, saya emang mau sekali pakai aja, soale kurang nampol dan bakalan menjemukan kalo terus menerus..
thanks sam~
Wah, karakter-karakternya enak buat diikutin. Sidangnya juga seru, dan imo pertarungan di awal itu oke buat ngasih feel ringan sebelum feel-feel berat setelahnya.
BalasHapusYang aku agak kecewa sih cuma si Pak Hakim yang rasanya ada gak ada sama aja. Memang ada misteri soal kekuatan itu dan siapa yang ngasih, tapi ya perannya itu aja. Kayak ada gak ada misterinya pun sebenernya juga oke. Karena di akhir-akhir dia cuma muncul menyatakan diri dan udah gitu.
Selain itu sih paling agak berasa kurang pendalaman di bagian sidang endless-nya Emoar dan Fatanir. Kenapa setelah bermiliar sidang baru Emoar sadar? Kenapa Fatanir langsung nurut? Konflik batin mereka kerasa kepotong di antara sidang yang berkali-kali itu, soalnya toh pas mereka awal saling tukeran juga, dari segi narasi agak berasa mereka datar aja nanggepinnya. Mungkin lebih baik konflik batin mereka lebih dibahas, supaya "pesan" yang di ending itu lebih kerasa masuk.
Imo sih karakter Emoar oke. Mungkin kurang ekspresi kalau dibandingkan Fatanir, tapi justru karena memang dia begitu menurutku. No complain kalau buat karakternya.
Meskipun ada kekurangan, aku rasa itu kekurangan minor yang subjektif juga. Overall enak dibaca, jadi tetep aku kasih nilai :
10/10
Hehe. Keep it up ^^b
oho~
Hapusuntuk pak hakim sih, justru emang itu yg disadari Fatanir, tindakannya itu berasa banget seperti observant, alih2 penguasa, atau yg berdampak, makanya Fatanir langsung tahu.
Ah yang itu karena emosi masing2 yg kuat, emoar masih memegang prinsip keadilannya, Fatanir dengan kesenangannya sendiri sekaligus balas dendam, setelah hancur, pulih kembali, makanya berasa reset--lalu setelah sekian juta kali, kejemuan menyerang dan mulai kehilangan arah, sebenarnya apa tujuan mereka sidang sampai berjuta2 kali itu? Emoar sadar dan Fatanir langsung nurut karena dia pintar dan paham pasti, justru saya pikir malah aneh kalau ngeyel, berasa engga cerdas wwww
wah makasih ya~ saya senang xD
entry kesekian Mima yang kubaa, inilah kesanku:
BalasHapusPhilla-nya agak OOC. Tapi nggak apa-apa sih, karena aku nggak menuliskan karakternya secara detil di BoR5. Philla bakalan jadi pelari dan lebih ganas dari ibunya, hanya fata yang bias menkalukkan hatinya (eh itu tapi di canon saya ding, ehehehe), Orlick lebih cocok jadi topic bullying karena dia emo.
ah, lupakan, sekarang untuk review, ini fresh, terutama proses penghakimannya, sesuai banget dengan tema non-mainstream battle. Dan pengulangan ke-miliar-kali itu, jujur, aku kok jadi ingat dengan entry finalnya pakpo. Tapi, untuk penghakimannya, fresh. Saya nggak sreg aja dengan gaya narasi dari sudut pandang pertama-nya Fata, karena penggambaran internal batinnya nggak sesuai dengan gaya bahasanya yang seenaknya dan slengekan.
overall, titip nilai 9 deh. Welkom bek Dim ----
Rakai A
OC: Franka / Mima
NB: mampir lapak saya dong, kasih masukan at least 1 komentar aja---
wahahhahahha WAHHAHAHHAHAHHA MAAF MBAKAY~ XD
Hapussaya ga tau anak2nya, dan ga tanya2 pulak, makanya asal nebak aja u,u
Sebenernya konsep kemiliarnya pakpo itu ngambil dari referensi yang sama dengan saya, jadi emang ada referensi khusus saya dan pakpo yang dipakai buat nulis entry, mungkin kalo ngecek per entrynya pak po, keliatan dari pertama lawan Relima dia mulai pakai referensi itu dan stylenya berubah...
Hmmm, saya sebisa mungkin menyamakan narasi dengan sikapnya Fata sih, kepintarannya, dan tentu aja ga bisa pakai bahasa slengekan dan gawl di dialog, ngebatin bisa, tp kalo pov 1 saya jarang banget bikin karakter ngebatin haha...
makasih mba kay~ ah saya ngga hapal yg ikut sapa aja, nanti saya komen~
Lumayan panjang entrinya, tapi bisa kelar sekali baca juga. Jarang2 ada yang bisa saya selesaikan sekali duduk, jadi bisa saya kategorikan interesting+.
BalasHapusSistem berantemnya oke, tapi sayangnya karena kena bocoran jadi tak berkesan 'kejutan' lagi, haha. (tapi ini tidak mempengaruhi poin akhir kok, karena soal personal enjoyment saja aka subjektif).
Tentang karakteristik, kayaknya apa yang mau saya sampaikan sudah dibahas di komentar sebelumnya, jadi pass soal itu.
Scene favorit: persidangan Emoar, because her despair tasted like gourmet meal for me /eh
Verdict: 9
huahuahua, ga nyangka juga kalo bisa dibaca sekali duduk, brati saya udah level up xD
Hapus.
nywahhaha, maaf soal itu, namanya juga rada bingung jadi perlu nanya2 dan berbuah sop iler u,u
.
anyway, thanks ya maou-sama~ xD
Kereeennn ♥
BalasHapusEmoar punya diberi kemampuan yang malah menghukum dirinya sendiri. Lalu rudal di kafe sebagai pemanasan juga keren. Persidangan pake narasi enak dibaca. Sayangnya adegan netnot disensor #disepak
Bagian persidangan Emoar yg paling bagus. Pertemanan yg mengharukan dan masih menghantui Emoar
10 untuk Emoar
OC Rea Beneventum
nb. horeee akhirnya bisa komen (meski jd lupa mau komen apa)
wwww, saya bukan maestro adegan begituan, jadi saya jelasin sesederhana dan semampu saya aja xD
Hapus.
aslinya sih mau saya perpanjang lagi dan perdalam konflik batinnya, cuma ga cukup batasan jumlah katanya huhuuu, ini aja aslinya 9,9ribu kata, saya korting jadi 7999 biar memenuhi syarat, tapi saya lega pada suka hehe...
.
thanks udah mampir~
Sasuga mas dimdim.
BalasHapusUdah ah gak usah banyak cangcong, buat seigi no mikata naif kek si Emoar ini dikasih 7 aja.
Tapi narasi ama pembawaan yang warbyasah jadinya 10 pas. Semoga Emoar bisa ketemu Emiya terus diajarin cara jadi seigi no mikata yang baik dan benar.
Btw ga lepas dari referensi hakomari ya? wkwkwkkwk
Salam Keadilan dari Enryuumaru dan Zarid Al-Farabi
www seigi no mikata menguasai dunia. Kenaifan adalah awal dari kebijaksanaan #cieeeh
Hapus.
www iya, saya emang lagi eksperimen style hakomari campur monogatari, jadinya begitu deh xd
.
Makasih yus~
OC: Ghoul :=(D
BalasHapusKan kupersembahkan keadilan, hancurkan sebelum kau dihancurkan, tebus karmamu dan pergi bersama diriku wahai monster tak bernama… (terjemahan lagu Namae No Nai Kaibutsu)
Sekadar bukan sekedar… (duh lagi-lagi…)
Ini adalah mimpi, dan aku memimpikan (ga pake koma)
Musuh paling berbahaya yang ingin kukalahkan hanyalah satu, yaitu kejahatan (ga pake koma)
Terlalu banyak narasi di prolognya,
Ngebor?
Kuantitas Dialognya banyak yang gak penting
Untuk itu, kami beri nilai… 7 (dialek khas presenter Detektif Rasa).
ah, iya, saya kelupaan mulu soal sekedar, udah kebiasaan juga huhuuu, akan saya ingat2 lagi.
Hapus.
bukannya pakai koma atau ga pake koma, sih, saya cuma mau memberi intonasi aja kalau di situ lebih enak agak ada 'pause'-nya, jadi emang saya sengaja kasih koma, feel di saya lebih berasa kalo di situ dikasih koma.
.
Hmmm, saya ga ngerti apa yang salah dengan banyak narasi di prolog, setahu saya ga ada aturan bakunya kalo prolog kudu diselingi dialog atau engga. Makanya kalau saya bikin sesuatu itu yang sekiranya emang mau saya sampaikan dan penting untuk disampaikan, termasuk dialog yg Anda sebutkan itu, makanya ga saya hapus.
.
ngebor itu ngeBoR, logat yg dipakai Fatanir, saya fleksibel sih, jadi ga akan mempermasalahkan hal itu. Justru unik, kalau ada orang yang secara tricky melakukan permainan kata, walau cuma dangkal, tp jarang yang begitu.
.
Terimakasih komentarnya~
Hmm ... agak bengong saya membaca keseluruhan ceritanya. Sidangnya mungkin terlalu to the point. Barangkali dalam bayangan saya akan jauh lebih asyik kalau drama persidangannya dibuat lebih serang-menyerang dan bertahan secara lebih dramatis seperti di film-film Hollywood yang bertemakan sidang pengadilan. Tapi yah ... terpentok jumlah katakah?
BalasHapusYang paling mengganggu buat saya sepanjang cerita adalah underline-nya. Kadang saya merasa apa yang digarisbawahi itu penting, tapi kadang juga tak terlalu penting. Kesannya, penulis di sini sedang memaksakan "Ini loh, perhatikan kalimat yang ini, penting!" kepada pembaca. Padahal mungkin lebih enak kalau pembaca sendiri yang menentukan apakah itu penting atau tidak. Kalau untuk penekanan kata/kalimat, saya lebih prefer ke cetak miring.
Oh well, langsung poin saja. Karena dari awal sampai akhir agak datar saya menangkapnya, jadi pontenya 7+
- hewan -
PS: Kayaknya seru kalau Emoar Cyanith ini berduel keadilan dengan Cat Astro Phee
nah iya banget bang, awalnya saya mau fata bantu mima trus dapet cara buat menanginnya di situ, trus nanti beneran konter2an pas giliran fata, cuma ya gitu deh, sedih saya huhuuu
BalasHapus..
Hmmm, niatnya membantu saja sih dan memberikan suatu penekanan, simplifikasi sesuatu yg samar dan kadang menjadikan multitafsir. Saya prefer garis bawah karena lebih jelas dan ga akan tabrakan sama fungsi lain dr garis miring.
Thanks bang~