oleh : hewan
Ringkasan cerita sebelumnya:
Zainurma bangkit. Dia merapikan
lagi setelan jasnya yang berantakan lalu menyisiri rambutnya kembali hingga
klimis kemudian kacamata semi-gelapnya pun sudah tersemat kembali di wajah.
“OK, langsung saja.
Apakah Kau tidak bosan menggunakan cara biasa untuk mengumpulkan karya-karya
seni?” seru Zainurma. “Setidaknya berilah aku, sebagai Kurator Museum Semesta
ini, kesempatan untuk menawarkan yang lebih baik.
“Daripada mengumpulkan
jutaan karya seni kelas A, B, dan C, bukankah menurut-Mu lebih bagus
mengumpulkan ratusan saja, namun kelasnya adalah S dan SS? Aku menawarkan karya
seni yang tercipta melalui tetesan darah, keringat, dan air mata, oleh
mereka-mereka yang terbaik di semesta masing-masing. Aku menawarkan MAHAKARYA!”
Seringai percaya diri
Zainurma menutup pembicaraannya itu.
Setelah momen itu, sejumlah petarung tangguh dari
segala penjuru semesta akan mengalami mimpi yang sangat aneh.
Mereka telah ditandai.
Mereka semua akan dipanggil ke Alam Mimpi.
Mereka adalah Reverier yang akan saling bertarung
untuk menciptakan Mahakarya.
-reveriers-
Kerutan di kepala bantal Ratu Huban tampak lebih
ekspresif dari biasanya. Sayangnya, itu bukanlah keceriaan seperti yang selalu
dia tunjukkan. Ratu Huban merengut.
“Hiks, udah capek-capek kutandai ayam dan tokek air …
mereka malah WO! Dasar reverier pemberi mimpi palsu! Lalu si gadis payung hijau
yang lucu, serta gadis permen karet, karena mereka imut sepertiku jadinya
kutandai juga~ tapi ternyata sama saja! Huh! Sebal!!”
Ratu Huban pundung sendiri. Dia berjongkok di sana,
awan hitam kecil seolah bertengger di atas kepalanya. Ah, bukan seolah. Itu
memang awan hitam dan …
“Gyaaaa! Hujan!!”
Menggenggam tongkat permen gagang payung, Ratu Huban
langsung mengangkat tongkatnya itu. Tapi dia lupa kalau payung-nya tak beratap. Tak akan mampu melindunginya dari hujan
kecil nan aneh itu. Kesal, dihajarnya saja awan hitam menyebalkan itu dengan
tongkat permennya. Dan awan itu langsung meledak menjadi kepingan biskuit
coklat yang begitu jatuh ke tanah maka larut terserap dan tumbuh menjadi pohon
gulali.
Kadang Ratu Huban sendiri tak bisa menebak hal-hal
ajaib apa yang bisa terjadi di Alam Mimpi.
“Ah, ya sudahlah … kumakan saja gulalinya—”
Namun gulali itu sudah berubah menjadi durian.
Kali ini Ratu Huban benar-benar dibuat kesal.
Capek, dia berbaring saja. Tak peduli lagi dengan
segala hal yang berubah di sekitarnya. Sifat asli Alam Mimpi memang seperti
ini. Cenderung abstrak, selalu terdistorsi, dan berubah setiap saat. Namun
sejak kekuasaan Sang Kehendak merambah Alam Mimpi, ada sesuatu yang berbeda.
Ratu Huban menoleh ke samping, masih sambil berbaring.
Dia merasakan jauh di sana, di sejumlah sudut Alam Mimpi, terbentuk
wilayah-wilayah aneh yang disebut sebagai Bingkai Mimpi. Ya, Bingkai Mimpi ini
merupakan rekayasa Sang Kehendak. Ratu Huban ingat kalau Zainurma sang Kurator
pernah mengatakan bahwa Bingkai Mimpi adalah semacam studio untuk memproduksi karya seni. Akan tetapi, bahannya sungguh mahal: Reverier dan sejengkal semesta
mereka.
Dengan kekuatan mengamati mimpi, si kepala bantal bisa
menyaksikan sekitar 10 pertarungan sekaligus dalam selayang pandang. Dan kali
ini dirinya sedikit berbesar hati. Bukan hanya ayam dan tokek air saja yang
tersingkir. Rupanya ujian Bingkai Mimpi ini memang sulit. Sejumlah 25 pemimpi
tak sanggup menyelesaikan impian mereka di sana.
“Duh, mereka bakal jadi patung haniwa atau apalah,
biarkan saja~ mereka tak memberikan inspirasi apapun untukku.”
Kemudian Ratu Huban bangkit. Dia harus melaksanakan tugas-nya. Atau tepatnya, agenda
pribadinya.
-reveriers-
Setiap reverier yang selesai bertarung di Bingkai
Mimpi masing-masing akan didatangi oleh Ratu Huban, ditemani oleh Zainurma
ataupun Mirabelle. Dan makhluk kepala bantal itu akan menghadiahkan mereka
masing-masing seekor domba putih Alam Mimpi.
“Sebenarnya untuk apa domba-domba itu, Huban?” tanya
Zainurma penasaran.
“Hehehe … hadiah dariku untuk para pemimpi, tentu
saja. Tapi Paman Nurma nggak akan kukasih~” ledek Ratu Huban.
“Aku tidak butuh juga,” balas sang kurator ketus.
“Tapi para pemimpi akan membutuhkan domba-dombaku itu.
Dan domba-domba itu akan tumbuh bersama para pemimpi, membantu mereka dalam
setiap pertarungan~ keren, kan?”
“Sampai perlu dibantu domba aneh gitu, para reverier
seputus asa itukah?”
Perbincangan keduanya dipotong oleh sosok yang
kebingungan, yaitu salah satu reverier yang berhasil menyelesaikan misinya di
Bingkai Mimpi. Dia adalah seorang gadis berkacamata, tercatat sebagai entran
terakhir di katalog karya prelim.
Zainurma memberikan tatapan sambutan yang justru
tampak mencurigakan. Dia membuka kedua tangannya lalu menyambut, “Selamat,
Harum Kartini. Kamu adalah reverier terakhir yang … err, sebentar, itu kau
memang sehari-hari pakai begitu atau gimana?”
Gadis yang hanya mengenakan kaus singlet dan celana
super pendek itu balas merespon ketika melihat penampilan Zainurma. “MAFIA!” seru
si gadis, dilanjutkan dengan satu tonjokan keras ke arah wajah pria di
hadapannya.
Zainurma menghela napas. Pukulan itu tak akan berarti
apa-apa. Kemampuan abstraksi sang Kurator langsung bekerja memendarkan tubuh
fisiknya menjadi cahaya, membiarkan tinju si gadis hanya menyentuh angin. Lalu
tubuh Zainurma kembali terbentuk di tempat lain, tak terluka sedikit pun.
“Duh, jangan samakan aku dengan mafia rendahan yang
baru saja kau lawan,” keluh Zainurma. Lalu dia menjewer telinga si gadis. “Sudahlah.
Kau kuseret saja daripada banyak omong.”
“WAAAAAAAH, jangan jewer kuping aye, BAAAANG!!!”
Ratu Huban buru-buru bersiap. Tapi tak lupa dia pamit
ke domba yang disediakannya untuk reverier bernama Harum Kartini. “Domba~ kau
tinggal di Bingkai Mimpi ini, ya~ Kau jadi temannya Mbak Kacamata itu nanti.
Aku mau pergi dulu sebentar~”
“MBEEEE! (siap, boss!)”
Dan dengan berakhirnya kisah Harum Kartini di Bingkai
Mimpi semestanya itu, maka berakhir pula episode awal dari turnamen ini.
-reveriers-
Sejumlah 66 reverier berkumpul di suatu aula di Museum
Semesta setelah diundang oleh Zainurma sang Kurator dan Mirabelle sang Dewi Konservasi.
Aula dengan nuansa keemasan dan karpet merah itu segera memukau ke-66 reverier
tersebut. Suasana kemewahan yang biasanya hanya ditemui di kastel Raja. Namun
ada satu yang lebih membuat mereka terkejut. Pada dinding aula tersebut, tergantunglah
66 lukisan yang langsung membuat mereka merinding.
“Ini … aku yang sedang bertarung? Di lukisan ini?
S-siapa yang membuatnya?” ujar salah satu reverier yang wajah mabuknya segera
sirna.
Zainurma menyeringai, “Judulnya adalah ‘Naga Terkapar,
Langit Gempar’. Sedikit berlebihan kurasa judulnya, untuk ukuran karya yang
biasa-biasa saja. Tapi yah … bukan aku yang membuat judul itu. Bisa dikatakan
sebagian besar karya kalian cukup memuaskan. Biarpun masih jauh dari kualitas mahakarya, tentu saja.”
Kemudian masing-masing dari mereka langsung mencari
lukisan yang menggambarkan pertempuran mereka sendiri. Begitu mencengangkan. Para
reverier itu sampai melupakan kalau di antara mereka ada hiu berkaki yang
tampak kesulitan bernapas, serta sebongkah kaleng yang hanya berdiam di pojokan
(ajaib kalau mereka sadar jika kaleng ini merupakan reverier sebagaimana
mereka).
“Se…sebenarnya apa maksud dari semua ini?! Aku..
berada di mana? Dan siapa kalian berdua? Siapa mereka??” salah satu reverier
yang terlalu banyak berpikir malah mengutarakan semua tanda tanya di benaknya.
“Kujawab,” kali ini Mirabelle yang menanggapi, “kalian
adalah reverier—para pemimpi. Ini semua adalah karya kalian, tercipta dari energi impian yang terkumpul pada
pertarungan kalian di Bingkai Mimpi. Sekarang kalian berada di Museum Semesta,
tempat tersimpannya karya seni dari segala semesta. Kami adalah pengurus museum
ini.”
Jawaban itu malah membuat si penanya terdiam.
“Tapi dari 66 karya itu sayangnya ada 5 yang, katakan
saja, kualitasnya rendah,” Zainurma
menghela napas.
Semua reverier langsung mencari karya mana saja yang
dimaksud. Tak makan waktu lama. Tampak jelas ada segelintir lukisan yang kusam
dan diliputi aura suram. Setelah itu, Museum Semesta bergetar kuat. Para
reverier panik mengira itu adalah gempa. Zainurma dan Mirabelle yang mengetahui
apa yang akan terjadi hanya bisa memasang ekspresi kasihan.
“Maafkan aku,” ujar Mirabelle.
Dan puncak dari gempa itu, ada lima sosok manusia yang
menjerit kesakitan. Mereka memegangi bagian tubuh yang terasa sakit dan nyeri,
seperti ada tangan raksasa tak terlihat yang mencengkeram mereka kuat-kuat.
Kemudian tubuh mereka diliputi cahaya terang, semakin lama semakin terang.
“AAArrrghhhh!!!!”
“TiiidaaaaAAAAK!!”
“Ini…tolong, tidaaaaak!!!”
“UWAAAAAAAAAAAAA—”
“…….”
Jeritan itu berhenti. Cahaya tadi pun menghilang.
Sedangkan getaran di lantai, dinding, dan pilar, tak lagi terasa.
Lima sosok tadi kini sudah tak lagi berwujud manusia.
Mereka menjadi tembikar buruk rupa. Tentu saja semua yang melihat itu menjadi
panik, lebih panik lagi dari sebelumnya.
“Oi, a-apa-apaan itu?! Kok mereka jadi guci tanah
lihat??!”
“Hei, kalian berdua, JAWAB!”
Lalu dengan cepat suara-suara penuh tanya itu
bersahutan dari tiap-tiap reverier, seperti kaset rusak yang diputar
berulang-ulang. Dan saat kemarahan mereka hampir meledak, Mirabelle sudah
mengambil tindakan.
Tombak Plum terbentuk di tangannya, disapukan saja ke
arah kerumunan reverier. Mereka semua terhempaskan ke segala arah, berjatuhan
seperti daun yang diterjang angin.
Mungkin mereka memang reverier terpilih dari begitu
banyak kandidat di segala penjuru semesta, dan mereka sudah membuktikan
kemampuan di Bingkai Mimpi. Tapi kehilangan begitu banyak inspirasi di sana
membuat para reverier itu dalam kondisi terlemah sekarang. Mereka bahkan
melupakan segala macam teknik bertarung yang mereka miliki.
Salah satu gadis bertentakel hitam di antara para
reverier itu, dalam posisinya yang masih berlutut, mendongakkan kepala dan menatap
lekat-lekat sosok Mirabelle seolah mengenalnya. Tapi sang Dewi mengabaikan
tatapan tak berarti itu.
Zainurma kembali berlisan, “Huban si Kepala Bantal
yang sedari tadi hanya berdiri diam di pojok aula ini akan membawa kalian
kembali ke Bingkai Mimpi. Kalian akan menetap di sana sampai mendapatkan
instruksi untuk proses penciptaan karya berikutnya.”
Hanya terdengar geraman dari sejumlah reverier sebagai
balasan.
Sang Kurator menjentikkan jari. Lima tembikar buruk
rupa itu mulai melayang-layang di udara. Zainurma akan tetap menyimpan
karya-karya jelek itu, karena toh dia hanya seorang kurator. Tugasnya hanya
mengurus. Semua karya ini bukan miliknya.
“Dengar, bukan aku musuh kalian,” kata Zainurma. “Bukan
aku yang mengubah lima orang itu—dan 25 reverier lain, sekadar informasi untuk
kalian—menjadi benda seni murahan.”
Para reverier masih tak bisa menjawab.
“Mungkin kalian tak percaya tapi … pada dasarnya aku dan
Mirabelle sama saja seperti kalian. Tak punya kebebasan lagi. Dan satu saja
saran dariku. Gunakan kesempatan ini untuk membuat diri kalian menjadi kuat.”
Setelah mengucapkan itu, Zainurma pun pergi. Mirabelle
berjalan menyusul di belakangnya. Lalu sosok berkepala bantal berjalan berjingkrak
penuh keceriaan seolah tak bisa membaca mood
berat yang menaungi aula pameran tersebut.
“Ayo~ saatnya kalian kembali~ Domba-domba kalian bisa
kesepian kalau terlalu lama ditinggal di sana~~”
Mereka hanya bisa pasrah membiarkan Ratu Huban
melempar mereka ke portal ajaib, satu demi satu.
Dalam hati beberapa reverier, mereka bukannya tak
percaya pada ucapan Zainurma. Mereka sempat melihat sendiri tadi, sekilas saja,
tampak di kejauhan sosok patung yang wujudnya begitu mengerikan. Ah, bukan …
yang paling mengerikan bukanlah wujud dari patung itu. Yang paling mengerikan
adalah saat mereka menatap sekilas ke arah patung itu, mereka langsung merasa
jiwa mereka tertekan teramat kuat. Mereka dihadapkan pada keberadaan yang begitu
tinggi sehingga nalar mereka seolah bisa saja hancur seketika hanya sekadar
menatap wujud keberadaan itu.
Semua akan mengingat tentang patung itu …
Sang Kehendak.
-reveriers-
Sementara itu, terjadi perubahan drastis di semesta
asal para reverier. Bangunan, jalanan, atau apapun yang tadinya menjadi lokasi Bingkai
Mimpi mereka, semuanya kini menghitam. Begitu kelam, tak terasa memancarkan
hawa kehidupan sedikit pun. Tampak begitu kontras dengan tempat lain di
sekitarnya yang masih hidup dan berwarna. Orang-orang yang tadinya ada
di sana kini menghilang. Semua berpindah secara ajaib ke Alam Mimpi sebagai
Bingkai Mimpi. Yang tersisa dari tempat-tempat itu hanyalah warna hitam yang
lebih kelam dari kegelapan itu sendiri.
Penduduk di tiap semesta itu panik luar biasa atas
kejadian aneh tersebut. Dan entah apa reaksi mereka jika ada yang mengatakan “Semua
ini barulah awal.”
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Selamat mengapresiasi~
Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.
PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.