oleh : J. Fudo
--
'Ugh..'
Suatu kala di ranah rekaan...,
'A-aku.. di mana? Aku siapa?'
...tersebut sebuah makhluk berwujud ganjil.
"Reverier... mahakarya..."
'Hah..? Apa..? Siapa itu?'
Ia muncul entah dari mana, hidup entah bagaimana.
Ia tak memiliki indera, tapi mengerti rasa.
"Alam mimpi..."
'M-mimpi?'
Ini adalah sebuah dongeng dari antah berantah.
Sebuah dongeng tentang seorang bapak...,
'Aaaaah!'
...dan sebuah kaleng penyegar ruangan.
Satu: Kaleng-Bapak-Stalla
Buta, lalu kentara.
'D-di mana..?'
Semburat cerah menyapu bumi, mewujudkan rupa lansekap di hadapannya.
Pepohonan rindang di sisi kiri, hijau lebat menentramkan visi. Pemandangan itu berlanjut pada padang rumput yang menjalar ke kanan hingga depan. Agak jauh ia bisa menatap julangan pegunungan, berbaris dan berdiri gagah.
Sementara di kanan, gedung-gedung dan bangunan berjajar apik mencakar langit. Di selanya terpapar jalan aspal, berkelok membelah kota. Alas yang terbuat dari rangkaian paving kelabu, bersusun ke arah kiri.
Padang rumput dan susunan paving itu bertemu di tengah. Seolah bertabrakan, titik temunya membentuk garis melengkung-lengkung yang terus membujur hingga cakrawala.
Lalu di sanalah ia, sebuah kaleng semprot ajaib berwarna hijau sedang tergeletak di bagian kota, tepatnya di dalam tempat sampah.
"Tuhan Maha Besar," terdengar suara dari seorang bapak yang mengenakan kemeja batik lusuh. Di pundaknya terpanggul sebuah keranjang besar dari anyaman bambu.
'T-tolong..'
Bapak itu tersentak. Ia segera mengarahkan pandangannya ke sekeliling, mencari sumbernya. Bapak bingung, suaranya begitu jelas tapi tak ada siapapun di sekitarnya.
'Aku di sini..'
Merasa suara itu berasal dari sana, Bapak melongok ke dalam tempat sampah di depannya.
'Ya, aku yang bersuara. Tolong angkat aku.'
Alangkah terkejutnya Bapak mendapati dari mana suara itu muncul. Kaleng. Sebuah kaleng penyegar ruangan dengan logo STALLA besar di permukaannya.
"K-kamu yang bicara pada saya?"
'Benar, Tuan,' jawab kaleng itu. 'Alangkah baiknya hati Tuan jika berkenan mengeluarkan saya dari tempat ini.'
"B-baiklah, tunggu," jawab Bapak, "akan kukeluarkan. Ufh, kenapa kamu lebih berat dari kelihatannya?"
Singkat cerita, Bapak lalu membawa kaleng itu ke kediamannya atas permintaan si kaleng.
Bapak tinggal di sebuah gubuk dengan atap kardus dan dinding triplek yang tampak sempit, hanya cukup untuk tidur bagi dua orang. Rumah ini dilengkapi dengan sebuah kasur dan meja kecil. Di pinggir meja terdapat sebuah lilin dan Kitab Suci lusuh. Si kaleng lalu diletakkannya berseberangan dengan lilin.
"Jadi, kamu sebenarnya apa?" tanya Bapak pada si kaleng.
'Aku tidak tahu,' jawabnya, 'aku hanya terbangun di sana tanpa ingatan apapun.'
Bapak menggaruk kepalanya, bingung. Ia sepertinya juga telah menyadari bahwa suara si kaleng cuma bisa didengar olehnya. Sepanjang perjalanan pulang mereka berkomunikasi, tapi setiap orang hanya memandang heran.
'Aku seperti melupakan semuanya,' lanjut si kaleng. Masih setengah tidak percaya dengan yang dialaminya, Bapak kemudian beranjak dari duduknya.
"Tunggu sebentar, Stalla," ujar Bapak. "Biarkan aku mandi dahulu."
'Stalla?'
"Ya, Stalla. Itu merkmu kan? Lebih mudah kupanggil jika kamu memiliki nama."
Bapak tersenyum pada kaleng ajaib itu sebelum kemudian melafalkan doa dan melangkah pergi menuju kamar mandi publik. Stalla menunggu sembari memperhatikan seisi rumah lebih seksama. Stalla mendapati sesuatu di salah satu dinding, selembar foto yang diselotip.
Gadis yang manis, pikir Stalla. Gadis kurus itu mengenakan kaos hijau putih dan rok biru selutut yang sedikit sobek. Rambutnya dikepang dua, mempermanis senyum cerianya. Di foto itu ia tampak duduk di sebelah Bapak, di atas dipan. Bapak tampak lebih muda di sana.
'Siapa anak itu?' ucap Stalla, heran.
"Maia," sahut Bapak sambil menghanduki rambutnya. "Maia Maharani, anak Bapak."
'Anak?'
"Iya, itu foto ketika dia masih hidup. Manis sekali, bukan? Sungguh, pria tua ini dulu selalu terhibur karena senyumnya."
'Jadi sekarang anak itu..,'
"Iya," potong Bapak, "Maia meninggal ketika ia masih di usia sekolah."
'Maaf.. seharusnya aku tidak mengingatkanmu, Tuan.'
"Tidak apa, tidak usah dipikirkan," jawab Bapak. "Sudah lama aku sebatang kara. Bahkan istriku pun meninggal setelah dia melahirkan Maia."
Stalla bisu. Ia sedikit menyesal menanyakan perihal foto tersebut. Ingin ia menghibur sang Bapak, tapi ia tak tahu bagaimana.
"Omong-omong, kamu kaleng penyegar ruangan kan?" tanya Bapak tiba-tiba selagi merapikan kemeja batik yang dipakainya.
'Um, apa? I-iya, sepertinya.'
"Aku hendak berangkat ke tempat sujud, beribadah. Kekasih Tuhan pernah menyebutkan, sebelum beribadah sebaiknya mandi dan memakai wewangian jika memiliki. Bukankah Stalla juga bisa dibilang wewangian?
"Ijinkan kupakai sedikit isimu, Stalla," pinta Bapak.
'Um, baiklah, Tuan,' jawab Stalla. 'Tapi aku tidak yakin tubuhku ada isinya.'
"Halah beratmu segitu, masa tidak ada isinya?" jawab Bapak diikuti tawa yang renyah. "Aku minta, ya?"
Bapak mengangkat tubuh kaleng Stalla, menyentuh bagian kepala semprotan dengan ujung telunjuk. Tapi ada yang ganjil saat Bapak menekannya, bukannya terdengar bunyi khas semprotan malah bunyi benda berat yang jatuh. Mendengar itu, Bapak seketika menunduk.
Betapa terkejutnya beliau mendapati benda menakjubkan yang berada di antara kakinya. Besar dan tampak berat. Bentuknya batangan, keras lagi panjang.
Itu emas.
"Oh, Tuhan.."
Dua: Gleastran-Emas-Pusaka
"Cepat antarkan padaku! Aku lapar!"
Bergeser ke jagat yang sama di ujung kota agak jauh dari tempat Stalla, berdirilah sebuah istana dengan gaya khas kisah seribu satu malam. Pintunya perak, dindingnya pualam. Atapnya tertutup oleh jajaran kubah berlapis logam mulia. Di empat sudutnya tertanam pilar marmer yang tegak dan kokoh, memperkuat keelokannya.
Istana itu dikelilingi gedung-gedung miring yang membentuk lekukan hingga atapnya nyaris menyentuh tanah. Semua bangunan di hadapannya terkuak seolah memberi ruang bagi pengagum istana untuk mengamati kemegahannya.
Di sanalah hidup seorang penguasa lalim yang memerintah kota tinggal si Bapak Pemulung.
"Apa ini?! Aku mau donat Djoko, bukan pizza!" teriak sang Raja sembari membanting piringnya ke wajah pelayan. "Kamu tidak tahu ya kalau Djoko lagi diskon!?"
"T-tapi, Paduka Raja...," keluh si pelayan. Sepotong pizza tampak menempel di dahinya.
"Tidak ada tapi! Pergi lagi, cari sampai dapat!"
Tertatih, pelayan itu berlari keluar dengan sedu di matanya. Sang raja mendengus, gurat kesal terukir di wajahnya.
"Huh, dasar pelayan busuk," umpatnya. "Beraninya ia mengabaikan perintahku."
Raja lalu membetulkan posisi duduk, menggeser pantatnya yang lebar. Singgasana merah berhias berlian yang pondasinya dibuat dari besi berlapis perunggu itu mulai sedikit terasa sempit untuknya. Jubah sutera merah berajut benang-benang emas itu tak mampu menutupi perut yang membuncit. Bahkan mahkotanya tampak kekecilan di wajah sang raja yang membulat besar.
Begitulah, ketamakan sang raja terlukis di penampilannya.
"Kukuku.. benar, Paduka Gleastran," kata seorang pria yang berdiri di samping singgasana, "seharusnya mereka bisa mengerti apa mau Paduka Raja."
"Iya, aku kan bisa kelaparan!" maki Gleastran seraya mengelus tambun perutnya.
"Betul, Paduka," balas pria itu sambil menggosok-gosok telapak tangannya. "Apa jadinya negara kita kalau Paduka kelaparan? Siapa yang memerintah? Kukuku..."
"Ah iya. Hai Faren, kau sudah dengar gosip yang beredar di antara selir-selir kerajaan?"
"Sudah, Paduka. Perihal pemulung tua itu, bukan?" jawab Faren, pria tadi. Gleastran mengangguk.
"Kudengar pria itu beberapa minggu ini berkeliling ke berbagai tempat dengan bongkahan emas dan berbagai benda berharga lainnya," lanjut Gleastran, "dan kau tahu apa yang dia lakukan dengan emas itu?"
Faren menggeleng, "Tidak, Paduka."
"Dia berani memberikannya pada para manusia hina! Pemalas yang tak mau bekerja dan membayar upeti untukku!" teriak Gleastran, sedikit murka. "Bukankah lebih baik jika emas itu diberikan padaku yang sudah bersusah memimpin negeri ini untuk mereka?! Untuk apa ia membagikannya ke para pecundang itu?!"
"Wah, wah, wah.. tidak bisa dibiarkan itu, Paduka! Harus diberi pelajaran si bodoh itu!" Faren menanggapi. "Bagaimana kalau...,"
"TUAN PADUKA RAJAAAA!"
Tiba-tiba seorang pengawal berlari memasuki ruangan raja dengan berpeluh keringat.
"Beraninya kamu teriak-teriak di ruang Yang Mulia!" teriak Faren. "Minta dihukum ya kamu?!"
"Tenang dulu, Faren," sela Gleastran. "Sebaiknya kamu membawa kabar penting, karena kalau tidak akan kupancung kamu."
"T-tuan Paduka Raja pasti akan sangat terkejut mendengar ini," balas si pengawal gugup.
"Kami berhasil menemukan benda pusaka itu!"
===
'Kenapa Tuan melakukan itu?'
Bapak menaruh tas keranjang sampahnya di pojokan, sedikit memijat pundaknya yang tampak pegal sebelum kemudian mendatangi dipan. Bapak baru pulang ketika Stalla menanyainya.
"Melakukan apa?"
'Jangan pura-pura tidak tahu, Tuan. Aku tahu Tuan menyumbangkan semua yang Tuan dapat dariku.'
"Ya.. habis tidak butuh, hehe," Bapak menyeringai. "Banyak yang lebih membutuhkan daripada aku. Aku masih bisa makan dengan menjual sampah."
'T-tapi Tuan kan juga hidup berkekurangan. Dengan uang dari penjualan itu, Tuan bisa membeli rumah yang lebih layak.'
"Hahaha, buat apa rumah yang lebih layak jika aku menghuninya sendirian?" tawa Bapak.
"Lagipula, Stalla, itu semua bukan hakku. Harta yang menjadi hakku hanyalah harta yang kudapat dari jerih payahku.
"Selain itu, jika aku merasa sayang memberikan harta itu untuk mereka yang lebih butuh, bagaimana aku bisa merasa pantas mengharap diberi surga yang kita dambakan? Sungguh surga itu harganya tidak semurah tumpukan harta yang kamu berikan, Stalla."
Stala bisu. Meskipun sejujurnya ia juga masih bingung bagaimana semua harta itu bisa keluar dari tubuhnya, tapi menurutnya Bapak sebaiknya memperlakukan dirinya lebih. Diperhatikannya saja Bapak yang duduk melepas lelah di sudut ruangan, bersandar ke dinding triplek yang ringkih.
'Omong-omong, Tuan,' Stalla mengalihkan obrolan, 'sudah berminggu-minggu aku bangun di tempat itu dan berada bersamamu. Sudah cukup lama tapi aku sama sekali tidak ingat bagaimana aku bisa muncul di sana. Aku ingin tahu, kenapa sebenarnya aku bisa berada di dunia ini?
'Apakah aku memang terlahir di tempat itu atau hanya hilang ingatan?'
Bapak tertegun sejenak sebelum selanjutnya tertawa renyah.
"Entah ya, Stalla," ucap Bapak. Tampak ia menggosok lututnya.
"Setiap makhluk di dunia ini memiliki tujuan. Manusia? Sebagai pimpinan di muka bumi. Tanaman? Sebagai penghasil oksigen utama. Ayam? Sapi? Untuk makanan. Bahkan kecoa pun ada untuk memberitahukan kita bahwa tempat huniannya itu sudah kotor.
"Begitu pun kamu, Stalla. Kemunculanmu memberikan berkah bagi kami. Aku bisa menyebarkan kebahagiaan berkat dirimu.
"Mungkin memang kamu muncul di dunia ini untuk memberikan rasa syukur di usia tua pria renta ini," ujar Bapak, menunjukkan senyum terindahnya. "Terima kasih, Stalla."
'T-tapi, Tuan, jika begitu, apa peranku sudah usai?'
"Haha, tentu belum," ujar Bapak seraya mengganti kemeja batik lusuhnya dengan kemeja safari putih. Sebuah peci hitam lalu disandangkannya di atas kepalanya yang penuh uban.
"Bahkan mati pun kita masih bisa berguna bagi orang lain."
'L-lalu apa peranku setelah...,'
Suara Stalla terhenti ketika ia mendengar suara keras dari luar. Suara itu merdu dan terasa membangkitkan semangat. Stalla sudah hapal, itu adalah panggilan bagi Bapak untuk pergi ke tempat sujud dan beribadah.
"Ah, sudah dikumandangkan. Saya ke tempat ibadah dulu, ya? Sudah senja," pamit Bapak.
Stalla hanya mengiyakan meski masih gundah. Satu-satunya hal yang diingatnya sebelum terbangun adalah suara-suara aneh yang tak jelas. Suara itu seharusnya memiliki petunjuk penting mengenai keberadaannya. Kenapa ia dilahirkan? Kenapa ia bisa ada di sana? Sungguh ia ingin mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang membelenggunya.
Tapi hampa.
Stalla lalu meperhatikan Bapak yang menggenggam gagang pintu, hendak melangkah ke luar rumah. Entah sejak kapan ia mulai akrab dengan nuansa itu. Seandainya ia bisa tersenyum, mungkin Stalla akan tersenyum mengantar Bapak.
'Tuan, hati-ha..,'
"APA-APAAN INI?!"
Stalla tersentak. Bapak berteriak keras sekali. Sedetik berikutnya beberapa pria dengan pakaian besi memaksa masuk ke dalam.
"CARI BENDA ITU, PASTI ADA DI DALAM SINI!"
Bapak didorong jatuh, tersungkur di luar pintu. Miris, rumah yang hanya triplek dan kardus itu dirusak. Pintu depan dikoyak, kanan kirinya ditendang seenaknya. Mereka yang berjumlah tiga orang masuk ke dalam ruangan yang sempit itu.
Salah satu dari mereka kemudian menyadari keberadaan Stalla.
"ITU DIA BENDA PUSAKANYA! PASTI YANG ITU!"
'A-apa yang kalian inginkan?! Aku tidak.. aaaah!'
Tiga: Semprot-Pilar-Anomali
"Hohohohoho..."
Gleastran tampak senang, benda yang diidam-idamkannya sedari kemarin akhirnya telah berada dalam jangkauannya. Begitu gembiranya ia, hingga dibebaskannya budak dan pelayan yang bekerja di istana acap kali si pelayan melakukan hal yang menurutnya patut diberi hadiah. Faren beberapa kali mengingatkan tapi tak digubris oleh sang Paduka.
"Perasaanku sedang senang, biarkan aku berbuat semauku atau kamu yang kusuruh menggantikan mereka," ancam Gleastran ketika Faren mengungkit perbuatan sang Raja. Faren tentu hanya bisa diam.
"Yang Mulia! Para utusan sudah kembali!" salah seorang pengawal melapor. "Sepertinya mereka membawa hasil yang memuaskan, Paduka."
"Bagus, cepat bawa benda pusaka itu kemari!" perintah Gleastran.
Tak berapa lama kemudian seorang selir jelita memasuki ruangan dengan sebuah nampan. Nampan bertaplak merah itu dilengkapi dengan penutup berbentuk setengah bola. Ia melangkah perlahan, mendekati Gleastran yang pantatnya bak tersangkut di singgasana.
"Hahaha, aku akan mendapatkan emas yang melimpah! Barang seperti ini lebih layak untukku ketimbang pria tua itu, hahahahaha!" tawa Gleastran saat ia membuka penutup itu dan menemukan Stalla di dalamnya.
'Di-di mana aku? Apa yang hendak kalian lakukan padaku?' gumam Stalla.
Nihil, tak tampak seorang pun mendengarkan. Stalla mencoba lagi untuk berkata-kata, tetap saja tak ada reaksi. Bahkan mungkin tak ada yang sadar bahwa Stalla hidup. Bagi orang selain Bapak, Stalla hanyalah kaleng berat yang ajaib.
Gleastran kemudian meraih Stalla, menggenggam lalu mengaduknya sedikit.
"Kenapa berat sekali?" bisik Gleastran. "Pasti emasnya banyak, huahahaha!"
Gleastran tidak tahu, selama ini Stalla tidak pernah mengeluarkan sesuatu lebih dari sekali. Pertama kali emas, kemudian perak, lalu besoknya berlian. Tidak pernah sama meski sejauh ini semuanya adalah benda berharga. Tanpa mengetahuinya, Gleastran tetap menekan tombol semprotan dengan harapan akan muncul emas dari dalamnya.
Satu semprotan.
"APA INI?! BUSUK!"
Entah bagaimana Stalla mengeluarkan gas pembuangan yang sangat tidak sedap dihirup, seperti kentut. Naas, seluruh ruangan seketika dipenuhi bau tidak enak. Sebagian menutupi hidungnya dengan kerah baju, ada juga yang terbatuk-batuk. Sebagian lagi yang tidak tahan segera keluar dari ruangan itu. Gleastran sendiri muntah di tempat, tak tahan dengan aroma yang sangat menyengat itu.
'Kenapa yang keluar malah gas busuk?' tanya Stalla pada dirinya sendiri.
"Kurang ajar! Siapa yang bilang benda ini bisa mengeluarkan emas!?" hardik Gleastran. "Kamu, bersihkan tempat ini!"
Selir yang ditunjuk mengangguk dan segera mengambil alat pembersih lantai.
"A-anu, Paduka," Faren memberanikan diri bicara, "mungkin tadi kebetulan saja. Mungkin Paduka salah cara memegangnya."
"Kamu saja yang coba, aku tak sudi," kata Gleastran sambil menyodorkan kaleng itu pada Faren. "Ingat, jangan sampai apapun yang keluar dari situ mengenaiku!"
Faren menerimanya. Ia menyentuh kepala semprotan Stalla dengan ujung telunjuk, berharap tidak ada benda buruk yang akan keluar.
Semprotan kedua.
"Aaaagh!"
Kali ini suatu cairan merah muncrat ke depan dan sebagiannya mengenai kaki Faren. Perih, punggung kaki Faren terbakar ketika tersentuh cairan itu. Dia spontan jingkrak-jingkrak kesakitan.
Magma.
Benda panas itu pun melelehkan ubin istana dan membentuk lubang besar di tengah-tengah.
"Sudah kuduga, untung bukan aku yang terkena," ujar Gleastran.
Berikutnya para pengawal diperintah oleh Raja untuk mencoba menyemprotkan Stalla bergantian tapi tak seorang pun berhasil mencapai hasil yang memuaskan. Dari mulut Stalla muncul berbagai benda tak berguna mulai dari air, kayu, batu, bahkan debu. Kian lama hal ini membuat amarah Gleastran kian memuncak.
Stalla sendiri heran. Ia tak tahu bagaimana benda-benda itu bisa muncul dari dalam tubuhnya. Stalla jadi bersyukur Bapak tidak pernah mengeluarkan benda yang berbahaya sebelumnya, seperti Magma tadi.
Semprotan terakhir, kosong. Kali ini benar-benar tak ada apapun yang keluar.
"APA-APAAN INI!" teriak Gleastran, tak lagi mampu menahan kesabarannya. "KALIAN MENIPUKU, YA?!" Para pengawal yang diutus mengambil Stalla tampak ketakutan.
"T-tidak, Paduka," ucap salah satu dari mereka. "Kami yakin karena kami pernah melihat pak tua itu yang berkeliling membagikan permata."
"PANGGIL PRIA TUA ITU, SEGERA!"
===
"U-ugh, aku.. kenapa?"
Di tengah lapangan istana tertanam sebuah pilar besi raksasa. Di dalamnya berongga, menyerupai cerobong. Bapak diikat menggunakan rantai dengan punggung menempel pilar. Telanjang dada, pakaian yang dikenakannya hanya sehelai celana.
"Selamat datang di istana," sambut Gleastran, menghampiri Bapak dengan sebuah cambuk di genggaman. Tak hanya Gleastran, di sekitar juga banyak pengawal. Mereka tersebar di pinggir lapangan, melindungi raja dari segala kemungkinan.
"Sekarang, sudikah kamu berbaik hati memberitahukanku bagaimana menggunakan ini?" tanya Gleastran sembari memperlihatkan Stalla dalam genggamannya.
"Stalla," lirih Bapak, "kamu tidak apa-apa..."
'I-iya, Tuan," jawab Stalla. 'Tapi aneh, aku tidak bisa berbicara pada siapapun selain Tuan.'
"Dengarkan aku, pria tua," Gleastran berkata halus. "Jawab pertanyaanku, bagaimana menggunakan ini?"
"A-aku tidak tahu, Paduka..."
Cambuk melayang. Gleastran tak segan menyiksa Bapak demi memperoleh yang ia inginkan.
"Jawab, bagaimana kamu bisa mendapatkan emas dari benda ini?"
"Sungguh, Paduka, hamba tidak ta...aaagh!"
Lecutan kedua.
Stalla berteriak pedih. Hatinya seolah teriris menyaksikan Bapak dirundung cambuk sementara dirinya tak sanggup berlaku. Datang satu pertanyaan, satu lecutan menyambutnya. Ia mencoba berteriak sekuat tenaga, memanggil-manggil sang raja demi memohon ampunannya.
'T-Tuan Raja! Paduka! Raja Gleastran! Tolong.. tolong hentikan.. Raja..!' panggilnya berulang-ulang. Nihil, Gleastran tak menghentikan gerakannya.
"Pertanyaan terakhir, bagaimana kamu bisa mengeluarkan emas dari kaleng ini?"
"H-hamba.. tidak... hhhh...." jawab Bapak lemas. Badannya lecet di sana-sini. Sekujur tubuhnya merah, nyaris tak menyisakan warna kulitnya semula.
"Dasar keras kepala," ujar Raja kesal.
"Bakar dia."
Para pengawal saling memperhatikan sebelum akhirnya maju mendekat. Stalla panik. Ia berusaha memanggil-manggil dan memohon Gleastran agar membatalkan titahnya ketika para pengawal memasukkan bara ke dalam pilar.
Api dinyalakan.
'T-Tuan... Tuan Paduka Raja Gleastran!'
"Hah?! Siapa yang berani..?!"
'I-ini aku, Tuan Paduka, aku. Aku kaleng Stalla yang sedang Tuan pegang.'
"K-kamu? Kamu hidup?!"
Ajaib, suara Stalla mendadak didengar. Gleastran sontak melepas Stalla dari genggamannya, terkejut. Semua pengawal seketika terpatung, heran melihat kelakuan sang Raja. Tentu saja, karena suara Stalla kali ini hanya bisa didengar oleh Gleastran.
'T-tolong hentikan. A-aku bisa mengabulkan keinginanmu,' pinta Stalla. 'T-Tuan Paduka Raja menginginkan emas, bukan?'
Stalla tahu ia tak bisa mundur lagi. Hanya ini satu-satunya cara bagi Stalla untuk bisa menyelamatkan Bapak. Jangankan emas, ia tahu sebenarnya dirinya tak bisa lagi mengeluarkan apapun, tapi ia tetap nekat. Baginya saat itu, yang penting Bapak selamat.
"Hmm.. tunggu, kamu bilang bisa mengabulkan keinginanku?" tanya Gleastran. "Berarti tidak hanya emas, tapi apa saja yang kuminta bisa kamu kabulkan?"
Seringai licik terukir di muka gendut itu. Stalla sesaat gentar, tapi ia benar-benar tak bisa menarik kata-katanya.
'Iya, Tuan,' tegas Stalla, 'tapi ada syarat yang harus Paduka lakukan.'
"Apa itu?"
Stalla berpikir keras. Bagaimanapun, ia tak bisa lolos dari apapun yang akan dihadapinya. Terakhir kali ia tak bisa mengeluarkan apapun dari dalam tubuhnya, lebih-lebih emas. Stalla memutar otaknya hingga membuat Gleastran tak sabar.
"Kaleng rongsok, apa syaratnya?!"
'A-ah, anu...'
"Aku bisa menyebarkan kebahagiaan dan senyuman berkat dirimu."
Stalla teringat kata-kata Bapak. Kebaikan sang Bapak yang begitu menyentuh, menginspirasinya.
Kini ia tahu apa yang harus dilakukannya.
'Jadi begini, Paduka Raja,' ujar Stalla yakin, 'untuk bisa mendapatkan tumpukan emas sesungguhnya sangat mudah. Jangankan emas, segala yang Paduka inginkan bisa hamba berikan.'
"Ayo cepat katakan, jangan ditunda-tunda," keluh Gleastran tak sabar.
'Tuan cukup melakukan seratus kebaikan dalam sehari, tidak kurang tidak lebih,' tanpa keraguan, Stalla meneruskan, 'dan aku harus mengawasinya.'
"Ah, seratus kebaikan? Mudah sekali, akan kulakukan!"
'Tapi Paduka,' Stalla melanjutkan, 'kebaikan ini tidak boleh diwakilkan, harus Tuan sendiri yang melakukan.'
"Haha, itu perkara mudah!"
'Pertama, mungkin Paduka bisa memulai dengan melepaskan dulu Tuan Pemulung dan pulangkan ia,' pinta Stalla.
Akhirnya Gleastran terbujuk untuk melepaskan Bapak. Meski dengan luka di sekujur tubuh, Bapak spontan bersujud dan mengucapkan syukur pada Sang Kuasa. Bapak akhirnya dibiarkan pulang dengan air mata berlinang. Ia tak tahu apa yang terjadi, tapi ia yakin Stalla telah melakukan sesuatu untuknya.
"Antar ia keluar istana," titah Gleastran ke salah satu pengawalnya. Hal ini membuat Stalla tenang, paling tidak untuk saat itu.
'Dengan begini, Tuan akan kembali dengan..,'
Jrash
Butuh sedetik bagi Stalla untuk sadar.
Tubuh Bapak menyisakan pinggang ke atas, terkapar di lantai istana.
"T-Tidaaak!"
Stalla terperanjat.
Kepala pengawal yang mengantar Bapak tadi membelah empat, menjulurkan lidah panjang berujung lancip. Bagian punggung terbelah, memperlihatkan mulut besar vertikal penuh taring. Di sela giginya masih tampak kaki Bapak tergantung berlumuran darah.
Tidak hanya pengawal itu, sebagian pemukim istana juga mengalami peralihan rupa. Seiring histeria para pelayan, puluhan monster mewujudkan diri dari manusia.
Dalam hitungan detik, teriakan dan rintihan beradu dengan suara muncrat darah di segala penjuru lapangan. Terang beralih petang, panorama mimpi buruk telah dipertontonkan.
"T-TOLONG AK..AARGH!!"
Gleastran tak ketinggalan. Sesosok makhluk dengan wajah hanya mulut melompat menyerbunya. Ia menggigit dan mencabik dada Gleastran untuk mengambil dan mengunyah jantungnya yang masih segar. Di pundak dan sekujur tangannya berpuluh bola mata berputar-putar, melotot ke segala arah.
Stalla yang tadinya berada di saku raja, terjatuh dan bergulir hingga terantuk pohon.
'U-ugh..'
Entah sejak kapan tembok istana ambruk, memperlihatkan situasi kota.
Tak jauh berbeda, warga kota satu per satu berubah rupa. Sebagian mewujudkan sayap, terbang memenuhi langit. Angkasa seolah malam, mereka beterbangan laksana kawanan gagak yang siap mencabik bangkai. Sisanya merangkak dan merayapi daratan, menerkam siapapun yang bisa dimangsa.
Laksana genosida, makhluk-makhluk bengis itu menyiksa tubuh siapapun manusia yang ada di dekat mereka hidup-hidup. Tangan diputus, kaki dicabik, perut dikoyak, mata dicongkel. Berbagai titik di perkotaan menjadi merah, bersimbah darah.
Stalla hanya tergeletak tak berdaya di tengah kacau. Moralnya runtuh melihat orang-orang dinistai di depan wajahnya. Buruknya, ia bahkan tak mampu bereaksi. Jangankan kabur, menutup mata pun tak bisa. Inderanya memaksa agar ia peka terhadap keadaan dimensi.
"S-Stalla...."
Sesosok pria tua tanpa kaki mendekati Stalla. Ia merayap dengan tangan, satu-satunya alat gerak yang masih bisa ia gunakan. Bola matanya hilang sebelah, memperlihatkan rongga yang penuh darah. Bagian pinggang ke bawah lenyap, menyisakan aliran merah yang menciptakan jalur seretan di belakang.
Itu Bapak.
'T-Tuan..,'
"M-Ma..ngh... iia..ghh.. akkkugh.. sssuddahhh mmahtttiii...GRAAARH!!!"
Wajah Bapak terbelah.
Dari dalamnya mencuat lidah silinder besar serupa cacing dengan rambut-rambut halus di ujungnya.
'T-tidakk!'
"Baaaargh!"
Semua kecerahan itu, kini samar. Langit biru berubah ungu, kepulan awan berubah kelam, sementara sang surya menggelap seolah gerhana. Suara teriakan terdistorsi, bau darah pun melenyap perlahan. Sedikit demi sedikit penglihatan Stalla kian padam saat lidah itu melilit tubuhnya.
Namun tak lama, Stalla terjatuh. Di sisa pandangannya yang mendekati hitam sempurna, Stalla masih mampu melihat tubuh Bapak diterjang figur yang amat besar.
Sementara itu siluet bocah berkepala bulat mendekat.
"Aku hanya melakukan pekerjaanku.."
...
Kentara, lalu buta.
===
"Ini karena kamu berlama-lama menunggu akhir bahagia, Huban."
"T-Tapi, Paman Nurma," Huban yang diajak bicara, berdalih, "kisahnya saat itu belum berakhir, aku hanya menunggu saat yang tepat... Aku tidak menyangka domba-domba hitam itu...,"
"Sudahlah," potong Nurma, "lagipula dia tidak mati. Suruh dombamu membawa kaleng ini."
"Omong-omong, Paman. Paman Nurma.. tahu kan?" tanya Huban.
"Ya," jawab Nurma.
"Dia anomali."
anjir...anjir.... :v
BalasHapussungguh pembawaan yang unik sekali. saya kira fudo ngebawain dongeng yang alurnya linear tp endingnya sungguh tak terduga
dari perkenalan sampai sidang di istana sih ane gak ada keluhan cuma ane bertanya-tanya soal kemunculan para monster yang terkesan dadakan
oh siluet kepala bulat, i see.... cuma kesannya jadi deus ex machina, coba kalo itu terjadi karena stalla berserk dan ngamuk-ngamuk.. mungkin lebih berkesan
8 dr dukun bajingan
Aduh.. kan.. sudah kuduga bakal rada kerasa deus ex machina meski sebenernya inentional XD
HapusBut anyway, thanks for reading :D
Nanti kubaca balik :v
stelah lampu ajaib aladin skrang ada kaleng ajaib. apa kalo digosok2 jinnya juga keluar?
BalasHapussaya suka ini cerita. paling ringan, paling mudah dimengerti. konfliknya dapet pesan moralnya bagus cuma saya gagal paham di endingnya knp tiba muncul makhluk2 aneh gtu? jd 8
Saya kurang menjelaskan berarti XD
HapusAaanyway, terima kasih sudah membaca :D
Saya lumayan terkesan sama pembawaan cerita ini. Tadinya saya kira bakal jadi cerita sarat makna di akhir, tapi endingnya agak tiba" buat saya. Kurang penjelasan dan berkesan ada buat ngakhirin cerita. Sayang, padahal karakter Stalla ini keliatannya lumayan bagus buat dieksplor
BalasHapusNilai 8
Jadi, menurut Paman kurangnya adalah endingnya terlalu ngambang? Hubungannya sama karakter Stalla?
HapusAnw, makasih Paman :D
Gimana ya...emang ngambang sih iya, cuma jadi berkesan ga ada konklusi. Kepotong gitu aja biar cerita ini selesai, meski saya bisa ngira" si kepala bulat ini maksudnya siapa
HapusBerarti harusnya dieksplor lebih dalam dulu ya?
HapusWell, okay. Noted.
Kyaaaa Stalla kereeennn :*
BalasHapusStalla dari negeri seribu satu malam... :*
Ada kisahnya, ada pesan moralnya, ada konfliknya. Narasinya singkat tapi bagus. Jadi penasaran petualangan Stalla di babak babak selanjutnya
Endingnya kerasa tiba-tiba, tapi Stalla tetap kereeennn
Nilai 9
Merald
Haha, makasih banyak udah baca :D
HapusSemoga next round bisa lebih bagus ^^"
Saya udah baca alternate ending. Dan kayaknya-tbh-saya lebih seneng alternatenya. Karena walau sederhana, tapi bermakna gitu. Haha~ Tapi bukan berarti resminya gak bisa dinikmati~
BalasHapusYa, kayak kata yg udah", emang agak dadakan gitu. Hmm ... itu pala bulet Oneiros? Sepanjang baca baru entri ini doang keknya yg menghadirkan si kepala mata itu~
Adegan pd jadi momonnya ngingetin sm anime parasyte. Yg muka jadi kebelah-belah--dan terus makan pala orang. Iyaks, true horor. Aaakh. Kek alien--sesuatu yg sangat absurdly terrifying buat saya Q_Q
Titip 8. Kalo twistnya punya foreshadow kuat bisa perfect score :>
-Sheraga Asher
True horor.. ini yg sempet aku tanyain, Fi.. mau di-twist di sebelum ending atau setelah true ending (setelah tipe ending 'happily ever after')..
HapusTapi kayaknya both choice is not a good one...
tengkyu anyway :D
Mau komentar ternyata sudah diwakili
BalasHapus1 kata: Dongeng.
Ini citarasa ala Hans Christian Andersen, dimana kisahnya memang buat anak anak.
Penuh makna, sarat bahasa, dan alam dongeng khas jaman kecil.
Legenda Kaleng Ajaib.
Penuh makna, penuh petuah hidup.
Dan kampretnya, gak terkesan menggurui pembacanya. (Itu masih susah di aku =3=)
8.
OC: Kaminari Hazuki
Semoga kesan dongeng dan maknanya gak ilang di R1 XD
Hapusterimakasih sudah baca :D
komen
BalasHapusceritanya unik dan menarik
00 tapi cerita nya agak bikin baper
bagus sih bahasanya sudah bagus dan :3 like read a tale
endingnya agak sedih aku kasihan ma bapaknya
(hiks)
8
OC : Cain Amakusa
Well, dia sub OC.. mestinya bakal ada cara buat bangkitin dia lagi, since ini alam mimpi XD
HapusMakasih udah baca btw :D
alur ceritanya mulus kaya jalan tol cipali. dan endingnya nggak terduga. saya kira bakal jadi cerita dongeng atau cerita religi. bagus, bagus :3
BalasHapusnilai 9. semoga sukses..
Dwi Hendra
OC : Nano Reinfield
Thanks dah dibaca gus XD
HapusWaaaa asik-asik~
BalasHapusSuka banget sama ceritanya. Udah dibilang sama komentar-komentar yang diatas, ceritanya kayak dongeng. Ringan tapi ada pesan moralnya. Saya sebagai yang masih anak-anak /plak suka banget sama cerita ini. Nggak sempet mikir imajinasi endingnya kayak gimana. Alhasil agak gak terduga endingnya bakal kayak gitu. Nice work kak!
Saya nilai 8/10
Raditya Chema | Zauber Magi
Good job... XD
BalasHapusDongeng ala mas fudo sukses dibawakan dengan baik, awalnya sempet bingung. Ini stalla mau dibawain ceritanya gimana,pertarungannya gimana dll, eh taunya ala-ala dongeng. Gak nyangka sumpah, ditambah pembawaanya juga enak.
Meskipun sempet bingung sih sama kemunculan monster2 itu, ya cuma kurang penjelasan aja sih. Selebihnya okelah...
Nilai : 8
Mahapatih Seno
Langsung teringat dongeng tentang dongeng asal usul kenapa laut asin, walau ceritanya langsung dihancurkan oleh kambing hitam..
BalasHapusGa cuma ratu huban, ane pun penasaran gimana endingnya *hiks*
Yah.. walau cara memotong ceritanya bener2 bikin ane sebagai pembaca, WAAAH!!
#modebaper
Noooo! Pas lagi penasarannya gimana pas si bapak baru dibebaskan, scene langsung berubah jadi.. ugh.. itu menyakitkan hati.. *seka air mata*
..uh, baik. ane emang ga pande ngasih review
Tapi sumpah ane menikmati entry ini
---------------
Rate = 9
Ru Ashiata(N.V)
Aduh, saya beneran kangen dengan narasi bernuansa dongeng/fabel seperti ini.
BalasHapusNarasi oke, makna dan pesan tersampaikan, dan twist yang bangke banget.
Untuk sebuah kaleng pengharum ruangan yang ajaib, Stalla berhasil menunjukkan bahwa ia bisa bersanding dengan karakter-karakter yang lebih "hidup" dibanding dia.
Dengan segala keterbatasan Stalla, justru itu yang membuat dia menarik di setiap jalannya cerita.
Ini Entri pantas dikasih 9 karena beda dan berani!
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
Wui, ceritanya keren abis. Penuh amanah dengan ending tak terduga. Kaya baca dongeng di buku, tapi pas mau selesai serasa mau ngelempar buku itu.
BalasHapusGleastran, jadi keingat raja disebelah sama yang buat. Sengaja banget, deh!
10 dariku
-=AI=-
UMI SUKA DONGENG #jempolKegedean
BalasHapusOke, Umi suka cerita ini, gimana si Bapak ngajarin Stalla, gimana akhirnya Stalla berjuang buat bantuin bapak dari si Lalim
But ... you destroy the enjoyable thing in the end T~T
Umi gagal paham sama kemunculan monsternya. Like, kok bisa? Dari mana? Kenapa?
Jadi dari Umi:
Nilai: 8/10(karena Umi suka dongeng)
OC : Song Sang Sing
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusDamn damn damn kenapa kau hancurkan dongeng ini di akhir cerita..
BalasHapusjujur saja awalnya saya enjoy banget baca di awal2 tapi mood langsung turun drastis setelah tiba2 para monster nggak jelas itu muncul.
Nilai 7
PenulisDadakan (Arca)
Cerita dongeng, saya suka. unik banget. belum pernah saya nemu yang kayak gini di BoR. dan karakter Stalla itu seru. si kaleng pengharum ruangan haha. dan pesan moralnya kena. sederhana dan apa adanya.
BalasHapusTwistnya bagus, cuma masih agak kurang. bener kata mbak Noni. dikasih forshadow dulu kayaknya bakal sempurna.
Overall, aku kasih 8/10 dulu. dari Bian Olson.
aduh komenku ilang padahal udah baca ._.
BalasHapusoverall...
aku jatuh tjintah sama stelle //salahoinamanya
sekranag pertanyaan kakek kuatku sudah terjavvab... kuat banget ya? mungkin dia kake legend trus tobat //bukan
1. stella hidup... tiba tiba masuk mimpi. dipungun kake legend
2. dibavva pulang, mau dibuat parfum yang eluar emas. padahal engharum ruangan. dilema sekali hidupmu mz stella
3. si raja kepingin stella lalu nyulik bapak bijak ini
4. tadinya aku kira stela bakal jadi sesuatu kayak abu navvas. tapi sesuatu yang lebih keren terjadi. zombie apocalypse bung...
negotiatenya berasa, tapi gaya bertarungnya... ga kelihatan (atau justru abu navvas-like nya itu gaya bertarungnya?. tergantung pemegang jadinya.
somehovv bobot cerita di kerajaannya kerasa terlalu berat. maksudnnya ngambil jatah tayang si stella dan kakek
so 8/10 karena saya suka karakternya dan kepingin liat lanjutan si oneiros (kan ya?)
OC: Zia Maysa
Kaget saya lihat endingnya...
BalasHapusDari awal pembawaannya mirip dongeng dan saya pikir akhirnya bakal 'good end', tapi semua berubah setelah monster anehnya menyerang. Tapi dari awal sampai akhir menurut saya seru-seru aja. Ngomong-ngomong si kakek sakti amat, habis dimakan bagian bawah tubuhnya masih hidup.
dari saya nilai 8, semoga sukses~
OC: Snow Winterfeld
Jengjet, saat membaca cerita ini ... satu hal yg bener2 bikin sy gatel mau nyela. Itu keterkejuta si Babeh waktu nemuin Stalla kemana? Kurang aksi. Kurang emosi. Kurang ekspresi. Datar gitu. Berkesan gk natural. Cuma karena emang gaya ceritanya berbau dongeng, sy agak maklum.
BalasHapusNah, sepanjang cerita sy dibawa ke masa lalu, mengenang kisah2 di zaman bocah. Gaya narasi ringan khas dongeng, boleh juga. Haha.
Dan, sy kira bakal berakhir dgn si Raja yg jadi budiman, gak taunya datang pengacau mimpi. Kalau yg udh terlibat sama BoR pasti tau dia itu Oneiros, tapi kalau pembaca awam sy rasa gk bakal ngeh. Pun dibawakan dgn cara yg mirip dgn "Deus ex Machina". Barangkali nanti lebih diperjelas lagi.
Anyway, karena sy pingin si kaleng lolos ... maka nilai puncak (10) menjadi hadiah dari sy.
Sekian, Alesio Novante.
GILAK!
BalasHapusSaya benar benar kaget itu liat endingnya, pembangunan ceritanya cukup bagus ditambah dengan ending yang.... sensasional.
Saya akan sangat senang kalau Ganzo akan berhadapan dengan Stalla nanti jika sang kurator menghendaki xD sisanya sudah dijelaskan beberapa orang diatas~
Walakhir 9
Ganzo Rashura
Dongeng kaleng penyegar ruangan...
BalasHapusDayum~
Intro awalnya udah keren, tau-taunya si Kaleng nyempil di tempat sampah, wkwkwk
Buseeet, hari ini saya baca marathon isinya tentang agama.
Dan sekarang, si bapak juga banyak ceramah tentang akhlak yang sarat dengan agama.
Sungguh mulia sekali jalan pikirmu pak tua...
Kematian si Bapak...
I didn't see that coming...
._.
Endingnya berhenti sampai di sana, cliffhanger pulaa
SIYALAAAAN
DX
Nilai : 7
OC : Venessa Maria