oleh : Wildan Hariz
--
PRELUDE
TO A DREAM
ALPHA
WAVE
Riuh melanda hamparan luas pematang sawah. Semarak
para petani menyambut musim panen terdengar. Asep mendengar kalau tahun ini
adalah salah satu panen terbesar dalam sejarah. Ia sama sekali tak ingin
melewatkan perayaan besar nanti malam di Balai Desa. Sudah dua bulan hujan dan
cuaca tak mendukung aktivitas melanda Desa Karikil. Tak menguntungkan memang
bagi para pekerja. Namun ada berkahnya bagi ladang yang dahaga akan air setelah
kemarau panjang.
Tali sepatu Asep ikatkan kuat-kuat. Ia tak mau
terlihat konyol oleh teman-temannya kalau jatuh karenanya. Muka Asep sudah
menor benar dengan bedak yang dibubuhkan ibunya. Begitulah ibu. Anak ingin
bermain saja penampilannya harus prima, seperti akan mengantri giliran sunat.
Kendati Asep bukan salah satu di antara antrian itu, ia tetap pakai bedak itu
dengan bangga.
“Mah. Asep main dulu yah! Nanti udahnya mau nginep di
rumah Rudi. Jam 8 pagi pulangnya!” seru Asep seraya membanting pintu tak
sabaran.
“Iya! Hati-hati ya, Sep! Jangan ngerepotin ibunya Rudi
di sana!”
Ibu Asep bahkan tak perlu repot menoleh lantaran ia
asyik menonton sinetron Turki. Entah pula kata-katanya sampai telinga Asep atau
tidak. Yang penting, ia percaya bahwa kata-katanya selalu diindahkan oleh Asep,
seberapa kalipun ia pernah memberontak.
Dengan sarung diselendangkan pada bajunya, Asep memacu
langkah sandal jepitnya ke balai desa. Cuacanya cukup dingin bagi Asep yang
memakai celana pendek, jadi ia mulai memakai sarungnya untuk melindungi bagian
bawah berharganya yang kedinginan.
Sampai di balai, anak-anak sudah berkumpul. Para
orangtua juga tak mau kalah. Mereka menghidangkan masakan yang teramat banyak.
Kerjasama para ibu di desa memang mengagumkan. Makanan-makanan itu tersaji
menggugah selera. Jika satu keluarga
disajikan makanan seperti itu setiap hari, niscaya mereka akan bahagia tanpa
perlu lagi memikirkan akan diisi apa perut mereka, pikir Asep. Tanpa sadar
perutnya bereaksi meski tanpa bunyi. Melihat makanan itu membuatnya lapar.
“Hei Sep! Akhirnya datang juga. Ke sini cepet!”
“Iya, Mamahnya Rudi!”
Asep menyahut panggilan seorang ibu. Tangannya kirinya
sibuk menata makanan sementara tangan kanannya melambai cepat ke arah Asep. Ibu
Rudi terkenal piawai menarik hati para anak-anak dengan masakan enaknya. Ia
mempunyai sebuah toko yang isinya jajanan anak-anak. Beberapa warga sempat
protes karena ia membuka rental video game belakangan ini. Tentu saja
berkebalikan dengan riangnya anak-anak atas dibukanya rental itu.
“Sep, kamu makan apa aja?” Rudi melirik piring plastik
yang dibawa Asep. Teman Asep yang satu ini cukup latah dengan tren. Bukan
berarti Asep adalah seorang trendsetter secara umum, tapi Rudi hampir selalu
ingin hal yang sama dengan orang-orang di sekitarnya. Teman-temannya beli
mainan kotak sulap, Rudi ingin. Mereka beli robot-robotan berbaterai yang bisa
‘bicara’, Rudi ingin. Mereka beli jeli hijau lengket tak jelas gunanya, Rudi
ingin.
Dengan ini bisa dibilang Asep merupakan salah satu
trendsetter lokal terkemuka bagi Rudi. Asep hanya bisa berharap jika suatu hari
teman-teman Rudi, kecuali Asep, ingin jatuh dari tebing terasering, Rudi tidak
akan ingin ikut-ikutan mereka.
“Nagasari, Leupeut, Putu, Bubur Pacar … Banyak lah
pokoknya. Gratis ini. Semua orang bersenang-senang di acara panen ini, kan?
Jadi kenapa mesti nahan diri?” Cukup banyak narasi tentang Rudi sebelum Asep
akhirnya mengungkapkan apa yang menjadi menunya malam itu.
“Udah ini makan Peuyeum Mang Udin, yuk! Terakhir baru
Es Doger,” ajak Asep pada Rudi dengan mata berbinar. Tak ia sangka makanan yang
tersedia malam itu merupakan makanan terbaik versinya.
“Yuk!” sahut Rudi singkat. Sesingkat perannya di
cerita ini.
Balai Desa Karikil mempunyai aula yang cukup luas.
Beragam buffet makanan berjajar di dalamny. Gaya buffet diterjemahkan sebagai
‘parasmanan’ oleh warga sekitar. Di halaman balai berdiri sebuah panggung
lengkap dengan sound system dan para pemain musik. Pemandangan ini sudah
seperti pesta pernikahan. Namun tidak ada yang menikah. “Semuanya untuk
mensyukuri panen.” Cuma itu yang bisa Asep tangkap dari sambutan kepala desa di
awal tadi.
Sisa acara itu bisa Asep tebak. Selanjutnya pasti ada
pentas seni dari beberapa kelompok warga. Dilanjutkan dengan karaoke ibu-ibu
dan bapak-bapak. Jika datang dengan ibu atau bapak, Asep akan terpaksa
menikmati semua itu sampai akhir. Tapi tidak kali ini. Ia punya teman untuk
diajak bersenang-senang.
“Heh, ketemu lagi sama si jagoan SD Munjul II. Masih
badung kamu, Asep!?”
Asep, Rudi, dan beberapa teman lainnya duduk-duduk di
selasar usai menghabiskan es doger. Mereka mendapati tiga anak perempuan
menghampiri. Satu di antaranya menyapa Asep.
“Belum jagoan banget, sih. Tapi iya, kenapa emangnya?”
jawab Asep merendah.
“Aku tantang kamu, Sep! Tahu kuburan Pasir Malati
dekat lapang bola sesudah jembatan?”
“Tahu, tahu.”
“Kalau kamu berani lewat sana pulangnya, berarti kamu
jagoan.”
“Hahaha, peraturan apaan sih, itu?” Teman Asep yang
bernama Anggi menimpali sembari mendelik, “Cuma lewat kuburan sih semua juga
bisa kali.” Anggi lantas melakukan tos kepalan tinju dengan Asep yang
berekspresi bosan.
“Kegampangan
itu,” remeh Asep. “Nggak ada yang lain? Aku malas kalau cuma begitu.”
“Fuck you, Man ….
Kalau kamu nggak berani, berarti kamu pengecut! Mana ada jagoan pengecut.
Hahahaha!”
Namanya Fadilla. Sejak TK, ia sudah mengenal kata-kata
itu—kata-kata asing andalannya jika ada sesuatu yang bertentangan dengan
kemauannya. Kemungkinan seharusnya di usianya yang 12 tahun ini ia sudah
mengerti artinya. Tapi tetap saja, ia pakai pada situasi yang telah disebutkan.
Lengkap dengan jari tengahnya. Meski pelafalannya kurang akurat.
“Fuck you, Man!”
Asep lantas berdiri. Menambah jari tengah menjadi dua agar Fadilla kalah
jumlah. Nia dan Fergy, dua anak perempuan yang bersama agak terkejut. Sementara
Fadilla nampak tak heran. Di TK nol besar pun Fadilla sering beradu jari tengah
dengan Asep. Malah, gerakan Asep sekarang ini sudah Fadilla duga.
“Kalau gitu tambahlah tantangannya. Di sawah
seberangnya kan ada bebegig. Kamu
ambil itu buat bukti. Buat pialanya!” Anggi lagi-lagi menimpali. Nia dan Fergy
mengiyakan. Begitu juga Fadilla.
“Euh. Kamu sih malah nggak ngebantu, Nggi. Tapi itu boleh
juga. Tantangan diterima!” seru Asep.
“Oke. Nanti besok aku sama Nia, sama Fergy, bakal nunggu
di tepi sawah itu. Jam tujuh malem, ya!” Mereka bertiga pun beranjak.
“Aku ikut ya, Sep,” Rudi akhirnya angkat bicara,
sesuatu yang sudah Asep duga.
“Jangan dong, Rud. Ini kan tantangan sendiri-sendiri.
Bukan duaan.” Ibarat Asep hanya sedang memainkan video game petualangan dengan
satu joystick, ia berhasil meyakinkan Rudi untuk tidak ikut. Lagipula, memangnya
apa yang akan terjadi di kuburan kalau ia bisa lari dengan cepat? Fadilla tidak
bilang kalau ia tidak boleh lari.
Dengan pemikiran itu di benaknya, Asep pulang ke rumah
setelah pamit pada teman-temannya. Sedikit diomeli ibunya karena ia pulang
terlalu malam. Merepotkan ibunya yang sudah ingin terlelap tapi harus menunggu
mengunci pintu sebelum anaknya pulang. Lain hal dengan suaminya yang sudah
mendengkur pulas dalam sarung. Namun semua seperti air di daun talas berkenaan
dengan fokus pendengaran Asep. Ia hanya berpikir untuk tantangan esok hari …
***
… sampai akhirnya, esok adalah hari ini. Susu yang
disiapkan ibu Asep ia habiskan dalam sekali teguk seperti belum minum apapun
dua hari. Ibu Asep yang melihat fenomena itu lantas bertanya, “Emangnya mau ke
mana kamu, Sep? Bukannya besok udah ujian, ya? Kamu udah belajar, belum?”
“Aah … kata belajar mah untuk orang kolot, Mah! Nanti
aja lah.”
“Huh, kamu tuh … dibilangin malah ngeyel.”
Asep tak acuhkan omelan ibunya. Ia malah melengos ke
kamarnya untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Sesaat sebelum berangkat, ia
melirik tumpukan mobil-mobilan di sudut kamarnya. Asep lantas berteriak tanpa
keluar kamar.
“Mah, ini mobil-mobilan punya siapa!?”
“Lah? Mamah kira itu punya kamu!?”
“Bukan, kok. Kelas enam udah nggak main ginian lagi
Asep mah.”
“Lantas punya siapa?”
“Nggak tahu, Rudi? Nggak mungkin, mungkin punya …”
Asep tak melanjutkan kata-katanya. Tepatnya tak bisa. Mobil-mobilan
yang baru saja kasatmata di depan matanya tiba-tiba raib. Kemana perginya? Pikir Asep. Ia cari di kotak mainannya sampai agak
berserakan. Namun hasilnya nihil.
“Jadi, punya siapa?” tanya Ibu Asep saat Asep keluar
kamar. Asep hanya menaikan kedua bahu. Tak berniat ia mengatakan apa yang
dialaminya barusan. Takut dibawa ke psikiater. Satu-satunya cara yang
membuatnya tenang adalah meyakinkan diri sendiri bahwa itu hanya halusinasi.
“Heh! Jadi pergi!? Belajar gimana!?” suara ibu Asep
menyentak tatkala Asep memakai sepatu sendalnya, yang mana ia balas dengan enggannya, “Iya, IYA!
Nanti malem aja belajarnya!”
Bantingan
pintu oleh Asep lantas hanya membuat ibu Asep melongo dan menggeleng atas
kelakuan anaknya.
***
“Jangan jadi tolol, dong,” Asep berkacak pinggang. Di
depannya, Fadilla, Nia dan Fergy tak kalah berkacak pinggang. Ternyata mereka
sedang berargumen tentang boleh tidaknya Asep berlari saat melewati kuburan
Pasir Malati tadi. Tiga perempuan itu nampak tidak terima.
“Tapi nggak bisa gitu, dong! Jelas-jelas kamu lari
tadi!” balas Fergy.
“Iya! Walaupun kami cuma lihat dari jauh, tapi kami
nggak buta!” tambah Nia.
“Kalian kan nantang cuma buat lewat! Udah aku bilang
kan, jangan jadi tolol karena kata-kata sendiri!”
“Hhhh … susah emang ya kalau udah urusan sama kamu,
Sep! Ngeles aja bisanya!” Fadilla menggigit jari, kalap, “Aku nanti bilang sama
anak-anak di sekolah baru tahu rasa!”
Meski terkenal badung di sekolah. Sebenarnya Asep
cukup keberatan jika diberi tantangan yang mistis menurutnya ini. Ia lebih
berani mengajak berkelahi seorang anak SMP kelas tiga yang sedang risau Ujian
Nasional daripada harus berurusan dengan hantu atau setan. Sederhananya: Asep
sangat takut hantu, tapi tak mau para gadis itu tahu.
“Tanya aja sama semua orang! Semua pasti mihak Asep
yang hebat ini,” balas Asep semakin dongkol, “Tantangan udah selesai, kan!?
Sekarang biar aku yang pilih tantangan buat kalia—” Sedang dongkol-dongkolnya,
angin kencang hampir berhasil menerbangkan atap jerami sebuah saung tua tempat
mereka bertengkar, seolah ada kehendak lain yang tak merestui suara-suara
mereka yang berisik. Hanya sebentar sebelum angin mereda.
Nia menarik baju Fadilla, “I-I-Itu … Poc—”
“Apa sih Nia!?” Fadilla baru saja selesai merapikan
rambut kucirnya yang teraniaya angin. Sekali Fadilla mengamati ke mana arah
telunjuk Nia, seketika itu pula Fergy tersentak menjerit.
“POOOOOOOOCOOOOOONG!”
Jeritan itu lantas bersipongang dengan suara Nia dan
Fadilla yang tak kalah memekakan telinga. Bunyi kaki-kaki mereka yang melangkah
panik turun dari saung dan memilih sandal hanya terdengar samar.
“M-MAAAAH! AYA
JURIIG!” alih-alih lari kocar-kacir, Asep malah mematung di sana. Suara
teriakannya memang berhasil keluar. Tapi kakinya sama sekali tak mau terangkat
dari saung itu. Suara Asep yang jelas menunjukkan rasa takut dan memalukan itu sempat
membuat ketiga gadis saling tatap. Namun sebelum mereka punya waktu untuk itu,
mereka sudah lebih dulu ambil langkah seribu, “AAAAAH! POCOOOOONG!”
Dari jarak cukup dekat, nampak sebuah bebegig secara
seram telah didandani menyerupai pocong–makhluk
yang diyakini merupakan perwujudan hantu orang mati terbungkus kafan. Asep tahu
itu hanya bebegig, tetap takutnya tak terbendung. Embusan angin sudah berakhir.
Bebegig mana yang mampu bergerak sendiri kalau bukan kerasukan setan?
Kayu tempat bebegig itu terikat, yang seharusnya
menancap dengan dalam pada permukaan lumpur sawah mendadak seakan melenting
mendekati Asep di saung. Kayu meloncat, membawa bebegig berkain kafan semakin
dekat dengan Asep. Semakin jelas Asep dapat melihat bahwa hanya terdapat tiga
bolong persegi panjang membentuk wajah pada kepala bebegig itu. Menambah horor
pada Asep.
Jantung Asep berdegup lebih kencang. Ia menelan ludah.
Gimana kalau bebegig itu makan aku nanti?
batin Asep cemas. Kain compang-camping bebegig itu Asep kira pasti
menunjukan sudah lebih dari sebulan bebegig itu ada di sawah. Bebegig pocong
itu pasti lapar. Asep sungguh tidak ingin mati konyol jadi santapan seonggok
bebegig jerami. Jerami itu makanan ternak! Mati karena ini membuat Asep merasa
lebih rendah dari kambing. Apa yang akan dikatakan koran besok? Seorang pemuda
mati dimakan oleh bebegig? Sungguh tidak keren.
Kayu tempat kembali melenting ke arah saung. Sekitar
satu meter dari saung, kayu itu berhenti, menyajikan bebegig jerami yang sedari
tadi melihat Asep. Kini Asep dapat melihat kaki sang bebegig yang berupa
mobil-mobilan anak-anak.
“Hmph …” Asep hampir saja tak kuat menahan tawa
melihatnya. Tak ia sangka ada yang rela mengikat mobil-mobilan untuk kaki
bebegig. Tapi hasrat ingin tertawanya tak bisa membendung hasratnya buang air kecil,
sebagian hasil ketakutan melihat mobil-mobilan itu sama dengan yang ia lihat
sore tadi.
“A-aku adalah Pucung. Melihatku berarti kamu akan
mengalami penyesalan seumur hidupmu. Kau akan membenci dirimu sendiri jika
tidak berubah.”
Asep sudah menduga bebegig itu akan melakukan hal
aneh. Tapi tidak bicara. Apalagi ultimatumnya sama sekali tidak membuat
perasaan Asep lebih baik. Di sisi lain, ia bersyukur hal pertama yang bebegig
itu lakukan bukanlah memakannya.
“Waktumu 70 hari,” lanjut makhluk yang mengaku Pucung
itu.
Lidah Asep kaku. Yang paling membuat Asep takut adalah
ia mendengar suara yang jelas ditujukan padanya, namun tak ada gerakan sama
sekali dari mata dan mulut makhluk itu. Tak ada hidung. Untuk sekedar membalas,
perlu usaha keras.
“A … apa …”
Itu yang terbaik yang bisa Asep lakukan.
Geming adalah respon Pucung.
Lantas mata Asep tak kuat untuk berkedip.
Berkediplah ia. Kini Pucung tak kasatmata.
Asep yakin dirinya baru saja bertemu dengan hantu.
Tidak ada bebegig yang bisa menghilang. Tidak ada! Kecuali yang baru dilihatnya
tadi. Malam itu Asep habiskan berlari ke rumah dengan berteriak penuh horor,
memaksa orang tuanya meminta maaf pada beberapa tetangga didampingi Pak RT.
***
NREM-1
Ruang gelap membuat penampilan seorang gadis
tersamarkan. Ia asyik berkutat dengan sebuah peranti bernama elektrod. Konon, saat benda itu
dihubungkan dengan EEG (electro-encephalograph), maka aktivitas elektrik dari sebuah
otak dapat terukur. Inilah yang dimanfaatkan seorang pria di belakang gadis
tadi untuk ‘merealisasikan’ sebuah semesta sempit yang bernama Bingkai Mimpi
pada suatu individu. Pria itu benama Zainurma.
“Mirabelle. Sudah cukup pemberian gelombang alfanya.
Sekarang mulailah gelombang NREM-1. Kontrol sensasi hipnagogik-nya untuk semua Reverier yang telah kutandai,” perintah
Zainurma.
“Baik. Semuanya berjalan sesuai prosedur.”
Entah bagaimana gadis itu dapat mengoperasikan
elektrod di ruangan segelap itu. Yang jelas, Mirabelle sudah melakukan perintah
Zainurma. Kini mereka berdua bisa kembali menyaksikan apa yang akan terjadi
selanjutnya.
***
Kembali ke Desa Karikil. Sudah sekitar dua setengah bulan
sejak para penduduk digegerkan dengan kemunculan bebegig pocong dari pengalaman
anak-anak yang iseng berkeliaran di sekitar sawah dekat pemakaman Pasir Malati.
Anda pasti tahu siapa.
“Asep mana?”
“Itu, tuh. Asep yang ada codetnya!”
“Ma-masa, sih!? Anak badung itu?”
“Iya! Beneran!”
Pak Edi menggaruk kepalanya sejenak, “Wah nggak bisa
dibiarin ini. Pokoknya nanti malam Bapak akan bilang ke Pak Sanusi. Biar ada
personil tambahan di jadwal ronda mala ini. Kita harus awasi rumah Asep di hari
yang dijanjikan ini. Kasihan dia kalau sampai kenapa-kenapa.”
Sebagai ketua RW. Pak Edi punya kewajiban mengusut
kasus yang mengusik warga sekitar. Pasalnya, setelah anak-anak itu mengatakan ada
bebegig pocong yang nampak di dekat Pasir Malati, banyak kasus anak-anak kelas
satu SD ke bawah yang mengalami penyakit Teror
Malam. Pak Edi dan para aparat desa lainnya mulai merasa ini adalah sebuah
pola.
Bagaimana kabar Asep? Cukup baik. Setidaknya untuk
saat ini. Asep, Fadilla, Nia dan Fergy menjalani kehidupannya seperti biasa. Mereka
yang sudah kelas enam SD tinggal menunggu hasil Ujian Nasional.
Pada hari inilah, Asep melihat Pucung lagi.
Sekitar jam 10 pagi usai sekolah Asep berniat pulang
ke rumah. Hari ini seharusnya ada amplop yang akan sampai ke rumahnya. Amplop
ini menentukan kelulusannya. Biarpun ia banyak mengacau pada saat ujian, senyum
puas malah tersungging di wajahnya karena pagi ini ia berhasil menjahili
teman-temannya untuk terakhir kalinya. Tidak
ada yang lebih memuaskan dari itu, Asep pikir. Tidak pula isi amplop
kelulusan membuatnya khawatir.
“Heh, mau apa lagi kamu, Fadilla!? Belum puas ku siram
pakai air tadi, ya?”
Di jalan itu Asep mendapati Fadilla agak basah.
Guru-guru tidak tahu kalau Fadilla dijahili oleh Asep karena para murid sudah
bebas dari pelajaran dan boleh pulang jam 10. Asep kira Fadilla sudah mengadu
ke seseorang.
“Kamu nggak penasaran sama tenggat waktu yang bebegig
itu bilang?”
“Kenapa harus? Toh aku nggak ngerti apa maksudnya,”
jawab Asep enteng. Ia berniat lewat sambil tak mengacuhkan Fadilla. Namun
kata-kata berikutnya menghentikannya.
“K-kau harus. Karena aku ada di sini.”
Bulu kuduk Asep
berdiri. Ini pagi menjelang siang, dan ia tak sedang ada di kuburan. Namun ia
kenal cara bicara ini. Nadanya membuat lutut Asep bergetar. Tak berani ia berbalik,
tapi ia dapat mendengar bunyi roda mobil-mobilan mendekat.
Ini bebegig itu! Pasti
bebegig sepatu mobil-mobilan itu! Sial! Sial! pikiran
Asep berusaha berontak.
Tiga.
Dua.
Satu.
Berhasil. Asep berbalik badan dan setengah kaget mendapati
wajah Pucung beberapa senti dari wajahnya. Tinggi mereka hampir sejajar.
Sepertinya Pucung tidak mengenal yang namanya istilah body bubble.
“H-hei … ke-kenapa kamu muncul sekarang!? Katanya 70
hari …” Tunggu, tanggal berapa ini?
batin Asep. Tak seperti sebelumnya, kali ini Asep dengan mudah dapat bicara
dengan Pucung. Ia tak sekaget di pertemuan pertama. Hari-hari bebas juga
membuatnya lebih rileks. Ia bahkan lupa ini hari apa.
“Bo-bodoh. Kau pikir perhitungan waktu kita sama? Kau
terlalu yakin, bocah manusia.”
Pucung mengulurkan tangan, mencengkram baju Asep. Ia menarik
Asep menuju rumahnya yang tinggal beberapa belokan. Orang-orang keheranan
melihat Asep. Rupanya mereka tak dapat melihat Pucung. Itu yang Asep sadari. Bisa
dibayangkan alangkah paniknya mereka melihat seorang anak SD diseret oleh
bebegig. Setidaknya beberapa orang dijamin menjerit.
Bendera kuning berkibar di persimpangan jalan menuju
rumah Asep. Satu lagi berkibar sangat dekat rumah Asep. Pak Hansip sudah siaga
jika ada kendaran lewat sana. Asep sungguh tidak ingin mendengar lelucon bahwa
orang tuanya masuk partai tertentu dalam keadaan ini.
“Bohong. Ini bohong, kan?” Asep melepaskan cengkraman
tangan jerami Pucung yang longgar. Ia langsung menembus orang-orang yang
mondar-mandir masuk ke rumahnya. Beberapa duduk di teras dengan kursi-kursi
entah dari mana. Ibu-ibu duduk mengitari sebuah jenazah . Asep mendapati dirinya
sendiri sedang menangis keluar kamar.
Barulah Asep sadari bahwa tubuhnya saat ini transparan,
sementara Asep yang sedang menangis tidak. Jam dinding menunjukkan pukul tiga
sore. Padahal Asep rasa ini masih jam sepuluh. Apa ini yang dimaksud Pucung? Perlahan,
tubuh transparan Asep terhisap ke dalam Asep yang sedang menangis. Ingatannya
pun saat itu bercampur.
“Hiks … hiks … hiks … Ibu bilang Mamah cuma sakit.
Tapi apa ini, hah!? Ini namanya Mamah meninggal, Bu!” keluh Asep.
“Ma-maaf, Asep. Bu Rina bingung mau bilang apa … Ibu
nggak mau kamu panik tadi …,” jawab Bu Rina. Ia adalah rekan kerja Ibunya Asep.
Juga yang pertama menemukan tubuh tak bernyawa itu.
“Ah! Bohong tetep aja bohong! A … Asep benci Bu Rina!
Huaaaaa!”
Asep mulai tak terkontrol. Ayah Asep berhenti
menyalami tetangga yang bersimpati datang. Ia mendekap anaknya penuh haru,
“Sudah, Sep … sudah ….”
Pada jam makan siang kemarin Ayah Asep mendengar kabar
aduan kejahilan Asep. Ia mondar-mandir di ruang tamu menunggu Asep pulang
sampai senja. Namun Asep tak kunjung pulang. Esoknya berita duka diterimanya
saat di kantor. Ia izin bergegas ke rumah hanya untuk melihat Bu Rina menemani
Asep.
Setelah tak pulang kemarin, anak itu hanya diam sambil
memegang kertas isi sebuah amplop. Bu Rina mengatakan bahwa penyakit jantung
ibu Asep kambuh di tempat kerja. Ia berbohong pada Asep untuk menenangkannya.
Namun Asep hanya memberikan tatapan kosong selama berjam-jam. Rupanya isi
amplop itu adalah pengumuman ketidaklulusan Asep.
Lepas dari dekapan ayahnya, sekarang Asep menangis di
kamarnya bersama Rudi. Temannya itu juga menangis—tanpa ikut-ikutan kali ini—ia
juga merasa sedih karena cukup dekat dengan keluarga Asep. Pucung pun ada di
sana. Tak terlihat oleh Rudi.
“Ka-kalau saja aku dengar kata-kata Mamah … Mamah
mungkin masih hidup … hiks, hiks … mungkin saja aku naik kelas,” ucap Asep
lirih.
“T-Tidak,” Pucung membalikan badan, membuat Asep
mengambil langkah waspada sedikit menjauh. “Bukannya ibumu tak akan mati jika
kau tak membohonginya. Tapi melakukan yang terbaik saat ia masih ada-lah yang
seharusnya kau lakukan. Kau malah mengacaukannya meski sudah diberi waktu. Seharusnya
kau mengerti sejak awal. Seharusnya itu yang kau sesali.”
“Hu … hu … hu …
Ma-Mamah … hu ….”
“S-semua sudah terlambat. Membusuklah kamu di sana.”
“AAAAH! DIAM KAMU! AKU NGGAK NGERTI! AKU NGGAK MAU
MENGERTI!”
Rudi melihat Asep bicara sendiri. Ia sontak keluar
kamar karena takut.
Dengan perlahan Pucung menembus tembok kamar Asep, meninggalkan
rumah Asep yang sunyi. Bunyi roda sepatunya seolah satu-satunya bunyi yang ada
di sana sampai ayah dan tetangga Asep datang menemukan Asep yang mengacak-acak
kamarnya. Ekspresinya kacau seperti sudah
melihat setan, itu yang dipikirkan tetangga Asep –yang mana perumpamaan itu
memang benar adanya, tapi alih-alih kesedihan, malah amarah mereka dapatkan
saat melihat mata bocah itu.
Tak kuasa lagi, Asep melarikan diri.
***
Jam delapan pagi.
Tempat persembunyian Asep terasa sangat manusiawi
untuk ditinggali saat ini. Tak banyak yang bisa Asep perbuat selain menghindari
hiruk pikuk desa pagi ini di tempat itu. Cahaya terang di antara pohon-pohon
pinus menyebabkan kesan sendu. Asep memeluk lutut dalam sebuah tenda di sana.
Perkataan Pucung masih terngiang di kepala. Ia hanya tatap kosong pemandangan
terasering. Beberapa bebegig terlihat menancap pada lahan sawah. Mungkin ini
awal yang bagus baginya untuk mulai membenci bebegig hingga akhir hayatnya.
Rasa benci menyelimuti sanubari Asep. Benci campur
sesal. Beberapa binatang liar nampak keheranan bagi Asep yang akhirnya
memutuskan untuk berbaring. Untung saja tak ada binatang buas di antaranya.
Terasa kelopak mata Asep mulai berat.
Asep terkantuk.
Lantas terlelap.
Lutung
buntung luncat kana tunggul gintung
Monyet
loreng leupas luncat kana pager dengdek
Bajing
kuning jaralang belang buntutna
Hayu
batur urang diajar sing suhud
Ulah
lalawora bisi engke henteu naek
Batur
seuri urang sumegruk nalangsa
(Pupuh Pucung, Sekar Alit)
***
NREM-2
Pucung. Pupuh
setan ini lagi-lagi berhasil melakukan hal yang dinikmatinya. Bunyi sepatu
rodanya acapkali membuat bulu kuduk manusia Buana Panca Tengah berdiri pada
malam Pucung berhasil melakukannya. Kebetulan kali ini sasarannya adalah Desa
Karikil. Pupuh lain pasti tak tahu sensasi monster yang ia rasakan saat
melakukan ini. Dibandingkan hal keji lainnya. Ini adalah salah satu rasa
terbaik bagi Pucung. Namun begitu, dibalik euphoria-nya,
Pucung merasa ini terlalu menyenangkan, pun terlalu mudah dilakukan.
Seketika itu juga, sebuah sensasi asing menyapanya.
Andaikata Pucung adalah manusia, kelenjar pinealnya
mengeluarkan hormon melatonin yang membuat mata kaku Pucung sayu perlahan, dan
dengan efektif menggantikan tugas hormon seperti kortisol yang disekresi oleh
sistem endokrin. Seperti Asep, korban terkininya. Pucung kini mengalami rasa
kantuk, namun belum tertidur. Ini adalah rasa yang tak lazim dimiliki setan
seperti Pucung. Mungkin lazim bagi pupuh. Tapi bagi setan? Ini seharusnya
keadaan manusia yang paling baik untuk menggoda manusia yang mengalaminya.
“A-apa ini … ada seseorang yang mengerjaiku?”
Pucung merasa sedang jatuh. Roda sepatu
mobil-mobilannya padahal tak tergelincir. Jerami di tubuhnya menegang.
Kepalanya terasa mengeluarkan gelombang aktivitas yang cepat. Pada tahap ini,
Pucung efektif tertidur.
***
NREM-3
“… kuharap kau tidak keberatan nanti jika ditemani
domba. Mereka tentu tidak makan jerami. Jadi jangan khawatir,” sebuah suara
menyapa Pucung. Suara lelaki yang sama dengan yang muncul sejak tahap NREM-1.
K-kau siapa? Kau di
mana? Tolong kembalikan pengelihatanku.
Pucung mendengarnya walau samar. Tak bisa ia lihat
apa-apa. Bagaimanapun, Pucung tetap dapat merasakan dataran yang sama sejak ia
kehilangan kesadaran tadi. Ia sedang tidak ingin main-main. Bermain-main
bersama Asep sudah cukup.
“Oh ya. Aku juga melakukan nerf pada kemampuanmu. Akan tidak seru jika kau bisa bertindak
sesukanya seperti tadi. Ah, untuk jaga-jaga jika kau tidak tahu apa itu nerf:
intinya, kemampuanmu akan kami turunkan agar cocok sebagai Reverier.”
K-kau bercanda? Kau
pikir para remaja penghuni warnet itu tak mengajariku apa arti nerf?
Nerf, skill
… istilah-istilah tersebut sudah sering didengar Pucung dari para remaja
langganan warnet di desa-desa Buana Panca Tengah. Biasanya mereka menginap
sampai fajar, pesan mie instan, menunggak membayar atas alasan kedekatan sosial,
lalu pulang bersepeda motor bertiga tanpa helm. Sulit bagi Pucung melupakan
pola itu.
Suara itu belum selesai bicara, “Sebagai tambahan, perlahan
kau akan kehilangan ‘inspirasi’ atas beberapa kemampuanmu. Kalau bertarung
dengan kemampuanmu secara penuh sampai akhir juga tidak akan seru, betul?”
Be-bertarung? Mengapa
harus?
“Jadi, kalau ingin mendapatkan inspirasimu kembali,
menanglah.”
…
Pucung menolak merespon lebih lanjut. Ia rasa sang
pemilik suara tak mendengar, yang mana semuanya akan menjadi sia-sia.
“Sudah belum, Paman Nurma?”
“Ayo kita lanjutkan ke Reverier lainnya.”
“… mahakarya … Alam Mimpi ….”
Dua suara feminim terdengar sebagai latar belakang.
Beberapa jawaban sang suara sama terdengar samar.
“Terakhir … selamat datang di Bingkai Mimpi!”
***
REM
Pucung kembali mendapatkan kendali atas
pengelihatannya. Pemandangan sekitar terasa familier dan asing secara bersamaan
dalam balutan malam. Buana Panca Tengah seakan bertabrakan dengan dua buana
lainnya. Lihat saja, sebuah tugu pemujaan para hyang yang seharusnya berada di Buana Nyungcung, terletak
berhadapan dengan Jembatan Rambut di Buana Larang. Dua landmark itu berada di bawah terasering khas desa-desa Buana Panca
Tengah. Seolah-olah seluruh daerah pada dimensi berbeda di Preanger bertumpang-tindih, terdistorsi.
Kain kafan di tubuh Pucung tetiba bergerak. Rupanya
ada angin dari atas. Pucung merasa ikatan kain kafan di kepalanya dicengkram
sesuatu. Tanpa dapat bereaksi lebih lanjut, Pucung terlempar.
“K-Kinanti?”
Nama itu disebut Pucung untuk merujuk pelaku lemparan
tadi. Seperti Pucung, Kinanti juga pupuh. Hanya saja ia bukan setan. Kinanti adalah
salah satu pupuh terkuat di Buana Nyungcung, bahkan salah satu yang paling
tersohor di seantero Preanger.
“Tak sepenuhnya benar,” menampilkan taring, Kinanti
menyeringai, “Aku adalah Kinanti yang menjadi di mimpimu.” Pucung tidak tahu
yang dikatakannya benar atau tidak. Seringai Kinanti memang acapkali mengundang
misteri. Namun baru kali ini Pucung tertarik untuk menguaknya. Biasanya ia
abaikan. Tapi kali ini ada dirinya terlibat di sana.
“Mi-mimpiku?” respon Pucung mencoba mencerna kata-kata
Kinanti. Sekali lagi perlu ditegaskan: setan seperti Pucung tidak tidur. Seharusnya.
Tidak pula makan dan minum. Bukankah itu adalah rahasia umum? Sayangnya
beberapa makhluk tak tahu. Lantas bagaimana bisa ia bermimpi sementara ia tidak
seharusnya tidur sekarang?
“Mimpi tak harus kau dapat dengan tertidur, bukan?”
Apa kau baru saja mendengar
pikiranku? batin Pupuh.
“Ya. Aku bagian
dari pikiranmu. Bukankah itu alami? Jangan bilang ini hal mengherankan bagimu.”
“Fa-fakta bahwa kau menyerangku juga mengherankan,”
Pucung berdiri. Jemari jeraminya menepuk kain yang terkotori debu saat jatuh. Pucung
tahu ia akan lebih kotor lagi dari ini. Apalagi jika lawannya Kinanti. Tapi
Pucung hanya ingin kainnya lebih bersih. Itu saja.
Tinggi Kinanti tidak jauh berbeda dari Pucung. Namun
tinggi bukan masalah sebenarnya. Kinanti memiliki wujud kelelawar dengan badan telanjang
manusia perempuan. Sayapnya dua kali besar tubuhnya. Para manusia di Buana
Panca Tengah mungkin akan menyebutnya siluman kelelawar. Sebuah lembaga sensor
di Preanger pastilah menyensor tubuhnya andaikata cerita ini tayang di TV dan
disiarkan ke mana-mana.
“Kita mulai saja, ya~”
Suara genit Kinanti membuka serangan. Pucung menunduk
mempererat cengkramannya pada daratan. Benar saja. Embusan angin kuat nyaris
menerbangkan bebegig itu. Pucung menunduk bukan tanpa rencana, ia merapal
mantra, “Ruina ….”
Gelombang ultrasonik mengacaukan perapalan mantra. Ini
bukan hal baru bagi Kinanti. Sebagai sesama pupuh, tak heran ia tahu bagaimana
kemampuan pupuh lain bekerja.
Pucung tak bertelinga, tapi tetap bisa mendengar.
Gelombang ultrasonik Kinanti memang tak membuat gendang telinga Pucung pecah,
namun karena tetap terdengar, distraksi tak terelakkan dari Pucung. Bahkan,
untuk mempertipis kesempatan hidup Pucung, masih ada tekanan kuat yang timbul
dari gelombang itu.
Sekali lagi Pucung terempas. Kali ini bunyi jerami
terbentur benda keras terdengar tatkala ia menabrak batuan atas sebuah mulut
gua.
Percobaan kedua, Pucung kembali merapal mantra, “Ruina
…” Kinanti tak kalah gesit dengan melancarkan gelombang kedua.
“… Valanka!”
Mantra Pucung lengkap. Dari jemari jerami Pucung,
memancar energi ghaib hitam. Efeknya pada target adalah salah satu dari kehilangan
indera sebagai berikut: mata tak bisa melihat, telinga tak bisa mendengar,
mulut tak bisa berbicara, hidung tak bisa mencium.
Apa yang dipilih Pucung? Apa menyumpal mulut keluarnya
gelombang Kinanti adalah ide yang bagus? Ya. Pucung tidak punya ide lebih baik.
Karena pada dasarnya, gelombang ultrasonik adalah representasi indera Kinanti yang
mengambil bentuk kelelawar jenis myotis
myotis.
“….”
Solusi untuk satu kemapuan Kinanti. Sekarang mari
lihat apa yang bisa Pucung lakukan untuk menghadapi angin kencangnya.
“Seda Niskala!”
Roda-roda di sepatu mobil-mobilan Pucung berputar
dahsyat. Putarannya jelas lebih dahsyat dari putaran roda mainan anak-anak Buana
Panca Tengah di masa lalu yang membutuhkan baterai dan jalur khusus.
“Jagat Sentra!”
Mata Pucung memancarkan energi ghaib putih. Letak
Kinanti tak menjadi masalah baginya. Pola serangan Kinanti kemungkinan bisa terbaca
dengan kemampuan Jagata Sentra. Seda Niskala mungkin tak terlalu efektif pada
medan yang kacau ini. Vegetasi tumbuhan acak dan keberadaan batu-batu akan
membuat putaran roda sepatu Pucung terhambat. Setidaknya kecepatannya meningkat
biarpun tidak maksimal karena ini.
Kesempatan ini tidak Pucung sia-siakan. Secepat yang
ia bisa, ia melaju ke arah Kinanti yang masih bisu. Memanfaatkan momentum,
Pucung melonjak. Sukseslah ia mendaratkan tendangan pada kepala Kinanti. Sukses
pula Kinanti sempoyongan, namun sebelum sempat ambruk, tendangan kapak Pucung
mengoyak sayap Kinanti. Menurut Pucung, itu adalah bagian paling merepotkan. Untuk sekarang, sayap kiri dulu,
pikirnya.
Kinanti berputar hebat akibatnya. Barulah ia diizinkan
ambruk ke tanah retak.
“G-ganti giliran. Kau harus terempas juga sesekali,”
ujar Pucung.
“H … he … hei Pucung …”
“K-kau … bisa bersuara … bagaimana ….”
Ada yang janggal. Seharusnya mantra Ruina Valanka tak
akan terpatahkan secepat ini. A-Ada apa
ini … siapa lagi yang mengerjaiku? pikir Pucung. Mendadak ia ingat tentang ‘suara
lelaki yang tak bisa ia lihat’ sebelum pertarungan ini. Apa … ini yang disebut dengan kehilangan inspirasi?
Kinanti tak acuh, “Kau … iri denganku. IYA, KAN?”
“T-tidak perlu berteriak.”
“Ha! Itulah. Sangat jelas dari sikapmu, Pucung. Kau
iri …” Kinanti mengepakan sayapnya agar ia lebih tinggi. Ia memandang rendah
Pucung, “maka dari itu kau membuatku dalam mimpimu. Kau ingin sepertiku.”
Serangan lanjutan diniatkan Pucung untuk membungkam Kinanti
sebagai alternatif dari Ruina Valanka yang defektif. Sayangnya ia lupa bahwa
gelombang ultrasonik bisa menyambutnya walaupun tidak ditambah angin kencang.
Terjatuhlah Pucung. Energi pada roda sepatunya tidak
lagi dirasakannya sekuat barusan. Sepertinya Seda Niskala juga terpengaruh
hilangnya inspirasi Pucung. Tidak—Jagata Sentra juga. Terbukti dari cahaya
putih pada mata Pucung kian meredup. Kehilangan inspirasi terasa seperti lupa
apa saja yang harus dikembangkan dan dipertahankan setelah sebuah kemampuan
dikeluarkan. Pucung benci ini. Ia harus lari.
“Kau lari ke sarang kelelawar. Apa yang kau pikirkan?”
Mata Kinanti mendapati Pucung mundur ke sebuah gua. Kinanti melemaskan sayap
kirinya yang diserang Pucung. Entah tingkat kerusakannya pun terpengaruh
hilangnya inspirasi, atau sayapnya terlalu kuat untuk tendangan dengan Seda
Niskala tak maksimal.
Kinanti masuk gua. Pucung, tanpa aba-aba yang jelas.
Melesatkan sepatu rodanya cepat. Kinanti tak bisa bereaksi saat akhirnya sepatu
roda Pucung menghantam dagunya. Rupanya Pucung memanfaatkan permukaan melingkar
gua untuk melancarkan tendangan terbalik ke arah Kinanti. Kelelawar itu masih
bisa bertahan terbang sembari melemaskan dagunya yang berbunyi.
“Se-seingatku Kinanti tidak seangkuh ini,” ujar Pucung
bernada kecewa.
“Hhhhh … mungkin … kau yang ingin aku lebih angkuh
lagi!?” seru Kinanti sambil merangsek.
Satu hal yang kurang diperhatikan Pucung adalah jarak
mereka berdua terlalu dekat. Kinanti berhasil menyarangkan taringnya di bahu
kiri Pucung.
“L-lihat. Kau kesal.” Usaha Pucung tak terlalu baik
dalam menyembunyikan kepanikan. Gigitan Kinanti adalah berita buruk, bahkan dengan
fakta bahwa Pucung bukanlah buah-buahan yang menjadi menu diet Kinanti.
Taring lepas dari kain kafan yang membalut bahu Pucung.
Begitu juga dengan lengan kiri jerami Pucung. Diikuti tentang seruan
menyebalkan Kinanti, “Sluurrp …. Kita lihat siapa yang akan kesal setelah ini!”
***
Cahaya rembulan menyinari reruntuhan tua di suatu
tempat di Alam Mimpi. Reverier yang lolos dari Bingkai Mimpi akan mendapat
akses ke tempat ini. Karena Pucung masih sibuk dengan Kinanti di bingkai mimpi,
informasi berikut tidak tersedia bagi Pucung saat ini.
Malam itu bukan bulan purnama, tapi cahaya rembulan
lebih terang dari biasanya. Sesosok pria berambut putih tengah asyik menatap
rangkaian batu kecil yang barusan ia jatuhkan sendiri ke atas sebuah meja
bermotif ukiran mengerikan. Beberapa batu malah sebenarnya bukan batu.
Melainkan organ hewan yang telah dikeringkan.
Di luar kejanggalan batu-batu itu, rasa gemas
bercampur gemetar tidak bisa disembunyikan oleh sang pria berambut putih.
Tatapannya seakan tidak mau lepas dari susunan jatuh batu-batu terlempar.
“Ini bagus sekali … aku nyaris tidak percaya hal
seperti ini bisa terjadi …” gumaman pria itu dipenuhi seringai.
“Apa maksudmu, KasPeer? Tiba-tiba kau senyum-senyum
seperti sedang kerasukan,” tanya wanita berambut merah dengan santai. Rupanya
ia memperhatikan KasPeer sedari tadi. Kata-katanya memang terdengar bercanda.
Tapi ia tahu betul pria bernama KasPeer ini tidak mungkin kerasukan. Malah
seharusnya ialah yang dapat merasuki seseorang.
“Saksikanlah, Becker! ASAM akan berjaya kembali!” Di
bawah sinar rembulan, KasPeer menggerak-gerakan tangannya secara dramatis.
Kemudian membelakangi sinar dan menatap dingin lawan bicaranya dengan penuh
keyakinan.
Wanita bernama Becker menaikan alis, “Lagi? Aku masih
tidak mengerti.”
“Jangan khawatir. Kau akan mengerti. Pada saatnya kau
harus duduk dan menyaksikan di baris depan, akhir dari alam ini.”
“Menarik … menarik. Kunantikan itu, KasPeer,” senyum
manis menjadi balasan untuk KasPeer. Dua sosok itu tak lagi terlihat di tempat
mereka berada tak lama setelah Becker tersenyum.
***
“Ka-kalau dalam mimpi saja aku tak dapat
mengalahkanmu, bagaimana aku mengalahkanmu di Preanger yang sesungguhnya?”
gumam Pucung.
“Ha! Entahlah, mungkin seharusnya kau bermimpi lebih
keras lagi?”
Energi ghaib dalam jumlah banyak berhasil terhisap
melalui taring Kinanti. Pucung hanya bisa memfokuskan sisa energinya ke kedua
sepatu rodanya. Ia harus konservatif. Sementara itu, memanfaatkan jarak dekat,
Kinanti menyayat badan berkain kafan Pucung. Robekan kainnya semakin parah. Kinanti
dibuai nafsu, seakan yang ada dihadapannya adalah sebuah pisang lezat.
Sambil terbang, hujaman sayap tajam Kinanti semakin
menjadi. Pucung akhirnya susah payah berhasil mengelak dengan sepatu rodanya.
Ke kiri, kanan, belakang, maupun depan. Namun semua nihil. Kinanti seolah mampu
membaca kebanyakan gerakannya dari udara sana. Sesekali Kinanti memicingkan
mata jika manuver kompleks Pucung coba lakukan.
“Ayolah Pucung. Aku tidak tahu bahwa sepatu rodamu
hanya membuatmu jadi makhluk penakut? Ini mengecewakan.”
Kinanti hinggap terbalik di langit-langit gua.
Menghentikan serangan hanya untuk berkomentar menunjukkan betapa ia
mengendalikan alur pertarungan. Kendali sempurna baginya seperti orang yang
tetiba menekan tombol ‘pause’ pada sebuah perangkat elektronik. Pucung hanya
bisa mengerem mendadak pada sepatu rodanya. Rasanya akan tidak lucu jika ia
hanya diam. Maka ia lontarkan tanggapannya atas komentar Kinanti.
“Li-lihat dan urus saja dirimu. Sampai kapan kau mau
nyaman berada di udara? Dasar pengecut manja,” sindir Pucung.
“Heh … kau tidak sadar keadaanmu?” Alis Kinanti naik.
Rupanya sindiran Pucung mengenai tempat yang tepat. Tanpa pikir panjang,
Kinanti melesat ke arah Pucung. Tentu kelelawar malang itu tidak tahu bahwa ada
batu gua tajam yang menantinya dibalik tubuh Pucung. Bukan itu saja. Ia juga
tak tahu Pucung masih bisa melakukan sesuatu untuk mengimbangi kecepatan laju
Kinanti.
“A-aku … masih bisa! Kersa Meista!”
Kersa Meista pada dasarnya adalah kemampuan berubah
wujud berdasarkan ingatan lawan. Wujud yang bisa menandingi kecepatan Kinanti,
yang Pucung pilih adalah … wujud Kinanti sendiri! Tabrakan hebat terjadi antara
Kinanti dan batu gua. Beberapa reruntuhan langit-langit juga menimpanya,
sementara Pucung sebagai Kinanti sudah mengelak ke sisi yang aman.
“K-kau tentu ingat bagaimana bentukmu tubuh sendiri,
bukan?”
“Pe … pengecut …”
“A-apa? Aku tak keberatan dibilang pengecut manja. Setidaknya
aku menang. Dan pemenang dapat keluar dari sini hidup-hidup.”
Gua itu bergetar hebat. Tabrakan keras Kinanti pada
batu memberi pengaruh besar. Empasan sayap Pucung berwujud Kinanti menyapu
daratan gua. Ia mengerahkan sisa tenaganya untuk mengepakkan sayap dengan
interval lebar untuk melontarkan dirinya lebih jauh. Harapannya adalah untuk
sampai ke luar dari mulut gua. Ia tidak tahu kapan efek Kersa Meista akan
berakhir.
Untungnya. Saat Kersa Meista berakhir. Lontaran sayap
Kinanti berhasil mengeluarkan Pucung dari gua yang bukan lagi gua—melainkan reruntuhan
batu belaka.
***
Reruntuhan bergerak kembali. Satu-dua batu terangkat
menampilkan sebuah figur kelelawar. Bagaimanapun, dilihat saja sudah jelas kelelawar
itu tak mampu lagi bertarung. Selaput sayapnya banyak yang pecah, tersobek
jatuhnya batu gua.
“Kh … Hahahahahaha!” Kinanti lagi-lagi berseringai.
Kali ini untuk yang terakhir. Tubuhnya perlahan jadi abu layaknya setan yang
terbakar sinar matahari. Seringainya masih mengundang misteri; dan itu tak
membuat Pucung nyaman. Ingin rasanya Pucung melancarkan satu lagi serangan penghabisan
padanya. Tapi niatnya sudah diurungkan. Itu hal yang sia-sia.
Ia lantas melihat sebuah portal aneh terbuka lebar.
Nampaknya cukup untuk dirinya masuk. Pucung sama sekali tak heran melihat
fenomena ini, mengingat ia cukup sering berpindah dimensi dengan cara yang mirip.
Beberapa makhluk yang Pucung tahu juga memerlukan portal untuk berpindah dari
Buana Larang ke Buana Panca Tengah, misalnya.
Dari dalam portal itu keluar sesosok berpayung.
Wajahnya tersamarkan cahaya warna-warni payung yang dibawa. Ia bersuara,
“Pu-Pucung ya? Selamat atas kemenanganmu mengatasi sebagian mimpimu sendiri …. Dengan
ini kau sudah membuktikan kemampuanmu sebagai Reverier.”
Sosok berpakaian hijau muda itu tak lantas melanjutkan
kata-katanya. Nampaknya ia ketakutan. Pucung tahu itu. Pada saat yang sama ia
juga maklum. Bukankah sudah takdir setan untuk ditakuti?
“A-a-aku Ratu Huban. Salam kenal …. Maukah kau ikut
denganku? Kalau kau ikut denganku. Mimpimu akan terjelaskan.”
“Re-Reverier? Terpilih? Begitukah?” tanya Pucung ragu
sembari mendekat. Setelah mendengar suara Pucung, Ratu Huban perlahan membiarkan
kepala bantalnya terlihat tanpa payung. Ketakutan Ratu Huban mulai berkurang.
Sementara di pihak Pucung, ia yang telah melihat bentuk kepala Ratu Huban
menyangka bahwa Ratu Huban juga adalah setan. Apakah salah mempercayai sesama
setan? Tentu Pucung tidaklah senaif itu. Bagaimanapun …
“Be-Belakangan ini memang penduduk Preanger lebih
banyak tertidur. Aku ingin tahu kenapa. Hyang
juga sepertinya tidak ada masalah dengan itu semua. Kalau aku Reverier seperti
yang kau katakan, dan kau bisa memberi jawaban. Aku tidak akan membunuhmu.”
Ratu Huban bergidik. Tongkat payung warna-warninya
bergetar. Ia mungkin lupa bahwa ia tak bisa semudah itu mati oleh Reverier.
Tapi ia merasakan seperti akan dimakan oleh monster saat melihat mata kosong
Pucung. Bagaimana mungkin ia mengatakan akan membunuhnya dengan tatapan seperti
itu, Ratu Huban tak habis pikir.
“O-oh ya. Satu lagi,” Pucung menghentikan laju sepatu
rodanya. Ia hampir saja akan melewati Ratu Huban. “Se-seingatku Buana Panca
Tengah tidak sesempit ini. Ruang gerakku terbatas. Ini mengganggu, dan aku
tidak senang. Ini … ulahmu—ulah kalian?” secara janggal Pucung menoleh kepada
Ratu Huban. Makhluk kepala bantal kembali sedikit bergetar melihat tatapan
hampa Pucung. Menurutnya tatapannya serasa menusuk. Andai saja Ratu Huban punya
mata, ia pasti sudah menjerit sekarang. Mungkin ia harus benar-benar bersyukur
dengan kepala bantalnya kali ini.
“Be-benar … benar sekali. Se-se-selengkapnya tolong
tanya pada Tuan Zainurma saja, ya …,” alih Ratu Huban terbata.
“Zainurma? Figur superior kalian, ya? Dengan senang
hati.”
“Ya. Itu Aku.”
Suara pria itu familier. Terdengar sama dengan suara
yang ia dengar saat ‘tertidur’. Dialah Zainurma. Biang keladi semua ini. Sama
sekali tak terasa keberadaannya sejak tadi. Bukan hanya hantu seperti Pucung yang
bisa muncul seperti itu.
Zainurma membetulkan kacamata hitamnya, lantas datar memerintah,
“Kuperingatkan. Semua inspirasimu telah habis. Dan seseorang perlu menempelkan ini
lagi di badanmu.” Potongan tangan Pucung yang lepas tadi dilambaikan oleh Zainurma
santai, entah dipungut sejak kapan. “Ikut dengan kami, lalu akan kujelaskan
kekacauan di Preanger ini,” lanjutnya.
“Cu-cukup adil,” dijawab cepat oleh Pucung.
Dan begitu saja. Pucung kembali menjalankan sepatu
rodanya ke arah portal. Ratu Huban sempat tidak percaya. Tidak ada gerak-gerik
ragu dari Pucung. Seakan ia sudah tahu mau menuju ke mana portal itu. Seakan
Pucung memegang kendali semuanya. Ratu Huban tak akan lupa hari ini. Ratu Huban
tak akan lupa kesan pertama ini.
Kesan pertama berbicara dengan setan seperti Pucung.
Tanpa berbalik dari pandangannya yang melihat punggung
Pucung, Zainurma bertanya retoris pada Ratu Huban, “Jadi, bagaimana rasanya
berbincang dengan setan dari Preanger ini, Huban?” Retoris karena ia tahu hasilnya.
Ratu Huban tak berani menjawab, apalagi saat Pucung
ada di sana. Ia nampak waspada dengan membiarkan Pucung jalan duluan.
Membiarkan Pucung berjalan di belakangnya merupakan ide buruk, pikirnya. Kau harus menjaga belakangmu jika berurusan
dengan setan.
Budak
leutik bisa ngapung
Babaku
ngapungna peuting
Ngalayang
kakalayangan
Neangan
nu amis-amis
Sarupaning
bungbuahan
Naon
bae nu kapanggih
Ari
beurang ngagarantung
Pinuh
dina dahan kai
Disarada
patembalan
Cing
coba ku anjeun pikir
Nu
kitu naon ngaranna
Pinter
mun bisa kapanggih
(Pupuh Kinanti, Sekar Ageung)
>Cerita selanjutnya : [ROUND 1 - 2B ] 39 - PUCUNG | REM 01: PARADOXICAL
>Cerita selanjutnya : [ROUND 1 - 2B ] 39 - PUCUNG | REM 01: PARADOXICAL
Baca entri ini agak dilematis. Di satu sisi, saya seneng dari awalannya pov3 terbatas Asep dan bukannya Pucung, juga suasana horor-sarat-moral yang dialamin Asep. Tapi terus setengah jalan mendadak pindah jadi full Pucung, bikin saya mikir 'terus awalan Asep itu buat apa?'
BalasHapusDipikir lagi, Pucung ngelawan Kinanti juga ga salah sih, karena jadi lumayan ngeliatin kemampuan Pucung. Cuma rasanya jadi deviate dari tantangan 'manipulate people'nya
Btw, gambar di tengah cerita itu apa ya? Di saya ga muncul
Oya, saya juga seneng suasana lokalnya kentel banget di entri ini, terutama pas penjelasan nerf dan nyambung ke anak warnet yang suka nginep sampe 'naik motor bertiga ga pake helm' www
Ada cameo Tal Becker? Apa ini bakal jadi aliansi macem Lightbringers kemaren?
Nilai 8
Tujuannya buat menunjukkan bagaimana Pucung gentayangan di dimensi panca tengah, dengan kesukaan alaminya yaitu jahil pada anak-anak (khususnya yang nakal), tapi terikat rule harus ngasih tau ada bencana yang dateng dan kapan jangka waktunya ke mereka (seperti di charsheet, sepertinya saya jadi terpaku benar dengan ini).
HapusDan jujur saja saya bingung mau alignment challenge yang mana. Hahahaha! Jadi niat saya manipulate people itu lebih ke Asep yang dimanipulasi--atau lebih tepatnya dijahili--dan manipulaai ke Kinanti di saat terakhir.
Karena mertahanin rule pas di bagian Asep jadi ada unsur upholding law. Juga ada sedikit indirect kill karena manfaatin gua buat ngalahin Kinanti. Duh. Serakah emang.
Itu gambar wajah close up Kinanti. Padahal di sent mail saya lihat oke. Kenapa skrg ga muncul ya?
Haha iya, ada Becker. ASAM ini bakalan jadi singkatan aliansinya.
Thanks for reading and grading!
Ada... semacam rasa disosiasi di sini. Rasanya cerita ini jadi semacam cerai-berai, nggak sinkron, mengambang. Manipulasi yang harusnya jadi tantangan si P ini rasanya nggak terwakili, kecuali memang tujuan si P ini membunuh mamanya Asep.
BalasHapusDi sisi lain PoV Asep itu sesuatu yang menarik, karena berceritanya tidak secara langsung. Kinanti Palsu juga nampaknya karakter yang cukup berkembang walaupun perannya di sini sebatas cuma palang pintu yang mesti dilewati. Teknis penulisan udah cukup lah ya.
Menarik, walaupun nggak luar biasa.
6/10
Nazhme Kaikhaz
Writer Nightpen
Senada sama komentar-komentar di bawah. Iya nih, gegara saya ga ceritain lagi lebih lanjut tentang nasib Desa Karikil nampaknya ya. Thanks banget masukannya, Gun!
HapusMaaf jabarin kesannya random:
BalasHapusErr ... tantangannya manipulasi orang (Asep), tapi gak terjadi di Bingkai Mimpi, ya (eh bener gak)? ._. Yah, terus nasib si Asep ini gak dijelaskan lebih lanjut.
Saya mixed feeling abis baca. PoV Asep itu bagus. Kirain bakal nunjukin semacam cerita horor slice of life gitu. Eh pas ganti sudut pandang dan diisi battle, saya ngerasa ... err ... ya gimana gitu--sulit dijelasin.
Iya sama kayak kata di atas, ceritanya masih ngambang-ngambang dan kurang terasa nyambung. Jadi, apa yang mau disampein? Itu pikiran pertama saya. ._.
Titip 8 deh sebab penulisannya oke dan ada momen yg bikin saya terkesan.
-Sheraga Asher
Berasa jomplang ga sih? Dari pedesaan ke bingkai mimpi yang gak terlalu kentara suasana desanya. Lalu dialognya juga saya ubah ke mode battle. Jadi ya emang kejomplangan kayaknya. Terlanjur bikin pake bahasa santai pula di bagian Asep ;]
HapusThanks feedbacknya, Fi!
Entah kenapa, menurut saya ceritanya si Asep itu kamu tulis cuma buat nyelesaikan Alignment Challenge. Bagus sih, walau agak kepanjangan, hampir buat saya ngira kalau Asep itu tokoh utamanya — dimana dia bakal berubah jadi pucung setelah lewat kuburan /gak
BalasHapusPertarungannya sudah oke, walau agak cepet selesainya, dan eksekusinya kurang nampol. Di bayanganku udah keren, coba pemakaian tekniknya dibagusin lagi(?)
8/10
OC : Takase Kojou
Hehehe. Berubah jadi Pucung ide yang bagus juga. Thanks Nakano! Perlu poles penceritaan battle lagi nih.
Hapusmanipulasinya udah kerasa, tapi sayangnya belum di Alam Mimpi, terkesan cuma sebagai pelengkap untuk memenuhi syarat prelim. Dan lagi ceritanya cukup panjang diripada bagian pertarungan di Alam Mimpi.
BalasHapusPas baca Buana-Buana saya bingung, ini dimana. Tidak dijelaskan itu tempat Pucung tinggal apa dunia manusia. Mungkin karena perpindahan dari Desa Kerikil ke dunianya Pucung yang terlalu mendadak.
Dan akhirnya Pucung menang lawan Kinanti. Ratu Huban datang dan menjelaskan apa yang terjadi. Tapi sayang dia enggak di kasih domba. Poor Pucung.
Poin plusnya ada pada cerita yang mengalir enak buat dibaca dan selipan cerita Kesper yang mungkin membuat pembaca ingin mengetahui cerita selanjutnya dari Pucung
7 dariku
-=AI=-
Sebenernya domba tetep dikasih Zainurma ntar, tapi liat kondisi Pucung sesudah battle, saya ga jadi munculin bentuk dombanya sekarang.
HapusBuana-buana masih bingung ya? ini kayaknya lagi-lagi saya terpaku char sheet. Mungkin di lain kesempatan bisa terjelaskan.
Thanks banget masukannya, Ryusa!
Pucuuuuuung~~!!
BalasHapusEntry yang paling ane tunggu (di entri wajib ane) xD
Sejak babak prelim dimulai ane bertanya2, gimana cara guling putih(?) jalanin tantangan. Dan~ Dah terjawab. Makasih~ #abaikan
Serius ane terbawa dengan cerita entry ini. Terutama pas bagian moral.
Oh, wait a sec.. is that Tal Becker?
Ya ampun PUCUUUUNG!! Kalo ente ga nakutin ane pengen banget peluk kau!! *tutupmukaguling2kekolongmeja*
#authN.Vkumatgilanya
Paragraf yang tanpa diberi spasi cukup membuat terganggu, dan beberapa bagian pakai bahasa yang kesannya.. berat.
Cuma itu minusnya, mungkin
----------------
Rate: 9
Ru Ashiata (N.V)
YASSS! Itu Tal Becker! :]] wah kalau berat mungkin karena susunannya yang kadang aneh ya, thanks loh masukan dan kunjungannya!
HapusC: pucung dicinta ulam pun tiba
BalasHapusK: yg bner 'pucuk', thor!. btw apa hubunganya ma pribahasa itu?
C: ntahlah. cuma inget aja. hehehe
K: duh. sampai kpn kegajeanmu itu bkal sembuh? repot juga punya author yg bgini
C: bc ini lumayan lama juga ya. dari jam 00 br slsai jam 5 pg.
K: itu salah author, baru nyampe tengah2 eh malah ketiduran.
C: ini pasti gara2 pucung punya ilmu sirep nih. jdnya mendadak ketiduran
K: udahan basa-basinya! langsung masuk crt aja yuk!. wah bnyak makanan2, untung bcnya pas sblm sahur ya jd nggak bkin pengen. makanan indonesia emang nikmat. sayang di sini langka kalo nggak gtu mahal dan tmpatnya jauh jd pengen cpet2 ke indonesia.
C: betul2. pdahal td pengennya itu makanan kebwa mimpi pas tdur. eh, malah si pucungnya yg kebawa mimpi. tp kok jd imut pucungnya? ah sudahlah
K: oh iya! di sini porsinya si asep cukup bnyak juga ya? sampe hampir stengah dr crita. dn jadinya kerasa seolah-olah si asep tokoh utamanya dan pucung cuma figuran. ya untungnya nggak sterusnya sama asep, jd peran si pucung bs terangkat. trus ada yg sdikit saya bingung. jd pas manipulasi si asep itu 100% dunia nyata apa ada sbgian di dunia mimpi? soalnya di bab nrem 3 atau 2 ? lupa. ada kterangan si pucung pernah dgr suara zainurma. berarti nrem itu udah masuk mimpi smua?
C: nnn....ini salah satu entri yg diluar btas aturan lg. 囧rz. jd tmbh nggak paham....
Z: aturan ada untuk dilanggar. nggak seru dong kalo hdup harus slalu taat aturan. jdnya hambar.
K: Z, jangan pengaruhin author yg nggak2 dong!.
K: ok lanjut dulu. sbnarnya ada beberapa kalimat yg kurang efektif untuk dipahami. cuma pendapat pribadi sih. nggak tau deh pendapt yg lain gmana. misalnya klimat berikut,
'Sesekali Kinanti memicingkan mata jika manuver kompleks Pucung coba lakukan.'
kalau kita bc dg intonasi maknanya memang tersampaikan, tp akan lbh enak jk sebelum kt 'jika' disisipi tanda koma atau bs jug kalimatnya dirubah begini,
'Sesekali Kinanti memicingkan mata ketika Pucung mencoba melakukan manuver kompleks'.
tp nggak tau juga sih krn saya bukan ahli bhs. yah kurang lbh bgtu. skian dari saya
Z: kok lu smua yg komen? trus ni author krjaannya ngapain?
C: wah udah dibabat sama K. ( ^ω^ ). K emang yg paling tau isi hatiku. btw Z, kok lu mendadak pk kata 'lu'?
Z: gua bosen ma aku-kamu, thor. jd pngen ganti suasana. udah! cpet kasih nilai! masa nulis komen aja sampe satu jam?!
C: ok. hmm...Saya bimbang waktu mau ngasih nilai 7 atau 8? tp ini cerita berhasil saya ikuti sampai akhir tnp kndala....menurut kalian?
Z: 7
K: 8
C: duh kok imbang gni? hmm...skarang tgl brp? 10? ok gni ja deh cr nilainya (7+8+7+8+10):5=8. jd nilai untuk entri ini adalah 8*\(^o^)/*
Lah. Ini C siapa? www. Choriq nih jangan2 nyamar jadi protag ff7.
HapusWah iya itu sebenarnya manipulasi Asep masih di dunia nyata, tapi alpha wave dari Mirabelle udah terkirim, jadi di NREM-2 Pucung mulai ngantuk. Saya lupa jelasin di narasi kalo NREM-3 itu tahap orang mulai bermimpi. Tapi mimpinya masih fragmentaris. Jadi yang bisa Pucung denger suara-suara samar Nurma dkk.
Dan thanks untuk masukan susunan kalimatnya. Lain kali saya coba begitukan deh :)
Sekali lagi, thanks udah mampir!
ada beberapa plot yg miss buat saya..
BalasHapusalignment challenggenya kok di alam nyata yah. padaha seru juga kalo kejadian pucung menagih janji nyawa asep dilakukan di alam mimpi.
battlenya seru meski terlalu cepat dan eksekusinya kurang greget, saya akui itu. positifnya, pucung keliatan lebih "tersorot" dan juga kemampuannya dieksplorasi secara maksimal. sisi negatifnya, kok jadi menyimpang ama tantangan yg diambil.
dan ternyata para setan juga mullai bikin aliansi buat bikin pemberontakan..wkwkwkwk
7
Axel Elbaniac
Thanks Axel!
HapusWah iya. Emang tantangannya masih belum terlalu menantang ya.
Kalo Axel kayaknya bakal jadi solo player nih. Atau ada yang mirip2 demonologist?
Anyhoo, tunggu kunjungan saya ke Axel nanti.
manipulate peoplenya di alam nyata, nggak di bingkai mimpi. mungkin kalo si asep dimanipulasi di dunia mimpi mungkin lebih bagus.
BalasHapussetting tempatnya kerasa pedesaan banget dengan cerita-cerita tahayul tentang setan. kesan horor di awal cerita menurutku bikin merinding. dari mobil-mobilan di kamar lalu ngilang terus sama si Fadilla yang ternyata adalah Pucung..
battle pucung sama kinanti kurang begitu greget.
tapi lucu juga ada bebegig pake mobil mainan sebagai kakinya. mungkin capek kalo lompat
well, nilai dari saya 8. semoga sukses..
Dwi Hendra
OC : Nano Reinfield
Thanks, Dwi Hendra! Sebenerya Fadilla ikut lari bareng Nia dkk sih. Bukan Pucung. Haha iya. Lompatnya butuh lintasan skateboard lengkung ini sih :))
BalasHapusThanks again, dan semoga sukses buat Nano juga!
Kalau alignment challenge-nya dieksekusi di realm asal jadi gak terlalu ngikutin aturan. Jujur saja, paling suka bagian "F word" soalnya bisa mengubah guru matematika saya jadi Mario Teguh dan sumpah aku sempat ketuker antara Kinanti sama Kiranti (minuman buat yang datang bulan). Itu spasi antar paragrafnya jangan terlalu kecil, bisa bikin capek mata soalnya. Kalau soal si Pucung, aku lumayan suka karakternya. Akan jadi sangat berguna jika bisa bawa Pucung ke sekolah buat ngejahilin para "dedemit" di kelas. *evil laugh*
BalasHapusNilai: 8
SERILDA ARTEMIA
Thanks Naurah! Iya ya. Banyak yang sadar ini gak terjadi di Bingkai Mimpi. Saya bikinnya juga nggak ngerujuk lagi ke batasannya sih. Tapi seinget saya, nggak tertulis alignment challengenya mesti di bingkai mimpi. jadilah gini.
HapusYep. Spasi nanti kalau lolos bakal diperbaiki. Thanks atas masukannya nih!
Eh belum komen yah ternyata, padahal udah baca beberapa hari yang lalu.
BalasHapusUmm untuk entri pucung ini lumayan nakutin nih pas bacanya. Terutama dibagian-bagian awal saat masih dikampung bersama asep tapi semakin kebawah rasa takutnya mulai berganti dengan ketegangan akan aksi duel maut antara pucung dan kinanti. Pertarungan yang memanfaatkan arena inilah yg paling saya suka dari entri ini dan tentu saja saat nakutin ratu huban. Hihi
Yah cuma sayang perpindahan pucung dari desa ke alam mimpi kurang halus, kesannya mendadak aja. Tau2 udah ketemu kinanti nanti aja but Overall it's nice story.. I like it... :3
Nilai :8
Kalo entri Seno udah ada, jangan lupa mampir yah. Hehe
Mahapatih Seno
Sure thing, Ady! Ditunggu aksi mahapatihnya! Thanks udah mampir ya!
HapusSure thing, Ady! Ditunggu aksi mahapatihnya! Thanks udah mampir ya!
HapusDunia hantu nyundaaaaa
BalasHapusEntri yang menghibur. Ada beberapa Easter Egg yang mengena di hati. Dengan pembawaan yang cukup rapi. Sayangnya transisi PoV Asep ke Pucung rasanya kurang halus, jadi fokus saya kurang mantep pas baca cerita second half.
Walau begitu, karakterisasi dan emosi di dalam cerita tersampaikan dengan baik. Saya bisa merasakan semua elemen ceritanya.
Jadi saya berikan nilai 9 untuk pucung. Karena sukses menghibur saya.
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
Thanks Enryuu! Hehe, iya nih mesti belajar lagi perpindahan adegan, apalagi yang sifatnya laid back kayak gini. Salam sejahtera dan panjang umur untuk mbah amut!
Hapuskey.. aku baru nyadar btvv yang dimaksud revievv vvajib ._.
BalasHapusjadi ini marathon dan ini... panjang banget
kayaknya gaperlu direvuevv lagi. toh saya juga lelah bacanya :"
intinya ada 2 babakan yang... beda. 1 babak, cerita tentang kemampuan dasar setan. satu lagi yang aku suka, pertarungan intens dengan sepatu roda.
alignment challange okelah
gaya bertarung check
1. tadinya aku berharap lebih panjang ceritanya yang di bingkai mimpi. cerita yang seharusnya menjadi center perhatiannya malah kalah sama cerita yang ga menuju ke alur. dan sayangnya challangenya ditaruh di sana
2. Gaya bertarungnya keren, jujur, sebagai pemain du-- rolepaly, aku juga sering silat kaki. so adegannya epik banget. apalagi saat memanfaatkan momentum gerak sentripetal memutar ala hotvvheels di dalam goa. mantap. tapi jadi bingung prefer ke gaya bertarung menghasut/memanipulasi atau silat kakinya
so karena challangenya kurang, -2 dan -1 dari poin pertama
bagus, cuma beban ceritanya yang jadi ga pas. dan btvv lagi, itu bingkai mimpinya beda dari entri lainnya. jadi pingin tau lebih lanjut alatnya Zainurma. +1
8/10
OC : Zia Maysa
Thanks feedbacknya, Fai! Semoga kalo lolos alatnya Zainurma bisa ketauan. :))
HapusHmm, suasana desanya kental banget ya, ngingetin saya waktu masih kecil yang kadang juga ikut2an kalo ada acara syukuran desa.
BalasHapusSaya kira karena karakter Asep dapet sorotan banyak di sini, nantinya bakal jadi pembantu Pucung dalam battle. Tapi seperti kata yang lain, perpindahan sorotan dari Asep ke Pucung itu rada aneh. Kesannya "Kalau Asep ditinggal, trus kenapa dia dapat porsi banyak di awal cerita?"
Ya, saya cuma mau tanya aja. Kalau Asep dimunculkan karena untuk menggambarkan karakter Pucung yang jahil, kenapa dari awal ngga pake pov Pucung aja?
Saya juga agak gimana ya kalau pas mbaca battlenya. Maksudnya, Pucung itu jurig, Kinanti juga jurig, pas di awal di jelaskan bahwa Pucung bisa menembus tembok karena dia jurig. Kok, pas battle terakhir Kinanti bisa menabrak tembok gua dan Pucung berusaha keras untuk keluar dari gua yang runtuh. Kenapa mereka ngga menggunakan kemampuan dasar mereka yaitu menembus benda padat? Apa karena ini di mimpi jadi itu tak berguna?
Kalau pas battle dengan reverier lain pun sebenarnya Pucung cukup menghilang untuk menghindari serangan mereka, kan? Dan menyerang seketika layaknya jurig yang tiba2 muncul dihadapan untuk menakut-nakuti.
Cuma pikiran iseng yang tiba2 lewat sih, tapi untuk battle tetep aja oke dan menghibur.
Nilai 8
~ Alexine E. Reylynn
Wah saya seneng ada yang merhatiin kemampuannya. Thanks, Bhima!
BalasHapus1. Di narasi dijelaskan bahwa Pucung dan Kinanti sama-sama berjenis pupuh. Mereka bukan sama-sama setan. Cuma pucung yang setan sekaligus pupuh. Jadi Kinanti memang nggak punya kemampuan menghilang dari awal.
2. Pucung sebagai setan memang bisa menghilang di dunia nyata, tapi nggak di bingkai mimpi. Memang salah saya nggak ngejelasin kemampuan Pucung apa aja yang kena nerf. Jadi, di bingkai mimpi atau alam mimpi nanti kemampuan pucung cuma yang ada di charsheet. Tanpa kemampuan menghilang dan manipulasi arwah seperti yang diterapkan pada Asep.
Anyway, Alexine kayaknya saya blum baca entrinya. Semoga nanti sempat berkunjung. Masih ada beberapa antrian, huhu.
Eh udah ding. Ingetnya sama nama Lex. Sempet lupa Lex ktu Alexine.
HapusAaaaa kenapa ga berkesinambungan gituuu
BalasHapusPadahal keren udah aksi awalnya sama battlenya.
Tapi kayak ga ada bridgingnya...
Ga ada sangkut pautnya yg atas sama yg bawah.
Plus, aye kira lawannya bakal dukun sakti pake bawahan demit2 super.
Rupanya langsung sosok yg disegani sama pucung ye.
Seandainya aja nyambung konfliknya, mantep ini.
Suka sama battlenya.
7/10
Nibelhero | Wamenodo Huang
Jujur, saya jatuh cinta dengan Othema Spreed dan penulisan PoV 1-nya. Saya benar2 jatuh cinta dg Othema Spreed, sampai disimpan dan masih sering dibaca sampai sekarang. Jadi agak kecewa karena Pucung tidak menggunakan PoV 1
BalasHapus:{
Narasinya mantab lah, alurnya sangat nyaman diikuti. Saya banyak belajar tentang penggambaran suasana dan perasaan hati seseorang. Manipulate peoplenya berada di dunia nyata, lupa apa gimana?
Kemampuan Pucung juga ditunjukkan di sini. Bagian2 yg lucu juga ada. Perpindahan sudut pandang Asep ke Pucung saya rasa tidak masalah, malah semakin memberi gambaran yg jelas
Saya suka Pucung, tapi saya cinta Othema Spreed <3
Nilai 9
Merald
Ralat, PoV 2 maksudnya
HapusMeskipun saya suka Pucung, cinta saya untuk Othema <3
Wah iya. Maaf ya. Setelah dirasa lagi. Ternyata rasanya emang kurang pas kalo ini dibuat pov 2. ;))
HapusBeneran di dunia nyata, soalnya saya cek emang ga ada ketentuan harus di alam mimpi sih hahaha.
Duh. Saya terharu dan ga nyangka Othema seberkesan itu. Thanks banget ya! ;) Merald juga berkesan di saya. Semoga saya ga telat komentarnya.
Pocong bersepatu roda. Mbayangin pucung ngeluncur aja bisa buat senyam-senyum. Wiii~
BalasHapusManipulasi Pucung keren, baik yang buat njahili Asep sama yang buat nipu Kinanti. Aura kripik pastanya kerasa banget di cerita si asep, battle sama Kinanti juga gak kalah seru. Maunya kasih sembilan, tapi paragrafnya terlalu dempet, fontnya membuat huruf kapital seperti di bold, mengurangi kenyamanan baca.
Nilai 8~
OC : Begalodon
Waduh maaf nih Begalodon blom sempet kasih nilai, ga keburu bacanya... huhu. Lain kali disempetin mampir deh.
HapusWaduh maaf nih Begalodon blom sempet kasih nilai, ga keburu bacanya... huhu. Lain kali disempetin mampir deh.
Hapus