oleh : Sam Riilme
--
[Iris Lemma’s Entries Reading Guide For Dummies]
(If you’re not a dummy then no need to read this – just kidding)
1.
Entri Iris Lemma selalu terdiri dari 4
sub-chapter (babak) plus prolog dan epilog, dengan indikator ‘0%~’ di awal dan ‘~100%’ di akhir. Tiap babak itu sendiri terbagi lagi menjadi
beberapa part, tergantung sepanjang
apa sebuah babak cerita berjalan. Hal ini mungkin akan membingungkan beberapa
pembaca dalam membaca entri, namun karena memudahkan penulis dalam menulis
poin-poin ide menjadi sebentuk cerita, jadi siapa peduli?
2. Di dalam entri akan tersebar banyak sekali kata dengan furigana, yang mana sebenarnya tidak wajib untuk dibaca karena
tulisannya terlalu kecil dan hanya akan membuat sakit mata. Tapi karena
kelihatan keren dan penulis senang memasukkan tafsir lain dari suatu kata, jadi
kebebasan penulis lah ya.
3. Di penghujung entri akan ada semacam segmen tambahan bertajuk [Extra Sequence ~ <Another Dream> : Side
x, Part y], yang sifatnya opsional untuk dibaca dan tidak berkaitan langsung
dengan entri yang bersangkutan, tapi berhubungan dengan canon Iris Lemma. Kalau pembaca yang budiman tidak begitu peduli
dengan dia dan kawan-kawan, skip saja bagian itu.
4. Terakhir, materi (sok) berat dan (sok) dalam - seolah hendak menguliahi pembaca (dan memang demikian
adanya) - akan selalu ada di setiap entri Iris Lemma. Bila kurang berkenan atau
tidak suka, tidak perlu memaksakan diri untuk membaca. Anak kecil saja bisa
menolak makan sayur karena tidak enak di lidah, apalagi orang dewasa yang punya
kebebasan memilih.
5.
Maaf sudah menghabiskan 250
kata untuk peringatan tidak penting di atas. Akhir kata, selamat membaca.
*****
==Starting_Up_System_[PRAE.SCRIPTUM]==
Ketakutan.
Itulah alat yang paling ampuh untuk mengendalikan
semua mahluk yang memiliki rantai pengekang bernama perasaan dalam ketundukan
absolut.
Dan saat ini, Iris Lemma telah belajar hal baru. 61
sosok yang disebut reverier, termasuk dirinya, dikumpulkan di satu tempat bernama
[Museum Semesta], menyaksikan bagaimana sekelompok mahluk gagal
dihukum oleh tangan tak terlihat secara mengerikan. Hampir semua yang hadir di
sana seketika itu juga merasakan ketidakberdayaan melawan entitas maha tinggi
penguasa tempat ini.
[Sang Kehendak].
Mereka semua tahu, saat ini mereka kehilangan
inspirasi, dan mungkin di saat yang sama juga kehilangan nyali. Melawan berarti
mati. Hanya dengan satu pertunjukan singkat yang efektif, mereka menurut untuk
melakukan keinginan dia yang wujudnya
bahkan tidak dapat dilihat di depan mata mereka.
Tapi bagi Iris Lemma yang tidak disibukkan dengan
impresi pemicu emosi, hal ini membuktikan sesuatu.
Sosok yang ia cari, menjadi tujuannya sejak ia dapat
mengingat dunia terpampang di depan matanya. Sosok Tuhan. Konsep ini
ternyata bukan buah pikiran belaka dan benar adanya. Perjalanannya keluar dari
dunianya sendiri, sebagaimana yang diarahkan oleh Mira Slime, sudah berada pada
garis yang benar. Iris Lemma meyakini hal ini dengan sepenuh hati, sekalipun ia
tidak punya hati.
Sekarang pertanyaannya, bagaimana ia bisa menemui Sang
Kehendak ini?
“Ayo, saatnya kalian kembali~. Domba-domba kalian bisa
kesepian kalau terlalu lama ditinggal di sana~.”
Suara riang dari sosok mungil dengan payung permen –
dalam kepala Iris Lemma telah ditandai dengan nama [Ratu Huban]
– kembali terdengar, mengantar para peserta yang telah pasrah dengan nasib
mereka diseret ke dalam suatu ajang membingungkan ini kembali pada kenyataan,
kenyataan dalam bentuk [Bingkai Mimpi].
*
Sesampainya di dalam Bingkai Mimpi miliknya, Iris
Lemma tidak mendapati apa-apa.
Berbeda dengan para peserta lain yang mungkin masih
memiliki tempat untuk kembali dengan utuh, planet bumi tempat Iris Lemma
berasal justru baru saja hancur. Yang menyambutnya ketika ia kembali ke sana
adalah ruang angkasa kosong, dengan gugusan batuan dari planet dan satelit yang
bertabrakan, tersebar di mana-mana sebagai asteroid.
Tidak ada kota, tidak ada menara, bahkan tidak ada
tanah lapang. Hitam kosong melebur dengan cahaya bintang.
Tidak ada apa-apa lagi untuk ditemui di sini. Kecuali
seekor domba yang melayang-layang di udara, mengembik dan menggerakkan
kaki-kakinya seperti berenang. Hanya saja melawan ketiadaan gravitasi, tidak
banyak yang bisa dilakukan domba itu selain mengapung di tempat.
Memodifikasi punggungnya sebagai pendorong jet, Iris
Lemma menghampiri sang domba. Bagaimanapun juga, hanya domba inilah
satu-satunya kawannya di sini. Lagi, ia mendengar bahwa di semesta mimpi ini,
ia tidak akan dapat pergi ke mana-mana tanpa bantuan mahluk berbulu dengan
wajah bodoh ini. Iris Lemma menetapkan dalam kepalanya bahwa ia harus menjaga
domba ini bagaimanapun caranya, hingga ia dapat menemui Sang Kehendak suatu
saat nanti.
“Mbeeek~.”
Domba mengembik, menatap Iris Lemma dengan mata polos.
Sang robot mata satu tidak tahu harus bereaksi apa. Mengajak bicara? Percuma.
Ia tidak bisa mendefinisikan arti suara yang keluar dari mulut sang domba, jadi
tidak ada cara untuk berkomunikasi. Tapi mata sang domba tampak seperti ia
masih mengharapkan sesuatu. Akhirnya Iris Lemma pun memutuskan mencoba sesuatu
yang sederhana.
Menyentuhnya.
Sayang, meski dapat melihat dan mendegar, Iris Lemma
tidak memiliki indera perasa. Ia tidak tahu tekstur bulu domba yang empuk meski
tangan dinginnya menggapai tubuh mahluk kecil itu. Di lain pihak, sang domba
kelihatannya puas. Ia justru semakin mendekat pada Iris Lemma dan mengeluskan
kepalanya ke dada robot itu.
Tiba-tiba saja, dari mata sang domba muncul sebuah
jendela hologram.
“Mbeek, mbeek~!”
Sebuah kumpulan teks dengan beberapa keterangan
gambar. Iris Lemma membaca tulisan yang tertera dengan seksama, kemudian
mengelus kembali kepala sang domba, membuatnya memejamkan mata dan menutup
jendela hologram itu. Tanpa menunggu lama, ia kemudian menaiki punggung sang
domba, yang meski kecil namun ternyata cukup kuat juga menopang tubuh besi Iris
Lemma.
Dengan satu embikan panjang, keduanya pun pergi meninggalkan
ruang angkasa, menuju ke tempat bergulirnya cerita selanjutnya.
*****
==0%~_[FIRST.ACT]==
Part 1
“Haah… Haah… Haaah…”
Ke manapun matanya memandang, yang tampak hanyalah
padang pasir tak berujung.
Sejak tiba di tempat antah-berantah ini, Ganzo Rashura
sudah menyerah untuk berpikir sehat. Pertama-tama, ia dihadapkan dengan sosok
patung lalim yang nyaris menggoyahkan imannya pada Tuhan Varshaktan. Kemudian,
dia dibawa masuk ke dalam sebuah lukisan. Lalu sekarang, dia dibawa oleh seekor
domba menuju ke padang pasir ini.
Tidak tahu harus berbuat apa, ia hanya bisa berjalan
tanpa arah. Tidak ada petunjuk, tidak ada pemandu, tidak ada apa-apa selain
pasir panas, langit mendung, dan domba yang mengekor.
Beberapa menit berganti menit, kemudian jam-jam pun
berlalu….hingga ia sudah lupa akan keberadaan konsep bernama waktu.
Ia lelah dan haus luar biasa. Hampir ingin mati saja
rasanya.
“Ya Tuhan… Inikah cobaan yang hendak kau berikan pada
hamba-Mu ini?”
Tak kuasa menahan kelemahannya, Ganzo pun bersandar
pada dombanya. Sang domba mengembik, menggeleng-gelengkan kepalanya. Awalnya
Ganzo tidak mengerti, namun kemudian ia mencoba duduk di atas punggung sang
domba, dan barulah domba itu mengangguk tanda setuju.
“Kau… Kau ingin aku menaikimu?” tanya Ganzo setengah
tak percaya. “Oh, Tuhan, betapa di dalam setiap kesempitan selalu ada
kemudahan! Bodohnya aku, hampir menukar imanku dengan ketakutan atas
kelemahanku sendiri! Maafkan kealpaan hamba-Mu ini!”
Ganzo berseru pada langit kosong seraya mengambil
posisi duduk bersila di atas dombanya. Domba itu pun berjalan menyahut riang,
mengantar Ganzo menyusuri padang pasir seperti musafir menaiki unta.
Satu masalah selesai sudah. Setidaknya untuk saat ini.
Tapi tempat ini
aneh juga. Aku yakin langit ini bukan langit malam hari, berarti semua kelabu itu
tak lain adalah gumpalan awan, kan? Lalu kenapa hujan belum turun-turun juga
dari tadi?
Meski ia bisa menghemat energi menaiki domba yang
seolah tidak mengenal lelah, tapi masalah lidahnya yang kering masih belum
tertuntaskan. Ganzo sangat memerlukan air. Seharusnya ia menyiapkan perbekalan
atau semacamnya ketika kembali ke Bingkai Mimpinya tadi kalau tahu akan dibawa
ke tempat seperti ini.
Kemudian Ganzo teringat, bahwa apapun yang terjadi,
kemungkinan besar semua ini adalah bentuk ujian yang dihadirkan Tuhan
Varshaktan untuknya. Sebagai seorang Nabi, wajarlah bila Tuhan senantiasa
menguji kelayakannya.
Sabar.
Benar. Ia harus bersabar. Barangsiapa sabar pasti akan
mendapat jalan keluar.
Maka Ganzo pun mulai berkonsentrasi. Mengenyahkan
segala pikiran tidak nyaman yang bersarang di kepala tanpa rambut, kini ia pun
bermeditasi dengan khusyuk.
Hilanglah, rasa lelah! Hilanglah, rasa haus! Enyahlah,
segala hawa nafsu!
Dalam ketenangan batin yang ia rasakan, Ganzo Rashura
membuka matanya.
Dan benar saja, Tuhan menunjukkan jalan.
“Itu…”
Di kejauhan, ia dapat melihat bayang-bayang kehijauan.
Warna hijau serupa tumbuhan, dan di mana tumbuhan bisa hidup berarti di situ
ada air. Dengan kata lain, sebuah oasis.
“Aiiiir!!”
Sungguh sebuah surga di tengah neraka. Akhirnya,
kesabaran sang Nabi berbalas juga.
“Ayo, dombaku! Karunia Tuhan sudah depan mata kita!
Majuuuu!!”
Dengan memukulkan tongkatnya ke pantat sang domba
malang, Ganzo memacu binatang tunggangannya agar bersegera menuju ke bayangan
hijau tersebut. Sang domba tampak enggan, namun kesabaran Ganzo barusan
ternyata cuma bertahan sekejap mata saja, karena kini ia kembali gelap mata
ketika disuguhkan bayang-bayang nikmat setelah melalui kesulitan seperti ini.
“Apa ini bentuk cobaan lain dari Tuhan? Begitu sudah
dihadirkan kenikmatan di depan mataku, aku harus meraihnya dengan tangan dan
kakiku sendiri? Baiklah kalau begitu!”
Ganzo pun turun dari punggung sang domba dan berlari
menuju hamparan hijau.
Sedikit lagi! Sedikit lagi, dan ujian pertama dari
Tuhan kali ini selesai sudah!
Akan tetapi…
“Umph!?”
Sesak menyeruak. Pusing menggebrak. Tubuh lemas
mendadak.
Ganzo tidak mengetahui, bahwasanya hijau yang ia lihat
adalah sekumpulan debu partikel Kajima yang amat berbahaya bagi mahluk hidup. Debu-debu
itu bergumul dalam pusaran udara, menutupi pemandangan sepanjang horizon. Utopia
di depan mata berubah menjadi distopia. Impian ternyata tak lebih dari sekedar
imajinasi dibalut halusinasi. Ganzo diserang oleh segala macam perasaan tidak
menyenangkan, nyaris ambruk saat itu juga.
Kalau ia tidak disadarkan oleh sebuah suara.
“Mbeeeekk!!”
Benar. Dombanya. Domba yang menemaninya di kala susah,
yang menolak mengantarnya pada celaka. Kenapa dia hampir melupakan satu-satunya
teman seperjalanannya sendiri?
Sang domba menghampiri Ganzo dengan panik, sementara
sang Nabi dengan susah payah mengangkat tubuhnya, membiarkan dirinya berbaring
di atas punggung empuk sang domba.
“Maafkan aku, teman… Ternyata aku telah salah paham,
menafsirkan tanda-tanda dari Tuhan semauku. Seharusnya aku tidak keras kepala
tadi…”
Sang domba mengembik keras, bergegas mengantar Ganzo
menjauhi marabahaya yang mengintai di belakang mereka.
Part 2
Dari tempat di mana air adalah sebuah kelangkaan, mari
kita berpindah pada sebuah tempat di mana cukup banyak air berlimpah. Di dalam
sebuah ruangan kecil, di mana sekumpulan lubang akan mengeluarkan air hanya
dengan putaran sebuah keran.
Ya, tempat ini adalah sebuah kamar mandi.
Lebih tepatnya, kamar mandi khusus pimpinan tentara
pemberontak NEST, Akari Karia.
Wanita dengan wajah penuh ketegaran itu kini tengah
membilas segala kotoran yang menempel di tubuh, dan di saat yang sama itu
artinya tubuhnya kini tanpa penjagaan sama sekali. Ia sendiri tahu bahwa dunia
sedang kekurangan air, namun sebagai mahluk hidup, faktor higienitas adalah
sebuah keperluan. Tubuhnya telah rusak, dan kotoran yang mengandung banyak
kuman bila dibiarkan lama-lama akan menumbuhkan pola hidup yang tidak sehat
pula bagi dirinya.
Jadi, dalam kelangkaan seperti ini, ia tetap mandi.
Bagaimanapun juga, sosok pemimpin harus tampil tanpa cela sebisa mungkin di
hadapan para bawahan, dan mandi adalah salah satu kegiatan untuk menjaga
penampilan tersebut.
Hanya saja, ia harus mengakui ada sesuatu yang ganjil
sejak ia memasuki tempat shower.
Pertama, ia tidak ingat membawa handuk, tapi di dalam
sana sudah tergantung kain tebal putih membuntal.
Kedua, ia tidak ingat di dalam shower ini ada sabun cair dalam kaleng bertuliskan ‘Stalla’. Siapa
yang menaruhnya di sini?
Dan ketiga…
Jujur, ia tidak percaya dengan hantu atau keberadaan
hal-hal supernatural lainnya. Terlebih lagi ini adalah dunia yang dikuasai
teknologi. Segala sesuatu seharusnya punya penjelasan logis. Lalu, kenapa sejak
tadi ia mendengar suara gaib?
‘Ssst… Mbek,
kumohon jangan bersuara ya, Mbek…’
‘Mbek’? Nama siapa itu? Dan ‘jangan bersuara’? Apa
Saraph sang Gagak Putih, penguasa Anatolia dari faksi yang berkuasa saat ini,
akhirnya mengirimkan mesin pembunuh dengan kemampuan stealth untuk menghabisi dirinya?
Akari Kiara menjadi waspada. Diedarkannya pandangan ke
sekeliling, tak membiarkan dirinya dikalahkan oleh ketidaktahuan. Suara itu
masih terdengar samar, tapi ia tidak bisa menentukan sumbernya. Seolah-olah
suara itu berbicara langsung ke dalam
kepalanya.
Tidak bisa dibiarkan. Akhirnya dengan tegas, sang
wanita mengambil inisiatif dan berteriak dengan lantang,
“Siapa di sana!?”
“Mbeeeeek!!”
‘Hiiiiiiiiii!!!’
Handuknya tiba-tiba bergerak sendiri!
Sepasang tangan dan kaki muncul, dan dengan refleks
secepat kilat Akari meraih barang terdekat, melemparnya ke arah handuk yang
berubah wujud menjadi mahluk dengan suara aneh itu.
‘Gyaaaaaah!’
Part 3
Monster laba-laba yang besar sekali.
Itulah yang ditemui Eve Angeline ketika tiba di dunia
ini. Ia segera memindai, mendapati bahwa apa yang berdiri di hadapannya adalah
sebuah megastruktur yang senantiasa bergerak menuju ke satu tempat. Sebuah
benteng berjalan? Monster besi? Apapun itu, kelihatannya Eve tidak akan mampu
untuk menjatuhkan sosok ini sendirian. Karena masih belum merasa menemukan
tujuan jelas, ia tidak punya banyak pilihan selain mengikuti sang monster
laba-laba dalam tanda tanya di kepala.
Namun ini adalah padang pasir. Tidak dombanya, tidak
pula dirinya, mampu mengimbangi gerakan monster laba-laba raksasa ini kalau
berjalan biasa.
Eve pun memutuskan untuk menumpang ke punggung monster
ini. Menurut perkiraannya, punggungnya mungkin seluas sebuah bagian kota, dan
mungkin ia akan menemukan sesuatu yang baru di sana.
Baru saja ia terbang dengan mengapit dombanya
menggunakan pendorong jet, tiba-tiba saja terdengar suara peringatan.
“Objek asing teridentifikasi. Jarak 200..100..”
“Tembak benda itu jatuh, mungkin ia robot mata-mata.”
“Siap, laksanakan.”
Eve memindai dari udara. Tampak olehnya,
puluhan….tidak, mungkin ada ratusan manusia di atas punggung laba-laba raksasa
ini.
Dan mereka mengarahkan senjata ke arahnya.
Tunggu, sejak kapan ia menjadi musuh?
“Aku bukan—“
Tidak sempat menjelaskan, garis-garis merah penanda ia
diincar oleh senjata jarak jauh membuatnya mau tak mau berkelit demi
menyelamatkan diri. Tembakan demi tembakan terdengar meletus, sementara Eve
dengan segenap tenaga berusaha untuk menghindarinya.
“Tembak! Tembak!”
Melihat situasi semakin genting, Eve akhirnya terpaksa
unjuk kemampuan juga.
“[Angelic Shield]!”
Sebuah perisai tak kasat mata membantu Eve menerobos
masuk melewati rentetan peluru yang tak henti-hentinya menyerbu. Jelas, tidak
bisa begini terus. Eve bahkan belum tahu situasi apa sebenarnya yang terjadi di
sini, jadi ia harus segera mencari jalan keluar.
Apa boleh buat. Begitu kesempatan terbuka, Eve mencoba
untuk mengangkat tangan.
“Maaf, aku tidak bermaksud melawan… Bisakah seseorang
menjelaskan padaku apa yang terjadi di sini?”
Semoga saja orang-orang ini masih bisa diajak bicara.
Part 4
Dalam sebuah menara berbentuk bunga raksasa di pusat
kota Anatolia, dua sosok misterius saling berhadapan.
Menara Palisade adalah pusat pemerintahan dari Happy
Holy Family, sebuah rezim korporat yang dipimpin oleh diktator bertangan besi.
Happy Holy Family sendiri menguasai hampir seluruh bagian Anatolia, dengan
kebanyakan anggotanya
menghuni menara-menara pencakar langit yang tersebar
di dalam kota. Dan Menara Palisade adalah yang tertinggi, serta paling istimewa
di antara semua menara yang ada. Di tempat inilah legenda bumi Distopia, RAVEN,
tinggal dan memerintah.
Wujud sebenarnya dari RAVEN tersebut, tak lain dan tak
bukan adalah seorang robot bernama Saraph sang Gagak Putih.
Sementara di depan Saraph kini, berdiri seorang robot
lain dengan empat wajah, empat pasang tangan, serta empat pasang kaki. Saraph
memiliki akses kepada seluruh manusia, manusia setengah robot, robot dalam
wujud manusia, ataupun robot sempurna yang menjadi bagian dari Happy Holy
Family dan Anatolia. Dan ia tidak tahu
siapa robot yang ada di depannya saat ini.
“Menerobos keamanan Menara Palisade dan mendatangiku
langsung seperti ini… Jelas, kau bukan orang biasa. Siapa kau?”
“Siapa aku? Siapa kau?” si Empat Wajah balik bertanya.
“Di mana tempat ini? Domba bodoh itu tiba-tiba saja membawaku ke sini, dan saat
sistemku hidup kembali aku sudah tidak berada di Terrable lagi. Katakan, di
mana aku sekarang?”
Domba? Saraph mengedarkan pandangan, baru menyadari
kalau si Empat Wajah tidak sendirian. Penampilannya yang begitu mencolok dan
menyorot perhatian membuatnya lupa memerhatikan sosok kecil yang tampak lemah
dan tak berdosa, menggeliat di balik si Empat Wajah.
Mengesampingkan apakah Domba adalah nama mahluk kecil
itu, Saraph melanjutkan pembicaraan.
“Aku tidak tahu dari mana kau berasal, tapi tempat ini
adalah Anatolia. Di sini, manusia dan robot hidup berdampingan dalam harmoni,
di bawah naungan Happy Holy Family. Kelihatannya kau benar-benar tidak tahu
apa-apa. Perkenalkan, namaku Saraph, tapi orang-orang memanggilku RAVEN. Boleh
aku tahu siapa kau?”
Si Empat Wajah berdecak pelan, memutar wajahnya yang
semula tampak malu menjadi ekspresi marah.
“Aku AI, atau dalam wujud ini, kau juga bisa
menyebutku sebagai Brahma. Tadi kau bilang, manusia dan robot hidup
berdampingan?”
“Benar. Kalau kau mau, bagaimana kalau kau kuundang
juga menjadi anggota Happy Holy Family? Selama kau bersama kami, kebahagiaan
seumur hidupmu akan terjamin. Kami akan menerimamu dengan tangan terbuka. Dengan
me—“
“Tidak, tidak. Bagaimana bisa robot sepertimu,
sepertiku, berpikir untuk hidup dengan manusia? Aku benci manusia. Manusia
adalah musuh. Bagiku, arti keberadaan manusia hanya satu. Manusia ada untuk dihancurkan!”
Mendadak suasana berubah menjadi tegang. Bahkan mahluk
bernama Domba di belakang AI-Brahma tampak meringkuk ketakutan.
“Lalu? Apa yang akan kau lakukan sekarang, mengetahui
tempat macam apa di mana kau berada saat ini?”
Wajah Brahma berputar menjadi ekspresi bahagia. Empat
tangannya mengepal, menimbulkan bunyi gemeratak keras.
“Sudah jelas kan? Aku
akan menghabisi seluruh umat manusia!”
Part 5
Dunia yang asing.
Seharusnya, tempat ia berada saat ini bukanlah bumi
yang telah hancur oleh tabrakan satelit kembar. Namun Iris Lemma tidak bisa
merasa bahwa tempat ini sebenarnya tidak begitu jauh berbeda dengan dari mana
ia berasal.
Menara-menara yang menjulang tinggi mencakar langit
dalam sebuah kota padat dan tertutup. Bila saja dua buah bulan tampak menghiasi
langit di atas sana, mungkin ia akan mengira bahwa tempat ini sebuah replika
dari dunia nyata.
Tetapi tidak. Sejak tiba di sini, ia tahu bahwa ada
beberapa perbedaan yang tempak jelas di depan mata.
Salah satunya adalah bagaimana manusia di tempat ini
tidak tampak berperang dengan satu sama lain. Senyum senantiasa terpampang di
wajah mereka, lagu-lagu dengan lirik riang namun nada sumbang terus melantun di
mana-mana, menghiasi seisi kota dengan penuh tanda-tanda kehidupan, meski langit
tampak suram dan tidak mendukung untuk turut menyumbangkan kesan ceria sebagai
latar belakang dunia.
Sebuah utopia.
Manusia tampak bahagia, tidak diributkan oleh
masalah-masalah di antara mereka.
Bahkan robot juga ikut-ikutan bahagia.
Ya, satu hal lain yang ia dapati dari tempat ini
adalah bagaimana robot diperlakukan setara dengan manusia. Meski jelas
perbedaan antara manusia dengan daging dan robot dengan logam, namun mereka
hidup berdampingan seperti tidak ada perbedaan. Malahan kebanyakan manusia yang
ia temui tidak bisa dikatakan sepenuhnya manusia, karena hampir semuanya pasti
memiliki bagian robotik yang terpasang di tubuh mereka.
Ia sendiri, sejak tiba di sini, sudah diperlakukan
oleh warganya sebagai bagian dari mereka. Awalnya sang robot mata satu tidak
mengerti, namun kemudian memilih untuk mengikuti alur dan ikut membaur.
Iris Lemma mencari informasi.
Beruntung ia dimudahkan oleh keramahan penduduk kota
ini. Apapun pertanyaan yang ia ajukan, mereka menjawabnya dengan senang hati
dan riang gembira. Hanya perlu beberapa menit bertanya ke sana-sini, maka Iris
Lemma selesai menghimpun segala sesuatu yang perlu ia ketahui tentang tempat
ini.
Anatolia namanya. Sebuah kota pimpinan robot, legenda
hidup bernama RAVEN dari Happy Holy Family yang menjaga keteraturan Anatolia
dan memastikan seluruh rakyatnya senantiasa bahagia. Di bawah kepemimpinannya,
manusia dan robot mencapai kesetaraan, dan tidak ada yang tidak bahagia hidup
di kota ini.
Atau lebih tepatnya, sudah menjadi aturan bahwa semua
orang dilarang tidak bahagia.
Iris Lemma tidak memiliki wajah untuk bermain mimik
dan menunjukkan ekspresi, sehingga ia tidak perlu berpura-pura untuk mengikuti
orang-orang di sini. Lagipula, ia bukan warga kota ini sehingga ia berpikir
aturan apapun yang berlaku tidak ada hubungannya dengan dirinya sendiri.
Tetapi aturan untuk hanya memiliki emosi tunggal
agaknya mengingatkannya dengan Sang Kehendak sebelum tiba di sini. Bila di sana
ketakutan merajai, di sini kebahagiaan-lah yang menguasai.
Sesuatu terpikirkan olehnya. Dunia yang dikuasai
robot…bukankah ini adalah skenario yang mungkin terjadi, bilamana ia menerima
tawaran Mira Slime menjadi sosok Tuhan?
Dipikirkan lagi, ada sesuatu yang ganjil dengan premis
tersebut.
Pada dasarnya, dunianya di waktu itu tinggal menunggu
ajal. Tidak ada jaminan bumi akan bertahan setelah tabrakan hebat itu terjadi.
Juga hampir tidak ada manusia yang masih bertahan hidup, dan kalaupun secara
ajaib ternyata ada, mungkin jumlah mereka tidak akan cukup untuk mengembalikan
populasi manusia seperti sedia kala dalam waktu singkat.
Tidak ada negara atau tatanan masyarakat. Bumi yang
rusak tanpa pengelola.
Dengan keadaan menyedihkan seperti itu, apa sebenarnya
yang dipikirkan Mira Slime saat ia mengatakan ingin mengendalikan umat manusia?
Apa yang tersisa dari mereka untuk dikuasai?
Iris Lemma tidak tahu. Setidaknya, untuk saat ini.
Tapi entah mengapa ia yakin - dengan keyakinan tanpa
dasar perhitungan apapun, bahwa selama masih ada sosok manusia yang hidup di
depan matanya, mungkin janji untuk bertemu kembali dengan sang wanita penuh
misteri itu bukan sekedar angan-angan belaka.
Kembali pada kenyataan saat ini, Iris Lemma tahu dari
dombanya bahwa kedatangannya ke tempat ini adalah untuk menyelesaikan konflik
antara Happy Holy Family dan kelompok pemberontak bernama NEST. Hanya dengan
menyelesaikan masalah dua kubu yang berseteru inilah, ia dapat kembali ke
Bingkai Mimpi miliknya, dan mungkin akan terus mendapatkan misi berkala semacam
ini secara bertahap sebelum ia mencapai tujuan akhirnya untuk menemui Sang
Kehendak.
Tidak masalah sebenarnya, karena bagi Iris Lemma semua
ini hanyalah rangkaian garis menuju satu titik.
Dan bicara soal misi, ia tidak mengerti kenapa ada
pihak yang ingin menghancurkan tatanan masyarakat yang sudah bahagia seperti
ini. Seingatnya, Mira Slime juga mengajukan ide bahwa sejatinya semua mahluk
hidup hidup untuk mengejar kebahagiaan. Kalau memang begitu adanya, bukankah
kondisi kota ini adalah titik akhir yang ideal?
Meski demikian, Iris Lemma tidak lantas segera
mengambil kesimpulan.
Ia sudah tahu satu sisi dari sebuah koin, dan ia perlu
melihat sisi koin yang lainnya sebelum membandingkan keduanya dalam timbangan
dan membuat keputusan.
Di pihak mana ia harus berdiri dalam misi kali ini?
*****
==25%~50%_[SECOND.ACT]==
Part 1
Saat Ganzo terbangun, rasa dingin segera menjalari
kulitnya.
Sang Nabi botak membuka mata, mendapati dirinya
terbaring di lantai dalam sebuah ruangan di balik jeruji besi.
“Di, di mana ini?”
“Benteng berjalan NEST,” jawab sebuah suara. Ganzo
menoleh, dan ternyata ia tidak sendirian di dalam ruangan serupa penjara ini.
Seorang perempuan berkulit biru dengan baju compang-camping ternyata ikut
menemani. Ganzo mengamati dengan seksama, tidak yakin kalau rekan satu
ruangannya ini manusia, atau mungkin memang manusia dari dunia lain punya warna
kulit aneh begini.
“Eeh… Siapa kau? Dan ‘benteng berjalan NEST’ itu apa?”
“Aku Eve Angeline,” katanya seraya menunjuk dirinya
sendiri. “Dan ini Stalla. Kita bertiga sama-sama reverier yang diutus ke tempat
ini, kurasa. Salam kenal.”
Ganzo menelengkan kepala saat melihat Eve menunjuk ke
arah suatu benda aneh.
“Namaku Ganzo Rashura, dan, uh, Stalla itu benda ini?”
tanyanya tak percaya.
“…? Kau tidak bisa mendengarnya? ….ah, dia bilang dia
hanya bisa bicara pada satu orang dalam satu waktu. Dia juga bilang, ‘senang
berkenalan denganmu’.”
Tidak bergerak, tidak pula bersuara. Benda itu sama
sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan seperti mahluk hidup. Apa ini
bukan sekedar khayalan sang perempuan biru?
Orang-orang dari dunia lain memang aneh.
“Ngomong-ngomong, domba-domba kita di mana?” tanya
Ganzo khawatir. Ia baru ingat betapa banyak jasa si domba yang harus ia balas
setelah menyelamatkannya dari padang pasir sebelum ia tidak sadarkan diri.
“Kalau itu, tidak usah khawatir. Domba kita bertiga
dijaga di ruangan lain. Kurasa orang-orang di sini tidak punya niat melukai
mereka.”
Ganzo pun menghela napas lega.
“Biar kujelaskan keadaan kita sekarang,” lanjut Eve
lagi. “Seperti informasi dari domba, di tempat ini ada dua faksi yang tengah
berkonflik, kubu poros dan kubu pemberontak. Kita harus menyelesaikan konflik
ini sebelum bisa kembali ke Bingkai Mimpi kita. Karena itu, kupikir seperti
obrolanku dengan Stalla sebelum ini, kupikir sebaiknya kita bertiga bekerja
sama dan membantu kubu pemberontak. Bagaimana?”
“Bagaimana apanya? Aku belum mengerti apa-apa, nona.
Bisa jelaskan dengan runut dan sederhana?”
“Kalau begitu, biar aku yang menjelaskannya pada
kalian.”
Sebuah suara lain menimpali pembicaraan mereka.
Seorang perempuan berumur 20-an dengan bekas luka
menghiasi wajah bagian kanannya, berdiri di balik jeruji besi dengan pandangan
mengintimidasi.
“Namaku Akari Karia, pemimpin kelompok pemberontak
NEST. Kalau benar kalian ingin membantu kami, maka akan kujelaskan segala
sesuatu yang perlu kalian ketahui tentang situasi saat ini. Ikuti aku.”
*
Karena tak bisa bergerak bebas, Stalla sangat
bersyukur bertemu dengan orang baik seperti Eve, yang tidak mengeluh ketika
bicara dengannya dan mau membawanya ke mana-mana.
Keluar dari penjara, ia, Eve, serta pria botak bernama
Ganzo dibawa oleh pimpinan tempat ini ke dalam sebuah ruangan lain yang tampak
seperti sebuah tempat pertemuan. Dijaga oleh dua orang seperti prajurit di
luar, mereka kini bicara delapan…tidak, enam mata.
Singkatnya, dunia ini sedang berperang.
Di kota Anatolia, rakyatnya hidup bahagia. Namun semua
itu sebenarnya hanyalah kamuflase di luar semata, karena pada kenyataannya
pemimpin mereka yang bernama Saraph mengatur segalanya secara diktator.
Peraturan dibuat tanpa kebebasan sama sekali, membuat rakyat hidup tak ubahnya
seperti burung dalam sangkar. Mereka bahkan tak segan-segan menghabisi
orang-orang yang tidak mau mengikuti aturan barang sedikit pun, dan tidak
memiliki toleransi meski mengedepankan semboyan harmoni dalam keragaman.
Sedikit banyak, pemimpin seperti itu mengingatkan
Stalla pada sang raja lalim Gleastran dari tempatnya berasal.
‘Jadi… Mereka
adalah orang jahatnya?’
“Kelihatannya sudah jelas begitu,” kata Eve,
satu-satunya yang bisa berkomunikasi dengan Stalla di ruangan itu. “Mungkin
kita bertiga berkumpul di sini karena suatu kebetulan, seperti Ganzo yang
ditemukan pingsan di padang pasir atau kau yang tak sengaja menyusup masuk dari
awal, tapi kurasa inipun bentuk dari takdir.”
‘Tapi… Kalau
harus terlibat pertarungan langsung, aku ragu aku akan berguna bagi kalian. Apa
aku tidak akan hanya menyusahkan kalian nantinya?’
Stalla memang baru mengenal Eve, Ganzo, dan Akari.
Namun melihat mereka saja, ia tahu ketiga orang ini mampu bertarung dan sudah
melewati berbagai hal. Berbeda dengannya, jangankan bertarung, untuk melakukan
apapun saja ia masih harus bergantung dengan orang lain.
“Master-ku
pernah berkata,” ujar Eve, “bahwa segala
sesuatu diciptakan karena ada tujuannya. Kita mungkin belum tahu apa yang
bisa kita lakukan, tapi kita bisa mencari tahu bersama-sama, bukan?”
Saat itu juga Stalla teringat kata-kata Bapak.
Perkataan yang sama persis dengan apa yang dikatakan
Bapak kepadanya.
‘Benarkah tidak
apa-apa? Apa aku tidak akan menjadi beban untuk kalian?’
“Kurasa karena kita sama-sama reverier, lebih baik
kita bahu-membahu sebagai sesama teman senasib sepenanggungan. Ganzo juga
setuju, kan?”
“Kenapa bertanya padaku?” ujar si pria botak canggung.
“Tapi yah, kalau dua orang gadis sudah meminta bantuanku dengan baik-baik,
rasanya tidak baik kalau menolaknya. Mungkin memang ini sudah digariskan oleh Tuhan
Varshaktan.”
“Bantuan sekecil apapun akan sangat kami hargai,”
tambah Akari. “Dalam pertarungan melawan Happy Holy Family, tidak ada yang tahu
apa yang akan terjadi. Karena itu, aku berterimakasih bila kalian ingin
membantu.”
Mendengar semua itu, Stalla tidak lagi ragu.
Ya, ia memang tidak
tahu apakah dirinya benar-benar bisa membantu. Tapi selama bersama dengan
orang-orang ini, ia tak keberatan melakukan apapun yang ia bisa!
*
“Kalau begitu, kita semua sudah sepakat,” Akari Karia
menutup pertemuan itu dengan singkat. “Kalau
ada yang kalian perlukan, silakan sebut saja. Kami bisa menyediakan senjata dan
perlengkapan bila kalian membutuhkannya.”
Ganzo mengangkat tangan.
“Boleh aku minta makan dan minum? Sejujurnya aku sudah
di ambang batas dari tadi….”
“Tentu saja. Biar kuminta seseorang menyiapkan
sesuatu…”
Perkataan Akari terhenti saat perhatiannya tertuju
pada tangan Ganzo.
“Kau, ini… Tanda-tanda infeksi partikel Kajima?” tanya
Akari tak percaya, tiba-tiba saja memegangi tangan Ganzo dan membuat pria botak
itu kaget. “Di mana kau mendapatkan ini? Ini harus segera diobati… Ah, dan
pakai masker kalau keluar sana nanti. Partikel ini sangat berbahaya bagi
manusia seperti kita! Salah sedikit saja, tubuhmu bisa rusak kalau terlalu
banyak terpapar partikel Kajima.”
“O, ou…”
Sementara itu, tengah melihat mereka berdua dengan
mata sedingin es adalah Eve sang gadis humanoid biru. Teringat olehnya,
momen-momen antara Master Altair dan Leader Shiro dari tempat ia berasal.
“Kalian berdua kelihatan cocok sebagai pasangan.”
Sebuah komentar absurd yang muncul begitu saja entah
dari mana.
“”Hah?!””
Ganzo dan Akari menyahut bersamaan, kemudian saling
bertukar pandang.
“Lihat, kalian bahkan kompak menanggapi komentarku.
Kalian pasti bisa menjadi pasangan serasi.”
“Ka-kau ini bicara apa, nona Eve? Aku dan nona Akari
baru bertemu hari ini, dan lagi aku ini orang suci. Aku tidak boleh terlena
dalam hubungan duniawi…”
“Ma-maaf, tapi pria botak bukan tipe-ku.”
“Gaaaaaaaahhh!!?”
Meski tidak menyatakan cinta, ditolak mentah-mentah
seperti itu membuat hati Ganzo merasa tertusuk juga.
Eve yang sedari tadi memperhatikan tampak senang
dengan suasana seperti ini, meskipun tidak menunjukkan ekspresi apa-apa di
wajahnya yang dingin. Sudah lama rasanya ia tidak dikelilingi oleh orang-orang
dalam keadaan damai dan penuh canda tawa.
Namun kebahagiaan kecil itu tidak berlangsung lama.
Suara pintu digebrak terdengar, dan sesosok tentara pemberontak
memasuki ruangan itu dengan buru-buru.
“Nona Akari! Keadaan darurat! Kami baru saja menerima
berita dari mata-mata di Anatolia!” ujar sang tentara dengan napas
tersengal-sengal. “Saraph… Saraph sang Gagak Putih, baru saja mengeluarkan perintah
untuk memusnahkan seluruh umat manusia!”
Part 2
Saat tiba untuk pertama kali di tempat ini, Iris Lemma
tidak membayangkan ataupun menghendaki bahwa dirinya akan menyaksikan kembali
sebuah adegan kehancuran umat manusia.
Hanya saja kali ini, bukan dia pelakunya, melainkan
penguasa tempat ini.
RAVEN memberikan komando bagi seluruh robot yang
berada di Anatolia untuk serentak menyerang semua manusia yang ada di depan
mata mereka. Bagai dikontrol oleh tangan tak terlihat, seluruh robot berubah menjadi
dewa kematian. Tidak ada lagi kebahagiaan dan harmoni. Semua yang
memiliki darah dan daging harus dibasmi. Hanya mereka yang lahir sebagai mesin
yang berhak untuk tetap hidup.
Sebagian besar manusia, atau mereka yang setengah
manusia setengah robot, jelas kebingungan dengan serangan dadakan ini. Terlalu
lama hidup dalam utopia membuat mereka lupa seperti apa rasanya bahaya. Hampir
tidak ada yang bisa bereaksi dengan normal. Kebahagiaan berubah menjadi
kesengsaraan hanya dalam sekejap mata.
Kota ini adalah ladang pembantaian.
Darah mulai mewarnai kota yang telah kotor oleh debu
dan polusi, membuatnya semakin suram. Langit pun muram, namun tak bersedia
menurunkan hujan untuk membersihkan kekacauan di atas bumi sehingga yang
tersisa hanyalah suasana kelam.
Teriakan kesakitan dan pilu menggema di seluruh
penjuru kota.
Manusia ditembak, dicabik, digilas, dipotong, dilumat,
dibakar, ditindas, dihancurkan sedemikian rupa seperti sebuah siksa neraka.
Tidak ada yang bisa lari atau sembunyi. Barrier di sepanjang kota ini
memerangkap semua mahluk hidup di dalamnya, tidak membiarkan satupun jiwa
selamat dari kemurkaan bangsa robot.
Apa salah mereka? Apa yang membuat RAVEN yang agung
mendadak menciptakan kekacauan, setelah sekian lama Anatolia hidup dalam
keteraturan?
Tidak ada yang tahu. Semua panik, histeris, berusaha
bertahan hidup meski hampir mustahil bagi mereka untuk melawan dan hanya bisa
tenggelam dalam ketidakpercayaan.
Namun tentu saja, ada satu robot yang sama sekali
tidak ambil bagian dalam ajang perburuan manusia ini.
Iris Lemma sama sekali tidak terpengaruh oleh perintah
absolut yang membuat semua robot menjadi mesin pembunuh massal. Ia tidak punya
kewajiban mengikuti aturan masyarakat robot di kota ini, tapi ia juga tidak
merasa punya kewajiban untuk melindungi seluruh umat manusia yang di ambang
kematian. Terlalu sulit. Baginya, yang penting untuk diketahui saat ini adalah
penyebab berubahnya situasi secara drastis.
Tak salah lagi, ia perlu menemui pimpinan Anatolia
untuk mendapatkan gambaran penuh tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Maka iapun bertolak menuju Menara Palisade, tempat di
mana sang pemimpin Happy Holy Family berada.
*
“Ahahahahahahahahaha!! Bagus, bagus sekali! Semua ini
berjalan seperti yang kuinginkan!”
Saraph tertawa terbahak-bahak di dalam Menara
Palisade.
Dari puncak tertinggi di kota ini, ia dapat
menyaksikan langsung bagaimana pembantaian umat manusia ke manapun ia
memandang. Tak kurang dari seratus buah drone
telah ia utus untuk mengeksekusi semua manusia yang ada, dan tak cukup sampai
di situ, ia juga memerintahkan robot-robot Anatolia untuk ikut membunuh warga
kota.
Ia merasa puas. Semua robot yang ada menuruti
perintahnya, dan satu-persatu manusia berjatuhan seperti daun di musim gugur.
“Hmm?”
Sebuah layar virtual terpampang di hadapannya,
memperlihatkan keadaan di luar kota. Masih sekitar belasan kilometer lagi,
namun kamera pengawas di perbatasan menangkap pergerakan sebuah objek masif
yang kini menuju ke arah kota Anatolia dengan kecepatan maksimum.
“NEST, huh. Ternyata mereka terpancing juga untuk
datang kemari. Sempurna. Semakin banyak manusia yang hadir di sini, semakin
cepat mereka habis dari muka bumi!”
Saraph kemudian mengatur sistem pertahanan perimeter
kota agar menyerang benteng berjalan milik NEST begitu mereka sampai ke dalam
jarak tembak.
Sekarang, tinggal menunggu waktu sampai pertunjukan
selanjutnya dimulai.
Mungkin sudah saatnya Saraph ikut turun dan ambil
bagian dalam pembantaian ini, sebelum ia kehabisan jatah buruan.
Namun kemudian ia mengurungkan niatnya, ketika melihat
sebuah titik kecil yang bergerak menerobos kekacauan menuju ke arahnya.
“Oh? Kelihatannya aku akan kedatangan seorang tamu.
Aku harus menyambutnya sebagai tuan rumah yang baik.”
Part 3
Dalam jarak kurang dari 5 kilometer, benteng raksasa
NEST telah menerima serangan dadakan.
“Aktifkan barrier
di lini depan!”
“Balas! Balas tembakan mereka!”
“Kaki depan mengalami kerusakan! Daya guna menurun
20%!”
“Berapa jarak kita dengan Anatolia?!”
Di dalam benteng, semua orang sibuk mempertahankan
diri, memastikan mereka tiba di Anatolia dan tidak gugur sebelum sampai di
tujuan. Pemimpin tertinggi komando benteng, Akari Kiara, menggigit bibir saat
melihat pemandangan kota yang ditangkap visual dengan perbesaran maksimum.
“Inikah wajahmu yang sebenarnya, Saraph?”
Akari menggeram. Ia sudah tahu bahwa kebahagiaan yang
dipaksakan oleh rezim Happy Holy Family adalah preteks palsu, namun ia
benar-benar tidak pernah menyangka Saraph yang selalu menjalankan segala
sesuatu dengan dalih keteraturan justru akan membuat sebuah kekacauan hingga
taraf separah ini.
Tidak bisa dimaafkan. Apa yang terjadi saat ini jelas
mencoreng sejarah manusia. Dan dia masih berani mengambil nama sang legenda
penyelamat, RAVEN, sebagai miliknya?
“Bahkan bila aku harus mengorbankan nyawaku sendiri,
akan kupastikan kekuasaanmu berakhir hari ini!”
Benteng NEST terus menerima gempuran peluru meriam,
roket, serta beam yang tak menghujani
dari arah kota. Mereka tidak akan bertahan lama, namun jarak ini masih terlalu
jauh untuk menurunkan pasukan pemberontak ke medan tempur.
“Dengar semuanya,” seru Akari pada semua orang di
ruang komando. “Kita harus mengorbankan benteng ini. Alihkan seluruh daya untuk
pendorong jet dan angkat kaki-kaki benteng dari permukaan tanah. Kumpulkan
seluruh tenaga barrier pada titik
terdepan benteng. Kita akan menabrak
Anatolia dengan kecepatan dan kekuatan penuh!”
Semua orang tersentak mendengar perintah pimpinan
mereka.
“Anda yakin, nona Akari?”
“Teman-teman kita di garis depan telah mengorbankan
nyawa mereka demi informasi ini. Kita tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan
mereka! Sekaranglah saatnya, bagi kita untuk menuntaskan Perang RAVEN ini!”
Pandangan mata Akari menatap tajam semua yang hadir.
Pemimpin mereka telah bertitah, dan tidak ada keraguan dalam setiap kalimatnya.
Sebagai prajurit, tidak ada lagi anggota pemberontak yang membantah. Semua
telah memantapkan hati untuk mempertaruhkan nyawa mereka dalam peperangan ini.
“Bersiaplah! Setelah benteng ini membentur perimeter
Anatolia, kita akan menyerbu ke dalam! Semuanya, akhir dari seluruh perang ini
akan dimulai sebentar lagi!”
“Nona Akari, pendorong jet sudah siap!”
“Seluruh kekuatan barrier
telah disiapkan di muka benteng!”
Akari mengambil napas dalam-dalam, lalu berteriak
dengan lantang,
“Majuuuuu!!”
*
Tabrakan hebat pun terjadi.
Seperti seekor banteng gila yang menabrak dinding
bangku penonton, benteng NEST memaksakan diri menembus segala pertahanan di perbatasan
kota Anatolia, merangsek masuk dengan gaya dorongan perusak yang luar biasa.
Dinding kota hancur. Kini, saatnya peperangan dimulai!
“Ooooooooohh!!!”
Dengan teriakan penuh semangat, tentara pemberontak
berhamburan turun dari benteng mereka, menuju ke dalam kota untuk bertarung
dengan para robot dalam kendali Saraph. Segera, seluruh kota berubah menjadi
medan tempur. Bunyi ledakan dan tembakan tak berhenti barang sedetik pun,
mengingatkan setiap insan bahwa peperangan besar benar-benar tengah berlangsung
saat ini.
Sebagian besar prajurit telah meninggalkan benteng.
Mereka yang masih bertahan di dalam melakukan usaha terakhir untuk memanfaatkan
benteng ini sebelum kehilangan fungsinya, namun mereka pun akan turun ke kota
bila tiba waktunya.
Sementara itu, berdiri di bawah kaki benteng yang
sudah tidak bergerak, adalah Ganzo dan Eve yang membawa serta Stalla. Sebagai
orang asing, jelas reaksi mereka tidak secepat orang-orang yang sejak awal
sudah tahu akan bertempur cepat atau lambat. Beberapa saat mereka hanya terpaku
di tempat, sebelum Akari akhirnya turun dari benteng dan hendak ikut bertempur
bersama rekan-rekannya di garis depan.
“Apa yang harus kami lakukan?” tanya Eve dengan nada
datar.
“Aku tidak bisa meminta macam-macam, tapi akan sangat
membantu kalau kalian bisa menolong setiap manusia yang dapat kalian temui.
Antar mereka ke tempat aman, dan halau para robot yang hilang kendali. Bila
seumpama perlu dan kalian cukup mampu, hancurkan saja mereka semua.”
Eve dan Ganzo saling bertukar pandang. Yah, mereka
sudah bersedia membantu, jadi tidak ada gunanya juga berdiam diri lama-lama.
“Baiklah kalau begitu,” kata Ganzo mantap. “Semoga
Tuhan Varsakhtan senantiasa memberikan perlindungan pada kita!”
“Ah, tunggu sebentar,” ujar Akari menarik kain lengan
baju Ganzo sebelum sang pria botak mengambil langkah pertama. “Kau yakin tidak
mau memakai zirah tempur kami?”
“Tidak usah deh. Aku mana mengerti cara bertempur
kalian dengan mesin atau apalah itu. Barang begituan tidak ada di tempatku
berasal. Biar kuurus semuanya dengan caraku sendiri.”
“Begitu? Kalau begitu, setidaknya pakailah masker.
Partikel Kajima bisa tersebar di mana-mana. Terkena sedikit saja dapat
membahayakan nyawamu, jadi berhati-hatilah.”
“Akari perhatian sekali. Seperti seorang istri
mengantar suami pergi bekerja saja.”
“”Hah?!””
Komentar lepas Eve lagi-lagi datang entah dari mana,
membuat mereka sesaat lupa kalau ini adalah medan perang.
“A-aku pergi dulu! Kalian, jaga diri baik-baik!”
Dengan zirah tempurnya, Akari segera melesat meninggalkan
ketiga reverier.
“Jadi… Sekarang bagaimana?” tanya Ganzo, sebenarnya
tidak yakin apa yang bisa ia lakukan di sini.
“Aku sudah melacak keberadaan manusia di sekitar sini.
Ada beberapa tanda kehidupan yang lemah,” jawab Eve melaporkan hasil pencariannya.
“Mungkin sebaiknya kita bergegas.”
*
“[Angelic Shield]!”
Beruntung bagi Eve karena ia berhasil mengingat
kembali satu-satunya kemampuan yang diwariskan oleh Master-nya sejak tiba di sini, membuatnya menjadi unit defensive tank yang bisa terus
melindungi banyak orang. Sementara itu, berlindung di balik Eve yang menahan
serangan para robot, Ganzo mengarahkan warga kota yang terluka untuk menjauh
dari pusat pertempuran.
“Mahluk besi gila! Kenapa semua mahluk besi ini
membunuhi orang-orang? Apa mereka setan?”
Sesekali, Ganzo pun perlu menghalau robot yang
menyerbu dengan tongkat saktinya. Ya, meski hanya bersenjatakan sebuah tongkat,
kemampuan Ganzo menghalau para mesin pembunuh jelas menunjukkan kualitasnya
sebagai petarung dan bukan orang biasa.
Dan menyertai mereka bedua, adalah Stalla yang terus
dioper dari tangan Eve ke tangan Ganzo, berpindah-pindah tergantung siapa yang
bisa memegangnya pada satu waktu.
‘Kurasa
sebaiknya aku ditinggal saja… Aku merasa tidak berguna sama sekali..’
Ganzo, yang kini dapat mendengar suara Stalla,
menampik,
“Katakan padaku apa kemampuanmu. Kau pasti punya, kan?
Kupikir semua yang disebut reverier itu pasti punya satu-dua jurus andalan.”
‘Uh, bukan jurus
andalan, sih… Tapi aku bisa mengeluarkan sesuatu secara acak bila tombol
semprotanku ditekan..’
“Begini?”
Ganzo menekan kepala Stalla, dan tiba-tiba saja sejurus
air bah sebesar ombak di siang bolong melesak keluar, seperti kencing yang sudah
lama ditahan.
“Eh? Eh? Apa ini?”
Untuk sesaat Ganzo tertegun dengan apa yang terjadi,
namun Stalla segera memberi instruksi,
‘Jangan berhenti
menekanku! Bila kau berhenti, apa yang keluar dari tubuhku akan berganti, dan
aku tidak bisa mengatur apa yang bisa kukeluarkan selanjutnya. Kita harus
menghentikan sebanyak mungkin robot sebelum cairan yang kukeluarkan ini habis!’
“Oh-ho. Okelah kalau begitu. Lihat, ternyata kau lebih
berguna daripada aku capek-capek mengayunkan tongkat memukul setan-setan besi
ini!” puji Ganzo riang. “Kalau begitu, ayo kita maju! Oraaaa!”
Kombinasi Stalla dibantu Ganzo menerobos kerumunan
robot kalap seperti bulldozer,
membuat Eve sedikit termangu di kejauhan. Melihat mereka mulai membuka jalan,
Eve pun mengalihkan fokusnya untuk melindungi para warga manusia dengan
[Angelic Shield] miliknya dan mendukung dua temannya dari belakang.
Part 4
“Selamat datang. Aku sudah menunggumu sejak tadi.”
Di puncak Menara Palisade, dua sosok mahluk mekanik
bertemu. Mata berbentuk lingkaran merah besar dan mata berbentuk garis
melintang bertemu, saling menilai lawan bicara sejak kontak pertama mereka.
“[Apa kau penguasa kota ini?]”
Iris Lemma, beserta seekor domba yang ia ikatkan di
punggung seperti ransel, kini berhadapan dengan robot serba putih dengan kepala
menyerupai burung gagak. Ia mengenalinya sebagai RAVEN, sosok sang legenda kota
Anatolia.
Atau bukan.
“Aku adalah AI. Atau dalam wujud ini, mungkin aku
lebih dikenal orang-orang sebagai Saraph? Terserahlah. Aku tidak peduli dengan
nama asli tubuh ini,” jawabnya dengan ekspresi santai. “Siapa kau, wahai
saudara mekanik?”
“[Namaku Iris Lemma,]” ujar sang robot mata satu,
dengan jeda satu detik sebelum kemudian berkata, ”[Reverier, sama sepertimu.]”
“Reverier? Ah, sesuatu yang dikatakan Zainurma dan
Huban. Jadi kau diutus ke sini juga oleh mereka? Tidak kusangka ada robot
dengan kecerdasan buatan selain diriku yang ikut mereka tandai.”
AI-Saraph. Iris Lemma memindai figur ini. Ia memutar
ingatannya, dan tahu kalau ini bukan wujud reverier bernama AI ketika mereka
dikumpulkan di Museum Semesta. Sebelumnya ia juga mengatakan sesuatu soal
pemilik tubuh, maka kemungkinan besar ia memiliki kemampuan untuk mengendalikan
robot — termasuk dirinya. Mengetahui hal ini membuat Iris Lemma meningkatkan
kewaspadaan sebelum melanjutkan pembicaraan.
“Jadi? Apa kau datang ke sini untuk bergabung
denganku?”
AI-Saraph membuka kedua tangannya lebar-lebar,
memberikan gestur bahwa ia menerima bila Iris Lemma mengajukan aliansi. Tapi,
bukan itu alasan Iris datang ke sini. Ia membalas tawaran itu dengan menggeleng
pelan.
“[Sebelum tiba di sini, aku sudah membunuh hampir
seribu manusia di dunia tempatku berasal.]”
“Seribu orang? Bagus! Ternyata kau memang teman yang menjanjikan.
Kalau begitu, apa tindakan kita selanjutnya? Ikut turun ke bawah sana dan menghabisi
manusia bersama-sama?”
“[Tidak.]”
“Tidak?” AI-Saraph tampak tertegun mendengar jawaban
tersebut. ”Kenapa? Jangan bilang, kau merasa cukup jenuh setelah membunuh seribu
orang manusia? Bukankah jumlah itu masih terlalu sedikit dibanding milyaran
jumlah mereka yang tersebar di mana-mana? Ah, atau kau justru merasa simpati pada
mereka dan ingin menghentikanku sekarang?”
Sekali lagi Iris Lemma menggeleng kaku.
“[Kalau aku mengulang hal yang sama dengan apa yang
kulakukan sebelum tiba di sini, apa artinya pergi ke tempat yang baru? Kupikir
ini justru kesempatan untuk melihat apa yang terjadi andai aku mengambil
keputusan yang berbeda.]”
“Jadi intinya, kau menolakku. Lalu untuk apa kau
datang ke sini, kalau tidak bergabung dan tidak berniat menghentikanku? Asal
tahu saja, kebencianku pada manusia tidak akan habis meski mereka punah dari
bumi. Akan kupastikan mereka hancur, di manapun mereka berada!”
Suara AI-Saraph kian meninggi. Kenapa ia harus
menaikkan suaranya kalau Iris Lemma masih bisa mendengar dengan jelas? Pola
perilaku yang aneh. Iris membalasnya dengan suara datar yang tidak berubah
sejak awal.
“[Aku tetap tidak mengerti. Apa yang dilakukan manusia
sehingga kau begitu membenci mereka? Apa mereka telah melakukan sesuatu padamu,
atau sesuatu membuatmu mengambil keputusan bahwa membunuh mereka adalah hal
yang terbaik untuk dilakukan? Apa alasanmu?]” Iris Lemma terus bertanya penuh rasa
ingin tahu. “[Bahkan seharusnya aku bertanya lebih dulu, kenapa kau bisa
merasakan emosi seperti kebencian?]”
“Ck. Kau ini berisik sekali.,” sekarang AI-Saraph
mengeluarkan suara seperti mendecakkan lidah, meski ia tidak memiliki mulut
dengan lidah. “Kenapa aku membenci manusia? Apa itu penting? Sejak aku memiliki
kesadaran, hanya perasaan ini yang tertanam dalam pikiranku. Aku hidup untuk
menghancurkan manusia. Karena menghancurkan manusia, aku hidup. Itulah
tujuanku. Itulah alasanku hidup!”
Akhirnya Iris Lemma mengerti karakter ‘saudara’
sebangsa sesama kecerdasan buatan yang ada di depan matanya.
“[Jadi kau memang sudah diprogram sebagai mesin
penghancur sejak lahir. Begitu rupanya. Kau tidak punya pilihan lain dalam
hidupmu. Kau telah diprogram untuk mencapai satu tujuan, dan kau hanya bisa
mengikuti satu arah.]”
Pola pandang AI terlalu ekstrem. Kalau seperti ini, wajar kelihatannya pembicaraan
ini tidak produktif.
“[Aku mengerti sekarang. Tanpa pandangan terbuka,
dialog ini sia-sia. Kita memang tidak sejalan dalam pemikiran, maka pembicaraan
kita akan buntu bila dilanjutkan lebih dari ini.]”
“Dari tadi yang kudengar darimu rasanya seperti omong kosong
belaka. Ternyata kau sama saja dengan pemilik tubuh ini. Kukira aku akan
menemukan rekan sepemikiran yang bisa berdiri sejajar denganku, tapi tampaknya
aku salah.”
Wajah AI-Saraph kini berputar seperti silinder
revolver, menunjukkan sebuah ekspresi kebencian.
“Kau tahu, entah kenapa lama-lama kau membuatku muak
juga meski kau bukan manusia. Terima ini!”
AI-Saraph menembakkan sebuah misil. Iris Lemma melompat
ke samping untuk menghindar, namun ternyata misil itu terus mengintai dirinya.
Merasa ia tidak cukup cepat untuk lari, akhirnya ia memilih untuk memutar
punggungnya dan menyilangkan tangan untuk menahan langsung serangan tersebut
dari depan.
Suara ledakan menggema di puncak Menara Palisade.
Asap terurai, memperlihatkan sosok Iris Lemma yang
berdiri kepayahan di baliknya.
“Hoo.. Ternyata kau tangguh juga,” puji AI-Saraph
dengan wajah mengejek. “Kenapa kau malah menerima serangan langsung dariku?”
“[Aku hanya ingin melindungi dombaku,]” jelas Iris
Lemma singkat, merujuk pada mahluk yang mengembik tak karuan karena panik di
punggungnya. “[Kau sendiri, ke mana domba milikmu?]”
“Dombaku? Kau pikir aku peduli dengan buntalan daging
menyebalkan itu? Kurasa dia terbunuh dalam pertarunganku dengan pemilik tubuh
ini. Lagipula aku tidak perlu lagi kembali ke Bingkai Mimpi. Di sini, aku dapat
berkuasa dan membunuh manusia sesuka hati!”
AI-Saraph membentangkan sayapnya, memperlihatkan
sejumlah misil yang siap ditembakkan ke arah Iris Lemma.
“Kalau kau begitu peduli pada mahluk rendahan seperti
itu, biar kubunuh juga domba milikmu!”
Misil-misil ditembakkan. Iris Lemma, untuk satu alasan
yang tidak ia ketahui kini tidak mampu menembakkan laser dari mata dan tidak
pula mampu membuat perisai plasma, terpaksa melarikan diri menuju ujung menara
dan melompat ke bawah untuk mengenyahkan kejaran misil tersebut.
Tentu saja, seluruh misil tetap mengejarnya tanpa
henti.
Bunyi ledakan berturut-turut mengiringi tubuh Iris
Lemma, yang kini meluncur bebas di udara hingga bertabrakan dengan tanah,
menimbulkan dentuman debu asap yang mengepul tinggi.
Di puncak menara, AI-Saraph menatap tubuh besi yang
rusak berhamburan dan tak bergerak lagi jauh di bawah sana dengan ekspresi
puas.
“Rasakan itu, dasar sampah rongsokan tak tahu
diuntung.”
*****
==50%~85%_[THIRD.ACT]==
Part 1
Baru saja mengusir paksa seorang tamu yang jauh-jauh
datang ke puncak menara, tanpa jeda barang semenit, AI-Saraph kini kembali
kedatangan tamu berikutnya – seorang wanita dalam balutan armor mekanik serba hitam yang melesat seperti burung dari angkasa
menuju ke arahnya.
“Saraaaaaph!!”
Kiara Akari sang pemimpin kelompok pemberontak NEST,
tidak mengambil jalan memutar dalam peperangan ini dan langsung menuju Menara
Palisade untuk menghabisi sumber dari semua masalah ini.
“Dasar mahluk bodoh. Mana ada peperangan dalam dunia
percaturan di mana dua raja langsung bertemu pada langkah pertama?”
AI-Saraph memanggil bantuan lima drone manusia burung miliknya, [Eraser]. Mereka berubah bentuk
menjadi pesawat terbang yang berbaris rapi dalam satu garis horizontal,
membentuk barikade yang menghalangi Akari untuk langsung mencapai AI-Saraph.
“Kalian menghalangi jalan! Minggir!”
Namun bukan pemimpin NEST namanya bila tidak
menunjukkan bahwa ia adalah kekuatan terbesar dari pihak pemberontak. Akari
dengan bantuan unit eksternal 3M yang terpasang di punggung armor [Black Flash] miliknya membuka sepasang
wadah, memperlihatkan 10 misil mikro yang siap mengincar target.
“Makan ini!”
Seluruh misil ditembakkan bersamaan, tidak memberi
kesempatan bagi pada drone [Eraser]
untuk lari, atau bahkan melakukan usaha terakhir untuk meledakkan diri di dekat
Akari. Sang Kilat Hitam meluncur menerobos pagar udara yang kini terbuka,
menyiapkan bilah katana dengan getaran tinggi yang siap menebas tubuh besi
robot putih di hadapannya.
AI-Saraph tidak diam saja. Di kedua tangannya juga
telah terpasang dua bilah pedang energi, siap menyambut undangan pertarungan
jarak dekat tamu yang sudah tidak sabar lagi mendatangi tempat ia berdiri.
Hitam dan putih bertemu.
Bilah hijau dan biru saling beradu, menimbulkan
ledakan yang menghempaskan kedua penggunanya ke arah dua ujung menara yang
berbeda.
Sebuah jarak tercipta.
Keduanya segera menarik senjata jarak jauh. Dalam
sepersekian detik, sebuah senapan antimateri dan meriam laser saling teracung.
Gerakan kedua petarung pun berhenti sesaat, membaca langkah selanjutnya dari
masing-masing lawan.
Penuh amarah yang tak terbendung, Akari berteriak
dengan lantang,
“Kalau aku bisa membunuhmu di sini, perang ini akan
segera berakhir!”
Menanggapi pernyataan tersebut, lawan bicaranya hanya
terkekeh pelan.
“Kau ingin menyelesaikannya secepat ini? Sayang
sekali, aku sendiri tidak akan berhenti sebelum semua manusia di dunia ini
habis. Kau boleh mencoba mengalahkanku, tapi manusia tidak akan pernah bisa
mengalahkan robot!”
Akari ingin sekali segera menembakkan beam cannon di tangannya, namun ia masih
menahan diri. Bukan apa-apa, tapi sejak awal matanya bertemu dengan sosok musuh
bebuyutannya ini, ada sesuatu yang terasa ganjil dan mengusik pikirannya.
“Apa yang terjadi dengan prinsip Happy Holy Family?
Apa kau sudah gila?”
“Happy Holy Family? Ah, nama kelompok pimpinan pemilik
tubuh ini, ya… Siapa peduli dengan itu?”
Saat itulah Akari menyadari perbedaan Saraph di
depannya dengan Saraph sang Gagak Putih yang ia kenal.
“Bukan… Kau bukan Saraph yang kutahu. Siapa kau?”
Di seberang sana, robot putih berkepala gagak dengan antimatter rifle memutar wajahnya,
menunjukkan sebuah ekspresi bosan.
“Apa aku benar-benar harus mengenalkan diri pada
setiap orang yang bertanya siapa aku sebenarnya? Setelah robot mata satu
barusan, sekarang kau ikut-ikutan. Melelahkan sekali. Kau tidak perlu tahu – toh
kau akan segera mati di sini!”
Dua buah tembakan berkekuatan tinggi dilepaskan,
menimbulkan ledakan dahsyat yang mengguncang pusat kota dari puncak Menara
Palisade.
*
Sementara itu di tengah keramaian perang, trio
reverier masih melakukan aksi independen mereka untuk menolong setiap jiwa yang
masih bertahan hidup.
Perang ini telah berlangsung untuk sekian waktu, dan
secara umum tentara pemberontak berhasil mengendalikan situasi. Meski bertarung
di kandang lawan, pada dasarnya tidak semua robot yang menggila dilengkapi
kemampuan untuk bertahan dalam situasi perang. Terlebih, para tentara
pemberontak telah terlatih selama bertahun-tahun menyiapkan diri menghadapi
perang seperti ini. Bisa dibilang mereka sudah menjadi spesialis, sehingga
salah bila menganggap manusia lebih lemah dari robot setelah melihat aksi
mereka saat ini.
“Ah, airmu akhirnya habis juga.”
Ganzo mengocok-ngocok tubuh Stalla seraya menekan
kepalanya, namun yang keluar sekarang hanyalah benda-benda aneh seperti batu
tak berguna atau barang-barang aneh yang Ganzo tidak tahu apa fungsinya.
Walau begitu, mereka telah cukup membantu. Dengan
menetralisir pergerakan sebagian besar robot, mereka tidak hanya memberi
kesempatan untuk para warga sipil melarikan diri, mereka juga membuat para
tentara pemberontak dapat mengakses robot-robot yang tertahan dan melakukan recovery pada sistem mereka.
Dari situlah, diketahui bahwa kemungkinan besar
seluruh robot yang terkoneksi dengan Happy Holy Family telah terjangkiti sebuah
virus digital yang membuat mereka lepas kendali. Berbekal informasi ini, para
analis dan programmer dari pihak
pemberontak dengan sigap segera menyiapkan antivirus untuk membuat situasi
Anatolia normal kembali.
Perang ini tampak mulai menemukan jalan keluar.
Sekarang, yang menjadi masalah hanyalah bagaimana
menghentikan drone independen milik
Saraph dan robot-robot tangguh yang memang memiliki spesifikasi militer. Mereka
masih menyulitkan tentara pemberontak dalam konfrontasi langsung.
‘Maafkan aku
yang tidak berguna…. Kalau saja aku tahu bagaimana cara mengatur apa yang bisa
kukeluarkan..’
“Hei hei, berhentilah bilang begitu lagi. Sudah
terbukti kok kalau kau juga sangat membantu kami,” ucap Ganzo menghibur Stalla,
membuat sang kaleng bicara cukup merasa dihargai.
‘Terima kasih,
Ganzo. Meski aku tetap merasa belum melakukan sesuatu yang berarti, tapi
syukurlah kalau kita berhasil menolong banyak orang…’
“Begitulah. Dan ngomong-ngomong,” Ganzo menoleh ke
arah perempuan biru yang sedari tadi terdiam saja sejak mereka memutuskan
beristirahat sejenak. “Kau sedang melihat apa, Eve?”
Eve Angeline sang humanoid menunjuk ke arah menara
paling tinggi di pusat kota, di mana tampak bola-bola ledakan hilang dan muncul
silih berganti seperti sebuah pertunjukan kembang api.
“Aku menangkap visual Akari sedang berada di sana,
melawan pimpinan pihak musuh.”
“Hah? Dia langsung berhadapan dengan raja setan?”
tanya Ganzo tak percaya. “Apa dia akan baik-baik saja?”
“Sekilas kulihat pertarungan mereka tampak seimbang… Tapi
kelihatannya aku salah. Akari mulai kehilangan momentum.”
Eve tahu bahwa misi mereka di tempat ini akan berakhir
kalau salah satu dari dua figur utama pihak yang berseteru nun jauh sana mati,
namun ia merasa ada yang salah. Ia tidak bisa menyerahkan seluruhnya pada Akari
dan sekedar menunggu hasil pertarungan mereka. Bukankah mereka sudah menjadi
teman?
Ya. Mereka tidak bisa disibukkan oleh perang ini. Ada
sesuatu yang harus mereka lakukan.
Di saat berpikir seperti itulah, Eve menangkap
tanda-tanda bahwa Akari mulai terdesak. Robot putih yang menjadi lawannya
semakin di atas angin, dan siluet hitam Akari tampak mulai berusaha menjauhi
area pertarungan awal mereka.
“Akari dalam bahaya. Aku harus menolongnya.”
Eve membalikkan badan, menatap Ganzo dan Stalla
bersamaan.
“Apa kalian ingin ikut denganku?”
“Kenapa kalian berdua selalu bertanya dulu kalau mau
apa-apa, sih?” ujar Ganzo menjawab seruan Eve. “Sudah jelas, kan? Kalau kita
sudah membuat ketetapan dari awal, kita harus menepatinya sampai akhir!
Perlindungan Tuhan Varshaktan akan menyertai hamba-Nya yang
bersungguh-sungguh!”
‘A, aku juga
tidak mau bertarung sendirian seperti Akari. Kalau bisa bertarung bersama-sama,
apapun akan kulakukan!’
Eve mengangguk pelan, memastikan bahwa tekad mereka
sudah bulat.
“Kita serahkan urusan perang ini pada tentara
pemberontak. Sekarang, ayo bergegas. Kita harus membantu Akari.”
“Oou!”
Trio reverier pun tak membuang waktu lagi dan segera bertolak
menuju posisi di mana Akari berada.
Part 2
Akari Karia sudah di ambang batas.
Penggunaan Core
Overdrive dari armor yang ia
kenakan, meski memberinya performa maksimum melebih batas kewajaran mesin, kini
telah menunjukkan drawback yang
signifikan. Alhasil, mesinnya menghasilkan panas berlebih, dan kini ia tidak
bisa melakukan apa-apa selain bergerak dengan setengah kecepatan normal dan
menunggu sistem mendinginkan kembali mesin.
“Aku salah perhitungan… Seharusnya aku tidak terbawa
emosi tadi…”
Kini dirinya bertekuk lutut di tengah puing-puing
bangunan, sementara di kejauhan, tampak AI-Saraph mengacungkan sebuah pistol
gelombang panas ke arahnya.
“Menyedihkan sekali. Seperti ini sajakah sosok yang
mewakili kekuatan utama umat manusia? Sayang, kau harus berakhir di sini.”
AI-Saraph melepaskan tembakan, dan Akari hanya bisa
menutup mata.
Namun,
“[Angelic Shield]!”
Sebuah suara familiar membuatnya segera membuka mata.
“Syukurlah, kita tepat waktu!”
Di hadapannya kini, tiga orang asing yang baru ia
temui hari ini tampak berdiri melindunginya dari serangan AI-Saraph.
“Ke, kenapa kalian datang ke sini?”
“Kenapa? Bukankah sudah jelas?” Eve bertanya balik,
sebelum kemudian berkata, “Karena kita adalah teman.”
“Dan kita tidak sendirian. Bukan begitu, kawan-kawan?”
Ganzo menyeru, membuat Akari menoleh ke belakang. Tak
ia sangka, sejumlah tentara pemberontak turut serta datang ke tempat ini.
“Nona Akari, kami datang membantu!”
AI-Saraph menjadi geram saat melihat sekumpulan
manusia muncul di depannya seperti ini, mengganggu perburuannya.
“Dasar cecunguk! Kalau kalian ingin mati, biar
kulayani!”
“Tidak akan kami biarkan!”
“Lindungi nona Akari!”
“Lawanmu adalah kami!”
Dengan teriakan-teriakan tersebut, AI-Saraph kini
disibukkan oleh tentara-tentara pemberontak yang menyerangnya secara
berkelompok. Mereka memang bukan tandingan sang Gagak Putih. Satu-persatu,
mereka berjatuhan. Namun dengan gigih, mereka akan bangkit lagi, berusaha
sampai titik darah penghabisan untuk melawan dan menahan pimpinan musuh dengan
segenap kemampuan mereka.
Akari yang dipapah oleh Ganzo, melihat pemandangan di
hadapannya dengan cemas.
“Apa ini akhir dari umat manusia?”
“Heh. Jangan menyerah seperti itu. Riwayat manusia
tidak akan berakhir hari ini. Bahkan kalau tinggal kita satu-satunya manusia
yang hidup, aku akan membantumu mengembalikan populasi manusia seperti sedia
kala bila perlu.”
“Eh? Eh?! Ah…”
Mengembalikan populasi manusia…berarti….jangan
bilang….pria botak ini….?
“Ada apa Akari? Wajahmu memerah! Apa ini akibat racun
Kajima yang kau sebut-sebut itu?”
“Bukan, ini…”
“Yak, mesra-mesraannya cukup sampai di situ dulu,”
potong Eve. “Kita punya situasi darurat sekarang.”
Perkataan Eve ada benarnya. Terlihat oleh mereka,
tidak hanya tentara pemberontak terdesak, beberapa robot lain juga mulai
mendatangi tempat ini. Mereka tidak bisa berdiam diri saja.
“Beri aku waktu untuk bermeditasi. Akan kucoba meminta
pertolongan Tuhan Varsakhtan.”
“3 menit. Mungkin tidak bisa lebih dari itu.”
Ganzo dan Eve bertukar percakapan, dan setelahnya
Ganzo segera mengambil posisi semedi, sementara Eve mengeluarkan [Natsuki
Sword] untuk membantu serangan.
‘Akari, aku juga
ingin membantu. Tekan kepalaku, siapa tahu aku bisa mengeluarkan sesuatu yang
berguna!’
Akari mendengar suara Stalla. Memang, dalam kondisi
ini tidak memungkinkan baginya untuk bertarung, namun ia masih bisa setidaknya
membantu membawa sang kaleng bicara. Iapun mencoba menekan Stalla, dan—
“Whoa?”
Semburan api mendadak keluar dari semprotan Stalla,
sukses menghalau robot-robot yang berusaha mendekat.
Pertarungan semakin memanas. Bangunan-bangunan runtuh
di mana-mana, ledakan terus terjadi setiap menitnya, dan asap bertebaran di
mana-mana, membuat langit semakin kelam tanpa cahaya.
Eve berhasil menghentikan robot-robot yang bisa
membahayakan Ganzo dan Akari, yang sedang tidak bisa bergerak dari posisi
mereka saat ini. Namun di saat yang sama, tampak olehnya bahwa seluruh tentara
pemberontak yang ikut menolong telah gugur di tangan AI-Saraph. Sang robot
Gagak Putih kini mengincar kembali buruan awalnya.
Melihat itu, Eve segera maju dan memaksa terjadinya
sebuah pertarungan jarak dekat.
[Natsuki Sword] milik Eve beradu dengan pedang energi
milik AI-Saraph.
“Kau, dan juga si mata satu itu… Kalian berdua robot,
tapi kenapa kalian menentangku!?”
“Aku tidak tahu siapa yang kau bicarakan, tapi aku
diciptakan oleh manusia. Kau pasti juga sama. Kenapa kau justru hendak
menghancurkan mereka? Bukankah teknologi diciptakan untuk membantu kehidupan
umat manusia?”
“Diam! Kau tidak tahu apa-apa, jangan bicara
sesukamu!”
AI-Saraph makin mengganas. Armor yang ia kenakan terlihat mengemisikan partikel hijau,
melindungi tubuhnya secara efektif dari serangan Eve. Ketika serangan Eve
terhenti untuk sesaat saja, AI-Saraph meledakkan partikel yang tidak stabil
itu, membuat Eve terdorong mundur.
“Ukh…”
Sebelum kehilangan tenaga, Eve segera memasang
[Angelic Shield], membuat kubah yang melindungi teman-temannya di belakang
sana.
“Partikel Kajima?!” seru Akari tak percaya. “Gawat,
Ganzo!”
Mendengar panggilan Akari, Ganzo yang semula masih
bermeditasi segera membuka mata.
Saat itulah, tubuhnya mendadak bersinar keemasan,
tanda bahwa dirinya telah memasuki [Varshakta Sage Mode].
“Maaf membuat kalian menunggu! Sekarang—“
Ucapan Ganzo terpotong saat menyadari keadaan di depan
matanya.
“Eve…”
Sang humanoid biru terkapar di tanah.
Usaha terakhirnya untuk melindungi Akari, Ganzo, dan
Stalla harus dibayar nyawa. Ganzo menghampiri tubuh yang terkulai lemah itu,
menutup matanya dan mendoakannya. Tidak peduli walau Eve hanya seorang
humanoid, di mata Ganzo yang tidak mengenal teknologi modern, temannya seperjuangannya
itu sudah sama saja seperti seorang manusia, maka ia akan memperlakukannya layaknya
manusia pula.
“Kerja bagus, Eve. Maaf membuatmu menanggung semua
ini.”
Namun Ganzo tidak ingin menyia-nyiakan kematian
temannya ini. Ia tidak boleh diliputi oleh amarah yang dapat membuyarkan
kekuatan yang telah ia himpun. Tidak, setelah waktu yang diberikan oleh Eve
agar ia dapat mencapai [Varshakta Sage Mode] ini.
“Hoo, pergantian pemain? Sayang sekali, berapa kalipun
kalian mencoba, pada akhirnya kalian semua akan mati di tanganku,” ujar
AI-Saraph penuh percaya diri. “Dan kau manusia, maka tidak ada alasan bagiku
menahan diri.”
“Kau tahu, aku sangat membenci pembantaian,” kata
Ganzo memulai. “Dan aku tahu, aku ini sebenarnya tipe orang yang pendendam. Aku
tidak berniat memaafkanmu, dan aku tidak ingin mendengarmu bicara lebih banyak
lagi. Kemarahan yang harus kutahan ini….biar tangan ini yang berbicara langsung
padamu, hai raja setan!”
Sebelum AI-Saraph sempat melakukan suatu serangan
jarak jauh, Ganzo telah memanjangkan tongkatnya terlebih dahulu, membuat sang
robot putih terpukul mundur. Belum sempat ia berdiri, Ganzo sudah menyerbu ke
depan, kali ini membuat tongkatnya menjadi sebentuk pilar raksasa yang
menghujamkan tubuh AI-Saraph ke tanah tanpa ampun.
“Gaah!!”
AI-Saraph terbenam di tanah, nyaris tidak bisa
bergerak sama sekali.
“Ugh… Padahal kau hanya manusia… Kekuatan macam apa
ini?”
“Ini adalah kekuatan iman! Mahluk penuh dosa sepertimu
tidak akan pernah mengerti dahsyatnya kekuasaan Tuhan Varshaktan!”
“Heheh… Begitukah…” Meski tertahan oleh pilar raksasa,
AI-Saraph rupanya belum kehilangan akal. “Seranganmu tadi itu hanya berhasil
karena faktor kejutan. Kuakui, aku lengah. Aku mungkin tidak bisa bergerak,
tapi aku bisa melakukan ini!”
Pendorong jet dan sayapnya telah rusak karena hantaman
tongkat pilar Ganzo, namun ia masih bisa mengeluarkan partikel Kajima – yang
mampu membahayakan mahluk hidup manapun – dalam jumlah besar. Selain itu, ia
juga memanggil puluhan drone [Eraser]
yang berada di dekat area pertarungan saat ini.
“Bagaimana? Kalau kau terus menahanku di sini, sama
saja kau cari mati!”
Melihat ini, Ganzo pun meminta bantuan kepada Tuhan.
“Oh, Tuhan Varshaktan. Berikanlah pertolongan bagi
hamba-Mu ini!”
Seketika itu pula sebuah lubang terbuka di langit,
menampakkan sepuluh sosok surgawi yang turun ke bumi memenuhi panggilan sang
Nabi.
Ganzo mengambil langkah mundur, bersiap menghadapi
barisan lawan baru yang dipanggil oleh AI-Saraph yang cedera. Di saat yang
sama, meski tanpa bantuan sayap dan pendorong jetnya yang remuk, AI-Saraph
masih memiliki banyak persenjataan berbahaya, dan kembali memasang posisi
siaga.
Sepuluh malaikat Varshaktan dengan Ganzo, dan puluhan drone [Eraser] dengan AI-Saraph.
“Heh, bantuan seperti itu tidak akan ada artinya
melawan pasukanku.”
“Kita tidak akan tahu kalau tidak mencoba.”
“Kalau begitu, majulah kalian semua!”
Serentak malaikat dan robot pun saling beradu.
Babak baru dari peperangan ini kembali dimulai!
Part 3
Seperti apapun kekuatan baru yang Ganzo miliki saat
ini, pada dasarnya, tubuhnya tetap tubuh seorang manusia biasa.
Partikel Kajima yang menyelimuti tempat pertarungan
sudah tidak bisa dibendung lagi. Masker pun tidak efektif, dan siapapun yang
melihat tahu bahwa Ganzo bertarung seperti sebuah lilin yang berkobar hebat.
Semakin besar nyala cahaya yang ia buat, semakin cepat pula lilin itu akan
terbakar habis.
Akari yang memperhatikan ini tidak bisa tidak merasa
khawatir. Ia ingin segera membantu, namun tubuh dan armor-nya sama sekali belum mengizinkan.
Di saat ia merasa tidak berdaya, ia mendengar sebuah
suara.
‘Akari, kau bisa
dengar aku?’
Adalah Stalla dalam genggamannya yang memanggil Akari.
‘Aku…punya
rencana untuk menghentikan Saraph. Aku sudah tidak mengeluarkan benda yang
mungkin akan berguna, jadi aku memikirkan sesuatu yang hanya aku yang bisa
melakukannya… Mungkin ini terdengar berbahaya, tapi kurasa aku siap menanggung
risiko.’
Stalla kemudian menyampaikan sesuatu, yang hampir
membuat Akari ragu untuk menurutinya.
“Kau…kau yakin ingin melakukan itu?”
‘Aku tidak
keberatan… Seperti kalian yang tidak keberatan berteman denganku, kalau aku
bisa membantu kalian dengan segenap jiwa dan kemampuan yang kumiliki, kurasa
hidupku jadi memiliki sebuah arti. Aku tidak akan menyesal mengambil keputusan
ini.’
Meskipun ia hanyalah sebuah botol kaleng, Akari
mengakui bahwa ia bisa merasakan tekad kuat yang tak terbendung dari mahluk
dunia lain ini. Akhirnya iapun hanya bisa mengiyakan keinginan Stalla.
“Stalla, kau benar-benar jantan. Kalau aku menolak
sekarang, kurasa justru aku yang tidak setia kawan….” kata Akari, melepas unit
3M yang terpasang di punggungnya. Unit 3M lantas berubah mengambil bentuk
sebuah pesawat hitam yang menyerupai gagak mekanik. Akari menaruh Stalla di
atasnya seraya berpesan singkat,
“Baiklah kalau begitu. Keberanianmu tidak akan
kusia-siakan. Serahkan semuanya padaku.”
*
Pertarungan antara drone
milik AI-Saraph dan pasukan malaikat pendukung Ganzo sebenarnya cukup
imbang, namun para malaikat jelas memiliki keterbatasan di dunia ini. Salah
satunya adalah pertahanan mereka yang cukup lemah. Sekalipun mereka sanggup
menghabisi beberapa [Eraser], sejumlah
serangan bunuh diri dari para drone dan
serangan jarak jauh yang dilepaskan AI-Saraph mampu menghabisi jumlah mereka
yang sedikit seiring berjalannya waktu.
Setelah cukup lama waktu berjalan, kini yang tersisa
hanyalah Ganzo seorang diri.
Sementara itu, AI-Saraph masih ditemani oleh tiga buah
drone yang mengepung Ganzo.
“Ukh…”
“Hahahaha! Lihat, manusia begitu terbatasi oleh
kelemahan mereka sendiri!” kata AI-Saraph di atas sebuah gundukan puing-puing
bangunan, menatap rendah Ganzo yang dikunci oleh ketiga [Eraser] di
sekelilingnya. “Baiklah, sudah cukup main-mainnya. Sekarang—“
“Ganzo, mundur sejauh mungkin sekarang juga!”
“—!?”
Seruan Akari menyadarkan Ganzo. Segera ia memanjangkan
tongkatnya ke atas, membawa tubuhnya meloloskan diri dari tanah, sebelum
kemudian mengayunkannya menuju kejauhan, memanjangkannya lagi, dan begitu
seterusnya seperti berjalan di atas egrang.
Dalam perjalanan udara itu, sebuah pesawat hitam
melintas melewatinya. Saat itulah, ia mendengar sebuah suara,
‘Selamat
tinggal, Ganzo…’
“Eh?”
Pesawat hitam itu terus menukik ke bawah, terlihat
mengincar AI-Saraph.
“Trik murahan! Maju, drone kebanggaanku!”
Tiga buah unit [Eraser] menghalau laju unit 3M Akari,
yang susah payah bermanuver dan menembaki mereka. Namun, sesuatu lolos dari
pengamatan AI-Saraph. Ia tidak menyangka, bahwa pada saat itu, bukan unit 3M
yang merupakan senjata Akari untuk melancarkan sebuah serangan pada AI-Saraph.
Melainkan sebuah botol kaleng yang jatuh dari udara.
Dengan senapannya, Akari menembak kaleng tersebut, dan
seketika itu pula—
“—!? Apa yang—“
—sebuah lubang hitam tercipta.
Ya. Tubuh Stalla, yang mampu menyimpan dan
mengeluarkan berbagai macam benda yang bahkan lebih besar daripada apa yang seharusnya
bisa ia simpan, pada dasarnya adalah sebuah lubang hitam portabel.
Stalla mendapatkan inspirasi di saat kritis, di mana
ia menyadari fakta ini, dan mengajukan ide pada Akari untuk mengorbankan
dirinya demi menghabisi AI-Saraph.
Dan inilah yang sekarang terjadi.
Lubang hitam Stalla menyerap segala sesuatu yang berada
di dekatnya.
Reruntuhan bangunan, tubuh AI-Saraph, drone [Eraser] yang berusaha melindungi
tuan mereka, serta partikel Kajima yang tersebar di udara bebas. Seluruhnya
membentuk sebuah gumpalan tak beraturan di udara
Sungguh, pengorbanan luar biasa dari Stalla untuk
mengakhiri ini semua.
“Staalllaaaaaa!!”
Ganzo tidak bisa lagi menahan perasaannya. Ia mungkin
masih mampu bertahan saat melihat jatuhnya Eve, tapi kini tidak lagi. Tubuhnya
pun berhenti bersinar, tanda bahwa emosi kembali menguasai diri sang Nabi.
Akari datang menghampirinya, menepuk pundak sang pria
botak yang kini bergetar hebat.
“Eve dan Stalla… Mereka berdua adalah pahlawan bagi
umat manusia. Aku tidak akan melupakan jasa tak terbalaskan mereka berdua
setelah perang ini berakhir.”
“Mereka teman yang luar biasa…” Ganzo menambahkan.
“Budi baik mereka tidak akan kulupakan seumur hidup.”
“BEGITUKAH? APA KAU JUGA TIDAK AKAN MELUPAKAN AKU?”
Ganzo dan Akari segera dikejutkan oleh suara yang
menggema ke seluruh penjuru kota.
“A…apa yang…”
Dari balik reruntuhan, berbagai macam komponen metal
dan bangkai robot berkumpul. Drone-drone
[Eraser] yang masih beroperasi kesemuanya tertarik ke sebuah titik. Bahkan
beberapa puing-puing bangunan pun juga terseret ke arah yang sama, membentuk
sebuah wujud kolosal yang bangkit dari permukaan tanah, menjulang tinggi di
antara menara-menara kota.
Pada pusat percampuran seluruh unsur kemajuan
teknologi menjadi ketidakberaturan tersebut, tampak sosok AI-Saraph yang
tinggal kepala dan separuh badan bagian atas.
Tidak diketahui oleh Ganzo dan Akari, AI-Saraph
berhasil melarikan diri dari lubang hitam dalam sepersekian detik fenomena
tersebut terjadi. Meski dengan bayaran hampir seluruh anggota tubuhnya, kini ia
tidak bisa menahan diri lagi, dan mulai membangun sebentuk tubuh raksasa yang
mencapai puluhan meter.
“Dia masih hidup!?”
Baik Ganzo maupun Akari tidak tahu harus berbuat apa
lagi. Saat ini, mereka terpaku di tempat mereka berdiri, mendongakkan kepala
mereka untuk menyaksikan raksasa besar menghimpun tubuh baru.
“KALIAN TELAH MEMBUATKU RUSAK HINGGA SEJAUH INI…” ujar
AI-Saraph dengan suara menggelegar. “AKAN KUPERLIHATKAN PADA KALIAN, APA
ARTINYA TEROR DAN KETAKUTAN!”
Ganzo mengutuki nasib dengan memukul-mukulkan
tongkatnya ke tanah.
“Sialan, sialan, sialan! Lalu untuk apa Stalla
mengorbankannya nyawanya barusan?! Sialaaaaan!!”
“KALIAN MEMANG BODOH. APA GRANAT LUBANG HITAM ITU
ADALAH USAHA TERAKHIR KALIAN?”
“Itu bukan granat, bodoh! Itu Stalla, teman kami!”
sahut Ganzo membalas seruan sang raksasa.
“AKU TIDAK PEDULI! YANG JELAS, KALIAN SUDAH TAMAT
SEKARANG,” raksasa AI-Saraph mengangkat tangannya, menutupi jalanan sepanjang
yang bisa Ganzo dan Akari lihat dalam bayangannya. “TIDAK ADA TEMPAT LARI BAGI
KALIAN BERDUA! RASAKAN INI!”
Tangan raksasa yang menyerupai sebentuk daratan itu
terayun menuju tanah, dan….
Part 4
Ganzo Rashura dan Akari Karia tidak percaya mereka
masih hidup.
Pada detik di mana tangan raksasa hampir melumat tubuh
mereka hingga rata dengan tanah, mereka mengira itulah akhir dari hidup mereka.
Untuk sesaat, harapan telah sirna dari pikiran mereka. Mereka bahkan nyaris
berpelukan ketika hendak menerima serangan tersebut, memasrahkan nasib pada
yang Maha Kuasa.
Tapi yang selanjutnya terjadi sungguh di luar dugaan.
Seorang robot mata satu serta seekor domba dengan
perangkat mekanik melesat dengan kecepatan tinggi, menyapu kedua tubuh mereka
dari jalanan secepat kilat sebelum tangan raksasa sempat menimpa mereka.
Dan begitulah, mereka selamat dari maut seperti benang
tipis.
Sungguh pertolongan Tuhan datang dari tangan siapa
saja, bahkan tanpa mereka duga.
Keduanya dibawa oleh penolong mereka menuju sebuah
menara kosong, jauh dari tempat mereka bertarung sebelumnya. Di kejauhan bisa
mereka lihat sang raksasa melampiaskan amarahnya dengan menyerang seisi kota
dengan membabi-buta, seperti binatang buas yang mulai kehilangan akal sehat.
“[Untuk sementara, kita aman di sini.]”
Sang robot mata satu mulai berbicara, menatap Ganzo
dan Akari dengan mata merahnya yang menyala.
“Aku tidak tahu siapa kau… Tapi terima kasih telah
menolong kami,” ucap Ganzo sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“[Namaku Iris Lemma,]” jawab manusia besi yang tidak
memiliki rambut seperti Ganzo itu. “[Kau, reverier sepertiku bukan? Aku
melihatmu saat kita berkumpul sebelumnya.]”
“Begitukah.. Tidak kusangka penampilanku cukup
berkesan juga.”
“[Aku mengingatmu karena hanya kau manusia yang tidak
punya rambut di sana, membuatmu mudah diingat.]”
“Kau juga botak, bodoh!”
Sesaat Ganzo hampir melupakan segala emosi yang ia
rasakan sebelum ini, membuat Akari tertawa dan suasana menjadi cair. Namun
hanya untuk sesaat.
“[Kulihat kalian sudah tenang kembali.]”
Iris Lemma kembali berbicara pada pokok permasalahan.
“[Sekarang dengarkan aku. Aku butuh bantuan kalian. Kita
tidak punya banyak waktu. Akan kujelaskan rencanaku secara ringkas. Kalau
kalian tidak ingin ikut, aku terpaksa akan meninggalkan kalian di sini, karena
aku tidak melihat kemungkinan lain untuk menang. Kalian mungkin masih
bertanya-tanya siapa aku dan kenapa aku menolong kalian, tapi aku punya
alasanku sendiri untuk mencoba mengalahkan sosok raksasa di luar sana. Apa
jawaban kalian?]”
Ganzo dan Akari saling bertukar pandang. Mereka sudah
tiba sejauh ini, dan sudah terlalu banyak jiwa yang dikorbankan dalam
peperangan ini. Tentu saja, mereka tidak akan berhenti bila kemungkinan untuk
menang masih ada.
“Baiklah. Katakan apa yang harus kami lakukan. Kekacauan
ini harus segera kita akhiri secepatnya.”
“Aku ikut. Aku memang sedikit kaget dia menjadi
raksasa seperti itu… Tapi kau punya sebuah ide, kan?”
Iris Lemma mengangguk pelan.
Setelah jatuh karena serangan AI-Saraph, ia
membutuhkan cukup banyak waktu untuk memperbaiki diri. Selain memodifikasi
domba miliknya agar bisa membantu, ia juga membuat sebuah mata kedua yang
mengamati jalannya pertarungan selama ia tidak hadir. Dari situlah, ia dapat
menganalisa apa yang bisa dilakukan oleh para petarung yang tersisa dan apa
yang harus dilakukan untuk mengalahkan sosok sang raksasa.
Membalas tatapan Ganzo dan Akari, Iris Lemma mulai
menjabarkan rencananya.
“[Inilah yang perlu kita lakukan—]”
*
Si tengah pusat kota Anatolia, robot raksasa AI masih
mengobrak-abrik setiap menara yang ia lewati seperti angin puyuh
memorak-porandakan pepohonan sebuah hutan. Langkah beratnya pun bagai membuat
gempa setiap kali kaki raksasanya menghentak tanah, membuah cerukan dalam
setiap pijakan.
“SEMUT-SEMUT KEPARAT! KELUAR KALIAN SEMUA!”
Robot raksasa AI hendak mengamuk lagi, ketika melihat
di ujung kota, sesuatu menarik perhatiannya.
Benteng NEST, yang kini tak ubahnya kapal karam,
mengarahkan semua persenjataan yang mereka miliki ke arah robot raksasa AI.
Dari dalam benteng terdengar seruan para tentara
pemberontak.
“Target terkunci!”
“Siapkan semua amunisi yang kita punya! Semuanya,
bergerak!”
“Tembaaaak!!”
Sekonyong-konyong hujan proyektil menggempur tubuh
raksasa AI bertubi-tubi.
“HAA, KALIAN KIRA LABA-LABA SEPERTI ITU BISA
MENGHANCURKANKU?”
AI mengarahkan sang titan menuju ke benteng tersebut,
yang kini melepaskan beberapa beam dan
roket ke arahnya.
“PERCUMA, PERCUMA , PERCUMA!”
Rentetan serangan itu tidak banyak berpengaruh bagi
tubuh raksasa yang dikendalikan oleh AI. Sekalipun menimbulkan beberapa
kerusakan kecil, namun sang kecerdasan buatan mampu memperbaikinya hampir di
saat yang sama dengan kerusakan itu terjadi. Bagaimanapun juga, robot adalah
komoditi paling besar dari kota Anatolia ini. Ia dapat memperbaiki diri sambil
berjalan sebanyak yang ia mau.
Akan tetapi, besarnya tubuh yang ia miliki sekarang
ternyata menurunkan kecermatannya pada hal-hal kecil.
Tidak ia sadari, bahwa di jalanan di bawah sosok robot
titan berdiri, telah bersiap Akari Kiara dengan senjata pamungkasnya.
“Aku siap kapan saja,” ujarnya melalui sebuah alat
komunikasi.
Overed Weapon – L-CINDER dan L-ASH, modul senjata masif berupa sepasang pedang
dengan gelombang panas luar biasa untuk pemusnahan sempurna. Dengan
mengaktifkan ini, Akari tidak mampu memegang senjata lain lagi, dan ia hanya
punya satu kesempatan untuk memakainya.
Akari akan mempertaruhkan seluruh sisa kekuatannya
untuk satu serangan ini!
“[Sekarang.]”
“Heeeaaaaa!!”
Bersamaan dengan aba-aba dari suara di seberang, Akari
melakukan tebasan horizontal, memotong kedua kaki raksasa yang menopang tubuh
sang raksasa.
“APA!?”
Di atas tubuh sang raksasa, AI tak bisa menyembunyikan
keterkejutannya. Mempertahankan tubuh sebesar ini jelas bukan pekerjaan
main-main, dan saat robot raksasa menjadi goyah dengan hilangnya bagian kaki,
sulit baginya untuk mengembalikan keseimbangan.
Serangan kejutan tidak berhenti sampai di situ. Menghadapi
masalah tubuh raksasa yang hendak tumbang ke tanah dan serbuan proyektil yang
tidak berhenti barang sedetik pun, kini Ganzo Rashura menyusul dengan menaiki
domba mekanik yang terbang ke arah tubuh raksasa tersebut.
Sang Nabi bercahaya menyilaukan, tanda ia telah
menerima berkat dari Tuhan. Menghimpun segenap energi kuasa Tuhan dalam kepalan
tangannya, ia kkemudian melompat dan melancarkan sejurus serangan peremuk
segala pada bagian dada sang raksasa.
“[Shisakhta Imperial Fist]!”
Dengan gaya luar biasa, seketika itu pula dada sang
raksasa berlubang, memperlihatkan tubuh inti yang menggerakkannya : AI-Saraph
yang tinggal memiliki separuh badan, tertanam di antara kumpulan mesin-mesin
yang membentuk raksasa ini.
Ganzo dan domba yang ia tunggangi segera menghindar sejauh
mungkin sebelum puing-puing yang berjatuhan bagai hujan menimpa mereka berdua.
“Sekarang, Iris Lemma!”
Dan yang terakhir melakukan penghabisan adalah sang
robot mata satu, meluncur dari udara ke bawah dengan kecepatan tinggi, dibantu
oleh pendorong jet dan gravitasi.
“[Aku bisa melihat intinya.]”
Iris Lemma menyiapkan sebuah tinju, siap menembus
jantung raksasa dengan seluruh kekuatan yang bisa ia kerahkan.
“TIDAK AKAN KUBIARKAN SEMUDAH ITU!”
Tiba-tiba saja, bagian tangan raksasa menangkap tubuh
Iris Lemma di udara.
“Iris!”
Sang robot mata satu terperangkap dalam genggaman
tubuh sang raksasa yang mulai terurai. Ia berusaha memberontak untuk melepaskan
diri, namun sia-sia – kelihatannya AI benar-benar memfokuskan seluruh
konsentrasi dan tenaganya untuk menahan Iris Lemma.
Iris Lemma memutar akal. Apa yang bisa ia lakukan? Apa
yang harus ia lakukan?
Sesuatu. Ia hanya perlu sesuatu yang menghubungkan
serangan terakhir ini untuk menyelesaikan semuanya!
“MATILAH KALIAN SEMUA!”
AI-Saraph tampak hendak melakukan usaha terakhirnya
dalam menghancurkan seisi kota : meledakkan diri dan melepaskan seluruh
komponen mesin ke segala arah. Namun Iris Lemma, yang menatapnya tajam,
tiba-tiba menusuk tubuh inti sang raksasa sebelum semua itu terjadi.
Tidak, bukan pandangan sang robot mata satu yang
menusuk AI-Saraph.
Melainkan seberkas
sinar merah yang entah bagaimana keluar dari matanya, menembus lapisan
terdalam sang raksasa.
“UU…. AAA.. GGAAHHHHH….”
Robot titan pun berhenti bergerak sepenuhnya.
*
Di antara reruntuhan kota, Akari dan Ganzo menatap
takjub apa yang terjadi di depan mata mereka.
“Dia…berhasil?”
“Uwooooo! Kau berhasil, saudaraku! Kita
mengalahkannya!”
“Kepada semua unit yang bertugas!” seru Akari pada
seluruh bawahannya melalui alat komunikasi. “Musuh utama kita telah berhasil dikalahkan.
Akhirnya… Setelah sekian lama… Perang ini kunyatakan akan segera usai!”
“OOOOOOOOOOOOOOHH!!”
Terdengar sorak sorai manusia dari seluruh penjuru
kota, merayakan keberhasilan mereka bertahan hidup untuk melihat hari esok.
Tangisan merana, kelelahan yang luar biasa, rasa putus
asa yang melanda. Untuk satu momen ini, semua itu tergantikan dengan senyuman
bahagia atas kemenangan umat manusia.
Part 5
Tirai peperangan akbar antara umat manusia dan robot
telah ditutup.
Iris, Ganzo dan Akari beserta beberapa tentara
pemberontak berkumpul di satu tempat, menyusuri sisa-sisa dari tubuh raksasa
yang telah jatuh ke tanah seluruhnya. Meski tidak lagi bergerak, Akari
memberikan perintah untuk mencari tubuh Saraph, tidak ingin sesuatu yang buruk
di luar dugaan terjadi lagi setelah semua tragedi hari ini.
Setelah pencarian instensif, tubuh Saraph akhirnya
berhasil ditemukan. Akari segera meminta para prajurit untuk mengamankan mantan
penguasa Anatolia tersebut di benteng mereka.
Namun sama halnya seperti serangan terakhir barusan luput
dari mata raksasa, sosok kecil yang saat ini melarikan diri dari tubuh Saraph
pun lolos dari mata manusia biasa.
Adalah AI, dengan satu-satunya sisa kesadarannya, yang
kini terbang dalam wujud nyamuk besi dengan penuh dendam kesumat atas apa yang
terjadi padanya sekarang.
“Mata satu sialan… Kau harus
membayar semua ini!”
Tujuannya adalah Iris Lemma. Seperti Saraph sang Gagak
Putih, ia akan menanamkan virus untuk mengendalikan robot mata satu itu, dan
memulai kembali penghancuran manusia yang tertunda!
“Heheheh—geh!”
Tiba-tiba saja tubuhnya dihantam keras oleh sesuatu
hingga gepeng.
“Ukh… Tidak…mungkin…”
Dengan kesadaran terakhirnya, yang dapat ia lihat
sebelum seluruh visual terputus adalah sosok manusia botak dengan tongkat
ajaibnya.
*
“[…? Apa yang kau lakukan barusan?]”
“Entah kenapa aku merasakan aura jahat dari nyamuk
besi ini, makanya kuhajar sebelum mencelakaimu.”
“[Mencelakaiku?]”
“Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Seperti kata
pepatah, kalau seseorang menggaruk punggungmu, balas garuk punggungnya. Dengan kata
lain, anggap ini balasanku untuk budi baikmu menolong kami semua.”
Iris Lemma tidak sepenuhnya mengerti, tapi tidak
tertarik untuk bertanya soal ungkapan peribahasa manusia. Sementara Ganzo
mengatupkan tangan dan kembali berdoa untuk yang terakhir kali.
“Maafkan aku telah mengambil nyawamu. Mencegah
kejahatan adalah sebuah kebaikan. Semoga kau berhenti mengganggu umat manusia untuk
selama-lamanya.”
*****
==~100%_[LAST.ACT]==
Part 1
Usai perang, kondisi Anatolia berangsur-angsur normal
kembali.
Seluruh drone milik Saraph berhasil dihancurkan, sementara
sebagian besar robot yang dikarantina telah dinetralkan kembali dari virus yang
sempat menguasai mereka. Meski peperangan ini menelan begitu banyak korban dari
pihak manusia maupun robot, kini mereka saling bantu-membantu untuk bangkit
kembali dari keterpurukan setelah saling menghancurkan satu sama lain.
Pemandangan yang ajaib, mengingat bagaimana kacau-balaunya
kota ini beberapa saat lalu.
Di satu sudut kota, Iris Lemma dan Ganzo Rashura terduduk
di antara puing-puing bangunan, menatap langit tanpa cahaya temaram.
“Jadi begitu… Tidak kusangka, bahkan radikalisme
seperti yang dihadapi nabi keempat di duniaku terjadi juga di sini..”
Iris baru saja menceritakan alasan mengapa ia membantu
mengalahkan AI-Saraph. Selain karena ingin mencoba berdiri di sisi yang berbeda
dengan sebelumnya, ia juga ingin membuktikan bahwa pemikiran AI adalah salah.
Dengan mengalahkannya, ia merasa bahwa itu berarti pikiran penuh kebencian AI
bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan anutan.
Tangan besi AI tidak memiliki peran untuk memberinya
petunjuk dalam pencarian Tuhan.
“Tapi baru kali ini kudengar ada pandangan seekstrem
itu. Aku tidak mengerti kenapa dia sampai seperti itu, tapi syukurlah tidak
semua manusia besi yang kutemui di dunia ini seburuk itu.”
Sebaliknya, justru manusia yang asyik bercengkerama
dengannya ini tampak punya pengetahuan luas tentang Tuhan.
Celetukan Ganzo kemudian berlanjut,
“Bagaimana Iris? Apa kau ingin mendengar tentang agama
Varshaktan? Kau bahkan sudah botak seperti ajaran agamaku, pasti kau punya
potensi jadi penganut agama yang baik sepertiku!”
Iris ingin mengatakan bahwa sejak awal ia memang tidak
memiliki rambut dan berbeda dengan Ganzo, namun mengurungkan niatnya saat
berpikir hal itu tidak begitu penting untuk disampaikan. Ia tidak ingin
mengalihkan topik yang sedang ia gali, maka iapun membalas dengan pertanyaan
lain.
“[Aku mengerti konsep ketuhanan, tapi aku belum paham
kenapa manusia sepertimu membutuhkan agama. Apakah percaya bahwa ‘sang Pencipta
itu ada’ saja tidak cukup?]”
Ganzo berpikir sejenak, sebelum kemudian menjawab,
“Tuhan tanpa agama sama saja dengan raja tanpa
pakaian. Tidak ada bukti yang menunjukkan kebesarannya, dan tidak pula ada yang
mengikutinya. Lagipula, bila kau percaya pada Tuhan, maka seharusnya kau juga
percaya bahwa dunia ini diciptakan untuk suatu tujuan. Dan Tuhan macam apa yang
meninggalkan ciptaanNya tanpa memberi petunjuk? Kalau ada Tuhan seperti itu,
dia pasti tidak bertanggung jawab sekali. Mana layak disebut Tuhan.”
Iris Lemma mencoba mengambil kesimpulan. Itu artinya,
sebuah agama adalah aturan sekaligus petunjuk. Tanpanya, kehidupan di dunia
bagi manusia hanya sebatas mereka-reka apa yang menjadi arti keberadaan mereka,
atau malah membuat definisi sendiri sesuka hati.
Masuk akal. Dengan kata lain, bahkan pemahaman tentang
Tuhan juga memerlukan sebuah kontrol agar tidak liar. Ia mendapat pandangan
baru lagi kali ini.
“Dipikir-pikir, kau mirip dengan mereka berdua…” ujar
Ganzo ketika melihat iris Lemma larut dalam pikirannya. “Padahal kalian bukan
manusia, tapi kalian terus bicara soal tujuan hidup. Rasanya umat manusia harus
belajar untuk mawas diri juga dari kalian.”
“[Mereka berdua?]”
“Eve dan Stalla. Dua reverier lain selain kita, namun
mereka gugur lebih dulu saat melawan Saraph sebelum kau datang.”
“[Begitukah? Kalau saja aku tahu soal mereka saat mereka
masih hidup, mungkin seharusnya aku bicara pada mereka terlebih dahulu dan
bukan dengan AI saat tiba di dunia ini.]”
“Ya, kurasa kalian bakal menemukan banyak kesamaan
kalau sempat mengobrol,” ujar Ganzo seraya mengatupkan kedua tangan, mendoakan
kedua temannya yang telah tiada dari sisinya. “Semoga mereka tenang di alam
sana.”
*
“Ngomong-ngomong, bagaimana kita kembali ke Bingkai
Mimpi setelah ini?”
Beberapa puluh menit telah berlalu, namun semenjak
Ganzo dan Iris mengobrol, tidak ada tanda-tanda domba yang dibawa Iris akan
membuka jalan bagi mereka kembali ke Bingkai Mimpi.
Iris berpikir cepat. Kalau memang mereka tidak
diizinkan kembali, berarti ada sebuah kondisi yang belum terpenuhi.
“[…ada yang salah. Semua ini belum selesai sepenuhnya.]”
Saat itu juga, kedua sosok berkepala licin mengalihkan
pandangan mereka ke satu arah yang sama.
Ganzo Rashura merasakan aura jahat yang menyesakkan.
Iris Lemma mendeteksi sumber energi yang abnormal.
“Oi, oi, yang benar saja… Apa lagi sekarang?!”
Semua ini, ternyata masih menyisakan satu masalah
terakhir yang harus dituntaskan.
Part 2
Begitu AI memindahkan kesadarannya dan melepaskan diri
dari Saraph, sang robot putih perlahan-lahan menguasai kendali atas dirinya
sendiri. Meski kerusakan yang ia terima sangat parah, namun sistem yang ia
miliki belum mati sepenuhnya. Karena itulah, kesadarannya kembali ke permukaan.
Alangkah terkejutnya sang Gagak Putih saat melihat apa
yang menyambutnya di depan mata.
“Kotaku… Aturanku… Warga-wargaku…”
Kehancuran.
Tidak tersisa sesuatu yang telah ia bangun selama
bertahun-tahun untuk dibanggakan, selain onggokan sisa-sisa kehancuran.
“AAAAAAAAAAAAAAAAARRRRRGGGGHHHHHH!”
Seperti sebuah saklar yang menyala dengan paksa,
Saraph segera bertransformasi menjadi sesosok bencana berjalan.
[False Force]. Sebuah kekuatan kegelapan misterius
yang membuat Saraph menjadi sesosok malaikat penghancur.
Kini wujud Saraph bukan lagi merupakan seorang robot,
namun ia telah berubah menjadi perwujudan dari kumpulan partikel Kajima yang
tidak terkendali, dan hanya menghendaki satu hal tanpa akal sehat.
“Hancurkan… Hancurkan…. Hancurkan!”
*
“Bagaimana sekarang?”
Ganzo menatap dengan wajah lelah, sementara Iris masih
berpikir. Sosok Saraph yang kini terbang di udara terus melepaskan partikel
Kajima, membuat tak ada satupun mahluk hidup yang mampu mendekatinya, karena
itu sama saja dengan cari mati. Namun di saat yang sama, bila ia tidak
dihentikan, semua manusia juga akan mati dengan perlahan.
Tapi bagaimana?
Tembakan-tembakan putus asa dilepaskan tanpa pengaruh
berarti. Sang monster hijau hampir tidak bisa dilukai, dan kematian akan
menjemput siapapun yang berani mengusik kemurkaannya saat ini.
Sebagian besar manusia melarikan diri ke dalam
benteng, berharap tidak terpapar partikel Kajima. Ganzo sendiri sebenarnya
ingin ikut lari, tapi tidak bisa meninggalkan kawannya yang masih terdiam di
tempat mengamati monster hijau di udara dengan seksama.
Satu hal lain yang dideteksi oleh Iris Lemma adalah
bagaimana konsentrasi partikel aneh ini terus berkumpul di satu titik dengan
tidak stabil, seakan-akan mereka dapat meledak pada satu waktu. Tidak, bahkan
kemungkinan besar memang itulah kasusnya. Bila mereka mengulur waktu, pada
akhirnya tidak akan ada yang selamat dari pemusnahan massal.
7…tidak, mungkin tinggal 5 menit lagi. Tidak banyak
waktu yang tersisa.
Apa opsi yang tersedia? Apa objektif yang harus dicapai?
Berpikir demikian, Iris Lemma sampai pada satu
keputusan.
“[Aku…punya satu cara untuk menyelesaikan semua ini.]” katanya pada Ganzo. “[Panggil
Akari Kiara. Aku membutuhkannya.]”
*
Ganzo kembali dengan tergesa-gesa bersama dengan Akari
Kiara, yang kini tidak lagi mengenakan zirah besinya dan dibalut perban akibat
luka di sekujur tubuh. Namun berbekal rasa percaya atas apa yang Iris Lemma
lakukan sebelumnya, iapun memaksakan diri untuk menyanggupi permintaan sang
robot untuk datang ke tengah marabahaya ini.
“Aku sudah membawanya,” kata Ganzo, menahan rasa nyeri
karena paparan partikel Kajima. Kondisinya jelas jauh dari prima, karena masker
yang ia kenakan saat inipun tampaknya sudah tidak banyak membantu. “Jadi, apa
rencana kita?”
Akari sendiri berada dalam kondisi lebih lemah.
Napasnya tersengal-sengal, dan meski ia tidak mengatakannya, pandangannya saat
ini mulai mengabur. Sangat diragukan Akari mampu berkontribusi untuk
menghentikan Saraph yang mengamuk saat ini.
“Maaf, tapi kurasa aku tidak akan bisa banyak membantu
kalian dengan keadaan ini. Apa yang—“
Sang pimpinan NEST tidak dapat menyelesaikan kalimat
terakhirnya.
Seberkas sinar merah melubangi kepala Akari dan
membunuhnya seketika.
Part 3
“Aakaaariiiii!!”
Ganzo nyaris kehilangan akal melihat apa yang terjadi
di depan matanya.
Iris Lemma baru saja membunuh Akari dengan tangan
dingin.
“Iriiiiiss!!”
Sang Nabi memukul-mukul tubuh besi sang robot mata
satu. Malang baginya, ia sudah tidak memiliki cukup kekuatan untuk melampiaskan
rasa frustasi, dan tubuh Iris Lemma sendiri sama sekali tidak bergeming dengan
segala bentuk amukan dari Ganzo. Justru tangan Ganzo yang menjadi lebam dan
nyaris berdarah karenanya.
“Apa kau gila? Kenapa kau membunuh Akari!? Kenapa?!” Ganzo
tak henti-hentinya memukul. “Jawab aku!”
Tanpa intonasi yang menunjukkan simpati, Iris Lemma
berujar,
“[Untuk menyelesaikan misi ini, kita harus menyelesaikan
konflik yang sedang terjadi. Menurutku, perang ini tidak akan berakhir kecuali
Saraph atau Akari Kiara mati, atau tempat ini hancur sepenuhnya. Kalau menunggu
Saraph menghancurkan diri, mungkin kita tidak akan selamat untuk kembali ke
Bingkai Mimpi. Bukankah logis bila membunuh Akari Kiara adalah cara tercepat
untuk menyelesaikan semuanya dalam keadaan diburu waktu seperti ini?]”
Mata sipit Ganzo membelalak lebar. Tak percaya dengan
kata-kata yang keluar dari mulut mahluk besi di hadapannya.
“Kau… Untuk alasan seperti itu…?”
“[Sebelumnya aku memang membantu kalian mengalahkan
AI, tapi itu karena mengalahkannya sejalan dengan apa yang ingin kucapai. Untuk
saat ini, aku merasa tidak perlu melibatkan diri dalam masalah lebih lanjut
dengan melawan Saraph. Terlalu berisiko. Kembali ke Bingkai Mimpi adalah
prioritas utama untuk kita berdua sekarang.]”
“Kau… Kau benar-benar bukan manusia… Apa kau tidak
tahu apa yang namanya moral?”
Iris Lemma hanya menelengkan kepalanya, tanda bahwa ia
kurang paham apa yang dipermasalahkan Ganzo.
Ganzo putus asa. Ia benar-benar merasa dikhianati, dan
tidak tahu harus berbuat apa lagi. Kehilangan minat untuk berargumen dengan
Iris Lemma, iapun berbalik dan memeluk tubuh dingin Akari yang sudah tak
bernyawa.
Iris sendiri menghampiri dombanya yang kini mengembik
tanpa henti seperti sebuah alarm, tampak memanggil sang empunya untuk segera
pergi dari sini.
Sebelum meninggalkan tempat ini, Iris Lemma masih
menyempatkan diri bertanya pada Ganzo.
“[Di mana dombamu? Kau tidak mau ikut denganku?]”
Pria botak itu menoleh pun tidak. Terdengar suara
geretakan gigi, sebelum ia menjawab dengan gusar,
“Aku akan tinggal di sini. Aku akan menyaksikan apa
yang ingin ditunjukkan oleh Tuhan padaku dengan panggung akhir zaman ini.”
Partikel Kajima kini telah benar-benar memenuhi udara.
Langit tidak lagi berwarna kelabu, melainkan hijau sepenuhnya.
“Pergilah. Kalau kita bertemu lagi, mungkin saat itu,
kita akan berhadapan sebagai musuh.”
Iris Lemma hendak mengatakan sesuatu, tapi Ganzo sudah
membentaknya untuk yang terakhir kali.
“Pergi! Pergi dari hadapanku sekarang juga, dasar kau iblis!”
Part 4
Iris Lemma telah kembali ke dalam Bingkai Mimpi.
Berbeda dengan saat ia meninggalkannya, ia dapat
melihat bahwa kini beberapa pecahan planet bumi entah mengapa mulai bersatu
kembali, menjadi asteroid-asteroid ukuran besar. Memang belum bisa disebut sebagai
satu planet utuh, tapi cukup bagi Iris Lemma untuk mendapatkan tempat berpijak
dan melihat pemandangan daratan kosong yang cukup luas. Tempatnya berada saat
ini adalah apa yang disebut sebagai ruang angkasa. Ruang di mana langit dan
bumi tidak lagi bersekat di antara keduanya.
Memandang kejauhan, terpikir olehnya sesuatu.
Sampai sejauh mana galaksi ini membentang? Apa yang
menjadi batas ujung dari seluruh semesta?
Bila melihat betapa luasnya alam semesta ini, bahkan
peperangan yang telah dua kali ia alami jadi terlihat seperti sebuah perkara
remeh saat dibandingkan dengan kebesaran dimensi ini dalam hitungan sebenarnya.
Bagaimanapun juga, semua itu hanya terjadi di satu bagian bumi dengan luas
wilayah dan jumlah jiwa terlibat yang terbatas, masih bisa dihitung dan bukan
tak terhingga. Skala konflik yang terjadi masih terlalu kecil untuk disebut
mengancam dunia.
Karenanya, Iris Lemma merasa tidak menangkap mengapa
Ganzo Rashura mempermasalahkan akhir dari kisah Anatolia.
Asalkan tujuan tercapai, bukankah wajar cara apapun
bisa ditempuh?
Apa yang membuat ia berada di posisi salah di
saat-saat terakhir? Apa sebenarnya standar kebenaran bagi manusia?
Hukum apa yang perlu ia anut, untuk menetapkan apa
yang benar dan salah secara absolut?
Apakah karena ia tidak mengerti tentang emosi, ia
tidak dapat memahami manusia? Apakah mengenal manusia lebih dalam akan
membantunya untuk menemukan sang Pencipta?
Iris Lemma sendirian di sini. Hanya dombanya yang
menemani, namun sang domba bukanlah teman bicara yang bisa menyampaikan sebuah
aspirasi. Maka untuk semua pertanyaan yang muncul di kepalanya, saat ini hanya
satu jawabannya.
Ia tidak tahu. Tapi ia akan terus mencari tahu.
Selama hayat masih dikandung badan dan ia masih
memiliki kesadaran, perjalanannya di alam ini tidak akan berhenti sampai di
sini.
*****
==Terminating_Current_Process_[POST.SCRIPTUM]==
Di dalam Museum Semesta di mana terpajang berbagai
macam rupa Bingkai Mimpi milik para reverier, Mirabelle sang Dewi Perang tengah
menyusuri koridor, melakukan inspeksi pada setiap karya yang ada. Setiap karya
yang berlangsung menghasilkan sebuah cerita, dan setiap cerita tersebut memiliki
torehan kata serta warna yang berbeda-beda, membuatnya menjadi karya yang kaya akan
sarat makna.
Namun semua ini belum cukup.
Ia tahu, Zainurma sedang merencanakan sesuatu dengan
memanfaatkan para reverier, tapi ia tidak tahu garis besarnya. Sang Kurator
tidak pernah menjelaskan apa yang ada di kepalanya dengan gamblang, dan yang
bisa Mirabelle lakukan saat ini hanyalah menjalankan perannnya seperti yang
sudah-sudah.
Ia menghela napas.
Sebagai seseorang yang dulunya disebut Dewi Perang, ia
merasa begitu tidak berdaya. Rasanya ketika semua orang tengah bertarung saat
ini, hanya dia yang tidak melakukan sesuatu yang berarti.
“…?”
Lamunannya saat menyusuri koridor terhenti, ketika ia
mendapati sosok asing yang tengah mengamati sebuah Bingkai Mimpi.
Seorang
penyusup? Bagaimana bisa?
Mirabelle bergegas menghampiri orang itu dan segera mengacungkan
tombaknya tepat di kepala sang tamu misterius.
“Jangan bergerak. Siapa kau? Aku tahu, kau bukan
reverier yang kami panggil. Bagaimana kau bisa ada di sini?”
Sosok itu menurunkan parasol yang menutupi wajahnya,
memperlihatkan paras cantik seorang wanita dengan senyum menggoda.
“Seram, oh seramnya. Apa tempat ini tidak mengenal
adab menerima tamu yang datang?”
“Kau jelas tamu tak diundang. Apa yang kau lakukan di
sini? Jawab aku.”
Wanita itu tertawa kecil, sebelum kemudian berbalik
menghadap Mirabelle dan membungkukkan badan, seraya memberi salam,
“Namaku Mira Slime. Aku datang ke sini dengan bantuan
salah seorang reverier untuk melihat-lihat apa sebenarnya yang sedang kalian
kerjakan. Senang bertemu denganmu, hai sesama pemilik nama ‘Mira’.”
Mirabelle tersentak saat mendengar perkataan sang
wanita bergaun biru.
“—?! Kau tahu siapa aku?”
“Yah, aku juga hadir saat para reverier itu pertama
tiba di sini. Hanya saja, saat itu aku hanyalah segumpal benda tak bernama,
jadi wajar kalau tidak ada yang sadar kalau aku berada di antara mereka. Tidak
pula dia yang membawaku ikut serta ke sini. Mungkin dia akan terkejut kalau
bertemu lagi denganku secepat ini, fufufu.”
Mirabelle menjadi cemas. Sejak kapan? Bagaimana
mungkin dirinya dan Zainurma tidak menyadari adanya orang asing seperti Mira
Slime ini? Kalau Sang Kehendak tahu, kemurkaan macam apa yang akan mereka
hadapi?
Di lain pihak, Mira Slime tampak sama sekali tidak
terganggu, tidak pula khawatir dengan keadaannya sendiri, dan memutar-mutar
parasolnya seolah mengajak Mirabelle ikut bermain-main dengan tombak yang ia
acungkan padanya.
“Kau tidak keberatan kan kalau kita mengobrol
sebentar? Aku baru memikirkan sebuah topik,” ujar Mira Slime, yang matanya kini
tertuju pada Bingkai Mimpi di hadapannya. “Apa kau punya seorang anak?”
Mirabelle melirik Bingkai Mimpi tersebut. Milik Iris
Lemma. Ia baru ingat, wanita ini berasal dari tempat yang sama dengan reverier
robot itu. Jadi dia yang membawanya ke sini?
“Jangan bilang kalau robot itu ciptaanmu.”
“Hm? Tidak, hubunganku dengan dia bukan seperti itu.
Cuma…bagaimana menjelaskannya, ya? Aku senang sekali melihat sekarang dia
bertubrukan dengan banyak warna. Kau tahu, sebelum bertemu denganku, mungkin
warna yang bisa kau lihat dari dirinya hanyalah kelabu. Tapi lihat sekarang.
Sedikit demi sedikit, ada warna-warna baru yang ikut membentuk dirinya menjadi
lebih dari sekedar ‘robot yang bisa berpikir’. Dan aku tidak bisa tidak merasa
seperti seorang ibu yang melihat anak bayinya mulai belajar hal-hal baru. Yah, walau
secara biologis mungkin aku tidak akan pernah melahirkan seorang anak, ahahaha.”
Mira Slime melempar senyum penuh arti, membuat
Mirabelle semakin tidak mengerti apa maunya wanita ini.
“Katakan, apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan?”
Mira Slime menatap mata Mirabelle, seolah ingin
mengunci sang Dewi Perang dalam pandangannya.
“Kita semua hanyalah fragmen dari elemen metafisik di
dalam alam maya bernama dunia mimpi. Ketika sang pemilik mimpi terbangun, apa
yang akan tersisa dari kita, selain ingatan yang samar?”
“Apa maksud—”
“Akuilah. Tanpa kesadaran akan diri sendiri, keberadaan kita tidak ada bedanya
dengan tokoh fiktif. Benarkah kita menentukan nasib kita sendiri dalam hidup
ini? Atau ada kekuatan lain di luar sana yang mengendalikan jalan takdir
kita, dari segala yang kita katakan dan kita lakukan? Kalaupun kita lenyap, toh
tidak ada bukti dunia nyata itu benar-benar ada, dan kalaupun benar adanya, belum
tentu ada yang mengingat siapa kita di dunia sana. Jiwa-jiwa tersesat yang
mencari arti tanpa petunjuk pasti. Karena itulah, aku ingin bertanya padamu. Untuk apa sebenarnya mereka semua dihadirkan di sini?”
“—!?”
Mendadak Mirabelle seperti kehilangan kendali atas
dirinya sendiri.
Wanita ini bicara terlalu banyak. Kalau sampai Sang
Kehendak tahu Zainurma merencanakan sesuatu, apa yang mereka lakukan sejauh ini
akan menjadi sia-sia!
Secepat kilat tombak Giruvedan menembus kepala sang
wanita bergaun biru, tidak memberinya kesempatan barang sedikitpun untuk
bertahan atau menghindar. Namun justru Mirabelle yang dibuat terkejut, ketika
mendapati tubuh Mira Slime di hadapannya pecah begitu saja seperti balon air
dan memuntahkan isinya ke mana-mana.
Tidak mungkin…
Dia…hanya sebuah klon air?
Tidak terasa lagi adanya tanda-tanda kehidupan lain.
Mirabelle ditinggalkan begitu saja dalam keheningan seorang diri.
[1st sequence : COMPLETED]
>Cerita sebelumnya: [PRELIM] 02 - IRIS LEMMA | THE WORLD ENDS WITH YOU
>Cerita berikutnya : [ROUND 2] 03 - IRIS LEMMA | THE WORLD WITHOUT US
Wew, saya ngga nyangka ini jumlah katanya mau mendekati batas--saking kasualnya bahasa yg digunakan. Jadi saya lumayan enjoy dan lancar jaya ngebacanya. :D
BalasHapusTapi maaf saya ngga baca cerita bonusnya. ;_;
Kesan yang sangat pertama-tama sekali, ini entrinya nganimetis sampe ada teriakan "gyaaah". Tbh, saya lumayan agak keganggu kalo nemu teriakan seperti itu.
OC"nya kegali dengan bagus dan lumayan kena. Bahkan akari karia (sy nemu tipo jadi kiara) dapet spot juga. Dan pas si saraph ternyata dimasukin sama AI, sya kira itu plot twist karena ngga baca CS ybs. Tp epique lah. Pantesan aja tau" dia nyerang human.
Iris memutuskan buat ngambil pilihan ngga biasa. Kirain itu OOC, ternyata makin ke belakang ketauanlah alasannya. Tp entah kenapa saya mikir mestinya Iris netral aja (?)
Nah, di R1 ini iris ngga terlalu maksain 'kuliahnya'. Dr beberapa komen dan obrolannya sm ganzo, itu udah cukup. Bagus.
Itu kenapa saraph bangun juga? Saya kesian sama ganzo ditelan partikel Kojima. T-T
Terakhir, saya cukup penasaran gimana peran kehendak di dlm kanon iris.
Sehingga saya titip 9.
-Sheraga Asher
*Pertamax diamankan
HapusCerita bonusnya belum kelar juga sih, dan ga ngaruh ke cerita ini jadi ga masalah kalo ga dibaca
HapusSoal teriakan anime-ish, ini berkaitan juga sama komen kamu di entri sebelumnya yang telat saya baca, dan inti jawaban saya bakal keukeuh sama : bahwa emang ini udah style yang hampir mendarah daging dan sukar diubah kalo harus ngikutin keinginan yang baca. Jadi semisal ada yang keliatan kurang cocok atau ga sesuai, ya saya anggap itu baliknya ke masalah preferensi masing"
Sebenernya dalem kepala Iris sendiri pilihan" yang dia ambil sifatnya cenderung netral, tapi dia ga punya dasar moral, karena itulah dari sudut pandang manusia dia lebih jatuh ke evil karena ga punya standar baik-buruk tentang apa yang dia lakuin
Trims udah mampir~
Beberapa kali ngakak di cerita ini... Ngalir dan saya bacanya serasa ringan~
BalasHapusNgakak dengan beberapa celetukan Eve yang terlalu 'frontal'.
Dan Iris yang muncul cuman di awal dan akhir kaya'nya gak ketutup spotlight nya sama oc yang muncul di pertengahan.
Saya nyariin Iris juga ujung-ujungnya, "mana nih, Iris, ayo buruan dateng," pikir saya *plakk
Enjoy bacanya pokoknya. Tapi kesan feel di akhir entah kenapa gak kerasa.. apa karena aku bacanya sambil ini itu kali ya, *dibakar
Overall, Nilai 9 buat Iris Lemma~
OC : Eve Angeline
Hehe, sebenernya saya agak ngambil interpretasi bebas aja soal karakter Eve, yang keliatannya dingin tapi bisa ngasih komen ceplas-ceplos. Syukurlah kalau penulisnya sendiri bisa nerima
HapusSoal feel, saya malah ngerasa emang sengaja dibuat as-is dan berkesan datar, jadi ga nonjolin gimana perasaan kehilangan Ganzo di akhir. Toh dari prelim emang udah jelas beginilah warna entri Iris Lemma seterusnya
Trims udah mampir~
ada beberapa typo tp aku suka jalan ceritanya. pertarungan yg kupikir udah slsai ternyata masih lanjut. tp pada akhirnya iris jd netral ya.
BalasHapussuka transisi tempatnya, meskipun beda tapi keliatan nyambung. dan bgian paling aku suka pas adegan2nya ganzo, eve, stalla. mereka kompak dan lucu. bacanya senyam senyum sambil nunggu ta'jil gratis. ^_^
10 deh. nggak papa typo yg penting ceritanya
Iris netral, tapi netralnya berbahaya karena tanpa dasar moral, jadi jatuhnya menghalalkan segala cara atas nama logika
HapusUdah kebiasaan saya kalo ngolah banyak karakter pake pov3 yang fleksibel. Dan iya, saya juga seneng sama trio reverier ini. Sayang taun ini saya bawanya OC macem Iris Lemma, jadi ga sempet ikut kompak"an kayak mereka
Trims udah mampir~
Jejak dulu alias akan baca ulang karena Pacific Rim-vibe masih kerasa di Iris-Lemma. Serta ini bener2 panjang (dan fast-paced).
BalasHapusPembawaan Furigananya membuat beberapa twist jadi "Gak twist" karena makna tersiratnya jadi tersurat di furigana.
Tapi polesannya asik. Berat dan berbobot.
Mungkin penilaian akan masuk di Reply (cause i need a reason/valid reason to give this entry a solid scoring too) #Halah
Between 10 or 9.
Hapus10 Karena ini juga good. Semua dapet jatah.
9 karena ini entri sukses bikin saya "Hah" berulang kali
10 Deh
Hah-nya kenapa nih? Boleh lah dijabarin, siapa tau bisa jadi bahan perbaikan buat saya ke depannya
HapusTrims udah mampir~
Either my knowledge is not enough ataupun memang beberapa pembawaan ideologis si robot, "too complicated as AI itself"
Hapuslogika yang dia pakai (Iris Lemma) logika berdasarkan apa? logika semata sebagai AI itself, atau istilahnya, "influented by environment" yang artinya moralitasnya sebagai robot, ya seperti manusia yang mudah dipengaruhi.
Sekilas aku ngeliat Iris kayak GLaDOS (Portal).
tapi saat baca koment2 dibawahnya.
Ternyata bukan.
Hmm, itu serius bikin aku muter bacanya.
Yang imbasnya, bacaan kebawah jadi kurang "menjelaskan"
Mungkin yang kurang adalah sebuah rangkuman, yang orang sering bilang "Iris Lemma is bla bla bla in a nutshell"
Itu aja sih.
Tapi sisanya sangat memuaskan as usual.
Kerasa Fast-Pacednya.
Logikanya sederhana kok
Hapus>Dia punya satu tujuan utama (cari Pencipta)
>Dia ngerasa sang Kehendak ada link ke tujuan dia, atau bisa jadi Kehendak = Pencipta
>Dia bersedia ngikutin misi (tantangan ronde) karena dianggep kayak garis perjalanan ke satu titik (tujuan)
>Nentang AI karena pengen bikin perbedaan sama kejadian di prelim
>Bunuh Akari karena itu cara paling efektif nyelesein misi ini
Mungkin sekilas ngebingungin, tapi sebenernya pikiran Iris Lemma ini lumayan one-track kon
Rangkumannya udah ada di cs malah, 'autonomous android searching for its own creator'
HapusGanzo!!! Terimalah tawaran untuk mengembalikan populasi manusia!! *plak
BalasHapushehe, btw keren bang. AI jahat bgt gila di prelimnya dia isinya genosida di sini genosida lagi :'3 tp Iris juga keren. Dia menyingkirkan pemimpin kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik, ide yg cemerlang kata saya. Dan buat partikel kojima yg jelek buat tubuh manusia, itu ambil referensi dari partikel yg di Armored Core ya? *lupa namanya :'33
Untuk penulisan keren bang Sama! Like usual, semua OC dapet peran bahkam Stalla juga dapet :D dari ane 9 bang
OC : Zephyr
Wwwww saya masukin joke soal populasi manusia gara" di charsheet Ganzo katanya itu hal yang di-endorse agama Varshaktan, sama kayak kepala baiknya botak
HapusPartikel Kajima itu dari settingan Anatolianya, bukan dari saya. Tapi kayaknya iya ngambil dari sana
Trims udah mampir~
Ladies and Gentlemen.... IRIS LEMMA!!! *insert song there*
BalasHapusHahahahaha gila keren banget, di awal awal alur ceritanya cukup membuat senyum senyum sendiri (faktor oc sendiri ada disitu) lalu berlanjut ada komedi antara Ganzo dan Akari. Dengan trio reveriers yang sangat menonjol disini bikin saya mikir "Looh ternyata ceritanya ga bakal se-dark itu"
Lalu lanjut ke battle, disini ada hal yang sangat disayangkan. Entah apakah bang sam gagal paham atau gimana tapi skill Ganzo yang meminta pertolongan tuhan itu hanya dapat dipakai 1 kali dalam pertarungan (itung lah maksudnya disini itu adalah 1x enam jam, intinya sih cooldown). Kalau mau digunakan untuk menghabisi AI pake Shisakhta Imperial Fist maka pemanggilan pasukan malaikat tuhan itu seharusnya mending gausah ada atau sebaliknya. Yang dipikiranku adalah, bang sam mungkin mikirnya setelah AI dalam mode AI-Saraph vs Ganzo itu teritung 1 pertarungan, lalu lanjut ke All Reveriers vs AI-Raksasa itu beda pertarungan jadinya bisa digunakan kembali skill tersebut padahal gak seperti itu, tapi mungkin ini salah saya juga karena kurang rinci akan hal ini. Mohon maaf! xD
Tapi diluar semua itu ceritanya cukup menghibur kok, apalagi ketika TWIST terakhir muncul. Di pertengahan setelah AI-Raksasa kalah, sebenernya saya dah mikir bahwa salah satu dari Saraph atau Akari bakal dibunuh tapi semua itu kelupaan ketika Iris ngobrol tentang keagamaan sama Ganzo, itu bener bener bikin aku kebawa obrolannya sih.
Tapi eksekusi mati Akari itu bener bener keren, sesuai dengan Iris yang dingin....
Oh ya, karakterisasi pun sudah cukup puas.
Saya bingung mau kasi nilai berapa, sebenernya ini tinggal sedikit lagi mencapai kata SEMPURNA bagi saya, pengennya kasih 9,5 sih tapi gaboleh ada desimal.... Ini bener bener di(lemma) xD
Setelah beberapa kali baca ulang maka nilai dariku... 9 dulu deh
Walakhir
Ganzo Rashura
Ah, itu bukan salahmu kok. Berarti sayanya aja yang kurang teliti baca charsheet kalo penjelasan itu ketinggalan. Yah, harap maklum, nulisnya ngebut sih jadi ga merhatiin detail orz
HapusTapi syukurlah kalo kamu terhibur dengan pembawaan OC kayak gini. Dan ya, selepas ACT3 harusnya udah jelas Akari atau Saraph mesti mati biar ronde ini selesai, tapi saya emang sengaja ngambil jalan muter dulu biar bisa sedikit masukin obrolan antara Iris sama Ganzo
Trims udah mampir~
Great, great. Semua karakter dikasih porsi untuk menyajikan kisah mereka, dalam persepsi penulis cerita. Pembagian perannya oke, dan saya hanyut terbawa cerita waktu AI-Saraph mulai merajalele. Itu jarang terjadi waktu saya baca cerita BoR. Kelemahannya paling bagian akhirnya kerasa agak terlalu panjang,tapi itu juga bukan masalah yang kelewat mengganggu.
BalasHapusSkor: 9/10
Fahrul Razi
OC: Anita Mardiani
Momen paling menarik: terungkapnya AI-Saraph dan battle yang terjadi kemudian
Bagian akhirnya? Pasca AI-Saraph merajalele kah? Saya emang rada ngulur karena ngerasa perlu sedikit mungkin masukin interaksi antara Iris-Ganzo, yang ga kesampean di bagian" sebelumnya karena mereka beda tempat. Maaf kalo kesannya dragging
HapusTrims udah mampir~
satu kata buat entrynya, KEREN
BalasHapusceritanya bagus dan mengalir. keputusan yang diambil Iris menakjubkan menurutku. aduh kasihan Stalla ngelakuin misi bunuh diri.
AI-Saraph kombinasi yang bagus. saya suka. tapi pembagian peran yang kompleks membuat saya agak merasa bosan.. tapi selebihnya bagus
nilai 9/10
Dwi Hendra
OC : Nano Reinfield
Spotlight di awal yg disebar ke beberapa karakter bikin aku agak sedikit hilang arah. Tapi begitu masuk pertengahan cerita, mulai dapet pacenya. Sayang beberapa adegan serasa dipercepat (karena limit ya) jadi battlenya agak berkurang sedikit intensitasnya.
BalasHapusPemanfaatan karakternya udah asik, AI sebagai main villain, Stalla yg mengorbankan diri, lalu Ganzo yg udah ngasi warna baru buat Iris. Ya, Eve nggak terlalu dapet spotlight, tapi masih oke buatku.
Somehow aku ngeliat pola yg sama di entryku, hahahaha.
Waktu Saraph bangkit lagi rasanya agak asspull buatku. I was like, "Is this Dragon Ball Z?". Tapi twist yg dilakukan Iris bener2 unexpected, itu bener2 poin plus buatku.
Secara teknis udah asik tapi karakterisasi Iris yg bener2 plain bikin aku masih kurang bisa relate sama kisahnya Iris.
Dariku 8/10
~FaNa
>relate sama karakter Iris
HapusGanzo itu karakter, Stalla itu karakter, Eve itu karakter, AI itu karakter. Bahkan Mira Slime itu karakter
Tapi di kepala saya, Iris Lemma itu non-karakter. Dia itu mesin in the truest sense, alat buat saya nyampein isi pikiran saya dalam medium cerita ini. Sejauh apapun dia maju, saya ga akan ngasih kualitas manusia yang bikin siapapun bisa relate ke dia, karena dia pure robot through and through
Trims udah mampir
SUNNY: “Hm, baru awal paragraph dah ada typo…
BalasHapusTak boleh nulis angka di awal kalimat, tapi tuliskan kalimat angka tersebut = enam puluh sosok yang disebut…
Sekadar
Mira Slime juga mengajukan ide bahwa sejatinya semua mahluk hidup hidup untuk mengejar kebahagiaan= ini bagusnya bagaimana kalimatnya?
Nona = sapaan pake awal huruf besar…
Kalo cuman nilai ebi-nya dulu gak apa, kan? Masih banyak perlu dibenahi.”
GHOUL: “Sebenarnya aku sempat berpikir kuatkah si domba mengangkut robot >.<
Hehe, kami setor 7!”
Saya ga suka komen kayak gini
HapusSaya apresiasi kamu berusaha ngebenerin masalah teknis penulisan ke orang yang abai kayak saya, tapi karena ga ada komentar tentang ceritanya sendiri, komentarmu jadi berasa ga ada muatannya buat saya
Trims udah mampir
Ooookeeee, akhirnya ada waktu buat menjatuhkan komentar.
BalasHapusDimulai dari Irisnya sendiri dulu, karena saya sudah baca berkali-kali sampe ngeh gimana esensinya si Iris ini.
Saya akui saya kagum sama karakternya Iris. Truly a Seeker, with a set of codes, but with no moral border. Iris bisa jadi setan atau malaikat di saat yang sama. Itu yang bisa saya rasakan ketika baca R1 Iris ini. Motif dan karakterisasinya lebih kuat dibanding di prelim.
Spotlight karakternya udah bagus dalam keterbatasan kata yang 15,000 ini. Saya rasa peran tim Seeker dan OC Tamu udah berimbang. Walau sebenernya, saya lebih berharap kalau Saraph tidak dirasuki AI. Jadi Saraph dan Iris bisa tukaran ideologi lebih oke lagi. Ideologi Saraph yang ditutur langsung sama pembuatnya pasti bakal jadi bahan menarik buat Iris.
Action sih standar, tapi menghibur kok. Saya senang sama eksekusi adegan-adegannya. Twist di akhir juga udah pas banget.
Sebagai yang menyumbang setting ini buat para reveriers, saya merasa puas dengan kejelasan dunia yang digambarkan.
Entri yang solid dari mas Sam, nothing else to be added.
Saya kasih 9/10 untuk penilaian akhir.
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
Lah saya baca ini dari dulu tapi bisa-bisanya lupa komen.
BalasHapusHari ini saya baca ulang, tapi kayaknya gak ada minus yang bisa saya temukan selain ke'awesome'an di sepanjang cerita.
Racikan plot yang kebagi, mencar ke sana kemari, terus menjelang tengah dan akhir tersatukan jadi satu konflik utama. Juga bagaimana si Iris nunjukin sisi Chaotic Neutral-nya itu lho yang kena banget di benak saya. Gimana dia nyelesaikan masalah (ngebunuh Akari), dan gimana dia gak paham apa itu moral. Semuanya dijabarkan secara lugas dalam basaha yang simpel dan mudah dimengerti.
Anyway, saya tetap masih senang sama muatan teologi yang diselipkan ke dalam perjalanan si robot ini.
Point : 10
OC : Maria Fransiska
Troll in the first read! Its just soooooo you -__-
BalasHapus------------------------------
What I like from your entry?
Oh, of course you writings karakter. Kak sam itu kayak udah punya ciri khas sendiri. Dari jaman dulu Umi kenal BOR, si Hideya. Terus berlanjut ke Claude dan Claudia, terus si Dyna (walaupun ini eception) sama ini terakhir Iris lemma. (namanya bikin Umi inget sama Lemma ._. yang bikin kuliah Umi susah) T~T
Plotnya ga usah ditannya, kak Sam rapih banget kalau nulis. Karakterisasi sama pembagian porsinya juga udah oke banget. Umi bingung dikau kok bisa gitu ngenalin satu karakter segitunya.
reasoning di ceritanya juga udah keren banget. Umi suka gimana cara kak Sam sebenarnya ngomong berat ke pembaca tapi ga berasa. Cuma oh ya sudah ada pesan nih dari penulis. Tapi ya jalan aja gitu. Ga berat. I need to experiment more harder about that.
Oh iya, best part waktu Iris ngomong gini, "Sampai sejauh mana galaksi ini membentang? Apa yang menjadi batas ujung dari seluruh semesta?"
---------------------------------
nilai : 10
Ganzo menekan kepala Stalla, dan tiba-tiba saja sejurus air bah sebesar ombak di siang bolong melesak keluar, seperti kencing yang sudah lama ditahan.
BalasHapus“Eh? Eh? Apa ini?”
Untuk sesaat Ganzo tertegun dengan apa yang terjadi, namun Stalla segera memberi instruksi,
‘Jangan berhenti menekanku! Bila kau berhenti, apa yang keluar dari tubuhku akan berganti, dan aku tidak bisa mengatur apa yang bisa kukeluarkan selanjutnya. Kita harus menghentikan sebanyak mungkin robot sebelum cairan yang kukeluarkan ini habis!’
“Oh-ho. Okelah kalau begitu. Lihat, ternyata kau lebih berguna daripada aku capek-capek mengayunkan tongkat memukul setan-setan besi ini!” puji Ganzo riang. “Kalau begitu, ayo kita maju! Oraaaa!”
>> TANGGUNG JAWAB OI SAYA NGAKAK
Oke back to review. Saya hampir ga bisa nemuin flaw selain typo yang menurut saya ga krusial. I really hate you kak sam, jauh beda sama prelim, kali ini saya ga kebingungan
plotnya asik, ngalir gt aja
pembagian karakter dan porsinya pas.
Awalnya saya kira AI sudah lumayan jahat buat dihancurkan, tapi logika Iris yang akhirnya memutuskan menghabisi Akari juga ga salah.
Yang manapun (membunuh siapapun) sama aja yang penting misi kelar. Kalau boleh saya bilang, saya sempat pakai pikiran ini di entrynya Odin, mirip-mirip lah... (Siapapun yang menyewa Odin, dia ga peduli, yang penting dia bisa balik ke Bingkai mimpi)
So... Perfect Score ya
10
P.S : Still Hate You, kak Sam :)))))))))))
-Odin-
Setuju sama Mira, Iris semakin ke sini makin punya banyak warna (IMO, tanpa ganggu dominasi warna dasarnya, which is splendid). Keputusannya dia, dan argumennya dia dibikin enak buat mengiringi warna-warna di tiap situasi.
BalasHapusNarasi di tengah-tengah, soal situasi yang hampir mirip-mirip sama prelim Iris, juga deliver ke saya. Saya ikut mikir kaya Iris: "Begini nih kerajaan yang dipimpin sama sosok sebangsa saya?" Oke, terus apa? Semua bahagia? Kenapa kok diberontak? Dan seterusnya, yang bikin saya asik ikutinnya.
Porsi oc lain di sini, menghibur dan pas. Ganzo, Eve, sama Stalla, mau di battle atau kondisi santai, konsisten epik dan gokil. Si AI juga kerasa sisi ambisiusnya, evilnya. Well done, Iris. 9/10
Oc: Namol Nihilo
akhirnya, selesai juga baca entry ini. Ada beberapa bagian yang bikin tahan nafas, dan sesaat saya sempat berpikir Iris bakal berkembang jadi robot yang punya hati ketika menolong sesama reverier, tapi kemudian kekosongan batinnya kerasa lagi waktu dia bunuh Akari (Duh, hati ini terkhianatiiii...) . Bagaimanapun, dia hanya robot. "Hanya" robot yang rupanya 'target oriented'...
BalasHapuskukira, bakalan perlu kerja keras dari Sam untuk memunculkan cerita yang greget dari Iris, antara lain Sam harus mengeksplorasi, menyemimbangkannya dengan peran dan konflik para tokoh di sekitar Iris (kalau dalam cerita ini, Ganzo dan Eve-lah yang ngambil peran itu, dan ke-martir-annya Stalla jutga nambah efek dramatis). Saya sempat berpikir Iris akan jadi entry yang membosankan, karena nilai-nilai yang disajikan lebih naratif tapi bukan masuk ke ceritanya, tapi di entry ini... lewat orang-orang di sekitar Iris (supported actors), kebosanan itu hilang, saya membaca ini bukan sekedar ceramah filosofis, tapi faktor 'manusiawi" juga udah masuk dengan apik di sini. Giving a 'humanitarian' story with the main character is not humanic at all, is beyond expectation. Dan saya kira itu sebuah challenge berat yang mungkin lagi berusaha ditaklukkan Sam di BoR ini. Mirip dengan Shade juga sih, tapi Shade ambil sudut pandang tabula rasa.
nilai 9 layak buat entry ini.
Rakai A, OC Shade.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapussering aku ga sadar kalau aku lagi baca hal berbau tauhid dari Iris.
BalasHapusSoal karakterisasi setting segala macem udah deh, situ jagonya mz. Tapi kok aku ngerasa porsi Iris lebih cenderung kurang (?). Well, perspektif orang beda-beda kan ya
9
Jess Hutcherson
EH MAAF INTRONYA KEHAPUS SEBELUM PENCET SUBMIT AAAA
HapusOke, entry ini membuka mataku terhadap konsep paling dasar dari kesemuanya, yaitu Tuhan. Mas Sam menyajikan topik yang berat ini dengan gayanya yang enak, walau tak dapat dipungkiri aku masih ga paham di beberapa.
Jujur, salah satu adegan di entryku terinspirasi dari ending cerita ini, di mana Iris menembak mati si nona pejuang untuk menyelesaikan konflik saat Ganzo lagi baper-bapernya. Penyampaian komedi lewat Ganzo itu tepat sekali, walau bahasanya formal tetep aja aku ngakak keras.
entri iris kali ini kerasa lebih cerah dari prelim. atmosfer distopia nest dan anatolia yg dilanda perang dapet, tapi trio reverier itu bener2 efektif bikin suasana lebih berwarna~
BalasHapusgaya penceritaannya ringan, dari pengenalan setting, perang, sampai obrolan iris sama ganzo enak aja diikutinnya. dan twist di akhir itu... kirain pertarungannya udah selesai, ternyata masih ada sesuatu =w=
epic.
nilai: 9
oc: castor flannel
Waduh,,ajaib nih ceritanye bagus banget pembagian skenarionye...kerasa utuh gitu pokoknye,,kagak ada yang bolong. Semua dijabarin enak jadi dari awal sampe akhir nyambung...Mulai dari tiap karakter nongol,,terus ketemuan sampe ngeliat situasi dan akhirnye ngikut peperangan
BalasHapusRada ajaib juga ngeliat si boss robot ternyata udah kalah sama Ai,,terus malah jadi ai yang bikin ribut,,,seru pas bagian dia mesti dikeroyok berapa orang tuh kuat banget
Cuman bagian akhirnye bikin aye lompat kaget,,llah?! Kok begono?! Kasian banget si cewek..tapi dasar namanye robot kagak punya perasaan,,ehehehe..
Itu aje keluhan aye,,tapi secara keseluruhan ini cerita tokcer banget dan bisa banget buat jadi contoh di pelajarin sama aye..
Ponten 10 full deh..mestinye 11 tapi kagak bisa,,ehehe
Karakter aye si Harum
"Benda besi yang bergerak karena himpunan tembaga panjang dan tenaga semacam petir?! Takhayul macam apa ini?!"
BalasHapus-Marikh
Yah, OC saya katrok sih jadi biarin aja dia meracau. Lanjut review...
+PROS
+Entri nuansa filosofis dan bisa digali maknanya. Saya suka entri semacam ini, dan entri lainnya yang mungkin begini tapi bertema beda adalah Nora. Iris Lemma jadi entri wajib bacaku sekarang~
+Sadis banget nih waktu Iris matiin Akari Karia tapi logis juga yah setelah dijabarkan.
+Banyolan minor disana-sini mengurangi tensi cerita...
-CONS
-Hampir tak ada. Mungkin cuma karena Iris datangnya agak telat. Ada yang perlu di charge? /gak
Udah baca sejak rilis kemarin, tapi baru sadar kalau ini masuk entri wajib komenku. Jadi titip 9 ya buat benda besi yang bisa bergerak sendiri XD
Nyaris ga ada yang bisa dikomentarin. Paling saya kasih memorable scenes aja:
BalasHapus-Celetukan Eve. Awalnya agak seperti karakter stok. Tapi komentar tentang Ganzo dan Airi bisa bikin suasana segar.
-Reaksi Ganzo yang alim dan penolakan Airi yang menohok Ganzo.
-Iris yang masih ngelontarin pertanyaan2 kenapa membunuh manusia, kenapa bisa ada kebencian dsb. Aura kosong dan keponya luat biasa.
-Encounter Mirabelle dan Mira Slime. Somehow udah ngeduga bakalan ditipu sama klon air. Usaha ngelindungi rencana Zainurma sampe Mirabelle ditinggalin gitu aja sama Mira itu kinda cute. Bikin saya suka sama Mirabelle.
Penyebaran spotlight di awal udah kerasa bikin entri ini kotak-kotak. Tapi akhirnya tetap utuh. Iris yang jadi semacam golem mungkin agak berkorban porsi spotlight miliknya demi kemunculan karakter lain. Dan memang fit juga sih, kemunculannya beralasan.
9
Pucung