oleh : Kagero Yuuka
--
Scarlet Lily In The Windy Hill
Chapter 0 : Furnace Epilogue
Malam itu merupakan malam yang sangat
menyakitkan, benar-benar menyakitkan saat seseorang yang baru saja mulai kau
sayangi seperti saudaramu sendiri, Hilang, Mati dihadapan mu, karena kesalahan
dan kelemahanmu.
“Airi, Ini bukan salah mu, mungkin ini adalah
takdir ku, ahaha” sosok itu mencoba tertawa meskipn keadaannya begitu
memilukan.
“Maya” aku memanggil namanya pelan.
“Mulai Sekarang Bersamalah Erica yah, kaliah
harus saling menjaga diri, aku duluan..”
Kini sosok itu terkulai lemah di pelukan ku,
bersimpah darah karena kelemahan ku, karena keterlambatan ku semuanya adalah
kesalahan ku.
Aku menitikkan airmata menahan tangis yang
sebenarnya tak kuasa ku tahan, sekali lagi semua ini salah ku.
“Mbee~”
“Selamat, Kau sudah melewati ujian mu” Suara
Asing itu terdengar dari belakang ku.
“Sepertinya kita sedikit berlebihan Paman
Nurma” suara lain lagi terdengar.
“Mungkin, Tapi tidak ada mahakarya yang indah
tanpa adanya perjuangan dan rasa sakit Huban” suara laki-laki itu terdengar
lagi.
Aku menoleh kan kepalaku dan mendapati
sesosok laki-laki tinggi bertopi fedora dengan jubah bulu menutupi tuxedonya,
ia nampak seperti seorang mafia, apa lagi dengan kacamata hitam tersemat di
hidungnya serta rambutnya yang terlihat klimis dan mengkilat saat ia melepas
topinya membuatku benar-benar berpikir kalau ia adalah mafia sungguhan seperti
di film-film.
“Ban-Tal?” Erica bersuara pelan menatap sosok
kecil di samping laki-laki tinggi itu.
“Ya~Hallo~” sahutnya Riang, “Maaf yah kalian
harus mengalami hal ini” lanjut sosok kecil berkepala bantal itu.
Sesaat kemudian yang kulihat hanyalah
hamparan hitam dimana tak ada lagi puing-puing kediaman Einzworth yang barusaja
terbakar, Tak adalagi Jasad Maya yang berada di pelukan ku, semuanya menghilang
hanya menyisakan aku, Erica dan dua sosok asing ini.
“Perkenalkan Namaku adalah Zainurma sang
Kurator Museum semesta dan ini adalah”
“Aku adalah Ratu Huban, Senang Bertemu
kalian~” sosok berkepala bantal itu memutar-mutar payung err tongkat? Atau
apapun itu yang berbentuk bak lolipop besar yang kemudian diikuti munculnya
kembang api kecil di atas kepalanya, err jujur saja aneh.
“Jadi kenapa kalian ada disini? Apa tujua
kalian?” Erica yang sedari tadi diam mulai bersuara dan bangkit berdiri,
anehnya kuihat luka-luka di tubuh kami sudah menghilang, hanya menyisakan rasa
lelah saja.
“Tidak perlu buru-buru nona putih, semua akan
terjelaskan pada saatnya tiba tapi untuk sekarang yang kalian perlu tau adalah,
ini bukanlah dunia kalian lagi, dan selamat datang di alam mimpi” sahut
zainurma memberikan penjelasan kecil.
“Dan sebagai hadiah, akan ku berikan seekor
domba ini kepada kalian” lanjut Ratu Huban.
“Domba? Benar juga dari tadi aku mendengar
suara domba” balas ku.
“Ufufu~ Mereka Lucu kan? Iya kan? Tenang
mereka tidak akan menggigit kok—“
“A-Aduh... duh..duh...sakit...”ucapan Ratu Huban di sela oleh Erica yang mengerang kesakitan karena tangannya yang digigit Domba saat hendak mengelus kepalanya, waw tumben sekali perasaanya benar-benar terlihat.
“A-Aduh... duh..duh...sakit...”ucapan Ratu Huban di sela oleh Erica yang mengerang kesakitan karena tangannya yang digigit Domba saat hendak mengelus kepalanya, waw tumben sekali perasaanya benar-benar terlihat.
“baiklah-baiklah sekarang lanjut ke
berikutnya, waktu kita tidak banyak Huban” Zainurma sang kurator mengibaskan
tangannya cepat pertanda buru-buru.
“A-Ah.. baiklah Paman Nurma, Kalau begitu
sekarang akan ku antarkan kalian ke tempat kalian bisa beristirahat selagi
menunggu keputusan berikutnya dari Sang kehendak” ucap Ratu Huban sambil mulai
menggerak-gerakkan tongkat permennya lagi yang kemudian diikuti perubahan
sekejab lagi.
Ya Kami kembali lagi, disini Kediaman
Einzworth, masih lengkap dengan reruntuhan dan puing-puing hanya saja tak ada
Api yang melalapnya.
“Kalau begitu kami pamit Reveriers, dan
buatlah Mahakarya yang indah” ucap Zainura sebelum ia menghilang lagi bersama Ratu
Huban.
Aku hanya bisa terdiam, apa semua ini
lelucon? Atau ini mimpi? Maksudku ini benar-benar alam mimpi? Tapi, kenapa?
-Furnace END-
Chapter 1 :
Kenyataan di dalam Mimpi
“dimana ini?”
“ap-apa yang akan kalian lakukan dengan
membawa kami kemari?”
Banyak suara-suara dan pertanyaan terucap
dari bibir banyak orang disini. Ruangan bergaya eropa ini terlihat sangat
besar, tapi untuk ruangan sebesar ini di gunakan untuk menyimpan sebuah patung
besar dan aneh terlihat sangat berlebihan.
Kami tiba-tiba saja di hadapkan dengan sebuah
patung aneh berbentuk sebuah otak, maksud ku ya benar-benar seperti otak
manusia yang di gambar kan dalam buku-buku ilmu pengetahuan yang ada di
perpustakaan rumah.
Gempa besar terjadi, banyak yang terjungkal
jatuh, tak luput dengan tekanan batin yang begitu berat dan mengerikan menerpa
batin kami, sebenarnya kenapa ini.
“Ho-hoi hentikan gempa ini otak sialan” ucap
sosok Zainurma kepanikan.
Bukannya semakin reda malah gempa ini semakin
menguat bahkan tak sedikit orang-orang yang semakin terjungkal, dan juga banyak
diantara kami yang bahkan pingsan. Yang ku pikirkan adalah, tidak semua yang
berada disini adalah manusia, aku bisa melihat sosok robot bermata satu, naga
yang tua, hingga err.. kaleng penyegar ruangan?
“To-tolong maafkan kami wahai Sang Kehendak
yang agung” sosok wanita bergaun kebiruan bak seorang dewi tiba-tiba muncul dan
berlutut di sebelah sosok zainurma.
Gempa itu pun perlahan-lahan semakin mereda
hingga akhirnya menghilang dan hawa menekan itu juga berangsur-angsur
menghilang dan meninggalkan kesunyian.
“Maaf atas sambutan yang terlambat ini,
disini kalian semua di kumpulkan atas keinginan dari Otak sial—ehm, maksudku
Sang kehendak, untuk mengisi Museum semesta ini dengan Mahakarya-Mahakarya yang
indah dan luar biasa” Zainurma berucap sembari membenarkan topi fedoranya yang
miring dan rambutnya yang sedikit berantakan. “Uhm” ia berdeham lagi sebelum
melanjutkan ucapannya.
“meskipun, di antara kalian ehm, sudah
menghasilkan Karya yang berkualitas jelek” lanjut zainurma lagi, diikuti
teriakan beberapa orang yang berteriak, kesakitan dan ketakutan.
Beberapa sosok itu, kini berubah menjadi
beberapa tembikar buruk rupa, jelek dan err tidak layak pajang, aku mungkin
sedikit buta akan karya seni tapi, di bandingkan benda-benda pajangan
dikediaman Einzworth, benda-benda itu jauh dari kata “indah” atau “Cantik”.
“A-apa yang kalian lakukan? Ke-kenapa
mereka?” sosok gadis berambut twintail
di sebelahku bersuara, ia masih terlihat mengenakan sebuah seragam seperti
seragam sekolah dan bahkan membawa buku di dalam tas dan pelukannya.
“Izinkan Saya Mirabelle menjawab pertanyaan
mu wahai Reveriers” sosok dewi tersebut bersuara dengan sopannya.
“Kalian para Reveriers disini kami kumpulkan
sebagai pencipta dari Mahakarya untuk mengisi Museum Semesta yang agung ini”
lanjut sang dewi.
“Mahakarya eh?” Gadis bermata Heterochromia merah biru menyahuti suara
sang dewi.
“Ya Mahakarya, jelas kalian bisa saja
berakhir seperti yang tadi, jadi berusahalah” Zainurma menyahuti.
“lalu bagaimana kami agar bisa selamat?” si
gadis twintaill bertanya lagi.
“Bertarunglah, jadilah semakin kuat, dan
buatlah Mahakarya yang sangat indah” sosok kecil berkepala bantal itu bersuara.
“Ah~ lihatlah sekeliling kalian, ini adalah
sedikit dari contoh karya yang sudah kalian lahirkan” lanjut si kepala bantal.
Di sekeliling kami, tepatnya di seluruh
bagian tembok telah tergantung banyak sekali lukisan, mulai dari lukisan hitam
dengan banyak kilauan bintang, sesosok kota yang kosong,gurun pasir hingga,
Lukisan sepasang gadis yang tengah duduk menangis sembari salah satunya memeluk
seorang gadis lain di hadapan sebuah rumah yang terbakar.
Aku mengenal sekali apa itu, kejadian itu
terukir jelas diingatanku, kematian Maya, dan semua ujian-ujian serta tipuan
itu. Aku hanya bisa menahan tangis menatapnya, kalau saja aku lebih kuat
mungkin aku bisa merubah takdir itu, meskipun ini alam mimpi setidaknya aku
ingin bisa menjaga Maya agar tetap hidup tapi, aku tak bisa, aku terlalu lemah.
“kalian semua pasti mengenal salah-satu dari
lukisan-lukisan yang tergantung di dinding itu, ya tentusaja itu adalah lukisan
dari ujian kalian sebelum kalian bisa berada disini, bersyukurlah kalian yang
terpilih dan tidak berakhir seperti yang tadi” ucap zainurma sembari menaikkan
kacamata hitamnya yang sedikit melorot.
“Kurang... Ajar..” gumam ku pelan sembari
menggenggam erat tanganku menahan perasaan yang kapan saja bisa meledak ini.
“Baiklah, karena Otak sial—ehm, sang kehendak
belum memutuskan apa berikunya yang akan kalian lakukan, maka kalian bisa
kembali ke bingkai mimpi kalian, terserah apapun yang ingin kalian lakukan
disana aku juga tak terlalu peduli” Lanjut zainurma.
“baiklah~ Tunggu Kabar dari kami yah, ah
ngomong-ngomong, apa kalian mengingat domba yang aku berikan sebelumnya,
jagalah mereka baik-baik yah, mereka bisa membantu kalian, tergantung bagaimana
kalian memanfaatkannya uhuhuhu~” beberapa kerutan muncul di permukaan kepala
bantal itu seperti menandakan kalau ia tengah tersenyum, dan kemudian ia
mengangkat tinggi-tinggi tongkat permennya dan memutar-mutar tongkat itu di
atas kepalanya.
Yang ku lihat berikutnya adalah cahaya putih
menyilaukan, terlalu putih sampau aku merasa tertelan di dalamnya, dan kemudian
pemandangan yang kulihat adalah sebuah kamar kecil dengan semua perabot terbuat
dari kayu yang terlihat kokoh meskipun sudah di makan umur.
“Nona Airi, anda sudah bangun?” Erica
berjalan memasuki kamar.
“Ah, entah aku darimana, tapi ya aku bangun”
sahutku datar sambil memgang dahiku yang sedikit basah akibat keringat dingin.
“maaf mungkin kasurku kurang nyaman untuk
anda, tapi setidaknya kita beruntung kalau rumah pemberian tuan besar ini tidak
ikut terbakar bersama kediaman utama.
“A-Ah~ tidak apa-apa Erica, aku sudah
terbiasa tidur beralaskan koran sampai sebelum kau membawa ku kesini dan
memaksaku tinggal disini” sahutku yang bangkit dari atas kasur kecil yang
berada di atas ranjang kayu sederhana.
“saya sudah membuat makanan untuk kita nona,
aku yakin nona pasti lapar, seingatku kebun di samping rumah ini belum panen,
tapi kini sudah panen, jadi setidaknya kita punya stok makanan” sahut Erica.
“a-aku tidak... Krryyuuuu~.. Ah!?” aku
membuang muka untuk menyembunyikan wajahku yang memerah.
Erica hanya diam dan tersenyum kecil, ya
senyuman yang tak pernah ku lihat sebelumnya, meskipun sekilas aku yakin dia
tersenyum.
-Scarlet Lily in the Windy Hills-
Suara
Dentuman itu terdengar sesekali saat sepasang tonfa berwarna kemerahan
menghantam sepasang sarung tangan baja berwarna kehitaman, Disanalah mereka
berdua. Di depan puing-puing kediaman Einzworth yang sudah hampir rata dengan
tanah akibat terbakar.
“Nona
Airi sepertinya sudah cukup untuk hari ini kita berlatih” sosok berambut putih
panjang itu melompat kebelakang dengan nafas yang terengah-engah karena
kelelahan akibat berlatih.
“baiklah
kalau begitu, berapa lama yah? Tiga jam?” sosok yang di panggil Nona Airi
itu menjawab. Dan hanya di balas dengan anggukan kecil dari lawan bicaranya.
“Tapi
Nona”
“huum?”
“Sebenarnya
dimana kita? Tempat ini bukan lagi Belka”
“Mbeee...”
suara seekor domba terdengar mendekat.
Ya
itu adalah domba yang di berikan oleh Ratu Huban sebelumnya, sampai sekarang
sebenarnya aku tak tau apa yang bisa di lakukan oleh domba ini selain makan
rumput dan juga menggigit tangan Erica saat ia ingin menyentuhnya.
Erica
hanya beranjak mundur perlahan menjaga jarak dari domba itu sementara aku
sendiri malah mendekatinya, dia imut, dan juga terlihat lembut, tapi kenapa dia
malah memebenci Erica? Domba yang aneh.
Aku
bergerak mendekatinya dan berjongkok di hadapannya, pelahan aku menyentuhkan
tangan ku ke atas kepalanya, dan merasakan sedikit kelembutan bulu-bulu tipis
yang menutupi kepalanya dan hingga akhirnya aku memeluk tubuh domba itu dengan
kedua tanganku, tidak hanya terlihat lembut, tapi bulunya benar-benar lembut
dam empuk.
“Hee..
Nona suka binatang juga rupanya” Erica bersuara pelan sambil masih menjaga
jarak dari si domba.
“begitu
kah?” aku bertanya sembari masih memluk domba itu erat-erat.
Mengingat
kembali mimpi itu, di tempat yang di sebut oleh zainurma sebagai Museum semesta
dan melihat orang-orang yang di anggap gagal itu berubah menjadi karya seni
jelek berkualitas rendah membuat ku jadi berpikir, apa aku akan berakhir
seperti mereka? Apa itu bentuk kematian? Dan apa bila aku mati apa nantinya aku
akan bertemu dengan Maya lagi?, Tidak!. Jelas tidak, kalau aku kalah disini
maka aku akan menjadi barang rongsokan yang akan di hancurkan dan di jadikan
bagian dari Museum semesta itu.
Aku
harus bertambah kuat dan bertahan disini, hingga sampai akhirnya aku bisa
membawa Maya kembali, meskipun hanya mimpi bukan kah aku masih bisa bebas
berharap? Tentu saja aku berharap bisa kembali bersama, kami ber tiga, utuh
seperti sedia kala.
“Nona..?
Nona Airi?”
“Uh
ahh? Apa?”
“Nona
Melamun ? atau senyaman itukah bulu domba itu sampai-sampai nona tertidur?”
“err
uh tidak juga aku Cuma sedikit memikirkan sesuatu”
“Memikirkan
apa?”
“Kau
tidak perlu tau Erica, sekarang saatnya kita istirahat dan makan siang, err ini
siang kan?”
“kalau
di lihat dari suasananya sih memang siang tapi—“
Ucapan
Erica terpotong oleh suara gemuruh guntur yang mulai terdengar, langit yang
semula terang benderang bak siang hari tiba-tiba saja berubah dengan cepat.
Awan
hitam mulai bergulung menyatu dan menutupi cahaya matahari dan tetesan hujan
mulai turun disertai oleh kilatan-kilatan cahaya, ya ternyata memang benar Alam
mimpi ini benar-benar absurd dan tak pasti.
“Saya
bahkan belum menyelesaikan ucapan dan sudah terjadi saja” keluh Erica yang
berlari kearah teras rumah kecil yang berada di belakang puing-puing sisa
terbakar.
“ahahah...
benar juga yah? Lambat laun kita pasti terbiasa”
“terbiasa?
Jadi nona tidak mau keluar dari sini dan kembali ke Belka?”
Aku
Cuma terdiam mendengar ucapan gamblang Erica yang di sertai ekspresi datarnya.
Sedikit banyak aku mulai mempelajari bagaimana Erica bereaksi, di balik wajah
yang terlihat datar itu tersimpan banyak keinginan, perasaan dan emosi, Aku yakin
kejadian kemarin itu adalah hal yang mengerikan baginya, meliahat sosok tuan
yang sangat ia sayangi mati di hadapannya.
“Erica?”
Ia
menoleh dalam diam dan menatap ku dalam-dalam.
“Apa
kau ingin keluar dari sini?”
“Tentu
saja, aku ingin ,mengakhiri mimpi buruk ini dan kembali ke Belka, ke tempat
nona Maya berada”
“Kalau
begitu, kita harus bertambah kuat, agar kita bisa bertahan dari apapun sampai
pada saatnya nanti”
“Ya,
aku harap nona tak keberatan untuk menjadi teman berlatih saya”
“hoho?
Kau pikir kau bisa mengalah kan ku eh?”
“Bukan
kah selama kita berlatih tadi saya berhasil memojokkan nona berkali-kali”
“Tu-tunggu!
Apa katamu! Jangan membual cerita seperti itu, justru akulah yang sudah
memojokkkan mu berkali-kali tau!”
“huh!
Nona yang jangan mengarang cerita, dan terima sajalah kenyataan kalau tadi
memang terpojok”
“Hee...
kau ingin merasakan tinju ku eh?”
“Berikan
Nona, aku akan mematahkan tinjumu”
-Scarlet Lily
in the Windy Hills-
Chapter
2: Bentala Vayu
“Nona..”
Erica berjalan pelan mendekati ku yang tengah merawat dua pasang sarung tangan
baja berwarna kemerahan dan kehitaman serta sepasang tonfa kemerahan di atas
meja.
“ada
apa?” aku menoleh masih sambil memenggosok tonfa merah itu dengan sehelai kain
hingga berkilau.
“ada
sebuah surat tergeletak di bawah pintu, dan...” Erica menggantungkan
kata-katanya sembari menyodorkan sehelai surat kepadaku.
“dan?”
“Pengirim
surat ini adalah laki-laki bernama Zainurma” lanjut Erica.
Aku
menerima surat itu dan melihat amplopnya, terdapat tulisan latin kecil di
baliknya yang menandakan nama pengirimnya “Zainurma”.
Aku
membuka surat itu dan membacanya pelan.
Wahai
Reveriers, sebuah tantangan baru telah di tentukan oleh Sang Kehendak yang
mulia, ini adalah tahapan baru demi menciptakan Mahakarya yang indah,
bertahanlah, jadilah kuat dan buatlah Mahakarya yang sangat indah. Kau bisa
pergi menuju tujuan berikutnya menggunakan Domba yang di berikan oleh Huban
sebelumnya, tak perlu khawatir, selama kau tak kehilangan domba itu kau akan
baik-baik saja, ah hampir saja aku terlupa, tujuan mu berikutnya adalah,
Bentala Vayu, sebuah desa yang berangin yang sangat damai. Apapaun yang kau
lakukan, apapun yang kau putuskan akan menjadi penilaian apakah kau layak atau
tidak.
Semoga Berhasil
Zainurma Sang Kurator Museum Semesta
Aku
meremas surat itu, dan menggebrak meja, jujur saja mendengar kata-katanya
membuat ku ingin sejaki menghajar wajah laki-laki sialan itu dan membuat
rambutnya yang klimis itu menjadi berantakan.
“No-Nona?”
Erica sedikit terkejut melihatku yang tiba-tiba menggebrak meja.
“A-aku
tidak apa-apa, hanya saja aku ingin menonjok wajah si Zainurma itu,
kata-katanya seolah kita adalah binatang ternak yang akan menghasilkan
“Mahakarya” itu”
Erica
Hanya terdiam.
“aku
harus pergi sendiri Erica, tolong jaga tempat ini oke?”
“kalau
memang itu adalah perintah nona, saya akan menurutinya, tapi saya tetap akan
mengikuti kehendak nona Maya yang menyuruh kita tetap bersama, selalu ingat
nona untuk kembali dengan selamat, keselamatan mu adalah yang utama” Erica
menjawab dalam intonasi datar seperti biasa.
“Kau tak
perlu khawatir, aku bukanlah orang yang lemah”
“akan ku
doakan agar Nona kembali dengan selamat, tapi sebelumnya, tolong bawa bekal
siapa tau nona kelaparan” ucap Erica yang kemudian berpaling menuju kearah
dapur.
-Scarlet Lily in the Windy
Hills-
“apa
semuanya sudah siap nona?”
“hm...?
ini terlalu banyak, aku malas membawanya” ucapku melihat sebuah tas yang cukup
besar berisikan banyak perlengkapan yang di siapkan oleh Erica.
“ini
demi kenyamanan anda nona”
“tidak,
aku akan memilih yang akan ku butuhkan untuk di bawa” balasku sambil
membongkar-bongkar tas besar itu.
Di
dalamnya aku menemukan banyak sekali hal-hal yang menurutku tak perlu di bawa,
makeup,handuk, baju ganti, alat masak, apa-apan dia apa dia pikir aku selemah
itu dan lagi disini penampilan tak lagi penting, yang penting adalah kemampuan
bertahan hidup, dan penampilan untuk beradaptasi dari lingkungan yang tidak
pasti.
Zainurma
sudah mengatakan kalau tujuan berikutnya adalah desa yang aman dan tentram di
tengah-tengah bukit yang berangin, jadi pakaian yang lebar-lebar seperti gaun
bukanlah pilihan yang baik maka dari itu aku sendiri mengenakan setelan kaos
hitam lengan pendek dengan jaket putih yang bagian lengannya sengaja ku pisah
agar bisa ku lepas saat mulai merepotkan atau mulai panas, dan juga sebuah
celana pendek yang membuatku mudah bergerak dengan lincah dan juga sepatu boots
yang cukup tinggi mendekeati lutut.
“ta-tapi
nona kalau nona Cuma membawa itu saja maka nona bisa”
“kau
meremehkan ku eh? Ini saja lebih dari cukup Erica, jangan khawatir” aku menempatkan
sepasang tonfa ku di balik jaketku serta sepasang sarung tangan baja kemerahan
di kedua tangan ku.
“aku
berangkat dulu, selama aku tak ada jaga rumah baik-baik yah” lanjut ku sebelum
berjalan menuju ke kandang dimana domba pemberian ratu huban di tempatkan.
Masih
seperti biasa domba itu jinak terhadapku dan masih suja menggigit Erica, tapi
entah kenapa kali ini domba itu mau disentuh oleh Erica, ia nampak
mengelus-elus domba itu sebelum aku menaikinya.
“kalau
begitu aku berangkat Erica”
“Selamat
jalan Nona”
Aku
mengelus-elus kepala domba itu dan sekelibat saja tiba-tiba pandangan ku gelap,
yang kemudian u lihat adalah banyaknya galaxy-galaxy atau mungkin
bintang-bintang, kemudian banyaknya pigora-pigora yang bergambarkan banyak
tempat.
Hingga
akhirnya domba yang sedari tadi berjalan riang, dan mengeluarkan suara bak
bersenandung itu berhenti dan memasuki sebuah bingkai bergambarkan sebuah bukit
tingi dengan desa yang berada nan jauh disana.
“jadi
disini kah?” aku bergumam pelan menuruni domba yang menjadi alat
transportasiku, aku melihat ke seluruh penjuru, yang kulihat hanyalah hutan
untuk sementara ini, dan saat aku menoleh, Domba itu menghilang. Tunggu
menghilang lalu bagaimana aku pulang berikutnya?
Aku
berjalan menyusuri hutan yang rimbun ini mencari jalan menuju desa yang di
sebutkan di dalam surat yang di kirim oleh Zainurma.
Angin
berhembus semilir memberikan kesan yang menenangkan dan tentram, di tambah
rimbunnya hutan ini semakin memperkuat kesan itu, yang sontak saja membuatku
mengantuk dan sedikit lapar, aku melepas tas pinggang ku dan ku keluarkan
sebuah nasi kepal yang di bungkuskan Erica sebelum berangkat tadi.
Sebuah
nasi kepal berisikan suiran daging ayam dengan bumbu khas buatan nya yang
begitu nikmat, tapi ntahkenapa meskipun besar, tapi tetap tidak membuatku
kenyang.
“Aku
lapar, kupikir ini saja cukup, tau begini aku bawa yang lebih banayak, ah tapi
setidaknya ada permen yang bisa ku nikmati selagi mencari makanan yang bisa
membuatku kenyang.
“kakak!”
suara laki-laki kecil memanggil dari belakang.
Aku
menoleh dan menemukan sesosok laki-laki, err bocah? Berambut hijau bergelombang
menatapku dengan mata yang berbinar.
“itu
permen?, boleh aku minta?” lanjut bocah itu.
Apa-apaan
bocah ini, tidak tau dari mana asalnyadan siapa dia, dan tiba-iba saja datang
dan meminta permen.
“coba
ku lihat, seingat ku aku membawa beberapa tadi” ucapku mengambil tas pinggang
ku dan mengeluarkan beberapa permen lolipop dengan beberapa rasa, tentu saja
selain lolipop rasa melon favoritku.
“kalau
begitu ku ambil yang ini, ini dan ini yah kak?” ia mengambil beberapa sesuka
hatinya, kenapa aku merasa bocah ini menjengkelkan sekali, ingin sekali ku
jitak kepalanya.
“aha-aha..haha...
ngomong-ngomong dimana ini?” aku bertanya selagi mencoba tersenyum menahan rasa
jengkel karena bekal kecil ku yang sengaja ku sembunyikan bahkan dari Erica
sudah di ambil seenak jidatnya.
“uhm?
Ini hutan di dekat desa bentala vayu, apa kakak tersesat”
“begitulah”
“tapi,
kalau menuju ke desa setidaknya masih memakan waktu sekitar setengah hari
perjalanan”
“eh?
Masih sejauh itu?”
Bocah
hijau itu mengnagguk dengan semangat
“kalau
kau sendiri bagaimana nak kau tersesat?”
“tidak
sopan sekali, umur ku sudah dua puluh satu tahun loh!”
“geh,
ta-tapi badan mu?”. Aku terkesiap bahkan ia lebih tua dariku, tapi bagaimana
bisa ia memiliki tubuh ang kecil dan wajah kekanakan tapi dengan usia yang
bahakan lebih muda daripada ku? Dunia ini benar-benar membingungkan.
“ja-jadi
apa kau tersesat?” lanjut ku.
“err
tidak juga, aku memang sedang menuju ke desa kok, sekaligus pulang kampung”
“hee
jadi desa itu tempat kelahiran mu?”
“Uhm”
ia mengangguk bersemangat masih sambil menikmati lolipop di mulutnya.
“baiklah
kalau begitu mau kau mengantarku kesana? Aku juga ada perlu sih”
“oho,
baiklah, ah kita belum berkenalan, namaku Seth nama kakak?”
“Panggil
saja Airi, dan err... itu yang di belakang pohon?”
“oh
jadi kakak mengetahuinya?”
“aku
tidak terlalu suka di mata-matai, sebenarnya aku juga sudah merasa dari tadi
sih”
“yo”
sosok gadis berambut hitam terikat sidetails kecil samping muncul dari balik
pohon.
Aku
menatapnya dalam-dalam, memperhatikannya perlahan dr atas kebawah, mata Heterochromia itu sepertinya aku pernah
melihatnya entah dimana, dengan kulit yang berwarna putih sedikit pucat itu
memberikannya kesan unik tapi tidak normal.
“hm..
kau memperhatikan ku sedikit terlalu lama, apa kau menemukan hal menarik
dariku?”
“uh
tidak, tidak ada” jawanku sembari menutup sebagian wajah ku yang terdapat luka
melepuh yang biasanya tertutup oleh poni rambutku.
“kau
tau, aku membenci warna mata kiriku ini, jadi tolong jangan memperhatikannya
terlalu lama aku juga tidak suka” celetuk sosok gadis itu.
“Dan
juga kau bisa memanggilku Cathy, salam kenal yah” lanjutnya.
“semakin
banyak orang maka semakin baik benarkan?” ucap Seth ceria.
-Scarlet Lily
in the Windy Hill-
Kami
berjalan menyusuri hutan, menuruni lembah hingga akhrinya malam pun tiba.
Meskipun malam, angin masih saja berhembus kencang seperti siang tadi, sehingga
kami memutuskan untuk tidak mendirikan tenda dan memilih bermalam beralaskan
tikar, toh langit disini terlihat cerah dengan jutaan bintang menghiasi
gelapnya langit malam.
“Sebenarnya
yah..” Seth mulai berbicara sembari duduk di hadapan api unggun. Aku yang
tengah bersantai di tepi api unggun tertarik oleh pembicaraan, sedangkan Cathy
sedang asik mengasah pisau yang mungkin sedari tadi ia bawa.
“Aku
pulang kampung ini, bukan dalam alasan yang baik” seth berbicara.
“apa
maksudmu?” aku bertanya
“aku
pulang demi balas dendam kepada orang-orang yang telah membunuh kedua orang tua
ku dan mengusirku dari desa ini” lanjut Seth pelan, dari nada suaranya ia
terdengar begitu sedih.
“hee?
Memangnya kenapa orang-orang di desa itu mengusirmu?”
“Ayahku
adalah seorang Archan, sedangkan ibuku adalah manusia, tak seharusnya dua ras
itu hidup damai dan tentram, tapi ayah nekat menikahi ibuku hingga terlahilah
aku” ia sedikit terisak.
“warga
desa yang tak setuju archan dan manusia bersam memutuskan untung menghukum
orang tuaku, mereka mengebiri kedua orang tua ku, dan menggantung mereka di
pohon keramat di sisi desa dan kemudian melempari mereka hingga mati”
lanjutnya.
“aku
sendiri berhasil melarikan diri bersama paman ku yang merupakan sahabat baik
ayah dan ibuku ke ibukota kerajaan, dan disana pun aku di didik sebagai
prajurit hingga akhirnya aku bisa kembali kesini dan membalaskan dendam orang
tua ku” ia mengakhiri ceritanya dan kemudian memeluk lututunya dan membenamkan
wajahnya dalam pelukannya.
“Seth....”
aku memanggilnya pelan dan berjalan memeluknya.
“aku
akan membantumu kalau begitu tenang saja, bagaimana dengan mu cathy?” lanjutku.
“Selama
itu menyenangkan aku ikut” sahut Cathy yang tengah mengangkat pisau yang
memiliki permata merah diantara bilah dan gagangnya sembari tersenyum puas.
Kini
pagi telah tiba mendatangkan hari baru dengan takdir baru, aku sudah bertekat
akan membantu Seth membalaskan dendamnya, meskipun sebenarnya aku tak ada
sangkut pautnya dengan ini, tapi mendengar ceritanya itu membuatku teringat
akan sedikit masalalu ku, ya saat sebelum mendiang ibuku meniggal, aku sering
sekali di tindas dan di usir, aku tak ingin siapapun mengalami itu.
Kami
melanjutkan perjalanan dengan menuruni bukit, disana aku menemukan banyak
sekali binatang-binatang aneh, seekor ikan yang terbang, err ya benar-benar
terbang di udara, penyu yang terbang, burung besar yang sepertinya tak pernah
mendarat dan banyak hal lagi, sepertinya karena daerah ini selalu terhembus
angin yang kencang binatnag-binatang disini pun juga sudah beradaptasi dengan
lingkungan ini.
Di
kejauhan aku menatap banyak kincir angin besar, serta layang-layang tinggi yang
terlihat memiliki ekor panjang, dan sepertinya kami sudah dekat.
“nah
Kak Airi bisa aku minta tolong?”
“hm..?”
“aku
akan memberikan mu sedikit bantuan berupa bala pasukan, tolong tembus gerbang
utama desa itu, sementara aku dan kak Cathy akan menyusup melalui jalan lain,
setidaknya alihkan perhatian para penjaga kepadamu selama sesaat” Seth berkata
sembari menjelaskan strateginya.
“baiklah,
tunggu darimana kau mendapatkan bala bantuan?” tanyaku penasaran.
“Dengan
ini” jawabnya sambil menunjukkan sebuah seruling berbentuk naga panjang.
“Lihat
ini kak” lanjutnya.
Sesaat
kemudian ia memainkan sebuah alunan melodi yang begitu merdu dan menenangkan,
membuatku sampai hampir saja jatuh tertidur, selain karena suara merdu itu,
juga karena angin sepoi-sepoi dan rimbunnya hutan, ahh suasana yang sangat
nikmat untuk tidur siang.
Suara
gemuruh mulai terdengar sesaat setelah Seth berhenti memainkan serulingnya,
sekelompok makhluk menyerupai naga berlarian mendekati kami, mulai dari yang
ber postur bak manusia yang mengenakan baju zirah serta membawa senjata, sampai
naga besar yang ber postur gagah dan bisa terbang.
“nah
mereka akan menuruti perintah Kak Airi jadi tolong yah, sekarang kak Cathy kita
ke tempat selanjutnya” ucap Seth.
“selamat
bersenang-senang Airi, dan kita akan bertemu di Pohon besar di tepi desa” Ucap
Cathy.
“hee..
Aku jadi umpan ya? Baiklah kalau begitu.. woi kalian semua saatnya serbu desa
itu!!” teriak ku kepada para naga diikuti teriakan semangat dari mereka.
Karena
jarak yang sebenarnya cukup jauh, akhirnya aku menaiki seekor naga besar
berwarna kecoklatan dengan empat sayap di punggungnya, aku sedikit heran jadi
benar adanya Naga di dunia ini, ah tapi ini adalah alam mimpi bukan tidak
mungkin makhluk seperti ini bisa muncul disini.
-Scarlet Lily
in the Windy Hill-
Gerbang
besar berdiri di hadapan para bala tentara naga yang bergerak di darat, gerbang
itu adalah gerbang utama desa yang di jaga oleh para kaum Archan, seperti
cerita Seth, Kaum Archan adalah makhluk yang memiliki fisiologi tubuh layaknya
manusia tetapi tetap memiliki ciri khas dari Unggas atau burung seperti sayap,
bulu dan paruh sedangkan sejauh mata memandang Manusialah yang bekerja sebagai
buruh dan petani.
Gerbang
itu tak lebih dari bongkahan kayu yang berjejer, dan tentu saja selalu mudah
untuk di robohkan, sekalinya tidak bisa di robohkan pun masih bisa di bakar.
Anak
panah berterbangan dari atas menghujani para bala tentara naga ku dan menjatuhkan
beberapa ekor, Aku terbang turun menunggangi naga besar dan menyemburkan Api
kearah gerbang itu dan membakarnya bersama dengan para penjaga Archan itu.
Tak
lupa seekor naga lain yang tak memiliki sayap, dan bertubuh kekar layaknya
Badak itu bergerak dengan cepat dan menerobos gerbang yang sudah terbakar,
kulit dan sisik nya yang tebal seakan menjadi zirah yang kebal terhadap panas
dan suhu tinggi sehingga tak menghasilkan luka padanya.
Gerbang
pun hancur, bala tentara Naga itu pun berhamburan dan mulai membantai para
warga desa entah itu manusia maupun Archan tak terkecuali.
Darah
terciprat kemana-mana, teriakan dan tangisan kepanikan pun terdengar
dimana-mana, kobaran api melahap bangunan-bangunan unik berbentuk kerucut yang
sepertinya di desain agar kuat terhadap terpan angin. Dan ini semua ulah ku,
maksudku apa benar ini yan diinginkan oleh Seth? Balas dendam? Tapi dengan
membunuh banyak orang?.
Aku
turun dari punggung naga yang sedari tadi ku naiki dan berjalan melihat
sekitar, kehancuran dimana-mana, aku sudah membunuh banyak orang disini, apa
ini adalah yang benar?.
“jadi kau yang sudah menjebol gerbang utama desa dan juga memasukkan para naga itu ke desa ini?” suara seorang gadis terdengar dengan tegas di dekatku.
“jadi kau yang sudah menjebol gerbang utama desa dan juga memasukkan para naga itu ke desa ini?” suara seorang gadis terdengar dengan tegas di dekatku.
“Dia
turun dari punggung naga nona Serilda, dia pasti pelakunya” suara gadis lain
yang terdengar masih kecil menimpali.
“Liliana,
tolong bantuan mu ya.. kita akan melawannya—“
“bukankah
bercakap-cakap saat melawan musuhmu adalah sebuah kesalahan Nona?” ucapku yang
sudah melesatkan tinjuku kearah sosok gadis bergaun putih yang tertutup oleh
sedikit armor baja yang tengah berada di atas kuda.
Ia
terjungkal dari atas tunggangan kuda nya, jatuh dan terseret memberikan luka
pada kulit putih dan mulusnya.
“No-Nona
Serilda!” si gadis kecil Twintail ini memanggil nama sang putri dan berlari
memanggilnya, di hadapan ku gadis ini mengenakan setelan seragam bak seragam
sekolah sihir seperti di kisah-kisah yang pernah Maya baca, tunggu sepertinya
aku pernah melihatnya entah dimana.
“Kau,,,
sungguh Curang! Dimana Keadilanmu sebagai seorang petarung!” si tuan putri pun
bangkit dan mulai mencabut anak panah dari Quiver
yang tergantun di punggungnya dan mulai membidik ku dengan busurnya.
“keadilan
eh? Baiklah, biar aku memperkenalkan diri nama ku adalah Airi Einzworth
setidaknya ingatlah itu tuan putri yang agung” sahutku sambil memasang kembali
kuda-kuda sebelum bertarung.
“Serilda
Artemia” jawabnya masih dalam pose siap menembakkan panahnya.
“A-Aku
juga tidak akan kalah! Ingatlah namaku wahai perusak, aku adalah gadis yang
akan berdiri di puncak dunia, namaku adalah Lilia—“ gadis Loli itu menggigit lidahnya sendiri secara tidak sengaja.
“Dia
menggigit lidahnya” ucapku datar.
“Ya
dia menggigit lidahnya sendiri tanpa sengaja” sahut Serilda Artemia
“baiklah
cukup atas perkenalannya mari kita mulai pertarungan ini” ucapku sembari
menarik nafas dalam-dalam.
“Lilia,
tolong persiapkan segalanya, aku akan memberikan mu waktu”
“ba-baiklah
nona Serilda” Lilia menarik keluar sebuah buku besar dai dalam tas
selempangannya yang bertuliskan Basic
Elemental Magic for Idiot, Fire Edition dan mulai membacanya.
“pengguna
Sihir? Hee..” aku hanya bergumam pelan.
“kemana
kau melihat heh!” Serilda bersauara sembari melepaskan anak panah dari
busurnya, tapi percuma, aku menggerakkan punggung tangan kanan ku untuk
menangkis anak panah iu dengan cepat tanpa perlu takut terluka karena aku
mengenakan sepasang sarung tangan baja yang terbuat dari logam khusus yang ku
temukan sendiri di tambang Belka.
“hehe..”
“Elfire!!”
Lilia berteriak diikuti banyak bola api melesat kearah ku dari puing-puing
bangunan yang tengah terbakar, ia mengendalikan apinya.
“ugh
bahaya... Catashthrope!!” aku menarik nafas panjang dan meneriakkan sebuah
kata, ya dimana aku akan memanggil malapetaka kedalam tubuhku. Aku menghisap
panas dari api itu sesaat dan membuangnya keluar melalui hembusan nafas,
membuatku terhindar dari rasa panas yang membakar kulit tapi meskipun begitu,
menghisap suhu panas ke dalam tubuh tetap memberikan rasa terbakar untukku.
Aku
terhempas oleh ledakan bola api yang menabrak tubuhku, dan sukses mendarat dan
menghancurkan sebuah tembok di belakangku.
“dengan
keadilan aku akan menghukum mu!” Serilda berteriak lagi tetapi bukan
menembakkan panahnya tapi ia malah mencabut sebilah pisau dengan pinggirannya
di lapisi oleh intan yang terlihat berkilau dan berpendar terkena pantulan dari
api yang membara.
“haah...
hah...” dengan nafas terengah-engah aku bangkit dan mencabut sepasang tonfa
yang berada di balik jaket ku dan menepis pisau berlapis intan itu, sekali lagi
aku terselamatkan. Tapi, rasa sakit dari menghisap hawa panas tadi masih
menyiksa ku.
“elfire!!”
Lilia mengucapkan mantra lagi dan melempar banyak bola api kearahku dan meledakkan
daerah sekitarku. Sekali lagi aku terlempar, sial melawan dua orang itu
bukanlah hal mudah.
“hee...
kau terpojok?” Suara tak asing itu terdengar di dekatku sesaat setelah aku
mendearat dan sukses menghancurkan sebuah tembok di belakangku.
“Ca-Cathy..
Ka-Kau Datang...” ucapku terbata.
“Seth
menyuruhku untuk melihatmu sementara dia bersiap untuk rencananya” Sahut suara
yang panggil Cathy itu.
“Jadi
kau temannya? Aku akan mengalah kan mu juga dan membawa kedamaian kembali ke
desa yang indah ini” Serilda berteriak sembari memasukkan kembali pisau
belatinya dan menarik keluar busur dan anak panahnya.
“Hee...
begitu kah?, Sepertinya menarik” ucap Cathy yang telah bergerak dengan cepat
dan berada di depan Serilda, sontak Serilda kaget dan terdiam. Wajah cantiknya
yang sepertinya sudah sembuh dari bekas tonjokan ku kini berubah menjadi
ekspresi takut. Ya takut, tertekan akan keberadaan Cathy di hadapannya.
“Ka-kau!”
Pekik Serilda.
“Ahahaha!!—lambat-lambat!!”
pekik Cathy sebelum ia melayangkan sebuah tendangan berputar kearah perut
Serilda dan membuatnya terlontar jauh kebelakang.
“No-Nona
Serilda!!” Teriak Lilia kepanikan.
“Sekarang
giliranmu nona kecil! Ehehehe—“ Ucap Cathy yang bergerak dengan cepat mencabut
sepasang pisau dari pahanya, pisau itu begitu berkilau dengan sebuah permata
berwarna kuning dan merah di tengah-tengah antara bilah dan handlenya.
Aku
mencoba bangkit sembari menahan rasa sakit di dalam tubuhku dan juga luka gores
dan terbakar di kulitku yang semakin nyeri.
“Panz--
A-Aah A-apa yang!! Ja-Jangan mendekat!” ucapan Lilia terpotong sebelum berhasil
merapal manta pertahanan dan akhirnya menerima sekelebat tebasan dari pisau di
tangan Cathy.
“Kau
tau... nona kecil... warna matamu indah sekali... sedangkan aku membenci mata
kiri ku ini, boleh ku minta satu warna mata mu nona?” Ucap Cathy yang dengan
tenang menduduki tubuh Lilia yang kecil sambil mengangkat salah satu pisaunya.
“Dasar
Makhluk Sialan!! Akan ku bunuh kau!!” Serilda yang sedari tadi terjatuh dan
bangkit sambil mengacungkan pisaunya, kini busur dan panahnya sudah hilang
entah kemana, sepertinya terlempar saat ia terlontar oleh tendangan Cathy.
Serilda dengan cepat berlari kearah Cathy dan mencoba menusukkan pisaunya.
“hee...
masih bisa bangun toh? Padahal tadi ku kita tendangan ku setidaknya sudah
mematahkan tiga atau empat rusukmu lhoo” sahut Cathy santai sambil bersalto
kebelakang menghindari tubrukan Serilda.
“oops...
Sepertinya Hal menarik akan segera terjadi saatnya aku pergi.. Airi Semoga kau
selamat yah fufufu—“ lanjut Cathy yang kemudian melompat keatas salah seekor
naga dan kemudian terbang bersamanya.
“Sial,
aku di tinggal...!” keluhku dalam hati sembari mencoba berdiri.
“Lilia!!
Lilia! Bangun! Bangunlah Lilia!!” Serilda berteriak sembari
menggoyang-goyangkan tubuh Lilia yang terkapar.
“aku
tidak yakin dia bisa selamat, melihat dari bentuk nya Pisau milik Cathy itu
bukanlah pisau sembarangan, aku belum pernah melihat material seperti itu
sebelumnya” ucapku pelan sembari berjalan mendekati Serilda dan Lilia.
“Jangan
Mendekat!!! Ini semua salah mu! Kalau tidak ada penyerangan disini makan Lilia
tidak akan seperti ini!” Serilda berteriak dan memaki ku. Memang benar aku yang
menyerang tempat ini, tapi sebenarnya bukan aku juga, ini semua keinginan Seth,
apa sekarang balas dendamnya sudah terwujud?.
“Jadi
Kau masih ingin bertarung huh! Mari kita selesaikan semua ini kalau begitu!”
lajut Serilda yang sudah berdiri kembali dengan Belati berlapis intan di
tangannya dan juga luka-luka luar yang perlahan terlihat meregenerasi hingga
tertutup kembali.
“Regenerasi?
Ini tidak ada Habisnya” gumamku pelan. Aku tak mau melawannya lagi, bukan
karena aku takut, tapi aku sudah tidak ada niatan lagi, aku meragukan keputusan
ku sekarang.
Apa
benar ini yang di namakan balas dendam? Maksudku mereka manusia-manusia yang
tak bersalah juga menjadi korban, darah berceceran dimana-mana, tak hanya
manusia, Archan pun juga banyak korban, memangnya dari mananya tidak akur di
desa ini? Bukankah mereka hidup tentram sebelum penyerangan ku?.
“Kenapa
kau hanya diam saja Airi Einzworth!! Lawan aku!” Serilda Berteriak lagi.
“Tidak,
ini tidak benar... ini tidak benar..!” pekik ku yang kemudian berlari
meninggalkan Serilda bersama Lilia yang tak sadarkan diri.
-Scarlet Lily
in the Windy Hills-
Chapter
4: Di Antara Kebenaran dan Keraguan
“Ugh,
Sakitnya seperti melalui darahku” gumamku yang kini berada di pinggir desa,
menyendiri di tengah-tengah hutan yang perlahan menggelap oleh malam, dan
bersama dengan terpaan angin semilir yang menenangkan.
Aku
duduk di bawah pohon dan bersandar, memikirkan kembali apa yang sudah
kulakukan, apa ini adalah kebenaran? Kalau aku memang sudah membunuh banyak
orang karena menuruti Seth? Lalu apa perkataannya itu semuanya bohong? Tentang
keluarganya? Tentang masalalunya?
Aku
membuka tas pinggang kecilku dan mengeluarkan sebuah permen lolipop rasa melon
yang sengaja ku simpan meskipun bentuknya sudah hancur tapi ia tidak kotor jadi
masih layak makan, rasanya manis tapi entah kenapa kini berubah sedikit asin.
Air
mataku menetes perlahan membasahi pipi sampai-sampai memasuki mulutku yang
tengah menikmati permen lolipop kesukaan ku. Memeluk lututku merupakan hal yang
hanya bisa ku lakukan untuk sekarang, aku menyesal melakukan ini, ya penyesalan
selalu datang terlambat, kalau saat pertama apa itu masih di sebut penyesalan?,
kini banyak orang mati oleh tangan ku.
Tak
peduli berapa kali pun aku mencuci tangan ku tetap saja darah dari mereka yang
tak bersalah tak akan pernah hilang, di bawah pohon ini aku menangis sendiri
meyesali perbuatanku, sekali lagi karena ketidak dewasaan ku untuk berpikir aku
menyebabkan kematian lagi.
“Ini
bukan salah mu kok Airi” sebuah suara terdengar di dalam kepala ku, sebuah
suara yang tidak asing.
“tapi,
tapi Maya.. aku sudah..” aku merintih pelan sembari menenggelamkan wajahku
diantara kedua lututku.
“Tidak
apa-apa, ini bukan salah mu kok, sekarang kalau kau memang benci yang perlu kau
lakukan hanya seperti biasa” suara Maya kembali terdengar.
“Seperti
biasa?” aku mengangkat wajahku pelan.
“Bukankah
kau selalu mengatakan, tetap Sabar, Tetap Tenang, Tetap Santai dan Hajar,
padaku bukan? Ufufu~ kau pasti bisa melakukannya...” bayangan maya terlihat di
depanku dengan senyuman khasnya yang ku rindukan.
“Hm...
ada seseorang disini... kau kan...” suara lain terdengar bersamaan dengan
hilangnya sosok Maya dari hadapanku. Apa aku berimajinasi saja bahwa maya ada
disini?.
“uhng...
aku...” aku tak bisa berkata-kata, sosok itu muncul sembari duduk santai di
atas pohon yang bergerak, maksudku ya benar-benar pohon yang bergerak.
“Hm..?
bukan kah kau yang menyerang Desa di sana itu tadi siang bersembunyi disini kau
rupanya...” pohon raksasa yang ia tumpangi itu mengangkat salah satu dahannya
bersiap untuk memukulkannya kearahku.
“Tu-tunggu..
a-aku tidak bermaksud—Ugh!!” Aku sekali lagi terhempas, karena hantaman dahan
besar itu, darah muncrat keluar dari mulutku. Aku melayang hingga akhirnya
beberapa pohon tumbang oleh oleh tubuhku yang terbang menabraknya.
“Kkh—hentikan...
aku sudah tidak memiliki minat lagi dengan desa itu...” ucapku terbata-bata
menahan semua rasa sakit ini. Rasa sakit akibat pertempuran yang percuma, dan
rasa sakit akan penyesalan.
“Jadi
sekarang kau musuh atau kawan?” sosok itu akhirnya turun dari atas pohon besar
yang bersamanya dan menampakkan wujudnya di bawah cahaya bulan yang terang
benderang, sosok gadis itu berambut hitam panjang dengan pakaian serba hitam.
“A-aku
tidak tau...” jawabku lirih.
“Jadi
kalau begitu, kau bisa ku bunuh..” ucap sosok serba hitam itu sembari
mengarahkan tangannya kepadaku diikuti banyak akar-akar yang mulai bergerak
merambat dan perlahan mengikat tubuhku ke tanah.
“Jadi
ini akhirnya?” ucapku pelan. “Haha, sebuah balasan yang pas..” ucapku pelan.
“Apa
kau ada permintaan terakhir nona penyerang?” tanya sosok serba hitam itu.
“kalau
bisa... aku ingin.. menghajar bocah sialan itu dengan tanganku
sendiri..”jawabku lirih sebelum memejamkan mata perlahan.
Mungkin
ini akhirnya, ya akhir yang pantas bagi ku, yang kurasakan berikutnya hanyalah
dingin, aku tak lagi bisa merasakan kedua tangan dan kaki ku, apa ini namanya
kematian? Apa ini yang di rasakan Maya saat ia pergi malam itu.
Gelap,
terlalu gelap, kegelapan ini menelan semuanya bahkan aku tak mampu melihat
diriku sendiri, sunyi dan sendirian begitu menyesakkan dada, ya sepertinya aku
sudah mati, Maaf Erica aku tak bisa menepati janji mu dengan kembali dengan
selamat, aku harus menanggung apa yang sudah ku lakukan, Haha bodoh sekali
bukan?. Bocah itu pasti sudah tertawa kalau tau aku sudah mati, ah sialan. Aku
benar-benar ingin menghajarnya dengan tangan ku sendiri.
“Wahai
Reveriers.. belum saatnya engkau mati meninggalkan alam mimpi ini” Suara yang
tak asing terdengar, suara wanita lembut nan elegan itu benar-benar menyejukkan
bak angin sore di desa Bentala vayu itu.
Sebuah
cahaya kecil muncul di tengah kegelapan ini, cahaya yang perlahan membesar,
tidak mendekat dan akhirnya mengusir semua kegelapan hingga aku kembali bisa
melihat tubuhku lagi. Sosok itu pun muncul, sosok wanita bergaun kebiruan
dengan baju zirah pelindung bak seorang dewi itu terlihat. Mirabelle.
“Wahai
Reveriers, Ketahuilah.. sebelum kau menuntaskan Tugas ini, Sang Kehendak tak
akan membiarkan Jiwa mu pergi” ucap Mirabelle.
“A-apa
maksudmu?” aku sedikit terkejut mendengar ucapan Mirabelle.
“Untuk
Sekarang, kau akan di kembalikan dengan Izin Sang kehendak ke wujud sempurna mu
tanpa adanya luka atau bekas apapun wahai reverier” sahut Mirabelle.
“Ta-api
apa maksudnya dengan Jiwa ku tak bisa pergi? Bukankah aku sudah mati?” tanyaku.
“Kelak
kau akan mengetahuinya sendiri Reverier, sekarang kembalilah dan selesaikan
tugas mu” ucap Mirabelle sebelum menghilang dan diikuti cahaya yang
menyilaukan.
-Scarlet Lily
in the Windy Hill-
Chapetr
5: Light My Fire
Pandangan
berikutnya adalah penampakan hutan lagi, hutan yang gelap yang hanya
bercahayakan dari cahaya bulan yang menyinari langit penuh bintang, hutan
Bentala Vayu.
Dan
disana aku menemukan sosok hitam itu lagi, sosok gadis berambut hitam yang tadi
sepertinya membunuhku, aku tak yakin tapi memang sepertinya dia membunuhku.
“Ka-Kau
bukan kah dadamu sudah kutembus, tapi kenapa?” ia sedikit kepanikan.
“Kalau
aku tau mungkin sudah ku beritau nona pengendali tanaman” sahut ku yang tak
kalah heran kenapa aku sudah berpindah tempat dengan semua luka yang sudah
sembuh secara sempurna dan tak meninggalkan goresan apapun kecuali luka lama
sebelum aku memasuki alam mimpi ini.
“Jadi,
kau menginginkan ronde kedua he? Kemarilah nona penyerang” ia memasang
kuda-kuda bertarung, terlihat kalau ada sedikit kilauan keringat di pelipisnya
yang menetes pelan dari balik poni rambutnya, melihat orang yang sudah mati
kembali lagi sepertinya benar-benar mengerikan ya?.
“Tidak,
aku sudah tidak ingin bertarung, yang ku inginkan adalah memukul wajah bocah
sialan yang sudah membuatku seperti ini” balasku sembari mengangkat kedua
tangan ku di depan dada tanda tak ada niatan buruk.
“boleh
ku tau nama mu nona pengendali tanaman? Aku berharap bisa bekerja sama dngan mu
menyelamatkan desa ini” lanjutku.
“Samara—Yesta”
jawabnya singkat sembari menurunkan kuda-kudanya.
“Airi
Einzworth, panggil saja Airi” ucapku yang memperkenalkan diri juga.
“jadi
sekarang kau sudah tidak ada niatan menyerang desa itu?”
“aku
bahkan sejak awal sebenarnya tidak memiliki motiv apapun untuk menyerang dan
menghancurkan desa itu yaa aku Cuma di manfaatkan, sial aku benar-benar kesal
sekarang” gerutuku sambil menginjak-injak tanah karena geregetan.
“lalu
kenapa kau bisa menyerang desa itu?”
Aku
menceritakan semuanya dari saat aku bertemu dengan seth, apa yang ia ceritakan,
hinggga sampai kejadian dimana aku—mati.
“Mira..belle...
kau bertemu dengannya? Jangan-jangan kau ? Reverier?” ia bertaya kepadaku.
“eh?
Kau juga? Atau jangan jangan Serilda dan Lilia yang ada di desa itu..” aku
terkejut mendengar perkataannya.
“Ya,
mereka juga” sahut Samara sebelum aku melanjutkan kata-kataku.
“Kalau
begitu, kita harus bergegas sepertinya kehancuran desa itu mulai mendekati
pohon besar di sisi desa, dan aku benci saat ada tanaman atau pohon yang di
hancurkan” lanjut Samara.
“jadi
kita bekerja sama?” tanya ku yang menyodorkan tangan untuk berjabat tangan.
“kalau
kau berkhianat aku akan membunuhmu” balasnya sembari menjabat tanganku.
“Kita
tak punya banyak waktu, saatnya— eh?“
“naik
ini saja” ucap Samara yang sudah melompat keatas sebatang pohon yang kemudian
perlahan mulai bergerak.
“Ah...
praktis juga” sahutku yang ikut menaiki pohon besar itu.
-Scarlet Lily
in the Windy Hills-
Bergerak
menerabas hutan, memang meninggalkan beberapa kehancuran di belakang karena
pohon ini menabrak yang lain, tapi entah kenapa setiap kali kami lewat langsung
saja ada pohon yang tumbuh dan menutup bagian yang rusak karena di lewati.
Pengendalian
tanaman benar-benar menakjubkan, atau jangan-jangan dia ini tidak perlu makan
dan hanya butuh air karena bisa err membuat makanan seperti tanaman juga? Ah
sudahlah itu tidak penting, yang terpenting sekarang kami harus cepat sampai ke
desa dan menghajar si brengsek hijau itu.
Bala
tentara naga itu masih saja mengamuk di seluruh desa, masih dengan senangnya
membunuh manusia dan archan, ada juga yang malah memakan jasad dari manusia
atau membakar dan menghancurkan bangunan yang masih berdiri, benar-benar mereka
mengamuk dengan riang gembira, ya itu semua karena ku.
tak
sedikit diantara mereka yang bergerak mengejar dan menyerang kami, sepertinya
Seth sudah benar-benar menganggap ku sebagai seorang penghianat, atau
jangan-jangan Cathy Juga?
“Oops
Hampir saja!!” pekik ku melompat turun dan menginjak seekor naga berbentuk
seperti kadal besar ber baju zirah yang hendak menembakkan panah kearah kami,
bisa bahaya kalau Samara yang mengendalikan pohon besar ini terluka, meskipun
aku tak yakin kalau pohon ini akan membiarkan Samara terluka.
“Dari
sini aku akan berlari saja, terima kasih atas tumpangannya, dan err tolong
tahan mereka yah, di keroyok itu merepotkan” ucapku yang kini berlari sembari
sesekali menonjok manusia-manusia kadal yang ingin menyerangku.
“Ho-hoi
aku akan membuat perhitungan dengan mu nanti!!” teriak Samara yang mulai
menyapu banyak Bala tentara naga menggunakan pohon besar yang kami tumpangi
tadi.
Aku
berlari mengikuti jalanan yang tergenang oleh darah, dan juga mayat para bala
tentara Naga, Manusia dan juga Archan, dan sosok itu muncul lagi dan tanpa ada
bekas luka apapun di tubuhnya yang mulus bak putri itu.
“Serilda...”
panggil ku pelan.
“Jadi
Setelah apa yang kau lakukan, kau masih ingin mengejar kami lagi hm.. kau
sedikit berbeda” balas Serilda dengan nada sarkastik, sepertinya dia memang
menyimpan dendam padaku.
“Aku
sudah tidak ingin bertarung dengan mu Nona Serilda Artemia, dan tolong minggir
agar aku bisa buat perhitungan dengan sumber dari masalah ini” jelas ku mencoba
memintanya minggir, aku tak ingin melawannya lagi merepotkan.
“Oh
jadi kau mencoba membual Airi Einzworth? Bersiaplah aku dan Lilia Akan
menghajar mu lagi” Serilda sedikit menggantung kalimatnya. “ Apa kau yakin
Lilia? Bukankah kau baru saja sembuh?” serilda melanjutkan ucapannya pada sosok
Lilia yang muncul di sebelahnya dengan membawa buku grimoire dalam pelukannya.
“ah
tidak... tidak perlu khawatir nona Serilda, Nona Mirabelle datang menemui ku
saat aku tidak sadarkan diri dan seperti nona Serilda lihat, saya sudah sembuh
total, sepertinya ini berkat Nona Mirabelle, aku akan berterima kasih kepadanya
nanti kalau bisa bertemu” jawab Lilia dengan sopan seperti sebelum-sebelumnya,
dan akhirnya ia menatap kearahku dan seolah mengatakan “Bersiaplah”.
Aku
hanya menelan ludah sesaat, memang sepertinya merubah kesan terhadap seseorang
yang sudah melihat keburukan diri dari seseorang itu beanr-benar susah, ya yang
terukir di kepala mereka adalah aku sebagai penyerang desa ini yang
mengakibatkan banyak kematian warga desa, aku tak menyalahkannya itulah
kenyataan yang terjadi, bahwa memang aku yang banyak membunuh mereka.
Aku
menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan mencoba menenangkan
diri dari segala tekanan situasi dan juga memfokuskan pikiran agar tidak goyah,
sekali lagi yang harus ku lakukan adalah pergi dari sini, dan menuju ke pohon
besar di sisi desa dan membuat perhitungan dengan bocah itu.
“Catashthrope”
ucapku pelan dan bersamaan itu rasa panas mulai menjalar di dalam tubuhku dan
semua itu kini berpusat di kedua tangan dan kaki ku, tasanya sakit, kaki ku
seakan terbakar, tapi akan ku tembus Serilda dan juga Lilia agar semua ini bisa
berakhir dengan cepat dan sesuai keinginan.
“Bersiaplah
kalian berdua, aku akan melukai kalian lagi” ucap ku sembari memasang kuda-kuda
bertarung ku, tapi kali ini tak akan ku gunakan senjataku, tinju baja panas ini
saja sudah lebih dari cukup untuk melukai mereka. Bukan bermaksud untuk
menyombong tapi aku menyimpan nya demi melawan “Dia”.
“ini
tak akan berakhir seperti sebelumnya, bersiaplan Airi Ein—“ ucapan lilia
tersendat karena ia tak sengaja menggigit lidahnya sendiri.
“Dia
menggigit lidahnya” ucapku.
“Ya
Dia menggigit Lidahnya Lagi” Serilda menimpali.
“Kalian
ini apa-apaan sih kok bisa kompak, sudahlah sekarang Nona Serilda aku akan
membantu mu mengalahkannya” Ucap Lilia bersemangat sambil membuka kembali Buku Basic Elemental Magic for Idiots. Fire
edition miliknya.
“Li-Lilia
Awa--!!” Serilda mendorong tubuh kecil Lilia dan membuatnya terjerembab dan
menghindarkan Lilia dari serangan kejutanku, aku menerjang keras, berlari
sekencang-kencangnya dan melancarkan tendangan kearah perut Lilia, tapi gagal.
Serilda
yang mendorong Lilia pun malah tak luput dari tendangan ku yang telah
mengandung Catashthrope di dalamnya,
kalau orang normal jelas pasti akan mendapatkan luka bakar, dan itu yang di
dapatkan Serilda tepat di perutnya dan membuatnya terdorong mundur.
“hee...
sudah ku bilang aku tak ingin bertarung dengan kalian... Lagi.. jadi tolong
kalian minggir, Aku mohon.” Aku mencoba berbicara lagi, mencoba meyakinkan
mereka agar tak menghalangi ku.
“Sebaiknya
biarkan dia pergi Nona Serilda, aku rasa dia benar benar tak ingin bertarung
dengan kita” ucap Lilia yang baru saja bangkit meskipun bukunya masih saja
terbuka, sepertinya ia masih siaga.
“kalau
bisa sih aku ingin meminta bantuan kalian, kalian membenci biang kerok dari
kejadian ini bukan? Err kalian sudah menghajarku, dan juga yang disana itu
sudah membunuh ku satu kali” ucapku seolah itu hal ringan sembari menunjuk arah
belakang menggunakan ibu jari kearah pohon besar yang sedari tadi mengamuk dan
melibas bala tentara Naga yang mencoba menjatuhkannya.
“Sa-Samara
Yesta membunuh mu? Apa maksudnya?” Serilda bangkit sambil memegangi perutnya
yang jelas terasa terbakar.
“aku
tak bisa menjelaskannya untuk sekarang, tapi aku ingin kalian ikut pergi bersama
ku ke pohon besar itu atau, kalian bisa memilih disini dan melanjutkan
memberantas para Naga sialan itu” balasku sembari menghela nafas panjang, rasa
panas dan membakar itu pelan-pelan pun berkurang hingga akhirnya hilang tak
bersisa.
“memangnya
apa yang ada disana? Apa jangan-jangan?” Serilda bertanya dan menggantungkan
kata-katanya.
“Ya,
pelakunya ada disana” sahutku, dan Sebuah ledakan besar terjadi di bagian
pangkal pohon, ledakan itu terlihat cukup besar hingga terlihat sampai tengah
desa.
“A-apa
yang, dan ledakan apa itu” Lilia terkejut dan berjongkok sambil menutupi
telinganya.
Ledakan
terdengar kembali, semakin lama semakin banyak ledakan yang terjadi di satu
waktu, sepertinya Seth memang sudah memulai aksinya,
“Jadi,
ikut atau tidak, aku tidak punya banyak waktu, jadi aku duluan” ucapku langsung
kembali berlari menuju kearah pohon besar yang tengah meledak-ledak itu.
Dan
benar saja sesampainya disana sosok kecil itu langsung terlihat bersama Cathy,
sedang menatap dengan senyuman keji kearah banyak kawanan naga yang
menyemburkan api dan mengakibatkan ledakan-ledakan di pangkal pohon.
“SETH!!”
aku berteriak menyebut nama bocah kecil hijau itu, dan yang bersangkutan pun
menoleh dengan santai diikuti Cathy di sampingnya.
“Ah,
Airi, selamat datang kembali, apa pekerjaan mu sudah selesai?” tanya Seth
santai masih sambil menikmati permen lolipop di mulutnya.
“Kurang
Ajar kau!! Kau sudah.... kau sudah membohongi ku!”
“aku
tidak berbohong kok, aku beanr-benar membalaskan dendam ku tuh..” balasnya
santai sambil melihat beberapa orang terikat tali dan dalam keadaan terbakar,
mereka menjerit kesakitan dan ketakutan, semuanya bercampur menjadi satu hinnga
akhrinya ajal mnjemput mereka, dan semua itu karena keegoisannya sendiri.
“Tapi
semuanya tidak terlihat seperti itu, kalau hanay beberapa orang saja seperti
itu kau harusnya tak perlu sampai menghancurkan desanya juga!!” aku kembali
berteriak geram.
“Hee...
bukan kah yang menghancurkan desanya kau Airi?” Cathy bersuara.
“Benar
tuh, bukan aku yang menghancurkan desanya” Seth menimpali dengan santainya.
“lagi
pula siapa suruh menerima permintaan ku mentah-mentah bweeee~ dasar bodoh” Seth
menjulurkan lidah mengejek ku, sial aku benar-benar ingin menghajarnya, tapi
dengan Cathy di sebelahnya ini akan susah dan juga bala tentara Naga itu juga
akan sangat merepotkan.
“jadi
apa yang akan kau lakukan berikutnya Airi? Menghajar ku dan juga Seth?” Cathy
berbicara santai, tapi ada sesuatu yang berbeda di dalamnya, dia menakutkan.
Dia
masih diam berdiri di sebelah Seth, tapi entah kenapa aku jadi tak ingin
melawannya, aku Takut. Sekeras apapun aku mencoba menatap matanya, entah kenapa
tubuh ini langsung reflek menghindarkan kontak mata, kedua tangan dan kaki ku
gemetar, aku tidak bisa fokus.
“Airi...”
panggilnya pelan sambil berjalan kearah ku yang terdiam.
“Airi....
ayo kita bermain..” lanjutnya masih dalam intonasi yang sama, tenang, dan
mencekam.
“Ja-jangan
mendekat... “ aku terbata-bata, tanpa kusadari aku melangkah mundur perlahan
mencoba menjaga jarak dengannya, dia begitu menakutkan, aku sungguh ingin lari.
“Hee,,,
kenapa aku tidak boleh mendekat? Apa aku semenakutkan itu? Hee... Airi Penakut
ya..” balas Cathy dengan santai dan menarik sebilah pisau yang memiliki permata
berwarna biru gelap dan memainkan pisau itu dalam genggamannya.
“Ja-Jangan
mendekat!! Kuperingatkan kau.! Ja-Jangan mendekat atau.... atau aku akan...”
suaraku serasa terhenti, semakin dekat dia semakin aku tak bisa bergerak karena
ketakutan, dia seperti sesosok entititas yang sangat besar dan memiliki tekanan
yang kuat, aku-aku ingin pingsan, tapi kalau itu sampai terjadi maka aku akan.
Mati [Lagi].
Sebuah
anak panah melesat lurus kearah Cathy, panah yang ku ketahui hanya ada satu
roang yang pernah ku temu yang menggunakannya. Bola api pun tak luput
berterbangan kearah para naga yang berada di belakang Seth, meskipun tak banyak
dari para naga itu yang mati karena memang yang bertahan memiliki sisik yang
tebal.
“Jangan
Takut! Dia hanya membohongimu Airi Einzworth!” Teriak suara yang tak asing.
Serilda.
Aku
mencoba menoleh kearahnya dengan banyak keringat dingin tercucur deras dari
dahi dan seluruh tubuhku. Aku benar-benar ketakutan, tapi melihat Serilda dan
juga sosok Lilia disampingnya membuat ku sedikit berani.
Getaran
besar terjadi, Gempa? Tidak lebih tepatnya Akar Pohon Raksasa ini bergerak,
yang kutau hanya satu orang yang mungkin bisa melakukan ini. Akar-akar itu
bergerak liar dari dalam tanah dan menyapu bala tentara Naga yang sedari tadi
mencoba merobohkannya. Ia melumat semua Naga yang ada disana dengan akar-akar
raksasa itu, sekeras apapun sisik mereka pasti akan hancur, dan tak luput dari
tempat kami berpijak, kini akar-akar begerak kesana kemari secara liar.
Kami
terhempas oleh sebuah akar yang tiba-tiba saja muncul dari dalam tanah, hingga
memisahkan kami, Aku bersama Serilda, dan juga Lilia, dan sepertinya Seth
bersama Cathy.
“Aku
bisa bergerak lagi!”, seruku dalam hati aku sudah terlepas dari kesan terror
Cathy yang sedari tadi membuatku ketakutan, tak ada lagi ketakutan, tak ada
lagi keraguan, aku harus maju dan menghajar mereka.
“Airi
Einzworth Jangan maju semabrangan si pengguna pisau itu sepertinya memiliki
banyak trik tersembu—AARRGGHH!!“ ucapan serilda terpotong oleh sura terawa
seseorang. Cathy.
“Ehehe...
tepat sekali” ia tertawa sebelum kemudian melompat keluar dari balik kegelapan
dan menebas punggung Serilda menggunakan pisaunya meninggalkan luka terbelah
yang sangat lebar di punggungnya dan tumbang.
“Nona
Serilda!!!” Lilia Berteriak histeris, “kauu!!” Lilia kembali membuka Buku
petunjuk menggunakan sihir miliknya, tapi itu terlalu lambat.
“Lambatt!!”
Cathy berteriak sembari menerjang Lilia.
“Kyaaa!!”
pekiknya pelan dan menggunakan Bukunya sebagai prisai, ia tak sempat
menggunakan sihir pelindung, dan suara sesuatu pecah terdengar, bukannya suara
robek tapi kenapa malah suara sesuatu yang pecah?.
Serpihan
serpihan itu terlihat berkilauan di tengah gelapnya malam yang hanya
bercahayakan sinar bulan. Dan darah kembali menyembur dari dada Lilia [Lagi].
Buku
itu robek tak lebih dari buku sihir, hanya sebagai buku biasa dan tak akan
bertahan melawan pisau yang jelas ku tau bukan terbuat dari bahan sembarangan.
Pisau itu benar-benar berkualiatas sangat tinggi, bahkan paling tinggi yang
pernah ku lihat sebelumnya.
“Lilia!!”
aku berteriak pelan, tapi semua itu tiba-tiba terhenti, sebuah serangan keras
terdengar dari atas salah satu cabang dari pohon besar ini, aku melongak keatas
dan melihat seekor naga berwarna coklat keemasan yang terikat oleh akar
tanaman, dengan keadaan menggigit setengah tubuh Samara.
“Sa-samara...
“ aku tergagap.
“Ahahahaha..
hahaha... hahaha!!!” Seth tertawa terbahak-bahak dari atas seekor naga yang
tengah terbang.
“Lihatlah
wajahmu Airi, benar-benar lucu, memilukan, caramu berteriak saat teman-teman mu
itu terbunuh olehku dan Cathy, benar-benar lucu!!” ia berteriak dari sana.
“Sialan
kau!!” aku berteriak dengan penuh amarah, sedih, kecewa semuanya bercampur
menjadi satu, rasanya darah ku mendidih dan ingin sekali meledak.
“Airi....
jangan lengahh.. eheheh!!” Cathy kembali menerjang kearah ku seambil menebaskan
pisau yang berada di tangan kirinya, pisau hitam mengkilat dengan permata biru
gelap.
Dentingan
besi terdengar, percikan bunga api pun tak luput muncul dari gesekan antara
sarung tangan tinju ku dengan pisau milik Cathy, dan kami pun saling terdorong
mundur beberapa meter.
“Hee....
Baja apa itu kenapa bisa menahan pisau ku? Hee sepertinya menarik”
“Heeii
jangan acuhkan aku!! Serang mereka—AAH!!” Suara Seth tiba-tiba terhenti oleh
sesuatu yang tak terlihat, ia terjatuh bersama dengan naga yang tengah terbang
yang di tumpanginya.
“A-apa
yang terjadi?” aku melongok kearah Seth yang terjatuh, tidak dia di tekan dari
atas oleh sesuatu yang tak terlihat.
“Hoi-hoi
apa yang terjadi?” Cathypun tersentak kaget.
Terlihat
tiga buah kobaran api berwarna coklat kemerah-merahan di atas salah satu akar
yang mengerubungi tempat ini. yang ku tau api itu hanya milik seseorang, tidak
benar-benar sebuah api, tapi kekuatan misterius yang bahkan dia sendiri tak
ingin membahasnya. Ya Cuma seseorang yang ku kenal yang memilikinya.
“Nona
Airi, apa Cuma itu kemampuan yang nona miliki? Nona sampai terdesak oleh dua
orang dan hampir saja mati” suara datar tak berekspresi yang selalu
menjengkelkan itu benar-benar aku kenal, dan kobaran api itu melompat turun dan
berjalan mendekati kami.
“Hee...
bukankah aku meninggalkan mu di Belka? Bagaimana bisa kau bisa kesini Erica?”
aku menyebut namanya dengan santai dan sesaat kemudian kobaran api di kedua
tangan dan dahinya menghilang.
“sebenarnya
sesaat setelah nona pergi dari kediaman Einzworth, domba sialan itu kembali
kerumah, meskipun dengan kekerasan aku berhasil memaksanya agar membawa ku kemari,
dan tentu saja aku membawa perbekalan” jawabnya dalam intonasi yang tenang dan
tanpa ekspresi.
“Ho-Hoi
Kalian berdua apa yang—Ohokk!!“ ucapan Cathy terhenti karena sebuah pukulan
dari Sarung tangan baja berwarna hitam mendarat di perutnya.
“Tolong
jangan ganggu percakapan kami Nona, dan maaf karena aku memukulmu meskipun aku
tak mengerti siapa kau” ucap Erica yang sesaat saja sudah berada di depan Cathy
dan menghantam perutnya.
“Hee...
Sudah-sudah, sekarang kalau kau tak mau kerepotan disini mari kita selesaikan
dengan cepat, itu tolong yah disini biar ku selsaikan”aku berkacak pinggang.
“hee...
baiklah kalu itu perintah Nona” Erica melepaskan Tinjunya dari perut Cathy dan
kemudian berlari kearah Seth.
“Ka-Kau
Kira bisa mengalah kan ku Airi?” Cathy Terbata.
“Kalau
tidak, aku tidak akan bisa pulang, bailah Cathy Mari kita lanjutkan” ucapku
sembari memasang kuda-kuda bertarung lagi.
I der
Herrscher der Erde,der Halter des Willens der Erde,Sie derjenige vor mir,beugen
und zu gehorchen vor der Erde Königin*
*TL: I the ruler of the
earth,the holder of the will of the earth, you the one in front of me, bow down
and obey in front of the Earth Queen
Suara
itu terdengar pelan, ia mulai merapal kembali mantranya untuk mengaktivkan
kekuatan misteriusnya, aku menarik nafas dalam-dalam dan menghelanya perlahan.
“Catasthrope!!”
teriak ku yang kemudian menerjang kearah Cathy.
-Scarlet Lily in the Windy
Hills-
Chapter
5.1 : Erica
“Kau
yang disana, seperti yang ku perhatikan selama seharian ini, kau yang sudah
menghasut agar Nona Airi agar melakukan semua kejadian ini benar?” ucapku datar
sesaat setelah merapal mantra demi memanggil Will of Earth. Ya sebuah kekuatan yang ku dapat dari masa lalu,
saat kejadian itu terjadi.
Aku tak
ingin membahasnya sekarang, dan sekarang aku hanya ingin berfokus untuk
menyelesaikan ini dengan cepat sebelum nantinya aku pingsan, membanting makhluk
besar yang tengah terbang itu dan setidaknya membuat dia tak berkutik sesaat.
Benar-benar
melelahkan saat aku hatus memanggil Will
of Earth dua kali, haaah aku benar-benar membencinya, mengurus rumah saja
sudah melelahkan dan kini harus melawan makhluk-makhluk yang banyak ini.
“Ka-Kau!!
Apa Yang kau... A—aku tidak menghasutnya, dia sendiri yang mengatakan akan
membantuku balas dendam“ seth berkilah sembari memasang wajah memelas.
“Yang ku
tau, Nona Airi tidak akan melakukan hal aneh-aneh kalau tidak di bohongi,
sungguh Nona yang Masih Polos” balasku pelan sembari berjalan mendekati Seth
yang masih berada di tanah sedangkan Naga yang ia tumpangi sejak tadi sudah
hilang kesadaran.
“Tolong
Ampuni aku, aku... aku hanya ingin membalaskan dendam kedua orang tua ku dan
setelahnya aku akan memulai kehidupan yang baru di Ibukota sebagai prajurit,
kumohon..” Seth memelas dengan mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
“...”
aku hanya diam menatapnya, tapi aku bukanlah orang yang bisa di bohongi semudah
itu, apa lagi aku sudah menonton hampir semua kejadian seharian ini, mulai dari
pertemuan mereka, hingga sampai nona Airi menyerang desa itu, aku Cuma bisa
geleng-geleng kenapa dia bisa terperdaya oleh bocah ingusan seperti ini.
“Eheh He
kau lengah!” Seth menarik sebuah pistol semi otomatis dari balik bajunya dan
menembakkan peluru kearah ku, tapi itu semua percuma.
“Hee....
ternyata memang benar yaa kau sudah membual” sahutku datar sembari menatap
Peluru-peluru yang di muntahkan oleh pistol di tangan seth itu berhenti satu
inci di depan dadaku dan kemudian jatuh bebas ke tanah.
“Ka-Kau
Bukan manusia... ka-kau iblis!!!” Seth Berteriak kepanikan sebelum kemudian
tiba-tiba saja melompat sangat tinggi bak terbang di angkasa, tubuhnya terlihat
begitu ringan tak berbeban.
“Hahaha!!
Selamat Tinggal!!!” teriak nya dari atas, ia tertiup oleh angin yang berhembus
di desa Bentala Vayu ini.
“Heee...
Kau pikir bisa kabur?” aku melompat tinggi dan mengurangi tarikan gravitasi di
sekitar tubuhku sehingga aku bisa menyusulnya dalam satu kali lompatan. “Hai bocah
kita bertemu lagi”. Lanjutku sebelum menghantamkan tinju ku kearah wajahnya dan
mendorongnya jatuh ke tanah lagi dengan bantuan tingkat Gravitasi yang di
tingkatkan.
Sebuah
ledakan terdengat begitu keras bersamaan dengan kepulan asap debu yang
menyerbak tak beraturan pun dapat terlihat dari jauh, Ya semua ini sudah
Berakhir, dan sekarang aku bisa istirahat.
Aku
melihat sosok bocah itu, wajahnya hancur, tidak benar-benar hancur hingga
kepalanya pecah, tapi setidaknya tulang hidung dan sedikit rahangnya ada yang
pecah, aku masih menahan kekuatan jatuhan tadi, karena Nona Maya selalu
mengatakan kalau saat aku harus berkelahi, jangan sampai aku membunuh orang
itu.
Ya aku akan
selalu menuruti perintah itu, andai Nona Maya ada disini, mungkin dia sudah
mengomeliku karena membuat seseorang babak belur seperti ini.
“Aku
Ingin bertemu Nona Maya Lagi” gumam ku pelan sebelum akhirnya jatuh terlentang,
terkulai lemas tak bertenaga karena memanggil Will of Earth dan megeluarkan kekuatan yang cukup banyak.
Aku tak
yakin apakah jika aku pingsan disini, apa aku akan selamat? Ya karena banyak
Naga yang berkumpul disini karena panggilan dari Bocah Tengik itu, tapi
sepertinya aku sudah menghancurkan Seruling yang ia gunakan untuk mengendalikan
kawanan Naga itu, dan seoerti dugaan, mereka mundur perlahan dan berlari
masing-masing sampai akhirnya menghilang dalam kegelapan malam.
“Aku...
Selamat.. hehehehe... Nona Airi Berjuanglah”.
-Scarlet Lily In the Windy
Hills-
Chapter
5.2 : Airi
Sebuah
ledakan terdengar bersamaan dengan kepulan asap debu yang terbang tinggi, aku
meliriknya sekilas, sepertinya Erica sudah menyelesaikan urusannya dengan bocah
itu, sayang sekali aku tak bisa menghajarnya secara langsung tapi tak apalah,
setidaknya ke jengkelan ku karena dia sudah membohongi ku sudah di balaskan.
Dan
sekarang urusan ku hanya dengan sosok itu, sosok gadis berambut hitam dengan
mata heterochromia yang berdiri di depanku dengan sepasang pisau belati yang
ada di kedua tangannya.
Aku tak
yakin melawan dia tanpa senjata, tapi, sarung tangan besi inilah satu-satunya
harapanku karena Tonfa kesayangan ku sudah terbang dan hilang entah kemana.
“CATASTHROPE!!”
Pekik ku yang kemudian menerjang kearah Cathy, Rasa terbakar itu kembali
menjalar ke tubuhku, Rasa sakit ini bagaikan rasa sakit itu sendiri yang
mengalir menggantikan darahku.
“AIRI!!!!
AHAHAH!!!!” Cathy Berteriak dan tertawa terbahak bahak dan bersamaan dengan itu
pun ia menerjang ku, kami saling menerjang satu-sama lain, ia menghunuskan
pisau di tangan kanannya dan berbenturan langsung dengan tinju tangan kiriku,
kami terdorong mundur oleh momentum hantaman masing-masing.
“Aku
benar-benar ingin sekali melelhkan pisau itu, tapi apa daya semakin lama aku
semakin tak bisa mengontrol panas dari Catasthrope ini, lama-lama bisa mati
sendiri aku” gerutuku pelan masih menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya
perlahan.
“ayo
kita bermain lagi Ai—aakh” Sebuah benda berkilau bergerak cepat dan menancap di
punggung Cathy, Sebuah Anak panah.
“Hehe...
lama sekali Tuan putri, apa tidur mu nyenyak?” ucapku mencoba meledek sosok
yang baru saja muncul dari balik kegelapan dengan sebuah busur di tangannya.
“Tidak
sopan sekali kau, tapi setidaknya kau sudah menyelamatkan ku dan Lilia, dengan
mengulur waktu hingga aku bisa sembuh total dan masih bisa juga mencari Busur
dan Anak panahku”.
“Ka—KAU!!!
DASAR WANITA JALANG!!” Bentak Cathy Kearah Serilda, ia benar-benar marah dan
mencoba menerjang Serilda, tapi beberapa Anak panah kini menancap di dadanya.
“Kalau
kau bertarung dengan emosi, kau tak akan bisa berpikir jernih dan mengamati
sekitarmu” ucap Serilda kalem, tidak seperti sebelumnya.
“Kkh—uhukkk!!...
Sialan kalian.. aku... aku akan membalas kalian nanti” Cathy memuntahkan darah
dari mulutnya, tapi kemudian ia berlari kedalam hutan dan menghilang begitu
saja dalam kegelapan.
“Aah-
sepertinya aku tak dapat jatah ya? Akh.. panas- panas...” ucapku yang abrusaja
tersadar karena terlalu fokus sampai aku melupakan bahwa sesuatu tengah
membakar tubuhku sendiri dari dalam, Sang Malapetaka Berjalan.
“Jadi
Airi Einzworth, bisa kita tuntaskan pertarungan kita yang tidak selesai
kemarin?” ucap serilda menarik keluar belatinya.
Aku
mengangkat kedua tanganku di udara, “aku menyerah saja”Ucapku. “melawan mu tidak ada habisnya, dan
sepertinya kau bahkan bisa menolak suhu panas ekstrim yang ku masukkan melalui
tendangan dan pukulan ku jadi aku tidak ingin melawan mu lagi” lanjut ku sedikit
menjelaskan.
“Cih,
dasar Pengecut” gerutu Serilda.
Kalau
boleh jujur, aku benar-benar ingin sekali menonjok Tuan Putri ini, selain
tingkahnya yang bisa di akui sangat elegan, tapi perkataannya membuat ku ingin
sekali menghajarnya di tempat.
Chapter
6: The Piece Of Memories
Cahaya
matahari mulai meninggi, menyinari semua kegelapan, dan disanalah,di atas akar
pohon beringin raksasa Bentala Vayu ini aku melihat mereka semua terbaring
dengan luka yang perlahan sembuh sendiri, apa ini kekuatan dan izin Sang
kehendak itu? Lalu apa yang Mirabelle lakukan sebelumnya? Ya, saat aku. Mati.
Seperti
yang ku perhatikan, sosok Lilia yang terkena tebasan langsung dari Cathy, dan
juga Samara yang bahkan hampir saja kehilangan setengah badannya, luka bekas
sabetan di seluruh tubuh dan luka bakarku semuanya perlahan memudar dan
menghilang.
Ya
sepertinya memang kita di penjarakan disini demi menciptakan Mahakarya yang selalu saja di
sebut-sebut oleh si Zainurma itu.
Sebenarnya
apa itu Mahakarya? Sebuah karya seni? Tapi kalau membuat karya seni, kenapa
harus melewati ujian-ujian seperti ini? Kenapa kami harus saling bertarung dan
membunuh satu-sama lain? Apa tidak bisa gitu membuatnya bersama-sama sebuah
patung besar dari tanah liat? Atau keramik ukir yang indah dengan desain-desain
khas para Reverier lainnya?
Semua
ini masih benar-benar membingungkan.
“Selamat
Reveriers, sepertinya kalian semua berhasil melewati ujian ini, ya meskipun ada
seseorang yang tidak ada disini, tapi tak apa, ia akan segera kembali bersama
dombanya ke Bingkai Mimpinya” Sosok laki-laki tinggi bertopi fedora itu
tiba-tiba saja muncul lagi bersama Ratu Huban di sebelahnya.
“Zainurma!!”
pekik ku yang kemudian bangkit dan melesatkan tinju kearah wajahnya itu.
“oops...
tidak sekarang Reveriers” tubuhnya melebur bak asap, tidak, debu? Atau lukisan
abstrak? Ia menghindar beberapa meter dan menyisakan Jarak diantara kami.
“Beruntung
kau Mirabelle yang mengembalikan jiwamu saat Samara Yesta menembus dadamu,
kalau aku sih, mungkin akan membiarkan mu Mati” sahut Zainurma santai.
“Paman
Nurma, tak seharusnya Paman berkata seperti itu, itu adalah tugas yang di
berikan oleh Sang Kehendak, kalau tidak paman lakukan dengan baik nanti kualat
loh” Ratu Huban menimpali dengan mengayun-ayunkan tongkat permennya dan
memuntahkan kembang api-kembang api kecil, masih saja di mataku itu Aneh.
“Ah Tuan
Zainurma, Lama tidak bertemu” Serilda menyapa dan berdiri di sebelahku.
“Oho,
Nona Serilda Artemia Rupanya, pertarungan yang menarik, semoga saja Sang
Kehendak menyukai Hasilkarya kalian” Zainurma membalas dengan sopan dan
membungkukkan badan seraya memberikan Hormat, begitu pula Serilda pun membalas
hormat Zainurma, waw karisma seorang putri atau mungkin seorang ratu memang
sangat menyilaukan, ya seperti sosoknya.
Sekali
lagi aku ingin sekali duduk memeluk lutut ku dan menangis, Kematian Maya masih
saja berbekas di pikiran ku, kalau saja aku lebih kuat saat itu, aku pasti
bisa.
“Hoi
Airi Einzworth! Apa Kau melamun!?” Serilda mengayun-ayunkan tangannya di depan
wajahku.
“A-aah,
tidak tidak, jadi Zainurma apa yang kau lakukan disini? Mengganggu kami?”
ucapku ketus.
“akibat
dari kehancuran di desa ini, kalian jelas tak bisa membangun ulang dengan
tangan kalian sendiri, dan disinilah aku akan merekonstruksi ulang bingkai
mimpi ini, dan menghilangkan semua kerusakan yang ada” Zainurma membentangkan
tangannya lebar-lebar dan berkata bangga.
“hee...”
aku dan Serilda hanya bergumam pelan.
“Dan
berikutnya, kalian akan aku pulangkan bersama domba-domba kalian agar kalian
bisa beristirahat di Bingkai mimpi kalian~” Ratu Huban Berkata dengan ceria
sambil memutar-mutar tongkatnya.
“Serilda,
Kita Harus berpisah disini”
“ugh,
apa yang terjadi?” Samara bangkit perlahan dan menggosok matanya seolah bangun
tidur.
“hau,
sudah pagi?” Lilia pun menyusul, dan Hanya Erica yang belum bangun, ia masih
terkapar tak sadarkan diri dalam balutan baju pelayannya, sepertinya aku ahrus
menggotongnya pulang.
“Airi
Einzworth.. suatu saat aku akan menantangmu dan mengalahkan mu! Ingat itu!”
ucap serilda sebelum akhirnya berjalan menjauh kearah sebuah portal yang sudah
di buka oleh Ratu huban, bersama dengan domba putih dan empuk yang tiba-tiba
saja muncul di sebelahnya.
“A-Ah
Nona Serilda, apa kita akan bertemu lagi?” tanya Lilia.
“kau
bisa main-main ke tempatku sesekali Lilia, kalau begitu sampai jumpa lagi,
kutunggu kedatanganmu” ucap Serilda yang kini sudah menghilang dalam cahaya
yang menyilaukan.
“Sepertinya
tugasku sudah selesai? Bisa aku pulang Ratu Huban?” tanya Samara.
“Tentu~”
Ratu huban membuka lagi sebuah portal entah kemana, dan samara berjalan pelan
kearahnya dan kemudian menghilang.
“dia tak
mengucapkan apapun? Sugguh aneh” gumamku.
“Kau
Nona Airi Einzworth, Lihat saja saat kita bertemu Akua akan—akh”ia bangkit dan
berdiri tapi ucapan Lilia terhenti.
“Dia
menggigit lidahnya” ucapku pelan.
“ya dia
menggigit lidahnya Sendiri~” sahut Ratu Huban.
“Di-Diam
kalian!! Huuh!!” Lilia berlari kearah sebuah portal yang sudah berada di
depannya.
“lalu
kamu Airi Einzworth? Mau pulang?” Ratu Huban bertanya.
“Anu
Ratu Huban boleh aku bertanya Sesuatu, Ho hoi!! Jangan makan rambut Erica!!”
aku berteriak dan menarik domba yang sudah menggigit rambut Erica, sepertinya
ia dendam karena sudah dipukuli dan di paksa mengantar Erica kesini, ahah lucu
sekali.
“Ah
Kalian akrab yah ahahah~” suara tawa Ratu Huban sedikit berbeda, dia antara
kerutan-kerutan di kepala bantalnya, aku merasakan sedikit cipratan kesedihan.
“Aku
ingin bertanya sesuatu Ratu Huban, apa kalian bisa membawa kembali orang yang
sudah mati?” aku bertanya dengan nada lirih.
“Kau
ingin membangkitkan gadis bernama Maya itu nona Airi?” Ratu Huban membalas
dengan nada kalem.
Aku
mengangguk mantab. “Apapun Bayarannya, meskipun aku sendiri yang harus
mengorbankan nyawaku demi dirinya, aku bersedia” lanjutku.
“Kalau
itu sih, mungkin kamu harus menghadap Sang kehendak agar tau jawabannya, kami
disini tidak bisa apa-apa tanpa izin dari Sang Kehendak, Benarkan Paman Nurma?”
balas Ratu Huban sambil menoleh kearah Zainurma, dan Zainurma hanya mengangguk
mengiyakan.
“begitu
yah, lalu bagaimana caranya aku bisa bertemu dengan Sang Kehendak? Bukankah Ia
ada di Museum Semesta?” Tanya ku lagi.
“Kelak
kau akan menemuinya Reverier, tapi tidak sekarang, tetaplah berjuang, bertahan
dan bertarunglah kemudian persembahkan Mahakarya yang terbaik kepada Sang
Kehendak agar Ia mendengarmu” sahut Zainurma dalam intonasi yang entah kenapa
begitu menenangkan.
“begitu
ya, baiklah kalau begitu aku akan kembali ke bingkai mimpi ku” ucapku sembari
mengangkat tubuh Erica yang lebih besar dariku ke atas domba putih yang tadi sempat
mau memakan rambut Erica, dan kemudian berjalan kearah portal yang sudah di
siapkan oleh Ratu huban.
“Sepertinya
dia sudah sedikit dewasa kan Paman Nurma?”
“Begitulah,
yaa setidaknya kita harus cepat selesaikan disini dan kembali”
“Baiklah~
ufufufu” balas Ratu huban Ceria.
-Scarlet Lily in the Windy
Hills-
Chapter
7: Epilogue
Masih
ingat jelas di dalam benak ku saat aku terbang di langit bentala vayu sembari
menunggangi Seekor naga besar ber sayap empat, aku sempat melihat sebuah bunga
Lily aneh, yang ku tau bunga lily yang di tanam oleh Maya selalu berwarna
putih.
Tapi
tidak, Bunga itu berwarna Kemerahan, seperti warna rambutku, sayangnya aku tak
sempat memetiknya dan membawanya pulang.
“Nona
Airi Melamun?” Suara Erica memecah keheningan, sore itu di teras rumah kayu
yang sederhana ini.
“tidak,
aku hanya sedikit memikirkan sesuatu”
“Apa
itu?”
“Apa kau
menemukan Bunga Lily berwarna merah di bukit Bentala Vayu?”
“Ini?”
Erica menyodorkan sebuket bunga Lily berwarna kemerahan di hadapanku.
“Ba-bagaimana
kau bisa?”
“aku
menemukannya, kemudian menggoyang-goyangkan sedikit ujung bunganya dan
mendapatkan bijinya” ucap Erica.
“dan
kini aku menanamnya di belakang rumah, dan sekejab saja sudah tumbuh dan mekar
seperti ini” lanjutnya sambil meletakkan buket bunga Lily itu dalam vas berisi
kan air.
“Terima
Kasih” ucapku pelan.
“Eh?”
“Tidak,
Tidak ada apa-apa, Lupakan saja”
“Apa
nona, tau kenapa aku mengambil biji nya dan menanamnya disini?”
“tidak,
kenapa?”
“Karena
saat aku melihatnya, aku selalu mengingat Nona Airi, Bunga ini Hidup dalam
terpaan angin yang kuat di Bentala Vayu, tapi tak sekalipun ia tercabut dan
terbang di hembuskan angin, ia kuat dan juga cantik, serta warna merahnya itu
benar-benar mencerminkan Nona Airi” Erica tersenyum selagi mengucapkannya.
Aku
hanya terdiam menatap senyumannya yang teduh itu, ucapannya barusan benar-benar
membuatku berpikir berkali-kali tentang dirinya, dia masih begitu misterius,
tapi juga menarik, di balik ekspresinya yang minim, ia menyimpan banyak sekali
ekspresi yang tak semua orang bisa mengetahuinya.
“Erica...”
aku bangkit dari kursi dan memeluknya Erat. Aku menatap wajahnya yang sedikit
lebih tinggi dariku, aku mencoba berjinjit dan sampai akhirnya bibir kami
bersentuhan.
“Terima
kasih” ucapku pelan.
-Scarlet Lily in the Windy
Hills End-
Kapital, tanda baca, typo, bertebaran di mana-mana. Terutama kapital yg gk seharusnya. Meski hal seperti itu tdk terlalu mengubah apapun sih.
BalasHapusAda bagian yg buat tanda tanya besar dan belum terjawabkan di narasinya. Tepatnya di bagian ketika pisau Cathy menembus buku Lilia. Bukannya suara robek malah suara pecah?
Lalu, Lilia yg sering mengigit lidah itu jadi ciri khas ya?
Entri ini sebenarnya panjang, tapi bagian battlenya terasa pendek. Fast paced gitu.
Pengunaan pov Erica di chapter 5.1 kgk perlu menurutku, seharusnya tetap pov Airi aja yg sejak awal memang gitu. Tanggung amat rasanya cuma sepetak gitu diganti view nya. Ampe dikira sub judulnya yg Erica, tau2nya pov nya juga ganti :)
7
Samara Yesta~
Haii Haiii Yahharrooo~ Kagero Disini~
HapusMakasih udah mau komentar di post Airi :3
sengaja masalah buku itu sih... soalnya di CS lilia, buku itu ga bkal bisa ancur klo core crystalnya ga ancur, dan yg kebetulan di ancurin sama cathy itu core crystalnya makanya pecah dan sobek
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusada bagian yang pov nya membingungkan. padahal menggunakan pov aku=airi tp knp dia menyebut dirinya sendiri 'sosok yang dipanggil nona airi'? (lupa tepatnya apa tp yah mungkin smacam itu). jadi pov orang pertama di sini terasa janggal dan mengurangi kenyaman untuk membaca.
BalasHapushmm...terus narasi battlenya kurang menggambarkan suasana peperangan. jika ada penyerangan seharusnya ada pasukan militer/pertahanan/smacamnya yang akan bergerak mempertahankan desanya. tp di sini seolah-olah airi datang dg pasukan naga menghancurkan desa mati. meskipun dijelaskan adanya korbn. tp ntah knp kurang berasa aja. ditambh lg airi yang langsung menyimpulkan org yg ditemuinya adalah reverier. memangnya bkal menjamin itu beneran reverier? bukannya penduduk biasa atau pasukan pertahanan desa itu? seolah2 makhluk hidup yg ada di desa itu hanya mereka saja. di arena pertempuran itu bnyak kemungkinan yg bisa terjadi. jd ada baiknya itu dipertimbangkan saat membuat cerita.
dan sepanjang entri saya selalu menemukan kata 'he' dalam stiap dialog. (meski nggak smua sih). spertinya itu kata2 favorit ya.
terakhir, seingat saya dalam sekali misi domba hanya bisa membuka portal dua kali yaitu waktu berangkat dan misi selesai. kok ini malah bisa buka lg trus ngantar erica?
krn lg pngen berbuat baik jd saya kashh 8^_^
saya juga sadar kok kalo saya belum tentu bs bkin lbh sempurna meski udah komen begini. smoga berkenan
yahhaloo~ Kagero disini...
Hapusterima kasih syudah mau memberikan keritik dan saran semoga kelak bisa jadi perbaikan di entry seterusnya..
kalo di pikir lagi memang agak janggal sih ya buat bagian awal yang di sebut tadi, POVnya jadi lompat ke POV3 secara tydac langsung, ini bner-bener masukan buat sy.. skali lagi makasih banyak.
err ada kah keterangan klo domba cm bs 2x buka portal? sy kurang tau, sepertinya memang kudu baca-baca kanon panitia lagi ini mohon maaf kalo mungkin lancang dr system karena ke tydac tahuan saya @3@
sekali sy mohon maaf dan juga berterima kasih atas komentarnya
ttd
Kagero yuuka (Airi Einzworth)
==Riilme's POWER Scale==
BalasHapusPlot points : C
Overall character usage : B
Writing techs : D
Engaging battle : C
Reading enjoyment : B
Tulisan ini agak berantakan juga ya. Banyak kalimat kurang huruf, typo, atau kurang kapital buat kata di awal kalimat. Apa nulisnya buru"?
Zainurma sejak kapan pake fedora?
Kuambil, kulihat, ku+kata kerja itu benernya disambung
Dialognya didominasi percakapan yang menurut saya gayanya agak kelewat santai (atau malah kaku?) dan kadang jadi berasa ga natural di konteks tertentu. Selain itu gumaman kayak 'errr' kayaknya keseringan, juga kalimat yang kepotong sebelum selesai
Jadi di entri ini peserta bisa respawn lagi meski udah mati kalo misinya belum selesai? Jadi kayak dota aja
Cathy di sini sukses jadi sosok antagonis banget ya bareng Seth. Tapi rasanya pihak desa dan bangsa Archan-nya kurang diceritain di sini, ga kayak entri Samara. Saya juga ga ngerti gimana Erica mendadak muncul menjelang akhir battle, cuma sekilas pula. Apa itu bagian dari kemampuan Catashtrope Airi?
==Final score: C (7)==
OC : Iris Lemma
secara sepintas, formatnya lebih rapi dari prelim kemaren. Tapi banyak sekali kesalahan Ebi seperti huruf kecil di awal kalimat, huruf besar setelah koma, terus juga pemakaian koma di antara dua kalimat yang harusnya bisa diberi titik. Ada beberapa typo juga seperti sampau.
BalasHapusNilai : 7
@_@:
BalasHapus“Hy, Airi! Aku kreatornya Ghoul, mau ngamuk lagi nih…
“dah nemu typo di awal paragraph.
“Huruf besar ga pada tempatnya,
“awalan di, mu, dan masih banyak lagi
“dan banget meleset ebinya, ntar penuh 10 halaman ini kalo kutulis mua.
“Mari kita sama2 belajar eyd di grup nulis fb banyak banget deh bertaburan, tak kalah banyak dari jumlah satelitnya planet Jupiter. Lebi banyak malah. Sangat perlu gabung grupnya!
“Bergabunglah sekarang juga. Secara pelan2 bisa nulis sebagus entri lainnya. Semangat!
“Duh suratnya tulisannya kecil bongot
“tapi masih lebih bagus daripada entri dulu masih banyak K.O di EYD-nya…”
:=(D
Halo Eneng Airi. Di sini Mbah Amut yang mengetik dan berkomentar.
BalasHapusLangsung aja ya, mbah lagi kurang fit soalnya heheh.
Perkara lakon, kalau dibandingkan ama lakon eneng di prelim, mbah harus akui kalau ada perkembangan.
Cuma sayang euy, narasi lakonnyaacak-acakan. Mbah yang kurang fit jadi sulit konsentrasi pas bacanya, jadi pas di tengah-tengah suka hilang fokus terus lupa ini teh ceritanya ngapain.
Tapi buat eneng Airi mah mbah rela baca ulang lagi sampe ngerti. Dan ternyata bagus juga lakonnya, penjiwaan karakter ama beberapa adegan berantemnya lumayan berkesan buat mbah. Terutama penjiwaan karakter sih.
Tapi balik lagi, neng. Narasinya euy, eleuh-eleuh... nanti kalo tembus R2 mah omat yeuh, narasinya diperbaiki biar penjiwaan karakternya lebih oke.
Tapi intinya mah, entri ini cukup menghibur mbah deh. Jadi nilai 7 mbah kasih buat neng Airi.
TTD
Mbah Amut
As usual, saya masih ga ngeti kenapa kok narasimu berasa panjaaaaang banget tapi sebenere cuma ngecover sedikit banget porsi cerita. Mungkin karena kebiasaan bertele-tele, atau ada bagian yang sengaja kamu jelasin sejelas-jelasnya.
BalasHapussaya suka gimana karakter di sini digambarkan. Good luck ya di R2.
Nilai dari William A. Anderson : 8
Pheeeww ceritanya panjang juga...
BalasHapusBegini, saya ga pernah komentarin tentang penulisan karena saya sendiri masih sangat noob dalam hal itu... tapi satu hal yang saya tau dan saya sukai dalam sebuah tulisan adalah rapihnya kapital dan dialog.
Diluar itu sih ceritanya ga masalah, masih asik untuk dibaca :D
Kalau dimantapkan lebih lanjut lagi bisa 'lebih asik' lhoo entri nya padahal...
Semangat ya! Nilai 7 dulu
Wasalam
Ganzo Rashura
Seperti nama OC-nya mari kita airi entri ini dengan kesegaran.
BalasHapusSepertinya author cukup ngebut bikin entri ini karena ada kata-kata yang kurang huruf dan typo
Tapi tidak apa2 toh punyaku juga tidak bisa sebaik ini.
Nilai 8
Penulis Dadakan / Arca
uummhh.. gimana ya? alurnya bagus dan menarik.. tapi rasanya ada yang mengganjal gitu. narasinya terkesan nggak natural gitu.
BalasHapustapi yang kusuka dari entry ini adalah saat Lilia tidak sengaja mengigit lidahnya, airi lalu berkata sesuatu dan ditimpali yang lain..
typo udah dijelasin di komen sebelumnya, dan saya masih mengerti perpindahan POV dari airi ke erica.
well, nilai dari saya 7.
Dwi Hendra
OC : Nano Reinfield
Tes
BalasHapusCukup melelahkan juga untuk membaca sekian ribu kata namjn dipenuhi tupo. Tapi alurnya sudah terbentuk sih, cukuo terbangun juga, beserta dialog-dialohnya. Tapi ada beberapa dialog yang kadang2 menurutku lebih baik di-cut saja krn kurng relevan dengan alur... overall, saya maauh bejm ngerasa ada kesan yang kuat dari interaksi para karakter di sini, kecuali Serikda-Airi yang justru malah aaya suka dengan galaknya Serilda di sini. Goodjob for that
BalasHapusSaran aja, kalau lolos, luangkan waktu lebih buat editing, terutama kalau bermaaalah di EYD dan typos seperti saya.
Nilai 7.
Rakai A
OC Shade
Entri ini sudah bagus, tapi kalau tulisannya dibuat lebih rapi pasti bakal makin enjoy buat dibaca.
BalasHapusFighting scene di entri ini cukup oke, tapi kayaknya bakal lebih enak kalau narasi ditambah. Sejauh yang saya baca, sehabis dialog selalu ditutupi dengan keterangan tambahan. Menurut saya sih lebih enak kasih dialog aja, abis itu bikin narasi tentang keadaannya.
Karakter yang udah mati di sini bisa hidup lagi, poin ini buat saya ngurangin nilai cerita. Kalo kata seorang swordman berbaju hitam itu "a game where you can die is too easy" gitu.
Nilai dari saya 7
OC : Catherine Bloodsworth
6.
BalasHapusI can't enjoy this entry.
bacanya juga jadi aye skimming dengan lompat jauh beberapa paragraf.
Belum lagi ada interaksi yang seharusnya ga perlu.
btw, don't use that cursive font again.
ga bisa dibaca ini....
@_@
oC: wamenodo Huang
Hmm...
BalasHapusOke, saya benar-benar tersendat bacanya. Jumlah kesalahan (kapital, tanda baca, dan typo) dalam tulisan ini melebihi batas yang bisa saya tolerir.
Kau boleh saja memperindah karyamu dengan font cursive dan kata-kata berbahasa asing, tapi menurutku akan lebih baik kalau kau memberi usaha lebih di bahasa Indonesianya dulu.
Maaf, ini saya hanya bisa beri 6 poin.
Asibikaashi