oleh : hewan
Ringkasan cerita sebelumnya:
Dalam hati beberapa reverier, mereka bukannya tak
percaya pada ucapan Zainurma. Mereka sempat melihat sendiri tadi, sekilas saja,
tampak di kejauhan sosok patung yang wujudnya begitu mengerikan. Ah, bukan …
yang paling mengerikan bukanlah wujud dari patung itu. Yang paling mengerikan
adalah saat mereka menatap sekilas ke arah patung itu, mereka langsung merasa
jiwa mereka tertekan teramat kuat. Mereka dihadapkan pada keberadaan yang begitu
tinggi sehingga nalar mereka seolah bisa saja hancur seketika hanya sekadar
menatap wujud keberadaan itu.
Semua akan mengingat tentang patung itu …
Sang Kehendak.
Sementara itu, terjadi perubahan drastis di semesta
asal para reverier. Bangunan, jalanan, atau apapun yang tadinya menjadi lokasi Bingkai
Mimpi mereka, semuanya kini menghitam. Begitu kelam, tak terasa memancarkan
hawa kehidupan sedikit pun. Tampak begitu kontras dengan tempat lain di
sekitarnya yang masih hidup dan berwarna. Orang-orang yang tadinya ada
di sana kini menghilang. Semua berpindah secara ajaib ke Alam Mimpi sebagai
Bingkai Mimpi. Yang tersisa dari tempat-tempat itu hanyalah warna hitam yang
lebih kelam dari kegelapan itu sendiri.
Penduduk di tiap semesta itu panik luar biasa atas
kejadian aneh tersebut. Dan entah apa reaksi mereka jika ada yang mengatakan
“Semua ini barulah awal.”
-reveriers-
Di suatu wilayah Alam Mimpi, lansekap abstrak yang
tadinya selalu berdistorsi dan berganti-ganti rupa kini telah ditempati oleh bongkahan yang teramat besar, menjadi
sebuah wilayah konkret. Satu semesta—yang merupakan asal dari salah satu
reverier—telah berpindah ke sana.
Tatkala para reverier kehilangan impiannya di turnamen
(dengan kata lain kalah), maka tak ada halangan lagi bagi Alam Mimpi untuk merebut
segala apa yang ada di semesta asal sang reverier. Tanpa mereka sadari, setiap
reverier terikat oleh beban untuk menjadi wakil dari semua yang bisa bermimpi, yang berada di semesta tersebut. Ketika
reverier itu takluk, maka impian semesta tersebut musnah. Umat manusia dan
sejenisnya yang berasal dari semesta tersebut akan mengikuti takdir buruk sang
reverier: menjadi koleksi Museum Semesta. Pelan-pelan, Alam Mimpi akan memakan apa yang tersisa dari semesta
tersebut sehingga wilayah tersebut akan kembali menjadi lansekap abstrak. Dan
itu baru satu semesta. Berapa reverier yang tumbang dalam pertarungan terakhir?
“Aku … sungguh tidak suka Alam Mimpi yang sekarang.”
Dia hanya berdiri di sana, bersama kerumunan domba
hitam yang digembalanya. Sosoknya tak kalah ajaib daripada Ratu Huban.
Kepalanya berwujud bola mata besar dengan seluruh anggota badan lainnya adalah
kerangka. Tubuhnya hanya dibalut oleh jubah berwarna ungu yang serasi dengan
sarung tangan maupun sepatu bootnya. Di genggaman tangannya terdapat tongkat
aneh yang disebut sebagai dreamcatcher—penangkap
mimpi.
Namanya adalah Oneiros.
Saat itu, dia hanya bisa menggeram sebal. Bahkan
dirinya tak bisa melakukan apa-apa untuk menanggapi jeritan tersiksa dari milyaran
eksistensi pemimpi sejumlah semesta saat mereka direnggut oleh Museum Semesta
untuk dijadikan koleksi baru di sana dalam wujud karya seni yang menyedihkan.
“Aku … benci Sang Kehendak!”
Tugas Oneiros adalah menggembala domba-domba hitam
pemakan mimpi. Tetapi ketika begitu banyak impian direbut begitu saja oleh Sang
Kehendak yang kuasanya kini meliputi Alam Mimpi, maka apa yang tersisa untuk
Oneiros?
Perbedaan dasar antara Oneiros dengan Sang Kehendak
adalah bahwa apa yang dilakukan si penggembala domba hitam adalah untuk menjaga
keseimbangan. Para makhluk pemimpi dari segala semesta menciptakan begitu
banyak untaian mimpi yang mewujud di Alam Mimpi, terus-menerus tanpa henti. Agar
Alam Mimpi tidak penuh, maka domba-domba hitam yang digembala oleh Oneiros akan
memakan mimpi-mimpi tersebut sehingga selalu ada tempat bagi terciptanya impian
baru.
Namun kini … setiap impian lenyap dengan cepat,
menyisakan sampah-sampah semesta yang teronggok di wilayah-wilayah Alam Mimpi. Keseimbangan
akan segera hancur.
“Dan si Huban bodoh itu masih saja sibuk bermain-main,
dia selalu lupa pada tugas-nya.”
Domba-domba hitam Oneiros lantas mengembik kelaparan. Si
penggembala pun mengayunkan-ayunkan tongkat miliknya untuk mendeteksi apakah
ada sisa-sisa mimpi dari bongkahan semesta untuk dimakan domba-dombanya.
Sejak saat itu, Oneiros bertekad.
“Pada kesempatan selanjutnya, biar kuusir saja mereka
semua.”
Domba-domba hitam Oneiros pun mengembik lalu maju bersamaan.
Mereka bergerak rapat dan bertumpuk-tumpuk sehingga tampak layaknya kumpulan
awan gelap yang membukit. Babak selanjutnya dari turnamen ini sepertinya tidak
akan berjalan semulus ronde yang telah lalu.
-reveriers-
Selepas pertarungan babak pertama yang teramat
melelahkan, para reverier yang tersisa sudah kembali dipanggil oleh Zainurma.
Tiga puluh dua pemimpi tangguh itu kini dikumpulkan di suatu tempat, menghadap sang
Kurator dan juga Mirabelle. Beberapa tampak heran melihat sosok reverier lain
yang seharusnya sudah mati saat bersama mereka di pertarungan babak pertama.
Tapi mereka teringat kalau jiwa, raga, dan impian mereka sudah tersandera. Mudah
bagi Mirabelle, dengan izin Sang Kehendak, untuk mengembalikan raga yang hancur
dan menaruh kembali jiwa reverier di dalam raga tersebut sehingga bisa terus
bertarung. Selama karya mereka masih diapresiasi Sang Kehendak, maka selama itu
pula mereka akan terus dipaksa bertempur.
Tempat mereka berada saat ini adalah wilayah yang
tersusun atas ratusan gunung yang menjulang menembus awan dengan pusatnya
merupakan gunung tertinggi di mana sebuah kuil megah berdiri di puncaknya. Di
dalam dan di sekeliling kuil tersebut, terdapatlah sejumlah patung raksasa
dengan wujud-wujud menawan yang biasa tampak pada sosok dewa maupun dewi. Zainurma
duduk penuh lagak di mimbar yang menghadap amfiteater di mana para reverier dikumpulkan.
Salah seorang reverier bertanya, “Patung-patung itu … hasil
karya kitakah? Atau mereka adalah para peserta yang dikutuk karena pertempuran
mereka jelek?”
Zainurma tidak menjawab. Dia mengangguk ke arah
Mirabelle di sebelahnya, maka Dewi itulah yang selanjutnya menjelaskan. “Bukan,”
katanya. “Mereka semua dulunya adalah Dewa dan Dewi sepertiku. Dan di sini
tadinya merupakan surga kami … tempat kami menjaga umat manusia di semesta
kami. Ini adalah Bingkai Mimpi-ku ….”
Reverier yang bertanya kini terdiam. Kehabisan
kata-kata.
Akhirnya Zainurma membuka mulut, “Yah, singkat cerita,
Dewa-Dewi payah itu dikutuk jadi patung sungguhan. Hahaha, sungguh ironis!
Pemuja mereka biasanya membuatkan patung di kuil atau di rumah sebagai penghormatan
untuk para Dewa-Dewi … tapi kini malah Dewa-Dewi itu sendiri yang dikutuk jadi
patung oleh entitas yang jauh lebih tinggi dari mereka.” Zainurma melirik ke
arah Mirabelle, “Tapi entah mengapa, si artefak brengsek menyisakan Mirabelle.”
Sosok naga tua di antara para reverier mengangkat
tangan, meminta izin untuk berbicara.
“Ya, ada sesuatu yang ingin kau tanya, Naga?” sahut
Zainurma.
“Err … begini, Kang, punten. Tadinya kami berpikir ini teh di Museum Semesta,” ujar si naga.
“Oh, jadi ternyata kalian penasaran dengan hasil karya kalian kali ini? Atau kalian
penasaran ingin melihat wujud baru
para pecundang yang dulunya setim dengan kalian?” balas sang kurator. “Mau
kubawa ke sana?”
Naga tua itu merasa kalau dia mengatakan sesuatu yang
salah. Sejumlah reverier lain tampak berkeringat dingin, ada juga yang menelan
ludah. Sesungguhnya sedikit-banyak mereka juga penasaran. Akan tetapi, sejak
pengalaman pertama dibawa ke Museum Semesta, mereka tak ingin berada lagi di sana.
Seolah dengan berada sebentar saja di tempat itu, eksistensi mereka akan
terkisis, mental mereka hancur remuk, lalu kewarasan menghilang.
Zainurma berdecak, “Cih, kalian ingin lihat tapi
kalian semua takut, ya? Baiklah, anggap saja aku berbaik hati … nanti akan
kukirimkan hasil karya kalian di prelim dan ronde pertama ke Bingkai Mimpi
masing-masing. Kurasa si artefak tak akan protes. Silakan dipajang di tempat
yang bagus lalu renungi, ahahaha! Tapi jangan dirusak. Itu barang koleksi
Museum Semesta, ingat?”
Para reverier terdiam.
Sang kurator kini berdiri di mimbar. “Oke, sebenarnya
alasanku memanggil kalian ke sini adalah untuk memperlihatkan ini.” Lalu dia menjentikkan
jari dan muncullah bingkai besar keemasan berukir indah dengan ukuran panjang
10 meter dan tinggi 3 meter. Bingkai itu melayang vertikal seperti layar
sinema. Kemudian di dalam bingkai tersebut muncul suatu adegan layaknya film …
namun film ini jauh dari kata
menghibur. Yang ditampilkan adalah adegan saat sejumlah semesta berpindah ke
Alam Mimpi dan penghuninya direnggut—dan dikutuk—oleh Museum Semesta.
“Kalau kalian kalah di turnamen ini, bakal sial deh
nasib semesta kalian,” ungkap Zainurma dengan entengnya.
Salah satu gadis reverier berkacamata pun berseru
geram, “Eh bujug deh, Bang!! Sebenernye kite-kite ini nih mau diapain sih?!
Udah disuruh berantem kesono-kemari, terus kalo kalah eh dunia kite dibikin
kiamat! Ini kalo beneran mimpi udah kebangetan deh!”
Mirabelle yang menjawab, “Semua semesta itu memang akan
direnggut oleh Sang Kehendak, dengan atau tanpa kalian menjadi reverier. Ketika
kalian ditandai dan menjadi reverier—atau pemimpi unggul—maka setidaknya kalian
punya kesempatan untuk mengubah takdir.” Kemudian Mirabelle melirik ke arah
sang Kurator, sebab sang Dewi sendiri bahkan tidak tahu persisnya seperti apa kesempatan yang dimaksud tersebut.
Setelah menghela napas, Zainurma berkata dengan nada
terpaksa, “Heh … kukasih sedikit bocoran deh. Alam Mimpi ini punya potensi
untuk membangkitkan inspirasi tertinggi setiap pemimpi. Kalian mengerti?
Inspirasi adalah kekuatan. Tapi tentu itu tidak mudah untuk diraih.”
“Saya masih tidak mengerti, Tuan,” seorang pemuda
tampan nan polos di antara para reverier mencoba menyampaikan isi pikirannya. “Maksud
Anda, pertempuran yang kami jalani ini bukan tanpa tujuan?”
“Itu saja yang bisa kukasih tahu untuk sekarang,”
balas Zainurma. “Intinya, kalian terus bertarung dan jadilah semakin kuat.”
Lalu sang Kurator menambahkan di dalam hati, dan jadilah jalan bagiku untuk meraih Arsamagna.
Perbincangan kali ini pun berakhir dengan tak
mengenakkan bagi para reverier. Sang Kurator masih menyimpan banyak rahasia.
Dan mereka tidak punya daya apa-apa selain terus terjebak dalam skenario sang
Kurator. Benarkah mereka bisa meraih inspirasi tertinggi atau apapun itu yang
tadi disebutkan oleh Zainurma?
Ratu Huban muncul dari balik atap kuil. Dia melompat
turun dan berseru, “Ayo domba-dombaku~ bawa mereka pulang~~”
Maka para reverier pun diseret oleh domba mereka
kembali ke Bingkai Mimpi masing-masing.
-reveriers-
Ketika para reverier sampai di Bingkai Mimpi mereka,
tampaklah bahwa wilayah Bingkai Mimpi itu semakin meluas. Semakin banyak bagian
dari semesta asal mereka, beserta para penghuninya, yang berpindah ke Bingkai
Mimpi. Untuk sekarang, mereka semua aman. Tetapi ketika para reverier kalah …
maka itu adalah kiamat bagi semesta yang mereka wakili.
Kini masing-masing reverier hanya bisa menanti tanda
dimulainya babak berikutnya. Satu-satunya hal yang bisa sedikit menghibur diri
mereka adalah melihat dua karya seni yang termanifestasi berkat perjuangan
mereka di dua babak sebelumnya. Ternyata Zainurma benar-benar mengirimkan karya
tersebut ke Bingkai Mimpi para peserta—dengan status pinjaman, tentunya.
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Selamat mengapresiasi~
Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.
PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.