The Black Lambs
By Mocha_H
--
Prolog
Zainurma mengetuk-ketuk kesal lantai koridor musium dengan ujung sepatunya. Sebenarnya sang kurator berambut klimis itu cukup penyabar, bahkan dia rela menunggu peserta yang terlambat datang tiga jam. Hanya saja, kali ini ia sudah menunggu setengah hari.
"Mbeek~" embikan domba terdengar di ujung koridor.
Mata Zainurma berkelebat secepat kilat ke asal suara itu, seekor domba mimpi yang tengah menggendong sesuatu berbalut selimut hitam.
"Apa ini?"
Ketika Zainurma hendak menarik kain lusuh itu, ia merasakan perlawanan dari apapun yang diangkut si domba, mencengkram kuat selimut yang menutupnya. Maka detik itu kesabaran sang kurator habis, ia berputar ke samping si domba dan menendang domba sekaligus penunggangnya hingga jatuh.
Si domba berdiri kembali dengan cepat, langsung mengembik bernada marah pada sang kurator. Namun penunggangnya terkapar tak bergerak sedikitpun.
"Kamu masih hidup, kan?" tanya sang Kurator, kembali menendang si penunggang.
Si domba tak terima melihat sang tuan ditendang oleh Zainurma. Ia mengembik marah, menghadang sang kurator dan melanjutkan hitungan tendangan. Sebanyak tiga kali.
Sang kuratorpun membatu, penasaran apa yang terjadi antara si domba dan majikannya sampai si domba menendang si tuan, bahkan tampak begitu ceria setelah melayangkan tendangan keempat. Tidak, sang Kurator salah hitung, ini sudah ketujuh kalinya.
"L-Lapar..." suara rintihan terdengar dari balik selimut itu.
Tangan hitam sang reverier berusaha menggenggam apapun di sekitarnya. Hingga tertangkaplah kaki si domba.
"MAKAN!!!"
Bagai seekor hewan penuh amarah, sebuah cairan hitam merambat naik ke kaki si domba, menjalar ke tubuh lain si domba hingga ia terbungkus dalam cairan hitam itu.
"Selamat makan~"
Reverier itu, Nora, si gadis berpakaian hitam, sedang berusaha mencerna dombanya sendiri dengan cairan hitam—Ink— yang ia kendalikan. Namun wajahnya mengkerut, membentuk ekspresi ketakutan. Ink yang membungkus si domba merayap kembali ke sang majikan seraya ia menutup dirinya lagi dengan selimut hitam.
"D-Domba! Aku hanya bercanda!" seru Nora, masih bersembunyi di balik selimutnya. "T-Tolong bawa aku pergi dari sini!"
Namun si domba malah menarik-narik selimut si majikan. Nora memekik ketakutan dan memohon ampun pada si domba.
Sang Kurator berdecak, tidak mengerti kenapa reverier di hadapannya begitu histeris ketika si domba berusaha menarik selimutnya. Ia menarik sebuah kartu dari saku kemeja coklatnya, lalu paham bahwa Nora memiliki ketakutan terhadap cahaya.
"Apa gadis ini benar-benar seorang Reverier?" tanya Zainurma pada dirinya sendiri.
Zainurma menepuk tangannya, seketika itu lampu koridor musium meredup. Nora tidak lagi menjerit histeris dan kini ganti si domba yang memekik panik, berlari ke belakang sang kurator.
Saat itulah Nora dapat berdiri tanpa gemetar sedikitpun, mengikat kain hitam di sekitar tubuhnya seperti sebuah jubah. Sebuah bola ungu merayap keluar dari balik rambut pendek Nora, menggeliat seakan mencari-cari sesuatu sampai berhenti pada Zainurma.
Zainurma mulai merasa tidak nyaman. Bola ungu di rambut Nora tidak memiliki bola mata dan dari pantulan permukaannya, Zainurma tahu itu hanyalah sebuah bola permata yang digerakan oleh Ink milik Nora. Namun ia tidak bisa menggubris perasaan bahwa bola ungu itu sedang mengawasinya.
"Dari mana kamu tahu kelemahanku?" tanya Nora.
"Aku adalah sang kurator musium semesta ini. Tugasku mengawasi dan mengurus karya seni di musium ini, jadi wajar jika aku tahu seluk belum seluruh peserta dalam turnamen," ujar Zainurma. "Tangkap."
Kartu di tangan sang Kurator dilempar jauh dari arah Nora, tapi sebuah kilatan hitam menebas ke arah lemparan kartu itu. Ink Nora melesat bagaikan cambuk, menangkap kartu itu. Nora menarik Inknya kembali, menganalisa kartu di tangannya.
"Katalog Karakter?" gumam Nora.
"Simpanlah kartu itu baik-baik," ujar Zainurma. "Kartu itu adalah representasi dari keberadaanmu sebagai seorang Reverier. Siapapun yang melihat kartu itu akan mengetahui identitasmu, sifatmu, kemampuan dan kelemahanmu."
"Kartu yang menyusahkan," gerutu Nora. "Kartu yang memberi tahu kemampuan dan kelemahan hanya akan menguntungkan lawanku."
Nora menggengam kartu itu dengan kedua tangan, lalu menariknya ke arah berlawanan untuk merobek. Namun baru satu sobekan kecil terbuka, Nora tergelimpang di lantai. Nafasnya ternggah-enggah dan tangannya seakan berusaha menutup luka khayal di pinggang.
"Sudah kubilang, simpanlah baik-baik," ujar Zainurma seraya mengambil kartu Nora dari lantai. "Ini adalah representasi keberadaanmu. Jika representasi ini rusak, keberadaanmu juga akan rusak."
Nora membuka bibirnya, gemetar karena rasa sakit, "K-Kalau kau dalang di balik kartu ini... Apa kau juga yang menghilangkan kemampuanku?"
"Sebelum kau salah sangka, pertama aku adalah Kurator. Tugasku adalah menjaga dan mengawasi karya, bukan menambahi atau mengurangi karya di musium. Kedua, aku sama sepertimu, terjebak dalam permainan [Sang Kehendak]"
"Sang Kehendak?"
"Bukan, [Sang Kehendak]," ujar sang Kurator. "Tolong pakai tanda kurung kotak."
"Aku tidak mengerti... Apa kau juga tahu kenapa aku tidak bisa makan?" tanya Nora. "Semenjak aku bangun, Inkku tidak bisa mencerna apapun, padahal di hari sebelumnya aku masih bisa melakukannya!" terangnya.
"Consumation. Kurasa itu kemampuan makanmu,"ujar sang kurator, "Sebenarnya bukan hanya kemampuan ini, tapi semua kemampuanmu tidak lagi efektif karena [Sang Kehendak] menghapus inspirasimu,"
Nora memekik panik,"I-Itu berarti aku tidak bisa makan lagi?! S-Selamanya?!"
"Tidak juga. Ada cara untuk mendapatkan kemampuanmu kembali," ujar Zainurma. "Dalam setiap ronde turnamen, kamu punya kesempatan memperoleh inspirasimu kembali. Inspirasimu bisa dipicu oleh berbagai hal, mungkin sebuah ingatan masa lalu atau pengalaman pribadi."
"Berarti aku harus mengikuti turnamen ini?" tanya Nora. "Huh... tadi kupikir aku sudah bisa mencari Emi lagi."
Zainurma mulai menceritakan latar bingkai mimpi yang akan menjadi tempat ronde pertama Nora. Di ronde kali ini Nora akan diantar ke kota Bekasi Alternate, lebih tepatnya distrik Little Itally. Dua geng mafia, La Roccia dan Perfectamundo, sedang berkonflik karena perebutan sengketa tanah. Misi para reverier adalah untuk menyelesaikan sengketa ini.
"Tapi aku bukan pengacara pengadilan," sanggah Nora.
Zainurma menggeleng, "Tentu saja, bukan hanya itu cara menyelesaikannya. Kamu bisa membuat mereka berdamai atau bunuh saja salah satu pemimpin mereka."
"Pak kurator sendiri faksi yang mana?" tanya Nora.
"Bukan keduanya. Aku tak peduli apa yang terjadi pada mereka," jawab singkat sang Kurator. "Cepatlah pergi. Keempat peserta lain sudah masuk lebih dulu."
"A-APA?! Kenapa mereka dibiarkan masuk duluan?! Ini sudah jelas pelanggaran peraturan!" seru Nora.
"KAMU YANG TERLAMBAT!"
Dengan buru-buru Nora menunggang dombanya dan berpacu meninggalkan koridor itu. Rasa kesal sang kurator berubah menjadi bertanya-tanya. Ketika Nora sibuk memacu dombanya, bola kristal dari rambut Nora masih terus mengintai ke arahnya, seakan menyadari keberadaan sang Kurator.
Rasa curiga sang Kurator semakin besar saat bola kristal itu menarik dirinya kembali ke balik rambut Nora. Apa karena bola kristal itu menyadari tatapan sang kurator?
"Ah, sial" gerutunya lagi. "Aku lupa menjelaskan faksi ketiga."
==1==
Keadilan?
Kota bekasi, kota paling dekat dengan Ibu kota Indonesia –Jakarta, sehingga membuatnya pilihan tempat tinggal yang strategis bagi orang-orang yang bekerja di Jakarta.
Konon tanah di Kota-kota sekitar Jakarta lebih murah dari harga tanah di ibu kota Negara maritim itu, jadi tak jarang berbagai organisasi menjadikannya basis operasi untuk cabang di Jakarta, baik milik pemerintah atau Swasta, besar ataupun kecil.
Pertumbuhan kota ini semakin pesat karena perusahaan luar negeri mulai menerapkan cara serupa. Begitu banyaknya imigran dari luar negeri, sampai ada beberapa bagian kota yang menjadi secuil dari negara asal.
Misalnya Little Itally, suatu perkampungan yang bangunannya tampak eropa sekali, termasuk beberapa mansion menyerupai gereja berkubah, bahkan ada berbagai warung pasta dan pizza, sesuatu yang tidak mungkin dilihat di bagian kota lain.
Namun di balik semua itu, Little Itally adalah suatu perkampungan yang sebagian besar penduduknya adalah imigran dan seringkali ada pula beberapa penduduk yang datang tanpa persetujuan negara. Kita sering menyebutnya imigran illegal, jadi wajar jika kepolisian sering mengirimkan patroli untuk mencari dan mensurvei keberadaan mereka.
"Sudah kubilang, aku tidak tahu apa KTP yang kau maksud itu!"
Seorang pria berkulit putih pucat sedang bertikai dengan seorang petugas berseragam hijau yang telah memperkenalkan dirinya sebagai Panji Budiman.
"Pak Sheraga, harap tenang. Jika anda bukan WNI, tolong tunjukan surat imigrasi atau Visa jika anda tidak lewat jalur imigrasi," pinta petugas muda itu.
"Aku tidak tahu KTP, Visa dan jelas aku bukan imigran. Kalau kamu minta tanda pengenal, bagaimana dengan ini?"
Pria kulit putih itu mengambil sebuah dompet dari saku baju putih di balik rompi hitamnya. Dari dompet tersebut, ia mengeluarkan sebuah kartu pengenal yang kemudian diberikan pada si petugas.
"Jangan main-main, pak. Saya bahkan tidak bisa membaca ini," ujar Panji. "Kalau anda tidak punya KTP, Visa atau surat imigrasi, anda harus ikut dengan kami," terang si petugas, menunjuk sebuah truk abu-abu yang mengangkut beberapa orang kulit putih, imigran illegal dari eropa.
Kini Sheraga tahu kenapa petugas ini menggeledahnya, ia dikira seorang imigran dari warna kulitnya. Yah, dia tidak separuh salah, toh Sheraga memang bukan dari negara ini dan datang sebagai turis. Namun karena Sheraga tidak bisa memberikan surat identitas apapun, ia tahu petugas di hadapannya sudah siap melayangkan cap imigran illegal.
"Mbeek," domba milik Sheraga ikut bicara.
"Anda membawa domba... juga? Apa ini menjadi tren akhir-akhir ini?" tanya Panji kebingungan. "Lebih baik tidak meninggalkan dombamu di sini, bawa bersama kami. Anda punya surat kepemilikan domba ini, kan?"
"Domba ini bukan milikku, tapi..."
"Berarti kamu mencurinya?" salah satu petugas berseragam hijau lain menyela masuk. "Dasar imigran tak tahu diuntung. Cepat masuk ke dalam truk!"
"Hei... tenang, jangan emosi dulu. Kita dengar dulu alasan pria ini," ujar Panji pada teman petugasnya.
"Mbeek!"
Dengan menggigit, Si domba menarik sebuah kartu keluar dari saku celana hitam Sheraga.
"Hei, domba. Jangan makan kartu itu!" tegur Sheraga, merebut kembali kartu dari dombanya, kartu katalog peserta miliknya.
"Lho? Kamu masih ada kartu lain. Coba saya lihat," ujar si petugas kedua, mengambil paksa kartu di tangan Sheraga.
"Jangan, pak petugas! Itu kartu penting!" Sheraga hendak mengambil kartu yang direbut itu, tapi melihat si petugas yang serius memperhatikan kartu itu, iapun menunggu.
"Oh... Suratnya beres, kok. Anda boleh pergi," ujar si petugas, mengembalikan kartu katalog Sheraga. Kini ia berbalik pada temannya, "Panji, ikut aku. Bantu angkat-angkat."
"L-Lho, kok bisa?"
Sheraga hanya bisa menatap heran pada kartu katalognya. Mungkinkah ini yang dimaksud "Representasi Keberadaan" yang dimaksud sang Kurator? Sheraga segera mengantongi kartunya, lalu bergegas meninggalkan lokasi.
"Tolong jangan ambil dagangan saya, pak!"
Namun satu tangisan serak memancing telinga Sheraga. Pria berompi hitam itu berbalik ke teriakan yang berasal dari truk yang hendak mengangkutnya tadi. Seorang nenek tua berkulit sawo matang, berpakaian hanya daster, dengan menangis mengejar gerobak dagangannya yang diangkut oleh truk Satpol PP.
Merasa Iba, Sheraga berlari mendekati nenek itu, menariknya keluar ketika para petugas hendak memasukan nenek tersebut, "Hei! Apa yang kalian lakukan pada nenek malang ini!"
"Jangan ikut campur, bule," ujar salah satu petugas yang tampak paling tua di antara yang lain. "Kamu tidak ada hubungannya dengan ini."
"Ini bukan masalah aku yang tidak berasal dari sini! Ini soal nenek yang masih satu bangsa dengan kalian!" seru Sheraga. "Kenapa kalian tega mengambil gerobak seorang nenek tua yang hanya ingin mengais rejeki!"
"Sudah kubilang, jangan ikut campur, dasar bule sok tahu!" bentak si petugas. "Coba kamu lihat jalan raya ini!"
Melihat ke sekitar, tak ada apapun yang mencolok baginya. Tempatnya berada hanyalah sebuah jalan raya bertrotoar. Ada orang berlalu lalang, keluar dan masuk dari kantor di sekitar, tapi tidak ada yang berpenampilan seperti orang "penting".
"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."
"Sudah kubilang, kamu sok tahu!" ledek si petugas. "Jalan raya ini memiliki empat ruas jalan. Masing-masing dua untuk dua arah yang berlawanan. Nenek "Malang" ini menjajahkan dagangannya di salah satu ruas jalan, menyumbat jalur transportasi kota. Apa perlu ditanyakan lagi kenapa kami memindahkan gerobak nenek ini?"
"Nek... apa itu benar?"
"Cu... nenek sudah jualan di sini sepuluh tahunan, cu... nenek masih ada cucu di rumah yang perlu diberi makan, perlu disekolahkan... tolong jangan diambil dagangan saya..."
"Kalau begitu, kenapa nenek tidak berjualan di trotoar saja?" tanya Sheraga.
"Sudah banyak yang ngambil trotoar, cu..."
"Di trotoar sekalipun kami akan tetap menggusur. Trotoar itu hak pejalan kaki, bukan milik satu dua orang saja!" bentak si petugas. "He, bule. Kalau kamu memang peduli, coba lihat sekelilingmu! Lihat berapa banyak orang yang buat toko mereka di trotoar! Kami ini satpol PP, tugas kami menerapkan hukum dan kedisiplinan bagi masyarakat kami, jadi enyahlah, bule! Jangan ganggu pekerjan kami!"
Hati Sheraga berkonflik. Di satu sisi, ia simpati terhadap nenek yang digusur, tapi di sisi lain, iapun paham bahwa petugas ini menjalankan tugasnya dengan semestinya. Dengan berat hati, Sheraga melepas tangan gemetar sang nenek.
Sheraga tahu, di lihat secara kronologis, sang neneklah yang salah karena telah berjualan di jalanan. Namun ia juga tak bisa mengubris perusaan bersalah ketika bibirnya mulai membuka.
"Nek, lain kali tolong cari tempat yang lain. Nenek nggak akan digusur kalau ada di tempat semestinya."
Dengan sepatah kata itu, Sheraga meninggalkan truk. Ia gerah dengan perilaku arogan si petugas dan kurangnya rasa empati petugas itu. Namun tidakan si petugas tidak pula salah, lantas siapakah yang salah?
Baru beberapa meter Sheraga meninggalkan lokasi penggusuran tadi, terdengarlah rentetan ledakan. Orang-orang di sekitar memekik panik, merayap di atas tanah sambil memegangi kepala mereka.
"Mafia berperang lagi!"
Si pria berompi hitam berbalik ke dalam lokasi penggusuran, berharap untuk tidak masuk dalam adu tembak para mafia. Beruntung pula, ia tidak jauh dari lokasi para satuan polisi yang tugasnya adalah menerapkan hukum dan kedisiplinan bagi masyarakat mereka sendiri.
Namun yang dilihat tidaklah seperti yang ia bayangkan. Para petugas masih sibuk menggusur satu persatu stan semi permanen di pinggiran jalan, seakan tidak mendengar suara tembakan tadi.
"Pak pengatur, kita harus segera mengevakuasi orang-orang ke tempat yang aman!"
Telinga Sheraga menangkap secerah harapan dari seorang petugas muda yang sedang bercakap dengan seorang petugas senior yang memarahinya ketika berusaha menolong nenek tadi. Ia masih ingat nama petugas muda itu, Panji Budiman, petugas yang menanyakan kartu tanda pengenal Sheraga.
"Aman, Panji. Selama kita di sini, mafia nggak akan berani ke sini," jawab si petugas senior.
"Tapi suara tembakan itu bukan dari blok ini!" sanggah Panji.
"Malah bagus! Saya lebih berharap mereka segera meninggalkan blok sebelah!" balas si petugas senior. "Sudah, jangan diurusi. Cepat ambil gerobak di sebelah sana!"
Panji si petugas muda masih berdebat dengan seniornya, tapi Sheraga sudah meninggalkan lokasi itu. Ia muak dengan para polisi, muak karena percaya pada mereka. Sang alkemis bergegas menuju ke tempat tembakan-tembakan itu terdengar, berakhir pada sebuah gang gelap di sebelah pertokoan.
Sheraga mencabut pedang perak dari sabuknya, menerjang masuk ke gang gelap di depannya.
Tindakan bodoh. Ia terlupa akan hilangnya inspirasi para reverier yang juga mempengaruhinya.
Belasan cahaya memercik dari gelapnya gang, sekilas menampakan barisan pria berseragam hitam yang tengah mengacungkan senapan-senapan mereka. Namun baru sedetik kemudian, Sheraga menyadari percikan cahaya tadi adalah maut baginya.
"Bocah tolol!"
Rentetan peluru menggema di gang itu, tapi Sheraga masih memegang nyawanya. Seseorang telah menarik Sheraga ke balik sebuah bak sampah, menyelamatkan nyawa si alkemis sebelum satu pelurupun dapat mengenainya.
"H-Hampir saja..." ucap Sheraga terbata-bata sambil terus menarik nafas berat.
"Kau bisa berterimakasih nanti, kadet."
Di sebelah dirinya adalah seorang pria berusia empat puluh tahunan dengan seragam mirip Sheraga, baju putih dengan rompi hitam. Darah megucur dari sisi kepala botaknya hingga ke senapan di tangannya.
"Kamu terlambat kadet... Lady Rock sudah terkepung di sana bersama para bocah ingusan itu," ujar pria botak itu, "Sialnya gang ini buntu, tak ada harapan untuk nona besar..."
"L-Lady Rock?" tanya Sheraga bingung.
"Ya, nona kita yang bohai minta ampun..." pria itu meringis, rasa sakit pada perutnya mencegahnya tertawa. "Maafkan aku, nona..."
"Boleh aku pinjam senapanmu?" tanya Sheraga, melihat pada senapan berlaras pendek di samping pria botak itu. Hal unik dari senapan itu adalah bentuk gangang pelatuknya yang berbentuk seperti pistol, tapi memiliki stock peredam recoil panjang serta sebuah cakram di tengah larasnya.
"Percuma, kadet. Aku hanya punya setengah drum peluru. Tidak akan cukup."
"Ini mungkin satu-satunya cara," ujar Sheraga.
Sheraga memulai dengan mematahkan laras senjata itu, membongkar bagian pelatuk senjata dan mengambil bagian pemicunya. Kemudian ia membongkar cakram senapan yang ternyata berisi puluhan peluru kecil.
"Senjata itu mahal, tahu," tegur si pria botak. "Ah... tapi nanti kita juga bakal mati. Apa gunanya?" ucap pria itu, lalu menutup kepalanya dengan sebuah topi fedora hitam.
"Sudah jadi!" ujar Sheraga, menggenggam cakram senapan. "Makan ini, mafia!"
Sang alkemis keluar dari perlindungan dan melemparkan cakram di tangannya. Para mafia terpancing oleh cakram yang dilempar melambung dan mulai membidik pada cakram itu. Namun mereka tidak menyangka bahwa Sheraga berencana untuk maju.
Sheraga melompat maju ke kerumunan mafia itu, menarik salah satu mafia dan meletakan bilah pedangnya pada leher mafia, menjadikannya sebagai sandra.
"Jangan menembak! kalau tidak..."
Sayangnya para mafia tidak merasa iba pada sesamanya. Rentetan peluru menghujam mafia tak bernama di tangan Sheraga, tak mempedulikan teriakan teman mereka yang menanggung peluru-peluru itu.
Namun karena perhatian mereka terlalu fokus pada Sheraga, mereka tidak menyadari cakram yang melayang tepat setinggi kepala mereka. Cakram itu meledak, melemparkan serpihan-serpihan peluru di dalamnya pada para mafia.
Beruntung para mafia tidak menembak cakram itu ketika Sheraga melemparnya, jika tertembak, bisa saja cakram itu meledak lebih awal. Kini sang alkemis membuang mayat dari mafia yang ia pakai sebagai tameng dari ledakannya sendiri, lalu meninggalkan mayat-mayat para mafia yang telah kehilangan kepalanya.
"Apa anda baik-baik saja, Lady..."
Sheraga tertegun. Hal pertama yang ia lihat dari balik kegelapan adalah sepasang bongkahan besar yang menonjol dari seorang wanita bergaun hitam. Tiga orang pemuda, mungkin berusia lima belas tahunan keluar dari bayangan si wanita.
Salah seorang pemuda mengenakan mantel bulu pada punggung si wanita bergaun hitam, lalu pemuda yang lain mengibaskan rambut ikal sepinggang wanita itu keluar dari mantel. Sambil memainkan rambut merahnya, wanita berproperti besar itu mendekat pada sang penyelamat.
"Kerja bagus, anakku," ujar wanita itu, mendekatkan kedua properti besarnya pada Sheraga ketika menyadari arah matanya. "Akan kuberi sebuah... bonus... dobel... besar... nanti malam."
"T-Tunggu dulu, nona! A-Anda mungkin salah paham!" ujar Sheraga.
Wanita itu tertawa pelan, "Aku hanya bercanda. Yah, tidak kalau masalah bonus itu. Tapi pertama, kita harus segera keluar dari tempat ini sebelum mereka datang lagi."
==2==
Meet The Lady Rock
Lady Rock, itulah nama dari wanita yang telah diselamatkan Sheraga. Ia membawa Sheraga pada sebuah mansion bergaya italia zaman renasians dengan bentuk kastil berkubah yang menyerupai gereja. Tak lupa, kastil ini juga dilengkapi taman luas bagai padang rumput.
Kini, Sheraga dan Lady Rock berada dalam ruangan pribadi sang tuan rumah, saling menikmati secangkir teh pada sebuah meja kecil. Berbagai foto terpampang di dinding ruangannya, kebanyakan adalah gambar Lady Rock bersama anak-anak muda, bermain dan makan bersama.
"Kamu mau menyedotnya?" kalimat seduktif dari Lady Rock membuat Sheraga terperanjat.
"S-Saya tidak melihatnya, nona! Sumpah!" ujar Sheraga.
Lady Rock kembali tertawa pelan, "Maksudku, perlukah kuambilkan sedotan? Untuk tehmu tentunya," ujar Lady Rock, menggoyangkan kedua properti besarnya untuk menggoda Sheraga.
"Nona, saya akan berterimakasih jika anda bisa menghentikan lelucon ini," pinta Sheraga, berusaha mengalihkan pandangannya pada foto-foto di di dinding.
"Kamu terganggu, sayangku?" tanya Lady Rock, "Berarti kamu melihatnya, dong?"
Sebuah ketukan terdengar dari pintu ruang. Lady Rock mempersilahkan si pengetuk pintu masuk, lalu masuklah tiga orang pemuda yang tadi bersama Lady Rock. Dua pemuda yang masuk lebih dulu memiliki wajah dan gaya rambut seperti mangkuk terbalik, diikuti pemuda terakhir tak berambut.
"Kalian baik-baik saja, Hasan? Husen?" tanya Lady Rock.
Pasangan kembar itu hanya menggangguk, lalu salah seorang menyerahkan buku di tangannya pada Lady Rock, sedangkan yang lain menyerahkan sebuah bolpoin.
"Kami sudah menelusuri arsip anggota seperti yang anda minta. Nama Sheraga Asher tidak pernah ada di daftar anggota kita," ujar si pemuda botak.
"Kenapa rambutmu, Olbeck?" tanya Lady Rock. "Kemana perginya rambut Mohawk yang kamu banggakan itu?"
"Terbakar serpihan granat tamu kita," ujar si pembuda botak. "Tapi saya benar-benar kagum. Kata pak Deringham, tamu kita membongkar cakram peluru senapan thompsonnya dan melepas mesiu pelontar dari masing-masing peluru untuk dijadikan sebuah granat."
"I-Itu hanya kebetulan, kok!" ujar Sheraga, "lagipula siapa yang akan kalah melawan mafia kelas teri?"
Mata Lady Rock melebar mendengar pernyataan itu, "Ya ampun, sayangku. Itu kata yang kasar..."
Suara kokangan pistol terdengar dari belakang Sheraga. Alkemis itu tidak mengerti kenapa, tapi pastinya waktu minum teh sudah selesai.
"Perkataanmu menyayat hatiku, sayangku," ujar Lady Rock. "Jadi maksudmu anak buahku lebih lemah dari "mafia kelas teri" yang kita temui tadi?"
"Anak buah?"
"Ya. Apa kamu baru datang ke Little Itally, sayangku?" tanya Lady Rock. "Biarkan saya memperkenalkan diri lagi."
Dari belakang kursinya, Lady Rock menarik sebuah senapan laras panjang dengan kokangan di bawah laras itu. Ia menempatkan senapan itu di pangkuannya, seperti menggendong sebuah bayi.
"Namaku adalah Lady Rock, pimpinan organisasi mafia La Roccia."
***
Mata Sheraga memicing setelah mendengar identitas asli Lady Rock. Awalnya, ia mengira wanita blasteran ini adalah seorang bangsawan, borjuis, mungkin seorang model terkenal. Namun tidak pernah terlintas pikiran bahwa Lady Rock adalah pimpinan organisasi kriminal.
"Olbeck," panggil Lady Rock pada pemuda botak di belakang Sheraga.
Keringat dingin mulai bercucuran pada tangan Sheraga. Ia meletakan tangan kanannya di atas sabuk pedangnya, bersiap untuk menebas sebelum Olbeck bisa menarik pelatuk pistolnya.
"Tolong ambilkan air panas. Teko teh kita sudah habis."
"Ya, nona," jawab Olbeck, memasukan kembali pistolnya dan bergegas keluar ruangan untuk memenuhi perintah sang nona. Kedua pemuda kembar juga ikut keluar bersama Olbeck.
"Maaf, ya sayang. Olbeck memang agak sensitif soal hal ini," ujar Lady Rock. "Dan kurasa kamu juga sensitif soal topik ini?"
Sheraga menjawab, "Ya, nona. Saya tidak menyangka anda memiliki pekerjaan seperti ini."
"Dari tatapan matamu, kurasa kamu berpikir kami adalah sindikat pembunuh dan penyuap, benar?" tanya Lady Rock. "Cobalah lihat sekelilingmu, Sheraga. Lihat dengan matamu sendiri."
Bingkai Foto. Itulah hal yang terus mengganjal pikiran Sheraga dari tadi. Ketika ia masuk ke dalam mansion, ia langsung ditemukan dengan hiasan dinding berupa senjata zaman medival dan serangkaian senapan dalam bingkai dinding di lorong mansion. Namun di ruangan ini, hanya terdapat foto.
Tersenyum di tengah foto-foto itu adalah Lady Rock, dikelilingi oleh anak-anak yang berbeda di tiap fotonya. Mereka tampak rapi dalam baju tuxedo bagi anak lelaki dan gaun hitam bagi anak perempuan. Namun yang membuat hati Sheraga berkonflik adalah sebuah cekungan di masing-masing wajah mereka, sebuah senyuman.
"Anak-anak itu adalah anakku, Sheraga," ujar Lady Rock, kini bernada tegas. "Keluarga La Roccia memungut mereka dari jalanan Jakarta. Kami memberikan mereka rumah, pakaian dan tujuan hidup. Pak tua Deringham yang menyelamatkanmu adalah salah satunya, aku ingat ketika dia mencopetku dua puluh tahun lalu."
"D-Dua puluh tahun lalu?"
"Ya, waktu itu Deringham masih seusiamu. Aku bahkan masih remaja. Saat itu almarhum ayahku memungutnya dari jalanan dan hatinya semakin iba ketika tahu begitu banyak anak jalanan di ibu kota negara makmur ini. Bahkan, pesan kematiannya adalah supaya aku memungut setiap anak jalanan yang kutemui."
Sheraga menenggak ludahnya. Ia pernah mendengar orang baik berbuat jahat, tapi tidak pernah sekalipun ia mendengar orang jahat berbuat baik. Tidak, kalau nona di hadapannya memang orang baik, kenapa Sheraga melabelkannya dengan "orang jahat" seperti caranya melabelkan para mafia?
"Dengarkan aku Sheraga. Negeri ini indah, tapi tidak tertata rapi dan orang-orangnya terlalu malas merapikannya. Suka atau tidak, tapi Negeri tak terarah ini adalah rumahku dan aku mencintai baik keburukan atau kebaikannya," terang Lady Rock. "Jadi maukah kamu bergabung dengan kami, keluarga La Roccia? Untuk ikut memperbaiki negeri ini."
==3==
Panji Sang Polisi
"Lapar..."
Rintihan familiar itu kembali terdengar di salah satu jalan sepi perkampungan Little Itally. Seekor domba sedang menggendong pemiliknya, Reverier bernama Nora, yang terbujur lemas di balik selimut lusuhnya.
"Apa anda mau ikut berbuka puasa, nona?"
Nora mengikis selimut yang menutup kepalanya. Beruntunglah dia, trotoar tempatnya berada tidak memiliki lampu jalan. Di hadapannya adalah seorang pemuda berseragam hijau yang sedang menggenggam sebuah bungkusan kertas minyak.
"Berbuka?" tanya Nora, tidak mengerti apa yang dimaksud lawan bicaranya.
"Oh, maaf. Maksud saya, maukah anda makan bersama saya?" tawar pria itu lagi.
Mengingat kondisi perutnya, tidak mungkin Nora menolak. Ia segera turun dari dombanya dan menerima bungkusan dari si pemuda.
"Mari nona,"Pemuda itu mempersilahkan, lalu duduk bersila di sebelah domba Nora.
Sang tinta hitam ikut menirukan, duduk bersila di lantai trotoar yang dingin. Nora terus memperhatikan si pemuda berseragam hijau, bagaimana ia membuka bingkisannya dan bagaimana pemuda itu memakan santapannya.
Segempal nasi, tiga persegi coklat dan satu kubus kuning. Selain nasi, Nora tidak pernah melihat makanan seperti ini. Dibukanya bingkisan itu, lalu mengambil secuil nasi di tangan kanan dan tangan kiri mencapit salah satu persegi coklat. Nasi masuk ke mulut lebih dulu, kemudian persegi coklat digigit sebagian. Begitu ia ulangi sampai semua isi bingkisan itu habis.
"Mbak baru datang ke Bekasi?" tanya pemuda di sebelahnya.
"Ya... begitulah," jawab Nora, lebih tenang dari sebelumnya. "Terimakasih. Aku benar-benar lapar tadi.."
Namun auman dari perut Nora berkata lain. Sudah jelas makanan asing berporsi sedikit tidak mungkin bisa menggantikan rutinitas makan dagingnya yang jumlahnya tak biasa.
Si pemuda tertawa pelan,"Anda masih lapar?"
Nora memalingkan pandangannya karena malu. Serakus-rakusnya Nora, ia juga akan malu ketika meminta lebih saat dikasihani.
"Mbak boleh ambil punya saya," pemuda itu menggeser bingkisannya, meletakannya di hadapan Nora.
"Lho? Kamu nggak makan?" tanya balik Nora, menyadari yang tidak lengkap hanya seperempat nasi dan satu persegi coklat.
"Saya bisa ambil dari pos lagi, kok," ujar si pemuda. "Anggap saja amal dari saya."
"Kamu nggak terdengar yakin," ujar Nora, mulai mengambil nasi. "Sedang mengalami masalah?"
"Ah... tidak usah, mbak. Nanti malah ikutan galau."
"Paling tidak aku akan mendengarkan keluhanmu. Sebagai ganti nasi ini," ujar Nora.
Pemuda itupun menghela nafas, "Baiklah. Bagaimana kalau aku mulai dengan diriku sendiri?"
Pemuda itu mulai memperkenalkan diri sebagai Panji Budiman. Panji yang berarti tanda kebesaran dan Budiman yang memiliki arti berbudi, seperti yang selalu diterangkan kedua orang tuanya.
Ketika menginjak usia delapan belas tahun, ia mendaftar menjadi seorang polisi. Namun karena kurangnya pengalaman dan pendidikan, Panji ditempatkan pada Satuan Polisi Pamong Praja.
Panji mengharapkan sebuah pengabdian supaya ia bisa memenuhi nama pemberian orang tuanya, menjadi simbol kebaktian. Namun kenyataan tidak semanis harapan. Bukannya merasa berbudi dengan melakukan kebaktian, Panji malah merasa bersalah dikarenakan tugas-tugasnya untuk mengayomi masyarakat.
Misalnya saja, siang hari ini. Ia telah bekerja seperti seharusnya, menyingkirkan pedagang kaki lima yang menggunakan jalan umum. Ia telah melakukan tindakan yang benar, tapi para pengguna jalan yang seharusnya diuntungkan tidak tampak senang.
Mereka memalingkan pandangan, seakan sedang melihat suatu tindak kejahatan, mencoba sebisa mungkin tidak mau ikut campur. Bahkan salah satu pejalan kaki dengan lantang menyatakan bahwa dia dan satuannya telah mematikan hak warga yang seharusnya dilindungi.
"Bekerjalah sekuat tenaga untuk orang-orang yang takkan berterimakasih."
Nora yang menyela cerita Panji, menghentikan kunyahannya sejenak.
"Ditempatku berasal, ada satuan hukum yang menetapkan prinsip itu. Mereka kolot, tidak kenal kompromi dan meletakan hukum di atas semuanya, tapi berkat mereka jarang terjadi tindak kriminal. Sayangnya orang-orang melihat mereka sebagai perusuh yang hanya mengandalkan kekuatan, tidak berbeda dari dedenggot jalanan."
"Sudah jelas aku tidak mau menjadi seperti mereka," ujar Panji.
"Lalu ada satuan hukum di tempat lain yang meletakan orang-orang di atas hukum mereka," lanjut Nora. "Mereka selalu membagikan uang dan makanan, membiarkan penduduknya bekerja dengan cara sah apapun dan menempatkan keselamatan penduduknya di atas hidupnya sendiri."
"Itu terdengar seperti negeri yang makmur," ujar Panji.
"Namun kebaikan satuan hukum itu malah dimanfaatkan penduduk yang mereka layani. Para penduduk menjadi malas bekerja dan tidak mau mematuhi hukum karena dibiarkan berbuat sesuka hati, sehingga satuan hukum itu dibubarkan."
Kini Panji terdiam.
"Menurutmu mana satuan hukum yang lebih baik? Satuan hukum kepatuhan dan diktatorat ataukah satuan hukum simpatisan dan terkhianat?"
Panji langsung menjawab, "Sudah jelas yang..."
"Kedua-duanya salah," potong Nora. "Satuan hukum diktatorat gagal melindungi penduduknya dari rasa takut terhadap satuan hukum itu sendiri, sedangkan satuan hukum simpatisan gagal melindungi penduduknya dari diri mereka sendiri."
"Rumit juga, ya... Kalau kita bertindak dingin, kita akan dianggap kasar. Kalau bertindak hangat, kita malah dimanfaatkan," gumam Panji. "Lalu satuan hukum seperti apa yang benar?"
"Satuan hukum yang tidak menyesali tindakannya," jawab Nora. "Kamu tidak akan bisa memuaskan setiap orang. Pahamilah itu."
Mata Panji terbelalak. Ia memiringkan wajahnya, melihat gadis di sampingnya sedang mendongak ke atas, mengamati bintang-bintang.
"Bertindaklah setegas yang kau bisa, tapi jangan lupa untuk berbuat baik supaya penduduk tetap mempercayaimu, "tambah Nora. "Misalnya seperti nasi bung..."
"Mbeek..."
Bingkisan di depan Nora telah habis dimakan si domba. Dengan penuh amarah, Nora menunggang ke punggung si domba dan mengalungkan lengannya, mengunci leher si domba. Si domba memekik panik, mulai berlarian ke sana-kemari sambil berusaha menahan kendali.
Panji bengong di tempat, masih shock melihat kelakuan Nora setelah mendapatkan ceramah. Tak diketahui olehnya, sebuah bola ungu tengah mengintip Panji di antara rambut pendek Nora, tetap terfokus meskipun si domba menggoyang-goyangkan Nora berkali-kali.
Pada akhirnya si domba menabrak sebuah dinding, melontarkan majikannya ke dinding yang sama pula. Panji segera menghampiri, hendak menolong Nora berdiri.
"MBEEK!"
Satu tarikan dan tertariklah selimut Nora. Dengan lahap si domba menelan kain itu, mengunyahnya secepat mungkin. Nora tak mau kehilangan selimut penghalang cahaya miliknya, segera menangkap ujung selimut itu dan berusaha menariknya keluar dari mulut si domba.
Sang petugas muda memekik dalam bahasa arab, kaget dengan penampilan Nora di balik jubah selimutnya.
"Eh... Ehm... M-Mbak kalau nggak keberatan, boleh saya tahu pekerjaannya mbak?" tanya Panji, berusaha mengalihkan pandangannya dari pakaian Nora yang seakan menjadi kulit keduanya.
"Aku masih sibuk!" seru Nora, masih berusaha menarik selimutnya.
"I-Ini penting! Tolong jawab, saya akan membantu setelahnya!"
"Ah! Ribet! Aku melakukan apapun untuk uang!"
"A-Apapun? B-Bisa lebih spesifik?"
"Apapun! Ngelap, nyuci, makan, minum, menemani client..."
Panji tersentak mendengar jawaban Nora, langsung mengambil radio di sabuknya,"H-Halo? Pak Pengatur? Ini saya, Panji, pak!"
"Panji! Dimana saja kamu! Enak saja pergi selagi yang lain bagi-bagi nasi bungkus!" bentak suara marah dari radio tersebut.
"Maaf, mbak Nora, tapi ini demi kebaikanmu sendiri!" seru Panji lantang. "AKU MENEMUKAN KUPU-KUPU MALAM, PAK!"
==4==
The Shared Trust
"Aku bukan kupu-kupu malam... serius..."
Malang sekali nasib Nora. Setelah Panji berteriak pada radio di sabuknya, sebuah truk bersirine mendatangi tempat mereka berada. Cahaya terang dari lampu truk membuatnya memekik takut dan berusaha kabur, tapi tangannya ditangkap oleh Panji, petugas yang baru saja diceramahi.
Kini, gadis malang itu hanya bisa menangis sambil meringkuk di sudut tergelap bak truk, berusaha menghindari cahaya sirine. Salah satu petugas memanjat naik ke dalam bak truk, ternyata itu adalah Panji.
"Mbak, maaf. Seperti kata mbak sendiri, saya harus..."
"Aku bukan kupu-kupu, panji... Aku bukan orang cabul... kenapa kamu sekejam ini?" ujar Nora sambil menangis.
"H-Habis pakaian mbak sendiri ketat seperti itu! Saya mengira mbak itu penari stri..."
"AKU NGGAK SEBEJAD ITU!" bentak Nora, mengeraskan tangisannya. "Aku tahu baju ini memalukan! Tapi gara-gara kurator itu mengambil respirasiku aku jadi nggak bisa buat baju biasaku! Menurutmu kenapa aku bawa-bawa selimut segala?!"
"L-Lalu, pakaian apa yang anda pakai? S-Sudah jelas pakaian seperti itu hanya digunakan kalau nggak film ya..."
"...diving."
Panji dan Nora menoleh ke pintu bak, menyadari sosok gadis berambut biru di sana.
"Boleh aku perkenalkan diri?" tanya gadis berambut biru itu, mengeluarkan sebuah kartu dari saku jaket parka kelabunya. "Namaku Alpacapone Inysdopemus dan kamu baru saja menangkap kenalanku."
***
"Delapan, Diamond."
"Jack, Diamond."
"Jack, Spade."
"King, Spade."
"As, Spade. Kurasa aku menang kali..."
"Plus empat. Sekarang tarik empat kartu, berikutnya aku memilih warna merah."
Pria bertopi koboi hitam itu kembali dibuat bengong oleh wanita berblazer hitam dihadapannya. Ia menghentakan tangannya pada meja, melayangkan semua kartu di meja kayu.
"Ru Ashiata, Kita sedang bermain remi, bukan UNO!" seru pria berompi hitam itu, Arca adalah namanya.
"Oh... jadi kita tidak sedang bermain UNO?" tanya polos Ru, lalu membalik selembar kartu di tangannya yang ternyata As Spade. "Jadi pasti kita bermain menambah kartu dalam deck?"
Dengan mendesis, Arca menarik kembali kartu Asnya, menyimpannya pada kemeja putih di balik rompi hitamnya. Sebenarnya ia juga memiliki sebuah Trench Coat hitam, tapi sayangnya jaket itu berada di genggaman Ru karena kalah ketika pertama kali bermain. Sialnya, ia baru tahu Ru bermain curang setelah dua kali permainan.
Kini ia kembali menata kartu, mengocoknya untuk memulai permainan baru.
"Ayolah, sebelum kita bertanding kamu memamerkan cerita mendapatkan jantung abadimu sebagai judi terbesarmu, tapi kurasa itu juga bohongan, kan?"
Arca mendecak, kesal dengan wanita jahil di hadapannya. Dalam satu kesempatan ia memfokuskan ajiannya pada salah satu jarinya dan menembakan salah satu kartu dengan kecepatan tembakan peluru pada lawannya.
"Phosporoso."
"Ya, tuanku."
Sekelebat cahaya melintas di antara kedua pemain kartu itu, berubah menjadi sebuah tangan yang menangkap kartu Arca. Pemilik tangan itu tidak lain adalah Phosporoso, seorang pria tua dengan setelan jas dua warna merah di sisi kanan dan putih di sisi kiri.
"Maaf, pak Arca. Selama dalam kedai, pelanggan dilarang untuk bertarung dengan pelanggan lain," sang pemilik kedai berbicara dari balik meja panjangnya. "Namun kuberi satu lagi sempatan. Satu lagi insiden dan kau akan dikeluarkan. Bura..."
"Bura?" Arca dan Ru bertanya-tanya akan imbuhan aneh non imut itu. Apapun alasannya, itu cukup membuat sang pemilik kedai menutup mulut dan membanting kepalanya ke meja berkali-kali karena malu.
"Sudah selesai main kartunya?"
Keduanya menoleh ke sisi kiri meja, dimana telah hadir seorang gadis berjaket abu-abu dan gadis lain yang menutup dirinya dengan jas hujan. Alpacapone , atau sering dipanggil sebagai Al saja, adalah gadis yang telah mengumpulkan mereka semua di kedai ini.
"Siapa temanmu ini? Anteknya Huban?" tanya Ru, menyadari kesamaan warna dan tipe pakaian yang dikenakan dengan si kepala bantal, minus bantalnya.
"Babu baruku," ujar Al. "Ini anggota terakhir kita yang datang terlambat, namanya Nora dan pekerjaannya adalah penari str..."
Nora langsung menutup mulut Al, "Bukan! Bukan!"
Dari sakunya, Al menampakan kartu katalog milik Nora. Melihat kartu itu di genggaman Al, Nora langsung melepas tangannya. Ia tahu apa yang akan terjadi jika mood Al menjelek.
"Seperti yang kalian lihat, dia berada pada genggamanku," ujar Al, "Seperti seorang babu."
"Darimana kamu mendapat kartu itu?" tanya Nora.
"Seekor domba yang baik hati memberikannya padaku setelah kuberi sebungkus nasi," jawab Al. "Domba yang malang. Pemiliknya telah memperlakukannya dengan sangat kejam. Bahkan ia memelas kasih pada pejalan kaki yang lewat."
"Domba itu..." Nora bergegas keluar dari kedai.
"Nora," panggil Al. "Masih ingat siapa yang memegang kartu lo?"
"E-Emi... Tolong aku..." tangis Nora seraya kembali ke kursi ketiga orang tadi dan bergabung dengan mereka.
Al menyimpan kembali kartu Nora, lalu mengeluarkan sebuah file map berwarna hitam dengan tulisan "Rencana Penyelamatan".
"Gue nggak tahu awal kalian gimana," Al memulai. "Waktu gue sampai ke bingkai mimpi ini, gue muncul di rumah mafia Perfectamundo."
"Dan kamu dijadikan mainan oleh mafia itu?"
Ketiga orang lain di meja itu menatap Ru dengan jijik, tapi wanita blazer hitam itu malah balik menertawakan reaksi mereka yang begitu kompak.
"Kamu mau penulisnya dikejar-kejar Komisi Penyiaran Antar Realm?" tanya Nora. "Kalau ceritanya nggak selesai aku nggak bakal ketemu Emi!"
"KEMBALI ke ceritaku," seru Al. "Pak tua pemimpin mafia itu memberiku sebuah misi."
Al membuka berkas hitamnya, mengambil tiga buah foto. Foto pertama merupakan seorang remaja berambut mohawk, sedangkan kedua foto yang lain adalah sepasang remaja kembar berambut Bowlhead.
"Pak tua itu kehilangan salah satu putranya, bocah mohawk ini, beserta dua teman kembarnya. Misiku adalah menyelamatkan bocah mohawk dan dua temannya dari mansion pusat operasi mafia saingan Perfectamundo, La Roccia," jelas Al.
"Omong kosong," potong Arca. "Aku sama sepertimu, masuk ke bingkai dan keluar di dekat mansion Perfectomundo. Yang aku dengar adalah seorang gadis berambut biru tertangkap dan dibawa ke ruang introgasi."
"Uhehehe... jadi teman kita Alpacapone disini beneran dijadikan mainan?" tambah Ru.
"Tolong jangan buat lelucon itu lagi... nanti ceritaku bisa diblokir..." pinta Nora.
"Yah, bagaimana kalau kita bicarakan imbalan yang mereka sajikan untukmu, Alpacapone ?" tanya Arca.
Nora sudah lebih dulu menyumbat mulut Ru dengan Inknya dan mulai bergulat di lantai dengan wanita berblazer hitam itu karena tahu Ru akan menembakan lelucon dewasa lagi.
Alpacapone mendesis, "Mereka ngambil kartu gue. Puas?"
Arca tertawa angkuh, "HA! Sudah kuduga. Lalu apa imbalan yang kami dapat dengan membantumu mendapatkan kartumu?"
"Jangan kira gue orang bokek."
Al memamerkan sebuah kartu mengkilat di tangannya. Itu jelas bukan kartu katalognya, tapi kartu plastik itu membuat mata Arca memicing serius.
"Gimana kalau gue sebutin semua kemampuan gue?" terang Al. "Gue bisa beli barang dari toko antar dimensi, sekaligus bayar loe DAN semua ketrurunan lo kalau gue mau pake kartu ini! Gue keturunan nephilim, jadi nggak pernah lupa apapun! Gue pandai berbohong dan bisa beladiri!"
"Heh... sombong sekali," kekeh Arca. "Baiklah. Aku ikut."
"H-Hei, babunya Al. Bisa tolong lepaskan aku?" pinta Ru, menyadari Ink Nora telah mengunci pergerakannya.
"Nggak!"
"Apa aku harus mulai mendesah?" tanya Ru dengan senyum picik. "Ah~ Nora! Jangan di situ! Ah~ tidak! Tidak! Aku..."
"NNNGGGAAAKKK!!!!"
"Dan sebagai imbalan tambahan," Al mengelurkan kartu lain, kartu katalog milik Nora, "Orang yang bertarung paling memuaskan akan gue kasih kartu ini!"
"Itu kartuku!" seru Nora, melepas lawan gulatnya dan kembali duduk di meja. "Aku ikut! Harus ikut!"
"Eh gila... sudah ada kartu ATM pakai kartu Katalog juga. Main kartu-kartuan kayak pak Zukoui saja," canda Ru.
"Lebih baik kamu memilih sisi juga, Ru," ujar Al. "Karena peserta harus masuk salah satu faksi."
"Sebentar. Aku perlu memastikan dulu," potong Ru. "Kemampuan mana yang sudah kembali padamu?"
"Kembali, maksudmu inspirasi konyol itu? Aku tidak akan lupa kemampuanku sama sekali,"terang Al.
Ru menggeleng, "Salah satu kemampuanmu adalah berbohong, kan? Tapi aku tidak mendengar satupun kebohongan."
Alpacapone tak mengatakan apapun, membeku beberapa saat seakan mencoba untuk memproses perkataannya. Akhirnya gadis berambut biru itu berteriak spontan, "Lho? K-Kok? Tumben gue nggak bisa bohong?"
"Dia pasti lupa cara berbohong," kekeh Arca lagi.
"Nama gue Alpacapone ! Satu tambah satu dua! Lazuardi di BoR 4 jadi mualaf! Ratu Huban berkepala bantal!" pekik panik Ru, berusaha berbohong soal fakta-fakta yang ia ketahui, tapi hasilnya nihil.
"Bagaimana dengan kartu kebanggaanmu?"
Arca merebut kartu plastik yang masih di tangan Al dan memanggil ke meja pemilik kedai, "Hei! Apa kalian masih menerima pembayaran dari mata uang kartu ini?"
Si pemilik kedai menangkap kartu Al, lalu menggesekannya pada mesin kasirnya, "Sayangnya, iya. Ada saldo 30000 G di dalamnya. Dia bisa saja mentraktir kalian semua."
Alpacapone menghela nafas, "U-Untung yang satu itu masih bisa."
"Cih... kalau ada uang. Ada jasa," ujar Arca. "Bagaimana dengan kau, Ru?"
Ru menghela nafas, "Yah... kalau aku masuk faksi La Roccia jadi 2 lawan 3, nggak menguntungkan. Aku masuk sini saja, supaya jadi 4 lawan 1."
"Baiklah! Sudah kita putuskan!" seru Al. "Naik ke domba-domba kalian! Kita bergegas menuju mansion La Roccia sekarang juga, tim Black Lambs!"
Suasana meja itu tiba-tiba menjadi sunyi.
"Halo? Tim Black Lambs!" seru Al.
"Eh... kita nggak bakal kena copyright claim dari meg*xus, kan?" tanya Ru, "Lagipula kita kurang satu cowok dan satu loli trap."
==5==
Team! Dissamble!
Malam hari membuat mansion La Roccia semakin gelap. Dari luar pagarnya, mansion itu hanya terlihat setelah padang kebun yang berpuluhan hektar luasnya. Namun jarak yang luas itu bukanlah halangan bagi terjangan keempat domba mimpi Reverier.
"Terlalu sepi," ujar Arca. "Aku tidak melihat penjaga di depan mansion ataupun di atapnya."
"Mungkin kita saja yang tidak melihat mereka," terka Nora. "Lagipula, bagaimana kita bisa tidak terlihat jika domba ini begitu cepat!"
Berhentilah keempat domba Reverier di depan tangga masuk mansion La Roccia. Benar kata Arca, mansion ini terlalu sepi. Mereka bergegas turun dari domba mereka, mengendap menuju pintu besar mansion. Para domba segera bersembunyi, tak ingin mengacaukan pertarungan tuannya.
"Nora, bukannya ini saatnya untuk melepas jas hujan itu?" tanya Alpacapone . "Atau mungkin kamu suka bercosplay jadi Huban?"
"Tidak!" seru Nora. "Harusnya kamu tahu! Kamu sudah melihat kartuku,kan?"
Ru meringis, "Kamu bakal jadi sangg..."
"NNNGGGAAKK!!!"
"Berhenti bercandanya!" perintah Alpacapone . "Bawa kartu kalian. Kalau ada yang menemukan kartu itu bersama domba kita, itu bisa jadi masalah."
***
Rencana awal mereka adalah mengendap. Mereka jelas tahu bahwa dari segi kekuatan, tidak ada satupun di tim ini berada pada kekuatan maksimal dikarenakan hilangnya inspirasi kemampuan. Jika melawan La Roccia secara terang-terangan, besar kemungkinan mereka akan kalah jumlah.
Namun Arca tidak peduli. Ia langsung menendang pintu besar mansion, membukanya selebar mungkin. Para mafia berseragam hitam yang sedang bermain poker di aula depan tersentak akan serangan tiba-tiba ini.
Beruntung para mafia ini berkumpul pada satu meja saat sedang bermain, jadi ini akan mempermudah Arca. Ia segera melompat ke meja poker sebelum siapapun sempat menembak, lalu menggenggam salah satu mafia dan memutar sambil menghantamkan mafia itu pada teman-temannya.
"Lemah," ledek Arca.
Rencana awal mereka sudah kacau karena satu orang. Tim Black Lambs terpaksa masuk dan harus menemukan anak-anak yang dicari sebelum mafia lain menyadari keberadaan mereka.
Di aula berlantai marmer putih ini, mereka bergegas menuju koridor di depan pintu masuk, meskipun Alpacapone lebih tertarik naik ke tangga di sisi kiri dan kanan pintu koridor karena membawa ke sebuah balkon di lantai dua.
"Tembak mereka."
Sederetan tembakan terdengar dari pintu masuk. Arca berbalik, menghempaskan pukulan ajiannya untuk memantulkan peluru yang datang. Namun bahaya belum surut, karena pria-pria berseragam hitam telah menyergap dari pintu masuk.
Puluhan mafia La Roccia bersenjatakan thompson, submesin khas mafia, berhamburan masuk ke dalam aula. Mereka bergegas, membentuk barisan penembak, tak menyisakan satpun ruang kosong.
"Kalian sudah terkepung, sewaan Perfectomundo," ujar seorang mafia berusia empat puluh tahunan, "Atas nama Lady Rock, aku, Deringham La Roccia akan menghentikan kalian di sini."
"Kalian, pergilah dulu," ujar Arca. "Aku akan menangani ini."
"Mati yang cepat, ya!" seru Ru.
Tanpa sepatah kata dari anggota lain, mereka bergegas masuk ke dalam koridor, meninggalkan Arca yang berdecak kesal sendirian. Paling tidak dia mengharapkan kalimat "Sampai jumpa lagi", bukan "Mati yang cepat, ya!". Arca menambahkan catatan dalam batinnya untuk membunuh Ru nanti.
"Yah, semoga gadis berambut biru itu menepati perkataannya," gumam Arca. "Atau kubuat dia membayar lebih."
Deringham, pemimpin barisan mafia itu tertawa nyengir, "Bodoh sekali. Apa yang bisa dilakukan satu orang melawan kami? Pasukan, tembak!"
***
Alpacapone , Ru dan Nora telah meninggalkan Arca di aula depan untuk melawan mafia La Roccia. Tidak ada tangis, tidak ada seduhan. Hanya ada suara cekikikan dari Ru dan Al yang membuat lelucon soal Nora dan sesekali menarik tudung jas hujannya untuk membuat Nora menggigil ketakutan.
Alpacapone berhenti sejenak, tampaknya menyadari jumlah senjata api di dinding koridor yang terlampau banyak. Ia memecahkan salah satu bingkai senjata api dan berniat memakainya nanti, sialnya senjata itu tidak dibingkai bersama pelurunya, sehingga ia menjadi lawakan Ru lima menit ke depannya.
Namun langkah ketiganya terhenti karena seorang pria berseragam hitam yang berdiri di depan pintu ujung koridor. Tidak seperti mafia lain yang memakai senapan api, pria ini tidak membawa senapan sama sekali, bahkan hanya membawa sebuah pedang yang tersabuk di pinggangnya.
"Namaku Sheraga Asher. Aku adalah seorang Reverier, sama seperti kalian," ujar pria itu. "Kalau tidak salah, kalian adalah Ru, Alpacapone dan peserta yang terlambat, Nora, kan?"
"Ya, benar. Aku juga masih ingat wajahmu," ujar Ru. "Kamu berada di sisi Lady Rock, ya?"
Sheraga mengangguk, menarik pedangnya keluar. Dari ketiga gadis reverier, hanya Ru saja hanya mengambil langkah maju dan mencabut dek kartu remi dari sabuknya.
"Ya ampun. Kau ini serius melawan tiga orang secara bersamaan?" tantang Ru.
"Nora dan Alpacapone . Kalian dipersilahkan bertemu dengan Lady Rock," ujar Sheraga.
"Aku tidak yakin kau akan membiarkan kami lewat begitu saja," ujar Nora.
"Perintah Lady Rock," ujar Sheraga. "Tapi kau, Ru. Kau masih ada urusan denganku."
Sejenak, Ru menghadap kedua rekannya lagi. Ia merentangkan tangannya lebar-lebar, menangkap dua gadis itu dalam pelukannya.
"Pergilah, Al, Nora," ujar Ru, melepas pelukannya. "Aku akan menyusul nanti."
Nora dan Alpacapone segera melewati pintu di belakang Sheraga. Mekanisme pintu itu segera menutup dengan sendirinya, mengunci kedua reverier itu dalam ruangan.
==6==
The Big Lady and The Small Ladies
Suasana ruangan seorang Boss selalu menjadi misteri, tapi semuanya memiliki kesamaan, yaitu mereka selalu dikunci dengan hati-hati. Begitulah yang Nora pikirkan ketika memasuki ruangan di ujung koridor itu, jadi ia sempat mengira akan sampai di ruangan pribadi milik Lady Rock.
Namun yang ada di hadapan mereka adalah sebuah ruangan yang diterangi beberapa kandelir di langit-langit beserta sebuah meja panjang yang sisinya dipenuhi oleh kursi-kursi kosong. Di tengah kursi-kursi kosong tersebut, ada satu kursi yang berukuran lebih besar dari yang lain, bahkan seperti sebuah takhta. Dan di singgasana itulah, Lady Rock duduk sambil mengiris steak sapi di hadapannya.
"Selamat datang, nona- nona," sahut Lady Rock. "Kebetulan aku sedang makan malam, maukah kalian bergabung?"
"Jangan dengarkan dia!" seru Nora. "Dari penampilannya saja kita tahu dia adalah tipe manipulatif. Ia akan mencoba mempengaruhi pikiran kita dan menjadikan kita kaki tangannya!"
Alpacapone menggelengkan kepalanya. Ia sudah tahu akan hal seperti itu, tapi ia tidak mengerti kenapa Nora sudah duduk di kursi meja panjang itu. Malah gadis itu bersebrangan dengan si nona besar.
"Dedenggotmu ceroboh sekali," ujar Al. "Bagaimana bisa mereka meninggalkan nona besar mereka tanpa perlindungan?"
"Ya ampun... terima kasih, lho!" Lady Rock malah tampak senang mendengar perkataan Al."Mungkin mereka meninggalkanku karena hanya ada dua gadis kecil yang ingin makan bersamaku?"
"Sayangnya "gadis" kecil ini nggak sekecil yang lo kira!"
"Ah... maaf. Aku kira ukurannya double A, ternyata masih A, ya?"
Pernyataan Lady Rock membuat Al naik pitam, sedangkan Nora lebih mengutamakan makanan daripada pembicaraan dua wanita ini. Sepasang pelayan kembar datang mengantar makanan, meletakannya di meja makan dan pergi tanpa mengucap kata.
Al mengingat wajah mereka. Tidak salah lagi, keduanya adalah Hasan dan Husein, kembar yang tengah dicari Perfectomundo.
"Makan malam sudah siap, silahkan dima..."
"Ah! EGP! Gue bantai aja!"
Al mengeluarkan smartphonenya dan mulai mengetikan nomer pemanggillan toko senjata Miller, sebuah toko senjata antar dimensi yang menyediakan pengantaran lintas ruang dimensi. Tiga dering awal baru terdengar, tapi panggilan sudah terangkat.
"Miller! Gue..."
"Toko Pizza Fappi! Ada yang bisa saya bantu?"
"Eh?"
Sebuah suara asing keluar dari smartphone Al. Ia segera menghentikan panggilannya dan mencoba ulang. Namun suara riang itu kembali menggema dari speaker smartphone itu.
"Toko Pizza Fappi! Ada yang bisa saya bantu?"
"M-Millernya ada?" tanya Al gemetar, takut salah nomer.
"Miller? Miller siapa?"
"Miller si pedagang senjata."
"Pedagang senjata? Wah, salah, mbak! Kalau cari pedagang senjata cari saja mas Zarid..."
Al menutup panggilannya lagi. Ia membuka kontak miliknya, berusaha mencari nama Miller, tapi ia baru teringat kalau dirinya tidak pernah menyimpan nomer di smartphonenya karena memori ras Nephilim yang begitu kuat.
Gadis berambut biru itu tidak mengira ia akan lupa nomer Miller hanya karena "Memanggil toko Miller" tercantum sebagai salah satu kemampuan yang tercatat dalam kartu katalognya.
Kini Ia tidak punya senjata, ia juga kehilangan inspirasi kemampuan bela diri yang pernah ia pelajari. Singkatnya, ia hanya seorang gadis kecil.
Tidak Tunggu dulu. Aku masih punya senjata ampuh.
Dari kantongnya, Al mengeluarkan sebuah kartu mengkilat, kartu katalog milik Nora. Gadis berjaket abu-abu itu tahu, dengan kartu ini, ia dapat membalik keadaan.
Dengan lantang, Al merapal, "Atas perintah kartu katalog, Nora! Kuperintahkan kau untuk menyerang Lady Rock!"
"Nggak. Aku masih ngunyah daging enak ini," tolak Nora.
"Gue robek, lho!"
"Iya! Iya! Iya!" pekik Nora panik.
Kilatan kuning jas hujan Nora melompat pada Lady Rock yang masih sibuk mengambil satu persatu bagian steaknya dengan garpu. Namun seolah telah berada di sana dari awal, seorang bocah botak keluar dari balik tahta Lady Rock, siap membidik Nora yang tengah melayang di udara.
Shotgun di tangan bocah botak itu menembakan peluru pencarnya hingga melubangi jas hujan Nora. Sayang yang dikenainya hanya sebuah jas hujan karena Nora masih di kursinya, baru berdiri semenjak kemunculan bocah itu.
"Olbeck sayang," Lady Rock memanggil kepada bocah itu, bernada kecewa. "Ingat yang kuajarkan soal menembak?"
"Cari target, bidik, tarik pelatuk," bocah bernama Olbeck itu mengucapkannya kaku.
"Pintar. Sekarang, bisa kamu tembak gadis-gadis itu? Dimulai dengan yang rambut hitam."
Nora merentangkan lengannya ke samping, sedangkan tangannya ia bungkus dalam Ink dalam bentuk meruncing.
Jika bocah itu hendak menembak, Nora siap untuk mencabuk ke sebrang meja dengan lengan yang telah dibentuk seperti cambuk itu. Nora tahu bentuk ini tidak sekuat cambuk yang biasa ia buat, tapi inilah satu-satunya cara bertarung yang ia ketahui tanpa membentuk senjata dari Ink.
Dengan nada seduktif khasnya, Lady Rock memanggil, "Hasan, Husein. Apa kalian ingin bergabung bersama kami?"
Dua bocah yang menyiapkan meja makan kembali dari sisi kanan dan kiri meja. Keduanya membawa Thompson, senjata khas para mafia.
"Nora, sebisa mungkin jangan sakiti mereka," pinta Alpacapone . "Olbeck, Hasan, Husein. Ketiga anak itu adalah taget misi kita!"
"A-Apa?!" pekik Nora panik, "Kalau mereka di sisi perfectomundo, kenapa mereka melindungi Lady Rock?"
"Pencucian otak. Hanya itu kemungkinannya, apalagi dengan tubuh vulgarnya," terang Al.
"Perkataan yang kasar, nona kecil," sahut Lady Rock.
Nona besar itu berdiri dari kursinya, lalu berjalan ke belakang Olbeck, si bocah botak. Kedua tangan halusnya memeluk Olbeck dari leher, menyilang di dada bocah itu. Satu tangan mengelus di daerah selakangan, seakan menggoda bocah yang sedang memegang shotgun itu.
"Apa itu benar, Olbeck?" tanya Lady Rock.
"Tidak, nona. Saya dan hidup saya hanya untuk anda," ucap Olbeck tanpa mengalihkan pandangan.
"Kalau begitu, aku harus ngapain?" bisik Nora pada Alpacapone yang sedang berlindung di belakangnya.
"Gunakan tubuhmu untuk mematahkan pencucian otak mereka!" seru Al. "Api harus dilawan dengan api! Begitu pula tindakan vulgar!"
"NGGAK! NGGAK! NGGAK! Aku bukan orang seperti itu!"
"Tapi bajumu berkata lain, nona kecil," sahut Lady Rock. "Coba pikir, siapa yang akan memakai baju spandex di tengah pertarungan? Aku akan lebih memilih pakai kevlar. Kecuali kalau kamu benar-benar suka dianggap penari st..."
"Emi... tolong aku..." tangis Nora, "Aku dilecehkan terus sama dua wanita ini..."
Di tengah momen teggang itu, sebuah suara nyaring menggema dalam ruangan, seperti sebuah nada musik. Ketiga bocah yang melindungi Lady Rock mencari-cari sumber suara itu. Barulah mereka mengerti ketika Al mengangkat handphonenya yang terus berdering.
Dalam hatinya, Al menyebut nama Miller. Ia tahu yang memanggilnya adalah pedagang senjata langgannannya. Segeralah ia menjawab panggilan masuk itu.
Tanpa basa-basi, Al langsung bicara, "Miller, waktu yang tepat! Aku..."
"Ehm... mbak. Ini bukan Miller, ini Fappi yang angkat tadi."
"Mati aku!"
"T-Tunggu, mbak! Jangan ditutup dulu!" seru Fappi. "Mbak masih cari pedagang senjata, kan? Kebetulan mas Zarid mampir ke kedai, jadi aku kira mbak akan tertarik."
"Halo. Zarid Al-Farabi di sini,"suara lain yang lebih terang menggantikan suara riang Fappi. "Saya dengar anda perlu mencari Miller? Sayangnya saya tidak mengenal orang ini, tapi sebagai seorang pedagang senjata, saya bisa menawarkan senjata."
"Shockgun! Bilang lo punya senjata itu!" pinta Al.
"Ya, saya punya, tapi..."
"Gue bisa bayar nanti!"
"Tetap saja, tanpa uang muka, saya tidak bisa memberikan yang standart dan..."
"Nggak peduli! Kirim saja langsung sama amunisinya!"
Dari handphone Al, Zarid menghela nafas, "Baiklah. Tolong kembalikan nanti di kedai Black Alley."
Udara dalam ruangan itu mulai bergerak, seakan tersedot ke tempat Alpacapone berada. Dari atas gadis itu, sebuah gerbang dimensi terbuka, menjatuhkan sebuah pistol dengan desain futuristik berserta empat magazin, lalu tertutup lagi seperti sedia kala.
Kedua bocah kembar mengambil inisiatif, mereka langsung menerjang ke Alpacapone , berharap bisa menghentikannya sebelum Al bisa memakai senjatanya. Namun mereka terlambat, pistol itu telah terisi dengan peluru sebelum terkirim, sehingga Alpacapone dapat menembak saat itu juga.
Dari jarak lima meter, sebuah kilatan listrik dilontarkan pistol itu, menyambar Hasan sang kakak. Sedangkan Husein, terlalu memperhatikan kakaknya yang jatuh tak berdaya, tak sempat bereaksi ketika Alpacapone mengisi ulang peluru pistol dan menembakan senjatanya. Kini si kembar tak bisa lagi bertarung.
Melihat dua temannya tersungkur di atas tanah, Olbeck menjatuhkan shotgun di tangannya. Gemetar dan takut, ia bersembunyi di belakang nona besar.
"Bukannya kau sudah keterlaluan, nona kecil?" mulai Lady Rock. "Seharusnya kau menyelamatkan mereka, tapi kau malah membunuh mereka. Apa kau benar-benar peduli dengan misimu?"
"Persetan!" Alpacapone menyalak. "Kakek tua itu kayaknya nggak terlalu peduli sama kembar ini, aku bisa bilang kau menembak mereka sebelum aku datang. Yang penting adalah bocah Olbeck yang kau botaki itu. Selama aku mendapatkannya, aku bisa dapat kartuku kembali!"
Alpacapone menarik nafas dalam-dalam. Sudah lama ia tidak bicara panjang lebar, benar-benar melelahkan.
"Oh, iya... Nora, aku ada rencana untuk mengalahkannya dengan cepat," ujar Alpacapone .
Gadis itu berjalan pada Nora yang masih terus mengawasi gerak-gerik Lady Rock. Al mengisi pistolnya dengan magazin baru, siap untuk beraksi. Kilatan listrik berpendar dari belakang Nora, lalu seketika itu, Nora tumbang– jatuh tak bergerak di lantai.
"Tapi kau harus tidur dulu."
==7==
Shatered Trust
Ruang makan itu menjadi sunyi. Tembakan terakhir dari Alpacapone diarahkan pada temannya sendiri, Nora. Gadis Ink itu terjatuh dengan mata terbuka lebar, tapi tubuhnya tidak bergerak lagi setelah tembakan itu.
"Dasar bodoh. Tidak ada satupun dari kita yang bisa dipercaya," ledek Alpacapone , melangkahi mayat Nora. "Tapi aku akan mengambil kristalmu sebagai kompensasi karena benda itu terus melototiku."
Alpacapone si gadis berjas abu-abu menunduk untuk mengambil sebongkah bola ungu di antara Ink Nora yang tercecer di lantai, mencapit bola ungu itu dengan dua jari. Namun ketika ia mengambil bola ungu itu, sebagian Ink ikut terangkat seakan lengket pada bola itu, bahkan tidak kunjung putus ketika Alpacapone telah berdiri tegak.
"Tipikal seorang pencuri," komentar Lady Rock. "Membunuh temanmu sendiri untuk perhiasan miliknya?"
"Dia sama seperti aku, seorang Reverier. Suatu saat kita akan bertemu lagi dan bertarung, jadi kupastikan kita tidak akan bertemu. Tentunya dengan membunuhnya," jawab Alpacapone .
Lady Rock tertawa mendengar jawaban Alpacapone , "Tipikal seorang pencuri, jadi apa rencanamu berikutnya?"
Kau menghianatiku?
Sebuah suara gadis mendengung di kepala Alpacapone . Gadis rambut biru itu menengok ke Nora, satu-satunya gadis selain dirinya dalam ruang makan itu, tapi ia masih terbaring di atas lantai, kaku seperti mayat.
Kenapa? Kenapa Kau Menghianatiku?
"Rock! Hentikan omong kosong ini!" seru Alpacapone .
"Hm? Apa maksud perkataanmu, nona kecil?" kini Lady Rock yang keheranan. "Apa kau sudah menggigil sebelum bertarung?"
Ini adalah perbuatan Lady Rock untuk menakut-nakutinya, Al yakin akan hal itu. Namun dia ternyata salah dan memekik panik ketika tangan yang menggenggam bola ungu Nora merenggang terbuka dengan paksa.
Al baru menyadari, cairan hitam Nora telah merambat perlahan dari tangan menuju bahunya. Gadis itu melempar bola ungu Nora, berharap Ink Nora akan pergi bersama bola itu. Namun bola itu seakan berhenti di udara, disanggah oleh Ink yang melengket pada tangan Al.
Ketika hendak berlari, Al baru menyadari kesalahan fatal yang ia buat, ia berdiri di dekat mayat Nora yang tentunya membawa banyak Ink. Seakan mematuhi perintah sang majikan, Ink Nora di lantai telah merambat ke kaki Al tanpa sepengetahuannya. Kakinya tidak bisa digerakan tak peduli seberapa kuat Al memberontak, mencegahnya untuk kabur.
"Aku akan mengambil kartu ini."
Tangan Al yang berlumuran Ink mengambil kartu katalog Nora dari sakunya, lalu diserahkan pada gadis di belakang di belakangnya. Rasa geli terasa di sekujur tubuhnya ketika seluruh Ink yang membalut dirinya merambat kembali ke sang majikan, Nora.
Al terjatuh ke lantai, semakin gemetar ketika melihat Nora berjalan melewatinya. Iapun kembali mendapat tatapan dari bola ungu itu, bola yang terus menatapnya semenjak mereka bertemu.
"Aku akan mengurus wanita mafia ini dulu, jangan kemana-mana!" perintah Nora tegas.
Nora melompat ke sisi lain meja, lalu mencambuk dengan Ink hitamnya saat di udara. Namun Olbeck telah siap menembak jauh sebelum Nora melompat, maka dibidiklah gadis Ink itu.
Cari target, bidik, tarik pelatuk. Nora masih mengingat instruksi Lady Rock pada Olbeck setelah tembakan pertamanya, maka dari itu ia telah memikirkan penangkalnya. Pakaian hitam Nora tiba-tiba mengembang seperti balon, menutup seluruh tubuhnya.
Olbeck melepas dua tembakan pada balon Ink Nora, tapi tak satupun tembakannya bisa membuka lebar balon Nora karena balon itu terus menutup lubang-lubang yang dibuat oleh serpihan peluru Olbeck.
Terlalu sibuk dengan balon itu, Olbeck tidak menyadari sebuah sosok yang melesat dari sisi kanan meja dan sebuah kilatan petir yang menyambar ke arahnya. Alpacapone telah menembakan shockgunnya, mengalahkan Olbeck seketika.
Lady Rock tesentak akan kemunculan Alpacapone dari kanan, ia bergegas mengambil shotgun Olbeck dan siap membidik. Namun saat itulah, balon Nora pecah dan Nora menyerang dengan cambuknya.
Cambuk Nora merengut shotgun dari tangan Lady Rock. Cambuk kedua Nora melesat pada Lady Rock, tapi pada saat-saat terakhir cambuk itu terhenti. Lady Rock telah menangkap cambuk Nora.
"Akting yang bagus, nona-nona kecil. Sempat kukira kalian benar-benar bertengkar," gumam Lady Rock. "Tapi ini saatnya menutup panggung sandiwara ini."
Benar, Al juga setuju dengan si nona besar. Ia segera menembak tanpa memberi kesempatan Lady Rock melakukan apapun, menyambar kepala wanita itu dengan listrik teganggan tinggi ketika ia hendak mengambil shotgun kesayangannya dari belakang tahta.
Al melepas nafas lega,"Akhirnya wanita ini tamat juga."
"Kelepon!" panggil Nora sambil berjalan ke Al. "Aku tidak terima! Apa maksudmu menembakku di belakang! Aku bisa saja mati!"
"Diamlah," balas Al dengan membidik kepala Nora.
"Pelurumu habis," ujar Nora. "Aku hanya melihat empat kotak peluru ketika benda itu datang dan kamu mengisi peluru setiap kali kamu menembak semenjak tembakan pertama. Kesimpulannya, kamu sudah menembak lima kali, jumlah yang sama dengan peluru yang kamu miliki."
Al membeku di tempatnya, tidak menyangka Nora bisa menebak jumlah pelurunya. Ia baru merasakan Ink Nora telah merambat ke pahanya, terlambat baginya untuk kabur. Namun ia tak menunjukan rasa takut sama sekali, lebih tepatnya, tidak boleh karena ia harus meyakinkan Nora.
"Akukan sudah bilang ini bagian dari rencana!" seru Al.
Ink Nora berhenti merambat, Al dapat merasakannya.
"Heh?! R-Rencana!" pekik Nora panik.
"Ya ampun... loe nggak dengerin gue,ya?" tanya Al. "Di awal gue sudah bilang lo harus tidur dulu, kan? Harusnya gue yang jadi umpan, nanti setelah bangun, loe ngerayap ke bawah meja, terus sergap mafia itu!"
Al masih dapat merasakan rantai yang membuatnya tidak dapat berbohong, tapi ia masih bisa berbohong dengan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi atau "kemungkinan" skenario yang telah ia pikirkan. Ia memang sempat memikirkan rencana itu, tapi karena begitu konyol, ia membuangnya jauh-jauh dari pikirannya.
"T-Tapi aku bisa saja mati dari tembakanmu!" ujar Nora.
"Ini Shockgun, bukan senjata untuk membunuh, hanya melumpuhkan," terang Al. "Lagipula, aku tidak mau ketiga target kita mati sebelum diserahkan ke pak tua Perfectomundo, kan?"
"A-Aku nggak paham! Kamu nggak pernah bilang begitu!" balas Nora.
"Lo aja yang nggak paham. Kurang peka, lo!" seru Al. "Lagian siapa yang suruh lo makan hidangan Lady Rock? Sudah pasti diracuni!"
Kini Nora yang terdiam dengan wajah pucat.
"D-Diracuni?"
"J-Jangan bilang perut lo tiba-tiba sakit?"
Selama lima detik ke depan, ruangan itu senyap.
"Cepat muntahin perut lo!"
Nora segera membuka jendela terdekat dan memuntahkan "pelangi" dari mulutnya. Al menjauh sejauh mungkin, tidak mau terciprat "pelangi" Nora. Ia kembali membuka smartphonenya, menghubungi pedagang senjata yang telah menyelamatkannya.
"Hei, kau memanggil lagi," ujar suara si pedagang senjata. "Aku sempat mengira kau anggota sindikat mama minta pistol dari realm lain."
"Yah... yah... terimakasih pistolnya, tapi aku nggak ingat ada shockgun yang magazinnya sekali tembak," protas Al.
"Tentu saja, itulah kenapa saya bilang di bawah standart," ujar si pedagang senjata. "Kalau anda sudah membayar, akan saya berikan shockgun standart, magazin berisi delapan peluru. Jika tidak, segera kembalikan pistol itu."
"Gue beli, deh," ujar Al. "lo nerima kredit antar galaksi, kan?"
"Tentu saja, nona," jawab si pedagang senjata. "Tapi... sensor saya tidak mendeteksi kartu apapun di lokasi anda,"
"A-Apa?!"
Al segera mencari kartu kreditnya, tapi tak peduli seberapa keras ia mencari, kartu kreditnya tidak ditemukan dimanapun.
"Dimana kartu kreditku?!"
==8==
The Two Faced Fox
Baru semenit lalu, Nora dan Alpacapone memasuki ruang makan Lady Rock. Kini hanya Ru dan Sheraga yang berada di dalam koridor, saling menatap mata dan memperhatikan gerak-gerik lawannya. Anehnya, meski Ru telah berkali-kali mengocok dek kartu reminya, Sheraga masih belum membuat gerakan.
"Nah, Ru. Sekarang apa kau bisa jelaskan rencanamu?" mulai Sheraga. "Sesuai perintah Lady Rock. Kita harus menghabisi mereka satu-satu, kan?"
"Tenang-tenang. Semua berjalan lebih baik dari yang direncanakan!" seru Ru.
Setelah kocokan ke lima, Ru mengambil sebuah kartu paling atas. Namun kartu itu bukanlah kartu remi, melainkan sebuah kartu plastik. Tertera pada kartu itu adalah nama "Alpacapone Inysdopemus".
"A-Apa itu? Kartu KTP?"
"Ya, ampun... Sheraga. Kamu sebenarnya dari abad ke berapa?" ledek Ru. "Ini namanya kartu kredit. Sejenis "Representasi" sejumlah mata uang yang bisa dipakai berkali-kali,"
"Lalu apa hubungannya dengan rencana kita?" tanya Sheraga lagi.
"Aku berubah pikiran. Setelah melihat kemampuan semua reverier, hanya Arca yang menjadi ancaman bagiku karena kemampuannya tergolong pasif, kemampuan regenerasi yang menjengkelkan," terang Ru. "Kita fokus pada dia saja, biarkan nona besar melawan dua reverier itu."
"Apa mereka selemah itu?"
"Mereka belum mendapatkan kekuatan mereka kembali, hanya dua gadis lemah," Ujar Ru. "Si gadis biru sudah dapat kemampuannya ,tapi itu tidak akan berguna tanpa kartu di tanganku. Sedangkan si gadis berjas kuning entah dia fans berat Huban atau bukan, dia menolak membuka jas hujannya. Kemungkinan besar itu kelemahannya juga."
"Kalau begitu ayo kita segera... "
Sheraga tiba-tiba memekik panik atas kemunculan api di depan matanya. Seketika ia melompat mundur, Sheraga menyadari bola api itu masih menetap pada posisinya. Masih menyala terang dengan cahaya kemerahannya, melayang di udara, mengabaikan hukum gravitasi.
"Jangan buru-buru, cowok kudet," ujar Ru. "Kamu juga belum mendapat kemampuanmu kembali."
Ru memetik jarinya, seketika itulah tercipta sebuah kobaran api di tangannya. "Untung aku sudah mendapatkan kekuatanku kembali, jadi tetaplah di belakangku."
***
Rentetan senjata menggema dari aula depan mansion. Ratusan kerangka peluru bertaburan di atas lantai putih aula mansion dan rintihan kesakitan mulai terdengar dari mafia di baris depan yang sudah tidak kuat menahan recoil dari senapan thompson mereka.
Objek tembakan para mafia itu mulai tampaknya mulai bosan berdiam diri. Kulitnya terkelupas dari kepala sampai perutnya, tapi kekuatan regenerasinya mencegah peluru-peluru mafia menggali lebih dalam dari lima milimeter.
"Thompson, ya?" Arca, sang penakluk mulai membuka mulutnya yang berlubang-lubang karena tembakan para mafia. "Bodoh. Thompson bukan senjata jarak jauh, tembakannya tidak akan menembus tulang dan daging bahkan ketika ditembakan secara bersamaan."
"Berhenti," perintah Deringham dengan tenang, tidak menunjukan ketakutan sama sekali. "Ganti senjata! Kita tidak mungkin bisa mengalahkannya dengan Thompson saja!"
Anak buah Deringham membuang senapan mereka, menggantinya dengan shotgun yang berdaya hancur lebih tinggi dan memperpendek jarak dengan targetnya. Sayangnya kali ini, Arca tidak bisa menahan rasa gatal di tangannya.
Dua orang mafia terdepan telah membidik Arca, tapi pada detik berikutnya telapak tangan Arca telah terbuka lebar di depan muka, melempar selembar kartu dari lengan bajunya, menggali ke dalam masing-masing tengkorak mereka. Melihat rekan mereka jatuh di tangan Arca, rombongan mafia baru menyerangnya.
Arca menarik empat kartu di kedua tangan, masing-masing diselipkan di sela antar jari. Setiap pukulan yang ia layangkan menyayat tajam lawannya karena kartu yang dikuatkan dengan ajian. Ketika lawan masih di luar jangkauannya, ia akan melempar delapan kartunya pada target dan menarik delapan kartu lain dari deknya, toh dia punya 52 kartu.
Yang menjadi hambatan bagi Arca hanyalah jumlah mafia yang menyerangnya. Mereka terus berdatangan dari luar, tak peduli berapa banyak yang telah ia bunuh. Ditambah lagi, pria bernama Deringham yang memimpin para mafia ini masih bisa tersenyum, sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan dihadapan mayat anak buahnya.
Kecuali jika ini hanya pengalihan.
Arca mulai memperhatikan gerakan para mafia. Baris penembak di awal masih bersiaga di jarak terjauh darinya, sedangkan kelompok yang menyerangnya berdatangan dari luar mansion. Gerakan kelompok penyerang tidak teratur, tidak berpola dan tampaknya hasil belajar bertarung jalanan.
Ikan teri, tidak salah lagi. Mereka sengaja menggunakan dedenggot terlemah mereka di baris depan, sedangkan para "mafia" berpengalaman melihat dari jarak teraman. Picik, tapi Arca menyukainya. Yang terlemah memang harus mati terlebih dahulu.
Paling tidak Arca bisa terus menggali ke dalam barisan pertahanan para mafia sambil melawan arus orang-orang yang masuk bergelombang. Tujuannya adalah menghabisi pemimpin mereka terlebih dulu, pria yang menyebut dirinya sebagai Deringham.
Arca semakin dekat dengan Deringham, tapi malah itulah yang diincar pria tua itu. Deringham membentuk lingkaran dengan jari telunjuk dan ibu jari, memberikan sebuah komando dalam isyarat tangan. Barisannya memencar menjauh dari Arca, sedangkan kerumunan dedenggot rendah berusaha mengepung sang penakluk yang sedang mengamuk.
Saat itulah Arca baru menyadari, para dedenggot itu tidak sedang berusaha menyerangnya. Mereka membentuk pagar, memanjat deretan paling bawah hingga akhirnya membuat sebuah kurungan dari pria-pria berbaju hitam itu. Begitu banyaknya orang yang mereka tumpuk, cahaya lampu di langit aula tidak lagi terlihat.
Satu pukulan. Itu saja yang Arca perlukan untuk membuat lubang dari kurungan manusia ini. Namun sebelum ia sempat melakukan apapun, orang-orang yang menjadi kurungan itu terbakar dengan cepat, menjadi sebuah sangkar api yang memekik kesakitan.
Sangkar itu tak bertahan lama, menimbun orang-orang yang membentuknya bersama Arca dalam kobaran api membara.
Ru keluar dari koridor, memainkan sebuah bola api di telapak tangannya, "Padahal aku baru melempar bola api."
"Apa yang kalian tunggu? Padamkan apinya!"
Ru terkejut mendengar seruan itu, para mafia yang selamat dari kobaran api berduyun-duyun mengambil ember dari kamar mandi terdekat dan membuat rantai angkut untuk menggerakan ember tersebut.
"Hei kau!" mafia senior yang memimpin mereka, Deringham, datang menghampiri Ru dengan muka merah menyala. "Kepalamu sudah rusak apa? Seenaknya main api di sini!"
"Lho? Akukan sudah bilang lewat radio," ujar Ru sambil menunjuk telinga kanannya. Ada sebuah alat kecil yang menutup telinga Ru, sebuah earphone yang berfungsi seperti radio jarak dekat.
"Tapi kamu tidak bilang akan membakar mereka!"seru Deringham, "Lady Rock pasti akan marah! Coba pikir berapa banyak orang yang kita habiskan?"
"Ah, mungkin cuma belasan," balas Ru santai. "Eh? Ngomong-ngomong kok apinya cepat menyebar, ya? Tumben apiku bisa langsung bakar."
"Mereka minum alkohol selagi menunggu kau dan tiga orang tadi datang," ujar Deringham. "Tapi harus kuakui, minum di tempat kerja memang seharusnya kena imbas."
"Jadi kita damai?"
"Itu Lady Rock yang menentukan," ujar Deringham. "Untung anak-anak telah dipindah ke basement."
"Basement?" Sheraga ikut masuk ketika mendengar kata 'anak-anak', penasaran kenapa ia tidak pernah melihat satupun ketika berkeliling mansion.
"Ngomong-ngomong, kadet. Kita perlu memeriksa mereka. Ambil kunci ini, pergi ke lantai kedua, masuk pintu kelima dari kanan. Akan ada lift yang membawamu ke basement."
==9==
The Truth
"Masnya orang baru?"
Seorang bocah lelaki dengan baju tuxedo langsung menyambut Sheraga dan Ru yang baru saja turun dari lift lantai dua. Aneh, pikir Sheraga, lorong sempit gelap dan berbau amis ini tidak cocok untuk seorang bocah yang berpakaian begitu rapi.
Perkataan Lady Rock kembali menggema di kepala Sheraga. Ia ingat Lady Rock pernah menyebut anak-anak dalam fotonya sebagai "anak-anaknya", mungkin anak ini adalah salah satunya.
"Di mana anak yang lain?"
"Di kurungan," jawab bocah itu.
Sheraga mengabaikan perkataan bocah itu. Mungkin ia hanya bercanda, atau dia salah persepsi ketika mengatakannya. Namun ternyata tidak. Sheraga hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Lorong sempit ini memiliki beberapa ruangan sempit di sisi kiri dan kanan, masing-masing berjeruji besi dan di dalamnya adalah anak-anak berpakaian lusuh.
"Kenapa mereka berpakaian seperti itu?" tanya Sheraga pada si anak pemandu.
"Karena mereka bukan La Roccia, hanya dagangan untuk pasar," ujar bocah itu tanpa gemetar sedikitpun.
"K-Kenapa kau bisa bicara setenang ini? Bukannya mereka anak-anak Lady Rock?!"
"Oh, mereka membangkang. Mereka bukan lagi anak-anak Lady Rock," ujar bocah itu. "Mereka yang malas atau menentang Lady Rock, bukan lagi anaknya. Itu peraturan dari beliau sendiri."
Sheraga berjalan ke salah satu sel, berusaha berbicara dengan seorang bocah yang paling dekat dengannya. Namun bocah itu hanya menoleh sebentar, lalu kembali melamun. Barulah ia menyadari, anak-anak di sel itu tampak bahagia, tapi mata mereka kosong. Seperti sebuah robot.
Ia telah ditipu, begitulah yang dipikirkan Sheraga. Apanya yang anak-anak sendiri? Apanya yang memberi harapan? Apanya yang peduli? Ia telah melihat sesuatu yang bertentangan dengan perkataan Lady Rock.
"Kita harus menyelamatkan mereka, Ru," ujar Sheraga.
"Maksudmu anak-anak ini?" tanya Ru. "Ingat, mereka adalah anak-anak Lady Rock. Menurutmu apa yang akan terjadi kalau sang ibu tahu kamu menculik anak-anaknya?"
"Anak-anak Lady Rock?" ulang Sheraga. "Lebih seperti budak. Aku berfirasat Lady Rock hanya merawat mereka supaya bisa dijual di pasar gelap. Bahkan anak berpakaian rapi itu seakan ditugaskan untuk menjadi pengawas dan penindas."
"Kamu baru menyadarinya, Sheraga?"
"Maksudmu kamu sudah menyadarinya dari awal?"
"Tentu saja, mereka adalah mafia. Kau pikir mereka memungut anak jalanan hanya karena rasa iba? Paling tidak mereka mengharapkan regenerasi- pergantian antara generasi tua dan generasi muda, tapi jika mereka menemukan anak yang tidak berguna dan suka membangkang, menurutmu apa yang terjadi pada anak itu?"
Sheraga hampir tak percaya Ru menjelaskan tanpa berkedip sekalipun, seakan Ru telah terbiasa dengan hal seperti ini. Ia tahu jawaban pertanyaan Ru, tapi ia terlalu takut untuk menjawab.
"Ya. Mereka akan menjual anak-anak itu. Mereka memanfaatkan ketakutan dan persuasi Lady Rock untuk mengendalikan keinginan anak-anak, terutama para lelaki. Jika tidak menjadi mafia, ya jadi budak."
"B-Bukannya itu terlalu jauh?" tanya Sheraga gemetar, semakin iba membayangkan apa yang telah dilalui anak-anak itu.
"Lagipula, kalau kau ingat perkataan sang kurator, ia menyebutkan kita harus menangani masalah perebutan tanah, bukan menyelamatkan anak-anak, kan?"
"Itu tidak ada hubungannya! Kita bisa menyelesaikan itu nanti!" jawab Sheraga.
"Sebenarnya keduanya masih berhubungan. Kau ingat dengan tiga bocah yang selalu bersama Lady Rock, Olbeck dan si kembar. Olbeck sebenarnya cucu angkat kepala perfectomundo, sedangkan si kembar adalah anak petinggi negara."
Ru mulai menjelaskan bahwa keluarga Perfectomundo mengincar suatu tanah di utara Little Itally yang haknya sedang di tangan seorang petinggi negara. Mereka berusaha mendekati kedua anak petinggi itu dengan Olbeck yang masih seusia dengan si kembar, tapi setelah beberapa bulan, La Roccia mendapat kabar itu dan mulai mempengaruhi Olbeck dan si kembar.
Hasilnya seperti sekarang, Olbeck dan kedua temannya telah menjadi budak Lady Rock. Dalam pengambilan tanah, pemimpin La Roccia bukan penyabar, jadi mereka mengirim surat ancaman pada orang tua si kembar untuk menukar hak kepemilikan tanah dengan si kembar. Bedasarkan Lady Rock, penyerahan akan dilakukan esok hari.
"R-Ru... K-Kau... Kenapa kau tahu semua ini?"
"Kenapa? Karena aku masuk ke kubu ini lebih awal darimu," ujar Ru.
Sheraga ingat perkataan sang kurator. Ada tiga faksi dalam perseteruan ini dan semua peserta akan dijatuhkan secara acak di dekat satu dari tiga faksi tersebut. Bedasarkan Ru, Alpacapone dan Arca muncul di mansion Perfectomundo dan Nora muncul di dekat faksi polisi, begitu pula dengan dirinya. Jadi hanya ada satu kemungkinan untuk Ru, dia adalah satu-satunya reverier yang muncul di mansion La Roccia.
"Persetan dengan lomba ini," ujar Sheraga.
Pria berompi hitam itu mengambil sederet kunci yang tergantung di sisi lorong dan membuka salah satu pintu sel. Ia bergegas melepas borgol yang mengikat tangan satu persatu anak dalam sel, mengabaikan bocah berpakaian tuxedo yang terus memintanya untuk berhenti.
"Kamu yakin dengan perbuatanmu ini, Sheraga?" tanya Ru.
"Ya! Aku akan membebaskan anak-anak ini!" balas Sheraga.
"Apapun resikonya?"
"Apapun!"
"Yah, kau sudah mendengarnya, pak Deringham."
Sheraga tersentak mendengar nama itu. Ketika berbalik, ia melihat Ru memberikan senyuman sinisnya sambil menekan earpiece di telinganya.
"Tidak kusangka orang yang begitu dipercaya Lady Rock akan berbuat seperti ini," suara Deringham terdengar dari earpice Ru. "Bunuh dia, Ru."
Ru memetik jarinya. Sebuah bola api muncul di tangannya, lalu dilempar pada Sheraga. Namun bola api itu meledak jauh sebelum sampai pada Sheraga, membuat Ru bertanya-tanya, kenapa bola apinya meledak. Sheraga sekarang telah berdiri, bersiap dengan pedangnya.
Ru mengabaikan keanehan tadi dan mulai melempar bola api kedua, tapi saat itulah ia melihat keanehan di tangan Sheraga. Ada sebuah bola api di tangan pria itu, menyala terang seperti miliknya.
"Harusnya aku berterimakasih padamu, Ru," ujar Sheraga. "Karena kemampuanmu mengingatkanku akan kemampuanku sendiri."
Ru dan Sheraga melempar bola api mereka, tapi pada saat keduanya berpapasan, bola api Sheraga meledak, menghempaskan angin pada bola api Ru, memadamkannya seketika.
Ru dan Sheraga kembali melempar bola api pada lawan mereka, tapi perbedaan kekuatannya sudah jelas. Ru tidak mengerti darimana asal kekuatannya, tapi Sheraga yang seorang alkemis telah mempelajari sumber kekuatannya dan cara memanipulasi kekuatan itu.
Membesar, mengecil, membelah, berbagai teknik bola api telah dikuasai Sheraga berkat penelitiannya. Ru terpaksa keluar dari sel, terdesak karena hanya bisa membuat satu jenis bola api standar.
Saat itulah, Ru menyadari, ia telah terpojok di lift. Sheraga tampak kelelahan dengan bola apinya yang ia lancarkan bertubi-tubi, tapi Ru tahu lawannya masih bisa membuat lebih banyak bola api.
Namun Ru tahu kelemahan Sheraga. Ia membuat bola api lagi dan menembakannya pada Sheraga. Sheraga segera menghadang dengan bola api lain, hanya saja, kali ini bola api itu melewatinya. Bola api itu berbelok, memasuki sebuah sel dan mengenai salah satu anak di dalam sel itu.
"Majulah satu langkah lagi, mungkin akan lebih banyak anak yang akan terpanggang," tantang Ru.
Ru dan Sheraga kembali bentrokan, tapi Ru dapat mendorong mundur Sheraga kali ini. Sesekali tembakan Ru akan menyasar ke dalam salah satu sel dan Sheraga harus memalingkan pandangannya untuk menangkis bola api itu sebelum mengenai salah satu anak. Pada akhirnya, Sheraga terpojok di ujung lorong itu.
Sheraga lari ke sisi kanan lorong, tapi sebuah suara nyaring menghentikan langkahnya.
PIIP
Lantai di depannya tiba-tiba meledak, untung tidak sampai menghancurkan lantai. Sheraga melihat ke sekeliling, menyadari adanya beberapa bom yang siap diledakan. Kemungkinan jika ia melewati salah satunya, mereka akan terpicu untuk meledak.
Ru mendengar deretan ledakan dari belokan yang Sheraga ambil, tapi yang dijumpainya hanyalah batuan yang telah menutupi lorong.
"Ya ampun... dia benar-benar melewati ladang ranjau itu?" gumam Ru.
Ru bergegas keluar dari tempat itu, hendak mengejar Sheraga ke luar mansion. Namun saat ia sampai di depan lift, sesuatu datang menerobos atap lift itu. Sebuah setan, kulitnya terbakar dan tampak berlubang dimana-mana. Ru tahu, sosok ini mungkin adalah final boss di game zombie shooter, tapi serius, di mansion mafia? Kurang cocok menurut Ru.
Mata mahluk itu menatap tajam pada Ru, lalu mulut berlubangnya mulai menguatarakan sebuah kata, "Ru... beraninya kau membakarku..."
Ru memaki dirinya, "A-Arca... aku hanya bercanda... boleh kita baikan?"
==10==
Unwanted End
Sheraga merenggang kesakitan ketika keluar dari selokan. Untungnya, ia bisa menggunakan bola api sebagai pengecoh untuk kumpulan bom yang telah di pasang di selokan mansion La Roccia. Ia tidak mau berlari melewati deretan ranjau lagi, semenjak kaki kanannya menginjak salah satu ranjau, beruntung kedua kakinya masih menancap dan dia masih punya satu kaki yang berguna.
Sheraga bergegas menghampiri tempat ia bertemu dengan polisi-polisi berseragam hijau yang menangkapnya tadi siang, berharap mereka bisa menolongnya. Untungnya, para polisi itu masih berada di lokasi itu dan segera merawat Sheraga yang sekarat dengan perlengkapan seadanya.
Pria berompi hitam itu mulai menceritakan apa yang terjadi di mansion La Roccia, tentang Lady Rock dan tentang anak-anak yang terperangkap di basement mansion. Namun seperti dugaannya, para polisi itu mengalihkan pandangan mereka.
Mereka ketakutan dan tak mau ikut campur. Lagipula, itu bukan tugas mereka. Namun satu polisi berteriak lantang, menyayangkan tindakan mereka. Ia mengingatkan bagaimana mereka harusnya melindungi masyarakat, bagaimana mereka harus bekerja tanpa pamrih dan mengingatkan kenapa mereka menjadi polisi.
Panji. Sheraga masih mengingat nama itu. Polisi yang berteriak lantang di tengah mereka. Satuan polisi itupun berteriak dalam satu nada, bertekad keras untuk menjunjung satu tujuan, menyelamatkan anak-anak yang disandra La Roccia.
Sheraga ingin bergabung dengan mereka, ikut dalam penyerbuan ke La Roccia. Namun ia tidak bisa. Dombanya telah mendatangi sang majikan, mengembek, menyatakan bahwa ronde telah selesai.
Pria berompi hitam itupun bertanya pada dirinya, apakah bisa ia mengakhirinya seperti ini?
***
Malam itu, sepasang domba berjalan menjauh dari mansion milik Perfectomundo. Mereka telah selesai dengan misi mereka dan hendak kembali ke musium semesta.
"Kartu gue sudah kembali," gumam Al pada Nora yang telah menemaninya membawa ketiga sandra kembali ke mansion Perfectomundo.
"Aku masih penasaran, dimana Ru dan Arca?" tanya Nora.
"Mungkin mereka mencari tempat gelap untuk berduaan," jawab Al. "Tapi serius, gue nggak ngerasa ada progress dari ronde ini. Sial."
"Nggak juga. Aku sudah dapat kemampuanku kembali," ujar Nora, menunjukan jas dan rok yang ia buat dari Ink miliknya. "Paling tidak, aku tidak akan dipanggil penari... ugh... aku merasa mual..."
"Salah lo sendiri makan racun tadi," tegur Al. "Btw, kapan lo dapat kemampuan lo?"
"Mungkin waktu aku membungkusmu dengan Ink," ujar Nora. "Mungkin aku akan semakin ingat kalau membungkusmu lebih lama?"
"NGGAK!" tolak Al.
==Epilogue==
Gadis tanpa nama itu tersentak bangkit dari tidur. Pikirannya masih kacau, seakan ia telah tidur begitu lama, tapi tubuhnya begitu lelah seolah telah bekerja terlalu lama. Gadis itu menyadari dirinya bangun di ujung sebuah ruangan gelap, tapi dinding disebelahnya tampak begitu lapuk.
Hal pertama yang datang ke pikirannya adalah kejadian di pagi ini. Sang Kurator masuk secara paksa ke dalam rumah Ratu Huban dan memintanya untuk mengunjungi salah satu bingkai mimpi peserta untuk memanggil peserta itu ke musium semesta.
Ia ingat dirinya menawarkan pada Ratu Huban untuk memanggil peserta itu karena Ratu Huban tampaknya masih sibuk mengurus dombanya. Ia ingat telah menemui peserta yang terlambat itu, lalu...
...sirna...
Ia tidak mengingat apapun setelah itu.
"Kau telah bekerja dengan baik, pembawa pesan."
Sebuah suara memanggilnya dari ujung ruangan. Sebuah siluet seorang gadis terlihat dari di atas sebuah kasur, tampaknya sedang berbaring di kasur tersebut.
"K-Kau adalah...."
"Nora," jawab gadis di ujung ruangan. "Kau masih ingat, kan?"
Nora. Ya, nama itu mengingatkannya lagi. Ia datang ke sebuah gubuk dalam bingkai mimpi Nora untuk membawanya ke musium semesta, lalu apa setelah itu? Ingatannya kabur, tapi ia tahu ada sesuatu hal penting terjadi di pagi hari itu.
Gadis pembawa pesan itu bergegas keluar dari gubuk Nora, hendak kembali ke sang majikan. Namun kalimat perpisahan Nora mengganjal di pikirannya.
Berkat kamu aku berhasil mendapat salah satu inspirasiku
Tolong datang besok juga, ya?
Kalau tidak, aku mungkin tidak bisa menuruti kurator itu
==Epilogue End==
The Third Story is Not A Piece.
It is a Pair, Unseparateable.
The First of the Pair is The Heir of the First Story,
While The Second one is The Heir of the Second one.
-Mocha H, BoR 2016, First Round of Nora the black Ink.
--
>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 25 - NORA | TWO OF THE FOUR PIECES, BROKEN BY DEATH
>Cerita selanjutnya : [ROUND 2] 25 - NORA | BADUT CIRQUE DI KOTA KEMATIAN
--
>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 25 - NORA | TWO OF THE FOUR PIECES, BROKEN BY DEATH
>Cerita selanjutnya : [ROUND 2] 25 - NORA | BADUT CIRQUE DI KOTA KEMATIAN
Demi apa... kau memerankan Ru jauh, jauh, JAUH LEBIH BAIK daripada yang punyanya. Akakaka!
BalasHapusIni juga komedinya sampe bawa-bawa Closer segala
Aduh.. sial.. finggang ane dah ngorbit berapa kali hari ini.. Ouch, encok lagi macam mbah amut(?)
Plot twistnya sukses bikin ane tercengang. Semua karakter dapat peran tanpa ada yang terlewat. Dan kembali~ Sheraga jadi bintang utama~(?)
Ini flawless~
---------------
Rate: 10
Ru Ashiata(N.V)
Wih! Benar saya memerankan lebih bagus? Terimakasih!
HapusSaya kepikiran pakai nama Black Lambs (Yang berasal dari Closer) karena tema tim ini "Hitam" dan setiap peserta membawa "Domba".
Dan iya... saya akui, spotlight cukup terambil Sheraga di tengah cerita.
Terimakasih komentarnya~
==Riilme's POWER Scale==
BalasHapusPlot points : A
Overall character usage : A
Writing techs : B
Engaging battle : A
Reading enjoyment : A
Kenapa rasanya di tiap entri yang make setting Little Italy ada adegan entran bingung dimintain KTP?
Fokus ke Sheraga di awal agak terlalu banyak, saya sampe sempet lupa kalo ini entri Nora
Saya agak kaget lho. Mungkin ingatan saya salah, tapi saya ga inget Nora bisa dialog serius dan punya argumentasi sendiri kayak gini. Walau bagus juga, rasanya dia jadi salah satu karakter yang punya depth buat digali
Inovasi kartu keberadaan ini ga kepikiran sama saya, tapi idenya boleh juga. Dan kasian Nora, mau ga mau jadi dimanfaatin gara" dombanya sendiri
Entri ini banyak juga throwbacknya ke entran taun lalu, kayak Stallza, Lazu, Ursa, Fapi, Zarid
Semua karakter kegambar bagus di sini. Nora, Al, Sheraga, Arca, Ru, semua kayaknya ngasih kesan dengan 'hitam' mereka masing". Paling sedikit yang saya sayangin adalah Don Perfect ga banyak nongol, tapi masih lebih bagus OC tamu ga gitu disorot sih selama semua reverier dapet porsi pas
Btw, saya masih kurang mudeng sama endingnya. Siapa gadis ini?
==Final score: A (9)==
OC : Iris Lemma
Yay~ dapat 4 poin A dari Mas Sam!
HapusSoal kepribadian Nora, saya belum menunjukan sisi serius Nora di Ronde prelim karena fokusnya menunjukan keegoisannya dulu. Karena sekarang sisi serius Nora sudah tampak, di ronde-ronde berikutnya Nora akan mengambang di antara dua pola pikirnya.
Enteran tahun-tahun lalu mungkin juga akan muncul lagi di ronde-ronde berikutnya, tapi perannya hanya sampingan saja. Karena ada hubungannya sama ending cerita Nora kalau dia bisa sampai final.
Gadis di Epilog ini adalah "Gadis tanpa nama" dari epilog prelim. Saya kurang menjabarkan di ronde ini karena kepepet deadline.
Terimakasih komentarnya~
Aduh saya mau menangis. Ini bawain OC saya lebih dalem dibanding entri saya sendiri--yang mana, lebih rely ke sub-OC juga. Maksud saya, kalau di entri saya Sheraga itu hopeless dan naif, di sini dia kelihatan bgt sbg hero. Pertentangan moralnya berasa tanpa perlu ngebikin dia lemah--walau tbh malah mendekati lawful good, hehe (tapi Sheraga asli juga sekarang condong ke alignment tersebut, nyatanya). Dan kalau saya yang gerakin, secara otomatis bakal mihak Panji Budiman :3
BalasHapusAgak OOC sih. Misalnya kenapa dia bisa beradaptasi sama lingkungan Bekasi dengan cepat. Hey, dia kan berasal dari zaman setara Ottoman abad 16. Tp ggp, ini OOC yang positif. Thank you so much~~
Pun settingnya di Bekasi. Ini saya anggap positif mengingat tingkat kesulitan bagi beberapa OC sebab beda budaya dan sebagainya, dan saya nggak bisa ambil setting ini karena nggak mau menempuh risiko inakurasi jalan dan bangunan ._.).
Untuk teknis dan sebagainya, saya nggak mau berkata banyak. Udah paham lah secara garis besar, paling dalam perjalanan baca ... ada sandungan beberapa kali perihal tatabahasa. Tapi bukan masalah serius, dan saya nggak berminat jadi polisi EBI. Ehehe~
Narasi juga lancar, walau secara jujur saya bakal lebih menikmati yang ditaburi diksi tidak umum. :3
Ceritanya kayak paket komplet #plak
Ada drama, komedi, dan macem-macem. OC lain pun dibawakan dengan oke sekali. Ru dgn kelucuan maksanya, Arca yg jago tarung, Al yg oportunis, dsb. Terlebih dengan kejutan-kejutan yang terjadi. Sungguuuh ....
Paling memorable walau singkat adalah pandangan Nora soal pemerintahan. Saya suka kuliah-kuliah semacam itu ^3^ Terasa lebih mengena daripada moral yang dijunjung OC saya @_@
Btw, ide kartunya inovatif xD Juga humor yang bertebaran xD
Keluhannya:
1. OC tamu kurang dapat development. Padahal ada tiga pihak. Tapi Mr Perfect gak kelihatan. ._.
2. OC lain kok gampang sekali buat kerjasama? Terutama Arca sama Al .... Kalau saya nangkep dari prelimnya, mereka nampaknya tipe individualis. Kalopun kerjasama gak segampang itu. Yah, mungkin karena ini preferensi/idealisme pribadi. So, gpp xD
3. IMO, Nora kayak bukan tokoh utamanya. Karena spotlightnya buat OC lain lumayan banyak juga ._. Cerita ini kesannya kayak berbagi OC (sama OC saya tentunya). Wkwkwk.
4. Setting Bekasinya kurang terasa. Bahkan nuansa Italia-nya pun kurang. Ini rasanya kayak dunia antah berantah bernuansa kota besar, entah kenapa. ._.
Titip 10.
PS: maafkan pembawaan atas Nora di entri saya. TwT
-Sheraga Asher
Terimakasih komentarnya~
HapusUntuk entri ini, saya rasa Sheraga masih di domain Chaotic, dimana dia lebih mengkedepankan pandangannya daripada "Stick to the Law". Misal caranya menjudge para Satpol dan Mafia La Roccia.
Saya agak kepepet deadline, jadi nggak sempat ngeluarkan Panji dan Don Perfect ke konflik. Di rencana awal, dari sub bab terakhir masih berlanjut ke Sheraga menyerbu mansion La Roccia bersama satpol, baru Don Perfect muncul.
Perihal kerjasama para OC, Arca tertarik karena imbalan uang yang ditawarkan Al, sedangkan Al sendiri perlu "pasukan" untuk menyerbu La Roccia.
Dan maaf... saya hampir jadikan Sheraga tokoh utama di entri ini. Karakter Sheraga terasa begitu pas dalam kondisi skenario entri ini!
Satu lagi entri solid dari Nora.
BalasHapusSubhanalloh ada Zarid numpang lewat. Ntaps banget :'D
Saya gak bakal komentar banyak, Entri Nora bener kerasa solidnya. Karakter, battle, latar udah oke. Dan Nora bisa serius juga di sini ternyata hh3.
Soal minus sih, paling karena kepepet dedlen jadi ada beberapa yang kurang wah di sana sini seperti Panji dan Don Perfecto (seperti yang sudah dijelaskan oleh author sendiri)
tapi tetap enjoy bacanya, jadi bukan masalah besar.
Nilai 9, karena lagi-lagi, entri Nora solid dan mantap :'D
Jadi penasaran, apakah karakter-karakter lama ini benar-benar berperan penting dalam kanon Nora? (Terutama Zarid hh3)
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
Terimakasih komentarnya~
HapusKarakter-karakter lama akan muncul sebagai sampingan saja, tapi ada beberapa karakter lama yang akan berperan penting nantinya.
SUPERB ^_^
BalasHapusAwalnya entri ini berkesan acak-acakan, trus fokus cerita kok berasa lebih banyak ke Sheraga, tapi perlahan benang-benang kusut itu menjalin menjadi tali lasso kejujuran...
Adegan kumpul 4 reverier di kafe itu kyk kumpulnya para abg abis pulang sekolah, berisik bener XD
Konsep kartu/katalog karakter itu menarik loh, gak kepikiran ke sana.
Ada banyak cameo dari BoR sebelumnya, dan itu fun XD
Endingnya sedikit gak jelas, dan membiarkan pembaca untuk meninterpretasikan sendiri, ditambah epilog yang misterius.
NILAI: 9
(Martha)
SUPERB ^_^
BalasHapusAwalnya entri ini berkesan acak-acakan, trus fokus cerita kok berasa lebih banyak ke Sheraga, tapi perlahan benang-benang kusut itu menjalin menjadi tali lasso kejujuran...
Adegan kumpul 4 reverier di kafe itu kyk kumpulnya para abg abis pulang sekolah, berisik bener XD
Konsep kartu/katalog karakter itu menarik loh, gak kepikiran ke sana.
Ada banyak cameo dari BoR sebelumnya, dan itu fun XD
Endingnya sedikit gak jelas, dan membiarkan pembaca untuk meninterpretasikan sendiri, ditambah epilog yang misterius.
NILAI: 9
(Martha)
Entri yang sangat solid dan menarik! Tiap karakter dapat porsinya sendiri, tapi Nora berasa kurang diekspos. Nora di sini berasa beda banget dengan di entri pertama, berasa lebih dewasa. Saya seneng waktu dia ngasih ceramah ke Panji. Saya juga setuju sama yang lain, kartu katalog jadi penunjuk identitas itu ide yang bagus.
BalasHapusNilai dari saya 9
OC : Catherine Bloodsworth
Hitam-hitam kulitmu~ /eh
BalasHapusProlog bikin aku mikir keras. Semakin ke tengah nah ketemu juga deh sama benang merahnya. Di situ aku ngerasa konsep yang tercipta emang beneran keren. Secara keseluruhan, plot, setting, dan karakterisasi aman, tak perlu banyak dikomentari.
Tapi aku masih penasaran sama endingnya
9
Jess Hutcherson
Duh. Ini keren banget. Sheraga dan OC lainnya berasa agak OOC, tapi justru itu yang bikin seru. Selebihnya bisa digambarin ngeblend dengan isi entri. Bahkan kemampuannya juga kebagi dan memperkuat karakter mereka. Yang notable di saya adalah Arca, Sheraga dan tentunya Nora! Nora bisa bikin sesuatu yang nyeleneh jadi keliatan terkendali dengan ulahnya yang lugas. Lucu banget liat dia berusaha meyakinkan orang akan pekerjaannya (termasuk makan), terutama sama Panji di awal. ;))
BalasHapusNggak nyangka perkumpulan 4 reverier itu bisa seheboh orang2 yang seakan udah kenal lama banget. Sangat akrab. Terus ide kartunya... Brilian!
Dari segi setting, memang ga terlalu ditujukkin unsur khas bekasi atau italianya berkaitan ke plot, tapi dengan kesadaran bahwa beda wilayah ini butuh izin tanda pengenal khusus, itu udah sangat menghibur sampai akhir.
Ah ya, poin plus lagi untuk kameo2 oc terdahulu dan epilognya yang bikin penasaran. Sepertinya epilog ini bakalan sangat berpengaruh ke canon utama Nora.
10
PUCUNG
Ah ini baru seru! Baru sebentar sudah ada aksi. Bagian yang paling aku suka waktu AI nelpon malah dapat respon-responnya petarung BoR terdahulu. Wkwkwkw.
BalasHapusMenurutku pembagian jatah tampil merata dan narasi sudah lancar. Btw, waktu santai mereka selalu main kartu. Sampai segitukah sukanya mereka sama kartu?
Nilai 10~
OC : Begalodon
"WOAAAAAA...."
BalasHapus-Segenap OC sekalian Sub-OC saya
+PROS
+Buset, ceritanya... anjir ane sampe gak tau musti mulai darimana... Dari awal sampai akhir sangat berkesan, walau ada satu yang masih membekas dalam, yaitu obrolan filosofis antara Nora dan Panji.
+CONS
+CONS-nya aja sampai berubah jadi tanda '+' yang berarti hampir tak ada minus, kecuali beberapa typo and that small things didn't bother me at all.
10. Gak usah tanya-tanya lagi kenapa.
TTD
Dewa Arak Kolong Langit
Komen2 di bawah ini saya buat sambil baca, jadi alur komentarnya sesuai sama alur cerita XD
BalasHapusHo. Konsep yg baru kulihat. Kartu = diri, kalo kartunya disobek maka orangnya juga terluka? Wahaha, sungguh merepotkan. But, interesting. Pas awal baca ada kartu ini, langsung berharap kartu ini bakal punya peran penting ke depannya.
...DAN TEPAT! Kartu yang berfungsi sebagai pengenal di semesta manapun ya... sumpah ini keren, ga kepikiran XD
Aku suka banget cara pikir Nora, kelihatan waktu dia berbincang dengan Panji. Secara politik, aku juga memiliki pandangan yang sama. Apapun yg diperbuat oleh pemerintah, pasti ada aja pihak yg gak suka. Nora ini bisa menyampaikannya dengan pas dan tidak terasa menggurui. Suka XD
Jir kemunculan Ru bikin ngakak. Itu bukan UNO woi! XD
Asli ini keren banget, fungsi kartunya jadi nambah. Dengan memiliki kartu lawan maka praktis kamu bisa menghancurkan hidup lawanmu dengan mudah. Mau gak mau Nora dipaksa kerjasama. Suka konsep ini.
Karakterisasinya pun asyik dan gak terkesan dipaksakan. Baik Nora, Al, Ru, maupun Arca dan Sheraga terasa begitu hidup di tangan author Nora. Keren pisan. Menghibur juga, joke nya beberapa kena. Apalagi pas bilang “Lazuardi di BoR 4 jadi mualaf”, aku seketika ngakak. Bt4W di beberapa poin ini menghiburku XD
WTF TOKO PIZZA FAPPI AWKWKWKWKWK
Udah ditelpon, berharap Miller, tahunya Fappi lagi awkwkwkwk. Ini referensi BoR sebelumnya kenceng banget ya robb, aku kepingkel2. Humornya asyik sumpah XD
Ini apa lagi sindikat mama minta pistol wkwk
Beres tarung, awalnya ngerasa aneh sama pertengkraran Nora-Al. Rasa2nya gak masuk aja kalo Al yang tersudut malah ngurangin bala bantuan... tapi ternyata itu part of the plan. Seru juga.
Lalu ketika Sheraga mendatangi Panji... aku agak menyesalkan kenapa aku tidak bisa tahu kata2 apa yang digunakannya untuk menggugah hati para polisi. Seandainya digambarkan juga, mungkin aku juga akan tergerak untuk membasmi kejahatan (?)
Lalu kisah mereka berakhir di tengah kisah Turf War yang sebenarnya belum selesai. Ini bagus, realistis. Biarpun perang belum seratus persen berakhir, tapi misi sudah sukses dilaksanakan. Aku suka.
That ending tho, gadis tanpa nama itu membuatku penasaran.
tl;dr
Aku suka hampir semua joke yang kamu bawa dengan menyelipkan karakter2 dari BoR sebelumnya. Aku juga suka dengan ceritanya yang solid. Karakterisasinya asyik, meski kadang2 Nora kalah fokus. Sheraga, Nora, Al, Ru, dan Arca, semuanya dapat peran yang menonjol. Lalu di ending, kelihatan banget kalo kamu ingin membangun sesuatu yang besar menuju final.
Overall, perfect score.
10/10
~Pencipta Kaleng Ajaib