oleh : Illyasviel Emiya
WARNING!
Ada adegan pemerkosaan
eksplisit dalam entri ini. Tapi kamu bisa skip kok. so keep reading.
You will know when to skip.
You will know when to skip.
***
Tidak semua orang bisa menyentuh Tal. Dalam daftar
orang yang ia suka, hanya satu perlima saja yang bisa menyentuhnya. Dan tentu
saja, dari daftar itu hanya sebagian kecil yang merupakan manusia biasa.
Detektif Ro adalah salah satunya.
Pria itu mengaku tak memercayai hal ghaib. Ia seorang
realist, jadi ketika mendengar kabar tentang hantu, kutukan dan hal ajaib
lainnya, ia selau bisa mendeduksi bahwa hal itu adalah perbuatan manusia.
Sebuah kepercayaan atau keisengan anak-anak.
Maka dari itu, adalah hal mengejutkan saat sang
Detektif bisa melihat Tal, bisa menyentuh raga halus gadis itu, mencium aroma
tubuhnya. Tahu apa yang lebih mengejutkan? Detektif Ro bahkan sempat
berhubungan badan dengannya.
Untuk sejenak Tal merasa hidup, rasanya seperti ada
yang menambal lubang di hatinya.
Namun kesenangan itu dengan cepat dihancurkan oleh
orang lain yang tak dikenal.
Orang-orang ini bisa menyentuhnya. Mereka ada dalam
daftar orang yang tidak Tal sukai. Salah satunya adalah William Amadeus
Anderson.
Dengan cepat dan penuh kejutan, pria itu menangkap Tal.
Gadis hantu itu bahkan tak cukup memiliki waktu untuk memproses bahwa William
bisa menyentuhnya. Maksudnya … Dia hantu, lho! Jadi sudah sewajarnya raga halus
itu bisa menembus segala sesuatu. Disentuh manusia bukanlah hal yang bisa
dirasakan setiap hari.
Dan Tal benar-benar tidak ingin orang seperti William
menyentuh tubuhnya yang indah ini. Oleh karena itu, ia sangat berharap bahwa
keparat di depannya ini tidak bisa menyentuhnya.
"Kau … Nona, adalah karya yang langka,"
keparat itu memuji, "Tapi sayangnya ada banyak hal cacat pada dirimu.
Bukan wujudmu tentu saja."
Keparat ini bernama William Amadeus Anderson. Melihat
bagaimana aksinya lewat lukisan di museum semesta membuatnya jijik. Melihat
bagaimana ia dengan mudah mengikat kaki dan tangan, juga memegang lekuk
tubuhnya yang seksi membuat Tal serasa ingin muntah.
"Memangnya kau pikir kau siapa, eh? berani
menilaiku?" Tal menghardik.
Dalam pandangan Tal Becker, laki-laki ini tak berhak
memberikan penilaian. Tal Becker adalah wujud tercantik, dan hanya orang-orang
tertentu yang bisa mengapresiasinya. Diberitahu ada kecacatan dalam diri itu
rasanya seperti mendapat bogem penghinaan. Tapi apa daya? Toh tangan dan
kakinya ada dalam kondisi terikat. Hanya mulut yang bisa berbicara, menunjukkan
pemberontakan pada sang penculik.
"Aku Seniman," jawab Laki-laki itu, "Aku
bisa menilai semua hal yang aku lihat. Itu tugasku dan kalau aku tidak bisa
menilaimu, bagaimana aku bisa membuat karya seni?"
"Jangan munafik! bagiku kau hanya orang gila yang
terobsesi pada perempuan." Tal menghardik lagi.
"Ssst...!" Laki-laki itu meletakkan kuas di
depan mulutnya, "Mulut kasar itu tak cocok untuk gadis secantik dirimu.
Beruntung aku bisa memperbaikinya," tambahnya sambil tertawa kecil.
Saat itu barulah Tal menyadari, bahwa sang pelukis
sudah menyelesaikan karyanya—lukisan yang menangkap segala esensi dalam diri
Tal—potret sang gadis dalam seni goresan kuas bergaris.
Akan tetapi, dalam kecantikan itu, Tal bisa melihat ada
sebuah kecacatan. Sesuatu yang sangat menggangunya.
"Aku tidak bisa menutupi keburukanmu," jawab
William.
Keburukan itu hadir dalam bentuk lubang besar di dada,
tepat dimana hati Tal berada. Lubang kosong itu mengeluarkan semacam tangan
rapuh dalam wujud buruk rupa, seakan berkata...
"Aku membutuhkanmu, sayang. Tak bisakah kau
datang padaku?"
Kesadaran Tal menghilang begitu saja.
***
Kota Tua Brando memiliki segalanya. Saat kau datang
menginjakkan kaki di sini, kau bisa merasakan kota ini seperti kakek berwajah
teduh menatap cucunya.
Ketenangan kota ini bukan berarti tanpa masalah.
Seperti kata pribahasa, diam-diam menghanyutkan.
Sebagai detektif swasta, Ro sudah meghadapi banyak
masalah. Kota kecil ini pernah menjadi tempat produksi narkoba, pernah juga
menjadi jalur penyelundupan senjata. Satu atau dua pembunuhan juga pernah
terjadi.
Tapi bukan Ro namanya kalau ia tidak bisa memecahkan
kasus-kasus itu. Polisi sudah terbiasa menutup mata pada berbagai hal. Dan
sejujurnya, Ro sendiri juga begitu. Selama ia tidak dibayar, ia tak akan
melakukan apa-apa meski hidung pria itu tersiksa oleh bau busuk di belakang
apartemennya.
Kali ini sekelompok aktivis kemanusiaan menyewanya,
atas kasus yang sudah tercium Ro sejak lima tahun yang lalu. Mereka baru berani
membawa ini ke kepolisian satu bulan yang lalu.
Melihat polisi tak merespons apapun pada laporan
mereka, kelompok aktivis kemanusiaan—yang menamakan diri mereka 'Pacifista'—ini
membawa kasus itu ke meja Ro.
"Kami menduga Pendeta Pokiel mencuci otak
orang-orang dan merekrut mereka untuk melakukan sesuatu." Giotto, pemimpin
Pacifista, mengatakan dengan wajah muram, "Aku sudah beberapa kali
mengirim orang untuk masuk ke gereja itu. Namun saat mereka keluar, semuanya
malah berubah menjadi pengikut Pokiel. Aku tak bisa menanggung resiko
kehilangan orangku lagi."
"Dan kau mengirimku?" Ro mengangkat alisnya.
"Kau, detektif Ro, adalah profesional. Meski kau
memang menjadi pengikut mereka, dengan uang di tangan, kau tak akan
menyembunyikan hasil penyelidikanmu dari klien," Giotto berkata,
"Reputasimu sudah sampai di telingaku."
Namun pikiran Ro tidaklah sepenuhnya ada di kasus ini.
Setelah Giotto memberikan setengah harga yang diminta Ro dan meninggalkan
kantornya, Pikian Ro kembali ke coretan-coretan yang ada di mejanya.
Tiga Belas gadis menghilang dalam waktu dua minggu.
Mungkinkah mereka menjadi pengikut Pokiel? sambil menyalakan cerutunya ia
menatap kembali nama-nama korban yang hilang.
Ia tidak dibayar untuk menyelidiki hilangnya
gadis-gadis itu. Namun ada satu nama yang membuatnya terpancing untuk
menyelidik. Satu nama itu terdengar familiar di benaknya. Tal Becker namanya.
Gadis itu juga ikut-ikutan menghilang.
Kemana ia? Apa wajar bagi seorang perempuan
meninggalkan pria yang seminggu ini tinggal seranjang dengannya? Apa yang ia
lakukan? Dari mana ia datang?
Namun pertanyaan lain yang lebih penting adalah, "Kemana
Tal Becker menghilang?"
Penyelidikan itu membawanya pada dua belas nama korban
lain. Semuanya perempuan dan mereka memiliki satu kesamaan. Para korban ini
pastilah memiliki paras cantik. Insting detektifnya meraung keras, mengatakan
bahwa ini pasti dilakukan oleh satu orang.
Apa ini ulah Pokiel?
Ro menghisap cerutunya dalam-dalam, seraya hatinya
memantapkan niat : Ia harus menemui laki-laki itu.
***
Axel adalah seorang demonologist. Ia sudah melihat
banyak sekali kejadian yang melibatkan iblis. Hey, dia sendiri bahkan pernah
memukul muka sang iblis dengan keras.
Saat menginjakkan kaki di kota Brando, ia tidak merasa
seperti cucu yang disambut kakeknya. Rasanya seperti seseorang baru saja
memukul indera penciumannya dengan bau busuk. Lalu entah kenapa, orang itu
buru-buru menyembunyikannya.
Jadi sebabnya Axel memulai penyelidikan.
Untuk ukuran kota tua, kejadian supranatural di kota
ini sangatlah sedikit. Padahal biasanya kota tua sarat dengan unsur mistis.
Pertanyaannya, Kenapa?
Jawabannya ada di gereja yang terletak di pusat kota.
Di dalamnya, Axel bisa menemukan sumber bau busuk yang mengganggu pikirannya.
Tak salah lagi : Di dalamnya ada Iblis.
Tapi Axel bukan orang bodoh. Ia tak bisa langsung
mendobrak pintu gereja dan membunuhi orang-orang di dalamnya. Itu akan
memperburuk suasana. Jadi sang demonologist bergerak sabar dalam langkah
menyelidik.
Belum lagi kasus lain yang terjadi antar peserta yang
datang ke kota ini. Axel tahu, William Amadeus Anderson baru saja melakukan
penculikan tiga belas gadis di kota ini.
Tapi bukan itu sumber masalah utama. Yang membuat Axel
tidak fokus adalah bagaimana Axel mencium bau iblis di tempat korban penculikan
terakhir dilihat.
Di sebuah bar bernama Against The Current, Axel
berpikir lama seraya menikmati minuman. Buku di tangan seakan berfungsi sebagai
hiasan. Pikirannya malah mengawang, menimbang dua hal di kepala. Mana yang
lebih gentir? Pokiel atau William?
Saat Axel larut dalam kesibukan, seorang laki-laki
tiba-tiba datang menyapa. Axel sadar akan kedatangannya. Pandangan pria itu
berpindah dari buku. Mulut pria itu mengukir senyum kecil.
"Hei realis sialan," Axel menyapa balik,
"Aku kira kau tak percaya pada pekerjaanku?"
Detektif Ro adalah seorang Detektif terhebat di kota
ini. Saat polisi hampir menyerah biasanya kepala polisi akan menghubungi Ro
untuk memecahkan kasus pelik.
Beberapa kali keduanya bertemu dan Axel selalu kagum bagaimana
Ro mencapai kesimpulan sebuah kejadian hanya dengan sedikit penyelidikan.
"Kasus terakhir membuka mataku," jawab Ro
singkat.
Kasus terakhir adalah kasus pembunuhan berantai dengan
pola pembunuhan, jenis korban dan senjata yang sama selama lima puluh tahun,
namun dengan tujuh tersangka yang berbeda.
Saat itu analisis Ro membuktikan bahwa setiap tersangka
baru hanya meniru pembunuhan sebelumnya. Namun ia tak bisa membuat dirinya
percaya pada teorinya sendiri karena ada kecurigaan bahwa setiap tersangka lama
sempat saling kontak ke tersangka baru.
Kecurigaan itu membawa Ro ke kesimpulan yang tak
terelakkan, bahwa saat tersangka ketujuh dihukum mati, maka seseorang akan
menjadi tersangka ke delapan.
Di situlah Axel muncul, mengatakan bahwa tujuh orang
tersangka sebelumnya hanyalah boneka dan tersangka sebenarnya adalah jiwa yang
bisa berpindah dari satu tubuh ke tubuh lain.
Ro menertawakan Axel. Ia bahkan merasa bodoh karena
sudah mempertimbangkan kemungkinan itu.
Namun sayangnya, Axel memiliki bukti. Ia berhasil
mematahkan leher tersangka ketujuh, memaksanya mengakui semua perbuatannya
dengan detail yang tak terungkap di penyelidikan sebelumnya. Pria itu kemudian
menyegel jiwa itu meski tubuhnya masih ada dalam keadaan leher patah.
"Kalau aku Pokiel, mungkin aku akan bilang 'akhirnya
kau tercerahkan!'," kata Axel.
"Kau dengar soal menghilangnya gadis-gadis di kota
ini, Axel?" tanya Ro.
Axel bangkit dan menatap mata Ro tajam.
"Aku masih berusaha menangkap keparat itu,"
kata Axel, "Sayangnya saat ini aku harus mengurus masalah yang lebih
besar."
"Begitu juga aku," kata Ro dengan nada sedih,
"Tal Becker menghilang, aku berusaha melacaknya namun aku tak menemukan
jawaban pasti siapa yang menculiknya."
"Antara 'Phantom' atau 'Pokiel', ya
kan?" Axel menepuk bahu Ro.
Phantom adalah sebutan yang diberikan koran lokal pada
penculik misterius itu. Nama yang cocok mengingat tak ada satupun yang
mengetahui siapa identitasnya.
"Sejujurnya aku lebih tertarik pada Phantom.
Aku bisa mencium bau iblis di setiap tempat dimana gadis-gadis itu menghilang.
Namun jujur saja, keberadaannya tidak mengganggu semesta ini. Aku lebih
khawatir pada Pokiel," Lanjut Axel.
Mendengar itu wajah Ro makin mengeras.
"Awalnya aku tak percaya. Pokiel memang memiliki
bakat untuk mengubah pikiran orang. Namun saat seorang bocah bernama Urich
memasuki gereja itu dan keluar dengan hawa iblis yang sangat pekat, aku
langsung sadar apapun yang Pokiel rencanakan jauh lebih besar daripada
penculikan gadis di kota ini," Axel menjelaskan.
"Urich, aku kira dia rekanmu?" tanya Ro.
Axel menghela napas, untuk kemudian menarik cerutu dari
saku Ro. Setelah menyalakannya ia berkata pada Ro, "Malam ini aku akan
menyerang gereja. Aku bisa memberikanmu petunjuk dimana kira-kira Phantom
berada. Kau bisa menghajarnya atas nama Axel Elbanac. Datanglah ke apartemenku
nanti."
Dengan informasi singkat itu, Axel meninggalkan Ro.
Ro menghela nafas dan memikirkan dalam-dalam semua
informasi yang baru didapat. Bisakah ia mempercayai Axel? Secara teknis orang
itu adalah pihak luar. Tapi dalam bidang ini sepertinya Axel adalah
ahlinya.
Ro menghela napas. Sepertinya ia membutuhkan secangkir Bourbon.
***
Detektif Ro tak biasaya merasakan takut. Tapi saat ini
ia menghadapi sesuatu yang belum pernah ia hadapi.
Alam Ghaib.
Ia mendengar banyak hal dari Axel. Tak ada informasi
Konkrit. Namun dari yang hasil pengamatan, Ro paham bahwa saat berhadapan
dengan Iblis, ia beresiko mengalami hal yang lebih buruk dari kematian.
Ro mencampakan cerutunya ke tanah dan kemudian menghela
nafas dalam-dalam.
Axel bisa mendeteksi keberadaan hal ghaib. Dengan
mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkan di tempat korban penculikan, Axel
menarik kesimpulan bahwa ini adalah dimana Phantom membawa korbannya.
Di sebuah gudang tua di dekat pelabuhan.
Bangunan itu tampak ringkih dan kotor. Namun saat Ro memasukinya, ia
menemukan bagian dalamnya terlihat bersih. Peralatan lukis tampak terlihat di
satu sisi ruangan dengan tiga belas lukisan dipajang di sisinya.
Salah satunya adalah...
"Tal?"
Ro bisa melihat lukisan terbesar di ruangan itu adalah
lukisan Tal. Dengan segala esensi kecantikan tergambar dengan jelas. Kulitnya
yang indah, rambut merahnya yang memukau. Potret itu mengenakan gaun putih. Ia
terlihat seperti malaikat...
kecuali bagaimana ada sebuah tangan keriput keluar dari
bagian dada. Wajah gadis itu juga tampak kesakitan.
Sebagai latar belakang, banyak sekali batu nisan dalam
bentuk salib bertumpuk-tumpuk. Nisan yang familiar di mata Ro, Nisan yang ada
di pemakaman umum kota ini.
"Oh! kau menemukan tempat ini!" Sebuah suara
mengagetkan Ro. Entah dari mana, sosok gadis tercantik kini ada di
sebelahnya.
"Kau menyukai gadis ini?" tanyanya.
Sejenak, Ro terdiam. Tal memang memiliki paras indah
memukai. Kecantikan itu masih membekas di hati Ro. Dan sebagai seorang pria, ia
juga menyaksikan bagaimana indahnya lekukan tubuh itu dalam kondisi tanpa
busana.
Akan tetapi, gadis di hadapannya terasa ada pada level
berbeda.
Berambut emas seakan bercahaya dengan wajah secantik
bulan purnama. Gerak-geriknya gemulai. Akan tetapi, Ro bisa memergoki kesiagaan
pedang di tangan. Seakan siap menerkam saat sedang lengah.
Gadis itu mengenakan gaun yang menonjolkan tiap lekuk
tubuh. Dada berukuran sedang, tak terlihat spesial namun terlihat amat
menggoda. Pahanya juga terlihat halus memesona. Senyuman itu membuat Ro merasa
tersesat hingga lupa di mana ia berada.
"Kau terlihat cantik," jawab Ro.
Ro berdehem, seraya berusaha menguasai dirinya sendiri.
Ia sudah berpengalaman, dan gadis macam ini adalah hal terburuk yang harus
dihadapi dari waktu ke waktu.
"Siapa kau?" Ro bertanya.
"Kau Detektif Ro, kan?" Alih-alih menjawab,
gadis itu malah balik bertanya. Tubuhnya bergerak secara hati-hati untuk
mendekati Ro. Lika liku pinggul yang bergoyang membuat jakun sang detektif naik
turun.
Sejenak Ro bersumpah, gadis itu memang sengaja
menunjukkan dirinya tak mengenakan celana dalam. Lalu apa pula tonjolan kecil
di penghujung payudara itu? Apa sungguh tak ada penyangga apapun di dalam
sana?
"Aku dengar kau mengetahui banyak hal tentang kota
ini," gadis itu berkata lirih, "Kau pernah dengar soal Frederica
Dare?" Sang gadis membuyarkan pikiran yang sempat melayang entah ke mana.
"Kalau tidak salah dia adalah orang pertama yang
menjadi pengikut Pokiel setelah suaminya, Francis Dare meninggal." Ro
kemudian bergerak mundur. Merasa bahwa informasi seperti ini tidak seharusnya
ia bagi.
"Oh! tentu saja! dugaanku benar," seperti
anak kecil, gadis itu melompat-lompat gembira, membuat roknya terangkat dan
menunjukkan belahan pantatnya. Benar dia tak mengenakan celana dalam!
Ro langsung memalingkan diri. Berada di hadapan
perempuan cantik adalah kelemahan. Ia berusaha menutup mata dan telinganya,
menutup batin agar bisa menguasai diri.
"Dan kau tahu dimana dia?" suara lembut itu
kembali terdengar.
Namun belum sempat Ro menjawab, Ro mendengar suara
gedebuk.
"Di sini kau rupanya Iblis!" suara Axel
terdengar keras, "Namaku Elbanac, Axel Elbanac. dan hari ini akan
kupastikan bahwa kau pergi dari dunia ini."
Ro berbalik, sosok tercantik yang ia lihat perlahan
berubah menjadi gadis lain. Sosok gadis yang lebih muda, lebih polos.
"Ha! kau pikir kau bisa menjadi wujud wanita
idealku?" Axel tertawa kecil, "Seorang Sucubus sudah pernah melakukannya
dan itu tak akan mempan kedua kalinya."
"Sayang sekali," gadis misterius itu tertawa
kecil, "Ah, tak apa deh. Paling tidak aku sudah bisa menebak di mana
Frederica Dare."
"Dan kau berencana kabur?" tanya Axel dengan seyuman
beringas, "Kau pikir aku akan membiarkanmu?"
"Kau ingat lukisan Makan Malam terakhir karya Da
Vinci? Dua belas murid dan salah satunya adalah pengkhianat," Gadis itu
tak memperdulikan Axel dan malah menghadap ke tiga belas lukisan di
belakangnya, "Judul lukisan ini adalah tiga Belas Bidadari dan Satu yang
terjatuh. Coba tebak siapa yang jatuh?"
Axel menerjang sang gadis misterius, namun dengan
cekatan ia menghindar. Setelah itu ia menjentikkan jarinya dan berkata.
"Kalian semua yang telah dilukis atas nama William
Amadeus Anderson, Bunuh dua laki-laki ini!"
Dan dengan kalimat itu, Ro bisa melihat tiga belas
gadis dalam lukisan itu merangkak keluar dari lukisannya.
***
Banyak orang yang mengira bahwa Axel Elbanac menjadi
seorang demonologist karena membenci iblis dan makhluk sejenisnya. Mereka tidak
sepenuhnya salah, namun saat ia bekerja di lapangan ini ia selalu diingatkan
bahwa ia tidak bekerja bukan cuma karena kebencian.
Ia mencintai ekspresi manusia yang terlibat oleh dengan
makhluk supranatural ini.
Ambil saja Ro yang ada tak jauh darinya. Begitu ia
melihat tiga belas lukisan di hadapannya (salah satunya adalah kekasih one-night-stand
Ro) Wajah pria itu langsung berubah shock tak percaya.
Lebih kaget lagi saat sang Detektif itu melihat sang
kekasih melemparkan api ke arahnya. Hampir saja ia terbakar kalau bukan karena
Axel mendorongnya menjauh.
Axel ingin tertawa, mungkin terhibur sekali akan
ekspresi detektif di hadapannya. Tapi ini adalah pekerjaan dan ia tak boleh
membiarkan sang detektif surealis itu mati. Jadi setelah menolong Ro, Axel
menarik belati sepanjang dua puluh sentimeter miliknya.
Analisa : Kecuali Tal Becker, Gadis-gadis yang
keluar dari lukisan itu hanyalah golem, Konstruk fana yang dibuat menyerupai
manusia.
Tentu saja ia tak ragu membunuh Tal Becker. Sucubus
atau bukan, ia tak bisa membiarkan laki-laki bangsat itu punya terlalu banyak
pion di papan catur mereka.
"Ro, mau sampai kapan kau meratapi cewek penggoda
itu?" Bentak Axel, "Mereka cuma golem kok. cuma tiruan manusia. Tidak
hidup."
Sambil memukulkan tangan kanannya. Golem yang ada di
hadapan Ro langsung mundur.
Akan tetapi, mereka dengan cepat membalas serangan
diikuti dua golem lain,
Mereka cerdik, pikir Axel.
"Penggoda? Beraninya kau!" Ro bangkit dan
menatap marah Axel, namun ia dipaksa menghindar saat Golem lain menyerangnya,
"Dia punya luka dari laki-laki yang ia cintai sebelumnya. Bukankah wajar
kalau ia mencari kehangatan orang lain? Ia ingin menyembuhkan lubang di
hatinya!"
Axel bangkit dan menatap Ro tak percaya, "Sungguh?
dan kau percaya begitu saja? Okelah, seorang gadis yang berusaha bertemu
kekasih hatinya yang masih hidup itu sangat romantis. Tapi kalau wanita itu
dengan mudahnya memeluk dan mengemis cinta ke laki-laki lain, apa bedanya dengan
rayuan gombal? Percayalah, menurut pengalamanku, Tal Becker tak lebih dari
hantu jalang haus kehangat—..."
Eksposisi panjang lebar Axel harus terpotong. Sebuah
api membara kembali disemburkan dari tangan Tal menuju dirinya
Sementara Axel menghindar dan berusaha melukai Tal, Ro
berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan Axel. Benarkah? Susah dipercaya.
Mana mungkin? Iyakah? Kenapa?
"Bagaimana kau tahu soal Tal?" Ro bertanya
ketus seraya menendang golem yang datang ke arahnya, "Dan kenapa kau ada
di sini? Katamu kau akan ke gereja."
"Saat aku baru tiba di sini, aku melihat dia
merayu kepala museum," Axel menjelaskan sembari menghindari
gentong-gentong yang dilemparkan Tal." Dia juga merayuku saat tiba di kota
ini. Dan dari reaksimu, aku bisa menduga dia juga ikut-ikutan merayumu. Betul
kan begitu?" Axel menerjang, siap menusukkan pedangnya, "Menjawab
pertanyaanmu yang kedua : Aku ragu sih kau bisa menangani ini sendirian."
Namun mendadak saja sesuatu menangkap kaki Axel, lalu
membanting pria itu ke arah Ro.
Ro dengan cekatan menghindar, walau pikirannya masih
saja berusaha mencerna maksud ucapan Axel.
"Jadi ada saran bagaimana kita bisa mengalahkan
mereka?" tanya Ro.
Axel yang baru bangkit dengan geraman kesakitan menatap
Ro tak percaya.
"Kau percaya padaku?"
Ro menendang Golem lain yang menyerangnya dengan
selendang dan berusaha mencekiknya, "Ya, aku percaya."
"Mungkin kita harus membunuh Tal?" saran
Axel, "Kalau di film-film, biasanya kalau kita membunuh satu boss, maka
anak buahnya akan berguguran."
Axel kemudian menghindari serangan salah satu golem dan
dengan cepat memenggal kepalanya. Namun meski kepala sudah terputus, para golem
itu masi bergerak dan kembali menerjang Axel.
Di sisi lain, Ro mulai menyerang dengan agresif.
Sementara Tal menerjang dengan api siap membakar Ro. Ro menghindar dan meninju
wajah Tal sekeras yang ia bisa. Namun semua luka memar hasil pukulan Ro dengan
cepat menghilang.
Belum sempat Ro melancarkan serangan balasan, dua golem
menerjang Ro dan mengikat leher Ro dengan selendang mereka.
"Hancurkan lukisannya," Ro berusaha
melepaskan diri dari dua golem yang saat ini berusaha mencekiknya.
"Kau tidak bisa melawan mereka?" tanya Axel
sambil menghindari lemparan tong lain dari Tal, "Dan sejak kapan kau ahli
di bidang supranatural?"
"Hei, meski kau bilang mereka hanya golem, mereka
tetap gadis yang aku kenal. Bagaimana coba aku memukul wajah mereka? Aku
gentleman tahu!" Ro yang sudah berhasil melepaskan diri langsung lari ke
arah bingkai lukisan.
"Bukannya kau baru saja memukul wajah Tal?"
Axel menyeringai lebar.
"Oh! Diam kau! Lihat baik-baik, seberapa banyak
kau melukai mereka, mereka akan kembali ke wujudnya semula : wujud dalam
lukisan. Jadi kalau aku merusaknya mungkin sesuatu akan terjadi?"
Dan Ro melakukanya, ia memukul salah satu lukisan itu
hingga menembus kanvas hingga merobeknya. Hal ini menyebabkan golem yang keluar
dari lukisan ikut terobek dari dalam. Seakan mereka juga terbuat dari kertas.
"Pemikiran bagus," puji Axel, "Aku akan
alihkan mereka dan kau hacurkan lukisan-lukisan itu."
Ro mengangguk, lalu bersiap melakukan pertandingan
tinju dengan dua belas kanvas lukisan yang tersisa. Kalau saja ia ada di
museum, mungkin Ro sudah ditangkap polisi. Lukisan-lukisan ini terlalu indah.
Terlalu sayang untuk dihancurkan. Namun saat ia mendengar suara Axel di
belakangnya, menantang dan membuat marah para Golem itu, Ro jadi tidak ragu
menghancurkannya.
Hingga tibalah ia di lukisan Tal.
Ro harus memuji sosok pelukis ini. Dia begitu rinci
menangkap seluruh esensi kecantikan Tal. Terbayang dalam benaknya tiap inci
tubuh Tal Becker saat mereka bermain di ranjang. Sepasang paha mulus dan
payudara yang sekal tak akan terhapus dengan mudah dari kenangan.
Kesempurnaan.
Ro hampir bisa merasakan seakan ada nyawa di dalamnya.
Pria itu menghela napas panjang, seraya matanya tertuju pada pedang yang
menusuk bagian jantung.
Ro memukulnya.
***
Pocong adalah makhluk yang unik. Secara umum, sebagai
Iblis, Batthory sudah bertemu segala jenis Iblis dan makhluk supranatural di
dunianya. Namun tidak dengan Pocong.
Sayangnya William menganggap bahwa Pocong tidaklah
berguna dan menyebalkan, hingga akhirnya ia menyegel makhluk itu dalam lukisan.
Namun siapa sangka Pokiel setuju dengan Batthory.
Menaiki domba pemberian Ratu Huban, ia menatap Pokiel yang sedang berdoa pada
lukisan Pocong dengan khusyuk. Seakan-akan lukisan itu bisa menjawab doanya dan
menghancurkan dunia untuk Pokiel.
Domba yang dinaiki Batthory mengembik.
"Aku setuju, Milez," kata Batthory sambil
menepuk tunggangannya, "Pokiel adalah orang bodoh. Namun orang bodoh
dengan kepercayaan itu lebih berbahaya."
Sang Domba yang dipanggil Milez itu mengembik lagi.
"Aku tahu kok, tapi ini adalah bagian dari rencana
William," Batthory berkata seakan mengerti bahasa Domba, "Kau masih
ingin bersamaku lebih lama, kan?"
Lagi, sang Domba mengembik. Apakah ia hanya mengembik
karena lapar atau ia memang bisa bicara pada Bathory adalah misteri. Namun
Batthory mengusap kepala si Domba dengan penuh kasih sayang.
"Kau boleh saja menghina kepercayaanku. Tapi saat
Ashura bangkit, aku ragu kau akan menghina kami lagi," suara Pokiel
tiba-tiba terdengar.
Mau tak mau, Batthory harus mengakui bahwa Pokiel
adalah laki-laki yang karismatik. Melihat wajahnya kau tak akan sadar kalau ia
berencana memanggil Iblis ke dunia dan membunuh semua manusia di dunia ini.
Ashura, menurut Pokiel, adalah Iblis yang ia sembah.
Seorang Iblis yang saking jahatnya sudah menghancurkan seantero asia kecil di
dunia ini.
Tapi di mata Batthory, Ashura adalah kenalannya.
"Aku dengar kau di sini untuk memberkan
penawaran," Pokiel melanjutkan, "Kami sungguh menyukai gambaran tuan
Ashura yang kau buat. Tapi aku ragu kau bisa memberikan kami hal lain yang kami
butuhkan."
"Kenapa sih kau mempersulit kami bertemu dengan
Frederica Dare?" Elizabeth bertanya kesal, "Terakhir kali aku ke sini
kau bilang dia sedang bertapa di ruang bawah tanah. Haruskah aku menambahkan
bahwa aku ragu kau berkata seratus persen jujur?"
"Dan apa yang kau inginkan dari nona Dare?"
tanya Pokiel, "Kenapa kau tidak bergabung dengan kami saja, nona Batthory?
Ashura pasti akan melindungimu di dunia yang aku perintah nantinya."
"Hei, kau baru saja mencoba merayu iblis
lho," selama sepuluh detik Batthory mengubah wujudnya dari wanita
tercantik bagi Pokiel menjadi wanita yang paling ditakuti oleh Pokiel. Selama
sepuluh detik itu pula Pokiel tiba-tiba gemetar.
Batthory tersenyum kecil.
"Maafkan hamba, nona Batthory," Pokiel
tiba-tiba menunduk, "Jadi kau sudah pernah bertemu dengan Ashura."
"Kembali ke topik," Batthory berkata ketus,
"Aku hanya ingin mempertemukan tuanku dengan Elizabeth Dare. Sesulit
itukah?"
Membaca pikiran sang pendeta palsu, Batthory duduk di
atas sang Domba seraya menyingkap roknya untuk menunjukkan paha putih mulus
miliknya.
"Ehm..." Pokiel berusaha menguasai diri,
"Kau sudah melakukan itu sejak pertama kali kita bertemu. Aku ragu aku
bisa puas hanya dengan paha."
"Besok malam, sediakan kamar kosong di gereja
ini," jawab Batthory, "Biarkan tuanku bertemu dengan Elizabeth Dare
dan aku akan menunjukkan hal yang belum pernah kau lihat sebenarnya."
Pokiel tersenyum dan kemudian mengangguk puas,
"Dengan senang hati."
Batthory kemudian meminta sang Domba untuk kembali ke William.
Sang Domba mengembik dan seraya keluar dari gereja Pokiel, tidak lewat pintu,
tapi menembus tembok seakan tembok itu tak pernah ada di sana.
"Ashura, eh?" Batthory tersenyum kecil.
***
Diliputi teriakan kesakitan dari mulutnya, gadis itu
membuka mata. Masih terasa jelas rasa sakit di lehernya, membayang pula rasa
benci pada pembunuhnya. Orang itu dengan cepat menghancurkan harapannya tanpa
berkata apa-apa. Namun lebih dari itu, tubuhnya entah kenapa masih bisa
merasakan sisa-sisa orgasme sebelum ajal menjemput.
Mati?
Rasanya tidak nyata. Gadis itu melihat ke sekelilingnya
dan ia kini tidak ada lagi di ruang singgasana Perancis. Alih-alih kini ia
melihat dirinya ada di ruang singgasana yang sepenuhnya terbuat dari emas.
Termasuk singgasana yang amat besar diduduki oleh pria dengan jenggot paling
tebal yang pernah ia lihat.
"Selamat datang di neraka," sambut laki-laki
itu, "Aku Ashura dan aku datang untuk memberikanmu pilihan."
Gadis itu berusaha mennguasai pikirannya.
Fokus, fokus.
Saat ia akhirnya kembali menatap Ashura, gadis itu bisa
melihat api di sekitar tubuh lawan bicaranya.
"Kau Iblis?" Tanya gadis itu, "Kalau kau
seperti apa yang tuan Faust katakan. Artinya kau bisa memenuhi permintaanku,
kan?"
"Tentu saja," jawab Ashura, "Aku bisa
memenuhi permintaanmu dengan syarat yang harus dipenuhi. Kau bisa saja pergi ke
surga dan melewatkan penawaranku."
"Aku… Aku ingin hidup lagi. Aku ingin bisa
merasakan kenikmatan itu lagi," jawab gadis itu.
Terlepas dari kepala yang terpisah dari lehernya. Ia
merasakan sesuatu yang belum pernah dialami. Layaknya candu, ingin sekali ia
merasakan kesenangan itu lagi. Tak perduli apa yang harus dilakukan untuk
memenuhi.
Laki-laki itu … Orang yang sudah membunuhnya. Ia ingin
bertemu dengannya lagi.
"Sebelum…sebelum aku mati," gadis itu
memulai, "Ia menghinaku, memperlakukanku seperti sampah. Orang itu tidak
langsung membunuhku seperti bagaimana ia membunuh keluargaku." Ucapannya
terhenti, "Tidak… Dia melakukan sesuatu padaku. Aku tak tahu apa… tapi aku
ingin merasakannya lagi. Aku…"
Ashura tertawa keras, "Kau ini aneh ya?"
Ashura berkata. Suaranya membahana ke seluruh penjuru ruangan. Namun anehnya,
sang gadis mendengarnya seakan ucapan itu keluar langsung menuju sanubari.
"Yang laki-laki itu lakukan padamu adalah
pemerkosaan. Kau tidak merasa dendam? Kau tidak marah? Tidakkah kau ingin
membunuhnya?"
"Ya, membunuhnya juga ide bagus," jawab gadis
itu, "Tapi membunuhnya adalah hal yang terlalu mudah. Ia memakai pedang
tumpul untuk membunuhku! Kamu tidak tahu betapa sakitnya itu!" Gadis itu
berteriak pada Ashura, "Aku…Aku ingin melakukan apa yang ia lakukan
padaku. Aku ingin memberikannya kenikmatan. Aku ingin membuat ia merasa sangat
senang. Aku ingin membuat semua cita-citanya tercapai. Lalu seperti bagaimana
ia menjanjikanku hidup, aku ingin memberikan harapan bahwa ia bisa mencapai
lebih. Lalu…lalu…"
"Kau lebih kejam dari yang aku kira, nona
muda," jawab Ashura, "Aku akan mengabulkan permintaanmu. Tanpa
syarat. Kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan pada pembunuhmu itu. Asal
kau akhirnya membunuhnya, kau tak akan menerima harga ataupun perintah apa-apa
dariku."
"Te…terima kasih," jawab gadis itu.
"Dan mulai sekarang namamu adalah Batthory."
Dengan kalimat itu, Batthory bisa merasakan api di
sekitar Ashura bergerak, hingga kemudian membakar tubuhnya.
Pun begitu, Batthory tidak merasakan sakit. Karena
selayaknya burung Phoenix yang bangkit dari abu. Detik itu ia baru saja
terlahir kembali.
***
William terbangun dari tidur singkat. Dalam pikirannya
ia bisa merasakan lukisan Tal Becker baru saja dihancurkan.
"Aku baru saja kehilangan satu pion," gumam
William, "Aku meremehkan mereka sepertinya."
"Ya, ya, kau meremehkan mereka! Tapi bukankah kau
tidak punya harapan apa-apa dari Tal?"
"Oh, kau sudah pulang," William berkata datar
sambil menatap Batthory di pangkuannya, "Kalau dipikir lagi, memang
hancurnya lukisan Tal lebih baik daripada aku menghancurkannya
sendiri."
"Baru kali ini lho aku lihat kau membenci
karyamu," kata Batthory.
"Bisa kau pergi dari pangkuanku?" tanya
William.
"Iya, iya. Kau kalah lho sama Milez dalam menjadi
kursi yang nyaman," kata Batthory, namun ia tidak bangkit dari pangkuan
William.
"Kau menyukai domba itu?" William tampak
terkejut, "dan kau juga memberinya nama?"
"Dia adalah hal lain yang bisa kusentuh selain
dirimu William," Batthory menjawab, "Aku akan menikmati apa yang saat
ini aku punya. Dan sejujurnya, aku masih menikmatimu."
"Ngomong-ngomong, aku berhasil mengamankan Dare
untuk besok," Batthory melanjutkan, "Kau bisa menahan Axel dan Ro
lebih lama lagi?"
"Apapun demi lukisan maha karyaku," jawab
William.
Pandangannya kembali pada lukisan yang ada di
hadapannya, Lukisan seorang Elizabeth Dare sedang berdiri di atas jurang
sembari menatap lautan. Ia bisa merasakan darahnya mendidih saat membayangkan
Dare masuk ke lukisan ini. Bersamaan dengan semua keinginan dan kemauan sang
gadis yang jatuh ke tangannya.
Jauh di lubuk hati William, Dare membuatnya teringat
akan cinta pada gadis berambut merah. Ia memenggal kepala perempuan itu. Jauh
sebelum ia bisa melukis atau mendapatkan kekuatan ini. Jauh sebelum ia menjadi
pemerkosa dari London. Saat dimana William masih muda dan belum mengerti, bahwa
mendominasi perempuan adalah hal yang paling nikmat.
***
Warning! explicit content ahead!
***
Invasi Versailles adalah satu dari rangkaian operasi
sukses yang dipimpin oleh William Amadeus Anderson.
Pada masa itu jarang ada bangsawan yang bisa memimpin
operasi dengan sukses. Pendidikan mereka berbeda dari rakyat jelata yang
mendedikasikan hidupnya di sekolah militer. Namun William membuktikan bahwa
bangsawan juga bisa berperang di medan perang, bukan cuma berpolitik di arena
dansa.
Invasi Versailles juga adalah Invasi yang menutup
rangkaian panjang operasi-operasi Britania untuk menginvasi Kerajaan Perancis.
William, dengan tiga orang prajurit terpercayanya,
menelusuri Istana Versailles. Istana kebanggan kerajaan Perancis dengan tembok
teraman di Eropa ini, berhasil ditembus lewat pancingan makanan pada para
penjaganya.
Bukti lain bahwa para bangsawan tidak perduli pada
rakyat jelata di bawah mereka.
Mereka akhirnya sampai di ruang singgasana. James
Evans, tangan kanan William dengan cepat menyalakan serangkaian dinamit di tas.
Lewat satu ayunan lengan ia lempar benda itu ke dalam ruangan.
Pintu ditutup oleh Nicholas Lestrange. Sedetik setelah
terdengar ledakan, barulah ia membukanya lagi.
Keempat prajurit Britania itu disambut keluarga
kerajaan Perancis hingga terlempar menuju sisi tembok.
Ia bisa melihat sang Raja terlempar ke belakang
singgasananya. Sementara itu, sang Ratu kehilangan separuh wajah dan tangan
kanannya, mungkin karena berdiri terlalu dekat dengan bom yang dilemparkan
James. Posisinya berada di sebelah kiri ruangan.
Dua prajurit tampak pingsan dengan luka bakar di tubuh.
Namun ajaibnya, seorang gadis berhasil selamat. Matanya masih terbuka dalam
ekspresi gamang, dia masih sadarkan diri.
"Charless, Biarkan gadis itu tetap hidup, tembak
saja yang lain."
James dan Nicholas tetap berada di sisi William,
sementara Charless Hausen memeriksa mayat-mayat di sekitar mereka.
Masing-masing memastikan bahwa yang mati memang benar mati, sementara yang
hidup harus menerima peluru di kepala mereka. Sang gadis yang selamat tadi
lantas dibawa menuju William.
"Gadis cantik,"
pikir William. Ia bisa melihat sosok berumur dua belas tahun ini akan tumbuh
menjadi perempuan menawan. Namun mandat mengatakan, tidak ada keluarga kerajaan
yang boleh selamat.
Bisakah ia memenggal kepala gadis ini? Sejenak
dilihatnya ekspresi gadis itu. Sang Putri konon adalah epitome dari kecantikan
di Perancis. Ia bisa melihat bagaimana gadis ini tumbuh di lingkungan paling
baik untuk mengasah kecantikannya. Rambut merah yang sepunggung tampak terawat
dengan baik. Setiap inci tubuhnya terlihat indah.
Tapi William di sini bukan untuk menikmati ini semua,
bukan?
"Kalian bertiga, penggal kepala sang raja dan sang
Ratu, lalu paradekan ke seluruh rakyat Versailles," perintah William.
Ketiga prajuritnya itu memberikan hormat untuk kemudian
melaksanakan perintahnya.
"Kenapa kau tidak bunuh aku saja?" Suara
lemah gadis di hadapannya terdengar, "Kalian orang Inggris sangat suka
berkata memangkas akar sebelum menjadi rumput, bukan?"
"Kau ketakutan, ya?" William menyeringai,
"Wajar saja, sih!" Dalam satu gerakan William merobek pakaian yang
dikenakan gadis itu, "Kau tidak akan selamat seperti Kisah Putri
Anastasia. Bukan berarti kau akan mati begitu saja seperti orang tuamu. Terlalu
mudah, bukan?"
Seketika ekspresi gadis itu berubah menjadi takut.
Sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri dari William. Namun tangan William
mencekik lehernya dengan kuat.
Tubuh gadis kecil itu dilemparkan menuju singgasana,
untuk kemudian diikat kaki dan tangannya.
William adalah prajurit. Ia mendedikasikan hidupnya ke
dalam perang untuk menguasai Perancis. Akan tetapi, berperang bukanlah
panggilan hidupnya. Setelah selesai mengikat sang Putri ia tersenyum gembira.
Ia bisa melihat keindahan dunia. Segala inci tubuh gadis itu adalah keindahan
yang selama ini didambakan. Namun yang menjadi pelengkap adalah saat ia melihat
ekspresi wajah yang ketakutan.
Marah, takut, benci, semuanya bercampur aduk. Namun
dibalik segala emosi negatif itu, sang gadis masih memiliki harapan berbalut
keberanian. Ia masih ingin melawan. Meski segala usaha untuk lepas dari ikatan
terasa sia-sia. Setidaknya ia masih berusaha.
William menarik pedangnya
Semakin takut gadis di hadapannya, semakin senang hati
William. Ia belum pernah merasakan gairah sebesar ini. Dengan pedangnya,
William merobek segala pakaian yang masih menempel di tubuh gadis itu. Raut
wajahnya berubah lagi. Pipi gadis itu berubah merah, seraya alisnya mengerut
menahan malu. Mungkin ini kali pertama ia dilihat laki-laki dalam keadaan telanjang
bulat. Namun William tak perduli.
"Kau adalah gadis tercantik yang pernah
kulihat," kata William.
Ia bisa mendengar bahasa perancis kasar terdengar dari
mulutnya. Kata yang tak William mengerti mungkin karena kata itu jarang sekali
dipakai oleh bangsawan. Bahkan dalam keadaan seperti ini, sang Putri masih
berusaha memberontak.
William meraba tubuh gadis itu. Mulai dari paha, naik
menuju celah kecil di tengah selangkangan. Ia bisa merasakan betapa mudanya
gadis ini hanya dengan menyentuh klitorisnya saja. Bersamaan dengan itu,
ekspresi sang putri kembali berubah. Dia bingung, tak tahu bagaimana cara
merespons sensasi aneh yang ia rasakan. Seakan ada sengatan kecil, namun
membuat sekujur tubuhnya merinding nikmat.
William paham, perempuan di hadapannya belum pernah
menyentuh dirinya sendiri. Jadi ia memainkan tonjolan lemak kecil di antara
celah perawan itu. Dengan jemarinya, William memberikan penekanan kecil, seraya
mengaduk dalam gerakan berputar. Lewat telunjuk dan jari tengah, ia renggangkan
bagian terluar lebar-lebar, menyibak bagian dalam lembab berwarna kemerahan.
Tak lama kemudian gadis itu melenguh. William mendapati tangannya basah
berlumurkan cairan kewanitaan.
Saat akhirnya gadis itu sadar dari kenikmatan sesaat,
ia kembali menatap William dengan penuh kebencian, "Apa…apa yang kau
lakukan?" suaranya yang terengah-engah bertanya.
William tak menjawab, dia malah merespons dengan cara
meraba dada sang gadis perawan.
Putri ini tampak tumbuh lebih cepat dari sebayanya.
Sepasang gumpalan kembar di dada itu terasa kenyal. Tak terlalu besar namun
cukup untuk dinikmati tangan William.
Lagi-lagi gadis itu melenguh nikmat. Namun masih
berusaha menguasai diri, terlebih ketika melihat William tersenyum. Sayangnya,
apalah yang bisa ia perbuat untuk menghadapi ini? Selain menahan jutaan impuls
asing berupa kenikmatan yang baru kali ini ia rasakan. Butuh beberapa menit
hingga gadis itu kembali mencapai orgasmenya.
Puas melihat ekspresi itu, William melepaskan ikatan di
kaki dan tangannya. Namun gadis itu tak melawan. Ia tak bisa melawan. Tubuhnya
lelah setelah menegang dalam kenikmatan puncak selama dua kali berturut-turut.
Jadi William duduk di singgasana, memangku gadis itu. Pikirannya bahkan berubah
angkuh, merasa seperti raja. Melihat ruang singgasana yang besar itu ia
berbisik pada gadis di pangkuannya.
"Kau pikir kau adalah yang paling mulia, gadis
kecil?" William menata kata-katanya, "Kau sekarang telanjang dan
ternoda duduk di singgasana ayahmu. Bagaimana rasanya? Coba bayangkan kalau
saat ini semua bangsawan perancis ada di sini dan melihatmu. Apa pikir mereka
saat melihatmu, tuan putri mereka, duduk dipangkuan laki-laki dari Britania
dalam keadaan telanjang."
Kata-kata Perancis itu keluar lagi dari mulut sang
gadis. Namun William mengabaikannya. Ia sudah mengeluarkan batang besar
kebanggannya. Tanpa kesulitan berarti ia posisikan gadis itu untuk duduk di
hadapannya, menempelkan celah kewanitannya pada sang pahlus yang sudah tegang
menantang.
Lubang perawan sungguh sulit untuk ditembus. Lewat satu
sentakan cepat, ia mendorong Sang Putri turun untuk melahap batang
kejantanannya. Tak ayal, jeritan kesakitan terdengar keras hingga menggema di
penjuru ruang singgasana. William tertawa keras seraya melanjutkan kegiatannya.
Dipegangnya pinggul sang Putri, untuk kemudian digerakkan naik turun. Sang
Putri mendesah, melenguh, awalnya kesakitan namun semakin lama berubah menjadi
kenikmatan.
Setiap tusukan membuat sang Putri berteriak nikmat.
Namun William bisa melihat bahwa gadis itu dalam konflik. Perasaan, tubuh,
ekspresi, semua menunjukkan bahwa ia sedang merasa terhina. Ia merasakan
bagaimana tubuh telanjangnya itu, tubuh yang dirawat sejak kecil oleh
orang-orang terbaik di Perancis, dikotori dengan mudahnya. William bisa melihat
kebencian gadis itu padanya, namun ekspresi benci itu tertutupi oleh kenikmatan
yang ia rasakan.
Sempat beberapa kali ia berusaha melompat dari pangkuan
William, atau melepaskan tangan William dari pinggulnya. Namun percuma, gadis
itu tak memiliki kekuatan yang cukup. Hingga akhirnya William mengeluarkan
muatannya ke dalam rahim.
Gadis itu berteriak sekencang-kencangnya, tak terima
akan semburan bibit asing di dalam lubang kewanitannya.
"Nikmat bukan?" Tanya William, "Kau
menghiburku, gadis kecil." William mengangkat gadis itu dan menjatuhkannya
begitu saja di lantai, "jadi aku akan membiarkanmu hidup."
Sang gadis dengan tenaganya yang tersisa berusaha
menjauhkan diri dari William. Namun William dengan cekatan menangkap rambut
merahnya. Pria itu mendekatkan wajahnya pada paras cantik gadis itu. Ia bisa
melihat gadis itu kembali memiliki harapan.
"Bukankah menyenangkan kau bisa hidup? Mungkin
saja kau bisa merasakan lagi kenikmatan barusan?" Tanya William.
Sungguh, wajah perempuan itu terlihat semakin sumringah
setelah ditaburi harapan.
Sebuah harapan kosong. Terbukti dari parasnya yang
berubah kosong, tatkala William menyabetkan pedangnya ke leher gadis itu. Gadis
itu berteriak kesakitan. Sayang William tak bisa menebas leher itu dalam satu
kali tebasan.
"Semoga saat kau lahir, kau tidak lagi menjadi
keluarga kerajaan," kata William.
Semakin dalam pedang William masuk ke leher gadis itu,
tubuh gadis itu bergerak panik dan berusaha kabur. Namun William memegangnya.
Pita suara sudah terlewati dan suara teriakan gadis itu menghilang begitu saja
sebelum tubuhnya kehilangan nyawanya dan pedang William memenggal lehernya
dengan sukses.
William kemudian mengamati ekspresi terakhir gadis itu
dan menyadari...
Sang Putri tampak lebih cantik dari sebelumnya.
***
Pokiel tersenyum puas saat ia melihat polisi memasang
barikade di sekeliling gerja miliknya. Gereja yang dulunya dibangun untuk
berdoa pada Tuhan kini diubah menjadi tempat pengorbanan untuk Iblis. Kalau
bukan karena kerja kerasa Pokiel, maka hari ini tak akan pernah tercapai.
Rencananya berjalan mulus. Umatnya sudah mengenakan
ikat kepala lambang Ashura, sebuah tanda bahwa orang-orang itulah yang akan
menjadi tumbal kepada Ashura. Bukan Cuma umatnya, bahkan Pokiel berhasil
membujuk polisi di sekitar gereja untuk memakainya juga.
Semua rencananya berjalan lancar. Namun kunci
keberhasilannya ada pada Dare. Memanggil Ashura bukanlah tugas yang mudah.
Dibutuhkan gadis yang terbohongi untuk memanggil Ashura dan Dare adalah orang
yang seratus persen percaya pada semua kebohongan Pokiel.
Kalau rencana utamanya berjalan lancar, ia juga bisa
mendapatkan bonus untuk menikmati tubuh gadis bernama Batthory itu. Melihat
payudaranya yang besar sudah membuat jakun Pokiel naik turun, namun ia ingin
melihat bagian tubuhnya yang lain, merabanya, menikmatinya.
Lamunannya itu terganggu saat seorang laki-laki
menghampirinya diikuti oleh Batthory.
"Selamat siang tuan Pokiel, aku harap kau
menikmati hadiah dariku," sapanya, "Aku William Amadeus Anderson.
Pelukis Ashura dan tuan dari Batthory."
"Sayangnya aku belum menikmati hadiah utamanya,
tuan Anderson," balas Pokiel sambil memandang Batthory, "Aku harap
kau tidak keberatan."
"Tentu saja tidak. Melihat betapa agungnya pendeta
sepertimu, aku bahkan tak tahan untuk melukismu." Di belakang William, dua
orang laki-laki bertopeng membawa lukisan baru, "Tentu saja bukan ini yang
kau inginkan bukan?"
"William, biar aku urus lukisan ini dan tuan
Pokiel," Batthory menyela dengan genit, "Jadi tuan Pokiel, bisa kau
tunjukkan dimana ruanganmu? Aku yakin lukisan ini akan indah dipajang di
sana."
"Te…tentu saja," Pokiel berusaha menguasai
dunia, "Sebelum itu tuan William. Kau bilang kau ingin bertemu Dare.
Apakah ini tanda kau akan bergabung dengan kami?"
"Aku akan memutuskannya saat mendengar apa kata
nona Dare," jawab William, "Untuk suatu alasan aku lebih mudah
dibujuk oleh wanita daripada laki-laki. Aku harap kau tidak terseinggung."
"Tentu saja, tentu saja," Pokiel tersenyum
kecil, "Dare, aku percaya ia ada di ruang bawah tanah membaca kitabnya
seperti biasa. Urich, bisa kau tunjukkan dimana ruangan nona Dare pada tuan
William?"
"Dengan senang hati," Seorang bocah
warna-warni muncul dari belakang Pokiel dan dengan senang hati memandu William
ke ruang bawah tanah.
Pokiel tersenyum puas dan kemudian memandu Batthory dan
kuli lukisan itu ke ruangannya. Namun meski ia sudah sampai di ruangannya dan
membiarkan para kuli itu memasang lukisan William di tembok, pandangan dan
pikiran Pokiel masih tertuju pada Batthory.
"Ah, aku yakin kau sudah tak sabar, tuan
Pokiel," kata Batthory, "Seperti yang aku janjikan. Aku akan
menunjukkan apa yang belum pernah kau lihat."
Dan kemudian Batthory membuka lukisan William yang
tadinya tertutup kain. Di sana, sosok Pokiel berdiri dengan gagahnya di depan
gereja miliknya. Sungguh menunjukkan betapa hebatnya sang pendeta.
Tanpa sadar pokiel mengalihkan pandangannya pada
Batthory dan menatap lukisan itu. Tangannya bergerak ke lukisan itu, meraba
keindahan lukisan itu sebelum akhirnya…
Pokiel menghilang dari ruangan itu diikuti oleh
senyuman puas Batthory.
***
Axel dan Ro duduk di sebuah kafe di seberang gereja.
Sembari memakan makan siang mereka, keduanya melihat situasi gereja yang saat
ini sedang dijaga ketat oleh polisi.
"Ikat kepala itu adalah kabar buruk," Axel
berkata sembari memakan roti bakarnya sampai habis, "Orang yang memakai
ikat kepala itu otomatis menjadi tumbal buat apapun yang ingin Pokiel
panggil."
"Jadi kita harus menyuruh mereka melepas ikat
kepala itu?" Tanya Ro sambil meletakkan kopinya yang sudah ditenggak
habis.
"Tak akan menghentikan ritual," jawab Axel,
"Aku tak tahu ritual apa yang direncanakan Pokiel. Tapi biasanya selalu
ada tumbal inti. Kita selamatkan tumbal inti, maka ritual berhenti."
"Kau ingat apa yang ditanyakan iblis cantik
itu?" Tanya Ro, "Frederca Dare. Kenapa menurutmu dia menanyakan
itu."
"Kenapa memangnya soal Frederica Dare?" Tanya
Axel penasaran.
"Dia adalah pengikut awal Pokiel. Kalau tidak
salah keluarga suaminya akhirnya mengusirnya karena saat itu propaganda Pokiel
belum sekuat sekarang," jawab Ro, "Dua tahun yang lalu kalau tidak
salah. Pokiel hanya memiliki dua belas pengikut, termasuk Frederica Dare.
Seiring bertambahnya pengikut Pokiel, satu persatu dua belas pengikut itu
mati…"
"Kemungkinan mereka juga menjadi tumbal untuk
lidah emas Pokiel," sela Axel, "Ha! Sudah kuduga! Orang yang bisa
mencuci otak hanya dengan bicara tidak mungkin normal!"
"Bisa jelaskan lebih lanjut, Demonologist?"
Ro bertanya dengan nada kesal, "Aku membayari makan siangmu dan aku harap
kau menjelaskan semua hal yang aku tidak tahu dalam masalah ini."
"Baik, baik!" Axel tersenyum kecil,
"Begini ya. Di dunia manapun, tak ada kekuatan supranatural yang gratis.
Setiap kekuatan punya bayaran. Aku mengira bahwa Pokiel itu secara alami adalah
pendebat dan penipu ulung. Namun tampaknya tidak begitu," Axel
mengeluarkan sebuah kertas dan menggambar dua belas lingkaran di atasnya,
"Kita asumsikan Pokiel menumbalkan satu muridnya untuk membayar 'Kemampuan
untuk mendapatkan banyak pengikut.' " Axel mencoret satu lingkaran,
"Maka pengikutnyapun bertambah," Axel menambahkan sepuluh lingkaran
lain, "Tapi Pokiel masih merasa itu tidak cukup. Jadi ia menumbalkan lagi
satu pengikutnya," Axel mencoret satu lingkaran lagi, "Dan lalu
mendapat pengikut lebih banyak lagi."
"Tapi kenapa ia tidak menumbalkan orang-orang
baru?" Tanya Ro.
"Entahlah. Beberapa Iblis sedikit pilih-pilih
masalah tumbal," jawab Axel, "Yang jelas, dengan sebelas tumbal, kita
mendapatkan seisi kota percaya pada apa yang Pokiel percayai."
"Dengan begitu semua orang yang ia ajak bicara
akan langsung percaya pada perkataannya," Kata Ro.
"Kalau asumsiku benar, maka Dare inilah yang akan
menjadi tumbal utama dalam ritual ini," lanjut Axel.
Sembari menghabiskan kopinya yang tersisa, Axel
memeriksa lagi segala senjatanya sementara Ro membayar makanan mereka. Setelah
semua urusan beres, kedua lelaki ganteng itu pun bergerak menuju arah gereja.
"Jadi, cara halus apa cara kasar?" Tanya
Axel.
"Aku usahakan cara halus dahulu," jawab Ro.
***
Frederica Dare menatap pria di hadapannya. Lelaki yang
tampan namun terlihat berbahaya. Hampir seperti tuan Pokiel. Bagi Frederica,
Pokiel adalah cahaya di kegelapannya. Saat suaminya meninggal, ia merasa
dunianya ikut mati bersamanya. Namun Pokiel datang dan berkata bahwa dunia ini
mengambil orang yang paling ia kasihi. Kenapa tidak hancurkan saja semua yang
dikasihi dunia ini?
Frederica tidak menyalahkan pembunuh suaminya yang
mabuk, tidak juga menyalahkan dokter yang gagal menyelamatkannya. Ia menyalahkan
dunia ini yang dengan kejam menulis takdir untuk membunuh suaminya dua bulan
setelah pernikahan mereka.
"Mari hancurkan dunia ini bersamaku," ajak
Pokiel.
Dan sejak saat itu ia menjadi pengikut setia Pokiel.
Pengorbanan demi pengorbanan telah diberikan dan akhirnya ia tiba di saat ini.
Jadi siapa laki-laki ini yang berani memasuki altar pengorbanan ini?
"Nona Dare," laki-laki itu membungkukkan
badannya, "Aku dengar kau sudah siap mati."
"Siapa kau?" Tanya Frederica, "Aku harap
kau tidak di sini untuk mengacaukan ritualnya."
"Oh, tidak," laki-laki itu tersenyum,
"Aku ingin menghibur saat-saat terakhir sebelum kau mengorbankan diri
untuk tuan kita Ashura. Apakah kau mengijinkanku?"
Seluruh insting dalam tubuhnya berkata bahwa laki-laki
ini berbahaya. Ia ingin menolak ajakan laki-laki itu, namun tanpa menunggu
jawaban laki-laki itu membuka sebuah lukisan yang ada di belakangnya. Lukisan
dirinya berdiri di atas sebuah tebing.
Tanpa sadar Frederica mendekati lukisan itu. Setiap
detail yang indah itu membuat Frederica terkesiap. Ia merasa bahwa di lukisan
ini bukan hanya ada wujudnya, melainkan juga pemikiran dan idealnya. Semakin
mendekat, Frederica bisa melihat setiap detail pada gemuruh lautnya, setiap
inci tebingnya hingga detail rambut Frederica dalam lukisan itu.
Dan tangannya meraih ke lukisan itu…
***
William tersenyum puas. Ia berhasil mendapatkan
targetnya dan seperti yang ia duga, kecantikannya benar-benar memukau. Ia ingin
melihat bagaimana ia bisa menghancurkan Dare sampai tak punya kemauan lagi. Melihat
bagaimana Dare mengikuti Pokiel selama dua tahun, ia yakin kemauan dan
keinginannya sangatlah kuat.
Namun dibalik rasa senang itu William merasa ada yang
mengganggunya.
William melirik mayat Urich yang ada di luar ruangan.
Sebagai veteran prajurit, William sudah diajari membunuh dengan berbagai cara.
Menembak bagian vital, menyobek otot-otot tertentu, memotong dan memutilasi.
Satu-satunya yang menodai rekornya membunuh adalah sang Putri yang ia bunuh di
Versailles.
Namun saat ia membunuh Urich, bukan hanya ia salah
menusuk bagian vital, tangannya bahkan gemetar. Pada akhirnya Urich mati dalam
tusukan ke lima. Saat itu ia merasa seperti baru pertama kali membunuh.
"Apa yang terjadi padaku?" William berbisik
sambil melihat angannya.
Melihat mayat Urich lagi, ia merasa bahwa meski tampan,
mayatnya tidak lagi menyimpan keindahan yang ada sebelumnya. Perut, Leher,
Mata, Dada dan akhirnya Jantung. Setiap tusukan membuat Ulrich semakin
kesakitan.
Suara embikan domba menyadarkannya dan ia menemukan
Batthory yang duduk di atas domba dari Ratu Huban menatapnya dengan wajah
serius.
"Semua tujuanmu sudah tercapai?" Tanya
Batthory.
"Bisakah kau periksa lagi semua kekuatanmu yang
ada di aku?" Pinta William.
"Kau ingin aku mengambilnya?" Batthory tampak
terkejut.
"Bukan, cukup periksa saja," jawabnya,
"Aku merasa ada bagian dari diriku yang dicuri."
"Ah, iya. Si kepala museum itu melakukan sesuatu
padamu," jawab Batthory, "Dunia ini juga ulahnya lho. Tapi kau bilang
kau tak perduli salam kau bisa mencari maha karyamu."
"Jadi ada yang lebih berkuasa darimu,
Batthory?" Tanya William.
"Kami para Iblis tidaklah yang maha kuasa,"
jawab Batthory, "Kami terikat kontrak. Kontrak yang kau buat denganku
adalah peraturanku. Aku tidak berkuasa padamu, Will. Tapi nanti saat hutangmu
sudah jatuh tempo, baru aku akan mengambil kuasaku."
"Tapi pelatihan militerku bukan termasuk kekuatan
yang kau berikan padaku, kan?" Tanya William.
"Salahkan kepala museum," jawab Batthory
singkat, "Sekarang, kenapa kita tidak berfokus pada beres-beres?"
William mengangguk. Dikeluarkannya lukisan lusuh 'sang
Kuli' dari kantongnya. Lukisan kecil ini adalah salah satu cara William untuk
memindahkan lukisan-lukisannya. Setelah dua laki-laki bertopeng dari lukisan kecil
itu mengemas lukisan Frederica. Ia dan Batthory bergerak menuju ke arah ruangan
milik Pokiel.
"Jadi, sekarang apa?" Tanya Batthory.
"Apa menurutmu Ashura di dunia ini sama dengan
Ashura di dunia kita?" Tanya William.
***
Axel dan Ro menatap pemandangan di depan mereka.
Setelah cara halus yang disarankan Detektif Ro gagal
(Karena sepertinya tidak semua orang di kepolisian menyukainya seperti yang ia
klaim), halaman di depan gereja menjadi arena pertandingan antara Axel, Ro dan
penjaga kepolisian.
Namun semua itu harus berhenti saat satu persatu
polisi-polisi itu jatuh ke tanah diikuti para pengikut Pokiel yang juga ikut
kehilangan nyawanya. Axel mengutuk keras dan bersama Ro segera berlari kea rah
gereja.
Yang menyambutnya adalah sosok Pocong yang duduk di
singgasana dari api. Namun Axel merasa bahwa Pocong dihadapannya bukanlah
Pocong yang ia temui di Museum Semesta.
"Aku Ashura!" suara Pocong terdengar
menggema, "Untuk suatu alasan, aku muncul dalam wujud ini. Tapi tak apa!
Karena makhluk ini cukup seram!"
"Kau bukan Pocong?" Tanya Axel, "Aku
ingat melihatmu di museum semesta."
"Siapa? Aku tak kenal nama yang kau sebutkan,
manusia!" jawab Pocong dengan angkuh, "Seseorang memanggilku ke dunia
ini, apakah itu kau manusa?"
Axel menyeringai.
"Oh, iya yang mulia!" Axel menundukkan
kepalanya pada Ashura.
Ro menatap Axel dengan tatapan tak percaya. Namun ia
kemudian menemukan bahwa Axel tersenyum sinis. Jadi ia ikut menundukkan
kepalanya dan melihat apa yang akan dilakukan oleh Axel.
"Semua tumbal yang kau berikan itu cukup untuk
mengabulkan satu permintaan," lanjut sang Iblis, "Jadi, apa yang kau
minta?"
"Permintaan apapun?" Tanya Axel.
"Bahkan kalau kau meminta kehancuran dunia, aku
akan menurutinya," jawab Ashura.
Axel bangkit dan dengan senyuman sinis ia menatap sang
Iblis.
"Apa kau bersumpah atas namamu dan jiwamu akan
menuruti kemauanku, Ashura" Axel bertanya lagi.
"Kau sudah memberikanku tenaga untuk hidup selama
ribuan millennium. Kau sudah memberikanku kekuatan yang cukup untuk membunuh
malaikat-malaikat keparat itu. Setelah permintaanmu aku kabulkan, maka aku akan
mengobarkan perang di surga. Sayang sekali kau tidak menyediakan tumbal inti.
Tapi tak apa! Saat urusan kita di sini selesai, aku akan mencari tumbal intiku
sendiri!" Ashura bangkit dari singgasananya, "Atas nama dan jiwaku,
aku akan mengabulkan kemauanmu."
"Maka, aku ingin kau, Ashura, menjadi
budakku!" teriak Axel.
Ashura berteriak murka. Seketika singgasananya meledak
menjadi lautan api, namun tak satupun menyentuh Axel maupun Ro. Axel menutup
telinganya dan mengabaikan apapun yang diucapkan oleh Ashura dan kemudian
memberikan jari tengahnya.
"Kau yang bersumpah atas nama dan jiwamu,"
kata Axel, "Namaku Elbanac dan mulai saat ini aku adalah mastermu!"
Di belakangnya, sang detektif menatap sang Demonologist
tak percaya
***
>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 20 - WILLIAM AMADEUS ANDERSON | DISCRETION IS THE GREATER PART OF VALOR
>Cerita selanjutnya : -
==Riilme's POWER Scale==
BalasHapusPlot points : B
Overall character usage : C
Writing techs : B
Engaging battle : C
Reading enjoyment : B
Masih ada beberapa salah kapital dan typo, tapi overall udah keliatan lebih rapi dari tulisanmu yang biasanya
Nama Frederica Dare sempet ketuker jadi Elizabeth. Nama Ulrich juga kurang satu huruf, dan Pucung jadi Pocong di sini. Yah, bukan masalah sih
Putri Perancis yang diperkosa William itu siapa? Batthory? Meski agak out of place, entah kenapa saya lumayan bisa nikmatin sex scene darimu di entri ini, bahkan mungkin lebih daripada yang biasa ada di entri Vanessa Maria
Ghoul sama sekali ga muncul di sini ya
Saya punya beberapa kendala sama entri ini. Meski secara keseluruhan plottingnya rapi, tapi sama kayak entri Tal, entri ini ga berasa gitu relevan ke turnamen, kecuali beberapa kali mention soal museum. Anehnya lagi semua peserta yang ada di sini kayak udah tinggal lama, bikin mereka kayak native resident alih" foreign guest
Dan terakhir mungkin gimana sama kayak prelim, William sama sekali ga dapet kesulitan berarti. Malahan akhirannya ditutup dengan Axel dapet kontrak sama Ashura dan udah gitu aja, berasa misplaced buat akhiran entri ini dan ga berkesan ngasih konklusi ke William yang notabene mestinya tokoh utama
==Final score: B (8)==
OC : Iris Lemma
==Riilme's POWER Scale==
BalasHapusPlot points : B
Overall character usage : C
Writing techs : B
Engaging battle : C
Reading enjoyment : B
Masih ada beberapa salah kapital dan typo, tapi overall udah keliatan lebih rapi dari tulisanmu yang biasanya
Nama Frederica Dare sempet ketuker jadi Elizabeth. Nama Ulrich juga kurang satu huruf, dan Pucung jadi Pocong di sini. Yah, bukan masalah sih
Putri Perancis yang diperkosa William itu siapa? Batthory? Meski agak out of place, entah kenapa saya lumayan bisa nikmatin sex scene darimu di entri ini, bahkan mungkin lebih daripada yang biasa ada di entri Vanessa Maria
Ghoul sama sekali ga muncul di sini ya
Saya punya beberapa kendala sama entri ini. Meski secara keseluruhan plottingnya rapi, tapi sama kayak entri Tal, entri ini ga berasa gitu relevan ke turnamen, kecuali beberapa kali mention soal museum. Anehnya lagi semua peserta yang ada di sini kayak udah tinggal lama, bikin mereka kayak native resident alih" foreign guest
Dan terakhir mungkin gimana sama kayak prelim, William sama sekali ga dapet kesulitan berarti. Malahan akhirannya ditutup dengan Axel dapet kontrak sama Ashura dan udah gitu aja, berasa misplaced buat akhiran entri ini dan ga berkesan ngasih konklusi ke William yang notabene mestinya tokoh utama
==Final score: B (8)==
OC : Iris Lemma
anjir! Si axel malah diupgrade jadi master. Masuk kelas berserker lgi. Wkwkwkwkw
BalasHapusSecara konsep, meski masih kepengaruh elemen Fate, entri ini lumayan banyak kejutannya. Dan scene stensilan yang ngena.
Cuma masih banyak error di ejaan, kayak “sambil menghisap cerutu ia menatap”... dan juga nama belakang Axel itu Elbaniac, bukan Elbanac. Perbaiki tata bahasanya, itu juga berlaku buat saya sendiri.
Sayangnya si tal juga gak ada sorotan berarti. Tau-tau jadi lukisan aja. Fokus ceritanya agak goyah. Kesannya si will ini kejatah side quest, axel malah yg dapat main mission
7
@_@:
BalasHapus“Hay, aku adalah aku, iya aku pulkam mau ngamuk kayaknya liat entri ini…
“Bahasanya agak kaku. Tapi lama2 dah naik standarnya.
“Koma tak ditempatnya bertebaran.
“Narasinya kayak mendongeng, kurang adegan.
“Pake dialog kopas dari karsit tal, samma hehe…
“Banyak sekali typonya, ga kayak dulu masih lumayan bersih typo, buru2 pasti neh dedlen makanya banyak,
“Kapital awal huruf kata ‘seniman’ ga sesuai.
“Hm, entri ini sangat meyakinkanku bahwa authornya dikejer dedlen banget!!! Buktinya… ntar Ghoul yang lanjutin.”
GHOUL: :=(0
“Tal suka ama ro? Ro kan paruh baya n tal masih gadis? Ga begitu serasi, bagusnya ayah dan anak.
“Ro dan axel di sini kerja sama, tapi di entriku bersaing nangkap pokiel, hehe…
“Kayaknya entri2 wiliam ini paling ekstrem dibanding entri produk dewasa lainnya, imajin wiliam terlalu tinggi dibanding rata2. Sampe aku sendiri berpikiran. Ng? apa ada orang kayak wiliam gene. Naudzubillah minzalik.
“Pas kelar baca, aku lebih ngamuk daripada authorku…
“Aku ga terima, ga terima!!!”
Prang! Prang! Banting-banting piring… entrinya ga kelar… napa Ghoul ga punya peran, padahal dah jauh-jauh datang dari kampungnya buat ketemu wili. T.T
sabar ya ghoul di atas. wah enak di sini axel di kasih hadiah sebelum pulang ke bingkai mimpi.
BalasHapusawalnya agak penasaran sama bathory. dia itu siapa. sempet baca prelim william juga sih tapi waktu itu bnyak sekali nama2 yang bermunculan jadi nggak terlalu ingat dia pernah disebut atau nggak. tapi di entri axel bathory juga disebut dan munculnya cuma singkat. awalnya sih saya mikir dia cuma tokoh numpang lewat yang dimunculin di settingan latar aja. ternyata nggak ya? bathory itu sub oc nya william ya? waktu baca enthri ini jadi tahu.
dan ini sepertinya misinya william dan axel beda ya. jadi william bisa pulang duluan. 8
btw si bathory udah dibunuh mau aja dijadiin sub oc. apa karna tujuan sendiri? (membunuh william stelah will mencapai smua keinginannya?) makanya dia mau jadi sub oc nya william? ato dia emang tipe maso?
HapusBeberapa kata (dan nama lengkap William yang lumayan panjang) diulang di awal. Agak ganggu yah. Lumayan ganjel sama bagian ini; “Kemana ia? Apa wajar bagi seorang perempuan dst …” terus dilanjut, “Namun pertanyaan lain yang lebih penting adalah, "Kemana Tal Becker menghilang?" itu sama aja berarti pertanyaannya. Mungkin cuma kurang teliti aja. Ok lanjut.
BalasHapusSoal dugaan penculikan hanya oleh satu orang itu kesannya kayak dipaksakan supaya Pokiel cepet kena sorot sih. Kurang nemu korelasi antara ‘penculiknya cuma satu orang’ karena ‘korbannya semua punya paras cantik’ (soal cantik pun masih kemungkinan karena ada kata “pastilah”, dan masuk ke dalam pov Ro yang serba terbatas). Maksudnya, bisa aja penculiknya 29 orang yang semuanya suka sama cewek cantik. Masih terlalu banyak kemungkinan gitu buat menyempitkan tuduhannya hanya ke satu orang.
Terus, ini mungkin masuk kategori preferensi yah, tapi narasi kota tua pas bagian Axel pertama dikenalin itu kesannya kayak gak yakin.
“Untuk ukuran kota tua, kejadian supranatural di kota ini sangatlah sedikit. Padahal biasanya kota tua sarat dengan unsur mistis. Pertanyaannya, Kenapa?”
Mestinya penulis berusaha buat pembacanya percaya sama cerita yang lagi disampaikan. Bukan ngelempar balik, (oke itu dijawab di paragraf berikutnya, tapi menurut saya, lagi-lagi, mending ditiadakan aja) kata “biasanya” itu kurang bisa dipakai di saat-saat kayak gitu deh. kesannya kayak ragu-ragu. Saya kayak lebih bisa percaya sama “nih di sini ada monster kangkung yang suka bernyanyi” ketimbang “di kota tua biasanya sarat unsur mistis”, karena kalimat pertama kedengaran lebih meyakinkan, walaupun sebetulnya mustahil.
Ketimpangan selanjutnya ada di paragraf berikut;
“Jawabannya ada di gereja yang terletak di pusat kota. Di dalamnya, Axel bisa menemukan sumber bau busuk yang mengganggu pikirannya. Tak salah lagi : Di dalamnya ada Iblis.”
Sebelumnya penulis bilang “biasanya kota tua sarat dengan unsur mistis”, terus bisa dengan yakin tiba-tiba bilang “tak salah lagi; di dalamnya ada Iblis”. Kayak kurang stabil gitu.
Balik lagi, di atas ada pertanyaan “kenapa?”, yang kalau saya tangkep dari konteks kalimatnya berarti begini; Kenapa cuma ada sedikit aktivitas supranatural di kota ini? Jawabannya pun malah semacam penolakan dari pertanyaan itu; bahwa di gereja sedang ada Iblis. Apa kemunculan Iblis bukan termasuk dalam kejadian supranatural? Agak mindblown saya.
Tapi buat seterusnya narasi makin bisa diikutin, walaupun fokusnya lumayan udah kesita duluan sama cara membawakan ceritanya sendiri. Beberapa lompatan kejadian yang serba mendadak bikin rada susah buat dibayangin.
Nilai 7
Doh, dari paragraf awal-awal udah disuguhin typo, banyak lagi. Tapi tak apalah, karena waktu masuk ke bagian seru udah ilang typo-nya(?)
BalasHapusBattle scene-nya bagus, cerita anu(?)-nya juga. Dan ya, ngena banget. Dideskripsikan dengan detil, dan saya memang gak tega liat cewek diperkosa :') /slap/ btw 'dada berukuran sedang, tapi tetap menggoda' diulang dua kali dengan dua perempuan berbeda, kayaknya ini fetishmu ya. /disepak
Penggunaan karakter-karakternya juga gak maksimal disini, expect more from Pucung and Ghoul.
7/10
OC : Takase Kojou
Punten, numpang mampir sekaligus komen.
BalasHapusDibandingkan Prelim, Entri R1 William terlihat lebih oke. Adegan raepnya lebih yahud, dan saya rasa konfliknya lebih menarik.
Tapi punten, porsi pembagian karakternya, seperti yang sudah ditunjukkan rekan-rekan sebelumnya sangat disayangkan. At least jadiin kameo atau figuran numpang lewat gitu, kan sayang, reveriers bisa dapet peran bagus kayak Axel atau Tal tapi Ulrich ama Ghoul kurang diperhatikan :')
Dan saya juga jadi inget entri sendiri soal ini :')
Adapun fokus cerita dan plotting cukup rapi, tapi saya rasa ini malah serasa ceritain Axel dibanding William.
ya intinya mah, memang pembagian spotlight karakter itu gampang-gampang susah, gak selalu berhasil dan kalaupun jadi, tidak selalu memuaskan hasilnya.
Punten, saya titip 7 buat nilainya. Sampai bertemu di R2.
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
sayang banget somehow aku nyekip adegan flashbacknya battory.. ntahkenapa lagi menghindari hal ero //skip ehehe
BalasHapussomehow narasi e kok rasane kaku yak? wait aku ga nemu ada ghoul @3@ but still ini william puas sih bikin aku pengen nonjok, hohoho... bisa-bisa..
btw dari aku 8
Airi Einzworth
P.S: ntahkenapa aku pengen njauhin airi dari ini orang :v
Yuhuuu, saya udah lama baca ini tapi lupa berkomentar.
BalasHapusSaya gak mau komentar typo dan sebangsanya.
Bagi saya, entry ini cukup menghibur dari segi storyline maupun R18 scene-nya.
Tapi berhubung si William ini terkesan IMBA, jadinya sepanjang cerita dia kayak nggak disuguhi pertentangan / perjuangan besar untuk mencapai tujuannya.
Being evil is good, but an overlord evil without too much effort is boring. Btw, rape scene-nya mantap mz. Ngerusak Putri anggun nan polos itu punya sensasi kepuasan tersendiri.
Point : 8
OC : Maria Venessa
Benar kata orang orang diatas bahwa penulisannya kaku namun semakin kesini semakin asik. Tapi ada beberapa typo yang cukup membuat resah sih meski ga ada hubungannya ke cerita.
BalasHapusKarakterisasi nya pun menurut saya sudah oke hanya saja kasian ghoul ga diajak padahal masih banyak cara untuk memasukan ghoul ke cerita anda ini huhu :(
Overall memuaskan jadi 8 deh
Wasalam
Ganzo Rashura
Sex scene, saya terjebak membacanya. Dan sialnya di selama membaca adegan tersebut kok saya paham T~T
BalasHapus------------------------------------
Lupakan bagian itu dan mari kita review
Pertama, apa yang Umi sukai dari entrymu?
wah lumayan banyak, pertama plottingmu. Kedua narasimu yang disini. Umi lancar bacanya dan ga nge-skip.
Umi juga suka pengembangan karakter William disini.
Apa yang bisa dikembangin lagi?
Jujur Umi ga baca R1, jadi keberadaan Bathory dan keterkaitan antara Bathory sama Tal itu bikin bingung. Next time mungkin kamu bisa perjelas lagi. Siapa itu Bathory. Dan Umi pengen konfirmasi karena ga nyambung, Tal berubah jadi Bathory? apa tal itu Bathory?
===================================
Nilai dari Umi 7
Hmm. Kayaknya setting ini kurang menantang buat William deh. Maksudnya, ga ada ruang gerak banyak buat William buat interaksi sama karakter setim dan bertarung.
BalasHapusUntungnya, dengan lebih fokus ke tujuan utama William dan dialog-dialognya sama Batthory (di entri saya kurang satu t-nya) bikin entri ini punya alur yang rapi dan jelas tiap plot pointnya. Alhasil, hidangan utamanya adalah pemenjaraan Tal dalam lukisan dan adegan seksnya.
Lalu, tentang Axel yang malah ngejalin kontrak sama Ashura berasa masih sangat menggantung. Apa beneran bakal dijelasin nanti di R2? Yang bikin saya khawatir adalah adegan kontrak itu sih. Rasanya sangat abrupt.
Anyway, thanks udah baca Pucung! Bikin baca dua kali berarti saya masih perlu improve lagi narasinya nih, beneran. ;))
8-1
7
Pucung