Senin, 01 Agustus 2016

[ROUND 1 - 2B] 24 - WILLIAM A. ANDERSON | FORTUNE FAVORS THE BOLD

oleh : Illyasviel Emiya


WARNING!

Ada adegan pemerkosaan eksplisit dalam entri ini. Tapi kamu bisa skip kok. so keep reading.
You will know when to skip.
 ***
Tidak semua orang bisa menyentuh Tal. Dalam daftar orang yang ia suka, hanya satu perlima saja yang bisa menyentuhnya. Dan tentu saja, dari daftar itu hanya sebagian kecil yang merupakan manusia biasa.
Detektif Ro adalah salah satunya.
Pria itu mengaku tak memercayai hal ghaib. Ia seorang realist, jadi ketika mendengar kabar tentang hantu, kutukan dan hal ajaib lainnya, ia selau bisa mendeduksi bahwa hal itu adalah perbuatan manusia. Sebuah kepercayaan atau keisengan anak-anak. 
Maka dari itu, adalah hal mengejutkan saat sang Detektif bisa melihat Tal, bisa menyentuh raga halus gadis itu, mencium aroma tubuhnya. Tahu apa yang lebih mengejutkan? Detektif Ro bahkan sempat berhubungan badan dengannya.
Untuk sejenak Tal merasa hidup, rasanya seperti ada yang menambal lubang di hatinya. 
Namun kesenangan itu dengan cepat dihancurkan oleh orang lain yang tak dikenal.
Orang-orang ini bisa menyentuhnya. Mereka ada dalam daftar orang yang tidak Tal sukai. Salah satunya adalah William Amadeus Anderson. 

Dengan cepat dan penuh kejutan, pria itu menangkap Tal. Gadis hantu itu bahkan tak cukup memiliki waktu untuk memproses bahwa William bisa menyentuhnya. Maksudnya … Dia hantu, lho! Jadi sudah sewajarnya raga halus itu bisa menembus segala sesuatu. Disentuh manusia bukanlah hal yang bisa dirasakan setiap hari.
Dan Tal benar-benar tidak ingin orang seperti William menyentuh tubuhnya yang indah ini. Oleh karena itu, ia sangat berharap bahwa keparat di depannya ini tidak bisa menyentuhnya. 
"Kau … Nona, adalah karya yang langka," keparat itu memuji, "Tapi sayangnya ada banyak hal cacat pada dirimu. Bukan wujudmu tentu saja."
Keparat ini bernama William Amadeus Anderson. Melihat bagaimana aksinya lewat lukisan di museum semesta membuatnya jijik. Melihat bagaimana ia dengan mudah mengikat kaki dan tangan, juga memegang lekuk tubuhnya yang seksi membuat Tal serasa ingin muntah. 
"Memangnya kau pikir kau siapa, eh? berani menilaiku?" Tal menghardik.
Dalam pandangan Tal Becker, laki-laki ini tak berhak memberikan penilaian. Tal Becker adalah wujud tercantik, dan hanya orang-orang tertentu yang bisa mengapresiasinya. Diberitahu ada kecacatan dalam diri itu rasanya seperti mendapat bogem penghinaan. Tapi apa daya? Toh tangan dan kakinya ada dalam kondisi terikat. Hanya mulut yang bisa berbicara, menunjukkan pemberontakan pada sang penculik. 
"Aku Seniman," jawab Laki-laki itu, "Aku bisa menilai semua hal yang aku lihat. Itu tugasku dan kalau aku tidak bisa menilaimu, bagaimana aku bisa membuat karya seni?"
"Jangan munafik! bagiku kau hanya orang gila yang terobsesi pada perempuan." Tal menghardik lagi. 
"Ssst...!" Laki-laki itu meletakkan kuas di depan mulutnya, "Mulut kasar itu tak cocok untuk gadis secantik dirimu. Beruntung aku bisa memperbaikinya," tambahnya sambil tertawa kecil.
Saat itu barulah Tal menyadari, bahwa sang pelukis sudah menyelesaikan karyanya—lukisan yang menangkap segala esensi dalam diri Tal—potret sang gadis dalam seni goresan kuas bergaris. 
Akan tetapi, dalam kecantikan itu, Tal bisa melihat ada sebuah kecacatan. Sesuatu yang sangat menggangunya.
"Aku tidak bisa menutupi keburukanmu," jawab William. 
Keburukan itu hadir dalam bentuk lubang besar di dada, tepat dimana hati Tal berada. Lubang kosong itu mengeluarkan semacam tangan rapuh dalam wujud buruk rupa, seakan berkata...
"Aku membutuhkanmu, sayang. Tak bisakah kau datang padaku?" 
Kesadaran Tal menghilang begitu saja. 
***
Kota Tua Brando memiliki segalanya. Saat kau datang menginjakkan kaki di sini, kau bisa merasakan kota ini seperti kakek berwajah teduh menatap cucunya. 
Ketenangan kota ini bukan berarti tanpa masalah. Seperti kata pribahasa, diam-diam menghanyutkan.
Sebagai detektif swasta, Ro sudah meghadapi banyak masalah. Kota kecil ini pernah menjadi tempat produksi narkoba, pernah juga menjadi jalur penyelundupan senjata. Satu atau dua pembunuhan juga pernah terjadi. 
Tapi bukan Ro namanya kalau ia tidak bisa memecahkan kasus-kasus itu. Polisi sudah terbiasa menutup mata pada berbagai hal. Dan sejujurnya, Ro sendiri juga begitu. Selama ia tidak dibayar, ia tak akan melakukan apa-apa meski hidung pria itu tersiksa oleh bau busuk di belakang apartemennya.
Kali ini sekelompok aktivis kemanusiaan menyewanya, atas kasus yang sudah tercium Ro sejak lima tahun yang lalu. Mereka baru berani membawa ini ke kepolisian satu bulan yang lalu. 
Melihat polisi tak merespons apapun pada laporan mereka, kelompok aktivis kemanusiaan—yang menamakan diri mereka 'Pacifista'—ini membawa kasus itu ke meja Ro.
"Kami menduga Pendeta Pokiel mencuci otak orang-orang dan merekrut mereka untuk melakukan sesuatu." Giotto, pemimpin Pacifista, mengatakan dengan wajah muram, "Aku sudah beberapa kali mengirim orang untuk masuk ke gereja itu. Namun saat mereka keluar, semuanya malah berubah menjadi pengikut Pokiel. Aku tak bisa menanggung resiko kehilangan orangku lagi." 
"Dan kau mengirimku?" Ro mengangkat alisnya.
"Kau, detektif Ro, adalah profesional. Meski kau memang menjadi pengikut mereka, dengan uang di tangan, kau tak akan menyembunyikan hasil penyelidikanmu dari klien," Giotto berkata, "Reputasimu sudah sampai di telingaku." 
Namun pikiran Ro tidaklah sepenuhnya ada di kasus ini. Setelah Giotto memberikan setengah harga yang diminta Ro dan meninggalkan kantornya, Pikian Ro kembali ke coretan-coretan yang ada di mejanya.
Tiga Belas gadis menghilang dalam waktu dua minggu. Mungkinkah mereka menjadi pengikut Pokiel? sambil menyalakan cerutunya ia menatap kembali nama-nama korban yang hilang. 
Ia tidak dibayar untuk menyelidiki hilangnya gadis-gadis itu. Namun ada satu nama yang membuatnya terpancing untuk menyelidik. Satu nama itu terdengar familiar di benaknya. Tal Becker namanya. Gadis itu juga ikut-ikutan menghilang.
Kemana ia? Apa wajar bagi seorang perempuan meninggalkan pria yang seminggu ini tinggal seranjang dengannya? Apa yang ia lakukan? Dari mana ia datang? 
Namun pertanyaan lain yang lebih penting adalah, "Kemana Tal Becker menghilang?"
Penyelidikan itu membawanya pada dua belas nama korban lain. Semuanya perempuan dan mereka memiliki satu kesamaan. Para korban ini pastilah memiliki paras cantik. Insting detektifnya meraung keras, mengatakan bahwa ini pasti dilakukan oleh satu orang. 
Apa ini ulah Pokiel?
Ro menghisap cerutunya dalam-dalam, seraya hatinya memantapkan niat : Ia harus menemui laki-laki itu. 
***
Axel adalah seorang demonologist. Ia sudah melihat banyak sekali kejadian yang melibatkan iblis. Hey, dia sendiri bahkan pernah memukul muka sang iblis dengan keras. 
Saat menginjakkan kaki di kota Brando, ia tidak merasa seperti cucu yang disambut kakeknya. Rasanya seperti seseorang baru saja memukul indera penciumannya dengan bau busuk. Lalu entah kenapa, orang itu buru-buru menyembunyikannya.
Jadi sebabnya Axel memulai penyelidikan. 
Untuk ukuran kota tua, kejadian supranatural di kota ini sangatlah sedikit. Padahal biasanya kota tua sarat dengan unsur mistis. Pertanyaannya, Kenapa?
Jawabannya ada di gereja yang terletak di pusat kota. Di dalamnya, Axel bisa menemukan sumber bau busuk yang mengganggu pikirannya. Tak salah lagi : Di dalamnya ada Iblis. 
Tapi Axel bukan orang bodoh. Ia tak bisa langsung mendobrak pintu gereja dan membunuhi orang-orang di dalamnya. Itu akan memperburuk suasana. Jadi sang demonologist bergerak sabar dalam langkah menyelidik.
Belum lagi kasus lain yang terjadi antar peserta yang datang ke kota ini. Axel tahu, William Amadeus Anderson baru saja melakukan penculikan tiga belas gadis di kota ini. 
Tapi bukan itu sumber masalah utama. Yang membuat Axel tidak fokus adalah bagaimana Axel mencium bau iblis di tempat korban penculikan terakhir dilihat.
Di sebuah bar bernama Against The Current, Axel berpikir lama seraya menikmati minuman. Buku di tangan seakan berfungsi sebagai hiasan. Pikirannya malah mengawang, menimbang dua hal di kepala. Mana yang lebih gentir? Pokiel atau William? 
Saat Axel larut dalam kesibukan, seorang laki-laki tiba-tiba datang menyapa. Axel sadar akan kedatangannya. Pandangan pria itu berpindah dari buku. Mulut pria itu mengukir senyum kecil.
"Hei realis sialan," Axel menyapa balik, "Aku kira kau tak percaya pada pekerjaanku?" 
Detektif Ro adalah seorang Detektif terhebat di kota ini. Saat polisi hampir menyerah biasanya kepala polisi akan menghubungi Ro untuk memecahkan kasus pelik.
Beberapa kali keduanya bertemu dan Axel selalu kagum bagaimana Ro mencapai kesimpulan sebuah kejadian hanya dengan sedikit penyelidikan. 
"Kasus terakhir membuka mataku," jawab Ro singkat.
Kasus terakhir adalah kasus pembunuhan berantai dengan pola pembunuhan, jenis korban dan senjata yang sama selama lima puluh tahun, namun dengan tujuh tersangka yang berbeda. 
Saat itu analisis Ro membuktikan bahwa setiap tersangka baru hanya meniru pembunuhan sebelumnya. Namun ia tak bisa membuat dirinya percaya pada teorinya sendiri karena ada kecurigaan bahwa setiap tersangka lama sempat saling kontak ke tersangka baru.
Kecurigaan itu membawa Ro ke kesimpulan yang tak terelakkan, bahwa saat tersangka ketujuh dihukum mati, maka seseorang akan menjadi tersangka ke delapan. 
Di situlah Axel muncul, mengatakan bahwa tujuh orang tersangka sebelumnya hanyalah boneka dan tersangka sebenarnya adalah jiwa yang bisa berpindah dari satu tubuh ke tubuh lain.
Ro menertawakan Axel. Ia bahkan merasa bodoh karena sudah mempertimbangkan kemungkinan itu.
Namun sayangnya, Axel memiliki bukti. Ia berhasil mematahkan leher tersangka ketujuh, memaksanya mengakui semua perbuatannya dengan detail yang tak terungkap di penyelidikan sebelumnya. Pria itu kemudian menyegel jiwa itu meski tubuhnya masih ada dalam keadaan leher patah. 
"Kalau aku Pokiel, mungkin aku akan bilang 'akhirnya kau tercerahkan!'," kata Axel.
"Kau dengar soal menghilangnya gadis-gadis di kota ini, Axel?" tanya Ro. 
Axel bangkit dan menatap mata Ro tajam.
"Aku masih berusaha menangkap keparat itu," kata Axel, "Sayangnya saat ini aku harus mengurus masalah yang lebih besar." 
"Begitu juga aku," kata Ro dengan nada sedih, "Tal Becker menghilang, aku berusaha melacaknya namun aku tak menemukan jawaban pasti siapa yang menculiknya."
"Antara 'Phantom' atau 'Pokiel', ya kan?" Axel menepuk bahu Ro. 
Phantom adalah sebutan yang diberikan koran lokal pada penculik misterius itu. Nama yang cocok mengingat tak ada satupun yang mengetahui siapa identitasnya.
"Sejujurnya aku lebih tertarik pada Phantom. Aku bisa mencium bau iblis di setiap tempat dimana gadis-gadis itu menghilang. Namun jujur saja, keberadaannya tidak mengganggu semesta ini. Aku lebih khawatir pada Pokiel," Lanjut Axel. 
Mendengar itu wajah Ro makin mengeras.
"Awalnya aku tak percaya. Pokiel memang memiliki bakat untuk mengubah pikiran orang. Namun saat seorang bocah bernama Urich memasuki gereja itu dan keluar dengan hawa iblis yang sangat pekat, aku langsung sadar apapun yang Pokiel rencanakan jauh lebih besar daripada penculikan gadis di kota ini," Axel menjelaskan. 
"Urich, aku kira dia rekanmu?" tanya Ro.
Axel menghela napas, untuk kemudian menarik cerutu dari saku Ro. Setelah menyalakannya ia berkata pada Ro, "Malam ini aku akan menyerang gereja. Aku bisa memberikanmu petunjuk dimana kira-kira Phantom berada. Kau bisa menghajarnya atas nama Axel Elbanac. Datanglah ke apartemenku nanti." 
Dengan informasi singkat itu, Axel meninggalkan Ro.
Ro menghela nafas dan memikirkan dalam-dalam semua informasi yang baru didapat. Bisakah ia mempercayai Axel? Secara teknis orang itu adalah pihak luar. Tapi dalam bidang ini sepertinya Axel adalah ahlinya. 
Ro menghela napas. Sepertinya ia membutuhkan secangkir Bourbon.
***
Detektif Ro tak biasaya merasakan takut. Tapi saat ini ia menghadapi sesuatu yang belum pernah ia hadapi. 
Alam Ghaib.
Ia mendengar banyak hal dari Axel. Tak ada informasi Konkrit. Namun dari yang hasil pengamatan, Ro paham bahwa saat berhadapan dengan Iblis, ia beresiko mengalami hal yang lebih buruk dari kematian. 
Ro mencampakan cerutunya ke tanah dan kemudian menghela nafas dalam-dalam.
Axel bisa mendeteksi keberadaan hal ghaib. Dengan mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkan di tempat korban penculikan, Axel menarik kesimpulan bahwa ini adalah dimana Phantom membawa korbannya. 
Di sebuah gudang tua di dekat pelabuhan.
Bangunan itu tampak ringkih dan kotor. Namun saat Ro memasukinya, ia menemukan bagian dalamnya terlihat bersih. Peralatan lukis tampak terlihat di satu sisi ruangan dengan tiga belas lukisan dipajang di sisinya.
Salah satunya adalah... 
"Tal?" 
Ro bisa melihat lukisan terbesar di ruangan itu adalah lukisan Tal. Dengan segala esensi kecantikan tergambar dengan jelas. Kulitnya yang indah, rambut merahnya yang memukau. Potret itu mengenakan gaun putih. Ia terlihat seperti malaikat...
kecuali bagaimana ada sebuah tangan keriput keluar dari bagian dada. Wajah gadis itu juga tampak kesakitan. 
Sebagai latar belakang, banyak sekali batu nisan dalam bentuk salib bertumpuk-tumpuk. Nisan yang familiar di mata Ro, Nisan yang ada di pemakaman umum kota ini.
"Oh! kau menemukan tempat ini!" Sebuah suara mengagetkan Ro. Entah dari mana, sosok gadis tercantik kini ada di sebelahnya. 
"Kau menyukai gadis ini?" tanyanya.
Sejenak, Ro terdiam. Tal memang memiliki paras indah memukai. Kecantikan itu masih membekas di hati Ro. Dan sebagai seorang pria, ia juga menyaksikan bagaimana indahnya lekukan tubuh itu dalam kondisi tanpa busana. 
Akan tetapi, gadis di hadapannya terasa ada pada level berbeda.
Berambut emas seakan bercahaya dengan wajah secantik bulan purnama. Gerak-geriknya gemulai. Akan tetapi, Ro bisa memergoki kesiagaan pedang di tangan. Seakan siap menerkam saat sedang lengah. 
Gadis itu mengenakan gaun yang menonjolkan tiap lekuk tubuh. Dada berukuran sedang, tak terlihat spesial namun terlihat amat menggoda. Pahanya juga terlihat halus memesona. Senyuman itu membuat Ro merasa tersesat hingga lupa di mana ia berada.
"Kau terlihat cantik," jawab Ro. 
Ro berdehem, seraya berusaha menguasai dirinya sendiri. Ia sudah berpengalaman, dan gadis macam ini adalah hal terburuk yang harus dihadapi dari waktu ke waktu.
"Siapa kau?" Ro bertanya. 
"Kau Detektif Ro, kan?" Alih-alih menjawab, gadis itu malah balik bertanya. Tubuhnya bergerak secara hati-hati untuk mendekati Ro. Lika liku pinggul yang bergoyang membuat jakun sang detektif naik turun.
Sejenak Ro bersumpah, gadis itu memang sengaja menunjukkan dirinya tak mengenakan celana dalam. Lalu apa pula tonjolan kecil di penghujung payudara itu? Apa sungguh tak ada penyangga apapun di dalam sana? 
"Aku dengar kau mengetahui banyak hal tentang kota ini," gadis itu berkata lirih, "Kau pernah dengar soal Frederica Dare?" Sang gadis membuyarkan pikiran yang sempat melayang entah ke mana.
"Kalau tidak salah dia adalah orang pertama yang menjadi pengikut Pokiel setelah suaminya, Francis Dare meninggal." Ro kemudian bergerak mundur. Merasa bahwa informasi seperti ini tidak seharusnya ia bagi. 
"Oh! tentu saja! dugaanku benar," seperti anak kecil, gadis itu melompat-lompat gembira, membuat roknya terangkat dan menunjukkan belahan pantatnya. Benar dia tak mengenakan celana dalam!
Ro langsung memalingkan diri. Berada di hadapan perempuan cantik adalah kelemahan. Ia berusaha menutup mata dan telinganya, menutup batin agar bisa menguasai diri. 
"Dan kau tahu dimana dia?" suara lembut itu kembali terdengar.
Namun belum sempat Ro menjawab, Ro mendengar suara gedebuk. 
"Di sini kau rupanya Iblis!" suara Axel terdengar keras, "Namaku Elbanac, Axel Elbanac. dan hari ini akan kupastikan bahwa kau pergi dari dunia ini."
Ro berbalik, sosok tercantik yang ia lihat perlahan berubah menjadi gadis lain. Sosok gadis yang lebih muda, lebih polos. 
"Ha! kau pikir kau bisa menjadi wujud wanita idealku?" Axel tertawa kecil, "Seorang Sucubus sudah pernah melakukannya dan itu tak akan mempan kedua kalinya."
"Sayang sekali," gadis misterius itu tertawa kecil, "Ah, tak apa deh. Paling tidak aku sudah bisa menebak di mana Frederica Dare." 
"Dan kau berencana kabur?" tanya Axel dengan seyuman beringas, "Kau pikir aku akan membiarkanmu?"
"Kau ingat lukisan Makan Malam terakhir karya Da Vinci? Dua belas murid dan salah satunya adalah pengkhianat," Gadis itu tak memperdulikan Axel dan malah menghadap ke tiga belas lukisan di belakangnya, "Judul lukisan ini adalah tiga Belas Bidadari dan Satu yang terjatuh. Coba tebak siapa yang jatuh?" 
Axel menerjang sang gadis misterius, namun dengan cekatan ia menghindar. Setelah itu ia menjentikkan jarinya dan berkata.
"Kalian semua yang telah dilukis atas nama William Amadeus Anderson, Bunuh dua laki-laki ini!" 
Dan dengan kalimat itu, Ro bisa melihat tiga belas gadis dalam lukisan itu merangkak keluar dari lukisannya.
***
Banyak orang yang mengira bahwa Axel Elbanac menjadi seorang demonologist karena membenci iblis dan makhluk sejenisnya. Mereka tidak sepenuhnya salah, namun saat ia bekerja di lapangan ini ia selalu diingatkan bahwa ia tidak bekerja bukan cuma karena kebencian. 
Ia mencintai ekspresi manusia yang terlibat oleh dengan makhluk supranatural ini.
Ambil saja Ro yang ada tak jauh darinya. Begitu ia melihat tiga belas lukisan di hadapannya (salah satunya adalah kekasih one-night-stand Ro) Wajah pria itu langsung berubah shock tak percaya. 
Lebih kaget lagi saat sang Detektif itu melihat sang kekasih melemparkan api ke arahnya. Hampir saja ia terbakar kalau bukan karena Axel mendorongnya menjauh.
Axel ingin tertawa, mungkin terhibur sekali akan ekspresi detektif di hadapannya. Tapi ini adalah pekerjaan dan ia tak boleh membiarkan sang detektif surealis itu mati. Jadi setelah menolong Ro, Axel menarik belati sepanjang dua puluh sentimeter miliknya. 
Analisa : Kecuali Tal Becker, Gadis-gadis yang keluar dari lukisan itu hanyalah golem, Konstruk fana yang dibuat menyerupai manusia.
Tentu saja ia tak ragu membunuh Tal Becker. Sucubus atau bukan, ia tak bisa membiarkan laki-laki bangsat itu punya terlalu banyak pion di papan catur mereka. 
"Ro, mau sampai kapan kau meratapi cewek penggoda itu?" Bentak Axel, "Mereka cuma golem kok. cuma tiruan manusia. Tidak hidup."
Sambil memukulkan tangan kanannya. Golem yang ada di hadapan Ro langsung mundur. 
Akan tetapi, mereka dengan cepat membalas serangan diikuti dua golem lain,
Mereka cerdik, pikir Axel. 
"Penggoda? Beraninya kau!" Ro bangkit dan menatap marah Axel, namun ia dipaksa menghindar saat Golem lain menyerangnya, "Dia punya luka dari laki-laki yang ia cintai sebelumnya. Bukankah wajar kalau ia mencari kehangatan orang lain? Ia ingin menyembuhkan lubang di hatinya!"
Axel bangkit dan menatap Ro tak percaya, "Sungguh? dan kau percaya begitu saja? Okelah, seorang gadis yang berusaha bertemu kekasih hatinya yang masih hidup itu sangat romantis. Tapi kalau wanita itu dengan mudahnya memeluk dan mengemis cinta ke laki-laki lain, apa bedanya dengan rayuan gombal? Percayalah, menurut pengalamanku, Tal Becker tak lebih dari hantu jalang haus kehangat—..." 
Eksposisi panjang lebar Axel harus terpotong. Sebuah api membara kembali disemburkan dari tangan Tal menuju dirinya
Sementara Axel menghindar dan berusaha melukai Tal, Ro berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan Axel. Benarkah? Susah dipercaya. Mana mungkin? Iyakah? Kenapa? 
"Bagaimana kau tahu soal Tal?" Ro bertanya ketus seraya menendang golem yang datang ke arahnya, "Dan kenapa kau ada di sini? Katamu kau akan ke gereja."
"Saat aku baru tiba di sini, aku melihat dia merayu kepala museum," Axel menjelaskan sembari menghindari gentong-gentong yang dilemparkan Tal." Dia juga merayuku saat tiba di kota ini. Dan dari reaksimu, aku bisa menduga dia juga ikut-ikutan merayumu. Betul kan begitu?" Axel menerjang, siap menusukkan pedangnya, "Menjawab pertanyaanmu yang kedua : Aku ragu sih kau bisa menangani ini sendirian."  
Namun mendadak saja sesuatu menangkap kaki Axel, lalu membanting pria itu ke arah Ro.
Ro dengan cekatan menghindar, walau pikirannya masih saja berusaha mencerna maksud ucapan Axel. 
"Jadi ada saran bagaimana kita bisa mengalahkan mereka?" tanya Ro.
Axel yang baru bangkit dengan geraman kesakitan menatap Ro tak percaya. 
"Kau percaya padaku?"
Ro menendang Golem lain yang menyerangnya dengan selendang dan berusaha mencekiknya, "Ya, aku percaya." 
"Mungkin kita harus membunuh Tal?" saran Axel, "Kalau di film-film, biasanya kalau kita membunuh satu boss, maka anak buahnya akan berguguran."
Axel kemudian menghindari serangan salah satu golem dan dengan cepat memenggal kepalanya. Namun meski kepala sudah terputus, para golem itu masi bergerak dan kembali menerjang Axel. 
Di sisi lain, Ro mulai menyerang dengan agresif. Sementara Tal menerjang dengan api siap membakar Ro. Ro menghindar dan meninju wajah Tal sekeras yang ia bisa. Namun semua luka memar hasil pukulan Ro dengan cepat menghilang.
Belum sempat Ro melancarkan serangan balasan, dua golem menerjang Ro dan mengikat leher Ro dengan selendang mereka. 
"Hancurkan lukisannya," Ro berusaha melepaskan diri dari dua golem yang saat ini berusaha mencekiknya.
"Kau tidak bisa melawan mereka?" tanya Axel sambil menghindari lemparan tong lain dari Tal, "Dan sejak kapan kau ahli di bidang supranatural?" 
"Hei, meski kau bilang mereka hanya golem, mereka tetap gadis yang aku kenal. Bagaimana coba aku memukul wajah mereka? Aku gentleman tahu!" Ro yang sudah berhasil melepaskan diri langsung lari ke arah bingkai lukisan.
"Bukannya kau baru saja memukul wajah Tal?" Axel menyeringai lebar. 
"Oh! Diam kau! Lihat baik-baik, seberapa banyak kau melukai mereka, mereka akan kembali ke wujudnya semula : wujud dalam lukisan. Jadi kalau aku merusaknya mungkin sesuatu akan terjadi?" 
Dan Ro melakukanya, ia memukul salah satu lukisan itu hingga menembus kanvas hingga merobeknya. Hal ini menyebabkan golem yang keluar dari lukisan ikut terobek dari dalam. Seakan mereka juga terbuat dari kertas.
"Pemikiran bagus," puji Axel, "Aku akan alihkan mereka dan kau hacurkan lukisan-lukisan itu." 
Ro mengangguk, lalu bersiap melakukan pertandingan tinju dengan dua belas kanvas lukisan yang tersisa. Kalau saja ia ada di museum, mungkin Ro sudah ditangkap polisi. Lukisan-lukisan ini terlalu indah. Terlalu sayang untuk dihancurkan. Namun saat ia mendengar suara Axel di belakangnya, menantang dan membuat marah para Golem itu, Ro jadi tidak ragu menghancurkannya.
Hingga tibalah ia di lukisan Tal. 
Ro harus memuji sosok pelukis ini. Dia begitu rinci menangkap seluruh esensi kecantikan Tal. Terbayang dalam benaknya tiap inci tubuh Tal Becker saat mereka bermain di ranjang. Sepasang paha mulus dan payudara yang sekal tak akan terhapus dengan mudah dari kenangan.
Kesempurnaan. 
Ro hampir bisa merasakan seakan ada nyawa di dalamnya. Pria itu menghela napas panjang, seraya matanya tertuju pada pedang yang menusuk bagian jantung.
Ro memukulnya. 
***
Pocong adalah makhluk yang unik. Secara umum, sebagai Iblis, Batthory sudah bertemu segala jenis Iblis dan makhluk supranatural di dunianya. Namun tidak dengan Pocong. 
Sayangnya William menganggap bahwa Pocong tidaklah berguna dan menyebalkan, hingga akhirnya ia menyegel makhluk itu dalam lukisan.
Namun siapa sangka Pokiel setuju dengan Batthory. Menaiki domba pemberian Ratu Huban, ia menatap Pokiel yang sedang berdoa pada lukisan Pocong dengan khusyuk. Seakan-akan lukisan itu bisa menjawab doanya dan menghancurkan dunia untuk Pokiel. 
Domba yang dinaiki Batthory mengembik.
"Aku setuju, Milez," kata Batthory sambil menepuk tunggangannya, "Pokiel adalah orang bodoh. Namun orang bodoh dengan kepercayaan itu lebih berbahaya." 
Sang Domba yang dipanggil Milez itu mengembik lagi.
"Aku tahu kok, tapi ini adalah bagian dari rencana William," Batthory berkata seakan mengerti bahasa Domba, "Kau masih ingin bersamaku lebih lama, kan?" 
Lagi, sang Domba mengembik. Apakah ia hanya mengembik karena lapar atau ia memang bisa bicara pada Bathory adalah misteri. Namun Batthory mengusap kepala si Domba dengan penuh kasih sayang.
"Kau boleh saja menghina kepercayaanku. Tapi saat Ashura bangkit, aku ragu kau akan menghina kami lagi," suara Pokiel tiba-tiba terdengar. 
Mau tak mau, Batthory harus mengakui bahwa Pokiel adalah laki-laki yang karismatik. Melihat wajahnya kau tak akan sadar kalau ia berencana memanggil Iblis ke dunia dan membunuh semua manusia di dunia ini.
Ashura, menurut Pokiel, adalah Iblis yang ia sembah. Seorang Iblis yang saking jahatnya sudah menghancurkan seantero asia kecil di dunia ini. 
Tapi di mata Batthory, Ashura adalah kenalannya.
"Aku dengar kau di sini untuk memberkan penawaran," Pokiel melanjutkan, "Kami sungguh menyukai gambaran tuan Ashura yang kau buat. Tapi aku ragu kau bisa memberikan kami hal lain yang kami butuhkan." 
"Kenapa sih kau mempersulit kami bertemu dengan Frederica Dare?" Elizabeth bertanya kesal, "Terakhir kali aku ke sini kau bilang dia sedang bertapa di ruang bawah tanah. Haruskah aku menambahkan bahwa aku ragu kau berkata seratus persen jujur?"
"Dan apa yang kau inginkan dari nona Dare?" tanya Pokiel, "Kenapa kau tidak bergabung dengan kami saja, nona Batthory? Ashura pasti akan melindungimu di dunia yang aku perintah nantinya." 
"Hei, kau baru saja mencoba merayu iblis lho," selama sepuluh detik Batthory mengubah wujudnya dari wanita tercantik bagi Pokiel menjadi wanita yang paling ditakuti oleh Pokiel. Selama sepuluh detik itu pula Pokiel tiba-tiba gemetar.
Batthory tersenyum kecil. 
"Maafkan hamba, nona Batthory," Pokiel tiba-tiba menunduk, "Jadi kau sudah pernah bertemu dengan Ashura."
"Kembali ke topik," Batthory berkata ketus, "Aku hanya ingin mempertemukan tuanku dengan Elizabeth Dare. Sesulit itukah?" 
Membaca pikiran sang pendeta palsu, Batthory duduk di atas sang Domba seraya menyingkap roknya untuk menunjukkan paha putih mulus miliknya.
"Ehm..." Pokiel berusaha menguasai diri, "Kau sudah melakukan itu sejak pertama kali kita bertemu. Aku ragu aku bisa puas hanya dengan paha." 
"Besok malam, sediakan kamar kosong di gereja ini," jawab Batthory, "Biarkan tuanku bertemu dengan Elizabeth Dare dan aku akan menunjukkan hal yang belum pernah kau lihat sebenarnya."
Pokiel tersenyum dan kemudian mengangguk puas, "Dengan senang hati." 
Batthory kemudian meminta sang Domba untuk kembali ke William. Sang Domba mengembik dan seraya keluar dari gereja Pokiel, tidak lewat pintu, tapi menembus tembok seakan tembok itu tak pernah ada di sana.
"Ashura, eh?" Batthory tersenyum kecil. 
***
Diliputi teriakan kesakitan dari mulutnya, gadis itu membuka mata. Masih terasa jelas rasa sakit di lehernya, membayang pula rasa benci pada pembunuhnya. Orang itu dengan cepat menghancurkan harapannya tanpa berkata apa-apa. Namun lebih dari itu, tubuhnya entah kenapa masih bisa merasakan sisa-sisa orgasme sebelum ajal menjemput.
Mati?
Rasanya tidak nyata. Gadis itu melihat ke sekelilingnya dan ia kini tidak ada lagi di ruang singgasana Perancis. Alih-alih kini ia melihat dirinya ada di ruang singgasana yang sepenuhnya terbuat dari emas. Termasuk singgasana yang amat besar diduduki oleh pria dengan jenggot paling tebal yang pernah ia lihat.
"Selamat datang di neraka," sambut laki-laki itu, "Aku Ashura dan aku datang untuk memberikanmu pilihan."
Gadis itu berusaha mennguasai pikirannya.
Fokus, fokus
Saat ia akhirnya kembali menatap Ashura, gadis itu bisa melihat api di sekitar tubuh lawan bicaranya.
"Kau Iblis?" Tanya gadis itu, "Kalau kau seperti apa yang tuan Faust katakan. Artinya kau bisa memenuhi permintaanku, kan?"
"Tentu saja," jawab Ashura, "Aku bisa memenuhi permintaanmu dengan syarat yang harus dipenuhi. Kau bisa saja pergi ke surga dan melewatkan penawaranku."
"Aku… Aku ingin hidup lagi. Aku ingin bisa merasakan kenikmatan itu lagi," jawab gadis itu.
Terlepas dari kepala yang terpisah dari lehernya. Ia merasakan sesuatu yang belum pernah dialami. Layaknya candu, ingin sekali ia merasakan kesenangan itu lagi. Tak perduli apa yang harus dilakukan untuk memenuhi.
Laki-laki itu … Orang yang sudah membunuhnya. Ia ingin bertemu dengannya lagi.
"Sebelum…sebelum aku mati," gadis itu memulai, "Ia menghinaku, memperlakukanku seperti sampah. Orang itu tidak langsung membunuhku seperti bagaimana ia membunuh keluargaku." Ucapannya terhenti, "Tidak… Dia melakukan sesuatu padaku. Aku tak tahu apa… tapi aku ingin merasakannya lagi. Aku…"
Ashura tertawa keras, "Kau ini aneh ya?" Ashura berkata. Suaranya membahana ke seluruh penjuru ruangan. Namun anehnya, sang gadis mendengarnya seakan ucapan itu keluar langsung menuju sanubari.
"Yang laki-laki itu lakukan padamu adalah pemerkosaan. Kau tidak merasa dendam? Kau tidak marah? Tidakkah kau ingin membunuhnya?"
"Ya, membunuhnya juga ide bagus," jawab gadis itu, "Tapi membunuhnya adalah hal yang terlalu mudah. Ia memakai pedang tumpul untuk membunuhku! Kamu tidak tahu betapa sakitnya itu!" Gadis itu berteriak pada Ashura, "Aku…Aku ingin melakukan apa yang ia lakukan padaku. Aku ingin memberikannya kenikmatan. Aku ingin membuat ia merasa sangat senang. Aku ingin membuat semua cita-citanya tercapai. Lalu seperti bagaimana ia menjanjikanku hidup, aku ingin memberikan harapan bahwa ia bisa mencapai lebih. Lalu…lalu…"
"Kau lebih kejam dari yang aku kira, nona muda," jawab Ashura, "Aku akan mengabulkan permintaanmu. Tanpa syarat. Kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan pada pembunuhmu itu. Asal kau akhirnya membunuhnya, kau tak akan menerima harga ataupun perintah apa-apa dariku."
"Te…terima kasih," jawab gadis itu.
"Dan mulai sekarang namamu adalah Batthory."
Dengan kalimat itu, Batthory bisa merasakan api di sekitar Ashura bergerak, hingga kemudian membakar tubuhnya.
Pun begitu, Batthory tidak merasakan sakit. Karena selayaknya burung Phoenix yang bangkit dari abu. Detik itu ia baru saja terlahir kembali.
***
William terbangun dari tidur singkat. Dalam pikirannya ia bisa merasakan lukisan Tal Becker baru saja dihancurkan.
"Aku baru saja kehilangan satu pion," gumam William, "Aku meremehkan mereka sepertinya." 
"Ya, ya, kau meremehkan mereka! Tapi bukankah kau tidak punya harapan apa-apa dari Tal?"
"Oh, kau sudah pulang," William berkata datar sambil menatap Batthory di pangkuannya, "Kalau dipikir lagi, memang hancurnya lukisan Tal lebih baik daripada aku menghancurkannya sendiri." 
"Baru kali ini lho aku lihat kau membenci karyamu," kata Batthory.
"Bisa kau pergi dari pangkuanku?" tanya William.
"Iya, iya. Kau kalah lho sama Milez dalam menjadi kursi yang nyaman," kata Batthory, namun ia tidak bangkit dari pangkuan William.
"Kau menyukai domba itu?" William tampak terkejut, "dan kau juga memberinya nama?"
"Dia adalah hal lain yang bisa kusentuh selain dirimu William," Batthory menjawab, "Aku akan menikmati apa yang saat ini aku punya. Dan sejujurnya, aku masih menikmatimu." 
"Ngomong-ngomong, aku berhasil mengamankan Dare untuk besok," Batthory melanjutkan, "Kau bisa menahan Axel dan Ro lebih lama lagi?"
"Apapun demi lukisan maha karyaku," jawab William. 
Pandangannya kembali pada lukisan yang ada di hadapannya, Lukisan seorang Elizabeth Dare sedang berdiri di atas jurang sembari menatap lautan. Ia bisa merasakan darahnya mendidih saat membayangkan Dare masuk ke lukisan ini. Bersamaan dengan semua keinginan dan kemauan sang gadis yang jatuh ke tangannya.
Jauh di lubuk hati William, Dare membuatnya teringat akan cinta pada gadis berambut merah. Ia memenggal kepala perempuan itu. Jauh sebelum ia bisa melukis atau mendapatkan kekuatan ini. Jauh sebelum ia menjadi pemerkosa dari London. Saat dimana William masih muda dan belum mengerti, bahwa mendominasi perempuan adalah hal yang paling nikmat.
***
Warning! explicit content ahead!
***
Invasi Versailles adalah satu dari rangkaian operasi sukses yang dipimpin oleh William Amadeus Anderson.
Pada masa itu jarang ada bangsawan yang bisa memimpin operasi dengan sukses. Pendidikan mereka berbeda dari rakyat jelata yang mendedikasikan hidupnya di sekolah militer. Namun William membuktikan bahwa bangsawan juga bisa berperang di medan perang, bukan cuma berpolitik di arena dansa. 
Invasi Versailles juga adalah Invasi yang menutup rangkaian panjang operasi-operasi Britania untuk menginvasi Kerajaan Perancis.
William, dengan tiga orang prajurit terpercayanya, menelusuri Istana Versailles. Istana kebanggan kerajaan Perancis dengan tembok teraman di Eropa ini, berhasil ditembus lewat pancingan makanan pada para penjaganya. 
Bukti lain bahwa para bangsawan tidak perduli pada rakyat jelata di bawah mereka.
Mereka akhirnya sampai di ruang singgasana. James Evans, tangan kanan William dengan cepat menyalakan serangkaian dinamit di tas. Lewat satu ayunan lengan ia lempar benda itu ke dalam ruangan. 
Pintu ditutup oleh Nicholas Lestrange. Sedetik setelah terdengar ledakan, barulah ia membukanya lagi.
Keempat prajurit Britania itu disambut keluarga kerajaan Perancis hingga terlempar menuju sisi tembok. 
Ia bisa melihat sang Raja terlempar ke belakang singgasananya. Sementara itu, sang Ratu kehilangan separuh wajah dan tangan kanannya, mungkin karena berdiri terlalu dekat dengan bom yang dilemparkan James. Posisinya berada di sebelah kiri ruangan.
Dua prajurit tampak pingsan dengan luka bakar di tubuh. Namun ajaibnya, seorang gadis berhasil selamat. Matanya masih terbuka dalam ekspresi gamang, dia masih sadarkan diri. 
"Charless, Biarkan gadis itu tetap hidup, tembak saja yang lain."
James dan Nicholas tetap berada di sisi William, sementara Charless Hausen memeriksa mayat-mayat di sekitar mereka. Masing-masing memastikan bahwa yang mati memang benar mati, sementara yang hidup harus menerima peluru di kepala mereka. Sang gadis yang selamat tadi lantas dibawa menuju William. 
"Gadis cantik," pikir William. Ia bisa melihat sosok berumur dua belas tahun ini akan tumbuh menjadi perempuan menawan. Namun mandat mengatakan, tidak ada keluarga kerajaan yang boleh selamat.
Bisakah ia memenggal kepala gadis ini? Sejenak dilihatnya ekspresi gadis itu. Sang Putri konon adalah epitome dari kecantikan di Perancis. Ia bisa melihat bagaimana gadis ini tumbuh di lingkungan paling baik untuk mengasah kecantikannya. Rambut merah yang sepunggung tampak terawat dengan baik. Setiap inci tubuhnya terlihat indah.
Tapi William di sini bukan untuk menikmati ini semua, bukan?
"Kalian bertiga, penggal kepala sang raja dan sang Ratu, lalu paradekan ke seluruh rakyat Versailles," perintah William.
Ketiga prajuritnya itu memberikan hormat untuk kemudian melaksanakan perintahnya.
"Kenapa kau tidak bunuh aku saja?" Suara lemah gadis di hadapannya terdengar, "Kalian orang Inggris sangat suka berkata memangkas akar sebelum menjadi rumput, bukan?"
"Kau ketakutan, ya?" William menyeringai, "Wajar saja, sih!" Dalam satu gerakan William merobek pakaian yang dikenakan gadis itu, "Kau tidak akan selamat seperti Kisah Putri Anastasia. Bukan berarti kau akan mati begitu saja seperti orang tuamu. Terlalu mudah, bukan?"
Seketika ekspresi gadis itu berubah menjadi takut. Sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri dari William. Namun tangan William mencekik lehernya dengan kuat.
Tubuh gadis kecil itu dilemparkan menuju singgasana, untuk kemudian diikat kaki dan tangannya.
William adalah prajurit. Ia mendedikasikan hidupnya ke dalam perang untuk menguasai Perancis. Akan tetapi, berperang bukanlah panggilan hidupnya. Setelah selesai mengikat sang Putri ia tersenyum gembira. Ia bisa melihat keindahan dunia. Segala inci tubuh gadis itu adalah keindahan yang selama ini didambakan. Namun yang menjadi pelengkap adalah saat ia melihat ekspresi wajah yang ketakutan.
Marah, takut, benci, semuanya bercampur aduk. Namun dibalik segala emosi negatif itu, sang gadis masih memiliki harapan berbalut keberanian. Ia masih ingin melawan. Meski segala usaha untuk lepas dari ikatan terasa sia-sia. Setidaknya ia masih berusaha.
William menarik pedangnya
Semakin takut gadis di hadapannya, semakin senang hati William. Ia belum pernah merasakan gairah sebesar ini. Dengan pedangnya, William merobek segala pakaian yang masih menempel di tubuh gadis itu. Raut wajahnya berubah lagi. Pipi gadis itu berubah merah, seraya alisnya mengerut menahan malu. Mungkin ini kali pertama ia dilihat laki-laki dalam keadaan telanjang bulat. Namun William tak perduli.
"Kau adalah gadis tercantik yang pernah kulihat," kata William.
Ia bisa mendengar bahasa perancis kasar terdengar dari mulutnya. Kata yang tak William mengerti mungkin karena kata itu jarang sekali dipakai oleh bangsawan. Bahkan dalam keadaan seperti ini, sang Putri masih berusaha memberontak.
William meraba tubuh gadis itu. Mulai dari paha, naik menuju celah kecil di tengah selangkangan. Ia bisa merasakan betapa mudanya gadis ini hanya dengan menyentuh klitorisnya saja. Bersamaan dengan itu, ekspresi sang putri kembali berubah. Dia bingung, tak tahu bagaimana cara merespons sensasi aneh yang ia rasakan. Seakan ada sengatan kecil, namun membuat sekujur tubuhnya merinding nikmat.
William paham, perempuan di hadapannya belum pernah menyentuh dirinya sendiri. Jadi ia memainkan tonjolan lemak kecil di antara celah perawan itu. Dengan jemarinya, William memberikan penekanan kecil, seraya mengaduk dalam gerakan berputar. Lewat telunjuk dan jari tengah, ia renggangkan bagian terluar lebar-lebar, menyibak bagian dalam lembab berwarna kemerahan. Tak lama kemudian gadis itu melenguh. William mendapati tangannya basah berlumurkan cairan kewanitaan.
Saat akhirnya gadis itu sadar dari kenikmatan sesaat, ia kembali menatap William dengan penuh kebencian, "Apa…apa yang kau lakukan?" suaranya yang terengah-engah bertanya.
William tak menjawab, dia malah merespons dengan cara meraba dada sang gadis perawan.
Putri ini tampak tumbuh lebih cepat dari sebayanya. Sepasang gumpalan kembar di dada itu terasa kenyal. Tak terlalu besar namun cukup untuk dinikmati tangan William.
Lagi-lagi gadis itu melenguh nikmat. Namun masih berusaha menguasai diri, terlebih ketika melihat William tersenyum. Sayangnya, apalah yang bisa ia perbuat untuk menghadapi ini? Selain menahan jutaan impuls asing berupa kenikmatan yang baru kali ini ia rasakan. Butuh beberapa menit hingga gadis itu kembali mencapai orgasmenya.
Puas melihat ekspresi itu, William melepaskan ikatan di kaki dan tangannya. Namun gadis itu tak melawan. Ia tak bisa melawan. Tubuhnya lelah setelah menegang dalam kenikmatan puncak selama dua kali berturut-turut. Jadi William duduk di singgasana, memangku gadis itu. Pikirannya bahkan berubah angkuh, merasa seperti raja. Melihat ruang singgasana yang besar itu ia berbisik pada gadis di pangkuannya.
"Kau pikir kau adalah yang paling mulia, gadis kecil?" William menata kata-katanya, "Kau sekarang telanjang dan ternoda duduk di singgasana ayahmu. Bagaimana rasanya? Coba bayangkan kalau saat ini semua bangsawan perancis ada di sini dan melihatmu. Apa pikir mereka saat melihatmu, tuan putri mereka, duduk dipangkuan laki-laki dari Britania dalam keadaan telanjang."
Kata-kata Perancis itu keluar lagi dari mulut sang gadis. Namun William mengabaikannya. Ia sudah mengeluarkan batang besar kebanggannya. Tanpa kesulitan berarti ia posisikan gadis itu untuk duduk di hadapannya, menempelkan celah kewanitannya pada sang pahlus yang sudah tegang menantang.
Lubang perawan sungguh sulit untuk ditembus. Lewat satu sentakan cepat, ia mendorong Sang Putri turun untuk melahap batang kejantanannya. Tak ayal, jeritan kesakitan terdengar keras hingga menggema di penjuru ruang singgasana. William tertawa keras seraya melanjutkan kegiatannya. Dipegangnya pinggul sang Putri, untuk kemudian digerakkan naik turun. Sang Putri mendesah, melenguh, awalnya kesakitan namun semakin lama berubah menjadi kenikmatan.
Setiap tusukan membuat sang Putri berteriak nikmat. Namun William bisa melihat bahwa gadis itu dalam konflik. Perasaan, tubuh, ekspresi, semua menunjukkan bahwa ia sedang merasa terhina. Ia merasakan bagaimana tubuh telanjangnya itu, tubuh yang dirawat sejak kecil oleh orang-orang terbaik di Perancis, dikotori dengan mudahnya. William bisa melihat kebencian gadis itu padanya, namun ekspresi benci itu tertutupi oleh kenikmatan yang ia rasakan.
Sempat beberapa kali ia berusaha melompat dari pangkuan William, atau melepaskan tangan William dari pinggulnya. Namun percuma, gadis itu tak memiliki kekuatan yang cukup. Hingga akhirnya William mengeluarkan muatannya ke dalam rahim.
Gadis itu berteriak sekencang-kencangnya, tak terima akan semburan bibit asing di dalam lubang kewanitannya.
"Nikmat bukan?" Tanya William, "Kau menghiburku, gadis kecil." William mengangkat gadis itu dan menjatuhkannya begitu saja di lantai, "jadi aku akan membiarkanmu hidup."
Sang gadis dengan tenaganya yang tersisa berusaha menjauhkan diri dari William. Namun William dengan cekatan menangkap rambut merahnya. Pria itu mendekatkan wajahnya pada paras cantik gadis itu. Ia bisa melihat gadis itu kembali memiliki harapan.
"Bukankah menyenangkan kau bisa hidup? Mungkin saja kau bisa merasakan lagi kenikmatan barusan?" Tanya William.
Sungguh, wajah perempuan itu terlihat semakin sumringah setelah ditaburi harapan.
Sebuah harapan kosong. Terbukti dari parasnya yang berubah kosong, tatkala William menyabetkan pedangnya ke leher gadis itu. Gadis itu berteriak kesakitan. Sayang William tak bisa menebas leher itu dalam satu kali tebasan.
"Semoga saat kau lahir, kau tidak lagi menjadi keluarga kerajaan," kata William.
Semakin dalam pedang William masuk ke leher gadis itu, tubuh gadis itu bergerak panik dan berusaha kabur. Namun William memegangnya. Pita suara sudah terlewati dan suara teriakan gadis itu menghilang begitu saja sebelum tubuhnya kehilangan nyawanya dan pedang William memenggal lehernya dengan sukses.
William kemudian mengamati ekspresi terakhir gadis itu dan menyadari...
Sang Putri tampak lebih cantik dari sebelumnya.
***
Pokiel tersenyum puas saat ia melihat polisi memasang barikade di sekeliling gerja miliknya. Gereja yang dulunya dibangun untuk berdoa pada Tuhan kini diubah menjadi tempat pengorbanan untuk Iblis. Kalau bukan karena kerja kerasa Pokiel, maka hari ini tak akan pernah tercapai.
Rencananya berjalan mulus. Umatnya sudah mengenakan ikat kepala lambang Ashura, sebuah tanda bahwa orang-orang itulah yang akan menjadi tumbal kepada Ashura. Bukan Cuma umatnya, bahkan Pokiel berhasil membujuk polisi di sekitar gereja untuk memakainya juga.
Semua rencananya berjalan lancar. Namun kunci keberhasilannya ada pada Dare. Memanggil Ashura bukanlah tugas yang mudah. Dibutuhkan gadis yang terbohongi untuk memanggil Ashura dan Dare adalah orang yang seratus persen percaya pada semua kebohongan Pokiel.
Kalau rencana utamanya berjalan lancar, ia juga bisa mendapatkan bonus untuk menikmati tubuh gadis bernama Batthory itu. Melihat payudaranya yang besar sudah membuat jakun Pokiel naik turun, namun ia ingin melihat bagian tubuhnya yang lain, merabanya, menikmatinya.
Lamunannya itu terganggu saat seorang laki-laki menghampirinya diikuti oleh Batthory.
"Selamat siang tuan Pokiel, aku harap kau menikmati hadiah dariku," sapanya, "Aku William Amadeus Anderson. Pelukis Ashura dan tuan dari Batthory."
"Sayangnya aku belum menikmati hadiah utamanya, tuan Anderson," balas Pokiel sambil memandang Batthory, "Aku harap kau tidak keberatan."
"Tentu saja tidak. Melihat betapa agungnya pendeta sepertimu, aku bahkan tak tahan untuk melukismu." Di belakang William, dua orang laki-laki bertopeng membawa lukisan baru, "Tentu saja bukan ini yang kau inginkan bukan?"
"William, biar aku urus lukisan ini dan tuan Pokiel," Batthory menyela dengan genit, "Jadi tuan Pokiel, bisa kau tunjukkan dimana ruanganmu? Aku yakin lukisan ini akan indah dipajang di sana."
"Te…tentu saja," Pokiel berusaha menguasai dunia, "Sebelum itu tuan William. Kau bilang kau ingin bertemu Dare. Apakah ini tanda kau akan bergabung dengan kami?"
"Aku akan memutuskannya saat mendengar apa kata nona Dare," jawab William, "Untuk suatu alasan aku lebih mudah dibujuk oleh wanita daripada laki-laki. Aku harap kau tidak terseinggung."
"Tentu saja, tentu saja," Pokiel tersenyum kecil, "Dare, aku percaya ia ada di ruang bawah tanah membaca kitabnya seperti biasa. Urich, bisa kau tunjukkan dimana ruangan nona Dare pada tuan William?"
"Dengan senang hati," Seorang bocah warna-warni muncul dari belakang Pokiel dan dengan senang hati memandu William ke ruang bawah tanah.
Pokiel tersenyum puas dan kemudian memandu Batthory dan kuli lukisan itu ke ruangannya. Namun meski ia sudah sampai di ruangannya dan membiarkan para kuli itu memasang lukisan William di tembok, pandangan dan pikiran Pokiel masih tertuju pada Batthory.
"Ah, aku yakin kau sudah tak sabar, tuan Pokiel," kata Batthory, "Seperti yang aku janjikan. Aku akan menunjukkan apa yang belum pernah kau lihat."
Dan kemudian Batthory membuka lukisan William yang tadinya tertutup kain. Di sana, sosok Pokiel berdiri dengan gagahnya di depan gereja miliknya. Sungguh menunjukkan betapa hebatnya sang pendeta.
Tanpa sadar pokiel mengalihkan pandangannya pada Batthory dan menatap lukisan itu. Tangannya bergerak ke lukisan itu, meraba keindahan lukisan itu sebelum akhirnya…
Pokiel menghilang dari ruangan itu diikuti oleh senyuman puas Batthory.
***
Axel dan Ro duduk di sebuah kafe di seberang gereja. Sembari memakan makan siang mereka, keduanya melihat situasi gereja yang saat ini sedang dijaga ketat oleh polisi.
"Ikat kepala itu adalah kabar buruk," Axel berkata sembari memakan roti bakarnya sampai habis, "Orang yang memakai ikat kepala itu otomatis menjadi tumbal buat apapun yang ingin Pokiel panggil."
"Jadi kita harus menyuruh mereka melepas ikat kepala itu?" Tanya Ro sambil meletakkan kopinya yang sudah ditenggak habis.
"Tak akan menghentikan ritual," jawab Axel, "Aku tak tahu ritual apa yang direncanakan Pokiel. Tapi biasanya selalu ada tumbal inti. Kita selamatkan tumbal inti, maka ritual berhenti."
"Kau ingat apa yang ditanyakan iblis cantik itu?" Tanya Ro, "Frederca Dare. Kenapa menurutmu dia menanyakan itu."
"Kenapa memangnya soal Frederica Dare?" Tanya Axel penasaran.
"Dia adalah pengikut awal Pokiel. Kalau tidak salah keluarga suaminya akhirnya mengusirnya karena saat itu propaganda Pokiel belum sekuat sekarang," jawab Ro, "Dua tahun yang lalu kalau tidak salah. Pokiel hanya memiliki dua belas pengikut, termasuk Frederica Dare. Seiring bertambahnya pengikut Pokiel, satu persatu dua belas pengikut itu mati…"
"Kemungkinan mereka juga menjadi tumbal untuk lidah emas Pokiel," sela Axel, "Ha! Sudah kuduga! Orang yang bisa mencuci otak hanya dengan bicara tidak mungkin normal!"
"Bisa jelaskan lebih lanjut, Demonologist?" Ro bertanya dengan nada kesal, "Aku membayari makan siangmu dan aku harap kau menjelaskan semua hal yang aku tidak tahu dalam masalah ini."
"Baik, baik!" Axel tersenyum kecil, "Begini ya. Di dunia manapun, tak ada kekuatan supranatural yang gratis. Setiap kekuatan punya bayaran. Aku mengira bahwa Pokiel itu secara alami adalah pendebat dan penipu ulung. Namun tampaknya tidak begitu," Axel mengeluarkan sebuah kertas dan menggambar dua belas lingkaran di atasnya, "Kita asumsikan Pokiel menumbalkan satu muridnya untuk membayar 'Kemampuan untuk mendapatkan banyak pengikut.' " Axel mencoret satu lingkaran, "Maka pengikutnyapun bertambah," Axel menambahkan sepuluh lingkaran lain, "Tapi Pokiel masih merasa itu tidak cukup. Jadi ia menumbalkan lagi satu pengikutnya," Axel mencoret satu lingkaran lagi, "Dan lalu mendapat pengikut lebih banyak lagi."
"Tapi kenapa ia tidak menumbalkan orang-orang baru?" Tanya Ro.
"Entahlah. Beberapa Iblis sedikit pilih-pilih masalah tumbal," jawab Axel, "Yang jelas, dengan sebelas tumbal, kita mendapatkan seisi kota percaya pada apa yang Pokiel percayai."
"Dengan begitu semua orang yang ia ajak bicara akan langsung percaya pada perkataannya," Kata Ro.
"Kalau asumsiku benar, maka Dare inilah yang akan menjadi tumbal utama dalam ritual ini," lanjut Axel.
Sembari menghabiskan kopinya yang tersisa, Axel memeriksa lagi segala senjatanya sementara Ro membayar makanan mereka. Setelah semua urusan beres, kedua lelaki ganteng itu pun bergerak menuju arah gereja.
"Jadi, cara halus apa cara kasar?" Tanya Axel.
"Aku usahakan cara halus dahulu," jawab Ro.
***
Frederica Dare menatap pria di hadapannya. Lelaki yang tampan namun terlihat berbahaya. Hampir seperti tuan Pokiel. Bagi Frederica, Pokiel adalah cahaya di kegelapannya. Saat suaminya meninggal, ia merasa dunianya ikut mati bersamanya. Namun Pokiel datang dan berkata bahwa dunia ini mengambil orang yang paling ia kasihi. Kenapa tidak hancurkan saja semua yang dikasihi dunia ini?
Frederica tidak menyalahkan pembunuh suaminya yang mabuk, tidak juga menyalahkan dokter yang gagal menyelamatkannya. Ia menyalahkan dunia ini yang dengan kejam menulis takdir untuk membunuh suaminya dua bulan setelah pernikahan mereka.
"Mari hancurkan dunia ini bersamaku," ajak Pokiel.
Dan sejak saat itu ia menjadi pengikut setia Pokiel. Pengorbanan demi pengorbanan telah diberikan dan akhirnya ia tiba di saat ini. Jadi siapa laki-laki ini yang berani memasuki altar pengorbanan ini?
"Nona Dare," laki-laki itu membungkukkan badannya, "Aku dengar kau sudah siap mati."
"Siapa kau?" Tanya Frederica, "Aku harap kau tidak di sini untuk mengacaukan ritualnya."
"Oh, tidak," laki-laki itu tersenyum, "Aku ingin menghibur saat-saat terakhir sebelum kau mengorbankan diri untuk tuan kita Ashura. Apakah kau mengijinkanku?"
Seluruh insting dalam tubuhnya berkata bahwa laki-laki ini berbahaya. Ia ingin menolak ajakan laki-laki itu, namun tanpa menunggu jawaban laki-laki itu membuka sebuah lukisan yang ada di belakangnya. Lukisan dirinya berdiri di atas sebuah tebing.
Tanpa sadar Frederica mendekati lukisan itu. Setiap detail yang indah itu membuat Frederica terkesiap. Ia merasa bahwa di lukisan ini bukan hanya ada wujudnya, melainkan juga pemikiran dan idealnya. Semakin mendekat, Frederica bisa melihat setiap detail pada gemuruh lautnya, setiap inci tebingnya hingga detail rambut Frederica dalam lukisan itu.
Dan tangannya meraih ke lukisan itu…
***
William tersenyum puas. Ia berhasil mendapatkan targetnya dan seperti yang ia duga, kecantikannya benar-benar memukau. Ia ingin melihat bagaimana ia bisa menghancurkan Dare sampai tak punya kemauan lagi. Melihat bagaimana Dare mengikuti Pokiel selama dua tahun, ia yakin kemauan dan keinginannya sangatlah kuat.
Namun dibalik rasa senang itu William merasa ada yang mengganggunya.
William melirik mayat Urich yang ada di luar ruangan. Sebagai veteran prajurit, William sudah diajari membunuh dengan berbagai cara. Menembak bagian vital, menyobek otot-otot tertentu, memotong dan memutilasi. Satu-satunya yang menodai rekornya membunuh adalah sang Putri yang ia bunuh di Versailles.
Namun saat ia membunuh Urich, bukan hanya ia salah menusuk bagian vital, tangannya bahkan gemetar. Pada akhirnya Urich mati dalam tusukan ke lima. Saat itu ia merasa seperti baru pertama kali membunuh.
"Apa yang terjadi padaku?" William berbisik sambil melihat angannya.
Melihat mayat Urich lagi, ia merasa bahwa meski tampan, mayatnya tidak lagi menyimpan keindahan yang ada sebelumnya. Perut, Leher, Mata, Dada dan akhirnya Jantung. Setiap tusukan membuat Ulrich semakin kesakitan.
Suara embikan domba menyadarkannya dan ia menemukan Batthory yang duduk di atas domba dari Ratu Huban menatapnya dengan wajah serius.
"Semua tujuanmu sudah tercapai?" Tanya Batthory.
"Bisakah kau periksa lagi semua kekuatanmu yang ada di aku?" Pinta William.
"Kau ingin aku mengambilnya?" Batthory tampak terkejut.
"Bukan, cukup periksa saja," jawabnya, "Aku merasa ada bagian dari diriku yang dicuri."
"Ah, iya. Si kepala museum itu melakukan sesuatu padamu," jawab Batthory, "Dunia ini juga ulahnya lho. Tapi kau bilang kau tak perduli salam kau bisa mencari maha karyamu."
"Jadi ada yang lebih berkuasa darimu, Batthory?" Tanya William.
"Kami para Iblis tidaklah yang maha kuasa," jawab Batthory, "Kami terikat kontrak. Kontrak yang kau buat denganku adalah peraturanku. Aku tidak berkuasa padamu, Will. Tapi nanti saat hutangmu sudah jatuh tempo, baru aku akan mengambil kuasaku."
"Tapi pelatihan militerku bukan termasuk kekuatan yang kau berikan padaku, kan?" Tanya William.
"Salahkan kepala museum," jawab Batthory singkat, "Sekarang, kenapa kita tidak berfokus pada beres-beres?"
William mengangguk. Dikeluarkannya lukisan lusuh 'sang Kuli' dari kantongnya. Lukisan kecil ini adalah salah satu cara William untuk memindahkan lukisan-lukisannya. Setelah dua laki-laki bertopeng dari lukisan kecil itu mengemas lukisan Frederica. Ia dan Batthory bergerak menuju ke arah ruangan milik Pokiel.
"Jadi, sekarang apa?" Tanya Batthory.
"Apa menurutmu Ashura di dunia ini sama dengan Ashura di dunia kita?" Tanya William.
***
Axel dan Ro menatap pemandangan di depan mereka.
Setelah cara halus yang disarankan Detektif Ro gagal (Karena sepertinya tidak semua orang di kepolisian menyukainya seperti yang ia klaim), halaman di depan gereja menjadi arena pertandingan antara Axel, Ro dan penjaga kepolisian.
Namun semua itu harus berhenti saat satu persatu polisi-polisi itu jatuh ke tanah diikuti para pengikut Pokiel yang juga ikut kehilangan nyawanya. Axel mengutuk keras dan bersama Ro segera berlari kea rah gereja.
Yang menyambutnya adalah sosok Pocong yang duduk di singgasana dari api. Namun Axel merasa bahwa Pocong dihadapannya bukanlah Pocong yang ia temui di Museum Semesta.
"Aku Ashura!" suara Pocong terdengar menggema, "Untuk suatu alasan, aku muncul dalam wujud ini. Tapi tak apa! Karena makhluk ini cukup seram!"
"Kau bukan Pocong?" Tanya Axel, "Aku ingat melihatmu di museum semesta."
"Siapa? Aku tak kenal nama yang kau sebutkan, manusia!" jawab Pocong dengan angkuh, "Seseorang memanggilku ke dunia ini, apakah itu kau manusa?"
Axel menyeringai.
"Oh, iya yang mulia!" Axel menundukkan kepalanya pada Ashura.
Ro menatap Axel dengan tatapan tak percaya. Namun ia kemudian menemukan bahwa Axel tersenyum sinis. Jadi ia ikut menundukkan kepalanya dan melihat apa yang akan dilakukan oleh Axel.
"Semua tumbal yang kau berikan itu cukup untuk mengabulkan satu permintaan," lanjut sang Iblis, "Jadi, apa yang kau minta?"
"Permintaan apapun?" Tanya Axel.
"Bahkan kalau kau meminta kehancuran dunia, aku akan menurutinya," jawab Ashura.
Axel bangkit dan dengan senyuman sinis ia menatap sang Iblis.
"Apa kau bersumpah atas namamu dan jiwamu akan menuruti kemauanku, Ashura" Axel bertanya lagi.
"Kau sudah memberikanku tenaga untuk hidup selama ribuan millennium. Kau sudah memberikanku kekuatan yang cukup untuk membunuh malaikat-malaikat keparat itu. Setelah permintaanmu aku kabulkan, maka aku akan mengobarkan perang di surga. Sayang sekali kau tidak menyediakan tumbal inti. Tapi tak apa! Saat urusan kita di sini selesai, aku akan mencari tumbal intiku sendiri!" Ashura bangkit dari singgasananya, "Atas nama dan jiwaku, aku akan mengabulkan kemauanmu."
"Maka, aku ingin kau, Ashura, menjadi budakku!" teriak Axel.
Ashura berteriak murka. Seketika singgasananya meledak menjadi lautan api, namun tak satupun menyentuh Axel maupun Ro. Axel menutup telinganya dan mengabaikan apapun yang diucapkan oleh Ashura dan kemudian memberikan jari tengahnya.
"Kau yang bersumpah atas nama dan jiwamu," kata Axel, "Namaku Elbanac dan mulai saat ini aku adalah mastermu!"
Di belakangnya, sang detektif menatap sang Demonologist tak percaya
***
>Cerita selanjutnya : -

14 komentar:

  1. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : B
    Overall character usage : C
    Writing techs : B
    Engaging battle : C
    Reading enjoyment : B

    Masih ada beberapa salah kapital dan typo, tapi overall udah keliatan lebih rapi dari tulisanmu yang biasanya

    Nama Frederica Dare sempet ketuker jadi Elizabeth. Nama Ulrich juga kurang satu huruf, dan Pucung jadi Pocong di sini. Yah, bukan masalah sih

    Putri Perancis yang diperkosa William itu siapa? Batthory? Meski agak out of place, entah kenapa saya lumayan bisa nikmatin sex scene darimu di entri ini, bahkan mungkin lebih daripada yang biasa ada di entri Vanessa Maria

    Ghoul sama sekali ga muncul di sini ya

    Saya punya beberapa kendala sama entri ini. Meski secara keseluruhan plottingnya rapi, tapi sama kayak entri Tal, entri ini ga berasa gitu relevan ke turnamen, kecuali beberapa kali mention soal museum. Anehnya lagi semua peserta yang ada di sini kayak udah tinggal lama, bikin mereka kayak native resident alih" foreign guest

    Dan terakhir mungkin gimana sama kayak prelim, William sama sekali ga dapet kesulitan berarti. Malahan akhirannya ditutup dengan Axel dapet kontrak sama Ashura dan udah gitu aja, berasa misplaced buat akhiran entri ini dan ga berkesan ngasih konklusi ke William yang notabene mestinya tokoh utama

    ==Final score: B (8)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
  2. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : B
    Overall character usage : C
    Writing techs : B
    Engaging battle : C
    Reading enjoyment : B

    Masih ada beberapa salah kapital dan typo, tapi overall udah keliatan lebih rapi dari tulisanmu yang biasanya

    Nama Frederica Dare sempet ketuker jadi Elizabeth. Nama Ulrich juga kurang satu huruf, dan Pucung jadi Pocong di sini. Yah, bukan masalah sih

    Putri Perancis yang diperkosa William itu siapa? Batthory? Meski agak out of place, entah kenapa saya lumayan bisa nikmatin sex scene darimu di entri ini, bahkan mungkin lebih daripada yang biasa ada di entri Vanessa Maria

    Ghoul sama sekali ga muncul di sini ya

    Saya punya beberapa kendala sama entri ini. Meski secara keseluruhan plottingnya rapi, tapi sama kayak entri Tal, entri ini ga berasa gitu relevan ke turnamen, kecuali beberapa kali mention soal museum. Anehnya lagi semua peserta yang ada di sini kayak udah tinggal lama, bikin mereka kayak native resident alih" foreign guest

    Dan terakhir mungkin gimana sama kayak prelim, William sama sekali ga dapet kesulitan berarti. Malahan akhirannya ditutup dengan Axel dapet kontrak sama Ashura dan udah gitu aja, berasa misplaced buat akhiran entri ini dan ga berkesan ngasih konklusi ke William yang notabene mestinya tokoh utama

    ==Final score: B (8)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
  3. anjir! Si axel malah diupgrade jadi master. Masuk kelas berserker lgi. Wkwkwkwkw
    Secara konsep, meski masih kepengaruh elemen Fate, entri ini lumayan banyak kejutannya. Dan scene stensilan yang ngena.
    Cuma masih banyak error di ejaan, kayak “sambil menghisap cerutu ia menatap”... dan juga nama belakang Axel itu Elbaniac, bukan Elbanac. Perbaiki tata bahasanya, itu juga berlaku buat saya sendiri.
    Sayangnya si tal juga gak ada sorotan berarti. Tau-tau jadi lukisan aja. Fokus ceritanya agak goyah. Kesannya si will ini kejatah side quest, axel malah yg dapat main mission
    7

    BalasHapus
  4. @_@:
    “Hay, aku adalah aku, iya aku pulkam mau ngamuk kayaknya liat entri ini…
    “Bahasanya agak kaku. Tapi lama2 dah naik standarnya.
    “Koma tak ditempatnya bertebaran.
    “Narasinya kayak mendongeng, kurang adegan.
    “Pake dialog kopas dari karsit tal, samma hehe…
    “Banyak sekali typonya, ga kayak dulu masih lumayan bersih typo, buru2 pasti neh dedlen makanya banyak,
    “Kapital awal huruf kata ‘seniman’ ga sesuai.
    “Hm, entri ini sangat meyakinkanku bahwa authornya dikejer dedlen banget!!! Buktinya… ntar Ghoul yang lanjutin.”

    GHOUL: :=(0
    “Tal suka ama ro? Ro kan paruh baya n tal masih gadis? Ga begitu serasi, bagusnya ayah dan anak.
    “Ro dan axel di sini kerja sama, tapi di entriku bersaing nangkap pokiel, hehe…
    “Kayaknya entri2 wiliam ini paling ekstrem dibanding entri produk dewasa lainnya, imajin wiliam terlalu tinggi dibanding rata2. Sampe aku sendiri berpikiran. Ng? apa ada orang kayak wiliam gene. Naudzubillah minzalik.
    “Pas kelar baca, aku lebih ngamuk daripada authorku…
    “Aku ga terima, ga terima!!!”

    Prang! Prang! Banting-banting piring… entrinya ga kelar… napa Ghoul ga punya peran, padahal dah jauh-jauh datang dari kampungnya buat ketemu wili. T.T

    BalasHapus
  5. sabar ya ghoul di atas. wah enak di sini axel di kasih hadiah sebelum pulang ke bingkai mimpi.

    awalnya agak penasaran sama bathory. dia itu siapa. sempet baca prelim william juga sih tapi waktu itu bnyak sekali nama2 yang bermunculan jadi nggak terlalu ingat dia pernah disebut atau nggak. tapi di entri axel bathory juga disebut dan munculnya cuma singkat. awalnya sih saya mikir dia cuma tokoh numpang lewat yang dimunculin di settingan latar aja. ternyata nggak ya? bathory itu sub oc nya william ya? waktu baca enthri ini jadi tahu.

    dan ini sepertinya misinya william dan axel beda ya. jadi william bisa pulang duluan. 8

    BalasHapus
    Balasan
    1. btw si bathory udah dibunuh mau aja dijadiin sub oc. apa karna tujuan sendiri? (membunuh william stelah will mencapai smua keinginannya?) makanya dia mau jadi sub oc nya william? ato dia emang tipe maso?

      Hapus
  6. Beberapa kata (dan nama lengkap William yang lumayan panjang) diulang di awal. Agak ganggu yah. Lumayan ganjel sama bagian ini; “Kemana ia? Apa wajar bagi seorang perempuan dst …” terus dilanjut, “Namun pertanyaan lain yang lebih penting adalah, "Kemana Tal Becker menghilang?" itu sama aja berarti pertanyaannya. Mungkin cuma kurang teliti aja. Ok lanjut.

    Soal dugaan penculikan hanya oleh satu orang itu kesannya kayak dipaksakan supaya Pokiel cepet kena sorot sih. Kurang nemu korelasi antara ‘penculiknya cuma satu orang’ karena ‘korbannya semua punya paras cantik’ (soal cantik pun masih kemungkinan karena ada kata “pastilah”, dan masuk ke dalam pov Ro yang serba terbatas). Maksudnya, bisa aja penculiknya 29 orang yang semuanya suka sama cewek cantik. Masih terlalu banyak kemungkinan gitu buat menyempitkan tuduhannya hanya ke satu orang.

    Terus, ini mungkin masuk kategori preferensi yah, tapi narasi kota tua pas bagian Axel pertama dikenalin itu kesannya kayak gak yakin.

    “Untuk ukuran kota tua, kejadian supranatural di kota ini sangatlah sedikit. Padahal biasanya kota tua sarat dengan unsur mistis. Pertanyaannya, Kenapa?”

    Mestinya penulis berusaha buat pembacanya percaya sama cerita yang lagi disampaikan. Bukan ngelempar balik, (oke itu dijawab di paragraf berikutnya, tapi menurut saya, lagi-lagi, mending ditiadakan aja) kata “biasanya” itu kurang bisa dipakai di saat-saat kayak gitu deh. kesannya kayak ragu-ragu. Saya kayak lebih bisa percaya sama “nih di sini ada monster kangkung yang suka bernyanyi” ketimbang “di kota tua biasanya sarat unsur mistis”, karena kalimat pertama kedengaran lebih meyakinkan, walaupun sebetulnya mustahil.

    Ketimpangan selanjutnya ada di paragraf berikut;

    “Jawabannya ada di gereja yang terletak di pusat kota. Di dalamnya, Axel bisa menemukan sumber bau busuk yang mengganggu pikirannya. Tak salah lagi : Di dalamnya ada Iblis.”

    Sebelumnya penulis bilang “biasanya kota tua sarat dengan unsur mistis”, terus bisa dengan yakin tiba-tiba bilang “tak salah lagi; di dalamnya ada Iblis”. Kayak kurang stabil gitu.

    Balik lagi, di atas ada pertanyaan “kenapa?”, yang kalau saya tangkep dari konteks kalimatnya berarti begini; Kenapa cuma ada sedikit aktivitas supranatural di kota ini? Jawabannya pun malah semacam penolakan dari pertanyaan itu; bahwa di gereja sedang ada Iblis. Apa kemunculan Iblis bukan termasuk dalam kejadian supranatural? Agak mindblown saya.

    Tapi buat seterusnya narasi makin bisa diikutin, walaupun fokusnya lumayan udah kesita duluan sama cara membawakan ceritanya sendiri. Beberapa lompatan kejadian yang serba mendadak bikin rada susah buat dibayangin.

    Nilai 7

    BalasHapus
  7. Doh, dari paragraf awal-awal udah disuguhin typo, banyak lagi. Tapi tak apalah, karena waktu masuk ke bagian seru udah ilang typo-nya(?)

    Battle scene-nya bagus, cerita anu(?)-nya juga. Dan ya, ngena banget. Dideskripsikan dengan detil, dan saya memang gak tega liat cewek diperkosa :') /slap/ btw 'dada berukuran sedang, tapi tetap menggoda' diulang dua kali dengan dua perempuan berbeda, kayaknya ini fetishmu ya. /disepak

    Penggunaan karakter-karakternya juga gak maksimal disini, expect more from Pucung and Ghoul.

    7/10

    OC : Takase Kojou

    BalasHapus
  8. Punten, numpang mampir sekaligus komen.

    Dibandingkan Prelim, Entri R1 William terlihat lebih oke. Adegan raepnya lebih yahud, dan saya rasa konfliknya lebih menarik.

    Tapi punten, porsi pembagian karakternya, seperti yang sudah ditunjukkan rekan-rekan sebelumnya sangat disayangkan. At least jadiin kameo atau figuran numpang lewat gitu, kan sayang, reveriers bisa dapet peran bagus kayak Axel atau Tal tapi Ulrich ama Ghoul kurang diperhatikan :')

    Dan saya juga jadi inget entri sendiri soal ini :')

    Adapun fokus cerita dan plotting cukup rapi, tapi saya rasa ini malah serasa ceritain Axel dibanding William.

    ya intinya mah, memang pembagian spotlight karakter itu gampang-gampang susah, gak selalu berhasil dan kalaupun jadi, tidak selalu memuaskan hasilnya.

    Punten, saya titip 7 buat nilainya. Sampai bertemu di R2.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  9. sayang banget somehow aku nyekip adegan flashbacknya battory.. ntahkenapa lagi menghindari hal ero //skip ehehe

    somehow narasi e kok rasane kaku yak? wait aku ga nemu ada ghoul @3@ but still ini william puas sih bikin aku pengen nonjok, hohoho... bisa-bisa..

    btw dari aku 8

    Airi Einzworth

    P.S: ntahkenapa aku pengen njauhin airi dari ini orang :v

    BalasHapus
  10. Yuhuuu, saya udah lama baca ini tapi lupa berkomentar.

    Saya gak mau komentar typo dan sebangsanya.
    Bagi saya, entry ini cukup menghibur dari segi storyline maupun R18 scene-nya.

    Tapi berhubung si William ini terkesan IMBA, jadinya sepanjang cerita dia kayak nggak disuguhi pertentangan / perjuangan besar untuk mencapai tujuannya.

    Being evil is good, but an overlord evil without too much effort is boring. Btw, rape scene-nya mantap mz. Ngerusak Putri anggun nan polos itu punya sensasi kepuasan tersendiri.

    Point : 8
    OC : Maria Venessa

    BalasHapus
  11. Benar kata orang orang diatas bahwa penulisannya kaku namun semakin kesini semakin asik. Tapi ada beberapa typo yang cukup membuat resah sih meski ga ada hubungannya ke cerita.

    Karakterisasi nya pun menurut saya sudah oke hanya saja kasian ghoul ga diajak padahal masih banyak cara untuk memasukan ghoul ke cerita anda ini huhu :(

    Overall memuaskan jadi 8 deh

    Wasalam
    Ganzo Rashura

    BalasHapus
  12. Sex scene, saya terjebak membacanya. Dan sialnya di selama membaca adegan tersebut kok saya paham T~T

    ------------------------------------

    Lupakan bagian itu dan mari kita review

    Pertama, apa yang Umi sukai dari entrymu?
    wah lumayan banyak, pertama plottingmu. Kedua narasimu yang disini. Umi lancar bacanya dan ga nge-skip.

    Umi juga suka pengembangan karakter William disini.

    Apa yang bisa dikembangin lagi?
    Jujur Umi ga baca R1, jadi keberadaan Bathory dan keterkaitan antara Bathory sama Tal itu bikin bingung. Next time mungkin kamu bisa perjelas lagi. Siapa itu Bathory. Dan Umi pengen konfirmasi karena ga nyambung, Tal berubah jadi Bathory? apa tal itu Bathory?


    ===================================

    Nilai dari Umi 7

    BalasHapus
  13. Hmm. Kayaknya setting ini kurang menantang buat William deh. Maksudnya, ga ada ruang gerak banyak buat William buat interaksi sama karakter setim dan bertarung.

    Untungnya, dengan lebih fokus ke tujuan utama William dan dialog-dialognya sama Batthory (di entri saya kurang satu t-nya) bikin entri ini punya alur yang rapi dan jelas tiap plot pointnya. Alhasil, hidangan utamanya adalah pemenjaraan Tal dalam lukisan dan adegan seksnya.

    Lalu, tentang Axel yang malah ngejalin kontrak sama Ashura berasa masih sangat menggantung. Apa beneran bakal dijelasin nanti di R2? Yang bikin saya khawatir adalah adegan kontrak itu sih. Rasanya sangat abrupt.

    Anyway, thanks udah baca Pucung! Bikin baca dua kali berarti saya masih perlu improve lagi narasinya nih, beneran. ;))

    8-1

    7

    Pucung

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.