Prolog
Jantung Maria berdesir keras, dadanya terasa seperti diperas
hingga seisi darah terkuras. Kelopak mata gadis itu terbuka lebar, memelotot
tajam memandangi ukiran langit-langit ruangan. Posisinya terkulai lemas dengan
tangan menjuntai bebas.
Bongkahan payudara di dada terlihat naik turun. Mulutnya setengah
terbuka, berusaha menggapai oksigen dari udara yang lembab. Napas gadis itu
memburu tak karuan. Keringat dingin bahkan mengucur deras bagai disiram air
hujan.
Lengannya bergeser pelan, berusaha meyakinkan diri bahwa dia tidak
dalam kondisi lumpuh total. Kain seprei terasa lembut menyentuh kulit. Terpaan
angin dingin dari penyejuk ruangan membuatnya bergidik.
Kala itu barulah Maria sadar, dirinya sedang berada dalam kondisi telanjang
tanpa sehelai pun benang.
“Apa... yang sudah terjadi?” Gadis itu bertanya pada diri sendiri.
Ia berada di kamar hotel. Tak peduli berapa kali Maria memejamkan mata,
pikirannya tetap tak bisa menjelaskan alasan kenapa dirinya bisa ada di sana.
“Uhhmm...” Seorang pemuda berusia lima belas tahun menggumam
pelan, membuyarkan lamunan Maria. Sosok itu memiliki warna rambut Jingga, sama
dengannya. Sedari tadi dia tertidur pulas di sampingnya.
Maria tentu saja terkejut, suaranya setengah memekik, “Kamu
siapa?” Jemarinya dengan segera menarik selimut untuk menutupi bagian dada.
Pemuda itu ikut-ikutan kaget, “Lho, kamu sendiri siapa? Aku di
mana?” Wajahnya latah berubah panik.
Maria kemudian menghela napas sejenak, berusaha mencerna situasi
tempatnya berada, “Kita semalam nggak habis mabuk-mabukan kan? Nama aku Maria.”
“A—aku Odin...” Pemuda itu memeriksa kondisi di sekeliling. Dia
mendapati gadis cantik duduk tanpa busana di hadapan mata. Kondisinya sendiri
juga sama-sama telanjang seperti bayi baru lahir. Apa itu berarti keduanya baru
selesai melakukan senggama?
Di lain pihak, Maria malah terlihat canggung. Pemuda (ganteng) di
hadapannya terus melayangkan tatapan kebingungan, seakan menuntut sebuah
kejelasan, “A... ada apa?”
Odin mengendus bau sperma di tubuh Maria. Benar rupanya mereka
telah berhubungan badan. Hal itu semakin menambah keanehan. Sedikit pun ia tak
ingat apa yang hingga berakhir di sana. Pemuda itu lantas membuka mulutnya
sejenak, berusaha mengucap walau ditahan keraguan, “Kamu... nggak mati?”
Maria mengerutkan alis, setengah tersinggung mendengarnya,
“Haaaaa??? Aku masih hidup kok.”
“Eeeeuh... justru itu yang aneh. Siapa pun yang bercinta denganku
pasti akan berakhir hidupnya.
Maria gagal mencerna maksud ucapannya, “Terserah kamu deh mz, aku mau ganti baju dulu.” Lengannya
menggapai pakaian kusut tak jauh dari posisi duduknya.
Odin tak mengucap apapun meski Maria beranjak pergi dari sana. Ia
hanya terkesima akan kemolekan lekuk tubuh gadis itu. Wangi jeruk semerbak
tercium jelas hanya lewat kehadirannya saja.
...
Lampu jalanan berpendar menghiasi gelapnya malam. Gemerlap cahaya
menguntit dari tiap jendela pada gedung-gedung tinggi. Hiruk-pikuk perkotaan
masih tersisa meski sang mentari tak lagi menyinari.
Sebuah patung dewi berdiri kokoh di tengah kota. Berwujud
perempuan berambut panjang hingga menyentuh paha. Orang-orang terlalu
menghormati dewi itu hingga menjadikannya objek pemujaan.
Pikiran Maria masih belum bisa menjawab beragam tanda tanya. Kenapa
dirinya bisa berada di sana? Apa dia mengalami Amnesia? Tapi batinnya masih
bisa memanggil segala kenangan tentang dirinya.
Dimulai dari perjalanan hidupnya sebagai kupu-kupu malam. Lalu
berpetualang mengikuti turnamen hidup mati di alam mimpi. Berulang kali ia
mati, namun masih bisa hidup kembali. Itu karena segalanya tak lebih dari
ilusi.
Para pejalan kaki di sekelilingnya, mobil-mobil—lengkap dengan suara
klakson nyaring—berlalu lalang memenuhi jalanan. Semilir lembut meniup tipis ke
belakang telinga, mengantar dinginnya angin malam. Serangga kecil berputar di
lampu penerangan. Semua itu sebenarnya tidak nyata. Dirinya berada dalam
bingkai mimpi, tak lebih dari konstruksi alam bawah sadar saja.
Tapi setidaknya, di alam mimpi ini dia bisa tinggal bersama ibu
dan saudarinya. Meski di dunia nyata dirinya tengah mengasingkan diri, di sini
ia bisa bebas berinteraksi dengan mereka. Nely ibunya, mau menerima dia apa
adanya, meski keberadaan Maria dicap sebagai anak haram yang bisa mencoreng
nama baik kerajaan.
Maka ke sanalah Maria berangkat, menuju kediaman kerajaan di mana
ia seharusnya berada. Segalanya memang tak lebih dari ilusi saja. Oleh
karenanya seluruh fitur mimpi ini dirasa menyenangkan bagi Maria. Tak ada hal
buruk yang akan terjadi padanya.
Sebuah pemikiran naif.
Yakin sekali ia di bingkai mimpi ini tak akan ada ancaman baginya.
Gadis itu lupa akan bagaimana cara untuk bersikap waspada. Berjalan melewati
gang sempit nan kumuh pada malam hari merupakan tindakan berbahaya. Ada banyak
penjahat sibuk mencari mangsa. Maria malah tak mengindahkan para tunawisma di
kanan kirinya. Tak peduli akan bagaimana mereka melayangkan pandangan tak
bersahabat.
Maria sukarela mengantar dirinya sebagai korban yang siap
diperkosa. Potongan pakaian gadis itu terlihat menggoda, terutama pada belahan
di antara dua payudara. Kurva tubuhnya juga indah di mata. Perempuan manapun
pasti iri melihat perut rata—tanpa timbunan lemak—milik Maria. Dan bokongnya
... lelaki macam mana yang tak akan menelan ludah melihat gumpalan itu? Terlebih
wangi gadis itu senantiasa membangkitkan gairah siapa pun yang mengendusnya. Feromon
pembangkit hawa nafsu tanpa disadari menebar aktif memenuhi udara.
Maka dari itu, bukan hal aneh lagi apabila sekelompok gelandangan
datang menyerangnya. Mereka tak sanggup menahan kehendak bejat di kepala.
Salah satu dari mereka menyergap dari belakang. Gelandangan itu
memeluk erat sementara dua tangan menggerayangi payudara.
Mulut Maria gagal mengeluarkan suara. Mau panik dan menjerit pun
ia tak sanggup. Sosok lain begitu sigap menyumpal mulutnya.
Bokong Maria bisa merasakan tonjolan keras dari balik celana. Napas
bau mereka menandakan hilangnya akal sehat ditelan oleh nafsu membara. Gadis
itu sebenarnya tak terlalu keberatan andai diperkosa saat itu juga. Anggap saja
itu sebagai makan malam untuk mengisi energi di hari selanjutnya.
Tapi ia tak pernah menduga, bahwa orang-orang ini akan bertindak
kasar hingga memukulinya. Gadis itu ditampar berulang kali, seraya pakaiannya
dirobek dengan paksa. Dirinya diposisikan seperti seekor anjing. Kemaluannya
dihujam tanpa ancang-ancang. Para pemuda itu mencengkeram pinggulnya dari
belakang, seraya menancapkan penisnya dalam-dalam.
Gadis itu menjerit kesakitan, tatkala bokong bulatnya ditampar
berulang kali hingga kemerahan. Ia juga tak mengerti, kenapa pemuda satu lagi
harus menghajar pipinya sebelum meminta dioral. Tanpa disuruh pun ia pasti akan
menjilati penis yang disodorkan tepat di depan wajah. Kenapa Orang-orang ini
begitu beringas padanya? Apa mereka mendapat kepuasan seksual dengan cara
menyiksa partnernya? Beragam pukulan disarangkan tepat di wajah. Paras cantik
gadis berambut Jingga itu dirusak hingga penuh dengan luka lembam.
Beragam caci maki terdengar memenuhi telinga. Baru kali ini Maria
merasa tak berdaya, hingga merasa seperti alat tak berguna. Ia tergolek lunglai
dalam posisi telanjang penuh luka.
Pemuda pertama yang menggagahi dirinya sudah terduduk lemas hilang
tenaga. Kini giliran pemuda lainnya memuaskan niat bejat untuk bersenggama. Pemuda
ini yang sedari tadi menyiksa Maria. Dalam posisi misionaris, ia menindih kuat
demi menujukan dominasi sebagai seorang pria.
Hanya saja, sikap dominasi itu dilakukan melewati batas. Jemari pemuda
itu menggapai leher Maria, lalu mencekiknya sekuat tenaga.
Napas Maria tercekat, lengannya berusaha melepaskan diri walau
berakhir sia-sia. Tak peduli bagaimana ia meronta, mencakar wajah sang
pemerkosa. Gadis itu tetap kalah tenaga. Dadanya kembung kempis berusaha
menarik oksigen. Bibir gadis itu terbuka sedikit kepalanya menengadah tinggi
untuk menggapai udara, “Huk... hhhhhh....”
“Mati loe anjing, lonte sampah gak berguna!” ucap pemuda itu.
“Udah matiin aja bro, ntar mayatnya buang ke kali bawah tanah.
Biar gak ketahuan,” sahut yang lainnya.
Paras Maria meringis ketakutan. Dihantam teror tak berkesudahan, air
matanya terlihat bercucuran. Orang-orang ini berniat untuk mengakhiri hidupnya.
Padahal ia tak sedikit pun melakukan perlawanan, tapi kenapa orang-orang ini
begitu tega padanya?
Pemuda terakhir itu menumpahkan muatan sperma ke dalam rahim
Maria. Tenaganya diserap Maria secara sempurna hingga ia tumbang tak berdaya.
Untuk sesaat Maria merasa lega. Orang yang berniat membunuhnya
kini tak sadarkan diri. Ia kira segalanya akan berakhir di sana.
Namun lagi-lagi ia salah.
Tak sedikit pun Maria sadari, bahwa sedari tadi terdapat tunawisma
lain dengan sabar berdiri rapi. Wajah mereka sama-sama terlihat beringas, siap
untuk melukai.
“Ya Tuhan...” ucap Maria dengan suara bergetar. Ia benar-benar
memasuki gang kumuh berisi banyak sekali gelandangan.
Orang-orang berpakaian penuh tambalan memeriksa dua pemuda tadi.
Mereka sama sekali tak menemukan denyut nadi.
Marah, geram, gelisah, heran, semuanya bercampur padu hingga
menciptakan adonan berupa anarki ketidaktahuan, “Apa yang kau lakukan?!”
Orang-orang ini semakin cemas, “Dia setan! Dia pasti setan. Kau
pernah dengar setan bernama Succubus?
Itu pasti dia!”
“Bunuh setan itu! Bakar!” gelandangan lainnya datang memprovokasi.
Dibakar oleh rasa takut dan kedunguan, orang-orang ini sukses
menangkal feromon dari tubuh Maria. Hasrat untuk menunaikan nafsu hilang tertelan
kemarahan. Mereka datang mengerubungi, lalu melayangkan beragam pukulan dan
tendangan.
Kenapa? Kenapa
jadi begini? Apa salahku? Ada apa dengan orang-orang ini?
Maria tak sedikit pun sanggup melakukan perlawanan. Sakit di
sekujur tubuh menghentikan tiap pergerakan. Bibirnya pecah, hidungnya
mengeluarkan darah. Gadis itu menerima amuk masa atas kesalahan yang tidak ia
perbuat. Kondisinya terlampau lemah hingga pandangan pun ikut memburam.
Berikutnya, Maria mendapati dirinya tengah diangkat oleh
orang-orang ini. Sebuah tali dilingkarkan pada lehernya.
Apa yang
terjadi..?
Dalam satu tarikan, tubuhnya terangkat tinggi.
Simpul tali begitu erat menjerat leher. Gadis itu digantung dalam
kondisi tanpa busana. Kakinya mengayun berusaha mencari pijakan, sementara
kedua lengan berusaha melepaskan diri. Semakin berat
bobot Maria, semakin kuat ikatan itu mencekiknya.
Sesak, rasanya sesak sekali. Gadis itu menangis tanpa suara.
Batinnya meringis mengharap pertolongan. Rasa takut meneror ke dalam raga.
Sekuat tenaga ia menarik napas, tak ada udara yang bisa melewati
tenggorokannya.
Tubuhnya menegang. Tinggal beberapa detik lagi hingga ajal datang
menjemput. Pipinya basah oleh kucuran air mata.
“To...long...”
...
...
Kesadaran Maria terasa semakin mengawang. Telinganya berdengung
kencang, sementara pandangan mata kian memburam. Tubuhnya tak lagi bergerak.
..
“Hentikan!”
Seseorang datang memecah suasana. Maria tak bisa menangkap apa
yang terjadi. Sorot matanya kosong menatap angkasa. Jeratan leher ini menekuk
lehernya hingga menengadah tinggi.
Beragam keributan terjadi di sekelilingnya. Suara jeritan
terdengar memenuhi udara. Seseorang sibuk membantai orang-orang di sana.
...
“Maria..!” seseorang berteriak memanggil namanya.
Akan tetapi rasa lelah terlampau kuat mencengkeram kesadaran
Maria. Tubuh gadis itu serasa ditarik jauh menuju kegelapan di bawah sana.
...
“Maria..!”
Ah... siapa pemuda ini? Dia begitu gigih menyelamatkan Maria.
...
Gadis itu lambat laun membuka kelopak mata. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah Odin yang sedang
mencium dirinya.
Tidak, tidak... itu bukanlah ciuman. Pemuda itu sedari tadi
melakukan CPR padanya. Berulang kali
ia menekan dada Maria, lalu meniup udara lewat mulut ke mulut untuk memberikan
respirasi buatan padanya.
Pandangan Maria terlihat sayu. Mulutnya terbuka pelan seraya
mengucap lirih “Odin...”
Raut khawatir Odin mencair, hingga tergantikan dengan ukiran ekspresi
bahagia. Rasanya senang sekali setelah menerima hasil dari usaha resusitasi ini.
Gadis itu selamat setelah beberapa menit dijerat tali gantungan.
“Maaf aku sudah melupakanmu...” Odin mengukir wajah teduh
menyejukkan, “Si Hewan... maksudku Zainurma sialan itu pasti telah melakukan
sesuatu. Aku bahkan tak sedikit pun mengingatmu ketika menjalani misi di Little Italy.”
Maria menggelengkan wajah. Segala kenangan pada ronde sebelumnya
mengalir deras memasuki kepala. Pemuda yang sedang memangkunya ini adalah cinta
pertamanya. Jelas sekali tergambar imaji perjuangan mereka di ronde sebelumnya.
Keduanya saling menempelkan kening, seraya mengukir senyum
bahagia.
“Terima kasih,” ucap Maria lirih, “Terima kasih sudah
menyelamatkanku.”
Part 1 of 7
Paparan kristal penyembuh berpendar redup dalam ruangan yang
temaram. Kesibukan perkotaan terlihat samar dari jendela ruangan.
Tiga hari Maria dirawat di rumah sakit. Tiap hari Odin setia
menemani di sampingnya.
Tayangan televisi seperti biasa mengabarkan berita tentang
keluarga kerajaan. Vas bunga di samping kulkas terlihat basah memantulkan binar
mentari sore hari. Kedua domba Odin dan Maria sibuk bercinta di pojok ruangan
dekat lemari.
“Kita... masih ada di bingkai mimpi?” ucap Maria ragu. Hal buruk
yang terjadi padanya terasa begitu nyata sekali. Apa tak ada batasan untuk
membedakan realita dengan alam mimpi?
Odin menggelengkan kepalanya, “Aku juga belum mendapat kepastian
mengenai ronde dua. Semoga saja kita tidak berhadapan di pertarungan
selanjutnya.”
Maria mengukir senyum lembut, “Andai itu terjadi, aku rela
merenggut nyawaku sendiri sebagai pijakanmu
untuk berlanjut menuju ronde selanjutnya.”
“Lalu sekuat tenaga aku akan mencegahnya. Aku tahu titik lemah
manusia. Aku bisa bunuh diri lebih cepat, semata agar kau bisa hidup lebih lama.”
Maria tertawa kecil, “Ini bukan kisah Romeo dan Juliet.”
Odin beranjak mendekati. Pemuda itu mendekatkan wajahnya lalu
mengecup bibir Maria. Agak lama keduanya saling bertaut mesra. Jemari Odin tiada henti menyisir rambut Maria yang berwarna
Jingga. Perasaan rindu berbalut sayang begitu sesak memenuhi hati. Ini pertama
kalinya Odin merasakan bahagia ketika bermesraan dengan seorang wanita. Keduanya
rela mengorbankan apapun demi keselamatan kekasih hati.
Dua domba di pojok ruangan menghentikan aktivitas mereka. Hewan
peliharaan itu mengembik tanpa makna. Hanya pemilik masing-masing yang paham
ucapan itu. Walau garis besarnya tetaplah sama.
Ronde dua hendak dimulai.
“Maaf Maria, aku harus pergi. Ronde dua ternyata dimulai di
bingkai mimpi kita masing-masing.”
Maria hanya menjawab dengan senyum lirih. Sedih sekali rasanya
harus berpisah kembali dengan pemuda itu, “Semoga berhasil Odin...”
“Kau juga, berhati-hatilah... Maria. Kita akan bertemu lagi.”
Sebuah dinding mistis muncul dari udara kosong. Portal itu
bergerak maju hendak menelan keberadaan Odin. Tiap senti permukaan tubuhnya
bercerai berai berubah menjadi serpihan cahaya lembut. Tak ada rasa sakit dari
proses perpindahan dimensi itu. Yang ada hanyalah kesedihan akan sebuah
perpisahan.
Odin lenyap bersama dengan dombanya. Sampai akhir pun telunjuk pemuda
itu masih teracung demi menggapai Maria.
Maria masih terduduk di kasur rumah sakit. Lengannya masih jelas
mengingat sentuhan terakhir di penghujung jemari. Napas gadis itu lantas
mengembus pelan, seraya pandangannya teralihkan ke luar jendela, “Nah...
sekarang apa yang harus kulakukan?” Ia tak punya kemampuan apapun untuk melawan
peserta lainnya. Pada Ronde terakhir pun dia berhasil selamat hanya
mengandalkan keberuntungan saja.
Selamat?
Tidak, dia salah. Maria sama sekali tak selamat di ronde satu. Dia
mati di kala itu.
Apa itu berarti
mati tak menjadi masalah?
Itu juga tidak benar. Karena makhluk hidup manapun tak pernah
menginginkan kematian.
Mati…
Teringat kembali kejadian tiga hari lalu. Kali ini rasa takut
datang berkecamuk meneror sanubari. Keringat dingin mengucur membasahi dahi. Rasa
mual serasa menohok lambung dan ulu hati.
Kenapa baru
sekarang aku merasakan ini?
Batinnya menerawang jauh, memutar kembali saat-saat hina ketika
sedang diperkosa. Pipinya remuk dihajar berulang kali, siku lengan kiri Maria
bahkan terlepas dari sendi. Beragam goresan di kulit mengeluarkan darah beserta
kepedihan. Harga dirinya tak lagi berarti.
“Aku.. tidak mau mati…” ucap gadis itu seraya menjambak rambutnya
sendiri. Sungguh aneh, kenapa baru sekarang ia diserang perasaan begini? Apa
keberadaan Odin begitu hebatnya hingga sanggup meredam trauma ini? Maria
kembali bergidik ngeri, rasa sakit di kala itu muncul kembali.
Tenang-tenang…
ini hanyalah alam mimpi. Segalanya tak nyata sama sekali.
Tapi mau bagaimanapun juga, segala teror dan penderitaan itu
terasa seperti sebuah realita.
Jadi mana yang
benar? Aku takut… aku tak ingin terlibat lebih jauh dalam turnamen konyol ini.
Sendirian di ruangan gelap, gadis itu meringkuk memeluk bantal
selagi berlindung di balik selimut.
Odin… tolong
selamatkan aku. Aku ingin keluar dari turnamen konyol ini.
Tangis kecil pecah walau suaranya nyaris tak terdengar. Waktu
berlalu begitu cepat tanpa disadari. Dentang jarum jam menunjukkan tepat pukul
dua belas malam.
Lampu penerangan di ruangan itu padam begitu saja. Matanya gagal
menangkap apapun, ruangan itu berubah menjadi gelap gulita. Suasana begitu
senyap tanpa sedikit pun suara.
Ada yang aneh.
Kondisi ini terlampau hening. Suara detak jarum jam bahkan absen
dari telinga Maria. Gemuruh kecil pendingin ruangan terhenti dari tugasnya.
Padahal handphone bisa
dijadikan sebagai penerangan darurat, tapi tak ada yang menyalakan cahaya
apapun di luar sana. Seakan kota ini mendadak sepi tak berpenghuni.
Cahaya berwarna ungu kemudian berpendar temaram dari angkasa.
Maria bisa samar-samar melihat sekeliling berkat pantulan redup yang menyelinap
lewat jendela. Gadis itu lantas memberanikan diri untuk memeriksa.
Jauh di angkasa sana, sebuah dinding mistis tercipta menutupi
kota. Permukaannya mengeluarkan pantulan cahaya bak gelombang air di lautan.
Cahaya yang sama yang kini menyinari kegelapan di bawahnya.
Kota Twilight ini dipenuhi gedung-gedung pencakar langit. Hal itu
menyulitkan Maria untuk melihat batas cakrawala. Ia tak tahu sejauh mana
selubung semi transparan ini mengakar menuju tanah.
Ini mungkin fitur
dari ronde dua.
“Uiiik… uuuiiikkk..” (Maria, kau harus fokus. Perjuangan kali ini
tidak hanya tentang dirimu saja, melainkan untuk menyelamatkan kota ini dari
kehancuran.)
Domba itu mengucap sesuatu untuk memberikan semangat.
Maria melayangkan tatapan tak sedap, “Memangnya aku peduli? Lihat
apa yang kota ini sudah perbuat padaku. Kalau pun harus hancur, maka biarlah itu
terjadi.”
“Uuuiiikkkk… uik, uikkkuikkkk,” (Kau mau menyerah? Nasibmu nanti
akan lebih parah dari pada kematian. Keberadaanmu akan digerus hingga menjadi
sebatas tembikar.)
Jantung Maria berdesir mendengarnya. Rasa takut kembali menjalar
di pikiran, “Lantas apa yang harus kulakukan?”
“Uiik, uiik… uik,” (seperti biasa, kalahkan musuhmu, atau
orang-orang di kotamu akan terbunuh seiring dengan berakhirnya tenggat waktu.)
Didorong sejumput keberanian, gadis itu pergi ke luar ruangan. Ia
harus mencari baju baru, baju pasien ini terlalu tipis, sementara udara malam
pasti terasa dingin.
Tak ada seorang pun di lorong rumah sakit. Penerangan yang seadanya
memaksa Maria untuk ekstra siaga. Tempat ini mendadak saja kosong tak
berpenghuni.
“Uiiik, uiiik,” (Jangan takut, aku ada di sampingmu)
Setidaknya Dombe masih setia menemani.
Tiba di Nurse Station,
Maria tak bisa menyembunyikan rasa heran akan pemandangan di hadapannya.
Alih-alih menemukan seorang perawat, di balik meja resepsionis itu dia malah
terdapat sebuah peti mati yang diposisikan berdiri. Bagian sudutnya mengeluarkan cahaya temaram berwarna ungu, persis
seperti warna selubung di angkasa.
“Jangan-jangan...” gadis itu bergegas cepat, pergi menuruni
tangga. Ia ingin memastikan sesuatu dengan pergi keluar menuju jalanan.
Di sana, terdapat banyak peti mati dalam posisi berdiri. Seakan
tiap benda itu merepresentasikan seorang manusia yang sedang berjalan.
Lebih jauh memerhatikan, mereka yang ada di dalam mobil pun tak
luput dari keanehan. Peti mati itu membungkus tubuh mereka mengikuti posisi
duduk.
Napas Maria masih memburu setelah cukup lama berlarian. Mulutnya
menggumam pelan, “Dark Hour...”
Part 2 of 7
“Namol bangun! Heppow lapar...!” Seekor cacing tanah mengucap
keras hingga membangunkan sang Majikan.
Napas Namol tercekat, lengannya
menggapai ke angkasa. Cacing barusan menindihnya dari kaki hingga ke
perut.
Iya, cacing itu seperti hewan mutan. Ukurannya tak wajar, jauh
dari kata normal. Bobotnya saja bisa mencapai ratusan kilogram. Dan yang lebih
gilanya lagi, dia bisa bicara.
“Cacing sialan, sadar diri dong tubuhmu itu berat!”
Sesosok peri kecil terbang bebas di ruangan, “Heppow nakal! Nanti
Namol bisa mati.” Peri itu berusaha menarik cacing raksasa yang menindih, “Awas
iiiiih!”
“Aaaaaaa...” Namol memejamkan mata, berusaha melepaskan diri. Meski pagi hari ini terasa begitu
menyebalkan, tapi setidaknya dia bahagia bersama dua rekannya ini.
Hanya saja suasana itu mendadak terhenti digantikan dengan
kekosongan nan sunyi.
Mata Namol terbuka lebar, menatap lampu kamar yang mati. Ruangan
itu gelap. Pria itu mendapati dirinya masih sendiri. Keributan di pagi hari ternyata
tak lebih dari sekadar imaji. Yang jelas, sekarang masih malam hari.
“Mimpi di dalam mimpi...” gumam Namol lirih. Ia menutupi wajahnya
sendiri, bersedih akan kedua rekannya itu.
Domba pemberian Zainurma mengembik
memberi tahu akan dimulainya ronde dua. Tremor kecil terasa jelas di
lantai rumah, “Gempa?”
Didorong rasa penasaran, maka disingkaplah tirai jendela. Dari
sana, Namol bisa melihat sekelumit perubahan di batas cakrawala. Langit gelap di
atas sana memiliki dua bulan.
Bingkai Mimpi Namol berpindah tempat menuju realita yang berbeda.
Tanpa kesulitan berarti, pria itu terbang melayang tinggi untuk
mengumpulkan informasi. Sebuah Kota diisi beragam bangunan tinggi terlihat
terpatri sejauh lima puluh kilometer. Namol sempat salah mengira bahwa kota itu
adalah New York.
Lalu ada satu hal lagi yang terasa mengganggu. Sebuah selubung
misterius muncul dari ketiadaan di langit kejauhan. Semacam gelembung tipis
semi transparan menyekat dua kota itu dari dunia luar. Apa ini berarti Ronde
dua akan melibatkan dua kota yang saling berhadapan?
Namol mengerutkan alisnya, berusaha berdamai dengan rasa takut di
dada, “Se- sekarang kita harus berperang?”
Domba di samping Namol terbang setelah mengikat diri pada Jetpack. Hewan itu mengembik memberi
keterangan tentang syarat dan ketentuan Ronde dua.
“Tak perlu pergi berperang? Aku cukup membunuh Reverier yang
tinggal di sana?” Pria itu menelan ludah, “Kuharap dia orang yang lemah.”
Selayaknya seorang Superman, Namol memosisikan dirinya seperti
kapal terbang, lalu melesat cepat menuju kota di kejauhan.
...
“Peradaban di sini mirip seperti kota di Bumi.” Namol memeriksa
segala sesuatu. Ia hanya bisa heran terhadap begitu banyaknya peti mati, “Apa yang terjadi di sana? Kenapa
banyak peti mati dalam posisi berdiri?”
Pria itu mengucap apapun yang mengganggu pikiran. Biasanya ada dua
rekan yang setia menanggapi beragam celotehannya. Namun kali ini, hanya
keheningan yang bisa ia jadikan jawaban.
Di atas puncak gedung tertinggi, terdapat sesosok gadis tengah
berdiri sendiri. Dia sepertinya sibuk mengamati kota tempat Namol berada.
Gelapnya suasana membuatnya tak sadar akan keberadaan Namol yang melayang di
angkasa.
Walau dipenuhi keraguan, Namol memberanikan diri untuk datang
menghampiri.
Gadis itu tak beranjak sedikit pun dari hadapan Namol. Pandangan
yang sedikit terbelalak hanyalah satu-satunya petunjuk akan keterkejutannya.
Hebatnya, dia masih bisa mempertontonkan ketenangan. Hal itu terbukti dari
ucapannya yang lembut, “Halo mz.”
Wajah Namol berubah canggung, “Eeeeuh... halooo...”
Senyum kecil terukir di mulut seksi gadis itu. Akan tetapi,
sedetik kemudian raut wajahnya berubah menyiratkan kegundahan, “Aku asumsikan
kamu sebagai Reverier yang menjadi
lawanku.” Lengannya terkepal menahan rasa takut.
Namol menatap domba di samping Maria. Gadis itu pasti
mengasumsikan hal barusan setelah mendapati domba miliknya sibuk melayang di
angkasa.
“Uuuhmmm... i-iya..” jawab Namol canggung. Perhatiannya berulang
kali teralihkan oleh belahan payudara di dada gadis itu, “Na-nama kamu... Maria
kan?” Rambut panjang berwarna jeruk matang membuat gadis itu cukup mencolok
ketika berada di Museum Semesta.
Maria menjawab dengan sebuah anggukan.
Mendengar itu, Namol lantas menurunkan kewaspadaan. Sepanjang yang
ia tahu, Maria merupakan salah satu Reverier yang tak memiliki kemampuan untuk
bertarung,
Keduanya mematung tak bersuara. Kebisuan itu terasa nyata,
terlebih dengan absennya embusan udara. Waktu seakan terhenti bagi keduanya.
“Uuuuhhhmmm...” Namol menjadi canggung, “Apa sekarang kita harus
saling bunuh-bunuhan?”
Maria menggelengkan kepala. Sejuta kegundahan di wajah
sesungguhnya merupakan perwujudan dari rasa takut di kepala. Gadis itu
menggigit bibir bawahnya, menunjukkan bahwa ia tertekan dengan situasi yang
ada, “Aku... tak mau bertarung. Aku ingin keluar dari turnamen konyol ini.”
Wajahnya menengadah, menatap jauh ke dalam jiwa Namol, mengharap pertolongan
dari lubuk hati paling dalam, “Kumohon, bantu aku.”
“Dengan cara apa?” Namol sendiri dibuat kebingungan. Hanya
kematian salah satu dari mereka yang bisa mengakhiri ronde dua, “Jangan bilang
kau menyuruhku untuk mati. Kalau itu aku tak mau.”
Maria menggelengkan wajahnya, “Tentu saja tidak. Yang jelas, aku
tak mau membunuh siapa pun demi acara aneh ini.”
Sebenarnya dari tadi Namol sudah memikirkan sebuah jalan pintas. Niat
buruk terbesit berulang kali, meminta konfirmasi untuk dilakukan. Gadis di
hadapannya bisa ia kalahkan kapan pun ia mau. Tapi entah kenapa, ada semacam
perasaan aneh yang datang mengganggu.
Napasnya memburu. Kemaluannya menegang. Keringat dingin mengucur
seraya pandangan berubah gamang. Organ reproduksi di antara selangkangan serasa
ingin meledak. Berada di dekat Maria membuat birahinya naik tanpa sebab.
Pemikiran Namol serasa meleleh. Andai pria itu tak bisa menahan diri, perempuan
di hadapannya tentu sudah ia terkam dari tadi.
“Maria...” pria itu mengucap nama Maria selembut mungkin. Pria
mana pun tak akan tega melihat gadis lemah tak berdaya, menangis ketakutan
meminta pertolongan. Meski Namol mengenal dirinya sebagai seorang pengecut,
tapi itu tidak menjadikannya sebagai seorang brengsek tak kenal sopan santun.
Ia tak akan menyerang lawan lemah tak berdaya.
Maria tak lagi bisa menahan diri. Ia gagal berpura-pura menjadi
perempuan pemberani. Aktingnya luntur bersamaan dengan kucuran air mata yang
membasahi pipi. Gadis itu paham betul, siapa pun lawannya di pertarungan ini,
mereka pasti memiliki kemampuan super untuk bisa membunuhnya dengan berbagai
cara. Ia sadar, nyawanya sedang berada di ujung tanduk.
“Tenanglah... aku tak akan menyakitimu.” Entah didorong keberanian
dari mana. Namol sanggup berjalan mendekati, menyeka air mata gadis itu, lalu
mengusap rambutnya penuh arti.
Maria menengadahkan kepalanya, seakan menuntut penjelasan dari
ucapan barusan. Apa itu berarti permusuhan ini terhenti sampai di sini?
Namol menjawabnya dengan sebuah kecupan. Pria itu seperti sedang
kerasukan. Ini bukan dirinya yang biasa. Ia tak akan pernah bisa melakukan hal
seperti ini pada wanita. Apa ini salah satu efek dari feromon Maria? Namol
harus bisa menyudahi ini, ia tak boleh terjerat tipu daya seorang Succubus. Gadis itu mungkin memiliki
rencana tersendiri lewat cara membangkitkan nafsu birahi.
Namun bibir sensual Maria seakan memiliki daya tarik tersendiri. Tanpa
disadari, mulut keduanya saling terpatri, menyatu dalam beragam kecupan. Lidah
gadis itu terjulur keluar, bertaut dengan jilatan kecil dari pria berkulit
cokelat. Ciuman itu berhasil membangkitkan gairah yang menggelora. Namol dengan
beringas meremas payudara Maria, sementara gadis itu sibuk mengelus batang
kejantanan. Keduanya lupa bahwa seharusnya mereka saling bermusuhan.
Tiap helai pakaian berhasil ditanggalkan, keduanya bergelut
berusaha saling memuaskan. Lantai licin sama sekali tak menjadi penghalang.
Namol begitu fokus menelusuri belahan dada berukuran tak wajar. Gumpalan kenyal
itu lebih besar dari kepalan tangan. Tak pernah bosan ia mengaduk, meremas,
serta meresapi tekstur lembut dari dada seorang perempuan. Jempol pria itu
memilin kecil puting merah muda yang sudah menegang.
Punggung Maria menggelinjang, pikirannya serasa mengawang. Ia tak
menyangka Namol begitu lincah nan berpengalaman. Gadis itu menjerit pelan,
tatkala tiga ruas jemari sibuk menggaruk bagian dalam lubang kewanitaan.
Partnernya kali ini paham di mana letak kelemahan hanya lewat beberapa
percobaan. Hal ini membuat Maria terlihat seperti sedang dirasuki setan.
Beragam cacian beserta umpatan terlontar sebagai wujud ekspresi dari sejuta
kepuasan. Pinggul gadis itu terangkat sedikit, melepaskan semacam energi lewat
proses orgasme. Semburan kecil terasa hangat membasahi jemari Namol.
Skor 1 – 0 untuk Namol. Dia tersenyum puas melihat lawannya
terkapar tak berdaya. Gadis itu tergeletak pasrah, siap untuk dieksekusi.
Kejantanannya sudah mematung tinggi sedari tadi. Tak sabar rasanya merasuk ke dalam lubang surga duniawi.
Maka disingkaplah kedua paha Maria, seraya pandangan gadis itu
terlihat gamang. Samar mulutnya mengucap sesuatu, “Jangan di lubang yang
itu...”
Gerakan Namol terhenti, seraya jemarinya memegangi kedua lutut
Maria, mendadak saja ia berubah bimbang. Apa maksudnya berkata ‘jangan lubang
yang itu?’
Jadi harus di mana Namol menancapkan penisnya?
Vagina?
Celah sempit itu basah oleh pelumas alami. Lubang kewanitaan Maria
seakan tak sabar untuk dimasuki. Namol tak mau berpikir panjang, terlebih pikirannya
sudah tenggelam digerus nafsu birahi.
Maka ditancapkan saja batang kejantanannya dalam-dalam. Sensasi kepuasan
ini sungguh tak tertandingi. Rasanya hangat nan nyaman. Dinding peranakan itu
mencengkeram kuat seakan memiliki kehendak tersendiri. Penisnya serasa diremas,
diurut, serta disedot tanpa henti. Diam menancap saja sudah seperti ini, lantas
seperti apa kira-kira jika Namol mulai menggerakkan pinggulnya?
Bokong pria itu mundur sedikit, mencabut perlahan batang keras
yang menusuk dalam. Mulut Namol tampak setengah terbuka, melenguh tanpa suara.
Pria itu begitu khidmat meresapi gesekan lezat dari dinding vagina. Celah
sempit itu bertindak selayaknya vakum, menarik kembali penis yang keluar, tak
rela untuk ditinggalkan.
Dorongan kecil kembali dilakukan. Namol memberikan penekanan.
Gerakan itu diulang-ulang hingga terlihat seperti pompaan.
Payudara Maria berguncang, tubuhnya bergejolak di tiap kali Namol
mengentak selangkangan. Desahan lirih memecah dinginnya malam. Lenguhan
keduanya bersatu padu menggali kenikmatan.
Namol sungguh tak tahan. Baru kali ini ia merasakan sensasi
seperti ini. Pikirannya serasa terbang menembus awan. Senjatanya semakin
menegang hendak menumpahkan muatan.
“Maria... Maria..!” Pria itu mendekap Maria erat. Pinggulnya
menegang menancapkan penis dalam-dalam, “Aaaaaaa...!”
Tumpahan sperma datang membanjiri lubang peranakan. Beberapa
darinya bahkan menyelinap menetes keluar, sedetik setelah Namol mencabut batang
kejantanan.
“Huh..? Aaaah..?” Detik itu, barulah Namol sadar. Dia sudah
membuat kesalahan besar. Tubuhnya mendadak lunglai. Menggerakkan jemari pun ia
gagal. Rasanya seperti habis dipatuk ular kobra. Seluruh syaraf di tubuh Namol
berhenti bekerja. Detak jantung pun ikutan absen dari tugasnya.
Maria perlahan bangkit, menatap seonggok jasad tak bernyawa di
hadapannya. “Maaf mz... sudah
kubilang, jangan di ‘sana’. Lubang itu khusus untuk Odin seorang.”
“Ma...ria....” Namol mengucap nama itu dengan napas terakhirnya.
Keheningan kembali datang. Maria menangis dalam hati. Tak
seharusnya ia melakukan ini. Sekarang ia menang, dan kemungkinan besar
diikutsertakan ke ronde selanjutnya. Padahal ia berniat untuk melarikan diri.
Gadis itu kemudian mengangguk pelan, berusaha melakukan
pembenaran, “Setidaknya, aku bisa bertemu kembali dengan Odin.”
========================
Tubuh Namol terentak. Pikirannya sempat mengawang beberapa saat. Kewaspadaannya
entah kenapa meningkat. Di hadapannya, Maria sudah telentang pasrah siap
dieksekusi. Ia sempat bimbang hendak menggarap lubang yang mana.
Apa yang terjadi? Sesaat barusan ia mendapat sekelebat imaji
berupa hawa kematian. Tak jelas memang, tapi firasatnya memperingati akan
bahaya yang datang.
Maria dikenal sebagai seorang Succubus. Lubang kewanitaannya
merupakan senjata untuk menguras energi lawan. Haruskah ia melanjutkan percumbuan
ini?
“Hhhh...” Napas Maria serasa tertahan, “Jangan di lubang yang sana
mz. Berbahaya...” Lengannya menggapai
jauh ke bawah, seraya jari telunjuk melesak sedikit ke dalam lubang anus, “Kau
bisa mati. Gunakan yang ini saja, ini aman...”
“Tunggu dulu...” Namol merogoh kantong celananya yang tergeletak.
Ia mengambil sebatang kondom dari sana. Dia bukannya tak percaya pada Maria.
Hanya saja tak ada salahnya untuk bermain aman bukan? Pria itu lantas
menancapkan ujung penisnya secara perlahan.
“Ukh...” cengkeramannya begitu kuat, namun licin mengenakkan.
Pelumas buatan dari kondom membantu penetrasi dengan sempurna. Pangkal perutnya
bahkan berhasil menabrak belahan bokong Maria dalam satu entakan. Lubang anus
itu pasti sudah terlatih untuk situasi anal. Dindingnya bahkan bisa mengerut di
saat yang tepat ketika hendak menarik keluar, memijit sang pelir seakan memaksa
untuk memuntahkan muatannya.
Jemari Namol mencengkeram pangkal paha sebagai tumpuan,sementara pinggulnya
memompa tanpa kenal lelah. Rambut Maria tergerai jatuh bergoyang-goyang.
Belahan indah bokong gadis itu berulang kali terkena hantaman.
Lalu tibalah saatnya Namol mencurahkan seluruh tenaganya. Dalam
satu gerakan mengejan, ia menyemprotkan seluruh cairan kental jauh ke dalam
lubang kenikmatan.
Napas Namol serasa tertahan. Tubuhnya letih luar biasa, tapi ia
puas sekali. Tubuhnya telentang menatap angkasa. Cahaya temaram berwarna ungu
mengguyur rambut keritingnya.
Maria bangkit setelah mengumpulkan sejumput tenaga. Matanya
menatap lekat pria yang terkapar tak berdaya. “Aku belum tahu siapa namamu.”
“Namol... Namol Nihilo.”
Maria menimbang sebuah keputusan. Mulutnya lantas berucap pelan,
“Namol... Saat ini kau sedang tak berdaya. Aku bisa saja bertindak curang
membunuhmu demi meraih kemenangan.”
Jantung Namol berdesir mendengarnya. Memang benar, sekadar bangkit
pun ia sungguh merasa kesulitan. Apa itu berarti ia jatuh ke dalam perangkap
Maria?
Gadis itu menggelengkan kepala, “Tapi tidak. Aku tidak sudi
membunuh untuk turnamen ini. Kita pasti bisa menemukan cara untuk keluar dari
ini.”
.............
Part 3 of 7
Matahari mengintip pelan dari balik cakrawala. Maria menyeruput
teh manis seraya duduk di pelataran rumah. Wajahnya tak pernah bosan menatap
bingkai mimpi tempat Namol berada. Semalam ia menginap di sana.
Bingkai mimpi ini bisa disebut area berisikan pusaran gelap. Tempat
itu terasa abstrak. Gemerlap cahaya bintang menguntit temaram dari banyaknya bangunan
tak tentu rupa. Tiap gedung, pohon, maupun rintik air melayang bebas seakan
menolak gravitasi. Tak ada tanah yang bisa dijadikan sebagai fondasi. Jalanan
beraspal menjadi satu-satunya titik penghubung antar lokasi.
Jika dilihat dari kota Twilight, bingkai mimpi Namol terlihat
bagai cekungan gelap tanpa dasar.
Penghuninya tak hanya manusia berkulit putih saja. Pandangan Maria
sesekali menangkap keberadaan pesawat aneh berbentuk piring terbang. Beberapa
pejalan kaki bahkan berwujud gurita berdiri dengan dua kaki.
Oh tidak, tentu saja mereka tidak seperti yang kalian bayangkan. Mereka
tidak mirip Squidward.
Namol datang membawa sepotong roti Sandwitch. Ia memberikannya pada Maria seraya ikut menikmati
panorama.
“Padahal ada matahari di
sini, tempatku berpijak tersinari dengan sempurna. Tapi kenapa segalanya tetap
terlihat gelap seperti di malam hari?”
Namol menghela napas sejenak, bersiap memberikan penjelasan
panjang nan membingungkan, “Sesungguhnya... Aku sendiri tidak tahu.”
“Jah...” Maria memasang wajah malas. Gadis itu lantas mengganti
topik, “Siapa yang memegang pemerintahan di sini? Manusia atau alien?”
“Dua-duanya.”
“Haaaa? Terus gimana kita menjelaskan semuanya?”
Namol menggaruk-garuk kepala yang tak terasa gatal, “Serahkan
urusan itu kepadaku. Kau sebaiknya memperingati ratu kerajaan di kot—...”
Belum sempat keduanya selesai menyusun rencana. Namol harus
terkesiap akibat melihat sebuah armada melayang di kejauhan, “Uuumhhh... Sepertinya
kita terlambat. Itu armada perang negeri Regaia.”
Maria menoleh, mengarahkan pandangannya menuju cekungan besar
berisikan lubang hitam. Di sana muncul sebuah pesawat raksasa berbentuk
piringan terbang, “Nah lho, kenapa nggak dari semalem atuh kita ke sananya.”
“Yeee, memangnya siapa yang ngajak ngewe kayak kelinci sampe semalem
suntuk?” Namol balik menyalahkan.
Maria menggigit bibirnya
sendiri, “Maaf, aku semalam khilaf.”
“Terus sekarang gimana?”
“Kita balik lagi ke kota Twilight. Aku punya hubungan khusus
dengan anggota kerajaan. Semoga kita bisa meyakinkan agar tidak terjadi
peperangan.”
“Kalo begitu ayo!” Namol mempersilakan Maria untuk memeluk
punggungnya. Pria itu lantas terbang tinggi seperti seorang Superman.
Domba milik Maria mengikuti tindakan majikannya. Ia mengencangkan
sabuk pengaman, melakukan tandem pada Domba Namol yang mengenakan Jetpack.
Keduanya terbang tinggi menembus awan, Maria begitu erat memeluk
Namol dari belakang. Tanpa sadar gadis itu malah menyerap tenaga sang
tumpangan.
Tak ayal, keduanya menukik jatuh tepat di perbatasan.
”Tahu begini mendingan aku naik Jetpack dombamu seperti semalam,” gerutu gadis itu ketus.
“Ma—maaf.”
Di kota Twilight, terjadi kegaduhan akan munculnya pesawat alien
di kejauhan. Maria tak bisa membiarkan Namol terbang hilir mudik seperti
seorang hantu, itu terlalu berbahaya.
Maria berlari menghampiri salah satu mobil yang terparkir. Gadis
itu melepas sepatu hak tinggi, lalu memukulkan ujung runcingnya untuk
memecahkan kaca samping. Tanpa kesulitan berarti ia membuka pintu yang terkunci
dari dalam.
Namol terkesiap. Ia tak pernah menyangka Maria handal dalam melakukan
tindakan kriminal, “Maria, apa yang kau lakukan?”
“Bacot kamu mz, buruan masuk,” perintah gadis itu.
Dengan sigap ia melepas kabel di balik setir, lalu menyalakan mesin mobil lewat
cara merangkai ulang rangkaian elektriknya. Batin gadis itu terus-menerus menampik
delusi, “Anggap aja ini GTA... ini GTA...
ini GTA... Toh semuanya nggak nyata.”
Maria menoleh pada kursi belakang. Kedua kambing sudah terlihat
aman lengkap dengan sabuk pengaman. Deru suara mesin mengaum keras, menggelegar
lewat knalpot racing. Lewat satu
pijakan gas di kaki, ban mobil pun berdecit sebagai awal dari aksi. Kepala
Namol terbentur kursi tempatnya duduk akibat dorongan akselerasi.
Mobil Mewah bermerek Audi mengantar keduanya menuju istana di
tengah kota. Sepanjang perjalanan suara jeritan Namol terdengar keras
membahana.
Di atas langit-langit kota, terdapat beberapa pesawat VTOL[1] pembawa
pasukan kerajaan. Mereka semua pergi menuju dataran kosong yang memisahkan dua
bingkai mimpi.
“Tidak tidak tidak, kenapa mereka malah memulai perang terlebih
dahulu?!” Maria berubah panik. Ia tak menyangka, pihak kerajaan akan merespons
secepat ini.
Namol memutar kepala sejenak, “Kurasa wajar bagi pemimpin manapun
untuk menjawab pengerahan militer dengan aksi militer lainnya. Hal itu penting
untuk memberikan efek pencegah, sekaligus sebagai bentuk perlawanan. Kau pasti
akan menghunus pedang, andai melihat seseorang mencurigakan datang mendekat
mengacungkan senjata, bukan?” Pria itu menumpahkan analisis penuh dengan
ketenangan.
Detik berikutnya Namol kembali menjerit seperti anak perempuan.
Mobil yang mereka naiki terhenti di hadapan tangga lebar. Sejenak
Maria menatap patung sesosok dewi berambut panjang di tengah bundaran.
Keduanya dengan segera dihadang oleh pengawal kerajaan, “Aku ingin
bicara dengan mama!”
Pengawal itu membentak setengah kebingungan, “Mama? Memangnya
siapa ibumu?”
Maria berubah heran, “Siapa kau bilang? Tentu saja Nely, ratu dari
kerajaan ini. Kau tak kenal siapa aku?”
“Orang gila! Datang-datang mengaku sebagai anggota royalti.”
Apa yang terjadi? Kenapa mereka tak mengakui Maria sebagai anak
dari Nely? Apa mereka hilang ingatan? Bukankah di ronde sebelumnya ia sudah
berkumpul kembali dengan Nely dan Siska adiknya?
“Sebaiknya kau cepat pergi. Yang mulia tidak ada waktu untuk
meladeni kalian.”
Namol menyentuh pundak Maria, “Kau yakin sedang tidak bermimpi?”
Maria semakin kebingungan. “Aku memang anak haram, seumur hidupku
aku mengasingkan diri agar tidak mencoreng nama kerajaan. Tapi di ronde
sebelumnya aku berhasil menemukan resolusi atas segala masalah itu. Mereka
sudah menerimaku kembali sebagai anggota kerajaan.”
Lantas apa yang terjadi?
“Kecuali...” gumam Maria pelan. Beragam hipotesis memenuhi
kepalanya. “Kecuali segala pengalamanku di ronde satu dan preliminary, memang murni terjadi di alam mimpi.”
“Maksudmu ini semua adalah dunia asli?” Namol ikut-ikutan
mengerutkan alis.
Maria balas menatap Namol, seakan ingin memberikan konfirmasi, “Kalau
begitu, bisa kau jelaskan kumpulan armada di luar perisai yang menutupi kota
ini? Kenapa bingkai mimpimu ditempel di duniaku, sementara bagian luarnya
diberi sekat tak tertembus?”
Namol menajamkan pandangan pada arah yang ditunjuk Maria. Dari
balik birunya langit, memang terdapat armada kapal militer melayang memenuhi
angkasa. Kapal induk berteknologi tinggi itu tak sanggup menembus batas
pelindung yang menghalangi. Kekuatan pemukul dari seluruh negeri tertahan di
perimeter terluar. Mereka tak bisa memberikan bantuan untuk bertahan dari
serangan negeri Regaia, tempat Namol berasal. Itu juga menjelaskan kenapa jalan
tol menuju luar kota begitu macet dipenuhi kendaraan. Mereka yang hendak
mengungsi keluar tertahan oleh dinding mistis semi transparan.
Kota ini dikurung sempurna, seakan menahan segala bentuk
intervensi dari luar.
Sekarang Maria berubah ragu. Apakah ibunya di dunia nyata akan
tetap mengakuinya sebagai anak? Seperti halnya pengalaman dia di semesta mimpi.
Gadis itu buru-buru menggelengkan kepala. Tidak— tidak, sekarang
bukan saatnya untuk ragu. Maria harus memberi tahu kebenaran soal Battle of Realms. Ia tahu ibunya amat
membenci turnamen ini. Dengan bantuannya, ia yakin bisa melepaskan diri dari
kontrak sebagai peserta pertarungan hidup mati.”
Maka dari itu, gadis itu berubah nekat menerobos barisan penjaga.
Ia berlari secepat mungkin menaiki tangga.
Namol bahkan belum sempat bereaksi, sebelum akhirnya ia ikut
terjerumus ke dalam kekacauan. Tak lebih dari sepuluh detik sejak keputusan
nekat Maria, keduanya dipaksa untuk diam di tempat.
Mereka ditodong oleh serangkaian pedang sihir terbang mengitari.
Lewat satu perintah singkat, kumpulan senjata tajam itu bisa melesat terbang,
menancap ke dalam tubuh. Namol tak ingin ambil risiko. Ia bisa saja melakukan
teknik menghilangkan diri. Tapi itu tak menjadikannya terbebas dari serangan.
Jika rangkaian pedang itu terbang serampangan, kemungkinan besar dirinya juga
bisa terkena salah satu sabetan.
Petualangan itu pun terhenti sampai di sana. Baik Namol dan Maria
sukses dijebloskan ke ruang tahanan istana.
Part 4 of 7
Para penjaga tak ada waktu untuk mengurusi keduanya. Mereka
terlampau sibuk menangani beragam kegaduhan di luar. Samar terdengar suara
letusan senjata, juga jerit pilu kesakitan.
“Hey, apa yang terjadi?” Maria bertanya pada salah satu penjaga.
“Diam saja kau di sini,” hardik sosok itu. Dirinya pergi ke luar
ruangan untuk memeriksa keributan.
Ruangan itu bukanlah penjara sungguhan, melainkan hanyalah kamar
luas dengan tiga blok sel berjeruji besi. Di sana terdapat sofa, lengkap dengan
meja dan televisi.
Breaking News tengah
memberitakan proses penyerangan alien di luar batas kota. Gadis itu memeriksa
dengan seksama apa yang terjadi.
Dikabarkan prajurit pelindung kerajaan musnah tak tersisa. Tanpa
bantuan dari kekuatan utama, mereka hanyalah segelintir tentara dengan
perlindungan ala kadarnya. Perang ini sejak awal tak berjalan dengan adil.
Negeri Regaia datang dengan kekuatan penuh, sementara penahannya tak lebih dari
polisi dan pelindung istana saja.
Medan perang berupa dataran luas berumput seakan dijadikan arena
pembantaian saja. Armada militer di luar selubung penghalang tak bisa berbuat
apa-apa. Tak peduli bagaimana kerasnya mereka mencoba, dinding penahan itu tak
bisa ditembus sama sekali. Beragam meriam serta sihir penghancur gagal
melenyapkannya.
Berita itu kemudian terfokus pada kemunculan Nely di atas bangunan
tertinggi. Wanita berambut biru itu sibuk merapal mantra seraya lengannya
teracung tinggi. Sebuah tombak bercahaya, diselubungi petir keemasan berhasil
termaterialisasi.
Lewat satu lemparan singkat, melesatlah tombak itu menuju kapal
alien di kejauhan. Meski ukuran proyektilnya tergolong kecil, namun daya
rusaknya jauh lebih bertenaga dari sebuah nuklir.
Alam dibuat bergemuruh, suara ledakan terdengar menggema hingga
tremor melanda tiap penjuru kota. Beragam hiasan di atas meja jatuh terkena
goncangan gempa.
Pesawat alien berukuran raksasa di kini terbelah menjadi dua.
Dentuman besar terdengar jelas hingga menggetarkan kaca.
“Mama! Kamu salah, mereka bukan musuh kita!” Maria berubah panik.
Gadis itu mencengkeram jeruji besi yang menghalangi.
Di hadapannya, terdapat Namol yang berhasil meloloskan diri.
“Eh?”
Namol menepuk dadanya menyombongkan diri, “Kamu gak sabaran banget
sih, sini saya keluarin dulu dari sana.”
Lewat satu sentuhan kecil di lengan Maria, pria itu berhasil
mengubah wujud solid gadis itu hingga seperti sesosok hantu. Tubuhnya dengan
mudah menembus besi keras.
“Kenapa nggak bilang kalau kamu bisa melakukan ini?” Maria mulai
menyalahkan Namol atas situasi ini.
“Kamu sendiri nggak nanya. Lagi pula, coba tebak siapa yang
menyebabkan kita berada di sini? Semua ini akibat kesembronoanmu itu nona.
Andai saja kamu lebih bersabar, kita bisa menyusun rencana yang lebih
sempurna...”
Seumur hidup, baru kali ini Maria ditonjok oleh kesalahannya
sendiri. Wajahnya sedikit tertunduk menahan malu, “Kau benar, maafkan aku.”
“Sekarang gimana? Kotaku hancur tuh.”
“Bantu aku menemui ibuku. Jika dijelaskan duduk perkaranya, dia
pasti mengerti. Negeri Regalia bukanlah musuh sesungguhnya. Kita berdua adalah
korban dari turnamen bodoh ini.”
“Sempurna.”
Keduanya bergegas melarikan diri dari sana, hanya untuk disambut
oleh muntahan peluru nyasar dari kontak tembakan di jalanan. Maria menjerit
panik ketakutan, sementara Namol dengan siaga menarik gadis itu untuk
bersembunyi di balik pagar taman.
Deru senapan mesin terdengar memekakkan telinga. Serpihan beton
jatuh mengguyur dari bagian yang ditumbuk peluru nyasar. Tak pernah ada yang
menyangka, pasukan dari bingkai mimpi Namol bisa merangsek sejauh ini dalam
hitungan jam saja.
“Sekarang gimana?” Pria itu berusaha menunjukkan ketenangan. Raut
wajahnya berubah bimbang seraya menganalisa, “Nely ibumu, sibuk bertahan dari
beragam pesawat penyerbu. Dia tak punya waktu maupun kesempatan untuk menyisir
jalanan, mengusir orang-orang ini.” Jalan di depan mereka hanyalah area terbuka
tanpa tempat untuk berlindung. Siapa pun yang berdiri di sana, pasti akan
menjadi sasaran empuk. “Mustahil kita bisa menerobos baku tembak ini.”
Rentetan senjata api kemudian mendadak terhenti. Entah apa yang
terjadi. Rasa penasaran memenuhi pikiran. Namol memberanikan diri untuk
mengintip ke arah baku tembak.
Semua orang di luar sana terlihat menengadahkan kepala.
“Maria...” Telunjuk pria itu teracung ke atas.
Maria perlahan melepaskan kedua tangan dari kepala. Wajahnya ikut
menengadah tinggi. Di hamparan langit biru itu, terlihat jelas sebuah keretakan
raksasa diselingi sinar menyilaukan. Mata gadis itu terbelalak saking
takjubnya. Bentuk pecahan di sana terlihat mirip serabut akar—berupa kilat
cahaya menyebar ke segala arah—seakan berusaha memenuhi seisi angkasa.
Gemuruh hebat terdengar sayup di kejauhan, disusul dengan
terdengarnya gedebum petir menggelegar. Suara itu begitu keras, hingga memaksa
semua orang merapatkan telapak tangan pada sisi kepala. Itu dilakukan demi
melindungi gendang telinga. Mereka semua merintih kesakitan, tak kuasa menahan
suara memekakkan.
Cahaya terang telah menggantikan langit kebiruan. Segala sesuatu
berubah menjadi amat menyilaukan. Pupil mata tak sanggup untuk menyesuaikan.
Tak ayal, semua orang sontak memejamkan mata; berusaha menjaga pandangan dari
kebutaan.
Hening—
Tak seorang pun bersuara. Alam seolah membisu entah untuk berapa
lama. Maria perlahan membuka kelopak mata, berusaha mengatur pupil agar bisa
terbiasa dengan tingkat cahaya. Segala sesuatu terlihat putih benderang.
Bayang bangunan beserta pepohonan di sekitar seakan muncul dari
balik cahaya, menyibak keberadaan benda-benda lainnya. Sinar itu berubah redup,
menyisakan cahaya temaram, mengubah suasana secara drastis, seakan hari sudah
malam.
Semua orang berubah risau, mata mereka terbelalak lebar. Tak
seorang pun dari mereka absen untuk menengadahkan kepala, menatap ngeri
kemunculan sesosok makhluk raksasa di atas sana.
Bayang-bayang gurita dengan tentakel sejauh ratusan kilometer,
menguntit dari pecahan dimensi di atas sana. Sulurnya meliuk-liuk melambai.
Ukuran tubuhnya sungguh di luar nalar manusia. Dia seakan berusaha menyelinap
masuk ke dalam realita.
Takjub
Ngeri
Panik
Monster seukuran godzilla—dalam posisi terbalik tepat di angkasa—Jelas
bukanlah sebuah pemandangan yang biasa dilihat sehari-hari. Berbagai reaksi
mulai terlihat dari dua kubu yang berseteru. Mereka perlahan ragu untuk
melanjutkan perselisihan itu.
“Cthulhu...” ucap Maria dengan suara bergetar. Kenapa monster itu
ada di sini?
“Namol Nihilo...”
Pria itu terentak kaget, suara sang
Cthulhu menggema begitu keras hingga memecahkan kaca jendela.
“Venessa Maria...”
Maria ikut terkesiap. Makhluk itu
sepertinya mengincar dua Reverier yang semestinya sedang bertarung.
“Kembalikan Dombaku...”
Maria sulit mencerna maksud dari
makhluk raksasa itu, “Domba?”
“Ah iya, di mana kedua domba kita?”
Namol menepuk keningnya sendiri, baru sadar akan keteledorannya selama ini.”
“Jadi makhluk sebesar itu hanya
mengincar Domba kita?” tanya Maria.
“Mungkin dia penggembala aslinya. Atau
mungkin saja domba kita membawa Holy
Grail.”
“Ini bukan waktunya untuk bercanda.”
Belum selesai keduanya menyimpulkan
maksud tuntutan sang Cthulhu. Udara perkotaan perlahan berubah bertutupkan
kabut tebal. Jarak pandang menurun drastis hingga sejauh lima meter saja.
Suara baku tembak kini terhenti total.
Telinga Maria bisa mendengar suara jeritan bercampur dengan lenguhan. Jumlahnya
ada banyak, bahkan membentuk gemuruh keras, menggema memecah keheningan.
“Jangan bilang kalo itu Zombie...” gumam
Maria.
Sesosok prajurit terlihat datang
menghampiri. Caranya berlari terlihat janggal,
terlebih dengan posisi dua tangannya yang terangkat seakan hendak
menerkam.
Maria mengacungkan jemarinya seraya berkacak
pinggang. Mulutnya setengah terbuka, terkesima oleh betapa tepatnya dugaan
barusan, “Oke fix, yang satu itu zombie.” Kabut asap ini sepertinya menyebabkan
kegilaan massal, hingga menciptakan wabah pandemik.
Tanpa dikomando, keduanya sontak
berlari untuk menyelamatkan diri.
“Kau tidak khawatir dengan ibu dan
keluargamu?
Maria menggelengkan kepalanya, “Aku
tak begitu memedulikan orang yang tidak kukenal. Lagi pula, ibuku tampaknya
baik-baik saja. Kau lihat kilatan petir di lokasinya berada?”
Namol menoleh sejenak, memperhatikan
rentetan deru ledakan di penghujung kota.
“Itu ibuku, dia bisa melawan kabut
asap ini. Ratu Exiastgardsun bukanlah orang lemah.”
Keduanya terus berlari menyusuri
jalanan. Suara tembakan senjata api terkadang tercipta disertai kilatan cahaya.
Kabut ini akan membiaskan cahaya apapun yang terlampau terang. Tak semua orang
terkena efek kabut ini. Ada banyak penyintas yang berusaha menyelamatkan diri.
Kabut ini terasa seperti mimpi buruk.
Para mayat hidup itu muncul secara mendadak dari balik kabut.
“Seberapa jauh kita menuju tempat
Nely?” Namol bertanya.
Maria memerhatikan sekeliling,
berusaha mencari tahu lokasinya saat ini. “Sekitar delapan blok dari sini.”
“Itu terlalu jauh untuk ditempuh berjalan
kaki.”
Gadis itu menggerutu kecil, “Ada saran
lain? Kau tahu sendiri kemampuan terbangmu itu tak bisa diandalkan.”
Sebuah kilatan cahaya membuyarkan
pembicaraan keduanya. Sinarnya begitu terang, ribuan kali dari teriknya sang
mentari. Kabut ini menambah buruk efek membutakan. Hasilnya, baik Namol maupun
Maria, sama-sama memejamkan mata berusaha melindungi pandangan.
Part 5 of 7
Dentuman besar terdengar sedetik
kemudian. Gemuruh hebat datang melanda, seakan berusaha menyalip kilatan cahaya
yang terlebih dahulu menyapa. Detik itu, barulah Maria sadar apa yang
sebenarnya terjadi.
Sapuan angin menyibak bersih kabut
yang menutupi. Datangnya begitu cepat seperti amukan badai. Rambut gadis itu
terkibas. Pandangan pun kembali jelas tanpa halangan.
Formasi asap raksasa berbentuk jamur terlihat
mengawang tinggi. Sisa ledakan bergerak naik ke lapisan stratosfer. Bom Nuklir
telah diledakkan.
Maria menajamkan pandangannya. Asap
sisa ledakan nuklir berhasil menembus dinding mistis tanpa tertahan sedikit
pun. Itu artinya, benda dalam wujud tak solid bisa melewatinya tanpa kesulitan
apapun.
Sang Cthulhu kini turun menapaki bumi.
Tentakel panjangnya merobohkan bangunan seperti anak kecil menghancurkan istana
pasir. Sosoknya terlihat seperti manusia raksasa berkepala gurita. Detonasi nuklir—usaha
pihak Regaia—untuk melukai sang monster berakhir dengan kegagalan.
Akan tetapi Nely masih belum menyerah.
Cuaca berubah mendung entah sejak
kapan, terik matahari gagal menyinari daratan. Awan di angkasa berputar sebagai
basis untuk lonjakan sengatan. Lewat satu ayunan telunjuk, Nely memerintahkan
tumpukan arsenalnya untuk melecutkan sengatan listrik selayaknya rintik air
hujan.
Suara sambaran petir terdengar
menggelegar hingga menciptakan gemuruh menyeramkan. Kilatan cahaya memenuhi
angkasa. Sang Ratu masih berjuang keras untuk mengusir monster raksasa.
Seorang magus tak akan pernah bisa
bertarung sendirian. Ia butuh semacam pengalih perhatian. Proses merapal mantra
membutuhkan waktu yang lumayan panjang.
Itu sebabnya sedari tadi Maria hanya mendengar satu atau dua ledakan di tiap
menitnya.
Kali ini, Nely dihantam oleh salah
satu tentakel berukuran lebih kecil. Tubuh wanita itu terpental begitu jauh,
hingga akhirnya ia mendarat di dekat patung depan kastil. Mulutnya masih sempat
merapal mantra untuk memperlambat kecepatan. Tubuhnya menubruk beberapa
lingkaran sihir sebelum akhirnya terhenti di depan patung.
Patung megah dikelilingi oleh bundaran
persimpangan jalanan. Obyek itu menjadi pujaan penduduk kota. Seorang dewi
bernama Fiani Memoria, ibunda dari Nely. Wanita itu berusaha bangkit seraya wajahnya menengadah
mengharap pertolongan. Mulutnya meracau lirih, “Bantu aku... mama...”
Alih-alih kedatangan mama, suara yang
Nely dengar justru berada di luar dugaannya.
“Ibuu!” Seseorang berseru.
Wanita berambut biru itu menoleh,
mendapati keberadaan Maria tengah berlari menyongsong dirinya. Sorot mata Nely
sontak berubah, terkesiap tak percaya, “Nessa? Itu kau nak?”
Maria membuang rasa takut jauh-jauh.
Sudah lama sekali sejak terakhir mereka bertemu. Gadis berambut jingga itu
datang seraya melebarkan kedua tangan. Ia memeluk sang bunda seraya meluapkan
beragam rindu di dada. Ini pertemuan pertama mereka di dunia nyata. Nely di
sini adalah entitas asli, bukan konstruksi dari alam mimpi.
Nely membelai rambut gadis kesayangannya.
Sejenak ia melenyapkan kewaspadaan, demi meresapi pelukan pembuka.
Bertahun-tahun lamanya mereka terpisah.
Air mata Maria meleleh tanpa disadari.
Mulutnya berusaha mengucap walau sedikit terisak, “Ibu, maafkan aku.” Gadis itu
membenamkan wajahnya di dada sang bunda, “Maafkan aku...” Maria selalu merasa
bahwa keberadaan dirinya tak lebih dari beban dan aib. Itu sebabnya ia nekat
kabur dari istana, menghilang tanpa jejak memulai hidup menyendiri.
Senyum kecil mengembang di wajah Nely.
Raut ekspresi keibuan itu terlihat begitu teduh. Lengannya tiada henti mengelus
lembut Maria, seakan berusaha menerangkan bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Namol agak canggung, tatkala sorot
mata Nely berpindah padanya.
“Kau yang bernama Namol Nihilo?”
“Be—betul,” jawab Namol agak terbatas,
“Aku salah satu reverier yang seharusnya melawan Maria.”
Sedetik setelah mendengarnya, raut
wajah Nely menegang. Sang Cthulhu juga sempat memanggil nama Namol dan Maria,
“Reverier? Melawan Maria? Jangan bilang kalau...”
“Aku terseret turnamen hidup mati
bernama Battle of Realms...” Maria
memotong ucapan Nely. Gadis itu melepaskan pelukannya setelah merasa sedikit
tenang, “Aku takut... mereka tak bisa melepasku begitu saja. Di pertarungan
sebelumnya aku bahkan merasa bahwa aku sudah mati. Dan sekarang aku dipaksa
bertarung dengan teman yang kusayangi.”
Namol menggigit bibirnya sendiri,
ketika menyadari ia dianggap tak lebih dari teman.
“Jadi semua kekacauan ini, tak lebih
dari latar dunia di mana kalian seharusnya saling membunuh?” Nely dengan cepat
menyerap seluruh informasi. Wanita itu paham betul dengan Battle of Realms, ia
memiliki segudang pengalaman buruk dengannya.
Suara auman raksasa membuyarkan
percakapan ketiganya. Nely lengah karena dipertemukan kembali dengan anaknya.
Ia gagal mengantisipasi akan pergerakan monster raksasa bertentakel.
Salah satu sulur raksasa mendorong
sebuah gedung hingga hancur berserakan. Serpihan puingnya melesat beterbangan.
Siapa pun yang terkena hantaman, bisa dipastikan akan menemui ajal menyakitkan.
Para zombie yang menghalangi diubah menjadi daging giling hingga darah mereka
tumpah ruah ke jalanan.
Nely dengan sigap melakukan reaksi.
Lengannya terangkat sebatas dada menyiratkan gestur untuk menahan, “Praesidio!”
Sebuah perisai semi transparan
tercipta dalam jeda nyaris seketika. Bentuknya melengkung seperti parabola
terbalik. Ukurannya lumayan besar, cukup untuk melindungi patung dewi Memoria
di belakang Nely.
Maria menyadari sesuatu, perisai Nely
terlihat mirip dengan sekat raksasa yang mengisolir Kota Twilight dan Regaia.
Pikirannya berputar cepat.
Apa
itu berarti gelembung raksasa itu sama-sama terbuat dari sihir?
Sang Cthulhu bergerak semakin
beringas. Monster raksasa itu jelas mengincar Maria. Gadis itu sontak menoleh
pada Namol, “Bingkai mimpimu kan berisi peradaban maju, apa di sana tidak ada
robot raksasa untuk melawan Kaijuu?”
Namol memiringkan kepalanya, “Kamu ngomong
apa? Nuklir tadi itu senjata terkuat dari Pentagon. Lalu kapal induk, City Destroyer sudah dimusnahkan oleh
ibumu. Negeri Regaia tak bisa melakukan apapun.”
Gedebum ledakan terdengar keras hingga
menciptakan empasan dinding udara. Sang Cthulhu sudah berdiri tiga blok dari
posisi Maria. Gedung-gedung pencakar langit bahkan hanya menutupi setengah dari
tubuhnya. Monster itu menggerus perkotaan, merubuhkan bangunan di tiap senti
pergerakan.
Raut wajah Maria menegang, “Kita harus
menghentikannya.”
“Ide bagus, tapi bagaimana caranya?”
sahut Namol.
Nely mendecakkan lidahnya, bingung
harus berbuat apa. Ada satu strategi yang terlintas di benak wanita itu, tapi
ia sungkan untuk mengutarakannya, “Monster raksasa itu mengincar kalian?”
“Sepertinya begitu, mama.”
Ekspresi Nely biru terlihat canggung,
“Maaf, tapi bisakah kalian pergi menaiki kendaraan, bertindak sebagai pengalih
perhatian? Aku butuh waktu lima belas menit untuk merapal mantra kuno. Semoga
saja sihir satu itu bisa menghabisi makhluk itu.”
“Kendaraan? Tapi jalanan di sini
dipenuhi zombie serta reruntuhan.” Maria menyapu pandangan ke sekeliling. Apa
dia harus mencuri motor untuk melakukan aksi bodoh seperti di film Action?
“Tidak perlu,” potong Namol. Pria itu
mengacungkan jari telunjuknya ke salah satu sudut jalanan.
Di sana muncul Dombe ditemani Domba
Namol. Dua hewan peliharaan itu terlihat lincah meluncur cepat. Semacam sepatu
roda menempel di keempat kaki mereka. Namanya Air Trecks, atau bisa juga disingkat menjadi AT.
Dombe melompat tinggi, menyusuri
tembok, lalu menolak pijakan kaki untuk mendarat di sebuah kabel telepon. Hewan
itu secara ajaib bisa menyeimbangkan diri, seraya tubuhnya melesat cepat
selayaknya kereta api melekat pada relnya.
Berulang kali Maria mengucek matanya.
Dari semua hal aneh yang ia alami, melihat domba menggunakan sepatu roda
merupakan pemandangan paling tak masuk akal baginya. Menaiki mereka tentu akan
menjadi tindakan terbodoh dalam hidupnya.
“Kita bisa menunggangi mereka!” Namol
setengah berseru, berhasil mendapatkan sebuah ide brilian.
Maria sontak terkesiap, “Eeeeeee???”
Namol duduk di atas domba miliknya
seperti pria sejati menunggangi motor Harley-Davidson.
“Maria, apapun yang kau rencakan,
lakukan sekarang juga. Cepat pergi dari sini!” seru Nely.
“I-iya bu!” jawab Maria tergagap. Agak
ragu gadis itu menaiki Dombe.
Seperti biasa hewan peliharaan itu
melengking mengeluarkan suara babi, alih-alih mengembik seperti seekor domba,
“Uiiik, uiiik...!”
Maria nyaris terjengkang ke belakang,
andai ia tak berpegang erat pada tali kekang. AT dombe berakselerasi penuh
tenaga. Domba itu mampu mencapai kecepatan 100km per jam dalam waktu tiga detik
saja.
“Yahoooooo!!” Namol berseru
kegirangan. Ia mengayun-ayunkan lengannya seperti seorang matador. Ia merasa
menang, karena manuver domba miliknya terasa begitu menantang.
Berbeda dengan menyetir mobil pada
kecepatan tinggi. Kali ini Maria menjerit ketakutan di tiap kali Domba melompat
tinggi, lalu melesat pada dinding seakan menentang hukum gravitasi. Menunggangi
dombe tidak bisa disamakan seperti seseorang yang menaiki motor.
Strategi pengalih perhatian itu
berhasil. Sang Cthulhu maha agung mulai berbelok dari tujuan awalnya. Dia
mengejar Namol dan Maria yang berlarian menaiki domba (bersepatu roda.)
Part 6 of 7
Tanpa gangguan berarti, Nely memulai
rangkaian inkantasi panjang, “Veni foras ! Hanc olim veteres potestas tua
in tenebris continentis.”
(Come
forth! O the dark ancient power that once protect this continent...)
Sebuah garis melingkar tercipta di seluruh
penjuru kota. Tanah, gedung, pepohonan, pagar, tembok, jalan, semuanya tak
luput dari pendaran cahaya. Rangkaian tulisan kuno bergerak acak untuk kemudian
tersusun serempak, membentuk formasi sebuah lingkaran sihir raksasa.
“Uhm.. Maria, kurasa kita harus segera
keluar dari area lingkaran sihir ini.” Namol memerhatikan sekeliling, ia
mendapat firasat buruk dari ukiran asing yang berpendar lekat pada beragam
material.
Dua Reverier itu lantas berbelok arah,
seraya menghindar dari ratusan lingkaran sihir lainnya. Masing-masing ukiran
itu terbentuk secara simetris, mirip dengan proses mengembangnya kepingan
salju.
Suhu udara menurun secara drastis.
Kaca di gedung sekeliling pecah akibat perubahan temperatur yang begitu
mendadak. Namol dan Maria seakan dikejar oleh hawa pembeku tak kasat mata.
Berita baiknya, langkah sang Cthulhu
mulai tersendat ditahan oleh area yang membeku. Monster itu meraung kesakitan,
setelah kakinya berubah kaku. Bunga es terlihat mengukir jelas di permukaan
tubuhnya.
“Ignis infernalis , Quid nox tonitrua caelo in terra ... Shaker
praecepero tibi tradere hostibus imminere ingentem stragem tuum.”
(Hell
Fire, Frozen Night, Thunder Sky, Earth Shaker ... I shall command thou to
deliver a massive destruction upon the enemy that threaten our land.)
Di tengah lingkaran sihir itu, muncul
sejumput bara api menampakkan diri dari udara kosong. Lama-lama ukurannya
semakin membesar, hingga menimbulkan kebakaran hebat. Sekujur tubuh Cthulhu
kini diselimuti sihir api tingkat tinggi. Panasnya bahkan melebihi permukaan
matahari. Bangunan di sekeliling bahkan terlihat meleleh. Area serangan seakan
diubah menjadi kolam magma.
Dan serangan itu tak terhenti sampai
di sana. Pusaran awan gelap di angkasa masih menyimpan stok energi siap untuk
dilepaskan. Bagian permukaannya berisikan tirai listrik memancar, seakan tak
sabar untuk segera menyambar.
Angin seakan enggan bertiup lebih
lama. Tercipta semacam jeda kekosongan sebelum pertunjukan utama datang
menyapa.
DUAAAARRRR..!!
Sungguh, siapa pun pasti akan dibuat tuli
karenanya. Suara dentuman itu amatlah memekakkan telinga. Maria dibuat merintih
karenanya. Semacam dinding udara panas mengempas dombe yang ia naiki. Gadis itu
tersungkur jatuh hilang keseimbangan.
Keheningan yang tercipta tak dibiarkan
berlanjut terlalu lama. Nyatanya proses pembakaran masih terjadi tanpa ada niat
untuk berhenti. Monster raksasa itu mulai ambruk setelah dihantam serangan
petir barusan.
Area yang ditandai terlihat seperti pemandangan
di neraka. Nely harus menanggung beban penyesalan, atas matinya warga tak
berdosa yang kebetulan berada di sana.
Namol berusaha membantu Maria untuk
segera bangkit. Ia punya firasat bahwa serangan Nely belum berhenti sampai di
sana. Wanita itu akan mengerahkan kemampuan penuh untuk melenyapkan monster
yang sudah mengobrak-abrik kotanya.
“Ibumu sudah gila? Dia akan
menghancurkan segalanya.”
Maria menjawabnya dengan senyum
bangga, “Semua keturunan Goddess of
Memoria memang memiliki kemampuan sihir berskala bencana seperti ini.
Kecuali aku tentunya.”
Dalam dunia sihir, faktor keturunan
adalah inti dari segalanya. Seluruh akumulasi energi, serta mantra baru yang
dipelajari selama satu generasi, akan diwariskan pada generasi sesudahnya. Akan
tetapi, di tiap keturunan mereka hanya ada satu orang yang berhak mendapat
warisan. Dalam keluarga Nely, warisan itu diturunkan kepada Siska, adik dari
Maria.
Radius lingkaran sihir semakin melebar
di tiap detik yang berlalu. Kali ini, muncul semacam badai hurricane menyusuri diameter terluar.
Tenebrae nivis !
(Snowstorm
of Darkness!)
Aura kelam lambat laun muncul memenuhi
angkasa. Pergerakan aura itu sekilas terlihat seperti kumpulan jiwa gelap nan
terkutuk.
Namol dan Maria kembali memacu domba masing-masing.
Mereka berhasil keluar menembus dinding badai yang berotasi. Siapa pun yang
berada di dalamnya, tak akan bisa melihat cahaya dari luar. Di sana gelap
sekali. Satu-satunya penerangan hanyalah merah bara api.
“Sekarang apa?”
Maria menggelengkan kepalanya. Badai
yang menutupi perlahan menyusut tanpa sedikit pun mengurangi intensitas rotasi.
Zzzzaaappp..!
Serasa melihat adegan anti klimaks.
Tak ada ledakan megah yang tercipta setelahnya. Pusaran kegelapan tadi
berfungsi selayaknya kantung kresek. Fungsinya untuk memampatkan seluruh massa
ke dalam satu kumparan kecil saja. Monster Cthulhu raksasa kini hilang tak
berbekas, beserta seluruh bangunan di sekitarnya. Awan mendung di angkasa
perlahan memudar, tergantikan dengan latar biru bertutupkan sekat yang
mengurung.
“Berhasil?” Maria mengerjapkan mata
berulang kali nyaris tak percaya.
“Eeeuh... Sepertinya begitu,” jawab
Namol seraya memeriksa sekeliling.
Domba Maria mengembik mengucap
sesuatu,“Uiiik, uiiiikkk...” (Hebat sekali, Oneiros berhasil dikalahkan.
Mungkin Nely bisa melakukan sesuatu atas perisai sihir raksasa yang mengurung
seisi kota.)
Secepat mungkin keduanya bergegas
menuju Nely. Maria ingin mengonfirmasi satu hal. Jika selubung semi transparan
di angkasa sana memiliki karakteristik sama dengan perisai sihir biasa. Apa itu
berarti mantra dispel tingkat tinggi
bisa menghancurkannya? Rasanya tak sabar hingga ia bertemu kembali dengan sang
Bunda.
Namun pertanyaan Maria harus menunggu
untuk waktu lainnya. Gadis itu harus memekik kaget atas ibunya yang sudah
tergeletak tak sadarkan diri.
“Ibu! Apa yang terjadi?!”
Nely perlahan membuka kedua matanya,
“Hhhh... Kau tak usah khawatir nak, ibu Hanya sedikit kelelahan.”
“Ibumu berjuang mati-matian sendirian.
Wajar saja jika dia sampai tumbang seperti ini.” Namol mengambil sebotol air
minum dari reruntuhan toko kelontong terdekat, lalu memberikannya pada Nely.
Wajah teduh sang bunda kemudian
berubah siaga. Nely memaksakan diri untuk bangkit seraya pandangannya menjurus
jauh ke batas cakrawala, “Dia belum mati...”
Maria ikut menoleh ke arah yang
ditatap Nely, “Hah? Siapa?” Matanya gagal menemukan hal mencurigakan.
“Monster tadi—...” Ucapan Nely
terpotong. Bumi tempat mereka berpijak bergetar perlahan.
Barulah detik itu Maria tersadar,
bahwa sosok monster raksasa sama sekali tak bisa dikalahkan.
Bayang gelap terlihat memanjang jauh
seraya matahari kian condong ke ufuk barat. Sang Cthulhu kembali bangkit tanpa
luka di tubuhnya. Permukaan monster itu tetap berwarna gelap selayaknya siluet
saja. Monster itu tak sudi memantulkan cahaya mentari.
Napas Nely terasa berat sekali. Untuk
berdiri pun dia kesulitan. Maria bahkan memergoki lutut ibunya yang bergetar.
“Praesid....” Belum sempat satu
rapalan selesai diucap, wanita itu mendadak jatuh terjerembab.
Maria berubah panik, “Mama..!”
Perempuan berambut biru itu terlihat
merintih dipenuhi letih, “Nessa... Maafkan mama yang lemah ini.”
Nely sama sekali tak sadar,
kemampuannya diserap perlahan oleh keberadaan Maria.
Maria menggelengkan wajahnya, tak mau
menerima kenyataan. Sang monster Cthulhu kini berdiri sekitar dua puluh meter
dari mereka. Tubuh raksasanya mengerdilkan segala sesuatu. Maria bahkan harus
menengadahkan kepala tinggi, hanya untuk menatap balik sorot pandang di atas
sana.
Sosok raksasa itu seakan memberikan
jeda untuk merenungi seluruh perjalanan hidup. Kakinya terangkat tinggi,
bersiap untuk melumatkan tiga orang di bawahnya.
Namol bisa saja melarikan diri dari
sana. Ia punya segudang kemampuan berguna untuk mengantarnya keluar dari
situasi ini.
Tapi tidak. Pria itu sudah
meninggalkan rasa takut serta membunuh hasrat untuk menjadi seorang pengecut.
Ada dua perempuan di belakangnya yang harus ia lindungi. Harga dirinya sebagai
seorang pria melarang dia untuk pergi.
Part 7 of 7
Telapak kaki raksasa itu meluncur
jatuh hendak melumat. Ketiganya hanya bisa pasrah menanti ajal yang kian
mendekat.
Sebuah imaji memenuhi kepala Namol. Bayang singkat sesosok gadis cantik
berambut biru terlintas dalam benaknya. Sosok itu bukanlah Nely. Keberadaannya
jauh lebih agung dari tingkatan seorang ratu. Senyum kecil terukir dalam balutan
cahaya menyilaukan.
Gedebum hantaman terdengar keras.
Keheningan terjadi secara nyata, waktu
terasa berhenti seketika. Masing-masing terkesiap menatap sesosok ilahi berdiri
dengan dua kaki.
Seorang gadis muncul di hadapan
mereka. Lengannya terangkat demi menciptakan lapisan pelindung di atas kepala.
Dorongan energi kinetik ditolak dengan
sempurna. Ribuan ton bobot dari kaki yang menginjak dimentalkan balik hingga
menciptakan efek residu berupa suara dentuman hebat. Desakan udara disertai disertai
serpihan beton mengoyak bangunan sekeliling hingga pecah berkeping-keping. Baik
Namol, Nely, maupun Maria tertipu karena mengira telah mati diinjak. Akan
tetapi, mereka selamat berkat kekuatan misterius yang entah datang dari mana.
Tiap pasang mata kompak menatap sosok penyelamat di hadapan.
Rambut biru tergerai sebatas pinggul.
Kulitnya bening seputih salju. Dia mengenakan baju dengan setelan biru, lengkap
dengan kain penghangat pada kedua lengan.
Wajahnya menoleh pada Nely,
melontarkan senyum manis nan menyejukkan. Rok mini sebatas paha bergerak-gerak
ditiup angin senja.
Ekspresi Nely begitu terperangah tak
percaya. Mulutnya setengah menganga, “Ma... mama?” Air mata mengucur perlahan.
Perasaan Nely begitu bergemuruh, rasanya sesak sekali. Ia begitu kangen dengan
sosok ibu yang sudah tiada sejak lama.
“Kulihat anakmu tumbuh sehat dan
cantik seperti ibunya.” Suara gadis itu terdengar sejuk sekali. Tak ada yang
menyangka bahwa sosok itu sebenarnya adalah Nenek dari Maria. Namanya Fiani
Memoria, sosok legendaris yang pernah menyelamatkan dunia dari kehancuran.
“Aku memiliki satu anak lagi, namanya
Maria Fransiska. Dan dia jauh lebih mirip denganmu ibu...”
Senyum hangat kembali Fia berikan
kepada anaknya.
**********
Di museum semesta...
Zainurma terlihat resah. Pria itu
menggeram kesal ketika melihat kedatangan sesosok Divine Being mengganggu turnamennya. Sejak awal ia sudah memiliki
firasat buruk tentang pertarungan Namol melawan Maria. Alih-alih merajut dua
bingkai mimpi, yang terjadi malah sebaliknya. Dua orang itu terlempar ke dunia
nyata. Bingkai mimpi Namol bahkan terubah menjadi sebuah realita. Oleh
karenanya, untuk mengantisipasi hal itu, Zainurma meminta bantuan Ratu Huban
untuk menciptakan selubung kokoh. Gunanya untuk mengamankan turnamen, sebagai
antisipasi atas berbagai kemungkinan intervensi dari luar.
Dan ketakutannya menjadi kenyataan.
Buru-buru pria itu bergegas. Tak lupa
ia ajak Mirabelle dan Ratu Huban untuk ikut bersama dirinya.
************
Fia membuka telapak tangan. Secercah
sinar berpendar terang di tiap jemarinya, “Artemis...”
ucapnya singkat.
Ratusan proyektil bercahaya menyeruak
keluar seperti lebah keluar dari sarangnya. Tiap lajur energi itu mengejar sang
Cthulhu seperti misil memburu targetnya.
Rentetan suara dentuman melubangi
tubuh monster raksasa secara acak. Ledakannya tergolong kecil, namun amat kuat
hingga sanggup menciptakan luka parah di berbagai tempat.
Namun seperti sebelumnya, monster itu
kembali pulih seolah tak terjadi apapun.
“KALIAN TAK AKAN BISA MENANDINGI
KEMAMPUAN SANG KEHENDAK.”
Ucapan monster itu terdengar amat mengintimidasi. Suaranya parau
menggema, mengirim getaran hebat di tiap susunan katanya.
Akan tetapi, Fia tak sedikit pun kehilangan ketenangan di
wajahnya. Alih-alih merasa tertekan, ia malah tergelitik penasaran, “Sang
Kehendak? Yang jelas kau hanyalah makhluk curang yang menyembunyikan diri pada
celah dimensi alam ini.”
Gadis itu mengangkat tangan kanan, memamerkan jari telunjuk
mengacung tinggi. Udara dingin berembus dari bawah tempat Fia berpijak. Tiap
helai rambutnya yang panjang tergerai indah disapu angin. Mulutnya mengucap
satu rapalan singkat,
“Dispel ... Simoni!”
Sebuah bangun berbentuk bulat tercipta secara instan pada telunjuk
gadis itu. Cahayanya berpendar semakin terang di tiap detik yang berlalu. Siapa
pun yang menatapnya dipastikan akan mengalami kebutaan.
Sinar menyilaukan itu kemudian berubah temaram.
Tak ada apapun yang terjadi. Namol dan Maria hanya saling bertukar
pandang. Masing-masing berusaha menerka apa efek dari sihir barusan.
“Nely, kerahkan seluruh armada militermu.”
Seakan mendapat sejuta pencerahan, mulut Maria terbuka lebar
hingga membentuk huruf O, baru sadar akan absennya selubung raksasa yang
menutupi alam sekitar.
“Monster itu tak lagi Immortal.
Aku sudah menarik tubuh aslinya ke dalam realita.”
Ratusan airship yang
mengepung terlampau gatal untuk bisa menahan diri. Secara serentak mereka mengirim
ribuan salvo tembakan berdaya ledak tinggi. Beragam jenis proyektil itu datang
mengepung dari angkasa, datang menghujam selayaknya air hujan.
Rentetan dentuman terdengar riuh memenuhi udara. Tiap tembakan
yang dilepaskan memiliki akurasi tinggi. Nyaris tak ada proyektil yang gagal
mengenai targetnya.
Sang Cthulhu kini tak bisa lagi menyembuhkan diri. Keberadaannya
solid hingga bisa dilukai. Serangan penuh seluruh armada militer membuatnya tak
berkutik sama sekali. Tubuh besarnya ambruk memeluk bumi.
Belum sempat semua orang merayakan kemenangan ini. Mereka lagi-lagi
harus dikejutkan oleh kedatangan sang panitia.
Zainurma, Ratu Huban, serta Mirabelle terlihat memunculkan diri
dari debu bekas ledakan. Mereka berjalan beriringan dengan wajah masam penuh
hawa permusuhan.
“Pengganggu turnamen, harus dilenyapkan.”
Fia sedikit memasang wajah berang, “Turnamen katamu? Jangan bilang
ini bagian dari Battle of Realms?”
Sosok wanita berkepala bantal tertawa cekikikan, “Tak ada gunanya
kita bertukar kata. Toh kau akan mati sekarang juga.”
Mirabelle, sosok perempuan berbaju zirah dengan senjata tajam di
tangan melesat terlebih dahulu. Ia mengayunkan pedang terhunus, berniat untuk
memenggal Fia.
Letupan energi tercipta satu meter tepat di hadapan Fia. Cahaya
menyilaukan tercipta dari ketiadaan, bersamaan dengan munculnya sosok pria
berpedang.
Suara dentingan logam terdengar nyaring memekakkan telinga.
Serangan Mirabelle terhenti sampai di sana. Pria berambut cokelat kemerahan
datang mengerem laju pedangnya. Dengan terpaksa Mirabelle mengambil jarak
seraya memasang kuda-kuda waspada.
Gunblade perak terayun bebas di tangan sosok itu. Jubahnya
berkibar tertiup angin.
“Leon...” ucap Fia berseri-seri.
“Papa..!” Nely lagi-lagi terpekik. Wanita itu berubah sikap.
Tingkahnya terasa seperti seorang gadis remaja.
Sementara itu Maria malah terperangah mendengar ucapan ibunya,
“Papa? Tunggu dulu, dia kakekku?”
“Anjir, berasa tua banget ya gue dipanggil kakek,” canda pria itu
seraya menggaruk kepala.
Di lain pihak, Zainurma semakin berang melihatnya, “Siapa lagi
ini? Kalian terus menerus mengganggu jalannya turnamen.”
Wajah santai Leon berubah angker ketika mendengarnya, “Turnamen?”
Pikirannya berusaha menebak, “Battle of
Realms?” Pria itu memberikan reaksi yang sama seperti Nely dan Fia.
Namol memberanikan diri untuk bertanya, “Anu... kalian semua tahu Battle of Realms?”
Ketiganya menjawab bersamaan, “Tentu saja.”
“Kami memiliki pengalaman buruk dengan turnamen sambung ayam itu.”
Leon bersiaga, hilang sudah ketenangan yang sedari tadi datang bersamanya.
Seolah mendapat angin segar, Maria kemudian melangkah maju seraya
mengunci pandangan pada Zainurma. “Aku, Venessa Maria. Dengan ini menyatakan
diri mundur dari turnamen ini. Aku tak ingin lagi disiksa oleh turnamen hidup
dan mati.”
“Keputusan yang bagus, Ven...” ucap Leon.
“Sayangnya, hal itu tidak bisa dilakukan. Sang Kehendak tak
menginginkan itu.”
“Tak ada jalan keluar?” tanya Namol.
Zainurma menggeleng kepalanya perlahan, “Yang ada, hanyalah
kematian.”
Tak ada ruang untuk bernegosiasi. Dua kubu lantas bersiap untuk
memulai konfrontasi.
“Kyahahahaha, apa kalian sungguh berpikir bisa mengalahkan kam—”
Ucapan Ratu Huban terhenti.
Sembilan batang es tajam menancap di tubuhnya. Fia sanggup
menciptakan benda itu dari ketiadaan, lalu melemparnya cepat dari arah manapun
yang ia inginkan.
Tubuh Ratu Huban terlihat memudar, lalu termaterialisasi kembali
di tempat yang sama tanpa sedikitpun luka, “Biar kuberi tahu yah, kami semua
memiliki kemampuan abstr—...“
Fia kembali tak memberikan kesempatan untuk menyelesaikan ucapan.
Telunjuknya mengirimkan sebuah kejutan sinar menyilaukan, perwujudan dari sihir
dispel untuk menangkal trik para ‘panitia’.
Hanya Mirabelle yang merasakan keanehan itu. Perempuan pejuang
berbaju zirah itu sontak menghindar sedetik setelah merasakan marabahaya.
Leon datang menuju lokasi mereka seraya mengayunkan gunblade
sekuat tenaga.
Didorong insting bertahan hidup, Zainurma menjatuhkan dirinya
sendiri, tak peduli meski tebasan horizontal Leon masih berjarak lima meter
dari posisinya berdiri.
Syuuut!
Leon bahkan harus menahan gunbladenya sendiri agar tidak terlempar
hilang keseimbangan. Ayunan itu begitu kuat hingga sanggup membelah udara tanpa
menimbulkan riak di antaranya.
Waktu seakan melambat di tiap detiknya. Tawa Ratu Huban terhenti
sampai di sana. Setengah tubuhnya terbelah menjadi dua. Bersamaan dengan gedung
dan reruntuhan sekitar yang terangkat tiga puluh sentimeter dari udara.
Tiang jalanan, dinding bangunan, pepohonan, pagar, hingga kursi
terpotong dalam garis horizontal. Segala sesuatu seakan dipisah paksa oleh satu
garis lurus saja. Satu ayunan Gunblade Leon cukup untuk membabat tiga blok
kota.
Jantung Mirabelle berdesir kuat. Tatapan buas haus darah itu kini
terarah padanya. Belum sempat bagian atas tubuh Ratu Huban jatuh menyentuh lantai,
Leon sudah menjejak kakinya untuk melesat cepat, hingga akhirnya tiba tepat di
hadapan mata.
Mirabelle masih sempat menyilangkan pedangnya, berusaha menolak
agar tubuhnya tidak ikut dibelah menjadi dua.
Akan tetapi bobot ayunan Leon terlampau kuat untuk bisa
dihentikan. Alih-alih sukses menahan, gadis itu malah terpental jauh hingga
menubruk sekumpulan reruntuhan. Pedang miliknya bahkan pecah setelah menangkal
serangan barusan.
“Serang!” Nely memerintahkan armada militer untuk menggempur lewat
serangan altileri. Puluhan Airship tanpa disadari sudah melayang di langit
setempat.
Reruntuhan tempat Mirabelle dihantam keras hingga hancur
berkeping-keping. Siapa pun tak akan selamat dari ledakan macam itu. Maria
bahkan bisa melihat sepotong tangan tergeletak bersimbah darah di salah satu
sudut bebatuan.
Kini tinggal Zainurma berdiri sendirian. Wajahnya menyiratkan
sejuta kengerian. Kepanikan menguasai sanubari, diteror oleh ketakutan akan
kematian itu sendiri. Ia tak akan pernah menang melawan keluarga Maria.
Inilah taring dari kerajaan Lionearth sesungguhnya.
“Ma—maafkan aku...”
Leon mengucap pelan, memberikan ancaman, “Aku salah satu dari Heroic Spirit bertipe guardian. Aku tidak tahu siapa kau, dan
di mana alam semestamu berada. Tapi camkan ini.” Pria itu mendorong telunjuknya
pada kening Hewanurma, “Jika kau kembali berai berbuat macam-macam pada siapa
pun di duniaku. Akan kutemukan kau, dan akan kubunuh kau beserta seluruh
panitia di dalamnya.”
“A— aku mengerti...” Pria
itu lantas melayangkan tatapan singkat pada Namol, “Akan kuanggap Namol
memenangkan pertarungan ini, seraya kuhapus Maria dari seisi turnamen. Anggap
saja dia tak pernah singgah di sana.
“Ah...” pria berkulit gelap itu mengerti. Kakinya melangkah
bergerak menjauhi, “Maria, kurasa kita akan segera berpisah. Semoga hidupmu
tenang di sini.”
Ada semacam rasa ketidakpuasan di wajah Maria. “Kau tidak mau
berhenti juga?”
Namol menggelengkan kepalanya, “Maaf, tapi aku ada tujuan
tersendiri yang harus dicapai.” Pria itu sejenak menatap batas cakrawala,
tempat di mana bingkai mimpi Regaia berada, “Semoga suatu saat kita bisa
bertemu kembali.”
Maria hanya bisa menatap sedih sahabat seperjuangannya itu.
Cahaya senja perlahan memudar tepat berada di belakang Namol
berada. Pria itu berubah sirna bersamaan dengan tenggelamnya sang surya. Senyum
kecil darinya terpatri jelas dalam benak Maria.
.....
“Epilog”
“Eeeeeeehhh!? Jadi Venessa Maria ini cucuku?” Leon terkejut hingga
setengah berteriak. Model rambut yang menutupi sebelah mata terentak sesaat
ketika ia terkejut mundur. Leon hanya bisa mengingat saat terakhir ketika Nely
hamil di Battle of Realms V. “Tidak
kusangka cucuku sudah tumbuh hingga dewasa seperti ini.”
“Lah, kok kamu baru sadar sekarang? Bukannya tadi sempat bilang
berasa tua gegar dipanggil kakek?” Maria menjawab ketus.
“Kirain kamu cuma bercanda, hahahaha~,”
Suasana kembali hening. Langit berubah gelap. Gemerlap bintang
sudah mengintip di atas kepala, walau bias kemerahan masih tersisa di sudut
barat daya.
Leon menggaruk kepalanya yang tak gatal, “Kurasa waktu kami berdua
di sini sudah mau habis... Kalau begitu, jaga diri kalian berdua ya. Sampaikan
salamku pada Siska. Sayang sekali dia sedang tidak ada di sini.”
“Tunggu dulu, kalian mau pergi lagi!? Secepat ini?” Nely berusaha
mencegah. Kepedihan mulai mengisi relung hati.
Fia melempar senyum teduh untuk menenangkan, “Di balik pertemuan
pasti akan ada perpisahan. Waktu kami di dunia ini sudah lama habis. Ini
waktunya generasi kalian untuk membangun dan meneruskan perjuangan kami, selaku
leluhur kalian.”
Leon lalu mengalihkan pandangan pada Maria, “Oh iya, aku bertemu
dengan ayahmu. Dia hidup bereinkarnasi sebagai manusia biasa di salah satu
semesta damai, aktif di facebook dengan sebutan Dimas Pamungkas, dan baru saja
lulus perkuliahan.”
“Pa-papa..!” bentak Nely tak terima. Wajahnya menunjukkan rona
kemerahan, “Aku sudah lama selesai dengan orang itu. Suamiku Asep sekarang.”
“Oh iya, hahaha... hidup bahagia ya kalian.”
Nely kembali meneteskan air mata. Gadis itu begitu erat memeluk
kedua orang tuanya. Hati kecilnya menjerit keras, tak ingin kembali berpisah
dengan kedua orang tua.
“Selamat tinggal semuanya.” Leon mengucap lembut, seraya mengusap
rambut Nely.
Lenyap.
Leon dan Fia hilang dari pandangan begitu saja. Nely bahkan sempat
hilang keseimbangan akibat mendadaknya kepergian mereka. Semuanya terjadi dalam
sekejap saja.
Perempuan itu menangis sejadi-jadinya. Maria hanya bisa
menenangkan sang bunda, seraya bertanya-tanya akan hidup kakek dan nenek semasa
hidupnya. Ia tak mengenal mereka, jadi pertemuan barusan tak lebih dari
peraduan takdir dengan orang asing saja.
Pikiran Maria mengawang ke angkasa. Di dalam benaknya terbayang
Odin yang entah sedang berjuang entah dalam bentuk apa. Ia mungkin tak akan
bisa bertemu kembali dengan kekasih hatinya itu.
Benar seperti apa kata neneknya. Di setiap pertemuan pasti ada
perpisahan. Oleh karenanya, ia harus menyimpan segala kenangan dengan pria itu
ke dalam relung hati paling dalam.
“Yah, setidaknya kehidupan sehari-hariku bisa kembali seperti
semula.”
Fin....
..
..
>Cerita sebelumnya : [ROUND 1 - 1B] 04 - VENESSA MARIA | RAID AT TENET CHRUCH
>Cerita selanjutnya : -
>Cerita selanjutnya : -
[1]Vertical
take-off and landing, pesawat tanpa baling-baling yang sanggup terbang dan
mendarat secara vertikal selayaknya helikopter.
This is the final entry of Venessa Maria. Therefore I, the author of this story, hereby announced that she's resigned from this tournament.
BalasHapusAll vote shall go to Namol, thank you for your consideration upon reading this scribbles.
m(_.._)m
Bagian" awalnya rasanya peak tulisan bang Ichsan, mungkin karena ngeeksplor perasaan dan sudut pandang karakter bersangkutan ke apa yang sedang terjadi
BalasHapusKenapa Oneiros muncul dalam sosok Cthulhu?
Saya ga tau apa penulis masih punya niat ikut di tahun" berikutnya ngeliat kebencian karakternya sendiri sama turnamen ini, dan karena Nessa ga diniatin maju, saya anggep entri ini sekedar pengen nutup mata rantai keluarga yang tiga turunan ikut turnamen Battle of Realms. Settingnya yang entah gimana pindah ke dunia nyata juga ngenihilin apapun yang kerasa ganjil di entri sebelumnya. Cuma ini bikin pertanyaan yang sama kayak entri Men : kenapa beda penyelenggara bisa sama nama.
Saya punya ide sendiri sih soal ini, dan sejujurnya scene keluarga Nessa vs panitia itu sesuatu yang sempet kepikiran mau saya jalanin juga......kalau saya bisa sampe final. Lumayan ada referensi yang berani undur diri cuma buat bikin entri begini
Saya mau komen entri Venessa, meskipun saya tahu Nessa resign dari turnamen ini.
BalasHapusHarus saya acungi jempol, bang Ichsan walk out dari turnamen ini dengan cara yang elegan, membuat entri perpisahan yang sangat berkesan. Mengakhiri prahara keluarga cemara dengan para panitia <(")
Saya harus setuju sama mas Sam. Entri ini seperti "Mahakarya" Nessa yang terakhir. Peak Performance.
Akhirnya saya rasa terlalu cepat dan rasanya begitu saja. Namun konklusi cerita ini cukup memuaskan juga. Saya bisa tersenyum untuk Nely dan Nessa pada akhirnya, setelah mereka cukup menderita ;-;
Godspeed keluarga cemara. Apakah drama ini berlanjut tahun depan? Atau membuka babak yang baru?
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
GHOUL (sambil bawa bunga sakura dan nge ting-tong):
BalasHapus“Asik!!! Ngapel di entri Venessa. Jangan khawatir, aku akan selalu ngedukung Nneng…
@_@:
“Ghoul, ingat tujuan kita datang bukan buat pedekatein OC itu. Kita datang buat ngevote! Minggir, Mum mau ngebantai entri ini dulu…”
GHOUL:
“Iya, Mum. Tapi ngamuknya jangan kenceng-kenceng, ya. Kan malu didenger tetangga…”
@_@:
“Entri ini bagus dan menghibur, tapi menyedihkan juga sih. Keliatan banget melownya, hiks… duh terbawa suasana Thapki neh…
Penulisan ‘Jingga’ napa diawali huruf besar???
Eh mangnya Sperma bisa diendus?
Typo2nya lumayan meski tak mencekam. Haha, apaan sih…
Hm, aku sangat menikmati entri ini plus OC-nya yang kece badai membuat pengen ikutin terus. Namun saja sayangnya… aku… aku…”
GHOUL:
“Maaf, Nes. Aku juga tak bisa membohongi perasaan ini kalau hatiku jatuh pada entri… NAMOL! Padahal awalnya kupikir kaulah pilihan hatiku, namun setelah ada entri lawan masuk, hatiku… hatiku tiba-tiba saja bergeser padanya. Prolog entri Namol sangat ajaib dan bikin penasaran terus menggalinya, belum lagi adegannya dibawakan sebegitu dramatis dan lain daripada yang lain. Yah, ada sebuah keunikan tersendiri di entri lawan yang membuatku berpaling darimu. Entri yang secara fisik membuatku lebih bergairah lagi mengeksplorasinya. Hm, bye. Move on lah dariku karena aku lebih memilih lawan.”
(lagu anandhi pun berkumandang sendu) :=(0
Saya baru bisa komen setelah baca sekian lama... dan ketika masuk ke page ini, saya jadi agak sentimentil gimana gitu membaca judulnya "Reunion"... dan pengunduran dirinya bang Ichs. Saya sempat juga mikir untuk WO secara elegan dengan melakukan hal yang sama, tapi raaanya saya masih pingin coba terus dan akhirnya rasio saya mengalah dengan egoisme itu.
BalasHapusAnyway bang Ichs, kisah ini ditutuplah sudah dengan gappy end (menurutku) karena mereka berkumpul. Sebuah Reuni. Sebuah pertemuan...yang entahlah, klan Leonhart berkumpul kembali, barangkali untuk bersiasat menggempur BoR selanjutnya ...? (Semoga, hehehe).
Apapun, good job Mas Ichs, Venessa, dan Leon... kapan2 kita bikin keluarga Reid reuni dengan keluarga Leon... hehehehe
Regards,
Rakai A
OC Shade
Oh ya aku ttap ngarep mas Ichs bisa tetap komen di entry kita2 selanjutnya... pokoknya selalu ditunggu deh
HapusVenessa Maria
BalasHapusPertama, makasih banget udah bawain Namol dengan sangat dia. Baca keseluruhan entri ini bisa saya ibaratkan sama makan creme brulee yang lembut di akhir pekan, penghujung senja, terus minumnya soda fruit punch. Memuaskan, menyentuh dalam artian positif, dan menyegarkan. Saya suka waktu Maria lagi sama Odin, hubungan mereka terasa terlalu nyata dan tragis. Terus masuk ke perang besar yang dideskripsikan dengan sangat efisien dan ngena, hal yang belum bisa saya lakuin sampai sekarang. Author juga berhasil nyelipin keceriaan Namol dan Maria di antara ketegangan situasi; saya terhibur di sepanjang dialog mereka (salah satunya, kata kunci: kelinci, haha XD). Sampai semuanya ditutup dengan sangat kuat, dengan kehadiran mereka-mereka yang emang udah hafal banget sama BoR (ya, mereka beneran kuat, dari segi karakter dan momentum kedatangannya yang relevan). Saya bakal ga puas banget kalo keluarga itu sampai ternyata kalah sama panitia. Last but not least, cerita Maria ini masih sangat bisa banget diterusin.
Oc: Namol Nihilo
Edan skala battlenya. Masukin Cthulu, zombie...
BalasHapusSempet kerjasama sama Namol juga ya.
Somehow saya udah ngeduga bahwa nama domba yang akan diterima maria adalah dombe. Lengkap dengan suara uik uiknya.
Hmm ini mirip sama kayak di entri saya dan bang dhiko, jadi berkaitan dengan BoR sebelumnya. Cuma bedanya di entri saya nggak pernah nyebutin bahwa yang dijalani Pucung sekarang ini adalah BoR.
Leon keliatan lebih leluasa murka untuk ngejaga keluarganya mungkin karena sudah terbebas dari kekangan panitia dan sistem BoR yang lalu ya. Si Dimas dimention juga. Tapi sepertinya saya udah lupa, gimana ceritanya Asep jadi istri Nely sekarang...
Sayang sekali harus berakhir di sini. Adegan seks sama alien kayak Namol kok bisa bikin ngaceng juga ya. Apa-apaan ini.
On a side note, bisa ctrl+f "payudara" untuk menemukan enaena
Punya Maria gede sehingga sulit untuk tak terbayangkan.
Yah tapi udah dibawa pulang keluarganya ni. Cry.
Overall kasih skor 87 karena udah tau duluan kabar resignnya, huhu.
See you around.
PUCUNG