Stepping firmly on a muddy path, I wandered hollowly
The caged bird danced sheerly, to the sky with distant sun[1]
"Kalau kalian kalah di turnamen ini, bakal sial deh nasib semesta kalian." ungkap Zainurma dengan entengnya.
Orang-orang, atau makhluk-makhluk, yang berada di sekitar Mia menjadi kaget dan bertanya macam-macam pada Zainurma. Mia hanya diam menatap sosok itu di barisan paling akhir.
'Oh jadi ini turnamen? Yang kalau kalah, dunia tempatku berada hilang?'
Seharusnya Mia kaget atau kalut, akan tetapi wajahnya tetap tidak ada ekspresi yang berarti. Hanya, wajahnya terlalu tenang seperti menunjukkan kepasrahan diri. Ataukah kekosongan?
'Ah, apakah saatnya sudah datang? Akhir untukku.'
Sejak Mia lahir di dunia ini, dia dianggap sebagai anak yang terkutuk. Semua orang yang disekitarnya secara perlahan namun pasti, meninggalkan dirinya sendirian. Dia sudah tidak bisa mengingat wajah ayah dan ibunya. Hanya neneknya yang bersama dirinya. Tapi itupun sudah tidak lagi.
Lalu dia pergi dari tempat itu sambil berpikir hidupnya selama ini ternyata cukup menyenangkan dan dia tidak menyesali keputusannya.
++++
"Hah..."
Mia menghela napas berat. Di hadapannya ada dua buah lukisan yang menggambarkan kejadian-kejadian sebelumnya. Ketika dia berhadapan dengan setan gagal itu dan teroris nanggung itu. Harus diakui dia tidak terlalu senang melihatnya.
"Harusnya kau gembira, Mia. Bukankah itu semua hasil usaha kerasmu?"
"Dengan bayang-bayang kebebasanku sedang berada di tangan orang lain? Atau kemungkinan dunia tempatku ini akan lenyap? Tiba-tiba, aku tidak berselera untuk merasa senang." dia tidak bisa berhenti untuk merasa khawatir.
"Kau terlalu banyak berpikir. Santailah, seperti yang biasa kau lakukan."
"Seharusnya sih, tapi..."
"Benar itu! Tidak seharusnya kamu jadi melankolis seperti ini!" suara itu datang dari sesuatu selain Mia dan Dietrich.
"Oh, Cotton, kamu disitu?"
Itu adalah nama domba yang diberikan kepadanya. Baru-baru ini, setelah Mia kembali dari dunia lain, domba itu bisa bicara dan mengatakan hal sesuka hatinya. Mungkin seharusnya Mia kaget, tapi dia sendiri pernah memanggil setan jadi dia hanya menganggap binatang bisa bicara adalah suatu hal yang biasa.
"Dari tadi aku disini. Sebentar lagi akan terjadi sesuatu, jadi kamu harus bersiap-siap untuknya."
"Ah, benar sekali. Masih ada game yang harus kutamatkan." Mia pun segera bergegas menuju konsol di depan layar TV dan bermain tanpa menghiraukan sekelilingnya.
"Tapi... maksudku bukan yang seperti itu..."
"Menyerahlah, Cotton. Kalau Mia sudah seperti itu, dia tidak akan bisa diganggu."
"Sepertinya kamu mengenal sekali dirinya, Dietrich. Sudah berapa lama kamu bertemu dengan Mia?"
"Tidak terlalu lama sebenarnya. Tetapi Mia sekarang lebih baik dari Mia yang dulu, ketika saya baru bertemu dengannya. Yang dulu... terlalu... bagaimana menyebutnya ya... susah dijelaskan."
Ternyata Mia diam-diam mendengar perkataan mereka. Dia melempar bantal duduk yang dipegangnya ke arah Dietrich, berusaha mencegahnya berbicara lebih jauh. Tetapi Dietrich hanya menangkap bantal dengan satu tangan, tanpa merubah senyumnya.
"Berisik kau, orang numpang. Diam."
"Lihat Cotton. Yang sekarang lebih baik bukan? Lebih manis."
Cotton berpikir di bagian mana manisnya Mia. Dia mulai menganggap Dietrich orang masokis. Eh setan masokis. Lalu dia pergi keluar dan melihat langit. Masih biru dan cerah dengan sedikit awan. Cotton berharap semua akan baik-baik saja.
Beberapa hari kemudian, terjadilah sesuatu yang aneh. Bunga red spider lily, Lycoris radiata, tumbuh secara tiba-tiba di halaman rumah Mia. Dan salju mulai turun perlahan walau menurut penanggalan saat itu masih bulan Agustus, yang seharusnya masih musim panas. Selain itu bunga ini seharusnya baru mekar di akhir musim panas atau awal musim gugur. Bunga-bunga spider lily seharusnya tidak tahan dengan salju/es dan hanya menunjukkan daun di saat musim dingin, tapi tidak untuk bunga-bunga itu. Walau salju berguguran dan menutupi tanah dengan diam, bunga-bunga itu tetap mekar dan warna merahnya sangat cerah dan berani, kontras dengan warna putih salju. Cotton tahu ini pertanda bahwa sesuatu sudah dimulai dan dia memberitahu Mia dan Dietrich.
"Mia, Dietrich! Lihat di luar. Ada sesuatu yang aneh, sekarang salju sedang turun."
"Ah sudah saatnya ya, ini karena pemanasan global kan?" Jawab Mia enteng. Dia sedang berada di depan layar dan tangannya memegang joystick. Hal yang biasa.
"Bukan!! Lalu kenapa bunga-bunga itu tumbuh di bulan Agustus seperti ini?!"
"Dietrich, kamu lagi-lagi menanam sesuatu yang aneh ya?"
Dietrich tidak menjawab dan hanya tersenyum sambil mengangkat bahu. Dia duduk di depan meja, yang tidak jauh dari Mia berada. Terdapat secangkir teh di hadapannya dengan uap yang terlihat samar-samar. Sikapnya membuat semuanya semakin ambigu.Cotton terdiam dan tidak tahu harus bilang apa. Reaksi dua orang di depannya ini sangat kalem. Dia akhirnya membiarkan kejadian ini terlewat... atau tidak. Sudah beberapa hari sejak salju turun. Di berbagai media massa dan internet memuat berita bahwa tingkat kejahatan meningkat. Kerusuhan dimana-mana. Ditambah semakin banyak daftar orang mati karena bunuh diri. Cotton semakin kalut dan panik. Dia tidak tahan lalu meminta Mia atau Dietrich untuk melakukan sesuatu.
"Oh ayolah, tenang dulu. Kamu kan sudah memberi tahu tentang lawan untuk saat ini kan. Siapa namanya? Asabi.. asibi... ah, bagus, chain attack." tangan Mia bergerak lincah dan cepat saat menekan tombol-tombol di handheld miliknya sembari tiduran di sofa.
"Asibikaashi. Summoner Spirit dengan berbagai makhluk peliharaan. Dia adalah lawan yang kuat bagimu. Juga sangat bertentangan denganmu. Kemungkinan kamu menang hanya sedikit."
"Nah itu dia. Sepertinya dia orang baik. Jadi kita tinggal menjamunya disini."
"Tapi Mia! Seluruh semesta ini sedang menderita. Tidak lama lagi, dunia ini hancur karena semua ini!"
"Lalu?" kata Mia, tangannya masih memainkan tombol-tombol.
"Eh?"
"Lalu kenapa dunia ini harus diselamatkan? Aku tidak melihat alasan bagus untuk itu. Toh kalau bukan karena 'mimpi buruk' atau apalah itu, dunia ini suatu saat akan hancur juga. Tidak pernah tercatat dalam sejarah dunia yang panjang ini bahwa dunia pernah damai. Tuh, tanya saja Dietrich. Jadi berikan alasan bagus kenapa aku harus menyelamatkan dunia ini."
"Bukannya kamu berkata beberapa hari yang lalu jika kamu tidak suka melihat dunia ini hancur? Itu berarti kamu tidak ingin dunia ini lenyap!"
"Ah Cotton, itu hanya sentimen awal. Kupikir-pikir lagi, ternyata aku sedang malas dan menyelamatkan dunia itu sangat merepotkan."
Cotton tidak percaya dengan perkataan Mia. Itu perkataan orang yang telah menyerah dan akhirnya tidak peduli pada apapun dan siapapun. Termasuk dirinya sendiri. Cotton tidak mengerti kenapa ada pendapat seperti itu. Ataukah hanya dia yang belum tahu bahwa banyak orang yang menginginkan akhir dunia? Dietrich hanya duduk tenang, meminum teh earl grey sambil menonton acara berita di TV. Wajahnya kalem, tidak ada beban.
"Baiklah. Begini saja. Kalau dunia ini hancur, kamu tidak akan bisa tahu lanjutan dari Miracle (Kiseki) series. Aku tahu kamu akhir-akhir ini suka serial game itu dan sangat ingin tahu siapa gamemaster Ouroboros, karakter di game itu. Sampai-sampai kamu tiap hari mendengarkan soundtrack-nya." Cotton tidak kehilangan akal. Sepertinya selain kemampuan bicara, dia juga mendapat kemampuan untuk menganalisa. Dan memang, selain TV yang menyala, ada suara sayup-sayup dari sebuah lagu ('... process of evolution... aoki negai~') dari benda yang ada di tangan Mia.
Mendengar hal itu, tangan Mia berhenti bergerak. Dia mulai berpikir dan menimbang-nimbang perkataan Cotton. Seperti kata Cotton, Mia sangat penasaran siapa gamemaster Ouroboros. Sampai game yang terbaru pun, tidak ada petunjuk yang berarti tentang karakter itu. Karena itu dia diam-diam berharap jangan sampai developernya bangkrut dan plot game berhenti begitu saja. Mia terutama suka sekali dengan Azure Miracle. Walau dia bisa saja membuat sendiri lanjutannya, tapi dia ingin melihat sendiri kejutan dari plot twist yang ditawarkan oleh developer itu. Cotton melihat kebimbangan dalam Mia lalu melanjutkan serangannya pada Dietrich.
"Dietrich, kamu juga sebenarnya ingin mencoba menanam anggrek yang terkenal susah berbunga itu kan? Kalau dunia ini hancur, kamu tidak akan bisa melihatnya berbunga."
Dietrich yang saat itu sedang mengangkat cangkir dan meminum teh darinya, sejenak berhenti mendengar perkataan Cotton. Tidak salah juga, dia memang ingin melihat bunga dari anggrek itu. Dietrich memandang Mia, dan mata mereka bertemu. Seakan berbicara lewat mata, mereka menyetujui sesuatu.
"Nah Mia, apa boleh buat. Sudah jadi tugas manusia untuk menjaga dunia bukan. Kata orang,manusialah pemimpin umat di alam."
"Wah Dietrich. Sejak kapan kamu peduli dengan dunia ini. Kupikir setan menggoda manusia karena ingin dunia hancur. Sepertinya bukan ya... jangan-jangan cuma karena ingin melihat manusia menderita. Aah tapi kamu benar sekali, sudah jadi tugas manusia untuk mempertahankan kedamaian ya. Walau manusia juga sih alasan dunia rusak."
Cotton merasa senang akhirnya dia bisa membujuk dua orang itu, walau juga merasa sedih kenapa orang-orang ini pembicaraannya terasa mengerikan seperti itu. Dia lalu membuka mulut untuk bertanya kapan mereka mulai bersiap-siap dan bergerak. Yang langsung dicegah Mia. Tangannya memberi isyarat untuk diam.
"Tidak, tidak sekarang. Kita akan tetap diam disini dulu."
Cotton bingung sedangkan Mia hanya tersenyum dengan manis. Yang tidak cocok dengan situasi saat itu.
++++
Von Rosendorn.
Keluarga termashyur dari kota Kreuzenglocke
Biografi singkat:
Sebuah keluarga bangsawan yang berhasil memperoleh kepercayaan Kaiser. Keluarga ini terkenal sebagai bayang-bayang Kaiser yang melenyapkan siapapun yang mengincar Kaiser dan seluruh garis keturunannya. Terbukti di Europa War beberapa puluh tahun yang lalu, musuh-musuh di luar bahkan tidak dapat menyentuh negeri ini. Berdasarkan isu yang berkembang, banyak yang menyimpulkan keluarga Von Rosendorn lah yang melenyapkan mereka. Di masa kejayaannya, keluarga ini adalah yang paling berpengaruh di negeri dan pendapatnya sangat didukung oleh Kaiser. Namun segala kejayaan itu berakhir 22 tahun yang lalu. Saat itu, terjadi sebuah kejadian misterius yang melenyapkan semua orang. Yang bertahan hidup praktisnya hanya seorang bayi perempuan dan kepala keluarga tersebut.
Metode: sebuah kutukan, yang dikenal dengan Leben Afluss. Metode ini akan membuat siapa saja mati seketika, seakan energi kehidupannya terhisap. Tidak tercatat bagaimana cara seseorang mati karena metode, yang diketahui hanya pada akhirnya para korban kering seperti mumi. Juga tidak diketahui apakah ada efek bagi para penggunanya, namun banyak orang di keluarga ini telah ditengarai mati sebelum 25 tahun. Hanya sedikit anggota keluarga yang diketahui berhasil hidup lebih dari umur tersebut. Dengan kata lain, bisa disimpulkan bahwa orang-orang yang mati muda tersebut adalah pengguna metode ini, dengan nyawa sebagai harga dari metode ini. Dan orang yang bertahan hidup berkewajiban untuk meneruskan warisan keluarga ini.
Ringkasan catatan kepolisian kota Kreuzenglocke
Dream and real world, bursting...
Shielded by white cocoon
Those thin fingers can't pierce through1
Asibikaashi melihat dunia dimana dia sekarang berada.
Penuh dengan kehancuran dan bencana. Orang-orang saling membunuh. Bahkan anak kecil dan wanita juga tidak luput dari kematian. Tidak terlihat jelas kenapa wabah ini muncul. Yang dia tahu, tiba-tiba muncul red spider lily di sekitarnya, dengan warna merahnya yang membara. Tidak kalah mencolok dari bunga mawar merah. Selain itu, salju turun perlahan di waktu yang seharusnya belum musim dingin. Sejak saat itu, manusia kehilangan akal dan saling membunuh. Pernah dia lihat seorang ibu menjatuhkan bayi yang sedang digendongnya ke jalan dan membiarkannya digilas mobil, ketika Asibi berjalan menyusuri jalan untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Tidak terlihat ekspresi takut, senang atau sengsara dari wajah sang ibu. Wajah sang ibu tenang dan tentram seperti hembusan angin musim semi. Asibi tidak tahu mana yang lebih buruk, tertawa ketika membunuh atau kalem ketika menghilangkan jiwa orang lain. Semuanya terjadi seakan jiwa manusia terkorup dengan warna merah red spider lily dan hati mereka membeku karena salju.
Walau Asibi berusaha untuk tidak terpengaruh dengan kegilaan yang menyebar ini, dia tetap tidak bisa membiarkan begitu saja manusia yang tidak bersalah mati sia-sia. Serigala putih yang berada di sampingnya mendekatkan hidungnya, berharap asibi akan tetap menjadi asibi. Mungkin karena dari awal Asibi bukan manusia, dia tidak terpengaruh dengan wabah ini. Atau benarkah seperti itu?
Sembari membelai bulu putih sang serigala, asibi memutuskan sesuatu. Dia mencurigai sesuatu penyebab dari wabah ini dan dia bertekad untuk mengakhiri semua ini.
Sudah cukup lama waktu yang berlalu sejak wabah ini merebak. Asibikaashi tidak dapat berdiam dan tidak melakukan apapun.
Dia pun masuk ke dunia Mia.
Sesampainya dia di sana, keadaan dunia itu tidak jauh berbeda dengan dunia dimana dia berada sebelumnya. Berantakan dan menyedihkan. Namun dia mendengar sesuatu yang berbeda dengan dunianya dari burung hantu kesayangannya. Sesuatu yang mengerikan. Sepertinya, dunia yang ini sudah beberapa lama dibayang-bayangi ketakutan bahkan sebelum wabah ini ada. Setan dan monster bermunculan, dengan terang-terangan membunuhi manusia. Sesuatu, pastilah ada sesuatu yang menyebabkan hal ini semua. Dia hanya belum bisa meraba kenyataan apa atau siapakah yang membuat dunia ini kacau sebelumnya.
+++++
"Haruskah kamu melakukan ini Mia?"
"Daripada masuk ke daerah lawan, aku lebih suka mereka yang masuk ke daerahku. Biasanya saat main game taktis juga begitu. Untungnya, kebetulan lawanku kali ini orang baik. Hahaha."
Mereka sedang berada di luar. Berjalan menuju suatu tempat dimana mereka bertemu dengan tamu yang cantik. Lalu menunggu sang jiwa laba-laba dan menjamunya dengan selayaknya ketika mereka bertemu nanti.
"Tapi ini bukan permainan!"
"Tenang dulu Cotton. Mia tidak sepenuhnya salah. Setidaknya kita mendapat keuntungan karena mengenal area lebih baik dari lawan."
Mia menjulurkan lidah ke arah Cotton. Ini membuatnya kesal.
Seketika Cotton sadar akan sesuatu. Seharusnya wabah yang menyebar ini membuat orang jadi gila dan hilang akal. Seharusnya, ini benar-benar seharusnya, hanya Cotton-lah yang kebal dengan wabah itu. Akan tetapi dia tidak melihat sesuatu yang berubah dari Mia dan Dietrich. Mia tetap seenaknya dan Dietrich tetap tenang, senyum selalu disunggingnya. Bahkan Dietrich bisa mengatakan hal yang masuk akal. Tiba-tiba tersirat ide yang sekelebat muncul. Mungkinkah, mungkinkah mereka dari awal sudah kehilangan kewarasan sehingga wabah ini muncul pun mereka tidak terpengaruh secara drastis. Jika ada kegilaan yang membuat orang berhalusinasi dan melakukan hal yang tidak dapat dibayangkan oleh orang yang waras, berarti bisa saja ada kegilaan yang membuat orang menjadi tenang walau tetap akan melakukan hal yang mengerikan. Lalu dia teringat ketika Mia dan Dietrich tetap kalem saat melihat berita di media massa, ketika kehancuran terjadi dimana-mana. Orang mati dimana-mana. Pembunuhan keji dimana-mana. Batas antara kewarasan dan kegilaan menjadi kabur. Orang-orang saling membunuh, tidak peduli ada hubungan darah atau tidak. Jika seseorang menjadi takut atau sedih saat melihat kehancuran adalah hal yang biasa, maka hal yang terjadi kebalikannya bisa dianggap sebagai sebuah kegilaan. Cotton mendadak takut dengan pikirannya sendiri. Dia takut jika kedua orang itu benar-benar menjadi tidak waras. Lalu juga ada Oneiros yang berkeliaran.
Ah ya, Oneiros, makhluk yang memburu para pemimpi dan domba sepertinya. Sebisa mungkin dia harus menghindari makhluk itu. Ah akan tetapi takdir adalah hal yang aneh dan tidak bisa diperkirakan.
Kemudian, pikiran Cotton berhenti mendadak. Sebelumnya dia tidak sadar karena terhanyut dalam pikirannya sendiri. Saat melihat sekeliling, dia melihat dan merasakan sesuatu yang tidak biasa. Awalnya tidak terasa, tapi semakin lama terasa semakin menyesakkan. Ada aura suram dan mencekik yang membuat susah bernapas.
Di sekitar Mia, orang-orang menatapnya, tapi berusaha menutupi hal itu. Di tatapan para pejalan kaki, muda atau tua, ada ketakutan yang tidak dapat dijelaskan yang ditujukan pada Mia. Mereka berusaha tidak menggubrisnya, menghindari Mia sebisa mungkin, memperlakukannya sebagai benda tak kasat mata. Namun mereka tidak bisa menutupi kengerian ketika Mia berada di samping mereka. Kengerian itu seperti bagaimana seseorang melihat sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dan mengancam jiwa. Sesekali, ada orang yang berjalan dan menyentuh bahu Mia tanpa sengaja. Orang itu pun langsung berjalan cepat, ingin melarikan diri dari tempat itu dengan segera.
Selain itu, Cotton samar-samar mendengar para orang berbisik-bisik.
'Kenapa dia disini?'
'Harusnya kan dia tetap berada di dalam rumah.'
'Oh Tuhan, jauhilah keluargaku dan hamba-Mu dari dia.'
'Jangan sampai kamu menyentuhnya. Kau bisa mati!'
'Tidakkah kau mendengar cerita tentang keluarga itu? Kau pasti berpikir itu hanya khayalan tapi ternyata itu benar!! Mereka semua mati karena dia!'
'Jangan-jangan penyebab bencana selama ini adalah dia!'
'Dia kan memang pembawa bencana. Kau tidak sadar?'
Kelihatannya tidak ada hal baik yang diceritakan orang-orang tentang keluarga Von Rosendorn. Sebenarnya bisik-bisik itu terdengar cukup jelas jika seseorang mengumpulkan sedikit konsentrasi. Tidak dipungkiri Mia seharusnya mendengar itu. Tapi Cotton tidak bisa memastikan karena wajah Mia tertutup rambut emasnya. Dia tidak dapat melihat ekspresi seperti apa yang terpasang di wajahnya. Sedih atau tidak peduli.
Baru saja Cotton memperhatikan Mia, hal yang paling ditakutinya terwujud. Oneiros ada di sekitar mereka. Cotton bisa merasakannya. Sebagai domba putih, sudah terpatri dalam pikirannya bahwa Oneiros memiliki domba-domba hitam dan mampu menghancurkan apapun yang ada di hadapannya, termasuk semesta ini. Secepat mungkin dia harus memperingatkan Mia tentang Oneiros. Karena itu, dia langsung menubruk Mia dan Dietrich di sebuah lorong yang sepi, mendorong mereka sehingga tidak terlihat oleh Oneiros. Saking kuat dan gelisahnya dia menyeret Mia dan Dietrich, membuat Mia jatuh di dada Dietrich, seperti sedang dipeluk. Seperti di kisah-kisah roman itu.
"Aduh! Apa-apaan sih?!"
"Ini gawat Mia! Oneiros datang!"
"Memang siapa dia?" Mia bertanya, tidak bergeming dari dada Dietrich. Cotton sekilas berpikir, bukannya harusnya seorang gadis merasa gugup berada di dekat pria setampan Dietrich. Bahkan dengan posisi yang memalukan seperti itu! Bukannya gugup dengan Dietrich, Mia malah kesal dengan Cotton.
"Eh... oh, dia adalah sosok yang berbahaya. Intinya kamu harus menghindarinya!"
"Penampilannya seperti apa sih?"
Tapi Mia tidak gentar dan malah penasaran. Dia mulai melirik-lirik dari sudut tembok yang menutupi badannya. Dengan sekali lihat, Mia langsung bisa menebak yang mana Oneiros.
"Kepala hanya terdiri bola mata dan seluruh badan berupa kerangka? Memakai jubah ungu dan memegang tongkat dengan ujung dreamcatcher? Ya, unik sekali, sayang. Untung saja tidak ada orang normal yang melihatnya. Pasti nanti dilihat terus deh."
Karena keadaan keluarga dan sempat melihat eksistensi benda yang tidak tertangkap oleh mata orang biasa, Mia bisa melihat Oneiros di antara kerumunan orang di jalan. Tidak tertutupi ekspresi mencemooh dari wajah Mia. Cotton mulai menebak Mia sedang menertawakan sosok Oneiros di dalam pikirannya. Itu hanya karena dia tidak tahu hal apa yang bisa dilakukan Oneiros padanya dan dunianya. Kalau saja dia tahu, dia tidak akan bisa tertawa...
" Bagaimana dengan network andalanmu, Dietrich?" katanya pada Dietrich yang berdiri di belakangnya.
"Saya baru saja selesai mencari. Tidak ada informasi tentang makhluk seperti itu. Dengan kata lain, dia bukan penghuni dunia ini."
"Humm.. begitu ya. Coba kutebak. Dari bola mata besar itu bisa menembak laser dan menghanguskan yang ada di depannya? Waw, hampir mirip dengan kemampuanmu, Dietrich."
Dietrich mengangkat alis sebelah. Walau biasanya dia terlihat selalu tenang dan tidak mudah terpengaruh, saat ini dia terlihat sedikit kesal. Dietrich cukup bangga dengan sosoknya, selain karena sosok seperti itu membuatnya mudah untuk mempengaruhi manusia. Dibandingkan dengan makhluk dengan mata satu menurutnya itu tidak sopan.
"Bukan!! Oneiros itu bisa membuat dunia ini lenyap! Dan menghapus kemampuanmu Mia!" sergah Cotton.
"Eeh memang sejak kapan aku punya kemampuan khusus? Dan bisa menembak laser dari mata itu keren tahu!"
Cotton seketika ingin memukul kepalanya ke dinding.
"Jangan putus asa begitu dong, Cotton. Tidak mungkin aku sembarangan menghampirinya, kan? Aku tidak sebodoh itu. Walau memang kadang-kadang tidak masuk akal. Ah, karena kamu menunjukkan sosoknya padaku, aku jadi ingin melakukan sesuatu." Jawab Mia sekenanya.
"Mia, jangan mulai lagi." Kata Dietrich tiba-tiba.
"Aku kan tidak mungkin berhadapan langsung dengannya, setidaknya boleh dong aku memberi salam secara tidak langsung. Yup, hanya sebuah salam kecil." Dia menatap Dietrich, dengan wajah tanpa dosa. "Aku serahkan padamu ya, Dietrich." Senyum mulai merekah.
Berlawanan dengan perkataannya, Dietrich memang sangat memahami Mia. Dia memisahkan diri dari Mia dan berjalan ke arah jalan dimana Oneiros berada.
"Looney Tunes?"
"Benar, Looney Tunes."
Lalu Dietrich pergi meninggalkan mereka dan menghilang. Sedangkan Cotton bingung dengan sikap kedua orang ini. Cotton tidak tahu apa yang disebut Looney Tunes. Baru kali ini dia mendengar kata-kata itu.
"Dari sini dia tidak bisa melihat kita kan? Bagus. Amati saja Oneiros itu, Cotton." Kata Mia menunjuk Oneiros di seberang jalan.
Seperti keluar dari lelucon klasik di sebuah kartun klasik, Oneiros terkena jebakan murahan. Entah apa yang dilakukan Dietrich, ada seorang pria yang kelihatan tidak bersalah membawa oli, tersandung sesuatu dan menumpahkannya pada Oneiros. Sosok Oneiros memang tidak terlihat oleh manusia biasa, namun wujudnya masih berupa materi. Intinya masih bisa dipegang. Karena itu jika dia terciprat sesuatu, tubuhnya juga tetap akan terkena. Oneiros masih berusaha tenang walau dia terlihat kesal. Tidak lama kemudian, datang seorang gadis yang membawa bulu-bulu, sepertinya bulu ayam. Entah untuk apa bulu ayam itu. Bulu ayam di tangan seorang gadis saja sudah cukup aneh. Seperti sebelumnya, gadis itu tersandung dan menumpahkan bulu-bulu ke atas tubuh Oneiros yang berlumuran oli. Penampilannya menjadi sungguh tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Semua yang terjadi terasa garing dan tidak masuk akal. Tetapi bagi Mia, hal yang tidak masuk akal seperti itu sangat menyegarkan. Memberi kesan baru di antara dunia yang abu-abu untuknya. Secara tidak sadar, Mia selalu iseng dan sinis karena dia tidak suka merasa bosan. Jika kebaikan bisa membunuh, maka rasa bosan juga mampu. Kira-kira seperti itulah.
Sesaat kemudian, Dietrich muncul menemui Mia.
"Itu... ulahmu? Ulah kalian kan?"
"Aah aku sedang kangen dengan kartun klasik yang itu. Sayang kartun jaman sekarang tidak ada yang menarik."
Cotton melongo mendengar ucapan Mia. Mia tidak terlihat takut atau khawatir. Ekspresinya santai seperti biasanya.
"Bagaimana kamu melakukannya?"
"Tanya saja Dietrich."
"Sebenarnya sangat sederhana, saya hanya meminta orang-orang itu membawa barang dan kemudian saya membuat mereka terjatuh dengan ini." Dia memperlihatkan beberapa kerikil kecil.
"Kenapa mereka mau-mau saja membawa benda tidak masuk akal seperti itu?"
"Karena dia setan, Cotton. Demon of lust. Mempengaruhi dan menipu manusia sudah tugas setan dari dulu. Duh!"
"Maksudnya?"
"Ya jelas di rayu lah!"
"Yang satu itu laki-laki kan?!"
"Tergoda dengan sesama jenis kan tidak mustahil."
Cotton lagi-lagi tidak bisa mengatakan apa-apa. Sepertinya dia selalu tidak bisa menduga kelakuan orang-orang yang ada di hadapannya ini.
"Kalian beruntung, Oneiros tidak menyadari keberadaan kalian. Coba kalau dia tahu, hal buruk akan terjadi." Cotton merasa takut. Dia takut dilenyapkan dan menghilang begitu saja.
"Justru karena itu, kita harus pergi dari sini sesegera mungkin!"
Mia langsung menggendong Cotton. Dan sebaliknya, dia digendong oleh Dietrich dengan princess style. Terlepas itu seharusnya membuat seorang gadis gugup atau tidak, Mia terlihat sangat nyaman dengan itu.
"Setelah ini, kita akan bertemu dengan nona Manitou itu."
++++
Kelompok Mia menunggu Asibikaashi di sebuah tanah kosong di pinggiran kota. Walau keadaan kota sangat kacau, pohon-pohon di tempat itu rimbun, membentuk hutan kecil. Tidak berkaitan dengan para manusia yang mulai kehilangan diri mereka sendiri.
Langit di atas mereka berwarna biru cemerlang, dengan awan-awan yang membentuk sisik ikan mackerel. Berbeda dengan biasanya, yang selalu memegang konsol game, Mia hanya duduk dan memandang awan di atasnya.
"Mackerel sky, mackerel sky. Never long wet and never long dry."
"Hm, kamu sedang berbicara apa?" tanya Dietrich.
"Aku hanya teringat sajak yang kubaca dari suatu tempat."
"Sepertinya tidak akan cerah dalam waktu lama."
Mia hanya mengangguk pelan mendengar perkataan Dietrich.
Dietrich tiba-tiba langsung merasa waspada.
"Mia, mereka disini."
"Jaringanmu sungguh luar biasa ya. Okaay, mari kita selesaikan sekarang." Kata Mia menanggapi Dietrich.
Dari balik pepohonan, muncul sosok seorang gadis. Atau wanita? Sosok itu cantik dan alami, seperti seorang gadis pendeta yang berasal dari suatu suku yang sangat dekat alam, bertugas menghubungkan umat manusia dan alam. Tenang dan menenangkan, perasaan yang selalu ada jika melihat alam yang indah. Kesan itu diperkuat kulitnya yang kecokelatan dan rambut hitam. Menjadikan sosoknya sangat menyatu dengan alam dan pohon yang ada dibaliknya. Tetapi mata cokelatnya tajam dan bisa melihat apapun di balik setiap manusia. Keseluruhan aura yang dipancarkan gadis itu sangat berbeda dengan Mia. Kulit Mia putih pucat dan rambut pirang platinanya tertiup pelan. Sama-sama cantik tapi bertolak belakang. Jika diibaratkan gadis itu adalah perwujudan dari keindahan alam, maka Mia adalah sosok yang memberontak alam dan menjadikannya kecantikan yang tidak semestinya ada.
Di samping gadis itu ada seekor serigala putih. Juga sosok tinggi besar yang menekan siapapun yang melihat. Ya untuk orang biasa sih.
"Selamat datang ke dunia ini. Maaf jika ada hal yang tidak berkenan, Asibikaashi." Kata Mia menyambut mereka dengan kesopanan yang memuakkan. Dia menunduk sedikit dan bersikap seakan-akan memegang rok di kedua tangan. Mirip dengan gadis bangsawan di pesta-pesta.
"Ternyata kau sudah tahu siapa aku. Berarti kau adalah Mia?"
"Benar sekali, aku diberitahu oleh seekor domba yang manis."
Cotton bersembunyi di balik pepohonan. Tidak perlu jadi jenius untuk tahu kalau tetap berdekatan dengan mereka, jiwanya bisa terancam. Dari sekeliling Asibi, tidak terlihat juga seekor domba. Mungkin Asibi berpikiran sama dengannya, domba itu bersembunyi agar bisa selamat.
"Tidak perlu banyak bicara. Aku harus menghentikan wabah ini segera. Jika kau menghalanginya, kau harus mati disini."
"Kebetulan itu yang sedang kuinginkan. Eh tapi tunggu dulu. Pria besar mengerikan disampingmu itu Wendigo kan?" tanya Mia.
Wendigo tidak menyangka ada yang tahu siapa dia. Dia mulai merasa bergairah dan ingin membunuh manusia yang ada di depannya. Jarang-jarang dia bisa membunuh makhluk cantik seperti itu. Asibi sadar hasrat yang keluar dari Wendigo. Dia meliriknya dengan tajam untuk membuatnya diam. Tapi gagal.
"Aku berubah pikiran Asibi. Sebelum membunuhmu, aku ingin membunuh gadis pirang itu."
"Diam kau, Wendigo. Jangan bertindak seenaknya!" hardik Asibi.
"Ini bukan pertama kali ada yang ingin membunuhku. Hanya saja terasa lucu jika sekarang ada lagi. Dan ternyata Wendigo yang asli seperti ini. Memang sama sekali tidak menyenangkan, mirip seperti boss-yang-jadi-normal monster di game yang itu. Menyebalkan dan sebenarnya tidak kuat-kuat amat." Mia mengangkat satu alisnya, mencemooh Wendigo.
Wendigo tersulut emosi dan menyerang Mia dengan kecepatan luar biasanya, akan menebas gadis itu. Namun...
"Nah Dietrich, sekarang!"
Langsung ditangkap oleh Dietrich. Tangan Wendigo nyaris mengenai Mia, berusaha mencekiknya. Walau pun Dietrich terlihat biasa, dia tetaplah setan. Kecepatan oleh seorang familiar bukan hal yang luar biasa baginya.
"Baik. Saya yang memulai terlebih dahulu."
Seketika Dietrich menyerang familiar Asibi. Dengan pillar-pillar api yang muncul dari bawah tanah, Asibi dan familiarnya dikejutkan oleh tindakan Dietrich dan langsung terpisah. Api yang datang bertubi-tubi, secara sukses membuat jarak Asibi dan familiarnya semakin jauh. Sehingga hanya tersisa Mia dan Asibi yang tidak dipisahkan oleh pillar api.
"Untung saja Wendigo hanya bermodal kekuatan fisik. Kalau dia bisa mengeluarkan es, kamu bisa dalam masalah Dietrich."
"Tidak sopan. Meskipun saya benci air akan tetapi es bukanlah air. Saya hanya perlu membuatnya tidak tersisa menjadi uap." Kata Dietrich sambil menyerang familiar Asibi. Mia masih tetap berpikir itu hanya akal-akalan tidak berguna Dietrich saja.
"Kuserahkan padamu Dietrich. Urus mereka semaumu."
"Ah tetapi tentu saja." Kata Dietrich menjauh, dengan sebelumnya mengelus kepala Mia. Mia terkejut tapi tidak menghentikan senyumnya.
Serigala putih Asibi terlihat panik karena dia ikut terpisah dari Asibi bersama Wendigo. Karena api milik Dietrich, dia bahkan tidak bisa mendekati Asibi. Hal yang aneh mengingat seharusnya dia bisa menembus materi fisik. Sepertinya api itu bisa menghanguskan spirit juga.
"Nah kawan. Mari kita jangan menganggu kepentingan para gadis." Dengan api yang tetap menyambar segalanya, Senyum Dietrich semakin menawan.
Di pihak Mia dan Asibi, mereka hanya berdiri, belum melakukan apa-apa.
"Jadi kau... sengaja membuatku terkejut dan menyerang?"
"Ah, surprise factor harus digunakan sebaik mungkin bukan? Terlebih pula, aku lebih suka menyerang langsung dan membuat lawan terlambat untuk bertindak."
Asibi hanya terdiam mendengar Mia. Memang itu tidak salah. Tapi dia salah besar jika menganggap Asibi tidak bisa melawan.
"Kau... kenapa kau tidak segera menghentikan wabah ini?"
"Dan membuat salah satu dari kita mati secepat itu? Tidak, kurasa itu bukan ide bagus."
"Kau lebih mementingkan nyawamu dari orang lain?"
"Itu kan hal yang biasa. Tetapi, sayang, itu tidak membuatku tertarik." Mia melihat Asibi yang semakin tidak senang. "Hah... ini merepotkan jadi kukatakan dengan sesingkatnya. Aku hanya tidak berbuat apa-apa agar kamu datang kesini. Kamu orang baik, jadi aku pikir kamu akan merasa gelisah dan tidak tahan dengan wabah kegilaan yang menyebar ini."
"Jadi kau dengan sengaja membiarkan orang-orang tidak bersalah itu mati? Kau... monster."
"Ah orang-orang sudah dari dulu memanggilku seperti. Bukan hal yang luar biasa. Dan walau pun aku menyelamatkan mereka, suatu saat akan mati juga. Apa gunanya."
"Kau..." Asibi tidak mampu meneruskan kata-katanya. Dia tidak mengerti kenapa manusia di depannya sangat terputus dari dunia ini. Tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Memang sesekali dia melihat manusia semacam ini. Dia hanya tidak menyangka pikiran seperti itu datang dari gadis muda.
Mia memperhatikan Asibi dan mulai melakukan aksinya. Yang setelah ini akan mengakhiri semuanya.
"Sebenarnya aku tidak suka kekerasan. Dilihat dari reaksimu, sepertinya itu tidak mungkin. Jadi sekarang kamu yang hilang ya?" kata Mia sambil melempar granat ke arah Asibi. Granat itu adalah benda yang diberikan oleh Julian beberapa waktu lalu. Menarik pelatuk dan melemparnya adalah hal yang cukup mudah dilakukan oleh orang yang tidak bisa olahraga, begitu kata Julian. Yah untung saja benda ini masih bisa digunakan.
Asibi dengan mudah menangkisnya, menjatuhkannya di sisi yang tidak jauh dari mereka berdua. Dia adalah makhluk yang tidak suka kekerasan sehingga sebisa mungkin tidak melukai seseorang. Dengan keadaan seperti ini, mau tidak mau dia harus menghentikan Mia agar dunianya selamat.
Granat itu meledak. Mia terhempas, terlempar jauh ke atas tanah. Wajahnya merintih kesakitan karena luka-luka serpihan granat di sekujur tubuhnya. Sedangkan Asibi mampu menghindar cukup cepat sehingga dia tidak terluka parah. Asibi pun langsung memegang tangan Mia, membuatnya patah. Selain itu, dia juga memukul perut Mia. Darah mengucur dari mulutnya. Dia juga terbatuk-batuk mengeluarkan darah. Hanya, wajahnya tidak memperlihatkan keputusasaan. Hanya ketenangan untuk menerima apa saja yang menimpa dirinya.
Asabikashii menerjang Mia, membuatnya tergeletak di atas tanah dan tidak bisa bergerak. Asibi lalu menatap wajah Mia. Wajah mereka menjadi sangat dekat, jarak yang sama ketika sepasang kekasih akan berciuman.
"Dimana mulut besarmu sekarang?"
Mia tersenyum dengan sangat indah. Dia mengelus pipi Asibi dengan lembut dan berbisik lirih di telinga, benar-benar memberi kesan sepasang kekasih akan bercumbu.
"Selamat… tinggal."
Asibi awalnya tidak mengerti kata-kata Mia. Tapi lalu dia melihat tangan Mia yang bebas. Tangan satunya memegang kalung yang ada di lehernya dan menariknya hingga putus. Terjadilah hal itu, saat dimana kekuatan terkutuk menghisap segala energi kehidupan di sekitarnya. Leben Afluss. Dari tubuh Mia muncullah bayangan berbentuk sulur mawar dan mencengkeram Asibi. Asibi berusaha menghindar dengan menjauhi Mia secepat mungkin. Namun itu percuma. Sulur mawar itu menangkapnya lebih cepat dan lebih pasti. Seketika tubuh asabi tertutup sulur mawar.
"K-kau! Tetapi kenapa?! Apa tujuanmu....!"
Dengan susah payah Mia mengangkat sebagian tubuhnya. Dengan senyum selembut dan setenang permukaan air di danau yang sunyi tersungging di wajahnya, Mia menatap Asibi. Seketika kemudian Asibi lenyap. Hanya meninggalkan bayangan keputus-asaan.
Tidak lama berselang, efek samping dari kekuatan Mia muncul. Darah yang keluar dari batuknya semakin banyak. Rasa sakit yang dideritanya semakin kuat sehingga dia tidak bisa tersenyum atau berbicara. Saking sakitnya, dia pun tidak bisa menjerit.
Tiba-tiba, sebuah portal muncul darsi tempat tidak jauh darinya. Memunculkan sosok yang pernah dilihatnya di museum itu. Ya, sosok itu adalah Zainurma.
"Selamat! Kau berhasil mengalahkan Asibikaashi, sang perwujudan alam. Walau sebenarnya nanti dia akan muncul 100 tahun lagi dan kau akan mati, tetap saja selamat! Apakah kau tetap bisa bertahan untuk selanjutnya itu akan diputuskan setelah ini. Jadi karena itu, kau tidak boleh mati dulu." Zainurma menjentikkan jari dan waktu di tempat itu pun terhenti. Membuat proses efek dari Leben Afluss berhenti.
Mia hanya memandangnya. Rasa sakit masih tetap dirasakannya tapi sekarang tidak seburuk daripada sebelumnya.
"Tidak kusangka kau akan menarik kalung. Hei beritahu aku, kenapa kau melakukannya jika tahu kau akan mati setelahnya. Aku tidak mengerti."
"K-karena aku...tahu… kamu pasti datang."
Mia mengucapkan kata-kata itu sambil menahan sakit. Melihat ekspresi itu, Zainurma diam sejenak mencerna perkataan Mia. Lalu seakan disambar petir, sebuah pencerahan datang padanya. Hal itu adalah hal yang tidak pernah disadarinya sebelum ini.
"Apa maksudmu... kau sengaja memanfaatkanku untuk membuatmu tetap hidup walau kutukanmu lepas kendali! Apa itu benar?!"
Mia tersenyum sinis, dan tertawa terbahak-bahak diantara batuk dan rintihan. Walau bajunya basah karena darah dan rambut emasnya bercampur dengan warna merah darah, dia tidak memperdulikannya.
"Hahaha...!! Tentu saja... tidak. Kamu pikir aku... Tuhan yang bisa membaca masa depan...? Tidak, itu tidak mungkin..."
Dia melanjutkan.
"Ini hanya pertaruhan... Dengan menarik kalung ini… aku bisa mengalahkan Asibi... walau juga mendatangkan kematian pada... diriku sendiri. Jika aku menang... kau akan datang menghentikan kutukan ini... mengumumkan siapa pemenangnya. Jika aku salah... ini hanya berarti aku memilih sendiri bagaimana aku mati... kebebasan yang jarang dimiliki oleh orang lain kan? Daripada susah payah membunuh orang lain dan pada akhirnya hanya menunggu keputusan dari kalian... lalu kemudian berakhir sebagai seonggok tanah… lebih baik aku menentukan sendiri kematianku..." Dia berhenti sejenak, mengumpulkan tenaga yang tersisa sedikit. "Itu bukan ide yang buruk... Aku tidak pernah memilih untuk dilahirkan dan hidup. Setidaknya aku bisa memilih bagaimana aku mati. Itu adalah pilihanku sendiri, walaupun hanya fantasma..."
Wajah itu, tawa itu, ekspresi itu datang dari orang yang sudah tidak peduli dengan kehidupan. Dia lebih memilih mati dengan caranya sendiri daripada hidup sesuai dengan aturan orang lain. Apalagi mati karena diputuskan oleh orang lain. Mia tidak akan bisa menerima hal itu. Harga dirinya tidak akan membiarkan akhir hidupnya ditentukan oleh orang selain dirinya. Tidak akan.
Zainurma tidak mampu berkata apa-apa. Seperti yang dikatakan gadis yang ada dihadapannya, jika dia terus bertahan dan melaju ke pertarungan sebelumnya, berarti kekuasaan dan kekuatan Zainurma pada dunia para reverier telah dimanfaatkan olehnya. Sebaliknya, jika gadis ini ditetapkan untuk berakhir disini dan mati, dia sendiri yang telah membuat keputusan, bukan oleh orang lain. Suatu kebebasan memilih yang jarang dipikirkan orang lain. Dan dengan itu, berarti dia mampu melawan, membelot dari kehendak yang akan ditetapkan kepadanya. Mungkin ini bukan cara yang orisinil, tapi tidak bisa dipungkiri ini adalah cara yang gila. Memang benar, walau dia melawan dan menyerang Zainurma dan Mariabel, Mia tidak akan bisa menang. Mia sadar betul hal itu. Karena itu dia melakukan hal ini, sebuah cara yang frustasi. Tidak pernah disangka Zainurma, gadis pemalas dan tidak punya motivasi ini memiliki harga diri yang begitu tinggi. Yang tidak akan rela hidup atau matinya ditentukan oleh orang lain, atau oleh kekuatan yang berada diatasnya.
Hanya saja itu berlebihan, bisa saja Zainurma menghidupkan sementara Mia dan lalu mengubahnya menjadi onggokan tanah. Kalau itu terjadi, apa yang dilakukan Mia akan sia-sia. Mungkin sebenarnya Mia sadar akan hal itu dan dia tetap memilih cara ini. Demi kebebasan yang dipegang teguh olehnya.
Setelah mengatakan semuanya, Mia terdiam. Dia belum mati, hanya pingsan. Ada sedikit napas yang keluar dari mulutnya yang tersengal-sengal. Walau bukan berarti jiwanya tidak terancam. Zainurma memutuskan untuk tetap menghentikan waktu sehingga Mia tetap berada dalam keadaan sekarat, belum mati seutuhnya. Zainurma tidak suka hal ini tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Sang Kehendak belum memutuskan nasib Mia selanjutnya.
Lalu dari kejauhan, ada suara langkah kaki yang menuju ke arah Mia. Langkah itu datang dari Dietrich. Dilihat dari keadaannya, Dietrich berhasil mengalah familiar Asibi dengan cukup mudah. Wajahnya tetap seperti biasanya, tenang dengan senyum tersungging. Bajunya tidak terlihat robek atau rusak. Kemeja putih dan celana hitam itu tetap dalam keadaan normal. Dia berjongkok di dekat tubuh Mia, melihat lalu mengusap darah dari bibirnya. Dia melakukannya dengan sebegitu rupa sehingga darah yang keluar dari mulut Mia, membasahi bibir mungil Mia, seakan dia baru saja memakai lipstik berwarna merah. Zainurma tidak percaya dengan apa yang baru terjadi ketika melihat kelakuan Dietrich. Mau tidak mau dia merasa tindakan Dietrich itu mengerikan. Dan menjijikan.
"Dengan seperti ini, terlihat jauh lebih baik." Kata Dietrich
Akan tetapi Zainurma harus mengakui, bibir merah itu membuat Mia jauh lebih cantik. Seperti boneka porselen barat yang terbaring di atas permadani merah. Hanya saja saat ini, permadani itu adalah genangan darah.
"Kau... punya hobi yang buruk sekali kawan. Bukankah dia mastermu?"
"Dia sudah pernah bilang sebelumnya," jawabnya sambil tetap memandang Mia, "aku bukan pelayan, hanya sebagai orang yang menumpang tinggal bersama. Itu tidak salah, karena selama ini tugas saya hanya berada di sampingnya. Yah, untuk urusan pekerjaan rumah tangga dan sebagainya itu, saya hanya tidak punya hal lain yang dilakukan."
Dietrich membelai pipi Mia dengan lembut, menghapus sisa darah yang menempel.
"Walau sebenarnya, selama ini cukup menarik berada disampingnya. Saya tidak merasa bosan."
Masih ada hal yang ingin ditanyakan Zainurma, seperti kenapa dia bisa bergerak padahal waktu sedang berhenti. Tetapi Zainurma memutuskan untuk tidak bertanya. Toh tugasnya sudah selesai.
Accept the wind, oh, the wavering crimson spirit
The warmth stays inside my heart1
(ending)
(intermission)
Someone muttered that it's a 'hollowness or falsehood'
The maddening clouds, covering the miasma of torn limbs2
"Bahkan jika aku menang kali ini, aku mungkin tetap akan menghilang." Kata Mia tiba-tiba.
Dietrich hanya memandangnya dalam keheningan. Itu adalah saat ketika Mia baru kembali dari dunia lain itu. Luka-lukanya dari melawan teroris sudah sembuh hampir secara keseluruhan. Di luar, bulan sabit berpendar pelan di antara awan abu-abu di langit yang hitam. Dietrich hanya membiarkan Mia terus berbicara.
"Di tempat yang disebut Museum Semesta itu, dikumpulkanlah berbagai makhluk dan dipilih sebagai pemimpi, atau reverier. Namun orang yang dianggap 'gagal' akan dilenyapkan dan berubah menjadi patung tanah, yang jika dijatuhkan akan hancur begitu saja. Berikut dunia ini."
"Seharusnya aku takut, marah, atau sedih. Tapi aku hanya diam dan berpikir 'ah hanya sampai disinikah aku.' Bahkan aku tidak peduli dengan orang-orang yang ada di dunia ini, termasuk Julian. Perasaan ini... perasaan kosong ini sudah terlalu mengakar padaku."
"Lalu aku mulai mempertanyakan diriku sendiri, apakah aku manusia atau hanya sedang berpura-pura menjadi manusia? Karena hal apakah sehingga seseorang bisa dianggap sebagai manusia?"
Mia tidak punya tujuan yang berarti sangat untuknya, sampai dia rela mempertaruhkan nyawa. Dia selama ini sendiri, tidak punya tempat di dunia, dan hanya diam di rumah besarnya yang kosong.
Untuk pertama kalinya, Mia menunjukkan wajah yang murung. Tidak seperti ekspresi biasanya, yang seenaknya atau sinis. Wajah itu kosong dan tanpa ekspresi. Ketika sedang seperti itu, Mia tidak bisa dibedakan dengan boneka yang hanya menunggu di etalase toko.
Dietrich mulai berbicara.
"Saya tidak mengerti itu karena saya adalah setan. Ingat? Akan tetapi saya sudah terlalu lama berada di antara manusia sehingga saya mengenali berbagai perasaan dan emosi dari manusia. Mia, perasaan kosong yang ada padamu itu bukan hal yang buruk. Saya telah melihat hal yang sama dari berbagai manusia. Itu hanya berarti kau mampu berpikir dan mungkin setelah itu kau bisa menjadi lebih manusiawi dari orang lain. Manusia adalah makhluk yang terus berpikir dan mempertanyakan sesuatu. Seperti Eve yang memakan buah terlarang karena rasa ingin tahu."
"Ah bukannya karena kamu yang menggodanya?"
"Bukan, bukan saya. Itu hanya perbuatan kenalan saya." Dietrich tersenyum jahil. "Lagipula, manusia penuh keterbatasan. Selalu ada halangan yang membatasi. Akan tetapi, menjadi suatu hal yang patut dan menarik ketika mereka berhasil dalam mewujudkan impiannya, sefana apapun. Dengan kata lain, lakukan apa yang bisa dilakukan dengan sepenuh hati."
"Omonganmu kok seperti motivator murahan."
"Ah maksud saya, lakukan saja apa yang ingin kau lakukan. Sesalah apapun, itu pilihanmu sendiri bukan? Walau itu mungkin saja karena pengaruh setan seperti saya." Dietrich tertawa kecil. Dia melihat gadis mungil yang ada dihadapannya. Aah sama seperti dirinya, gadis ini hanya menghabiskan waktu sebelum akhir dari semuanya datang. Gadis yang tidak punya ambisi ini hanya tidak ingin sendirian. Dia sampai rela membuka gerbang neraka dan membuat dunia dimana dia tinggal menjadi kacau. Dunia untuk gadis yang tidak dapat merasakan kehidupan normal. Dietrich merasakan keinginan tiba-tiba untuk mengelus kepala gadis ini.
Mia tersenyum tipis. Kata-kata Dietrich memberinya sedikit ketenangan. Dia merasa terlepas dari pikiran yang membelenggunya. Dia pun berdiri dan merenggangkan tubuhnya.
"Bukan hal yang buruk ya. Hmmm... seperti itu ya."
"Tumben kau berkata seperti ini."
"Hanya sedikit merasa kesepian." Lanjut Mia, "Nah Dietrich, masih ada sisa chocolate fondue tidak?"
"Tentu saja masih."
[1]Dari lagu Solenoid oleh Haruka Shimotsuki (translirik: http://shiranehito.blog.fc2.com/blog-entry-226.html/)
2Dari lagu Hisui no Miwa (Jade Wings) oleh Suzuyu (translirik: http://shiranehito.blog.fc2.com/blog-entry-225.html)
Author's note: now back to Sen no Kiseki 2. Come back 'ere Crow, u pseudo-terorrist sucker!
Uuh, saya sebenernya ga pengen komentar teknis penulisan di ronde ini, tapi gaya cerita tell digabung wall of text itu beneran ngeganggu kenyamanan baca. Kalau paragraf dempetnya saya masih maklum karena itu masalah konversi word ke blog kalo ga pake double space. Contohnya di sini :
BalasHapus"Seketika Cotton sadar akan sesuatu. Seharusnya wabah yang menyebar ini membuat orang jadi gila dan hilang akal. Seharusnya, ini benar-benar seharusnya, hanya Cotton-lah yang kebal dengan wabah itu. Akan tetapi dia tidak melihat sesuatu yang berubah dari Mia dan Dietrich. Mia tetap seenaknya dan Dietrich tetap tenang, senyum selalu disunggingnya. Bahkan Dietrich bisa mengatakan hal yang masuk akal. Tiba-tiba tersirat ide yang sekelebat muncul. Mungkinkah, mungkinkah mereka dari awal sudah kehilangan kewarasan sehingga wabah ini muncul pun mereka tidak terpengaruh secara drastis. Jika ada kegilaan yang membuat orang berhalusinasi dan melakukan hal yang tidak dapat dibayangkan oleh orang yang waras, berarti bisa saja ada kegilaan yang membuat orang menjadi tenang walau tetap akan melakukan hal yang mengerikan. Lalu dia teringat ketika Mia dan Dietrich tetap kalem saat melihat berita di media massa, ketika kehancuran terjadi dimana-mana. Orang mati dimana-mana. Pembunuhan keji dimana-mana. Batas antara kewarasan dan kegilaan menjadi kabur. Orang-orang saling membunuh, tidak peduli ada hubungan darah atau tidak. Jika seseorang menjadi takut atau sedih saat melihat kehancuran adalah hal yang biasa, maka hal yang terjadi kebalikannya bisa dianggap sebagai sebuah kegilaan. Cotton mendadak takut dengan pikirannya sendiri. Dia takut jika kedua orang itu benar-benar menjadi tidak waras. Lalu juga ada Oneiros yang berkeliaran."
^ngeliatnya aja udah bikin saya pengen langsung skip karena udah tau intinya apa
Untungnya ini cuma beberapa dan ngeganggu keseluruhan cerita. Sikap cuek Mia ke segalanya juga ga gitu ngebosenin karena ada Cotton yang selalu panik dan jadi straight-man, bertiga sama Dietrich mereka cocok jadi 2 boke 1 tsukkomi
Dan Mia nambah daftar 'pihak lawan di sisi justice' dari entri yang saya baca, yang mana kebanyakan lawannya justru pada WO kayak entri Odin sama Nora
Soal battlenya, tadinya saya malah lebih penasaran sama Dietrich, tapi porsi dia malah dipotong offscreen sementara Mia menang dengan satu jurus pakai taruhan nyawa. Tapi obrolan di akhir itu lumayan menarik, kalau emang Mia bakal dapet semacem character development yang bikin dia ga sekosong karakternya selama ini - karena sejauh yang saya inget karakter Mia sendiri belum nawarin sesuatu yang greget
Entri pemenang tunggal lagi :'0
BalasHapusTapi saya tetap komentar dongs ;)
Development Mia lumayan kerasa, tapi kayaknya kecuri momennya sama Dietrich, dan Cotton.
Tapi ternyata itu di paruh awal aja.
Pas udah menjelang akhir. Mia mendadak jadi keren mampus! Penggambaran Asibi dkk juga cukup menghayati. Pas banget lah.
Entri yang solid. Cukup drastis juga buat sebuah turning point. Sayangnya masih banyak misteri Mia yang harus diungkap. Saya kepo banget www
Kalau ada kekurangan atau keluhan mengenai entri ini, paling formattingnya aja. Spasi antar paragraf perlu dipertimbangkan juga. Mata saya capek DX
Segitu aja kayaknya. Gudlak ya
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
thanks bwt komen nya
BalasHapustak q sangka masih bisa bertahan hue
masalah teknis, jujur yg kemarin dikomen banyak space kosong jadi yg skrg q bkin padat. tapi malah kepadatan. ouch kudu nyari yg pas..
kalo nanti ada kesempatan, masa lalu Mia mending q papar semua deh.