oleh : Ahran Efendi
--
[Perhatian: berkaitan erat dengan preliminer,
dan terutama ronde satu.]
—
“Jangan dengarkan kilasan-kilasan itu,
dan tetaplah percaya kepadaku. Kamu insan baik. Begitu luhur budi, sehingga
kamu tidak pernah membalas kejahatan orang-orang yang berlaku zalim kepadamu.
Tetaplah demikian selamanya.”
- 0 -
Sepanjang
usianya, Orim Kohan seorang pengasih dan penyabar. Atau sekurang-kurangnya sang
Okultis akan berusaha untuk menampakkan kesan demikian. Ketenangan sudah
merupakan bagian dari identitasnya. Riak emosi takkan dibiarkannya bergolak.
Tapi untuk kali ini, ketentuan tersebut tidak ditegakkannya.
Itu
terlalu berharga bagi musuh. Orim bahkan tak perlu repot-repot mengunci mati
penglihatan, sebagaimana biasa. Iris birunya menguarkan rasa jejap, pada sosok
di hadapan.
Orang yang
belum lama ingin membunuh Orim terikat di kursi. Kedua tangan berikut kakinya
terbebat jerat magi. Api di atas ruangan mempertegas kulit si pemuda ular, yang
sepasi kapas dan bersisik. Rambut perak panjangnya tergerai berantakan, masih
mempertahankan bercak di beberapa bagian.
Wajahnya
tidak mengesankan roman kemanusiawian; sayat dan gurat dalam bergelimpangan di
sana, sebelah matanya rusak, dan sudut mulutnya tak setangkup. Dari dalam bibir
pucat keriputnya, sesekali lidah kelam bercabang dua menyembul secepat kerjap.
Alih-alih setengah Helev, pemuda itu—Nadav—justru lebih menyerupai manifestasi
Yang Terbuang. Sebangsa Netzakh yang sempat berbagi raga dengan Orim.
Dengan
babak belur di sekujur badan, Nadav malah tertawa. Satu mata safirnya yang
tersisa menyorot penuh benci.
“Ssh, yang
seharusnya mengakui apa pun, adalah kau,” desisnya tajam. “Kau pun, ssh,
melenyapkan nyawa seseorang malam itu. Dengan iblis di dalam tubuhmu!”
Tak
mengikuti momen sebelumnya, dengan mengikutsertakan Netzakh, tongkat pemukul
Orim tak langsung menambah remuk si pemuda. Terutama setelah penyingkapan rupa
yang baru saja terjadi.
“Kamu,
kamu ini ... sebenarnya makhluk apa?” tanya Orim, dengan gentar yang
mencekam. Mengernyit menahan jijik dan seberkas iba.
Nadav
bergeming sebentar. cemooh di mukanya sirna, beralih kemurkaan. Dia mengawasi
sang Okultis lekat-lekat. “Ssh, kau yang paling tahu jawabannya.”
Orim tidak
bersuara. Matanya balas menatap lawan bicara. Itu terjadi cukup lama, sehingga
keheningan akhirnya ditaklukkan oleh gerimis samar dan derak api. “Aku merasa
kamu memiliki dendam pribadi padaku,” tutur Orim dengan lebih terkendali. “Ketahuilah
aku—“
“Ssh, kau
dan kaum laknatmu!” tukas Nadav. “Jangan berlagak suci!”
Manusia
jadi-jadian itu lantas terkikik pedih. Setengah sadar, Orim menjatuhkan kain
hitam berdarah dalam genggamannya.
“Tidak
salah bila kalian semua diburu sampai ke ujung dunia,” ujar sang Pemburu. “Ssh,
tak hanya keji, kalian pun menolak kenyataan bahwa kalian sendiri adalah
pendosa!”
“Apa—“
Salakan
Nadav berikutnya mengalahkan guntur yang tiba-tiba menggelegar di luar. “AKU
BEGINI KARENA KAUMMU, KEPARAT!”
Bara api
di ruangan itu membesar. Mempermainkan bayangan-bayangan yang ada. Orim
terpaku. Napasnya tertahan sementara Nadav dibiarkannya berkoar.
“Ssh, apa
perlu kupertegas dosa-dosa kaummu?” raung Nadav. “Kalian telah mengorbankan
kebahagiaanku pada Nama Terlarang!”
Semula,
reputasi keluarga Kohan tidaklah belaka “para pengendali iblis” yang diincar
sampai ke tiap pelosok untuk dieksekusi di tiang gantungan. Kenyataannya, sejak
awal mereka senantiasa membaur di tengah masyarakat, dan tak henti membantu
sesama.
Segalanya
berbalik semenjak dua ratus tahun silam.
Masa
pendudukan raja sebelum Natan Asher. Fanatik pengagung Dia yang Lain. Entah
dengan pengetahuan apa, Dayan berjiwa panas itu lekas memahami keberadaan sang
Mesiah dan bermaksud memburunya pula.
“Kamu
berdusta.” Orim yakin itu. Kendati kemampuannya memastikan kebenaran seolah
lesap di hadapan si manusia ular. “Tak satupun anggota keluargaku melakukan
sesuatu terhadapmu.”
Nadav
menyeringai. “Ssh, kau mungkin ... memang tidak mengenali bajingan sejenismu.
Karena aku sendiri yang pada akhirnya melenyapkan mereka, begitu ritual jahanam
itu gagal.”
Orim
terkesiap. “Jangan katakan kamu—“
“Ssh,
keluarga harmonis,” Nadav memprovokasi. “Jenaka sekali menyaksikan keputusasaan
di mata kumpulan congkak itu. Mereka berpikir malaikat mair takkan tiba
menghakimi mereka!”
“Yah,
memang sang Penjemput tidak datang,” dia melanjutkan, “ssh, karena akulah yang
menggantikannya. Kupenggal mereka.”
Sang Okultis
menggigil, oleh kengerian atas pernyataan yang barangkali sebuah fakta.
Di sisi
lain, Nadav tersenyum puas. “Ssh, tampaknya kau akan mengenali satu di antara
mereka: Levannah. Dan sungguh, ssh, anak perempuan itu sempat menyerukan sebuah
nama,” ungkapnya. “Namamu.”
Berita itu
menghunjam Orim bagai panah. Kalap, dia hadiahkan pada Nadav hantaman
bertubi-tubi. Makin lama kian kuat, semakin dibakar amarah, menggetarkan senja
yang khidmat di antara hujan rintik. Namun, jantung pemuda itu tetap berdetak.
Kepalanya
berkali-kali dibuat sasaran. Sialnya, dia tetap bertahan. Tanda dia terluka
hanyalah kucuran darah dan jejak lebam. Seringainya melebar, memperlihatkan
deret gigi runcing.
“Ssh, kau
mengakui—“
Orim tak
membiarkan. Tiada irama yang diizinkannya melantun kecuali rentetan kertak
tulang. Sambil membendung airmatanya, dia hajar habis-habisan rahang Nadav.
Bermaksud mendiamkan. Tak kunjung mendapat pemandangan yang diinginkan, Orim
berniat mengganti metode penyiksaan. Mencampakkan sekaligus adab dan budinya
yang mati-matian dia pertahankan sejak lama.
Keinginan
itu terpaksa ditunda. Gemuruh meletus di luar tembok. Serupa gunung yang
dihancurkan dari kejauhan. Tidak sekali semata, melainkan disusul rangkaian
yang lebih dahsyat. Disahut oleh jerit-pekik histeris dari himpun kekacauan.
1
Ha-Tov
- 1 -
Sekembalinya
ke Bingkai Mimpi, Ganzo Rashura masih muak dan terluka. Pandangannya kosong,
terarah ke langit-langit megah kuil Varsaria. Bukannya memperoleh ketenteraman,
potret naga dan orang-orang suci di sana seolah bernyawa sekelebat untuk
memperolok sang Nabi.
Semestinya
aku dapat menggagas perdamaian, katanya pada diri sendiri. Tuhan
mengutusku untuk tugas itu.
Tidak
banyak insan mengingat masa lalunya dengan jernih, tetapi sang Utusan Kelima
agama Varsakhtan itu lebih dari mampu. Seakan tahun-tahun yang dilaluinya ke
belakang merupakan hari kemarin.
Dahulu
dia putra seorang saudagar masyhur, dikaruniai akal tajam nan cemerlang
sewajarnya kaum terdidik. Usianya menginjak satu setengah dekade kala dia
pertama kali menyadari ketidakbenaran masyarakat sekelilingnya.
“Bagaimana
mungkin kalian menyembah sesuatu yang bisa dihancurkan?” tanya
Ganzo pada waktu itu.
Dengan
penuh kemantapan, sahabat karibnya mendebat, “Kamu salah, Ganzo. Kami
memahami benar bahwa kami hanya berdoa kepada Dewi Agung. Berhala ini sebagai
representasi semata.”
“Jika
benar demikian,” Ganzo menyanggah, terluka, “katakan
padaku, kenapa kalian turut mengkultuskan benda mati? Kenapa kalian
membatasi-Nya hanya pada batu-batu ini jika kalian sadari Dia ada di mana-mana?
Kalian sama saja memuja patung ini!”
Argumen
Ganzo tak terpatahkan. Celaka, bukannya mendorong kemajuan berpikir, doktrin
tetaplah mengakar. Rekan-rekannya malah terus menyangkal, malah mengantarkan
mereka makin giat sebagai pemuja benda mati.
Kejadian
itu menghantui hari-hari sang Nabi. Sampai suatu ketika sebuah wahyu terhantar
kepadanya. Memerintahkannya menuju Negeri Shim.
Perjalanan
tersebut merupakan titik awalnya sebagai Utusan Tuhan yang kelima. Mulai dari
situ, dia menjadi panutan bagi umat manusia. Sosok yang seharusnya memiliki
kebijaksanaan dan akal budi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan. Apalagi
dia telah membuktikan kelayakannya.
Hanya
saja belum terhitung satu bulan sejak peresmiannya sebagai junjungan agama
Varsakhtan, dia telah gagal menunaikan asas kewajibannya.
Putusannya
baru saja melapukkan keseimbangan sebuah bentala. Dan yang lebih gawat ...
cobaan itu masih menggerus iman. Perenungan demi perenungan yang dilakukannya
tiada makna, malah semakin membiakkan tanda tanya yang tak berani disalurkannya.
“Ganzo
Rashura.”
Sepintas
vokal bas bergema dari salah satu sudut kuil, membuyarkan lamunan Ganzo. Pria
itu menoleh, tercengang mendapati seorang lelaki berdiri di dekat pilar
bergalur corak ular legenda. Tiang-tiang marmer memantulkan rona keemasan dari
sekujur kulitnya. Dialah Shamonten, sang Nabi Penumpas.
“T-tuan
Shamonten.” Kikuk, Ganzo lekas-lekas menjura. “Aku tidak menyangka—“
“Tak
perlu takut begitu,” tegas Shamonten sambil menghampiri. “Aku mengakui
kebesaranmu sebagai utusan Tuhan, Anak Muda. Terlebih kau mengalahkanku dalam
duel yang adil.”
Dia
pun membungkukkan awaknya yang padat. Yang bayangannya saja menciutkan nyali
Ganzo.
Ganzo
menegakkan tubuh. Matanya berkedut sebelah. “Err, maafkan aku, kupikir Anda
sudah—“
“Tugasmu
sebagai Nabi Awal zaman tidak ringan, karena itulah aku dihadirkan kembali oleh
Tuhan untuk mendampingi perjalanan muliamu,” celoteh Shamonten. “Terutama
sekali, aku pun mengendus marabahaya mengintai bumi kita.”
“Ah,
itu memang benar.”
Menurut
pengumuman, babak kedua akan digelar tak lama lagi. Kurator necis itu berpesan,
taruhan untuk perlagaan ini adalah dunia masing-masing yang terlibat.
“Kekalahan berarti kemusnahan abadi,” tandasnya beberapa saat lalu, “dan tidak
ada yang bisa mencegahnya kecuali kemenanganmu.”
“Tapi,
kau tidak boleh mempergunakan kekerasan lagi, Tuan Shamonten. Dalam menyongsong
masalah, kita harus senantiasa berkepala dingin dan mengedepankan akal.
Sebagaimana ajaran dasar Varsakhtisav. Bila ada kesempatan berunding, itulah
yang mestinya ditempuh.”
“Berunding?”
Bahu penuh otot sang Nabi Keempat berguncang-guncang. “Tuhan memberitahukan
kepadaku, kau belum lama mempersembahkan pertunjukkan yang menarik. Ilham
perdamaianmu malah makin mengacaukan pihak yang tengah bertikai. Yah,
itu tidak salah bagi Tuhan, Bocah. Tapi karena itu pula Tuhan akhirnya
memperbolehkanku untuk berolahraga lagi!”
Tuhan
memperkenankan untuk bertarung.
Tanggapan
barusan tidak memperbaiki kegamangan Ganzo. Dengan gontai, dia meninggalkan
Shamonten yang berinisiatif meditasi.
Pria
itu menuruni lima lantai kuil Varsaria, bangunan yang dikononkan sebagai
jelmaan rahmat Tuhan yang paling luhur dan tak boleh dimasuki sembarangan. Satu
bukti pelanggaran itu, yakni kisah kumpulan pecundang yang berduyun-duyun
merapat ke rumah pemujaan ini untuk menjabat nabi Varsakhtan. Hasilnya jelas,
Tuhan memahami ketidaktulusan dalam relung jiwa mereka.
Orang-orang
malang itu tidak semata ditolak. Jasad mereka diubah menjadi ornamen pelataran
kuil, yang kini seolah-olah tengah meratap kepada Ganzo dalam perjalanannya ke
air terjun di belakang bangunan tersebut.
Ganzo
memosisikan dirinya dalam pertapaan. Air di sekitar batu memantulkan paras emas
berimbuh kilau.
“Wahai
Tuhan yang Maha Esa,” doanya dengan takzim, “Zainurma dan Huban membawa hamba
ke area yang disebut Bingkai Mimpi, milik seorang dewi yang perwujudannya
sebagaimana terlihat di masa lalu. Inilah dewi utama yang berhalanya dipuja
oleh rekan-rekan hamba.” Dia mengusap matanya yang berair.
Pepohonan
di sekitar lembah mendesir. Hawa dingin mencucuk tulang Ganzo.
Sekonyong-konyong, sebuah jawaban penuh murka berkumandang dari langit.
“Engkau
telah memirsa begitu banyak manifestasi keagungan Kami, wahai hamba. Amat
berlimpah keajaiban dan bentuk-bentuk kasih sayang Kami yang terhampar,
terutama kenabianmu sendiri. Mengapa engkau masih mendustakannya?”
“Maafkan
aku atas kelancangan ini, oh Tuhan.” Kelengangan juga terusik oleh tangisan
sang Nabi. “Tapi hamba memohon satu hal saja. Cerahkan pikiran hamba dari
segala sesuatu yang mengganjal.”
Dia
memegangi dadanya yang perih. Mati-matian dia angkat bicara, “Hamba tidak
menyangkal bahwa ... seonggok logam berhasil mengombang-ambing iman nabi-Mu
ini.” Pria itu menjeda. “Hamba pun melihat sendiri koleksi berhala yang dahulu
dipuja di tanah kelahiran hamba ternyata merupakan manifestasi entitas yang
nyata.”
Hanya
air terjun dan kicau burung, yang bersedia mengusir sepi.
“Dan
mereka, para dewa itu—,“ Ganzo terisak mengelap pelupuknya, “—sang Kehendak
mengubah mereka menjadi monumen kolosal. Dia juga dikabarkan sanggup menumpas
banyak dunia. Dan terbukti sang Kehendak memang melakukannya. Wahai
Tuhan yang Maha Pemurah, aku ingin tetap yakin kepada-Mu. Aku mau berpegang
teguh pada ajaran-Mu. Tetapi, aku hanyalah manusia yang tidak bisa menipu-Mu.”
Batin
ini goyah ....
Tuhan
berfirman, “Kami tidak mengutusmu melainkan untuk alasan ini, wahai hamba.
Tugasmu ialah menemukan jawaban atas segala teka-teki. Kelak, akhir kegelapan
zaman akan engkau temukan sendiri dengan membaca tanda-tanda yang Kami berikan.
Selaraskanlah akal dan nuranimu. Jangan menyerupai kaum bebal pendahulumu, yang
Kami binasakan sebab menyangkal kedigdayaan Yang Maha Benar.”
Walau
dahaga keingintahuan Ganzo belum reda, dia tak berani menuntut lebih. “Terima
kasih, Tuhan.”
Sebagai
ganti keinginan tak tercapai, sang Nabi roboh. Sesengukan ditelan kecemasan
yang menyiksa. Di sisi kuil Varsaria yang lain, domba miliknya melolong-lolong
dalam tambatan. Warna merah meriap mengotori aliran sungai yang bening.
- 2 -
Di ujung
timur ibukota Batya versi lain, Sheraga Asher tengah berdiri di atas tebing.
Menantang rintik yang kian mengganas dan embusan beku. Matanya nanar menerawang
kejauhan, pada hasil perluasan Bingkai Mimpinya, samudra muram dengan
bongkah-bongkah awan kelabu meramaikan angkasa.
Pemuda itu
tidak sendirian. Seekor domba betina merebah senyap di sisinya. Sama-sama hanyut
dalam renungan sebagaimana sang tuan.
Kalau
kuarungi lautan itu, apa aku akan terjaga?
Apabila
Sheraga mengingat-ingat lagi idealisme termuluknya—sesuatu yang sempat
disampaikannya kepada sosok-sosok penting di masa lalu—maka, sekarang adalah
momentum yang paling sesuai untuk mewujudkannya.
Bagaimana
tidak? Belum lama, Sheraga dan para pemimpi yang tersisa dikumpulkan di sebuah
selasar mahaluas. Pertama-tama sang Alkemis dihadapkan pada kenyataan bahwa,
bukanlah Zainurma yang sepenuhnya memerankan dalang di balik pagelaran amoral.
Penjelmaan
paksa di Museum Semesta tempo lampau maupun hilangnya lebih dari setengah
peserta ajang berdarah, merupakan ulah entitas bernama Kehendak. Yang wujudnya
berupa patung otak di Museum Semesta.
Sheraga
belum sempat menjumpai artefak tersebut untuk memastikan. Akan tetapi benak dan
akalnya segera berjabat tangan untuk percaya. Terutama tatkala para peserta
dipertunjukkan kesaksian Mahalath Bat-Agrath—Dewi Mirabelle: baik para pemimpi
dan dunia yang mereka emban, serta konservator galeri alam raya, berada dalam
kendali absolut kekuatan tak ternalar.
Selain
itu, babak kedua akan diselenggarakan dalam waktu dekat. Sang Alkemis Muda
hendak dipertarungkan dengan seorang pemimpi lain, dengan jaminan seluruh jagat
rayanya. Kalah bermakna eksistensi bangsa Helev, Dayan, dan segenap makhluk
berakal akan sirna.
Itu
berarti, kebengisan takkan eksis. Tiada lagi sebuah dunia dengan kebohongan,
pengkhianatan, dan kesedihan. Segala angkara murka berakhir mulai titik itu.
Sesuai
harapan Sheraga sejak awal.
Dan yang
paling membuatnya bersukacita adalah derajat sang Kehendak ternyata lebih
tinggi dibandingkan tuhannya bangsa Dayan.
Bukan saja
mengendalikan banyak semesta, keberadaan itu bahkan mampu mengutuk dewa-dewi
kepercayaan manusia ke dalam bentuk arca. Alih-alih turut gusar pada sang
Kehendak selayaknya yang diagendakan Zainurma, si pemuda justru berterimakasih.
Tidak
mungkin.
Walaupun
begitu, Sheraga malah memafhumi kesempatan mengubah sejarah yang ditawarkan
kepadanya tak lebih dari isapan jempol. Turnamen ini mimpi abstrak yang lain,
atau seseorang tengah mengerjainya dengan tekun.
Yang kedua
itu bukan mustahil. Musuh-musuhnya begitu banyak di luar sana. Masing-masing
berlomba ingin mengentaskannya. Bisa jadi, seorang sejenis Betshev Eliezer mengiriminya
jampi berbuah ilusi. Kalau Sheraga terbuai, akibatnya celaka.
Domba
hibah Huban mengembik sendu. Sheraga berjongkok, mengelus kepala hewan itu.
Sensasinya kelewat nyata untuk dicap sebagai halusinasi. “Kau masih marah?”
Ditukas
embikan. Sheraga mengerti kemauan si gumpalan serat—sesuai penjelasan Huban.
Selain itu, ujar penggembala domba tersebut, kelangsungan hidup biri-biri para
pemimpi merupakan keharusan. Eratnya ikatan dengan pemilik baru pun berbanding
lurus dengan peningkatan bakat domba nantinya.
“Baiklah,
kuberikan kau nama baru sebagai permintaan maaf.” Sheraga berpikir sejenak, dan
sebuah nama terlintas. “Aku selalu suka nama Chavah. Kautahu? Namanya berarti
‘kehidupan’. Sesuai harapanku untukmu.”
Si domba
bersuara lagi, tetapi juga sebagai alamat kehadiran seseorang.
“Salam,
Sheraga Asher.”
Aksen
asing bersama roman bicara angkuh tak tertawar-tawar. Tidak lain dan tiada
bukan milik sang Kurator Museum Semesta. Zainurma berdiri di dekat karang.
Bernaung di bawah payung.
“Kau
menunjukkan kemajuan,” lelaki berambut cepak itu memulai. “Semula, kau sungguh
tidak menarik perhatian para konservator ....” Ucapannya dibiarkan menggantung,
tertiup semilir angin darat.
Sheraga
mengernyit. “Kebetulan sekali kau datang,” dengusnya. Tanpa tedeng aling-aling
dia mencetuskan, “Sebaiknya kauakhiri—”
“Setelah kematian-kematian sadis persis di
bawah hidungmu, kau masih ragu atas apa yang menimpa dirimu, ‘kan?” Zainurma
melepas penutup matanya.
Tanpa
peringatan, dia berpindah jejak dan menempeleng Sheraga. Tatapannya tajam
menusuk. “Katakan padaku, apa itu muslihat? Kau terpilih, dan itulah yang
terjadi. Jangan menguji kesabaranku lagi dan lagi!”
“Jika
kalian berencana menumbangkan Kehendak,” gubris Sheraga sambil mengaduh.
Lengannya menyeka darah di ujung bibir. Menahan keinginan menggebuk balik.
“Kalian salah memilih sekutu.”
Zainurma
tergelak. “Sesuai katalog. Kau selalu dilanda kegelisahan. Dasar labil,”
ejeknya. “Kalau kau selemah yang kaupikirkan, kau takkan ada di sini. Apalagi
melewati dua babak!”
“Dan aku
kalah sekalipun,” Sheraga menghela napas, “dampaknya tidak buruk.”
Lawan
bicaranya tak sertamerta menimpali. Curahan air telah terhenti. Walau
sebaliknya, langit kian muram. Awan pekat berkumpul riang di atas Ibukota
Batya. Dalam diam, sang Kurator melipat payung hitamnya. Sesekali
mengentak-entakkan ujung lancipnya.
“Menggelikan.
Kau rupanya tidak sepintar kesan awal,” cibirnya. “Sekarang coba jawab: andai
kau tidak pernah eksis dalam kehidupan, menurutmu apa yang terjadi?”
Sunyi.
“Sudah
kuduga. Kau mungkin berpikir dengan logika yang terlalu sederhana. Kalau
seseorang tidak pernah ada, maka dia takkan merasakan kewajiban sebagai
‘makhluk’—begitu, ‘kan? Oh, sayangnya tidak sesimpel itu.”
“Apa
maksudmu?”
Kesahan
Zainurma meluncur tak terhalang. “Maksudku, seandainya kau memohon untuk tidak
pernah ada dan itu terkabul, kau tetap akan ada,” tukasnya. “Kau bakal hadir
sebagai kesadaran yang lainnya.”
Dia berjalan
mengelilingi Sheraga. Ujung payungnya mengetuk-ngetuk. “Ini seperti dusta dan
kenyataan. Dusta ada menutupi yang nyata. Dan kebenaran membungkus kepalsuan.
Segala hal berputar. Ketika sesuatu tidak hadir, akan ada pengganti peran yang
tiada. Singkat kata, kau tidak bisa menghindari ketetapan.”
“Itu
logika ngawur!” Sheraga menentang. Kedua alisnya nyaris bersua.
Tidak digubris. Zainurma meneruskan ocehannya,
“Kau mengharapkan semesta—beserta tuhanmu—binasa. Baik, Kehendak sanggup
mewujudkannya. Tapi pernahkah terlintas dalam benakmu, apa yang bisa diperbuat
monumen sialan itu?”
“Meninjau
perlakuannya terhadap kontestan ajang ini, bahkan kepada para dewata, aku yakin
ujungnya bukanlah hal yang bagus,” sang Kurator menyahut kesimpulannya.
“Sebagaimana
kukatakan mengenai eksistensi manusia. Jika kita tidak ada, maka kita yang lain
akan hadir. Demikian pula dengan duniamu. Akan ada bentuk kehidupan dan tuhan
baru yang sama parahnya menurut kriteriamu. Dialah sang Kehendak.”
“Kau
mengharapkan peserta ajang ini melawan entitas agung?” protes Sheraga. “Ini
perekrutan tim bunuh diri atau—”
“Yang
perlu kaulakukan, janganlah putus asa.” Zainurma menepuk bahu si pemuda.
Sekilas, ada simpati dalam visi lelaki itu. “Kaupunya peluang untuk benar-benar
merealisasikan tujuanmu. Kehendak mungkin lalim, tapi dia mampu mengabulkan
mahakaryamu. Logis saja, daripada memasrahkan takdir untuk diperlakukan sesuka
hati, mengapa tidak memastikan bahwa cita-citamu memang terlaksana?”
“Aku
hanya—“
“Tadinya
aku bermaksud menjadikan sahabatmu sebagai pemimpi,” potong Zainurma. “Angannya
begitu kuat hingga menarik minat kami lebih dari siapa pun juga. Tapi setelah
kutelisik, ada satu hambatan yang menyebabkannya tidak layak. Lagi pula, impian
itu ternyata ... berpusar padamu.” Suaranya bergetar ketika mengutarakannya.
“Orim
bermimpi tentang aku?”
Zainurma
mengiyakan. “Nah, kenapa kau tidak membalas budi teman laki—maksudku,
sahabatmu itu saja?” Dia berdeham, seperti menahan letup tawa. “Aku percaya dia
tidak sejalan dengan apa yang kaumau.”
Dia
mendongak. “Omong-omong, babak selanjutnya dimulai dari detik ini. Kebetulan
lawanmu menarik. Namanya Ganzo Rashura. Dia nabi dalam religinya. Ditilik dari
pertarunganmu, kau mungkin bakal senang ‘bertukar ide’ dengan dia.”
Belum sempat
Sheraga merespons, debu keemasan bergulung-gulung menuju mega. Selang satu
kerjapan, bumi berguncang berat. Kabut tebal angkat kaki dengan kecepatan di
luar akal sehat. Memamerkankan cakrawala sewarna darah.
Sambil
mengembik ketakutan, Chavah merapat pada tuannya. Laungannya mengalahkan debur
ombak yang mendadak ganas.
- 3 -
“Ya
Penguasa Semesta, Penguasa Kehidupan dan Kematian, Penguasa Langit dan Bumi.
Dan Yang Merajai Siang dan Malam ... kali ini apa lagi cobaan-Mu?”
Teringat
panitia tidak memberi detail soal Bingkai Mimpi yang dikikis mimpi buruk, Ganzo
Rashura menyimpulkan apa yang tengah menimpa dunianya merupakan ujian Tuhan.
Namun dia masih malu untuk menuntut penjelasan.
Engkau
harus temukan jawabannya dengan caramu.
Dilanda
kecemasan hebat, sang Nabi berkepala plontos dan berkulit keemasan itu berlari
di bantaran sungai yang ujungnya membelah kuil kudus agama Varsakhtan.
Bermaksud menyelamatkan warga dari perkampungan insignifikan terdekat. Di
sisinya, seekor domba berbulu serasi tuannya, bernama si Botak, mengikuti
dengan laju sebanding.
Sepanjang
setapak itu, yang didapati Ganzo lebih banyak gelombang massa meringkuk sambil
meracau-racau menyebut Hari Pembalasan. Tidak hanya bukan-pengikut ajaran
Varsakhtan, melainkan umatnya juga.
Beberapa
orang bergelayaran menghampiri tepi sungai. Ganzo tak sempat bertindak kala
tiba-tiba mereka melompat ke dalam air, langsung terempas. Disadarinya fenomena
itu terus berulang. Makin banyak hanyutan di antara aliran. Sebab itu, sang
Nabi terus maju. Semata memberi tanda perkabungan sambil berharap dia
memenangkan pertarungan agar mengembalikan mereka.
Sempat
pula terjadi getaran dan gerimis ringan. Mengundang Ganzo menangkupkan tangan
untuk menampung genangan kental, yang mengingatkannya pada perang besar di masa
muda. Karena itu, dia terdorong untuk menengadah.
Langit
diselimuti merah tidak alami. Dan mulai pada jarak tertentu, anomali tersebut
berlaku pula pada permukaan tanah dan pepohonan. Dedaunan berubah serupa kulit
manusia. Jasad kering menggantikan batang pohon. Ganzo sempat terhuyung, hampir
menyusul umatnya ke dalam arus.
Teror
yang merongrong itu, memaksa sang Nabi membayangkan kemungkinan terjelek. Tak
henti-hentinya dia menyebut nama-nama suci Tuhan untuk mengusir resah. Hari Akhir tidak tiba tanpa alamat.
Mendadak,
dia menutup hidung. Kali di sampingnya turut dirambah warna terkutuk.
Manguarkan aroma besi memualkan yang kontan memaharaja. Akan tetapi selepas
setengah pal, indra penciumannya menumpul. Tidak lagi sanggup membedakan apa-apa.
Usai
memintas jembatan, Ganzo tak lekas melepas kelegaan. Pemandangan hamparan
dinding-dinding bambu yang mencuat di antara rerimbunan, juga diiringi
kegaduhan sayup-sayup. Tergesa-gesa dia menyibak dedaunan, dan ditemukannya
lautan obor. Menegaskan histeria di depan tembok kayu pembatas desa. Ada
sekitar sepuluh keluarga pemeluk ajaran Varsakhtan. Ditambah selusin
non-pengikut.
Mereka
menyadari kehadiran Ganzo. Dengan kikuk, sang Nabi menghampiri. “Kenapa kalian
tidak berlindung?” tanyanya gundah.
“Mimpi
buruk di segala arah!”
“Kami
menunggumu, Nabi!” teriak selintas suara alto.
Seseorang
menyambar, “Aku melihat saudaraku yang sudah meninggal! Mereka mengajakku ke
neraka!”
“Mereka
mengejar kita semua!”
Ganzo
menyahut, “Semuanya, tolong tenang dulu! Aku—”
“Kami
tidak tahan!”
“Apakah
kami kurang sedekah?” timpal yang lainnya.
“Aku
ini orang beriman, Nabi!”
Ada
yang menjerit, “Kami belum mau mati, ya junjungan kami!”
Keributan
tersebut menyebabkan Ganzo kewalahan. Ditambah lagi lima puluhan orang itu
bersujud mengelilinginya sambil menangis tersedu-sedu, mencoba menggapai
pakaiannya. Termasuk penduduk kafir. “Kami akan meyakini ajaranmu jika kamu
mampu menghentikan kekacauan ini, Nabi Varsakhtan ....”
Pria
berkepala plontos—Hozo sang Pendeta Tinggi—berani mendekat. Dia bertanya
langsung pada Ganzo, “Nabi, apa yang sesungguhnya tengah berlangsung? Apakah
... apakah ini pertanda akhir zaman? Katakan pada kami, Nabi, apakah ini
sinyal-sinyalnya? Atau memang beginilah gambarannya? Bukankah, bukankah angkara
murka telah jauh? Dunia sudah damai—“
“Jangan
menakut-nakuti semua orang! Jawaban untuk itu tertulis di dalam Varsakhtisav!”
curai Ganzo pada seorang umatnya itu. Dia melantangkan, “Kalian semua! Aku
sudah katakan, apa pun yang terjadi mulai kemarin merupakan ujian Tuhan!
Percayalah, rangkaian bencana ini ada akhirnya!”
“Kapan?”
Kekacauan mulai berkobar lagi. “Apakah ini semua terjadi sampai kita semua
tewas?”
“Kasihi
umat Tuhan ini, Nabi!”
“Apakah
Tuhan membenci kami?“
Ganzo
memegang erat tongkatnya. Dengan ketegasan tertingginya, sambil mengumpulkan
napasnya banyak-banyak, dia memaklumat, “Umatku! Kalian mau hidup, ‘kan? Maka
berpikirlah dengan jernih!”
Seruannya
sukses membendung gelombang keluhan. Semua orang memasang telinga.
“Jika
kalian saja meragukan keselamatan sendiri, bagaimana mungkin kalian menghendaki
Tuhan berkenan meringankan beban? Itu sama dengan menyangsikan kasih
sayang-Nya! Lagi pula Tuhan tidak akan menimpakan aral yang tak mampu kalian
tanggung! Jadi, yakinlah!”
Ganzo
menjeda. “Kalian adalah makhluk Tuhan yang paling diberkati. Karena itulah
sekarang kalian ada di sini. Kesehatan kalian detik ini merupakan bukti. Camkan
itu di dalam dada! Nirwana senantiasa membukakan pintu bagi orang yang berteguh
hati!”
Isak
tangis penyesalan merabung. “Maafkan kami, ya Nabi!”
Ganzo
lega. Tuhan yang mendermakannya ketabahan. Dia baru memanjatkan puji syukur
kala seseorang memekik menunjuk cakrawala, “Demi kasih Tuhan!”
Semua
orang latah mendongak, termasuk Ganzo. Terperangah pada kumpulan mata yang
bergerak liar seakan memindai bumi. Satu detak jantung berlalu, gelap melanda
dunia. Beberapa orang roboh dengan mulut berbusa. Sinar lemah dari obor yang
masih menyala memperlihatkan muka-muka pucat.
“Berlindung!
Jangan lihat ke atas!” Ganzo berseru. “Dengarkan aku baik-baik, pergilah ke
kuil Varsaria! Daraskan ayat-ayat penolak bala! Yang belum hafal, bacalah
nama-nama suci Tuhan tanpa berhenti! Yang belum percaya pada ajaran yang
kubawa, silakan berdoa menurut agama kalian masing-masing dan jangan memisahkan
diri!”
“Tapi
itu—“
“Tidak
ada pilihan! Aku akan berusaha agar kalian semua memperoleh pengampunan
termasuk yang bukan pengikut! Nabi Shamonten—jangan suruh jelaskan aku
kenapa—ada di sana! Beliau akan membantu kalian!” Ganzo pun memerintahkan si
Botak menuntun warga.
Massa
pun berhamburan menuruti instruksi sang Nabi. Ganzo pasti mengikuti penduduk,
kalau saja dia tidak dikejutkan oleh penampilan sosok yang terasa familier.
Di
antara kerumunan, seorang wanita berpenutup kepala melambai padanya. Berlawanan
dengan arus kepanikan yang berlomba-lomba meninggalkan desa, dia justru
melenggang menembus gapura.
“Tunggu!”
panggil Ganzo.
Seseorang
menarik-narik pakaiannya. Anak perempuan. “Mengapa Tuan Nabi tidak ikut?”
Ganzo
tersenyum simpul, seraya mengelus kepala bocah itu. “Aku punya kepentingan,
Dik,” sahutnya. “Tenang saja, aku janji akan menyusul kalian.”
Gadis
cilik itu menyerahkan sekuntum mawar. Indah dan mekar. Begitu Ganzo menyambut,
kelopak bunganya mengering dalam selintas. Berwujud akhir menyerupai tengkorak
rapuh. Dan si pemberi tidak ada di tempatnya.
- 4 -
Perlu
waktu yang tidak sedikit bagi Sheraga untuk mencerna keadaan. Merah dan hitam
mengambilalih langit. Kabut jingga merangkak di antara senja. Lalu aroma amis
memenuhi penciuman. Chavah terbirit-birit meninggalkan majikannya.
Sheraga
belum beranjak dari pijakan tatkala sekumpulan orang terhuyung melintasinya.
Mereka menjerit-jerit bagai hilang akal, terus bergegas ke arah lautan tanpa
kendali. Begitu Sheraga memutuskan acuh pada kawanan itu, tiada guna, mereka
telah terbang ke akhirat. Jasad mereka disambut timbunan di bawah jurang.
Panik,
Sheraga mendekati seorang perempuan. “Nona, apa-apaan—“
Yang
ditanyai balas menatap hampa. Sheraga mencekal kerah pakaiannya. “Bicaralah!”`
Perempuan
itu tiba-tiba saja dia menggigit buas lengan si pemuda. Terkaman dadakan
tersebut menjatuhkan kedua-duanya.
“Bajingan!”
Sheraga menendang, namun sia-sia. Wanita yang menindihnya begitu tangguh.
Disadarinya
kemudian daging di bawah pergelangan tangan kirinya rompal. Sejurus berikut,
perempuan di depannya mengangsurkan kepala. Bermaksud mengoyak leher.
Imaji
seorang lelaki tua bermata satu menyusup ingatan Sheraga; Baron Hanscale sang
Penyihir. Pastilah gempuran ini salah satu ulah sosok sejenis. Kedua telapak
tangan Sheraga berpendar. Api perlahan berkobar, dan menjalar ke pakaian
penyerangnya.
Wanita
itu tersentak mundur, melaung sambil bergeliat di atas lumpur. Dalam detik-detik
terakhir, dia meracau beberapa patah kata pertanda kewarasan. Sheraga
terperanjat. Terlambat baginya untuk menghentikan sihir. Panas terlanjur
menghanguskan seseorang.
“Maaf.”
Masih
syok, Sheraga menatap berkeliling. Orang-orang berjalan ke arahnya. Dengan
mulut yang membuka siap memangsa. Firasat pemuda itu memperingatkan ada sesuatu
yang salah.
Secepat
kilat dia beranjak membelah himpunan. Sesekali menebas atau menumbukkan sarung
pedangnya untuk menghalau hambatan. Tatkala jarak dengan para pengincarnya kian
membuka, dia sadari mereka tidak benar-benar menargetkannya.
Tak lama, Sheraga tiba di permukiman.
Lengannya yang koyak mengucurkan jejak merah pekat. Dia merobek ujung jubahnya
lantas berhenti untuk membebat luka.
Saat
itulah terjadi guncangan. Pekik dan tangis menyusul tak lama berselang. Dan
beberapa tempo berikutnya, kilatan-kilatan merah menyambar dari balik awan.
Mengenai atap-atap rumah. Dia bergegas dan menemukan seseorang di sisi lain
bangunan.
“Ini
semua ... berhubungan dengan ujianmu?” tanya Orim, sahabatnya, dengan terengah-engah.
Sheraga
mendesis, “Jelas.”
“Mana
lawanmu?”
“Aku
tidak—“ Sheraga terenyak di atas kaki.
Dentang
lonceng tanda bahaya dari menara terdekat membelah ingar-bingar. Sheraga
berpaling menghadap utara.
Dari
kejauhan, kelebatan merah mengerumit tanah beserta dinding-dinding. Bersamaan
dengan laju keganjilan, massa bertebaran ke arah sejalan. Sedangkan yang
diperangkap wilayah pekat itu sontak terpuruk. Menggerung-gerung dan membuas.
Celakanya, beberapa orang dalam seragam penjaga kota larut dalam horor
serentak.
“Apa-apaan
ini?”
Baru
sekali langkah, Orim menahannya. “Hentikan itu. Mereka ... tidak nyata,” cegah
Orim dengan tenang, bagai tidak terjadi apa-apa. “Kamu ... ingat apa yang
terjadi pada Betshev dan teman-teman palsumu—“
“Kau
salah,” Sheraga menyangkal, gusar. “Kita tidak bisa mengabaikan orang-orang
ini. Arahkan mereka ke majelis penelitian. Dan temukan yang masih waras untuk
membantu kita!”
Orim
tak lekas menggubris.
“Kau
dengar?”
“Itu
... mustahil.”
“Bukannya
kaubisa memanggil—“ Sheraga langsung memahami kekeliruan ucapannya. “Keparat.
Biar kulakukan sendiri.”
Orim
mencegat. Raut wajahnya tidak biasa. “Sudah berapa kali ... kita mengulangi
perdebatan seperti ini?” Dia mengembuskan napas. “Baiklah, sekarang temukan
lawanmu. Kuurus apa pun yang kamu ... kehendaki sebisaku.”
Sheraga
menatapnya. “Gal dan Shena—“
“Kubilang
temukan musuhmu,” Orim menekankan. Tak berusaha menutupi keberangannya. Dia
menunjuk sebuah sudut. “Dombamu ... mengarah ke pusat kota,” terangnya datar.
Sheraga
mengangguk. “Semoga beruntung.”
“Demikian
denganmu, Teman.”
Pemuda
itu bergegas mengikuti arahan sahabatnya. Cukup yakin wabah ketakutan apa pun
yang tengah melanda Bingkai Mimpi ini takkan berpengaruh kepadanya. Tanpa
banyak pertimbangan, dia menerobos wilayah dalam bekap hawa anyir.
Semakin
jauh, kepercayaan dirinya kian menyusut. Jalanan dipenuhi penduduk yang pelan tapi
pasti kehilangan kewarasan. Mereka meringkuk, menangis histeris ataupun tertawa
sekeras-kerasnya menyerupai orang gila. Yang masih mampu berdiri saling
berkelahi. Sebagian lain mulai menyakiti diri dengan membentur-benturkan
kepala.
Sheraga
bermaksud menolong. Andai pelakunya satu-dua orang semata.
Seseorang
menarik perhatian Sheraga melebihi semuanya. Anak kecil itu menjerit-jerit. Begitu
didekati, dia mendongak. Tangannya menuding ke atas, penuh kengerian, sebelum
ambruk tak sadarkan diri dengan rahang menganga.
Ternyata
bukan dia seorang. Segenap manusia yang masih membuka mata mengerjakan hal
serupa.
Terkejut
bukan main Sheraga mendapati kumpulan mata raksasa hinggap di langit sana.
Bersamaan, Ibukota Batya menggelap bagai ditelan bayangan. Sheraga mengaktifkan
sihir api. Menerangi sekeliling sejauh tiga tombak.
Tanah
dan dinding-dinding tidak saja diliput warna tiada arti. Permukaan bergolak.
Merah di bawah membuahkan lapisan serupa daging. Sementara manusia-manusia yang
kasatmata tengah memuntahkan darah. Ada yang merangkak-rangkak menuju Sheraga,
memohon untuk dibunuh.
“S-sial.”
Sheraga terhuyung menyaksikan pemandangan yang ada. Energinya seolah terisap
hanya dengan menilik. Dia pun tumbang ke depan.
Terdengar
embikan berdengung. Sheraga berpaling. Dari ekor matanya, tampak kelebatan
merah menyeruak dari balik gang. Kumpulan biri-biri. Chavah tak termasuk di
antara mereka.
- 5 -
Tanpa
bekal penerangan, dilintasinya desa yang senyap total. Hendak menemukan figur
yang mengganggu benaknya. Dia terkenang rintangan yang disebut Tuhan sebagai
ujian keimanan, atau yang oleh Zainurma dan Huban sebut sebagai babak pertama
Turnamen Antarjagat.
Dia
dibebankan misi untuk menyelesaikan konflik di sebuah Bingkai Mimpi. Antara
bangsa iblis dan manusia.
Tidak
selamanya kebijaksanaan menang.
Ganzo
gagal. Idealisme yang dijunjungnya justru mempecundanginya habis-habisan.
Bangsa iblis unggul dengan taktik kotor. Sedangkan pimpinan kaum manusia, Siti,
berakhir sebagai iblis. Memori mengenai transformasi wanita itu masih bercokol
dalam otak Ganzo. Menggentayanginya sepanjang kontemplasi.
Wanita
yang Ganzo kejar sekarang adalah Siti.
Siti
berbelok menuju balai desa.
“Hei!”
Dipandu
penerangan janggal yang datang entah dari mana, Ganzo melewati deret perumahan
berornamen tulang-belulang. Mengabaikan sepenuhnya lingkungan yang sudah
sewarna daging dan karat.
Ganzo
hanya sanggup mengimbangi jarak lima meter di belakang Siti. Wanita berkerudung
putih itu menoleh padanya, tersenyum sendu, sebelum berbelok ke arah lain.
Mematahkan ekspektasi Ganzo dengan menerobos peribadatan non-Varsakhtan.
“Kamu
tidak pantas jadi Nabi! Atau tuhanmu adalah tuhan yang penuh dendam!”
Kata-kata
Siti meresap ke dalam benak Ganzo, padahal dia sudah mati-matian untuk
menampiknya. Kalau kau terprovokasi, maka itu kenyataan—itulah yang
tersurat dalam Varsakhtisav. Terang saja, sang Nabi terpancing memburu
lebih gencar. Dia memasuki kuil yang pintunya diapit sepasang patung perunggu.
Ganzo
termangu. Sihir yang berembus di luar kuil tidak menyentuh rumah ritual ini.
Di
dalam, balairung kosong menghampar luas. Terdapat altar di bagian ujung dan
kursi-kursi panjang. Pendar malam merembes melalui kaca berpatri. Berdiri
memepet dinding adalah arca-arca pujaan non-Varsakhtan. Patung utama
menyimbolkan dewi perang yang Ganzo lihat penampakannya sebelum kembali ke
Bingkai Mimpi.
Terdengar
gaung cekikikan. Begitu melayangkan pandang ke tengah aula luas itu, Ganzo
jatuh berlutut di atas undakan. Jantungnya terasa akan meletus.
“Tuhan,
beginikah cara-Mu menghukumku?”
Siti
berpijak di sana. Perlahan-lahan mendekati Ganzo dari posisinya. Kulitnya yang
dipancari sinar rembulan meleleh, dan diitumbuhi sisik-sisik berlendir. Matanya
menguning dan bengkak. Kepalanya memipih. Tubuhnya membesar sehingga pakaiannya
habis tercabik-cabik. Kemudian, api hitam menyelimuti raganya.
Bagaikan
diteluh, Ganzo tidak mampu memejam atas perubahan wujud tersebut. Ampuni
aku, kumohon ....
Api
sekonyong padam. Dan hasil akhir peralihan bukanlah serdadu siluman ikan. Siti
menjelma seorang pemuda rupawan berambut hitam panjang. Bersamaan, panorama
kuil meluruh. Berganti visi yang Ganzo kenali sebagaimana urat nadinya sendiri.
Danau
kenangan Ganzo meledak, luber dan menenggelamkannya.
Dia
bagaikan terseret ke arus masa satu dekade lampau. Kuil bersilih ruang tamu
rumahnya, jauh dari permai negeri Shim.
Pemuda
tadi membelakangi Ganzo. Berhadapan dengan lelaki paruh baya yang pernah begitu
dekat dengannya, Sanzo Rashura. Refleks, Ganzo memekik, “Ayah!”
Ini
merupakan memori yang berusaha dikuburnya dalam-dalam. Airmatanya bercucuran
seketika. Mengira mampu mengubah ketentuan alam, dia merangkak maju dan menggapai,
tetapi jemarinya menembus sosok-sosok di depannya begitu saja. Jangankan
demikian, suaranya malah tidak berarti apa-apa.
Si
pemuda berambut hitam membentak orang tua di hadapannya, “Ini satu-satunya
jalanku dan engkau harus merestuiku! Dan jika aku tidak memperolehnya darimu,
maka tidak masalah. Tekadku takkan karam.”
“Tapi
bagaimana denganku, Nak? Kamu adalah satu-satunya hartaku. Kamulah harapan
hidupku, Ganzo. Sudah cukup dengan istriku, aku tidak ingin kamu meninggalkanku
juga.”
Ganzo
dari masa lalu tidak mengatakan apa-apa. Hanya menatap nyalang pada ayahnya.
“Pikirkan
lagi, Anakku.”
“Ayah,
niatku ini mulia. Aku bermaksud menyelamatkanmu. Tidak, bukan hanya engkau. Aku
hendak menyelamatkan semua orang. Aku mendapat mimpi dari Tuhan Varsakhtan
untuk menyebarkan wahyu. Aku akan menjadi nabi!”
Sanzo
menangis. “Akan selalu ada nabi berikutnya, Ganzo. Itu tugas yang berat, dan
kau tak harus memikulnya. Perlu diketahui, kamu bukan satu-satunya yang
mendapatkan petunjuk itu.”
“Jadi
engkau meragukanku, Ayah?” Ganzo naik pitam. Dia juga menitikkan air mata. “Kau
... kau tidak menyetujui kebaikan hati yang hendak kulakukan?”
“Kenapa
kamu tidak memulai kebaikan itu dengan mengasihi orangtuamu? Tuhan mengajarkan
untuk pertama-tama mengutamakan orang yang membesarkanmu,” ayahnya mulai berani
tegas. “Aku juga mengerti keinginan terdalammu. Niatmu bukanlah berkorban demi
Tuhan.”
Ganzo
yang sekarang terkejut. Dia teringat semuanya. Tak ayal, masa lalunya
menjelaskan, “Memang benar, awalnya. Tapi aku yakin seiring berjalannya masa,
semua berubah. Aku akan ikhlas.”
Tidak
ada yang berbicara. Satu-satunya suara berasal dari kertak perapian di belakang
Sanzo.
“Ayah,
kauingat pada musuh-musuhku? Ankou menjadi seorang saudagar kaya, atau Hozo
calon pendeta tinggi Varsakhtan, atau Amritan yang menjadi seorang kesatria!
Mereka itu selalu mengolok-olok diriku! Tapi aku, Ayah, aku selalu gagal dalam
hal apa pun! Aku selama ini hanya berlindung di balik bayanganmu! Namun dengan
aku menjadi junjungan semesta, aku akan buktikan segala hal kepada mereka. Semuanya!”
Kata-katanya
yang penuh keyakinan bergema. Menggetarkan baik orang tua, maupun dirinya dari
masa depan.
“Dan
karena itulah kamu ingin menjadi Nabi.” Sanzo tersenyum getir. “Nak, dasar
hatimu itu ... tidak murni. Dan barangsiapa yang tak dilandasi ketulusan jiwa,
mereka berakhir merugi.”
“Tuhan
Maha Pemaaf. Aku akan menyucikan diriku sebelum memulai iktikadku. Aku akan
banyak beramal,” balas Ganzo. “Dan suatu saat, dosa-dosaku akan terhapus.
Mungkin hatiku benar-benar suci ketika pada akhirnya aku berangkat ke negeri
Shim nanti.”
Sanzo
memekik pilu. “Jangan, Nak! Kamu bakal menjadi patung!”
Ganzo
melotot. “JANGAN BERGURAU, PAK TUA!!”
Sanzo
terperangah. Dia perangi sejenak gejolak di pusat peredaran darahnya.
Mati-matian dia sampaikan realita, “Itu kenyataan, Ganzo. Salah satunya adalah
kakekmu—ayahku. Dia tidak kembali karena ambisi yang sama.”
“Itu
tidak akan terjadi padaku.” Ganzo segera berlalu menuju lantai atas.
Di
sisi lain, Sanzo terpuruk. Dia meratap seraya memanjatkan nama Tuhan
Varsakhtan, dipungkas doa penyerahan jiwa. Makin lama, rintihannya mengecil.
Napasnya terputus-putus. Tangannya terkulai lemah.
Ganzo
yang kembali turun membawa buntalan kain terkejut, lekas menghampiri ayahnya. “Ayah!
Ayah! Sadarlah, Ayah!”
Nahas,
Sanzo makin tak tertolong. Dengan sisa umurnya, dia melaknat penuh kebencian,
“istriku m-mati ... karenamu. Hatinya terlalu letih ... menghadapimu.” Bersama
kalimat itu, Sanzo mengembuskan napas terakhir. Dia meregang nyawa dalam
rengkuhan putranya yang durhaka.
Sang
Nabi, dari masa berbeda, tertohok. Dia tersungkur di undakan, dan tak berusaha
untuk bangun lagi. Tanpa henti, dia memanggil-manggil nama ayah dan ibunya.
Memohon maaf yang sedalam-dalamnya. Dia terus menangis. Tak sadar pemandangan
berganti lagi.
Interior
kuil dipenuhi gumpalan daging, ceceran darah, dan kobaran menyala. Patung
Mirabelle di seberangnya terbakar menyisakan rongkongan kelam. Dari baliknya,
domba-domba hitam berseliweran keluar.
- 6 -
Memaksakan
kakinya, Sheraga mengambil langkah seribu. Domba-domba yang mengejarnya
bukanlah hewan normal. Mereka tidak bisa dilumpuhkan, baik oleh senjata maupun
sihir api. Dan mereka menyedot kehidupan dari tangan kirinya, membuatnya
terkulai tiada guna.
Tanpa
Yaal Yifrach, Sheraga kembali menyusuri ibukota Batya. Berbekal api dari
telapak tangan kanan yang direntangkannya ke depan. Warna merah dan pemandangan
orang-orang sekarat mencengkam. Dia tidak punya waktu untuk memikirkan mereka.
Kumpulan embik meneror langkah-langkahnya.
Untuk
sesaat, dia unggul kecepatan. Dan itu lebih dari cukup.
Domba-domba
hitam berhasil dikecohnya pada suatu persimpangan. Sheraga berbalik dan tidak
mendapati apa pun di belakangnya. Merasa aman, dia melanjutkan jalan ke rumah
singgahnya. Berharap sembunyi sementara di ruang bawah tanah, dan mendadak dia
merindukan Gal Raivah.
Dia
membuka pintu, langsung mengunci semua celah masuk. Mengejutkan, bagian dalam
tempat tinggalnya tidak terpengaruh kutukan dari luar. Tetap sama sebagaimana
Sheraga terakhir kali meninggalkannya.
Belum
lama duduk menenangkan diri, sebuah senandung berkumandang merdu. Sheraga
mengenal benar pemiliknya. Dan itu membuatnya bangkit, dengan kerinduan dalam,
dan penasaran yang teramat.
Diikutinya
sumber suara nyaris tanpa menimbang. Asalnya dari ruang penghubung tangga.
Tidak ada siapa-siapa di sana. Akhirnya, Sheraga ke ruang bawah tanah.
“Aliyah?”
Sheraga memanggil nama kekasihnya. Dan hanya perlu waktu sebentar bagi sang
Alkemis untuk menyadari kebodohannya. Wanita itu telah tiada.
Ruangan
itu kosong. Hanya terdapat sebuah kursi kayu, obor di langit-langit, dan sebuah
lukisan raksasa yang Sheraga ingat tidak pernah ada sebelumnya.
Mata
kelabunya melebar. Instingnya meneriakkan lari.
Itu
merupakan potret yang menggambarkan pesta pernikahannya dengan Aliyah. Para
musuhnya termasuk Betshev Eliezer mengerumuni perayaan itu, saling berdansa dan
bersukacita. Sheraga menggigil, dia beringsut ke belakang dengan ngeri. Tidak
mungkin.
Dia
berbalik, terpontang-panting. Tetapi pintu lesap bagaikan tak pernah eksis.
Sementara
itu, lukisan melumer. Menampakkan potret seorang wanita Helev bermata biru,
dibingkai rambut cokelat ikal, yang menatap langsung pada Sheraga.
Aliyah
Shefar.
Mulutnya
bergerak. Sudut bibirnya menggapai telinga. Sedetik kemudian, lukisan itu
bergolak. Wanita di dalamnya menjulurkan kedua lengan, dan keluar dari pigura
kerangka menjadi manifestasi kenyataan.
Sheraga
menguarkan api dari tangannya. Lurus menuju ilusi sang kekasih. Hanya untuk
mendapati wanita itu tercerai menjadi air dan mewujud utuh kembali di
sampingnya. Pemuda itu tak berkutik.
Aliyah
berbisik, “Kamu ... terlalu banyak menipu diri.”
Lingkungan
mencair secara harfiah. Temaram kamar kandas. Berganti sebuah rumah di daratan
Yisreya yang lain, bukan di Bingkai Mimpi.
Sheraga
mengawasi sosok mirip dirinya, dengan suara dan penampilan sama persis, geram
di hadapan sepasang kekasih. Pedangnya terhunus. Sang Alkemis tersentak. Wanita
di depan imitasinya adalah Aliyah, bersama seorang pria Dayan.
Memori
ini palsu.
“Harush,
pergilah!” Aliyah menjerit. Tangannya menahan sang kekasih agar tak menyongsong
masalah. Namun Dayan bernama Harush itu tidak menggubris. Dia justru mencabut
senjata dan menantang Sheraga, yang diasumsikan berasal dari masa silam,
berkelahi.
“Kamu
hanya beruntung diasuh perdana menteri!” cemooh Harush. Nekat, dia menghambur
ke arah Sheraga sambil mengayunkan pedang lengkung.
“Jangan
gila, Harush!”
Tidak
diindahkan lagi. Kedua pria itu pun saling berkelahi. Terdengar dentingan keras
yang menulikan pendengaran. Api dan air beradu. Perabotan bertebaran berkat
perpindahan-perpindahan kilat, tetapi tiada satu pun orang yang datang untuk
mengenyahkan keingintahuan. Sebab mereka bukan berada di Batya. Melainkan kota
sunyi jauh dari ibukota. Aliyah
berlindung ke salah satu kamar.
Sementara
itu, Sheraga masa kini terpaku. Kekacauan sertamerta menembus keberadaannya.
Seolah dia hantu di tengah pertarungan.
Perkelahian
itu diakhiri dengan Harush mengendalikan darah musuhnya. Sheraga tidak
bergerak, dan momen itu dimanfaatkan sang Dayan untuk menikam jantungnya.
Sheraga tersungkur di atas genangan darahnya sendiri. Namun dia tidak mati.
Sheraga yang asli mengetahui, imitasinya merencanakan sesuatu dengan alkimia.
Untuk sesaat, dia berpura-pura sekarat.
Aliyah
kembali pada Harush. “Bagaimana ini?” tanyanya panik. “Natan Asher bisa
membawaku ke tiang gantungan! Kamu ... kamu harus mengurus segalanya, atau aku
akan menyalahkanmu!”
Harush
membelai rambutnya. “Tenang, Sayang. Itu sudah kuatur. Sebenarnya aku sudah
merencanakan ini sejak lama. Helev sialan ini terlalu banyak berbuat onar. Dia
layak dihukum, bukan begitu?”
Kekhawatiran
kekasihnya pudar. Aliyah tertawa. “Kamu benar, Harush,” desisnya. “Dia pantas diganjar.
Tapi, bagaimana rencanamu menyembunyikannya?”
“Tidak
perlu.” Harush terbahak. “Akan kuhancurkan dia sampai ke sumsum tulang—“
Begitu
berbalik, Sheraga menyambut dengan sabetan pedang sekuat tenaga. Jenis logam
penyusun senjata itu memastikan kematian Harush. Darah tersembur deras, menodai
wajah dan kemeja. Sebentuk kepala yang terbeliak terlontar di udara. Lalu
menggelinding ke bawah kaki Aliyah.
Aliyah
maupun sang Alkemis gemetar. Wanita itu terjengkang. Tangannya mengatupkan
mulut.
Imaji
Sheraga berlutut. Tersenyum tanpa beban kepadanya. “Coba katakan, Aliyah,
apakah kau sebenarnya mencintaiku?”
Jelas
Aliyah terlalu takut untuk berkata-kata. Sheraga mendesaknya. “Bukankah kau
adalah calon istriku? Bukankah kau yang datang ke dalam hidupku, dengan pesona
kecerdasanmu? Dan kau pun mengatakan telah menerimaku?”
Aliyah
mundur. Masih ternganga. Sheraga menyarungkan pedang. Tangannya yang berlumur
merah, menjamah dagu wanita itu. “Aliyah, aku memaafkanmu. Katakan kepadaku
dengan jujur, apakah kau mencintaiku?”
Dihantui
bayang-bayang akhirat, Aliyah mengangguk canggung. “Aku mencintaimu, Sheraga.”
Sheraga
tergelak. “Aku tidak dengar. Mohon katakan sekali lagi.”
“A-aku
... aku mencintaimu, Sheraga.”
Sheraga
meraih tangan Aliyah, membelainya. “Terima kasih. Aku juga mencintaimu.
Tersenyumlah.”
Aliyah
memaksa menarik kedua sudut bibirnya ke atas, tapi kemudian dia menepis dan
mundur. Isakan tangisnya memecah malam. “Aku tidak sudi mencintai iblis
sepertimu!” tudingnya.
Dia
menggerung-gerung. “Aku tahu betul apa yang telah kamu lakukan, dasar jahanam!”
salaknya sambil menyeka mata. “Laki-laki munafik! Iblis! Kamu mendustai semua
orang! Sama saja dengan ayahmu yang bermuka dua! Aku membencimu lebih
dari apa pun!”
“Kenapa?”
pancing Sheraga. “Bukankah aku orang yang pernah kaucintai dan kaubela
mati-matian? Aku ingat betapa kau bangga atas lamaranku. ‘Lihat aku,
teman-teman, putra perdana menteri ingin mempersuntingku!’ Bagaimana
mungkin kau lupa? Siapakah Harush itu sampai-sampai kau ... setolol ini?”
“Aku
tidak pernah menginginkan pernikahan denganmu!” hardik Aliyah. “Aku
melakukannya demi keluargaku. Tapi ayahmu yang bejat itu bahkan melenyapkan
mereka juga. Demi Ushna dan Mahra, terkutuklah kalian semua!” Setelah
melontarkannya, dia bangkit, meraih belati di dekatnya, berniat
menghunjamkannya pada Sheraga.
Si
pemuda menangkap pergelangan tangan wanita itu, dan merebut senjatanya dengan
mudah. “Perempuan tidak boleh menyandang senjata. Itu tabu,” lontarnya. “Kalian
makhluk cengeng. Lemah. Pecundang.”
Kontan,
dia melesakkan belati itu ke dada mantan kekasihnya. Sekali, napas Aliyah
terpenggal-penggal. Dua kali, belati mematahkan rusuknya. Telak menikam
jantung. Wanita itu terperangah tidak berdaya. Mulutnya memuntahkan darah.
Selagi dia meregang nyawa, Sheraga melumat bibirnya.
Panorama
beralih lagi. Sang Alkemis berada di atas perahu, bersama si pembunuh. Tepat di
sisinya, terdapat sebongkah peti. Dengan ringannya pemuda itu mengeluarkan
karung dari dalam kotak. Layaknya membuang sampah, dia campakkan kantong besar
tersebut ke dalam samudra.
“Bercintalah
di bawah sana, keparat!”
- 7 -
Pintu
kuil menjeblak terbuka bersamaan dengan lengkingan seekor biri-biri. Si Botak
menghambur ke dalam aula. Nahas, hewan kecil itu terlambat. Tuannya kini dikepung
buntalan-buntalan hitam bersama berpasang-pasang mata merah dari berbagai
sudut.
Sang
Nabi tidak berinisiatif menghindar. Membiarkan dirinya dikerumuni lautan
pemamah biak.
[Tuan,
pergilah dari sana!] Si Botak berkomunikasi melalui telepati. [Apa
yang Tuan lihat sama sekali tidak nyata. Itu tipuan!]
Ganzo
tidak beranjak dari posisinya. Si Botak salah. Apa yang dicerap sang Nabi
betul-betul memori atas dosa terburuk yang pernah coba dipendamnya. Ayah Ganzo
berpulang, dan itu murni kekhilafannya. Dia telah mengakui dan tidak keberatan
mempertanggungjawabkan.
Rasa
kantuk mulai mendobrak kesadarannya. Domba-domba di sekelilingnya menyerap
energi kehidupan, Ganzo paham itu. Akhirnya, dia menyerahkan nasib sepenuhnya
kepada Tuhan.
[Tuan
Ganzo, kau itu nabi Varsakhtan! Pikirkan umatmu! Jangan kalah dari kesedihanmu!]
Empat
dari selusin biri-biri hitam balik mengincar si Botak. Domba emas itu pun
memelesat. Sejurus, langit-langit kuil seolah dipenuhi tebaran proyektil.
Selagi melayang-layang di udara, si Botak melanjutkan, [Keselamatan dunia
ini ada di tanganmu!]
“Shamonten
akan menggantikan tugasku,” jawab Ganzo. “Pendosa sepertiku tidak pantas
menjadi penyebar wahyu.”
Si
Botak menyambar Ganzo, dan dihentikan oleh kepungan sesama. Dia menukik ke arah
lain, dengan dua domba mengejar di belakang. Nyaris menyentuh sang Tuan, dia
terpaksa urung. Diambilnya jarak agak jauh dari kawanan biri-biri hitam. Si
Botak seakan-akan begitu menjauhi kontak dengan sebangsanya yang kontras.
Dari
kejauhan, dia berujar, [Kenapa Tuan menyerahkan tanggung jawab? Tuan itu
pemimpinya, Tuan yang mengemban takdir jagat ini, termasuk mimpi-mimpi miliaran
manusia. Dasar nabi tidak tahu malu! Bukankah Tuan, yang tadi berkata pada umat
untuk tidak takluk pada perasaan? Masa diingatkan oleh seekor domba begini?]
Ganzo
terpana. Nasihatnya dikembalikan.
[Menghukum
diri bukanlah jalan keluar, Tuan. Itu tidak mengubah apa-apa. Yang berlalu,
sudah terlanjur berlangsung,] lanjut si Botak. [Belajarlah untuk
memaafkan. Tuan yang dulu dengan yang sekarang itu pribadi yang berbeda. Yang
terpenting, usaha Tuan untuk memperbaikinya.]
Kata-kata
peliharaannya barusan menyulut sesuatu dalam diri Ganzo. Sepercik harapan.
Terang dan menghangatkan kalbu. Yang juga menyalakan sumbu semangatnya untuk
bangkit.
Dibekali
keyakinan, dia melompat dari celah kepungan dan berpijak di undakan teratas.
Dua domba menerjang ke arah Ganzo. Yang dengan sigap, dielak sang Nabi. Memanfaatkan kesempatan, dia mengayunkan tongkat
untuk menyerang balik. Ganjilnya, sepasang domba hitam yang diumpan serangan
itu terurai sebagai kabut pekat.
[Pergilah,
Tuan! Kau tidak akan bisa membinasakan mereka!]
Selagi
dua domba hitam meregenerasi fisik, si Botak terbang ke arah Ganzo secepat
kilat. [Tuan, naiklah ke punggungku!] Merasa Ganzo sangsi
padanya, dia menambahkan, [Tidak ada waktu untuk meragu!]
Ganzo
pun melompat ke punggung peliharaannya. Sejurus kemudian, domba itu memelesat
keluar melalui pintu ganda. Membelah langit kelam bertabur darah.
“Kita
ke mana, Botak?”
[Bingkai
Mimpi di ujung sana. Wilayah itu cukup luas untuk mengecoh.]
Ganzo
berpaling ke belakang. Berpasang-pasang pendaran merah menjadi penanda yang
mempermainkan detak jantung. Beruntung, laju kecepatan makhluk-makhluk itu
dibanding domba emas sang Nabi sama sekali timpang.
Dalam
beberapa tarikan napas, mereka tiba di Bingkai Mimpi yang dimaksud. Ganzo mengikhtisar
berdasar aroma.
Bersama
ketiadaan cahaya, si Botak sajalah yang mampu dengan baik memetakan lokasi. Dia
berkelok-kelok dengan tajam, menukik, dan melambung lagi. Tak perlu waktu lama,
tiada lagi tanda-tanda pemangsa.
Ganzo
benar-benar teruk. Penerangan paling menjanjikan yang diperolehnya tidak lain
adalah nyala api, yang sekali-kali merembet di sudut bangunan. Dari cahaya
kecil tersebut, pria itu memperkirakan bingkai mimpi ini berisi sebuah kota
besar, setara ibukota negeri Shim. Dengan gedung-gedung serbatinggi menantang
dirgantara, dan keadaannya yang tidak begitu jauh ketimbang Bingkai Mimpi-nya.
[Tuan,
apa kau masih melihat pengejar kita?]
Ganzo
menggeleng. “Kelihatannya tidak,” sahutnya. “Botak, ada apa dengan domba-domba
hitam itu sebenarnya?”
[Aku
tidak tahu bagaimana mereka muncul. Ini di luar aturan turnamen. Yang jelas,
penggembala mereka adalah biang keladi rentetan malapetaka ini. Mereka makhluk
mimpi buruk—]
Penerbangan
mereka terganggu. Sesuatu menghantam si Botak dengan telak, disertai gedebuk
berat.
Sempat
dikerling Ganzo kelebatan tak diundang itu. Seekor domba putih, yang tak lain
milik lawannya. Tapi mengetahui fakta tersebut tidak menghentikan kejatuhannya.
Dia terjun dari ketinggian sepuluh tombak, tanpa persiapan apa pun.
Mujurnya,
dia tidak terluka. Seorang manusia secara kebetulan berada tepat di bawahnya.
Derak tulang-tulangnya mendirikan bulu roma.
“Maafkan
aku, Tu—“ Tindakan yang tidak perlu, sebab tampaknya sang korban telah
dipanggil Tuhan sebelum momentum ini.
[Tuan,
hadapi lawanmu untuk menghentikan mimpi buruk ini!]
Ganzo
mengedarkan pandangan. Tiada siapa-siapa, tidak jua si Botak, kecuali lapisan daging
dan orang-orang yang bergelimpangan.
Ternyata
masih ada yang menyambung detak.
Seorang
pria tinggi berjubah hitam berdiri tegar. Dia membawa tongkat pemukul penuh
darah kering. Bara di dekatnya menegaskan sebentuk wajah pucat, dibingkai surai
hitam, dengan sepasang mata biru cemerlang.
“Jadi,
kau lawanku?” Sempat-sempatnya Ganzo mempersembahkan penghormatan. Dia
membungkuk respek, dengan tangan di depan dada. Kode etik yang digalakkan dalam
ajaran agamanya. “Aku Ganzo Rashura.”
“Aku
Orim. Orim Kohan,” balas musuhnya tanpa jeda. Tiada rona keramahan atau
penghargaan.
Belum
apa-apa, Ganzo sudah mendapatkan alasan untuk bertarung. Lawannya tidak patut
dihormati. Tak disertai kaidah maupun aba-aba, dia langsung menerjang maju dan
menyabetkan alat pertahanan.
Untuk
sesaat, Ganzo menyingkirkan emosinya—segala kesedihan, penyesalan, dan
kemarahannya baru-baru ini. Mantra-mantra kudus didaraskan.
Manakala
kebenaran merosot dan kejahatan merajalela,
Saat
itulah aku aku akan turun,
Untuk
menyelamatkan mereka yang saleh,
Dan
membinasakan mereka yang jahat,
Dan
menegakkan kembali kebajikan.
Aku
adalah ... perwujudan karma!
Sekujur
kulitnya menyala bagaikan rahmat alam semesta bersatu padu dalam raga fana
miliknya. Kemampuan utamanya sebagai nabi baru saja diaktifkan.
“... Varsakhta Sage Mode ....”
2
Ha-Ra
- 8 -
Riwayat hidup Sheraga Asher tak dapat lepas dari peran satu-satunya
teman sekaligus orang yang kini dianggapnya sebagai “kakak”—Orim Kohan.
Berbeda dari pengetahuan seluruh kenalannya, sejarah lelaki
itu—menyertakan keluarganya pula—tidak bermula dari negeri kaum panjang umur
bertelinga lancip. Lebih dari itu, jauh dari mata peradaban makhluk berakal
utama: Dayan maupun manusia.
Untuk suatu tujuan yang begitu mulia, atas nama masa depan umat
manusia yang telah dijanjikan sejak zaman mula, mereka memutuskan untuk keluar
dari persembunyian.
Sebagaimana perkumpulan yang senantiasa dilingkup tanda tanya itu,
Orim juga pribadi penuh misteri. Tiada satu pun, terkecuali mereka yang
dikehendakinya, memahami asal-usulnya. Seolah-olah, dia membersil begitu saja
dari ketiadaan dan lesap kembali ke dalam kekosongan. Tanpa keluarga, atau
rumah tetap untuk berpulang.
Tujuh belas tahun lalu Orim menempuh pendidikan untuk menjadi
seorang klerik. Namun tak ada yang menuntut kejelasan identitasnya, maupun
kebutaannya yang sebetulnya mencurigakan. Bahkan belum ada yang
mempermasalahkan ketiadaan marganya—hal yang semestinya menjadi aib di negeri
yang menjunjung tinggi status sosial satu, dan tak henti merendahkan lainnya.
Itu sesuatu yang tidak terelakkan. Sebab Orim selalu memiliki
kapasitas untuk mewujudkannya. Merupakan kemudahan untuk membaur dengan
sekeliling. Termasuk, melampaui semua orang dalam masa hidupnya yang singkat.
Sebagai manusia, bukan perkara remeh untuk bertahan di antara masyarakat
berbeda bangsa. Yang dianugrahkan usia tiga kali dirinya.
Walaupun demikian, Orim tak sepenuhnya tertutup.
Satu yang merupakan kepastian dan kelemahannya suatu saat kelak,
Orim ternyata tidak sebatang kara—setidaknya itulah yang ada dalam pandangan
lainnya. Kerap dia tampak bersama seorang anak perempuan, adik kandungnya. Usia
gadis yang nyaris sama cerdas dengan kakaknya itu, setara dengan sang Alkemis
andai masih hidup.
Namanya Levannah.
—
Dalam
kepercayaan masyarakat Helev, tampilnya dua sosok berikut menandakan bencana:
jantan pemurung berkepala bola, serta betina periang bertakhtakan alas tidur.
Kini, salah satu di antara pasangan janggal yang disakralkan itu tengah terbang
di langit Bingkai Mimpi. Memantau tiruan Ibukota Batya berpenduduk manusia.
Dialah
Oneiros, sang Penggembala Domba Hitam.
“Rumahku
... kelahiranku ... Alam Mimpi yang indah,” senandungnya lirih. “Aku, aku
benci. Kalian ... kalian mencemari surgaku!”
Lamat-lamat,
makhluk bertubuh kerangka itu dihanyutkan oleh duka. Terkenanglah dia pada
masa-masa di mana Alam Mimpi masih berupa ranah penuh pesona, harapan, juga
petualangan. Detik ini, alam tersebut makin terkikis oleh bersatunya kenyataan.
Semua karena ajang pertarungan yang begitu Oneiros tampik, termasuk para
pemimpi menyebalkan yang terlibat di dalamnya.
Bila
terus dibiarkan, keseimbangan Alam Mimpi dengan Alam Sadar bisa terganggu.
Memikirkan kemungkinan-kemungkinan paling jelek, Oneiros berlinang air mata.
“Tapi,
anak laki-laki ... enggak boleh cengeng,” gumamnya seraya menyeka kepala,
tiba-tiba ingat ibunya. “Oneiros patuh, Oneiros enggak lemah. M-maafkan aku,
Mama!”
Beroleh
tenang, iris ungunya terpaku ke bawah. Pada titik terakhir dilihatnya
domba-domba hitam. Lama ditungguinya peliharaan tersayang itu kembali, demi
melaporkan pada sang tuan bahwa mereka telah berhasil memusnahkan kedua
pengacau—yang berdasarkan visi, pemimpi-pemimpi itu jahat. Dua persona denial.
Tidak pantas ditolerir.
Waktu
lebih memilih memperolok si Mata Satu. Jangankan kabar kemenangan,
gumpalan-gumpalan bulu yang dirawatnya bak adik sendiri itu tidak tampak lagi.
Seolah mereka ditelan bumi yang kejam ini.
Bukan
kepalang ketidaksabaran Oneiros. Ditambah dengan kecemasan atas domba-dombanya.
Pawai mimpi buruk ini mesti disudahi, dan sang Penggembala bermaksud
melakukannya seorang diri.
Panjang
umur, Oneiros tidak perlu repot-repot menjelajah. Gemuruh pertikaian dari sudut
kota menandakan kunci menggapai kedamaian tempat tinggalnya. Baru sekali
mengayunkan tongkat penangkap mimpi, kumpulan debu cemerlang menggugus
di sampingnya. Menjelma figur abstrak tanpa kejelasan umur dan jenis kelamin.
“Tidak patut, kamu mengusik rencana
Kami.”
“Eeh
... kami?”
Oneiros
bersiaga. Inti mata dipersiapkan untuk membasmi. Tamu tidak diundang itu
bukanlah reverier, melainkan entitas keemasan dalam balut jubah
nirwarna. Sang Penggembala celingak-celinguk untuk menemukan penyusup lain,
acuh pada pilihan kata pengganggu barusan. Namun tiada sesosok jua.
Kecuali
si jubah putih.
Menilik
rupa itu lama-lama, pusat kewarasan Oneiros serasa tercabik-cabik. Aura sang
entitas nirnalar berhasil mengacak-acak komprehensi, melampaui artefak sumber
masalah di Museum Semesta. Lantunan kalimatnya sekalipun bagaikan teror di
sanubari. Rangka kaki sang Penggembala menyerpih akibat tekanan yang
dipancarkan.
“Enyahlah keberadaan kamu dari sini.”
Tertekan
sabda absolut, abstraksi Oneiros buyar. Presensi sang Penggembala dibuat lucut
di luar kehendaknya. Makhluk itu bahkan tiada kesanggupan mereka ulang
tubuhnya.
- 9 -
Masa telah ditentukan. Ancaman mulai menunjukkan diri. Sang Pembawa
Cahaya, begitulah para laki-laki dalam marganya menyebut, wajib dilindungi dari
marabahaya. Keberadaan entitas itu harus sepenuhnya teredam, dan jauh dari Para
Penjaga—Mereka yang Mengetahui. Yang tak lain adalah keluarga Orim. Maka
dimulailah hari-hari panjang untuk penciptaan “wadah baru”.
Dengan kuasa Tuhan yang Maha Benar, melalui ilmu pengetahuan rahasia
dalam keluarga Orim, manusia istimewa itu hadir ke dunia. Dia tidak lahir
melalui ikatan dua insan. Bahkan raganya bukan diawali dari gumpalan darah dan
daging.
Pada mulanya Orim menganggap kisah mengenai sang Pembawa Cahaya
terlalu fantastis untuk dipercaya. Di telinga seorang yang belum akil balig
sekalipun, cerita itu lebih menyerupai epos pengantar tidur.
Terlebih Orim, masih begitu belia, diberi mandat untuk mengantarkan
bayi yang sengaja dirangkai menjadi manusia itu ke depan pintu rumah Perdana
Menteri Batya. Kepada Natan Asher, satu-satunya sosok yang menyimpan pemahaman
lurus mengenai alam semesta. Dayan yang memiliki kesempatan untuk menggantikan
sang Raja, yang telah termakan dusta.
Sang Perdana Menteri memperlakukan makhluk berbeda bangsa itu dengan
patut. Si anak, kemudian, diberi nama Sheraga Asher.
Sebelumnya, Sheraga bukanlah siapa-siapa bagi Orim. Pemuda itu tidak
lebih dari benda mati, yang beruntung diberkati akal dan nurani buatan.
Gumpalan lempung yang dapat terluka dan bertumbuh belaka. Figur tak penting
dengan omong kosong dari kaum putus asa, atas kenyataan bahwa peradaban makin
membiakkan kejahatan dan penderitaan.
Ya, ada satu masa di mana Orim menjadi anak laki-laki pembangkang.
Dia begitu menampik takdir berada dalam keluarga yang diburu kerajaan. Pun
menganggap kaumnya sendiri sudah kehilangan akal sehat. Yang lebih membuat
gusar, Orim seorang diperintahkan untuk mengawasi kreasi ayahnya sendiri.
Mengutamakan keselamatan makhluk itu ketimbang nyawanya.
Tak alang, Orim muak. Kebenciannya terhadap keluarganya makin
menjadi-jadi.
Bersama adik perempuan yang mengerti penolakan-penolakan dalam diri
kakaknya, Orim melarikan diri ke ibukota Batya. Bukan dalam rangka menunaikan
tugasnya menjaga cakap angin dalam rumah Perdana Menteri, melainkan untuk
memulai hidup baru sebagai orang lain.
Kakak-beradik itu menyamar. Orim sendiri, sebagai salah seorang
pewaris dari keluarganya, mengunci mati penglihatan. Dengan terlalu percaya
diri menganggap langkah berlebihan itu akan cukup untuk menghindarkannya dari
pengawasan, dan terutama keluarganya.
Karena mata selalu menjadi gerbang menuju kebenaran.
—
Sheraga
selalu ingat pertemuan itu. Satu kehangatan yang membawanya pada kebahagiaan
sejati. Pada masa-masa belianya, dia selalu menyempatkan diri merenung di
puncak tebing itu. Kadang mengadu nasib pada debur, lain kali dalam rangka
menyerapahi kedamaian, seringnya untuk melolong-lolong membebaskan beban.
Ada
satu momen di mana privasinya terusik. Di atas karang, si penyusup tengah
memetik harpa. Matanya sebiru samudra di ujung sana. “Boleh aku bergabung?”
tanyanya. “Di sini damai sekali.”
Sheraga
mengiyakan dengan gugup. Bagaimana mungkin dia mengusir seorang gadis cantik?
Si
gadis memperkenalkan diri. Dibalas serupa.
“Orang-orang
membicarakan ini-itu soal kau, tapi aku selalu punya pendapat tersendiri.
Tampaknya, akulah yang benar.” Anak perempuan itu terkikik samar.
“Memangnya
apa pendapatmu mengenai aku?”
Malu-malu,
si gadis beropini, “Kau tidak sombong, cuman pendiam—“
Sheraga
tertunduk.
“—dan
aku suka. Hei, kita sama. Aku pun tidak terlalu senang ... banyak membual. Dan
aku merasa kita spesial.” Si gadis turun dan menghampiri Sheraga. “Walau
sekali-kali, kita ... juga harus banyak mengobrol. Pada hakikatnya tidak ada
manusia yang sanggup kesepian. Jadi,” dia mengulurkan tangannya, “maukah kau
berteman denganku?”
Di
umur yang berbeda, Sheraga menolak untuk percaya pada visinya. Dia sangat
mencintai sang kekasih, demikian sebaliknya, dan bahkan pemuda itu tidak berani
berpaling dari kesetiaan. Keberadaan wanita itu akan senantiasa abadi dalam
relung hatinya. Pastilah, panorama yang baru saja dilihatnya merupakan agresi
pertama calon musuh, atau kelaziman dari anomali massal.
Sang
Alkemis takkan gentar, terus-menerus dia bersugesti. Takkan dia biarkan
musuhnya mengambil keuntungan dari keraguannya. Merasa benar, dia balas menatap
imaji palsu Aliyah dengan ketegasan.
“Siapa
pun penciptamu, katakan kepadanya: kau gagal. Aku sangat mencintai
kekasihku,” tandas Sheraga. “Dan tidak mungkin bagiku untuk menyakiti, terlebih
membunuhnya.”
Tiruan
Aliyah meleleh. Kulitnya melumer seperti Dalit Shaar yang terpanggang di kayu
salib. “Kau dikendalikan!”
“Yang
dikendalikan, adalah kau!” Sheraga merapal mantra penciptaan api dalam benaknya.
“Enyahlah, setan!”
Jelmaan
Aliyah tidak sempat menepis pernyataan. Panas menyembur ke arahnya, mencairkan
eksistensinya. Lengkingan penuh derita menyayat keheningan.
Sheraga
tidak berhenti, masih mengobarkan api sampai yakin muslihat lawan takkan
menguar lagi. Tak peduli lingkungan sekeliling berpijar bak hujan halilintar.
Keadaan Bingkai Mimpi sudah lebur begitu parah. Sekalian saja
dibumihanguskannya rumah singgah ini.
Baru
tebersit gagasan menemukan celah keluar, Sheraga mendengar embikan jahanam itu.
Domba-domba
hitam mengepungnya. Yang terdepan berjarak satu tombak belaka darinya. Melempar
api hanya memperlambat gerak pengepung, sedangkan jumlah mereka tak terhitung.
Mengular menutupi tangga. Sheraga lebih dahulu dikuasai pesimis.
Rentetan
desing angin terselip di antara derak, disusul kemunculan celah di antara
bahaya. Panah bertebaran. Himpunan domba tercerai-berai dalam usaha pembaharuan
tubuh. Menyisakan Nadav yang berdiri di ujung pintu.
“Ssh
... keluar kau!”
Tanpa
berpikir dua kali Sheraga mengikuti. Mengira Orim berhasil mengembalikan
kewarasan lelaki itu. Setiba di atas, api sudah merambat ke ruang tamu.
Membungkus keseluruhan rumah.
Serangkaian
letup bertalu dari luar.
Di
udara, terjadi pertukaran serangan yang sengit. Orim tengah berselisih dengan
seorang lelaki plontos berkulit keemasan, jelas-jelas itu pemimpi lain—Ganzo
Rashura. Mata sang Okultis membuka, dan dia menyandang tongkat pemukul.
Sementara lawannya mempergunakan senjata serupa yang mampu mengubah ukuran.
Gempuran
demi gempuran tongkat emas mendorong mundur perlawanan Orim. Tampaklah Ganzo
tidak gagal untuk menyudutkannya.
Sheraga
beranjak turut. Seharusnya itu bagiannya. Itulah pertarungannya. Ada
rasa bersalah membiarkan sahabatnya yang buta terus-menerus membelanya. Bukan
saja menyelamatkannya dari kegilaan Betshev Eliezer versi dunia ini, maupun
Baron Hanscale sang Penyihir. Jauh sebelum terdampar di alam angan, Orim selalu
berperan sebagai pelindungnya. Figur kakaknya.
Sang
Alkemis, memang tidak pantas dipilih untuk merealisasikan mahakaryanya.
“Ssh,
jangan bergerak!”
Sheraga
mengira itu pelampiasan dendam yang tertunda. Tetapi, tidak. Nadav justru
mengulurkan tangan kepadanya. Cahaya kehijauan terpancar dari sana. Seketika
itu, Sheraga merasa lengannya kembali pulih.
“Mengapa
kau menyelamatkanmu?”
“Ssh,
itu bukan urusanmu.”
Nadav
merentangkan tangannya, menghalangi Sheraga. “Serahkan padanya. Ssh, jangan
ikut campur. Kau hanya akan menyusahkannya!”
Sang
Pemburu menambahkan, “Intervensimu takkan berarti apa-apa, Asher. Ssh, kau—”
—lemah.
Sheraga
mengepalkan tinjunya. “Ini bukan soal kemampuanku,” protesnya. “Ini ...
mengenai kewajibanku!”
Tidak
sabar, dia pun memukul Nadav berbekal sarung pedangnya. Selagi lelaki itu
terdistraksi, Sheraga memanfaatkan waktu untuk berlari sebisanya.
Sosok
si plontos begitu mencolok dengan kulitnya yang berpendar bagai logam mulia.
Tidak sulit bagi Sheraga untuk mengunci sasaran dan segera melibaskan sihirnya.
Api berembus dari sapuan pedang. Menuju si kulit emas yang mampu
memanjang-pendekkan alat pertahanan.
Tak
disangka-sangka, kepalan tunggal menghalangi usaha Sheraga. Rasanya bukan
berasal dari manusia umumnya. Hantaman itu membuatnya terpental. Buas dan
beringas berliput aura hewani. Ketika mendapat gambaran mengenai penyerangnya,
Sheraga terlanjur gentas menghantam sebuah patung petinggi negeri.
Nadav
meraung mendapati lawan tambahan. Pria yang baru datang itu setara dengan
pemimpi rekannya, kulitnya emas diiring kepala tak bersurai. Hanya saja,
penampilannya begitu jauh dari sentuhan adab kesopanan.
“Hoo
... dasar kumpulan banci! Beraninya bertempur keroyokan!!” Pria itu membentak.
“Bertarunglah seperti pria sejati, orang-orang ceking!!”
Gertak
sambal yang tolol. Sang Pemburu menggeram tertahan, dengan senang hati
membombardir raksasa itu berbekal terjangan panah tiada jeda.
Nadav
malah makin murka. Pria agam lawannya tak mengelik. Alih-alih, hunjaman demi
hunjaman di tubuhnya seolah menambah besar perawakannya.
“Terimalah
kemarahan nabi perang!!”
Nadav
menyimpan busurnya, berganti pedang lengkung. Dia layangkan tebasan melintang
tanpa ragu. Si pria barbar mundur selangkah sebagai reaksi. Dadanya koyak
dalam, mengucurkan darah segar, tapi gerakannya melambat sedikit saja. Dia
sahut sang Pemburu dengan ayunan kapak bertubi-tubi.
Monster.
Lebih
buruk dari bangsa Helev tak beradab dari Tharnai. Rasanya sudah begitu lama
sejak Nadav bertemu dengan manusia yang mampu mengimbanginya tanpa daya
supernatural. Kini, dia mendapatkan jatah konsentrasinya sendiri.
Energi
kegelapan meluap-luap dari satu titik. Orim menjalankan ritualnya.
- 10 -
Bukan Sheraga, maupun apa yang ada dalam diri sang Alkemis.
Secara jujur, satu-satunya sosok yang Orim pedulikan secara tulus sepanjang
hayatnya hanyalah sang adik: Levannah. Dan alasannya tidak datang melalui
sebuah peristiwa singkat.
Levannah dan kakaknya bisa dibilang hampir identik secara
kepribadian. Keduanya sering menyepakati pandangan mengenai nilai-nilai moral,
berjiwa bebas, dan punya mimpi yang sama: mengubah dunia dengan cara mereka.
Levannah pun, masih begitu murni, ternyata memiliki pola pikir lebih matang dibanding anak-anak seusianya.
Dia dipenuhi rasa ingin tahu, serta kehendak untuk mementingkan orang lain di
atas dirinya.
Satu perbedaan dasar antara kakak-beradik itu, adalah Levannah
begitu keras kepala, sekaligus terlalu berperasaan. Tanpa berpikir panjang,
atas dasar menolong sesama, gadis itu tak segan menghadapi risiko. Dia rela
terbakar, demi menghangatkan sekelilingnya. Dan tiada yang dapat menghentikan
tindakannya, termasuk sang kakak.
Sikap kukuh itulah yang begitu Orim ingat dari Levannah hingga kini.
Keluarga mereka sebenarnya tidak menginginkan adanya keturunan
perempuan. Akibat perlakuan orang tua dan kecerdasannya yang tak diharapkan,
Levannah jarang tersenyum. Hari-harinya tak pernah luput dari isak tangis,
lebih-lebih oleh ketiadaan kawan.
Makin kuatlah alasan Orim untuk mengasihi adiknya. Begitu inginnya
dia berpartisipasi besar merangkai kebahagiaan gadis itu, sehingga Orim tak
pernah sanggup untuk menolak keinginan-keinginan Levannah.
“Kak,” kata anak perempuan itu suatu hari, “aku penasaran, bagaimana
sebenarnya orang yang bernama Sheraga Asher. Pasti dia sangat menarik.”
Orim takkan pernah menjawab pertanyaan tersebut. Lebih dari itu, dia
memasukkan Levannah ke sekolah tempat manusia jadi-jadian itu menempuh
pendidikan. Keputusan yang kelak Orim sesalkan.
Keingintahuan perlahan membuahkan rasa tertarik. Tak lama,
ketertarikan berubah cepat menjadi perasaan suka. Hari-hari Levannah yang
semula penuh tekanan, diisi dengan warna-warni keceriaan. Dia terus menyanyi,
mempelajari cara memainkan alat musik dawai, dan acap keluar rumah. Berlawanan
dengan pembawaannya yang pemalu.
“Tampaknya Sheraga mengubah hidupmu.”
Levannah mengangguk. “Tentu saja. Hatiku berdebar setiap kali
memandanginya,” ucapnya. “Kupikir, ini adalah apa yang disebut ‘cinta’.”
Orim membelai rambut adiknya dengan sayang. “Dasar .... Dia, kan,
bukan manusia.”
Si gadis, dalam kesempatan yang amat langka, menarik kedua sudut
bibirnya ke atas. “Bukankah, manusia dan Dayan yang justru lebih sulit
ditebak?” Dia terkikik malu-malu. “Aku hanya mencintainya dengan sederhana.”
Demi terus-menerus merasakan ekspresi melegakan itu, Orim membiarkan
adiknya leluasa. Maklum pada cinta kanak-kanak yang terjadi.
Bertahun-tahun waktu berjalan, tapi perasaan Levannah tetap gigih.
Berkat Sheraga, gadis itu selalu bersemangat. Ada harapan membara dalam
matanya. Membuat Orim bertanya-tanya, sejauh apakah sihir yang diterapkan pada golem
asuhan Perdana Menteri itu?
Levannah pernah menghambur dalam pelukan kakaknya sambil berseru
kegirangan, “Kak, dia menyukaiku!”
“Kamu yakin?”
“Aku dapat memastikannya!”
Itu mengundang perhatian Orim lebih dari apa pun. Dia mengikuti
Levannah. Membiarkan penglihatannya terbuka sejenak barang untuk melihat
sukacita yang paling nyata.
Akan tetapi, yang didapati Orim tak lebih dari gelegak amarah.
Banyak sekali perempuan berlomba-lomba menggapai hati Sheraga.
Namun, kepribadian yang ditanamkan pada laki-laki itu tak pernah mengindahkan
perlakuan-perlakuan yang ada. Sebaliknya, dia selalu menikmati kekecewaan demi
kekecewaan di depan matanya.
Levannah tidak terkecuali.
Sheraga telah lama menyadari perasaan Levannah terhadapnya. Dia
menerima perhatian gadis itu sepenuhnya, dan menampakkan kesan yang setimpal.
Namun itu tak lebih dari usaha untuk mempermainkan adik Orim.
Sayang, itu tidak menghentikan Levannah sama sekali.
“Sudahlah, Levannah!” pinta Orim. “Sebagaimana kita tahu, dia
bukan—“
“Tolong jangan katakan apa-apa lagi soal Sheraga!” tukas Levannah.
“Kak, aku ingin bertemu dengan Ayah. Ada begitu banyak pertanyaan yang hendak
kuajukan tentangnya.”
Untuk pertama kali, timbul ketidakselarasan yang sengit di antara
kakak-beradik itu. Orim berusaha mencegah adiknya. Namun apa daya, Levannah
melarikan diri pada satu momen kelengahan.
Itu adalah saat yang begitu Orim kenang. Mengenai ketidakberdayaannya
menghentikan Levannah. Sampai akhirnya buah ketidakmampuan itu adalah petaka.
Bukan saja untuk adiknya, melainkan anggota kerabatnya yang masih tersisa.
Malam itu, Orim temukan liontin adiknya berlumuran darah.
—
Baru saja memicing, tidur Netzakh terganggu paksa.
Begitu mengerjap, bara abadi berubah sejuk. Kesuraman berkepanjangan
tidak seperti biasanya. Dan dirasanya, dia berdiri di atas dua tungkai,
bukannya enam. Tangannya tidak berlendir.
Sang iblis dihadirkan ke dunia hayat. Satu tarikan napas usai dia
mengantarkan jiwa panas bernama Baron Hanscale ke sel tahanan.
“Dengar, temanku,” perintah suara jauh di dalam tubuh
sementaranya. “Bunuh dia! Jangan biarkan dia melukai Sheraga!”
Netzakh, iblis tingkat dua dari neraka paling bawah, dengan kurang
tulus menyanggupi. Melalui mata Orim, dia pandangi satu lagi calon penduduk
akhirat.
Merupakan hal yang menyedihkan, ketika mendengar khalifah Tuhan di bumi
bersikukuh bahwa penghuni neraka adalah para pembangkang. Yang pada Awal Zaman
diusir dari firdaus karena membisikkan pada pasangan manusia pertama mengenai
pengetahuan terlarang.
Dalam kitab-kitab suci, dalam rantai peradaban yang terus bergulir, dan
dalam berbagai kepercayaan yang tak putus-putus membiakkan cabang, manusia tak
hentinya menggambarkan iblis sebagai kaum terkutuk yang menjauhkan mereka dari
kasih sayang Yang Maha Benar. Kenyataannya, makhluk fana beruntung tersebut
sangatlah keliru.
Dan Netzakh baru saja terpanggil dari Ceruk Jahanam, untuk menghadapi
insan dalam kategori itu. Seorang laki-laki plontos berkulit menyala keemasan,
pertanda keimanannya yang begitu dalam terhadap “kesesatan”.
Pertama kali mendapati lelaki fana itu sebagai target untuk dibasmi,
Netzakh segera paham perlawanannya takkan berjalan mulus. Berbeda dengan Baron
dari pulau bergerak tempo lalu, si kulit emas dilandasi kepercayaan yang begitu
erat. Sesuatu yang selalu menghalangi sang iblis berlalu-lalang di dimensi
ketiga.
Kenapa aku harus repot? Iblis jantan itu bertanya-tanya. Mestinya
aku bersantai di hari libur. Sialan kau, Orim.
Akan tetapi, Netzakh teringat amal-amal baik teman karibnya. Sebagai
iblis, dia harus membalas kemurahan hati manusia itu tanpa kecuali.
“Wahai iblis!” Si plontos berseru tiba-tiba. “Aku tidak ingin
melibatkanmu dalam urusan ini. Perselisihanku hanya dengan dia yang kaupakai
tubuhnya. Sebaiknya kau enyah sekarang juga, atau kau akan kukirim paksa ke
neraka!”
Neraka memang rumahku, dasar tolol.
“Percaya diri sekali, rupanya,” balas Netzakh ringan. “Mari kita lihat
kebenarannya!” Daripada tersinggung, dia malah terhibur. Ada-ada saja kelakuan
fana menjelang hari kiamat. Berani benar menantang iblis. Andai tengah
bersemangat, manusia jenaka itu pasti dijahilinya terlebih dahulu.
Menggunakan raga Orim, sang iblis mengentakkan satu kaki. Memulai
tolakan panjang nan tinggi. Berbeda dari sebelumnya, pemanggil Netzakh membawa
alat pertahanan. Bukan favoritnya, tetapi cukup untuk melantakkan Helev dalam
sekali ayun. Sang iblis memastikan akan mengakhiri perselisihan ini dengan
ringkas dan elok.
Sasaran, yang menurut Orim bernama Ganzo Rashura, ikut menyambut
permulaan konfrontasi. Tatkala Netzakh berdebum di depannya, Ganzo meraih
senjata sejenis untuk menangkis sapaan tak santun itu. Dia pun melayangkan
libasan, yang ditahan lajunya dengan ketangkasan sepadan.
Netzakh membalas dengan sepasang percobaan meremukkan tengkorak lawan,
tetapi Helev itu sama sekali tidak lemah. Dia menampik serangan sang iblis
semudah membalikkan telapak tangan. Dipungkas dengan tumbukan ke dada. Netzakh
terdorong. Turut merasakan sesak napas. Kesaktian macam apa itu?
“Masih mau besar kepala?” tanya Ganzo pongah. “Dua kesempatan lagi. Aku
mengampunimu, iblis.”
Terhina, Netzakh mengerahkan kekuatan ekstra. Yang sebetulnya belum
Orim izinkan. Di neraka sang iblis memang bukan berasal dari tingkatan
cemerlang. Bukan pula merupakan satuan angkatan bersenjata elite. Namun
reputasinya sebagai pelindung desa tidak dapat dipandang rendah.
Pengalamannya selama dua ribu tahun masa fana telah teruji. Salah satu
bukti konkrit, sementara rekan-rekannya gugur, dia justru selamat dari gempuran
malaikat bersayap emas.
Akan semeriah apa gelak teman-temannya jika dia takluk oleh manusia?
Netzakh tidak bersedia membayangkannya.
Sepasang permukaan kayu kembali beradu di udara. Netzakh alirkan energi
pada kedua tangan, dan kaki demi kelincahan gerak. Dia timpakan fokusnya
sedemikian rupa dem menumbangkan Ganzo. Tamasya di ranah manusia tidak lagi
terlalu mengasyikkan, dan dia harus rihat.
Mengejutkan, sekian lama pertarungan bergulir, si makhluk dimensi
ketiga tak kunjung tumbang. Kekuatan serta kecepatan dua ciptaan Tuhan itu
seimbang. Terjangan sang iblis tidak pernah luput dimentahkannya, seolah-olah
dia punya indra untuk mengintip masa depan.
Netzakh menyodok, menyebat, mendulang teknik-teknik dari lautan
pengalaman dan dari segala sudut serang. Diingat-ingatnya lagi metode menumpas
pemberontak, iblis tingkat atas, dan bahkan pertahanannya dalam perang melawan
kaum malaikat yang congkak ....
Si plontos selalu dilingkup kewaspadaan. Sepadan lawannya, dia
berkonsentrasi penuh. Alih-alih terdesak sebagaimana seharusnya kodrat fana,
pada satu titik di mana Netzakh jengah, manusia itu justru menemukan celah
menggebuk balik. Satu entakan dari tongkat ajaib yang memanjang secara tak
terduga, dan sang iblis hilang keseimbangan. Senjatanya terlepas. Belum jelak
jua, Ganzo menyepaknya. Netzakh terpelanting menghantam sebongkah dinding.
“Satu lagi,” sebut Ganzo sinis. “Kuharap kau diberkati akal sehat.”
Tubuh sahabatnya berdarah. Remuk, tanpa tenaga. Puing-puing bata
menusuk-nusuk punggung. Asap panas seakan perlahan mengelupas paru-paru.
Terikat kesepakatan pemanggilan iblis, luka Orim juga siksaan bagi Netzakh. Dia
pun merintih. Setelah sekian lama kembali mengalami kesakitan yang teramat.
Apa aku terlalu meremehkannya? Sang iblis frustrasi. Ada apa
sebenarnya dengan fana yang satu ini?
Segigih apa pun iman, sepandai-pandainya ilmu, mustahil manusia
dilimpahi daya sedahsyat itu. Mereka mungkin amat dicintai Tuhan, tetapi
kekuatan bukanlah kelebihan. Penjelasannya selalu satu: mereka menjalin kerja
sama dengan bangsa gaib.
Tetapi ditinjau dari mana pun, Ganzo bukan tipe insan semacam itu.
Keyakinannya sangatlah jernih, dan Netzakh mampu menakarnya.
Sang iblis tak berniat menyingkap kesamaran. Selagi Ganzo masih
mengasihaninya dengan tidak menyerbu, Netzakh memperhitungkan serangan
penghabisan. Tidak butuh waktu lama baginya untuk memperoleh rencana. Ganzo
akan terbunuh, persis pria bernama Arca. Hanya perlu momen yang sesuai. Netzakh
akan mengorek kenangan paling pedih dari kulit emas keparat itu.
Sheraga Asher, pemuda janggal tak terdefinisi oleh sang iblis,
tahu-tahu mengambil peran dalam pertikaian. Dia pun babak belur, penuh lebam,
dan satu tungkainya kebas, tetapi keteguhan hatinya tak tergoyahkan.
Kegelapan sesekali terusik. Api menyembur di antara kabut amis. Denting
perkakas perang mengundang kegaduhan yang sempat hengkang. Kala Sheraga
menghimpun kekuatan susah payah, Ganzo sebatas menanggapi serangan pemuda itu
tanpa ketertarikan. Teranglah tujuan pria cemerlang itu hanyalah untuk
membinasakan Orim.
“Lawanmu adalah aku!” Terengah-engah, Sheraga melantangkan pada Ganzo.
“Jangan lihat yang lainnya!”
“Aku tidak ada kepentingan denganmu.”
Bermodal semangat naif, Sheraga mengibas-ngibaskan pedang peraknya.
Teknik yang Netzakh akui cukup untuk memberangus setengah lusin fana biasa.
Sialnya Ganzo, dalam mode tanpa emosi, berhasil menghindar dalam ritme gerakan
teratur. Bagai melayani permainan anak-anak saja.
Walau demikian, kesia-siaan itu bermakna peluang. Tanpa disadari siapa
pun, Netzakh telah menunggu di belakangnya, langsung menyergap kepalanya. Siap
menghadiahkan mair. Kena kau, cecunguk!
“Serahkan padaku, Sheraga!” kata sang iblis usil. “Sebaiknya kau diam
saja layaknya tuan putri!”
Sheraga merengut. Terlintas keinginan mencegah.
Dalam cengkeraman sang iblis, Ganzo tidak dapat berkutik barang satu
jari. Netzakh tersenyum puas. Sebentar lagi lelaki itu bakal ditelan
dosa-dosanya sendiri.
Sejurus kemudian, Netzakh menyaksikan ingatan-ingatan. Mulai dari detik
ini, dan bergulir mundur melompat-lompat ke masa muda Tanpa Rambut.
Pengamatannya persis, Ganzo pribadi yang religius. Kesalehannya melebihi
kebanyakan rohaniwan. Malah, dia menduduki posisi “Utusan Tuhan”.
Namun sewajarnya manusia, dia tidak bebas dari noda.
Sang iblis terkesan pada memori ketika Ganzo melawan orang tuanya
sendiri demi ambisi. Bagaimana di umur belia dia sering menyia-nyiakan hari
dengan mabuk-mabukkan, berjudi, dan bersenang-senang bersama perempuan. Dia
pewaris mutlak dari saudagar terkemuka di negerinya. Tetapi akibat sikap
semaunya, bisnis ayahnya hancur dalam kurang dari setengah dekade.
Begitu menyentuh kenangan itu, darah mengalir dari kedua sudut mata
Ganzo. Cahaya dari jasmaninya meredup. Dia berlutut, pandangannya kosong.
Bibirnya tiada henti berucap maaf kepada kedua insan yang berjasa
membesarkannya.
Tak ayal Netzakh menyimpulkan, plontos menyedihkan itu mengalami
delusi. Ganzo berusaha menghapus kesalahan-kesalahan, termasuk menolak
mengakuinya. Sintingnya, dia kelewat batas dalam memaknai pertobatan. Mengira
dirinya diberi wahyu untuk menyebar rahmat Tuhan.
Tunggu. Sesuatu berjalan tidak semestinya. Sungai ingatan Ganzo
menyusut, beralih suara-suara agung yang bukan berasal dari potongan masa lalu.
Dalam relung jiwa tanpa tepi milik lelaki itu, sepasang mata semerah darah
menyingkap lebar. Membuat Netzakh merasa dicacah ribuan pasak. Kuasa asing itu
menyudahi sihir penghakimannya.
Seluruh rangka Orim menggigil. Di dalamnya, Netzakh ketakutan bukan
main. Dia pernah mengenal aura mencekam barusan, bagai menemuinya di hari
kemarin.
Malaikat.
Ingin sekali, Netzakh berpulang ke habitatnya. Risiko tugas ini terlalu
berat. Baru tercetus saran agar Orim memanggil pejabat neraka, Ganzo menegakkan
diri dengan jemawa.
“Jujur, aku berterima kasih karena kau mengangkat ingatan atas
dosa-dosaku,” Ganzo mengakui. “Aku memang bersalah, dan patut dihukum.
Tapi bukan olehmu, dan bukan di sini.”
Sang iblis gentar sungguhan.
“Makhluk terkutuk, aku telah memberikan keadilan kepadamu dan kau
menyia-nyiakannya. Sekarang, terimalah perwujudan karma.” Ganzo
mengumandangkan, “PASUKAN VARSAKHTAN!!”
Sebaris komando. Netzakh terkesiap.
Di antara ketiadaan yang menaungi pertikaian, seberkas galur sinar
membersil tiada pertanda. Dari dalamnya, warna-warni keemasan menyeruak keluar.
Lintasan itu meliuk-liuk sesaat sebelum menampakkan wujud yang paling nyata.
“Sheraga, jangan diam saja di sana!” suruh Netzakh. “Kau hanya akan
menyusahkanku!”
Pemuda itu pun menurut.
Sekejap, sang iblis dikitari sepuluh figur sejenis Ganzo Rashura.
Bedanya, mereka dianugrahi sepasang sayap berkilauan. Sang iblis tahu, jalan
pelariannya telah tertutup. Andai kata sekarang juga dia melepaskan ikatan
dengan pemanggilnya, sosok-sosok botak ini lebih dari mampu untuk mengejar, dan
memusnahkannya.
Netzakh patut meniru manusia. Dia harus kreatif.
“Aku tidak menyangka selera berbusana malaikat sangat buruk dewasa
ini,” ejeknya. “Kalian ini—“
Kalimatnya tidak tuntas. Dia mencermati para pengepungnya satu per
satu. Dan pemahaman yang mengerikan sontak menggemingkannya.
“Emet ...,” sebut Netzakh pada figur plontos yang paling tinggi.
“Chodesh, Yashar, Shem—“
Sepasang malaikat dari arah berlawanan coba menghunjam pinggangnya.
Beruntung, ujung tombak mereka mengenai udara kosong saja. Netzakh melompat.
Tolakan membawanya melambung. Bebas dari perintang.
Rupa boleh berganti, ingatan mudah dibajak, namun sang iblis mengenal
presensi sahabat-sahabatnya bak saudara kandung.
Kesepuluh makhluk tanpa surai dan berkepak itu, tidak salah lagi,
merupakan teman-teman seperjuangan Netzakh. Yang disangka tewas dalam
pertikaian melawan malaikat derajat tinggi bersayap emas.
Karena itu, Netzakh sudah siap dijamu oleh kehampaan tak terbatas.
Setidaknya, dia kalah dengan terhormat. Dalam rangka memenuhi balas budinya.
Kepada kumpulan manusia yang mempertunjukkan padanya betapa indah dunia fana.
- 11 -
“Tidak sepatutnya kau menyalahkan Dia,” Amram Yirmi sang Okultis
memberi nasihat. “Pembangkanganmu adalah alasan untuk segalanya. Dan sekarang,
kau tersisa seorang diri untuk mengemban tugas yang begitu berat.”
“Katakan itu pada keluargaku di atas sana!” hardik Orim.
Kemarahannya makin membara di dalam dada. “Makhluk yang kamu junjung tak lebih
dari bajingan! Menyelamatkan kita semua? Aku bahkan ragu dia mampu menolong
dirinya sendiri!”
“Aku kasihan pada orang yang tidak mau bertanya dan sertamerta
menyangkal perintah.” Amram menatapnya dari balik kepulan asap. “Jadi, Orim,
kau tak pernah diberitahu dari siapa saja Dia dibentuk?”
Orim tertegun. Pikirannya mengolah pertanyaan tadi. Lekas memautkan
pada tujuh pribadi, yang sempat dilihatnya melakukan pertemuan bersama ayahnya
beberapa tahun silam, serta berita yang sempat terdengar tak lama setelah itu:
tujuh Dayan kenamaan yang menghilang. Setahun sebelum “kelahiran” Sheraga
Asher.
“Jadi kalian ...,” ujar Orim dengan bergidik penuh jejap, “tidak
hanya menanamkan padanya satu kepribadian?”
Dia menerka-nerka benak Amram Yirmi sebelum mengikhtisar, “Kalian
membunuh orang demi membentuk sifat utuh keparat itu?”
Anggukan dari sang Okultis menguak kebenaran. “Karena kau
mengusik-Nya, bencana ini pada akhirnya kaudapatkan.”
“Demi Tuhan, sesat pikir macam apa ini!?” seru Orim seraya
menggebrak meja. “Kalian yang membuat benda itu. Bagaimana mungkin kalian
mengharapkan alat yang kalian ciptakan sendiri menjauhkan dunia dari
kehancuran?”
“Kadang kala, cara kerja takdir terlalu sulit dipahami,” jawab Amram
setenang air. “Jangan coba-coba menguraikannya dengan akal, karena kau takkan
mampu.” Dia menyerahkan sebuah tabut emas dan sebilah pedang perak berbilah
lurus pada lawan bicaranya.
Kemudian, dia paparkan pencerahan. Apa yang seharusnya calon murid
terbaiknya ketahui sejak awal, andai dia tidak mati-matian menutup mata dan
telinga.
Saat itu juga Orim merasa berdiri di depan bibir neraka.
—
Sejak kecil, Sheraga tidak memiliki banyak teman dekat. Senantiasa, dia
mampu menyadari kepalsuan niat anak-anak sebayanya. Dan terungkaplah sendiri,
satu demi satu, tujuan mereka ialah penghargaan masyarakat karena statusnya
sebagai putra pejabat.
Semua orang selalu demikian, memanfaatkannya semata.
Acap Sheraga merenungkan, apakah kehidupan yang amoral ini menuntutnya
untuk sama? Lebih-lebih, dia diterjunkan ke dalam sebuah ajang pertarungan.
Lantas belum lama menjerumuskan Betshev Eliezer ke dalam lembah kehinaan.
Embikan
Chavah mengembalikan pijakannya. Domba itu meminta pada tuannya untuk lari,
meninggalkan pertempuran yang masih berlangsung. Membiarkan Orim mengambil
alih. Seketika itu, Sheraga sadar akan posisi.
“Tidak,”
tandasnya. “Akulah pemimpinya.”
Chavah
menerangkan, Orim telah berbicara padanya. Lelaki itu akan memenangkan
pertandingan ini untuk Sheraga.
“Tadinya
aku bermaksud menjadikan sahabatmu sebagai pemimpi. Angannya begitu kuat hingga
menarik minat kami lebih dari siapa pun juga. Tetapi, pada akhirnya kami
memilihmu. Sebab impian Orim ternyata berpusar padamu.”
Senantiasa
dalam kegentingannya, Orim selalu hadir sebagai penolong. Lelaki itu bukan saja
sahabat sekaligus kakaknya. Dialah keseluruhan peran yang Sheraga inginkan dari
teman-temannya dulu. Orim-lah yang selalu membawanya kepada kebajikan. Lelaki
itu bahkan seakan-akan tidak mengharapkan hal lain.
Di
tengah kekalutan itu, sepuluh ‘tentara Varsakhtan’ mendekati Netzakh. Sang
iblis menghimpun aura pekat, meluncurkannya pada bala bencana itu, berjuang
menanti bantuan sementara Sheraga mengenalnya kali pertama sebagai sosok tak tertumbangkan.
Makhluk itu hampir tiba pada batasnya, dan itu tertera. Napas Orim yang
dipinjamnya makin memburu.
Tahu
niat tuannya, Chavah menggigit pakaian Sheraga. Jangan libatkan dirimu,
cegah si domba. Sahabatmu sudah siap menerima risikonya.
Sheraga
mengerti maksudnya. Dan batinnya pun berkecamuk. Dia berlari, menghunus
pedangnya. Namun jarak dirasanya makin melebar dan terus memisahkannya dari
tujuan.
Netzakh
mulai tercabik. Tingkat serangannya berkurang. Gerakannya melambat. Dia
terhuyung-huyung. Lengah, satu makhluk keemasan menunggu di belakangnya. Begitu
sang iblis menoleh, rekan Ganzo sudah bersiap-siap. Tombak dihunjamkan tanpa
ampun. Menembus perut Orim.
“Tidak ada lagi yang tertinggal dalam
umurku, kecuali dua orang adik. Bisa memberikan arti pada hidup mereka, itu
semua sudah cukup bagiku.”
Sheraga
ingin berteriak, tetapi tiada suara yang terbebas. Dia ingin maju, mengubah
takdir dalam perjananan memutus ketetapan paling absolut. Namun tiba-tiba
pemandangan meluruh. Dia tersungkur, kehilangan daya dan asa. Kesadarannya
melingsir pergi. Barangkali dengan nyawanya juga.
Sudah saatnya kau pergi, Levannah.
- 12 -
Pada usia dua puluh empat tahun, Orim mulai menebus kesalahannya
dengan mengerjakan amal-amal mulia. Keras hatinya meluluh, beralih keinginan
untuk sebisa mungkin membantu siapa pun yang memerlukan serta mengesampingkan
hal-hal kefanaan. Walau masih tak luput kesedihan atas dosa-dosanya, Orim
berusaha selalu tersenyum.
Yang paling penting, dia kembali menjalankan kewajiban utama. Mulai
sedikit demi sedikit melibatkan diri dalam kehidupan sang Alkemis.
Usaha Orim tidak mudah.
Bertentangan dengan moralnya, Sheraga Asher adalah pemuda arogan dan
serampangan. Dapat pula dikatakan setengah gila. Kecerdasannya memang tak
diragukan lagi, tetapi juga diimbangi dengan kelicikan tiada tanding. Posisinya
sebagai putra pejabat dimanfaatkannya untuk meraih jenjang pendidikan yang jauh
lebih tinggi. Meninggalkan para Dayan begitu terpuruk di bawahnya.
Jadi bukanlah berita yang mencengangkan, banyak pihak menghendaki
kegagalan bahkan kematiannya. Lebih parah, dengan fakta bahwa dia Helev. Tak
terhitung lagi berapa kali pemuda itu selamat dari cengkeraman sang Maut,
tetapi terkungkung dalam bermacam-macam kejatuhan dan arus gunjingan.
Puncaknya, musuh-musuh Sheraga merayakan pesta puji syukur. Pemuda
itu keluar dari satuan khusus rohaniwan atas pelanggaran yang tidak pernah
dilakukannya.
Orim mengamati rangkaian kesialan itu dan menimbang untuk
berinteraksi. Dia berhasil. Memang perlu perjuangan panjang, sampai Sheraga
akhirnya menerima kehadirannya sebagai kawan.
Suatu ketika, sang Alkemis menampakkan sisi dirinya yang lain—yang
nantinya Orim biarkan sebagaimana adanya.
“Sebetulnya, aku ingin semua kekonyolan ini berakhir,” cetus Sheraga.
Harapan Orim meriap. “Jadi ... kamu mau berubah?”
Sheraga menggeleng. “Salah. Yang harus berubah, adalah dunia ini,”
jelasnya. “Aku sangat membenci Dayan—“
Orim disambut kekecewaan. Nyatanya, pandangan berkilat liar itu
terbit kembali. Dia paham, kepribadian dominan yang kelam takkan pernah mati.
“—Dan Helev. Mereka semua harus diatur menuju keselarasan.”
“Jangan bercanda,” tanggap Orim sambil lalu.
“Tidak,” balas Sheraga datar. “Omong-omong, aku mempertimbangkan
saranmu untuk meninggalkan bidang keagamaan. Akan kutekuni ilmu pengetahuan dan
menjadi cendekiawan. Kau tidak salah. Itu memang jalan tercepat untuk
mewujudkan impianku.”
Petaka pun terjadi. Pembawaan Sheraga yang cenderung mengangkat
dagu, mengundang kebencian di mana pun dia berada. Betshev Eliezer, pimpinan
ilmuwan di Majelis Penelitian, dan yang paling berkepala dingin sekalipun,
berhasil diluruhkan pertahanannya.
Dan untuk kesempatan yang kedua, kepandaian Sheraga tak berarti di
hadapan nasib. Lawan-lawannya berhasil mendepaknya dari ranah mereka,
memperoloknya sedemikian rupa, dan lebih dari itu, menyebabkan Natan Asher
untuk kali pertama meragukan putranya.
“Aku melihat harapan di
matamu. Aku melihat titik terang bagi dunia dalam dirimu. Aku melihat
masa depan serta keadilan dalam visimu. Dan selama ini aku terus berlandas pada
keyakinan itu. Aku amat memercayai engkau sejak Dia hadirkan dirimu ke dalam
hidupku. Sayangnya, sekarang kusadari bahwa aku pun masih terlalu naif.”
Perkataan sang Perdana Menteri tersebut, berujung titah pengusiran
Sheraga. Orim dapat merasakan pendaman amarah yang siap meletus sewaktu-waktu.
Tak pernah ada yang mengatakan, Orim tidak dapat berbuat apa-apa.
Maka terlintaslah sebuah gagasan. Sebelum Sheraga berbuat onar lebih parah,
sang Okultis melakukan tindakan nekat.
Dia menculik Sheraga. Membawanya keluar benua, menuju Hagashah.
Dibekali banyak ilmu sejak pendidikan terakhir dan relik pemberian
Amram, Orim menyegel ingatan pemuda itu serta merekaulang sifatnya. Sudah
merupakan kepastian, Orim pada akhirnya memilih sifat seorang insan sebagai
pedoman.
Levannah, adiknya. Gadis keras kepala dan penuh rasa ingin tahu,
tetapi juga diiringi dengan kebaikan hati dan rasa peduli yang begitu apa
adanya.
Kepribadian adik Orim, berpadu dengan gabungan tujuh manusia yang
membentuk satu kesatuan, menjadi sosok baru. Pemimpi yang suatu ketika
dibukakan kesempatan merealisasikan mahakaryanya.
“Namamu ... Sheraga Asher,” kata Orim pada pribadi yang terlahir
kembali itu, masih takjub pada kreasinya.
“Apa yang terjadi padaku?” tanya Sheraga. “Siapa kau?”
“Aku Orim, sahabatmu,” sahut pengendalinya, seperti bicara pada anak
kecil. “Aku ... selalu bersamamu. Kita di sini karena inisiatifmu.”
Lalu Orim mengatakan apa yang perlu diketahui sahabat sekaligus adiknya—secara
harfiah. Seluruh sejarah palsu yang dipersiapkannya sejak lama.
“Levannah, mari kita menjaga-Nya
bersama-sama.”
—
Pada embusan terakhir sang iblis, nama tertinggi dari neraka terlontar
sebagai salam perpisahan.
Kontrak dengan penghuni neraka berarti mengikat jiwa sepenuhnya pada
makhluk itu. Kala sang iblis hancur, itu pun berlaku bagi pemanggilnya.
Maka, itulah yang terjadi pada Orim. Malaikat Varsakhtan—dahulu bernama
Yashar—menikamkan senjata menembus dagingnya.
Orim tersentak ke depan, tersengal-sengal dan terkejut. Menyisakan
ketidakpercayaan.
Deret-deret bangunan semakin panjang, kelabu, dan bergolak-golak.
Pandangannya menyempit. Orim merasakan pecahan batu di bawah pipinya. Panas
yang menyengat kulitnya. Tubuhnya bergeliat, berusaha bangun, namun dia sadari
sebelah tangannya meluruh. Hancur menjadi serpih. Dia terperangah ketika
debu-debu berkilauan itu melintas di samping wajahnya.
Kemudian hitam tak terbatas. Menandakan perjalanan menuju kesengsaraan.
Aku kalah. Gagal sejak awal.
Menjelang detik-detik terakhir, Orim teringat tahun-tahun hangat itu.
Kenangan-kenangan menyenangkan itu. Momen yang tenang penuh kebebasan itu. Saat
Levannah, adiknya, masih berada di sisi. Mengisi ruang-ruang hampa dalam
hayatnya.
Penyesalan terbesar, dia tidak mampu melindungi sahabatnya—orang yang
diamanahkan padanya. Pemuda itu akan terancam, hilang arah, sendirian dalam
perjalannya sementara bahaya mengintai.
Tidak. Kamu bukan adikku.
Kekhawatiran Orim tidak beralasan. Sebaliknya, saat kematiannya tiba,
Levannah dalam diri Sheraga pun sirna. Pemuda itu akan jauh lebih kuat, tetapi
juga ... disertai kelaliman.
Segel tidak kekal.
Setelah sekian lama, Orim merutuki kepercayaan dirinya yang gegabah.
Alih-alih menuntun Sheraga menuju kebaikan hati dengan ketekunan, Orim malah
memanipulasi sifatnya. Ketika sebagian jiwa adiknya musnah, sesuatu yang buruk
takkan terelak. Jiwa yang terkurung akan melampiaskan kesumatnya. Siapa pun
bisa menjadi korban.
Tiada kompromi bagi takdir. Sesal adalah sia-sia, takut itu miliknya,
maka Orim mendaras doa.
Dia himpun sisa kesadarannya demi mengingat kalimat-kalimat permohonan.
Terpujilah Engkau, Tuhanku dan Tuhan bagi ayah serta ibuku. Jadikan kematian
sebagai penebusan atas dosa-dosaku.
Luapan kesedihan itu mencapai titik akhir. Nyawanya pupus. Tangis
senyapnya membeku, lalu lebur bersama udara. Keseluruhan jejak hidupnya
memudar, menjelma kawanan debu gemerlap. Serempak menggapai negeri baka.
- 13 -
Di
luar dugaan, kesuraman Bingkai Mimpi musuh terangkat. Sebagaimana semestinya
hari senja. Gumpalan mata yang mengendap di balik awan sirna. Corak darah
meresap tak berbekas. Kutukan penuh horor menguap. Menampilkan sebuah kota
mengagumkan, bertabur bangunan-bangunan menjulang serbaputih.
Sebaliknya,
langit di arah barat tampak digerogoti teruk. Sebagian Negeri Shim, Bingkai
Mimpi Ganzo. Jauh lebih mengerikan dibandingkan terakhir dia berada di sana.
Pria itu nyaris terpuruk. Bagaimana mungkin?
Sang
Nabi merasa begitu dikhianati. Benaknya menerka-nerka berbagai spekulasi: para
konservator Museum Semesta mengatur skenario kekalahannya. Mereka ingin dia
mempersembahkan karya seni belaka tanpa memberinya kesempatan.
Pemenang
pertandingan sudah ditetapkan sejak awal. Apa pun yang para penentang usahakan
demi melawan orang ini, akhir hanyalah kesia-siaan bagi mereka. Tambahan patung
koleksi galeri tak terelakkan. Dan baru saja, Ganzo menjadi salah satu dari
golongan malang tersebut.
Memikirkannya
terus-menerus, makin memperlebar luka batinnya. Ganzo memohon petunjuk kepada
Tuhan, meminta dipelihara akal budi oleh-Nya, tetapi tak ada gema benak. Tiada
pertanda-Nya seperti momen-momen yang berkesudahan. Sang Nabi mengerti, dia
mesti mengakhiri ketidakadilan yang terjadi dengan tangannya sendiri.
Tapi
apa? Apa yang harus kulakukan?
Matanya
memindai. Seorang teman sang Pemimpi masih terpaku. Dia tertunduk, sepertinya
membacakan doa kepergian yang paling syahdu. Ganzo membiarkan saja,
mengenyahkan keinginannya mengayunkan senjata demi pelampiasan emosi, sebab dia
tidak boleh mengganggu orang yang sedang berkabung. Sedangkan satu lagi,
seorang pemanah dalam balut penutup, tak ikut campur dalam duka itu.
Di
sisi lain, pertarungan Shamonten dengan si pemanah jangkung pun usai. Sang Nabi
Keempat berkomentar, “Apa keadaan ini akan tetap?”
Pemuda
pucat berambut gelap masih bergeming. Dengan sendu mendekap debu orang terkasih
di tangannya. Tidak ada pertanda kawannya akan bangkit kembali. Tiada alamat
kemunculan panitia, embikan, maupun portal dimensi.
Apa
yang terjadi?
“Seharusnya saat kukalahkan pemimpinya,” terang Ganzo, “Bingkai
Mimpi ini yang hancur.”
Si
pemanah kontan meledak dalam tawa—yang terdengar begitu menjijikkan di telinga
Ganzo. “Sssh, plontos bodoh! Yang baru saja kaubunuh, bukanlah pemimpi. Orang
itulah yang sebenarnya!” Dia menuding rekannya.
Ganzo
terkejut. Demikian dengan Shamonten. “Apa maksud semua ini?”
Sang
Nabi tak menyahut pria itu, dan malah menghampiri lawan sesungguhnya. Ganzo
memandangnya penuh iba. Bisa dibayangkan betapa pedih penderitaannya saat ini.
“Maaf,
Kawan,” pinta sang Nabi dengan tulus, “aku sebetulnya ingin bertarung denganmu
secara adil. Aku tidak bermaksud untuk merenggut sahabat—“
Pemuda
itu berpaling. Senyumnya lebar terkembang. Mata kelabu yang semula suram,
beriap kilatan liar.
“Kenapa
harus meminta maaf? Justru aku berterimakasih kepadamu.” Dia pun berdiri,
sekukuh batu karang. Tak tampak alamat duka cita sama sekali.
Ganzo
mundur dengan panik dan curiga. “Hei, jaga langkahmu!”
Musuhnya
tertawa. “Kau takut padaku, Botak?”
Tidak
ada jawaban.
Si
pemuda terus maju. Tiap laki-laki itu melangkah, lidah api menyebar ke enam
belas arah mata angin. Dihunusnya pedang perak ke depan. Ukiran kalimat asing
pada permukaan logam itu menyala kemerahan. Asap pekat tipis menguap dari sana,
lalu menyebar ke badan senjata, dipungkas dengan seluruh bilahnya berubah
hitam.
“Tapi
bagaimana pun, kau adalah lawanku. Perselisihan kita tak terelak.”
Tanpa
mengindahkan etika tempur, pemuda itu mengayunkan senjata. Tahu-tahu, tebasan
melintang telah menghiasi dada Ganzo. Sang Nabi mundur, tersengal-sengal dan
masih menyisakan beribu tanda tanya. Jaketnya koyak. Darahnya bersimbah.
Shamonten
berinisiatif menyerang pemimpi itu sebelum rekan pemanahnya berkutik. Tetapi tinju sang Nabi Keempat yang besar
dihentikan lajunya tanpa halangan apa pun. Si pemuda kurus mementahkannya
dengan tangan kosong, lalu menolakkannya.
Tak
ayal, Shamonten terpental. Sebuah rumah dua tingkat menjadi korban empasan
tubuh raksasa setinggi tiga meter. Asap berpadu debu sesaat menghalangi
pandangan. Ganzo terbatuk.
Si
pemanah mendesis geram. Dia menghampiri rekannya. “Ssh, Asher! Apa yang—”
Tanpa
pandang bulu, Asher meninju ulu hatinya. Dengan kekuatan sebesar itu, lain dari
Shamonten, si pemanah hanya hilang keseimbangan. Sesaat terhuyung, sebelum
bersiap dengan panahnya. Jelas dia bukan manusia biasa.
Asher
tidak terkesan. Tanpa ampun, dia menghadiahkan sepasang tendangan. Gerakannya
begitu sekelebat sehingga Ganzo hanya menyaksikan hasilnya. Patung putih bersayap
terdekat lantak diempas tubuh jangkung si lelaki mendesis. Dia tidak bangun
lagi. Pun tiada tanda-tanda kehidupan.
Ganzo
terganga. “Sadarlah! Kau dipengaruhi kemarahan—iblis dalam dirimu!”
“Iblis?”
Asher balik menatapnya. Alisnya saling bertaut. Raut wajah depresi yang
senantiasa ada padanya terangkat. “Maksudmu, kegilaan yang lebih parah dari
memiliki teman imajiner? Bung, kauperlu tahu: aku tidak percaya adanya iblis,”
dia mengutarakan. “Sebagaimana aku tidak yakin pada tuhan.”
“Apa?”
Itu membuat Ganzo tersulut. Dia pernah mendengar tentang masyarakat ateis,
namun baru sekarang berjumpa dengan satu. “Bagaimana mungkin itu—“
Asher
seperti berteleportasi. Ganzo merasa dunia setengah sureal, sebab tiba-tiba dua
buah jari pipih menyentuh bibirnya. Musuhnya berada tepat di hadapan.
“Karena
... ada tuhan maupun tidak,” katanya, “bukankah kita tetap makhluk fana yang
menyedihkan? Bukankah kita tetap harus berjuang sendiri dalam kerasnya hidup?”
Asher
melepaskan abu dalam genggaman. Milik Orim. “Misalnya orang menyedihkan ini.”
Keringat
Ganzo mengucur sederas sungai Varsaria. Dia beringsut ke samping.
Asher
makin mengguncang imannya lagi, “Untuk apa meyakini sesuatu yang bahkan tidak
berkenan membantumu? Sosok yang memintamu terus bertasbih kepadanya sementara
dia bahkan tak sedikit pun tergerak untuk menolong kita? Manusia berhasil
berkat usaha mereka, dan gagal karena kelemahan masing-masing.”
“Itu
tidak benar!” Ganzo bersikeras.
“Kalau
begitu, untuk apa manusia diciptakan? Untuk apa tuhanmu mengadakan dunia ini?”
Ingin
sekali Ganzo menjawab, menyadarkan lawannya kepada kebenaran yang hakiki.
Kenyataan mengenai dunia dan isinya bahkan dapat dipahami oleh logika anak
kecil yang begitu sederhana. Dalam tekanan yang ada, sang Nabi mengumpulkan ingatannya,
pengetahuan-pengetahuan yang pernah diperolehnya. Sayangnya dia tidak menemukan
apa-apa, kecuali argumen pribadinya.
Adalah
tugas Ganzo Rashura, sang Nabi Awal Zaman, untuk menuntaskan teka-teki Tuhan.
Namun dia belum mampu melaksanakannya.
“Karena
kau tidak menjawabnya, aku beranggapan kau belum paham. Maka biar
kuberikan alasannya: tuhan tidak lain menciptakan manusia hanya untuk dijadikan
hiburan berdarah yang menggelikan!”
“Jaga
ucapanmu! Jangan mengada-ada!” Ganzo mengeratkan tinju. Rahangnya mengeras.
“Aku nabi. Aku sadar betapa Tuhan begitu mengasihi manusia. Kau dan aku, kita
semua, segenap makhluk. Jangan sesumbar pada hal-hal yang tidak kamu ketahui!”
“Benarkah?”
Asher mencibir. “Aku bahkan mencium keraguan dalam pengakuanmu. Kau juga
menyangsikan tuhanmu.”
“Tutup
mulutmu!” Walaupun mengatakannya, secara jujur, ada sebagian sisi diri Ganzo
yang ingin mendengar keterangan Asher. Pemuda itu tidak sepenuhnya keliru. “Bagaimana
mungkin kau memahami kebesaran Tuhan? Hatimu tertutup oleh begitu banyak dosa!”
serunya demi mengenyahkan bimbang.
“Saat
aku menjadi orang baik menjurus tolol, Nabi, itu tidak lantas menundukkanku
bagai lembu yang ditarik hidungnya. Karena aku tidak pernah berpikir
menggunakan ketakutanku. Aku selalu percaya kemutlakan tuhan ada akhirnya dan
kita akan bisa membalas perbuatannya.”
Rupanya
sejak awal pembicaraan ini tidak ada manfaatnya. Asher tak sepandai perkiraan.
Pembual yang berani menghujat sementara pengetahuan masih begitu dangkal. Tidak
sadar betapa kecil eksistensi mereka di alam raya—jenis umum dalam era baru
dunia yang sakit. Adalah sebuah kesia-siaan mendebat mereka, sebab kebodohan
sama sekali tanpa batas.
Sang
Nabi Kelima Varsakhtan tak berminat melayani manusia bebal semacam itu. Ya,
insan penyebar penyakit sosial seperti Asher lebih dari patut untuk
dibinasakan.
Satu
kaki Ganzo menapak tanah kuat-kuat. Tolakannya membuahkan lompatan panjang,
langsung bersemuka dengan Asher. Denting keras mendepak keheningan. Si pemuda
menahan serangan sang Nabi dengan pedangnya. Dan selagi kedua senjata saling
bertumbukan, tujuh buah pijaran terbit dari udara di belakang Asher.
Menghidu
aroma petaka, Ganzo menarik diri menjauh. Diduganya sihir Asher akan
mengejarnya. Ternyata perkiraan sang Nabi tidak terbukti. Si pemuda berambut
panjang berdiri tenang sambil menyilangkan lengan di depan dada.
“Membosankan
kalau kau mati mudah,” ujar Asher. “Begini saja, Nabi, aku punya pertanyaan
dasar: apakah tuhanmu mahakuasa?”
Pertanyaan
macam apa itu? Ganzo berpikir. Demi mendapat sejenak waktu untuk menilai titik
lemah musuh, dia tak segan menjawab, “Tentu saja!”
“Lantas
kenapa dia tidak berdaya di hadapan Kehendak? Kenapa Mirabelle dan sejenisnya
eksis? Mengapa duniamu ikut menjadi taruhan dalam ajang omong kosong ini? Dan
kenapa peragu sepertimu terpilih sebagai nabi? Tuhan macam apa yang memilih
panutan tidak becus seperti ini?”
Telunjuk
Asher membuat lingkaran khayal di atas kepala. “Kalau kau bisa menjawab
pertanyaanku, aku bersedia botak sepertimu.”
Ganzo
menggigit bibir. Teringat pada perkataan Tuhan Varsakhtan sendiri yang begitu
bertentangan dengan nilai-nilai personalnya. “Aku tidak berani menjawabnya.”
Asher
terkekeh. “Sudah kuduga. Itu menjelaskan segalanya. Bahwa apa yang kaupuja
tidak lebih dari lelucon. Bagaimana kalau kukatakan bahwa, tuhanmu itu tidaklah
seperti yang kaukira? Dia makhluk bejat yang mempermainkan kau dan duniamu.”
“Kau
sudah di luar batas, Asher,” Ganzo menyatakan. “Aku memberimu kesempatan untuk
memohon ampun. Lakukan sekarang atau kau akan terima perwujudan karma!”
“Karma,
karma, karma ... huh?” Sheraga mengernyitkan dahi. “Aku tidak tahu apa itu.
Tapi yang jelas, kau mulai marah sungguhan. Ini tidak seru lagi. Oleh karena
kesediaanmu, aku berbaik hati menunjukkan padamu kebenaran. Semua yang kauperlu
tahu. Temanku adalah Barkiyal sang Raja Neraka. Dia akan membantu kita.”
“Kau
bilang—“
“Bercanda,
Bung. Ateisme itu masa lalu. Aku ini taat. Aku pernah menjadi rabi. Aku cuman
senang mengobrol dengan orang lucu seperti kau.” Asher memandangnya dengan
sangat, sangat terhibur. “Iblis itu ada, dan mereka temanku. Terima kasih atas
waktumu, Sobat! Kau manusia yang baik!”
Suara
Asher memberat. “Nefarrath, kembalilah ke surga!”
Dan
dalam kontak yang singkat, Ganzo melihat peristiwa-peristiwa kosmis itu. Tuhan
menghilang dari singgasana, tetapi dunia belum berakhir dan berdiri sendiri.
Makhluk-makhluk dan dimensi mereka tetap bergerak tanpa pengendali. Tidak lama,
perang akbar antara malaikat dan iblis pecah di jagat tertinggi. Pihak malaikat
menang. Beberapa di antaranya penjaga dari beberapa bentala, sebagai dewa dan
dewi.
Namun,
seorang malaikat bernama Nefarrath menyamakan dirinya dengan Tuhan. Para iblis geram
dengan tingkahnya, nahas kuasa mereka terbatas. Para malaikat pun tidak
mengindahkan pelecehan itu.
Sebuah
suara menghentikan rangkaian kejadian. “Hambaku, jangan percayai apa yang
engkau lihat! Itu adalah dusta tiada peri!”
Suara
itu tak membendung arus kebenaran. Panorama berganti sebuah dimensi. Malaikat
Nefarrath sang Sayap Emas menggerakkan perang besar pertama di dunia tersebut.
Banyak korban berjatuhan. Dan dari balik kekacauan itu, lahirnya seorang
wanita. Ganzo mengenalnya sebagai Nabi Adeve. Pemandangan berakhir pada masa
kini. Dengan Asher menatapnya penuh penantian.
“Jadi,
Nabi, selama ini kau diutus malaikat pembangkang? Untuk apa?”
Pantas
saja segalanya begitu salah. Mengapa orang penuh dosa seperti dirinya yang
menjadi nabi? Mengapa “tuhan” justru menyenangi masalah yang sama sekali tidak
selesai? Mengapa sesosok makhluk tiada henti mengaku maha kuasa di saat ada
kekuatan yang jauh lebih tinggi ketimbang dirinya?
Begitu
banyak kejanggalan dan Ganzo terus menumpulkan akal sehatnya. Dia terpuruk, menangis
darah. Warna emas pada permukaan kulitnya lenyap.
“Tuhan
atau makhluk bejat apa pun dirimu, aku tidak memercayaimu lagi!” murkanya. “Pergilah
kau dari hidupku! Enyahlah dari bumi kami! AKU ... BUKAN LAGI NABIMU!!”
Tubuh
Ganzo berasap kemilau. Uap-uap itu lantas termaterialisasi di sampingnya
sebagai tiruannya, masih berkulit emas. Tuhan Varsakhta—Nefarrath. Sekarang
alih-alih takzim, Ganzo muak bukan main dengan kemunculan itu.
“Ganzo
Rashura, wahai hambaku, jangan—“
Asher,
yang ternyata mampu melihatnya jua, menodongkan pedang ke leher Nefarrath.
“Jangan coba-coba kabur sebelum permainan ini usai.” Seringai si pengendali api
melebar. “Atau, Barkiyal akan ... memenjarakanmu ke Ceruk Jahanam terbawah.”
Nama
tertinggi neraka sukses menciutkan sang malaikat. Dia berdiri kaku siap tewas.
Asher
menghampiri Ganzo. “Aku memberimu kehormatan untuk membunuh tuhanmu. Silakan.”
Dia menyerahkan pedang kelamnya pada Ganzo, lalu menuntun kepada tiruannya.
Ganzo
gemetar setengah mati.
“Jangan
ragu. Ayo! Bukankah dia yang menjebloskan duniamu ke dalam derita? Tidak maukah
kau membalas dendammu padanya?”
Ya,
Ganzo amat benci kepada tuhan palsu ini. Kalau bukan karena kehadirannya, tidak
akan ada sekat-sekat bernama perbedaan keyakinan. Kalau bukan karena “ujian”-nya,
dunia akan sejahtera. Dan kalau bukan karena mimpi kosongnya, ayah Ganzo takkan
meninggal.
Pria
itu pun mengumpulkan keberaniannya, kebenciannya, impresi kekecewaannya.
Dipandu semua itu, Ganzo mengayunkan pedang secara vertikal, pada tiruannya.
Nefarrath
tak sempat menggelepar. Tubuhnya meledak. Pilar cahaya akibat kehancurannya
menghantam awan, melubanginya. Dari balik kepulan itu, jutaan bulu keemasan
menabur Bingkai Mimpi milik Asher. Membangunkan mereka yang terbaring.
Memulihkan mereka yang sakit.
Sekejap,
kumpulan manusia mulai berkumpul. Memerhatikan saksama pertarungan antara
dirinya dan Asher.
“Selamat,
Ganzo Rashura. Selamat!” Asher mengumumkan.
Mendengar
itu, salah seorang bertanya, “Apa maksudnya itu?”
Asher
menjawab enteng, “Dia pernah mengaku nabi, dan baru saja mengaku membunuh
Tuhan! Bukankah itu luar biasa?”
Orang-orang
itu terhasut. Biar mereka kafir sekalipun, mendengar sosok takabur
memproklamirkan diri lebih hebat dari penguasa semesta benar-benar melanggar
batas toleransi mereka.
Seorang
pria tua membentaknya, memecah ketegangan yang canggung. Ganzo mengernyit, tak
tahan. Kalimat-kalimat itu sungguh kabur.
“A-aku
... tidak melakukannya,” Ganzo memberanikan diri angkat suara.
Bohong! sahut suara
dari kejauhan. Yang lain malah menggumamkan kata-kata berupa hukuman mati. Tak
paham harus berbuat apa, Ganzo mengangkat kedua tangan. Pikirannya setengah
hampa.
Tawa
merebak di antara kungkungan manusia. Perkakas-perkakas teracung tinggi, siap dilempar
pada waktunya. Kobar permusuhan menyala di mata-mata terang itu. Mereka ingin
Ganzo dihukum. Mereka ingin tumpah darah. Darah mantan nabi yang menyedihkan.
Yang membantai tuhannya sendiri.
“Sekarang,
mau berlindung kepada siapa? Mau memohon ke mana?” Sayup-sayup, suara Asher
bertamu ke telinga Ganzo. “Kau sendirian. Kau kesepian. Tuhanmu mati. Semestamu
hancur. Kau penyebabnya. Dan kau tidak punya apa-apa lagi.”
Trauma
menjalar beribu-ribu kali lebih cepat mendobrak batas kewajaran, menghantam kewarasan
Ganzo. Sensasi, impresi, dan memori, seluruhnya bercampur kacau dalam ruang
benaknya. Menyerbu otaknya dengan rangsangan kegilaan, rampai memori buruk
tanpa menyertai kebaikannya.
Lamat-lamat,
Ganzo terbahak. Sekejap kemudian menangis histeris. Dia mencerling kedua orang
tuanya di mana-mana. Menggandakan diri. Menertawakannya. Bangga pada putranya
seperti pertama dia tertatih di usia dini.
“Aku
sayang ayah! Aku sayang ibu! Hahahaha! Ganzo anak baik-baik, tidak pernah
berbohong!” Tapi tak berlangsung lama, Ganzo membentur-benturkan kepalanya ke
jalan. Orang tuanya menjelma kerangka. Dan tulang-belulang menakutkan itu coba
mengepung putra mereka.
Ganzo
tidak mau mati di tangan mereka. Terlalu ngeri, dia menyodok-nyodok batang
lehernya dengan ujung tongkat.
Itu
adalah tontonan yang tidak mungkin dilupakan siapa pun. Seorang pria botak
tewas menghajar kerongkongannya sendiri.
- 14 -
Sesekali, kelenggangan abadi di Museum Semesta terganggu oleh
suara-suara. Kali ini penyebabnya bukan siulan makhluk mungil berkepala bantal,
melainkan sepasang konservator galeri raya yang tengah bercakap-cakap. Seorang
pria necis dalam balut jas ala mafia, serta wanita kukuh penyandang tameng dan
tombak.
“Satu pemimpi selesai membuat karya,” Zainurma menatap kanvas. “Kejam,
mistis, tapi aku suka.”
Lantas dia mengeluarkan katalog peserta. “Mirabelle, lihat ini!”
Di sebelahnya, Mirabelle mengintip dengan masyuk. Mengharapkan sesuatu
mengenai kontestan andalannya. Beberapa embusan rutin, dia mendengus. Terpaksa
kecewa. Yang tampil adalah wajah pemuda kaku berkulit pucat.
“Sejak dia memanggilku dengan panggilan aneh—Mahalath atau apalah itu,
aku mulai memerhatikan rekam ulang sepak terjangnya dari babak penyisihan. Dia
punya kecenderungan ke arah pribadi yang lebih baik lagi,” tuturnya. “Rupanya
aku keliru. Dominator. Aku tidak menyukai perubahan ini. Sudah lemah,
jahat pula. Dia tidak istimewa.”
“Tidak biasanya kau membagi berdasarkan keberpihakan moral. Semua orang
memiliki definisi masing-masing mengenai amal ‘baik’ dan ‘jahat’, Mirabelle.”
“Jadi kau menyebutku dangkal?”
Zainurma tidak menjawab, hanya menutup buku. “Aku tidak peduli bakal
jadi apa dia dan bagaimana. Bukankah yang terpenting adalah kebebasan kita? Aku
beruntung tidak memilih Orim Kohan sebagai reverier.”
Orim Kohan, sang Okultis. Mirabelle pernah menyaksikan sekilas riwayat
hidupnya yang penuh pengorbanan. Andai dia masih Dewi Perang, sifat seperti
Orim-lah yang diharapkannya dari umat.
“Aku lebih senang dengan Orim Kohan,” akunya. “Mahakaryanya untuk
menyinari dunia lebih tulus ketimbang yang pernah kulihat sampai detik ini.
Sayangnya dia gugur untuk menolong pengecut—laki-laki kemayu yang bodoh.”
“Setelah babak ini, Sheraga Asher tidak lagi seperti yang kaukira.”
Zainurma melipat tangan di depan dada. “Dia akan jadi kandidat terkuat kita,
dan aku yakin sekali.”
Mirabelle menggeleng. “Tidak. Aku punya wanita yang juga kujagokan.
Sosok yang jauh lebih hebat daripada seratus Sheraga Asher. Belum lagi dengan
robot mata satu, ahli ilmu iblis, dan peserta tangguh lainnya. Pemuda labil itu
bukanlah apa-apa.”
“Tampaknya aku tahu siapa yang kaujagokan itu.”
“Kau tidak perlu mengatakannya.” Binar harapan Mirabelle sejelas
kejayaan wanita pengubah wujud itu. “Dan yah, akan kuamati dia sekarang.”
Zainurma membuka katalognya lagi. “Kejutan! Pucuk dicinta, mampus yang
tiba. Aku punya kabar nyaris serupa. Pesertamu hampir menyelesaikan babak ini
sebagai pemenang, dan katalog karakternya pun mengalami rombakan.”
Air muka Mirabelle mengeras. Sekalipun pernyataan tadi tidak salah, dia
tak bersedia pasang mata dan telinga. “Jangan mencoba mengguncang keyakinanku
padanya.”
“Terserah kau saja,” sahut Zainurma santai.
Portal teleportasi terbentuk. Ketika Mirabelle melangkahkan satu kaki
ke seberang, Zainurma menundanya.
“Tunggu,” pintanya, “aku punya permintaan khusus.”
“Apa?”
“Sembuhkan Orim Kohan, tapi sembunyikan presensinya dari siapa pun.
Termasuk penyusup nakal yang memasuki Museum Semesta baru-baru ini. Kau bisa?”
Alis Mirabelle bertautan. “Penyusup?”
“Dia memang menyusahkan. Tetapi dengan membiarkannya, aku berfirasat
entitas itu akan memperlancar kejatuhan Kehendak. Dan aku ingin kita selangkah
lebih maju daripada dia. Aku tengah menguji beberapa hipotesisku.”
Mirabelle menatap tajam. “Kau mengatakan kedatangan penyusup. Kenapa
kau baru memberitahuku?”
“Bukan sembarangan pengacau, Mirabelle,” Zainurma tertawa.
“Mencermatinya terlalu lama, kau akan gila. Dia menyuruhmu untuk mati, kau akan
menggorok lehermu sendiri. Kalau kita berhati-hati, masalah tambahan ini justru
bisa bekerja di bawah kita.”
“Kau lupa siapa aku?”
“Kau pun belum tahu siapa yang menantang kita ini.”
Mirabelle mengalah. “Kau tahu makhluk apa dia?”
Zainurma menerawang ke ujung koridor galeri babak satu. “Tentu saja,”
ungkapnya. “Aku pernah bertemu dengan dia, jauh sebelum bergabung ke dalam klan
Nurma.”
Sang Kurator menjabarkannya.
Mirabelle didera kecemasan yang janggal. Namun perasaan itu
diabaikannya. Dari semula, relasi antara dirinya dan sang Kurator memang tidak
biasa. Mendapat jawaban hanya akan meruntuhkan kepercayaannya pada Zainurma.
- 0 -
Dengan
iblis bernama Netzakh sebagai ujung tombak musuh, tak perlu waktu lama untuk sadar
Ceruk Jahanam telah mempersiapkan sebuah kamar untuknya. Nadav memilih
menyambut ajakan hangat tersebut dengan tangan terbuka. Hanya saja, pada sang
kematian, dia menawar sedikit waktu untuk bersenang-senang.
Kepada
calon pencabut nyawanya yang begitu terkutuk, dia ungkapkan peristiwa
bertahun-tahun silam. Bagaimana Nadav membantai keluarga laki-laki itu. Betapa
dia menikmati menyaksikan keputusasaan di wajah para pengendali iblis itu,
bagaimana lengkingan permohonan ampun mereka, sampai pada akhirnya Nadav
memenggal leher kesemuanya tanpa ampun.
Secara
keseluruhan, dia mengatakan rangkaian kebenaran, terkecuali satu.
Nadav
tak pernah merenggut kehidupan anak perempuan Hidai Kohan. Gadis itu berhasil
melarikan diri dari bawah cengkeramannya, dan terbunuh tak lama kemudian oleh
usaha pelacakan yang lain.
Sang
Pemburu semata berfirasat, jika dia mengutarakan kebohongan itu, hiburan
baginya akan jauh lebih menarik. Dan itu benar adanya.
Orim
membongkar identitasnya sendiri. Tak alang, dia membobol pertahanan emosinya.
Kebodohannya merebak. Meski paham alat serang apa pun takkan berpengaruh pada
Nadav, Orim tetap saja melayangkan pukulan.
Lelaki
itu pun pergi, barangkali mencari gagasan yang lebih baik untuk menyiksa Nadav.
Dinding-dinding
yang mengungkung Nadav mendadak dikerumit merah. Dia mengedarkan pandangan,
mengira pertandingan atau apa saja terkait omong kosong Dunia Mimpi lagi-lagi
menelurkan keganjilan.
Terdengar
derap langkah terseret-seret. Seseorang menuruni tangga menuju ke ruangan itu.
Semula, dipikir Nadav, Netzakh telah kembali merasuki raga si lelaki bajingan.
Bermaksud menjadikan Nadav penduduk neraka.
Nadav
memanjatkan doa-doa akhir hidup. Namun bayangan yang terlihat adalah milik
seorang perempuan. Putri Ezar Raivah, lawan politik Natan Asher, gadis yang
harus Nadav lindungi keberadaannya. Gal Raivah.
Tertegunlah
dia. “Ssh, Raivah. Ada yang harus—”
Paras
gadis itu terpapar cahaya satu-satunya di dalam ruangan. Bersamaan dengan apa
yang dibawanya. Perhatian Nadav langsung teralih, dan agaknya terkejut. Dia
mengenali jasad itu.
“Makanlah,”
kata si gadis, seraya melemparkan seonggok tubuh tanpa kepala.
Dari
pakaian dan bentuknya, Nadav memperkirakan itu jasad Shena Shalafar. Dayan
kecil yang hidup bersama Asher dan Orim. Dan mendadak, jerat sihir yang
menjebak Nadav sirna. Sang Pemburu berdiri, menyeringai lebar mengejek para
penunggunya di akhirat.
Segera,
Nadav mengerti siapa pun yang dihadapinya hanya meminjam tubuh Gal Raivah.
Tampak sepasang mata keemasan, menggantikan yang semestinya hijau segar.
Suaranya barusan menyakitkan telinga Nadav. Bagai campuran beratus-ratus gema.
Jika Nadav makhluk berakal biasa, pikirnya, kemungkinan dia telah terkapar
tanpa nyawa.
“Kami
Vayehin,” sosok itu memperkenalkan diri. “Kami dan kamu punya musuh yang sama.
Orang terakhir dari klan pengendali iblis dan putra Raja itu.”
Vayehin.
Nama yang terdengar tua dan jahat, bagai istilah yang ada sejak zaman asali,
tetapi memancarkan kekuasaan yang tak terbantahkan. Tidak perlu waktu lama bagi
Nadav untuk sepakat.
Nadav
memutus lengan kecil hidangannya dan mulai menyantap. “Ssh, kau memintaku
bekerja sama?”
Bibir
Gal Raivah tak perlu bergerak untuk menyatakan persetujuan Vayehin.
“Nefarrath
telah memastikan kematian Orim,” jelasnya. “Tapi khusus untuk putra Raja, kamu
harus bersabar dalam menanganinya. Jauh melebihi perkiraan kamu, dia lebih
berbahaya dari para pengendali iblis, sebab yang mereka lindungi adalah sosok
di dalam tubuh golem itu.”
Jaminan
tewasnya Orim tidak sebanding keheranan yang timbul. Sekarang, Nadav
menyangsikan lawan bicaranya. “Ssh, tubuh golem?”
“Kalau
kamu memerhatikannya dengan lebih teliti,” ucap Vayehin, “kamu akan menemukan
kejanggalan.”
“Kau
membual!” Nadav memastikan kekeliruan Vayehin.
Asher
memang naif dan lamban, namun dia manusia. Biar bagaimana pun, orang itu tidak
terbuat dari lempung. Yang lebih menggelikan, mengesampingkan rumor yang
beredar, putra Natan Asher tersebut tak patut diwaspadai. Sheraga Asher begitu
rapuh, menyerupai perempuan yang tak mengakui takdir berada di bawah dominasi
laki-laki. Bukanlah perkara sulit untuk memutus kepalanya.
“Ssh,
bagaimana mungkin kaukatakan Helev tolol itu berbahaya?”
“Karena
dia adalah sumber bencana yang begitu nyata,” terang Vayehin. “Dan apa saja
yang kamu saksikan selama ini tentangnya, semua itu adalah kreasi Orim Kohan.
Dia yang meredam kejahatan murni dalam diri jelmaan angkara murka itu.”
Vayehin
lantas memberi penjelasan melimpah.
Mata
Nadav melebar dalam tiap pilinan kata. Melebihi berita apa pun yang pernah
menjumpai ingatannya, sang Pemburu terperangah. “Tidak mungkin!” bantahnya
dengan sengit. “Ssh, riwayatnya sudah berakhir sejak lama!”
“Musuh
yang paling berbahaya adalah yang tidak bisa kamu pahami.”
[Round 2 - End]
>Cerita sebelumnya : [ROUND 1 - 12L] 36 - SHERAGA ASHER | HASHACHOR HACHADASH
>Cerita selanjutnya : -
Di sini saya ngeliat gaya tulisan entri Sheraga makin enak diikutin, tanpa meninggalkan kekayaan kosakata dan keluwesan susunan kalimatnya. Entah, saya ga bisa ngepinpoint apa bedanya sama dua entri lalu, tapi yang jelas rasanya lebih 'accessible' aja, dan dengannya juga jadi lebih enjoyable
BalasHapusSaya suka banget kegalauan pre-battlenya. Ganzo dengan keraguan akan Tuhan dan misi yang ia emban, Sheraga dengan keinginan terpendam dan konfrontasinya sama Zainurma. Rasa"nya ini model ideal dari apa yang pengen saya sendiri bikin dari entri di taun ini. Lumayan nambah ilmu buat dicontek #plak
Dari segi poin materi yang dimasukin pun, rasanya lebih banyak dari kapasitas yang bisa saya tulis. Kalau biasanya saya cuma masukin satu-dua ide sederhana, kayaknya di sini tiap part cerita itu ngusik dengan pertanyaan yang berkelanjutan dari satu bagian ke yang lainnya sepanjang cerita
Sempet kebersit pertanyaan yang sama begitu Orim jadi proxy buat Sheraga dan masa lalunya banyak dibahas : kenapa bukan dia reveriernya? Tapi begitu Sheraga bangkit jadi Asher, langsung 180 ngubah persepsi awal saya. Adegan Ganzo dipecundangi sampe bunuh diri itu beneran brilian, ngepretelin aqidahnya sampe telanjang dan emang ga ada lagi alesan buat menang
Dan terakhir, ada paralel antara entri ini sama Anita, di mana dua"nya diakhirin dengan kebangkitan sosok lain, dan sekarang baik sang kurator maupun sang konservator punya jagoan mereka masing". Saya penasaran apa jadinya kalo Anita (Prima01) dan Sheraga (Asher) ketemu, lebih daripada ketemu Iris, meski saya bakal seneng kalo bisa ketemu keduanya di ronde depan nanti
==Riilme's CQC Score==
Hapus>Character likability
Saya agak indifferent sebenernya, karena dua"nya cukup likable. Tapi kalo bicara siapa yang pengen saya temuin, maka Sheraga dapet poin karena kalo Ganzo udah ketemu di ronde sebelumnya
>Sheraga
>Quality value
Level entri Sheraga lebih tinggi dari Ganzo, kalo dikasih penilaian angka objektif layaknya entri lalu, pasti poin buat Sheraga juga
>Sheraga
>Canon anticipation
Kayak yang udah saya utarain di komen di atas, saya tertarik pengen tau kelanjutan Sheraga (Asher) karena sekarang udah pergantian pemain gini
>Sheraga
3-0, VOTE Sheraga
Hmm ... sebenernya nulis kayak gitu karena buru-buru. Harusnya sih ya ... ada di ukuran tengah antara prelim dan R1. Abis pas minggu submisi bepergian terus *curcol*. Proofread aja ga sampe abis. Bahkan ada kalimat: ... kumpulan manusia berkumpul. Atau pemilihan kata yg terulang lg pd jarak yg amat berdekatan T_T
HapusTapi kalo ternyata yg begini lebih bisa dinikmati, well, ke depan pun saya bakal pake gaya begini aja. Wkwk.
Tadinya momen-momen galau itu mau dihapus karena bikin lama ._. Eh ternyata ada yg suka //syukurlah
Trivia: adegan ganzo jd gila, aslinya mau berantem dgn asher nge-raeg karena temennya mati. Tp itu cheesy, jd saya ubah ke battle biasa. Eh ga ada waktu juga. Akhirnya ending yg ada terpilih. Tp seneng karena pada suka :')))
Iya, saya juga ... cukup.berharap OC saya ketemu Anita. Iris sama--terutama, karena ada sesuatu yg saya siapkan. Walau mungkin itu berarti penampilan terakhir Asher. Wkwkw.
Makasih udah mampir, komen dan vote~~ Nanti saya kunbal ke entri Kak Sam (y)
Udah entri kedelapan belas aja www
BalasHapusKomentar saya nggak banyak sih, karena entri Sheraga (Asher) kali ini, meski padat materi, tapi penyampaiannya lebih ringkas, tanpa meninggalkan kekayaan diksi dan kata-kata bernilai tinggi. Kalau pace-nya begini saya lebih enjoy bacanya dan jujur, enggak sepusing baca prelim maupun R1.
Yang mau saya highlight sih bagian Asher, Orim, ama Ganzo aja.
Setelah muncul revelation Asher, ceritanya berubah total. Everything makes sense now. Terutama...
Di bagian Orim. Orim sebagai Scapegoat-nya Sheraga, dan segala tetek bengek antara Orim, Nadav, dan Sheraga harus saya akui membuat saya terkesan. Worldbuildingnya jadi kerasa sekarang.
Dan di bagian Ganzo sendiri, penggalian karakter dan kanonnya pas. Relation ke kanon Sheraga juga oke. Battlenya nggak banyak, tapi penyelesaian yang megah dan kolosal ala film-film fantasi epik bikin saya cukup bergidik.
Solid entry. Tapi vote-nya nanti setelah saya selesaikan semua komentar ya ;)
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
Jujur aja, yg tertulis itu (dan keliatan banget mulai bagian Ha-Ra) ... malah hasil keburu-buru banget. Banyak kalimat ga efektif dan typo. Diksinya mestinya ya kayak prelimnya T~T Apa daya waktu tak cukup.
HapusTapi kalo sekiranya masih bisa dinikmati, syukurlah. Wkwk. Dan kayaknya, emg mending pakai diksi yg biasa aja ya? Ok, catatan ke depannya.
Penyelesaian megah dan kolosal? Wkwk. Saya tersunjang :')))
Dan sy bingung mau ngomong apa lagi. Btw, makasih banget sudah membaca entri aneh ini. Ntar saya berkunjung balik (untung pasangan mbah pasanganmya sm yg udh komen jg jd kunbal-nya gak ke empat entri). Wkwk.
Buset.. entry ente tetap bikin ane kaget dari awal ampe akhir. Serius ane ampe nganga (bukan bengong, tapi takjub). (hampir) semua masa lalu chara dijelaskan begitu, ‘Waaah~!!’. Bahkan ane masih tercengang gimana ente singkronin karakter iblis Netzakh.
BalasHapusDan banyak hal yg SUNGGUH DILUAR DUGAAN dari sejarah Orim dan Sheraga. Ane jadi ga bisa bedain mana yg jahat dan baik di sini. Bahkan Ganzo dibikin sekarat mental disini. Setaaaaan! Mental ane ikutan jatuuuuh!
Ane klepek2 dan sakit hati gara2 entry ente! Tanggung jawab woe! *lempar keyboard*(?)
Ampun.. ane bingung mau komentar apa lagi.
Macam komentar om Sam, ini bisa jadi bahan contekan mantab.
Oh, tunggu. Ga jadi. Otak ane tar meledug untuk membuat genre besar macam ini.
Untuk voting nyusul setelah baca entry Ganzo.
N.V: Setelah dipertimbangkan dengan entry Ganzo, auth Lady in Black memutuskan untuk vote Sheraga.
HapusWadoo ... maaf membikin dirimu sakit ati. T_T
HapusTapi makasih udah klepek-klepek juga. :)))
Dan ane bingung gimana bales komennya lagi. :')))
Tapi, saya nanti kunbal ke entri sesama grup blek. Wkwk :*
Oh ya, terima kasih udah membaca entri ini :)))
HapusAsher :
BalasHapusDibanding ronde-ronde sebelumnya, entri ini jauh lebih ramah lingkungan eh ramah pembaca awam dengan kekayaan diksi yg variatif.
Mengesempingkan faktor teknis cerita, development dan alur ceritanya benar-benar “deep”. Berbagai fakta bermunculan terus muncul tanpa henti mengejutkan saya akan kebenaran dibalik sosok asher yang bisa dibilang kayak Anti-Christ di mata saya. Bahkan poin di mana “untuk apa mengabdi kepada Sesembahan yang tak peduli padamu?” itu bener-bener menggoda iman bahkan untuk OC sekaliber Ganzo. Sesuatu yg memuaskan rasa haus saya untuk entri bertema keimanan.
Saya penasaran seperti apa sosok yg berada di dalam golem Asher. Demon King? Fake Messiah? Saya gak sabar menanti kelanjutan kisahnya.
Vote buat Asher.
Wah? Ramah pembaca, ya. Oke .... Satu lagi alasan buat saya ngubah gaya narasi :> Emang lebih enak sederhana sih, gak terlalu ada beban.
HapusHmm ... bingung gimana lagi bales komennya. Tapi benar, makasih udah baca dgn teliti, itu Asher emang ada sesuatu di dalamnya. Nantikan sahaja--tentu kalau saya diberi kesempatan.
Uh, saya bingung mau bales gimana lagi ;_;
Tengkyu udah baca cerita aneh ini xD
(+) Narasi sampean sangat exceptional
BalasHapus(+) Kedua karakter dibangun dengan sangat baik sebelum akhirnya mereka bertarung
(+) Potensi canonnya menarik
(+) Klimaksnya menggigit
(+) World building bagus antara kedua dunia
(-) Narasinya mungkin sangat bagus, tapi begitu masuk adegan battle justru terasa membuat battlenya berjalan lambat. Hmm.
(-) Terkadang, terasa ceritanya lebih menyorot apa yang terjadi di lain waktu/tempat ketimbang pertarungan kedua kontestan. Bagus, tapi juga membuat cerita terasa dragging di beberapa bagian.
Skor: 85/100
Akan membaca entry Ganzo dulu sebelum memberi vote.
Fahrul Razi
OC: Anita Mardiani
Ah yha ... saya baru sadar kalau saya suka ngelantur pas cerita T_T Misalnya tetau bahas bekgron, padahal pembaca aja belum tau gimana dunia utuhnya Asher. Kebiasaan dr penggarapan novel kebawa-bawa. Terima kasih banget udh mengingatkan hal ini. Lain waktu saya buat lebih fokus, dalam cerita apa pun. Mungkin hal itulah yg bikin entri ini sampe membludak jumlah katanya. ;_;
HapusDan yah, battle memang saya akui lacking sekali. Udah dari jaman Ahran tapi narasinya masih begitu-gitu aja. Lambat T_T Maaf atas ketidaknyamanan .... Saya bakal berusaha lagi. Hiks.
Terima kasih banyak udah menyempatkan baca entri aneh dan panjang ini x')))
Atas wahyu Nyarlathotep, saya memutuskan untuk memberi vote ke Sheraga Asher
BalasHapus
BalasHapusLangsung saja.
Saat pertama kali baca entri ini, sy ngerasa padanan kata yg dijalin lebih ringan dari biasanya. Tpi makin ke bawah malah seperti kehilangan sentuhan sihir (sy ngikutin entri ini, tpi baru kali ino bisa komen) dan cukup bertabur dgn kalimat2 repetitif yg secara terbuka sudah diakui oleh penulisnya sendiri.
Hal kedua yg bikin sy tergelitik adalah .... Cerita ini .... Lackey dalam battle-scenes. Beneran dah, sumpah. Cuma untungnya, tetangga sebelah juga adegan tarungnya kurang optimal dan berasa inferior dri kamu meaki harusnya dia menjanjikan sesuatu yg lebih hebat.
Untuk pendalaman karakter, sy akuin kamu memang jempolan. Setiap karakter pny spot yg cukup bagus dan berarti bagi cerita, gk cma tempelan. Bahkan twist bahwa tuhan si ghanzo trnyata seorang malaikat dri universe asher itu cukup mengejutkan.
Terakhir, adegan kalahnya ghanzo juga kerasa bgt. Sades.
Setelah menimbang, sy akhirnya memutuskan untuk vote asher 😁😁😁
Speech less...
BalasHapusWell... That was... a harsh one. I was expecting a debate... then I got one... with a taste of hate...
Karakterisasi bagus sekali dan Author bisa menjaga suasana tegang sepanjang entri. Saya nggak bisa komen soal Akhir Ganzo yang terlalu menyedihkan... an utter despair...
Dalam satu sisi, battle sepertinya lebih enak sebelah, tapi pembangunan karakter di entri Sheraga dan konflik yang di sajikan di sini lebih sesuai dengan taste saya.
Vote for Sheraga!
Sekian~
OC : Nora
Terima kasih bgt bagi yg udah baca, terutama yg komen, lebih-lebih yg berbaik hati ngasih vote xD Atau bahkan ... sekadar kepo dan ngintip cerita ini xD God bless~~
BalasHapus-Sheraga Asher-