Cahaya merah yang berpendar mengusir gelapnya langit malam pada garis cakrawala di ujung pandanganku. Pohon suci desa Bentala Vayu yang berdiri dengan gagahnya, kini tengah terbakar oleh semburan api dari puluhan ekor naga yang dipimpin oleh Seth.
Para penduduk desa yang berlarian panik pun tak ketinggalan. Mereka mendapatkan peran sebagai korban santapan bagi kadal-kadal bersayap yang mematuhi perintah tuan mereka untuk menghabisi seluruh warga desa. Rangkaian kejadian itu menjadi adegan penutup dari pertunjukan lima orang Reverier wanita yang tengah menciptakan karya seni mereka untuk dipajang di aula Museum Semesta.
Dalam kekacauan itu, dua ekor domba tampak berlarian untuk menghampiri kedua tuan mereka yang kini tengah saling pandang antara satu sama lain; Seorang wanita berambut hitam dengan sebilah pisau dalam genggaman tangannya dan seorang anak perempuan berambut coklat kepang dua yang tengah jatuh terduduk.
'Catherine Bloodsworth dan Lilia Fiennes, ya?' aku membuka daftar katalog peserta di tanganku sambil memandang mereka dari kejauhan, 'Oh, dan Samara Yesta juga. Ia masih hidup rupanya.'
"Paman Nurmaaaaaaa!"
Suara teriakan yang tak asing bagiku terdengar semakin mendekat. Ratu Huban yang melayang-layang di udara menghampiri diriku dengan pelan. Di sebelahnya, seorang wanita berambut merah yang mengenakan baju perang tampak mengikuti. Namanya Mirabelle. Sama seperti diriku, ia juga terperangkap di Museum Semesta karena ulah Sang Kehendak.
"Tidak usah berteriak begitu, telingaku masih normal."
"Hmm? Ah! Paman Nurma lagi ngintip ya? Di sini Reveriernya cewek semua!"
"Siapa yang kau bilang sedang ngintip?" aku mengetuk kepala bantal Huban menggunakan katalog semesta di tanganku. Tubuhnya kemudian berubah menjadi bulu-bulu angsa yang bertebaran dan kembali menyatu di belakang Mirabelle, "Aku hanya mengamati proses bagaimana mereka menciptakan karya seni baru."
"Uhh... kepalaku jangan diketok! Nanti isinya keluar semua!" Protes Huban.
Mirabelle yang sedari tadi memperhatikan keadaan desa Bentala Vayu yang diluluh-lantakkan Seth bersama pasukan naganya memasang ekspresi wajah sedih dan marah. Hmph, seorang dewi perang seperti dirinya seharusnya sudah terbiasa melihat korban berjatuhan. Entah apa yang membuatnya memasang tampang seperti itu.
"Apa yang terjadi di sini?" Mirabelle bertanya dengan nada tegas.
"Tidak banyak," jawabku, "pada awalnya, kelima Reverier saling membantu untuk melindungi desa. Setelah itu, Catherine Bloodsworth, salah seorang dari mereka membelot dan membantu Seth, pemimpin musuh untuk menghancurkan desa."
"Eeh? Kalau dia ketemu sama musuh, kenapa nggak dilawan saja?"
"Hmm... menilai dari sifatnya, sepertinya ia melakukan hal itu hanya karena Seth terlihat seperti anak-anak," aku memperlihatkan katalog karakter gadis bermata heterochromia itu pada Huban dan Mirabelle, "Yah, di sini juga tertulis kalau dia memang menyukai anak-anak."
"Ahahah! Kayaknya orangnya menarik! Apa dia bakal suka sama aku juga? Aku kan imut seperti anak-anak!"
Dengan tubuh pendek dan kepala bantal seperti itu aku tidak yakin ia akan menyukaimu—aku ingin mengatakan itu kepada dirinya, tapi akan repot jika Huban marah. Lebih baik kusimpan saja ucapan balasan itu dalam benakku.
"Siapa yang tahu? Tapi, yah, kurasa dia memang cukup menarik," aku mengalihkan pandanganku pada sang gadis yang telah menaiki domba miliknya untuk kembali pulang, 'Terutama ketujuh pisau miliknya itu.'
***
Silaunya sinar mentari menembus celah gorden yang menutupi jendela kamar tidur dan menyorot tepat ke arah wajahku. Merasa tidak tahan, aku kemudian bangkit dari ranjang dan memutuskan untuk bangun. Kuambil sebuah botol berisi obat dari dalam saku mantelku yang tergantung di pintu kamar dan kutenggak habis tiga butir kapsul berwarna hijau itu sekaligus. Ya, ini adalah hal rutin yang wajib kulakukan setiap pagi, di siang hari dan tepat sebelum tidur.
Tiga hari telah berlalu semenjak dikumpulkannya para Reverier dalam bingkai mimpi milik Mirabelle, kini aku tengah menikmati sejenak kehidupan normalku seperti saat sebelum terseret dalam turnamen dunia antah-berantah ini.
Ketika aku kembali dari desa itu, Angie dengan segera mengobati tubuhku yang penuh luka lebam dan goresan yang tersisa akibat pertarungan melawan Samara sang pengendali tumbuhan. Ia juga memberitahu kalau tempat ini bertambah luas dan bahkan semakin banyak orang lain yang turut terjebak dalam bingkai mimpiku.
'Sudah tiga hari,' pikirku, 'apa Lilia dapat menemukan informasi tambahan tentang miasma...? Ahh... seharusnya aku tidak mengancamnya waktu itu. Ini semua gara-gara Seth! Kalau saja dia memenuhi janjinya dengan tidak menyerang Lilia dan langsung menghancurkan pohon itu, ia pasti masih mempercayaiku sekarang.'
Penyesalan selalu datang terlambat, kini yang bisa kulakukan hanya berharap untuk bisa bertemu Lilia lagi dan mendapatkan petunjuk mengenai penyakit yang kuderita ini. Jujur saja, aku merasa begitu tertekan oleh masalah yang datang bertubi-tubi semenjak terpilih menjadi seorang Reverier. Apa aku bisa bertahan hidup? Berapa Reverier lagi yang harus kulawan? Akankah umurku cukup panjang untuk bisa bertahan hingga menemukan cara untuk mengobati penyakitku ini? Kumpulan pertanyaan itu membuat kepalaku pusing, kalau begini bisa-bisa penyakitku kambuh karena stress.
"Mbeeeeek?"
Melihat diriku yang patah semangat, Mutton berjalan mendekat sambil mengembik pelan. Ia kemudian mencoba untuk menghibur dengan mendorong diriku, seolah memintaku untuk duduk. Setelah sukses membuatku duduk bersimpuh di lantai, ia menaruh kepalanya di atas pahaku dan menatap dengan mata penuh harap.
"Hmm? Kau ingin dielus?" aku mengangkat tangan kiriku untuk mengelus kepala domba berbulu putih itu. Bulunya yang terlihat bagai gulungan awan putih lembut itu terasa begitu hangat dan nyaman. Tanpa sadar, aku mulai tersenyum padanya, "Kau ini ternyata manis juga."
Usai menenangkan diri dengan mengelus-elus Mutton, aku melucuti baju tidur yang kukenakan untuk berganti pakaian lalu berjalan ke arah dapur hingga akhirnya menemui Angie yang sedang memasak. Berbeda dengan penampilan biasanya yang selalu mengenakan jas dokter, Angie kini mengenakan celemek putih dengan tank top hitam serta rok yang biasa ia kenakan di bawahnya.
Dengan spatula di tangan kanan dan wajan anti lengket di tangan kirinya, ia memasak dua—tidak, tiga porsi pancake untuk sarapan pagi hari ini. Aroma vanilla yang harum memenuhi ruangan saat adonan pancake mengenai wajan panas, menggugah selera kami. Mutton yang berjalan di sampingku pun mulai bergerak ke arah dapur, tertarik oleh harumnya kue yang dimasak Angie.
Sebuah pemandangan yang biasa terjadi di pagi hari, begitu pikirku. Akan tetapi, aku merasakan suatu kejanggalan sewaktu melihat Angie memasak. Ah, benar juga! seingatku tangan kirinya putus ketika kutusuk dengan menggunakan Hexennacht Superbia pada saat melawan Hector.
"Umm... Angie? Aku tidak terlalu suka mengungkit kejadian yang sudah-sudah, tapi... seingatku tangan kirimu tak seutuh itu...?" tanyaku pada Angie, sambil duduk di samping meja makan.
"Kalau kau tak ingin mengingatkanku, jangan diungkit lagi," Angie membalas pertanyaanku sambil menaruh piring dengan setumpuk pancake yang telah disiram sirup di hadapanku, "lagipula, bukankah kau sendiri yang memotong lenganku?"
"Ah... emhh... itu... itu karena aku tak memiliki jalan lain untuk mengaktifkan Hexennacht Superbia! Berkat pengorbananmu yang heroik, kita akhirnya berhasil mengalahkan Hector!" Aku memalingkan wajahku agar tak bertatap mata dengan dirinya, "Yang ingin kutanyakan, mengapa tanganmu bisa semulus itu?!"
Luka yang kuciptakan saat memotong lengan Angie dengan menggunakan Hexennacht Superbia tampak begitu berantakan, seolah lengannya putus diakibatkan oleh ledakan. Akan tetapi, kini tangannya tampak begitu mulus tanpa cacat, bahkan aku tak dapat melihat bekas jahitan di manapun.
"Hmm? Kalau hanya menyambungkan tangan, itu hal yang mudah," balas Angie, "saat masih menjadi anggota Schwarzeritter dulu, aku bahkan pernah melakukan operasi transplantasi kepala dan menciptakan Chimera."
Uwah... Angie mengatakan hal-hal itu dengan mudahnya, padahal penciptaan Chimera merupakan salah satu hal yang dilarang keras di negeri ini. Aku jadi penasaran, seperti apa dirinya ketika masih bergabung dalam kelompok dokter militer itu. Aku tahu kalau Angie adalah dokter yang hebat, tapi kemampuannya benar-benar tak masuk akal.
"Hei! kalau kau sehebat itu lalu kenapa kau menyisakan ini!?" Aku menyingkap sweater merah yang kukenakan dan tampaklah bekas luka jahitan pada bagian kanan perutku. "Aku jadi tidak bisa memakai baju renang karena bekas luka ini benar-benar mengganggu penampilanku!"
"Memangnya kau mau berenang dimana setelah sungai dan lautan tercemar oleh miasma? Bekas jahitan itu hukuman kecil dariku karena kau selalu mencari "donor" organmu sendiri. Terlebih lagi, kau membutuhkan transplantasi organ secara rutin sehingga melakukannya berulang kali."
"Wah! Aku ketahuan!?"
"Sungguh, saat kau beranjak dewasa, aku mengecek benda apa saja yang berada di bawah tempat tidurmu. Kukira aku akan menemukan beberapa majalah dewasa di sana, siapa yang sangka kalau ternyata kau menyimpan toples berisi bola mata dan ginjal di dalamnya. Karena organ-organ itu bisa rusak jika disimpan sembarangan, jadi kuambil saja," keluh Angie.
"Ah! Jadi kau yang mengambil koleksiku waktu itu!? Jangan sembarangan mengambil barang kepunyaan orang lain! Aku sempat panik karena koleksiku hilang secara tiba-tiba, tahu!" protesku.
"Hahh... katakan hal itu kalau kau meminta izin terlebih dahulu dari mereka yang terpaksa menjadi donormu setelah kau ambil organ-organ itu," Angie membalas ucapanku sembari menusuk potongan pancake miliknya dengan garpu. Ugh... aku tak bisa membalas ucapannya.
Suara ketukan keras terdengar dari arah pintu masuk saat Angie hendak melahap gigitan pertama sarapan paginya. Merasa sedikit terganggu, ia menurunkan garpu dari genggaman tangannya dan berjalan untuk membukakan pintu.
Seorang pria yang tak ia kenali tampak berdiri sambil membawa tiga buah persegi pipih yang ditutup oleh kain putih. Penampilannya yang cukup mewah dengan mengenakan mantel bulu dan kacamata hitam membuat dirinya tampak sangat mencolok di wilayah pinggiran kota Downtown ini.
"Maaf, kami tak berminat dengan daganganmu. Pergilah ke daerah Uptown dimana saudagar-saudagar kaya itu berkumpul," ujar Angie, "Ah, tapi aku rasa masih sebagian kecil dari uptown yang berada di tempat ini."
"Heh, sayang sekali, tapi aku kemari untuk mengantarkan karya yang telah diciptakan oleh putri kecil dari keluarga ini," balas Zainurma, "Catherine Bloodsworth ada di sini?"
Mendengar suaranya yang sudah tak asing lagi di telingaku, aku langsung berlari ke arah pintu masuk untuk menemui oom-oom bergaya mafia itu. Tak kusangka, ia datang sendiri untuk menyampaikan waktu pertandingan berikutnya. Angie yang berada di sana hanya bisa melihatku sambil memasang wajah heran.
"Zainurma..." gumamku, "Tsk, sudah waktunya?"
"Tantanganmu kali ini akan cukup merepotkan, Catherine Bloodsworth," Zainurma tak menjawab pertanyaanku, "ini adalah karya yang telah kau ciptakan sebelumnya, kuharap kau bisa menciptakan karya seni yang jauh lebih bernilai lagi."
"Hee? Bagaimana jika aku menolak untuk melakukannya? Jujur saja, salah satu alasanku mengikuti pertarungan ini adalah untuk menyembuhkan penyakitku dan aku baru saja mendapatkan petunjuk dari salah seorang Reverier."
Ya, walaupun kemungkinannya kecil, tapi aku yakin Lilia mengetahui informasi mengenai miasma. Selain itu, dengan kemampuan Mutton aku pasti bisa menemukan cara untuk bertemu kembali dengan gadis itu dan berpindah ke semesta lain. Jujur saja, aku tidak terlalu peduli kalaupun duniaku akan saling beradu dengan dunia reverier lain. Toh, duniaku yang sekarat ini tak lama lagi akan hancur dengan sendirinya.
"Ah, Lilia Fiennes. Reverier lain yang berjuang bersama denganmu di Bentala Vayu?" Zainurma bertanya seolah ingin memastikan sesuatu.
Dengan gerak cepat, ia menyingkapkan salah satu kain putih yang menutup karya seni di baliknya. Sebuah lukisan yang didominasi oleh warna hitam terlihat begitu mengerikan bagi mereka yang melihatnya, tak terkecuali diriku. Zainurma yang melihat ekspresi kagetku tampak tersenyum menyeringai.
"Sayang sekali, ini adalah karya terakhir yang ia ciptakan," ujar Zainurma, "Sang Kehendak telah menyatakan bahwa karya ciptaannya tak memenuhi standar. Tak perlu kujelaskan lagi apa yang terjadi pada dirinya bukan?"
Tidak mungkin.
Mereka yang tak memenuhi standar akan menerima akibatnya. Hal ini juga berlaku untuk mereka yang bertahan hidup!? Sial, kukira selama masih hidup kami akan lolos melewati babak itu. Kalau begitu, standar seperti apa yang akan diterima oleh Sang Kehendak? Secara tak sadar aku memasang ekspresi wajah kesal.
"Yah, sesuai janji, aku telah mengirimkan dua hasil karya ciptaanmu. Selebihnya, berjuanglah untuk bertahan dan menangkan ronde ini dengan kemampuan terbaikmu, The Gutpicker!"
Dengan rasa kesal, aku segera mengambil mantelku untuk pergi meninggalkan dirinya. Angie yang tak mengetahui apapun tentang turnamen ini meraih tanganku dan mencoba untuk meminta penjelasan.
"Cathy... tunggu sebentar! Kau... masalah apa lagi yang sedang kau hadapi sekarang?"
"Hahh... satu Tuhan yang congkak sedang mencoba untuk melihat semesta dalam bentuk karya seni dan memaksa orang-orang di dalamnya untuk saling beradu kekuatan demi "mahakarya" yang tak jelas wujudnya."
"Ha? Apa maksudmu...?"
"Gak ngerti kan? Ya sudah, aku pergi dulu."
Zainurma terlihat menahan tawanya ketika mendengar hal yang kuucapkan. Angie yang semakin bingung mencoba semakin keras untuk menghentikan langkahku. Tsk, kau ini benar-benar merepotkan.
"Catherine Bloodsworth! Kubilang berhenti!" perintah Angie.
"Oh, ayolah! Aku masih memiliki urusan penting! Berhenti bersikap seolah kau adalah ibuku!"
Setelah melepaskan diri secara paksa dari genggaman tangan Angie, aku segera berlari bersama Mutton untuk meninggalkan tempat itu. Dari jauh, dapat kulihat ujung bingkai mimpiku seolah tersambung dengan tempat lain. Tempat dimana rerumputan hijau dan sawah yang membentang luas terlihat begitu asri.
"Benar-benar anak yang merepotkan, ya?" Zainurma bertanya kepada Angie, "Sepertinya kau harus mendisiplinkan dirinya lagi."
"Dengarkan aku, Zainudin atau siapapun namamu," balas Angie, "Aku tak tahu masalah apa yang ia hadapi sekarang. Tapi jika itu semua diakibatkan olehmu, maka aku takkan memberi ampun."
"Begitukah? Sungguh teganya..." Zainurma membalas ucapan Angie sambil terkekeh pergi.
***
Suara roda dari mobil mainan yang terpasang pada kakiku terdengar berputar keras di tengah heningnya malam ketika aku melewati jalan berbatu Desa Karikil. Aku, Pucung, kini tengah memeriksa bingkai mimpiku yang semakin meluas.
Tidak jauh dari tempatku berdiri, seorang pria yang mendorong gerobak makanan terlihat sedang kebingungan. Sepertinya, ia baru saja terseret masuk ke dalam bingkai mimpiku ini. Mengganggu saja, lebih baik kuusir dia dari sini.
"A-Abang, beli cilok seratus tusuk bang..."
"Hah? Cilok? Saya mah jualan sate... Hmm?!" Pria itu menoleh ke arahku secara tiba-tiba dan kini wajahnya menjadi pucat pasi, "Po... Pocooooong!!"
Sukses.
Lelaki itu melarikan diri dengan berlari tunggang-langgang. Gerobak sate beserta dagangannya ditinggalkan begitu saja di jalanan. Ahh... menakut-nakuti orang itu memang menyenangkan, cukup menghibur bagiku yang telah melalui pertandingan bersama para monster di babak sebelumnya.
"Ketemu."
Mendengar suara seseorang dari belakang, aku berputar dan melihat sosok cantik seorang wanita yang mengenakan satu set mantel dan helm perang, lengkap dengan tombak dan perisainya. Mirabelle sang dewi perang telah muncul di hadapanku sembari membawa dua benda persegi pipih yang dibungkus oleh kain.
"Selamat siang, Pucung," Ia menyapa diriku, "Aku kemari untuk memberikan karya yang telah kau ciptakan sebelumnya, sesuai janji Sang Kurator."
"Mi-Mirabelle? Apa itu berarti babak selanjutnya juga akan dimulai?"
"Ya, itu benar. Lawanmu kali ini sepertinya akan menjadi yang paling mudah," jawab Mirabelle, "Seorang anak manusia bernama Catherine Bloodsworth, ia juga dikenal sebagai "Pemungut Organ" di dunianya."
"Pe-pemungut organ?"
"Yah, ia seorang pembunuh gila yang mengambil organ dalam dari setiap korbannya. Ia juga memiliki penyakit aneh yang akan kambuh ketika merasa lelah. Seseorang yang berbahaya dan tak bisa dibiarkan, menurutku. Saran dariku, berhati-hatilah dengan pisaunya. Ia bisa menyerap seluruh energi musuh-musuhnya hingga mereka mati lemas."
Hmm... mengapa ia memberitahukan begitu banyak informasi mengenai lawan? Aku sempat curiga pada perkataannya, tapi perhatianku teralihkan ketika melihat pemandangan yang baru saja kulihat di kejauhan. Sebuah tempat baru yang tak kukenal secara mendadak terhubung dengan tempat ini.
"Baiklah, tugasku sudah selesai. Semoga sukses," Mirabelle mengucapkan salam perpisahannya, lalu menghilang dari hadapanku. Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Benar-benar orang yang dingin.
'Ti-tidak peduli lawanku seperti apa, aku hanya perlu membunuh mereka,' batinku, 'karena hanya dengan cara itu, aku bisa menyelesaikan turnamen ini dan mencapai Sang Hyang Kersa.'
***
Tiga puluh menit lamanya aku dan Mutton berjalan dari rumah Angie menuju semesta baru yang muncul di ujung bingkai mimpiku. Suasana pedesaan tenang dengan udara yang bersih membuatku ingin pindah ke tempat ini. Sayang sekali dunia ini harus terhubung dengan bingkai mimpiku, tak lama lagi udara kotor yang telah tercemar oleh miasma pasti akan mulai menyebar kemari.
Usai melewati hamparan sawah yang ditumbuhi padi muda, dapat kulihat sebuah kedai berdiri di atas tanah lapang dengan berbagai untunan plastik kemasan tergantung pada salah satu kayu penyangga bangunan kecil itu. Dua orang yang sepertinya merupakan penduduk setempat terlihat tengah mengobrol. Kesempatan yang bagus untuk bertanya mengenai tempat ini, pikirku.
Mata mereka tampak melirik, memperhatikan diriku dengan seksama ketika aku berjalan mendekat. Ya, ya, aku tahu aku ini cantik, tapi tidak perlu menatapku seperti itu. Ah, apa mungkin mereka tak pernah melihat orang asing sebelumnya? Kalau begitu nikmatilah pemandangan diriku yang memikat ini, orang pribumi!
"Permisi. Ah, boleh aku duduk di sini?" tanyaku.
"Oh, mangga. Silahkan duduk, Neng." jawab salah satu dari mereka. Hmm? Memangnya ada buah mangga di sini? Bahasa mereka cukup aneh.
Tapi kalau dipikir-pikir ada yang lebih aneh lagi. Aku baru sadar, saat babak sebelumnya pun aku bisa berkomunikasi dengan para Reverier lain dengan mudahnya, padahal kami berasal dari negeri yang berbeda. Apa ini juga termasuk perbuatan Sang Kehendak?
"Neng, orang seberang yah?" seorang wanita tua berkerudung coklat menanyaiku sambil menuangkan air panas ke dalam gelas untuk menyeduh kopi. Sepertinya, ia pemilik kedai ini.
"Iya. Aku ingin tanya, tempat ini dimana?"
"Tempat ini teh namanya Desa Karikil, Eneng habis ngapain? Ngangon domba?" wanita itu bertanya sambil menaruh segelas kopi di hadapan seorang pria berusia tiga-puluhan yang mengenakan topi kerucut.
"Mbeeeek~" Mutton mengembik dengan nada riang.
"Eh... yah, anggap saja iya," aku hanya bisa menjawab seadanya saja karena dia bertanya dengan kata-kata yang sulit kumengerti, "apa akhir-akhir ini ada kejadian aneh di sini?"
"Yang paling aneh mah, ya itu Neng," jawab pria bertopi kerucut, sambil menunjuk ke arah tempatku datang, "Eneng juga kan dari sana datangnya? Orang-orang sini pada takut kesana."
"Emhh... kalau begitu, ada orang yang mencurigakan?"
"Sigana mah teu aya. Punten pisan, Neng. Menurut kami, malah Eneng yang mencurigakan. Soalnya Eneng datang dari sana."
Ah, benar juga. Di hadapan mereka, mungkin akulah yang paling mencurigakan karena datang dari tempat itu. Hmm... jawaban mereka tidak banyak berguna. Karena tak banyak informasi yang bisa kudapat, aku segera pamit dan meninggalkan kedai itu. Di luar dugaan, ternyata penduduk daerah ini cukup ramah walaupun mereka sedikit canggung terhadap orang asing.
Hahh... perjalananku kemari sepertinya sia-sia. Aku tidak menemukan keberadaan musuhku, informasi yang kudapat juga tak berguna, apa aku pulang saja, ya? Tapi pulang sekarang rasanya tidak enak, terlebih lagi tadi aku membentak Angie sebelum pergi.
'Tsk, aku sudah muak berjalan tak tentu arah,' batinku saat berjalan meninggalkan kedai, 'apa boleh buat. Jika kau tak mau datang, akan kupancing kau keluar.'
***
Malam di Desa Karikil kali ini lebih mencekam dari biasanya. Setelah rumor mengenai hantu bebegig sawah beberapa pekan sebelumnya, kini warga setempat digegerkan oleh mayat sepasang pria dan wanita yang ditemukan bersimbah darah tersembunyi di semak belukar dekat jalan menuju padang pasir yang baru saja muncul.
Mayat sang pria dikenal sebagai Asep, salah satu warga yang berprofesi sebagai seorang petani dan satu lagi Bu Minah, seorang pedagang yang membuka warung di tepi sawah. Kedua mayat itu ditemukan sekitar pukul enam sore saat pihak keluarga Asep mencari keberadaan dirinya karena tak kunjung pulang.
"Watir pisan siah, Mang! Beuteungna dibelek, getihna banjir kamamana!" ujar salah satu warga yang membantu memindahkan mayat.
'Di-dia menantangku.'
Tak perlu waktu lama bagiku untuk menyadari hal itu. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh Mirabelle, besar kemungkinan ini adalah perbuatan Catherine, lawanku kali ini.
Tanpa pikir panjang, aku langsung melesat pergi mencari keberadaan sang pelaku pembunuhan itu. Usai proses pemindahan jenazah, tak satupun warga yang berani mendekati tempat kejadian. Tidak hanya takut bertemu sang pelaku pembunuhan, mereka juga tak mau mendekat karena tempat itu terhubung ke semesta lain. Ia pasti berada tak jauh dari sana.
'Takkan kubiarkan kau berbuat seenaknya.'
Sesampainya di tempat kejadian, dapat kulihat tanah merah serta dedaunan yang basah oleh darah. Akan tetapi, sosok sang pembunuh tak kutemukan sama sekali. Apa dia kembali ke tempatnya berasal? Akan makan waktu lama jika aku harus menyusul dirinya...
SRAK!!
Bunyi sobekan kain terdengar saat sebuah belati berwarna hitam menusuk tubuhku dari belakang. Seseorang sepertinya bersembunyi dalam kegelapan dan melancarkan serangan kejutan padaku.
"Sa-sayang sekali, tapi aku takkan mati hanya karena luka seperti ini."
"Eh...?"
Suara seorang wanita berusia dua puluhan terdengar jelas dari arah belakangku, secara cepat kuhentakkan mobil-mobilan di kakiku untuk mengambil jarak dan berputar. Benar saja, Seorang gadis berambut hitam dengan warna mata yang berbeda satu sama lain tampak kebingungan sambil menggenggam sebilah pisau hitam di tangan kanannya.
'Kemampuan menyembunyikan keberadaan dirinya sangat hebat, tak kusangka ada manusia yang mampu menyembunyikan dirinya seperti bangsa hantu.'
"Siapa kau? A-apa kau lawanku di babak ini?" tanyaku.
Tak menghiraukan pertanyaanku, gadis itu kembali mendekat untuk menyerang. Seperti yang dikatakan Mirabelle, lawanku kali ini benar-benar seseorang yang berbahaya.
Tapi, ini semua jauh dari perkiraanku. Tak kusangka pembunuh yang Mirabelle ceritakan itu ternyata seorang gadis muda, sebenarnya hal apa yang menimpa dirinya hingga menjadi seperti ini? Saat tengah berpikir, aku kembali menghindari serangannya dengan melesat mundur.
"Tsk, berhentilah menghindar! Kalau kau bergerak terus, pertarungan ini tak akan selesai!" Gadis itu kemudian mengambil pisau lain dari paha kanannya dan bersiap untuk kembali menyerang.
Sesuai dengan yang ia katakan, jika aku terus menghindar maka pertarungan ini takkan pernah selesai. Maka dari itu, aku memulai inisiatif untuk menyerang.
Melesat dengan kecepatan tinggi, aku melompat dan melancarkan tendangan pada gadis yang memiliki dua warna mata itu. Terkejut karena seranganku yang datang secara tiba-tiba, ia mencoba untuk menghindari seranganku dengan bergerak ke samping. Lengan bajunya kemudian robek karena tersangkut mobil mainan yang bertindak sebagai sepatu roda milikku. Melihat ekspresinya, sepertinya gadis itu sedang merasa kesal.
"Na-namaku Pucung, apa kau Catherine Bloodsworth?" Aku menanyakan identitas lawanku, namun ia tak menjawab, "Be-begitu rupanya, kau tak mau menjawab pertanyaanku?"
Entah ia tak bisa menjawab saking takutnya pada rupaku yang menyeramkan atau memang ia menolak menjawab karena sudah tak peduli lagi dengan hal apa yang terjadi di hadapannya. Menurutku, sepertinya hal yang kedua. Aku sudah cukup sabar untuk berbicara dengannya, tapi ia menghiraukan niat baikku. Kalau begitu tak ada lagi ramah-tamah.
"Jagat Sentra," mataku mengeluarkan cahaya berwarna putih dan kini aku kembali maju untuk melancarkan serangan.
Kuangkat kaki kananku untuk menendang dirinya, namun gadis itu berhasil menghindarinya dengan menunduk ke tanah. Tak ingin memberikan kesempatan, kuturunkan kaki kananku untuk melancarkan serangan tendangan tumit. Seranganku mengenai bahu kirinya dengan telak.
"Ahh!" pekiknya, kesakitan. Tamat sudah riwayat lengan kirinya, sebilah pisau dengan permata hijau yang ia pegang pun jatuh ke tanah.
Mencoba untuk membalas seranganku, ia menebas kaki kiriku yang menapak ke tanah. Percuma, selama menggunakan Jagat Sentra konsentrasiku meningkat drastis. Serangan seperti itu dapat dengan mudah kuhindari. Membiarkan pertarungan berlangsung lama bukanlah gayaku, kalau begitu biar kuakhiri pertarungan ini sekarang.
"Ruina Valanka," Kugunakan kemampuan lain untuk merampas penglihatannya.
Panik, gadis itu mengayunkan pisaunya membabi buta ke segala arah. Selamat tinggal, Nona. Jangan mendendam karena kau harus mati di sini. Setelah mengumpulkan tenaga, aku melompat setinggi mungkin dan mencoba untuk melakukan tendangan menukik dari udara.
"Tak akan kumaafkan!"
Sebuah suara misterius terdengar entah dari mana sumbernya. Seketika itu juga, muncul celah yang terlihat bagai retakan di langit. Sesosok tengkorak berjubah ungu dengan bola mata besar sebagai kepalanya menampakkan diri dari dalam retakan itu bersama dengan puluhan ekor domba hitam yang menjatuhkan diri ke tanah.
Menyadari keberadaan sosok baru di sana, kubatalkan niatku untuk menyerang dan fokus pada sosok baru yang muncul di hadapanku.
"Kalian... Reverier... tak akan kumaafkan!"
Tanpa aba-aba, seluruh domba hitam yang berada di tanah itu berlarian dan mengamuk, mencoba untuk menggigit apapun yang bisa diraih. Apa yang sebenarnya terjadi? Sambil berpikir keras, kuhindari gigitan domba berbulu hitam yang sedang mengamuk itu, lalu kuserang mereka dengan tendanganku.
Gagal...
Saat tendanganku menyentuh mereka, tubuh makhluk itu terpecah menjadi bola-bola mata berwarna ungu dan bersatu kembali di tempat lain. Abstraksi!? Tidak mungkin, apa ini berarti mereka juga termasuk komplotan Sang Kurator? Padahal sedikit lagi aku akan berhasil mengalahkan musuhku. Dalam situasi kacau itu, seekor domba putih muncul secara tiba-tiba, lalu mendorong Catherine hingga terjatuh di tubuhnya dan membawa dirinya pergi.
Pada saat hendak mengejar mereka, suasana di sekitarku semakin abnormal. Aku tak menyadarinya saat bertarung, kini kabut asap berwarna keunguan tampak menutupi daerah pemukiman warga, begitu juga dengan dunia di seberang sana. Sedikit demi sedikit kabut itu semakin menebal.
'Miasma...?' batinku, 'akan berbahaya jika kabut beracun itu mengotori udara dunia ini, lebih baik aku segera mengejar gadis itu dan mengakhiri pertarungan ini,'
Setelah memanggil dombaku, aku segera bergerak menyusul Catherine yang telah melarikan diri terlebih dahulu. Langit malam yang gelap kini tertutup oleh awan mendung hingga bintang-bintang pun tak terlihat, membuatku sulit untuk melihat jalan sekitar, tapi sepertinya dombaku dapat melaju tanpa masalah yang berarti. Dengan Domba putih sebagai tungganganku, aku segera meninggalkan domba-domba hitam itu beserta tuan mereka untuk mengejar targetku.
***
Rasa nyeri menjalari tubuhku ketika aku terjatuh ke tanah. Setelah orang-orangan sawah yang menyebut dirinya dengan nama Pucung itu menyerangku dengan kemampuan anehnya, mataku menjadi buta secara mendadak. Dalam keadaan panik, aku mendengar suara Mutton yang berlari ke arahku dan kemudian membawaku pergi beserta embikan puluhan ekor domba lain. Apa aku mengigau, ya?
Benar kata Zainurma, lawanku kali ini merepotkan. Tak hanya menggunakan serangan yang cara kerjanya sulit kumengerti, seranganku pun sepertinya tak mempan pada dirinya.
"Mbeeeek..." suara Mutton yang mengembik lemah terdengar di sampingku.
"M... Mutton...? Kau dimana?!" mataku masih tak bisa melihat secara normal, akhirnya kugunakan tangan kananku untuk meraba sekitar. Saat menyentuh Mutton, kurasakan bulunya yang lembut kini basah oleh cairan hangat yang agak kental, "Ah... apa... apa kau terluka...?"
Sudah sekitar sepuluh menit berlalu sejak aku meninggalkan pertarungan, kini mataku berangsur-angsur pulih. Rupanya Mutton membawaku ke kebun pisang yang berada di samping desa. Saat kulihat dirinya, bulu putih Mutton yang lembut kini ternodai oleh merahnya darah. Kuperiksa tubuhnya lebih seksama, ternyata tak hanya luka tebasan, di sekujur tubuhnya juga terdapat banyak luka gigitan. Dilihat dari bentuk lukanya, sepertinya ia digigit oleh domba-domba lain.
"Ah... kau terluka gara-gara melindungiku?" mata kami saling menatap, "Aku... aku tak memintamu, lho! Jadi... jadi aku takkan bilang... terima kasih..."
"Mbeeeeek...~"
'Ugh... kenapa... rasanya sakit. Padahal aku tak terluka sama sekali...'
Menggunakan pisau Hexennacht di tanganku, kurobek mantel yang kukenakan untuk dijadikan perban sementara demi membalut luka Mutton untuk menghentikan darah yang mengalir keluar. Aku harus segera menyelesaikan pertarungan ini, bisa gawat kalau Mutton tak sanggup bertahan.
Suara jeritan orang-orang yang memekakkan telinga mengagetkan diriku yang baru saja selesai memberikan pertolongan pertama pada Mutton. Kuperintahkan Mutton untuk bersembunyi sementara waktu seperti biasanya, sementara aku mengawasi keadaan.
Saat melihat situasi di sekitar, kabut berwarna ungu gelap terlihat berkumpul dan menggumpal menutupi langit. Tak hanya itu, para penduduk desa tampak berlarian dan meminta tolong. Tidak mungkin... dari mana munculnya kabut miasma sebanyak ini?
Beberapa diantara mereka yang telah menghirup miasma tampak berhalusinasi dan meneriakkan kata-kata yang tak bisa dimengerti. Yang paling parah, salah seorang diantara mereka mencoba untuk membunuh dirinya sendiri dengan cara membenturkan kepala mereka ke dinding berulang kali.
Apa-apaan ini? Kabut miasma ini berbeda dengan yang kuhirup saat masih kanak-kanak. Mereka yang menghirupnya akan menderita halusinasi parah dan kehilangan kesadaran sedikit demi sedikit disertai rasa sakit yang tak tertahankan. Para penderitanya bahkan lebih memilih untuk bunuh diri untuk menghilangkan rasa sakit yang menjalari tubuh mereka.
Salah seorang penduduk pria yang berhalusinasi kini menjadi beringas dan mencoba untuk menyerangku. Tak mau repot, kutusuk saja jantungnya dengan pisau di genggaman tangan kananku.
"Malleus Maleficarum Gula," ucapku pelan.
Permata berwarna jingga yang tertanam pada bagian pangkal bilahnya mulai bercahaya. Kuserap seluruh energi kehidupan yang tersisa dari pria yang mencoba untuk menyerangku, lalu kufokuskan energi yang telah terkumpul untuk menyembuhkan lenganku yang lumpuh akibat serangan musuh tadi.
"Ketemu."
Mendengar suara itu, aku menoleh ke belakang. Wajah si hantu orang-orangan sawah itu kini berada tepat di hadapanku. Mata dan mulutnya yang berupa lubang berbentuk persegi bercahaya putih itu menatapku dengan tajam seolah tak ingin melepaskan diriku dari pandangannya.
Merasakan bahaya, aku segera mengambil jarak dengan melompat mundur. Pucung yang telah mengantisipasi hal itu melakukan tendangan sambil melompat ke depan. Karena tak bisa mengelak di udara, serangan itu terpaksa kutahan dengan menyilangkan kedua lenganku.
Akibat gaya dorong yang begitu kuat dari tendangannya, aku terlempar dan jatuh di kerumunan warga yang tengah panik menyelamatkan diri mereka. Melihat pisauku yang berlumuran darah, wajah mereka tampak semakin pucat.
"Pe-pembunuh!" teriak Pucung yang menyembunyikan dirinya diantara pepohonan, "Tolong! Ada pembunuh! Dia membunuh seseorang disini!"
Para warga yang mendengar teriakan itu spontan mengalihkan perhatian mereka pada diriku yang tengah jatuh terduduk sambil menggenggam pisau berlumuran darah. Celaka, kalau begini aku tak bisa mengelak dan kabur!
"Di-dia pasti berasal dari seberang sana! Gara-gara dia, semuanya jadi kacau!"
Secara kebetulan, salah seorang warga yang mulai berhalusinasi setelah menghirup miasma kemudian berlari kearahku untuk menyerang. Tak bisa melupakan kebiasaanku, secara refleks kugunakan pisau dalam genggamanku untuk melindungi diri dengan memotong tangan orang itu.
Melihat kejadian itu, para warga berteriak histeris. Setelah mengalami kejadian-kejadian yang tak masuk akal mulai dari teror hantu orang-orangan sawah, terbawa ke dunia lain dan kini mereka dihadapkan oleh seorang pembunuh serta kabut beracun yang menyebabkan kepanikan massal, beban mental mereka yang menumpuk langsung meluap. Tanpa ragu, mereka mengambil peralatan berkebun seperti cangkul dan arit di sekitar, lalu mencoba untuk mengelilingiku dari segala arah.
"Ti... tidak! Tunggu! Aku hanya membela diri! Orang-orangan sawah di sana yang seharusnya kalian curigai!" aku mencoba mengalihkan perhatian mereka dengan memfitnah Pucung, tapi percuma. Lagipula mana ada orang yang akan mencurigai orang-orangan sawah.
Diantara pepohonan itu, dapat kudengar suara Pucung yang menirukan suara isak tangis. Tsk, dia hendak mempengaruhi para warga dengan menangis rupanya. Tak ingin membiarkan hal itu terjadi, aku berlari menembus kerumunan orang mencoba mengelilingiku untuk menunjukkan dirinya pada mereka.
"Hiks... hiks... kenapa..." suara isak tangis itu mengingatkanku pada seseorang, "kenapa kau melakukan hal ini..."
"Khh! Berhenti menangis dan tunjukkan wajahmu, Pucung!" dengan menggunakan pisauku, kupotong pepohonan yang menyembunyikan dirinya.
Alangkah terkejutnya diriku, saat kulihat sosok yang menangis di sana. Seorang wanita berambut hitam panjang dengan sepasang mata biru safir yang begitu indah. Kulitnya yang tampak putih pucat ditutupi oleh gaun putih polos, membuat penampilannya tampak seperti saat terakhir kali aku melihatnya.
"Ma...ma...?"
"Kenapa kau menjadi seperti ini...? Catherine Bloodsworth!"
Para penduduk yang melihat sosok wanita itu menangis di samping mayat dengan luka tusuk di dadanya menjadi semakin murka. Mereka kemudian merangsek maju, mencoba untuk menangkapku bagaimanapun caranya, hidup ataupun mati.
"Tidak... tidak... tidak mungkin! Tunggu!!" teriakku, "Pucung! Berani-beraninya... berani-beraninya kau menampakkan dirimu dengan sosok itu!! Tak akan kumaafkan!! Takkan pernah kumaafkaaaaaaaan!!"
Tak mendengar permintaanku untuk menunggu, para warga desa yang mengamuk mulai menyerangku dengan senjata mereka. Kabut miasma benar-benar telah mempengaruhi mereka. Di hadapanku, Pucung yang telah menjelma menjadi sosok seseorang yang paling kusayangi di dunia ini tampak tersenyum menyeringai.
Amarah yang semakin menjadi membuatku tak peduli dengan keadaan sekitar. Kuayunkan pisauku berulang kali untuk menebas mereka yang mencoba untuk menangkapku. Para warga yang semakin menggila mencoba untuk menyerangku secara membabi buta.
"Minggir! Atau kalian akan mati disini! Beri aku jalan!!" kuteriakkan ancaman yang tak berarti pada kerumunan orang yang telah kehilangan akal mereka.
Ahh... begitu? Kalian sudah tak peduli dengan nyawa sendiri, ya? Baiklah, kalau begitu kuladeni kalian semua! Jika kalian sudah kehilangan akal sehat kalian sehingga menyerang diriku...
...maka akan kubuang akal sehatku untuk menghabisi kalian semua...
Kuambil sebuah pisau dengan permata merah yang berada di belakang panggul, lalu kutusuk lengan kiriku dengan menggunakan benda itu.
"Malleus Maleficarum Ira."
Kekuatan yang teramat besar serasa memasuki tubuhku. Dengan satu ayunan dari Hexennacht Ira, kubelah dua salah seorang warga yang mencoba untuk menyerangku dari selangkangannya hingga ke ubun-ubun.
Bunuh Pucung...
Bunuh Pucung...
Bunuh Pu...
Bunuh...
Bunuh...
Bunuh semua...
Bunuh semuanya...!
BUNUH SEMUANYA!!
***
Catherine yang tengah dikepung oleh warga desa kini semakin terpojok, sekarang aku hanya perlu membiarkannya menjadi korban warga desa. Setidaknya itulah rencanaku untuk mengalahkannya, namun apa yang terjadi di hadapanku ini tak kuduga sama sekali. Satu per satu, para warga yang telah kehilangan akal sehat mereka tumbang, tewas oleh tebasan mematikan dari sang pemungut organ.
Melihat diriku yang tengah duduk seorang diri, ia kemudian melompat dari kerumunan warga yang mengamuk ke arahku. Dalam satu hentakkan, ia langsung mendarat di hadapanku. Tangan kirinya kemudian mencengkeram wajahku dengan erat, kekuatan fisiknya sekarang jauh melebihi manusia normal. Aku bahkan tak bisa melepaskan diriku.
"Ca... Catherine...? ini aku, ibumu, ingat...?" kuucapkan kata-kata itu untuk membuatnya ragu. Gadis itu hanya bisa mengeluarkan suara geraman kasar. Sepertinya, sebagai ganti kekuatan fisik, ia mengorbankan kesadaran dirinya.
Tanpa rasa ragu sedikitpun, ia mengoyak tubuhku yang kini tampak seperti ibu kandungnya. Kepala, tangan, kaki, perut, ia memotong tubuhku menjadi beberapa bagian dan melemparkan kepalaku kesamping.
Setelah menerima serangan itu, wujudku kembali menjadi seperti semula. Melalui mataku, dapat kulihat perubahan wujud fisik gadis itu. Ia tampak memuntahkan darahnya, lalu sklera mata kirinya berubah menjadi hitam. Tak sampai di situ, bercak-bercak hitam kini menutupi sebagian kiri tubuhnya.
"Itu... kutukan miasma?" tanyaku, "Ke-kenapa manusia sepertimu bisa mendapatkan kutukan itu?!"
"Hee... jadi itu kutukan?"
Seorang wanita berjas dokter tampak berjalan sambil menggenggam sebilah pisau dengan permata berwarna hijau di tangan kirinya. Tak salah lagi, pisau itu adalah senjata yang ia jatuhkan saat melawanku sebelumnya.
"Meninggalkan rumah untuk berbuat onar di kampung sebelah? Benar benar anak yang merepotkan," ujar wanita itu, "aku akan menyadarkanmu, jadi tunggulah sebentar lagi, Cathy!"
----
>Cerita sebelumnya :
[ROUND 1 - 11K] 32 - CATHERINE BLOODSWORTH | A SWEET REVENGE
>Cerita selanjutnya : -
Wew, ada juga yang sama" make ruby text tanpa perlu ngelibatin Iris Lemma di ceritanya #plak
BalasHapusUntuk ukuran cerita yang make multiple pov1, buat saya sendiri masih agak kurang berasa bedanya tiap ganti karakter. Maksudnya, saya tau karakter yang jadi pov ganti, cuma pembawaannya kayak ga gitu beda antara yang satu sama yang lain (padahal pov1 lumayan kalo dimainin buat nunjukin perbedaan train of thought tiap karakter). Masih kayak satu suara penulis yang sama aja
Sebenernya bagian battlenya lumayan bagus dan nyudutin Catherine, cuma karena bagian awal dan akhirnya diambil dari sudut pandang Pucung, rasanya kayak tokoh utamanya ketuker. Itu, dan akhirannya rada antiklimatik karena kepotong gitu aja. Mungkin kalo ditambahin sedikit aftermath baru kerasa konklusif
Hoho, ternyata konsisten pakai PoV 1 ya. Multiple PoV-nya udah lumayan oke, meski saya harus setuju sama mas Sam kalau emosi tiap karakter di sini kurang kerasa. Kurang penjiwaan gitu lah.
BalasHapusDan saya rasa turning point Cathy udah terjadi di R1, dengan adanya Lilia. Jadi pas di R2 ini twistnya saya rasa kurang begitu signifikan dan kurang nendang. Adapun adegan battlenya sama Pucung, dan karakterisasi Pucung sendiri udah lumayan oke lah.
Singkat aja kayaknya. Karena selain saya bingung apa yang mau dikomen lagi karena Entri Catherine udah cukup solid dan mulus, saya juga kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan perasaan saya. Tapi intinya Catherine tetap jadi lovely bastard buat saya. Cuma sayang saya berharap agak lebih buat Cathy di ronde dua ini sebenarnya.
Segitu aja kayaknya. Vote menyusul.
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
Saya suka banget sama penggunaan ruby text buat terjemahan di entri ini!
BalasHapusJadi nggak perlu repot pake kurung atau catatan kaki.
Penggambaran suasana cathy sama warga desa karikil juga mantep banget. Itu jadi salah satu adegan yang saya sangat nikmatin pas baca.
Thanks udah nge-eksplor Pucung di entri ini. Bahkan motifnya untuk ketemu sang hyang pun disebutin ;)) komplen saya cuma di penceritaan yang bikin pucung jadi berasa punya sifat cathy, tapi di samping itu saya suka perpindahan povnya.
Battlenya kerasa tegang karena Cathy tersudut di sini. Saling timpa kemampuan kayak mewujudnya pucung jadi ibu cathy juga menarik.
Apa lagi ya, segitu aja deh yang bisa saya komenin. See you around :))
Ini komen sambil baca ya, kalo ada yang menarik aye masukin sini.
BalasHapuspov 1 sudah ciri khasnya Cathy, sama seperti Song yang ber-POV 2. masih diterapkan, rupanya.
Ngekngekngekngek, waktu Angie nemuin organ, saya jadi kebayang kalo ortu aye menggeledah kasur. Bukannya nemu majalah dewasa, malah nemu bola mata manusia wwkwk
that Zainudin... Lol
pucung juga pov 1
waktu pucung nggodain tukang cilok, anjir malah keinget suzana... setan!
kupikir cathy mau mancing pucung pake cara apa... ternyata ngebunuh ya. tipikal psikopat sih.
darimana Pucung tahu miasma? bukannya itu fitur dari semesta Cathy ya?
malleus maleficarum? Baru ngeh kalo itu mantra aktivasi pisau. Soalnya terjemahannya itu 'palu penyihir'.
Waktu Cathy dikeroyok warga kok agak gimana gitu ya. kalo gue sih mending kabur. Mungkin karena menang jumlah makanya mereka berani? atau karena miasma yang bikin otak kongslet?
Walah, akhirannya gitu doang ya, pucung dibabat habis. cukup antiklimatik. padahal kalo misal ada penjelasan apa pucung masih hidup (dia hantu. segala hal bisa terjadi) atau mati (Hexennacht mampu untuk memotong makhluk tak kasatmata...) bakalan lebih seru tuh.
Ya, segitu dulu. Cukup berkesan, terutama di awal-awalnya. Vote ditahan dulu, soalnya aye belum ngulik entrinya Pucung.
salam,
-Authornya entri nomor 21
Cara ancam Cathy ke Pucung keren juga. Ninggalin mayat dengan keji. So psycho.
BalasHapusAne nikmatin battle mereka berdua disini. Terutama Cathy lebih agresif and less talk pas lawan Pucung. Tapi ane sempet ngakak pas Pucung di sini. Oh, ternyata pake rupa ibu Cathy.
Sayang endingnya... ._. Ga puas.
Bahkan Pucung yg cuma kepotong masih hidup.
(Yaiya. Dia setan. Ane sendiri bingung gimana kalo disuruh lawan setan.)
Untuk voting.. ane pilih Pucung
Salam dari auth Lady in Black.
Malang sekali nasib pucung, nggak hanya sudah mati, tapi setelah mati dimatikan lagi. Matiception. *What?*
BalasHapusAhem... PoV First person di sini memberi kesan unik pada entri, tapi seperti kata mas sam, kurang ada "feel" perbedaan antara PoV orang berbeda. Tapi tetap saya acungi jempol karena masih tetap konsisten pakai PoV 1 sampai akhir.
Battle... well... she's a psychopath! But... Lack of Psycopacy! Meski di bagian lain sifatnya terasa, tapi di battle kurang memberi kesan.
Sekian dari saya~
menarik, ruby text jadi bantuan untuk memudahkan memahami kalimat asing.
BalasHapusmasalahnya ada 2:
1. paragraf tanpa spasi. masalah standar tapi menganggu ini...
2. ditambah lagi, pemakaian pov 1 untuk dua karakter berbeda dengan hampir tidak adanya perbedaan cara berpikir dalam kalimat yang ditunjukkan, bikin bingung.
kombinasi buruk.
tapi, evilnya si pucung dapat banget hahahahahah
and..why tho...endingnya cliffhanger begini....
vote:
HapusPUCUNG
-Wamenodo Huang