oleh :Ahran Effendi
--
[Perhatian: mengandung konten dewasa.]
—
“Memangnya siapa kau ini, menyangka
semua orang terlalu peduli kepadamu sehingga begitu membencimu?”
- 1 -
Tiga bulan sejak mendadak lenyapnya Ibukota
Batya, kepanikan senantiasa meraja. Bak direngkuh Hari Akhir, anomali beranjak
menggila. Warna hitam mengerumit Yisreya dengan perlahan namun pasti. Membunuh
segenap makhluk yang dilalui. Dan belum cukup dengan tanah air, laut di utara
ikut lesap bersama jutaan asa. Tiada lagi jalan bagi bangsa Dayan untuk
menghindar menyaksikan tumbuhnya benih kehancuran tepat di depan mata.
Tinggal menunggu seluruh Benua Barat lebur
bersama kehampaan.
Betshev Eliezer menjadi saksi atas mengikisnya
semangat hidup di seluruh penjuru negeri. Doa-doa terus dipanjatkan, tetapi
sahutan tak pernah datang. Pengorbanan dijalankan, namun dijawab sunyi. Seiring
bergulirnya masa, kian banyak Dayan merayau-rayau di jalanan. Tangis dan jerit
keputusasaan serupa melodi abadi yang tak pernah surut.
Pengampunan Tuhan bagai fatamorgana di tengah
hamparan pasir.
Di antara dera cobaan demi cobaan, seberkas
kenangan turut menggempur benak Betshev. Ingatan jelas atas dosanya yang begitu
besar kepada seorang pemuda.
Sang alkemis wanita terus membisikkan nama-nama
agung Tuhan, tetapi tidak jua hilang gundahnya. Alih-alih, rasa bersalahnya
membuncah. Kebekuan dan sunyi yang sama, malam ini tepat dua tahun sejak
peristiwa memilukan itu.
Apa kamu ... masih hidup?
Dihelanya napas panjang. Tanpa beranjak dari
kursi, dia memandang kosong pada jendela yang terbuka. Mengungkap langit kelam,
tanpa kehadiran sepasang bulan—Ushna dan Mahra.
Terdengar tiga kali ketukan dari luar wisma, disusul
tutur salam seorang pelayan. Betshev mempersilakannya masuk, seraya membukakan
jalan. Pintu berderit membuka, menampilkan pelayan wanita berikut sekumpulan
orang dalam balut jubah cokelat.
Sosok misterius yang berdiri paling depan
maju, sementara kawanannya tidak beranjak dari tempat. Lantas, dia membuka
tudung jubah. Mengungkap figur yang Betshev kenali benar. Seketika itu sang
alkemis wanita terperangah.
“A-anda ....” Betshev tak kuasa menyembunyikan
keterkejutannya. Seharusnya Dayan tua di hadapannya sudah meninggal. Pengumuman
waktu ajalnya telah menyebar luas bagaikan wabah. “Tuan Amram Yirmi. Bagaimana—”
“Ceritanya panjang.”
Baru Betshev hendak membungkuk pertanda hormat
pada kawan lama sekaligus mentornya, Amram menghentikan.
“Kau tidak perlu melakukan itu.” Dan dia
langsung mengutarakan niatnya, “Aku mendengar tentang langkah-langkah yang kaucanangkan.
Jalan keluar dari rangkaian bencana ini.”
Betshev mengerjap, kikuk bercampur berang. Yang
baru saja dibicarakan sang Okultis bukanlah gagasan yang pernah diperlihatkannya
kepada siapa pun. Penemuan yang masih prematur, yang bahkan belum berani
dibicarakannya, kecuali ....
Namun sebelum Betshev sempat angkat suara, Amram
menuturkan, “Aku tahu kau pasti bertanya-tanya mengenai kedatanganku dan bagaimana
aku mendapati penemuanmu. Tapi ketahuilah, penjelasannya terlalu rumit untuk
kupaparkan.”
“Tuan Amram.” Betshev mendengus. “Saya tidak—“
Amram Yirmi menyergah, “Yang Mulia telah
menitah kita. Dunia ini dalam bahaya dan kau serta akulah satu-satunya yang
bisa diharapkan.” Dia terbatuk pendek. “Kita ... harus bekerja sama sekarang
juga, atau sesuatu yang lebih buruk dari kematian akan melanda bukan saja
bangsa kita, tetapi ... seluruh muka bumi dan isinya. Takkan ada masa depan.”
Dia menyerahkan tabung bersepuh emas. Berisi surat titah dari sang Raja.
Betshev tertegun. Takdir dunia ada di tangan
orang penuh dosa seperti dirinya; sosok yang pernah menghalalkan segala cara
demi memperoleh tujuannya, termasuk menjatuhkan putra sang Raja. Bagaimana
bisa?
Masih dengan ketidakpercayaan, dia menanggapi,
“K-kenapa saya?”
“Karena Yang Mulia paham kau mampu.” Amram
menyeringai, tetapi kesedihan mendalam meriap dari matanya yang lelah. “Tapi,
aku akan memberitahumu ... satu hal. Putra Raja tengah mempertaruhkan
kelangsungan nasib dunia ini. Kekalahannya berarti kemusnahan kita. Tidak patut
kita biarkan beban seberat itu hanya ditanggungnya seorang diri. Kita harus
membantunya.” Dia berdeham singkat.
Sheraga Asher. Ada
kelegaan menguar dalam batin Betshev, ketika mendengar pemuda itu masih hidup.
Terlepas pada takdir apa yang tengah menjeratnya. Namun berikutnya, Betshev
terbayang kembali pada perbuatannya; apakah kesalahan itulah penyebab peristiwa
yang menimpa Asher? Dan di manakah dia saat ini?
Betshev memantapkan tekadnya. Tiada lagi
kebimbangan. Tuhan telah menunjukkan setitik rahmat-Nya, melalui dirinya,
dengan sangat jelas. Mulai detak jantung ini, dia harus kukuh. “Saya mohon diri
sejenak,” pintanya. “Ada yang perlu saya perlihatkan.”
Wanita itu melenggang ke ruang bawah tanah.
Tatkala kembali ke hadapan Amram dan para pengikutnya, alkemis wanita itu sudah
membawa dua buah gulungan sepanjang setengah depa.
Dengan hati-hati, Betshev membentangkan satu
di atas meja terdekat sehingga orang-orang di sekelilingnya ikut mengamati. Di
dalam perkamen raksasa itu, terhampar simbol-simbol rumit dari tinta darah,
yang tersusun dari gugus aksara lama. Satu yang utama berupa gabungan lambang
alkimia mewakili kehidupan dan kematian. Simbol yang juga merepresentasikan
perpindahan dan ketetapan.
Berusaha tetap yakin, Betshev memaparkan hasil
penelitiannya selama setengah dekade. Apalagi, sesuatu yang disugestikan sering
bertajuk kebenaran, maka dia harus percaya diri.
“Ini merupakan alkimia yang memadukan
pengetahuan dengan seni sihir dan semiotika,” terangnya seefektif mungkin.
“Dengan ini, kita bisa melakukan banyak hal. Mulai dari mengubah satu unsur
menjadi unsur yang lainnya; menjerat makhluk gaib; sampai dengan perpindahan,
bukan saja di kehidupan ini, melainkan alam yang lebih tinggi—katakanlah, dunia
jin. Dan kemungkinan berhasil tertingginya adalah mutlak tiga berbanding lima.”
Tepuk tangan membahana.
“Kau sangat berbakat. Tidak salah menjadi
kepala para peneliti.” Amram takjub. Demikian pula dengan orang-orang yang menyertainya.
Jelas dia lebih dari paham dengan apa yang tersurat pada kreasi Betshev.
“Saya tersanjung,” Betshev merespons, “walau
sesungguhnya saya masih belum percaya—“
“Apa itu dapat membawa kita ke Alam
Mimpi?” Amram memotong.
Betshev mengerutkan alisnya. Alam Mimpi, tak
saja memiliki makna harfiah. Itu berarti dunia yang berupa batas antara
Kehidupan dengan Kematian. Para cendekiawan luhur berusaha menyingkap misteri
alam tersebut, tetapi berujung pada kegagalan dan aib.
“Jadi, tempat yang hendak Anda tuju adalah alam
mimpi?” Sejenak, Betshev mempertanyakan kewarasan mantan mentornya—juga
sang Raja.
“Benar.” Amram mengangguk. “Terdengar sinting,
memang. Tapi itulah yang terjadi. Alam Mimpi mengerip benua kita
perlahan-lahan. Sebagian dunia ini terperangkap di sana.”
Betshev hampir mengusir, kalau saja Amram
tidak mengimbuh, “Nama Tertinggi Neraka mengilhamiku, bulan sabit ini adalah
momen paling tepat untuk menembus lapisan pelindung semesta, sebab penguasanya
tengah melemah.” Dia menatap lekat. “Percayalah padaku, Nak. Aku tidak
gila.”
Meskipun pandangannya mengenai iblis masih
berseberangan dengan mentornya, Betshev menyanggupi. “Semoga saya mampu,”
jawabnya sambil menyeka dahi. “Kami akan memerlukan banyak tenaga dan sumber
daya untuk menciptakan simbol transmutasi raksasa.”
Amram mengangguk lemah. “Bagaimana dengan
perkiraan masanya?”
“D-dua hingga ... tiga hari,” balas Betshev
terbata. Pikirannya berputar selagi bicara. “Itu waktu paling cepat yang bisa
saya perhitungkan.”
“Lakukan secepatnya. Berikan usaha terbaik!”
perintah Amram, lalu terbatuk panjang. Warna merah meloloskan diri dari sela
jemarinya. “Yang Mulia menuntut ... kinerja lebih ringkas dan kita hanya punya ...
sedikit waktu.”
“A-anda tidak apa-apa?”
Amram tidak menggubris dan balik menghadap
para pengiringnya. “P-persiapkan ... segala sesuatunya mulai detik ini. Demi
umat kita, aku akan mengarahkan ... p-para penyihir terbaik dan apa pun yang
kauperlukan, bahkan segenap jiwa ragaku ... bila dibutuhkan. Salam damai, Nak.
Sampai jumpa.” Setelah itu, dia bertolak bersama pengikutnya.
Betshev tidak membantah. Segera, dia beranjak
ke ruang pribadinya. Seluruh keraguan dienyahkan. Akal pikir dijernihkan. Yang
paling penting adalah mencoba. Di sisi lain, samar-samar, dia mendengar kesah.
Sang Okultis tengah berduka. Begitu Betshev
memandangnya, beban yang begitu berat seolah menggelayuti bahu ringkih lelaki
tua itu.
- 2 -
Enam belas, termasuk dirinya, setelah
sebelumnya terdapat sembilan puluhan kontestan.
Dua jam lalu, di tempat konyolnya, Huban
mengumpulkan peserta Turnamen Antarsemesta yang masih dianggap layak. Namun Odin
tidak lagi menemui beberapa sosok familier di antara mereka. Sang Penari Belati,
rambut tiga warna, pria cemerlang keemasan, bahkan si Robot Mata Satu.
Tidak juga, Nessa.
Secercah kerinduan Odin pada gadis itu merekah
di dalam dada. Venessa Maria, si gadis berambut jeruk. Figur satu-satunya yang
menarik perhatian pada ajang yang penuh darah, sekeras apa pun Odin menampiknya.
Akan tetapi secepat perasaan itu muncul,
seringkas itu pula sirnanya. Itu tidak benar, pikir Odin. Misinya
menjalankan pertarungan silih berganti ialah kebangkitan sang ibu. Tidak boleh
ada seorang pun lagi di dalam kepalanya. Maka sepatutnya Odin mensyukuri
terangkatnya satu beban itu.
“Hei, hei, Kak Odin~” Sekoci Huban tiba-tiba
menjauh dari semua peserta turnamen yang masih kebingungan, mendekat pada Odin
seorang. “Aku sudah menentukan lawanmu di Museum Semesta nanti, lho~”
Odin terperanjat. Nyaris membalik perahu di
atas lautan susu karamel. Segera terbayang lima sosok yang dikutuk menjadi
tembikar buruk rupa.
“Eish, jangan takut,” kata Huban yang berhasil
membaca gelagat Odin. “Kali ini berbeda. Tidak ada ancaman Kehendak. Ini dalam
rangka kunjungan yang me-nye-nang-kan, anggap saja nostalgia masa
sekolah. Kakak bukan saja akan menemui pertarungan dan misi yang menegangkan,
tetapi juga ... melihat-lihat koleksi museum terbesar di seluruh jagat! Ada
patung, lukisan, koleksi bantal dan boneka yang lucu, bahkan koleksi permen—“
“Dari tadi kamu ngomong apaan sih?” bentak
Odin. “Ya, ya, aku tau Museum Semesta kayak gimana. Aku paham harus bertarung,
bla bla bla, tapi aku benci pake pendahuluan. Tau nggak?”
Huban menggaruk kepala empuknya. “Err, oke.
Kalau begitu, dengar baik-baik misi untuk Kakak, ya~” Dia membuat tanda damai
dengan jemarinya.
Bagi Odin, Huban tidak lebih dari ornamen
pelengkap absurditas Alam Mimpi. Makhluk itu memenuhi semua kriteria olok-olok
penciptaan, sekalipun Odin tidak memercayai eksistensi tuhan maupun para dewa.
Akan tetapi mulai detik itu, dia sadar si
Kepala Bantal lebih dari sekadar kelip di tengah kekejaman.
Huban bukan makhluk bodoh. Dia punya taktik,
dan Odin patut waspada pula.
“Lawanmu yang sekarang adalah Sheraga Asher,”
Kepala Bantal menyampaikan. Nada bicaranya serius, seolah bukan dirinya. “Mirabelle
pernah berpesan padaku, agar orang itu segera dibunuh. Tapi, kamu harus cermat.
Jangan sisakan celah, sebab musuhmu sangat berbahaya.”
Berikutnya, Huban menawarkan kesepakatan
menggiurkan.
“Emangnya Asher itu siapa sih? Dia peserta
biasa, ‘kan?” Odin memprotes. “Maksudku, aku nggak keberatan bertarung sama
dia. Yang aku sebal bukan main, kenapa kalian sampai repot-repot bersikap kayak
gini demi dia?”
Sang Penggembala Domba Putih bergeming saja.
Tidak heran Odin sangat berang. Dia curiga
Huban bermaksud menggoyahkan kejiwaannya sebelum perang, dengan mengatakan
lawan begitu tangguh dan istimewa sampai-sampai panitia turun tangan demi
membunuhnya. Itu salah satu taktik penghilang semangat yang Odin pahami.
Dalam kehidupan, tidak ada yang namanya
kejujuran, termasuk pada sebuah ajang. Para penyelenggara pasti memiliki
kecenderungan mendukung pihak tertentu, dan berusaha memenangkan pilihan mereka
dengan berbagai jalan dan alasan.
Kesimpulan tersebut terbukti dari lenyapnya
para peserta, yang dinilai Odin memiliki potensi tempur luar biasa. Menyisakan
mereka yang tidak pernah menonjol.
Kalaupun benar Sheraga Asher semengerikan yang
tersirat, dugaan Odin mengenai ketidakadilan sistem juga tidak meleset.
Akan tetapi, Odin lega mendengar keterangan
mengenai calon musuhnya. Terlebih dengan “pemberian” Huban yang sangat praktis
dan menjanjikan. Ternyata bukan Sheraga Asher itu, melainkan diri Odin-lah yang
spesial. Melayangkan nyawa seorang kontestan menjadi ujian pertama
kelayakannya.
“Gunakan itu jika Kakak terdesak,”
Huban memberitahu, kembali riang. “Tapi lebih bagus kalau tidak~”
Dan setidaknya, lawan yang Odin hadapi adalah
manusia laki-laki. Bukan gumpalan organ acak manusia disertai tentakel hitam.
Tidak ada yang perlu Odin takutkan selama
musuh seorang fana. Sebagai pembunuh bayaran, dia sudah berpengalaman
mengentaskan nyawa. Hanya butuh satu gerakan efisien, dan lawan terkapar. Dan
apabila ternyata musuh sedikit melampaui perkiraan, Odin tinggal menyingkap
jurus lainnya. Parasit dalam dirinya selalu siap untuk itu.
Lagi pula, tak ada yang kuasa menampik
kenikmatan di selangkangan. Sekalipun itu pribadi yang paling lurus.
Maka di sinilah si pemuda, mengikuti arahan
Kepala Bantal menuju latar pertempuran. Seakan mengawasinya, ialah sederet lukisan
menampilkan potret seragam dari sebuah semesta. Berbekal pengalaman menjadi
pelukis dengan estetika cukup tinggi, Odin mampu membaca pesan dari dalam tiap
pigura.
Mereka bicara mengenai penderitaan,
ketidaksetaraan, dan macam-macam tragedi kemanusiaan. Bodohnya, makhluk-makhluk
menyedihkan yang berdiam di sana berusaha menyangkal kenyataan tersebut. Justru
berlindung di balik kesucian palsu. Itulah dunia yang direngkuh dusta sejak
awal peradaban. Melebihi kebobrokan Pomupeii.
Di sanalah tempat tinggal pemimpi bernama
Sheraga Asher.
Sayup-sayup, alunan petik dawai melintasi
koridor megah Museum Semesta. Pada salah satu sudut galeri, seorang pria
berpakaian monokrom sedang duduk memainkan harpa.
Baru Odin berniat mencabut pisau, dengan tanpa
suara, si pria berambut hitam sebahu menoleh dan berdiri. Sebilah pedang kelam
dihunuskannya. Dia tersenyum simpul.
Rupanya dewi fortuna tengah memihak pada Odin.
Lawannya semata pria pasi sekurus ranting. Manusia stereotip, yang pernah menyalak-nyalak
menyebut Mirabelle dengan panggilan aneh. Jordan sekalipun lebih dari sanggup
untuk menggebuk pingsan si pria.
Tetap saja, Odin menggeram. Langkahnya patah
sejak kesempatan pertama. Dia menyesal tidak bisa menumbangkan musuh dengan
seringkas mungkin.
“Salam, Bocah,” sapa Asher, sinis. “Ingin
kulantunkan melodi apa? Ah—bagaimana kalau perkabungan bagi kematianmu?”
Jawaban yang Odin berikan berupa terjang
serangan. Hadiah pantas bagi sambutan angkuh hanyalah kematian.
- 3 -
Pada dasarnya, alkimia meyakini seluruh alam
semesta sesungguhnya bergerak menuju kesempurnaan. Seperti transmutasi timah
menjadi emas, yang diyakini sebagai zat sempurna karena sifatnya yang tidak
bisa rusak. Dengan transmutasi logam biasa menjadi emas itulah, para ahli
percaya bahwa mereka sebenarnya tengah membantu alam semesta meraih eksistensi
tertinggi.
Berlandaskan prinsip tersebut, tidak
mengherankan apabila Sheraga Asher berpikir, bagaimana bila masih ada misteri
lain untuk disingkap?
Memahami rahasia ketidakberubahan emas, bisa
jadi dia akan menemukan pemecahan atas masalah lain. Seperti bagaimana
menangkal penyakit dan pembusukan hayat. Bahkan, memberikan hidup abadi hingga
mengubah manusia menjadi wujud yang lebih kompleks. Layaknya alam dengan
berbagai anomalinya, segala kemungkinan terbuka luas.
Manusia merupakan makhluk yang rapuh dan
ceroboh, tulis Sheraga pada halaman jurnalnya. Bibirnya bergerak selagi
tangan kanannya sibuk menari.
Dalam teks-teks kuno dan kisah-kisah
terdahulu, dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna, entitas
ciptaan tertinggi. Namun bukti belum mengakui keabsahannya. Setiap kerjapan
mata, jiwa manusia tercerabut dari tubuh. Dan akal mereka sendiri yang
menyebabkan dunia semakin sakit.
Sheraga mencelupkan pena bulunya ke dalam
wadah tinta. Dia meneruskan, manusia tercipta dari empat elemen
dasar. Api, air, tanah dan udara—merah, biru, kuning dan hijau. Seperti halnya
materi fana di dunia ini. Namun kita tak pernah berani menyentuh unsur yang
lain, yakni unsur putih dan hitam. Dua unsur yang kekal.
Bila aku menggabungkan empat elemen dasar itu,
dengan ekstrak salah satu dari dua unsur yang kusebut, atau bahkan mencampurkan
seluruhnya .... Memusnahkan aspek buruk masing-masing dan mempergunakan sihir
serta semiotika kuno, aku yakin mampu membuka pintu yang menjadi batasan-batasan
pengekang manusia.
Dengan kata lain, membantu manusia mencapai
wujud yang lebih tinggi lagi.
Putih membentuk daya untuk bertahan,
mementahkan penyakit dan kerusakan internal, serta membatasi nafsu. Sedangkan
hitam memberikan daya untuk melawan ancaman dari luar.
Hasilnya, kita bisa menghindari degradasi
dini, memanfaatkan sumber daya tanpa mengacaukan siklus lingkungan, dan
menyetarakan diri dengan makhluk pada dimensi atas. Sehingga kehidupan dapat
berjalan dengan ideal.
Sebagai tambahan atas penjelasannya, Sheraga
menggambar tabel dan simbol-simbol. Tepat menyertai tulisan. Sebuah
heksagram—lambang yang merepresentasikan keenam elemen, di tengahnya—memenuhi
halaman. Lantas alfabet lain mengelilinginya.
Kilat di luar jendela ruangan menyinari wajah
pucat sang Alkemis. Gelegar guntur yang menyusul membuyarkan konsentrasinya.
Merasa cukup, dia meletakkan pena dan menutup jurnalnya.
Tentu, apa yang barusan ditulisnya semata
konsep belaka. Yang sama sekali belum terealisasikan. Bagaimanapun juga,
transmutasi tak bisa diterapkan pada makhluk berhayat.
Perlu waktu dan kondisi yang tepat bahkan
semata-mata untuk mewacanakan pemikiran semiring itu. Oleh sebab itulah, segera
alkemis muda itu mengambil jurnalnya dari meja, dan memindahkannya ke brankas
khusus yang diliputi sihir istimewa.
Tak seorang pun yang boleh membacanya. Atau
pengasingan akan jadi permohonan Sheraga yang paling giat. Sebagaimana para
cendekiawan yang terjerat hukuman inkuisisi, hanya karena ide-ide mereka
berseberangan dengan doktrin agama.
“Selamat untukku,” ucap Sheraga lirih. “Satu
langkah menuju kegemilanganku.”
Rasanya seperti pada hari kemarin ayahnya,
Natan Asher, memberikan pada putranya kenyataan mengenai masa depan. Engkau
akan mengubah dunia, begitu ujaran sang Perdana Menteri, dan aku
memastikannya. Engkau adalah putraku, anak yang begitu istimewa yang
Tuhan karuniakan padaku.
Kiat Sheraga untuk memulai perubahan itu
kandas prematur di bidang agama. Sekarang, dalam bidang ilmu pengetahuan, tiada
lagi yang mampu menghentikannya. Imannya boleh dipertanyakan, tetapi tidak
dengan kepandaiannya.
“Akan kubuktikan pada semua orang, mengenai
eksistensiku.”
Sehabis itu, dia mengunci ruangan pribadinya
usai mematikan perapian dan obor-obor yang tersisa.
Dia tidak menyadari sesuatu.
Sebuah rajah dari darah terlukis di pintu,
perapian, rak-rak buku, hingga dekat meja. Mengawasi gerak-gerik Sheraga sejak
dua hari yang lalu, termasuk bagaimana dia berlatih menyampaikan pendapat-pendapat
sinting dan kegiatannya mengekstrak intisari makhluk hidup. Simbolnya begitu
tersamarkan oleh lingkungan. Perlu kejelian khusus untuk membedakan dengan
medannya.
Di antara amukan badai, meluncurlah
suara-suara itu.
Pada belahan lain Ibukota Batya, beragam
luapan emosi memenuhi ruangan tempat berlangsungnya sebuah pertemuan tertutup.
Tiga puluhan peneliti penting Urim Ushnashar berkumpul. Ada yang berteriak
marah, menyumpah serapah, pun tertawa disertai tepuk tangan. Tujuan mereka
sama, dan semakin dekat untuk tercapai.
“Dasar bedebah!” seru salah seorang pria
sambil menggebrak meja. “Bahkan dia benar-benar menjalankan niatannya. Mau berlindung pada
siapa lagi dia?”
Peneliti senior bidang sihir menimpal, “Ya.
Berani-beraninya memiliki niat menyamakan diri dengan makhluk gaib. Kuharap dia
dibakar hidup-hidup atas kejahatan menodai ilmu pengetahuan ini!”
“Kalau Pimpinan masih berminat melindungi anak
itu,” sambar pria dengan turban berapi-api, “kucelupkan mereka berdua sekalian
ke dalam air keras!”
Tensi di tempat itu semakin naik. Dalam
momentum tersebut, udara dipenuhi dengungan oleh banyaknya gerutuan tanda
setuju.
“Tidak usah cemas, Shoshan, jelas takkan ada
yang mengampuni orang semacam itu,” sambung seorang
pemuda berambut kecokelatan, pada pria yang sebelumnya bicara. “Kujamin, dia
pasti akan memohon atas kematiannya sendiri.”
“Dan dengan begitu, kaubisa maju sebagai
pimpinan kami, Chanan,” Shoshan mendukung. “Putra perdana menteri itu ...
dialah beban yang paling menyusahkan bagi kita. Ayahnya selalu menjadi
pelindung baginya!” imbuhnya dengan suara meninggi.
Lawan bicaranya balas tersenyum.
Nah, Keparat, kau sendiri yang menggali lubang
kuburmu, pikir pemuda yang diketahui bernama Chanan Raivah itu. Mata biru
safirnya melirik pada informan kepercayaannya, sang Pembuat Rajah. Sekarang
tinggal memastikan kau tidak bangun lagi dari sana.
Malam itu, putra sulung Ezar Raivah tersebut
merayakan nyalanya sumbu kembang api kemenangan. Akan tetapi bagi Sheraga
Asher, itulah hari yang menjadi ambang puncak kariernya. Karena seterusnya,
senandung kedukaannya terlantun. Mengisi otaknya bukan dengan motivasi,
melainkan kegilaan serta amarah.
—
Benar-benar rapi. Benar-benar dramatis.
Benar-benar sakit.
Satu-satunya orang yang Sheraga anggap sebagai
“sahabat”, Orim, ternyata bermaksud menghentikan tujuannya mengubah peradaban. Orim
tidak saja menculiknya, pria itu bahkan memupus ingatan dan kemampuannya.
Sheraga pernah mendengar reputasi sang klerik
sebelumnya. Pria itu, sama seperti Sheraga, merupakan yang terbaik dalam
pendidikannya. Kecerdasannya diakui melampaui banyak orang. Dan oleh karena itulah
suatu hari Orim berkata, dia juga ingin melakukan pembaharuan.
Semestinya Sheraga menyadari kejanggalan Orim
sejak awal. Pria itu memang selalu membantunya dalam setiap kesulitan, menawarkan
jalan keluar yang tidak disangka-sangka. Namun sebagaimana makhluk berakal,
setiap perilaku bukanlah tanpa maksud.
Selalu ada tujuan, sebab begitulah manusia.
Merusak bila tanpa aturan. Saling tikam jika berbenturan kepentingan. Diri
sendiri merupakan yang utama. Kecenderungan jahat bahkan Tuhan ciptakan dalam
hati tiap insan. Lagi pula, Tuhan memang jahat.
“Jangan pernah percayai siapa pun,”
Natan Asher pernah berpesan, “termasuk dirimu sendiri.”
Itulah yang selalu Sheraga yakini dalam
hidupnya. Dayan maupun Helev sama-sama makhluk egois yang sukar ditebak.
Yaal Yifrach, Dayan kecil yang pertama kali
mengakui Sheraga sebagai teman, ternyata memprakarsai percobaan penenggelaman
atas dirinya. Para guru di pendidikan, yang diam-diam mengharap kegagalannya. Aliyah
Shefar, calon istrinya, yang memilih lelaki lain setelah pertunangannya.
Betshev Eliezer, perempuan munafik yang menendangnya dari majelis penelitian.
Kemudian ayahnya sendiri, Natan Asher, memilih menuruti kemauan fitnah dan
mengusir putranya keluar dari kerajaan.
Dan Orim. Sheraga
pun tertawa.
Seketika dia terkenang pria malang bernama
Ganzo Rashura. Betapa ingin dia mengucap terima kasih pada sang nabi palsu atas
pembebasan dari sihir Orim, ingin mengajaknya sama-sama memandang dunia dengan
cara baru dan menjadikannya pengikut. Kesahajaan pria itu sama sekali tidak
dibuat-buat, dan dia jelas takkan berkhianat. Namun dalam ajang yang
mempertaruhkan keutuhan semesta, hal itu tidak memungkinkan. Sheraga terpaksa
membuatnya mati.
Seluruh kekecewaan Sheraga tumpahkan dalam
permainan harpa. Diiring lagu pengantar kematian yang paling sendu. Sampai
kehadiran seseorang menghentikan alunan melodinya.
Sheraga berpaling, dan geli.
Nasib sedang berbaik hati dengan mendermakannya
lawan jenaka. Musuhnya, yang Huban beritahukan bernama Odin, adalah Helev
anak-anak. Tubuhnya setengah terbuka, mengumbar berahi tiada alang, seperti
penjaja kenikmatan duniawi. Tidak ada tanda-tanda kekuatan besar, yang ada
justru alamat keterbelakangan pikir.
Sang Alkemis menghunus senjata, meliputi bilah
hitamnya dengan api tak kasatmata. Begitu si bocah menerjang maju, sambutan
hangat telah benar-benar siap. Akan tetapi—
Memanfaatkan bobot tubuhnya yang ringan, Odin memelesat
ke kiri. Membuat Sheraga kebingungan mengikuti pergerakannya. Odin lantas
melompat ke arah sebaliknya, lalu kembali ke kiri, dan ke kanan lagi, terus
begitu sehingga Sheraga tidak yakin pada pertahanannya. Laju bocah itu
betul-betul mengungguli daya tangkap indra. Sejurus kemudian, bagai hantu, keberadaannya
sungguh sirna.
Sheraga rasakan hawa kehadiran di belakang.
Hendak menggorok tengkuknya. Ketika dia berbalik, denting ringan memeriahkan
kelengangan Museum Semesta. Pedangnya berbenturan dengan belati milik Odin dan
walaupun kedua senjata tidak seimbang, si bocah sama sekali tak terganggu.
“Rupanya kau tidak lemah,” desis Sheraga
setengah sadar. Giginya menggemertak, berang sekaligus tertarik minatnya.
“Heh, sama-sama, Pemilik-Nama-Jelek.
Ngomong-ngomong, itu tadi lumayan juga,” si bocah memuji. “Tapi tetap payah—“
Sheraga menyeringai. “Siapa bilang kau boleh
bangga?”
Tak mungkin dia mati di tangan seorang bocah,
dan tidak seru jika langsung memberangus dengan menghantamkan pijar. Maka
Sheraga memilih mundur. Selubung api tipis dienyahkannya. Sudah lama dia tidak
mempraktikkan keterampilannya seperti ini.
“Ayo ma—“
Odin lenyap lagi dari muka. Sheraga berputar, mengedarkan
pandangan. Dia terus mundur. Merapat ke dinding penuh bingkai demi mengamankan
diri. Tatkala terdengar tapak halus dari barat daya, segera difokuskannya
perhatian. Hanya untuk dibuat kecewa oleh kekosongan. Di arah yang sama,
lukisan Shimon Shalafar—seorang rabi yang menjual jiwanya pada kegelapan—yang
sedang berkhotbah, sempat menarik atensi.
Bayangan si bocah terpantulkan oleh alas
mengilap Museum Semesta. Seakan mengejek hukum gaya tarik bumi, Odin melayang
di udara. Pisaunya terhunus ke bawah, siap membocorkan kepala musuhnya.
Dalam waktu sempit Sheraga menjatuhkan badan
ke samping. Membiarkan bahu kanannya mencium lantai pejal. Tidak ada momen
untuk mengaduh. Abai pada rasa sakitnya, dia bergegas bangun. Sepersekian detik
setelah itu barulah Odin menapak. Tanpa jeda, langsung dilancarkannya serangan
frontal. Satu kakinya menolak lantai sebagai permulaan. Tawanya meriap membelah
kesenyapan.
Bangsat!
Dipandu kesal, Sheraga melibaskan pedangnya.
Sekalian saja menyongsong terjangan. Sayangnya kali ini dia belum belajar dari
kesalahan. Odin mengeluarkan dengus sinis, dan Sheraga tidak sempat
mengantisipasi maknanya. Sementara kedua lengannya terangkat, tanpa penjagaan
pada titik-titik vital, Odin memulai aksi pamungkas.
Lagi-lagi dia beringsut ringkas, berpindah
dari hadapan. Belatinya menyasar jantung lawan. “Mamp—“
Terlambat satu tarikan napas saja, nyawa
Sheraga melayang. Persis momentumnya, dia mengentak kasar bagian kiri tubuhnya
ke belakang. Menyisakan sisi belati Odin yang semata merobek rompi hitam
berikut kemeja. Samar-samar, serapah si bocah meluncur.
“BRENGSEK!”
Sheraga terengah-engah. Napasnya sesak. Seraya
mundur, dia mengutuk kondisinya habis-habisan. Bisa-bisanya dia sempat terpojok
oleh manusia hina hingga sedemikian rupa. Dia adalah putra Raja Yisreya. Orang
yang terpelajar dan berbakat. Mustahil takluk oleh pelacur laki-laki.
Daripada menjemput risiko, lebih baik
mengentaskan bakal ancaman sedini mungkin. Dirapalkannya mantra pengendalian
elemen panas. Tak ayal, desing pembentukan sihir menguar dari belakangnya. Tujuh
bola api terbit dari ketiadaan. Empat sontak melayang ke arah Odin.
Odin menghindari keempat-empatnya dengan
kasual. Tidak gentar atas terciptanya kawah leleh di sekeliling. “Cih, kukira kamu
bukan pengecut. Masa pakai sihir?” cibirnya. “Heh, kenapa nggak pake gaun aja?”
Itu umpan yang bagus, tetapi Sheraga bukanlah
ikan biasa. Keadilan perang adalah hal sekian dibanding kemenangan. Sambil
meluncurkan ketiga api yang tersisa, dia mendaraskan mantra lainnya untuk membuat
tujuh kawanan sihir baru.
Bara bertebaran ke segala arah. Menghantam
potret-potret peristiwa penting di dunia Sheraga sejak zaman Raja Pertama. Meninggalkan
lubang-lubang hangus yang mencoreng keelokan salah satu galeri Museum Semesta.
Ruang lukisan itu terbakar sebagian, lantak
perlahan-lahan, dan akan terus menjangkit. Sementara itu, si bocah berpenutup mata
satu masih menyambung hayat. Dia terus berkelit seolah akhirat begitu
membencinya.
Sheraga betul-betul murka. Gejolak api
membungkus dirinya seutuhnya, merangkai rupa iblis tengah mengamuk. Di
belakangnya, lukisan pidato pertama Natan Asher yang dikerip nyala membingkai
manifestasi kemarahan tersebut.
—
Keturunan campuran sekaligus cendekiawan
terkemuka, Hilai Shefar, hadir pada pertemuan khusus yang diselenggarakan
Chanan Raivah. Semata sebagai penghormatan terhadap undangan putra pejabat itu.
Sendirian, Hilai duduk di sudut ruangan. Tidak berminat ikut bermaksiat
sebagaimana yang lainnya.
“Mar Hilai, kuperhatikan sejak tadi
kau diam saja,” ujar Shoshan, imigran dari Hagashah, seraya menghampiri.
Tangannya menyodorkan kendi. “Ayolah, ini malam yang indah untuk
bersenang-senang. Para malaikat bernyanyi mengiringi kebahagiaan kita.”
Hilai mendelik tajam padanya. “Terima kasih,”
sahutnya menahan tangannya yang terkepal ingin menghajar. “Habiskan saja
sendiri.”
Shoshan yang setengah teler mengangkat kedua
alisnya. “Ah, tak biasanya. Tapi, sama-sama.” Melihat Hilai bergeming, dia
menambahkan, “Tidak sekalian dengan wanitanya?”
“Ambil, amnil semuanya!” Hilai sontak
menjawab, amat muak.
Sekalipun dalam keadaan mabuk, si imigran
masih bisa ditekan oleh bentakan si pemuda setengah manusia. Tergopoh-gopoh,
dia meninggalkan Hilai. Berkali-kali kakinya menabrak meja berpenyangga pendek.
Keparat! Hilai mengernyit jijik memandangi
kumpulan ilmuwan di depannya, atau setidaknya mereka yang ingin disebut
demikian.
Awalnya Hilai memang berada di pihak Raivah.
Sheraga Asher, putra Perdana Menteri yang tiba-tiba meraih keanggotaan istimewa
di Majelis Penelitian, terlalu angkuh dan tidak kompeten untuk memperoleh
posisi tersebut. Sikap dan gagasannya yang kontroversial mengubah para
pendukung menjadi pembenci, ditambah masalah perbedaan latar belakang.
Namun, sekalipun kontra, menjatuhkan seseorang
ke dalam kesengsaraan bukanlah jalan yang benar. Apalagi bersenang-senang di
atas kegagalan orang lain. Binatang amoral macam apa para “cendekiawan” ini?
Lebih jauh, mereka merayakan keberhasilan
dengan perbuatan mengikis otak dan organ dalam. Juga diiringi tarian wanita.
Kini siapa yang lebih hina?
Apabila Hilai sadar akan begini jadinya, dia
takkan datang memenuhi undangan ini.
Mereka dikendalikan sentimen, simpul Hilai.
Lalu meludah ke lantai. Tidak tahan dengan pesta jahiliah yang berlangsung, dia
berdiri dan menyingkir.
Di belakangnya, Chanan menyadari pergerakan
Hilai. Akan tetapi belum sempat menahan, air dari gelas-gelas di ruangan itu
tersesap menuju rekannya. Menyungkup sang Pengendali Air, melunturkan keberadaannya.
- 4 -
Untuk pertama kali sejak mengikuti Turnamen Antarsemesta,
Odin menyesal mengenakan atasan bolero saja. Keringatnya mengucur pesat,
membasahi dadanya yang telanjang. Dia seperti hendak memasuki alam kematian,
dengan kecamuk di mana-mana. Namun, dia
belum berniat membereskan ujiannya.
Kalau bisa, Odin ingin menunda lama mengeluarkan
jurus terbarunya. Jika “hadiah” dari Huban itu dia gunakan lebih dini, rasa penasarannya
takkan pernah padam. Kematian musuh adalah pasti, dan itu tidak menggairahkan.
Odin masih bertanya-tanya mengapa jajaran
panitia menjadikan Asher sebagai tes awal. Padahal, mereka tidak saling
mengenal.
Asher sendiri hanyalah reverier biasa.
Bakat mengendalikan apinya memang tak dapat dipandang sebelah mata, namun dia tidak
selevel monster tentakel yang mengamuk di Bekasi. Odin punya banyak kesempatan
membantainya.
Boleh juga, Odin
membatin. Tapi tetap nggak pantas ditakuti.
Akan jauh lebih masuk akal bila rintangan bagi
Odin berupa jelmaan Tuan, atau salah satu “teman-teman”-nya di wisma, atau bila
perlu ... ayahnya.
[Sebaiknya kau jangan lari terus darinya,]
ujar parasit dalam tubuh Odin—incubus, [gunakan kemampuan kita begitu
ada kesempatan. Aku mau jiwanya.]
Momen kelengahan Odin terputus. Sepasang bola
api menarget dirinya dari kedua sisi. Dia menarik langkah dalam waktu tepat,
membiarkan terjadinya benturan sihir persis di depan hidung.
Dari balik asap akibat letupan tadi, sebuah
bola api menjurusnya. Bersamaan dengan tiga serangan sepadan dari sudut berbeda.
Tak memiliki bakat sihir, Odin sebatas
mengelik. Ke kanan, kiri, kemudian mundur menyamping. Terpaksa menahan sementara
umpatan-umpatan di pangkal tenggorokan.
Tiada seorang pun yang pernah meragukan
kecepatannya. Dan anggapan itu membuahkan bukti. Dua puluh satu lontaran sihir
lawan, tak satu jua berhasil mendaratkan pengaruhnya terhadap Odin.
Asher meliputi dirinya dengan neraka di berbagai
sisi. Menutup jalan mana pun bagi Odin untuk melampiaskan balasan.
Punya ide? Odin
bertanya pada incubus, sembari menghindari tebaran sihir. Sebentuk
lukisan seukuran dirinya jatuh di hadapan. Serpihan pigura nyaris mengenai
kakinya.
[Tentu dengan memberikan jiwanya padaku,]
incubus menjawab, terdengar tidak sabar berliput nafsu lebih. [Buat
dia menatap matamu. Aku akan mengarahkan kekuatan ekstra untuk
memastikannya terjerat.]
Odin tak berminat mengikuti saran menggelikan
itu, tetapi perkataan incubus memberinya gagasan bagus.
“Tunggu!” teriaknya saat frekuensi gempuran
menipis. Dia meminta perhatian dari pojok aman.
Ajaibnya, Asher betul-betul menghampirinya
seraya menyusut api. Menyisakan beberapa sihir saja di atas kepalanya. Merasa
lawan memberi sedikit kelonggaran, Odin meneruskan, “Baik, baik. Aku nggak
idiot. Aku masih mau hidup. Aku nyerah, deh.”
“Buang belatimu,” Asher menyuruhnya, dingin.
Mempertaruhkan nasib, pisau dicampakkan Odin
jauh-jauh. Seketika, api menyambar benda itu. Meleburnya bersama keramik.
Alih-alih tertekan, Odin malah bersukacita. Lagi
pula risiko adalah tak terelak, dan dia yakin semua ini akan terbayar lebih
dari lunas. Sambil menahan rasa muaknya, dia meminta, “Jangan bunuh aku! Aku
bakal melakukan apa saja buatmu! Kumohon!”
Asher menunggu. Tidak ada kecurigaan.
Dan Odin perlahan-lahan mencopot penutup mata,
lantas mendongak. Tilikannya beradu dengan lawan yang berjarak setengah meter
saja darinya.
Sontak, terdengar denting keras. Asher
menerjunkan pedang miliknya, yang langsung Odin renggut.
Di hadapannya, Asher terperangah tanpa daya. “A-apa
yang ... kaulakukan?”
Odin berkacak pinggang. “Heh, kamu di bawah
kendaliku,” jelasnya. “Setiap perintahku adalah keharusan buatmu. Kamu nggak
bakalan bisa melawanku.”
Dia meludah, lantas tertawa. “Sekarang, hilangkan
apimu dan keluarkan seluruh senjata yang kamu punya. Dan kalau kamu menyimpan
sihir tersembunyi, jangan gunakan. Jangan lepas tatap mataku.”
Dengan ekspresi ketakutan, Asher memupus api
yang tersisa di tubuhnya. Sertamerta mengempaskan sarung pedang. Odin lekas
memakaikannya pada diri sendiri, dan mengamankan senjata barunya.
“Bajingan kotor,” Asher mengumpat lirih. “Kau ...
akan membayarnya. Akan kupastikan kau menderita pada tiap jengkal tubuhmu.”
“Coba saja kalau memang mampu,” cemooh Odin,
kemudian menjulurkan lidahnya. “Mending kamu diam aja, deh.” Jarinya mengerap,
alamat suruhan.
Asher menutup mulutnya rapat-rapat, tetapi tak
membendung gelombang kebencian dari sepasang mata kelabunya.
“Ayo kita pergi dari sini,” perintah Odin. “Aku
benci Galeri Semesta-mu yang monoton.”
Setelah itu, dia memimpin berlari. Sesekali
mengawasi musuh di belakangnya demi menyambung efek spider’s web. Asher
juga bergegas tanpa perlawanan, bagai pengikut setia yang tidak mendamba
apa-apa.
—
Museum Semesta, sesuai namanya, sungguh tiada
berjumpa habis. Waktu berlalu lama, dan Odin belum menemui akhir dari galeri
sebuah semesta belaka. Usai melewati ruang lukisan, dia melalui pameran yang
lebih luas lagi. Penyimpanan patung-patung, beragam seni rupa lain, dan saat
ini dia tengah berada di ruangan penuh manuskrip dan catatan-catatan sejarah.
Kelelahan, Odin memutuskan menjeda di dekat
penyimpanan bidang tulisan dari tanah liat. Jangan sampai staminanya habis oleh
perpindahan. Dia berbalik dan mengomando musuhnya, “Sebutkan semua kekuatanmu
dan bagaimana caraku menangkalnya!”
Diselingi berbagai sumpah serapah, Asher menjabarkan
segenap kemampuannya. Pengendalian api, kemahiran menggunakan beragam senjata,
dan yang paling berbahaya ialah pemanggilan iblis tingkat atas. Seluruhnya
tidak memiliki jalan untuk dihentikan, hanya batasan-batasan.
“Kalau begitu, coba jelaskan padaku, apa yang
membuatmu merasa spesial? Apa mimpimu sampai kamu bisa berada di sini?”
Asher menerangkannya, dari motivasi sampai
“mahakarya”-nya. Pada tiap kalimat dari pria itu, Odin tertawa terbahak-bahak.
Dia tidak habis pikir, mengapa masih ada manusia dungu yang berniat memetakan
masa depan. Visi yang begitu polos, serupa omong kosong. Ujung-ujungnya, impian
mustahil semacam itu selalu takluk oleh realitas.
Misteri tersingkap sudah. Mirabelle dan Huban
terlalu berlebihan dalam memaknai ambisi seorang reverier.
“Aku heran kenapa panitia begitu pengecut
barang buat nginjak cecunguk kayak kamu,” sembur Odin seraya memegangi perut.
“Kamu betul-betul orang yang bikin prihatin. Cita-citamu itu nonsens. Pikir aja
pakai logika. Satu orang kayak kamu bisa apa? Kamu mirip seekor ikan yang coba
membelokkan arus!”
Odin memberi aba-aba agar Asher berlutut.
“Dengar aku, budak,” lanjut Odin. “Kamu belum
punya tuhan, ‘kan? Kalau begitu, lihat aku! Akulah Tuhan-mu! Senyata
kenaifanmu!”
Dia melipat tangan di depan dada. “Sebelum
malaikatku menjemputmu, camkan ucapanku baik-baik!” serunya. “Orang bodoh itu
nggak pantas hidup. Soalnya mereka suka buang-buang tenaga dan pikiran buat
sesuatu yang nggak real, lalu nyalahin keadaan pas mereka gagal. Itu
konyol dan denial namanya. Kasihan sekali wanita malang yang melahirkan
manusia macam begitu. Asher, kamu itu termasuk, lho.”
Rahang Asher menegang. Setengah hidup menahan
dampak spider’s web sekaligus incubus trap yang merongrong
otaknya. “Aku akan mengebiri dan mengulitimu,” lontarnya, pelan dan dibuat-buat
misterius, “lalu mendorongmu ke dalam neraka. Manusia hina, kau akan menderita,
lebih pedih dari—”
Odin mengibaskan tangannya. “Esssh ... iya,
ya, bualan klasik. Ngomong aja terus, toh kamu nggak bakalan lepas,” cibirnya,
agaknya terheran mengapa spider’s web bekerja lambat sekali.
Dia memastikan tidak ada jebakan di ruangan
itu. “Oh, ya, apa kamu nyimpen siasat? Sebutin detailnya dan langkahku buat ngadapinnya.”
“Jahan—Nadav,” sebut Asher, “dia siap
membunuhmu ... kepar—di galeri selanjutnya, atau menunggu aba-aba
dariku. Lebih baik kau menghindarinya.”
“Manis sekali,” Odin tergelak. Kemampuan
pemberian iblis perlahan namun pasti menggencet kesadaran lawan. “Ngomong-ngomong,
jujur aja, aku nggak terlalu senang menang mudah. Tapi aku juga nggak merasa
kamu layak dapat waktuku yang berharga, Asher.”
Dia menghunus pedang rampasan. “Jadi, kamu
harus mati—“ Odin mengernyit. “—Anjing. Ini klise.“
Aroma yang khas menguar dari jauh. Dahulu,
Tuan juga menempa dirinya sehingga indranya cukup terlatih untuk mewaspadai
bibit-bibit bahaya. Baru terpikir mengambil langkah antisipatif, agresi musuh
membayang jelas. Desingan terdengar, membelah udara, menuju ke arahnya.
Pemuda itu pun melompat, dan mendarat di atas sebuah
rak kaca penyimpanan perkamen. Belum mengetahui apa yang menyerang, dia sudah
berpindah lagi. Sementara itu, pijakan sebelumnya pecah berkeping-keping.
Ketika menengok ke belakang, sebentuk mata
logam telah mengarah kepalanya. Dia mencondong tubuhnya lekas-lekas. Dan panah
yang datang menggores sampai tulang pipinya.
Odin merintih tertahan. Racun berhasil
menyusup ke dalam tubuhnya. Tinggal menantikan eksekusi. Itu tadi jenis apa?
[Entahlah. Aku juga tidak yakin.]
Ancaman menampakkan dirinya dengan cara yang
tidak terduga. Tiba-tiba saja, seseorang mengonfrontasi Odin dari depan. Bukan
Asher, melainkan figur dalam balut jubah hitam. Tinggi tubuhnya sungguh di luar
nalar.
Beruntung, Odin sama gapahnya dengan si orang
asing menyebalkan. Terlebih dahulu dia mengukuhkan pertahanan dengan pedang
curian. Kemahirannya memberdayakan senjata panjang tersebut tidak sebaik
penggunaan pisau, tetapi cukup dapat diandalkan.
Pedang beradu dengan pedang. Bunga-bunga api
bertebaran akibat benturan yang terlalu intens. Denting logam melibas
kesenyapan. Telinga Odin berdenging dibuatnya.
Kroni musuh—Nadav—jauh lebih merepotkan.
Kecepatan Odin nyaris diunggulinya mentah-mentah. Pedang lengkungnya bergerak
lekas, makin deras, sangat tak terprediksi, terus-menerus, seakan sudah
takdirnya memagas leher Odin.
Pemuda itu kewalahan bukan main. Tangan dan
kakinya serasa kebas. Urat-uratnya bagai hendak pecah. Akan tetapi, secercah kemujuran
menyertainya, sebab racun belum juga bekerja. Di dalam benaknya, incubus mengaba-aba,
[Inilah saatnya!]
Sebelah mata Nadav bersirobok dengan mata
iblis Odin, tetapi tidak berakibat apa-apa. Tiada sentakan hasrat, erangan,
atau apa pun. Pria itu tetap beringas. Dan pada suatu titik, dia sukses
menyayat dada lawannya. Menyadari semangat Odin menipis, Nadav terkikik di
balik penutup muka, disertai desisan panjang menjijikkan.
Firasat buruk menggentayangi Odin. Barulah dia
sadari, Nadav sedang mengetes semata. Rangkaian terjangan ini belum setengah
dari kecepatannya. Saat itu pula incubus mengeluh, [Ada tabir yang
melindunginya dari pengaruhku. Kau benar-benar sial, Bocah. Dan bukankah
sudah katakan padamu untuk beri makan jika kau punya kesempatan? Sekarang, kau
sendiri yang kelimpungan.] Ada getaran tak normal pada kalimat sang iblis,
seolah-olah sangat gelisah.
Berisik! ‘Kan kamu tau, aku nggak begitu minat
sesama jenis!
Odin berlari mundur. Sekali lagi, Nadav lebih
tangkas. Dia bersalto di atas tubuhnya. Ujung pedangnya diniatkan menebas
kepala Odin.
Pemuda itu maju sembari merunduk. Selisih
beberapa senti dengan ujung tajam. Ternyata, Asher juga sudah menunggunya. Gerbang
neraka terpantul di mata hijau Odin.
You bastards!
Mengeliklah Odin, nyaris putus asa dan
kecapaian. Bola api tak diundang itu tipis sekali dari ujung rambutnya, dan
berakhir berdentum kuat dari balik punggung. Meluluhkan pilar-pilar penyangga
galeri. Adrenalin mendesir begitu deras sehingga terasa mengaduk-aduk darahnya.
Mengandalkan segenap sisa tenaga di kedua tungkai, dia mengambil langkah
seribu.
Odin masih ingat betul mantra pemberian Huban.
Dia pun merapal. Lirih, namun dijalar kesumat. “Anepithými̱to Paidí
est nomen meum. Nomine Voluntatum et vocavi te omnibus regnis apostolorum—“
“—Nam tempus a mortuis resurgere—“
Suara Nadav bergema di dalam kepalanya,
seperti mendaraskan sesuatu, tetapi Odin tidak menjeda inkantasinya.
“—Et factus est mihi militum secura!”
Kala itu, tinjauannya mulai terdistorsi. Rona-rona
Museum Semesta menggelap, dan perlahan beralih suatu senja yang dingin di
Pomupeii. Presensi incubus sirna.
- 5 -
Pengendali air tidak selamanya mencintai
air. Benak Hilai mengawang ke satu kenangan buruk bersama adiknya. Peristiwa
itu merupakan perjalanan pertama mereka keluar dari Ibukota Batya. Akibat
sebuah kecelakaan, adik perempuannya—Aliyah—terhanyut di sungai dan baru
diselamatkan pada senja harinya.
Malam ini, di tengah hujan, Hilai merasakan
kegelisahan yang sama.
Penyebabnya tidak jelas, tetapi Hilai dapat
menangkap aura ganjil dari arah barat daya. Bertepatan dengan tujuannya
sendiri. Barangkali, itulah alasannya.
Selama beberapa saat, malam dipenuhi suara
kecipak nyaring. Perisai air memang menaungi Hilai dari terpaan hujan, namun
tidak dengan kakinya. Perasaan tertekan dari masa lampau kembali menghantui.
Dalam hati Hilai berharap, tindakannya ini
lurus. Dia akan memperingatkan rencana Raivah dan kroni-kroninya kepada putra
Perdana Menteri sekaligus orang yang dikasihi oleh adiknya. Bagi sebagian besar
orang, mungkin malam ini amat ditunggu-tunggu. Kemerosotan lelaki arogan yang jelas
sudah tidak waras itu boleh jadi adalah peringatan Tuhan baginya.
Sayangnya, sejak dulu, Hilai bukanlah orang
yang langsung menerima suara umum.
Menurutnya putra Ezar dan para pendukungnya
sedang membesar-besarkan perkara yang sebetulnya dapat diatasi dengan
perundingan. Pemikiran Sheraga Asher tidak dapat dituding begitu saja sebagai
sebuah bidaah.
Bukankah hal yang wajar bagi seorang
cendekiawan untuk menemukan sebuah jalan keluar suatu masalah, setidak wajar
apa pun caranya? Sheraga bahkan belum, atau mungkin tidak akan mengumbar idenya
sama sekali!
Terkenanglah Hilai pada perseteruan lama
keluarga Asher dengan Raivah. Memori itu pun menggerakkan pemikiran sang
pengendali air, sekonyong melimpahkan pemahaman menyesakkan.
Mengingat kemungkinan kegilaan ambisi
Raivah yang dapat meluas, termasuk barangkali dapat menumbangkan Perdana
Menteri, Hilai semakin miris. Selama ini dia telah salah memilih sekutu. Dia
telah dimanfaatkan demi tujuan yang biadab. Andai saja hatinya terbuka
bertahun-tahun lebih awal.
Hilai memintasi gang-gang sempit untuk
memotong rute. Kian lama, jalanan semakin tak ramah penglihatan. Makin banyak
yang menanggalkan penggunaan obor di depan rumah. Sering kali Hilai nyaris
tersandung atau menabrak.
Terpaksa Hilai memutar ke jalur lainnya.
Dan setengah jam berikutnya, ditemukanlah tujuannya itu.
—
Mengesampingkan prinsipnya untuk tidak
memercayai siapa pun, pada dasarnya, Sheraga sebetulnya selalu memberi
pengampunan. Berbeda dari manusia yang sebagian besar pendusta tak tahu
diuntung, dia adalah pemurah dan pemaaf. Karena memang begitulah semestinya “manusia”.
Akan tetapi, sesuai dugaan, seharusnya Helev
tidak diberi kesempatan. Mereka baru akan tunduk, ketika dibayangi kesengsaraan.
Laki-laki lacur bernama Odin justru meludah ke wajahnya. Mengabaikan kemurahan
hatinya.
Nadav datang tepat waktu menghukum pengkhianat
itu. Dengan mudahnya dia membalikkan posisi genting kepada musuh. Sungguh orang
yang tepat dijadikan sekutu.
Bersama keberpihakan yang tiba-tiba itu,
Sheraga paham si lelaki ular menyimpan sebuah siasat. Terlebih, dia orang
kepercayaan Ezar Raivah—figur yang paling paling berambisi menjadi Raja, dan
menghendaki takluknya Natan Asher. Nadav mungkin berpikir rencananya berjalan
mulus, tetapi sesungguhnya dialah yang tengah diakali.
Ketika Sheraga ingin bertindak,
gambaran-gambaran tak patut mengenai Gal Raivah seketika menjalar dalam
pikirannya. Ada kerinduan yang janggal
dalam batinnya terhadap gadis itu. Ketidaksabaran untuk menemuinya kembali,
mencumbuinya, menikmati kemolekan tubuhnya, dan—tidak. Makin lama, Sheraga
dibuat sakit karena hanya bisa mencitrakannya.
Apa pun yang terjadi, ini amat tidak wajar.
Dia selalu mampu mengendalikan diri untuk urusan semacam itu.
Frustrasi pada hasrat yang datang tak pada
tempatnya, Sheraga berusaha menemukan sumber masalah. Dia pun teringat daya
aneh yang menekan pergerakannya. Setelah menatap mata Odin, sesuatu langsung melilitnya.
Tidak mengizinkannya berbuat apa-apa kecuali bila lacur itu memerintahkan
kepadanya.
Sebelum keadaan bertambah pelik, Sheraga harus
mengakhiri semua. Maka dikerahkannya segenap pikiran demi mencipta sihir
penghabis. Sepasang bola api menyertakan kemarahannya lantas memelesat
mengincar satu arah. Kali ini, tidak mungkin bagi Odin untuk menyisih.
Kematian belum siap ambil putusan. Memanfaatkan
sisa tenaganya, Odin meluput diri. Terjangan kejutan tadi melewatinya semata,
dan gentas menghajar pilar keemasan di satu sudut pameran. Sheraga mengumpat
keras-keras.
Berkat hantaman itu, dinding merekah,
mempertanyakan nyali siapa pun yang mendengar. Sheraga mundur beberapa langkah
mengantisipasi runtuhnya Museum Semesta. Nadav telah bersiap mengamankannya.
Akan tetapi, yang dinanti tak kunjung terjadi.
Sedangkan dari tempat Odin berdiri, terbit galur-galur cahaya putih menyilaukan
penglihatan. Bocah itu, beserta pengaruh sihirnya pada Sheraga, melesap
sepenuhnya.
Itu bukan pertanda bagus. Kewaspadaan Sheraga
timbul kembali saat guncangan melanda galeri. Sensasi serupa momen kutukan lima
pemimpi pertama menggantung di udara.
“Ssh, kita dalam masalah,” sergah Nadav.
Lelaki itu kemudian memberi tanda untuk bersiepat. Sheraga pun mengikutinya
tanpa keraguan.
Secara tak terduga, Nadav menyiagakan busur.
Dia membubut dua anak panah, lalu berpaling sigap ke belakang. Sebelum Sheraga
mencerna apa yang terjadi, sepasang makhluk serupa Dayan sudah terkapar. Dibinasakan
dengan panah menembus kepala. Belum cukup, Nadav menembak empat kali lagi.
Menyisihkan sosok manusia dalam jumlah yang sama.
Seorang perempuan berambut biru sontak
berteriak, menggemakan galeri, tetapi tidak mendekat melainkan membidik dari
jarak sepuluh tombak. Ujung lempengan besi dalam genggamannya bersinar kebiruan,
seperti mengumpulkan daya sihir, dan mengarah pada Nadav.
“Apa i—“
Cahaya berkelebat dari dalam lempeng logam,
yang berhasil Nadav hindari tanpa arti. Sedangkan di baliknya, tembakan sinar
tadi menghantam dinding berornamen. Sheraga menoleh, dan napasnya tertahan.
Terjadi letusan hebat yang begitu keras hingga
menyebabkan telinganya berdenging menyakitkan. Pasir dan serpih kaca
beterbangan. Lengan Sheraga menghalangi wajah dari tebaran. Ketika dia membuka
mata, dilihatnya Nadav telah berhasil memenggal si pengacau. Lelaki itu
berikutnya menginjak-injak tengkorak si gadis sampai hancur.
“Mereka pemimpi, bukan?” tanya Nadav, tak
sedikit pun bergetar takut. “Ssh, aku sudah akrab dengan nuansa ini. Kalau aku
jadi kau, aku tidak akan begitu saja meremehkan musuh.”
Sheraga memilih diam, tak merespons orang yang
lupa diri.
Terjadi guncangan yang kedua. Lebih kuat
daripada sebelumnya. Namun Sheraga memutuskan tak acuh. Mengekor Nadav, dia
menghindar sejauh-jauhnya dari lokasi semula.
Mendadak ruang galeri dipenuhi kilauan-kilauan
debu yang terbit dari ketiadaan, membawa serta hawa dingin yang mencucuk, lalu
berpencar ke seluruh penjuru. Lambat-lambat, sinar itu membentuk puluhan wujud
manusiawi.
Memahami artinya, Sheraga membeliak.
Transformasi di sekitarnya membiakkan sosok-sosok yang diakrabinya. Dia pun
mengadakan api dan melontarkannya sebelum ancaman termanifestasi utuh.
Nahas, terlambat.
Entah bagaimana Odin melakukannya, empat
puluhan pemimpi sudah dihadirkan kembali.
Sebagai awalan, seorang manusia bersirip dan
bocah katak dijadikan Sheraga bubur darah. Api menumbuk muka sebelum pergerakan
pertama, melelehkan mereka tanpa kompromi. Ketewasan itu juga mengejutkan
perempuan dengan sepasang kaca bundar di depan matanya. Pekikannya
menyemarakkan kakacauan.
Sheraga paham, pengepungnya berupa jasad
hidup. Tidak ada pengampunan, tiada pertimbangan. Perempuan tadi lantas menyusul
dua rekannya ke dalam baka. Tangisannya menjelang ajal menjadi pengingat bagi
dua orang di belakangnya. Dengan perpindahan ajaib, mereka melarikan diri.
Di sisi lain, Nadav menyimpan busurnya dan
beralih menggunakan pedang. Menyongsong serangan tiga mantan pemimpi. Seorang
pemuda menyerupai Dayan berambut putih merangkai senjata yang sama, berbekal energi
sihir. Berikut seorang pengguna belati dan gadis berambut merah menyala, dia
menerjang si lelaki ular.
Tanpa disadari ketiganya, seorang kesatria
wanita melepaskan tembakan panah dari jauh.
“Menyingkir!” Sheraga memperingatkan.
Nadav mengelak mundur, sementara tangannya
menyentak lengan musuh. Menyeretnya ke depan menggantikan posisi awal Nadav.
Alhasil, si pemuda berambut putih rebah. Sebatang panah membobol kepalanya dari
telinga ke telinga. Nadav kemudian mencampakkan tubuh tak bernyawa itu ke
depan, pada gadis berambut menyala.
Selagi kedua penyerang tersisa terpana, Nadav
tidak menyia-nyiakan kelengahan itu. Pedang terayun, menyasar pinggang si
perempuan. Malaikat kematian tak memberi kesempatan padanya untuk berkesah.
Tubuhnya terbelah menjadi dua bagian. Darahnya mengotori jubah Nadav.
Pada saat bersamaan dua orang, pria dan
wanita, memelesat ke arah Sheraga dari sisi yang berlawanan. Sheraga mengenal
satu di antaranya—budak Baron, bernama Arca. Sekilas memerhatikan, pandangan
pria itu hampa. Demikian pula dengan wanita pasangannya.
Tak ayal, Arca menggandakan diri. Tiga
tiruannya meluncur dari nihil, turut serta dalam pertempuran. Mereka melompat,
dan masing-masing lengan berancang melayangkan jurus bela diri.
Sheraga memfokuskan sihir api hanya pada lawan
di hadapan. Tidak memperhitungkan pergerakan si wanita. Terang saja sebuah
tapak berliput tenaga dalam menghantam dari belakang, mengempasnya ke depan
dengan kekuatan yang tidak dapat dipercaya.
Sihir api buyar, dan keempat Arca telah
menyambut Sheraga dengan rentet terjangan. Kesemuanya menghajar sang Alkemis, layaknya
sasaran latihan fisik, mengingatkannya pada suatu momen familier dari masa
lalu.
Dan secara mengejutkan, keempat Arca berganti
rupa, menjadi kawanan Dayan yang mengelilingi. Sheraga mengerjap, tetapi
pemandangan tak kunjung berubah. Tidak dibiarkan menikmati perubahan yang ada,
sosok Yaal Yifrach menumbukkan kepal ke rahangnya.
Sheraga terhuyung. Arca satu, dalam rupa salah
satu musuh Sheraga, lantas meninju wajahnya dari samping, untuk selanjutnya
diumpan pukulan mentah menyasar hidung. Sheraga merintih, nyaris ambruk. Mulutnya
bersimbah merah. Rasa sakit tiada peri tak mengizinkannya berkonsentrasi memicu
sihir dasar. Cengkeraman sang mair seakan makin erat.
Gambaran sosok Orim memenuhi kepalanya, dan
dia menggeram. Aku tidak butuh bantuanmu.
Paham takkan ada yang menolong, Sheraga
memaksa kesadarannya. Pijakan diperkuat, tetapi musuh melibaskan sepakan lagi.
Mendorongnya ke muka. Sheraga memuntahkan air.
Dalit tak membiarkannya tersungkur. Dari
depan, pada bagian dada, dia menendang Sheraga. Memaksanya mendongak demi
melihat Dayan yang lain tengah melayang di udara, bersiap menyikutnya dari
atas.
Namun sekali lagi, tentu saja, Sheraga takkan
menyerah. Diambilnya tindakan cepat, tak peduli risiko yang mungkin akan
merenggut nyawa. Melawan sakit di sekujur fisik, dia menjatuhkan diri, lalu
meluncur di lantai pualam. Persis ketika Yifrach sampai ke permukaan dan
menerpa temannya sendiri.
Suara gedebuk nyaring terdengar, disusul
erangan. Sheraga sedikit mengembuskan napas lega, walaupun dia menyadari
ancaman belum usai. Selagi tercipta celah, dia melingkupi tiap jengkal tubuhnya
dengan api. Yang sontak membakar seorang Dayan terdekat. Sosok itu kembali ke
figur Arca sementara panas lamat-lamat mengerumitnya.
Tiruan Dalit menjerit pilu. Bersamaan,
parasnya beralih menjadi wanita pendamping Arca. Tersisa empat lawan, yang berikutnya
berkurang sepasang.
Sesuatu menjebol inti kehidupan mereka. Tanpa
jeda, satu kepala meletus lagi. Menghamburkan ceceran otak.
Terungkaplah Nadav menghadapkan sebuah benda
dengan ujung berasap, kepada para korban. Dia mengerjakan gerakan tertentu
terhadap benda tersebut, menimbulkan bunyi klik keras. Pertunjukan fungsi benda
itu Nadav hadirkan dengan mengarahkan larasnya pada pemuda berambut jeruk.
Dua kali salakan. Pemuda itu terkapar dengan
dada koyak.
Darah bertumpah entah untuk kali keberapa.
Begitu sadar, Sheraga dapati dua puluhan jasad para pemimpi bergelimpangan. Sebagian
besar dalam kondisi mengenaskan. Potongan tubuh mereka mencemari galeri.
Nadav tertawa singkat dari balik pelindung
wajahnya. “Ssh, segini saja kemampuan orang-orang yang digadang wakil
sebuah semesta? Menyedihkan.”
Arca yang diduga asli beringsut menyamping,
tersengal-sengal. Nadav menempelkan ujung senjata barunya ke depan dada Arca.
Tatkala senjata akan menyalak, lelaki ular itu sontak terpental. Sebentuk
tongkat keemasan mendesaknya hingga melantak lemari kaca. Kemudian jarum-jarum
es menghunjamnya. Nadav tidak bergerak lagi.
Seseorang berkomentar, “Banyak bicara. Aku
benci sekali.”
Suara, persis Ru Ashiata, menambahkan, “Yang
satu itu, dia menjadi kapten dalam timku. Seharusnya dia orang yang ... lucu.”
“Benarkah?” sahut suara perempuan yang riang.
“Menarik. Kalau begitu, jangan biarkan dia mati mudah. Pasti asyik sekali
melihatnya menderita!” Dia pun terkekeh lantang.
Sheraga mengedarkan pandangan, bermaksud
menemukan para bajingan. Tak lama, ada yang menepuk pelan bahunya. Pria plontos
yang meremukkan tenggorokannya sendiri. Akan tetapi, tiada lagi rona keimanan,
maupun pendar keemasan dari kulitnya. Yang tertinggal adalah gurat-gurat
angkara.
Berang sebab mengakrabi figur di hadapan,
Sheraga beranjak lurus. Dia berbalik, memusatkan perhatiannya untuk membunuh.
Mengorbankan sisa tenaganya, dia menghadirkan puluhan bola api. Kesemuanya
terarah pada Tanpa Rambut.
Namun sasaran tidak mati.
Dari balik asap, terungkaplah sosok
pelindungnya. Seorang wanita merentangkan kedua tangan, matanya terpejam, dan
... dia selalu tersenyum. Berkat tindakannya, sihir yang begitu besarnya lesap
sama sekali. Menyisakan asap semata.
Dari balik kepulan itu, belasan pemimpi yang
gugur berdatangan. Seolah menjadi pelindung bagi si plontos, Ganzo Rashura.
Sheraga gemetar, didekap imaji liar mengenai
pembalasan dendam.
Ganzo menyipitkan mata. “Mati!”
Awal dari gertakan itu adalah debuman yang
menggemakan koridor museum. Geraman yang saling bersahut-sahutan menjadi awal kemunculan
deret rumus-rumus sihir, merangkai lingkaran. Kian lama, semakin menelan ruang.
Selama beberapa detak membutakan penglihatan, menciut keberanian.
Sebuah cakar merobek udara, sebelum menapak
kuat-kuat di atas pualam. Sheraga terhuyung akibat debuman. Instingnya
menyuarakan bahaya yang paling murni. Kehadiran tersebut disusul oleh semburan
api ke segala arah.
Naga.
Seekor makhluk mistis, serupa dalam
kisah-kisah bangsa Helev dari Utara. Selalu menyertainya, dalam hikayat-hikayat
kuno, adalah musibah bagi alam semesta.
Sejurus berikutnya, naga itu memperlihatkan
wujudnya yang utuh. Kulitnya sewarna malam, dipertegas dua buah tanduk dan
telinga serigala. Bayangannya menenggelamkan Sheraga.
Makhluk itu mendekatkan moncongnya, sengaja
mendenguskan api. Sementara manik matanya terpaku pada sang Alkemis, seakan
mengejek betapa menyedihkan si pemuda dibandingkan kebesarannya.
Sheraga berkelit, tertatih. Seringai menghiasi
mukanya, dan dia melanjutkan dengan tawa ringan. Dia bergumam lirih, “Aku
memanggilmu, Temanku, untuk andil membantu tujuanku.”
—
Sang pengendali air membuka matanya.
Terlihat pertama kali olehnya adalah figur yang familier. Iris kelabunya, suram
dan berkabut, balas menatap tanpa perasaan bersalah. Rambutnya hitam pendek,
dengan kulit sepucat kapas. Itulah pemuda yang memukulnya di jalan, melesapkan
kendali dirinya, kemudian menjebaknya di ruangan remang ini.
Menyadari kekeliruan langkahnya, Hilai
ingin mengamuk. Namun niatnya kandas, begitu sadar tangan beserta kakinya
lumpuh. Di atas kursi tinggi, tanpa pembebat apa-apa, dia tidak mampu bergerak.
Lebih gawat, tidak ditemukannya mantra sihir dalam lautan kenangnya.
“Selamat malam, Calon Kakak Ipar,” sapa
Sheraga Asher dengan sarkastis. Tangannya dilipat di depan dada. “Aku memberimu
kesempatan meninggalkan wasiat.”
Hilai terkesiap. Sayang, lidahnya kelu
sekadar untuk berkata-kata.
Sheraga menarik satu sudut bibirnya.
“Mengapa kau kaget begitu? Bukankah kau telah mendengar dari kawan-kawanmu
mengenai hal apa saja yang hendak kulakukan?”
Tidak ada tanggapan. Kekecewaan telah
merongrong batin Hilai hingga sedemikian hancur. Membisukannya.
“Tapi mungkin, otak kolotmu itu masih
terlalu berat untuk mencerna agendaku. Maka biarlah kujelaskan dengan bahasa
yang paling sederhana.” Sheraga menyayat jemarinya sendiri, meneteskan darah di
atas sigil-sigil di sekeliling kursi Hilai.
Sambil melukiskan simbol-simbol baru
menggunakan darahnya, dia meneruskan, “Hei, hei, Kak, jangan menyimpan dendam
terhadapku. Aku orang yang baik, aku punya visi, dan berbahagialah kalian
karena ... aku tidak akan melibatkan siapa-siapa dalam usahaku. Tapi tentu
saja, kau merupakan pengecualian. Anggap saja kemalanganmu hari ini akan
berbuah manis. Namamu akan dikenang semua orang.”
Hilai terenyak. Apakah
selama ini, kami memasukkan orang gila ke dalam jajaran peneliti? Apakah selama
ini, Ezar Raivah merupakan pihak yang benar, dan merupakan kesalahan besar sang
Raja memilih Natan Asher?
“Apa yang hendak kaulakukan?” Pada
akhirnya, Hilai angkat bicara.
“Haruskah kukatakan terus?” Sheraga
membalas datar, dan berikutnya mendongak. “Aku ingin mengubah dunia ini. Dunia
yang begitu rusak dan menyedihkan ini. Dan yah, kau pasti sudah
menerkanya—sebagai permulaan, aku memerlukanmu untuk menjalin ikatan dengan Raja
Iblis. Kuharap, kau sedikit mengenyahkan ego pribadimu demi kepentingan
bersama.”
Ritual kontrak dengan iblis. Penghabisan bagi
Hilai.
“Apanya yang kepentingan bersama, tolol?”
bentak Hilai sengit, tidak habis pikir dan rasanya ingin mencakari diri. “Asher,
dengarkan aku. Aku kemari untuk membelamu, dan restuku terbuka bagimu untuk
mendekati adikku. Aku melihat sendiri betapa bejat musuh-musuhmu di Majelis. Tapi
itu tidak membuktikan bahwa seluruh dunia sebagaimana yang kaukira!”
Sheraga berdiri, dan mendekat. “Ya, tugasku
memang mengenyahkan kekejian seperti itu. Mengapa kau berpikir ingin
mempertahankannya jika ada yang bisa kita lakukan untuk membuat sesuatu lebih
baik lagi?”
“BANGSAT!” Bila ada yang memancing amarah
Hilai lebih dari apa pun, itu adalah kepicikan akal. “Kau dan rencanamu ...
sama gilanya! Setan sinting macam apa yang tengah merasukimu, putra Perdana
Menteri?! Keluar, keluarlah dari penjara delusi! Dunia ini tidak sesederhana
yang kaukira! Pemanggilan yang kau—“
Jemari Sheraga yang anyir memaut bibir
Hilai. “Tutup mulutmu,” ujarnya.
“Jangan mengomentari apa yang tidak
kaumengerti. Lagi pula, bila dipikir-pikir, mereka yang kausebut gila itulah
yang membawa perubahan. Kami berani. Sebab, orang-orang semacam kalian lebih
memilih untuk diam saja, bukan? Teruskan tradisi, pelihara kepercayaan,
lestarikan ekslusivitas masing-masing. Kalau begitu caranya, kebencian sesama
makhluk akan terus berkembang!”
Sheraga mendesis, “Kalian menjunjung moral
rendah seperti itu?”
“Kau menyimpang begitu jauh, Asher.” Hilai
tersenyum pahit. “Jangan sebut dirimu makhluk berakal. Kau tidak punya otak.”
“Kenyataannya, kaulah yang bebal. Kau
terlalu lama hidup nyaman. Tak pernah memikirkan nasib orang lain.” Sheraga menjentikkan
jari. “Kalau kau tidak punya permintaan, aku akan membunuhmu. Sebelumnya, aku
meminta maaf yang sedalam-dalamnya. Tiada rasa benci atau ketidaksukaan apa pun
dalam hatiku. Tindakan ini semata-mata kulakukan demi kebaikan kita.”
Hilai mengerti. Bagaimana pun juga, hidupnya
akan tamat di tangan si pemuda tak waras. Dan perkataannya sama sekali takkan
berdampak bagi orang gila. Namun satu hal yang membuatnya mengulaskan senyuman.
Tidak ada api tanpa asap. Setiap perbuatan
akan diganjar.
“Asher, kau tidak akan berbahagia,” Hilai menyumpah.
“Tidak, kau tidak akan memperoleh kesenangan sepanjang
hidupmu. Jika pernikahanmu dengan adikku berlangsung, kau yang akan menderita. Kau
akan dikutuk, oleh kekhawatiran dan kegelisahan. Kehancuran yang akan
mendatangimu tidak lama kemudian.”
“Sudah?”
Sebagai jawaban, Hilai meludah. Mengenai
wajah lawan bicaranya. Sheraga tertegun selama beberapa tarikan napas, sebelum
akhirnya mengangguk penuh arti.
“Sungguh, aku kasihan pada kaum sepertimu.
Pandanganmu begitu sempit.” Pemuda itu mendekatkan jarinya ke mata Hilai,
memaksa kelopaknya membuka lebar-lebar. “Ketimbang digunakan percuma, sebaiknya
dermakan saja nyawamu kepada Raja Iblis. Selamat tinggal!”
Pekikan teredam menjadi undangan bagi sang
kematian ...
... sekaligus Nama Tertinggi Neraka.
- 6 -
Rangkaian ledakan, bantingan, semburan api,
dan teriakan-teriakan. Odin baru menangkapnya begitu sudah jauh dari lokasi
pertempuran Asher dengan para reverier. Tiga kali kehadiran naga, dan
kekacauan yang ditimbulkan makhluk-makhluk itu menyebar. Terlalu berisiko jika
memantau dekat-dekat.
Pendengaran Odin menumpul, kepalanya pening.
Kebisingan tiada henti bertamu ke telinganya. Diperparah dengan kilasan-kilasan
seputar momen silam.
Dalam situasi genting seperti itu, dia masih
bersedia membayangkan reaksi Zainurma atas kerusakan museumnya. Kurator itu
mungkin berang tak kepalang, dan Odin sedikit berkhayal bahwa pria itu akan
lekas menamatkan turnamen sinting ini.
Bisa nggak, kamu buat dirimu berguna? Odin berkomunikasi dengan parasit dalam jiwanya. Gimana pun juga,
kalau aku kerepotan, kamu juga dalam bahaya.
[Sadar atau tidak, akulah yang mengurangi
efek racun manusia ular. Kau mampu bergerak normal, bukan?]
“Kembalikan staminaku,” tuntut Odin.
Dengan intonasi mengejek, incubus
merespons, [Kalau itu sih, berikan aku jiwa dulu.]
Odin memutar bola mata. Mendengar kerusakan
berkembang ke dekatnya, dia terus berlari. Menghindari kemungkinan kejaran
Nadav. Ruang naskah dunia Asher menemui ujung. Bersebelahan dengan galeri
senjata—masih berasal dari jagat yang sama. Segera Odin berbelok, demi
menghindari empasan angin dan debu pijar.
Merasa cukup aman untuk menepi, Odin bersandar
pada dinding bersepuh emas. Tak sanggup menahan lebih lama letih pada
tungkainya, tubuhnya merosot. Dia terduduk. Kedua tangannya memegangi kepala
yang berdenyut-denyut menusuk.
Dan sekali lagi, sesuatu berdebum dari
kejauhan. Gelombang energi yang timbul memencar serpihan. Pengaruhnya sampai ke
tempat Odin. Panas menjilat kulitnya.
Ledakan barusan semestinya takkan bisa
meloloskan manusia normal ....
Odin mengepalkan tangan. Bertanya-tanya kapan
dipungkasnya pertandingan. Huban berkata, apabila musuh telah mati, domba akan
muncul memberi ungkapan selamat.
Nyatanya Museum Semesta masih remang. Portal
cahaya tidak datang. Tiada embikan.
Memikirkan peluang Asher belum mati, usai
konfrontasi dahsyat barusan, Odin digerogoti ketakutan bahwa lawannya immortal.
Atau yang lebih buruk, memiliki kekuatan mengerikan tertentu. Menjelaskan
mengapa panitia secara tidak adil memberi Odin kemampuan untuk menaklukkan
orang itu.
Bajingan.
Pemandangan beralih kembali. Halusinasi belum usai.
Sudah tidak terhitung lagi, sihir ilusi
menginvasi pantauan Odin. Selama itulah dia merasa cukup beruntung sebab yang
ditampilkan bukanlah memori-memori traumatik.
Akan tetapi kali ini, dia tidak yakin apa yang
bakal dilihatnya berupa pengalaman kanak-kanak tak berkesan yang lain, atau salah
satu petualangan seksualnya.
“Ibu,” panggil seorang anak laki-laki
berusia sembilan tahun. “Kenapa Ibu belum tidur?”
Dia bertanya sambil terus menatap lekat
sosok di pojok ruangan, khawatir akan keadaannya. Ibunya tampak sibuk
belakangan itu. Berkali-kali dia menambah bukit sampah kertas, bergumam tak
menentu, dan memegangi keningnya. Lingkar hitam di bawah matanya pun kian
kentara.
“A-aku, sudah terbiasa seperti ini, Odin,”
jawab sang ibu, seraya menorehkan semakin banyak tulisan. “Ini pekerjaan yang
membosankan. Makanya, Ibu berkata kepadamu untuk tidur saja, bukan?”
“Ibu, ‘kan, tahu aku lagi susah tidur. Tiap
mau merem, panas mataku.” Odin cemberut. Dia menjulurkan lehernya tanda ingin
tahu, namun tidak beranjak dari tepi pembaringan. “Memangnya nulis apa, sih,
Bu? Sampai serius begitu.”
“Sebuah surat,” jawab ibunya singkat, juga
datar.
Odin mendadak bersemangat, merangkai
imajinasi manis dalam benaknya. Dia pernah mendengar, anak-anak sering mengirim
surat pada paman gemuk pengendara kereta rusa. Berharap dibalas dengan kado
pada akhir tahun. Sungguh, keinginan anak-anak itu terkabul. Dan Odin ingin
bergabung dalam kegembiraan yang setara.
“Apa itu surat buat paman pembawa hadiah?”
tanya Odin penasaran. “Ah, ah, Ibu! Aku tahu. Tulis ini buat paman, ya. Aku
mau—“
Ibu Odin membalikkan kursi, dan langsung
berhadapan dengan putra kecilnya. Pandangan matanya begitu menakutkan.
“Bukankah aku sudah katakan bahwa hal-hal ajaib semacam itu tidak nyata?”
tandasnya, penuh ketegasan tidak wajar. “Nak, jangan buat ibumu kecewa dengan
jadi anak yang bodoh!”
—bertemu Ayah.
Odin tertohok. Dan dia mulai terisak tanpa
kata.
“Ah, maafkan aku.” Suara ibu Odin melembut,
campur cemas, seiring wanita itu menyadari kekalapannya. Dia maju perlahan dan
memeluk erat-erat putranya. “Maafkan ibumu ini, Odin.”
“I-iya, Ibu,” Odin membalas. “Bu, tidurlah.
Temani Odin. Ibu pasti capek.”
“Nanti aku menyusul,” sahut ibunya tanpa
berhenti membelai rambut Odin. “Bagaimana kalau kubacakan dongeng?”
“Aku nggak mau Ibu cerita,” rengek Odin.
“Aku mau Ibu tidur. Aku nggak mau kayak kemarin, Ibu nggak ada di sampingku.
Emangnya sebegitu sibuk, ya?”
Sang ibu tersenyum sejenak, lalu menyeka
matanya. “Begitulah. Apa yang ibu lakukan adalah keharusan. Supaya kamu ...
jadi orang yang benar. Dan kalau aku tidak begini,
kita tak bisa makan enak.” Dia pun mengecup dahi putranya.
Setengah yakin, Odin mendengar ibunya
berbisik, “Jangan jadi seperti aku.”
“Tidur ya, Sayang. Nanti kuturuti apa yang
kamu mau, termasuk menonton sirkus.”
Odin terkikik kecil. “Hihihi, kalau begitu,
jangan marah lagi. Sekarang Ibu pasti mau jawab pertanyaanku yang waktu itu!”
Hening.
Tanpa menyadari ada yang salah, Odin
melanjutkan, “Aku bingung gimana jawab pertanyaan teman-teman. Semua bangga
sama ibu ayah mereka. Ada yang jadi kesatria, anak dewa, pengacara, pemain
teater—kalau nggak salah begitu, sih, temanku menyebutnya.”
“Ibu, sebenarnya apa nama pekerjaan Ibu?”
Pertanyaan Odin tidak direspons. Terdengar
bunyi ketuk pintu. Daripada membuka mulutnya, sang ibu lebih memilih menggubris
tamu pada malam hari. Dengan gerutuan-gerutuan, sesekali berlapis kata-kata
yang aneh sekali dan tidak Odin berani tanyakan maknanya.
“Odin, tolong dengarkan ibu, ya. Kamu tidur
sekarang, jangan begadang,” desah ibu Odin. “Apa pun yang kamu mau, akan ibu
kabulkan. Tapi tidak sekarang, besok saja. Aku janji.”
Dia menyediakan jari manisnya, yang segera
Odin sambut sebagai pertanda kesepakatan.
Sekali lagi, sang ibu mengecup kening
putranya, lantas memakaikan selimut kepadanya. “Selamat tidur, Pangeran Kecil.”
Pada masa yang berbeda, Odin yang berusia lima
belas tahun terlonjak dari ilusi. Pandangannya masih buram, namun dia tahu
pelupuknya sembap. Dia menyeka wajahnya. Dadanya kembang kempis. Kenangan
paling buruk itu akan bertandang. Tak kuasa menyaksikannya untuk kesempatan
kedua, Odin bermaksud menyudahi ronde tiga.
Selagi kenangan belum membayang, Odin berpikir
cepat. Dia melihat beragam senjata di sekeliling. Sebagian dipamerkan dengan
penataan khusus dalam kotak kaca, lebih banyak yang disematkan ke dinding. Tidak
satu pun berupa senapan atau pelontar modern, melainkan aneka perkakas perang
tradisional sejauh memandang. Kurang konvensional.
Menimbang tingkat kemudahan, Odin menyambar
busur silang dari emas, di sebuah bantalan. Abai pada keterangan, dalam bahasa
alien, mengenai senjata. Tak lupa pula dengan anak-anak panah dari material
sama. Setengah berharap alat pertahanan tersebut mengandung keistimewaan
khusus. Namun kilasan terkutuk itu bertandang lagi.
“Hentikan! Hentikan! Hentikaaan!”
Dini hari, Odin kecil terbangun oleh
dorongan tak tertahankan untuk buang air. Seperti yang telah diduganya, ibunya
tidak mendampingi tidurnya. Odin sendirian ditemani beku.
Bocah itu segera teringat “kesepakatan”,
dan tidak tebersit pun niat melanggarnya. Akan tetapi, dia tak kuasa lagi
membendung rasa pejal dalam perutnya. Hawa dingin juga menambah-nambah
alasannya untuk bergerak.
Ibu sedih kalau Odin mengompol. Daripada
merepotkan ibu dengan pipis, lebih baik anak itu berinisiatif sendiri.
Pelan-pelan, dia membuka pintu kamarnya.
Ingin secepat mungkin meraih satu-satunya toilet. Sampai suatu ketika, ada hal
yang memancing keingintahuannya.
“Goblok! Ular bangsat!” Odin mengumpat. Air
matanya berlinang. Bantu aku! Jangan Cuma jadi parasit! Hilangkan pengaruh
racunnya!
Incubus tidak
menjawab, menyulut api pada sumbu kemarahan inangnya.
Tiada waktu bercekcok sendiri. Hidup Asher
harus disudahi secepatnya. Sehingga, Odin beranjak menjemput ajal bagi pria
itu.
Odin tak perlu membuang energi lebih banyak.
Seekor naga biru tua sepanjang lima meter melayang di dekatnya, menandakan
Asher berada dalam posisi yang tidak jauh.
Sayangnya, Odin keliru.
Tak ayal dia menelan ludah. Makhluk raksasa
tadi bukannya sedang terbang, tetapi terpelanting oleh daya tolak luar biasa.
Tubuh besar itu pun bersua dengan lantai. Pendaratannya yang penuh keterpaksaan
berdampak dentum. Properti-properti museum lantak, beralih menjadi hujan
beling.
“Sebenarnya, makhluk yang kuhadapi itu apa?”
Odin mulai getir. “Bukannya ... dia orang juga?”
Jawaban yang tersaji berupa kilas balik.
Seseorang menangis, suaranya sangat
familier. Kala Odin kecil menyimaknya kian lama, suara itu semakin mirip
ibunya. Maka dia mencari sumber masalah, yang berasal dari gudang bahan-bahan
mentah.
Namun suara itu juga diiringi gemerisik
janggal. Siapa tahu, itu adalah paman gemuk dari kutub yang membawa hadiah,
sekalipun hari ini tidak termasuk penghujung tahun. Sedangkan ibu Odin tengah
menjamu paman itu.
Odin tidak bisa hanya mengandalkan panca
indra. Bagaimana pun juga, serangan ini bersifat konstan.
Mengandalkan instingnya, abai pada risiko, dia
coba lurus mengambil langkah seribu, tindakan yang tidak ditempuhnya sejak
awal. Akan tetapi, putusan tersebut terasa percuma. Pelariannya seolah tak
berujung, dan panorama di hadapannya senantiasa bergulir. Odin bahkan mampu
memahami jalan pikir dirinya yang masih murni.
Tidak ada satu bagian rumah pun yang
dilengkapi kunci, terkecuali pintu utama. Ini berlaku juga untuk gudang,
mengungkap binar lemah yang merembes keluar dari celah pintu.
Di dalamnya temaram, barang dilimpah sinar
redup dari sebuah lentera usang. Tidak ada orang, tetapi Odin kecil menyadari
satu hal. Bukan suara tangisan yang dia dengar, melainkan semacam ... lenguhan.
Seperti hewan hendak disembelih.
Rona emas menyapa. Odin memperhitungkan,
setengah menit untuk masing-masing pertukaran, dan akan semakin singkat. Tersisa
dua puluh delapan detik.
Usahanya beranjak tidak benar-benar tanpa
hasil. Dari jarak sekitar dua puluh meter, dia mendapati target. Beberapa
pemimpi, termasuk di antaranya robot mata satu dan perempuan pengendali naga,
serempak berjibaku melawan Asher.
“Hah?”
Dengan
sekali sepakan, manusia berkaki laba-laba di punggung melambung ke
langit-langit, kepalanya menancap, dan tidak kembali lagi. Sepasang reverier
pengendali es menemui mimpi buruk sepadan. Pada Asher, kemampuan mereka
berujung sia-sia, sebab api melingkupi si pernyihir berpakaian hitam-putih. Selubung
es yang hendak mengungkungnya mencair. Tak mengasung momen untuk terkesima, kedua
lawannya terjalar api yang muncul dari bawah pijakan mereka. Tatkala api padam,
kepulan abu menggantikan posisi kedua pemimpi.
Bukannya ..., bukannya dia cuman pengendali
api yang naif?
Pemanggil naga menyembulkan diagram magis dari
udara kosong di sebelah telapak tangan. Menelurkan dua ekor naga dengan sekali
usaha. Seorang nenek bungkuk mendadak menggandakan tinggi tubuhnya berkali-kali
lipat hingga nyaris kepalanya menyeruduk langit-langit. Sementara itu, warna
merah meriap dari visor utama robot mata satu. Itu belum termasuk belasan
pemimpi gugur lain. Segenap mereka berancang-ancang, siap mengeluarkan jurus
terbaik.
Tampaknya mereka telah lupa pada sentimen
semasa hidup terhadap satu sama lain, dan masing-masing, atas perintah Odin,
kini bahu-membahu demi menumbangkan seorang lawan.
Pria yang tidak menonjol pada awalnya. Yang
muncul di Museum Semesta, untuk pertama kali, dengan air muka penuh kesenduan.
Yang semestanya dipenuhi kepahitan, dan terlalu bermimpi untuk mengendalikan
kejahatan.
Orang
yang terlalu idealis, mereka itu mestinya lemah. Ya, ibu selalu berkata
begitu. Mereka nggak terbiasa menerima kenyataan, mereka bahkan menolak. Tapi
kenapa?
“Aaaahhh!!” Odin memegangi dahinya, yang
terasa seakan-akan baru saja dihantam palu godam. Dan entah dengan alasan apa,
dia menjambak rambutnya sendiri. Sambil memohon dalam hati agar disudahi efek
halusinogen aktif.
Odin kecil baru ingin berbalik, namun rasa
penasaran mencegahnya pergi. Alih-alih, dia mendekat pada tumpukan kardus
kosong yang tidak dilipat. Kebisingan malam-malam kelihatannya berasal dari
situ.
Suatu hari ibunya pernah berpesan, “Jika kau
takut, maka hadapilah sumber kengerianmu.”
Itulah yang sedang dilakukan Odin. Benak
polosnya sekaligus berkhayal, barangkali dia bakal bersahabat dengan hantu. Mengingat
anak-anak lain di pasar sangatlah tidak ramah kepada Odin.
Memanfaatkan susunan batu bata, dia meraih
kardus-kardus teratas. Memindahkannya dengan hati-hati dan rapi, ke posisi
lain.
Di balik misteri itu terdapat sebuah jendela.
Tentu saja bukan Odin namanya jika tidak mengintip.
Begitu Odin berpijak pada realita yang asli,
dia langsung disuguhkan pemimpi wanita yang terlempar, telak menabraknya.
Alhasil, kedua-duanya rebah. Odin menjerit. Tengkorak belakangnya menggabruk
lantai. Tulang-tulang depannya serasa bergeser dari sendi.
Odin menyeret tubuhnya keluar dari tindihan jasad
wanita necis, mati-matian menjaga kontrol diri. Hidungnya patah, mimisan. Dunia
di hadapannya berputar-putar. Kesadarannya terisap sedikit demi sedikit, tetapi
dia terus bertahan.
Begitu mendongak, ketakutan hebat melanda
jiwanya. Perutnya bagai diremas dari dalam.
Robot raksasa—kelihatannya si mata satu yang
berfusi dan mengalami transformasi—dirambah api. Nyala dengan cepat
menggerogot, dan dalam sejurus menelan segenap raga logam. Bunyi melengking
panjang membahana, diperseram kilatan-kilatan elektrik. Odin merangkak, lantas
berderap tertatih paham pertanda.
Kurang lebih lima detak jantung kemudian,
letusan hebat itu terjadi.
Odin menahan napas. Pasrah pada takdir.
Gelombang ledakan mengempaskan dirinya dan belasan reverier.
Menceraiberaikan semuanya. Odin jatuh tersungkur, hampir menabrak lemari tinggi.
Tembok dan pilar-pilar hancur lebur akibat daya tadi. Retak satu berakibat
kerusakan pada yang lainnya. Pemimpi yang tidak beruntung berubah jadi onggokan
organik tertimpa reruntuhan.
Dari balik kobaran api yang menggila, sosok
Asher melenggang santai. Tangannya menodongkan revolver. Tiga puluh meter
jauhnya, membidik Odin.
Sebelumnya, Odin kecil tidak pernah tahu ada
kamar lain bersebelahan dengan gudang. Dia berjinjit demi memperoleh
pemandangan lebih memadai.
Apa yang disaksikannya malam itu adalah
tragedi. Sertamerta, dia berkemih di tempat. Isi perutnya bergolak minta
dikeluarkan.
Ruangan sempit itu hanya berisi sebuah dipan,
dipancari sinar seadanya dari lampu minyak. Namun itu cukup untuk mengungkap
dua sosok yang bergumul di atas pembaringan. Kedua-duanya telanjang, saling
menderu dan menekan-nekan. Sebentuk lengan kekar menumpu kepala ibu Odin
mencium dipan. Sementara si pemaksa tampak menikmati perbuatan itu, wanita di
bawahnya justru mengeluarkan erangan sakit.
Odin kenal pemilik lengan itu. Orang yang
begitu ibunya benci hingga tidak pernah disebut-sebutnya. Pria yang pernah satu
kali menyambangi rumahnya untuk urusan yang tak Odin mengerti. Ayahnya.
“Jangan melawanku, dasar pelacur rendah! Di
atas kertas kita memang sudah berpisah, tapi kau tetaplah milikku!”
Si anak laki-laki menangis, dalam kebisuan
yang bagai selamanya. Kedua orang tuanya, dalam irama terus memuncak, saling
melempar perkataan-perkataan kasar. Saling menyalahkan, saling tuduh, dan
berujung dengan cekcok hebat. Sang ayah pun memukul mantan istrinya, membuat
wanita itu terbatuk pilu. Kemudian dia menghentikan tunggangannya, menyambar
lampu minyak di dinding, dan melumeri isinya di atas punggung sang ibu yang
limbung.
Kejadian itu berlangsung cepat, tak terelakkan.
Ayah Odin menyulut sumbu yang masih terbakar ke atas dipan. Pada sang ibu yang
menggeliat dalam kengerian. Memulai parade jeritan Odin pada masa tersebut
berikut dari masa depannya.
“Pagi, Bung. Bagaimana mimpimu?”
Odin membuka pelupuknya yang hangat, oleh
darah, dan terperangah. Asher sudah berdiri di hadapannya. Menempelkan ujung senjata
api ke dahi Odin. Pria itu berjongkok.
“Masih ingat kata-kataku?” tanya Asher dengan
tenang. “Aku akan membuatmu merasakan kepedihan melebihi mati.”
Odin hampir berserah pada keadaan, namun
sejurus berikut dia menanggalkan akal sehat. Pilihan apa pun, risiko kematian
adalah nyata. Lebih baik bertindak daripada tidak. Pemuda itu menyergap Asher.
Menjatuhkan pria itu, menyingkirkan revolvernya, dan mempertemukan pandangan
mereka.
Asher bergeming. Pandangannya nanar. Mulutnya
menganga. Incubus trap berfungsi. Yes!
Tidak ingin membiarkan lawan mati mudah, Odin
memagut bibir Asher. Mengadu lidahnya dengan lidah pria itu. Sementara
tangannya coba meraih—tidak.
Odin merasakan panas pada bibir dan bagian dalam
mulutnya. Lidahnya terbakar, gusinya meleleh. Asher sengaja makin merekatkan ciumannya, memperbesar
kobaran dalam tubuhnya.
“Aa ... aaa .... aaahhhHHH!!”
Odin menarik diri mundur, menangis tanpa
bunyi. Lantas memuntahkan darah dan sebagian besar giginya.
Riwayatnya perlahan terhapus.
Panas merambat ke dalam lubang pernapasan,
saluran pencernaan, dan tiba ke otak. Organ-organ dalamnya robek, dagingnya
terpanggang. Isi perutnya bergemuruh. Gabungan dari seluruh kerusakan itu
melahirkan rasa sakit tiada peri, yang sejenak namun terasa bagaikan abadi. Tak
mengizinkannya menyesal. Eksistensinya menyerpih.
Hal terakhir yang Odin dapati sebelum napas
terakhir bukanlah kebahagiaan. Tidak ada senyuman sang ibu, tiada malaikat
pelindung, tidak ada keajaiban apa-apa.
Kecuali peralihan ke ilusi masa lalunya. Ayah
Odin melemparkan putra kecilnya ke ranjang. Dia menjilat bibir, sementara
tangannya sibuk mencabik pakaian Odin. Tanpa menyisakan sehelai benang pun.
- 7 -
Jauh sebelum mengenal mistisisme, Sheraga
adalah pemuda yang bersahaja. Dia dibesarkan oleh salah seorang Dayan yang begitu
dihormati di seluruh benua. Tidak ada yang meragukan daya tangkapnya. Dan karena
kedalaman pikiran Sheraga tersebut, benaknya bekerja lebih giat dibandingkan
anak sebayanya.
Pada usia empat belas tahun, kerap Sheraga
gelisah atas kemungkinan-kemungkinan masa depan atas dirinya. Begitu sering
disaksikannya penderitaan, yang menjerumuskan semua bangsa ke dalam lembah
kekejian dan permusuhan. Bukan saja orang-orang dewasa, rekan-rekannya pun tak
luput. Berlandas kedengkian, mereka menampik keberadaan anak laki-laki itu dan
berusaha menyingkirkannya.
Sheraga selalu menjunjung moral yang
diyakininya. Kekhawatirannya ialah melebur bersama kebanyakan manusia. Menjadi
makhluk yang turut andil menggelincirkan dunia. Terlebih, ujian demi ujian yang
mendera kian menggoyahkan prinsipnya.
Dengan benak yang masih begitu murni, terus
direnungkannya peradaban yang semakin sakit. Tidak bisakah kesengsaraan
menyisakan keinginan untuk berkembang saja? Apa salahnya saling bahu-membahu
mengentaskan kesulitan? Bukankah tujuan semua orang adalah selaras, untuk
sama-sama memberangus penderitaan? Pun, bukankah Tuhan memerintahkan
ciptaan-Nya untuk saling mengasihi?
Mengapa orang lain tidak bisa berpikir
sesederhana ini?
Akan tetapi, beberapa waktu kemudian, dia
sadari kepercayaannya merupakan hal yang naif. Setitik cahaya tidak berarti
dalam menaklukkan kuasa gulita. Kebaikannya ditepis keangkuhan. Kesabaran
membuahkan petaka. Dan kekukuhannya berujung pada percobaan pembunuhan.
“Itu karena kau seorang Helev,” salah seorang
di antara Dayan kecil itu, yang sempat benar-benar Sheraga percayai, berkata.
“Kami adalah bangsa pilihan Tuhan, dan kamu sepatutnya berada di bawah kami.”
Bersama ucapan tersebut, anak-anak itu
mengempaskan Sheraga ke dalam lautan. Peristiwa yang tidak merenggut nyawanya,
melainkan ketabahannya.
Perlahan namun tentu, kebencian Sheraga
bertumbuh. Ketidaktulusannya mulai mengambil alih.
Prinsipnya sejak mula tidak luntur, tetapi
motivasinya bergeser. Demi berbeda dengan “makhluk berakal” yang dianggapnya
penuh kecacatan, tak pernah dia balas perbuatan musuh dengan setimpal. Idealime
munafik, tidak ada bedanya dengan yang lain, dia tahu itu. Namun itu jauh lebih
baik ketimbang menyuarakan penegakan moral sementara hati menjunjung hawa
nafsu.
Suatu ketika, dalam masa kemarahan dan
kesedihan tanpa peri, Sheraga bermimpi. Dia berada di , diperlihatkan
pemandangan kosmis. Matahari, Ushna dan Mahra, serta bintang-bintang mengelilinginya.
Mengaku menyembah pemuda kurus itu. Tak alang, dia tersentak bangun dengan
jantung berdentam tegas. Seketika terpikir bahwa jiwanya telah dikutuk, dan
hatinya berlumur keangkuhan.
Berminggu-minggu setelah mimpi tersebut, dia
memisahkan dirinya dari dunia nyata. Terbenam dalam perenungan panjang dan menyakitkan.
Apakah memang pribadinya sombong? Apakah sebetulnya, dalam lubuk hatinya yang
paling tulus, dia menginginkan hal seperti dalam bunga tidurnya? Dipuja dan
dielu-elukan?
Sheraga membantah. Kalau memang dia arogan,
takkan dia biarkan lawan-lawannya melenggang dengan tenang. Dia tinggal
mengadukan mereka pada ayahnya. Maka pada keesokan harinya, para Dayan kecil
itu sudah hilang entah rimbanya. Kemudian Sheraga akan menggertak yang tersisa
dengan ancaman nyata. Memaksa mereka membuang martabat untuknya.
Namun Sheraga tidak pernah melakukannya. Dia
selalu memilih untuk berserah. Percaya kemurahan hati merupakan dasar
segala-galanya.
Tidak menemukan jawabannya, dengan kemuakan
yang teramat pada kehidupannya, Sheraga hendak bunuh diri. Dia sudah menerima
fakta, bahwa Tuhan tidak menyayanginya dan dunia tidak diciptakan untuk orang
seperti dirinya.
Untuk meneguhkan putusan, Sheraga memberanikan
bicara pada sang Perdana Menteri, “Ayah, apa menurutmu aku bukan putra yang
berharga?”
“Tentu saja itu tidak benar.”
“Mengapa Ayah mengangkatku sebagai putra?”
tanya Sheraga dengan sedih.
Biar bagaimana pun, ayahnyalah yang
mengajarkan untuk tidak memercayai siapa pun. Alasan pengangkatannya sebagai
anak pastilah memiliki maksud politis. Atau jangan-jangan sebenarnya Sheraga
putra pembelot kerajaan, atau penjahat besar, sehingga orang-orang terus
melawannya?
“Aku hanya menjadi beban bagi Ayah. Aku tidak
semestinya hidup, terlebih di sini. Aku sangat tidak pantas berada di bawah
istanamu.”
Tanpa disangka-sangka, Natan Asher menjawab,
“Jangan bergundah. Itu semata kecemasanmu. Kenyataannya, aku menyayangimu bukan
saja karena engkau adalah putraku—karunia yang Tuhan hadirkan lima belas tahun
yang lalu.”
Sheraga terperangah.
“Aku bisa melihat masa depan dan harapan di
matamu. Engkau berbeda, dalam arti yang baik. Dan aku mampu melihat, suatu saat
nanti ... engkau akan melakukan perubahan. Tidak saja bagi dirimu sendiri dan
ayahmu ini, melainkan untuk banyak orang pula.”
Mengarahkan masa depan, mimpi itu, penolakan-penolakan
yang menimpanya .... Semua terasa masuk akal. Sekarang,
dengan semua pemahaman ini, untuk apa tetap menjadi orang bodoh?
Sheraga mengamini pernyataan ayahnya. Membayangkan
ranah yang lebih baik berkat usahanya.
Sayangnya, persepsi pemuda itu makin tak
keruan. Dia mulai melawan, dengan anggapan apa pun yang dilakukannya takkan
mengubah ketetapan atas dirinya.
Ada yang menantangnya, dia ladeni dengan
tangan terbuka. Orang-orang mengancam akan membuatnya keluar dari pendidikan,
dia terima senang hati. Permusuhan demi permusuhan silih berganti menemuinya. Selama
itu pula, Sheraga semakin senang. Itu membuktikan padanya bahwa perkataan sang
ayah akan menjadi kenyataan.
—
Aku menang. Ya, aku
menang. Tidak dengan bantuanmu.
Pemanggilan iblis selesai. Sang Petinggi
Neraka telah berpulang.
Sheraga tertawa, menerawang langit-langit
Museum Semesta. Menyaksikan sosok imajiner Orim di atas sana.
Pemuda itu berbalik menghadap para pemimpi.
Tersisa tujuh yang masih bernapas di antara mereka, termasuk Ganzo dan
perempuan pengendali naga. Kesemuanya dalam keadaan terpuruk, sebagian tidak
mampu berdiri, dan penuh luka. Babak ketiga telah berakhir, tetapi mereka tak
jua luruh.
“Ahahaha ... kau yang berkata akan
menyakitiku, ‘kan?” Sheraga menuding Ganzo dengan senjata barunya, yang begitu
praktis. “Masih mau menantangku?”
Ganzo, dalam posisi telentang dengan kaki
tertimpa reruntuhan, tidak menjawab.
“Kenapa?” tanya Sheraga seraya memandangi satu
per satu pemimpi bergantian. Dia menyimpulkan mereka masih menyimpan kesadaran.
“Kenapa kalian melawanku? Setahuku kita tidak punya masalah pribadi. Atau
kalian memang budak tanpa akal yang diperintah seorang lacur?”
“Kau tidak pantas di sini,”
seorang pemimpi berkata, sementara sebelah kakinya remuk redam. Suaranya serupa
Hilai Shefar, figur dari masa lalu Sheraga. “Bahkan hidupmu adalah
kesia-siaan.”
Sheraga bergidik.
“Kau pembunuh,” yang
lainnya menyambar. Anehnya dengan suara yang sama.
Seseorang menuding Sheraga. “Bukankah kau
berkata bahwa kau ingin berbeda dari orang lain—masyarakat yang kauanggap
sampah? Nyatanya kau sama saja. Kau lebih rendah dari mereka.”
Sheraga tidak bisa tenang. Bagaimana mungkin
para pemimpi yang tidak tahu apa-apa tentang hidupnya dapat berbicara seperti
itu? Terlebih—ah, ini pasti ulah seorang penyihir ilusi.
“Kau adalah paradoks,” suara
Hilai mengimbuh, keluar dari mulut pemuda sipit berkulit kuning. “Tidak.
Tepatnya, kau munafik. Kau menampik apa yang tidak ingin kaudengar.”
Ganzo mendesis, masih bersuara Hilai, “Apanya
yang membawa perbaikan? Kau membuat segalanya lebih buruk.”
“Kau juga hitam. Kau bersalah. Kau bagian dari
kegelapan.”
Sang pengendali naga menyambung, “Kesalahanmu
timbul akibat pilihan-pilihanmu. Gabungan dari dosamu berakibat kehancuran.
Jangan salahkan orang lain.”
Perempuan sundal itu pun tewas. Senjata baru
Sheraga menyalak memuntahkan timah panas. Meledakkan kepalanya. Tembakan
beruntun menyusul beberapa detik kemudian, merenggut napas lima sosok manusia.
Jatuh pada tarikan pelatuk yang ketujuh, terdengar bunyi klik. Sejenak mengisi
kelenggangan museum.
“Kau beruntung,” ujar Sheraga pada Ganzo.
“Kematianmu tertunda beberapa detik.”
Dia mengambil pedangnya, yang tergeletak di
atas abu Odin, dan menghunuskannya di depan hidung Ganzo. “Tapi—“
“Itukah yang orang baik lakukan?” Ru
Ashiata, dengan kepala terkoyak, melantangkan. Sheraga lantas mengurungkan
niatnya.
Lalu tawa merebak di mana-mana, bagaikan suara
ribuan orang yang tidak terlihat. Sheraga beringsut mundur. Mukanya semakin
pucat. Ada sisi dalam dirinya yang menghendaki pelarian, tetapi sebagian lain
menyuruhnya menantikan sesuatu. Jadi dia semata berdiri. Menunggu si pengacau
menampilkan rupa.
“Ini tidak akan ada gunanya!” seru Sheraga
pada kekosongan, padahal tubuhnya menggigil hebat. “Keluar kau! Hadapi aku,
jangan jadi pengecut!”
Museum Semesta bersilih temaram. Mayat-mayat
para pemimpi lenyap. Menyisakan Sheraga seorang.
“Memangnya, kamu sendiri ... berlaku adil?”
Sheraga menoleh. Kejutan yang tersaji
membuatnya gemetar. Ketakutan menguasainya sampai-sampai dia terjungkal.
Dia melihat Orim duduk di atas mayat seseorang.
Matanya membuka, menyiratkan kebencian yang dalam, tetapi dia tersenyum sendu.
Sang Alkemis mengenali jasad di bawah pria itu. Mulut pemuda itu menganga, dan
kedua matanya dicungkil. Ekspresinya begitu mengenaskan seolah menceritakan
rasa sakit yang dialaminya menjelang ajal.
Mayatnya.
Ada yang menepuk bahunya. Dan seketika itu,
Sheraga kembali pada kenyataan. Rasanya ketakutan menyusut secepat kerjap.
Ternyata Ganzo Rashura.
Sheraga berdiri, terheran.
Ganzo berkomat-kamit, sebelum Sheraga sempat
melakukan apa-apa, dan kalimat lelaki menggema begitu saja dalam otak lawan
bicaranya. [Terlalu mengandalkan pemanggilan, akibatnya bisa terus-menerus
seperti tadi. Kau bisa gila, fana.]
“Siapa kau?” Sheraga merespons, paham betul
ada yang berbeda.
[Identitasku tidak penting. Intinya, siapa
pun kau, aku kagum kaumampu menjalin kontrak dengan salah seorang petinggi
neraka—Menteri Agung yang sangat tertarik dengan manusia. Bahkan untuk
memanggil seorang iblis rendahan, perlu usaha yang begitu panjang. Tapi kau
.... Ah, ini pasti sebuah tanda.] Pada kalimat akhir, Ganzo lebih seperti
bicara pada diri sendiri.
“Alamat semacam apa?”
Ganzo tidak menjawab, hanya menarik sudut
bibirnya. [Turnamen ini semakin rumit. Dan aku telah mengetahui beberapa
faktanya.]
Sheraga memiringkan kepala. “Ya?”
[Apa yang dilakukan Odin terhadap pemimpi
lain, itu akibat pemberian Huban, dan atas perintah Mirabelle—sang Putri Surga.
Aku tidak tahu apakah Zainurma terlibat dengan kedua betina itu. Pada dasarnya,
Huban dan Mirabelle tidak menghendaki keberadaanmu.]
“Putri sur—hah?”
[Aku sedang tidak punya cukup tenaga untuk
memberitahumu,] Ganzo mengakui. [Tapi pesanku, berhati-hatilah. Odin
mungkin bukanlah apa-apa untukmu. Pemanggilan yang dilakukannya terbatas
menyisakan seperlima kekuatan asli para pemimpi. Bayangkan jika lawanmu
berikutnya jauh lebih tangguh, dan bantuan yang diberikan kepadanya jauh lebih
merepotkan. Dan kalau mau tetap waras, kau tidak bisa terus mengandalkan
bantuan dari bangsa kami.]
Ganzo bak tersengat sesuatu. [Atau, bisa
jadi memang itulah tujuan Huban, atau siapa pun, yang ingin kau tumbang. Mereka
ingin kau terus mengandalkan kemampuan pedang bermata duamu.]
Makin lama mendengar celotehan sang iblis,
Sheraga semakin tidak percaya. Hari ini dia telah diperdaya, dan tidak akan
mempersilakan kali kedua. Meskipun demikian, dia masih sedikit bersabar. “Apa
aku bisa memercayaimu? Apakah aku harus membayar informasi ini?”
Sepintas tawa nyaring membahana dalam
pikirannya. [Sebenarnya, sih, aku juga tidak perlu kau memercayaiku. Itu
terserah padamu. Aku tidak rugi. Dan yah, pembicaraan ini gratis. Toh kau
sendiri telah memberikanku tontonan yang menarik.]
Ganzo pun menjauh, dan membelakangi Sheraga. [Selamat
tinggal, fana. Kali ini aku membantumu. Tapi tidak ada lain waktu. Waspadalah!]
Setelah itu, raganya terpuruk.
Sheraga menjadi satu-satunya manusia yang
berdiri. Di tengah saksi kekacauan. Domba betina miliknya belum menampakkan
rupa.
Dia memandangi sekeliling, dan sadar Museum
Semesta tidak selamanya mengenai pertarungan. Ruang naskah dari semestanya
sebagian besar lantak. Api masih berkobar di beberapa sudut, dan banyak
catatan-catatan sejarah yang hancur. Dia bermaksud menyelamatkan beberapa
koleksi untuk dibawanya secara diam-diam.
Sang iblis tidak sepenuhnya bisa dipercaya,
tetapi pembicaraan barusan cukup bisa diterima akal sehat. Jika benar penyelenggara
ajang omong kosong ini ingin menantang Sheraga, dia tidak keberatan untuk
melayani mereka. Namun serangannya terhadap mereka takkan bersifat
terang-terangan.
Sebaliknya, Sheraga akan berpura-pura patuh,
menurut pada keinginan mereka. Dan apabila mereka sudah merasa menang nanti,
dia akan melancarkan balasannya dengan telak.
Bukankah kekalahan yang tidak terprediksi akan
jauh lebih sakit?
Berlandas tujuannya yang mulia, Sheraga percaya.
Seribu tangan ingin menjatuhkannya, takkan berdampak apa-apa.
Satu hal yang luput dari perhatiannya, Nadav
telah terjaga. Terus mengawasi, seraya menimbang-nimbang informasi dari kolam
ingatannya.
“Misi kita berhasil.”
—
Ritual selesai. Ayat-ayat telah didaraskan.
Seluruh persiapan masak.
Sheraga tinggal menunggu hasil pertaruhannya.
Dalam lubuk hati, dia merasa amat terpukul dengan keputusannya malam ini,
mengorbankan orang lain demi tujuan. Terlebih, meskipun Hilai jelas berpihak
pada musuh-musuhnya, dia tidak pernah secara langsung mengusik kehidupan sang
Alkemis.
Apakah yang dikatakannya tadi sungguhan?
Selama ini dia membelaku?
Memikirkan kemungkinan tersebut, Sheraga
mengembuskan napas berkali-kali. Berharap kegelisahannya lekas sirna. Terus
diyakinkannya diri bahwa serangkaian usahanya ini takkan sia-sia. Di atas sana,
jika Tuhan memang menciptakan surga, Hilai akan berbangga. Pengorbanannya
berbuah manis bagi semua orang.
Itu tidak berhasil. Peluh membanjiri kulit.
Ketakutan yang janggal dengan cepat mengendalikan Sheraga. Membuat
langkah-langkahnya goyah. Dia jatuh terduduk sehingga harus melayangkan
pandangan lagi pada kengerian nyata di tengah ruangan, yang sebisa mungkin
dihindarinya dalam detik-detik penantian.
Di atas kursi, jasad Hilai terpaku, menghadap
ke arahnya. Bola matanya hilang, menyisakan rongga kosong yang terus mengucurkan
darah.
Teror itu berlangsung sekejap saja, karena
tiba-tiba Hilai bangkit dari kursinya. Hawa yang mencekam meluap-luap dari
posisinya, menggerakkan nyala-nyala kecil pada deret lilin. Menandakan
keberhasilan Sheraga.
Jasad hidup itu bertutur, “Untuk
apa engkau memanggil Nama Tertinggi Neraka?”
“Tunggu.” Sheraga mengerutkan alisnya. Tak
terlintas ide untuk menjura, dia memprotes, “Kau bukan Raja Neraka?”
“Bukan.” Hilai melangkah keluar dari
kepungan lilin dan simbol, menghampiri Sheraga. “Aku salah seorang
petinggi. Dan perlu engkau ketahui, tidak semua fana dapat memanggil begitu
saja Yang Mulia. Terlebih engkau hanya manusia biasa. Apa memangnya, yang
engkau kehendaki?”
Sheraga sampai terlalu bosan mengulanginya.
Sertamerta dia paparkan cita-citanya, “Kejahatan dan konflik merebak di
mana-mana, aku ingin menghentikan semuanya. Tumpah darah harus segera disudahi,
atau manusia akan punah berkat tindakan mereka sendiri.”
Hilai terdiam. Balas “menatap” Sheraga dengan
matanya yang berongga.
“Kau mungkin bukanlah pihak yang kutuju,
tetapi tolong sampaikan ini pada pemimpin kalian. Aku tahu, kalian bukan
makhluk-makhluk perusak seperti yang digambarkan peradaban. Aku paham kaum
malaikat yang dipuja semua oranglah bencana sesungguhnya. Karena itu, kalian
semestinya menghendaki juga apa yang kuinginkan.”
“Engkau manusia yang baik dan tak awam, tetapi
naif.” Pernyataan Hilai mengguncang Sheraga. “Bagaimana mungkin engkau
menyimpan niat mengatur dunia sesuai harapanmu? Tuhan menjadikan kalian wakil
bagi semesta, dan kalian diberkati samudra kerumitan benak. Permintaanmu di
luar kesanggupan.”
Sheraga mendesah. Firasat buruknya terbukti. “Kalau
begitu, aku tidak akan melibatkan kalian,” pintanya. “Tapi berilah aku
kekuatan. Bantu aku dalam tiap langkahku. Dan izinkan aku menemui rajamu.”
“Engkau mengetahui bayarannya, bukan?
Pertimbangkanlah dengan akal jernih.”
Sheraga tidak langsung menanggapi. Merangkai
kesunyian panjang dan tak tertaklukan. Derasnya hujanlah yang bersedia
mendendang, dan memberinya keyakinan kukuh.
“Ya, aku
paham apa yang kulakukan. Demi semua orang. Ya, demi kebaikan yang lebih besar,
aku bersedia menanggung akibatnya.”
- 8 -
Bersama lemahnya kekang sang Kehendak,
Zainurma memanfaatkan kesempatan untuk pergi ke tempat yang begitu ingin
dikunjunginya selama beribu-ribu tahun tempo fana.
Puluhan milenium silam, dia pernah menjejak alam
ini. Pada suatu area di dalam matahari. Dunia bagi kaum terbuang, yang
dikhianati oleh kebenaran yang mereka junjung sendiri.
Sang Kurator melewati setapak lahar tanpa
terganggu. Kekuatannya memastikan keselamatan. Selubung pada sekeliling tubuh
menghindarkan dirinya dari udara busuk dan paparan panas di luar akal sehat. Di
kanan-kirinya, tulang belulang berbagai makhluk bergelimpangan. Hewan-hewan
pemangsa bergelayaran. Sejauh mata memandang, bukit-bukit kerangka makhluk
menyapa.
Namun, Zainurma tetap tenang. Panorama
tersebut adalah hal yang familier sekali baginya. Mengesampingkan
penampilannya, para penduduk neraka yang melihatnya segera bertekuk lutut
menyambut sang insan, seiring langkahnya menuju gerbang istana Ceruk Jahanam.
“Aku ingin bertemu dengan Nama Tertinggi
Neraka,” Zainurma mengutarakan maksud kedatangannya, sebelum sepasang penjaga
berwajah setengah mengajukan tanya.
Mengetahui identitas terdahulu sang Kurator, satu
penjaga dengan enam tangan berujar, “Ikuti saya, Tuan Zai.”
Tanpa keragu-raguan mereka mengarah langsung
ke kastel utama, yang dinding-dindingnya tersusun dari kumpulan acak rangka
makhluk hidup. Koridor-koridor panjangnya menyerupai bagian dalam tubuh
binatang yang berongga. Sekali-kali, tanah di bawah mereka beriak-riak
menampilkan mata dan mulut.
Beberapa saat berselang, Zainurma sampai di
ruang takhta raja. Bagian atap ruangan itu terbuka, memperlihatkan langit yang
penuh kegaduhan. Nama Tertinggi Neraka tengah duduk di singgasana, tanpa
pendamping. Penuh kuasa dengan diliputi jubah api kelam. Tubuhnya tiga kali
lebih besar dibanding tamunya, tetapi tidak membuat Zainurma gentar. Empat
pasang sayap hitam makhluk itu mengepak. Rambutnya yang berupa ular-ular hitam
seluruhnya mendesis senang.
“Anakku,” sambut sang Raja—Barkiyal—dengan
simbolis, tentu saja panggilannya tidak harfiah. Suaranya bagai gemuruh derita
menjelang ajal bila didengar manusia biasa. “Kamu sudah sangat berbeda
sekarang. Pakaian yang begitu asing, dan apa itu di depan matamu yang kamu
pakai?”
Kedua pengawal meninggalkan sang Kurator dan
raja mereka berdua saja. Lalu Zainurma melepas kaca mata hitamnya. Mengungkap
mata yang menyipit benci.
“Selalu penuh kejutan,” sebut Barkiyal,
“sifatmu tidak banyak berubah, Zai.”
Dia tertawa singkat, namun berikutnya deret
gigi tajamnya tak lagi tampak. Air mukanya khawatir. “Nak, ada apakah gerangan?
Aku paham sikap kamu sejak dahulu, dan mengerti kedatangan kamu pasti
menandakan sesuatu yang sangat penting—kalau tidak, menggelisahkan hati kamu.”
Makhluk berkulit putih pucat itu menambahkan,
“Aku melihat dunia-dunia fana terus berkembang. Baik dengan cara yang benar
maupun salah—walau keburukan itu tak terhindarkan. Para malaikat
sungguh-sungguh menjalankan dengan baik kewajiban mereka sebagai pengatur masing-masing
semesta. Tidak ada yang salah, dan aku memercayai mereka semua sebagai pilihan
Tuhan. Lantas, apa yang membawa kamu kembali ke tanah air kami yang muram ini?”
“Setelah sekian lama keabsenanku
mengunjungimu,” Zainurma menahan luapan emosinya, “kau tidak menyadari
apa-apa?”
Barkiyal bergeming. Tiga dari lima matanya
terpaku ke depan. “Kamu benar, Nak. Kamu tetap hidup, namun menghilang dari
penglihatan kami. Tiada seorang pun rakyatku yang mendapati keberadaan kamu.”
“Dan kau tidak berusaha mencariku?”
“Aku menyesali atas hal itu.”
“Itu sajakah yang bisa kaukatakan?” Suara
Zainurma meninggi. Tidak habis pikir menghadapi kawan pertamanya di neraka. “Semua
sudah benar-benar terlambat. Jiwaku terjerat. Aku bahkan tidak mampu menghadapi
Raja Surga yang terus-menerus mengusik rencanaku untuk bebas!”
Terperangahlah sang Raja Neraka di atas
singgasana bangkainya. “Apa yang kamu maksud? Apa yang Raja Surga lakukan
terhadap kamu? Dan siapakah yang menjerat kamu?”
Zainurma menyingkap semuanya. Mulai dari
pelariannya, kegagalannya untuk merdeka dari tanggung jawabnya, hingga
terkurung kembali dalam kekang yang jauh lebih berdaya. Nama Tertinggi Neraka,
untuk pertama kali dalam keabadian yang tiada akhir, benar-benar terluka.
“Datanglah padaku untuk apa pun. Tetapi apa
yang bisa aku lakukan untuk kamu?” tanya Barkiyal prihatin. “Dan seumur
hidupku, tidak pernah kusangka demikian adanya keinginan Raja Surga. Aku tiada
menampiknya, tetapi tiada pula menerimanya selama Yang Mahabenar tidak
disertakan olehnya.” Dia menghancurkan jemari tangan kanannya sendiri akibat
kemarahan, tetapi membiak kembali dalam sekejap.
“Tapi kita tidak perlu begini lebih lama
lagi,” ujar Zainurma, penuh keyakinan dan pengharapan. “Aku telah menemukan ...
salah satu kunci bagi kita.”
Barkiyal terpaku. Kelima mata di wajahnya
terbuka lebar penanda perhatian penuh. Tak lama kemudian, kedua sudut bibirnya
menggapai telinga. Sejenak, dia memandang khusyuk pada angkasa berliput kabut
darah dan hujan panah pijar.
“Sayangnya, ini tak sebahagia yang kauduga,”
sesal Zainurma. “Sebab Dia adalah—“
Kalimat sang Kurator takkan pernah dipungkas.
Dari tanah di bawah pijakannya, sulur-sulur logam mencuat ke atas. Mulai
membelit pergelangan kakinya erat-erat, lalu bergulir hingga ke sekujur tubuhnya.
Kala dia coba berteriak, seutas kawat menghantam mulutnya. Mengoyak
kesadarannya dengan mengerikan. Nahas dia tak mati.
“Nak!” Barkiyal bangkit dari kursi takhta,
bermaksud menolong.
Sesuatu yang melilit Zainurma makin erat dan
berkobar. Sang Kurator berkesah, berusaha membebaskan diri dengan sisa
kekuatannya, namun percuma. Mantel bulunya tersulut api, yang berikutnya
membungkus raganya. Kulitnya mulai membuih, sebelah matanya leleh, dan jelas
hidupnya di ambang batas. Rasanya bagaikan matahari mencair dan ditumpahkan
dari atas kepalanya. Dalam penderitaan itu, dia menitikkan air mata darah.
“To
...”
“...
long.”
Zainurma pun meledak, seiring kecamuk nyala
panas yang menggila. Para pengawal berdatangan, demi menyaksikan kebakaran
hebat yang tidak biasa. Namun, sedikit demi sedikit api di tengah ruang takhta
padam. Beralih debu berkilauan yang bergulung-gulung menuju ke atas. Sedangkan
pekikan terakhir sang Kurator menyebar sampai ke seluruh penjuru dalam bentuk
gema. Para iblis tak kuasa mendengarnya sehingga mereka jatuh terpuruk.
Sementara itu, Nama Tertinggi Neraka tidak
henti-hentinya mendaraskan doa perkabungan bagi kawannya, dan sekaligus puji
syukur atas berita kembalinya sang Penyelamat.
Mahabenar
tidak pernah hengkang dari janji-Nya.
[?]
maaf baru bisa komentar sekarang...mumpung belum mulai menulis untuk babak selanjutnya.
BalasHapusAs usual, istimewa dengan diksi yang nggak biasa buat sebuah entry pertarungan. Tai saya nggak maslaah dengan itu, memang ciri khasnya Ahran ukan, dan writing style itu suda seperti sebuah signature. tadinya saya ikir itu juga akan berlaku ketika menulis Odin, ternyata saat penggambaran masa lalu Odin diksinya agak berubah seperti sederhana, meski surealisnya masih terasa.
yang mengejutkan, mungkin karena sya alama nggak baca entry Asher, adalah character development Asher yang mulai menyasar ke arah antagonis... rasanya pemuda ini beralih jadi "jahat" ya, tapi saya suka ke-abu-abuan itu. Dan serasa kelihatan banget maskulinitasnya si Asher. Menarik... dan canon yang disediakan ke depan juga menarik.
battle royale 4 arahnya bakalan seru ini...
regards,
Rakai A
OC Shade