oleh: Aesop Leuvea
--
EMPAT
Falanthring
Shishira, 116. Maagha, 4. Periode warna panas
S
|
elira diselipkan dukun-dukun Cag'pápásu menggunakan darah cerpelai suci; pada pipi merahmu yang kuciumi semalaman-sesiangan (selamanya kalau perlu), adalah berkah sebuah perlawanan bintang-bintang tak tahu terang~.
Di tepi sebuah danau besar, yang berada di ujung air terjun berwarna-warni, sekumpulan Nirmanuth pendosa menyanyikan kidung-komedi wajib. Pengantar prosesi pernikahan. Dalam balutan celana daun, topi bulu, dan coretan simbol-simbol Penjaga khusus di sekujur keabstrakan tubuh, semua laki-laki dan perempuannya saling bergandengan.
Mereka bergerak. Memanjangkan bayang-bayang api unggun yang membara di tengah-tengah. Berbahagia yang tertawa-tawa dalam tarian berpola berbaris-baris—kadang serapi kolom-kolom catatan leluhur tentang jumlah semesta lain di luar sana, kadang kacau seperti riak yang dihasilkan badai di atas permukaan Danau Falan.
Terbang bersama asap sebam di atas ladang—ketika penguntit kebebasan memanen para penyunting realitas yang berhati-hati—dekat menara bata sang Kekasih. Aku di bawah jendelamu bersama kerikil itu. O-o-o, cinta tidak mewakili warna apa pun~!
Wahai Penjaga Yunalu yang menjaga umur kita, dan tanah cair milik Air Terjun Nél-Thring, ciptakan detik yang merestui abadinya penyatuan ini~.
Tapi, dua puluh dua purnama kecil pada langit berbintang yang seolah mendekat, meluas, dan tersenyum khusus untuk malam ini saja, tidak hanya menyaksikan nyanyian-kesenangan-lepas dari perayaan pernikahan tersebut. Karena dekat dengan lingkaran euforia itu, bersinarlah dalam ketemaraman sebuah pertempuran hidup-mati.
Para Nirmanuth penganut hukum-hukum kuno, meneriakkan kata-kata penolakan atas pernikahan yang sedang dilangsungkan. Pernikahan antara salah satu spirit Penjaga yang terjebak dalam kefanaan inkarnasinya, dengan Nirmanuth-perempuan berstatus jelata.
Ratusan anak panah, siulan-siulan ayunan kapak, ledakan penahan, kor erangan bergema dari gugurnya lebih banyak Nirmanuth di kedua kubu, serta gemuruh tak berkesudahan Air Terjun Nél-Thring ketika menghantam permukaan Danau Falan, semuanya melebur dalam nyanyian penyatuan yang seolah benar-benar terisolasi dan terfokus—tidak dengan apa pun selain puncak pengesahan janji suci.
Enam matahari berbentuk sabit sudah menghiasi langit barat Falanthring, ketika semuanya selesai.
Prosesi pernikahan sukses dilaksanakan. Kubu Nirmanuth yang menolak terjadinya hal tersebut, seluruh jasadnya berhamburan. Tertumpuk bersama seluruh jasad Nirmanuth penahan di luar lingkaran sisa api unggun.
Semua gugur. Hanya dua pengantin yang masih berdiri.
Si laki-laki menyeka air mata istrinya, memeluknya, kemudian mengecup pipi, hidung, bibir, dan matanya. Membuatnya semakin marah, terisak, dan tersipu. Sementara di hadapan mereka, di belakang timbunan tubuh abstrak tak berjiwa, air terjun yang biasanya memendarkan banyak warna—menjadikan pantulan semesta pada permukaan danau di bawahnya secantik surga-surga Penjaga, kini berubah menjadi hitam.
Konsekuensi dari pernikahan terlarang ini. Penyatuan yang seharusnya tidak terjadi.
Awal di mana warna-warna menghilang dari Falanthring.
Semua itu seketika terekam, diberhentikan tanpa peringatan, lantas dicuri. Diubah menjadi sebuah memorial. Satu dari yang tak terhitung. Tersimpan kekal di sana. Museum Semesta.
[ Falanthring. Lukisan – Menghilangnya Warna ]
Sandhi Vanantara
Eon kedua, tahun para raja api, bulan Ashura, 4663 – 4973
E
|
dafologi dalam sosiologi, pada suatu metafora, menciptakan keselarasan prematur. Karena pernah ada—dan seharusnya bisa selalu ada—suatu kehidupan sangat sial di semesta yang sangat beruntung. Kehidupan yang digerakkan oleh kecemburuan setiap penghuninya. Bhurloqué, atau sebutan untuk Brahmavala berstrata bawah, membenci para Swarloqué, Brahmavala berstrata atas, dan sebaliknya.
Si Kaya dan si Miskin yang sebenarnya saling membutuhkan; sebagai satu bentuk persaudaraan setanah-air Sandhi Vanantara, malah mati-matian saling menjatuhkan. Keduanya terpecah sekaligus bersatu sejak pembagian derajat hidup diberlakukan. Terjebak dalam ilusi-takdir peperangan abadi.
Sampai akhirnya, di suatu malam bersalju yang menandakan pergantian tahun Dewi Kesuburan dengan Dewi Kematian, lahirlah sesosok Brahmavala putri sebagai anak tunggal dari salah satu kerajaan Swarloqué utara. Dewi Chandika namanya, atau sang Harapan.
Berkat kelahiran itu, Sandhi Vanantara mendapat kesempatan untuk menulis ulang takdir kehidupan penghuninya.
Chandika tumbuh besar menjadi putri sempurna. Sangat cantik, bijaksana, dan pandai. Ia merupakan Brahmavala Swarloqué pertama—sejak planet Sandhi Vanantara tercipta dari kumpulan mayat-mayat benda langit, kemudian Yang Mulia Mahadewi Pitaloka melahirkan segenap penghuninya sendirian—yang diperbolehkan berjalan di kawasan Bhurloqué ekstrem.
Kenapa semua penghuni Sandhi Vanantara sampai bisa menyukai Chandika? Ada yang mengatakan, semua itu karena senyumnya, irama tawanya. Atau karena caranya bergerak; berjalan sangat anggun, sampai berlarian seperti petani ceroboh. Atau karena semangat keberadaannya, caranya mengatakan sesuatu, ekspresi kesalnya yang lucu, dan kepolosan serta rasa ingin tahunya terhadap hal-hal paling sepele.
Atau mungkin ..., karena Chandika selalu menerima semua hal di sekitarnya tanpa harus terjerumus dalam jurang penilaian yang mengotak-ngotakkan perbedaan secara mendarah daging.
Suatu berkah, sifat alien, dan sangat memukau bagi semesta ini.
Pada usia remajanya yang keseratus dua puluh, Chandika akhirnya dinobatkan sebagai Ratu dari kedua golongan. Ia merencanakan banyak hal untuk Sandhi Vanantara di masa depan. Misalnya, penggabungan kawasan pulau harta warisan Yang Mulia Mahadewi Pitaloka—yang mendasari definisi kaya dan miskin semua Brahmavala. Penciptaan satu golongan baru yang bersatu: Bhuvarloqué. Dan akulturasi, kebebasan penyebaran agama lengkap dengan hak untuk menganutnya, serta politik beserta hukum monarki yang dipersehat.
Beberapa dasawarsa kemudian, hari itu pun tiba. Setiap rencana Chandika telah mendapat restu dari semua pihak penting.
Penandatanganan kitab Bhuvarloqué, dan perayaan era baru Sandhi Vanantara, diselenggarakan pada pusat kompleks candi termewah di kerajaan pusat Swarloqué.
Banyak yang menangis di hari bersejarah ini. Haru-bahagia. Karena sepertinya, belum sampai satu milenium silam Swarloqué dan Bhurloqué masih panas berperang, memperebutkan pulau-pulau warisan. Kini, semua Brahmavala sudah tampak sama. Yang berbusana bagus, berdampingan dengan yang berpenampilan sederhana. Tetua saling bercengkerama—dari soal cuaca, sampai perjodohan. Sementara anak-anak mengitari mereka, bermain tanpa harus membeda-bedakan atau dibeda-bedakan.
Tapi bukan kehidupan namanya, bila mengizinkan hal-hal baik berlangsung dengan terlalu berlarut-larut.
Dari puncak candi tertinggi, setelah menyelesaikan ritual penciptaan periode baru, Chandika melambaikan tangannya sambil tersenyum lepas. Menatap ke bawah sana—dengan ekspresi bahagia yang tak terkalahkan—pada hamparan Brahmavala yang menyerukan namanya.
Lalu, Chandika tergelincir setelah melewati tiga anak tangga batu ketika hendak turun. Dan empat ratus empat puluh satu anak tangga yang tersisa menjadi saksi kejatuhannya, sebelum akhirnya pengawal kerajaan berebutan melesat untuk membantu.
Chandika telah pergi—dan takkan kembali, dalam keadaan tersenyum.
Kecantikan yang menjadi penutup perjuangannya, sekaligus awal tragedi. Karena tak lama setelah itu, Sandhi Vanantara kembali buta akan persatuan. Perang yang kali ini dibubuhi dengan sikap saling menyalahkan, berlanjut.
Meski hanya sesaat.
Peristiwa itu segera mendapat perhatian. Museum Semesta bergerak mencuri semuanya. Mengubah setiap ingatan spesifik menjadi memorial. Karya seni—seperti kebanyakan karya-karya pada alam transenden ini—yang penasaran, dan menuntut penyelesaian.
[ Sandhi Vanantara. Candi – Kematian sang Dewi ]
Hujan Gramofon di Langit Manhattan
Saat ini
"P
|
rincess Jess, sebenarnya, apa yang sedang kita lakukan di sini?" Sebentuk suara bariton renyah, dengan intonasi lembut tertata, menimpali keriuhan damai dari suara-suara yang dihasilkan sebuah hujan di sekitarnya.
"Well, bukannya kamu sedang lihat dan rasakan sendiri, Prince Hutcher, kita ini sedang menari sambil hujan-hujanan!" sahut suara enerjik yang sangat ceria—milik seorang wanita bernama Jess—yang sepertinya, juga mampu melafalkan teks proklamasi kemerdekaan Amerika Serikat dalam satu tarikan napas saja. "Gila, huh?!"
"Benar. Dan ..., Jess? Kita bahkan tidak menyukai hujan," kata Hutcherson, pria pemilik suara bariton, sambil tersenyum.
Jess tertawa. "Aneh, ya? Aneh, dong! Ha-ha. Tapi enggak apa-apa, karena beginilah hidup!"
"Hidup? Aneh dan gila? Aku setuju sama kamu, Jess."
"Bukan-bukan, Hutcher, maksudku: hidup itu lengket. Jadi, ya, kamu bakal paham sendiri nanti, hujan itu bisa bantu bersih-bersih. Enggak peduli kalau kita suka apa enggak suka sama hujan, karena itu ... itu, hemmm, itu adalah—bah, peduli amat? Aku jadi bingung sendiri!" Jess tergelak.
Hutcherson masih tersenyum. Seraya, kalau bisa, jatuh cinta semakin dalam dan dalam lagi dengan sosok wanita yang sedang menari di sebelah kanannya.
Beruntungnya, cinta jenis itu adalah jenis cinta paling agung; sangat diinginkan para kekasih dengan janji-janji berat mereka. Sialnya, cinta tak terpisahkan seperti itu juga selalu mampu menarik dua tubuh ke dalam satu pikiran—menyatukannya. Meski untuk Hutcher dan Jess, kondisi bersatunya jiwa mau pun raga tidak lagi dianggap sebagai masalah besar.
Jess ....
Ada hal lain di balik keriangan Jess saat ini. Hutcherson tahu karena level cinta dan penyatuannya. Tapi, ia tidak tahu spesifiknya; jenis monster apa yang sedang disembunyikan kekasihnya?
Monster yang bersemayam tepat di bawah tampilan permukaan bahagia, berbalut hujan, tapi jauh dari apa adanya.
Apa yang sedang kamu pikirkan?
Akhirnya Hutcherson hanya bisa menerka seperti biasa. Menyelam ke ujung kedalaman, mencoba membuka ruang-ruang terkunci di dalam pikiran keduanya yang sebenarnya telah meniadakan dimensi pemisah.
"Semua yang terjadi belakangan ini, atau lebih jauh dari itu, Jess ... terutama, soal orang tuamu, aku—"
"Hutcher, sssh! Hujan pasti sudah merembes masuk ke dalam kepala kamu. Bikin otak kamu banjir."
"Jess—"
"Hutcccherrr!" Jess memotong, mengejek, menirukan gaya salah satu tokoh komik Jepang. Adegan di mana ia dan tokoh satunya saling memanggil nama sebelum beradu serangan di sebuah air terjun.
Hutcherson tertawa pelan.
"Nah. Gitu, dong," kata Jess, lembut. "Ketawa, oke? Jangan terlalu khawatir. Jangan bikin aku makin sayang sama kamu!"
Maka, sudah sewajarnya, Hutcherson takkan pernah berhenti mengkhawatirkan Jess.
Perbincangan pun dititiki senyum yang menyiratkan pengertian masing-masing. Dilanjutkan dengan tarian bisu keduanya; terus bergerak anggun-riang-gereget-sendu meski tanpa irama yang jelas. Sementara di sekitar mereka, Manhattan masih saja diselimuti hujan.
Langit menjadi seperti kapas tanpa noda yang membekap hawa dingin metropolis di bawahnya. Tetes demi tetes air bergerak berkelompok mengikuti angin beku di pertengahan Desember—musim dingin akan segera tiba.
Di jalan-jalan utama yang sempurna infrastrukturnya, di sepanjang trotoar, payung-payung bening, berwarna, atau mantel-mantel tebal, menjadi lautan unik tersendiri. Bergerak, berombak-ombak, dalam satu arah kehidupan bermakna tapi nyaris selalu dijajaki oleh tubuh-tubuh kosong yang hanya hidup semata untuk hidup.
Pundak-pundak beragam jenis manusia saling bersinggungan ketika mereka melintasi garis-garis penyeberangan, beringsut ke dalam kedai-kedai kopi yang mengepul, atau tergesa-gesa memasuki gedung-gedung perkantoran.
Ketukan lirih yang diciptakan aliran air; gaung perbincangan penduduk seisi kota yang teredam oleh setiap kandungan rahasia dan filosofinya; klakson kendaraan di jalan raya; mesin-mesin yang menggeram dengan lembut; jari-jari yang menekan tuts demi tuts komputer di balik jendela-jendela kaca berembun; sampai nyanyian geladi bersih amatir dari band garasi yang tidak terlalu terkenal bahkan di kalangan para hipster setempat—berasal dari toko roti khusus vegetarian, terletak di daerah terkumuh di timur Lower Manhattan.
Semua hal itu, sekelumit dari keutuhan rutinitas selama dua puluh empat jam tanpa tidur: kota sibuk ini seolah tanpa lelah memakan semua kepenatan kemarin, hanya untuk tetap bisa berjalan paling depan di hari ini, kemudian secara tak sadar memuntahkan semua pelampiasan dunia bebasnya di malam hari, dan memulai lagi menggunakan proses yang sama keesokan harinya.
Hutcherson dan Jess menari tepat di tengah-tengah normalnya kegilaan itu. Dan curahan hujan terus membasahi, mengiringi, setiap pergerakannya. Sebuah kombinasi langkah-langkah ringan, angin, dan air, secara perlahan juga mengikis substansi random dari varian gula-gula lengket yang aroma manisnya nyaris memabukkan—menempel di setiap senti keberadaan mereka.
Oleh-oleh dari Alam Mimpi.
Beberapa saat lalu, masih dalam keadaan sekarat akibat pertarungan sengit di ronde sebelumnya, Hutcherson dan Jess dipindahkan ke sebuah lautan karamel yang tak memiliki batas. Ombak-ombaknya mengental, harum, seolah diperlambat, dan kadang naik sangat tinggi sampai berkesan bercampur-menyentuh lapisan langit bernuansa krayon yang kenyal—secara tekstur visual—seperti puding-puding Natal.
Terlalu gila untuk merasa ganjil, Hutcherson dan Jess dengan cepat mengabaikan panorama sekeliling. Memusatkan sisa tenaga pada pegangan mereka terhadap satu pelampung berbentuk donat.
Di sana, Ratu Huban lantas muncul dan menyambut tidak hanya mereka berdua, tapi masing-masing enam belas Reverier yang tersisa. Lalu di sana pula, segala ketentuan tentang berlanjutnya turnamen penciptaan karya ini diberitakan (awal-awal soal fungsi tambahan domba putih, yang katanya mulai bisa diubah menjadi apa saja).
Arena pertempuran di ronde ketiga akan diselenggarakan di Museum Semesta. Reveriers nantinya akan mendapat kebebasan mutlak untuk, semampunya, menjelajahi luas tempat transenden itu; entah demi mengintip ruangan yang dipenuhi harta karun impian makhluk-makhluk rakus, menguak tirai panduan ilmu pengetahuan kolektif seputar cara mewujudkan cita-cita, dan banyak lagi—karena sesungguhnya, di tempat itu, tak terkira jumlahnya sudut-sudut kebijaksanaan serta ingatan-ingatan bersejarah dari semua eksistensi milik seantero milyaran-semesta. Mahakarya-mahakarya yang takkan pernah pudar meski berada di tempat paling mati sekalipun.
Setelah semua penjelasan disampaikan, dan berjanji akan menulis memo berisi nama lawan yang harus dihadapi di ronde ini, Ratu Huban mengirim Hutcherson dan Jess beserta semua Reverier ke Bingkai Mimpi masing-masing.
Di sinilah sepasang kekasih itu berada sekarang. Bingkai Mimpi: Amerika Serikat, New York, Manhattan. Kembali lagi tepat di belakang halaman rumah keluarga Romanoff yang terlampau familier dengan taman-taman bernuansa cerianya.
Dan meskipun sekujur tubuh dipenuhi gula, keduanya termaterialisasi—setelah melewati fase teleportasi Ratu Huban yang singkat-memusingkan—dalam keadaan pulih total dari semua luka yang diderita tubuh mereka.
Menarilah Hutcherson dan Jess di tengah hujan; atas usul sekenanya dari Jess.
Sampai sekarang, mereka berdua masih menari sambil menunggu memo yang dijanjikan. Pantulan setiap gerakannya tercetak dengan sangat jelas, mengalir sebagaimana mestinya, dan anehnya, mengharukan.
Sesosok manusia berwujud ganjil—setengah laki-laki, setengah wanita. Keduanya mengenakan masing-masing setengah busana indah yang sudah compang-camping. Keduanya tertawa, berkomentar singkat, secara bergantian, menggunakan mulut yang sama.
Setiap genangan air dan jendela kaca yang ada di dekat halaman merefleksikan gambaran itu. Hutcherson dan Jess, sepasang kekasih yang terjebak dalam satu tubuh.
Pemandangan menyenangkan. Disaksikan seekor domba putih yang sedang duduk manis di serambi sambil memegang—di antara tanduk berulir mungilnya—nampan berisi kue kering dan susu cokelat-stroberi. Lalu, ada pula sepasang mata jenaka nan misterius milik seorang gadis berbusana keren-eksentrik, mengintip dengan sangat intens lewat celah gorden di lantai dua rumah bergaya klasik tersebut. Dan terakhir, pengawasan ajaib dari kucing aneh berwarna biru, serta memiliki sayap, berdiri di puncak atap dengan sangat fabulous-nya sambil berpose memainkan aliran hujan yang ajaibnya bisa ia manipulasi.
Mereka semua menantikan permulaan ronde ini.
Sementara itu, nyaris kentara seperti seseorang mematikan keran dengan tiba-tiba, tetesan air dari langit menjadi semakin berjarak dan berjarak sampai akhirnya mereda. Kapas putih di angkasa Manhattan terpecah menjadi awan-awan besar yang bergerak malas. Berbaris-baris cahaya matahari pagi langsung menerobos melewati setiap celahnya—menyinari bagian atas gedung-gedung raksasa yang berkilauan.
Dan segera setelahnya, tanpa aba-aba, Manhattan beserta wilayah dan pulau di sekitarnya dipenuhi oleh jutaan nyanyian misterius yang berasal dari jutaan meteor kecil berbentuk semacam gramofon. Benda-benda itu berjatuhan dari langit—lalu mengambang seperti satelit—menggantikan hujan sewajarnya.
Kegaduhan tersebut seketika menghentikan tarian Hutcherson dan Jess. Mereka menengadah, bersama penghuni rumah keluarga Romanoff lainnya, dengan sikap sempurna.
Siaga.
"Ini, nih!" seru Jess, girang. "Ya, kan?"
Hutcherson mengangguk sambil terus mengamati. Gramofon demi gramofon terus memainkan macam-macam jenis musik. Random, penuh emosi, dan artistik.
Dan ternyata, tidak berhenti sampai situ. Karena anomali-mendadak juga mengacak warna langit, pergerakan daratan, gravitasi, elemen-elemen, dan semua jenis hukum yang hanya diketahui kehidupan-kehidupan normal.
Mengubah semua tatanan semestinya, menjadi sebuah kerajaan alien dalam satu gelombang kejut di detik yang sama.
Jess berteriak penuh semangat ketika daratan dan langit seolah bergerak liar, saling bercumbu seperti sepasang kekasih muda. Sementara Hutcherson segera memegangi bagian tubuh sebelah kanannya, dengan cara seseorang memeluk erat cinta matinya. Dan domba putih di serambi, lalu si gadis pengintip di lantai dua, beserta kucing biru di puncak atap, semua keberadaan yang sadar akan bencana ini, otomatis meledak mengekspresikan hebohnya kewaspadaan dipenuhi campuran rasa takut dan takjub.
Manhattan, tidak, seisi benua Amerika tampaknya sedang mengalami pergolakan yang sama.
Gearmist Stronghold
23 Old-March 1502. Euforia Royalgear World Cup ke-808
T
|
hump! Clank! Clank! Clank!
Drrrddded! Drrrdddud! Drrrdddad!
Clonk-clunk! Drrrdddid! Fhwooost! BOOOM!
Gemuruh suara tiruan dari proses modifikasi kereta balap, yang dihasilkan mulut seorang gadis jelita bernama Cassandra. Wrrrh! Ouch! Buuurn! Dengan sangat bersemangat ia mengitari semua bengkel, memiringkan kepala, menggerak-gerakkan telinga menangkap setiap bentuk bunyi, tersenyum sangat lebar, kemudian menjerit:
Dumdum! Pomppphpomp!
"Apa yang sedang gadis itu lakukan? Padahal dia peri, demi Korrupile! Kudengar mereka pintar. Apa dia gila?" tanya pembalap muda bernama Quimtray Cabbage, pada montir berotot berwajah tengil.
"Pendatang dari kota kecil di barat ...? Dying Farm, ya ampun! Ini bakal bersejarah!" dengus si montir berotot seusai membaca kartu keterangan partisipan milik Quim, susunan gigi kuningnya bergesekan licin ketika setelahnya ia menggeramkan sebentuk tawa. "Dengar, Nak," lanjutnya, "pulang saja dan isap puting mamalia milik ibu temanmu, atau apa pun terserah. Setidaknya tumbuhkan lagi beberapa helai kumis sebelum menginjakkan cakarmu di sini. Karena, kautahu? Di sini berandal-berandal desa biasanya langsung mati saat peluit ketiga dibunyikan."
"Oh, masa? Paman benar-benar enggak nyambung dan sangat, sangat, meremehkanku!" Quim tersenyum. Ia balik badan dengan dagu terangkat, menginjak oli sisa, kemudian jatuh ke dalam tong berisi sampah-sampah pelat baja.
Si montir seketika memproduksi tawa paling menggelegar.
Tapi Quim pulih dengan cepat. Ia ikut tertawa, bangkit, kemudian berjalan dengan bangga. Sambil, dalam hatinya, masih penasaran dengan gadis—bernama Cassandra—yang kerjanya hanya berkeliling bengkel menirukan suara-suara uap, mesin kasar, atau pergerakan roda gigi.
"Awas, dong, pengerat tolol! Kring! Kring! Itu artinya minggir!" Campuran suara gadis yang mengumpat dan bel sepeda terdengar mendesak di balik punggung Quim.
"Ah, maaf!" seru si pembalap muda, lalu menyingkir. "Silakan lewat, oh—demi Korrupile! Jangan ke sana, hey!"
Si pesepeda, gadis kembar bernama Cindy dan Lucille, dengan wajah paling cuek dan datar yang pernah Quim lihat, mengendarai sepedanya menuju pintu tungku besar penuh bara di salah satu sudut bengkel.
"Apa peri kota memang aneh-aneh seperti ini?!" Quim menggumam frustrasi sambil berlari, sia-sia berusaha menghentikan laju sepeda si kembar.
Ia tahu ia tidak akan sempat. Dan detik selanjutnya, ketika ia sudah menyiapkan ekspresi horor untuk menyeimbangi pemandangan gadis kembar yang terbakar di dalam tungku bersama sepeda konyolnya, hal itu ternyata tidak terjadi.
Keberuntungan. Sebuah tiang besi, pipih dan besar, jatuh dari rangkaiannya di atas sana, lalu mendarat dengan mulus dalam posisi diagonal di antara lantai kusam sampai ke puncak tungku. Si kembar mengayuh sepedanya melewati jembatan dadakan itu, dan terus berjalan mengelilingi kerangka besi di langit-langit.
KRRRHHHT! THROOOB!
Quim terlonjak. Tiba-tiba saja Cassandra berteriak tepat di depan lubang telinga kirinya.
"Korrupile dan keju! Apa-apaan—oh, kau?!"
"Tuh, benar!" pekik Cassandra, girang dan kagum. "Hey, Cindy! Hey, Lu! Turun ke sini cepat! Dia bisa lihat aku—mungkin kalian juga! Oh-oh! Akhirnya hari ini tiba! Frrrth! Tang-tang-tang! Yang Terpilih sudah hadir di antara kita!"
Cindy dan Lucille turun dari langit-langit, cuek dan selamat. Lalu, kejadian-kejadian setelahnya berlangsung dengan sangat cepat, seperti mimpi yang sangat mendadak tapi juga sangat indah, entah itu bagi Quimtray Cabbage sang pembalap muda yang berasal dari desa Dying Farm, Cassandra si peniru suara, dan si kembar pesepeda.
Mereka langsung berteman dekat dengan cara yang khusus. Saling bercerita, dan pada akhirnya sepakat saling membantu.
Pertama, Quim menginginkan piala Royalgear World Cup untuk dipersembahkan pada ibundanya tercinta. Tiga peri setuju membantu. Sebagai gantinya, ketiga peri hanya ingin terus ditemukan dan ditemukan dengan lebih banyak kehidupan lagi—karena mereka sebenarnya hanya arwah peri yang penasaran; terbunuh di Royalgear Stadium ini beberapa ratus tahun silam, tepatnya pada insiden paling bersejarah dalam pertikaian kelompok rasial The Invulnerable dengan kaum peri.
"Aku janji," kata Quim, "kalian bakal punya banyak teman. Kalau enggak di sini, ya di kampung halamanku nanti. Kenalanku banyak."
Maka tak lama setelah itu, dimulailah tradisi balapan legendaris Royalgear World Cup di Royalgear Stadium ini. Balapan yang diikuti oleh tiap jenis The Invulnerable dari berbagai sudut planet Gearmist Stronghold.
Sekitar seribuan kereta-kereta keren berjajar di garis start, siap menaklukkan arena yang terdiri dari jutaan rel, memiliki rute acak, dan rintangan mematikan.
Quim merupakan peserta terakhir. Keretanya paling kecil dan menyedihkan, diposisikan di sisi paling kiri barisan. Penonton tertawa mengejek, beberapa mengasihani. Ia langsung jadi pusat perhatian. Bukan hanya dikarenakan kondisi kereta payahnya, tapi fakta mencengangkan bahwa ia berpartisipasi sendirian, tanpa ditemani satu pun mekanik—hal yang membuat ketiga peri sedih, karena sebenarnya mereka selalu bersama si pembalap muda.
Peluit pertama dibunyikan, langsung diiringi euforia para penonton, dan seribuan mesin-mesin beroda gigi dari tiap kereta yang bergemeretak ketika dijalankan. Uap beragam warna mendesis ke udara dari variasi cerobong.
Melewati garis toleransi untuk menggunakan persenjataan, dentuman meriam dan macam-macam peledak bersahut-sahutan. Sebagian kereta tumbang.
Tidak ada lagi yang memedulikan kereta-lelucon Quim di tengah kehebohan tersebut. Sampai akhirnya balapan selesai—dan penyelesaian ini seketika tercatat dalam sejarah—barulah mereka kembali menyimak baik-baik, dalam keheningan yang pekat, kereta kecil nan menyedihkan itu.
Quim bersorak gembira di garis finis. Keretanya melewati batas penentu pemenang di peluit ketiga atau dalam periode setengah jam. Rekor tercepat—dan mustahil.
Kemenangan yang kontroversial, tapi tetaplah kemenangan. Quim sedang mengangkat pialanya ketika komite khusus menyuarakan protes-tuduhan yang memiliki bukti. Di layar terbesar Royalgear Stadium, diputar ulang dalam keadaan super lambat, momen demi momen pergerakan si kereta kecil. Di sana terlihat meski samar dan sekali-sekali, penampakan tiga peri.
Dalam satu tarikan napas, seisi Royalgear Stadium mengamuk sejadi-jadinya seperti kehilangan akal. Quim tahu, ia curang, dan menggunakan bubuk peri pada keretanya. Tapi skala amarah ini tidak pantas diterimanya. Ia diturunkan dengan sangat kasar dari podium, bersiap untuk digantung, lalu selesai.
Gearmist Stronghold seolah membeku dalam momen itu. Tanpa terduga, tanpa penjelasan lebih jauh tentang tercampurnya dendam masa lalu ke dalam keputusan eksekusi Quimtray Cabbage. Museum Semesta telah menyelesaikan proses penyimpanan satu lagi karya memorialnya.
[ Gearmist Stronghold. Menara Cerobong – Kemenangan Underdog ]
Lord Ulric
Tahun 1453 - 1485, paruh akhir musim panas – titik balik musim dingin
E
|
ra kegelapan. Ashmorthen merupakan nama dari seekor naga raksasa. Diambil dari perbendaharaan kata bahasa-ibu para keturunan awal Son of Moon, yang berarti sang Malam.
Bersama para pengikutnya, Ashmorthen telah menghancurkan Asia di awal abad ke-11, Amerika di awal abad ke-12, dan Eropa di awal abad ke-13.
Bangsa manusia hampir punah seutuhnya, dan sedikit yang tersisa kini terpojok menantikan kematian di pedalaman Afrika. Berlindung di sebuah kota bawah tanah bernama Lord Ulric—diambil langsung dari nama sesosok kesatria, pahlawan sekaligus harapan terbesar umat manusia, legenda hidup, tokoh yang memiliki peranan terbesar dalam misi penyelamatan sisa-sisa kehidupan di bumi.
Meskipun, Lord Ulric sendiri sangat jarang terlihat di kota bawah tanah itu.
Karena Ulric, bersama para Crusadiand—persatuan pejuang-pejuang yang masih percaya bahwa perlawanan bisa dimenangkan, bahwa seperti malam, Ashmorthen pun bisa dibinasakan—terlalu sibuk bepergian. Mengumpulkan dari puing-puing dunia, berbagai informasi, persenjataan, dan manusia-manusia sekarat yang menunggu untuk dievakuasi.
Dari tahun-tahun perjalanannya itu, Ulric berhasil menemukan fenomena sihir tersembunyi yang terhampar di antara dua samudra Pasifik dan Hindia. Kompleks sarkofagus raksasa di timur Yunani; hasil dedikasi para kesatria Son of Sun untuk para leluhur mereka. Padang rumput luas di Islandia, tanpa kehidupan sama sekali, tapi anginnya mampu menceritakan ratusan folklor seputar dunia orisinal. Dan yang terpenting, penemuan perkamen lama berisi catatan sejarah penciptaan bumi paralel di perbatasan Israel-Palestina. Perjuangan para keturunan Son of Moon, serta pengkhianatan keturunan Son of Star.
Dari catatan itu, diketahuilah satu-satunya kelemahan Ashmorthen. Karena ternyata, dulu, ketika dunia belum terbagi, para pengkhianat juga memanfaatkan sang naga raksasa demi meluluskan rencana utama mereka—penghancuran total.
Dan selayaknya malam, juga mungkin setiap kehidupan, kelemahan Ashmorthen adalah putaran waktu. Jebakan paling kuat yang pernah tercipta.
Menggunakan mantra penutup spesial, seseorang nantinya harus memerangkap naga itu di dalam tubuhnya sendiri, lantas gugur bersamanya.
Ulric segera mengajukan diri sebagai orang itu. Dan dimulailah gerakan-gerakan yang menyerukan serangan balik bangsa manusia. Wilayah para naga satu per satu diberantas dengan berani. Semakin banyak yang tumbang, semakin dekat mereka dengan sang Malam.
Hingga finalnya, pertemuan tak terelakkan Ashmorthen dan sisa pejuang Crusadiand terjadi tepat di atas kota bawah tanah Lord Ulric.
Pertempuran besar tumpah menjadi kehancuran yang menembus permukaan bumi. Merambat pada setiap sudut kota bawah tanah. Menghabisi semua yang telah susah payah dipertahankan selama ini.
Ulric terlambat.
Meski pada akhirnya, sang Malam berhasil dipenjarakan di dalam tubuh tuanya, hal itu tampak sia-sia. Karena, tidak ada lagi potensi umat manusia untuk meneruskan kehidupan di bumi.
Inilah ujungnya. Mau tak mau.
Maka, mengetahui itu, Ulric bersama segelintir Crusadiand yang masih bernapas meski satu-satu, mengangkat pedang mereka dengan penuh kebanggaan. Menyulut cahaya yang tak berkandela, tapi tetap benderang di titik terdalam dan terisolasi. Seolah harga diri setiap bangsa manusia tertoreh di sisi-sisi tajamnya—karena bagaimana pun, mereka telah berusaha. Kalah secara terhormat.
Ulric tersenyum untuk terakhir kalinya, dan dalam satu ayunan ke belakang yang pergerakannya diikuti oleh pejuang lain, setiap bilah bergerak menembus tubuh tuannya masing-masing.
Dalam kesunyian, dari kejauhan, Museum Semesta merekam itu semua.
Menariknya perlahan, melintasi warna semesta-semesta asing yang saling berbisik dalam bahasa-bahasa cemas dan bingung, sebagai memorial.
[ Lord Ulric. Zirah – Parade Bunuh Diri ]
Perpisahan dan Selamat Datang
Saat ini
M
|
enengahi atmosfer pagi menjelang siang, tidak seperti biasanya, keadaan langit di atas rumah Namol Nihilo hampir bisa dibilang normal. Arsipelago dari sebentuk sisa-sisa awan hujan—dipenuhi warna-warna tumpul antara ungu, abu-abu, dan cokelat tua—mengambang stabil di antara spasi-spasi warna biru terang yang biasanya tak pernah gagal menjanjikan hari-hari cerah.
"Apa aku sudah cukup bersih?" Namol bertanya tidak pada siapa-siapa, karena saat ini ia sedang berdiri sendirian di taman logam ibunya. Sosok yang tampak seperti laki-laki tinggi, berkulit gelap, bermata merah, dan berambut oranye itu basah kuyup setelah hujan-hujanan barusan. "Pasti belum," sambungnya, putus asa. "Tapi ... sudahlah. Gula-gula siala—"
"Namol?"
"Oh, y-y-ya?" Kaget, Namol menoleh cepat dan ceroboh ke arah si penanya. Lalu ia tergelincir di antara rumput basah, terjungkal.
Dari sudut pandangnya yang terbalik, terlihat di depan pintu masuk utama, peri kecil berambut jabrik berhenti di udara sambil menyunggingkan senyum sendu.
Selama hampir satu menit penuh, keduanya hanya bertatapan. Namol dengan kekikukannya; si peri kecil bernama Puppis dengan ekspresi asingnya.
Puppis enggak pernah setenang ini! Jadi benar ... dia ...? Enggak ... kumohon.
"Kau, ng ..., kau sudah cukup bersih," kata Puppis malu-malu.
Salah tingkah setelah mati gaya, Namol hanya bisa merespons pernyataan si peri dengan memberikan seringai paling jelek, sambil kedua tangan meraba-raba setiap bagian tubuh yang bisa tersentuh. "Ya," gumamnya, "kurasa, aku bersih. Gula-gula lengket dari tempat Ratu Huban kayaknya sudah hilang. Hm, kebawa hujan. Heb—"
"Namol?" Puppis memotong.
"Ya ...?"
"Aku ..., dan Heppow, ingin membicarakan sesuatu. Di dalam?" Puppis memperlebar senyum sendunya.
Enggak ... jangan. Kumohon jangan bahas apa-apa ....
"Bahas sesuatu? Di dalam? O-oke, tentu!"
Puppis membungkuk memberi hormat, lantas masuk duluan lewat celah pada pintu yang hanya dibuka sedikit. Tapi cukup, setidaknya, bagi Namol untuk melihat sebagian warna merah muda dari kulit cacing raksasanya—Heppow.
Dari tadi, peri dan cacing itu sudah menunggu dirinya di koridor depan. Bahkan ketika Namol masih berada di tempatnya Ratu Huban (dikumpulkan bersama Reverier lain, diberikan pemberitahuan seputar ketentuan pembuatan karya selanjutnya).
Pelan, takut-takut, dan merasa sangat bodoh, Namol beringsut masuk. Ia luangkan sebanyak mungkin waktu untuk menutup dan mengunci pintu, sebelum akhirnya berbalik menghadap kedua partnernya yang terpaku dengan ketenangan janggal di sudut koridor.
Harusnya, Puppis sudah marah-marah sekarang, karena banyak banget yang bisa dimarahin sama dia setelah insiden terakhir. Dan Heppow, dia harusnya lagi heboh, terlalu senang, sambil berantakin barang-barang ....
"Ja-jadi, mau bahas apa?" Namol memaksakan sebentuk senyum asimetris, sementara mata merahnya mulai berkaca-kaca, dan tenggorokannya seolah tersumpal. Ia tahu apa yang akan dibahas oleh kedua partnernya. "Pasti menu makan malam!" tebaknya, serak dan sengaja disalahkan. "Heppow, silakan makan apa saja, cermin di kamarku juga boleh! Oh? Ka-kalian menggeleng? Bukan membahas itukah? Ba-baiklah ... apakah soal kebodohanku? Iya? Tenanglah! Aku bakalan lebih sering baca buku dan mengganti—seprai? Dan—"
"Izinkan kami pergi," Puppis berujar lembut, dengan ekspresi ketegaran di ambang batas.
Namol jeda sejenak, mundur terbungkuk-bungkuk seolah baru saja dihantam tepat di perut, kemudian melanjutkan dengan suara pecah, keterpaksaan yang kentara, dan air mata di pipinya: "A-aku janji enggak bakal jadi beban kalian. Kalian penjaga yang terhebat! Terbaik! Aku memang enggak pantas mendapatkan kalian, tapi aku pasti berusaha. Aku—"
Puppis ikut menangis di detik ini, sementara Heppow menunduk menggunakan ekspresi dewasa yang membuat Namol semakin dicekik oleh fakta mengerikan.
Kedua partnernya—penjaganya—sudah tiada.
Dua sosok di hadapannya saat ini adalah keberadaan orisinal yang jiwanya pernah diselamatkan secara sepihak, dan demi kebaikan, ingatannya direkonstruksi. Hidup kembali sebagai entitas yang lebih bertujuan dan bermakna daripada sekadar mati. Hingga, belum lama ini, mimpi terburuk mengembalikan semua informasi masa lalu mereka.
"Namol, kami sudah mengingat semuanya," Puppis berbisik di sela isakannya, wajah perinya berantakan. "Tentang kehidupan kami—"
"Oh, kalian penjaga nomer satu!" Namol mengabaikan bisikan itu. "Harus berapa kali kubilang? Baru tadi? Ha-ha! Yang jelas, untuk mengimbangi kerennya kalian, tugasku bakal banyak banget. J-jadi kita bahas itu saja, eh—"
"—sekarang izinkan kami pergi—" ceracau Puppis.
"—pertama akan kulatih otot-ototku. Heppow tolong bantu aku nanti, oke—" ceracau Namol.
Keduanya berusaha saling memaksakan pikiran masing-masing; dengan mengutarakan keegoisan yang sedihnya sama-sama beralasan kuat.
"—lakukan itu demi kita, Namol. Karena itulah yang kita inginkan—"
"—lalu, Puppis, berhentilah memarahiku—"
"—tandai kebersamaan kita yang singkat ini, dengan dirimu menjadi sosok pengampun di akhir cerita. Biarkan kami pergi!"
Hening menyengat.
"P-pergi ...?"
"Pergi."
"Oh ... tapi ... t-tapi—setelah itu aku enggak bakal bisa jadi apa-apa lagi! Tanpa kalian ..., enggak bisa." Namol menggeleng frustrasi, sambil terus mengikuti pandangan kedua partnernya. Mata-mata familier, sekaligus tidak dikenalinya, yang menyiratkan kebebasan dan kesungguhan.
Tidak ada celah sama sekali.
Tuhan ....
Ia harus merelakannya.
Hening kembali membungkam koridor luas ini selama beberapa saat. Rasanya dingin. Atmosfer pagi yang baru disadari keberadaan kentalnya, tampak menyusupkan lebih banyak—dari ventilasi besar, jendela terbuka, atau mozaik-mozaik—angin asing yang seolah menyanyikan lagu-lagu pemakaman, dan debu-debu cahaya yang menyorot jatuh di dalam variasi lintasan agung.
"Pergilah ...," kata Namol akhirnya, sedikit lebih keras dari bisikan bergetar, tapi disampaikan seolah tanpa emosi. "Pergilah. A-aku mengizinkan kalian. Ya.
"Pergilah."
Puppis dan Heppow memberi anggukan peziarah sebagai respons. Hanya itu. Lalu, tanpa menunggu apa pun lagi, mereka balik badan. Berjalan menjauh, menyusuri panjangnya koridor. Masuk ke dalam bayangan—jarak-jarak di mana jendela tidak terpasang, sehingga pencahayaan hanya sebatas remang berjeda dari beberapa lampu di langit-langit. Keduanya terus bergerak tanpa menoleh. Sampai akhirnya mengecil, dan menghilang.
***
"P
|
ercayalah, kalau ini membuatmu menjadi jauh lebih tenang, Nak, kami berdua tadi menyimak baik-baik upacara perpisahan kalian." Dari dalam ruangan rahasia yang terpendam di balik patung konstelasi semesta asing, Messier—ayah Namol—berjalan keluar. "Perpisahan yang menyedihkan, kalau bukan tragis atau ironis. Bukan begitu, Materi Gelap-ku?"
"Tentu, Sungai Galaksi-ku. Tapi enggak semua jenis kebersamaan atau kebahagiaan dibentuk lewat sebuah kedekatan. Kalau dengan melepas, kita bisa memenuhi karakter kita sebagai sosok yang layak ditangisi, itu sudah cukup." Menyusul di belakang Messier, adalah ibunda Namol—Hubble. "Tersenyum sekarang, Namy, karena kau benar. Tersenyumlah, atau kau akan melupakan cara-caranya dan terjebak di titik itu sampai waktu yang cukup lama."
Messier tertawa renyah lalu mengecup singkat pipi istrinya. "Ah-ah, lihatlah betapa kebijakan mengaliri setiap darah-darah pejuang kuno, seperti Ibumu yang ultraseksi ini! Dan Ibumu benar, Nak, kehidupan terlalu sibuk berlari sampai-sampai tidak memusingkan partikel-partikelnya yang memilih untuk bermukim, tertinggal di belakang! Jadi sekarang, bangun dan bersinarlah, lalu lihat apa yang kubawakan untukmu. Selamat ulang tahun!"
"Ta-tapi ini bukan hari ulang tahunku," gumam Namol, setengah menggerutu. Ia bangun dari rebahnya di koridor lengang—yang masih menyisakan hawa keberadaan peri kecil dan cacing raksasa di mana-mana. "Hm. Apa ini, Yah ...?" tanyanya lalu, pada kotak berpita yang tampak mencurigakan, diulurkan ke depan wajahnya oleh Messier.
"Hadiah ulang tahunmu, Anak Cerdas," jawab ayahnya.
"Yah, a-aku, kan, enggak dilahirkan hari ini!" Namol membantah gemas sambil berusaha membuka kotaknya.
"Aku tahu, Nak. Aku tahu. Sekadar lelucon Ayah."
Hubble mendengus menginterupsi, dengan cara yang pasti menggoda. "Wah," desahnya, "tapi sangat enggak lucu sekali, ya, lawakan bapaknya?"
"Aha ... begitukah, Debu Bintang-ku?" Messier berpaling menatap istrinya. "Begitukah?"
"Grrr-haum!" ejek Hubble malahan.
Sepersekian detik kemudian, sangat tiba-tiba dan alamiah, keduanya sudah saling pukul, atau dalam definisi mereka: bercinta. Sementara Namol telah selesai mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam kotak berpita, dan itu adalah ... marionette.
"A-apa ini juga cuma lelucon Ayah?"
Marionette di tangannya tidak lebih besar dari bola American Football. Bentuk keseluruhannya seperti seorang gadis kota yang mengikuti sekali perkembangan gaya. Sangat cantik, dengan semacam porselen putih sebagai materi utamanya, dipahat tanpa cela. Gadis kota itu memiliki rambut hitam pekat, mata besar sewarna zamrud, dan bibir penuh semerah apel. Untaian tali di sekujur tubuhnya, yang terhubung pada pengendali berbentuk salib terbalik, merupakan bintang-bintang jatuh kecil.
Aura merah muda, aneh, menyenangkan sekaligus memabukkan, secara terus-menerus berpendar dari keberadaannya. Memaksa Namol untuk merasakan euforia, dan mau tak mau ..., terangsang mencintai marionette itu.
"—namanya Näbelle Étia Luciferier, atau Belle saja. Penjaga yang kuciptakan dari separuh eksistensi Maria Venessa. Lalu yang di luar sana, Nak, kunamakan itu ... masalah? Hey-hey, mau sampai kapan kau melamun jorok?" Terdengar suara Messier, meski samar-samar, seperti berasal dari ujung terowongan yang lain.
Kemudian Namol sadar dengan sendirinya. Buru-buru ia menjatuhkan si marionette bernama Belle—yang segera melayang, bergerak, meski tanpa kendali dalang, dan demi Tuhan, juga terus-menerus berkedip centil!
"Bo-boneka tali itu ... membuatku pusing!" Namol megap-megap ketakutan. Kemudian, ketika seluruh orientasinya sudah terkumpul, ia menyadarinya. "Maria Venessa ..., Yah? Boneka ini?"
Messier tersenyum, sedikit menunduk. Kacamata profesornya mengilat dramatis. "Yap. Penjagamu yang baru dan manis! Dan, Nak, apakah kau tidak tertarik untuk melihat keluar? Ibumu sudah duluan."
Memangnya ada apa di luar, adalah pertanyaan Namol yang tidak terucap. Karena dari salah satu jendela yang terbuka ia sudah melihatnya. Berdiri di taman logam, di hadapan ibunya yang bersedekap galak, semacam monster kolosal berbentuk sandwich.
"... kenapa bisa ada—oh, a-apa yang diinginkan makhluk itu?!"
"NAMOOOL NIHILOOO! SAYA MENCARI NAMOOOL NIHILOOO! ADA KIRIMAN MEMOOO KHUSUS UNTUKMU DARI SAHABAT BAIKKU, TERAMAT KUSAYANGI, RATU HUBAN! KELUARLAH, NAMOOOL NIHILOOO!"
***
E
|
stimasi analisa secara intrinsik: bentuk rotinya segitiga sama kaki yang bertangkupan, tingginya nyaris lima puluh meter. Tangannya kurus memanjang, mencuat dari pertengahan sisi tubuh, terdiri atas selada bermayones. Dua kakinya pendek, tersusun di masing-masing ujung bagian bawah, terdiri dari tumpukan ham bercampur acar. Sementara wajahnya, seluas isi permukaan segitiga lapisan depan, disusun oleh dua mata yang merupakan potongan kecil telur ceplok, dan garis mulut bersama barisan gigi berupa lelehan keju.
Monster sandwich itu berjalan dengan sangat riang-antusias di bawah langit pagi Chicago yang muram serta mulai beragam, bergerak seperti seseorang dilanda sembelit parah, ke arah Namol dan ayahnya yang baru keluar rumah.
"Perhatikan logam-logamnya, anak muda!" Hubble memperingatkan. "Hal-hal bagus tidak tumbuh secara instan! Perhatikan logam-logamnya atau kubikin garing pantat gandummu!"
Si monster sandwich, menggunakan gelagat pria terhormat yang meminta izin sambil melepas topi—padahal ia tidak pakai apa pun di ujung kepala lancipnya, tersenyum lalu berkata keras, "TENTU, NYOOONYA, TENTU. SOOOPAN SANTUN SUDAH TERMASUK STANDAR OOOPERASIOOONAL PARA KURIR SPESIAL TEMAN BAIKKU, YANG SANGAT KUPUJA, RATU HUBAN! JANGAN KHAWATIR, NYOOONYA—WOOOPS, TIDAK SENGAJA TERINJAK—SEMUA BISA MELAKUKAN KESALAHAN! OOOH, TIDAK, SATU LAGI! KUHARAP BUKAN LOOOGAM YANG PENTING, MAAF!"
Hubble membunyikan buku-buku jarinya yang terkepal. Si monster sandwich meringis, terus meminta maaf, terus berjalan ceroboh, dan terus menginjak atau mengotori logam-logam di taman dengan isi-isi rotinya.
Sementara itu di depan mereka, Messier menepuk pundak Namol. "Nak, cepat datangi si monster-piramida-yang-bergerak-seperti-kepiting-tapi-berjalan-lurus-ke-depan itu, sebelum Ibumu menjadikannya tortilla-chimichanga-enchilada."
Namol mengangguk ragu, lalu terbang pelan menghampiri si monster sandwich. Berhenti tepat di depan salah satu mata telur ceploknya.
"Ya, h-halo?" Ia mengibas-ngibaskan kedua tangan. "A-aku Namol Nihilo. Mana memonya?"
Mendengar itu, si monster sandwich langsung meneliti keberadaan Namol yang melayang di depannya. Sedetik lewat, ia mengangguk seolah meyakinkan diri sendiri. Kemudian tanpa aba-aba, ia mulai menari dan bernyanyi.
SYALALA LALA LALOOO! NAMOOOL NIHILOOO DAPAT MEMOOO~
PERGILAH DENGAN DAMAI KE MUSEUM SEMESTA~
ARENA! PERTEMPURAN! BABAK TIGA! UNTUK ANDA~
LALU HADAPI DENGAN B(E)RANI~
REVERIER BERNAMA JESS HUTCHERSOOON-I~
AFU! AFU! AFUFUFU! DAN JIKA NAMOOOL NIHILOOO PUSING~
GUNAKANLAH NANTI ISI TAS INI! SENYUM! JANGAN—UM, BINGUNG~
Selesai.
Seluas taman logam di halaman rumah besar Namol seketika dilanda keheningan. Udara dipenuhi oleh penilaian-penilaian bisu.
"Dia memaksakan rimanya!" Namol mendengar Messier berbisik keras-keras pada Hubble di bawah sana. Dan Hubble merespons menggunakan bisikan serupa: "Kita bisa pakai itu buat bawa dia ke pengadilan."
"JADI-JADI-JADI! APA PELAYANAN SAYA CUKUP JELAS DAN MEMUASKAN? ITU METOOODE BARU, TAHU!" sembur si monster sandwich. "ATAU PERLU SAYA ULANG?"
"Y-y-a, sangat jelas! Arenanya di Museum Semesta. Reverier yang harus kuhadapi bernama Jess Hutchersoni. Dan bakal ada bantuan dari semacam ... tas? Bagaimana? Tolong, j-jangan nyanyi lagi!" Namol tersenyum minta ampun. Dan entah kenapa, semakin ia memperhatikan sosok gigantis-ajaib dari si roti isi, semakin kangen pula ia dengan raksasanya sendiri. Cacing jenaka, yang baru saja meninggalkannya.
"SAYA SENANG SEKALI MENDENGARNYA! KALAU BEGITU, SAMPAI JUMPA LAGI, NAMOOOL NIHILOOO!"
"Yeah ...."
Dengan bunyi pooof yang empuk, menghilanglah si monster sandwich. Menggantikan keberadaannya, adalah sebentuk tas selempang dari kain hitam polos, berukuran normal. Namol turun, lantas mengenakannya.
Messier, bergandengan dengan Hubble, berjalan menghampiri.
"Jadi," mulai Messier, sambil mengulurkan sebelah tangan yang memegang marionette bernama Belle, "sudah dimulai lagi, Nak, tantangannya? Bawalah ini, demi apa pun yang baik."
Meski ragu-ragu, Namol menerima marionette itu, lantas buru-buru memasukannya ke dalam tas. Karena bagaimana pun, pada akhirnya, berkelana sendirian di Museum Semesta sama sekali bukan ide bagus. Semoga aku enggak ketemu lagi dengan patung itu ... Sang Kehendak—
"Namy," sapa Hubble, lembut, sambil memberikan pelukan yang hangat. "Soal Puppis dan Heppow. Aku tahu, pasti bukan hal gampang buat diterima—kepergian mereka. Dan karena spirit suatu objek lebih lama hidup daripada bentuk fisiknya, kusarankan, jangan paksa untuk secepatnya bisa melupakan mereka. Simpan saja, tapi berikan teritorial yang jelas. Kau harus fokus. Mengerti? Kau harus pulang ke sini dengan selamat. Itu perintah."
Selama beberapa jenak, Namol seperti kembali menjadi bocah yang hanya ingin ditemani ibunya, menginginkan nasihatnya, dan perlindungannya. Tapi lalu Hubble melepas pelukan mereka, dan mulai melinting sebatang rokok.
"S-seandainya aku bisa lebih cepat mengalahkan mimpi buruk di pertempuran sebelumnya," gumam Namol tiba-tiba. "Pasti mereka berdua enggak akan—ugh, semua ini karena mimpi buruk. Ya. Selama aku mengetahui hal itu, aku pasti baik-baik saja."
Messier tersenyum. "Persepsi memang tidak pernah salah, Nak. Tapi seperti Ibumu, aku juga akan memberikan saran. Dengar, jangan jadi lemah dan sibuk mencari kambing hitam. Karena menerima, memahami, selalu lebih baik daripada mengalihkan. Dan karena, ingat, mimpi buruk adalah alasan kenapa aku dan Ibumu bisa ada di sini saat ini. Hm? Cakrawala sudut pandang lebih bulat dari apa pun yang pernah tercipta."
Namol mengangguk pelan. "Y-ya. Aku mengerti." Tapi dalam hatinya, ia akan tetap selamanya menyalahkan mimpi buruk atas kepergian Puppis dan Heppow hari ini.
"Baiklah, Nak! Semoga karyamu di tantangan kali ini juga cukup memuaskan! Dan jangan cemas!" Messier menghitung jarinya. "Pertama, berkelahi dengan kematian ... kedua, bertemu dengan dajal ... ketiga, berhadapan dengan mimpi buruk. Lihat? Karya-karyamu tidak bisa lebih berbahaya lagi dari yang sudah-sudah."
"Se-semoga."
"Itu baru semangat! Sekarang, Nak, dengan apa kau akan pergi ke Museum Semesta? Bukannya mendesak, tapi kami sudah ingin masuk ke dalam, di sini dingin."
"Setuju banget," desah Hubble sambil mengembuskan asap rokok ke atas.
Tapi ditanya begitu, Namol juga tidak tahu. Si monster sandwich tidak mengatakan apa-apa soal transportasi khusus dan semacamnya.
"Ehem. Dengan portal," ujar sebentuk suara dalam, tenang mematikan, sedikit bervibrasi, dan pasti sangat cocok untuk menarasikan kisah-kisah dongeng gelap. "Silakan tunggu sebentar lagi."
Semua menoleh ke arahnya. Berdiri di depan pintu masuk utama, semacam pria tinggi, wajahnya tampan dan datar—dengan rambut perak, ikal panjang, lalu mata yang hitamnya seperti terowongan-terowongan pedalaman. Ia juga sangat rapi dan siap; mengenakan tuksedo hijau gelap, tanpa dasi, lalu kacamata berlensa satu yang bersama rantai emasnya diselipkan di saku kemeja krem.
Tapi, bagaimana pun, yang paling mendominasi secara visual dari penampilan si pria tinggi adalah: adanya dua tanduk kecil, melingkar, terpasang di sisi kepala. Lalu, ekor mungil berbulu keriting yang menyembul di belakang celananya, terlihat ketika ia berbalik untuk menutup pintu.
Sosok itu lantas berjalan menghampiri Namol, Messier, dan Hubble.
"Nama saya Wolverine," katanya, dengan mulut yang nyaris tidak terbuka sama sekali. "Atau Anda ingin mengganti nama saya?"
Dia ... si domba?! Namol membatin, histeris. Hubble langsung menawari Wolverine rokok, dan Messier bersikeras ingin meneliti bagian ekornya.
Sementara itu, tanpa mendapat atensi siapa-siapa, sebentuk objek besar masuk ke dalam jarak pandang siapa pun yang berdiri di taman logam. Ia melayang, sangat gaduh-musikal, dan berubah-ubah bentuknya. Bergerak mengisi materi-materi ajaib lain di langit pagi Chicago—atau, dalam lidah alam anomali: Bumi-Regaia.
***
"C
|
ukup. Tahan dulu. Holocaust, katamu?" tanya Hubble skeptis. "Itu nama terbaik yang bisa kaupikirkan, Namy? Ruevéin tųe ilĺamų vixic! Jangan sampai cucuku kelak kau juga yang memberi nama!"
"Tata Surya-ku, setidaknya Holocaust lebih baik dari Wolverine. Karena demi sang Singularis, laki-laki tinggi ini setengah domba, bukan serigala." Messier mengecup singkat bibir istrinya, kemudian menepuk pundak anaknya. "Tapi tetap, Nak, Holocaust tidak lebih baik dari Heineken the Great! Nama pilihan Ayah! Keren, kan? Ayo, belum terlambat untuk mengambil yang terbaik."
"Heineken the Great?" Hubble memutar bola mata. "Ayah dan Anak. Sama sekali enggak punya selera! Dengar, hibrida ini harusnya dinamai TVSA—The Very Sexy Ass!"
Namol meringis. "Bagaimana kalau Holocaust saja?" pintanya. "Karena bisa disingkat jadi ... Holo? Errr, lebih mudah kuingat juga ..., jadinya?"
Hubble dan Messier menghela napas, tersenyum lumrah, lalu mengangguk.
Jadilah secara nyaris resmi, "Holocaust", sebagai nama si domba yang telah bertransformasi dengan ajaib—meski sebelumnya memang ada peringatan dari Ratu Huban seputar hal ini—menjadi laki-laki tinggi, sangat tampan, dan pendiam.
"Titip dia, oke, Holo?" kata Hubble sebelum akhirnya berjalan santai ke arah pintu masuk utama. "Pulanglah sebelum makan malam."
"Yap. Dan ceritakan seperti apa Museum Semesta nanti. Oke, Nak? Pasti sangat aneh di sana." Messier menepuk pundak anaknya sekali lagi, tersenyum, kemudian berjalan mengikuti istrinya. Mereka masuk ke dalam rumah sambil bersiul-siulan.
Tersisa hanya Namol dan Holocaust di taman logam. Menunggu portal.
Aneh ... Museum Semesta ...? pikir Namol, iseng. Enggak. Aneh bukan kata yang tepat! Karena, ia sudah pernah ke sana satu kali. Berdiri di aulanya yang berkelas. Dan pada saat itu, kesan yang didapat adalah ... betapa anggun dan lengkapnya tempat transenden tersebut. Sampai akhirnya ia melihat sejenak penampakan dari patung yang seolah merepresentasikan semua jenis kengerian. Kekuatan absolut. Sang Kehendak.
Museum Semesta itu sangat ...
... berbahaya.
Detik-detik pun berlalu, menjadi menit-menit yang lembap dan sunyi. Tapi portal belum juga memberikan tanda-tanda kemunculan.
Matahari semakin mendekati pertengahannya, dan sinarnya yang tidak merata seolah membelah taman logam menjadi dua sisi. Namol, masih tenggelam di dalam pikirannya sendiri, seputar probabilitas ancaman Museum Semesta, berdiri bersebelahan dengan Holocaust di sisi gelap—wilayah bayangan, karena cahaya pagi di atasnya dihalangi gumpalan awan dan materi-materi asing yang beterbangan; gedung-gedung, jalanan, elemen yang hidup, sampai manusia atau monster-monster.
Sementara itu di ujung cakrawala pada sisi terang, jauh di luar gerbang, apa yang terlihat seperti sebentuk pesawat kertas melesat dengan sangat gaduh dan stabil, tanpa intensi jelas, ke arah taman logam.
Mengira itu adalah satu dari milyaran anomali lain dari Bumi-Regaia, Namol hanya sempat terganggu sedikit oleh kegaduhan-musikal yang diciptakannya, melirik sekilas ke langit, lantas kembali melamun sambil menutup kedua telinga. Ia sama sekali tidak menyadari skala sebenarnya dari objek tersebut.
Pesawat kertas semakin membesar dan membesar seiring jarak yang terpangkas. Bangunan-bangunan Chicago bersama penghuni langit lainnya, seolah takut tertabrak, memberikan jalur udara tanpa hambatan dengan saling menyingkir.
"Itu bukan portal," gumam Holocaust, setenang predator sabana yang mengintai buruannya. "Ehem. Anda mungkin tertarik untuk melihatnya sendiri?"
Namol tidak mendengarkan. Tapi ia mengumpat keras-keras ketika sebuah guncangan mahabesar membuat pijakannya goyah. Gempa dahsyat yang memiliki satu sumber dengan peringatan Holocaust.
Tibanya pesawat kertas.
Bagian depannya yang tampak tajam, membentur kubah semitransparan—mekanisme pertahanan teritorial kediaman Namol—menggunakan kekuatan yang tak terbayangkan.
Atau mungkin, karena pesawat kertas itu juga bukan objek abnormal biasa dalam standar anomali Bumi-Regaia sekalipun. Pesawat kertas itu terdiri dari susunan beberapa pulau besar beserta isi dan penghuninya, yang dimensi-dimensinya terdistorsi sampai sedemikian rupa.
Pulau-pulau yang terkonsentrasi dalam satu bentuk kesatuan tak terbendung, menabrak teritorial rumah Namol. Perbandingan ukuran dan kekuatannya nyaris terlihat seperti seekor larva dihantam induk banteng.
Kubah pertahanan pecah perlahan. Pesawat kertas kolosal terus melaju. Dalam kekacauan mendadak itu, Namol menyaksikan tiga hal sekaligus.
Pertama, sama seperti Chicago, ia melihat tidak adanya tanda-tanda perubahan pada pola hidup penghuni pulau-pulau di pesawat kertas. Sama sekali berjalan normal tanpa kepanikan.
Kedua, ia melihat jutaan gramofon, mungkin, berpusar-pusar di sekelilingnya seperti satelit yang terus menciptakan kegaduhan.
Ketiga, ia melihat seseorang melompat keluar dari salah satu wilayah pada pesawat kertas itu, terjun dengan sangat anggun, kemudian mendarat tanpa tergores di sisi terang taman logam. Hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya dan Holocaust berdiri di sisi gelap.
Tidak mungkin Namol melupakan sosok di hadapannya saat ini. Meski pertemuan mereka hanya sesaat. Sosok itu tampak seperti dua keberadaan yang difusi seutuhnya secara adil sekaligus ganjil. Berkilau tertimpa cahaya pagi. Pria dan wanita, berdiri dalam satu tubuh.
Tapi, belum ada yang bisa dikomunikasikan selain pertukaran ekspresi kebingungan serupa di antara mereka, sebentuk portal tiba-tiba tercipta. Dua lingkaran putih sederhana. Menyeret, bukan hanya Namol dan Holocaust, tapi juga sosok ajaib di hadapannya.
Dalam ombang-ambing abstraksi dimensi perpindahan, Namol menelan ludah susah payah.
Yang tadi itu Reverier—?
Reverier lain di Amerika—?
A-apa, mungkinkah dia ..., Jess Hutchersoni ...?!
Allahamel
Periode akhir – tahun nol setelah berhentinya perputaran
C
|
erita, satire, hasil transliterasi dari ayat-ayat kaum Nirfinitia selalu dipenuhi oleh hal-hal elusif. Etos-etos tentang bagaimana—bukan seharusnya dalam konteks memaksa—setiap individu menilai eksistensi mereka dan sekeliling dengan sepenuh hati, tapi tanpa memberikan kebebasan berekspresi di dalamnya. Karena hidup sampai mati, menurut kepercayaan para pemuja Tuhan Fatanir itu, merupakan suatu pergerakan terprogram yang bersifat tunggal.
Kaum Nirfinitia, dalam konstelasi sang Roda—Allahamel—menetap di Alam Data, inti dimensi lima. Pusat pemerintahannya berakar di kota berperadaban super bernama El-Horus.
Dan di dalam kota itulah, di balik dinding-dinding plasma terindah dari salah satu rumah peribadatan tertua, fenomena berhentinya perputaran sang Roda terdeteksi. Disebarluaskan kemudian ke pemimpin-pemimpin di setiap dimensi yang ada. Hingga berujung pada terselenggaranya pertemuan akbar pertama sejak beberapa milenium terakhir—ketika itu Aliansi membahas insiden pecahnya Perang Kriya yang melegendaris; diprakarsai oleh tokoh paling dicari se-multisemesta sampai saat ini, yaitu the Anonymus, Renentura, Kesatria Pembebas, dan banyak alias lainnya. Yang jelas, ketidakjelasan telah menjadi identitas utamanya, dan hanya sedikit rumor membisikkan bahwa ia berasal dari, atau mewakili, Alam Mimpi.
Bagaimana pun, sekarang, pertemuan akbar para pemimpin diciptakan untuk mendiskusikan masalah urgen lainnya.
Perputaran roda—bentuk terdekat dari semesta Allahamel—telah berhenti.
Itu artinya tidak ada lagi rotasi kehidupan. Semua jenis reproduksi kehilangan setiap maknanya, dan mereka yang memaksakan untuk menciptakan sesuatu, pada akhirnya, hanya melahirkan kekosongan tak bernilai. Semua perkembangan juga terhenti, bukan di titik keabadian statis, tapi di fase-fase sekarat yang tumbuh dalam masa-masa terakhir.
Pemimpin Alam Data menyarankan kebangkitan Aliansi, seperti yang terjadi pada masa Perang Kriya. Dan dengan persatuan tersebut, ia berharap, mereka akan memiliki cukup kesempatan untuk melakukan eksplorasi ke dimensi nol Allahamel yang terletak di poros roda.
Tapi karena berbagai alasan janggal, usulan itu ditolak. Nyaris setiap pemimpin sibuk menyuarakan jalan keluar lain, mengklaim segala jenis keburukan terhadap oposisi mereka nantinya sebagai suatu keharusan, bahkan sampai melempar ancaman peperangan total secara transparan.
Pertemuan akbar pun berakhir tanpa menghasilkan apa-apa, selain semakin kuatnya rantai kebencian antarpemimpin.
Hanya Alam Kematian pada inti dimensi empat—Kerajaan Crowny Infidely—yang setuju untuk membantu kaum Nirfinitia dari Alam Data.
Aliansi kecil dengan tujuan terlampau besar.
Mereka sempat berjuang dengan sangat berkomitmen, dan mati-matian. Sampai akhirnya, pertempuran yang takkan pernah bisa mereka menangkan itu harus berakhir. Bukan karena hal-hal seharusnya seperti kehancuran menyeluruh semesta sang Roda, atau kematian serempak setiap penghuninya.
Tapi karena sebentuk memorial dari kejadian yang sangat bersejarah, sebuah mahakarya, telah selesai diciptakan.
Museum Semesta, dalam kebisuannya yang mengerikan, dengan penuh perhitungan, dan serangan mendadak, berhasil menaklukkan Allahamel.
"Aku adalah nama-nama yang tercipta dari penyerahan terdalam. Kekekalan kuanugerahi pada kekalahanmu ..., dan amfiteater megah berbahasa satu; agar kebekuanmu kelak mampu berbaur bersama trofi-trofiku yang bertanya-tanya dalam setiap partitur keindahannya!"
[ Allahamel. Ornamen Roda – Tanpa Perputaran ]
House of Memory
Saat ini
A
|
ntara ilusi yang terlalu memukau, atau sekadar mimpi yang terasa terlalu nyata. Namol Nihilo dan Holocaust tiba di Museum Semesta. Berdiri-diam di ambang gerbang emas besar, memperhatikan secara spesifik—pada semacam aula mahaluas di depan mereka—satu dari banyak sekali objek keajaiban.
Dan itu adalah sebuah ruang pameran—vanity galleries. Sangat ganjil, karena ukurannya yang normal seolah merusak komposisi skala kolosal dari objek-objek lainnya.
Tiga kamar bersekat kayu tipis mengisi ruangan tersebut. Masing-masing dijejali oleh karya-karya berupa lukisan, patung, relik deformatif, serta benda-benda berbentuk abstrak yang kaya akan warna; terlalu beremosi, sampai-sampai terasa sangat hidup dan marah.
Seorang pemuda, antusias, berbusana kasual, dengan senyum terkembang di wajahnya yang cemerlang meski sedikit berlepotan cat, berjalan menghampiri Namol dan Holocaust dari dalam vanity galleries sambil terus menyerukan, "Mukjizat, wahai saudara seperjuangan! Mukjizat kembali mendatangi kita dalam bentuk kesempatan pemberontakan!"
"Mukijat ...," sahut suara empuk berintonasi lucu milik seorang gadis kecil yang berjalan menempel di belakang si pemuda, dan tidak akan pernah diketahui keberadaannya jika saja ia tidak bersuara.
"Selamat datang di House of Memory," lanjut si pemuda, tersenyum lebar. "Namaku Danistraz Teffereth. Panggil saja aku Danny. Dan ini adikku."–Danny menggendong si gadis kecil dengan gemas–"Namanya Lucia Judacca. Kalian bisa memanggilnya bocah bandel, atau Lucy."
"'Cah bandel ...," bisik Lucy, lalu meronta turun dari dalam gendongan kakaknya.
Namol tertawa pelan, karena Lucy benar-benar menggemaskan secara fisik dan sifat; tingkah laku polosnya yang berada di ambang perbatasan cuek dan malu-malu cukup melucukan suasana. Lalu Danny, laki-laki itu memang terlalu berapi-api untuk ukuran makhluk asing dalam fase pertemuan pertama, tapi ia memiliki pembawaan yang menyenangkan.
Mereka sama sekali enggak berbahaya, pikir Namol, tersenyum penuh kelegaan, kemudian memperkenalkan dirinya dan Holocaust.
"Namol dan Holo, huh? Baiklah, senang bisa bertemu dengan kalian pada kesempatan ini." Danny menjabat tangan-tangan kenalan barunya sekaligus. "Jadi, dari mana kalian berasal? Tentunya bukan dari ruangan ini, ya? Maaf, kalian berdua tampak asing."
"Ya, tentu saja asing," kata Namol. "Karena kita berdua enggak berasal dari ruangan mana-mana. Kita hanya pengunjung museum."
Danny menggaruk punggung tangannya, ekspresinya bingung. "Maaf? Pengunjung—maksudnya?"
"Ehem. Danny, saya dan Tuan Muda Namol dipindahkan—menggunakan portal dan proses teleportasinya yang standar—dari Bingkai Mimpi sebuah tempat bernama Bumi-Regaia, ke salah satu wilayah di dalam Museum Semesta ini," Holocaust menambahkan, kalem, tanpa ekspresi. "House of Memory namanya? Jika saya tidak salah mengingat."
"Yeah. Persis seperti yang dia bilang." Namol tersenyum berterima kasih pada Holocaust, lalu melanjutkan pembicaraan dengan Danny, "Mungkin, misalnya enggak merepotkan, hm, bagaimana kalau kau memanduku? Dan juga ... apa aku boleh tahu setiap informasi yang kau ketahui soal ruangan menakjub—"
Danny seolah meledak. Bahkan sebelum Namol sempat menyelesaikan kalimatnya, ia sudah lebih dulu kesenangan sampai berjingkrak-jingkrak, bersalto, sambil menyerukan, "Senang sekali jika aku bisa memandumu, Namol, Holo! Dan aku juga mengetahui apa pun yang harus diketahui tentang House of Memory! Karena, beruntung untuk kita semua, aku dan Lucy adalah keberadaan pertama yang menempati ruangan ini!"
"Hoz o' Memly. 'Ucy juga 'apal ...." Lucy termenung, melotot lugu seperti sedang melihat sesuatu yang hanya bisa dilihat olehnya saja.
Mungkin hanya iseng, Holocaust maju ke depan Lucy, lantas mengibaskan tangan di depan wajahnya dengan sopan agar gadis kecil itu mengerjap—hasilnya gagal; si hibrida-domba diabaikan.
Sementara Namol, pada saat ini, sedang tidak kalah girangnya dengan Danny. Aku beruntung sekali! pikirnya. "Wah. Kalau begitu, terima kasih banyak!"
"Sama-sama!" kata Danny bersemangat. "Lagi pula, memang ada beberapa hal juga yang ingin kupastikan dari setiap penghuni Chamber of Memory. Intinya ..., siapkah mereka mengetahui kenyataan, kemudian melakukan pemberontakan bersama karya lainnya? Ayo, Namol, Holo, kita bicarakan semua tentang tempat ini di galeriku saja. Dan, tentu, selamat datang di Museum Semesta."
***
T
|
iara raksasa sangat cocok untuk didefinisikan sebagai kontur siluet Chamber of Memory. Bayangan hitamnya yang melandai halus, kemudian memuncak seperti gunung berbentuk wajik, menjadi semacam dinding pembatas di kejauhan. Lalu bertemu ke bawahnya dengan permukaan sebening kaca meski ia tidak merefleksikan apa-apa—hanya berpendar, dan ke atas menuju langit-langit yang seolah memperlihatkan angkasa luar milik enam semesta sekaligus.
Namol sama sekali tidak mendapatkan kesan berada di dalam ruangan ketika memasuki tempat ini, tapi lebih seperti memasuki dimensi lain yang keberadaannya benar-benar terpisah dari Museum Semesta.
Tapi ini Museum Semesta, a-aku yakin, Namol membatin. Karena sebelum melewati gerbang emas, ia sempat menoleh ke belakang. Terdapat koridor luas yang bercabang menjadi enam di masing-masing ujungnya, dan beberapa jenis gerbang lain. Lalu ketika ia berjalan masuk tadi ... seketika dinding kokoh—berhiaskan macam-macam mural bertemakan epik-panteon kelas tinggi—yang membatasi bagian luar dan isi Chamber of Memory, menghilang begitu saja.
Tidak ada limitasi semestinya. Dinding hanya berada di sisi yang menghadap koridor. Gerbang emas pun seolah berdiri sendiri di tengah-tengah luasnya keseluruhan ruangan ini.
Luas, dan penuh.
Selain vanity galleries milik Danny dan adiknya—Lucy, yang begitu kecil struktur tempatnya, lalu diposisikan di bagian paling dekat dengan pintu masuk, terdapat, mungkin, ratusan ribu objek seni lain. Mereka tersebar acak, liar, menjulang dan mengerdil, tapi dalam takaran komposisi penempatan yang sangat estetis.
Lukisan terbesar yang pernah Namol lihat, berputar perlahan di utara ruangan. Lebarnya mungkin sama seperti beberapa lapangan bisbol dijadikan satu. Bingkainya seperti terbuat dari bayangan, atau api hitam, karena teksturnya seolah menari seperti permukaan jalanan di hari-hari gersang. Lukisan itu juga tidak menempel di mana-mana. Ia melayang, tergantung oleh semacam rantai hijau-racun yang menjuntai langsung dari langit-langit angkasa luar.
Menoleh dekat ke timur, terdapat candi yang pasti dibuat dari batu-batuan paling putih. Ia berundak-undak dalam enam tahapan, memiliki stupa yang tak terhitung, dan deretan patung-patung kokoh. Keberadaan candi ini begitu mengesankan sebuah keheningan, persis—secara nyata dalam bentuk ukuran—seperti pulau besar tak berpenghuni.
Lalu di barat ada menara yang sangat tinggi, aneh, dan memiliki banyak roda gigi, membentuk semacam cerobong milik kereta api klasik.
Selatan, zirah emas dengan banyak retakan dan goresan, diduga milik sesosok raksasa karena ukurannya nyaris sebesar gunung.
Dan paling dekat dengan vanity galleries di pertengahan, adalah roda kaca yang bersinar seperti miniatur matahari.
Menakjubkan ... hm, Puppis dan Heppow pasti senang sekali jika melihat semua ini. Namol tersenyum sedih.
Saat ini ia dan Holocaust sudah tiba di vanity galleries, di bilik milik Danny yang kebanyakan memajang lukisan-lukisan satu model. Yaitu seorang perempuan cantik berambut perak; tidak pernah digambarkan dengan senyum.
"Tunanganku," jelas Danny singkat—melihat kenalan barunya terus-menerus memandang heran pameran lukisannya—sambil menyunggingkan senyum yang sama dengan Namol beberapa saat lalu. "Declaire Magdalena. Claire-ku. Hidup dan matiku."
"Kak 'Lire ...," gumam Lucy, berkaca-kaca.
Setelah itu, Danny, sambil mencoba kembali bersemangat, mencerahkan Namol dengan informasi seputar House of Memory.
Terdapat empat blok di ruangan ini: vanity galleries, Chamber of Saligia, 666, dan Speztan.
Karena alasan yang bahkan tidak diketahui Danny, vanity galleries bisa berdiri secara eksklusif tanpa terikat dengan tiga kategori lain. Sementara Chamber of Saligia adalah blok yang bertemakan tujuh dosa mematikan, meski koleksinya belum utuh. Lalu 666, wilayah berisikan artefak persenjataan paling bersejarah. Dan Speztan, tempat tanpa definisi, dipenuhi objek misterius yang bentuknya seperti kumpulan tornado kolosal.
Selesai memberi informasi, Danny gantian meminta pencerahan dengan menanyakan tujuan Namol dan Holocaust mendatangi tempat ini.
Namol lancar saja mengatakan, sambil menghitung jarinya, "Untuk menciptakan karya, menghadapi Reverier bernama Jess Hutchersoni, dan mencari sebanyak mungkin informasi atau pengetahuan lainnya. Yap. Kurasa itu sudah semua."
Danny merespons pengakuan itu dengan sikap diam. Untuk pertama kalinya ia memberikan pandangan yang penuh perhitungan terhadap kenalan barunya. "Catatan untukku, menanyakan dulu tujuan pendatang sebelum menawarinya bantuan. Tapi, baiklah, semoga itu memang jawaban jujurmu," ujarnya, menghela napas. "Karena kalau hanya sebatas itu, mungkin aku bisa terus membantu."
Namol dan Holocaust saling bertukar pandang sejenak, lalu kembali memperhatikan kakak beradik di depan mereka. Danny yang menyenangkan dan tampan, berambut hitam. Lucy yang lucu dan imut, berambut cokelat. "Terima kasih banyak, kalian! Oh, sekalian kalau boleh kutitipkan tas ini di sini!" seru Namol sungguh-sungguh, sambil melepas tas hitam pemberian si monster sandwich.
"Silakan. Jangan dipikirkan," kata Danny. Ia membungkuk, beralih ke adik kecilnya. "Sekarang, Lucy, kuberikan padamu tanggung jawab besar. Yaitu menjaga pameran kita ini selama aku pergi. Siap?"
Lucy mengangguk.
Danny mengusap puncak kepalanya, mengecupnya di pipi. Kemudian ia berdiri tegak dan menunjuk satu objek seni di kejauhan dengan kedua tinjunya. "Pertama, Namol dan Holo, akan kupersembahkan serta kupandu kalian ke sana."
Namol segera menyipitkan kedua matanya ke arah yang dimaksud. "Um, oke. Tapi ..., apakah itu? Berbahayakah?"
"Oh, itu, adalah semesta Falanthring." Danny tersenyum. "Lukisan tanpa warna. Dan, tentu saja, bangsa Nirmanuth sudah pasti sangat berbahaya!"
Speztan
Beberapa menit yang lalu, pada waktu yang sama dengan kedatangan Namol Nihilo di Museum Semesta
A
|
ngin dingin, tanpa suara meskipun ia berpusar-pusar, menjadi semacam pagar hidup padat-menjulang; tanpa menyisakan celah sesenti pun untuk keluar. Ia mengurung Hutcherson dan Jess di tengah-tengahnya. Dan bagi mereka berdua, saat ini rasanya seperti dikelilingi oleh keberadaan-keberadaan yang sangat marah, terlalu marah—sampai tidak ada jenis kata yang mampu mendefinisikannya, mengimbanginya, atau apa pun, selain tindakan nyata: mengamuk.
Sambutan yang cukup heboh bagi Hutcherson dan Jess. Karena beberapa detik lalu keduanya baru saja tiba di Museum Semesta, atau spesifiknya: ruang pamer Chamber of Memory.
"Jess?"
"Oh, ya, Prince Hutcher?"
"Selamat datang di Museum Semesta."
Jess tertawa geli. "Thanks buat penjelasan ala Captain Obvious-nya, Sweetcake!"
"For you, Miss? Anytime." Hutcherson tersenyum manis. "Sekarang, maksudku, apa kamu percaya kita sudah ada di Museum Semesta?"
Jess diam sebentar. "Setelah semua keanehan yang terjadi di Manhattan tadi?" tanyanya.
"Ya," kata Hutcherson. "Setelah semua itu."
"Hummm—hey! Kamu juga lihat, kan? Empire State menekuk dengan sendirinya, kayak badan perempuan yang lagi dicium di jalan sama prajurit pascakrisis Perang Dunia II? Dan ... New York seolah naik menjadi langit kita! Please bilang kamu juga alami semua itu!"
"Tunggu. Apa ini juga jebakan-panggilan buat Captain Obvious? Karena sudah tentu jawabannya: aku juga mengalami semua itu."
"Karena, kamu selalu ada di samping aku?" tanya Jess, berakting malu-malu.
Hutcherson mengecup tangan kanannya mesra. "Karena ... aku selamanya akan selalu ada buat kamu."
Jess tertawa geli lagi. Bahagia, tersipu, dan jujur. "Syukurlah kalau begitu," desahnya, "ternyata bukan cuma aku aja."
"Yang melihat semua itu? Ayolah. Manhattan, New York, Ellis Island, Governors Island, Liberty Island, Randalls, Wards, Mill Rock, Roosevelt, U Thant, dan bahkan county terdekat, semuanya aku lihat. Mereka bersatu menjadi semacam ... pesawat kertas? Ya."
"Bukan!" lanjut Jess, gemas. "Maksudnya, bukan cuma aku yang bakalan selamanya selalu ada buat seseorang. Yes, sir. Buat kamu!"
Mendengar hal itu, ketampanan Hutcherson seolah bertambah berkali lipat ketika ia tersenyum, lalu tertawa pelan. "Dan mereka masih mempertanyakan kenapa aku sampai bisa jatuh cinta setiap detiknya sama kamu."
"He-he. Tapi, jujur, yang pesawat kertas itu juga iya, sih. Nyaman rasanya bisa satu pikiran, walau sudah jelas. Enak, karena enggak gila sendirian. Okidoki, Hutcher, sekarang kita ngapain?"
"Okidoki. Masih ingat perkataan kurir memo dari Ratu Huban, Jess? Si manusia bola daging?"
Jess mengangguk.
Sebelum mereka tiba di sini, dan jauh lagi sebelum mereka melompat dari kediaman Romanoff—atau dari salah satu wilayah pada pesawat kertas kolosal—kemudian mendarat di sebuah taman aneh yang dipenuhi tumbuhan logam, mereka didatangi oleh utusan Ratu Huban. Manusia bola daging.
Waktu itu mereka sudah berhenti menari. Hujan juga sudah reda. Sebagai gantinya beragam gramofon memenuhi langit; menyuarakan banyak sekali jenis musik. Dan menyusul tak lama kemudian: anomali lainnya, seperti bentuk daratan yang berubah, hidupnya elemen-elemen, sampai kekacauan gravitasi. Di antara semua keajaiban itulah, si manusia bola daging membacakan isi memo dengan sesingkat-singkatnya, lalu pamit menghilang menjadi kubus hitam seukuran kotak susu.
Dari isi memo yang dibacakan, Hutcherson dan Jess kini mengetahui nama lawan mereka: Namol Nihilo. Mereka juga tahu, kubus hitam pemberian si manusia bola daging bisa dijadikan sebagai petunjuk pada waktu-waktu yang membingungkan.
Contohnya sekarang.
"Jadi, Jess, kita akan menggunakan kubus hitam. Kita buktikan fungsinya," jelas Hutcherson sambil berkedip. "Bukankah itu dialog yang akan keluar dari mulut Captain Obvious?"
Jess memeletkan lidah. Tapi sebelum ia bisa mengucapkan apa-apa, satu suara lain datang menginterupsi.
Suara yang bersemangat dan sangat antusias.
"Namaku Danistraz Teffereth! Panggil saja aku Danny. Selamat datang di Museum Semesta, ruangan House of Memory ..., blok Speztan! Senang bertemu dengan kalian—hm, maaf, siapa nama kalian?"
Hutcherson dan Jess segera menoleh ke sumber suara, lantas mendapati sosok itu. Danny. Pemuda berwajah menyenangkan, dengan sedikit coretan cat melintang di dagu, pipi—melewati mata—sampai ke dahinya. Ia berdiri rileks membelakangi dinding imajiner yang dihasilkan tornado kolosal tanpa suara.
"Namaku Hutcher."
"Jess."
"Oke. Hutcher dan Jess!" Danny setengah berteriak. Ekspresinya senang dan terkagum-kagum sekaligus. "Kalian benar-benar sebuah mahakarya!" lanjutnya, setulus hati. "Dua kepribadian di dalam satu tubuh? Tunggu. Jangan-jangan ..., kalian memang dua keberadaan yang sama sekali terpisah, tapi terjebak dalam suatu penyatuan? Hebat! Oh, ya, apakah kalian ke sini untuk mencari sebanyak mungkin informasi, hm, pengetahuan? Dan apakah kalian ... ingin bertemu dengan teman baikku? Namol Nihilo? Kenal dengannya? Coba lihat! Dia ada di belakang kalian!"
***
M
|
enoleh ke belakang, Hutcherson dan Jess segera dihadapkan oleh arus cahaya yang melesat-mengancam ke arah mereka—tanpa suara sedikit pun. Serangan itu melaju, terus membesar, kemudian mengubur targetnya dalam kebutaan. Atau begitulah seharusnya. Jika saja sinar mematikan tersebut tidak menghilang begitu saja.
"Menyerangku dengan cahaya murni?" gumam Hutcherson, menggunakan nada sedingin es. Tangan kirinya terulur ke samping, ke depan rute arus cahaya yang seharusnya mengenainya. "Seorang pengecut sejati yang bermimpi menjadi pahlawan pemberani, memiliki jenis kesempatan yang jauh lebih besar dari upayamu untuk melukaiku barusan."
"Jadi, dia ... Namol Nihilo?" tanya Jess, setengah mengejek. "Brilian. Menyerang dari belakang! Coba sekarang serang lagi kalau bisa! Pasti grogi! Pussy!"
Sosok jangkung, berkulit gelap, berambut oranye, dan bermata merah, yang ditantang oleh Jess, hanya bergeming di tempatnya berada—di belakang badai bisu.
"K-kalian akan kalah di sini," katanya, lalu, dengan sangat tiba-tiba. Ekspresi di wajahnya nyaris alien dan sangat ketakutan. "Aku, Namol Nihilo, a-akan mengalahkan kalian!"
Arus api, lagi-lagi tanpa suara, termaterialisasi dari salah satu perut tornado kolosal di belakang Namol. Melihat itu, Hutcherson dan Jess melompat menjauh, mengambil jarak.
"Well, ternyata lawan kita kali ini adalah penyihir dengan kepribadian busuk."
"Jangan lengah, Jess. Mungkin dia masih memiliki kemampuan lainnya."
"Aku tahu."
Desisan disertai letupan mengerikan, menjalar di sepanjang permukaan serupa kaca, menggetarkannya. Reaksi itu terus menguat seiring jauhnya laju arus api, yang seolah hidup semata untuk mengincar targetnya—Hutcherson dan Jess.
Tapi sebagaimana serangan pertama, serangan kali ini pun menghilang begitu saja. Sekarang giliran tangan kanan Jess terulur ke samping, tepat di depan muka api yang seharusnya menghanguskan dirinya dan Hutcherson.
"Nah. Saatnya serangan balik?" tanya Jess.
"Apa aku bisa mencegahmu dengan alasan: lebih baik observasi dulu kemampuan lawan sepenuhnya?" Hutcherson balik bertanya.
Jawabannya adalah gelengan singkat, dan Jess yang berlari ke depan—mengambil alih kendali terbesar atas harmonisasi tubuh mereka.
Tanpa aba-aba, masih dalam keadaan berlari, Jess meneriakkan satu nada sederhana. "La!" Lengkingan yang tercipta darinya segera berubah menjadi gelombang serangan semitransparan; melesat seperti mengabaikan konsepsi waktu, lantas telak menghantam perut sampai ujung leher Namol. Sepersekian detik lewat, dari luka cabikan, cairan merah meledak keluar. Bercucuran.
Target merintih kesakitan, berdiri terbungkuk-bungkuk.
Jess tak memberikan jeda. Ia mempercepat larinya, sambil kembali berteriak. Empat nada. Masing-masing diarahkan pada kedua tangan dan kaki.
Hasilnya telak lagi. Jess tersenyum puas melihat Namol kali ini jatuh bertekuk lutut.
Okidoki! Satu lagi, biar aman!
Jeritan terakhir pun ditembakkan. Lebih panjang dari sebelumnya. Melesat menjadi serangan fatal yang nyaris membelah dua dada Namol.
Merasa lawannya sudah terlalu terluka untuk menjadi ancaman, Jess tidak menghentikan larinya. Ia terus mendekat sampai akhirnya mereka berhadapan—terpaut dua atau tiga langkah kecil.
"Mundur, Jess. Ini terlalu dekat," Hutcherson menyarankan, sungguh-sungguh.
"Ayolah, dia sudah sekarat, Hutcher. Aku bakal selesain ini sekarang, dari sin—"
Suara Jess menghilang. Teredam dalam satu momentum yang mengejutkan sekaligus membekukan darah.
Dinding tornado di hadapan mereka mengamuk dalam diam—kebisuan yang memberikan kesan mimpi terburuk. Memuntahkan, bukan cahaya atau api, tapi kegelapan. Sebentuk arus hitam-keunguan mengelilingi keberadaan Hutcherson dan Jess seperti ular-siluman berkecepatan sonik.
Tidak banyak yang bisa dilakukan setelahnya, baik oleh Jess, atau Hutcherson. Serangan itu telak menghantam mereka. Memberikan bukan sebuah kerusakan fisik yang berarti, melainkan dorongan superkuat.
Terempas tak berdaya. Seolah menjadi peluru hidup yang melintasi sebuah ruang kosong dalam kecepatan tinggi. Hutcherson dan Jess hanya sempat melirik sebentar ke arah lawannya, Namol Nihilo, yang sudah berdiri tegak tanpa luka sama sekali. Senyum horor menghiasi wajah gelapnya.
Lalu semuanya mengabur, serta menjadi sangat dingin. Saat-saat di mana Hutcherson dan Jess telah terlempar keluar wilayah dinding tornado kolosal—Speztan, dan masih terus melaju. Sampai akhirnya, mereka menembus-masuk ke dalam sebuah roda raksasa yang bersinar sangat terang selayaknya matahari.
Chamber of Saligia (Lust)
Saat ini
O
|
palesen, semua yang berada di dalam lukisan berjudul "Menghilangnya Warna", memiliki tingkat ekspresif, unsur, dan prinsip demikian. Namol bersama Holocaust dan Danny baru saja tiba beberapa puluh meter di hadapan mahakarya ini.
Sebuah perjalanan singkat dari vanity galleries, meskipun jaraknya cukup jauh dari blok Chamber of Saligia. Karena tanpa terduga, sukarelawan pemandu Namol ternyata memiliki kemampuan untuk berteleportasi.
Danny menutup portal ciptaannya—seekor kera bercahaya, yang melompat-lompat hiperaktif sambil memapah lemari putih besar; tempat Namol dan Holocaust tadi berada sewaktu dipindahkan.
"K-kemampuan yang menarik," Namol memuji, tersenyum, sambil setengah bergidik karena sempat mengalami sensasi klaustrofobia.
"Terima kasih," kata Danny. "Ini kemampuan khusus yang dimiliki anak-anak spesial di semestaku. Sekaligus kemampuan yang ... akan menjadi satu-satunya tiketku, dan Lucy, untuk pulang ke rumah."
"Ya. Semoga beruntung, Danny. Aku akan berdoa untuk kalian." Namol kemudian beralih pada objek seni raksasa di hadapannya. Dari jarak ini, ia akhirnya bisa memastikan materi sebenarnya dari bingkai lukisan. Api hitam, eh?
"Baiklah, sekarang ayo kita masuk." Danny berjalan memimpin. Tapi belum jauh, ia sudah menoleh lalu tertawa melihat kenalan barunya yang tidak bergerak sesenti pun. "Aku bercanda soal bangsa Nirmanuth," ujarnya menggunakan nada meminta maaf. "Mereka tidak terlalu berbahaya—selama kita tetap menjadi insan yang beralasan, dan berkunjung dengan pikiran terbuka."
"Yeah ... a-aku memiliki semua hal itu, kok." Namol ketawa grogi. Ia mengisyaratkan agar Holocaust jalan duluan. Dan bergeraklah mereka semua.
Tak lama, ketiganya sudah berada tepat di depan bagian dasar bingkai. Danny memperhatikan sudut-sudut tertentu sambil menggumam, "Kalau salah, bisa-bisa kita masuk ke Falanthring dalam bentuk abu."
"Ma-maaf?"
"Hanya bercanda. Sesungguhnya, kita tidak akan masuk ke dalam." Senyum misterius tersungging di setengah wajah sang pemandu. "Tapi merekalah yang keluar. Ini dia pelatuknya. Bersiap-siap!"
Entah karena peringatannya terlalu mendadak, atau memang Namol terlalu lambat merespons, semua hal yang terjadi setelahnya benar-benar menangkap basah dirinya dalam kondisi tanpa pertahanan sama sekali.
Bagian dasar bingkai meleleh sampai ke permukaan serupa kaca. Api hitam berkobar sebentar sebelum berubah menjadi pelesatan-pelesatan entitas gelap dan terang, yang tersebar-teracak, tumbuh menjadi bentuk-bentuk abstrak. Kemudian semua hal itu seolah meluas lagi. Dengan sangat cepat berekspansi; merepetisi proses. Menciptakan siluet air terjun, permukaan danau, langit ramai, sampai gundukan-gundukan objek berasap. Arus pembentukan memorial mengisap Namol secara total ke dalamnya, bahkan sebelum ia sempat mengatakan hal pertama yang biasa diutarakan para pengecut sekalipun.
***
R
|
asanya seperti berada di dalam siaran tua, di mana semua hal masih tampak sesederhana lapisan permukaan visualnya. Hitam dan putih. Meskipun untuk konsep dan penerapan keseluruhannya sendiri, acara yang disajikan sangatlah jauh dari kata sederhana.
Semesta Falanthring—di dalam lukisan—yang saat ini sedang Namol pijak permukaan tanah gelapnya dengan kaki gemetar, kira-kira persis seperti itu.
Langitnya kelabu bergaris-garis, dengan awan-awan hitam yang gemuk dan statis. Enam matahari berbentuk sabit tersebar di antaranya, sorotannya merupakan empat puluh semacam-tentakel yang bergerak mengayun seperti di dalam air, dan bukannya bersinar terang, mereka justru memendarkan kegelapan.
Kengerian juga terkandung di dalam udaranya yang seolah bersenandung pada detik-detik khusus: Wahai Penjaga Yunalu yang menjaga umur kita, dan tanah cair milik Air Terjun Nél-Thring, ciptakan detik yang merestui abadinya penyatuan ini~. Menggema dalam irama riuh, selayaknya kor dari para penyanyi tak kasatmata. Yang mana, di lain waktu, senandung itu berganti sumpah serapah, seruan penolakan atas suatu pernikahan, dan tangisan peperangan.
Sementara di permukaan, di sebelah kiri, terdapat danau besar tanpa warna. Di ujungnya menjulang sebuah air terjun—terus-menerus menjatuhkan, seolah, berkilo-kilo liter ketiadaan bergemuruh.
Jika tidak kehampaan, kata yang cocok untuk mendefinisikan semesta ini adalah ketemaraman.
"Ini adalah penggambaran terakhir sebelum Falanthring diambil Museum Semesta," jelas Danny. Dari tepian, ia bersimpuh ke arah danau. Meraup airnya yang tanpa warna dengan kedua tangan. "Menurut kitab Dante—katalog Chamber of Memory," lanjutnya, "keadaan suram ini dihasilkan dari pernikahan terlarang Nile, Nirmanuth setengah Penjaga atau sebutan entitas agung di kebudayaan mereka, dengan Espha, Nirmanuth jelata.
"Nile dan Espha memaksakan cinta terlarang mereka sampai ke level tertinggi, menghasilkan konflik yang membinasakan kedua kubu sekaligus. Mereka yang pro dan kontra terhadap pelanggaran adat ini."
Namol berjalan ke samping Danny. Menendang pelan rumput kelabu di tepiannya. Rumput itu menyerpih seperti abu. "Jadi ... tempat ini dulunya memiliki warna? Maksudku, enggak selalu seperti ini?"
Danny menerawang. "Mungkin," katanya. "Aku sendiri belum pernah melihat Falanthring selain dari lukisan. Yang jelas, dalam kondisi sejahteranya, bukan dalam kondisi terkutuk seperti sekarang, tidak mungkin keadaannya sesuram ini, kan?"
"Ya. Benar. Tempat ini mengerikan—lalu, s-suara apa itu sebenarnya?"
Yang dimaksud Namol adalah suara asing, tersamar di antara gemuruh air terjun dan nyanyian lirih. Kadang berderak, kadang melenguh. Danny menanggapi itu dengan menyunggingkan senyum mesum.
"Itu adalah Nile dan Espha," jelasnya, menunjuk agak jauh ke depan. Ke tempat di mana terdapat gundukan-gundukan berasap, serta apa yang terlihat seperti bekas pembakaran api unggun besar. "Mereka sedang bercinta."
Namol tersedak. "Mereka ... apa?"
"Bercinta."
"D-di mana?"
Tapi sebelum Danny menjawab pun Namol sudah melihatnya sendiri. Pemandangan yang lebih membuatnya kebingungan dan mual, daripada terangsang.
Gundukan-gundukan berasap, bila dicermati, merupakan susunan jasad makhluk-makhluk berbentuk abstrak. Keadaan mereka sangat mengerikan; terpotong, remuk, hangus. Dan di antara semua itu, terdapat satu-satunya indikasi kehidupan di tempat mati ini.
Dua sosok ganjil, yang sedang sibuk bergumul mesra.
Makhluk pertama, sekujur tubuhnya terlihat sangat sederhana. Atau menurut Namol, seperti stickman, hanya saja minus bidang lain selain garis. Kepala mencakup badan dibentuk oleh garis terpanjang. Dua garis yang lebih pendek sebagai tangan, dan dua lagi sebagai kaki. Danny memperkenalkannya dengan nama Nile.
Makhluk kedua terlihat lebih memiliki dimensi. Menurut Namol bentuknya seperti lambang perempuan di toilet umum. Danny memperkenalkannya dengan nama Espha.
Mereka lanjut menonton.
Bagaimana Nile dengan gencarnya menggenjot bagian belakang tubuh Espha; yang asyik melenguh parau. Bunyi berderak juga berasal dari sana—dari setiap hasil benturan keduanya.
Tapi, lalu, aktivitas panas itu berhenti tiba-tiba. Terlihat Nile merangkul Espha, mendorongnya lembut ke belakang. Mengamankannya. Sementara ia sendiri memasang semacam kuda-kuda aneh.
"A-apa yang terjadi? Apa yang membuat mereka berhen—" Namol tidak pernah menyelesaikan kalimat itu. Karena selurus garis meruncing, melesat dari tangan Nile, menghantam telak sampai menembus kepalanya.
***
T
|
erima kasih, Singularis Hellindre, pikir Namol, sudah menciptakan kemampuan Hellind untuk bangsa Juvas. Karena, kemampuan itu ... entahlah. Aku enggak tahu, sudah berapa kali nyawaku terselamatkan karenanya.
Terima kasih.
Namol berlari ke samping setelah kepalanya ditembus garis tajam Nile. Wajahnya berantakan karena ketakutan dan kepanikan. "K-k-kenapa dia menyerangku?!"
"Tapi kau masih hidup!" Danny berujar kagum. "Jadi, itukah kemampuanmu? Hidup abadi?"
"Bukan saatnya membahas itu, kan! Awas!"
Nile kembali menyerang. Kali ini lebih banyak garis tajam menyembur keluar dari keberadaannya. Gundukan-gundukan jasad yang menghalangi seketika tercerai berai. Rumput-rumput menyerpih, terpotong sampai ke tanah kerasnya.
Holocaust, dengan sangat luwes, menghindari satu-satu tusukan garis. Sementara Namol memilih bertahan di tempat sambil komat-kamit berdoa, menjadikan dirinya antimateri—cara yang sama, yang digunakan untuk menghadapi serangan pertama barusan.
Hanya Danny yang kelihatan kalem. Seolah mengetahui ke mana saja serangan Nile akan menerjang-merusak.
"Kalau begitu apa kemampuanmu?" tanyanya pada Namol.
Yang ditanya terlalu sibuk berdoa.
Di kejauhan, Nile melompat ke arah mereka—atau mungkin terbang, setengah berteleportasi. Karena seperti anak panah, dalam detik yang sama ia sudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
"JAUHI KAMI!" raung si Nirmanuth setengah Penjaga, meski makhluk itu tidak memiliki mulut. Suaranya jadi seolah keluar dari sekujur keberadaannya. "JAUHI KAMI ATAU MATI!"
"Kalau aku manusia, aku bakalan mati sejak serangan pertama, peringatanmu telat! Percuma!" Namol balas membentak. Entah apa yang merasukinya, ia sendiri tidak percaya telah mengeluarkan kalimat semacam itu. "Ma-maaf!" gumamnya kemudian. "Silakan serang sesukamu!"
"JAUHI KAMI!"
Nile meledak di udara menjadi semacam kembang api berduri. Holocaust tergores di beberapa titik tubuhnya—meski hibrida-domba itu sudah bergerak menghindar menggunakan kegesitan abnormal.
Namol semakin was-was, mati-matian mempertahankan status antimateri. Dan sekali lagi, hanya Danny yang masih terlihat santai. Ia berdiri di satu-satunya spasi aman, tidak dilalui oleh garis-garis tajam sama sekali.
"Bukan hidup abadi, ternyata," gumamnya menganalisa. "Kemampuanmu pasti, hm, menjadikan kondisi tubuhmu adaptabel terhadap serangan lawan. Benar?"
"Sudah kubila—" Lagi-lagi ucapan Namol tidak selesai. Kali ini karena sebuah pemandangan yang nantinya akan memicu satu tindakan konyol.
Pemandangan itu adalah terjebaknya Espha—Nirmanuth jelata berbentuk simbol perempuan di toilet-toilet umum—di antara serangan berduri Nile yang terus meluas dengan buas.
Tanpa pikir panjang, Namol berlari sekuat tenaga dalam keadaan antimaterinya. Danny dan Holocaust memperhatikan pergerakan itu tanpa berkedip.
Dalam satu momentum menentukan, sebelum sebuah garis tajam mencabik keberadaan Espha, Namol melompat ke arahnya. Mengubah kondisi Nirmanuth jelata itu menjadi antimateri dalam sentuhan pertama, sekaligus menyelamatkannya dari ancaman serangan suaminya sendiri.
Nile buru-buru berhenti, tegang memperhatikan ke arah Espha dan Namol terjerembap.
Di bawahnya, Danny tersenyum bangga, sementara Holocaust mendesah lega sambil berjalan mendekati tuan mudanya.
"Hey, Nile, kita bertemu lagi!" Danny buka percakapan. "Kau tidak banyak berubah, ya? Menyerang siapa pun dengan tuduhan yang sama seperti itu. Turunlah. Sudah kaulihat sendiri, kan? Situasi ini tak jauh berbeda seperti waktu kunjungan pertamaku. Kesalahpahaman."
"Danistraz Teffereth?" tanya Nile, suara tenangnya merupakan campuran dua bunyi tenor dan bas. "Apa yang kaulakukan di sini? Siapa mereka?"
"Mereka adalah pengunjung museum," jawab Danny, tersenyum ke arah Namol yang sedang dibantu berdiri oleh Holocaust—sementara Espha sedang menangis dan berlari ke arah suaminya. "Kautanya apa yang kulakukan di sini, Nile? Jawabannya mungkin, beruntung untuk kita semua, masih sama seperti dulu."
Nile turun dari langit, memeluk erat Espha yang terisak. "Menawarkan pemberontakan?" tanyanya lagi.
"Ya, Nile. Dan, ingat, juga kebebasan—"
Ledakan yang sangat menulikan mengiringi akhir ucapan Danny. Menyusul kemudian aura emas—bergulung-gulung memenuhi langit suram Falanthring—dan gempa besar.
Nile segera membentuk semacam pagar dari ratusan garis, mengurung dirinya dan Espha. Lalu tak jauh di depannya, untuk pertama kalinya sejak tiba di semesta ini, akhirnya Namol melihat seraut kecemasan dan ketakutan pada wajah Danny.
"Tekanan kekuatan dalam skala ini," jelas si pemandu, sambil memasang seulas senyum paksaan, "adalah miliknya."
"A-apa maksudmu? S-siapa—apa yang sebenarnya terjadi?!"
Dua kata pertama yang kemudian diucapkan oleh Danny, sudah lebih dari cukup untuk menciptakan paranoia terparah yang pernah Namol alami.
"Sang Kehendak. Bergerak? Dia ... sialan. Apa lagi-lagi aku terlambat ...? Kalau memang sampai gagal, Lucy, Claire, ampunilah aku."
Oneiros
Beberapa saat sebelum terciptanya ledakan di Falanthring
A
|
ula Kehendak tidak pernah semenyenangkan ini. Setidaknya bagi makhluk berjubah ungu dan sekawanan domba hitamnya, yang sedang berjalan penuh keyakinan menapaki batuan marmer khusus di taman hijau berlangit-langit koyakan dimensi; menuju ke pertengahan ruangan, tempat di mana makhluk waras mana pun yang pernah merasakan hidup, tidak akan mau berada lebih dekat dalam interval sejauh pandangan bisa menyaksikan.
Tapi Oneiros, si makhluk berjubah ungu, dengan gagahnya bergerak tanpa jeda. Ia baru berhenti di batu marmer terakhir, terpaut hanya beberapa langkah lagi dari objek paling menakutkan di Museum Semesta. Diangkat olehnya lalu sebelah tangan-pemegang tongkat penangkap mimpi, sebagai isyarat agar pasukan ajaib yang berjalan dengan setia di belakangnya ikut mengistirahatkan langkah.
Dipandangi olehnya menggunakan kekesalan murni, patung hidup berbentuk sebuah otak raksasa yang berdenyut di atas serpihan patung-patung manusia dan untaian rantai.
Bentuk kepala Oneiros yang menyerupai sebuah bola mata, pada bagian irisnya yang semula berwarna ungu lembut, perlahan berubah merah pekat.
Aku tidak pernah menginginkan kehancuran sesuatu ... lebih besar daripada yang kurasakan sekarang terhadapmu, Sang Kehendak! batin Oneiros menjerit. Ini waktunya ... pasti ini waktunya ... untukmu mengembalikan Alam Mimpi-ku! Kembalikan kehidupan kami! Mimpi kami!
Seolah melupakan tujuannya semula datang ke sini—yaitu memanfaatkan kealpaan tim kurator, demi mencari sebanyak-banyaknya pengetahuan tentang Museum Semesta sendiri—si kepala-bola-mata mengambil ancang-ancang menyerang, diikuti kemudian oleh seratusan domba hitamnya.
Aksi penyerangan berlangsung singkat. Gemuruh embikkan domba hitam, bersahutan dengan lolongan serigala Oneiros, dan ledakan bernada tumpul yang menjalar setelahnya; ketika semua pelepasan kekuatan penuh itu menghantam target. Melebur satu.
Tapi dalam radiasi ledakan yang tercipta, Oneiros membelalak karena upayanya tak membuahkan hasil baik. Malah sebaliknya—merugikan. Rantai-rantai di sekeliling Sang Kehendak seolah menyerap semuanya, lantas mengembalikannya dalam wujud energi penghancur baru. Puluhan kali lebih menakutkan.
Gelombang kejut beraura emas, diiringi gempa hebat, menyebar cepat ke seisi Aula Kehendak. Energi yang menular lewat dinding dan lantai, dan seolah menggetarkan persimpangan dimensi dalam kekacauan mendadak. Energi yang ikut terasa, tersampaikan akhirnya, oleh semua penghuni Museum Semesta saat ini.
Sementara Oneiros sendiri, setelah semua kengerian di Aula Kehendak mereda, hanya bisa mundur untuk sementara waktu. Iris pada kepala bola matanya berubah biru pudar ketika ia berlari. Mengingat pengorbanan yang harus dibayar agar dirinya bisa selamat keluar dari insiden barusan; pengorbanan seratus domba hitamnya ....
Tangan Kiri Tuhan
Beberapa saat setelah Namol Nihilo tiba di Falanthring
"L
|
ihat, David, dia bangun!"
Hutcherson dan Jess membuka mata perlahan, bangkit dari rebah, langsung berusaha mengembalikan orientasi masing-masing. Karena hal terakhir yang menimpa mereka adalah serangan kegelapan dari tornado kolosal—sukses melempar keduanya seperti serpihan dandelion, melintasi ruangan luas di Museum Semesta. Sensasi melayang-bebas itu baru berhenti ketika terjadi benturan keras disertai isapan.
Keduanya mencoba mencari petunjuk lain, ingatan tambahan, lebih spesifik soal benturan dan kejadian setelahnya, tentang bagaimana caranya mereka bisa ada di sini saat ini.
Sebuah ruangan mewah, berkesan nyaman, dan didominasi oleh teknologi canggih; jendela besar dalam keadaan terbuka, memperlihatkan langit biru cemerlang berhiaskan pesawat udara berkonsep robotika; sekelompok makhluk laut yang berenang sambil menguarkan semacam aerosol berwarna-warni, berputar di langit-langit kamar berwarna pastel; interior lucu diposisikan di berbagai medium, memanfaatkan setiap spasi yang ada, bahkan di tengah udara; hiasan atau ornamen religius terpajang di sepanjang rak berdesain trinitas, pada dinding-dinding yang dialiri mekanisme air.
Hutcherson dan Jess juga melihat figur seorang laki-laki tinggi, kekar, berwajah tegas, berzirah sederhana tapi futuristik, serta membawa pedang besar di punggungnya. Ia berdiri di samping tempat tidur mereka.
"David!" pekik suara pertama yang mereka dengar sewaktu tersadar. Suara takut-takut, setengah serak, milik seorang gadis. "Mereka bangun!"
Laki-laki berpedang besar menoleh ke arah lemari kayu bergaya kerajaan. "Ya, Tuan Putri Kana," ujarnya, dalam, pada sosok yang tak terlihat. "Mereka sudah bangun. Apa lagi yang harus saya lakukan sekarang?"
"Terus berdiri di situ, David!" kata suara di balik lemari. "A-aku masih ... malu."
Laki-laki itu menurut. Berdiri diam di samping tempat tidur tanpa memperhatikan Hutcherson dan Jess sama sekali.
Jess mendeham. "Kalau malu, bisa-bisa kehabisan es krim, loh," godanya.
Hutcherson tersenyum.
"Hah? Es krim apa?" tanya suara di balik lemari, penasaran.
"Sini makanya!"
Ta-tapi!"
"Sini!" Jess mendesak, gemas.
"Baiklah!"
Maka suara serak dan takut-takut milik seorang gadis bernama Kana itu termaterialisasi menjadi visual yang sangat cantik.
"Sini," kata Jess lagi, lebih lembut.
Kana, si gadis cantik berambut merah, mengenakan jubah putih bertudung yang tampak sangat religius, beringsut mendekati tempat tidur. Meski tampak takut, gadis itu berusaha mati-matian menampilkan kepribadian tangguh. Sejenis tata krama terlatih. David membungkuk ke arahnya, meraih tangan kanannya, lantas berganti posisi. Ia berjaga di belakang.
"Es krim?" bisik Kana. Bola mata indahnya bergetar takut sekaligus penasaran.
Hutcherson yang menyahut. Sangat sopan. "Maaf, ya, Tuan Putri Kana? Jess berbohong tadi. Kita tidak punya es krim. Tapi sebagai gantinya kita punya nama. Kadang berkenalan dengan orang asing lebih berharga dari apa pun. Ya. Dari teman baik kaum perempuan sekalipun."
Meski kelihatannya tidak mengerti, Kana tetap mengatupkan kedua tangannya di depan dada. "Namaku Kana Ruby," katanya. "Keturunan ke-1113 dari fam Kana."
"Jess Romanoff. Keturunan kesekian dari homo sapiens random, hasil teori evolusi Darwin yang agak kontroversial untuk beberapa etnik." Jess tergelak sendiri.
Kana ikut tertawa pelan meski merasa asing dengan referensi yang disebutkan.
Tepat setelah Hutcherson ikut mengenalkan diri (Hutcherson Stanford), disusul David—yang dipaksa Kana, sebuah suara disertai dengungan halus menggema di ruangan ini.
[ Dan terpujilah selalu Tuhan-ku Fatanir. Tuan Putri Kana, persiapan sudah selesai untuk mepresentasikan sang Utusan. ]
"Dan terselamatkanlah selalu mereka yang mengikuti-Nya. Baiklah, Solomon, kita akan segera ke sana." Kana tersenyum manis ke arah jendela. "Terima kasih."
Dengungan halus yang membungkam seisi ruangan menghilang.
"Siapa itu tadi, Kana?" tanya Jess. "Dan di manakah kita sekarang?"
Kana kembali terlihat gugup. Jelas sekali jarang berkomunikasi dengan orang asing. "Tadi adalah ... Solomon, Kesatria Tinggi faksi Spiritilumé," jawabnya tersendat. "Saat ini kita berada di kondominium pribadiku di kawasan sentral El-Horus. Tapi kita harus pergi."
"Ke mana?"
"Ke tempat di mana kita akan menyelamatkan Allahamel—memutar kembali sang Roda." Kana tersenyum sedih. "Aku harap begitu ... dengan bantuan kalian, wahai Tangan Kiri Tuhan."
David membuka pintu ruangan berbentuk silindris. Memperlihatkan di luar sana, sederetan tentara berzirah serupa. Ia mengangguk ke arah mereka, lalu ke arah Kana yang segera berjalan keluar.
"Ikuti kami," perintah David, tanpa kelancangan dan tanpa ekspresi.
Baik Hutcherson dan Jess sepakat untuk merespons dengan kebisuan—hanya menurut dalam tindakan. Kehidupan di dunia hiburan, teater, telah banyak mengajarkan mereka untuk beradaptasi terhadap peran teraneh, pada situasi semisterius apa pun.
Saat ini, mereka masih memilih untuk tetap berada di arus normal permainan.
***
I
|
ndah, canggih dan beda-dunia. Pemandangan di sentral El-Horus seolah berakar kuat dari tiga kata tersebut.
Keluar dari kondominium Kana, Hutcherson dan Jess segera diminta menaiki semacam kendaraan berbahan dasar metalik ringan, berbentuk piringan hitam, atap plasma semitransparan, dan melayang di atas rute yang terlihat seperti arus cahaya.
Ada sekitar sepuluh kendaraan serupa di depan dan belakangnya.
Konvoi menakjubkan tersebut melesat tanpa suara atau guncangan. Pemandangan di bawah mereka adalah hamparan rumah-kapsul yang dibangun dalam pembagian tata kota sempurna.
Dan ketika mereka melewati persimpangan pertama—Jess tidak bisa untuk tidak memekik iri—terlihat kompleks pusat perbelanjaan yang sangat menggiurkan. Bentuk keseluruhannya seperti komidi putar raksasa. Beberapa pengunjung berbusana anggun-tertutup tampak hilir mudik di sepanjang menara-menara pertokoan, duduk di taman terapung sambil menikmati berbagai atraksi, atau sekadar lewat menggunakan variasi kendaraan pribadi ke bagian pelayanan drive-thru di sudut kuliner.
Hutcherson mendapat gilirannya untuk terpukau ketika kendaraan piringan hitam mereka melewati persimpangan terakhir. Terdapat semacam tabung kaca terbesar yang pernah ia lihat. Berdiri di zona eksklusif. Benda itu memanjang sampai menembus langit, dan setiap beberapa detik sekali akan menciptakan reaksi menakjubkan dari kilatan cahaya yang mendesis memenuhi seisi ruangnya. Jalur siku-siku di sekitar permukaan wilayah tersebut selalu berpendar perak di akhir proses, demi menyalurkan, lalu, lewat semacam parabola, hasil transisi energi tadi ke seluruh wilayah sentral El-Horus dalam bentuk gelombang plasma kehijauan yang kasatmata.
Destinasi mereka, bagaimana pun, lebih menarik perhatian daripada semua hal yang disajikan di sepanjang perjalanan.
Konvoi berhenti tepat di pelataran semacam bangunan raksasa dengan arsitektur menyerupai campuran bentuk gereja-gereja tua dan istana para sultan. Kubah emas dipadukan oleh barisan atap pipih sewarna mutiara; sekilas terlihat seperti punggung suatu monster prasejarah atau permakaman di puncak bukit. Tiga menara berujung runcing menjulang di gerbang utamanya.
Melewati itu, Hutcherson dan Jess tiba di sebuah aula. Dinding dan langit-langit melengkungnya diselubungi oleh plasma kebiruan, serta lukisan-lukisan bersejarah. Masuk semakin ke dalam, ke satu-satunya koridor yang mungkin muat dimasuki Patung Liberty, derap langkah mereka menggema seolah ada di mana-mana. Lantai yang mereka pijak dipenuhi simbol-simbol dan teksturnya seperti kayu mengilat.
Sampai di ujung koridor, di mana jalan mulai bercabang seperti pintu masuk sebuah labirin, mereka diarahkan untuk tetap berjalan lurus ke depan. Memasuki ruangan persegi yang tidak terlalu besar, tapi seolah memiliki paling banyak koleksi lukisan dan patung bernilai seni tinggi.
Hutcherson memandangi transliterasi suatu deskripsi lukisan berjudul "Bangkitnya Ashura". Digambarkan di sana sesosok laki-laki kribo yang sedang bergulat dengan monster kereta api. Lalu Jess, yang terpesona dengan tiga patung ukuran-nyata, berjudul "Pertempuran di Proto Merkavah".
Keduanya sibuk menikmati apa yang tersaji di ruangan persegi itu, sampai tidak menyadari kalau rombongan sudah berhenti bergerak.
Kana, sambil terus dikawal oleh David di belakangnya, masuk ke dalam pintu cokelat bercorak emas yang membuka otomatis.
Mereka tiba.
Ruangan di balik pintu terakhir yang mereka lewati tampak seperti bagian dalam kapel terindah yang pernah ada. Dinding-dindingnya berpendar lembut kehijauan, langit-langitnya memamerkan lukisan kolosal berjudul "Hening", suatu penggambaran detik-detik berakhirnya kehidupan lama yang dipadamkan Tuhan. Cahaya alami milik siang di luar sana menyusup lewat jendela mozaik di kanan-kiri langit-langit.
Hutcherson dan Jess dipersilakan berdiri di atas mimbar, titik sentral ruangan. Mereka menunggu, sementara Kana dan sosok-sosok tua yang mudah sekali ditebak sebagai para petinggi, berdiskusi di atas kursi-kursi tinggi menggunakan bahasa asing.
Atmosfer seolah berubah tak menentu di setiap kata yang terucap dalam perdebatan. Meski tidak mengerti isinya, Hutcherson dan Jess cukup tahu kalau mereka sudah terlibat terlalu dalam pada masalah internal tempat ini.
"Kita membutuhkan simbol," Kana akhirnya berujar menggunakan bahasa universal. Suaranya bernada kalah dan sedikit marah. "Papa dan Mama juga akan melakukan hal itu jika mereka masih ada. Seandainya kalian mengerti. Bukannya menyerah pada akhir yang palsu! Tapi baiklah ... terima kasih atas waktu kalian. Saya tutup pertemuan kita."
Setelah itu, tanpa mendapat penjelasan apa-apa, Hutcherson dan Jess diminta berjalan lagi bersama rombongan yang sama. Keluar dari bangunan, mengendarai lagi piringan hitam yang kali ini seolah melesat tanpa arah. Hanya bergerak pelan melintasi sentral El-Horus, dan pemandangan-pemandangannya yang sangat memanjakan mata.
Sampai, ledakan dan gempa besar mengguncang seantero tempat ini dalam satu momentum yang tidak terduga sama sekali.
Dalam sekejap, aura keemasan sudah menggantikan panorama awan-awan siang. Mengganti pula cahaya di dalam tabung kaca, menjadikan seluruh teknologi di wilayah sentral kehilangan kekuatannya. Dan daratan terus terbelah di mana-mana, menciptakan segaris menganga mulut bumi; menelan apa saja yang berada di jalurnya ke dalam ketiadaan.
***
"A
|
tanun Pandemonim!" pekik Kana.
"Erekma trimateril!" rapal David beserta seluruh tentara-kesatria berzirah serupa.
Seluruh kendaraan piringan hitam yang mereka kendarai—yang seharusnya kehilangan kekuatan secepat setelah aura emas mengontaminasi isi tabung raksasa, dan terjatuh dari rute arus cahaya—bertahan di udara.
"Oke!" Jess akhirnya buka suara setelah beberapa menit terakhir seolah berubah bisu. "Sekarang mungkin bukan waktu yang tepat buat jelasin apa yang sebenarnya terjadi, tapi ... sebenarnya apa yang sedang terjadi di sini, sih?!"
"Tarik napas, Jess," kata Hutcherson. "Kontrol emosimu."
"Diam, Hutcher! Apa maksudmu dengan kont—"
Aura emas di langit memuntahkan sebaris-acak petir yang menghantam tepat di kompleks pusat perbelanjaan. Mematahkan fondasi penyangga utamanya. Bangunan induk serupa komidi putar itu berderak dalam keadaan miring, lalu jatuh dan meledak. Jess menutup mulutnya, ngeri membayangkan nasib para pengunjung. Keramaian yang ia lihat tadi.
Kerusakan menyebar dengan cepat. Petir-petir emas turun dalam bentuk badai. Memecahkan tabung kaca, menghanguskan kompleks rumah-kapsul, serta mulai menghancurkan bangunan besar para petinggi yang menjadi wajah utama wilayah sentral El-Horus.
"David, sekarang! Buka gerbangnya! Kita tidak memiliki waktu yang cukup lagi untuk mengunjungi Sagitarius. Kita harus ke Crowny Infidely sekarang!" Kana menjerit frustrasi, air mata mengalir deras di wajahnya.
"Laksanakan."
Lalu, masih tetap meninggalkan Hutcherson dan Jess dalam kegelapan seputar kondisi sebenarnya dari Allahamel, Kana bersama David dan seluruh pasukan berzirahnya meneriakkan satu mantra yang sama:
Waltz O'Dreadfilis Blissht!
Konvoi diselimuti cahaya hitam yang menyorot dari sebuah retakan dimensi, kemudian terisap ke dalamnya pada satu tarikan mendadak. Mereka berteleportasi menuju semesta yang lain. Tanah kematian milik kerajaan sang Beruang ... Crowny Infidely.
Chamber of Saligia (Envy)
Pada saat ini
P
|
ersis ketika badai petir keemasan hampir menggedor batok kepala siapa pun yang berdiri di tanah kelabu Falanthring, Namol beserta Holocaust, lalu—tak terduga—Nile dan Espha, melarikan diri menggunakan kemampuan teleportasi Danny.
Kera bercahaya kembali termaterialisasi sambil menggendong lemari putih berukuran sepuluh kali diameter tubuhnya sendiri. Dalam satu detak jantung, semua melompat masuk bersamaan ke dalamnya, kemudian menghilang.
Dan muncul di luar, di detik yang sama.
Di hadapan mahakarya berbentuk lukisan dengan judul "Menghilangnya Warna". Efek gempa masih terasa di sini, meski tidak sekacau di dalam tadi, dan udara seolah mengandung banyak sekali serbuk emas.
Namol segera berdiri, mengumpat, mengerjap, dan mengumpat lebih banyak. Butuh beberapa saat baginya untuk membiasakan warna-warna yang kembali memenuhi penglihatannya—setelah tadi di Falanthring, hanya kehampaan bercampur hitam dan putih saja yang melekat di setiap bentuk.
"A-a-apa itu tadi?" tanyanya.
Danny menonaktifkan si kera bercahaya, baru menjawab, "Sang Kehendak. Yang tadi itu ulahnya. Aku pernah merasakan tekanan kekuatan ini dulu sekali, dan berkesempatan untuk melihat sumbernya. Sesuatu telah membuat penguasa tempat ini bertindak."
Yeah? Tapi siapa yang cukup gila berbuat kayak gitu?! Namol memeluk dirinya sendiri, gigi-giginya bergemeletukan. Sementara pandangannya tidak sengaja bertumbukan dengan keberadaan Nile yang tampak sangat asing berdiri di antara makhluk-makhluk berdimensi utuh.
Adalah Danny yang menyapanya lebih dulu. "Nile," katanya, sungguh-sungguh. "Jadi ... kuharap ini adalah keputusanmu. Meninggalkan Falanthring sementara, semata demi membantuku melangsungkan pemberontakan."
Nile tidak menjawab. Sosok yang hanya terdiri dari susunan garis itu fokus mengedarkan pandangan ke sekeliling blok Chamber of Saligia, sambil memeluk erat istrinya, Espha, yang tak hentinya menangis.
"Nile?"
"Kita semua terlalu naif," responsnya, akhirnya. "Danistraz Teffereth, pertama kali kita bertemu, kau mengatakan padaku, kehidupan di sini adalah palsu. Bahwa kita hanyalah objek seni yang dicuri dari tempat asal kita. Waktu itu, aku tidak percaya.
"Tapi berdiri di sini sekarang, dan menyaksikan sendiri tadi tanah kelahiranku diamuk bencana, hal-hal itu akhirnya membuatku bisa mengatakan, ya, aku percaya Danistraz Teffereth."
"Itu bagus sekali, Nile—"
"Tapi seperti yang aku bilang sebelumnya," si manusia-garis memotong, suara gandanya naik satu oktaf, "kita semua terlalu naif. Makhluk yang menciptakan badai di langitku, kekuatannya hanya bisa disandingkan dengan kuasa para Penjaga. Sementara aku, hanya setengah Penjaga."
Namol tidak bisa menahan dirinya untuk menginterupsi. "Kabar bagusnya," ia setengah berbisik, "k-kalau kau belum sadar, kau tidak bertarung sendirian."
Nile menoleh ke arahnya. Tanpa wajah, sulit sekali mengatakan apakah ia sedang tersinggung atau bersiap menyerang.
"Benar. Itu terlalu benar. Kita tidak akan sendirian, Nile!" Danny kembali mengambil alih. "Kita pasti bisa meyakinkan yang lainnya. Kumohon berjuanglah bersamaku!"
"Oh, aku akan ikut memberontak, tentu saja," kata Nile nyaris datar. "Aku hanya ingin mengatakan sebelumnya, bahwa kesempatan menang kita terlampau kecil. Dan apabila keadaan berubah menjadi sangat buruk, Espha adalah prioritasku. Bukan pemberontakan."
Gempa di blok Chamber of Saligia membesar. Serempak semuanya bungkam seolah sedang menghayati setiap getaran, dan setiap bunyi letusan aura keemasan di kejauhan.
"Terima kasih, Nile," Danny setengah berteriak ketika bencana mereda, senyum antusias kembali menggantung di wajahnya. "Terima kasih! Ini adalah awal yang baik! Dan semoga saja kita masih memiliki waktu untuk mendapatkan kebaikan yang sama di akhir nanti!"
Nile mengangguk takzim. Di pelukannya, Espha sudah berhenti menangis.
"Yeah, a-aku ikut bahagia buat kalian," kata Namol. "Tapi sekarang ... apa?"
"Untuk kalian? Melanjutkan turnya, jelas! Sekaligus perekrutan, untukku!" Danny setengah tertawa, nyaris bernyanyi. Cepat-cepat ia materialisasikan lagi si kera bercahaya pembawa lemari putih. "Ayo, Namol, Holocaust, Nile, dan Espha!" sambungnya. "Mahakarya selanjutnya adalah sebuah candi, milik semesta penuh unggas bernama Sandhi Vanantara! Dan ini peringatan untuk semua, tolong buat diri kalian siap mengantisipasi berbagai serangan. Oke? Karena kita akan pergi berperang!"
"Dia bercanda, eh?" bisik Namol pada Holocaust. "Dia hanya sedang terlalu senang?"
Holocaust memberikan tuan mudanya anggukkan setia.
***
R
|
ute normal milik blok Chamber of Saligia, dari mahakarya semesta Falanthring ke mahakarya semesta Sandhi Vanantara, memang tidak terlalu menyulitkan—hanya melewati beberapa bingkai kecil berisi lukisan para pendosa bersejarah yang sedang beraksi sampai dieksekusi—ditambah jaraknya pun tidak terlalu jauh.
Tapi mereka tetap menggunakan portal kera bercahaya pembawa lemari putih milik Danny untuk pergi ke sana, dan hasilnya, sepersekian detik kemudian mereka sudah tiba tepat di hadapan salah satu anak tangga terakhir dari candi yang ukurannya tak kalah dengan sebuah pulau besar.
Namol sempat melihat, tadi, keeksotisan struktur candi ini dari kejauhan di blok vanity galleries. Sekarang ketika benar-benar dekat dengan bebatuan besar berwarna paling putih yang menyusun bangunan demi bangunannya, ia merasakan suatu kesan tambahan. Sepotong nuansa spesial, yaitu sensasi menggelitik yang berujung pada persepsi menjadi makhluk terkaya; seperti baru saja menemukan harta karun termahal.
Candi di hadapannya seolah mampu agar tidak menjadi berharga sendirian, sekadar objek mati yang bernilai, tapi juga berbagi dan hidup, menjadikan para penikmatnya bagian langsung dari kemegahan setiap tetes kandungan sejarah pada detail terkecil ornamen-ornamennya, lukisan-lukisan timbul di dinding, hutan stupa, variasi bentuk menara, patung-patung leluhur bersandingkan dewa-dewi, serta keseluruhan ruangan arkais di bagian dalam.
Rombongan—dipimpin Danny—mulai berjalan naik lewat anak tangga utama yang akan langsung mengarahkan mereka pada bagian tengah candi. Tapi di anak tangga kedelapan, sang pemandu sudah menghentikan langkahnya.
"Seperti ketika mencari jalan menuju Falanthring lewat lukisan, kita juga tidak perlu masuk ke inti candi untuk tiba di bagian dalam Sandhi Vanantara," jelas Danny tanpa menoleh. Ia bersimpuh dan sibuk menyapukan kedua tangannya pada permukaan anak tangga kesembilan. "Kita hanya perlu menarik pelatuk agar memori yang tersimpan pada mahakarya ini keluar seutuhnya—oh, ini dia! Bersiaplah! Dan jangan lupa peringatanku soal peperangan!"
Meski begitu, sama seperti tadi, proses keluarnya memori dari dalam mahakarya seakan terlalu mendadak dan memukau bagi Namol. Tanpa pertahanan apa-apa ia terjebak dalam spiral penciptaan sepotong semesta curian.
Batu-batuan pada candi terbongkar dengan sendirinya—terlepas sampai ke bagian terkecil. Lalu semua benda itu melesat tanpa arah; sangat-sangat cepat. Seperti hujan bintang yang memang benar-benar terjatuh, menabrak permukaan, dan menciptakan hal-hal baru dari kehancurannya.
Sandhi Vanantara selesai dibangkitkan.
Kebangkitan yang otomatis mengurung Namol serombongan di dalam atmosfernya. Dan ketika kepulan asap putih di sekeliling mereka memudar, suara-suara familier dari sebuah pertempuran besar berebutan hinggap di pendengaran.
Danny enggak bercanda, pikir Namol, bodoh, di sini memang sedang perang!
***
I
|
lustrasi hidup dan mati tidak pernah lebih mendekati pemaknaan sejatinya daripada pemandangan suatu peperangan. Namol tiba-tiba teringat kalimat bergaris bawah di buku sejarah "Bangkit-Gugurnya Bangsa Juvas" milik perpustakaan pusat Revinyta, Regaia, yang waktu itu ia baca di tingkat pendidikan deäner—atau setara sekolah dasar di Bumi.
Sekarang setelah terlibat langsung, mau tak mau, pada beberapa jenis perang besar dalam hitungan beberapa hari terakhir, Namol berani bilang kalau pernyataan penulis buku sejarah nonfiktif itu beralasan.
Perang adalah titik awal-kelahiran sekaligus akhir-destinasi bagi apa saja yang pernah tercipta. Contoh terdekatnya, seperti saat ini.
Berdiri di atas lapangan bertanah gembur setengah becek; di antara gerimis yang turun bersama tiupan angin meski matahari menggantung bulat-bulat di pertengahan langit; terkepung oleh tubuh-tubuh bersayap yang bergerak semata untuk membunuh satu sama lain; ditulikan gelombang melinukan dari benturan-benturan senjata tajam atau dentuman lolongan sihir-sihir—Namol terpaku dalam kondisi antimateri. Menjadi penonton yang menilai suatu kualitas tontonan bukan dari sudut pandang awam, tapi mantan pelaksana.
Dalam keadaan pembantaian sepadat ini, ia bahkan tidak tahu lagi di mana posisi yang lainnya.
"Mereka adalah bangsa Brahmavala, manusia-manusia burung ini!" jelas Danny tiba-tiba. Pemuda antusias itu muncul di belakang Namol dalam keadaan sekujur tubuh berlumuran cahaya. Fungsinya segera diketahui dengan cepat: setiap ada serangan liar yang mendekat, teleportasi skala kecil akan terpicu secara otomatis, memindahkan pengguna kemampuan ke koordinasi terdekat-teraman.
Pertahanan absolut, meski tak seabsolut pertahanan antimateri bangsa Juvas yang sedang diterapkan Namol.
"Mereka terbagi menjadi dua golongan. Si kaya dan si miskin," Danny melanjutkan, sedikit terengah-engah. "Perang ini sendiri terjadi, kurang-lebih, karena perbedaan itu. Si kaya cemburu pada kehidupan sederhana, tapi sangat bersemangat, yang dijalani si miskin. Sementara si miskin cemburu pada kehidupan mudah, tapi sangat dipenuhi kemajuan, yang dijalani si kaya."
Itu benar-benar bodoh! pikir Namol. Tapi sebelum ia menyuarakannya dengan lantang, Danny sudah berteleportasi agak jauh.
Sebagai gantinya, di antara dua pedang yang menyilang, ia melihat sosok Nile. Nirmanuth setengah Penjaga itu sedang bertahan dengan caranya sendiri. Yaitu menyerang.
Garis-garis tajam berkecepatan suara yang berasal dari tubuhnya, menembak tanpa jeda melintasi radius berpuluh meter ke segala arah. Mengagumkannya, serangan itu tidak sampai membunuh siapa pun—setidaknya sejauh observasi Namol. Di belakang Nile sendiri terdapat kumpulan garis yang membentuk piramida kecil, tempat Espha pasti sedang berlindung.
Pedang yang menyilang berganti menjadi ledakan besar. Lumpur-lumpur bercampur darah, bulu sayap, dan persenjataan beterbangan ke udara. Menghalangi aksi Nile seutuhnya.
Namol menunggu dengan sabar. Melihat sudut-sudut di mana pertempuran si kaya dan si miskin mulai terlihat mengendur, sebelum akhirnya memadat, kosong, dan terisi lagi.
Di mana Holo?! Cemas mulai membisikkan energi pada kedua kakinya agar segera bergerak mencari.
Tapi sebelum sempat bergerak, jawaban dari pertanyaan batin itu muncul nyaris seketika. Holocaust, si hibrida-domba, menerobos kerumunan peserta perang menggunakan wujud yang lain.
Monster seukuran gajah terbesar. Meski, memang, bentuknya secara keseluruhan masih terlihat seperti domba—bulu putih keriting, mengembang, wajah panjang, dan tanduk berulir. Adisional abnormalnya hanya, selain ukuran, tanduk-tanduk besar yang menempel di kedua sisi tubuhnya seperti zirah spesial.
Bagaimana pun, ketika ia tiba di samping Namol, bentuknya langsung kembali bertransformasi menjadi sesosok laki-laki tinggi, berambut perak, tampan, dan pendiam. "Maafkan saya Tuan Muda," katanya, sedikit membungkuk. "Saya lengah. Oleh karenanya saya segera terpisah sesampainya di sini."
"Bukan masalah!" bentak Namol buru-buru, melihat beberapa anak panah melesat ke arah mereka. "Awas, Holo!"
Holocaust menghindari semuanya dengan mudah.
Namol mengembuskan napas lega. Meski sesaat. Karena ia sadar, di sekelilingnya, perang terus berlanjut. Seperti pusaran nausea tak berkesudahan.
Tahap demi tahap, ia mulai merasa kegaduhan memudar, terdistorsi menjadi semacam dengungan teredam, dan setiap pergerakan terkecil sekalipun seolah berubah menjadi fragmen-fragmen lambat—ilusi dari stamina yang terus terkuras karena mengaktifkan kemampuan antimateri secara terus-menerus.
"Bertahanlah, Tuan Muda!" Terdengar Holocaust berbisik cemas di sampingnya, meski sebenarnya, tadi si hibrida-domba mengucapkan itu dengan berteriak sekuat tenaga.
Namol nyaris kolaps.
Pada saat yang sama, seberkas cahaya terbentuk di hadapannya. Danny muncul sambil memapah sesosok manusia-burung betina. Ia meninggalkan makhluk itu begitu saja, tanpa penjelasan, kemudian ia menghilang lagi, dan kembali lagi sambil menyeret dua manusia-burung jantan yang sekarat.
"A-apa ... yang ...? Sialan—" Namol ambruk. Tidak lagi berstatus antimateri.
"—tolong selamatkan mereka berdua! Tolong! Akan kulakukan apa pun!" desak si manusia-burung betina. "Apa pun! Kau mendengarku, kan? Hey?!"
Oh, burung—
"Apa pun?" tanya Danny, panik. "Kau berjanji?!"
"Kau tuli? Sudah kubilang apa pun! Aku berjanji!"
—cerewet ....
Ledakan cahaya menutup semua penglihatan, pendengaran. Momen. Dan Namol sama sekali tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Karena keletihan yang luar biasa telah berhasil memaksanya untuk menyerah pada kegelapan.
***
D
|
i luar zona peperangan, tepatnya di dalam bayangan sebuah patung besar dengan dua wajah, portal lemari putih yang dibawa oleh seekor kera bercahaya memuntahkan seluruh isinya.
Holocaust segera menggendong Namol yang tak sadarkan diri, merebahkannya dengan perlahan, lantas berdiri di dekatnya dalam sikap siaga. Nile dan Espha mengambil posisi terjauh dari rombongan, hampir keluar dari bayangan. Sementara Danny, bersama tiga bangsa Brahmavala, hanya bergerak sedikit setelah keluar dari portal.
"Aku sudah menyelamatkan kalian," kata Danny pada si manusia-burung betina yang terduduk lemas di samping dua manusia-burung jantan yang sekarat. "Sekarang sesuai perjanjian—"
"Paham, paham! Aku tahu apa yang harus kulakukan! Namaku Siffa Agnusi—seumur hidup aku tidak pernah melanggar janji!" kaok si manusia-burung betina bernama Siffa Agnusi. "Apa yang harus kulakukan untukmu, wahai pendatang?"
Danny tersenyum. Mengulurkan tangannya untuk membantu si manusia-burung betina berdiri. Meski ragu-ragu pada awalnya, uluran tangan itu akhirnya diraih. Mereka kini tegak berhadapan.
"Dengar, Siffa?" jelas Danny, pelan, berusaha menuntun emosi lawan bicaranya ke tingkat ketenangan yang sama. "Apa kau bisa menerimanya? Seandainya kukatakan sekarang, semesta Sandhi Vanantara yang berada di sini merupakan semesta rekaan? Tidak lengkap?"
Siffa mendengus, setengah tertawa mengejek. "Kau berbicara menggunakan lidah Bhurloqué yang lucu, wahai pendatang! Apa sebenarnya maksudmu? Karena dari apa yang kudengar tadi, kau seolah sedang mengatakan bahwa tanah kelahiranku palsu!"
"Namaku Danistraz Teffereth. Tapi panggil saja aku Danny. Aku juga sedang tidak menggunakan bahasamu—bahasa universal tercipta dengan sendirinya dari sistem tempat ini. Tapi, ya, Siffa, kurang lebih memang seperti itu isinya. Sandhi Vanantara yang berada di sini hanyalah sebatas mahakarya seni. Bukan semesta seutuhnya."
"Berbicara hal-hal besar seperti memperbincangkan biji-biji jagung dan tahi Swarloqué!" kaok Siffa, kedua sayapnya mengembang. "Kau menghinaku, Danny si pendatang!"
Danny bergeming. "Aku bisa menunjukkan padamu ... kenyataan."
"Kalau begitu tunjukkan, dan cepat! Aku mulai kehabisan waktu untuk merawat Arjune dan Kris!" Si manusia-burung betina melompat mengudara, memasang posisi menukik-menyerang. "Bergeraklah sekarang! Sebelum kuciptakan pengecualian untuk melanggar janji di dalam hidupku, kemudian mematuk jantungmu keluar dari kulitnya yang dipenuhi aroma omong kosong itu!"
"Tentu." Dan tanpa mengatakan apa-apa lagi, Danny mengeluarkan kera bercahayanya. Bersama Siffa, kemudian, ia berteleportasi entah ke mana.
Kepergian yang menjadikan Sandhi Vanantara pada wilayah ini seketika berdengung dalam kesunyian yang hampir mengerikan. Bebunyian lain hanya tercipta secara samar-samar, ketika angin selatan berembus, suara peperangan di kejauhan ikut lewat bersamanya.
Holocaust masih menjaga Namol di bawah naungan bayangan patung besar berwajah dua. Patung Dewa-Dewi Sephira yang kerap dijadikan perbatasan sakral antara kaum Bhurloqué di barat, dan kaum Swarloqé di timur. Didirikan tepat sehari setelah gugurnya sang Harapan Sandhi Vanantara, Ratu Chandika; tewas dalam insiden paling tragis.
Di langit, gerimis sudah mereda, tapi entah sejak kapan. Matahari bersinar sendirian, mulai melewati pertengahan, dan tanpa sedikit pun awan bergerak di dekatnya. Kejernihan yang diciptakan karenanya berhasil memperlihatkan bayang-bayang peradaban maju di cakrawala timur, kemegahan menara-menara berundak, dan patung raksasa Yang Mulia Mahadewi Pitaloka; berbahan dasar emas murni. Sementara di cakrawala barat hanya terlihat hutan setengah gundul dan kering.
"Para Nirmanuth di Falanthring hidup bersama alam, dan kebanyakan dari kami saling berperang atas nama tradisi. Tapi tempat ini berbeda. Mereka memiliki kekayaan mati, dan mereka berperang juga untuk hal yang sama," kata Nile tiba-tiba. Sesosok garis itu berjalan mendekati Holocaust sambil berangkulan dengan istrinya, Espha. "Aku merasakan, kehadiran kalian berdua di tempat ini memiliki tujuan yang lain," sambungnya. "Aku ingin mengetahuinya."
Si hibrida-domba menjawab dengan ketenangan mematikan, "Saya dan Tuan Muda Namol Nihilo ke sini untuk menciptakan sebuah karya. Untuk berhadapan dengan Reverier dengan nama Jess Hutchersoni. Dan untuk mendapatkan sebanyak mungkin pengetahuan yang bisa ditawarkan di setiap tempat di Museum Semesta."
"Aku sudah menduganya," kata Nile, "aku tidak mengerti. Tapi yang terpenting dari itu, aku juga merasakan banyak hal baik dari keberadaan kalian. Kalian bertujuan. Semoga Penjaga Keberuntungan senantiasa membuka gerbangnya untuk kita semua."
"Terima kasih."
Tak lama setelah itu, seekor kera dan lemari putihnya termaterialisasi di udara. Sedetik kemudian, Danny dan Siffa sudah kembali berdiri berhadapan. Bedanya, si manusia-burung betina yang tadinya merah karena dipenuhi emosi, kini berubah putih-pucat. Sayap-sayapnya menekuk gemetar.
Sekarang Holocaust tahu ke mana Danny membawa si manusia-burung betina barusan.
"Bagaimana, Siffa?" Terdengar Danny bertanya, cemas. "Siap untuk memberontak? Demi kita semua, kumohon? Aku bahkan akan membawa Arjune dan Kris-mu ke tempat Adikku. Dia bisa merawat mereka."
Siffa memberikan anggukkan kaku, lantas mengaok pelan, "Terima kasih, Danny. Maaf meragukanmu. Kita benar-benar sedang berada di tengah-tengah tempat terkutuk ...."
"Jangan dipikirkan." Danny tersenyum lega. "Baiklah!" serunya, lalu, ke arah Holocaust, Nile, dan Espha. "Keluarga kita semakin besar! Tapi ayo kita perbesar lagi! Setelah keluar nanti kita akan langsung pergi ke Gearmist Stronghold! Kali ini bersiaplah untuk kebut-kebutan!"
Maka, sang kera bercahaya kembali membuka lemari putihnya, yang semakin membesar seiring bertambahnya jumlah pemberontak Museum Semesta. Diiringi angin selatan dan bisikan peperangan nun jauh di sana, disaksikan oleh tanah lapang dan patung dua wajah Dewa-Dewi Saphira, rombongan tersebut meninggalkan Sandhi Vanantara.
Chamber of Saligia (Greed)
Beberapa saat yang lalu, pada waktu yang sama dengan kedatangan Namol Nihilo di Sandhi Vanantara
E
|
lemen degenerasi di tanah gersang berlangit merah ini—Alam Kematian inti dimensi empat—sangat padat dan menyesakkan bagi siapa pun yang berjalan di antaranya dalam keadaan hidup.
Hutcherson dan Jess salah satunya. Mereka tiba di sini—di pelataran kastel sewarna siluet berdarah, berbentuk seperti iblis kolosal dalam keadaan setengah terkubur—bersama rentetan ledakan dari seluruh kendaraan piringan hitam yang ikut berteleportasi. Transportasi canggih itu terjatuh tanpa tenaga, satu per satu, melebur menjadi api besar dan asap kelam setelahnya.
Hal-hal rusuh tersebut seketika memicu sebuah kesalahpahaman.
Dari dalam gerbang utama kastel, berhamburan sekelompok penjaga yang bergerak cepat mengepung rombongan Hutcherson dan Jess. Mereka semua mengenakan pakaian perang bertopeng setengah wajah, bertudung—berbentuk ilustrasi kepala iblis, berwarna hitam. Kaki beserta tangannya sangat pendek dan gempal. Bentuk badan sedikit melebar, lalu tinggi yang bahkan tidak mencapai pinggang Hutcherson atau pun Jess benar-benar terasa seperti lelucon.
"Boneka iblis? Kita di mana, sih?!" tanya Jess, setengah membentak. "Disney Land?!"
Beberapa trisula merah milik pasukan kerdil yang sedang melingkari Jess segera terangkat mengancam. Beberapa penjaga yang lain mendesis kejam.
"Oke ... Jess, mungkin lebih baik kita diam dulu?" Hutcherson mengusulkan.
"Meh! Kita butuh penjel—"
"Tolong pertemukan diriku dengan Overlord Ursario XIII," Kana memotong. Maju, seolah menantang ujung trisula yang mulai diacungkan ke arahnya. "Namaku Kana Ruby. Perwakilan dari Tanah Nirfinitia, datang ke sini untuk—"
"MENGGANGGU TIDUR SIANGKU, HEH, PELACUR KECIL, BURRRA?!" Auman bervibrasi tinggi menutup suara Kana. Berasal dari setitik kecil keberadaan yang sedang melesat-bebas di udara, tapi lantas membesar, dan membesar, sampai akhirnya keberadaan itu mendarat tepat di tengah-tengah rombongan yang menghindar, dalam wujud boneka beruang bermahkota.
Beberapa petir pada langit merah di sebelah kiri puncak menara paling tinggi, menyambar ganas. Sekaligus memberikan penerangan dramatis terhadap kemunculan sang raja.
"Overlord!" Kana memekik girang, berlari ke arah si boneka beruang bermahkota, lalu menggendong dan memeluknya.
Penjaga-penjaga yang melihatnya cuma bisa melongo.
"Demi Lucifer, bura!" umpat Overlord. "Jangan di sini! Aduh! Hey, bura! Aaah! Wibawaku, burrraaa! Dasar aristokrat idiot, lepaska—" ia berhenti tiba-tiba. Karena masih sambil erat-erat memeluknya, Kana ternyata menangis tanpa suara.
Overlord seketika bergerak seperti bayangan mengabur, melepaskan diri dari pelukan, lantas muncul di samping Kana dalam keadaan menggandeng tangannya. "Kita bahas di dalam, bura," ia berujar pelan, menggunakan karisma keseriusan yang seketika menegakkan tubuh-tubuh penjaganya, sekaligus membuat Kana menangis semakin keras. "Baiklah, bura! Siapa pun yang terlibat dalam masalah ini, ikuti aku, burrra!"
***
G
|
ilanya, atau bagian terparahnya, adalah penjelasan Kana tentang bagaimana pentingnya keberadaan Hutcherson dan Jess demi kelangsungan hidup semesta Allahamel.
Sambil bersandar santai di kaca jendela ruang kerja Overlord, membelakangi panorama khas neraka milik Alam Kematian, mereka menyimak baik-baik sesosok Kana yang menceritakan semuanya.
Tentang Allahamel. Semacam planet berbentuk roda yang terus berputar, tapi lalu berhenti berputar. Fenomena terbesar dalam sejarahnya, sekaligus penyebab krisis global paling menyulitkan. Karena akibat berhentinya perputaran, serempak seluruh penghuninya seolah kehilangan kemampuan untuk berkembang. Tidak ada lagi penciptaan. Tersisa hanya penantian masa-masa akhir. Kepunahan.
Sampai tiba hari ini.
Hari kedatangan sosok yang dipercaya mampu mengembalikan kehidupan bagi seluruh penghuni sang Roda. Pengunjung ilegal pertama yang tiba dengan selamat di dalam planet; karena sesungguhnya mekanisme pertahanan alami angkasa luar Allahamel sangat mengerikan. Terdapat hutan asteroid, empat satelit lubang hitam tak berpenghuni dengan bentuk kuda perang, badai oblivion, dan terlalu menipunya permainan cahaya dari nebula-nebula terdekat.
Karenanya, siapa pun yang bisa menerobos dan tetap hidup, pastilah bukan tercipta sebagai makhluk biasa. Karenanya, hari ini, selamanya, akan dikenang sebagai hari kemunculan Hutcherson dan Jess—disebut-sebut pula oleh Kana, merujuk kitab-kitab Nirfinitia, sebagai era diturunkannya Tangan Kiri Tuhan.
Sosok penyelamat kedua—setelah pertama ada Tangan Kanan Tuhan yang pernah turun di beberapa zaman silam untuk membinasakan pecahan Salis, satu dari tiga entitas maya—di masa-masa tersulit.
Kana juga menerangkan, bahwa tertulis di dalam alkitab, Tuhan Fatanir hanya akan mengirimkan kedua tangan sebagai bantuan nyata terhadap pengikut-Nya. Dan beruntung sekali bagi mereka yang hidup di era-era terselamatkan, karena hanya setelah terlewatinya masa-masa tersulit, pencerahan terbesar akan diterbitkan.
Jess menganggap teori semacam itu seperti sekadar sarang nyamuk yang tercipta di dalam rumah karena penghuninya malas bersih-bersih.
Overlord tertawa.
Dan Kana, meskipun sedikit tersinggung lantas salah tingkah, tetap melanjutkan penjelasannya. Gadis religius itu mengatakan, kehadiran Hutcherson dan Jess juga merupakan keuntungan besar dari sudut pandang ilmiah. Tadi, ketika apa yang ia juluki sebagai Tangan Kiri Tuhan masih terbaring tak sadarkan diri di kondominiumnya, beberapa anggota tim medis-khusus datang untuk mengambil contoh darah.
Hasilnya, Hutcherson dan Jess positif masih memiliki kemampuan untuk bereproduksi—hanya jika memanfaatkan teknologi terbaru yang dimiliki divisi kesehatan El-Horus.
Hutcherson sangat terkejut mendengar fakta ini. Mengingat status dirinya dan Jess sekarang ... kemudian insiden di masa lalu. Sengatan asing, dingin, memaksanya untuk mengerjap cepat. Aku masih bisa memiliki seorang anak? batinnya.
Perasaan itu tersampaikan langsung ke partnernya, Jess, yang hanya bisa merespons dengan sesegera mungkin mengenakan topeng ketegaran—tersenyum menghibur.
Dua poin itulah: pemanfaatan kemampuan Tangan Kiri Tuhan, dan kemungkinan bereproduksi, yang Kana sampaikan pada pertemuan para petinggi di gedung sentral El-Horus. Sebuah usulan yang malah dianggap, oleh orang-orang tua di kursi tinggi, sebagai usulan seorang maniak.
Itulah, ditambah bencana tektonis serta badai petir keemasan yang melanda kota kelahirannya tadi, hal-hal yang berhasil menghancurkan hati kecil Kana. Dan itulah semua penjelasan—cerita—mengerikan darinya seputar arti keberadaan Hutcherson dan Jess untuk semestanya.
Ruang kerja Overlord seolah ikut membisu. Suara-suara penanda bahwa ini bukan permakaman, hanya terdengar dari dentingan gelas kaca berbentuk sarang madu pada botol anggur, dan tulang-tulang yang meretih di perapian.
"Kesampingkan bencana terakhir itu, bura," kata Overlord, menyudahi keheningan sambil mengisi gelasnya yang kosong dengan cairan kemerahan. "Karena Alam Kematian juga mendapatkannya. Dan seperti kami, Alam Data pun pasti mampu bertahan. Jadi, bura-hiccup, yang penting sekarang adalah kenyataan. Informan terhebatku, Sagitarius-y dan Cancer-y, mendapatkan pengetahuan ini dengan mempertaruhkan jiwa mereka. Jadi letakkan telingamu di posisi seharusnya, eh, bangsawan kecil. Ketahuilah ...
"Saat ini kita tidak sedang berada di galaksi atau dimensi mana pun, bura. Bukan dikarenakan berhentinya putaran sang Roda. Tapi karena Allahamel telah dikalahkan oleh Museum Semesta, bura. Aku tahu, menyedihkan. Kita hanyalah mahakarya."
"Itu ... tidak mungkin!" sanggah Kana.
"Memang sulit dipercaya, bura."
"Ta-tapi!"
Hutcherson dan Jess bergerak dari depan jendela, ke samping Kana. "Teddy bear ini benar, Kana," kata Jess. "Aku dan Hutcher enggak masuk ke semesta kalian lewat proses kenabian. Maaf. Saat ini, kita semua ... lagi ada di suatu tempat bernama Museum Semesta."
Air mata frustrasi kembali membasahi pipi Kana ketika ia jatuh bersimpuh. Kedua tangannya menutupi wajah. "Lalu—lalu apa?" ia menggumam. "Oh, ya, kita masih bisa selamat menggunakan metode reproduksi Tuan Hutcherson dan Nyonya Jess, kan? Kita juga nantinya bisa pulang, melarikan diri, dari tempat ini, kan? Tenang saja ... akan kupikirkan caranya. Aku enggak akan gagal. Aku enggak boleh mengecewakan mereka ...."
Apa yang membuat seorang gadis kecil berusaha begitu kerasnya, Jess tidak tahu. Maka ia hanya bisa mengatakan padanya, "Semua akan baik-baik saja, Kana." Sebuah harapan berbentuk sekeping janji rapuh. Meski klise, semua kehidupan tetap membutuhkannya.
"Kita akan memenangkan pertempuran ini, bura," kata Overlord tiba-tiba. Boneka beruang bermahkota itu menenggak minumannya di depan perapian. "Allahamel akan kembali berputar, dan kita semua akan pulang. Semua pengetahuan untuk merealisasikan itu, bura, sudah ada di kepalaku. Jadi tenang saja dulu, gundik di bawah umur. Bantu aku ketika aku membutuhkannya. Tapi sekarang, bura, belum waktunya kita bergerak."
Catatan Mimpi Buruk
R
|
engekan sesosok bocah di hadapan Namol benar-benar memuakkan.
"Apa maumu?" Namol bertanya padanya.
Bocah itu tidak menjawab, hanya merengek.
"Di mana orang tuamu?"
Tetap tidak menjawab. Dan si bocah malah merengek lebih keras.
"Jangan menangis!"
Semakin keras.
"Diam!"
Sebaliknya. Saat ini jeritan si bocah, mungkin, sudah mampu meledakkan isi telinga siapa saja. Tapi Namol bertahan menggunakan antimateri.
Mungkin aku harus membunuhnya? Pikiran itu tebersit dengan sangat mengejutkan, sekaligus, anehnya, natural.
"Hey! Akan kulakukan apa pun untukmu! Diamlah!"
WAAAAAAAAAAAA!!!
Cukup! Aku akan membunuhnya! Dan sedetik kemudian, Namol sudah menarik keluar jantung bocah itu.
Tapi bocah itu masih menjerit.
Namol menjatuhkan jantung kecil di tangannya, lalu ikut menjerit. Terus menjerit sampai ia tersadar, ia sedang melihat dirinya sendiri dari mata si bocah.
"Apa maumu?" tanya dirinya, pada dirinya—si bocah.
Tidak ada jawaban. Namol tidak bisa berhenti menjerit. Sampai akhirnya, dirinya mencabut jantungnya sendiri, lagi, dan lagi, dan lagi, hingga ia tersadar ...
... bahwa saat ini ia sedang sendirian. Bersimpuh di bawah satu-satunya sorotan cahaya, di tengah-tengah kegelapan.
Lalu sosok itu masuk ke dalam lingkarannya sambil tertawa-tawa. Timiel Isadore, jika Namol tidak salah mengingatnya. Pemuda pemakai fedora, ornamen berupa simpul penggantung di leher, pemilik senyum paling lebar serta sangat tidak lazim, sekaligus ... manifestasi dari mimpi buruk.
"A-a-apa yang kaulakukan di sini?!"
Timiel berhenti tertawa. Ekspresinya mendadak berubah terluka. "Kawanku, kau menelanku di finalé pada pertempuran sebelumnya, ingat?"
Namol tidak ingat pernah menelan pemuda sosiopat mana pun. Ekspresi bingungnya memancing Timiel untuk kembali tertawa.
"Ini pasti hanya mimpi!"
"Oh, Namol Nihilo, Kawanku! Jenius sekali! Sangat masuk akal! Mengingat diriku adalah mimpi buruk itu sendiri!" Timiel berkedip, lalu menghilang, dan muncul di samping Namol yang langsung seolah melompat keluar dari tubuhnya sendiri.
"J-jangan mengagetkanku!"
"Mudah! Asalkan, kau juga menghentikan peran dramamu, kumohon?" Timiel memelas berlebihan. Sementara Namol jadi terlihat lebih bingung dan bodoh. "Kawanku yang malang, kau melupakan semuanya, ya? Begini. Setelah terjebak di dalam tubuhmu yang unik tanpa bisa melakukan apa-apa, aku jadi punya cukup waktu untuk melakukan banyak hal membosankan. Seperti ... mengintip masa lalumu? Ya. Ingin tahu ada apa di sana?"
Kewaspadaan, pikir Namol. Dan hal lainnya yang sama sekali enggak menarik.
"Enggak! A-aku ingin pergi dari sini. Bangunkan aku!"
"Baiklah. Mungkin lain kali." Timiel menyeringai. "Tapi sebelum kau tersadar, ketahuilah, Kawan, kau menelanku ketika aku sedang berada di wujud paling menyedihkan. Bola hitam yang hendak menghancurkan Exiastgardsun, ingat? Itu aku!"
Namol mengingatnya.
"M-masa, sih? Enggak mungkin!"
"Terserah! Dan, yang jelas, aku tidak sendirian di sini, Kawan! Oh, sama sekali tidak!"
"Keluarkan aku!" Namol menjerit sekuatnya.
"Suatu saat nanti! Suatu saat nanti ketika kau mengingatnya, Kawan! Aku akan berada di sana dan tertawa! TERTAWA!"
Namol menjerit sekali lagi. Kali ini, jeritannya berhasil mengusir kegelapan. Mengenyahkan Timiel. Memperluas sorotan cahaya yang sedari tadi meneranginya seperti pemeran sandiwara panggung, dan, akhirnya, membangunkannya.
Chamber of Saligia (Wrath)
Saat ini
"E
|
naknya bikin gambar apa lagi, ya, sekarang? Karikatur dirinya sudah. Apa lagi, ya?" tanya Siffa, si manusia-burung betina yang sedang memegang kuas. "Baiklah. Karikatur Yang Mulia Mahadewi Pitaloka saja."
"Jika saya boleh menyarankan, tolong gambar itu di pipi kanannya," kata Holocaust, kalem.
"Aku juga ingin agar pipi kirinya diberi sedikit warna kuning," tambah Nile. "Aku akan kesulitan membedakan wajahnya dengan biawak papari nanti, tapi aku rasa itu bukan pelanggaran besar."
Siffa mengangguk tanda tak masalah. Sementara Espha di sampingnya tampak cemas sekaligus tertarik. Makhluk-makhluk ajaib itu sedang berkerumun di bilik kosong pada vanity galleries, untuk menggambari wajah Namol yang masih tak sadarkan diri.
"Baiklah, ini dia. Kalian tolong diam ... hm, coretan pertam—"
"KELUARKAN AKU!" Namol menjerit tiba-tiba.
Mengagetkan Siffa yang kemudian berkaok-kaok panik, menjatuhkan deretan cat di meja kayu dengan sapuan sayapnya. Warna-warni itu bertebaran dan terciprat membasahi Nile, membuatnya melakukan gerakan-gerakan silat ala garis yang sangat tidak perlu karena malah menciptakan kerusuhan tambahan.
"A-a-ada apa ini?" tanya Namol, terengah-engah, pada Holocaust di sampingnya.
"Saya sebenarnya ragu, dan mungkin terhipnotis untuk bekerja sama dengan kejahilan mereka," kata si hibrida-domba malahan, membungkuk dalam-dalam. "Tuan Muda, maafkan saya."
"Hey, ada apa ini—oh, Namol, sudah siuman, ya?" Kepala Danny muncul dari ujung sekat kayu, lalu menghilang lagi ketika ia harus menghindari pelesatan sekaleng cat. "Ya, ampun, kalian!" lanjutnya. "Ini ruang pameran milik Claire! Berhenti, ayolah! Lagi pula, ini waktunya kita untuk berangkat!"
Kekacauan pun mereda dengan berangsur-angsur.
Setelah dari Sandhi Vanantara tadi, Danny membawa rombongan kembali ke vanity galleries. Ia membiarkan Namol yang masih pingsan untuk beristirahat sejenak, juga meminta Lucy agar merawat luka-luka serius yang diderita dua manusia-burung jantan—Arjune dan Kris.
Sekarang rombongan sudah kembali berdiri, siap, di hadapan seekor kera bercahaya dan lemari putihnya.
Mereka segera berteleportasi ke depan sebuah menara yang sangat tinggi, seolah tanpa puncak karena ujungnya tidak terlihat—tertutup semacam kepulan asap abu-abu. Pada permukaan dindingnya, bagaimana pun, terpampang mekanisme dari ribuan roda gigi bervariasi ukuran. Semuanya bergerak, berbunyi, dalam irama naik-turun dan ketukan-ketukan khas yang konstan.
Danny segera mencari pelatuk demi membebaskan memori mahakarya ini, dan ketika ia menemukannya, ia menyempatkan diri dulu untuk memperingatkan rombongan agar bersiap terhadap kemungkinan kebut-kebutan, sampai tabrakan. Karena mereka akan tiba di sebuah arena balap.
Namol yang setengah pikirannya masih tertinggal di mimpi singkatnya barusan—pertemuan dengan Timiel Isadore, perkataannya—kembali harus berhadapan dengan prosesi penciptaan semesta tanpa persiapan sama sekali.
Ia hanya pasrah ketika seluruh roda gigi di dinding menara terlepas dan lanjut menggelinding liar ke arahnya. Ditambah hujan asap abu-abu beserta siulan menulikan yang berasal dari puncak; menderas dan mengeras sampai membutakan dan menenggelamkan bentuk dan bunyi lainnya.
F-f-fokus, bodoh! perintahnya pada diri sendiri, panik setengah mati. Saat ini sekelilingnya sudah berubah seutuhnya. Pemandangan blok Chamber of Saligia tak lagi tersisa. Digantikan oleh arus udara yang sangat pahit rasanya ketika terhirup, dan awan-awan oranye-gelap di langit bernuansa sepia. Semuanya hanya berkelebatan. Karena ia, bersama rombongan, memang sedang terjatuh.
Tapi tidak ada yang bertindak. Fakta bahwa beberapa dari mereka sebenarnya bisa terbang, seolah terlupakan.
Untuk Namol sendiri: Danny lupa bilang kalau kita akan tiba sambil terjun seperti ini! Pemikiran seperti itu adalah apa yang lebih mudah teringat.
***
E
|
spha mengejutkan rombongan dengan mengubah tubuhnya yang persis simbol perempuan di toilet umum, menjadi sebentuk keranjang. Transformasinya terjadi tepat di detik-detik terakhir, beberapa meter dari permukaan. Berkat itu, tidak ada yang mendarat sebagai jus organ.
Dan seolah tidak mau terpisah, Nile menambahkan sedikit detail pada transformasi Espha, dengan cara mengubah dirinya sendiri menjadi rangkaian dinding dan atap. Keranjang seadanya kini berubah selayaknya trem sederhana.
Mereka mendarat dengan mulus di atas bantalan besi-besi besar yang berjajar secara horizontal. Kemudian mau tak mau, lanjut melaju ke depan menggunakan kecepatan penuh.
Karena tidak sampai dua puluh meter di belakang mereka, terdapat kereta besar berwajah seekor gorila yang melaju seperti sedang dicambuk sekuat tenaga oleh masinisnya.
Entah sudah berapa kali Namol mengumpat, menjerit, berdoa, serta meminta agar Espha dan Nile bergerak lebih cepat.
Apa-apaan benda itu?! pikirnya, setelah melirik ke belakang, ketika rute pada rel memaksa trem untuk berbelok. Dalam beberapa detik menganalisa, ia mendapati desain perang pada sekujur kereta berwajah gorila. Gemuruh piston tak berkesudahan yang dihasilkan olehnya seolah meremukkan langit, bumi, sekaligus nyali.
Namol mengalihkan perhatiannya ke sekeliling. Sejauh mata memandang hanya bermacam bentuk rel yang terlihat, sebagian bangunan serupa tribune, lalu ... semprotan api.
TUHAN!
Trem Espha-Nile melompat anggun bagai singa sirkus, melewati mekanisme berbentuk mulut naga yang terus-menerus membanjiri rel dengan dengusan panas sampai puluhan meter jauhnya.
"Ini adalah balapan kereta yang melegendaris! Royalgear World Cup milik semesta Gearmist Stronghold!" jelas Danny sambil berteriak. "Saat ini kita sedang berada di Royalgear Stadium!"
Namol melongo, tidak mengerti harus merespons seperti apa. Jika saja tujuan Danny semula bukan untuk memandunya berkeliling seisi ruangan House of Memory; memperkenalkan satu per satu mahakarya seperti kurator; menambah pengetahuan seputar Museum Semesta sampai nanti tiba waktunya berhadapan dengan Jess Hutchersoni. Pasti saat ini ia akan memberinya sumpah serapah terbaik.
"J-jadi kau memang sudah pernah mengunjungi semua memori pada mahakarya di House of Memory, eh?" tanya Namol, memutuskan untuk menggantikan rasa takut tergilas kereta-gorila dengan rasa penasaran paksaan.
"Tidak keseluruhan House of Memory, tidak!" jawab Danny, masih setengah berteriak agar suaranya terdengar. "Ada beberapa mahakarya di blok 666 yang belum sempat kujelajahi pada kesempatan pertamaku terbebas dari belenggu Sang Kehendak. Dan blok Speztan, entahlah, kurasa tidak akan pernah ada yang tahu ada apa sebenarnya di balik dinding tornado kolosal itu."
"Oh, b-begitu? Jadi h-hanya mahakarya di Chamber of Saligia saja yang sudah sepenuhnya dikunjungi olehmu?"
"Ya!" kata Danny, sangat senang. "Ketika waktu itu membaca kitab Dante selaku katalog ruangan ini, blok Chamber of Saligia langsung menarik perhatianku karena temanya keren!"
Sayangnya, Namol tidak melihat faktor keren dari mengunjungi tanah hitam-putih, berada di tengah peperangan unggas, atau sekarang, dikejar-kejar monster besi berwajah gorila. Mungkin Danny menggunakan kamus yang berbeda!
"Maaf! T-tapi apanya yang keren dari—"
Kalimat tanya Namol dipotong oleh rusuh bombardir bola meriam dari berbagai arah, ditembakkan lewat udara oleh armada zeppelin. Disusul kemudian terpicunya serentetan ledakan bom-tanam di spasi-spasi rel, dan kedatangan makhluk-makhluk setengah raksasa yang ternyata merupakan pasukan robot beroda-gigi—masing-masing membawa gergaji mesin dan senapan serupa tank kecil.
Baik, jadi beginilah aku akan mati ....
"Rintangan terakhir!" pekik Danny di antara campuran keributan yang diproduksi para pembunuh. "Bertahanlah dan kita akan menjadi juara dua dalam balapan legendaris ini! Ha-ha!"
Siffa, yang sedari tadi hanya menggerutu soal kenapa rombongan tidak turun saja dan menghabisi lawan lewat peperangan (otomatis diabaikan oleh semua), akhirnya menyerukan hal lain: "Menjadi yang kedua tidak akan pernah cukup bagi Bhurloqué bermental pemenang sepertiku! Dahului pergerakan angin kalau perlu! Kita harus menjadi yang pertama!"
"Kita tidak akan pernah bisa menjadi juara satu, Siffa!"
"Jangan tulari aku dengan overpesimismu, Danny si pendatang!" kaok si manusia-burung betina.
"Bukan! Maksudku, posisi juara satu sudah lebih dulu diamankan peserta lain!"
"Jangan buta! Kita sedang berada paling depan sekarang!"
"Oh! Unggas keras kepala!"
"APA?!"
"Bukan-bukan! Maksudku—awas!"
Tebasan gergaji mesin dari beberapa robot beroda-gigi sekaligus sudah pasti akan membelah trem beserta isinya tadi, jika saja Holocaust tidak kembali berubah menjadi monster-domba dan menahan semua serangan tepat di titik tengahnya.
"Bagus sekali, Holo!" puji Namol. "T-tapi apa kau baik-baik saja?!"
"Apa pun itu selama bisa membuat Tuan Muda aman," sahut Holocaust sambil berubah ke wujud tampannya semula, "akan saya lakukan meski harus berulang kali."
Namol seketika terpicu. Moralnya naik.
"Baiklah! Ayo bertahan!" pekiknya.
"Itu baru semangat!" sahut Danny.
Terbentuklah formasi pertahanan yang sangat mengagumkan. Siffa menahan meriam di atas trem; Danny mengalokasikan serangan-serangan robot beroda gigi; Holocaust membuka jalan di depan sambil memicu bom-tanam; Namol mengubah trem bersama dirinya sendiri menjadi antimateri.
Semua mengerahkan kemampuannya. Bahkan tanpa mengetahui alasan sebenarnya mereka melakukan hal tersebut; karena sesungguhnya semua itu memang sama sekali tidak relevan dengan tujuan mereka.
Momen ini terjadi begitu saja. Rombongan tiba di arena balap, dan tidak ada satu pun di antara mereka yang pada akhirnya ingin keluar tanpa menjadi pemenang—hasrat terdasar setiap kehidupan.
Berhasil mengatasi rintangan, trem Espha-Nile bertemu lagi dengan si kereta-gorila yang juga baru selesai mengarungi siksaannya. Lalu, dengan sangat dramatis dan komikal, keduanya melesat melewati garis finis. Nyaris bersamaan.
Momen itu segera diputar ulang oleh panitia dalam keadaan superlambat. Dan ... trem Espha-Nile sukses menjadi juara dua Royalgear World Cup ke-808.
Semua karena usaha bersama, sekaligus keajaiban apa pun yang menjadikan ukuran trem lima kali lipat lebih panjang dari sebelumnya di saat-saat terakhir.
***
D
|
eru mesin ribuan kereta yang dipadamkan nyaris bersamaan, menciptakan keheningan asing ke seantero Royalgear Stadium setelahnya. Bengkel-bengkel ditutup. Pembalap, montir, bersama kru lainnya langsung sibuk beristirahat. Sementara para penonton disuguhi pertunjukan steampunk-jaz sebagai penawar adrenalin—sampai nanti, pertengahan malam, upacara pengangkatan tropi.
Kebanyakan dari mereka belum menyadarinya. Di tempat bersejarah ini, tadi, baru saja tercipta sepasang kemenangan kontroversial. Juara satu dan dua.
Juara satu diduduki oleh The Invulnerable muda yang berasal dari desa Dying Farm, bernama Quimtray Cabbage. Masalahnya adalah: Quim merupakan pembalap kacangan tanpa memiliki satu pun pendukung, dan kereta menyedihkannya bergerak terlalu sempurna. Bagi sebagian panitia, itu sangat tidak masuk akal.
Sementara juara dua diduduki oleh rombongan Namol. Masalahnya adalah: registrasi. Kemunculan trem Espha-Nile terlalu mendadak, dan lebih dari separuh aksinya tidak terekam kamera. Lalu, soal rasial. Fakta tidak adanya satu pun bangsa The Invulnerable di tim ini.
Tapi kemenangan tetaplah kemenangan. Jika sampai upacara pengangkatan tropi tidak ada yang melayangkan tuduhan serius, maka semua harus menerima kenyataan. Royalgear World Cup ke-808 dijuarai oleh para pendatang.
Saat ini, tinggal hitungan satu jam menuju tengah malam, rombongan Namol sedang duduk di depan bengkel kosong. Danny masih memikirkan cara terbaik untuk memberi tahu bangsa The Invulnerable perihal konsep pemberontakannya.
Siffa menyarankan agar mengumumkan semuanya nanti, di depan publik, ketika mereka mengangkat piala. Nile menganggapnya terlalu frontal, dan segera menyarankan agar Danny mencari pemegang otoritas tertinggi di wilayah ini, berbicara empat mata sebagai perwakilan dua pihak.
Sementara Namol, ditemani Holocaust, memilih untuk melihat-lihat sekeliling. Mereka berjalan di depan temaramnya lampu-lampu bengkel beraroma oli, atau keluar ke salah satu tribune bermandikan cahaya, dan melihat tertibnya penonton yang sedang menikmati alunan musik bercita rasa tinggi.
Terakhir, mereka menyusuri seluas aula berbentuk deretan sekrup yang memajang foto-foto besar dari para juara terdahulu. Semuanya tampak seperti tikus bercampur mekanisme roda gigi. Karena itulah mereka. Bangsa The Invulnerable—hibrida antara manusia, pengerat, dan semangat.
Namol mendapati seekor The Invulnerable pada aula terakhir. Manusia-tikus yang sangat berotot dan bertato itu sedang memperhatikan replika piala Royalgear World Cup menggunakan tatapan kosong.
Dua lawan satu, pikir Namol, lalu berjalan mendekat. Ia merasa berani untuk menyapa karena si manusia-tikus hanya sendirian sementara dirinya bersama Holocaust.
"Detail yang indah, eh?" tanyanya, basa-basi. Ikut memperhatikan piala emas di balik lemari kaca. "Bentuknya limas, hampir mirip dengan ... keju? Kalian pasti suka sekali dengan makanan itu, ya? Ha-ha!"
Si manusia-tikus berotot dan bertato melirik Namol perlahan menggunakan tatapan sinis. "Hah?" tanyanya, persis suara mengerikan yang biasa terdengar ketika gua-gua besar meniupkan semilir udara kering keluar.
S-s-sial! Kenapa dia kelihatan marah banget?
"Keren! P-piala itu keren, huh?" Namol mundur selangkah. "I-iya, kan, Holo? Kau sependapat denganku, kan?"
Holocaust mengangguk tenang.
"Oh," kata si manusia-tikus, berat dan cuek. "Ya. Keren. Terutama untuk kalian, pasti, heh, kera? Kambing?"
Kambing dan—k-kera ...? Mana?
"M-maaf, aku enggak lihat kera di sekitar sini. Apa kau memiliki kemampuan melihat makhluk gaib?!"
Si manusia-tikus berotot memutar tubuhnya sampai benar-benar berhadapan dengan Namol. "Kera pintar," geramnya. "Sebenarnya aku sedang malas. Tapi benar-benar kebetulan yang menyenangkan bisa bertemu denganmu di sini. Namaku Rottenbeard. Pembalap kereta Kong-Q-Error, juara tiga tadi, di arena."
"Oh! Selamat, eh?"
Rottenbeard tersenyum bengis. "Bertulang juga ternyata. Siapa namamu, kera?"
Jadi ... aku keranya?
"Namol Nihilo. Dan, ma-maaf, tapi aku bangsa Juvas, bukan kera. Jika ada kemiripan—"
"Namol Nihilo, heh? Baiklah, dengarkan ini, kera bernama Namol Nihilo. Kau telah mengambil kejayaanku di arena, merendahkan bentuk piala yang sangat kudambakan, menipu Ayahku, dan mengejek tato kodok peliharaanku." Rottenbeard mengeraskan otot tangannya. Di sana terdapat semacam gambar memprihatinkan dari seekor amfibi.
Merasa atmosfer berubah semakin berbahaya, tanpa mengatakan apa-apa Namol balik badan, lantas secepatnya berlari dan baru berhenti di koridor penghubung antaraula. Holocaust mengekor tanpa ekspresi.
"Aku enggak kenal siapa Ayahmu! Dan tato kodokmu kelihatan bagus! A-aku enggak pernah mengejeknya! Aku bahkan enggak tahu kalau itu kodok," Namol berseru di kejauhan. "Kukira tadinya itu anak ... anjing?"
Rottenbeard melotot, tampak tidak memercayai apa yang baru saja ia dengar. "Anak babi?" lirihnya, bergetar. Kemudian dengan teriakan sekuat tenaga: "ANAK BABI, KATAMU? OH, KERA! KAU TINGGAL SEJARAH!"
"Lari, Holo," bisik Namol putus asa.
"Laksanakan, Tuan Muda."
Maka berlarilah ketiganya. Namol, Holocaust, dan Rottenbeard. Menciptakan keributan-keributan konyol di semua aula. Sampai akhirnya mereka keluar, lalu masing-masing menabrak sesuatu yang kelihatannya juga sedang terburu-buru.
Namol menabrak Danny yang baru tiba di depan pintu keluar. Rottenbeard menabrak seekor The Invulnerable muda berperawakan kurus yang bersembunyi di semak-semak, di samping pintu keluar.
Mereka semua berebutan untuk berbicara.
"KUCEKIK BATANG HIDUNGMU, KERA!"
"S-s-selamatkan aku, Holo, Danny!"
"Demi Korrupile! Maaf! Kami sama sekali tidak berniat buruk!"
"Lucy diserang! Namol, Holo, kita harus kembali secepatnya. Yang lainnya sudah kupindahkan duluan. Ayo!"
Kera bercahaya dan lemari putih tercipta di udara. Menengahi suasana ramai di depan aula sekrup yang sedetik kemudian mendadak berubah hening. Karena tidak ada satu pun yang tertinggal. Semuanya ikut berteleportasi.
Serangan di Vanity Galleries
Beberapa saat setelah Namol memasuki Gearmist Stronghold
L
|
elehan api cair di sekeliling taman-menara, menurut Jess, sama sekali bukan dekorasi yang bagus. Sebelumnya, bersama Hutcherson—jelas—ia meminta izin untuk menjelajahi kastel Overlord. Setelah diperbolehkan, mereka buru-buru berjalan keluar ruang kerja. Secara acak menaiki atau menuruni tangga-tangga spiral, memasuki kamar-kamar berisi boneka-boneka beruang yang sedang bertugas, mengintip ruang penyiksaan di bawah tanah, sampai akhirnya menemukan taman di balkon menara.
Duduk di salah satu kursi panjangnya yang terbuat dari batu dingin, sambil memperhatikan panorama langit merah Alam Kematian di atas dinding pembatas, Jess mengutarakan isi hatinya.
Ia tidak terlalu menyukai Kana yang sensitif. Tapi, jika nantinya dibutuhkan, ia pasti akan membantu gadis kecil itu.
Hutcherson mengangguk setuju.
Jess juga mengatakan ia ingin sekali mencoba memeluk Overlord Ursario XIII. Kali ini Hutcherson menggeleng dengan sungguh-sungguh.
"Kalau dipikir-pikir, babak ini bakal menjadi sangat panjang," Jess melanjutkan, sudah kelelahan meski baru membayangkan. "Bukannya aku enggak suka jalan-jalan, dan terlibat di urusan semesta ini—enggak buruk-buruk amat, kok. Tapi, kita bahkan belum menemukan Reverier bernama Namol Nihilo, dan ... mencari pengetahuan seputar Museum Semesta? Benar?" Ia menunduk lesu. "Setiap kepikiran tempat tidur di kamarku, aku langsung berasa berubah jadi agar-agar!"
"Bersabarlah, Jess—" kata Hutcherson, menenangkan.
"Kamu mau pantat aku lebar, ya, Hutcccheeer?"
"—oh, aku mau kamu dalam keadaan apa pun."
"Halah! Kalau aku berubah jadi ibu-ibu gendut suatu hari nanti juga kamu bakalan selingkuh!"
"Tentu saja, Jess, aku bakalan selingkuh sama semua jenis transformasi kamu."
"Ih! Dasar cowok setia!" Jess memeletkan lidahnya senang.
"Dasar pacarnya Hutcher!" sahut Hutcherson.
Mereka berdua pun lanjut bercanda di taman menara ini. Berlarian saling mengejar apa yang sebenarnya sudah selalu, dan akan selamanya, ada di samping mereka.
Hutcherson melompat-lompat di antara bunga-bunga serupa tengkorak manusia, sementara Jess berpose manja di samping patung-patung makhluk bertuliskan Hvyt atau Hvyta, dan terakhir mereka berdua saling membaca keras-keras tulisan di tugu monumental sewarna arang: Thurq was here, my ancestor kicked his ass.
"Hey, Hutcher," kata Jess, terengah-engah. Ia teringat sesuatu setelah melihat tugu monumental. "Kita, kan, masih punya kubus hitam dari si manusia bola daging? Mau coba buka sekarang? Lihat saja apa isinya?"
"Ide bagus. Mungkin ada yang berguna di dalamnya."
Maka Jess merogoh bagian dalam gaunnya. Mencari si kubus hitam. Pertama, ia salah ambil, malah menarik biola Hutcher. Kedua, ia menarik pakaian dalamnya sendiri lalu marah-marah tidak jelas. Ketiga—
"Kena, kalian jaga!"
Seruan seseorang, dan tepukan mengejutkan di pundak mereka, langsung mengalihkan semua perhatian.
Hutcherson dan Jess berdiri—siaga. Di hadapan mereka, sesosok boneka panda bermata juling, dengan lidah penuh liur terulur di atas bibirnya, berputar-putar selayaknya penari balet.
"Kalian jaga! Ayo!" pekiknya sambil bertepuk tangan, terlampau girang. "Atau kita main cacing-cacingan saja? He-he. Cacing ...."
"Oke ..., kepala boneka ini pasti kurang jahitan, atau kapas," Jess menggumam.
"Apa keperluanmu di sini, Tuan Panda?" Hutcherson bertanya ramah padanya.
Si boneka panda mendadak diam. Cara ia melihat Hutcherson sekarang persis seperti seorang fanatik-agama bertemu dengan nabi favoritnya. "Tuan Panda? Ya-ya-ya-ya-ya-ya! Itu aku! Tuan Panda! He-he ... kau sangat baik. Dan, hm, kalian berdua ditunggu sama temanku, si Bura-Bura. Mau turun? Mau? Atau-atau kita di sini saja, hm, main cacing-cacingan ...? Yeay!"
Hutcherson dan Jess menolak tawaran si boneka panda, berterima kasih, lalu bergegas kembali ke ruang kerja Overlord.
***
U
|
ntuk faktor kejutannya, pertama, ternyata si boneka panda mengikuti Hutcherson dan Jess kembali ke ruang kerja. Di dalam ruangan pun sudah ada sosok-sosok tambahan.
David, si laki-laki berpedang besar, berdiri mengawal Kana yang duduk di kursi panjang dekat jendela. Lalu sesosok boneka panda lainnya, sedang duduk di atas meja sambil menghantam-hantam sesuatu yang tak terlihat.
Kejutan selanjutnya, bagaimana pun, adalah identitas kedua boneka panda itu.
"Oh, kukira kalian tersesat, bura," aum Overlord dari depan perapian, pada Hutcherson dan Jess. "Kastel ini menyimpan banyak sekali misteri dari pertempuran besar di masa lalu. Tidak heran jika kalian tadi termutilasi tanpa tahu apa penyebabnya, bura! Tapi—oh, ya, perkenalkan ... kedua angsa ajaibku. Informan terbaik Alam Kematian, bura! Sagitarius-y dan Cancer-y!"
Sagitarius, boneka panda yang tadi menjemput Hutcherson dan Jess ke taman-menara, segera menggeliat-geliat seperti cacing. "Sagitarius, ya-ya-ya! He-he! Namaku Sagitarius! Kalian makhluk enggak berguna!"
Lalu, dengan sangat takzim, boneka panda kedua bernama Cancer bergerak menuruni meja, berjalan menghampiri Sagitarius, dan ... memukul dirinya sendiri beberapa kali. "Aw! Sagitarius goblok, jangan pukul aku! He-he! Dasar kamu cacing!"
"Aku goblok? Yeay!" Sagitarius mulai menari balet, dan berhenti tiba-tiba. "Tapi cacingnya mana, Cancer ...? ENGGAK ADA! Pendusta gorong-gorong, kamu, cih! He-he."
"Hm ... salam kenal, Sagitarius dan Cancer, aku Hutcher—dan, Jess." Hutcherson berinisiatif mewakilkan, melihat kekasihnya tak menunjukkan tanda-tanda bicara. "Hey, tidak perlu sekaget itu, kan?" ia berbisik melanjutkan.
"Kaget? Tidak, Sayang. Aku mengalami disorientasi! Soalnya, lihat saja! Masa dua boneka sinting bisa berstatus sebagai informan terbaik tempat ini?!" Jess akan berteriak seperti itu jika mulutnya dibuka sekarang. Karenanya ia memilih diam.
"Baiklah-baiklah, bura! Berhenti saling berkenalan! Sekarang, setelah tim khusus ini terbentuk, mari kita bicarakan tentang masalah dan jalan keluarnya, bura! Mendekatlah ke cahaya api; dengarkan rencanaku baik-baik!"
Semua menurut. Dan Overlord pun menjelaskan rencananya.
***
S
|
ederhananya, rencana Overlord adalah mengutus tim khusus yang ia maksud, ke suatu tempat bernama vanity galleries. Sebuah wilayah di luar semesta Allahamel.
Hutcherson dan Jess termasuk ke dalam tim tersebut. Bersama Kana, David, Sagitarius, juga Cancer.
Tujuan mereka ada dua. Pertama, mengambil apa yang disebut oleh Overlord sebagai inti dosa—relikui kecil berbentuk segitiga sewarna hitam pekat—dari apa pun yang menjaganya. Kedua, mengirimkan pesan berisi penawaran kerja sama.
"Allahamel bergerak karena cerita, bura! Sejak semesta ini diciptakan, ia sudah menjadi banyak sekali refleksi kisah-kisah kehidupan dari tempat lain!" kata sang raja, berapi-api. "Maka sudah sewajarnya, bura, cara terbaik untuk menghidupkan lagi pergerakannya yang kini terhenti, adalah dengan memberinya makanan-makanan berupa inti sari semesta!"
"Tunggu. Ba-bagaimana mungkin kita bisa mewujudkan itu?" tanya Kana. Terkejut dan takut sekaligus. "Overlord Ursario XIII, jika teori ini adalah jalan keluar yang dimaksud ... a-aku ... menolak untuk membantu! Mencuri, pada akhirnya, sama sekali tidak akan menolong siapa-siapa!"
Overlord menyeringai. Tarian api menciptakan jejak bayangan di sisi wajah beruangnya. "Lihatlah, gadis kecil mulai mencoba-coba fase kenaifannya, bura!"
"Aku tidak naif, raja kejam!"
"Baiklah-baiklah. Maafkan aku yang terlalu mengerti, bura! Tapi bisakah kau mencerna pernyataan raja kejam ini? Terkadang mencuri tidak akan menjadi apa yang mereka kira, seandainya mereka tahu siapa pencurinya sejak awal! Dan ketahuilah, bura, pandangan mudamu adalah alasan kenapa aku mengikutsertakan dirimu ke dalam tim khusus ini! Lihatlah dunia di luar sana! Keadaan kita, bura!"
Kana terdiam sebentar. "Ba-baiklah!" jeritnya kemudian. "Aku ikut, tapi hanya untuk menganalisa!"
"Terserah mulutmu saja, bura!"
Dan dengan begitu, penjelasan, instruksi, berserta perdebatan pun habis terlewati. Sagitarius dan Cancer segera maju ke tengah-tengah semuanya, kemudian menciptakan sebentuk portal sederhana. Persegi bercahaya merah.
Jess lumayan terkejut. Ia mulai beranggapan bahwa, ternyata, kedua boneka panda itu tidak hanya tercipta untuk menghabiskan tempat saja.
"Masuk-masuk-masuk! Banyak cacing di seberang sana! He-he!" pekik Sagitarius.
"Aduh! Jangan pukul aku, hoy, Sagitarus goblok!" sahut Cancer sambil terus memukuli diri sendiri. "Tapi, ayo-ayo! Cepat-cepat, kalau lambat nanti kiamat! He-he ...."
Keduanya masuk duluan. Disusul kemudian oleh Kana yang tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. David yang terus mengawal di belakang. Hutcherson yang rileks. Lalu Jess yang sibuk memikirkan: Kenapa dua mainan panda itu senang banget sama cacing, sih? Dan kenapa juga aku mikirin mereka?!
***
T
|
ibalah tim khusus, setelah keluar melalui sisi lain portal Sagitarius dan Cancer, tepat di depan vanity galleries. Pojok pamer yang terdiri dari tiga kamar kecil, masing-masing bersekat kayu, serta dipenuhi oleh berbagai jenis karya seni beremosi.
Kejadian selanjutnya hampir berlangsung dalam ketotalan hening dan profesionalitas—jika mengesampingkan dua boneka panda yang terus mengoceh, menumpahkan cat, atau melubangi kanvas; lalu Kana yang terlalu sering menarik napas terkejut setelah melihat kenyataan di luar semestanya, keajaiban-kemegahan panorama House of Memory, fakta nyata keberadaan Museum Semesta dan kekalahan Allahamel—Hutcherson, Jess, dan David berfokus menyelesaikan misi yang diberikan Overlord pada mereka.
Ketiganya menghampiri seorang gadis kecil berwajah lugu, sekaligus ketakutan, yang berdiri dengan polosnya di salah satu bilik. Ia tampak sedang merawat dua makhluk terluka parah dan terlihat seperti manusia-burung.
Hutcherson maju. Dengan sopan menanyakan tentang keberadaan inti dosa. Gadis lugu itu tidak menjawab. Gantian Jess, bertanya padanya sambil menggertak akan membakar vanity galleries. Tetap tidak ada jawaban.
Dan pada akhirnya mereka memang tidak membutuhkan jawaban itu. Karena David, yang setibanya di lokasi segera melakukan pencarian menyeluruh, berhasil menemukannya—tersembunyi di dalam bingkai foto sosok-sosok berbahagia.
Lima inti dosa. Relikui kecil, berbentuk segitiga-pipih, hitam berpendar.
Pada saat inilah, si gadis lugu yang sedari tadi mematung, bereaksi. Ia menjerit ke arah David, memintanya agar menyimpan kelima inti dosa kembali ke tempatnya semula, karena itu merupakan harta karun sang kakak.
David malah melempar kelima relikui itu ke arah Hutcherson dan Jess, bergerak cepat ke belakang si gadis lugu, lalu menekan bagian tertentu pada lehernya.
Si gadis lugu seketika jatuh tak sadarkan diri.
Ketiga penyerang lantas saling mengangguk sambil mengamankan barang-target mereka. Dan setelah Hutcherson meletakkan surat berisi penawaran kerja sama dari Overlord di samping kepala si gadis lugu yang dibaringkan pada semacam lukisan rusak, misi tim khusus pun selesai.
Seharusnya.
Jika saja Jess tidak melihat secarik kertas berisikan gambar sesosok familier. Semacam karikatur yang sangat mencolok, berbeda gaya jika dibandingkan lukisan di vanity galleries, dan tampaknya diciptakan baru-baru ini.
Hutcherson ikut memperhatikannya. Sesosok berkulit gelap, bermata merah, berambut oranye, yang sedang tertidur dengan konyolnya di dalam kertas. "Kita pernah bertemu dengan sosok ini," katanya. "Setelah kita melompat dari atas pesawat kertas, ke semacam taman logam. Dia ada di sana."
"Uh-uh." Jess mengangguk, setengah menerawang. "Dan, bukankah dia juga ikut terisap ke dalam portal?"
"Ya."
"Jadi?"
Hutcherson tersenyum. Jadi, Princess Jess, ternyata keputusan untuk membantu semesta Allahamel tidaklah terlalu melenceng jauh dari tujuan kita semula. Namol Nihilo ada di sini tadi. Kemungkinan besar, dia sedang terlibat dalam masalah yang sama seperti kita. Jika benar begitu ... maka sebentar lagi, tanpa mencari sekalipun, pertemuan antara Reverier akan terjadi dengan sendirinya.
"Jadi," kata Hutcherson, "lebih baik kita juga meninggalkan pesan sebelum pulang."
Jess setuju. Ia meminjam kuas dan cat yang tercecer di lantai galeri, mengambil pesan milik Overlord, lalu menambahkan semacam catatan singkat: Wahai, Reverier, ketahuilah bahwa lawanmu pernah ada di sini.
"Hey, Jess? Bukankah lebih baik kita menuliskan sesuatu yang kurang cryptic di dalam pesan singkat?"
"Ini riddle. Supaya Namol Nihilo tahu kalau lawannya itu jenius! Aku sedang mengangkat derajat kita, jadi diam saja kamu, cacing! He-he ...," Jess meledek, menirukan gaya Sagitarius dan Cancer. Lalu—
"Menunduk!"
—di sudut matanya, terlihat sebuah bayangan mengabur dari serangan berbentuk cakar, melesat mengejutkan.
Hutcherson dan Jess berhasil menghindarinya dengan melompat ke depan, menabrak meja kayu, menjatuhkan beberapa patung deformatif. Setelah mengumpat sebentar, mereka langsung kembali berdiri, bersiaga.
Si penyerang ternyata merupakan salah satu dari manusia-burung yang terluka. Meski sedang terengah-engah parah, dan perban di sekujur tubuhnya mulai dirembesi darah, ia tetap lanjut menyerang.
David yang mendengar keributan tersebut, seketika muncul dari balik bilik pertama. Disusul Kana. Kemudian Sagitarius dan Cancer—kedua boneka panda itu sudah basah oleh warna-warni cat.
Merasa terkepung, si manusia-burung berubah semakin agresif. Ia berteriak menggunakan suara paling melengking yang biasa diproduksi unggas-unggas besar, lantas menyerang secara membabi buta; sampai nyaris menghancurkan setengah isi vanity galleries.
"Terrald Froto! Tidurlah beratapkan planetarium!" rapal Kana di antara kekacauan.
Suara gadis kecil itu masih sempat menggema di antara langit-langit angkasa luar House of Memory, dan permukaan lantai serupa kacanya, bahkan setelah si manusia-burung tumbang seolah terkena serangan kantuk yang sangat kuat juga mendadak.
Setelah itu, semuanya terdiam. Berdiri di atas setengah reruntuhan vanity galleries. Bahkan Sagitarius dan cancer hanya saling berbisik.
Adalah Hutcherson, akhirnya, yang maju untuk mengingatkan mereka agar secepatnya kembali ke Allahamel. Melapor pada Overlord, bahwa misi sukses terlaksanakan.
Pesan yang Tersampaikan
Saat ini
W
|
aktu seolah mengeluarkan semacam gelombang serangan transenden tak kasatmata, menjadikan setiap bentuk pergerakan di wilayah vanity galleries melambat berkali lipat. Khususnya ketika Namol memperhatikan Danny yang mengangkat Lucy, si gadis kecil menggemaskan, dari balik serpihan bingkai.
Siapa yang melakukan semua ini?
Keadaan vanity galleries benar-benar tidak bisa dibilang baik. Dua dari tiga biliknya hancur lebur, seperti baru saja dilewati badai. Objek-objek seni berhamburan di mana-mana.
"HEY, KERA, URUSAN KITA BELUM SELESAI!" bentak Rottenbeard, si manusia-tikus berotot, sambil berjalan dengan langkah-langkah berat ke arah Namol. "IBUKU TIDAK AKAN PERNAH TENANG SEBELUM DENDAMNYA TERBALAS!"
"Ta-tapi aku enggak kenal ibumu! Dan aku—kita—juga sebenarnya enggak punya waktu buat melanjutkan drama konyol ini! Karena,"–Namol melirik ke arah Danny yang sedang membaringkan Lucy di atas kantung tidur berantakan–"terlalu banyak masalah penting lainnya ...."
"KATAKAN ITU PADA PENJAGA PINTU NERAKA!" Rottenbeard tinggal tiga langkah lagi tiba di hadapan targetnya. "DAN SEKALIAN TITIP SALAMKU UNTUK NENEK!"
Hampir secara otomatis, Holocaust bergeser untuk melindungi tuan mudanya. Bersamaan dengan itu, sesosok manusia-tikus lain—berperawakan setebal beberapa batang lidi—maju ke tengah-tengah pertikaian. Berusaha sekuat tenaga memasukkan akal sehat ke dalam kepala Rottenbeard; memintanya untuk mengevaluasi seluruh tuduhan tak beralasan; membaca situasi saat ini.
Rottenbeard kelihatan kurang senang. Ia meludah kasar ke samping, tampak masih geram, tapi sudah tidak mengincar Namol secara terang-terangan. "Juara satu dan dua, merasa bisa bicara seenaknya, heh?" gerutunya, berat. "Kuhancurkan kalian di World Cup selanjutnya!"
"Hai. Namaku Quimtray Cabbage, atau Quim. Dan ketiga peri di sampingku ini—errr, kalau kau melihat mereka—masing-masing bernama Cassandra, Cindy, dan Lucille," kata si manusia-tikus kerempeng, pada Namol. Ia menunjuk tiga keberadaan tak kasatmata di sampingnya menggunakan ekspresi menunggu. "Oke. Aku melihatmu, dan timmu yang unik, dari rekaman balapan," lanjutnya. "Demi Korrupile, kalian benar-benar hebat tadi! Maaf, akhirnya aku mengikutimu sampai ke aula-sekrup. Aku sebenarnya ingin bertanya mesin apa yang kalian pakai, tapi ... kurasa hal itu menjadi tidak penting lagi sekarang. Karena pertanyaanku sudah berubah menjadi: di mana kita?"
"Museum Semesta."
Itu tadi suara Danny. Murung, tak bersemangat seperti biasanya.
Ia melanjutkan, "Gearmist Stronghold, spesifiknya dalam periode Royalgear World Cup ke-808, telah diabadikan menjadi mahakarya seni. Dipisahkan secara paksa dari sisa semesta kalian. Kunjunganku barusan merupakan yang kedua kali. Dan kesalahanku, tidak bisa menemukanmu di kunjungan pertamaku, dulu, untuk menjelaskan kenyataan ini."
Quim melongo, sementara Rottenbeard kembali meludah. "Sabun apa yang kalian isap, heh?" tanyanya, merendahkan. "Turis penggemar fiktif."
"Aku tahu, dan mengerti. Butuh waktu untuk menerima kenyataan. Jangan terburu-buru, dan ikutlah bersama kami—"
"Baiklah, aku ikut—"
"Danistraz Teffereth?" sapa Nile dari balik satu-satunya sekat kayu yang masih berdiri. "Aku yakin kau menginginkan pengetahuan dari benda ini. Kemarilah."
Danny segera menghampiri si entitas garis. Namol, Holocaust, Quim, dan Rottenbeard ikut mengekor.
Di balik sekat, ada Siffa yang terlihat cemas, bersimpuh mengecek kondisi dua kenalannya—salah satunya terbaring di lantai, luka-lukanya terbuka. Nile sendiri sedang berdiri di dekat situ, seperti biasa bersebelahan dengan Espha.
"Bacalah," katanya, sambil menyerahkan secarik kertas.
Danny membacanya dua kali. Wajahnya memucat.
Penasaran, Namol menarik kertas itu dari tangan Danny yang seolah berubah kaku. Lalu ia membaca pesan tertulis di dalamnya keras-keras:
Aku, Overlord Ursario XIII, berhasil mencuri kelima inti dosa Chamber of Saligia. Datanglah ke blok 666 jika ingin melihatnya lagi, juga untuk pembahasan lebih lanjut.
Namol tidak mengerti apa yang menakutkan dari isi pesan itu. Sampai akhirnya ia melihat catatan kecil—beda gaya tulisan—di bagian bawah kertas.
Wahai, Reverier, ketahuilah bahwa lawanmu pernah ada di sini.
"I-ini? Jangan-jangan lawan yang dimaksud adalah ... Jess Hutchersoni?"
Pertanyaan tersebut segera terjawab.
Lucy tersadar dan memanggil kakaknya. Semua, kecuali Siffa, segera menghampiri gadis menggemaskan itu. Sebagai saksi sekaligus korban, ia pun menjelaskan kronologisnya. Pencurian, dua boneka panda pencipta keonaran, sampai, meski samar, pertarungan si manusia-burung terluka. Dan khusus untuk atensi Namol, termasuk ciri-ciri salah satu sang penyerang—manusia aneh yang terlihat seperti setengah laki-laki setengah perempuan.
Dia! pikir Namol.
"Baiklah," kata Danny, sambil mengeluarkan kera bercahaya. "Aku akan pergi ke blok 666 sekarang. Tolong, kalian jaga Lucy-ku selama aku tidak ada."
"Atau," kaok Siffa, terbang di atas sekat kayu, "kita semua pergi bersamamu untuk menghajar pengecut-pengecut itu!"
Cacing
R
|
uang kerja Overlord Ursario XIII masih diramaikan perayaan kecil, perihal keberhasilan tim khusus di vanity galleries.
Hutcherson dan Jess sedang duduk di kursi panjang, menghadap jendela, menyesap anggur berumur, sambil memikirkan seberapa besar persentase pertemuan mereka dengan Namol Nihilo pada kesempatan mendatang, ketika Sagitarius dan Cancer mengendap-endap menghampiri.
Jess mengusir mereka dengan cara seseorang mengusir ayam. Tapi bukannya pergi, Sagitarius dan Cancer malah duduk di pangkuannya, memasang ekspresi manis yang mengejutkan, lalu mulai bercerita tentang kisah anak kembar tanpa orang tua.
Dulu sekali, katanya, bahkan ketika mereka belum dilahirkan dan masih berbentuk konsep, anak kembar tersebut merupakan keberadaan yang sangat spesial. Terlalu spesial malah, sampai-sampai konsep lainnya iri dan menuntut agar si kembar, nanti, terlahir sebagai sepasang makhluk paling menderita.
Ketika tiba waktunya dilahirkan, si kembar memang langsung dihadapkan pada penderitaan pertama, meski mereka tidak akan pernah mengingat spesifiknya, yaitu kematian sang ibunda.
Penderitaan kedua terdeteksi beberapa bulan kemudian, dan itu adalah keterbatasan kondisi mental mereka yang agak berbeda. Atau, idiot, jika menggunakan istilah sang ayah.
Tumbuh dewasa dalam keadaan seperti itu—terbelakang dan terkucilkan, terlebih keduanya terjebak di lingkungan yang salah tanpa bisa bergerak bebas, sudah terhitung sebagai penderitaan nomer tiga.
Hingga, tibalah hari di mana masa-masa sulit mereka dipercaya akan berakhir. Penderitaan keempat, sekaligus penutup. Yaitu menyaksikan sang ayah sekarat, terbaring sendirian di tempat tidur besarnya yang dingin.
Si kembar percaya, jika ayah mereka sekali saja mengatakan, "Aku memaafkan kalian, dan aku sangat menyayangi kalian." Maka kutukan penderitaan akan terkunci.
Sayangnya, sang ayah tidak pernah mengatakan hal itu. Dan malah meneriakkan, "Pergilah ke ujung neraka, cacing enggak berguna! Dan demi kebaikanku, juga dunia, kubur diri kalian di sana!"
Cerita selesai dengan terpenuhinya permintaan sang ayah, yang meskipun tidak benar-benar sesuai imajinasi si kembar, tapi tetap memberikan kesan paling mendalam.
Si kembar pun berjalan sambil bernyanyi dan bergandengan tangan menuju neraka terdalam. Hati mereka penuh, karena akhirnya merasa bisa melakukan hal baik. Terlebih, untuk dua dunia mereka sekaligus.
"Tamat, deh! He-he ... Sagitarius, cerita soal politik sekarang!" kata Cancer.
"Ah, goblok, Cancer, politik enggak punya cerita! He-he. Cacing di dinding!"
"Yeay!"
Keduanya melompat dari pangkuan Jess. Bikin ribut di sudut ruangan. Tak lama kemudian, Overlord berujar dari balik meja kerjanya, "Apa kalian sudah siap, bura? Kita akan menemui mereka sekarang."
666
A
|
khirnya mereka datang. Tim khusus Allahamel, bersama sang Overlord Ursario XIII sendiri. Namol segera memusatkan perhatiannya pada sosok ajaib—pria dan wanita dalam satu tubuh, menyatu secara harfiah—yang berdiri di barisan terluar.
Jess Hutchersoni!
Mengikuti usul Siffa si manusia-burung betina, rombongan muncul dalam kekuatan penuhnya—menyisakan hanya Lucy di vanity galleries. Paling depan berdiri adalah Danny. Di belakangnya, tanpa memiliki formasi jelas, berdiri Namol dan Holocaust, Nile dan Espha, lalu Quim dan Rottenbeard.
Di kubu seberang sana, tim khusus Allahamel, Namol melihat—selain Jess Hutchersoni dan boneka beruang bermahkota yang hampir pasti merupakan sang Overlord—sesosok gadis kecil bertudung putih, tampak sangat anggun, religius, dan gugup di saat bersamaan. Tak jauh di sampingnya, ada seorang pria kekar menghunus pedang besar. Dan terakhir, di bagian belakang, terdapat dua boneka panda yang sangat hiperaktif.
Satu-satunya persamaan sikap dari kedua kubu—rombongan Namol dan tim khusus—adalah persiapan matang untuk melakukan perlawanan. Karena masing-masing seolah mengetahuinya, apa pun nanti yang akan dibahas, pertempuran takkan bisa terelakkan.
Di sini mereka berdiri, di sudut terluar blok 666, House of Memory. Sudut yang memajang beragam senjata paling mematikan pada semacam arsenal berbentuk patung dari korban-korbannya.
Sekelompok asteroid melintas di langit-langit angkasa luar, sementara pijakan secemerlang cermin yang tak merefleksikan apa-apa menggemakan langkah-langkah perwakilan kedua kubu. Danny dan Overlord, Namol menyaksikan dalam ketegangan, saling bertemu di titik tengah.
Meski cukup jauh terpisah, heningnya atmosfer seolah mampu mengamplifikasi percakapan terkecil sekalipun. Semua yang ada di sana otomatis fokus mendengarkan, ketika Overlord menjelaskan apa itu tujuh inti dosa milik Chamber of Saligia, dan apa yang akan ia lakukan jika semuanya bisa dikuasai.
Inti dosa adalah inti sari dari memori yang dulu dicuri Museum Semesta, pada mahakarya-mahakarya di Chamber of Saligia. Dan tujuan pengumpulan ketujuh inti sari tersebut, adalah untuk memberikan kekuatan, penyatuan, pada semesta spesifik: Allahamel.
Overlord juga mencoba menjadi cukup persuasif ketika mengiming-imingi penyatuan tersebut dengan masa depan harmonis seperti Alam-Alam yang sudah ada.
Danny menolaknya mentah-mentah, membuat Overlord menggeramkan tanda bahaya, baru memberikan alasannya. Ia mengumpulkan inti dosa pada kunjungan pertamanya ke setiap mahakarya di Chamber of Saligia, dengan harapan suatu saat nanti, ketika semua sudah siap menerima kenyataan, ketujuh perwakilan dosa paling mematikan akan bersatu di bawah bendera pemberontakan terhadap Sang Kehendak.
Itu artinya, semua semesta yang berpartisipasi masih bebas dan tidak terikat secara teritorial. Pembeda utama rencana pemberontakan Danny dengan tujuan akhir sang Overlord.
Dan itu artinya, bom ketidaksepakatan untuk bekerja sama, secara tidak langsung sudah ditembakkan ke atmosfer. Menggantung, lalu, menanti detik-detik krusial pembuka sebuah pertempuran—yang pecah, terjadi, sekembalinya dua perwakilan dua kubu ke sudut masing-masing.
Tim khusus, dikomandoi Overlord, membuka serangan pertama. Secepatnya membombardir rombongan Namol dengan gelombang suara dan ledakan-ledakan cahaya membutakan.
Namol sendiri selamat, sekali lagi, berkat kemampuan antimateri. Dan sisanya, ia melihat, juga berhasil bersembunyi tepat waktu di balik patung-patung korban.
Di tengah semua serangan yang masih berlangsung, Danny mengingatkan rombongan soal strategi awal, lantas menyerukan usulan untuk menyerang balik. Maka sesuai aba-abanya, semua keluar dari tempat persembunyian mereka sambil membawa senjata-senjata yang tersaji di patung terdekat.
Danny mematahkan momentum serangan beruntun tim khusus Allahamel menggunakan perisai barunya—yang ia ketahui memiliki efek mengubah setiap elemen serang menjadi trik sulap, lalu secara acak, memunculkan lagi serangan tersebut di lokasi tak menentu.
Gelombang suara dan ledakan cahaya seketika menghilang, dialokasikan ke sudut lain blok 666, digantikan balon-balon polkadot.
Mengetahui ini adalah pertempuran jarak jauh yang menentukan pemenangnya lewat konsistensi dalam menyerang, Namol melesat terbang ke patung terdekat, mencabut semacam raket tenis, kemudian—serempak bersama anggota rombongannya—melepaskan efek misterius yang terkandung di dalam setiap senjata pilihan mereka.
Variasi ledakan mengurung sudut tim khusus. Dan ketika mereda, rombongan Namol tidak terlihat di mana-mana. Seolah menghilang, menciptakan sepersekian detik kelengahan yang kemudian dimanfaatkan untuk melayangkan serangan tiba-tiba dari jarak dekat.
Satu per satu anggota rombongan keluar dari patung-patung paling strategis untuk meraih anggota tim khusus. Tapi sebelum siapa pun sempat menciptakan kerusakan, Overlord sudah lebih dulu meninju pijakan; menciptakan setelahnya kubah kegelapan yang melempar semua penyerang.
Siffa mengaok nyaring sebelum membentur salah satu patung berbentuk anak kecil tanpa kepala—menyampaikan pesan pada kartu as mereka. Ada di balik jubah beruang kerdil bermahkota!
Dua bayangan kepakkan sayap melesat dari sudut buta sang Overlord, terlalu cepat dan mendadak untuk dihindari, atau diantisipasi anggota tim khusus lain.
Sekejap saja, dua manusia-burung jantan—Arjune dan Kris, berhasil meluluskan strategi awal rombongan Namol. Merebut kembali lima inti dosa.
Sambil terus mencari lokasi inti dosa, kita akan berperan sebagai pengalih perhatian, jelas Danny di depan reruntuhan vanity galleries, sebelum mereka memasuki lemari putih menuju blok 666. Beri tanda jika sudah mengetahui keberadaan target kita, setelah itu ... Arjune, dan Kris? Kalian yakin sudah bisa melakukan ini? Baiklah. Setelah itu, Arjune dan Kris akan menyerbu maju bersama kejutan, mengamankan kemenangan kita.
"Tidak terlalu buruk, bura! Strategi kalian!" seru Overlord Ursario XIII pada rombongan Namol yang sudah berkumpul dalam formasi bertahan. "Sayangnya, aku sudah melihat pergerakan semacam itu jauh sebelum nenek moyang kalian belajar berjalan! Sagitarius-y, Cancer-y! Bawa ke sini calon budak baru kita, burrra!"
Portal persegi membuka di udara, cahaya merah berkilau sesaat, lalu tiga sosok berjalan keluar. Dua boneka panda—yang sedari tadi berada di belakang barisan, dan tidak Namol sadari kapan menghilangnya—bersama Lucy.
"Aku tidak memiliki kemampuan untuk mengekstrak inti dosa dari mahakarya Chamber of Saligia, bura. Jadi ... bagaimana kalau kau mengambilkannya untukku? Kita akan bertukar di sini, bura, jangan cemas aku adalah penanti yang sabar." Overlord tertawa terbahak-bahak. "Aku juga penyiksa yang baik, sekadar informasi. Jangan kecewakan aku!"
Sambil membawa Lucy yang menangis dan meronta memanggil kakaknya, tim khusus pergi meninggalkan blok 666.
Danny, Namol perhatikan, jatuh bersimpuh. Ekspresinya kalah. Air matanya mengalir. Pada kedua telapak tangannya terdapat lima relikui kecil—inti dosa. "Palsu," lirihnya. "Inti dosa ini palsu. Tentu saja, Overlord tidak akan membawa yang asli ke pertemuan. Aku terlalu naif ... oh, sekarang mereka membawa Lucy ...."
"Jangan menyerah! K-kita h-harus memberikan apa yang raja beruang itu inginkan," gagap Namol. "Demi Lucy. Dan—dan kesempatan kedua!"
Beberapa anggota rombongan merespons positif pernyataan itu. Nile, mewakilkan yang lain, lantas bertanya. Ada berapa inti dosa yang belum ditemukan? Dan Danny menjawab ... hanya satu.
Sepuluh detik setelahnya, rombongan sudah meninggalkan blok 666, menuju Chamber of Saligia. Tiba, lalu, di destinasi yang menyimpan inti dosa terakhir. Semesta Lord Ulric. Mahakarya berbentuk zirah emas raksasa.
Pakaian penuh luka itu meledak menjadi hujan darah ketika Danny menarik pelatuknya. Dan dari genangan merah-kehitaman—Namol siap-memperhatikan—terciptalah memori. Setelahnya, serpihan semesta.
Chamber of Saligia (Pride)
T
|
erlatih, sejak kecil, untuk membiasakan diri tetap berada di dalam zona netral, Namol jadi tampak biasa saja menyikapi pemandangan dari puluhan kesatria asing yang mencoba bunuh diri tepat di hadapannya, di kaki bukit.
"Berhenti sebentar, Ulric!" teriak Danny, muram. "Berhentilah membuat dirimu berputar di satu peran kesatria menyedihkan!" Suara si pemandu berubah serak. "Dan bantu aku menyelamatkan Adikku!"
Puluhan kesatria menghentikan upaya bunuh diri mereka, mendongak ke puncak bukit, melawan cahaya matahari yang bersinar pucat di langit musim gugur. Namol menahan napasnya. Baru sekarang ia menyadari keseluruhan pemandangan semesta ini.
Menakjubkan, dalam artian mengerikan.
Puluhan kesatria bukan sedang berdiri di kaki bukit, melainkan seluas permukaan tanah cokelat-kehijauan yang seolah ditekan oleh kekuatan besar. Cerukan-cerukan seperti itu tercipta di mana-mana. Beberapa bahkan sudah menjadi semacam danau kecil, sementara sisanya berasap, sampai hampa tanpa dasar sama sekali.
Pertempuran skala besar pasti baru saja terjadi di sini. Melibatkan para kesatria. Pertanyaannya, bertempur melawan apa? Untuk apa? Mengingat—sepengetahuan Namol yang terbatas pada dongeng-dongeng—bangsa kesatria selalu bergerak beriringan dengan tujuan mulia.
"Ulric! Harusnya kedatanganku ke sini saja sudah cukup, kan?" Danny lanjut berteriak, kali ini terdengar putus asa. "Kau mengingatku, wahai kesatria! Seperti penghuni semesta lain yang dulu kukunjungi, dan kini berdiri bersamaku di dalam kenyataan! Ada Nile, Espha, Siffa, Arjune, Kris, Quim, dan—sahabatnya!"
"Rottenbeard, heh," dengus si manusia-tikus berotot. "Tapi jangan seenaknya mengikutsertakan diriku di tim bocah ini! Aku hanya terjebak di dalam pengaruh ilusi! Dan jangan pernah kau meledek tato kalajengkingku!"
Quim si manusia-tikus kurus kembali membujuk Rottenbeard untuk tenang dan beralasan. Sementara puluhan kesatria di bawah sana mulai bergerak. Berjalan dengan sangat gagah mendaki sisi cerukan. Tepat ke arah rombongan.
"Sebenarnya, a-apa yang terjadi di tempat ini?" tanya Namol. "Haruskah kita lari? Melawan?"
Danny menggeleng. "Menurut kitab Dante, pertempuran besar antara para pejuang terpilih dan naga raksasa, telah menghasilkan akhir semesta ini. Kondisinya rumit. Karena meskipun Ulric, pemimpin Crusadiand, berhasil mengantar pasukannya ke pintu kemenangan, umat manusia tetap terlambat untuk diselamatkan."
"Apa m-maksudmu terlambat? Sial, Danny, mereka semakin dekat!"
"Tidak apa-apa. Para kesatria tidak akan menyerang. Bukan itu yang seharusnya kita takutkan. Dan maksudku dengan terlambat adalah ... di semesta ini hanya merekalah bangsa manusia yang tersisa."
"Pokok permasalahan: tidak bisa memberikan keturunan sebagai penerus sejarah?" Nile menginterupsi. Sambil, seperti biasanya, berpelukan dengan Espha, si keberadaan-garis itu maju ke tepian ceruk. "Aku rasa bukan itu masalah terbesarnya, benar, Dannistraz Teffereth? Aku masih bisa melihat manusia-perempuan di antara para kesatria."
"Mungkin mereka buruk rupanya, dan tak sedap aroma ketiaknya!" kaok Siffa sambil mengepakkan sayap, bangga akan keelokan bulu-bulunya sendiri yang mengeluarkan wewangian semacam-rempah. "Betina seharusnya selalu awas terhadap penampilan! Aku menyetujui keputusan para kesatria jantan untuk bunuh diri!"
"Maaf, tapi kurasa kau baru saja menyetujui pernyataanmu sendiri. Bukan para kesatria itu," Quim buka suara, sopan sekaligus terperangah. Ia berjalan ke samping Nile di tepi cerukan. "Karena, demi Korrupile, mamalia berjenis kelamin wanita di bawah sana sama sekali tidak ada yang jelek!"
Namol juga melihatnya, dan harus setuju. Ada sekitar enam wanita di antara belasan pria dalam rombongan para kesatria. Keenamnya terlihat cantik. Jika saja zirah koyak itu dibuka, digantikan gaun atau semacamnya, lantas wajah sensual beserta sekujur lekuk tubuh dibersihkan dari debu dan darah kering, siapa pun pasti mau melanjutkan hidup di tanah apa pun bersama mereka.
Jadi kenapa? Kenapa menyerah padahal masih ada kesempatan? pikir Namol.
Seolah bisa mendengarnya, Danny memberikan penjelasan, "Pada semesta ini, terdapat tiga jenis sepasang-manusia-pertama yang diciptakan Tuhan. Mereka adalah Son of Moon, Son of Star, dan Son of Sun. Pernikahan silang merupakan hukum tertua di antara ketiga jenis manusia. Dan mereka bangga karenanya."
"Punah karena kebodohan, kalau begitu," kata satu suara asing. Namol menoleh ke arahnya, ternyata yang tadi bicara adalah Arjune, satu dari dua manusia-burung jantan. "Lebih menginginkan perintah kuno dari sesuatu yang sebenarnya sudah mati, daripada mendengar akal sehat mereka sendiri."
Kris si manusia-burung jantan satunya, Namol lihat, mendorong pundak Arjune sambil berujar mengejek, "Seakan-akan, punah karena cinta akan lebih baik dari ini!"
"Keparat! Beraninya kau menyentuhku, Bhurloqé rendahan!" Arjune balas mendorongnya.
Siffa mendesah kesal lalu memisahkan mereka.
Sementara itu, para kesatria akhirnya tiba di depan rombongan, di atas cerukan. Pada saat inilah Namol mengerti ketakutan jenis apa yang dimaksudkan oleh Danny. Dan itu bukanlah agresivitas, melainkan penolakan. Sekelompok manusia yang lebih menuruti kebanggaan kuno mereka, harga diri mereka; lebih memilih untuk mati daripada hidup dalam kehinaan tak bernilai, pasti memiliki pendirian sekeras materi multisemesta yang pernah tercipta.
Kesatria paling berkarisma, paling banyak menderita luka, dan kerusakan pada zirahnya, maju mendekati Danny.
Inilah penentuannya. Namol menelan ludah. Mungkinkah mereka membantu? Memberikan inti dosa terakhir?
Dan di antara pemandangan kehancuran ini, disaksikan oleh mata-mata terakhir penghuni semesta ..., sebelah tangan terulur.
Tangan kanan si kesatria. "Aku sangat mengingatmu, Danny," ujarnya, jernih. "Kau mengunjungi kami waktu itu. Dan, maaf, kami semua beranggapan kau adalah manifestasi dari kekecewaan para pendahulu. Sekarang, mengetahui semua yang kaukatakan memang merupakan kenyataan—bahwa kita semua terisolasi dalam mahakarya paksaan, dicuri dan dibawa jauh dari rumah—kami memutuskan untuk membantumu."
Benarkah?! Namol nyaris melompat karena terkejut-senang. Dengan begini, inti dosa terakhir berhasil didapatkan, Lucy bisa diselamatkan, dan terutama, rombongan bisa kembali bertemu dengan tim khusus Allahamel.
Bertemu dengan sosok ajaib itu sekali lagi.
Jess Hutchersoni, pikir Namol.
Di hadapannya, Danny menerima uluran tangan si kesatria. "Terima kasih, Ulric. Sungguh, terima kasih."
Setelah itu Danny memperkenalkan Ulric pada rombongan sebagai pemimpin Crusadiand. Ia juga memperkenalkannya dengan Namol dan Holocaust. Mereka semua berbaur dalam satu atmosfer kecanggungan sekaligus persaudaraan.
Bersama-sama, lalu, mereka berencana untuk memutar balik keadaan di pertemuan kedua dengan Allahamel nanti. Menyelamatkan Lucy, sekaligus merebut inti dosa yang berada di bawah kekuasaan Overlord.
Semua masih saling mengobrol—pemandangan menakjubkan untuk Namol, karena mereka semua berasal dari semesta yang lain—ketika Danny berjalan sendirian ke tepi cerukan. Menangis.
Namol dan Holocaust menghampirinya. Menepuk pundaknya. Si pemandu tersenyum masih sambil sesenggukan.
"Akhirnya aku berhasil mengumpulkan mereka," katanya, bergetar. Relikui kecil tergenggam erat di kedua tangan. "Pemberontakan bukan lagi sekadar mimpi. Kita akan pulang ke rumah sebentar lagi."
"Aku ... akan berusaha semampuku membantu kalian!" seru Namol, meski ragu. "Dan, Danny, bagaimana caranya kau mengekstrak benda itu tadi? Inti dosa?"
Danny menjelaskan, "Semuanya sesederhana kata-kata. Karena dalam bahasa apa pun, ketika sebuah keberadaan menuturkannya melalui kesungguhan yang sebenar-benarnya, hal itu akan membentuk ikatan, janji, dan perubahan. Kekuatan dari hal paling dasar merupakan jenis kekuatan paling kuat."
"T-tentu saja," sahut Namol meski ia sama sekali tidak mengerti.
"Baiklah." Danny menoleh ke arah rombongan. "Semuanya siap?"
Adik
Pada saat yang sama
H
|
ingga nyaris tiba waktunya pertemuan kedua, Hutcherson dan Jess masih duduk di taman-menara. Memperhatikan gemuruh di cakrawala, warna merah kehitaman pada langit, dan makhluk-makhluk neraka yang hilir mudik.
Mereka tidak saling mengatakan apa-apa. Tapi mereka sedang memikirkan hal yang sama.
Reverier yang harus mereka hadapi. Namol Nihilo.
Di pertemuan pertama tadi, kemampuan sang lawan cukup terekspos. Ia mampu berdiri tanpa tergores sama sekali di tengah gempuran gelombang suara Jess, dan ledakan cahaya Hutcherson. Ia juga bisa terbang; terlihat ketika sedang mengambil senjata berbentuk raket di patung korban.
Jadi bagaimana cara mengalahkannya? Banyak sekali ide-ide yang seketika terpikirkan.
"Aku bakalan bilang kalau kita ini sebenarnya saudara jauh," kata Jess.
"Ke Namol Nihilo?"
"Yes."
Hutcherson tertawa. "Lalu?"
"Lalu, karena kita saudara, berarti aku boleh membunuhnya tanpa harus merasa sudah melakukan apa pun."
"Itu terlalu brutal, Princess Jess."
"Cara ini atau yang lainnya, sama saja, Prince Hutcher. Pada akhirnya kita harus menang. Kita harus pulang. Bukan dia."
"Aku tahu." Hutcherson tersenyum, menerawang menembus lapisan awan banal sewarna darah. "Hanya saja aku tidak ingin menjadi si kembar di dalam kisah Sagitarius dan Cancer."
"Oh, cerita itu."
"Captain Obvious berkata, itu adalah cerita nyata tentang mereka berdua."
Jess mengangguk bersimpati. "Aku juga merasakannya."
"Dan aku enggak mau jadi mereka," lanjut Hutcherson, "karena aku merasa punya kesempatan yang lebih baik. Kamu ngerti, Jess? Aku enggak mau hanya jadi mesin pembuat karya untuk entitas kejam. Aku mau, aku merasa bisa ada di sini karena aku sedang memperjuangkan sesuatu yang memang ... baik dan layak. Buat bikin kamu aman selamanya, misalnya. Sekaligus memastikan kalau kasur kamu di rumah bisa ketemu kamu lagi."
Jika saja Jess memiliki tubuhnya sendiri, saat ini ia pasti sudah memeluk kekasihnya erat-erat. "Beruntungnya," bisik Jess, sebelah matanya memanas, "aku adalah kamu. Jadi kita, adalah apa yang kamu maksud. Karena, Hutcher, balik ke rumah tanpa kamu, sama sekali belum bisa aku sebut pulang."
"Kita pulang sama-sama kalau gitu."
"Harus."
***
E
|
fek dari pertemuan kedua yang akan diselenggarakan sebentar lagi—menurut laporan Sagitarius dan Cancer yang memantau blok 666, House of Memory, secara berkala—adalah kecemasan-membahagiakan.
Hutcherson dan Jess yang baru turun dari taman-menara melihat ekspresi menggebu itu pada semua penghuni ruang kerja Overlord.
Sang raja berdiri di depan perapian, merokok, menimang apakah ia harus mengerahkan prajurit tambahan untuk pertemuan ini. Sementara Kana sedang membaca buku terbalik sambil mondar-mandir di depan jendela. Dan David terus mengawasinya dari samping, bersebelahan dengan replika busana beserta aksesoris kacamata hitam milik Ursario I.
Lalu, nyaris terlewat, adalah tamu mereka—sandera. Seorang gadis lugu. Terikat di depan rak buku-buku tebal, menangis dalam diam.
Tak lama menunggu, portal persegi membelah di pertengahan ruangan. Memuntahkan Sagitarius dan Cancer, yang hanya meneriakkan dua kata: mereka datang.
Berangkatlah tim khusus Allahamel ke blok 666.
Satu per satu, lalu, semua keluar dari ruang teleportasi. Berkumpul dalam setengah lingkaran yang sangat bersiaga. Di hadapan mereka, berdiri tegak serombongan lawan familier, dan sejumlah kesatria asing.
Langit-langit angkasa luar mengembang, membesar, bergerak dalam fase kosmisnya, menyambut lagi pertemuan dua kubu. Lantai serupa kaca, berpendar dan seolah menyerap semua bayangan, menjadikannya kejernihan tanpa contoh. Sementara itu belantara patung-patung korban di seluas blok 666, diam selayaknya benda mati, juga siap menawarkan konflik habis-habisan.
Overlord maju sambil menarik sanderanya yang terikat, menangis, meronta, dan meneriakkan kalimat memohon disertai nama seseorang: Kak Danny! Kak Danny, ma'fin aku! Kak Danny! Ma'fin aku ...! Sang raja memerintahkannya untuk diam, lalu berteriak agar pihak lawan menunjukkan benda pertukaran. Inti dosa terakhir.
Di seberang sana, terlihat sangat marah, seorang laki-laki mengangkat sebelah tangannya yang memegang relikui kecil berbentuk segitiga.
Kali ini Overlord berteriak agar pihak lawan melempar dulu benda tersebut, untuk diperiksa. Tapi hal itu tidak pernah terjadi.
Dengan sangat cepat, negosiasi berubah menjadi perang. Lima kera bercahaya—masing-masing memanggul lemari putih—muncul begitu saja di tengah-tengah tim khusus Allahamel. Dan di sepersekian detik setelahnya, melesat keluar dari sana sekumpulan kesatria.
Hutcherson mengambil alih kendali tubuh-bersamanya, mencoba menghindari serangan mematikan dua kesatria sekaligus. Sukses menjauh tanpa terluka, giliran Jess mengambil alih. Ia meneriakkan beberapa nada yang segera meliar di udara seperti virus, menyerang balik.
Dua kesatria tumbang. Helm dan zirah mereka terkoyak.
Kana, tidak jauh di sampingnya, juga berhasil mengalahkan tiga kesatria. Gadis bertudung putih itu memanipulasi pakaian perang penyerangnya, menjadikan mereka terkurung di semacam penjara besi.
Tepat di belakangnya, tampak David masih mengayun pedang besar yang seolah membuat udara terluka. Bekas-bekas tebasan itu meninggalkan pendaran emas berbentuk sabit, dan dari dalamnya, keluarlah selurus cahaya terarah seperti tembakan satelit-tempur—melubangi tubuh empat penyerangnya secara bergantian.
Sisa lima kesatria, yang menyerang ke arah Sagitarius dan Cancer, juga berhasil dikalahkan. Oleh Overlord sendiri. Mereka dihantam, menggunakan tinju berlapiskan aura hitam, sampai terlempar, menabrak sebaris patung-patung korban.
Pihak lawan tertegun.
Overlord mengumpat keras-keras, dan berjanji akan membunuh sanderanya jika mereka mencoba hal kotor seperti tadi.
Pada saat inilah semua itu terjadi. Pemicu kekacauan besar.
Sang sandera, si gadis kecil berwajah lugu, berhenti menangis. Ia hanya menatap seseorang secara spesifik. Kakaknya. Lalu ia tersenyum dan meledakkan dirinya sendiri.
Keberadaannya beterbangan dalam bentuk serpihan. Tidak ada api ledakan, pemandangan mengerikan dari bagian tubuh yang tercerai-berai, atau hujan darah. Hanya menghilang—seperti kebalikan dari proses penyembuhan—berangsur tanpa sisa.
Merasa kehilangan sandera, harapan pertukarannya, Overlord seketika murka. Tapi amarah tersebut segera ditenggelamkan oleh sebentuk energi tandingan yang jauh lebih mengerikan lagi. Karena dengan sangat cepat, kera kecil bercahaya lengkap dengan lemari putih, muncul di depan dirinya, lantas memuntahkan seorang laki-laki dalam keadaan berteriak dan tangan terkepal.
Sebuah tinju penuh emosi bersarang di wajah sang raja. Laki-laki yang menyerangnya juga ikut terjatuh akibat kecepatan dan kekuatannya sendiri. Tapi ia segera berdiri, berteriak semakin keras. LUCY! LUCY! LUCY!
Pihak lawan, sama terkejutnya dengan seluruh anggota tim khusus Allahamel, akhirnya hanya bisa maju. Mereka bercampur dalam pertarungan jarak dekat yang sangat sengit.
Hutcherson dan Jess sukses menghantam Namol Nihilo, target mereka, menggunakan gelombang suara ketika sosok itu terbang mendekati pemuda yang masih bertingkah membabi buta. Serangan kedua, bagaimana pun, digagalkan oleh semacam monster-domba. Ia melompat ke jalur tembak; seketika terpotong-potong oleh manipulasi udara setajam pisau.
Bersamaan dengan itu, blok 666 dikejutkan dengan kemunculan sekaligus ratusan kera bercahaya, pembawa lemari putih. Media portal mereka terbuka lebar, sebentuk pintu-pintu berdimensi putih yang mengisap apa pun. Seperti lubang hitam.
Keramaian segera menipis satu per satu—diteleportasi secara acak.
Hutcherson dan Jess salah satunya. Terisap kemudian menghilang. Tapi sebelum itu, mereka sempat melihat Overlord menghantam si pemuda yang masih bergerak membabi buta, dan mungkin menyebabkan ini semua.
Mereka juga melihat, pemandangan dari Namol Nihilo. Ia sedang panik mengumpulkan potongan-potongan berbentuk gumpalan bulu domba—yang tidak seperti dirinya, mulai tersedot acak ke dalam pintu-pintu lemari, lantas menghilang ke dalam tanda tanya.
Semesta-Semesta Berbicara
N
|
amol berdiri sendirian di reruntuhan vanity galleries. Dari blok 666, tadi, ia terbang ke sini menggunakan ekspresi bingung dan kalah. Tidak ada yang tersisa dari amukan serangan teleportasi Danny, selain dirinya—selamat karena antimateri.
Tapi kenapa kembali ke awal? Namol pun butuh sejenak berpikir ulang soal keputusannya. Pertama, karena ia memang tidak tahu lagi harus ke mana. Dan kedua, karena ia teringat pernah menitipkan tas hitam miliknya di sini.
Si monster roti isi, kan, pernah bilang sambil bernyanyi: di saat bingung, gunakan tasnya, pikirnya. Boneka aneh pemberian Ayah juga ada di dalam situ. Hm ... mudah-mudahan menemukan keduanya memang bisa membantu. Karena ini saat yang tepat ....
Jadi, sambil setengah melamun, Namol mengangkat setiap potongan kanvas, kaleng-kaleng cat, dan patahan patung-patung di tiga bilik, semata untuk menemukan keberadaan tas hitam.
Butuh beberapa saat baginya untuk menyadari kalau semua objek yang ia sentuh tiba-tiba melayang-naik ke udara.
Whoa! Apa kemampuan Hellind-ku sudah pulih ...? Harapan liar didasari keputusasaan mulai bermunculan.
Segera, kali ini secara intensional, Namol menyentuh puing-puing di sekitarnya. Memperhatikan bagaimana mereka melayang. Lalu sentuhan kedua, di mana semua yang melayang berubah tak kasatmata.
Ba-bagus sekali! Akhirnya, kabar baik! Kemampuan Hellind-ku sudah pulih!
Terbang atau membuat objek lain terbang, menghilang atau membuat objek lain menghilang, antimateri atau membuat objek lain jadi antimateri, dan memakan elemen lantas memuntahkannya menjadi prajurit pribadi, adalah kemampuan Hellind yang sudah dikuasai Namol. Bagaimana pun, di pertarungan melawan Shinigami dulu, itu semua nyaris menghilang. Hanya naik perlahan di setiap rondenya, sampai akhirnya sekarang, kembali utuh.
Pencarian tas hitam menjadi lebih menyenangkan setelah mengetahui fakta tersebut. Dan tak lama, ia memang menemukannya. Tergeletak di balik salah satu lukisan Declaire Magdalena ciptaan Danny.
Oke. Ini dia ....
Sambil menarik napas panjang, Namol mengambil Belle si marionette dari dalam tas, menyimpannya di atas meja kayu, lalu merogoh lagi. Berharap menemukan sesuatu yang lain. Dan ... ternyata memang ada sesuatu di sana.
Sandwich.
Tapi jelas bukan sandwich biasa. Karena roti isi kecil berbentuk segitiga sama kaki itu tiba-tiba bergetar. Melompat ke udara, kemudian berubah menjadi sesosok raksasa familier.
Si monster sandwich.
"HALOOO, NAMOOOL NIHILOOO! ADA YANG BISA SAYA BANTU?" tanyanya.
"Ng, itu—"
"Holy shit!" umpat seseorang. Bukan Namol. Suara itu terdengar manis dan manja, khas remaja perempuan. "Dia lagi!"
Namol menelan ludah. Tadi itu adalah suara Belle. Marionette berbentuk gadis kota yang fashionable. Ia sedang melayang dan bergerak menggoda meski tanpa dalang.
"Errr, anu, apa yang kalian lakukan di sini?" kata Namol sambil menatap keduanya bergantian. Pertanyaan bodoh.
"Kamu yang keluarin aku tadi," rengek Belle, manja. "Tanggung jawab!"
"I-i-itu ...."
"NAMOOOL NIHILOOO SEDANG BERMASALAH?" timpal si monster sandwich. "ATAU PUSING? KEHILANGAN ARAH? SILAKAN KOOONSULTASIKAN DENGAN SAYA!"
"Yeah ...."
Selain kebisingan dari dua pendatang asing, House of Memory di sekeliling mereka tampak sangat tenang. Seolah memiliki sistem restorasi yang canggih; entah itu secara fisik atau emosi. Karena ruangan ini tetap sebagaimana mestinya, normalnya, meski beberapa saat lalu ia telah menjadi saksi dari kejadian mengejutkan.
Namol langsung memutuskan untuk menceritakan semuanya pada si monster sandwich—dan Belle, yang menguping sambil terus berpose centil—tentang semua pengalamannya di House of Memory. Kunjungan ke nyaris semua mahakarya di Chamber of Saligia; pertemuan pertama dan kedua dengan tim khusus Allahamel di blok 666.
Terakhir, terpenting, adalah tentang bagaimana ia kehilangan Holocaust.
Selesai bercerita, keduanya—monster sandwich dan Belle—langsung sama-sama menyarankan agar Namol mengumpulkan potongan si domba. Mencarinya di memori semesta setiap mahakarya.
Oh, itu ... sama sekali bukan ide yang buruk! Sambil mencari potongan Holocaust, aku bisa mengunjungi yang lainnya—semoga mereka diteleportasikan kembali ke semesta masing-masing! Namol mengonsiderasikan. Bertemu dengan kedua makhluk ini ternyata benar-benar membantuku.
"Baiklah," katanya, "ayo mulai cari dari semesta Falanthr—"
Namol tidak meneruskan kata-katanya. Karena selembar kertas baru saja muncul di udara, terombang-ambing melayang-jatuh. Tadi, walau hanya sekilas, terlihat pula sedikit pola kera bercahaya dan sebagian portal berbentuk lemari putih.
Ini ... surat dari Danny ...?!
***
V
|
ariasi garis memenuhi langit barat Falanthring. Namol akhirnya sukses masuk ke dalam memori mahakarya ini setelah tidak sengaja menekan pelatuk yang tersimpan di dasar bingkai menggunakan kepala. Ia menjadi dua kali lebih ceroboh karena sangat terburu-buru—menyimpan si monster sandwich dan Belle di dalam tas, terbang secepatnya dari vanity galleries ke blok Chamber of Saligia, mencari lukisan kolosal, menggerutu lupa lokasi pelatuk, tersandung—apalagi setelah membaca surat Danny.
Atmosfer hitam-putih kembali menggelapkan, menyuramkan, persepsi Namol untuk semua objek. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, selain Nile dan Espha yang sibuk bercinta di antara gundukan-gundukan jasad bangsa Nirmanuth.
Syukurlah ... mereka diteleportasi ke sini, Namol membatin. Khawatir ia tidak akan menemukan apa-apa di semesta abstrak dan kelam ini. Meski ternyata, selain itu, ia juga menemukan ... bulu domba!
Tidak jauh di sebelah kaki kirinya, terdapat gumpalan bulu putih nan keriting. Potongan pertama Holocaust. Namol mengambilnya, memasukkannya ke dalam tas.
Lalu seperti kunjungan pertama, ia melihat Nile segera menghentikan aktivitas bercinta, lantas menyerangnya menggunakan garis-garis tajam.
"JAUHI KAMI!" Nile meraung menggunakan dua suaranya.
"I-i-ini aku, Nile! Namol Nihilo!"
Serangan seketika berhenti. Nile melambaikan sebelah tangannya dari kejauhan, mengisyaratkan agar Namol maju.
"Aku minta maaf," kata si entitas garis, setelah mereka berdiri berhadapan, dan Espha sudah kembali berada di dekapannya. "Aku sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk melawan kehendak tempat ini. Semuanya seakan terulang, sampai pihak luar datang."
"Jangan dipikirkan," sahut Namol. "A-ada yang lebih gawat dari itu, Nile. Danny ...."
"Ya? Ada apa dengan Dannistraz Teffereth? Aku tidak melihatnya. Apa yang terjadi setelah semua primata-terang memindahkan kita?"
"Aku enggak tahu keadaan yang lainnya. Tapi semoga mereka juga diteleportasikan ke semesta masing-masing. Lalu, soal Danny ... dia ditangkap oleh tim khusus Allahamel. Dan dia mengirimiku surat."
Nile membaca surat itu.
Maaf, aku tertangkap. Tapi jangan menyerah. Segera kumpulkan lagi anggota pemberontakan. Karena kali ini mereka akan menyerang habis-habisan. Karena inti dosa terakhir sudah kuamankan, dan mereka mengira relikui itu dibawa oleh salah satu dari kalian. Berkumpullah lagi, dan lawanlah mereka.
Kali ini, kalian juga harus menggunakan kekuatan penuh. Aku tahu kalian bisa. Aku membaca semua kemampuan kalian di kitab Dante.
Falanthring, bangkitkan Mnemosyne. Sandhi Vanantara, bangkitkan Nekara. Gearmist Stronghold, bangkitkan The President. Lord Ulric, bangkitkan Ashmorthen.
Gunakan kertas ini, manifestasi sisa tenagaku, untuk melepaskan semua kekuatan itu ke permukaan House of Memory. Teriakkan: "Lucy!" Nantikan mereka di blok 666.
Berjuanglah.
Selesai.
Nile mendongak menatap Namol. "Dannistraz Teffereth sampai mengetahui tentang Mnemosyne—keturunan Penjaga Agung Danau Falan dan Air Terjun Nél-Thring? Menakjubkan. Sekuat itukah lawan yang harus kita hadapi nanti? Baiklah. Aku akan menjemput sang Penjaga. Setelah itu, kita jemput yang lainnya."
Masih sambil berpelukan dengan Espha, dari tepian Nile terjun ke dalam danau. Berenang dengan sangat cepat membelah air kegelapan, sampai melalui tirai air terjun hampa di kejauhan, dan kembali tak lama kemudian sambil membawa semacam kalung berbandul tumpukan bidang yang mirip tulang-belulang.
"Ayo. Buka jalannya."
Namol mengangguk. Merasa seperti orang bodoh ketika mengangkat kertas pemberian Danny tinggi-tinggi, lalu meneriakkan, "Lucy!"
Kera familier bersama lemari putihnya muncul dari ketiadaan tak berwarna. Berhasil! Segera semua masuk melewati proses teleportasi, dan langsung tiba di depan candi putih.
Mahakarya Sandhi Vanantara.
Namol cepat-cepat mengingat dengan susah payah, di anak tangga nomer berapa pelatuk untuk melepaskan memori semesta ini berada? Lalu ia kembali terpeleset. Memicu semua kebetulan dan kesialan sekaligus.
***
Y
|
ang terakhir terjatuh, selalu menjadi pemenang di dalam sebuah peperangan—atau aspek lainnya. Tapi dari pertama, Namol bersama dengan Nile dan Espha sudah terjerembap karena proses penciptaan memori yang kurang halus.
Mereka bertiga, seperti kunjungan pertama, terjebak di tengah peperangan besar antara kaum Swarloqué dan kaum Bhurloqué—si kaya dan si miskin. Dentingan persenjataan, ledakan sihir-sihir, bulu-bulu unggas bercampur bersama darah dan tanah di udara.
"K-k-k-kita harus cepat-cepat menemukan Siffa!" seru Namol, sebelum akhirnya ia ditembak oleh semacam bola meriam sihir, dan selamat karena antimateri.
Pencarian secepatnya dilakukan. Namol berlari memutari zona perang, mencari wajah-wajah familier, sambil sesekali meneriakkan nama atau umpatan. Ia sudah terpencar seutuhnya dengan Nile dan Espha. Satu-satunya kabar baik adalah ditemukannya segumpal bulu keriting—potongan tubuh Holocaust. Sisanya nol.
Kepanikan mengikatnya. Bagaimana jika pada akhirnya ia tidak bisa menemukan siapa-siapa? Terjebak selamanya dalam momen berulang ini? Berlarian dalam status antimateri di antara jutaan, mungkin puluhan juta, bangsa Brahmavala yang sedang berperang?
"Hey! Aku mengenalmu!" kaokan familier terdengar begitu dekat. Semakin dekat.
Namol mendongak takut-takut, dan mendapati Siffa sedang terjatuh ke arahnya. Tapi karena ia sedang berstatus antimateri, tidak terjadi benturan apa pun.
"Ketemu!" pekik Namol nyaris menangis. "Siffa, k-kita harus segera pergi dari sini!"
"Aku setuju!"
"Tunggu!" seru sebuah suara lain. Lalu sesosok manusia-burung jantan menerobos sekerumunan pasukan perang. Seingat Namol, namanya Kris. "Siffa, aku harus ikut."
"Diam dan mati sajalah di sini, Bhurloqué rendahan! Biar aku yang menemani Siffa!" suara baru menimpali. Manusia-burung jantan yang menukik dengan sangat gagah dan mendarat di antara segelintir keberadaan statis, meski mereka sedang berada di dalam lingkaran peperangan.
Namol juga mengingat sosok itu. Namanya Arjune.
"Haruskah kau menjadi berengsek setiap saat, Arjune?" Siffa mendengus kesal. "Tidak dibutuhkan kecemburuan di situasi seperti ini, kita semua harus pergi, atau kita semua terluka!"
Ya, pikir Namol, di kunjungan pertama tadi, Arjune dan Kris terluka cukup parah karena kita terlalu lama tersesat di tengah peperangan. Kita harus cepat!
"T-tapi, sebelum itu," ujarnya, "lihat ini. Surat dari Danny! Dan—awas, burung itu ingin menebas kepalamu!
Arjune mengatasinya. Ia menendang dua penyerang yang menginterupsi lingkaran debat mereka. Bersamaan dengan itu, belasan garis tajam menghunjam dari langit. Nile dan Espha mendarat di dekat mereka sepersekian detik kemudian.
Oh, kabar baik!
"Aku mencarimu ke mana-mana," kata Nile. "Apa semua sudah siap?"
Siffa mengangguk. Ia baru saja selesai membaca surat Danny yang kini sedang dibaca berebutan oleh Arjune dan Kris.
"Bangkitkan Nekara, ya?" gumam si manusia-burung betina, mengingat instruksi Danny untuk menggunakan kekuatan penuh. "Boleh, boleh, boleh! Sepertinya perang terakhir nanti benar-benar akan membunuh kita semua! Ayo, Nekara berada di pusat kompleks candi Swarloqué! Semuanya bisa terbang?"
Semuanya bisa terbang.
Bersama-sama, lalu, mereka menerobos serangan-serangan udara yang meliar dari para kontestan perang. Beberapa ada yang sempat mengikuti mereka sebelum akhirnya dijatuhkan oleh serangan garis Nile, atau hantaman Arjune dan Kris.
Keluar dari zona berbahaya seutuhnya, sesaat melintasi padang rumput, Namol harus terpukau ketika rombongan melesat melewati candi-candi kecil; susunan batu besarnya dan pahatan artistik dari setiap detail. Lalu patung-patung raksasa yang disejajarkan dengan pilar di sepanjang jalan besar menuju semacam keraton, sampai akhirnya, ia tiba di Nekara. Sebuah stupa berlambangkan anak panah, menancap di puncak candi tertinggi.
Siffa mendorong lambang tersebut, lantas menariknya. Bagian batu yang berukir pun terlepas.
"Nekara," jelas Siffa, bangga, menimang sebongkah batu berpotongan simetris. "Salah satu artefak terkuat milik Sandhi Vanantara!"
"Semoga digunakan untuk alasan yang memang bagus," kata Arjune, sinis.
"Hm. Apa Anda belum menangkap situasi sebenarnya saat ini, Gusti Pangeran?" cemooh Kris. "Tentu saja alasannya penting. Dengan Nekara kita mungkin bisa pulang ke rumah. Tidak melakukan gerakan berulang di suatu mahakarya, terjebak di momen yang sama. Aduh, maafkan kelancangan hamba! Ha-ha!"
Arjune menggeram. "Bhurloqué rendahan! Terakhir kali kuhantam kepalamu, rasanya ringan! Karena otak tidak mungkin tumbuh di sana!"
"Maafkan kemampuan menganalisa hamba yang jauh lebih hebat dari Anda."
"Bajingan!"
Siffa menghajar keduanya tepat di kepala. "Banyak bacot saja kayak betina!" kaoknya. "Kepala kalian berdua sama-sama ringan!"
"Kita berangkat sekarang?" tanya Nile pada Namol, yang masih bengong memperhatikan situasi persaingan Arjune dan Kris.
"Y-y-ya. Ayo! Maaf!" serunya. "Lucy!"
Sesaat kemudian, berpindahlah mereka ke depan menara serupa cerobong kereta yang dihiasi oleh roda-roda gigi. Mahakarya semesta Gearmist Stronghold. Namol kembali pusing mengingat di mana letak pelatuknya. Dan kali ini, kecelakaan yang menjadi pemicu terbukanya memori, terdapat pada pertikaian lanjutan dari Arjune dan Kris.
Kedua manusia-burung jantan itu saling serang lalu terpental dan menubruk Namol. Ketiganya terempas ke dinding menara, mengaktifkan dengan sangat komikal, mekanisme penciptaan semesta Gearmist Stronghold.
***
S
|
emuanya tampak sama. Muncul dalam keadaan terjun bebas. Pemandangan jungkir balik dari Langit bernuansa sepia, udara yang pahit, dan di permukaan sana ... balapan kereta—Royalgear World Cup ke-808. Perbedaannya dengan kunjungan pertama, rombongan Namol kali ini menyadari kemampuan terbang mereka. Dan mereka tidak mendarat di tengah arena, berpartisipasi, melainkan di tribune. Berbaur dengan bangsa The Invulnerable yang riuh menonton sambil mencicit, menggerogoti keju, menjilati selai kacang, sampai berjudi.
Semua sepakat langsung mencari keberadaan Quimtray Cabbage—satu-satunya manusia-tikus yang mereka kenal, dan cukup bersahabat. Pada saat ini Quim sudah melewati garis finis sebagai juara pertama, dan pasti sedang menonton sisa balapan di suatu tempat. Rombongan pun berpencar, berjanji bertemu di tempat yang sama setengah jam lagi.
Namol terbang rendah sambil sebisa mungkin tidak menghalangi penonton. Setelah melewati dua barisan, ia melihatnya. Segumpal bulu domba yang sedang dijilati The Invulnerable anak-anak.
"I-itu bukan permen!" kata Namol, setibanya ia di samping si penjilat. "Maaf, kalau bisa, tolong kembalikan padaku."
Si penjilat malah menangis. Menciptakan keributan yang segera mendatangkan sekelompok The Invulnerable dewasa.
"Ada apa ini?!" bentak si manusia-tikus pertama.
"Dia mau culik aku!" kata si penjilat.
"MENCULIK?!" Manusia-tikus kedua seolah meledak. "Kera dari wilayah mana dia ini? Hey, dari wilayah mana kauberasal, heh? Punya visa, kah?!"
"Oh, tenanglah, saudara-saudara. Maaf, maaf. Mamalia ini bersamaku. Dia temanku," jelas suara familier Quim, si manusia-tikus berperawakan kurus. "Dan bola bulu yang sedang dijilati anak manis ini, sebenarnya itu juga miliknya."
"K-kau!" bentak manusia-tikus ketiga. "Kau adalah Quimtray Cabbage! Juara pertama dengan rekor tercepat! Hebat! Tolong tanda tangani seluruh keluargaku, tolong!"
Beberapa tanda tangan dan permintaan maaf kemudian, serta dikembalikannya kepingan lain dari Holocaust, Namol akhirnya bisa bicara secara leluasa dengan Quim.
"Demi Korrupile! Kukira kita enggak bakal ketemu lagi!" cicit si manusia-tikus kurus. "Aku dipindahkan ke sini tadi, dan langsung ikut balapan seperti biasa. Aku ingin berhenti, dan mencari kalian, tapi ... entahlah. Seolah sudah terprogram. Sulit sekali melawannya."
"Yang penting sekarang kita sudah saling ketemu," kata Namol, lega. "Kau, hm, masih mau membantu kita, kan?"
"Tentu saja!" cicitan Quim naik satu oktaf. "Aku, Cassandra, Cindy, Lucile, akan membantumu, dan semua semesta lain, agar kita bisa pulang ke rumah masing-masing! Aku tahu ini memang aneh; kita baru kenal sebentar, dan semuanya seolah tidak nyata. Tapi setidaknya ada yang bisa kulakukan selain bergerak berputar-putar!"
Namol berterima kasih, lalu menyerahkan surat Danny. Quim langsung tekun membacanya, dan setelah selesai, ekspresinya dipenuhi euforia.
"The President," ia menggumam takjub. Sorot matanya berkabut seperti sedang melihat alam yang lain. "Robot perang legendaris ciptaan bapak lokomotif sedunia, Freshbeard," lanjutnya. "Sangat kebetulan sekali, karena kalian sudah mengenal keturunannya. Rottenbeard."
Firasat Namol berubah mendung.
"J-jadi, kalau ingin menggunakan The President, kita harus ... meminta izin Rottenbeard dulu?"
"Kurang lebih seperti itu, ya. Oh, demi Korrupile! Aku tahu aktivitas ini akan membawaku ke suatu hal besar!"
"Baiklah," kata Namol, lesu, "ayo kembali dulu ke tempat pertemuan."
Di tempat pertemuan, semuanya sudah berkumpul dan tampak senang karena Namol berhasil membawa Quim bersamanya. Kemudian, atmosfer berubah sedikit kurang bersemangat, ketika semua mengetahui satu-satunya jalan untuk membawa The President sebagai perwakilan perang nanti, adalah dengan melobi si manusia-tikus berotot, Rottenbeard.
Dipimpin Quim, bergeraklah rombongan ke depan bengkelnya di bagian belakang arena. Berjalan pelan menembus tribune, melewati lutut demi lutut, dengusan protes, siulan godaan, dan umpatan vulgar.
Saat ini, Rottenbeard seharusnya sudah menyelesaikan balapannya. Finis di posisi dua. Jadi mereka menunggu di depan bengkel, di antara rak berisi komponen cadangan, dan prototipe bagian depan kereta berbentuk wajah gorila.
"KALIAN PENCURI BERDARAH KOTOR!" bentak Rottenbeard dari kejauhan. Si manusia-tikus berotot berlari melewati bengkel-bengkel lain ke arah rombongan, sambil terus berteriak murka. "BERANINYA KALIAN KEMBALI! BERANINYA KALIAN MENGHINA BENTUK KUMISKU! KALIAN HARUS MATI, HEH!"
"Tunggu dulu, Rottenbeard!" Quim maju menengahi. "Kita ke sini untuk membahas soal The President."
"MINGGIR KAU PENGERAT PEREBUT KEJAYAAN! AKU AKAN—apa? The President?" gumamnya berat, tersengal-sengal. "Kalian ingin mencuri ciptaan terbaik nenek moyangku?"
"Bukan!" kaok Siffa, kehilangan kesabaran. "Kami hanya ingin meminjamnya!"
"BERMIMPI SAJA SANA, BURUNG DARA!"
"Apa?!" Siffa terbang-mundur. Tersinggung. "Cocoklah! Kami memang memakan tikus sebagai kudapan menjelang gelap! Waktu yang tepat!"
Arjune dan Kris buru-buru menahannya.
Gantian Nile mencoba berdiplomasi. Ditambah sedikit bantuan dari pujian-pujian yang dilontarkan Quim, dan permintaan maaf Namol. Rottenbeard akhirnya setuju untuk meminjamkan The President. Dengan syarat, ia juga ikut.
"Padahal tinggal bilang saja dari tadi kalau mau ikut," gerutu Namol.
"Mengatakan sesuatu, heh, kera?!"
"Bengkelmu keren."
"Heh, bagus juga matamu ternyata, kera. Baiklah, tunggu di sini! The President akan siap beberapa saat lagi!"
Dan beberapa saat kemudian, Rottenbeard keluar dari bengkelnya sambil mengenakan kostum robot paling rapuh dan antik yang pernah Namol lihat. Tapi ia tidak protes. Jika menurut Danny, The President adalah senjata terbaik yang bisa mewakilkan Gearmist Stronghold untuk saat ini, maka begitulah kenyataannya.
Selesai semua itu, portal kembali tercipta. Rombongan pun meninggalkan semesta Gearmist Stronghold dalam keheningan yang berpikir. Sesampainya di ujung proses teleportasi, mereka sudah berdiri berhadapan dengan sebentuk zirah emas raksasa.
Mahakarya semesta Lord Ulric.
Beruntung, kali ini, Namol masih cukup hafal lokasi pelatuknya. Ia tendang keras-keras bagian tumit pada zirah emas. Terciptalah semacam ledakan singkat, yang disusul kemudian oleh hujan darah membutakan.
***
L
|
ord Ulric menghentikan aktivitas bunuh diri setelah mendengar namanya dipanggil. Sikap berhenti itu diikuti kemudian oleh segelintir kesatria lain. Jumlah mereka sudah berkurang; akibat gagalnya taktik penyerangan di pertemuan kedua dengan tim khusus Allahamel.
"Ulric!" panggil Namol lagi. "Ada pesan dari Danny yang harus kusampaikan untukmu!"
"Kemarilah!" sahut Ulric. "Kusambut kalian di tanah kehancuran ini, dengan segala kerendahan hati yang dimiliki sisa kehidupan!"
Maka kali ini, berbeda dengan kunjungan pertama, Namol dan rombongan yang harus menuruni cerukan, menghampiri para kesatria. Di perjalanan, terlihat segumpal bulu domba, menyembul dari retakan tanah.
Holocaust! Namol melesat terbang ke arah gumpalan itu, menariknya, lantas mencoba menyatukannya dengan tiga gumpalan yang lain. Hasilnya, keempat bulu keriting saling merekat menjadi bola putih besar, lalu bertransformasi menjadi seekor domba, dan finalnya ... hibrida tampan yang aura ketenangannya sangat mematikan.
"Maafkan saya, Tuan Muda," ujar Holocaust seketika, sambil bersujud. Suaranya bergetar lemah. "Maafkan saya."
Namol tersedak. Buru-buru ia mengulurkan tangannya. "Kau menyelamatkanku, bodoh. Seharusnya aku yang meminta maaf karena telah merepotkan. Kukira ... kukira karena aku lemah, aku harus siap untuk kehilangan lagi sesuatu yang berharga."
Holocaust mendongak, dan untuk pertama kalinya, tersenyum. "Terima kasih, Tuan Muda."
"Sudahlah. Ayo."
Keduanya melanjutkan perjalanan menuruni cerukan.
Sesampainya di bawah, Ulric segera membaca surat yang diberikan untuknya. Mencermati tiap kata. Setelah selesai, ia berikan surat itu pada kesatria lain agar dibaca bergantian.
"Namamu Namol?" tanya Ulric, tegas. Yang ditanya langsung mengangguk. "Permintaan Danny," lanjutnya, "sejujurnya cukup berat jika harus dipenuhi. Dia ingin aku membangkitkan Ashmorthen, sementara makhluk itu adalah alasan kenapa umat manusia di semestaku punah. Bisakah kau membayangkan nantinya, jika aku tidak bisa mengendalikannya? Ya, makhluk jahanam itu tersegel di dalam tubuhku saat ini. Jadi bisakah kau, atau kalian, bertanggung jawab jika semua berjalan tidak sesuai rencana?"
"Ya. Tentu," kata Namol, setegas keberanian yang bisa ia keluarkan. "Jangan remehkan kami."
Ulric tersenyum. Ia beralih menatap kesatria lainnya. Semua mengangguk setuju.
"Baiklah!" serunya. "Crusadiand akan maju mengikuti peperangan!"
"DEMI KEBEBASAN! PULANG KE RUMAH!" kaok Siffa, diikuti kemudian oleh seruan dari semua entitas yang berada di sana.
Tim pemberontakan impian Danny berhasil diciptakan. Namol berdiri memimpin di paling depan. Membuka portal.
Menuju blok 666.
Atas Nama sang Roda
Di saat yang sama
"O
|
mong kosong, bura!" geram Overlord Ursario XIII pada Hutcherson dan Jess. "Kalian sudah cukup pantas untuk memimpin batalion pembunuh!"
"Baiklah, jika Anda memaksa," kata Hutcherson, menggunakan nada kalah.
Saat ini, ruang kerja Overlord tampak lengang. Kana dan David sedang kembali ke El-Horus untuk mengoordinasikan pasukan Nirfinitia mereka. Sedangkan Sagitarius dan Cancer belum kembali dari tugas memantau lokasi House of Memory—wilayah mana saja yang sekiranya dijadikan sebagai tempat persembunyian inti dosa terakhir.
Tersisa Hutcherson dan Jess, yang juga akan segera meninggalkan ruangan setelah urusan mereka selesai. Peresmian pemberian tanggung jawab. Sang raja telah menyisihkan sebatalion khusus untuk dipimpin oleh mereka—jenderal terbarunya.
"Segera perkenalkan diri kalian pada unit yang bersangkutan, bura!" Overlord menggebrak meja. Suaranya dalam, bervibrasi, dan penuh otoriter. "Tunjukkan pada mereka siapa pemimpin, siapa prajurit! Dan bergegaslah karena sebentar lagi kita akan berangkat, burrra! Berkumpul lagi nanti di lapangan utama!"
Dengan begitu, Hutcherson dan Jess meninggalkan ruang kerja sang raja. Karena batalion mereka berada di auditorium lantai empat, ke sanalah mereka berjalan sekarang. Dan sejauh mata memandang, seisi kastel seolah sedang dilanda badai. Semua boneka beruang beragam jenis profesi hilir mudik, sangat sibuk menata persiapan perang.
Hutcherson melihat sepasukan prajurit berbaris, berlari menuruni tangga spiral sambil bernyanyi. Jess dimarahi oleh sesosok boneka berbusana koki yang sedang berjalan tergesa-gesa di koridor, karena ia mencoba mengambil sekotak ransum berdesain tengkorak beruang.
"Mereka terlalu paranoid!" Jess bersungut-sungut ketika menaiki lift berantai ke lantai empat. "Di pertemuan kedua, kan, sudah jelas kalau kita lebih kuat dari lawan. Kita bahkan berhasil melukai Namol Nihilo."
"Enggak, Jess, kita belum melukainya. Itu hanya hantaman ringan," kata Hutcherson. "Tapi, ya, aku setuju. Secara keseluruhan, kekuatan tempur kita jauh lebih kuat."
"Ya, kan? Dasar boneka-boneka cebol!"
Tiga boneka beruang berkostum prajurit-pemanah yang juga sedang berada di lift berantai, melirik Jess menggunakan tatapan pembunuh. Jess membalasnya.
"Kamu cuma marah karena enggak dikasih kotak ransum bergambar tengkorak beruang, kan, sama koki tadi?" Hutcherson tersenyum. Sangat mengerti kekasihnya.
"Ya! Karena mereka paranoid cebol dan pelit!" sembur Jess ke arah tiga prajurit-pemanah.
Beruntung, sebelum keributan melebar, lift berantai tiba di lantai empat. Hutcherson dan Jess turun. Di belakang mereka, ketiga prajurit-pemanah langsung mencibir: manusia pesolek, dia gila kali menggerutu sendiri!
Hutcherson mati-matian menahan Jess agar tidak menarik lift tadi sampai selevel dengan jeritannya. Mereka pun lanjut berjalan. Perasaan Jess baru mendingin di depan pintu auditorium, ketika ia berpapasan dengan boneka beruang cantik, berkostum tim medis, yang menawarinya segenggam permen karet untuk meredam penyakit grogi sebelum perang.
Mereka memakan dua sekaligus, lalu bingung ingin menaruh sisa permennya di mana.
"Kubus hitam?" Hutcherson menyarankan.
"Ah, iya!" kata Jess. "Kita juga, kan, belum sempat mengecek ada apa di dalamnya!"
Jadilah mereka berhenti dulu di depan pintu auditorium. Jess mengeluarkan kubus hitam pemberian si manusia bola daging, membuka bagian atasnya, lantas merogoh ke dalamnya.
"Dapat apa?" tanya Hutcherson.
"Ng ... sesuatu yang kasar! Sebentar! Oh—"
Jess menarik sebuah kepala. Bertanduk berulir, berambut ikal, dan pirang. Sisa tubuhnya menggeliat keluar dengan sendirinya—seperti pesulap mengulur kain tanpa ujung. Proses itu selesai, tampaklah sesosok manusia setengah domba, berbusana ala koki.
"Syukurlah, aku sempat mengira kalian tidak akan membuka kubus hitamnya. Tadi sebelum kalian melompat dari pesawat kertas di Bingkai Mimpi, aku menyusup masuk," ia setengah menggerutu, setengah geli. "Apa kalian sedang lapar? Di mana ini?"
Hutcherson yang pertama kali menyadarinya. "Maaf, apakah kau adalah ... si domba?"
Jess terkejut sampai menutup mulut secara dramatis.
"Ya," kata si domba. "Mengingat kalian belum menamaiku, benar sekali, aku adalah si domba. Tapi, bisakah mulai saat ini aku memiliki nama? Bagaimana kalau ... Hudson?"
"Tapi Hudson nama laki-laki," protes Jess.
Si domba angkat bahu. "Kalian bisa memanggilku Hudsie?"
"Baiklah," ujar Jess dan Hutcherson berbarengan.
"Sempurna, terima kasih, ya." Hudson tersenyum. "Sekarang, kembali ke awal. Apa kalian lapar?"
Jess mengangguk. Hudson menanyakan di mana dapurnya. Hutcherson menunjukkan arah. Pergilah hibrida itu—berlari dengan sangat cepat ke arah tangga spiral.
Hutcherson dan Jess tertawa pelan. Merogoh lagi isi kubus hitam, tapi tidak menemukan apa pun selain bola daging yang kemudian bertransformasi menjadi si pembawa memo familier. Karena makhluk itu sangat ultramembosankan, Jess langsung menyimpannya kembali. Mereka pun lanjut memasuki auditorium.
Di dalam sana berdiri sekitar seratus boneka beruang yang mengenakan macam-macam kostum eksentrik. Ada yang terlihat seperti pohon, batu, tuan putri, kesatria, raja, pangeran, singa, naga, pengemis, dan banyak lagi. Suasana sangat hidup dan ceria.
"Kita diberikan tugas untuk memimpin prajurit pembunuh, bukannya pemeran-pemeran drama panggung!" Jess berteriak histeris.
Seketika seluruh penghuni auditorium menatap ke arahnya.
"Apa kalian pemimpin baru kami?" tanya boneka beruang tua berkostum seorang bayi. Ia berjalan ke depan pintu auditorium, lalu menguncinya. "Selamat datang di Teater Beelzebub. Pasukan divisi khusus Overlord Ursario XIII."
"Dan jangan khawatir," sahut boneka beruang berkostum badut sambil menyeringai. "Kami ini kuat. Kami sudah membunuh banyak sekali makhluk hidup atau mati, sampai-sampai aku harus membuat catatannya sebagai bentuk penghormatan. Hm, kalau tidak salah, yang terakhir kami bunuh itu ... ya, mantan pemimpin kami."
Entah karena apa, bagian dalam auditorium seketika berubah dingin. Hening. Mata-mata para boneka beruang berkostum yang mendiami ruangan ini juga berpendar mengerikan. Tatapan murni pembunuh.
Tapi Jess sama sekali tidak terintimidasi. "Bagus, deh!" katanya. "Sekarang, kita enggak punya banyak waktu. Semuanya bersiap-siap menuju peperangan! Kita berkumpul bersama yang lainnya di lapangan utama!"
Hutcherson tersenyum. "Laksanakan, Jenderal Jess."
Jess mencubitnya keras-keras.
Seisi auditorium kembali ke atmosfer hidup dan ceria. Mereka mengepak semua kebutuhan perang. Dan tidak seperti prajurit normal, yang dipersiapkan oleh seratusan boneka beruang berkostum itu adalah alat-alat rias, variasi lampu, logistik panggung, dan lemari busana.
Persiapan selesai, dan semua boneka beruang berkostum sudah naik ke atas panggung tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba dinding berjendela di salah satu sudut membuka sampai memperlihatkan panorama langit merah Alam Kematian.
"Pemimpin," kata boneka beruang berkostum mumi, "apa kalian ingin ikut dengan kami? Atau berjalan saja?"
"Kami akan menyusul," kata Hutcherson, sopan. "Silakan duluan."
"Aye, sir."
Kemudian, dengan sangat mengejutkan, panggung yang ternyata berbentuk tengkorak beruang itu bergerak. Terbang melewati bagian terbuka, lantas menukik. Nyanyian para boneka beruang berkostum di atasnya masih menggema lama bahkan setelah mereka sudah tidak terlihat.
Hutcherson dan Jess keluar dari auditorium. Di koridor, Hudson si hibrida-domba segera menyambutnya dengan senyum ala pramugari profesional, dan senampan penuh donat beragam rasa.
"Tadi di dapur ada boneka beruang menjengkelkan, berkostum koki juga, terus dia membawa-bawa kotak ransum berdesain," lapor Hudson. "Aku menghajarnya."
Jess tertawa-tawa sambil memakan donat. "Kurasa, Hudsie, kita bakalan jadi teman baik."
Hudson tersenyum semakin lebar.
Mereka bertiga lanjut berjalan. Sekarang ke lantai dasar, menuju lapangan utama.
Sesampainya di sana, bertambahlah satu lagi pemandangan menakjubkan yang telah mereka saksikan dalam satu hari ini. Seluruh pasukan utama Overlord Ursario XIII telah berkumpul, berbaris. Ditambah, di sebelah kanannya, pasukan utama Nirfinitia dari El-Horus.
Sang raja duduk di atas singgasana yang menancap di kepala beruang raksasa. Di sampingnya, sambil melayang-layang, ada Kana. Gadis bertudung itu duduk di kursi pilot pada semacam kapal perang futuristik, eksklusif, bersama David. Dan di depan mereka, di pertengahan, terdapat semacam tiang yang diangkat beberapa prajurit-algojo. Pada tiang itu, tersalib terbalik seorang pemuda babak belur, setengah telanjang. Dannistraz Teffereth, mantan pimpinan kubu lawan.
Hutcherson dan Jess, diikuti Hudson, segera mengambil tempat mereka di atas Teater Beelzebub. Bersamaan dengan itu, pidato singkat para pemimpin segera mengisi udara. Memompa atmosfer peperangan pada para prajuritnya.
"SATU LANGKAH LAGI, BURRRA!" aum Overlord. "SATU INTI DOSA LAGI DAN KITA AKAN MEMBANGKITKAN KEMBALI ALLAHAMEL! SATU INTI DOSA LAGI DAN KITA AKAN CUKUP KUAT UNTUK MENGHANCURKAN MUSEUM SEMESTA! BERJUANGLAH SAMPAI KEMATIAN MENERTAWAKAN KALIAN, BURRRAOOOR!"
"Kita berangkat sekarang, Nirfinitia!" Kana berseru lewat pengeras suara. "Dan berdoalah selalu pada Tuhan Fatanir! Keselamatan ada pada mereka yang memercayai-Nya!"
Sorakan berapi-api saling bersahut-sahutan di lapangan utama pelataran kastel Overlord. Tanah kematian yang tandus dan keras sampai ikut berguncang; sementara langit merah di atas mereka seolah menangis merestui adanya lebih banyak pertumpahan darah.
Portal Sagitarius dan Cancer, dibantu amplifikasi penyihir-penyihir tinggi dari Nirfinitia, terbuka lebar. Membingkai cakrawala. Pasukan perang Allahamel masuk ke dalamnya. Destinasi mereka telah ditetapkan—sesuai laporan, kubu lawan sudah menanti di seberang sana.
Menuju blok 666.
Perang Pendosa
T
|
iba saatnya, pertempuran terakhir! pikir Namol, memperhatikan portal persegi—sebesar sepuluh gedung pencakar langit Chicago yang dirapatkan—membuka di hadapannya. Mengeluarkan ratusan pasukan ... tidak ... ribuan pasukan. Tidak. Ia terus menghitung, menerka, tapi arus kedatangan kubu lawan seolah tidak pernah berhenti. Keramaian tersebut bahkan berekspansi sampai keluar dari blok 666.
Kita kalah jumlah ... sangat kalah.
"Puluhan ribu," kata Ulric yang berdiri di sebelah kanannya. Nada suaranya tegas dan tak gentar sama sekali. "Melawan ..., kita."
Quim menelan ludah. "Benar-benar, deh. Demi Korrupile ... apa kubu lawan membawa seisi semesta bersama mereka?"
"Heh, jangan basahi celanamu, bocah beruntung!" ejek Rottenbeard. "Pulanglah sana! Kalau baru melihat yang seperti ini saja mentalmu sudah jongkok! DAN TIDAK PERLU MENGOMENTARI BENTUK GIGIKU!"
"Hey-hey, jangan bercanda. Sudah sangat terlambat kalau mau pulang ke rumah!" kaok Siffa, bersemangat. "Lebih baik berakhir di sini, sebagai pejuang!"
"Begitukah?" tanya Arjune. "Seandainya aku bisa kembali sebentar, meyakinkan beberapa batalion pasukan kaum Swarloqué, peperangan ini mungkin akan lebih seimbang dari segi jumlah."
"Kuantitas tidak pernah bisa mengalahkan kualitas, Gusti Pangeran," Kris menyahut.
Sementara itu, Nile si entitas garis, yang berdiri paling belakang, mendekap Espha erat-erat. "Aku tidak akan pernah membiarkan sesuatu terjadi padamu," bisiknya. Lantas ia beralih ke rombongan. "Apa ini saatnya kita balas memamerkan sesuatu?"
"Ya," kata Ulric. "Ini saatnya."
Muncullah kemudian, satu per satu, manifestasi kekuatan terbesar dari masing-masing semesta. Keberadaan-keberadaan yang seketika mengguncang seantero ruangan House of Memory.
Pertama, perwakilan Falanthring. Nile dan Espha saling memegang kalung berbandul tulang-belulang sambil menyanyikan lagu-lagu kebangkitan khas Nirmanuth. Satu lagu singkat selesai, objek sakral di tangan mereka tiba-tiba bersinar, bergetar, lalu melesat ke udara. Terpecah menjadi butiran partikel fosforesens, yang awalnya terlihat acak, tapi mulai saling membentuk sebuah raksasa di tiap detiknya. Finalnya, berdirilah sesosok makhluk semitransparan, sekujur tubuhnya terdiri dari susunan segitiga dan lingkaran, rambutnya panjang tergerai, ia mengenakan topeng, serta menggenggam tombak di tangan kiri, perisai persegi di tangan kanan. Entitas suci itu bernama Mnemosyne.
Kedua, perwakilan Sandhi Vanantara. Setelah selesai menjelajahi kontur tersembunyi di dalam lambang anak panah, pada batu berpotongan simetris, Siffa melemparkannya tinggi-tinggi. Benda itu lantas menyuarakan suara berderak paling patah, dan seolah menggetarkan langit-langit angkasa luar ketika batuan besar demi batuan besar termaterialisasi begitu saja. Saling menumpuk di udara seperti kompleks candi terapung. Semua itu kemudian terlipat lagi dalam satu dorongan serempak, sampai akhirnya menciptakan ... patung batu kolosal berbentuk manusia-burung yang sedang memegang semacam guci. Salah satu simbol peperangan terkuat bernama Nekara.
Ketiga, perwakilan Gearmist Stronghold. Rottenbeard meminta agar Quim menekan kuat-kuat bagian punggungnya. Si manusia-tikus kerempeng melakukan itu dengan baik. Menjaga agar si manusia-tikus berotot tetap berada di dalam kostum mekaniknya ketika transformasi berlangsung. Proses dimulai. Ratusan ribu roda gigi beserta lempengan besi melesat keluar dari setiap celah, menciptakan secara otomatis puluhan kereta dan beratus meter rel yang kesemuanya mengambang, lalu terjatuh bertumpukan menjadi bentuk baru. Robot steampunk paling mutakhir yang dikendarai satu pilot pada bagian kepala-kokpit. Raksasa legendaris bernama The President.
Terakhir, perwakilan Lord Ulric. Sesuai permintaan sang pimpinan Crusadiand, semua menyingkir menjauh ketika ritual pelepasan berlangsung. Bayangan hitam pekat tercetak menjadi semacam simbol di setiap senti zirah rusaknya. Pijakannya seolah meleleh, dan kepalanya tersentak-sentak sambil menyemburkan hawa panas. Ulric meraung kesakitan. Ketika akhirnya ia diam, sekujur keberadaannya telah diselimuti bias dari kobaran api. Siluet sepasang sayap mencuat dari punggung, tubuhnya terpecah menjadi sisik-sisik yang terus mengisi ruang kosong. Menciptakan sebentuk monster terkejam dari negeri dongeng. Makhluk terbuas di antara makhluk buas yang pernah tercipta ... naga raksasa Ashmorthen.
Keempat prosesi mengerikan, sekaligus mengagumkan tersebut, terjadi secara bersamaan. Dan Namol, yang hanya bisa diam menyaksikan, nyaris saja memilih melarikan diri sejauh mungkin dari tempat ini.
Jika tadi ia mengira, bahwa tidak ada kesempatan bagi rombongannya memenangkan perang ... sekarang ia buru-buru menggantinya menjadi: tidak ada kesempatan bagi ruangan ini untuk bertahan dari skala pertempuran nantinya.
Tapi semua sudah berkumpul. Dua kubu saling berhadapan. Keramaian yang bahkan memakan keseluruhan blok 666 dan sebagian blok Chamber of Saligia dalam kondisi statisnya—ketika perang pecah, setiap jengkal spasi di House of Memory akan menjadi medan tempur. Melarikan diri hanyalah ilusi.
Terus maju adalah satu-satunya pilihan. Keharusan.
Maka, diiringi seruan-seruan dari seberang, dan tangisan-tangisan empat entitas transenden di sekelilingnya, Namol ikut maju. Melebur dalam langkah-langkah pasti.
Kedua kubu bertabrakan di pertengahan.
Namol, kembali terpisah dengan Holocaust, terbang melesat secepat yang ia bisa demi menghindari kumpulan anak-anak panah serupa awan mendung. Meliuk di antara sudut-sudut batu kaki raksasa Nekara. Patung batu berbentuk manusia-burung itu sendiri sedang menumpahkan sesuatu dari dalam gucinya—api cair.
Kucuran lava seketika menggenang menjadi danau kecil. Ratusan pasukan pemanah dari Allahamel binasa dalam keadaan meleleh. Ratusan lain maju untuk membalas. Kali ini pasukan kavaleri dan penyihir. Tapi belum sempat mereka mencapai target, keberadaan mereka sudah lebih dulu terpecah menjadi bentuk-bentuk abstrak yang berdarah.
Karena Mnemosyne, spirit dukun raksasa dari Falanthring, menghunus tombaknya ke arah kerumunan terdepan lalu membacakan mantra deformatif.
Pembantaian tak memiliki jeda. Kali ini Rottenbeard dari dalam The President, menggunakan puluhan rel yang ia bentangkan ke depan, meluncurkan kereta-kereta pengebom tepat ke arah sekelompok tim medis lawan. Ledakan yang tercipta setelahnya nyaris menutup blok 666 dalam kebutaan dan asap beracun.
Namol menjadikan dirinya antimateri untuk menghindari radiasi. Ini gila! pikirnya sambil berlarian di antara prajurit boneka beruang dan serangan-serangan tak masuk akal dari empat entitas transenden. Meski tabrakan antara kedua kubu baru terjadi sekitar dua menit yang lalu, total korban mungkin sudah nyaris seperempat keseluruhan jumlahnya.
Terlebih si naga raksasa Ashmorthen yang terbang memutar, sangat dekat dengan langit-langit angkasa luar House of Memory, dan secara konstan memuntahkan hujan materi berselebung api hitam dari moncongnya. Serangan murni penghancur, meluas mencari kehidupan untuk dibinasakan, berdentum-dentum menyiksa bahkan setelah beberapa detik jeda pada semburannya.
Pihak lawan akan segera menyerah, pikir Namol, mencoba berpikir positif. Melihat banyaknya prajurit yang berjatuhan ... ya. Pemenang perang ini sudah ditentukan.
Tapi sayangnya, ia harus salah. Dan ia pun melihat alasannya.
Meski keempat entitas transenden berada di atas angin, pergerakan mereka yang terlalu memaksa menerobos garis depan lawan, baru saja menampakkan efek.
Mereka terpisah satu sama lain—Mnemosyne, Nekara, The President, Ashmorthen—dan terkepung.
Kubu Allahamel juga seolah tidak pernah kekurangan pasukan untuk dikirim menuju kematian. Puluhan demi puluhan terus-menerus dihantam serangan-serangan tak terbendung. Semata, Namol menyadarinya, demi membeli waktu yang mahal ketika para atasan mengobservasi. Mencari titik-titik lemah dari keempat entitas transenden.
Aku harus menyampaikan tentang kemungkinan ini pada yang lainnya! Kalau sampai empat manifestasi kekuatan terbesar itu jatuh ... kita kalah!
Tapi setiap kali ia melihat sosok familier di antara keriuhan, pasti selalu saja ada sekelompok prajurit-manusia atau pasukan boneka beruang yang mengadangnya. Memaksanya untuk melawan sebisa mungkin atau memutar melarikan diri. Dan ketika ia sudah kembali cukup terbebas, tidak ada satu pun anggota dari kubunya yang bertarung dalam jarak pandang.
Keadaan memburuk ketika ia justru harus berkonfrontasi, secara tidak sengaja, dengan target utamanya.
Jess Hutchersoni!
Reverier setengah pria-setengah wanita itu sedang berdiri di ujung panggung berbentuk tengkorak beruang yang melayang beberapa meter di udara.
Tanpa saling mengatakan apa-apa, pertarungan Reverier pun dimulai. Namol mendarat di dalam panggung, berlari sambil menghilang untuk menghindari jeritan menyayat dari sisi perempuan lawannya. Seusainya, ia segera menampakkan diri, tepat di samping kiri, maju sedikit ketika hendak menyerang balik, melayangkan satu tinju yang terprediksi dan tertahan—jika saja pukulan tersebut tidak dilancarkan dalam status antimateri. Disengaja. Kini, sebelah tangan yang lolos berada tepat di bawah dagu target, segera diputar kepalannya. Dihajar sekuat-kuatnya bagian itu.
Lawannya mundur, terhuyung-huyung. Meski hanya sesaat. Karena mereka segera melancarkan kombinasi serangan fisik dan suara. Namol sesekali menghindar, sesekali ceroboh lalu terhantam. Dan entah kenapa, ia merasa pertarungan ini menjadi sangat berat. Panggung yang ia naiki juga seolah menganaksemaskan target—lantai-lantai bergerak sendiri, penataan cahaya kadang terlalu menyorot hanya ke matanya, sampai properti drama yang bergerak dan ikut menyerang menggunakan intensi membunuh sebelum akhirnya menyelinap-menghilang di balik tirai merah.
Ini enggak adil! pikirnya. Meski begitu, tidak ada waktu untuk berhenti, apalagi melarikan diri. Jadi Namol terus menyerang, terus bertahan, terus terluka.
Jual-beli pukulan itu masih terus berlangsung—pertarungan di atas teater terapung—ketika tekanan kuat dari serentetan ledakan mahabesar, meski pusatnya di kejauhan, sampai mampu mengguncang panggung tengkorak-beruang beserta isi dan penghuninya.
Dalam jeda berharga tersebut, dan posisi pijakan yang agak miring setelah gempa udara kolosal barusan, Namol bisa melihat keseluruhan arena peperangan. Kabar buruknya, empat entitas transenden mulai menerima serangan-serangan balik yang berbobot. Me-mereka sudah menemukan kelemahan keempat raksasa ...!
Lebih buruk, atau lebih aneh dari itu, adalah ... pemandangan kilat putih yang terus menyambar dari langit-langit angkasa luar ke satu titik di formasi terbelakang kubu Allahamel.
A-apakah itu senjata rahasia mereka?
Ternyata bukan. Melihat ekspresi lawan yang juga kebingungan.
Jeda singkat berakhir. Pertarungan Reverier kembali berlanjut. Tapi tidak lama. Ketika keduanya sedang beradu pukulan kesekian, ledakan cahaya terbesar meletus di wilayah yang sama dengan turunnya kilat putih secara kontinu tadi. Fenomena itu seketika membutakan semua bentuk.
Dan ketika semua jenis visual sudah kembali, tidak ada satu pun yang menyadari keberadaan asing melayang di atas sana—sangat dekat dengan langit-langit angkasa luar, beberapa meter lebih tinggi dari Ashmorthen. Mereka baru memperhatikannya, setelah sosok itu membombardir House of Memory dengan hujan api putih.
Permukaan sebening kaca meretak di mana-mana, mengempaskan semua bentuk yang berdiri di atasnya, atau di antaranya. Gelombang ledakan, mampu menghancurkan isi telinga siapa pun, tercipta secara merata; seperti kuali sebesar dunia tepat di saat-saat ia mengandung air paling menggolak. Kekacauan bersahutan dengan kekacauan lain. Jauh lebih besar. Jauh lebih ... personal.
Namol merupakan satu di antara beberapa yang berhasil bertahan dari serangan pembawa kiamat barusan. Ia bangkit di atas puing-puing penuh api putih milik panggung berbentuk tengkorak beruang. Sekujur tubuhnya babak belur setelah adegan baku hantam antara Reverier. Tapi jarak pandangnya masih cukup baik. Hanya saja, ia tidak percaya pada apa yang sedang dilihatnya sekarang.
Si keberadaan asing turun dari langit-langit angkasa luar. Takzim dan agung. Sekujur tubuhnya dipenuhi cahaya menyilaukan. Ia adalah Dannistraz Teffereth.
"D-danny ...?" Namol menggumam. Lalu ia menghimpun tenaga untuk berteriak, "DANNY!"
Danny tidak menoleh. Ia hanya terbang rendah di sentral kekacauan—blok 666, blok Chamber of Saligia, blok vanity galleries, ketiganya nyaris rata dengan permukaan serupa kaca yang meretak dan merepih menjadi materi-materi apung.
House of Memory dihancurkan dalam satu badai serangan seorang pemuda bercahaya.
"BERKUMPULLAH! DOSA-DOSA!" raung Danny. Suaranya seolah berada di mana-mana, diselimuti rapalan bahasa asing yang terdengar mematikan, menggemakan perintah absolut. "BERKUMPULLAH!"
Tujuh relikui kecil melesat dari puing-puing. Terbang mengitari keberadaan si pemuda bercahaya, lantas terserap ke dalam tubuhnya.
"SEMPURNA!" ia berteriak. "AKHIRNYA SEMPURNA! CLAIRE! LUCY! AKHIRNYA KITA MENANG! PENGORBANAN KALIAN TIDAK SIA-SIA"
Setelah itu, House of Memory kembali dihujani oleh api putih.
Hari Suci
Dimulai dari tanggal 12 Carne Vale, musim awal festival seni
H
|
ari itu hujan.
Danny berdiri bersama Lucy, adiknya, di sebuah gang yang gelap dan kotor. Mereka tersenyum, seraya mempersilakan beberapa pejalan kaki untuk melihat-lihat koleksi karya seni ciptaan sendiri. Benda-benda berharga itu terlindungi oleh plastik kecil, dipamerkan di atas dipan kusam. Ada lukisan di atas koran bekas, sampai objek trimatra—tiga dimensi—dari sampah-sampah.
Tapi seperti kemarin dan kemarinnya lagi, orang-orang yang lewat hanya ... lewat. Atau melirik sinis, membentak. Tidak pernah ada yang membeli karya seni picisan buatan si kakak-beradik menyedihkan.
Sampai tibalah satu hari pengubah nasib. Sambil masih dihujani air bercampur zat asam yang sama, seorang gadis sebaya Danny mampir dan membeli hampir semua karya seni. Dia adalah Claire.
"Kalian berbakat," kata Claire. Senyum kesungguhan tercetak di bibir dan matanya. "Jangan menyerah."
Mulai hari itu, bersama adik kecilnya, Danny bekerja ekstra keras menciptakan karya-karya lain. Dan Claire selalu kembali, terus-menerus membelinya.
Aku mencintai gadis itu, pikir Danny di suatu malam. Aku akan menikahinya kelak.
Lucy, yang tidur di sebelahnya beralaskan kardus boneka, mengejeknya. Mereka lalu bercanda dan tertawa sampai tertidur.
Di hari terakhir pertemuan ketiganya sebagai manusia bebas, Claire mengajak Danny dan Lucy makan siang bersama. Kakak-beradik itu hampir selalu tinggal di gang gelap, tak heran jika mereka sangat takjub ketika dihadapkan dengan kemajuan peradaban dunia luar.
Di toko-toko mewah, pada kaca atau dindingnya, terdapat objek seni yang memukau. Di taman-taman, patung pahatan tersebar dalam komposisi dinamis. Setiap sudut dunia adalah spasi untuk kreativitas.
Dan Danny berjanji akan menciptakan mahakarya khusus untuk Claire. Seorang gadis baik hati yang ternyata memiliki kelainan. Kemampuan khusus, atau kemampuan pendosa—menurut hukum planet ini. Ia mengakuinya siang itu, di antara bayang-bayang dedaunan pohon dan angin.
Claire bisa mengunjungi dimensi yang lain, sampai menyembuhkan atau membongkar-ulang kehidupan. Ia mendemonstrasikannya.
Pertama, ia membuka portal berbentuk kera bercahaya yang mengangkat lemari putih; di sisi lain terlihat dunia asing dengan pemandangan gunung dan bukit permen. Kedua, ia menyembuhkan seekor semut yang tak sengaja terinjak, lalu memutar proses penyembuhan menjadi pembongkaran pada sehelai daun.
Bukannya merespons dengan ketakutan, sebagaimana penghuni planet lainnya, Danny dan Lucy justru tertawa. Menyukainya.
Dalam kesederhanaan sikap tersebut, perut kenyang, dan indahnya panorama sekeliling, secara tak sadar kedekatan mereka telah membentuk ikatan yang melebihi definisi selamanya.
Ketiganya baru pulang di penghujung hari. Detik-detik di mana semuanya harus kembali digeser rotasi kehidupan. Takdir mereka.
Beberapa penodong kacangan meminta Claire menyerahkan semua hartanya. Setelah semua diberikan, para penjahat itu malah meminta lebih. Mereka mau agar kedua gadis—termasuk Lucy—secepatnya berada dalam kondisi telanjang.
Danny mengamuk. Tahan badan di depan kedua gadis. Siap mati. Kekacauan kecil di depan gang tercipta.
Bagaimana pun, sebelum sebilah pisau menusuk leher Danny, ia bersama Lucy dan Claire sudah lebih dulu berpindah tempat. Masuk ke dalam lemari putih. Lalu tiba di alam yang lain.
Atau tepatnya ... Museum Semesta.
Ruangan House of Memory.
Claire meminta maaf karena berpindah secara acak. Tapi Danny dan Lucy mengabaikan itu. Mereka berdua terlalu sibuk berterima kasih.
Kabar buruknya, Claire terluka akibat kekacauan singkat tadi. Perutnya tertusuk. Dan kemampuannya terkuras dalam kepanikan; digunakan semuanya untuk berteleportasi.
Danny bisa melihat kehidupan mulai meninggalkan keberadaan Claire. Itu benar-benar membuatnya sedih. Tak tahu harus apa lagi, ia bertanya sekenanya, sambil terisak, "Kenapa kau sangat menyukai karya seni kami, Claire?"
"Kak 'Lire ...," bisik Lucy, menangis pecah, membenamkan wajahnya di leher si gadis yang terbaring sekarat.
"Karena dosa," Claire menjawab, lirih. "Karena kalian melawannya. Aku ... aku selalu memimpikan dunia tanpa dosa. Aku melihat itu di setiap hasil karya kalian."
Mendengar itu, air mata Danny turun semakin tak terkendali. Ia sangat mengerti penderitaan tak terjelaskan dari kalimat singkat Claire. Betapa dosa sudah mengubah hidup mereka. Mengucilkan gadis itu.
Betapa dosa telah melahirkan Danny dan Lucy.
Mereka memiliki seorang ibu yang berprofesi sebagai wanita penghibur, keduanya bahkan tidak mengetahui sampai sekarang siapa ayah biologis masing-masing.
Sang ibu, tak lama setelah Lucy dilahirkan, dibunuh oleh kliennya sendiri. Memaksa Danny dan adiknya yang masih bayi tumbuh mendekam di gang gelap.
Terlalu takut keluar menghadapi dunia yang akan segera menghujani mereka dengan hujatan-hujatan. Keturunan pendosa tak layak berada di antara masyarakat bersih.
Sampai akhirnya sekarang, keduanya bertemu dengan Claire yang mengerti. Merasakannya sendiri. Tapi sosok itu sebentar lagi akan meninggalkan mereka.
Sebelum mengembuskan napas terakhirnya, Claire bertanya pada Danny, apakah ia menginginkan kemampuan pendosa? Apa ia bisa mengubah persepsi itu kelak?
Danny mengangguk tanpa ragu. Lalu Claire—memaksakan kemampuan pemindahannya—memberikan kekuatannya pada si kakak-beradik menyedihkan. Tindakan yang takkan pernah ia lakukan pada kehidupan lain. Karena sampai akhir, hal yang paling dibenci, satu-satunya, oleh gadis itu adalah ... dosa.
Atau mewariskannya.
***
Saat ini
G
|
emuruh itu belum berhenti menghantui seisi House of Memory. Hujan api putih yang diturunkan tanpa ampun oleh Danny.
O-oke! Dari mana kira-kira kekuatan itu berasal? Namol berdiri dibasuh kobaran penghancur, sambil mati-matian mempertahankan status antimateri. Dan, a-apakah ..., Danny masih berada di pihak pemberontakan?
Usai menunggu deras tetesan-tetesan panas sebesar kepala manusia dewasa, Namol memutuskan untuk mengutarakan langsung pertanyaannya. Hati-hati, ia melesat terbang, menghampiri Danny.
"Hey!" serunya dari kejauhan. "A-apa yang sebenarnya sedang kaulakukan?"
Kali ini Danny menoleh, dan tersenyum. Sebelah tangannya terulur ke depan, seolah sedang menyapu seluas-seisi House of Memory.
"Perhatikan," ujarnya.
Namol menyadari sedikit perubahan pada suara pemuda yang tadinya antusias itu. Sedikit menipis; dingin datar. Serta kondisi dan penampilannya—tidak mengenakan pakaian, hanya mengenakan celana panjang terkoyak. Lalu, seolah tertanam pada bagian dadanya, tampaklah tujuh titik hitam. Lima di antaranya berdetak seperti kehidupan.
Sementara, pemandangan yang sedang ditunjuk olehnya adalah sekumpulan peserta perang yang masih sibuk menghindari sisa-sisa hujan api. Bahkan keempat entitas transenden tampak kesulitan.
"Danny," kata Namol, ragu. "Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini? S-siapa kau?"
Pertanyaan itu pastilah terdengar menyenangkan bagi si pemuda dengan tujuh titik hitam di dadanya. Karena ia seketika tertawa terbahak-bahak. "Akan kutunjukkan padamu, Namol. Dan semuanya. Ya. Perhatikan."
Danny mengambil ancang-ancang—Namol yang ketakutan langsung mengubah status dari "terbang" ke "antimateri", ia terjatuh—lalu menembakkan sebaris cahaya ke satu-satunya sudut yang seolah kebal terhadap semua jenis kehancuran. Blok Speztan.
Dalam jatuhnya, Namol memperhatikan ketika belantara tornado di kejauhan sana dihantam serangan putih Danny. Benturan yang lantas menciptakan ... fragmentaris masa lalu.
Tornado-tornado itu meledak menjadi semacam proyektor raksasa. Menyiarkan semua gambar ke seantero House of Memory, seperti persebaran bintang-bintang di langit-langit angkasa luar.
Ada Danny, Lucy, dan seorang gadis di dalam lukisan—Claire. Kisah kehidupan ketiganya digambarkan dalam proyeksi berkabut. Bercampur dalam kesan yang manis, sedih, tragis. Sampai akhirnya mereka tiba di Museum Semesta akibat kejahatan sederhana.
Dan Claire tewas.
Kisah berlanjut.
Setelah memiliki kemampuan berpindah dimensi, Danny mencoba untuk pulang. Tapi tidak bisa. Perpindahan sejauh itu seolah terlalu sulit, atau menjadi mustahil.
Maka, Danny mencoba menjadi pribadi bersemangat untuk menutupi gelapnya kesedihan yang ia rasa. Bersama dengan Lucy, lalu, mereka disuguhi—diberikan—sebentuk galeri khusus. Muncul begitu saja dari bawah permukaan serupa kaca. Asal mula terbentuknya blok vanity galleries.
Tapi ada tiga bilik di sana. Danny menganggapnya sebagai ejekan, dan mulai berusaha mencari tahu. Sebenarnya siapa yang bertanggung jawab atas tempat ini? Pemuda itu berangkat dengan tujuan: menjelajahi seisi Museum Semesta.
Ia keluar dari ruangan House of Memory. Memasuki banyak ruangan lain berisi karya-karya memukau dan tak terpikirkan. Ruangan berlabel "Kurator" dan "Konservasi" yang terkunci rapat, aula-aula kosong, dan banyak lainnya. Museum Semesta seolah tidak memiliki limitasi. Dan, dari semua tempat yang sudah ia singgahi, sama sekali belum ada informasi krusial seputar ... siapa lagi sebenarnya, di tempat ini, yang hidup? Selain dirinya dan adiknya?
Jawaban itu akhirnya terjawab. Di waktu yang lain, ketika ia menjelajah menembus rute baru, ditemukan olehnya sebuah aula asing. Langit-langitnya tampak seperti koyakan dimensi, batu-batuan marmer membelah taman hijau, dan di tengah-tengahnya ... patung raksasa.
Sekilas pandang saja, Danny tahu. Entitas itulah yang menguasai tempat ini. Aura keemasan seketika menari di sekeliling aula, seperti predator-predator lapar. Membisikkan ... Sang Kehendak ....
Danny berlari sekuat tenaga, kembali ke House of Memory. Tiba-tiba, ia benar-benar merasa sangat beruntung bisa hidup sampai detik ini.
Waktu kembali berlalu. Ia dan Lucy melanjutkan kehidupan dalam abadinya kesendirian. Sampai, ide itu datang.
Pemberontakan.
Danny kembali melakukan penjelajahan. Kali ini hanya sebatas ruangan House of Memory. Ia menganalisa setiap objeknya. Mengunjungi mahakarya-mahakarya di Chamber of Saligia. Mencoba setiap efek dari senjata di blok 666. Sampai tersesat di dalam dinding tornado Speztan—dan berhasil mengetahui apa fungsi blok itu. Proyeksi ilusi, atau memori.
Ditulis olehnya semua pengetahuan tadi sampai menjadi semacam katalog pribadi. Kitab Dante. Dipelajari ulang olehnya semua data, lantas disusun ke dalam kategori-kategori yang relevan untuk rencana pemberontakannya.
Hingga selesai. Rencana matang siap dijalankan.
Pemanfaatan para penghuni Chamber of Saligia, dan satu senjata dari blok 666: septem peccata mortalia, atau relikui tujuh dosa.
Meski belum lengkap, Chamber of Saligia diisi oleh mahakarya yang merepresentasikan tujuh dosa paling mematikan. Selama berada di House of Memory, segala tindakan yang mereka lakukan, apa pun—Danny mempelajarinya—hanya akan memperkuat kategori dosa masing-masing.
Maka, jika Danny berhasil memanfaatkan relikui tujuh dosa—yang berfungsi sebagai wadah penampung dosa-dosa lantas mengolahnya menjadi energi mengerikan—dan para penghuni Chamber of Saligia, ia akan menjadi entitas tak terkalahkan. Cukup, setidaknya ia kira, untuk menantang Sang Kehendak.
Sayangnya, sebelum bisa memulai proses rencana, Sang Kehendak membekukan dirinya.
Danny dan Lucy tidak lagi bebas berkeliaran. Mereka, seperti objek seni lain, hanya membeku dalam ketidakberdayaan total.
Entah sampai berapa lama.
Fragmentaris pada proyektor belantara tornado Speztan, berhenti memainkan gambar-gambar berkabut.
Danny menoleh ke arah Namol yang masih terjun-bebas, senyum maniak menghiasi wajahnya. Sementara lima dari tujuh titik hitam di dadanya berdenyar, seolah merintih.
"Selanjutnya ... setelah aku kembali mendapatkan kontrol terhadap diriku sendiri, kusiapkan skenario adu domba untuk para penghuni Chamber of Saligia. Kutuliskan surat tanpa nama pada Overlord Ursario XIII, yang berisikan tentang kenyataan Museum Semesta, dan efek palsu dari septem peccata mortalia, atau kuganti sebutannya dengan ... inti dosa," jelasnya panjang-lebar, mencemooh, setengah berteriak. "Semuanya agar raja boneka itu percaya, bahwa dengan mengumpulkan ketujuh inti dosa, merebutnya dari semesta lain, akan menyelamatkan semestanya sendiri!
"Ya. Aku jugalah yang membuka akses teleportasi mereka. Membiarkan mereka melihat sendiri seisi ruangan House of Memory. Membeberkan fakta bahwa kita sama sekali bukan sedang berada di rumah. Aku juga, yang memperkuat kemampuan dua informan idiot mereka.
"Lalu tak lama setelah itu, kau, Namol, muncul bersama Holo. Dan semua ini pun terjadi. Kisah petualangan kita di House of Memory. Lalu pengorbanan Lucy ... untuk memperkuat cengkeraman peperangan. Oh. Ada pertanyaan lain? Kurasa tidak. Selamat tinggal—kecuali kau mau menjadi wakil salah satu inti dosa yang masih kosong? Sekali lagi, kurasa tidak. Baiklah, selamat tinggal. Aku masih ada urusan dengan isi Ruang Kurator, dan Ruang Konservasi. Ya, misteri pengetahuan Museum Semesta pasti ada di sana. Dan ... setelah itu semua kuketahui, Sang Kehendak bukanlah apa-apa."
Namol memperhatikan Danny tertawa terbahak-bahak, menggunakan tatapan ketidaksukaan yang berat. Dia hanya memanfaatkan yang lainnya! geramnya, sebelum akhirnya terempas di permukaan.
Maaf
Jess Hutcherson
L
|
uar angkasa seolah berubah menjadi pijakan, ketika Hutcherson dan Jess bangkit—sempoyongan—dari puing-puing Teater Beelzebub. Panggung-terbang berbentuk tengkorak beruang ini hancur tadi, digempur semacam hujan api putih.
"Bukankah tadi kita sedang saling pukul dengan Namol Nihilo? Apa yang terjadi setelahnya?" Jess bergumam seperti orang yang sedang mengigau. "Apa kita kalah?"
Hutcherson memejamkan mata, mencoba mengembalikan orientasi. "Enggak," katanya, "kita belum kalah. Ini semua ... kerusakan ini, bukan disebabkan oleh Namol Nihilo. Hujan api putih tadi—"
"Itu dia, Hutcher! Dia!"
Jess menunjuk sesosok laki-laki tinggi, berkulit gelap, berambut oranye, berdiri tegak di atas serpihan pedati-pedati perang Overlord. Namol Nihilo. Kedua matanya menatap lurus ke atas, pada setitik keberadaan bercahaya.
"Kita serang lagi dia sekarang!" Jess berseru tidak sabaran. "Kita selesaikan ini!"
Meskipun sedikit ragu, melihat kondisi tubuh mereka yang dipenuhi luka akibat insiden terakhir, Hutcherson akhirnya mengangguk. Ini memang harus segera ditentukan. "Baiklah, Jess! Ayo!"
Hutcherson dan Jess berlari di antara puing Teater Beelzebub, menahan sekuat tenaga perih di sekujur tubuh mereka, melewati beberapa jasad pasukan boneka beruang, penyihir Nirfinitia—
Namol Nihilo yang tinggal beberapa langkah lagi mereka capai, terbang melesat. Lurus ke atas, menuju setitik keberadaan bercahaya.
"A-apa?" Hutcherson dan Jess berhenti. "Mau ke mana dia?"
Di saat yang sama, medan perang bergemuruh. Semua yang selamat dari hujan api putih, seketika melanjutkan aktivitas saling serang. Empat raksasa mengerikan dari kubu lawan, yang tersebar keberadaannya, kembali melancarkan serangan-serangan tak terbendung. Terlihat juga di udara, pergerakan pasukan utama "The Four Horsemen" Overlord Ursario XIII, melesat berhadapan dengan salah satu penyerang. Dan armada kapal perang Kana, mulai menembaki tanpa ampun penyerang lainnya.
"Kita harus mengikutinya!" Jess mendesak, berteriak, agar suaranya terdengar di antara segala jenis jeritan peperangan yang mengepung. "Kita harus mengejar Namol Nihilo!"
"Ya ..., tapi menggunakan apa?" Hutcherson berpikir keras.
"Kalian butuh tumpangan? Naiklah!"
Hudson melayang-layang di atas mereka, mengemudikan puing utama Teater Beelzebub. Hibrida-domba berbusana koki pirang itu berdiri bersama sisa boneka beruang berkostum.
Jess mengacunginya jempol, lalu melompat naik.
"Lain kali jangan langsung lari seperti tadi," gerutu Hudson.
"Janji, Hudsie. Sekarang kejar sosok itu!"–Jess menunjuk lokasi Namol Nihilo di udara. Ia sudah hampir mencapai setitik keberadaan bercahaya–"Jangan sampai kehilangan jejak!"
"Baiklah! Pegangan!"
Puing panggung berbentuk tengkorak beruang itu melesat seperti peluru. Tapi di setiap akselerasinya, semakin banyak bagian-bagian yang rusak dan jatuh. Mempersempit ruang.
Jess mulai terlihat cemas. "Kalau begini terus kita bakalan hancur sebelum mencapainya! Dan—dan kita semua akan jatuh!"
"Kami bawa parasut, pimpinan, tenang saja," kata boneka beruang berkostum bebek.
"Oh ... baguslah."
"Sebentar lagi kita bertabrakan!" Hudson memberi peringatan. Namol Nihilo sudah tepat berada di depan mereka. "Sesuai aba-aba ... satu ... dua ... tangkap!"
Puing panggung-terapung bermanuver tepat di belakang kedua kaki target. Dan Hutcherson segera menariknya masuk.
"Tertangkap!"
"H-hey! Tunggu!" protes Namol, menggeliat di atas serpihan lantai kayu. "Apa yang kalian lakukan? K-kita enggak punya waktu lagi!"
Tapi di saat yang sama, Jess juga menyerukan, "Serang dia, pasukan!"
Sisa pasukan boneka beruang berkostum pun menuruti komandonya. Mengerubuti Namol. Menyerang tanpa ampun. Menikam, menembak, mencambuk, memukul, menendang, sampai menggigit. Tapi semuanya meleset.
"Dia seolah enggak ada, pimpinan!" protes beberapa pasukan. "Serangan kita terus-menerus menembusnya!"
"Pokoknya serang saja—"
"Dengarkan aku, kumohon!" kata Namol, putus asa. "Dan lihatlah keberadaan kalian! Demi Tuhan! Ka-kalian mulai memudar! Danny benar-benar hanya memanfatkan situasi ini!"
Hutcherson menyadari apa yang dimaksud oleh lawannya. Proses memudar terjadi pada para boneka beruang berkostum—keberadaan mereka seperti sebuah gambar dalam masa penghapusan. Penasaran dengan kebenaran, ia meminta agar pasukan berhenti menyerang.
"Hey, Hutcher!"
"Tunggu, Jess. Mungkin ini penting." Hutcherson mengisyaratkan agar Namol mulai menjelaskan.
Dan Namol pun menjelaskan. Rencana Danny, serta tujuannya yang mengerikan. Setelah ia selesai: "A-apa tidak ada satu pun dari kalian yang melihat gambar-gambar tadi? Tersebar di udara?" tanyanya, gemas. "Itu semua, sebenarnya, sudah cukup memperlihatkan siapa lawan kita saat ini!"
Hutcherson dan Jess masih tertimbun puing ketika proyektor Speztan memutar masa lalu Danny. Mereka tidak melihatnya. Sementara beberapa anggota pasukan melihatnya, tapi menganggap itu semua hanya intermeso yang biasa ada di setiap ruangan ajaib.
"Jadi, perang ini hanya adegan adu domba? Dan seluruh penghuni Chamber of Saligia—koreksi aku jika salah—akan menghilang karena antagonis bernama Danny mengubah mereka menjadi semacam energi?" Hutcherson mencoba tetap tenang ketika mengevaluasi pengetahuan mengerikan yang baru saja ia terima.
Namol mengangguk kaku.
Jess menginjak keras-keras permukaan puing panggung, kesal, dan segera menyesalinya karena hal itu berhasil merusak total transportasi darurat mereka. Sebelum jatuh bersama serpihan kayu dan metal, semua boneka beruang berkostum mengaktifkan parasut sambil mendoakan agar pimpinan mereka mendarat dengan selamat.
Meskipun, nyatanya, baik Hutcherson dan Jess, atau Hudson, tidak ada yang pernah jatuh. Namol menahan mereka.
"Kalian berat banget!" gerutunya.
"Tahan! Atau kerja sama kita batal!"
"J-jadi kita bakalan kerja sama?"
Jess mendengus, tapi kemudian tersenyum. "Aku enggak bisa biarin boneka-boneka konyol itu lenyap setelah semua yang terjadi, kan? Setelah mereka yakin, kalau mereka bisa pulang ke rumah jika neraka-hidup ini berhasil dilewati?"
Hutcherson ikut tersenyum. "Jadi, Namol Nihilo," katanya lalu, sambil memperhatikan setitik keberadaan bercahaya yang masih diam tak bergerak—melayang di ketinggian, hampir menyentuh langit-langit angkasa luar, "ada ide untuk menghentikannya?"
"S-s-sama sekali enggak ada!" Namol mulai kehabisan tenaga. Terbang sambil menahan tiga beban, ditambah kewajiban untuk terus berpikir mencari jalan keluar, itu semua terlalu banyak untuknya. "Tapi ... seandainya semua mengetahui tentang kenyataan ini ...," ia melanjutkan, terengah, "seandainya kita bisa menyampaikannya ... mu-mungkin bakal ada kesempatan! Sayangnya suaraku enggak akan pernah terdengar—kalian bertiga habis makan apa, sih!"
"Hm. Suara, ya? Benar juga," Hutcherson menggumam sambil tertawa kecil. "Bagaimana? Kamu siap, Princess Jess?"
Jess menarik napas dalam-dalam. Mengerti apa yang dimaksud kekasihnya. "Serahkan padaku, Prince Hutcher!" serunya. "Hey, Namol Nihilo, kira-kira apa saja yang harus kuteriakkan untuk membawakan masa renaisans pada keramaian di bawah sana?"
***
Namol Nihilo
U
|
ntuk semua yang telah berjuang. Momen ini dipersembahkan khusus kepada mereka.
Namol nyaris menangis ketika seisi ruangan House of Memory dipenuhi oleh kumandang suara Jess Hutcherson. Reverier yang seharusnya menjadi lawannya itu, dengan sangat menggebu-gebu menyampaikan pesan kenyataan pada semua. Pada mereka yang berada di bawah sana; berperang sekuat tenaga karena seseorang menginginkannya demikian. Seseorang yang memanipulasi mereka dengan iming-iming rumah sesungguhnya ... tempat untuk pulang.
Hal itu, selain pembantaian massal secara bertahap, adalah pendorong fokus Namol untuk bertindak. Ia akan berusaha mencegah, apa pun alasannya, agar semua tidak terjatuh dalam sakitnya berharap pada tingkat kepatuhan terdalam. Karena rumah memang tidak seharusnya dijadikan alasan kepalsuan, meski sebebas apa pun keberadaan yang mendiaminya.
Setelah pesan kenyataan selesai dibunyikan, dan setiap prajurit-perwakilan semesta masing-masing mengetahui siapa lawan mereka yang sebenarnya, House of Memory mendadak sunyi. Bahkan keempat entitas transenden berhenti bergerak. Semuanya kini mendongak ke satu titik yang sama, di udara, pada tiga sosok dalam posisi komikal. Tapi seakan lebih menyilaukan daripada setitik keberadaan bercahaya yang melayang di atasnya. Semata, karena mereka baru saja menyuarakan kebenaran.
Namol bisa merasakan tatapan mata dari puluhan ribu makhluk. Menerima beragam jenis energi mereka tanpa harus mencurinya.
Sementara itu, ia melihat, Danny di atas sana tertawa terbahak-bahak. Lalu kembali menghujani House of Memory dengan api putih, dan seruan-seruan mengguntur.
"PARA PENDOSA! SUDAH TERLAMBAT BAGI KALIAN UNTUK MELAKUKAN APA-APA SELAIN MENJADI SUMBER KEKUATANKU! MENGHILANGLAH!"
Namol menjadikan dirinya, dan dua sosok yang berpegangan padanya, berstatus antimateri. Sambil terus keberatan, kehilangan ketinggian, ia melirik ke bawah. Senyum kagum seketika menghiasi wajahnya. Di permukaan porak-poranda, di antara letusan-letusan panas sewarna kapas, semesta yang tadinya berperang kini saling bahu-membahu menahan gempuran hujan.
"MENGGELIKAN! KARENA SATU FAKTA SEDERHANA, KALIAN BERUBAH BEGITU SAJA?!"
Masih dalam jatuhnya, Namol mendengar Jess Hutcherson menggumamkan suara perempuan, "Dia ... berarti, bahkan mengorbankan adiknya sendiri tadi?"
"Kurasa, ya. Dia melakukannya," jawab Namol, pelan. Senyum lugu Lucy membayang secepat kecepatan jatuhnya. Membuat isi perutnya seolah berputar.
"Pemuda ambisius," kata Jess Hutcherson, kali ini dengan suara laki-laki. "Terlalu ambisius sampai-sampai kita terpaksa, harus, menghentikannya. Apa pun yang terjadi. Setuju, Jess?"
"Tentu saja, Captain Obvious."
"OH! L-lihatlah! Mungkin kita tidak perlu menghentikannya!" Namol menunjuk ke atas. "Mungkin ... mereka sudah cukup."
Jess Hutcherson mendongak, diikuti sesosok hibrida-domba berbusana koki pirang, lantas semuanya bersorak.
Sorakan yang segera ditenggelamkan gelora amarah dari seluruh kontestan perang. Kesemuanya—semesta-semesta itu—mengudara melawan derasnya hujan api. Menuju setitik keberadaan bercahaya, Dannistraz Teffereth.
Keempat entitas transenden: Mnemosyne, Nekara, The President, dan Ashmorthen, melesat memimpin aliansi. Menyerang tanpa jeda, sangat sengit, sampai Namol mengira langit-langit angkasa luar House of Memory akan hancur tak bersisa.
Disusul kemudian oleh semua jenis pasukan—petarung. Mereka membombardir target menggunakan elemen-elemen fisik, peluru, dan sihir. Terus-menerus. Pasukan perang bergerak memutari Danny yang sudah ditutupi gelombang kehancuran.
Tapi ia sendiri belum hancur sedikit pun.
Semua serangan seperti membentur dinding tak kasatmata yang sangat kuat, bahkan keempat entitas transenden tidak bisa selalu melukainya.
Sementara itu, pada saat ini, Namol, bersama Jess Hutcherson dan Hudson sudah tiba di permukaan—ia mengganti status "antimateri" kembali ke "terbang" di momentum menentukan.
Pusat kekacauan yang berpindah ke atas sana, menjadikan atmosfer di bawah sini nyaris seperti tanah para hantu. Hanya tersisa sedikit pasukan—itu pun yang terluka cukup parah sampai tidak bisa ikut mengudara. Sisanya kosong. Hanya getaran hujan api yang masih menyerang, meski mulai merenggang, pada objek-objek mati.
"Dia akan segera kalah," kata Namol. "Danny."
Jess Hutcherson menaungi pandangan mereka, dan melihat ... kondisi pertahanan setitik keberadaan bercahaya di atas sana, yang kini seolah diputari badai, memang melemah.
"Ya! Sedikit lagi!"
"J-jadi," Namol melanjutkan, "apakah kau mau agar kita bertarung sekarang?"
Bukannya langsung menjawab, Jess Hutcherson malah tertawa pelan. "Masih punya energi untuk itu, ya?" tanyanya.
"K-kita ada di sini memang untuk itu, kan? Saling berhadapan? Dan mencari ilmu pengetahuan?"
"Tapi kita sudah saling berhadapan sekarang," suara laki-laki Jess Hutcherson berujar tenang. "Dan kita sudah tahu apa yang bisa diperbuat Museum Semesta. Apa lagi yang kaubutuhkan?"
"Oh, ayolah, Hutcher, jangan goda dia," suara perempuannya menimpali. "Dia hanya bercanda, Namol Nihilo. Masalah sebenarnya adalah ..., kalau bertarung sekarang, kami pasti kalah. Perhatikan sekelilingmu."
"Sekelilingku ...?" Namol menoleh ke kanan dan ke kiri. Kedua pupil matanya seketika membesar, terkejut. "Ka-kalian? Sejak kapan?!"
Di sekelilingnya, di permukaan serupa kaca yang sudah terkoyak dan merepih ke atas, entah sejak kapan, sudah berdiri Holocaust, Nile, Espha, Siffa, Arjune, Kris, dan Quim. Mereka semua berantakan, terluka di mana-mana, tapi semuanya tampak senang.
"Aku merasa tersinggung karena gagal disadari keberadaannya," gumam Nile, sambil mengecup puncak kepala Espha. "Tapi karena semua juga kerap merasakannya, sudahlah."
"Masih hidup juga ternyata!" kaok Siffa, tertawa-tawa. "Kita semua mencarimu dari tadi! Kita semua memang burung-burung petarung yang tangguh!"
Arjune dan Kris tersenyum bersamaan. Saling merasa kalau merekalah yang sedang dipuji. Lalu keduanya kembali berkelahi.
"Demi Korrupile! Apa saat ini kau juga sedang menyadarinya?" tanya Quim, kedua mata berbinarnya tertuju ke atas sana, pada pemandangan pertempuran aliansi semesta-semesta melawan seorang Danny. "Kukira ... Royalgear World Cup adalah kegiatan terbesar yang pernah ada. Ternyata jagat raya ini memang luas!"
"Tuan Muda," kata Holocaust pelan, sedikit membungkuk. "Saya siap dipecat. Saya kembali gagal untuk terus berada di samping Anda di sepanjang peperangan."
"Oh, jangan dipikirkan! Yang penting kita tetap bisa pulang ke rumah sama-sama," kata Namol buru-buru, lalu beralih lagi ke sosok Reverier di hadapannya. "A-aku mengerti. Tenang saja. Kita bisa tetap bertarung satu lawan satu, kok."
Mendengar itu, Jess Hutcherson kelihatan terkejut, tapi kemudian tersenyum. "Keputusan yang nekat, sekaligus baik sekali," cemooh suara perempuannya. "Baiklah. Ini yang terakhir. Majulah, Namol Nihilo!"
Namol tersenyum grogi, lalu melesat terbang. Menyerang lawan di hadapannya. Jess Hutcherson mengelak dengan sangat anggun. Keduanya saling bertukar serangan dengan sengit, sambil disaksikan keberadaan-keberadaan terdekat mereka.
Tapi, sebaik apa pun upaya dua Reverier dalam menyusun serangan atau pertahanan, pertempuran sesungguhnya sudah berakhir sejak tadi. Mereka hanya melakukan ini, karena masing-masing memiliki alasan kuat untuk pulang ke rumah.
Karena itulah syaratnya, tanpa bisa terbantahkan oleh apa pun, jika ingin tetap selamat di sistem pembuatan karya yang misterius ini.
Namol mulai memuntahkan darah karena terlalu banyak menggunakan kemampuan Hellind. Sosok setengah pria-setengah wanita di hadapannya juga sudah terlampau babak belur—meski semua yang berada di House of Memory, saat ini, memang begitu kondisinya—dan kehabisan tenaga.
Sementara itu di atas mereka, gelombang serangan mulai terdengar lebih berdentam-dentam. Lebih habis-habisan. Namol melirik sekilas ... tapi ia sudah tidak bisa melihat apa-apa lagi, selain beragam bentuk kehancuran yang tercetak secara acak dalam pola surealis. Peperangan antara aliansi semesta melawan Danny, tampaknya juga akan segera berakhir.
Dan tak lama kemudian ... House of Memory memang meledakkan kehancuran terbesarnya. Langit-langit angkasa luar tumpah seperti lapisan air, jatuh menimpa permukaan serupa kaca yang memang sudah kacau sejak tadi. Menimpa juga blok-bloknya yang kini hanya menyisakan puing. Dannistraz Teffereth berhasil dikalahkan.
Bersamaan dengan itu, Namol menghantam Jess Hutcherson tepat di perut, dan Jess Hutcherson balas menghantamnya tepat di wajah. Keduanya seketika tersungkur perlahan, lalu jatuh telentang. Dalam rebahnya, mereka menyaksikan angkasa luar enam semesta, turun dalam bentuk hujan; bersama keempat entitas transenden, dan para prajurit yang tersisa.
Di antara semuanya, Danny terjun bebas tanpa ada satu pun yang memedulikannya. Cahaya suci sudah meredup. Energi dosanya habis terpakai.
"Aku menyerah."
"A-apa?"
"Aku menyerah," Jess Hutcherson mengulang. "Aku ... sudah enggak bisa bangun lagi."
Namol tertawa pelan. "Padahal a-aku juga begitu. Tapi syukurlah, kalian menyerah lebih dulu."
"Oh, dasar sialan!"
Mereka pun saling menatap dalam rebah masing-masing, kemudian tertawa bersama. Sampai, entah dari mana, sebentuk kilat putih turun menyambar dengan sangat murkanya. Menggetarkan permukaan dengan salakan terakhir. Namol tidak mengingat apa-apa lagi selain fakta bahwa dirinya berhasil menjadi antimateri, mencoba meraih Jess Hutcherson, menghindari hantaman di detik-detik krusial. Setelah itu ... ia hanya melihat cahaya putih bersama wajah-wajah familier, dan ... langit-langit House of Memory yang kosong.
Epilog Dua Arah
Jess Hutcherson
T
|
erakhir.
"Hutcher? Di mana ini?" tanya Jess, kedua matanya masih terpejam.
"Suatu tempat yang sangat indah," jawab Hutcherson sambil membelai rambut kekasihnya.
"Aku serius, bodoh."
"Memangnya aku enggak?"
Masih sambil memejamkan mata, Jess cemberut. "Hm ... seindah apa?"
Hutcherson tidak langsung menjawab. Malahan, ia berjalan dari tepi tempat tidur ke ambang jendela, lantas memperhatikan pemandangan di luar sana. Dua manusia-burung jantan bernama Arjune dan Kris, sedang sibuk berebut sekuntum bunga padat dari sebuah taman tertutup. Lalu ada keramaian tak berbentuk di sudut dekat serambi-teduh. Dan ketika ia mendongak, langit seakan balas menatapnya dengan segala jenis keanehan yang tercantum di sana. Siluet gedung-gedung beterbangan, monster-monster, elemen hidup, serta seluruh struktur perkotaan dalam fase anomali.
"Seindah kalau kamu melihatnya sendiri, Princess Jess," akhirnya Hutcherson menjawab.
Dan Jess pun membuka matanya, tersenyum gemas, lalu bingung. "Siapa kamu?" tanyanya, pada sesosok laki-laki yang sedang berdiri memperhatikannya dari ambang jendela.
"Captain Obvious," kata laki-laki itu, Hutcherson, sambil tertawa kecil.
Jess mengalihkan pandangannya ke dirinya sendiri. Tubuhnya sendiri. "A-apa ... kenapa—ini? Bagaimana bisa?" ujarnya, tersendat. Pandangan matanya mulai mengabur, dan sedetik kemudian, pipinya memanas.
"Kilat putih terakhir. Serangan itu berhasil memisahkan kita," jelas Hutcherson. Cahaya lembut dari luar jendela menyinari kontur tubuhnya. "Menurut penjelasan Messier—ayahnya Namol Nihilo—waktu itu Namol hanya berhasil menjadikan setengah tubuh kita menjadi antimateri. Sehingga setengahnya lagi tersambar sampai akhirnya terpisah, karena ternyata serangan itu mengandung elemen pemindahan."
"A-aku enggak ngerti, Hutcher." Jess masih menangis. "Tapi kita baik-baik aja, kan ...?"
Hutcherson menghampiri kekasihnya di tempat tidur. Memeluknya lalu menciuminya. "Untuk saat ini," bisiknya, lembut, "aku enggak punya tubuh yang solid. Atau setengah solid. Karena akulah yang tersambar petir putih itu, dan terpisah dari tubuh kita berdua. Untuk saat ini ... aku adalah hantu seutuhnya."
Jess mempererat pelukannya. "Tapi kamu enggak akan ke mana-mana, kan, Hutcher?"
"Sudah dua jam aku berada dalam kondisi ini, dan sepertinya ... aku terus memudar."
"Enggak! Bohong! Memangnya ... sudah berapa lama aku pingsan?"
"Setelah pertempuran selesai? Sekitar ... lima jam. Saat itu, Overlord dan Kana memutuskan secara sepihak untuk memindahkan Allahamel ke Bingkai Mimpi ini. Bingkai Mimpi campuran antara Manhattan kita, dan Chicago Namol Nihilo. Tapi ketika portal dibuka, ternyata bukan hanya mereka saja yang masuk ke dalam. Tapi seluruh perwakilan semesta lainnya. Kamu tahu? Rumah ini sekarang persis seperti kamp pascabencana."
"Aku enggak peduli ...," bisik Jess. "Kondisi kamu gimana, ih!"
"Jangan khawatir, ada banyak jalan keluar yang ditawarkan ayah Namol pada kita."
"Dan ... soal pertarungannya? Siapa yang menang?"
"Kita kalah."
Tapi hal itu tidak terlalu mengejutkan bagi Jess. Karena bagaimana pun, kejutan utamanya adalah ... ia kembali memiliki satu tubuh untuk dirinya sendiri. Rasanya seperti mendapatkan hal paling mustahil yang bisa ia harapkan.
"Berjanjilah semuanya akan baik-baik saja!"
"Aku janji."
Jess mengelap air matanya. Lalu ia menyapu pandangan ke setiap sudut kamar. Ada gitar akustik yang terpajang di dinding. "Bernyanyilah! Pilih lagu buat bikin aku tenang!"
Hutcherson tertawa. "Yes, sir," katanya, lalu mengambil gitar itu, dan kembali duduk di tepi tempat tidur.
In the morning by the sea
As the fog clears from the sand
I have no money in my hand
I have no home, I have no land
But it doesn't trouble me
As I lay beside the fire
I am easy to inspire
There is little I require
I wasn't yours and you weren't mine
Though I've wished from time to time
We had found a common ground
Your voice was such a welcome sound
How the emptiness would fill
With the waves and with your song
People find where they belong
Or keep on
Bersama kedamaian yang dibawakan nyanyian dan suasana kamar luas ini, Jess memejamkan matanya. Bersandar di bahu Hutcherson. Mengistirahatkan segala bentuk penat. Pasrah, dalam ketenangan, menerima segala bentuk takdir yang telah menantinya di balik pintu sana.
***
Namol Nihilo
T
|
erakhir.
Di puncak-atap rumahnya, Namol berdiri bersama ayahnya, dan Dannistraz Teffereth.
"Aku bisa mengantarmu ke Ruang Kurator dan Ruang Konservasi sekarang, kenapa menolaknya?" tanya Danny. Sekujur tubuhnya dibalut perban. "Kau menyelamatkanku, membawaku ke sini, untuk tujuan itu, kan?"
Namol menggeleng ragu. Sebenarnya—beberapa saat lalu ketika ia masih berada di House of Memory, setelah pertempuran berakhir—keputusan untuk membawa Danny bersamanya adalah ... semata agar ia mengingat lagi bagaimana rasanya pulang ke rumah.
Sesampainya Namol tadi, ia langsung dikejutkan oleh kabar keberadaan Puppis dan Heppow. Peri kecil berambut jabrik dan cacing raksasa itu kembali, meski alasan mereka hanyalah untuk membantu orang tuanya menghentikan laju pesawat kertas.
Kini, pesawat kertas itu sudah dijauhkan, diberikan arah. Terus-menerus berubah bentuk sambil mengitari langit Bumi-Regaia yang masih berekspansi. Sementara Puppis, beserta Heppow, lebih memilih untuk mengurung diri di kamar kosong daripada bertemu dengan Namol, dan ... rombongan yang ia bawa dari Museum Semesta.
Semua makhluk ajaib dari House of Memory kini menyebar di seantero teritorial rumahnya.
"Hey!" Danny membentak, mengembalikan orientasi Namol pada saat ini. "Jadi apa alasanmu membawaku ke sini?!"
Namol melirik ayahnya, yang juga tampak sedikit kebingungan karena tiba-tiba saja diminta naik ke atas sini.
"Nak, jangan buat pemuda ini semakin marah. Dan jangan buat Ayah semakin bingung. Sebenarnya, kenapa kita semua berada di sini saat ini?"
Exiastgardsun, pikir Namol, kembali fokusnya teralihkan. Dari puncak-atap rumahnya, negeri yang sangat indah itu memang bisa terlihat, terbentang seperti luminaria di siang hari. Tanah para penyihir dan futurisme. Apa kabarnya mereka?
"Nak?"
"O-oh, ya. Hm ...."
Mungkin, Namol memang sengaja mengulur waktu. Karena apa yang akan ia utarakan pada ayahnya, dan Danny, merupakan hal-hal yang ia sendiri belum tahu kebenarannya. Tapi lalu ia tersenyum. Bodoh ... bukankah karena itu aku bertanya? Karena enggak mengetahuinya?
Namol menarik napas dalam-dalam.
"Ayah, aku ingin mengetahui masa laluku. Catatan, rekaman, atau apa pun," ujarnya, lancar. "Dan Danny ... aku ingin—tidak, aku mohon bantuanmu, untuk memisahkan apa pun yang bersemayam di dalam tubuhku."
Empat
Selesai
Po - Altem
BalasHapus- seperti biasa Mas Daka punya world building yg bagus
- diksinya juga bagus. Tapi permainan diksinya belum fokus ke konflik atau kejadian yg signifikan. misalnya, sejarah para penghuni semesta atau deskripsi tubuh sejumlah karakter dijelaskan dengan keren atau bombastis, padahal mereka cuma punya efek yg kecil ke cerita bertema Namol vs Jess tapi dideskripsikan dgn terlalu panjang sehingga ini kerasa bukan lagi cerita yg berinti Museum dan Namol vs Jess
- saranku, coba pakai kalimat dan diksi simpel untuk menjelaskan sejarah atau flashback sehingga narasinya gampang dibaca. pakai diksi2 bombastis cuma pas konflik penting atau saat karakter akan mengungkap sesuatu yg betul2 gede pengaruhnya ke cerita
- Namol gak kerasa punya peran di sini, dia cuma lolos krn selalu bisa ngerubah tubuh jadi antimateri sementara pertempuran skala besar berjalan.
- Saranku coba mulai fokus di Namol. misalnya dengan memberikan flashback atau sejarah kemampuan Namol dan bangsa Juvas sebagai benang merah.