VERSUS
BU MAWAR
URSARIO
STALLZA
BU MAWAR
URSARIO
STALLZA
[Tantangan V10]
oleh: Mocha
---
=Prologue=
Seorang pria berambut kumal yang tengah mengetikan deretan instruksi program pada laptop di hadapannya. Bercak hitam menghiasi kantong matanya, tanda bahwa ia sudah tidak tidur dalam waktu lama. Pria itu berhenti sejenak, lalu menyeduh kopi hangat dari cangkir kaca yang menemaninya semenjak sore.
Pria berambut kumal itu mendorong kursi rodanya menjauh dari meja, terus mundur hingga bersandar pada dinding jauh di pojok ruangan kantor itu. Pria itu menghela nafas panjang ketika melihat sebuah kerangka besi di samping meja kerjanya.
"Sudah dua tahun,ya?" gumamnya.
Pria ini adalah Opi, sang Operator Renggo Sina dari turnamen Battle of Realms yang terjadi secara online di realm ini. Tentu saja, dia tidak mengikuti turnamen itu tanpa alasan. Ada sebuah algoritma program yang sangat ingin ia praktekan, yakni sebuah sistem Artificial Inteligence dari sebuah Game yang telah lama berhenti. Jika perkiraannya benar, A.I. super ini dapat menirukan manusia secara utuh, sehingga ia membuat sebuah replika A.I. ini dan menggunakan turnamen Battle of Realms sebagai panggung ujicoba.
Pada turnamen itu Opi menggunakan sebuah program untuk masuk sebagai peserta. Program tersebut, tentunya adalah sebuah Artificial Inteligence yang diberi nama "Nasi Goreng", atau dikenal dengan "Renggo Sina". Sayangnya sebelum mencapai final, A.I. tersebut dikalahkan oleh peserta lain di ronde ketiga.
Opi berdiri dari kursinya, lalu berjalan ke kerangka besi di sebelah meja kerjanya. Kerangka besi setinggi 2,5 meter itu telah dipasang beberapa motor, kabel dan sebuah mini-computer pada perutnya. Jika saja A.I. yang ia buat bisa selamat sampai final, mungkin Opi bisa merealisasikan mimpinya untuk hidup kekal menjadi A.I. dalam tubuh robot yang takan menua.
Sang penemu duduk kembali di depan laptopnya, tapi terlupa kalau kursinya telah didorong jauh ke belakang. Opi terjatuh, terbaring tak berdaya di atas lantai. Badannya berusaha bangkit, tapi dingin dari lantai seakan memiliki gravitasi yang memaksanya untuk tetap diam.
"Hei... Bangun... kalau mau tidur jangan di lantai..." gumam Opi pada dirinya sendiri.
Perlahan Opi berusaha merangkak ke kursinya, tapi dirinya lupa ada sebuah karpet coklat berbulu tebal di tengah ruangan. Sialnya, karpet hangat ini ternyata memiliki gravitasi yang lebih kuat dari pada lantai, bahkan membuat sang Operator tidak mampu merangkak.
"Tidur sejenak nggak papa,kan?" tanya Opi pada dirinya sendiri.
"Ya, lagian kamu sudah nggak tidur lama,kan?" jawab Opi pada pertanyaannya sendiri.
"Oke, bro. Sip" ujar Opi lagi. "Besok bangunin jam 5, ya?"
=1=
Alam Mimpi
"Halo... Kau punya impian yang menarik"
Sebuah suara gadis mengejutkan Opi, membuatnya terbangun dari tidur. Sang Operator segera berdiri dan mencari asal suara itu. Akantetapi, betapa terkejutnya dia ketika menyadari dirinya tidak berada di gudang tempat kerjanya. Tempatnya berada tidak berlantai, berdinding ataupun beratap, semuanya merupakan kabut berwarna ungu dengan selingan warna-warna lain, seperti sebuah konsep abstraksi.
"... Tapi aku baru saja melihat impian seseorang yang sangat tangguh... aku penasaran siapa di antara kalian yang lebih kuat..."
Lima belas buah cermin terbentuk dari kabut-kabut sekitarnya, menunjukan berbagai orang dan mahluk dari dunia lain. Tiga cermin di depannya menunjukan sebuah boneka beruang yang sedang dengan malas memakan popcorn di depan televisi, sebuah manusia biru yang berkencan dengan wanita berambut hijau dan pria bersorban di sebuah kedai.
Opi berkeliling, memeriksa isi dari setiap cermin di sekitarnya hingga ia berhenti pada satu cermin yang membuat jantungnya seakan berhenti. Dalam cermin itu, seorang wanita berjilbab tengah mengajar di depan kelas. Tangan kanannya terbalut perban dan digantung ke pundaknya seakan cidera, tapi Opi tahu persis apa yang ada di balik perban itu.
"Bu Mawar?" ucapnya geram. "kenapa dia ada di cermin ini?" tanya Opi pada dirinya sendiri, lagi.
"Oh..? kau ingin bertarung dengannya? Apa kau yakin bisa mengalahkannya?"
"Bertarung? Hah... apa kau gila? Dia masih punya tangan Renggo, sedangkan aku tidak punya apapun. Bagaimana aku bisa mengalahkannya?" ujar Opi.
"Apa kau berani bermimpi untuk menerima tantangan ini?" tanya suara gadis misterius itu.
"Mimpi?" tanya balik Opi.
"Ya, benar. Mimpi. Kalau kau menghendaki, maka senjata apapun yang kau inginkan akan ada di dunia sana" jawab suara gadis itu. "Tapi perlu kuingatkan, jika kau kalah, kau akan menjadi serpihan impian"
"Ini cuma mimpi,kan?" tanya Opi, mengulang pertanyaan.
"Sekali lagi saya jawab, Iya." Jawab suara gadis itu. "Jadi, akan ku tanya lagi. Apa kau berani bermimpi untuk menerima tantangan ini?"
"YA! Aku agak stress belakangan ini, jadi kenapa tidak?" jawabnya.
"Selamat bermimpi" ujar suara misterius itu.
Tiba-tiba kaki Opi terperosok ke dalam lantai kabut yang dipijaknya, ketika melihat ke bawah, barulah disadari ada sebuah pintu terbuka di bawah kakinya. Dalam lima detik, Opi sudah melayang bebas di antara awan- awan dan bulan purnama. Sedikit ironi, Opi juga suka menjatuhkan Renggo dari puluhan kilometer di atas tanah ketika turnamen BoR berlangsung.
"Ini mimpi,kan? Ini mimpi,kan? Ini mimpi,kan? Ini mimpi,kan? Ini mimpi,kan? Ini mimpi,kan? Ini mimpi,kan? Ini mimpi,kan? Ini mimpi,kan? Ini mimpi,kan? Ini mimpi,kan? Ini mimpi,kan? Ini mimpi,kan?"
Kata "Ini mimpi,kan?" terulang berkali-kali dipikiran Opi seolah kalimat itu adalah jampi-jampi. Namun harapannya semakin pudar karena kulitnya bisa merasakan betul hembusan angin dan dinginnya udara, begitu juga dengan desakan air mata dan air liur yang melesat keluar dari sumbernya.
"TIDAK!!! Mana mungkin ini mimpi!!!" teriak Opi.
Setelah berteriak beberapa menit, akhirnya Opi telah sampai di tanah, tapi kondisinya sangat mengkhawatirkan. Tidak seperti Renggo yang tahan banting, Opi terbaring lemas di atas tanah dengan organ-organ tubuhnya terpencar kemana-mana.
Sebuah kabut ungu muncul secara tiba-tiba di sebelah sisa-sisa Opi, perlahan membentuk sosok gadis berkepala bantal. Kepala bantalnya bergerak kiri-kanan, tampak bingung mencari orang yang ia bawa ke alam mimpi. Barulah ia menyadari kesalahannya ketika melihat kepala Opi tergantung di atas pohon.
"Ng... ketika aku membaca memori dalam mimpimu, sepertinya kamu suka sekali SkyDiving, tapi tak kusangka bakal seperti ini"
Gadis itu menggerakan jemarinya, mengirim serpihan mimpi pada mayat Opi. Semua bekas kehidupan Opi hilang begitu saja, lalu muncullah Opi baru dengan jaket dokternya dan sebuah kacamata yang lensanya bergabung menjadi satu. Hanya saja, sayang penampilan barunya tidak cukup untuk menutupi rambut kumalnya.
"Ya tuhan... inikah yang di sebut karma?" gumam Opi.
"Oh, iya... sebutkan apa saja yang kau inginkan, wahai pemimpi" ujar gadis berkepala bantal itu.
"Protoype yang sedang kukembangkan dalam bentuk jadi dan tablet hackingku" ujar Opi.
"K-Kroto... tidak kusangka kau suka ngemil serangga..."
"Bukan itu yang kumaksud!" seru Opi. "Prototype! Wujud sempurna dari Renggo Sina yang sudah kurencanakan semenjak dulu!"
"Oh... Sykurlah..."gumam si gadis.
Dengan jentikan jarinya, barang yang Opi inginkan sudah berada di sampingnya. Sebuah robot berpelat hitam setinggi 2,5 meter dan sebuah tablet elektronik.
Robot hitam Opi membungkuk hormat pada tuannya. Mata merah di balik visor hitam pada kepala berbentuk helmnya menyala terang hingga cahayanya menembus visor berbentuk V di depannya. Uap panas menyembur keluar dari semua persendiannya, lalu berhenti begitu saja.
"Siap menjalankan perintah, tuanku!" sahut si robot.
"HAHAHA!!! Kalau memang segampang ini membuat robot rumit kayak gini, lebih baik aku ke sini saja dari dulu!" seru Opi. "Namamu Isna G. Goren, versi terbaru dari Renggo Sina yang gagal sebelumnya!"
=2=
Sang Mawar Besi
Matahari mulai terbenam di sisi barat, diikuti deringan lonceng SD Sukatarung, menandakan berakhirnya kelas siang SD itu. Di salah satu kelas, seorang guru meletakan kapur tulisnya, lalu duduk di meja yang telah disediakan untuk guru.
"Itu saja untuk hari ini. Jangan lupa mengumpulkan PR kalian besok,ya?" ujar sang guru di depan kelas.
"Ya, bu!" seru anak-anak satu kelas dengan bersamaan.
Kelas telah dibubarkan, anak-anak kelas itu bersorak riang seraya berbaris di depan pintu kelas. Sang guru berjilbab di depan kelas, Bu Kusumawardani atau sering dikenal dengan Bu Mawar, tersenyum melihat satu persatu muridnya memberi salam dan mencium tangannya ketika keluar kelas.
"Bu, katanya kalau salim harus pakai tangan kanan, tapi ibu kok pakai tangan kiri?" celetuk salah satu siswa.
"Hush! Tangan Bu Mawarkan sakit!" ujar salah satu murid lain.
"Bu Mawar sakit apa,sih? Kayaknya sudah lama tangan Bu Mawar di perban" tanya seorang siswi, penasaran dengan tangan kanan Bu Mawar.
"Tangan Ibu kena kecelakaan dulu, jadinya tangan Ibu nggak bisa dipakai lagi" jawab Bu Mawar. "Karena itu, kalau di jalan lihat kiri-kanan dulu sebelum jalan, supaya tidak tertabrak truk seperti ibu"
"Iya, Bu Mawar!" jawab anak-anak kompak.
Satu persatu murid berlalu lalang hingga akhirnya Bu Mawar tertinggal sendiri di ruangan. Bu Mawar menutup pintu ruang kelas, lalu menguncinya kembali. Dengan mendengungkan nada permainan rebana, beliau beranjak ke ruang guru untuk mengembalikan kunci ruang kelas.
Bu Mawar meninggalkan SD Sukatarung dengan menjinjing tas hobo oranye di bahu kanannya, tidak lupa pula beliau mengenakan jaket oranye yang baru ia beli beberapa minggu lalu. Beliau mampir di sebuah pasar untuk membeli satu kresek penuh bunga sedap malam, lalu lekas berangkat ke sebuah bukit di barat daya desa.
Melihat jarak yang terbentang dari pasar ke bukit tujuannya, Bu Mawar tersenyum. Saat pertama kali datang ke desa ini, beliau pernah mengeluh soal jauhnya bangunan-bangunan penting seperti alun-alun desa, rumah ketua desa, sekolah dan sebagainya. Namun kini beliau sudah terbiasa berjalan jauh, bahkan bisa saja menertawakan dirinya dulu.
Lima belas menit berlalu, akhirnya Bu Mawar sampai pada satu daerah tak bersawah. Pohon-pohon besar tumbuh lebat di bukit ini, menjadi rumah bagi berbagai mahluk dan melindungi siapapun di bawahnya dari hujan ataupun terik matahari. Jalan setapak yang beliau lalui terhenti pada sebuah pos bambu yang tengah dijaga oleh seorang pria berusia lanjut berseragam coklat.
"Nyekar, Bu Mawar?" tanya pria tua itu.
"Nggih, pak" jawab Bu Mawar.
Setelah melewati pos bambu itu, sampailah Bu Mawar pada suatu pemakaman. Dengan segera beliau beranjak ke makam almarhum suaminya, lalu menaburkan bunga sedap malam di atas makam itu dan membacakan surat suci. Kegiatan ini telah beliau lakukan setiap tiga bulan sekali semenjak wafatnya sang suami.
Sudah dua tahun.
Beliau ingat betul di hari yang sama dua tahun lalu, dirinya masih berada dalam kondisi duka, lalu melibatkan diri dengan kasus hilangnya beberapa anak didiknya dari desa. Penelusuran beliau berakhir pada suatu game Online bernama "Battle of Realms" yang menjadi topik pembicaraan anak-anak desa.
Entah bagaimana caranya, beliau terbangun di dalam dunia game "Battle of Realms" tanpa alasan yang jelas. Beberapa NPC game menyambut Bu Mawar sebagai peserta turnamen, tapi beliau sendiri kurang tahu apa yang harusnya dia lakukan. Dalam petualangannya di turnamen, beliau berhasil menemukan semua anak didiknya yang telah hilang, tapi suatu insiden tak terduga terjadi, menyebabkan kematian semua anak didiknya kecuali satu.
Setelah itu Bu Mawar tidak ingat apapun. Ketika beliau bangun kembali, dirinya sudah ada di rumahnya lagi bersama Sunoto, satu-satunya muridnya yang selamat. Warga desa menyambut meriah kepulangan Sunoto dan Bu Mawar, tapi banyak yang kurang percaya dengan cerita yang dibawakan Bu Mawar, terutama orang tua para anak didik yang tidak kembali.
Kata seorang "Orang Sakti", Bu Mawar dan para muird telah dibawa ke dunia para Jin dan dipermainkan oleh penghuninya. Orang sakti tersebut juga mengatakan bahwa adalah sebuah keberuntungan Bu Mawar bisa membawa pulang Sunoto karena biasanya jika wanita muda yang diculik tak akan pernah dikembalikan. Karena kepercayaan mistis warga desa masih kental, cerita ini dipercaya oleh mayoritas, sehingga laporan kehilangan anak-anak itu ditutupi dengan "Hilang di dalam hutan".
Dua tahun telah berlalu dan Bu Mawar telah kembali ke kehidupan semulanya. Kecuali satu hal, tangan kanan beliau. Bu Mawar masih ingat kenapa tangan besi itu bisa menggantikan tangan kanannya, tapi beliau tidak tahu kenapa tangan itu terbawa pulang.
Tangan besi Bu Mawar masih berfungsi, bahkan dengan kekuatan supernya, tapi tidak mungkin beliau menunjukan tangan ini pada warga desa, sehingga beliau membalutnya dengan perban dan menggunakan alasan "Kerserempet Truk" untuk menjauhi kecurigaan.
Suara kentongan membangunkan Bu Mawar dari lamunannya. Ketika beliau membuka matanya, barulah beliau menyadari bahwa cahaya matahari tidak lagi mencapai pemakaman itu. Bu Mawar mengambil sebuah senter dari tasnya, lalu beranjak meninggalkan makam. Namun ketika melihat ke bawah bukit, ada pemandangan aneh yang di mata beliau, tampaknya desa masih belum menyalakan lampu meski sudah masuk waktu Magrib, begitu pula pos di depan makam.
Apa mungkin ada pemadaman?
"Bu! Bu Mawar!" sahut sebuah suara.
Bu Mawar menyinari asal suara itu, menyadari kakek penjaga pos itu melambai-lambaikan tangan, sedangkan yang lain memegang sebuah lampu minyak.
"Lampunya nggak dinyalakan,pak?" tanya Bu Mawar.
"Bu, jangan kembali ke desa dulu" ujar kakek itu. "Ana Uwo ngamuk"
Bu Mawar terkejut mendengar perkataan sang penjaga pos, sontak menyebut nama Yang maha kuasa. Uwo adalah panggilan untuk mahluk gaib yang memiliki ukuran tubuh sangat besar, biasanya tertutup bulu hitam tebal dan suka memakan anak kecil dan wanita muda, di daerah lain, mahluk ini sering disebut dengan Genderuwo.
"Bapak nggak bercanda,kan?"
"Nggak, Bu. Tadi ada dukun di depan desa sama Uwo buesar, tanya dimana Bu Mawar" jelas kakek itu. "Ini mungkin yang nyulik Bu Mawar dulu, jadi jangan balik ke desa, nggih?"
"Saya harus kembali, pak" ujar Bu Mawar tegas. "Murid saya juga ada di sana"
"Aduh... Bu... Ya udah kalau ibu bilang gitu"
Kakek itu menyalakan lampu minyak yang dibawanya, lalu mengambil pentungan dan celurit yang digantungkan di dinding pos jaga. Sang penjaga pos merapikan beret tentara yang dulu digunakan ketika perang revolusi, lalu berbalik pada Bu Mawar.
"Yuk, Bu. Mari turun bukit"
=3=
Genderuwo
Sebuah tawa menggelegar terdengar dari pintu masuk desa, suara tawa yang seakan terdengar seperti gesekan besi yang bergesek terus-menerus. Langkah kaki sang raksasa menggema, membuat takut siapapun yang berani melawan. Pukulannya begitu kuat, sampai pepohonan runtuh karenanya.
"Bawa Bu Mawar keluar!" seru robot hitam di gerbang desa itu.
"Sudah berapa lama kita menunggu, Isna?" tanya sebuah pipa di pundak robot itu.
"Tiga puluh dua menit dan tiga detik, tuan" jawab si robot hitam.
Gerbang kayu desa Sukatarung telah tertutup rapat semenjak penampakan mahluk tersebut di hutan sebelah barat. Para pemuda dan pria mengambil peralatan yang bisa dipakai untuk senjata, parang, celurit, gada dan batu, lalu bersembunyi di balik bangunan untuk menyerang apabila mahluk itu benar-benar melewati gerbang desa.
Sang mahluk hitam tidak menunjukan keraguan, melainkan keangkuhan. Ditunjukan dengan kehadirannya di pintu gerbang meski bagian desa lain hanya dipagari dengan papan kayu setinggi satu meter.
"Robohkan gerbang itu" seru sang pipa.
Sosok setinggi dua setengah meter itu melepas tawa yang terdengar seperti desingan besi, sudah tidak sabar mendobrak gerbang. Kepalan tinjunya melesat ke gerbang desa hingga melayang. Para pelindung desapun keluar dari persembunyian mereka, tiga orang berdiri di jalan utama, lalu melemparkan batu-batuan pada kepala Isna.
"Bunuh mereka"
Sang robot hitam beranjak masuk ke dalam desa, para pemuda yang melempar batuan berlarian masuk ke dalam desa. Isna tertawa terbahak-bahak, tapi tidak mengetahui pelarian mereka memiliki maksud tertentu.
Ketika Isna melewati dua deret rumah pertama, dua kelompok penduduk desa menyergap dari gerbang dan dari balik masing-masing rumah. Sang robot langsung berbalik arah, tapi tali tambang telah dilempar lebih dahulu, melilit sang robot dari berbagai arah. Para penyergap langsung meluapkan amarah mereka, menyerang dengan senjata yang telah disiapkan sebelumnya.
Namun para penduduk tidak menyangkan peralatan besi berkarat mereka langsung patah ketika menyerang sang robot. Senjata tumpul seperti Gada juga tidak berhasil membuat bengkokan sedikitpun. Akhirnya mereka mencoba menggunakan cara lain, yakni melemparkan ember-ember air pada badan si robot hitam.
Sang robot tertawa terbahak-bahak dengan tawa yang mirip desingan besi. Dirinya kembali berdiri, lalu menggapai salah satu tali dan menarik para penduduk yang menahan tali tambang, satu tali dalam satu waktu hingga terbebas. Isna segera meraih lengan satu orang pemuda yang terkapar di dekatnya, lalu melemparnya pada kelompok lain yang hendak kabur.
Lemparan Isna tepat mengenai kaki mereka, membuat kelompok itu terjungkal dan jatuh. Sang robot hitam segera menghampiri kelompok pemuda itu, lalu melayangkan tinjunya. Namun betapa terkejutnya Isna ketika tinjunya terhenti sebelum menyentuh mangsanya.
"Cepat pegi! Dia hanya mengincarku!" seru suara seorang wanita.
Isna menarik tinjunya, lalu melepas tawanya sekali lagi. Wanita berjilbab di depannya telah menghentikan pukulan yang bisa saja membunuh pemuda-pemuda itu, membuat Isna sangat yakin bahwa wanita itu adalah targetnya, Bu Mawar.
Balutan perban tangan kanan Bu Mawar terbuka, menampakan lengan besi "ReSin", lengan bionik sang robot peniru, Renggo Sina. Para pemuda beranjak meninggalkan keduanya, menyadari bahwa ini bukan pertarungan mereka.
"Target telah ditemukan, tuan" ujar sang robot hitam.
"Tunggu apa lagi? Habisi dia" ujar pipa di bahu si robot.
Bu Mawar berbalik, lalu berlari secepatnya keluar dari desa. Jika beliau hendak bertarung, maka tidak mungkin beliau melibatkan orang-orang desa yang sangat disayangi. Untungnya, desain dari robot Isna lebih berat daripada Renggo, sehingga berlari selambat apapun sang guru, robot hitam itu tidak akan bisa menyusulnya.
Ketika sampai di gerbang desa, Bu Mawar menyandarkan diri di tiang gerbang. Beliau menengok ke arah si robot yang masih berusaha berlari ke arahnya, tapi kecepatannya memang tidak bisa diharapkan. Setelah cukup istirahat, Bu Mawar bergegas melanjutkan pelariannya ke luar hutan.
"Hei... Kenapa kau lambat sekali!" tegur Opi melalui pipanya.
"Tuanku, hamba yakin pelat besi berlapis yang hamba gunakan memperlambat kecepatan sebanyak 150%. Apa perlu saya menanggalkan pelat ini?" tanya Isna.
"Hei! Aku mendesain dengan banyak pertimbangan! Jangan banyak komplain!" seru Opi.
"Baik, tuan. Saya tidak akan lagi menyebutkan kesalahan yang mungkin anda lakukan" ujar Isna.
"Jadi maksudmu kelambatanmu adalah salahku?" tanya Opi geram.
"Tentu saja, tuan" jawab Isna.
"Mulai detik ini, jangan pernah menyalahkanku lagi!" perintah Opi.
"Apa berarti saya diperbolehkan berbohong?" tanya Isna.
"Ya! Ya! Terserah kamu!" jawab Opi geram. "Pakai otak besimu! Pikirkan bagaimana caranya supaya bisa mengejar wanita itu!"
"Ya, tuan"
Isna menghentikan larinya, lalu berjongkok dengan kedua tangan di bawah dan menurunkan badannya seolah hendak memulai lari marathon. Uap panas keluar dari seluruh sendi Isna, lalu dengan kekuatan penuh Isna berlari lebih cepat dari sebelumnya.
Sang robot hitam tahu betul dirinya akan kehilangan kecepatan jika terus berlari seperti ini, sehingga pada langkah ke enamnya, kakinya menghentak hebat, mengirimkan cukup tekanan untuk memantulkan seluruh tubuhnya ke atas udara. Tentunya, lompatan ini mebuat kawah besar di tempatnya menghentakan kaki.
"Terbang! Uwone terbang!" seru para penduduk.
Isna melambung tinggi di udara, bahkan melewati tinggi gerbang desa. Sang robot meruncingkan tubuhnya seolah hendak terjun ke kolam renang. Kecepatan turunnya meningkat dengan signifikan, lalu mendarat bagai peluru meriam hanya beberapa meter dari Bu Mawar.
Sang guru terkena getaran pendaratan Isna dan terjungkal ke atas tanah. Beliau hendak bangkit, tapi sang robot sudah lebih dulu mengangkat tinjunya.
"Awas, Bu!"
Sebuah tangan menarik Bu Mawar berdiri dan mendorongnya ke depan. Tinju pertama si robot meleset, tapi tinju yang lain meluncur, menghantam sang penyelamat Bu Mawar dan membuatnya melayang hingga menabrak sebuah pohon di depan.
Bu Mawar segera berlari menghampiri sosok kakek tua yang baru saja menyelamatkannya. Darah segar mengucur keluar dari seragam coklat pria tua itu. Sang kakek berusaha bicara, tapi yang dikeluarkan hanyalah batukan berdarah.
"Pak, tolong jangan banyak bicara..." pinta Bu Mawar seraya memeriksa luka sang kakek penjaga pos.
"Kakek nggak papa, bu... ndang lari! Cepet!" ujar si kakek, terbata-bata oleh batuk darahnya.
"Istirahat saja, pak. Setelah saya giring Uwo ini ke hutan, langsung lari ke desa, ya?" pinta sang guru.
"Ya..." jawab si kakek perlahan.
Bu Mawar mengambil sebuah batu di samping si penjaga pos, lalu melemparkannya pada si robot hitam.
"Aku lawanmu!" seru Bu Mawar.
Dengan segera Bu Mawar masuk ke dalam hutan, berharap untuk mengalihkan perhatian si robot hitam.
Namun si robot terhenti ketika hendak masuk ke hutan. Kepala helmnya menoleh pada kakek yang berdarah-darah di pinggir jalan setapak, orang yang baru saja ia hantam dengan pukulannya. Cahaya merah di balik visor hitamnya menyala terang seakan menyeringai si penjaga pos.
=4=
Tamu Dari Dunia Lain
Bu Mawar menarik nafas berat berulang kali, sudah lama beliau tidak melakukan olahraga berat, apalagi pertarungan hidup dan mati. Beliau duduk bersandar pada sebuah pohon di antara pepohonan hutan, menghemat tenaga daripada berdiri.
Cahaya remang bulan purnama memberikan kesan horor pada hutan ini, apalagi karena hanya sedikit cahaya mampu mencapai tempat berdaun lebat ini. Telinga Bu Mawar seakan menajam karena indra lainnya diistirahatkan, mata, kulit dan hidungnya seolah ditidurkan untuk mempercepat pemulihan stamina.
Ada sebuah suara, suara langkah kaki. Suara langkah kaki ini berat seperti langkah si robot, tapi dipaksakan untuk tidak membuat suara, malah sebaliknya, langkah itu menimbulkan lebih banyak suara, apalagi dengan daun dan dahan dimana-mana.
Lima meter. Mungkin. Bu Mawar tidak pandai mengukur jarak suara, tapi beliau tahu langkah kaki itu sudah dekat. Sang guru berdiri dari tempat istirahatnya, menyiapkan lengan kanannya untuk memukul di kala langkah kaki itu mendekat.
Bu Mawar melompat keluar dengan tangan siap memukul. Pembuat suara langkah itu sudah ada di hadapannya!
"Bu, Jangan pukul!" seru sosok di hadapannya.
Mata Bu Mawar akhirnya menyesuaikan dengan gelapnya hutan. Sosok dihadapannya tak asing bagi sang guru, yakni kakek tua penjaga pos yang tadi menyelamatkannya. Darah masih merembes dari seragamnya, tapi sudah diperban supaya tidak menetes.
"Pak, tadi saya bilang buat kembali ke desa,kan?" tanya Bu Mawar.
"Lho, iya. Sudah,kok. Tadi aku sudah balik lagi ke desa, terus minta diobati. Nih, perban ada di sini" ujar kakek itu. "Tadi Uwo-nya sudah keliatan, Bu?"
"Belum, pak" jawab Bu Mawar.
"Bagus, kalau gitu! Ayo, balik ke desa, lebih aman di sana" ujar si kakek.
"Baik, pak"
Bu Mawar mengiyakan ajakan si kakek, lalu mengikuti jalur yang beliau tempuh sebelumnya. Si kakek tersenyum lebar, menarik celuritnya keluar dari sabuk untuk menghabisi lawannya. Akantetapi, baru lima langkah mereka tempuh, sebuah pukulan dasyat kembali mengenai perut si kakek hingga melayang ke pohon lain.
"Pak Slamet kadang pakai campuran bahasa Indonesia dan Jawa, tapi logatmu keterlaluan, tahu?" ujar Bu Mawar.
Kakek yang telah menerima serangan telak itu tiba-tiba terbungkus oleh kubus-kubus abu-abu, lalu kubus-kubus itu membesar dan membentuk kembali sosok robot hitam yang menyerang desa. Robot itu kembali berdiri, tanpa berbekas dari serangan Bu Mawar.
"Hehehe... Sepertinya aku terlalu meremehkan kemampuan seorang guru bahasa" ujar sebuah suara.
"Suara ini... Opi? Apa maumu? Kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Bu Mawar.
Sebuah pipa muncul di sebuah batang sebuah pohon di kanan Bu Mawar, lalu mengeluarkan suara itu sekali lagi.
"Sudah dua tahun,ya? Bagaimana kabar tangan Renggo? Apa kau merawatnya dengan baik?" tanya Opi ramah seakan menyambut kawan lama.
"Kalau tangan ini yang kau inginkan, ambil saja. Aku tidak perlu tangan ini" ujar Bu Mawar datar. Beliau tahu sifat asli lawan bicaranya di balik kalimat manisnya.
"HAHAHA!" sebuah tawa menggema dari pipa Opi. "Aku sudah ada robot yang lebih baru dan lebih canggih daripada Renggo, untuk apa aku perlu rongsokan robot gagal itu?"
"Lalu untuk apa kau menyerang desaku!" bentak Bu Mawar. "Tidak tahukah kau kalau ada anak kecil juga di desa ini!"
"M-Maaf, Bu! B-Bukan itu yang saya maksud!" pekik Opi. "Ah... sial... aku penasaran kenapa aku bisa kena bentakanmu... lagi"
Sang Operator melepas dahak, membersihkan tenggorokannya.
"Alasanku menyerang desamu? Bukannya sudah jelas? Seperti orang jahat di film-film, kau menghancurkan robot eksperimenku di turnamen, jadi aku dendam dan menyerang desamu" ujar Opi.
"Kenapa tidak aku saja? Aku yang menghabisi Renggo, jadi jangan libatkan orang lain!" pinta Bu Mawar.
"Yah... kebetulan aku sudah move on dari Renggo, jadi aku mau mencoba robot baruku. kira-kira berapa banyak orang yang bisa dia bunuh? HAHAHAHA!!!"
"Dasar pengecut! Tunjukan dirimu!" seru Bu Mawar.
"I-Iya, Bu guru..."
Sebuah suara gesekan semak terdengar dari belakang robot hitam Opi, lalu tampaklah si Operator dalam jas dokternya.
"Eh?! Lagi?! S-Sial!, Isna, alihkan perhatian guru itu!" seru Opi.
Sang robot menerjang maju, melepas sebuah pukulan ke bahu Bu Mawar. Beliau segera menghindar, tapi pohon di belakangnya terkena pukulan Isna dan tertembus hingga pergelangan. Ketika Isna menarik tinjunya keluar, sebuah pipa mencuat dari salah satu batang pohon tumbang itu.
Pipa itu mengeluarkan suara statik, lalu berbicara, "Phew... Aku sudah lari cukup jauh, jadi..."
Isna sudah mengintimidasi Bu Mawar hanya dengan berdiri tegak saja, mata di dada kirinya terbuka, tanda Opi mengawasi dari tempat jauh. Bu Mawar teringat kembali sosok Renggo, hanya saja robot ini lebih rapi, berwarna hitam dan tidak membawa tas kelemahan di punggung.
Namun yang membuat Bu Mawar khawatir adalah kemampuan Isna untuk menirukan wujud seseorang mirip yang asli. Beliau khawatir bila Isna mencapai desa, dia bisa menyamar menjadi salah satu warga desa dan membuat onar suatu saat nanti.
"... mari kita mulai permainan ini!" seru Opi.
Isna mengepulkan asap keluar dari tubuhnya, tanda siap bertarung. Robot dua setengah meter itu menerjang dahulu, membawa tinjunya di sebelah kanan. Belum sampai di tujuannya, sebuah ledakan terjadi di punggung Isna, mengikis lapisan pelat besi di punggungnya.
Sang robot hitam berbalik, tepat waktu untuk menyadari sepasang cahaya ungu sedang melesat ke arahnya. Isna menghindar ke samping, tapi secara ajaib kedua cahaya itu berbelok dan meledak di depan badan Isna hingga lapisan pelat di depannya terkikis. Kalau saja Isna tidak dilengkapi besi berlapis tiga, bisa saja tembakan itu mengenai perangkat dalamnya.
"BURAHAHAHA! Jadi robot ini membuatmu kesusahan?" sebuah suara arogan menggema dalam hutan itu.
Sebuah sosok boneka beruang coklat berjaket kulit kerah putih turun dari pohon yang tadinya di belakang Isna dan berjalan santai ke hadapan robot hitam itu sambil membawa sebuah senapan shotgun di punggungnya, seakan tidak terintimidasi oleh beda ukuran yang hampir lima kali tingginya. Tidak, lupakan itu, pikirkan bagaimana sebuah boneka beruang bisa berjalan.
"S-Siapa kau?" tanya Bu Mawar pada sosok boneka beruang itu.
Sang boneka beruang belum memberi jawaban. Dia membetulkan topi pemburunya terlebih dahulu, lalu mengenakan sebuah kacamata hitam yang telah disimpan di jaketnya.
"Namaku Ursario, BearyLord" ujar sang boneka beruang."Buuraa" tambahnya.
"BerryLord?" tanya balik Bu Mawar.
"BEARYLORD!" ulang Ursario.
Isna kembali menyemburkan uap melalui lubang-lubang ventilasi tubuhnya. Sang robot hitam kembali berdiri, lalu melempar pukulan pada boneka beruang yang telah mengikis lapisan pelindungnya.
"Kau bodoh,ya?"
Ursario dengan santai berjalan ke arah si robot hitam, melewati celah di antara kedua kakinya. Sang robot kehilangan keseimbangan karena berusaha mengikuti pergerakan Ursario dan jatuh menghantam tanah. Sang BearyLord menaiki tubuh si robot hitam, lalu membenturkan moncong senapannya di kepala robot itu.
"Skak mat" ujar Ursario.
Pelatuk senapan Ursario telah ditarik, seluruh Demonic Aura Ursario terkumpul dalam selongsong senapan itu dan menghabisi Isna hanya dalam sekali serang!
"eh...?"
... atau setidaknya seharusnya begitu. Namun yang keluar dari selongsong senapan Ursario hanyalah suara gerakan trigger di hulu selongsong.
"BUURAAA!!! ARWAHNYA NGGAK CUKUP!"
Mendengar pekikan panik Ursario, Isna memanfaatkan kesempatan ini untuk berubah wujud. Tubuh sang robot mulai berubah menjadi kubus-kubus abu-abu, lalu melempar Ursario dari tubuhnya. Ketika kubus-kubus robot itu menghilang, dirinya telah tegantikan oleh sosok gadis robot berambut pirang dengan sayap besi di punggungnya. Blazer dan rok hitam menggantikan pelat hitam sang robot.
Sayap besi Isna melebar, menembakan tekanan udara hingga membuatnya terbang di udara. Tangan kiri Isna terbungkus oleh kubus perubahan, membentuk sebuah capit besi. Cahaya kuning terkumpul pada celah di antara kedua capit itu hingga memercikan petir kemana-mana.
"Sudah cukup main-mainnya" ujar Isna dalam suara wanita, "Kemenangan tuanku adalah mutlak"
Sebuah pipa muncul di pundak Isna, lau berbicara, "Hei, tunggu dulu, Isna. Jangan tembak mereka"
"Dimengerti" jawab Isna, lalu melemahkan pengumpulan energinya dan menghilangkan capitnya.
"Pergilah ke desa itu lebih dulu, hancurkan apapun yang kau lihat! Mari kita lihat bagaimana reaksi guru itu melihat desa kesayangannya hilang dari peta!" seru Opi.
"Ya, tuanku"
=5=
Ursario, The Buraa Lord
"Robot itu... pergi?" Pandangan Bu Mawar masih terpaku pada langit, antara lega karena robot itu pergi dan khawatir kemana robot itu pergi.
"Mereka ke desamu, Bu Mawar" ujar Ursario. "Aku bisa dengar percakapan mereka dari bawah sini" tambahnya.
"Kita harus kembali ke desa!"
"Kau bisa saja mati, Buraa" ujar Ursario. "Apa paling tidak kau berhutang terimakasih padaku?"
"Bisakah kita bicarakan ini dalam perjalanan?" pinta Bu Mawar.
Ursario mengangguk, lalu berjalan mengikuti sang guru. Anehnya, meski langkah Ursario lebih kecil dari Bu Mawar, boneka beruang yang sedang berjalan santai itu tidak tertinggal oleh Bu Mawar yang berlari.
"Terimakasih telah membantu, pak boneka" ucap Bu Mawar.
"Pakai namaku, UR-SA-RIO" ujar Ursario geram, tampaknya tidak suka dengan panggilan itu.
"B-Baik... pak Ursario, begitu?" tanya Bu Mawar.
"Biasanya aku minta dipanggil Lord atau Baginda, tapi sudahlah, aku buat pengecualian kali ini" jawab Ursario.
"Apa boleh saya tahu kenapa boneka..."
"Sstt... aku tahu apa yang mau kau tanyakan" ujar Ursario.
"Benarkah?" tanya Bu Mawar.
"Bayangkan dirimu sebagai sebuah boneka beruang yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Apa kau akan ditanyai oleh pertanyaan itu? Tentu saja" ujar Ursario. "Baiklah... inilah sedikit kisahku..."
"Tolong rangkum jadi satu paragraf dan tidak lebih dari 3 kalimat" ujar Bu Mawar.
"Kuterima tantanganmu, Buraa!" seru Ursario. "Aku adalah Overlord dari Netherworld Neda. Aku mengalahkan Turkey. Aku kuat."
"B-Baiklah..." Bu Mawar tidak mengerti sama sekali perkataan Ursario, apa itu Overlord, Netherworld, Turkey, tidak satupun dari kalimat itu ada dalam kosa kata Bu Mawar.
"Dan berikutnya kau pasti bertanya kenapa aku menolongmu,kan?" tanya Ursario.
Bu Mawar mengangguk.
"Cerita pendeknya tadi malam aku nonton rekap Battle of Realms kelima, tapi baru sadar serinya nggak lengkap. Aku ada CD Bu Mawar ronde preliminary sampai semifinal, tapi nggak ada CD ronde keempat. Jadi aku ke sini untuk minta CD itu" jelas Ursario.
"S-Saya tidak menjual CD Battle of Realms, bahkan baru tahu ada yang rilis Cdnya" ujar Bu Mawar.
"Blech... berarti sama seperti Turkey, panitia yang handle dan ambil untung distribusi CD" ujar Ursario. "Kalau gitu ceritakan saja padaku, siapa tahu aku bisa buat video bajakannya"
"Ronde keempat,ya... Saya sendiri kurang ingat kalau nggak salah itu ada di lab gelap... ada banyak klon... oh! Iya, aku juga sempat naik Skuter keliling lab!" seru Bu Mawar.
"Buraa! Terus?"tanya Ursario antusias.
"Ehm... terus ada Pak Ogah... nyebut jalang? Ehm... saya tidak ingat sisanya" ujar Bu Mawar. Tiba-tiba ada sebuah kilat ingatan dalam kepala Bu Mawar, beliau teringat akan adegan "tak senooh" antara salah seorang klon Oga dan klon dirinya sendiri. "ASTAGFIRULLAH! NGGAK! NGGAK BOLEH! VIDEO ITU NGGAK BOLEH DILIHAT!"
"BURAA?! Sepertinya memang ada alasan video ronde keempat nggak ada di CD setnya... KATAKAN APA YANG TERJADI, BURAA!!!"
Bu Mawar sangat tidak ingin mengingat kejadian di ronde itu. Tapi melihat keinginan Ursario untuk mengetahui cerita itu, terpikir dalam benak Bu Mawar untuk memanfaatkan ceritanya untuk mendapat bantuan Ursario mengusir Opi dan robotnya dari desa SukaTarung. Ditambah lagi, beliau juga bisa "menghapus" adegan yang tak beliau inginkan ketika bercerita nanti.
"B-Bagaimana kalau begini... kalau kau bisa membantuku mengalahkan robot itu, akan kuceritakan kejadian ronde empat..."
"Deal! Akan kuambil ceritamu dan kubuat bajakannya! BURAHAHAHAHA!!!"
Langkah Bu Mawar terhenti ketika gerbang desa Sukatarung terlihat. Beliau menarik Ursario ke semak-semak, tidak ingin para penduduk desa melihat mereka berdua. Tentunya tidak bisa dibayangkan shock penduduk ketika melihat tangan besi Bu Mawar dan beruang yang bisa berjalan.
"Enak amat. Kata penggantimu bukan "dia" atau "ia", tapi pakai "beliau". Emang apa kekuatanmu?" tanya Ursario, mengomentari narasi.
"Hush... diam!"
Namun di luar dugaan, Isna tidak terlihat di dalam desa. Para penduduk tampak berpatroli dengan membawa lampu minyak dan alat seadanya, tapi tidak ada tanda mereka telah diserang. Pintu masuk desa juga telah diberdirikan lagi, tapi skrup
"Ehm... kita sudah sampai sejauh ini, tapi apa kita ada rencana?" tanya Bu Mawar.
"Kau benar juga, Buraa. Aku tidak bisa merusak robot itu seperti sebelumnya karena kehabisan energi jiwa petarung" ujar Ursario. "Bagaimana kalau kita minta teman-temanmu untuk cari makanan buatku?"
"Teman-temanku?" tanya Bu Mawar.
"Iya, yang dari tadi ikut kamu. Tiga hitam besar di belakang, satu yang kayak permen putih sama yang hijau kecil di sebelahku" ujar Ursario.
Bu Mawar menengok ke arah yang dimaksud Ursario, tapi tidak menemukan apapun. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi Bu Mawar, diikuti dengan kakinya yang mulai gemetaran.
"Ihihihi... bercandanya jangan seperti itu..." jawab Bu Mawar.
"Oh, itu ada satu di sebelahmu yang ketawa sama kamu"
"P-Pak Ursario jangan bercanda yang enggak-engg..." kalimat Bu Mawar terhenti, teringat kalau sore ini beliau mampir di makam untuk mengunjungi makam almarhum suaminya.
Getaran kaki Bu mawar bergerak lebih kencang dari sebelumnya. Beliau begitu merinding sampai membenamkan wajahnya yang sudah ditutup kedua tangan ke lututnya yang sedang tertekuk.
"Oi, kalian bisa bantu aku nggak?" tanya Ursario pada arwah gentayangan. "Kalau kalian berikan SEDIKIT saja arwah kalian, aku tidak akan mengamuk, bisa? Oke, thanks"
Ursario membuka mulutnya, tampak sedang menyerap udara kosong, tapi sebenarnya boneka beruang itu sedang menyerap arwah. Untungnya Bu Mawar tidak perlu melihat kejadian menakutkan ini.
"Cukuplah, sana pulang!" ujar Ursario.
Beruang coklat itu segera mengambil SmartPhone dari jaketnya, lalu memanggil sebuah nomer dari contact list. Nada panggilan masuk terdengar jelas sampai terdengar salam dari sisi lain SmartPhone, dibarengi dengan suara bising campuran pembicaraan orang dan gesekan piring.
"Halo? Ada apa panggil nomer ini, tedy?" tanya pria di ujung telefon. "Ehem... maksudku... Ada keperluan apa, Baginda Ursario?"
Namun Ursario tidak memberi jawaban.
"B-Buraa..." imbuh pria di ujung telefon itu.
"Akan kuabaikan kesalahanmu kali ini, Stallza. Kau sedang di Tavern sekarang?" tanya Ursario.
"Ya, baginda. Sekarang saya sedang melakukan re-stocking dagangan, jadi bisa anda menunggu sebentar lagi? B-Buraa..." pinta pria bernama Stallza itu.
"Tidak" jawab Ursario tegas. "Cepatlah ke sini dan bawa dua paket arwah petarung, satu XL dan satunya lagi Ursario Special"
"Anda meminta saya bertarung? Hmm... bagaimana kalau bawa si Jelly juga? Mumpung lagi mampir di sini" ujar Stallza.
"Bluey Jelly di sana juga? Bagus! Panggil dia ke sini! Tambah satu lagi arwah petarung, tapi ukuran L saja! Ingat! L! Aku tidak mau dia melenyapkan gunung seperti bulan lalu!"
"Ya, boss!"
"Stallza..." ucap Ursario geram.
"B-Buraa..."
=6=
Opi's Invasion
Dengungan mesin terbang dapat terdengar jelas dari salah satu pohon di hutan yang mengitari desa SukaTarung. Kepala wanita si robot hitam mengintip dari atas pohon, tampak mencari sesuatu dan berusaha untuk tidak menarik perhatian.
"Sudah berapa lama kita menunggu?" tanya Opi, mengotak-ngatik tabletnya di bawah pohon.
"Satu jam, tuanku" jawab Isna, suaranya juga menjadi feminim karena perubahannya.
"Apa kau sudah melihat Bu Mawar?" tanya Opi lagi.
"Belum. Pandangan inframerahku tidak mendeteksi panas di wilayah hutan" ujar Isna.
Opi mulai curiga dengan ketidakadaan Mawar. Dalam rencananya, dia akan mulai menghancurkan desa dan membuat Bu Mawar kewalahan melindungi penduduk desa, tapi melihat bagaimana dia tidak muncul di pandangan inframerah Isna, Opi tahu ada yang salah.
"Isna, apa kau benar-benar punya pandangan inframerah?" tanya Opi.
"Ya, tuanku" jawab Isna.
"Berkatalah jujur padaku. Kau memilikinya atau tidak?" tanya Opi kedua kalinya.
"Tidak, tuanku" jawab Isna."Penambahan pandangan inframerah ditambahkan di hari ketiga bulan januari, tapi dibuang pada perencanaan februari, sehingga ini adalah murni kesalahan anda" jelas Isna.
"Kenapa tidak bilang dari tadi!" seru Opi.
"Anda meminta saya untuk tidak mengatakan kesalahan anda dan anda juga memberi izin untuk berbohong" jawab Isna.
"Ugh... Cukup... Jangan pernah membohongiku lagi, mengerti?"
"Ya, tuanku"
"Sekarang, masuklah ke desa itu dan buat kegaduhan!" seru Opi.
Sayap mekanik Isna melebar, lalu lepas landas. Dengan gerakan meluncur seperti kelelawar, Isna berputar-putar di atas desa, menganalisa daerah mana saja yang bisa menimbulkan kekacauan terbesar. Mata Isna terhenti pada sekelompok bangunan yang agak jauh dari posisi balai desa, sebuah komplek yang sepertinya bangunan sekolahan, dilihat dengan adanya sebuah lapangan upacara.
Isna membungkus tangan kirinya dengan kubus perubahan, mengubah tangannya menjadi Railgun laser dalam bentuk capit. Cahaya kuning terkumpul pada celah di antara capit itu hingga memercikan petir kemana-mana.
Namun sebelum tembakan railgun sempat ditembakan, cahaya lain melesat ke arah Isna dari hutan di dekat sekolah. Isna berusaha menghindar, tapi cahaya ungu yang melesat itu berhasil mengenai sayap kirinya. Tak mau serangannya jadi sia-sia, Isna menembakan railgunnya ke arah sekolah. Tembakan itu meleset, hanya berhasil membakar sebuah pohon di dekat sekolah.
Selagi Isna terbang terputar-putar di udara, tubuhnya kembali tertutup oleh balok-balok abu-abu dan kembali ke wujud asalnya setelah kehilangan satu bagian tubuhnya. Dengan satu hantaman bagai bola meriam, Isna menghantam bumi dan meninggalkan sebuah kawah di tempatnya jatuh.
Robot hitam itu jatuh di sebuah lapangan di tengah desa, tapi ada jarak jauh antara tempat ini dan rumah-rumah di sekelilingnya. Kemungkinan besar tempat ini adalah balai desa, tempat dimana orang-orang dikumpulkan untuk kegiatan sosial.
Isna, yang kini kembali dalam bentuk asalnya, beranjak keluar dari kawah. Awalnya dia mengira akan ada penduduk yang langsung menyerang, tapi tidak satupun penduduk terlihat. Mungkin saja mereka sudah mengungsi atau api kebakaran yang dibuatnya tadi telah membuat mereka beralih ke sekolah untuk memadamkan api.
"Sudah cukup, robot. Kembalilah ke tempatmu berasal"
Ketika sang robot menoleh, tampaklah Bu Mawar menghalangi arah ke gerbang masuk desa. Sang robot tertawa dengan suara khasnya, langsung menerjang Bu Mawar dengan tinju di depan. Suara dentuman peluru magis Ursario bersenandung, melesatkan tiga bola cahaya dari belakang Isna.
"Isna, mode Ernesto!" seru pipa Opi.
Sang robot kembali tertutup oleh kubus perubahan, berubah wujud menjadi lebih pendek dan ramping. Kali ini rambut merah tumbuh di kepala si robot, tubuhnya berbajukan rompi merah di atas setelan putih dan bercelana jeans merah. Gas berwarna hitam pekat menyembur keluar dari sang robot hingga dirinya tertutup oleh gas hitam tersebut.
Peluru magis Ursario menghantam Isna, mengakibatkan sebuah ledakan dan melempar debu kemana-mana. Namun ketika layar debu itu pudar, yang berada di tempat itu hanyalah sebuah bola hitam yang diameternya seukuran manusia. Bola tersebut berpendar menjadi gas, lalu membentuk sebuah tombak di tangan kanan Isna.
"MATI!"
Isna menerjang Bu Mawar dengan tombaknya, tapi sang guru berhasil memukulnya dari bawah, membuat tombaknya terangkat ke atas. Ujung tombak itu kembali berpendar, tiba-tiba membentuk sebuah bilah panjang di sisi tombak seperti Scythe. Scythe Isna menghujam turun, memaksa sang guru untuk mundur.
Dentuman peluru magis Ursario kembali terdengar, Isna segera memutar ke belakang Bu Mawar, mengubah senjatanya menjadi cambuk dan mencekik leher sang guru dari belakang. Kedua peluru Ursario menyebar ke udara, lalu diledakan jauh dari Isna.
"BBBUUURRRAAA!!!! PENGECUT SEKALI KAU!!!" raung Ursario, bahkan sampai terdengar ke telinga Isna.
Isna mengencangkan cekikan cambuknya. Bu Mawar berusaha meraih cambuk di lehernya dan berusaha melepasnya, tapi cambuk itu sudah menggali masuk ke leher sang guru, tak mungkin untuk dilepas. Bu Mawar mulai mendesah, kesakitan dan tak bisa bernafas. Isna tersenyum lebar sambil melonggarkan cekikannya supaya Bu Mawar bisa kembali bernafas dan kembali mencekiknya.
"Hei... hei... hei..." pipa Opi muncul di pundak Isna. "Hilangkan sifat sadismu itu, Isna! Aku tak mau guru ini mati sebelum desa ini hancur"
"Baik, tuan"
Si robot hitam menghilangkan cambuknya, mengubahnya kembali menjadi tombak hitam. Tiba-tiba Isna terbanting ke tanah, Bu Mawar telah menjegal kaki si robot dengan tangan kanannya. Ketika Isna hendak bangkit, Bu Mawar sudah berdiri dan bersiap melakukan serangan balasan. Namun bukan dengan tangan kanan.
Sebuah pisau merah terbentuk di tangan sang guru, lalu menghujam ke dada Isna, menembus plating besi tipis yang melindunginya. Isna memukulkan tangan kirinya pada Bu Mawar, tapi hal aneh itu terjadi lagi, sebuah perisai merah tercipta di hadapan sang guru. Namun perisai Bu Mawar tidak cukup untuk menahan energi kinetik pukulan Isna, sehingga perisai itu terpukul mundur ke muka sang guru.
Isna segera bangkit, lalu menarik keluar pisau yang dihunuskan ke dadanya, tapi begitu dicabut pisau merah itu berpendar seperti asap, seolah itulah wujud asli pisau merah itu.
"Gas merah... Ernesto Boreas?" gumam Isna. "Lengan itu masih berfungsi?"
Menyadari apa yang terjadi, Isna segera mengambil jarak, lalu merintangkan tombaknya menyamping. Tangan kanan Bu Mawar menyapu dari kiri ke kanan, membuat perisai merah di depannya kembali menjadi gas, lalu membentuk sebuah sabit besar di tangan kanannya.
Meski telah tidak digunakan selama dua tahun, tangan kanan Bu Mawar masih memiliki kemampuan pemilik aslinya, Renggo Sina. Karena Isna menirukan wujud Ernesto Boreas, tangan kanan Bu Mawar yang sempat menyentuh cambuk Isna merespon dengan menirukan cara bertarung Ernesto.
"HYAAAH!!"
Bu Mawar berseru lantang, menerjang dengan sabit raksasa mengikutinya. Ketika lawan masuk ke wilayah serangnya, Bu Mawar berhenti dan memutarkan sabit ke depan. Isna segera merintangkan tombaknya ke kiri, arah datang serangan itu. Namun tombak si robot terbelah karena ketajaman sabit, sehingga sabit itu terus melaju hingga ke pinggang si robot. Tiba-tiba sabit itu menikung turun, mengenai paha kiri si robot dan membuatnya terjatuh.
"Ini kesempatan terakhirmu. Pergilah" tegas Bu Mawar, menarik kembali sabitnya dan bersiap menyerang jika Isna menolak.
Isna terdiam mendengar ucapan Bu Mawar. Robot hitam itu perlahan berdiri, lalu berjalan mundur dengan satu kaki pincang sambil menutup lubang di dadanya dari pisau Bu Mawar. Sepuluh langkah lambat telah diambil Isna, tapi Bu Mawar belum menurunkan senjatanya. Beliau masih merasa Isna akan menyerang balik karena robot itu belum kembali ke wujud asalnya ataupun mendengar komentar Opi.
"Scan selesai"
"Eh?"
Perkiraan Bu Mawar tepat, Isna kembali terbungkus dalam kubus perubahan dan berubah bentuk. Lima menit yang dipakai Isna untuk berpura-pura terluka hanyalah pengalih selagi dia melakukan scanning pada Bu Mawar. Kini dengan sistem C&P yang telah disempurnakan, Isna berubah bentuk menjadi duplikat Bu Mawar.
"Kau menirukanku?!" seru Isna-Mawar dan Bu Mawar secara bersamaan.
"Jangan meniruku!" seru salah satu Bu Mawar.
"Tidak! Kau yang jangan meniruku!" seru Bu Mawar yang lain.
Bu Mawar tampak jengkel melihat orang yang sama persis dengan dirinya tepat di hadapannya, teringat kembali betapa sebalnya melihat tindakan klon dirinya ketika ronde keempat. Namun ternyata beliau lebih kesal karena yang satu ini juga memiliki suara dan sifat yang sama persis.
"B-BURAAA?! Ada dua Bu Mawar?!"
Ursario baru saja datang dari hutan, terkejut karena melihat ada dua orang Bu Mawar yang sangat identik. Overlord Beary ini segera membidikan senjatanya, tapi berganti kanan-kiri karena bingung mana yang harusnya ditembak. Apalagi karena Ursario belum mendengar cerita Bu Mawar tentang ronde sebelumnya.
"Dia bukan aku!" seru kedua Bu Mawar kompak.
"Robot itu sengaja menirukanku!" seru Bu Mawar.
"Tidak! Dialah yang robot!" seru Bu Mawar yang lain.
"Buraa... kalau gini bakal sulit" gerutu si boneka beruang.
Sebuah portal cahaya hitam muncul di sebelah Ursario, membesar hingga cukup dilewati oleh siapapun. Sebuah boneka beruang, aka Beary, berwarna coklat keluar dari portal tersebut, mengenakan sebuah baju putih beserta sorban di kepalanya. Beary kedua yang berwarna biru ikut keluar dari portal, menggeret sebuah karung goni di belakang.
"Lho? Mana robotnya?" tanya Beary bersorban.
"Salah satu dari mereka, tapi aku tidak tahu yang mana" ujar Ursario. "Stallza..."
"Haruskah aku mengimbuhi kalimat itu terus?"
"BURAHAHAHA!!! Seharusnya kau lebih berterimakasih, Stlaza!"
"...buraa..." akhirnya Beary bernama Stallza itu mengalah pada Ursario.
Singkat cerita, ketika pertarungan Thurqk dan Ursario berakhir, Beary lord tersebut menyerap seluruh arwah petarung di Nanthara, realm kematian buatan Thurqk. Stallza dan Lazu, dua peserta lain yang lolos ke babak final selain Ursario telah mengalami kematian di tangan si dewa merah Nanthara, lalu diserap oleh Ursario. Sama seperti halnya arwah lain yang telah mati, Stallza dan Lazu memiliki bentuk Beary dan dipaksa mengabdi pada Ursario.
"Jadi kau sudah menangkap orang itu?" tanya Ursario.
"Tentu saja... dia mainan tablet di tengah hutan sambil ketawa cekikikan... bagaimana mungkin aku bisa melewatkannya?" ujar Stallza.
"BURAHAHA! Bluey Jelly! Keluarkan orang itu!"
Si Beary biru membalik karung yang dibawanya, mengeluarkan sesosok pria berjas lab beserta sebuah tablet dan kacamata. Pria berjas lab itu tidak lain adalah Opi, tapi wajahnya telah membiru karena pukulan bertubi-tubi. Ketidakadaan komentar Opi selama peratarungan Bu Mawar dan Isna seakan membenarkan keberadaan pria itu di dalam karung.
"Opi?!" pekik panik salah satu Bu Mawar.
"Eits... Jangan dekat-dekat" ujar Ursario, membidikan senapannya pada Bu Mawar yang berseru. "Kita lihat... siapa yang bisa membunuh orang ini. Kalau dia tidak bisa, berarti dia adalah si robot. Cukup simple,kan?"
Kedua Bu Mawar tercengang mendengar dekalrasi Ursario. Kedua Bu Mawar itu terdiam, hingga salah satunya berteriak lantang.
"Apa kau sudah gila?"
Bu Mawar yang berteriak itu maju dengan tegas, membawa amarah bersamanya. Langkahnya sigap, tidak menunjukan keraguan sama sekali.
"Kau memintaku untuk membunuh orang yang bahkan tidak bisa melawan balik!" seru Bu Mawar itu.
"Buraa... nggak usah dipikirin. Lagian dia nyerang desamu,kan?" ujar Ursario.
"Dengan tangan kosong?" tanya Bu Mawar. "Paling tidak berikan senapanmu supaya lebih cepat"
"BURAHAHAHA! Aku suka gayamu!" tawa Ursario, lalu melempar senapan yang dibawanya.
Bu Mawar dengan sigap menangkap senapan Ursario. Diletakannya tangan pada laras dan gagang senapan, kemudian diangkat hingga ke depan matanya. Namun pelatuk senapan tidak lekas ditarik, malah Bu Mawar ini menurunkan senapan itu dengan cepat dan mematahkannya dengan dengkul.
"BURAA!!! SENAPANKU!!!"
Bu Mawar palsu itu akhirnya menunjukan warna aslinya. Kubus perubahan membungkus dirinya, merubahnya kembali menjadi robot dua setengah meter berpelat hitam. Robot hitam itu segera mengambil Opi yang tersungkur di tanah dan meletakannya di pundak, lalu kabur dengan kecepatan penuh ke pintu desa.
"BURAA!!! Ganti rugi! Kau merusak senapanku!" seru Ursario.
"Enak aja! Kamu nggak lihat ancurnya mukaku?!" balas seru sebuah pipa yang muncul dihadapan Ursario.
"BURAA!!! Dasar pengecut!" hina Ursario.
"Hahaha... paling tidak aku bukan orang gila yang bicara sama pipa" ujar Opi. "Eh... tunggu dulu... apa aku pipa yang nggak waras karena ngomong sama boneka tedy bear?"
"BURAA!!! Akan kuremukan kau!" Ursario menendang pipa dihadapannya, tapi terlupa kalau berada dalam bentuk boneka, sehingga dirinya sendirilah yang kesakitan.
"Kurasa pipaku cukup kuat,kan?" ledek Opi.
"Cukup sudah! Bluey Jelly, kejar orang itu!"
Beary biru mengeluarkan sebuah kaleng berlabelkan "Jiwa L" dari sakunya dan menelannya dalam sekali teguk. Tubuh si Beary bercahaya kebiruan, perlahan berubah menjadi lebih besar dan kental. Sosok si Beary biru tidak lagi seperti beruang, melainkan seperti manusia yang tubuhnya terbuat dari air.
Beary adalah sekelompok arwah yang telah dikumpulkan oleh Ursario. Mereka terperangkap dalam bentuk beruang karena tidak lagi memiliki tubuh untuk "hidup", sehingga bentuk itu sering dianggap wujud mereka. Namun, karena mereka berasal dari Ursario, mereka juga menjadi semakin kuat untuk setiap jiwa petarung yang mereka kumpulkan, bahkan bisa berubah ke wujud semula untuk sementara waktu.
Si Beary biru dalam wujud manusia air melesat bagaikan panah, mampu menghadang di depan gerbang desa hanya dalam setengah menit. Dia berbalik arah menuju robot hitam dan Operatornya, lalu melompat sambil mengangkat lengan kanannya, mendaratkan sebuah pukulan yang menghantam mata kiri si robot hingga meretak.
Sayangnya si jelly lupa bahwa dirinya telah masuk ke dalam jarak serang lawannya. Isna langsung menampar manusia air itu seperti lalat, mementalkannya hingga terbang menjadi bintang. Dari kejauhan, suara manusia air itu dapat terdengar samar-samar seakan mengatakan, "Menyebalkan!".
"B-BURAAH?! Bluey Jelly kalah dalam sekali pukul?! Padahal dia pernah menantang Thurqk dalam perang kosmik!" seru Ursario.
"Uh... Ursa... Baginda, itu bukan Lazu" ujar Stallza. "Dia Bluey Jelly #2, Emils si Slime"
"BUURAAAHHH??!!!" pekik Ursario. "Kenapa nggak bilang dari tadi?! Harusnya dia pakai yang ukuran M atau S saja! L kebesaran!"
"Pak Ursario... Apa nggak papa temannya dibiarkan terbang ke langit gitu?" tanya Bu Mawar.
"Ah, biarkan. Aku pernah membunuhnya seratus kali, tapi dia nggak mati-mati" ujar Ursario. "Nanti ya kembali sendiri"
"Entah kenapa Slime itu mengingatkanku pada Renggo" ujar pipa Opi.
"JANGAN IKUT NIMBRUNG!" bentak Ursario.
"Yah... kalau begitu terpaksa aku yang bertarung,kan?" ucap Stallza. "Walau sepertinya yang pingin dipakai hanya Spiritiaku saja..."
Kali ini Beary Stallza yang mengeluarkan sebuah kaleng berlabelkan "Jiwa XL" dari sakunya dan menelannya dalam sekali teguk. Rambut putih tumbuh di atas kepala Stallza, diikuti oleh tanda ketenarannya, yakni alis matanya yang berbentuk elang. Tubuh sang Tavern master membesar hingga selayaknya seorang manusia, lalu muncullah kain putih yang kemudian merajut menjadi pakaian.
"Ventinis" gumam Stallza.
=7=
Sang Ventinis
Hanya dengan satu kata itu, sebuah zirah putih tercipta dari pakaiannya. Pandangan mata, waktak dan pola pikir Stallza berubah total. Dia tidak lagi menunjukan watak sang Tavern Master dari kedai Black Alley, melainkan watak suatu sosok anggun nan bijaksana. Stallza telah memasuki mode Ventinis, suatu entitas yang merupakan induk dari spirtia, mahluk panggilannya.
"Hidro, Spirtialis"
Sebuah cahaya melesat dari langit ke hadapan Stallza dan menampakan diri sebagai burung layang berwarna biru. Burung itu melesat ke dalam diri Stallza, menyatu dalam teknik bernama "Spiritialis". Stallza bergerak cepat, bahkan begitu cepat sampai dapat menghadang pelarian Isna dan Opi di gerbang desa.
"Kuberi kalian sepuluh detik untuk menyerangku. Jika sudah melebihi waktu itu, maka kesempatan kalian habis dan aku akan menggunakan kekuatan penuh," ujar Stallza. "Aku sudah muak dengan orang yang tega merusak hati wanita tak berdaya seperti Bu Mawar "
Stallza menaikan lengan kanan di atas kepala, lalu mengangkat jari telunjuknya, "Satu... dua..."
Isna menurunkan Opi dari pundaknya, lalu kembali menirukan wujud Alicia, si gadis robot berambut pirang. Mata kiri Isna dalam wujud ini pecah, tengkorak besi dan cahaya merah matanya terlihat langsung. Sebuah gagang pedang melesat keluar dari lengan kirinya, lalu di tangkap oleh tangan kanan dan mengeluarkan bilah cahaya berwarna kuning.
"empat... lima..."
Hitungan Stallza terus berjalan, tapi Isna tidak beranjak dari tempatnya, begitu juga Opi yang hanya terduduk lemas di samping robotnya. Bu Mawar dan Ursario berdiri jauh di belakang Isna, juga diam sambil melihat pertandingan. Kecuali Ursario yang sibuk mengunyah popcorn.
"delapan... sembilan... sepuluh," akhirnya Stallza berhenti menghitung. "Sombong sekali. Kau pikir dirimu bisa mengalahkanku? Kurasa kesombonganmu akan menjadi kematianmu"
Tiga buah cahaya melesat dari langit, mendatangkan tiga buah spiritia baru. Namun bukan hanya itu saja, tiga buah cahaya lain turun dari langit lagi, membawa tiga spiritia yang benar-benar berbeda dari sebelumnya. Pasangan tiga cahaya turun terus-menerus dari langit, bergantian tanpa henti sampai yang berdiri di depan itu bukan hanya tiga atau lima orang, melainkan empat puluh orang dengan penambilan dan kemampuan berbeda-beda dan Stallza berdiri di depan semua orang itu.
"H-Hei... ini kemampuan macam apa ini?! Memangnya kamu mau pakai semua karakter ini?!" seru Opi.
"Hmm... iya juga. Aku mungkin manggil kebanyakan," ujar Stallza. "Hei, tapi aku sudah memberi kesempatan,kan?"
"B- Boleh aku minta kesempatan lagi?" tanya Opi gemetaran.
"Hmm... baiklah. Kalau kau bisa menyerangku dalam satu menit ke depan, akan kuakui kalau kau menang" ujar Stallza. "Tentunya... kalau kau masih hidup dari serangan spiritiaku!"
Raungan perang terdengar dari gerbang desa, diikuti dengan derap kaki yang saling bersahut. Empat puluh Spiritia yang telah dipanggil Stallza menyerbu Opi dan robotnya. Sang Operator segera mengambil tabletnya, mengetikan sederetan perintah dalam kotak putih itu. Satu tombol terakhir telah ditekan, mengeksekusi perintah yang telah dimasukan Opi. Sang Operator tersenyum lebar, lalu menyelipkan tabletnya kembali ke dalam jasnya.
"Teknik Rahasia..." gumam Opi.
"GGGGGGGAAAAAAAAAHHHHHHHH????!!!!!" sebuah pekikan membahana terdengar dari belakang kerumunan Spiritia.
"...Serangan Pipa!"
Para Spiritia terbelalak hampir tidak percaya. Tuan mereka terbaring di atas tanah, mengerang kesakitan sambil menekuk badan di atas tanah. Namun ada sesuatu yang membuat mereka ngeri sekaligus linu, yakni adanya sebuah pipa yang seharusnya tidak ada di sana dan kenyataan bahwa Stallza mengerang kesakitan memegang selakangannya.
"I-Iodesa... t-tolong.... b-bijiku... k-kena..." rintih Stallza.
Suara tawa lebar terdengar dari Opi, "HAHAHA! Aku selalu ingin mencoba menyerang dengan pipa ini, tapi baru kesampai sekarang."
"S-Sialan... aku benar-benar lengah..." rintih Stallza. "T-Tapi... kau memang berhasil menyerangku... akan kubiarkan kau pergi..."
Semua Spiritia Stallza terbungkus cahaya, lalu menghilang. Sebuah portal hitam muncul di belakang Stallza, lalu pria malang itu merangkak ke dalam portal dan menghilang dari desa Sukatarung.
Bu Mawar dan Ursario saling bertukar pandang, kurang mengerti apa yang terjadi di depan sana.
==8==
The Operator's Last Stand
"Mawar, kau urus si Operator. Aku akan mengurus robotnya," ujar Ursario, mengunci pandangan pada Isna yang memakai mode Alicia.
Ursario mencongkel tutup sebuah kaleng bergambar kepala beruang, kemudian menelan isi dari kaleng tersebut. Aura hitam menyembur keluar dari Ursario, seluruh kulit kainnya berpendar menjadi bayangan hitam. Ursario perlahan terlepas dari tanah, melayang-layang perlahan sebagai tanda kenaikan kekuatannya.
"Tsch... nggak cukup buat Lord Mode, yah? sudahlah"
Sang Beary Lord meluncur secepat kilat di udara, melayangkan tangan kanannya hingga menembus ulu hati di balik Blazer hitam Isna dan keluar di punggungnya. Namun Ursario segera menyesali tindakannya, bukannya mengenai satu atau dua perangkat vital, malah tangan kain sang Beary Lord tersangkut oleh ratusan mur dan baut di dalam tubuh Isna.
"Cuma karena Isna dalam bentuk seperti wanita, jangan langsung ngincar hatinya!" ujar Opi. "Mungkin ajak jalan-jalan dulu atau makan malam..."
"Aku ngincar hatinya karena alasan lain, buraa!!!" balas Ursario.
"Mungkin mas Opi mau ngajak saya jalan-jalan?" tanya Bu Mawar.
"Itu tawaran yang... WAAA!!! Isna! Balik! Balik! Balik!"
Opi lari tunggang langgang dari gerbang desa. Tak jauh di belakangnya, Bu Mawar ikut menyusul dengan membawa sebuah sabit merah di pundak.
Di sisi lain, Isna meraih Ursario dengan kedua tangannya dan menarik sekuat tenaga, tapi tetap saja tangan beruang itu tidak bisa keluar. Kemampuan regenerasi Ursario dalam mode ini membuat tangan itu selalu memanjang seperti karet ketika ditarik dan karena kemampuan ini juga tangan itu tidak bisa ditarik keluar oleh Ursario.
"Tunggu. Aku ada ide" ujar Isna.
Isna merentangkan kedua tangannya, lalu terbungkus dengan kubus perubahan. Tangan kanan Isna kini memegang pedang cahayanya dan yang kiri terpasang sebuah capit besi.
"Kau mau potong tanganku?! Enak saja, buraa!!!" seru Urario.
Entah bagaimana, tiba-tiba Isna ikut melayang meskipun beratnya adalah 250 Kg, belum termasuk add-ons. Namun Isna bukanlah poros dari penerbangan ini, melainkan Ursario yang seakan bisa terbang sambil membawa Isna sebagai beban di tangan. Ursario tersenyum lebar, matanya menatap tajam dari balik kacamata hitamnya.
"Akan kujatuhkan kau dari tempat tinggi, buraa!!!"
***
Sabetan merah melayang di atas kepala Opi tepat setelah ia merunduk. Melihat Bu Mawar kembali menaikan senjatanya, Sang Operator berguling ke samping, menghindari tusukan beruntun dari ujung tajam sabit Bu Mawar.
"H-Hei! S-Stop! Aku nggak punya kekuatan apapun di sini!" seru Opi.
"Begitu juga orang-orang di desaku!" balas seru Bu Mawar.
Serangan demi serangan diluncurkan Bu Mawar dan Opi terus menghindar. Sekali dua kali serangan sang guru telah mengenai Opi, tapi luka itu hanya berupa goresan dan sobekan pada jas putih sang Operator. Bu Mawar melepaskan amarahnya terhadap Opi, tapi karena amarah itu pula gerakan sang guru menjadi sepadan dan mudah ditebak arah dan tujuannya.
"Jangan banyak gerak!" bentak Bu Mawar.
"I-Iya, Bu guru!" balas Opi yang langsung berdiri tegak.
"Jangan bergerak!" seru sang guru sambil menebaskan sabitnya.
Namun sabit merah Bu Mawar terhenti. Satu tangan Opi telah menahan ganggang sabit itu, sedangkan yang lain menahan tangan besi sang guru. Sabit merah Bu Mawar terbungkus oleh pixel perubahan, lalu sirna begitu saja.
"L-Lho,kok?"
"Anda terlalu naif, Bu Mawar. Apa anda kira mudah memakai kemampuan Renggo? Tidak." ujar Opi. "Renggo akan menirukan siapapun yang telah disentuhnya mau atau tidak mau. Kuat ataupun lemah. Tapi bagaimana kalau dia menirukan seseorang yang tidak punya kekuatan sama sekali? Anda bahkan tidak akan kehilangan semua kekuatan anda, termasuk bentakan yang anda banggakan itu!" jelas Opi.
"Tidak juga." ujar Bu Mawar. Tangan besi sang guru melesat turun ke kepala Opi, membuat suara hantaman nyaring. "Tangan besinya masih ada, tuh"
"AGH?! Aku lupa!" seru Opi panik. "Oh iya... pipaku! Aku bisa pakai itu untuk..."
Baru saja si Opi menarik keluar tabletnya, Bu Mawar sudah memukul tembus tablet itu dan mengenai kepala Opi di balik tablet. Opi terlempar ke sebuah pohon di belakang, tersungkur di bawah pohon itu sambil menatap langit.
"I-Isna! Cepat ke sini! Abaikan saja lawanmu!" seru Opi.
"Percuma! Robotmu tidak bisa mendengarmu di sini!" tangan besi Bu Mawar melesat ke wajah Opi, melayangkan sebuah pukulan terakhir.
"Dasar Operator sialan!"
Sekilas dalam serangan terakhir itu, sosok Bu Mawar tergantikan oleh sosok pemilik asli tangan itu, Renggo Sina. Dunia seakan berjalan begitu lambat, udara tidak lagi terasa karena pintu kematian telah di depan mata.
Ketika pukulan itu datang, dunia itu meretak. Semua yang ada di pandangan Opi pecah seperti serpihan kaca yang berbalutkan debu-debu warna-warni. Hal terakhir yang dilihatnya adalah sosok sang gadis berkepala bantal mendatanginya dalam ruangan serba gelap itu.
***
"Eh? Sudah pagi,ya?"
Cahaya sinar mentari menembus gorden hitam ruang lab. Opi yang terbaring di atas karpet berusaha berdiri, hanya saja dirinya tidak bisa. Ketika dia mengangkat tangannya, barulah ia menyadari tubuhnya mulai terkikis sedikit demi sedikit menjadi serpihan debu berwarna ungu.
"Hahaha... Aku kalah,ya?" tawa Opi. "Kurasa... seharusnya aku tahu batasanku sendiri... dan juga batasan kata..."
Pagi hari itu, sosok yang dikenal sebagai Opi telah tiada, menjadi serpihan mimpi dalam alam lain.
-Tamat-
Pertarungan yang hasil akhirnya kalah, ya? :v
BalasHapusSaya sejujurnya tidak mengenal karakter Bu Mawar dan kisah-kisahnya di sini (pas BoR 5 tidak ngikutin :v ) tapi masih bisa menangkap beberapa bagian yang penting. Penceritaan menarik, meski beberapa typo masih ada. Tidak mengurangi kenikmatan membaca.
Dan metode mengalahkan si Ventinis di sini sangat tepat. Saya mengakui tekniknya (y)
Nilai akhir 7.
P.S.: Tolong kirimkan CD seri keempat Bu Mawar. Kalau bisa dalam format yang ringan macam .3gp :>
CD seri keempat Bu Mawar tidak disediakan oleh Iylich.Co ataupun kepanitiaan BoR 5. Konon, rekaman CD terlarang itu dihapus paksa oleh seorang guru bertangan besi.
HapusTerimakasih kommennya!
Waw, beneran dimaksudkan sebagai kisah penutup OPI. Saya sangat suka entri ini. Penulis jelas sangat kenal dengan tiga OC FBC yang dibawakannya (Ursario, Stallza, dan Bu Mawar). Dan bonus Bluey Jelly#2 bikin saya tertawa lebar :D Begitu pula dengan kameo bisnis CD Thurqk~
BalasHapusAksinya cukup seru dan interaksi antara Opi-Isna ataupun Opi-Bu Mawar tergarap dengan baik. Jadi teringat efek bentakan Bu Mawar sewaktu melawan Renggo Sina di babak waktu itu~
Endingnya cukup menarik. Dan agak menipu. Tadinya saya berpikir dengan cara apa akhirnya Opi+Isna bisa mengalahkan semua lawannya. Dan bagaimana dengan tantangan menghancurkan desa? Rupanya sejak awal penulis memang punya niatan berbeda. Langkah yang rada gambling. Sisanya kita serahkan ke pembaca untuk menilai~
Nilai awal 9, +1 karena membawakan cerita ini dari kanon Ursario sebagai pemenang BoR4L. Total nilai 10.
- hewan -
Kok endingnya gitu? ._.
BalasHapusWell, banyak adegan breaking 4th wall yang, di tengah nuansa serius. Jadi semacam ngasih istirahat. Joke-nya bagus.
Duh, bagian Stallza kalah itu. Aduh >_<
Yang paling saya suka itu eksplorasi tempat asal Bu Mawar. Mulai dari reaksi warga desa, sampai bentuk perlawanan. Kerasa alami. Cuman makin ke belakang, latar tempatnya jadi kurang terlihat. Entah kenapa.
Dan, Stallza kerasa kayak tempelan. >_<
Titip ... 8.
OC: Rebecca Friedmann
Cerita yang sangat sangat epik. Saya yang dulunya menyukai Renggo Sina dan membenci Opi, kini berbalik menyukai Opi (tapi tetap menyukai Renggo Sina juga).
BalasHapusKombinasi Opi-Isna merupakan bagian yang paling keren. Dan entah kenapa saya selalu tertawa saat Ursario berbicara. Rasanya jadi ngebayangin gimana kalau Ursario itu beneran ada.
Langsung nilai saja ya..
9 untuk Opi, semoga tenang di alam sana...
OC : Anne Ezbari
Eehhhh? Endingnya... kalah?
BalasHapusEhem... endingnya bener bener gak terduga sampe saya sendiri berteriak dan membuat orang di sebelah saya kaget...
Suka ceritanya apalagi part saat Stallza kalah.. XD
Ceritanya epik, battle nya seru, dan endingnya gak terduga.. humornya dapet, pokoknya suka ceritanya... >,<
Nilai 9!
Rest in peace, Opi.. :"""
Sign,
Lyre Reinn
OC : Altair Natsuki
Seorang pria berambut kumal yang tengah mengetikan deretan instruksi program pada laptop di hadapannya. (bagaimana kelanjutannya? sebab di situ ada kata (yang) di dalam kalimat. contoh benarnya: Seorang pria berpenampilan kumal yang tengah mengetik di laptop beranjak ke dapur untuk membuat kopi. contoh kalimat tanpa kata "yang": Seorang pria berpenampilan kumal tengah mengetik di laptop sejak tiga malam yang lalu. Ia berhenti dan beranjak ke dapur untuk membuat kopi.)
BalasHapusIMO, gaya narasinya kurang luwes sebagai pendamping pembaca untuk mengikuti cerita.
4
Komentar dan nilainya saya anulir, ya? :D
HapusSaya akui, pembahasannya memang benar. Ada kesalahan penulis seperti yang dijelaskan pada komentar. Namun apakah itu saja sudah cukup untuk dijadikan alasan pemberian nilai 4? Hanya di narasinya? Benarkah seluruh narasinya kurang luwes? Apakah komentar ini dibuat setelah membaca keseluruhan tulisan?
Demikian moderasi dari admin. Semoga ini bisa jadi pelajaran. Karena sekali lagi, mengkritik itu boleh asalkan obyektif dan bukan untuk menjatuhkan sesama peserta. Kita sedang bersenang-senang di sini. Terima kasih.
Pertarungannya epik; suka. :D
BalasHapusPemilihan karakter dan gaya penceritaan yang menarik; epik. :3
Ending; mengapa? ToT
CD ronde keempat; menarik; menunggu rilis. :^)
Anyway, apakah disini Opi antagonisnya atau anti-hero? Jahat sekali...
Overall, 8.
OC: Ghoul :=(D
BalasHapusBagus sih kayak baca manga, hanya aja typonya banyak banget kayak bintang di langit saking banyaknya dihitung :=(0
Misalnya kata mengetikan (huruf “k”-nya kurang satu) hal yang sama seperti kata “menunjukkan” dll, game (pake huruf “g” kecil), uji coba (dipisah), daripada (disambung), banyak tanda baca yang missing seperti tanda titik atau seru di akhir kalimat dialog, kutanya (disambung), online (huruf “o” kecil).
Aku suka konsep imaji mimpinya, settingnya tanpa margin. Tapi seram juga ya rasanya mimpi di awal ceritanya…
Ada tulisan “sedang dengan” sepertinya nggak enak didengar mending diganti “sedang” atau “lagi” (dalam bahasa non formalnya).
Popcorn dan tulisan istilah lainnya pake mode italic.
Awal kata sapaan huruf besar seperti “Bu”, Salim (nama orang), Anda (awal huruf besar) dsb…
Penggunaan em-dash:
…guru berjilbab—Bu Mawar—tersenyum.
…targetnya—Bu Mawar (bukan tanda koma)
…pemilik tangan—Renggo Sina.
Surat suci?! :=(0
Seorang orang sakti?!
Terakhir, aku senang karena Opi kalah \(^0^)/ cus aku lebih pro ke Ibu Mawar…
Ceritanya canggih, aku suka hanya aja typonya sangat mengganggu.
Dari aku 8 :=(D (bisa lebih kalau saja typonya gak menjadi-jadi)
Ada apa dengan endingnya? Kemana kau akan pergi, Opi?
BalasHapusT.T
Untuk typo ada (banyak malah), tapi gak sampe mengganggu saya membaca. Paling suka sama karakterisasi Isna. Cara penggambarannya Isna bagus. Jujur saya gak baca charsheet, tapi dari cerita ini saja saya sudah mengerti dan paham (jadi langsung terbawa ke alur cerita).
CDnya ditunggu lho ya~
8 untuk Opi-Isna
OC - Rea Beneventum
Ya langsung aja dah,
BalasHapusPenggambaran tiga tokoh utama (Opi serta Isna, Bu Mawar, dan Ursario) dijelaskan dengan mantap. Ini berarti Anda sangat mengenal diri Anda sendiri dan juga musuh, sesuatu yang masih susah buat saya v_v. Cuma ngarepin porsi Ursario dibanyakin lagi sih, hehehe...
Selip-selipan joke diantara dialog oke! Lucu dan bisa dijadikan semacam "istirahat sebentar" saat membaca.
Anda juga terbukti "berani beda" dengan menempatkan OC Anda kalah di akhir pertarungan, sesuatu yang jarang dilakukan oleh penulis lain. Sesuatu yang anti-mainstream,saya suka dengan hal2 yang "anti" xD
Hanya saja..
Masih terdapat banyak typo.
Narasi yang perlu dibenahi sedikit lagi agar tercipta aliran yang lebih "mengalir". IMO narasi Anda sudah seperti sungai yang mengalir hanya saja masih ada berupa daun-daun kecil yang menghambat.
Dan masalah penulisan kata, selengkapnya sudah dijelaskan oleh Bang Arieska Arief.
Nilai 8
~ OC : Dani Fajar Nugroho
Eh, kelupaan Stallza xD
HapusNgga apa dah, ngga akan merubah nilai saya.
Aku cewek T.T aku sedih...
BalasHapusBtw apa itu IMO? :-(D
Singkatan dari "In My Opinion"
HapusSaya Anjar author dari OC Rakai Jae Ireng.
BalasHapusBegini ya. Entah kenapa saya kurang bisa mengikuti. Mungkin karena beberapa kalimat "berantakan". Maaf kalau komentarnya seperti itu. Atau karena saya sedang kurang enak badan.
Saya hargai usahanya. Di sini saya merasa ceritanya penuh sesak dengan berjibun karakter beary. Tapi lebih enak ketimbang entry sebelumnya.
Saya kurang bisa menggambarkan sosok Opi di sini. Mungkin karena dia terlalu sering berpindah tubuh dan agak samar. Dari manusia ke pipa, lalu yang mengintip di dada Isna. Di tempat itu awalnya Opi seperti berada jauh entah di mana. Eh ternyata dia di dalam tubuh Isna. Lalu dia keluar karena Isna jadi robot cewek.
Maaf komentarnya berantakan. Sekali lagi mungkin karena saya kurang enak badan. Walau FBC adalah ajang 'Happy' sebenarnya. Tapi kualitar para Veteran harus dijaga.
Saya kasih 6. Eh 7 aja ding. Karena beruang blue L #2 Smile terbang dan mengingatkan saya pada team rocket. Tapi itu berlebihan komedinya. Trus? Saya suka pas endingnya.
Pantesan kok kaga asing ini OCnya, Rupanya ada di Charsheetnya Bu Mawar dan kebetulan ane juga baca entry Bu Mawar pas ronde 3 buat nyari Mawar Kelam dan itu pas lagi lawan Renggo.
BalasHapusceritanya enak dibaca, battlenya enak disimak, endingnya enak (apa pula enak-enak xD)
Nilai ummm 9
OC: Rose Vinensine
ketemu lagi dengan entry Mawar+lengan Renggo Sina vs Renggo sna 2 alias Opi+Isna, membuatku teringat pertarungan epic BoR5 mawar-Sunoto vs Renggo-Ralan, dan sungguh.... saya harus ... BUWAHAHAHAHAHA, ini menghibur banget, hahahahah,
BalasHapussepanjang entry saya ngakak terus, seperti baca entry Al Kane juga, beberapa entrant BoR terparodi dan tersentil dengan halus, nggak garing, terutama humor epic ada di "CD set" yang berisi adegan anuanu (saya juga nggak tau dan nggak hapal, itu adegan yang mana yah..?), flow ngalir denga smooth tanpa mengganggu adegan battle-nya. Kemampuan Mawar "Kemuliaan guru" pun juga tereksplorasi bagus, tapi saya paling suka dengan si Ursario di sini, mbanyol dan cocok banget masuk di cerita, bagaikan potongan puzzle yang amat pas... BURAHAHAHAHA
Saya curiga typo-typo di dialog adalah fitting atau disengaja, termasuk juga desa Sukatarung sepertinya berpindah ke Jatim (kalau nggak salah itu di Jabar euy), dan bu Mawar pindah profesi jadi guru bahasa Indonesia (yah, emang sedikitnya tenaga membuat para guru pegang banyak maple sekalgus--- btw, bu Mawar kan guru seni rupa di canonnya)
okay, saya pingin kasih 10, cuman saya kurangin satu aja deh soalnya endingnya kepotong mendadak gitu gara2 author kurang memperhatikan jumlah kata.
(gua juga potong habis2an entry Franka gara2 baru sadar kalau maks 5900-an kata).
9, buat Opi!
Regards, Rakai Asaju
OC: Mima & Franka Zaitsev
"Cerita pendeknya tadi malam aku nonton rekap Battle of Realms kelima, tapi baru sadar serinya nggak lengkap. Aku ada CD Bu Mawar ronde preliminary sampai semifinal, tapi nggak ada CD ronde keempat. Jadi aku ke sini untuk minta CD itu" jelas Ursario.
BalasHapus"S-Saya tidak menjual CD Battle of Realms, bahkan baru tahu ada yang rilis Cdnya" ujar Bu Mawar.
"Blech... berarti sama seperti Turkey, panitia yang handle dan ambil untung distribusi CD" ujar Ursario. "Kalau gitu ceritakan saja padaku, siapa tahu aku bisa buat video bajakannya"
BEST JOKE disini...
wah emang gila yah si Opi ini.. ceritanya mengalir banget ditambah joke yang bikin saya ngakak sendiri.. saya cukup kecewa di akhir karena Opi mati, dan keinginan Satan untuk mendapatkan Isna di BoR tidak tercapai. alah... siapa yang gak mau robot serbaguna gitu? Kalo satan udah pasti suruh Isna jadi mode cewe terus sambil pake baje Maid. Karakter 2D akhirnya muncul di hadapan Satan! (jujur saya mikir ini pas baca cerita!)
Endingnya sedikit maksa juga karena gak memperhatikan batas kata. yah saya bukan orang yang hak mengomentari itu karena cerita saya sendiri berjumlah 5997 kata. (itupun banyak yang dipotong)
Setelah banyak pertimbangan. Overall Nilai 8 (kalo mau bisa dapet 9, bukan... 10!!!!! kalo misalakan Satan bisa dapet Isna.. oh shit!!!!!!!!!)
kesan awal setelah baca entry ini, hebat ada robot setinggi 2,5 meter bisa berubah jadi apapun melalui kubus perubahan. jokesnya rame dan sedikit ada unsur flashback stensil di BoR 5 (walau nggak ngikutin :v). penceritaan tempat asal Bu Mawar terlalu detail jadinya tersisa sedikit buat ending sehingga endingnya kesannya nggak natural
BalasHapusnilai buat si Opi 8
Dwi Hendra
OC Nano Reinfield
Entri serius setengah gendeng atau entri gendeng setengah serius adalah favorit saya.
BalasHapusSaya peduli setan ama tipo, yang penting adalah esensi yang disampaikan dalam plot serta karakter, serta referensi meme (kalau ada).
Opi sudah bikin saya sukses ketawa guling-guling, deg-degan, lalu meringis kojor setelah membaca entri ini. Joke dan battle seriusnya nyatu seperti ice cream sandwich punya tembok.
Dan poin utama yang digarisbawahi dalam entri ini adalah KALAHnya Opi. Setelah semua usahanya, Opi harus menerima kekalahan dan melebur bersama alam mimpi u w u
Entri yang benar-benar bikin naik turun... emosinya.
Saya gak ragu ngasih nilai 10 karena emosi yang kuat dalam entri serius setengah gendeng seperti ini.
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Zarid Al-Farabi.