Minggu, 28 Februari 2016

[FBC] 010 - ALTAIR NATSUKI

MIMA SHIKI REID
[Tantangan N1]
oleh: Lyre Reinn

---

Arti Sebuah Impian
(The Reason to Fight)
.
.

[Prolog : Reason]

Altair menembak kaki seorang pemuda berambut silver dengan tembakan kristalnya, membuat kedua kaki pemuda berdarah campuran antara iblis dan naga itu membeku. Ia sontak menoleh ke arah Altair dan menatapnya kaget.

"U…ugh! Ada apa lagi?" tanyanya kesal.

Altair menurunkan tangannya. Bukannya menatap balik iris berwarna merah darah itu, ia malah menunduk. Entah kenapa ia merasa dadanya sesak. Perasaannya berkecamuk. Namun ia harus menanyakannya.

Ia membutuhkan jawaban.

"Apa…alasan kau bertarung?" tanya Altair.

 Setidaknya ia bisa menemukan jawaban dari apa yang akan dikatakan pemuda itu.

"Aku selalu ingin melampaui Kuro-sama. Tapi karena ia sudah tidak ada… Aku ingin melawan orang yang lebih kuat darinya." jawabnya.

Entah mengapa, Altair merasa tidak puas mendengarnya. Menurutnya jawaban itu terlalu klise.

Bukankah kita harus bertarung untuk meraih apa yang kita inginkan?

Altair melepaskan pengaruh kristalnya.

"…Pergilah…"

"Eh?"

Altair mengangkat wajahnya dan menatap iris merah darah itu dengan tatapan datar. Sedangkan yang ditatap hanya memasang wajah bingung.

"Aku tidak akan menahanmu…"

Pemuda itu menggerakkan kakinya yang telah terbebas, lalu meninggalkan Altair. Gadis itu lalu menunduk. Fikirannya jauh lebih kacau daripada sebelumnya. Bahkan ia merasakan nyeri di dadanya saat nama "Kuro Neko"—alias Kurogami Nekomaru—di sebut.

"Hhhh….."
.

.

.

Chapter 0
The Story Begins…
.

.

.
[Sleep]

Seorang gadis berkepala bantal—yang muncul entah darimana—melayang mendekati seorang gadis berambut hitam-ungu. Ia tertidur pulas di atas tumpukan kertas yang berantakan. Mungkin tadinya ia sedang berkutat dengan kertas-kertas itu sampai akhirnya tidak kuat menahan kantuk dan jatuh tertidur.

Sebagian dari kertas-kertas itu memperlihatkan isinya, beberapa berisi gambar-gambar lengan yang tersusun dari kabel-kabel dan baja pelindung serta beberapa penjelasannya, beberapa ada yang bergambar seperti papan yang di tunjukkan panah-panah.

Ratu Huban—nama gadis berkepala bantal itu, setidaknya itu julukannya—tidak perduli dengan kertas-kertas itu. Ia lebih tertarik dengan gadis berambut hitam-ungu, yang tertidur sambil membisikkan beberapa nama.

"….Mama…..Papa…."

"…..Kuro…."

Ratu Huban berputar dengan antusias, seakan-akan telah menemukan sesuatu yang menarik.

"Sepertinya, aku akan mengintip mimpimu sebentar, Gadis Robot. Tee-hee.."

Ia membuka payungnya, dan sebuah portal muncul tak jauh di dekatnya. Segera setelah ia masuk ke dalamnya, portal itu lenyap.

.

.

.

[Inside Her Dream]

Saat itu langit terlihat sangat biru. Cahaya matahari berpendar terhalang pohon-pohon tinggi. Rumput basah karena terkena embun. Suara jangkrik menambah suasana damai dalam taman hutan itu.

Altair menarik nafas panjang, menikmati udara hutan yang segar. Ia lalu berjongkok di pinggir sungai, menatap pantulan wajahnya di permukaan air yang jernih. Di bawahnya terlihat ikan-ikan berwarna warni berenang kesana kemari dengan bebasnya. Iris pelanginya berkedip-kedip dengan polosnya.

Ia ingat saat itu ia ada di sini dan Kuro memergokinya sedang menangis. Dan ia tidak akan pernah mau menceritakan sebabnya.

"Oh, Altair."

Mendengar suara yang familiar, Altair berbalik ke asal suara.

Berdirilah seorang pemuda yang kira-kira sebaya dengannya, berambut silver dan bermata hitam pekat. Tangan kanannya merupakan tangan robot yang hampir sama dengan miliknya, namun berwarna putih. Ia memakai baju berwarna hitam dengan garis-garis merah di beberapa bagian, khususnya kerah dan bagian kancing.

Kuro Neko—alias Kurogami Nekomaru.

Ia sempat merasa kaget saat menatap sosok di depannya, namun sorot matanya langsung berubah datar. Namun kalau dilihat lebih teliti, iris pelangi itu seperti diselimuti awan mendung.

Baru saja dipikirkan, orangnya sudah berada di depannya. Altair mengira dirinya sedang bermimpi.

Tapi kan ia memang sedang bermimpi?

"Kenapa kau ada di sini?" tanyanya datar.

Sosok di depannya tertawa jahil.

"Hei, memangnya aku tidak boleh berkunjung?"

Altair menunduk.

"…Boleh…"

"Bagaimana keadaan mereka?" tanya Kuro Neko, pemuda yang belum lama ini meninggalkan dunia. Entah kenapa tiba-tiba pemuda ini ada dalam mimpinya.

"…Baik…" lagi-lagi Altair menjawab seadanya.
 
"Shiro… sangat mengagumimu ya." lanjutnya. Tentunya yang dimaksud adalah Shiro Ryuuki.

Kuro tertawa canggung sambil memegang bagian belakang kepalanya.

"Yah, dia menganggapku tuannya sih." jawab Kuro. "Ah, apa dia baik-baik saja di sana?"

Altair tersenyum tipis.

"Dia berusaha agar dapat melampauimu."

"Wah, hebat juga! Hahaha! Kuharap dia benar-benar bisa melampauiku ya—eh?"

 Menyadari Altair tersenyum sambil memandanginya, wajahnya sontak memerah.

"H…Hei! K..Kenapa kau tersenyum? Apa ada sesuatu di wajahku?" tanyanya gugup. Altair menggeleng sambil tetap mempertahankan senyumannya.

"Aku sangat senang bertemu denganmu." jawabnya tulus. Ia mendekati Kuro dan menyentil dahinya sambil tersenyum datar, namun sendu.

"Bodoh…"

"E…eh?" wajah Kuro langsung memerah. "A..apa yang kau lakukan?"

Altair tersenyum samar. Lalu mundur menjauhi Kuro. Sedikit menggoda Kuro membuatnya merasa lebih tenang dari yang tadi. Keheningan pun menyelimuti mereka berdua. Entah Kuro yang kehabisan kata-kata atau Altair yang terlalu menikmati keheningan ini.

"…Lebih baik kau mengunjungi yang lain juga." suara Altair memecahkan keheningan.

"A..ah, benar juga."

Seakan mengiyakan kata-kata Altair, tubuh Kuro langsung diselubungi cahaya. "Aku pergi dulu ya~" ujarnya lalu menghilang, meninggalkan jejak-jejak serpihan cahaya. Wajah Altair kembali berubah menjadi datar.

Tiba-tiba sekelilingnya pudar, menjadi putih. Sungai, pohon-pohon, ikan-ikan yang berenang bebas dalam air, rumput, bebatuan, bahkan langit biru pun hilang.

Altair melihat ke sekeliling dengan bingung. Ia sekarang berada di ruang serba putih. Bahkan ia sendiri tidak yakin kalau ia berpijak di atas lantai atau sesuatu.

Tiba-tiba sebuah portal muncul dan seorang gadis kecil berkepala bantal keluar dari dalamnya. Altair memiringkan kepalanya dan menatap gadis kecil itu bingung.

"Halo~" ujarnya riang. Ia melayang, berputar-putar mengelilingi Altair dengan gembira.

"Aku baru saja menyaksikan mimpi yang menarik!" ujarnya lagi sambil menatap Altair dengan antusias, "Hei, apa kau ingin mewujudkan impianmu?"

Altair memiringkan kepalanya.

"…Impian?"
.

.

.
[Inside Your Heart]

"Eh? Kau tidak punya impian?" tanya Ratu Huban, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Barusan ia melihat mimpi Altair dengan perasaan berdebar-debar seperti menonton film drama korea. Namun sekarang ia dikejutkan dengan kenyataan bahwa Altair, sang tokoh utama perempuan, sama sekali tidak terfikir tentang impian, mimpi, atau hal-hal sekitar itu.

Altair menggeleng.

"Kau serius tidak punya impian?" tanyanya lagi, "Pasti setidaknya kau punya satu kan? Sesuatu yang ada di hati kecilmu? Kau punya kesempatan, aku yang memberimu kesempatan! Apa kau akan membuangnya begitu saja?"

"…Kesempatan untuk apa?"

Ratu Huban menatapnya dengan kesal.

"Tentu saja kesempatan untuk meraih mimpimu!"

Altair menaikkan sebelah alisnya. Sesaat ia seperti dimarahi oleh anak kecil. Namun ia hanya menatap gadis berkepala bantal itu dengan polos.

Ia sama sekali tidak punya gambaran tentang impian yang disebut oleh Ratu Huban. Ia hanya menjalani hari-harinya seperti biasa, tanpa memikirkan impiannya. Padahal ia telah diberikan kesempatan untuk mewujudkan keinginannya. Impiannya. Mimpinya. Sesuatu yang ia raih.

Walaupun itu adalah hal yang telah ia buang jauh bertahun-tahun yang lalu.

"Baiklah, kalau kau tidak punya impian, atau sesuatu yang ingin kau raih, lebih baik aku pergi."

Ratu Huban membuka payung hitamnya, ujungnya berpendar cahaya warna-warni, tanda bahwa ia sedang bersiap untuk membuka portal.

Sedangkan Altair menutup iris pelanginya.

Apa benar ia sekaku itu? Hidup tanpa Impian?

Altair membuka matanya.

Sepertinya ia telah menemukan jawabannya…

"Tunggu"
Ratu Huban berbalik, menatap Altair yang mengulurkan tangannya, mencegahnya memasuki portal.

"Hm? Ada Apa? Kau sudah menemukan impianmu?"
Altair menurunkan tangannya. Iris pelanginya menatap Ratu Huban dengan tatapan yakin.

"…Iya."

"Apa impianmu?"

Iris pelanginya berkilat.

"…Impianku….."

.

.

.
Chapter 1
Dream Away!
.

.

.
[Portal]

"Untuk mencapai impianmu, kau harus bertarung." ujar Ratu Huban. "Aku baru saja melihat impian seseorang yang sangat tangguh."

"…Siapa itu?"

Ratu Huban tertawa kecil, "Tentu saja itu adalah impian orang yang akan menjadi lawanmu. Apa kau ingin bertarung dengannya?"

Altair memiringkan kepalanya dan menatap Ratu Huban dengan bingung.

"Bisa kau tunjukkan padaku?"

Ratu Huban memutar payungnya dan 15 buah layar imajiner muncul di hadapan mereka berdua. Masing-masing layar memunculkan foto dari kandidat yang akan dilawan.

Iris pelangi Altair membulat saat melihat salah satu dari layar tersebut.

Layar itu berisi gambar seorang wanita berusia 30-an, berambut hitam pendek dan beriris hijau.

Altair pun memandang layar itu, sedikit lebih lama dibanding layar-layar yang lain.

"Dia?"

Altair mengangguk.

"Mima Shiki Reid. Sepertinya dia memiliki tekad yang kuat untuk meraih mimpinya ya…" kata Ratu Huban. "Kau yakin bisa mengalahkannya?"

Satu anggukan lagi.

"Kau berani bermimpi untuk menerima tantangan ini?"

Altair menatap Ratu Huban dengan tatapan aneh.

"…Bukannya aku sudah bermimpi?"

Gadis itu menepuk kepala bantalnya sambil tertawa kecil.

"Tee-he! Aku lupa~.."

Ratu Huban membuka payungnya dan sebuah portal muncul. Altair pun berjalan menuju portal itu, sementara Ratu Huban melayang di sebelahnya.

"Ingat, kau harus menang. Kalau tidak, tubuhmu di dunia nyata akan lenyap."

Altair menatap Ratu Huban dengan polosnya.

"…Oke…"

"Dan… Kau harus membunuhnya~" lanjutnya dengan nada ceria.

Seperti tak mendengarkan, Altair pun berjalan masuk ke dalam portal berwarna pelangi itu.

Dan lenyap.

.

.

.
[Place]

Setelah keluar dari portal, ia memperhatikan suasana di sekelilingnya. Lembah tandus dengan bekas-bekas hasil pertarungan. Terlihat pohon-pohon terkikis habis, tanah membentuk kawah-kawah besar, dan beberapa goresan seperti cakaran yang besar di tebing.

Di alamnya, disinilah Altair tahu batasan dari perisainya. Dan itu sudah berlangsung beberapa bulan yang lalu.

Namun, saat melihat seseorang muncul di depannya, Altair terdiam.

Yah, dia memang selalu diam sih, tapi kali ini ia tampak lebih diam dan lebih bingung dari biasanya. Iris pelanginya mengerjap beberapa kali melihat pemandangan di depannya.

Mima Shiki Reid. Dengan tekadnya yang kuat berhasil membawanya ke final Battle of Realms.

Ia tahu ia akan berhadapan dengan wanita yang ia lihat sekilas di gambar itu, namun ia tak menyangka akan bertemu dengan lawannya secepat ini. Padahal ia baru saja akan melihat-lihat.

Altair menatap wanita itu dari atas ke bawah, meneliti setiap jengkalnya. Matanya terpaku pada lengan kiri dan kedua betis besi Mima.

Sepertinya, disini pula ia akan tahu batasan dari kekuatannya.

Sementara yang ditatap hanya menatap balik Altair dengan tatapan heran.

Gadis kecil inikah yang akan menjadi lawannya?

Penampilannya cukup biasa. Kaos, jaket, celana jeans dan sneakers. Kecuali rambutnya yang terlihat seperti salah potong dan matanya yang berwarna pelangi. Apalagi tindik yang terpasang di telinganya.

Altair terkesan seperti 'anak remaja yang salah pergaulan' dimatanya.

"Ya… Aku akan melawanmu." jawab Altair, seakan-akan tahu apa yang difikirkan ibu dua anak itu. Keheningan sejekan menyelimuti mereka berdua.

Angin berdesir menerbangkan pasir dan debu di tempat itu, seakan menambah kesan dramatis.

Sejenak Mima merasa ragu untuk menyerang.

"Berapa umurmu, err…"

Altair tidak langsung menjawab. Ia malah bertanya balik.

"…Kenapa bertanya?"

Raut wajah Mima langsung berubah. Ia langsung mendatangi Altair sambil berkacak pinggang.

"Kurang ajar! Apa begitu sikapmu pada orang yang lebih tua?" serunya marah. "Memangnya orang tuamu tidak mengajarimu sopan santun, apa?!"

Altair memiringkan kepalanya. Sepertinya ia salah memilih kata. Padahal yang dimaksud Altair adalah ia tidak ingin menceritakan apa-apa pada orang yang tidak ia kenal. Apalagi pada lawan tarungnya kali ini.

Walaupun wanita ini mengingatkannya pada seseorang.

Namun sepertinya omelan Mima tidak berhenti sampai situ saja.

"Memangnya ibumu kemana sih, tidak pernah mengajarimu! Apa ia sibuk jalan-jalan atau arisan kesana kesini?"

Swuung!

Tiba-tiba sebuah peluru lewat tepat di sebelah telinga Mima. Mima langsung memegangi pipinya yang terseret peluru.

"…Lebih baik kita mulai saja." Altair menurunkan tangannya. Mata pelanginya berkilat marah.

Mima langsung memasang kuda-kuda walaupun ia masih merasa ragu. Meskipun gadis ini sudah menembaknya, apakah mungkin menyerang anak yang sekilas terlihat mirip seperti anaknya?

Lagi-lagi Altair berbicara seolah-olah ia bisa membaca fikiran Mima.

"…Jangan ragu. Aku bukan anak kecil."

Tersenyumlah Mima.

"Baiklah… Aku tidak akan ragu untuk mengalahkanmu, nak!"

Tangan Mima bergerak cepat meraih beberapa garpu dari saku apronnya, lalu melemparkannya ke arah Altair. Namun gadis itu seperti tidak ingin menghindar, seperti menyerah.

Di luar dugaan, garpu-garpu itu terpental sebelum menyentuh Altair. Terlihat percikan cahaya beradu dengan garpu-garpu itu sebelum terpental entah kemana.

"Eh, tidak kena?"

Seakan tidak percaya ia mulai mendekati Altair, melakukan scanning dan skimming. Berusaha membaca gerakan Altair yang bahkan tidak bergerak sesenti pun dari tempatnya berdiri. Melihat pertahanan Altair yang (kelihatannya) terbuka lebar, ia coba menyerang.

Dengan cepat ia melancarkan tinjuan ke perut, namun seperti ada dinding penghalang, tinjuan Mima seperti tertahan. Namun serangan barusan cukup keras sampai bisa membuat Altair mundur selangkah. Mima kembali menyerang Altair, dengan tendangan dan tinjuan dari segala arah.

Serangannya tidak mengenai fisik Altair, namun setidaknya ia berhasil membuat gadis itu bergerak sedikit.

Mima kembali melancarkan serangannya, kali ini tendangan, dan membuat Altair mundur selangkah lagi. Membuatnya semakin penasaran untuk menyerang. Ia menyerang Altair berkali-kali.

"Atas."

"Bawah."

"Kanan."

"Kanan."

Mima tersenyum saat melihat ke belakang Altair.

"Kiri."

"Kiri."

"Uppercut."

"Jab."

Altair sebenarnya heran kenapa Mima sama sekali tidak menyerang sisi lain selain depan. Namun ia membiarkan saja perisainya melakukan tugasnya. Ia juga belum melihat celah untuk menembak Mima. Pertahanannya terlalu kuat.

Sampai akhirnya ia berpijak pada sesuatu. Altair tidak perlu menoleh untuk mengetahui apa itu.

Ia telah sampai di ujung tebing. Satu langkah ke belakang, ia akan terjatuh. Sepertinya ia terlalu focus pada serangan di depannya di bandingkan keadaan di belakangnya. Apalagi sepertinya jurang itu terlalu dalam, atau tebing itu yang terlalu tinggi. Altair tidak tahu.

Mima tersenyum.

"Ada kata-kata terakhir?"

Altair hanya diam dan menatap Mima lurus.

"Tiga. Dua. Satu. Waktumu habis nak!"

Mima menendang Altair. Namun sama seperti sebelumnya, serangan itu tidak kena. Namun berhasil membuat Altair bergerak mundur lagi.

Dan gadis itu terjatuh ke dalam jurang.

.

.

.
[Weapon]

Mima tidak perlu melihat untuk mengetahui bahwa Altair sudah tewas atau belum. Lagipula ia sudah bisa memprediksi hal ini. Walaupun sebenarnya ia heran.

Kenapa gadis itu tidak melawan? Padahal ia sudah melihat gadis itu menembakkan sesuatu dari tangan kirinya. Apa gadis itu meremehkan dirinya karena ia tidak punya senjata?

"Sialan!" umpatnya sambil terus berjalan menjauhi jurang itu.

Trak!

Tiba-tiba sesuatu jatuh dari atas. Mima melihat kebawah dan memungut benda yang berbentuk kotak itu. Ia pun membuka isinya.

Sebuah… pistol? Apalagi pistol itu di lengkapi dengan amunisi yang berjumlah banyak. Tanpa membuang kesempatan, Mima langsung mengantongi pistol itu dan menaruh amunisinya dalam saku apronnya.

Mima melihat ke atas dan melihat papan berwarna hijau bergaris kuning terbang di atas kepalanya. Perlahan papan itu bergerak turun ke arahnya. Semakin dekat. Dan semakin dekat.

Betapa terkejutnya ia saat papan itu mendarat di depannya.

"..Kau?"

.

Sebenarnya, yang terjadi tadi…

Altair terjatuh dari tebing itu. Namun ia tidak melakukan apa-apa. Hanya membiarkan dirinya terjun bebas dengan kepala terlebih dahulu. Matanya tertutup seakan menikmati hembusan angin yang melewatinya. Namun hal itu tidak bertahan lama.

Karena tiba-tiba sebuah portal muncul di depannya.

"Kenapa kau tidak melawan?"

Altair membuka mata menatap sosok di belakangnya dengan tatapan datar.

"Kau mau menyerah pada mimpimu? Sayang sekali…" ujar Ratu Huban.

"…Jangan menarik kesimpulan dulu."

Tangan Altair bercahaya, memunculkan kumpulan angka-angka biner, yang semakin lama semakin banyak. Angka-angka itu lalu berkumpul dan membentuk benda padat yang besar. Saat kumpulan angka biner itu menyebar dan menghilang, terlihatlah bentuk asli benda itu.

Skyboard, begitu Altair menyebutnya. Berbentuk seperti Skateboard, namun tidak memiliki roda, melainkan mesin jet yang tertanam di dasarnya.

Altair lalu mengambil Skyboard dan menaruh di atas kakinya, lalu melakukan front flip 180 derajat.

Adegan jatuh bebasnya berhenti sampai disitu. Mereka pun melayang di udara.

"Lalu apa yang kau lakukan?!" tanya Ratu Huban heran. "Sky Diving?"

Sambil menyeimbangkan posisinya, Altair menatap Ratu Huban datar.

"…Aku sedang berfikir…" jawabnya. "..Ah, kau bisa munculkan pistol? Handgun?"

Ratu Huban menatap Altair bingung.

"Eh? Apa kau bilang?"

Sungguh, Altair benci mengulang kalimat yang sama. Kalau ia seorang yang pemarah, kepala bantal itu pasti sudah ia bekukan dari tadi.

"Aku bertanya, apa kau bisa memunculkan Handgun? Beserta amunisinya?"

Ratu Huban mengayunkan payungnya, dan sebuah kotak berukuran sedang muncul di tangan Altair.

"Apa yang ingin kau lakukan dengan itu?"

Altair tidak menjawab, namun langsung terbang ke atas.

"Hei!" panggil Ratu Huban. "Setidaknya bilang terimakasih!"

Tiba-tiba sebuah suara terdengar di dalam kepala sang Ratu.

"Terima kasih, Ratu…"

"Senjata ini… Akan aku pinjamkan pada Mima."

.

Altair turun dari atas Skyboard. Lalu dengan santainya mengambil dan menenteng papan itu di tangan. Pakaiannya compang camping di beberapa tempat, mungkin karena goresan dari ranting pohon atau semacamnya.

"Bagaimana kau bisa selamat? Jurang itu dalam sekali lho?" tanya Mima heran. Tak disangka prediksinya salah.

Altair memiringkan kepalanya dan menatap Mima polos.

"…Aku kesini untuk bertarung. Bukan untuk mati." Ia mengangkat tangannya. Telunjuknya mengarah ke Mima.

"…Lebih baik kita lanjutkan yang tadi. Dan kali ini, aku tidak akan main-main."

Mima tersenyum. Kali ini disertai seringai. Ia pun balas mengacungkan pistol pada Altair.

"Boleh juga semangatmu nak!"

Mima menarik pelatuk.

Dor!

.

.

.
Chapter 2
The Real Fight… Start Now!
.

.

.
[Shoot!]

Altair menembak ke arah peluru yang ditembakkan Mima, menyebabkan ledakan kecil di antara keduanya. Asap putih pun langsung menghalangi pandangan mereka berdua.

Tidak terpengaruh oleh keberadaan asap-asap itu, mengandalkan instingnya, Mima kembali menembak ke arah Altair. Beberapa kali. Namun tak ada perlawanan dari gadis itu.

Barulah saat asap di depannya menghilang, ia sadar bahwa Altair juga menghilang.

"Hah? Dimana dia?"

Mima mencari-cari keberadaan Altair di sekelilingnya. Namun keberadaan gadis itu nihil.

Sambil mempertahankan kuda-kudanya, ia mengawasi daerah sekelilingnya dengan waspada. Gadis itu bisa muncul darimana saja, dengan Skyboardnya. Mima melihat ke atas, namun gadis itu belum juga muncul.

Beberapa menit berlalu namun gadis itu belum juga muncul.

"Lari kemana dia?"

Swuung!

Lagi-lagi sebuah peluru lewat di dekat Mima, membuatnya mengalihkan pandangan ke sumber tembakan. Ia melihat Altair terbang berputar-putar di atasnya. Seperti bermain-main. Mima berusaha menembak Altair. Namun dengan lincah Altair menghindari peluru-peluru itu. Altair lalu melayang turun hingga hampir menyentuh tanah.

Namun sepertinya itu tidak bertahan lama.

Mima tersenyum dan membidik lagi. Kali ini sasarannya adalah papan seluncur menyebalkan itu.

Ctang! Ctang! Ctang!

Tiga tembakan sudah cukup untuk membuat Altair oleng.

Sadar bahwa ia tidak mungkin bisa bertahan, ia langsung memasukkan Skyboard dalam inventory-nya. Dan lagi-lagi ia membiarkan dirinya terjun bebas dan menyentuh tanah dengan wajah terlebih dahulu.

"Ukh!"

Ternyata rasanya sakit juga. Altair membatin sambil mengusap pipinya. Padahal ia tidak jatuh dari ketinggian.

Altair hendak bangkit, namun tangan kanannya seperti ditarik paksa. Saat ia sudah berdiri, Mima sudah menempelkan moncong pistolnya di dahi Altair.
"Menyerahlah…"

Altair menatap Mima dengan tatapan menantang. Ia mengangkat tangan kirinya namun suara Mima terdengar lagi.

"Jangan buat aku melakukan yang lebih dari ini. Menyerahlah, nak."

Altair menunduk.

"Aku…."

Dor!

Ssssshhh….

Asap putih langsung menyelubungi keduanya dan membutakan mata Mima. Sejenak ia lengah, namun ia lega karena masih memegang tangan Altair. Setidaknya gadis itu tidak akan lari lag--.

Bam!

"Akh!"

Mima langsung menarik tangannya, dan melihat bahwa tangannya terbakar. Ia pun langsung menyadari bahwa Altair telah terlepas dari pegangannya.

"Hei! Dimana kau?" panggilnya. "Jangan kabur!"

Asap putih memudar, dan sesuai dugaannya. Altair sudah hilang. Lagi.

Namun Mima menemukan jejak-jejak kaki yang mengarah ke hutan. Sudah jelas itu jejak kaki Altair. Dengan waspada Mima mengikuti jejak kaki itu sambil memegang pistolnya erat.

Lengah sedikit, dan gadis itu akan menembaknya lagi seperti tadi. Kemampuan gadis itu memang tidak bisa di anggap remeh, meskipun sering kabur-kaburan seperti ini.

Sesaat ia merasa seperti sedang bermain petak umpet dengan anak-anaknya.

Setelah masuk ke dalam kawasan hutan, ia melihat ke sekeliling. Sepi seperti tidak ada tanda kehidupan. Ia pun berjalan mengendap-endap tanpa menimbulkan suara

Namun ia yakin bahwa Altair ada di sini. Di suatu tempat. Bisa saja bersembunyi di balik pohon, atau bahkan di atas pohon.

Sayangnya Altair tidak berbakat memanjat.

Tapi ia bisa naik keatas dengan Skyboard-nya. Untung saja ia memasukkan benda itu tepat waktu sebelum benda itu rusak. Hanya penyok di beberapa bagian karena bekas tembakan.

Sejenak Altair lupa mengapa dia bisa di atas pohon, namun setelah melihat Mima mulai masuk ke hutan, ia sadar bahwa ia di tengah pertarungan.

Setelah ia kembali nanti, sepertinya ia akan memperbaiki peluru putihnya ini.

Altair mengeluarkan smartphone-nya. Segera setelah angka-angka binary itu hilang, ia berbisik.

"…Summer.."

Layar smartphone itu pun memunculkan refleksi hologram berbentuk seorang gadis yang berwajah ramah, dengan rambut berwarna peach panjang dan mata berwarna pink. Summer adalah perwujudan digital dari Crysta, klon gagal yang ia musnahkan beberapa hari yang lalu.

{Ya, nona?}

"Analisa keadaan sekitar. Dan juga status amunisiku saat ini." bisiknya.

{Analisa Dimulai}

Altair mengusap pipinya. Masih terasa sakit. Namun ia merasa belum perlu untuk menggunakan alat dari Vega. Sambil menunggu analisa, ia mengeluarkan benda lain. Sebuah plester.

Ia tidak ingat kenapa ada benda seperti ini dalam inventory nya. Namun ia memakainya saja.

{Analisa Selesai.}

Layar hologram muncul di depan Altair, segera setelah gadis itu selesai menempelkan plesternya.

{Saat ini keadaan aman, Nona. Target masih belum menyadari keberadaan Nona.}

Tanpa ambil pusing dengan nada bahasa Artificial Intelegence buatannya yang dirasa terlalu formal, ia langsung ke inti masalah.

"…Dimana dia?"

{Masih dalam radius di atas 500 m, Nona.}

"…Oke…" jawab Altair. "Status amunisiku?"

{Status Amunisi Anda}

{Peluru Biasa : 4}

{Peluru Elemental}
{Merah : 2}
{Orange : 3}
{Biru : 3}
{Hijau : 3}
{Putih : 1}

{Peluru Tidur : 10}

Altair menaikkan alisnya. Kesempatan lari tinggal 1 kali untuk beberapa menit ke depan.

Saatnya untuk keluar dari persembunyian dan menyelesaikan ini.

"…Terima kasih, Summer."

Altair pun memasukkan smarphone dalam inventory-nya. Seketika smartphone itu langsung berubah menjadi rangkaian angka-angka biner yang perlahan memudar.

"Ah… Sebentar…"

Altair pun mengeluarkan perkakasnya. Sepertinya ia akan memodifikasi Skyboard nya sedikit. Dan memberinya program pengubah bentuk. Dan itu tidak makan waktu lama.

Selesai.

Altair pun memakai Skyboard yang telah di modifikasi menjadi sepatu, dan terbang meninggalkan tempat persembunyiannya.

.

.

.
[Final]

Tak disangka-sangka, Altair muncul. Tepat di depan Mima. Mima langsung mengarahkan moncong pistolnya ke arah Altair. Namun gadis itu tidak merasa takut sama sekali. Mata pelanginya menatap Mima lekat, kalau-kalau Mima menembak.

Dan benar saja.

Dor!

Trang!

Lagi-lagi peluru itu terpental sebelum mengenai Altair.

Giliran Altair untuk menyerang balik.

Tanpa berpindah dari posisi sekarang, ia menembak Mima. Namun ibu dua anak itu langsung bersembunyi di balik pohon, menghindari tembakan Altair.

Ia heran untuk kesekian kalinya. Kenapa serangannya dari tadi tidak ada yang kena? Seperti ada dinding baja transparan yang mengelilingi gadis itu.

Mima kembali menembak Altair, otaknya mencari cara untuk memecahkan perisai gadis itu. Namun sepertinya nihil. Ia harus keluar dan mencari tau. Lalu ia melompat dari satu sisi pohon ke sisi pohon yang lain, sambil terus menembak ke arah Altair. Namun tetap saja gadis itu tidak bergeming.

Sampai akhirnya Altair kembali menghilang dari pandangannya. Mima melihat ke atas dan melihat Altair melayang dengan sepatu terbangnya.

Gerakan Altair terlalu mudah di tebak. Mima membatin. Lalu ia menembak ke arah Altair hingga beberapa kali.

Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!

Dengan lincah Altair menghindar lagi. Ke kiri, ke kanan, berputar, front flip, back flip. Lagi-lagi seperti bermain-main.

Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!

Mima mengisi amunisinya dan kembali menembak. Kenapa tidak ada yang kena? Bahkan trik sebelumnya yang membuat Altair sempat terjatuh tadi, tidak ada yang kena.

Altair menembak.

Dor!

Pohon di dekat Mima meledak, membuat Mima terpaksa berpindah ke sisi pohon yang lain.

Dor!

Kali ini pohon itu terbakar. Mima kembali melompat sambil menembak Altair. Lalu bersembunyi di pohon lain. Peluru itu terpental lagi.

Altair menembak lagi. Membekukan pohon di dekat Mima. Lalu menembak peluru merah, membuat pohon tersebut terbakar hebat.

Mima berpindah sambil menembak Altair.

Tembakan demi tembakan di lancarkan, namun semuanya hanya mengenai pohon. Sampai akhirnya peluru Altair telah habis seluruhnya. Yang tersisa hanya peluru Hijau, Putih, dan Peluru tidur.

Altair pun menyadari bahwa hampir seperempat bagian hutan rusak karena ulah mereka. Altair tidak terlalu suka pohon, tapi sebenarnya ia merasa bersalah juga karena menembak pohon-pohon itu.

Ia sadar ia harus mengakhirinya, namun ia masih belum mendapat celah.

Mima berpindah ke sisi pohon yang belum tersentuh peluru Altair. Lalu menembak Altair dari belakang. Altair menghindar, dan dengan kecepatan 300km/jam, ia melesat ke belakang Mima.

Dan saat Mima menyadarinya, semua sudah terlambat.

Dor!

.

.

.

Chapter 3
Intan Permata dan Kematian
.

.

.

[Frozen]

Mima membeku di tempatnya, seluruh tubuhnya diselimuti kristal berwarna hijau transparan. Mulai dari kaki, perlahan membekukan seluruh tubuhnya. Kecuali kepala.

"Eh?"

Altair mendarat di depannya, dan menatap Mima dengan tatapan datar.

"Hei nak. Kau hebat juga."

Iris pelangi Altair menutup.

"…Aku hanya gadis lemah."

Gadis lemah yang di cekoki berbagai macam suntikan dan obat untuk membangkitkan kekuatanku sebagai seorang "Angel".

"…Setelah ini apa yang akan kau lakukan? Membunuhku?"

Altair membuka matanya, lalu menatap iris hijau di depannya.

"Bagaimana dengan keluargamu?"

Mima tertawa getir mendengar pertanyaan Altair. Ia tahu sejak lama, resiko menjadi Mercenary, dikirim ke pelosok dunia untuk menjalani misi sebagai seorang personil S.W.A.T, ditambah lagi pengalamannya di Sol Shefra yang merupakan petualangan antara hidup dan mati. Ditambah lagi ia kehilangan kedua kaki dan sebelah tangannya di final.

Ia sudah lama siap untuk menghadapi kematian, begitu pula dengan keluarganya.

"Mereka sudah siap jika hal seperti ini terjadi…" jawabnya perlahan.

Tapi, Altair belum mau mengeluarkan serangan terakhirnya.

Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada Mima.

"…Ada hal yang ingin kutanyakan…" ujar Altair sambil berkedip polos. Mengingatkan Mima pada Philia.

"…Ya?"

Altair menarik nafasnya.

.

.

.

[Reason (2)]

"Apa…alasan kau bertarung?" tanya Altair. Pertanyaan yang sama dengan yang ia tanyakan pada Shiro. Mima menatap Altair sambil tersenyum lembut.

"Aku bertarung, mencurangi kematian berkali-kali, untuk mewujudkan keinginanku, melindungi sesuatu yang berharga. Sesuatu yang jika jatuh ke tangan yang salah, akan menyebabkan kehancuran. Namun jika ada di tangan yang benar, akan membuat perubahan yang besar untuk membuat dunia menjadi lebih baik."

Altair terus mendengarkan dengan seksama, seperti mendengarkan sebuah dongeng dari ibunya.

"Dan aku sudah meraihnya."

Altair tidak perlu bertanya apa yang dimaksud Mima. Sebuah beladiri mematikan.

Equilibrium.


"Kalau kau, apa alasanmu bertarung?" tanyanya sendu.

Altair bisa melihat kesenduan dalam iris Emerald itu.

"…Aku sendiri punya impian…" jawab Altair. "Kalau untuk mencapainya aku harus bertarung, aku akan melakukannya."

Altair mengangkat tangannya, dan mengarahkan telunjuknya ke dahi Mima.

"…Maafkan aku, tapi aku tidak ingin mengatakannya."

Mima menutup matanya.

"Tidak apa-apa…"

Altair menarik nafasnya, lalu menghembuskannya perlahan.

Sleeping Bullet Mode.

"Selamat tidur, Mima Shiki Reid."

Dor!

.

.

.

[Beautiful Death]

Ratu Huban muncul di belakang Altair dan terkejut saat melihat pemandangan di depannya.

"Astaga!"

Altair menoleh dan melihat gadis berkepala bantal itu mematung di tempatnya. Butuh waktu lama baginya untuk melepaskan pandangan dari tempat Mima terbelenggu. Altair memiringkan kepalanya dan menatap Ratu Huban polos.

"Apa ada yang salah?" tanyanya bingung.

"Kau… hanya mengurungnya? Tidak membunuhnya?" tanyanya heran. "Kalau tidak membunuhnya, kau tidak akan bisa keluar dari sini lho."

Altair mengeluarkan smartphone-nya.

"Summer. Analisa kondisi target."

{Baik, Nona.}

{Analisa dimulai.}

Tak lama kemudian layar hologram muncul di hadapan keduanya.

{Hasil Analisa Target : Mima Shiki Reid}
{Aktivitas Otak : 0%}
{Aktivitas Jantung : 0%}
{Aktivitas Paru-paru : 0%}
{Aktivitas Spiritual : 0%}
{Kesimpulan : Target sudah tewas}

Ratu Huban membaca layar hologram itu dengan seksama. Lalu menatap Altair dengan puas.

"Selamat! Kau telah memenangkan pertarungan!"

Altair tahu itu. Namun berbeda dengan sang Ratu, ia sama sekali tidak merasa puas mendengarnya.

"Hhhh…."

.

.

.

[Disappearance]

Philia masuk ke dalam kamar ibunya dan mendapati bahwa ibunya masih tertidur.

"Mom, bangun!" gadis kecil itu mengguncangkan tubuh Mima. Namun tidak ada respon sama sekali.

"Mom?" raut wajahnya langsung berubah panik. Lalu ia berlari keluar.

"Dad!"

Tak lama kemudian ia masuk lagi dengan mata berkaca-kaca sambil menarik lengan ayahnya.

"Ada apa, sayang?" tanya Weasel Reid, bingung. Philia menunjuk Mima dengan mata berkaca-kaca. "Mom tidak mau bangun, Dad…"

Saat itulah Weasel menyadari bahwa ada yang salah pada istrinya.

"Mima, sweetheart!" Ia menyentuh Mima dengan lembut, namun hasilnya sama. Wanita itu tidak bergerak sedikitpun. Weasel pun langsung membalik tubuh Mima dan memeriksa keadaan istrinya itu.

"Dad, Mom kenapa?" tanya Philia sambil menarik ujung kaos yag dikenakan ayahnya. Airmata mulai turun dari matanya. Ketakutan dan kepanikan terlihat jelas di wajahnya. Namun Weasel tidak menjawab.
Tak lama kemudian tubuh Mima berpendar dan dikelilingi cahaya yang menyilaukan. Philia langsung memeluk ayahnya.
"Mom, Dad, Philia?" Orlick masuk ke dalam kamar dan terkejut melihat tubuh ibunya bercahaya.

"Oh My God, ada apa? Mom? Dad? Philia, apa yang terjadi?"

Tidak ada jawaban. Mereka bertiga hanya bisa menyaksikan tanpa bisa berbuat apa-apa.

Tubuh Mima pun seperti pudar menjadi serpihan-serpihan cahaya. Philia dan Orlick langsung memeluk ayahnya. Mereka terisak. Sementara Weasel menyembunyikan airmatanya sambil mendekap anak-anaknya.

"Dad…"

"Mima…" Weasel meraih serpihan cahaya yang belum lenyap. Ia langsung teringat senyuman Mima, saat wanita itu mengenakan gaun pengantin. Samar-samar ia mendengar suara lembut itu menyapa telinganya.

Aku akan menunggumu, Weasel…

.
.

.

[Epilog : This is Not Over Yet]

Altair membuka kedua iris pelanginya, dan menyadari bahwa ia tertidur di atas meja lab nya. Kertas-kertas yang ia tiduri semalam basah dengan air mata.

"…Ohayou…" gumamnya perlahan. Dengan gontai ia berjalan ke flatnya.

Saat ia sampai di kamar mandi, ia bercermin dan menyadari bahwa keadaannya sangat berantakan. Rambutnya acak-acakan, matanya bengkak, lengan kirinya kotor, dan pipinya basah. Ia langsung meraba pipinya.

"…Basah…"

Altair menutup matanya, mengingat mimpi semalam.

"…Mama…"

"…Papa…"

"…Kuro…"

"…Mima…"

"…Aku akan berjuang…"
End

30 komentar:

  1. Hallo Hallo~

    Yah, kesan pertama: Rapih banget penulisannya, Narasi bagus, kaga ada typo, untuk EYD ane sendiri blom hatam jadi kaga berani komment xD

    Battlenya kurang greget menurut ane sih, tapi ceritanya bagus...

    Beautifull deathnya kurang menurut ane..tapi jujur aja yang pas After battlenya agak ngefeel itu screen keluarganya Mima...

    Nilai : 9 (8,8 dibuletin)

    OC: Rose Vinensine

    BalasHapus
    Balasan
    1. Osu~ makasih udah mampir mas.. XD

      Iya nih belum biasa bikin adegan battle, biasanya bikin adegan romance sih, *sigh

      Makasih komennya mas~... :3

      Sign,
      Lyre Reinn

      Hapus
  2. Kereeeennnn >//<

    Tulisan dan EYD nya rapi, typo kayaknya gak ada. Narasi bagus, battlenya juga bagus. Sama kayak komen di atas, beautiful deathnya kurang kerasa. Paling suka adegan Altair mengendarai skateboard <3

    langsung nilai aja ya~

    8 karena kereeenn

    OC : Anne Ezbari

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaahhh... Makasih... >///<

      Iya nih kesan beautifulnya gak ketangkap... :""

      Makasih udah mampir yaa~~ XD

      Sign,
      Lyre Reinn

      Hapus
    2. Err.... ralat..

      Yang dipake Altair itu Skyboard, modifikasi Skateboard dengan mesin jet.. '-'

      Hapus
  3. "THIS IS SPARTA!!!"

    Mima menendang Altair... -Dan gadis itu terjatuh ke dalam jurang.

    Inilah jawaban dari pertanyaanmu beberapa hari lalu; ceritamu yang kutunggu-tunggu. Keren. Puas. Pace-nya nimat. Walaupun beautiful death-nya kurang, sebagai pembaca newbie saya bilang, 'This is good'.

    Titip 8.
    -GoldenRose-
    OC : Mawar Mulia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaahhhh... XD

      Ternyata ini yang ditunggu... kirain apaan... :'v

      Seneng deh kalo dirimu puas... XD

      Makasih udah mampir~~

      Sign,
      Lyre Reinn

      Hapus
  4. Hmm, saya paling suka bagian akhirnya. Kerasa Mima-nya baru di situ. Sedangkan di pertarungan, Mima entah kenapa kerasa kurang greget.

    Barangkali jika ada yang bisa saya sarankan adalah untuk lebih memperlihatkan perjuangan mati-matian yang dilakukan oleh OC kamu sembari membuat OC lawan tampak sangat-sangat tangguh. Misal, OC kamu sampai cedera sangat parah, kehilangan satu lengan, patah kaki, bercucuran darah hingga hampir tak sadarkan diri. Sehingga dengan demikian, ketegangannya lebih kerasa. Dan jika dalam kondisi demikian OC kamu masih bisa mengalahkan lawan, maka dampak kemenangannya akan lebih epik. Itu saran saya aja sih~ masih banyak trik lain yang bisa digali.

    Ayo nanti jangan lupa ikut bertempur di turnamen utama Battle of Realms 6. Di sana pasti bakal lebih seru karena peserta akan saling berhadapan satu sama lainnya. Pertarungan dua arah, istilahnya.

    Nilai 7++

    - hewan -

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yosh~

      Terima kasih sarannya.. :D

      Saya akan belajar untuk lebih mendalami scene battle lagi... ^^9

      Sign,
      Lyre Reinn

      Hapus
  5. Pembaca punya preferensi berbeda, tapi bagi saya sfx di sini kurang mendukung. Semisal ketika Mima menembak secara beruntun, daripada menulis "Dor!" berkali-kali,bisa diganti dengan deskripsi "rentetan peluru melesat dari moncong pistol Mima"

    Untuk battle seperti komen-komen di atas, kurang greget.

    Saran saya, coba lebih kreatif memanfaatkan skill Altair. Altair punya variasi peluru, bisa saja dimanfaatkan menjadi kombinasi menarik, misalnya peluru biru ditembakan ke kaki lawan dahulu, baru yang merah. Lawannya tidak bisa bergerak dan yang merah pasti kena. Atau bisa juga memakai peluru putih lalu menembak lawan dari balik asap.

    Nilai 7
    OC : Renggo Sina

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh... OC seharusnya Opi.

      Hapus
    2. Osu~ saran diterima ^^/

      Iya belum bisa mainkan efek suara dan baru bikin scene battle, jadi hasilnya gitu..

      Soal variasi serangan akan saya kembangin lagi untuk entry selanjutnya.. (rencananya mau ikut BoR season ini.. :3)

      Makasih udah mampir.. :D

      Sign,
      Lyre Reinn

      Hapus
  6. Potensi B-Dama kurang diexplore.
    Sayangnya disitu, Saya bsa melihat potensi Altair akan sangat nyusahin kalau dia mahir di bagian itu. Dibanding bertameng dengan Natural Shield yg notabene bakal ancur bila berentet.

    Iris pelangi karena korban proyek.
    Menarik, membayangkannya aja udh seru ini.

    Cukup enjoy, eh bkan cukup sih.
    sangat enjoy, nikmatin duelnya.
    Lebih ke arah pertarungan idealisme.
    Beradu senjata, beradu fisik, beradu pikiran, saling bertarung, siapa yang berhak bermimpi dengan keras.

    8 ah saya kasih. Karena kamu sudah merenggut kebahagiaan kecil, sebuah keluarga. :^

    OC: Kaede Hazuki

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yosh~

      Ini karena Altair belum pernah bertarung sebelumnya (kecuali sparring dengan shiro di prolog awal) dan authornya jarang sekali bikin adegan battle seperti ini, jadi skill nya belum tergali sepenuhnya.. tapi saya akan belajar lagi.. ^^

      Iris pelangi nya bukan hasil dari korban proyek, iris pelangi itu alami warisan ibunya.. '-' (lupa di jelasin di char sheet)

      Wah, syukurlah udah puas sama duelnya, :D

      Terima kasih nilainya.. ^^

      Kok kesannya saya jahat banget ya? #plakk #abaikan

      Sign,
      Lyre Reinn

      Hapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. OC: Ghoul :=(D
    Prolognya bagus. Itu baru type bacaan favoritku yang gak bertele-tele di prolognya. To the point banget.

    “Aku ingin melawan orang yang lebih kuat darinya.” (ganti “darinya” dengan “daripada dirinya”)

    Peduli bukan perduli. Napas bukan nafas. Pikir bukan fikir.

    Dan (ga pake koma sebelum kata “dan”). Atau (ga pake koma sebelum “atau”).

    Ke sana (dipisah)

    Paragraph dialog orang yang sama digabung jangan dienter, bikin pusing siapa pembicaranya kalo dipisah.

    Altair—sang tokoh utama perempuan—sama sekali tidak terfikir tentang impian. (em dash).

    Wanita berusia 30-an, berambut hitam pendek, dan beriris hijau (sebelum kata “dan” pake koma, ya.)

    Eh, kenapa ada merek sepatuku di sana >.<

    sejekan?

    Nak (kata sapaan awalan huruf besar).

    Dibandingkan (sambung)

    Aku suka arah pikiran tokoh utamanya yang mau minjemin senjata tuk musuhnya. Ini baru rival ideal, ga pake keroyokan (pesan moral), sama kayak Sanji yang kasih makan dulu musuh-musuhnya yang kelaparan sebelum bertarung. Salut!

    Dialognya aku suka, keren-keren, seperti bahasa manga, hehe. Cool!

    Tapi lay out paragrafnya terlalu lowong, padahal masih bisa 1 paragraf, tapi dah enternya dah berbuat lebih. Terlalu banyak kepisah, meski masih bisa serumah. Banyak… banyak… banyak.

    Tidak bergeming (bergeming: diam. Tapi selalu diartikan “bergerak”, tapi di kamus artinya “diam”).

    Mudah dipahami karena ga banyak istilah ribet, pertarungannya seru, asik dibaca, asik… asiklah. Enjoy reading kayak baca manga. Mengalir banget. Ceritanya juga oke, seru (duh jadi repetisi gini).

    Ceritanya canggih juga, ya. Dari awal ampe ending, aku oke-oke aja. 8…

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah ternyata ada yang menjawab kebingungan saya soal penulisan kata" itu (pikir, napas dll)

      Soal dialog iya saya memang sering lupa ngasi tanda itu dialognya siapa yang ngomong #plakk

      Merek sepatu?

      Sejekan mungkin maksudnya sejenak (maklum ngetiknya kecepetan)

      Altair berpikir gak adil kalo lawannya bertarung tanpa senjata sedangkan dia punya peralatan canggih, (ditambah pedang nya yang gak pernah dia pake, semoga bisa di eksplorasi di BoR nanti :3)

      Yah mungkin gaya penulisan dialognya terpengaruh dari manga ya haha..

      Oke soal paragraf dan penulisan nanti saya belajar lagi.. :3

      Syukurlah kalo enjoy baca ceritanya.. Seenggaknya cerita saya gak malu-maluin banget.. hehe

      Makasih nilainya :3

      Sign,
      Lyre Reinn

      Hapus
  9. Setelah baca entri ini, saya mendapatkan kesan:

    1. Beberapa typo dan susunan paragraf (dialog satu orang yang dipisah).

    2. Sfx "Dor!" yang overdosis. Ganggu banget, saya lebih suka kalau dibikin, "Picu ditekan, pistol menyalak!"

    3. Waktu Altair dikasih tahu kalau dia mati di alam mimpi, dia bakal mati juga di dunia nyata malah gak berkesan apa2 alih-alih kaget atau gak terima.

    4. Pengulangan kata "iris pelangi" yang over.

    5. Karakter Mima malah kayak ibu2 pms, masak nanya dan dibales "Kenapa nanya?" aja langsung ngamuk gaje. Hoh~

    6. Then, Ratu Huban bisa dimintrain bantuan untuk ngeluarin senjata? Kenapa gak sekalian minta buatin lubang selebar 30m dan sedalam 100m dengan dasar batu2 runcing biar Altair langsung meanng dan gak perlu capek. Duh, duh~

    7. Dan Mima berasa lemah banget. Sangat lemah. Padahgal dia mantan anggota SWAT, pny kemampuan beladiri Equilibrium yang bahkan bisa ngebantai satu komplotan mafia cuma seorang diri, apalagi dia udah upgrade kemampuan Equilibrium dari Runner (Attacker) jadi Con (Attacker-Strategist). Dan poola serangan Mima berasa gak ada strateginya. Hambar.

    8. Belum lagi dengan kesinambungan benang merah antar (sub-bab) yang kurang jelas.

    9. Kemunculan cameo juga berasa cuma tempelan. gak ada impact apa2 ke cerita.

    Maka, nilai dari saya ... 4. Selamat.

    OC: Fionn Coileain na Claonai

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yap makasih keripik prosesnya...
      Oke mungkin ada pembelaan dari kritik anda di beberapa poin....

      Typo oke... saya akan latih lagi dan cari referensi...

      Sfx oke... saya akan berlatih lagi...

      Soal peringatan ratu huban yang gak ditanggapi serius sama Altair ya? Di char sheet udah di jelasin bahwa dia orang yang gak peka sama sekali dari luar.. Karakternya yang begitu yang saya tampilkan di sini.. mungkin suasana hatinya gak saya sampaikan untuk menimbulkan kesan itu...

      Penggunaan kata yang over oke.. selanjutnya saya kurangi..

      Aku baca char sheet Mima yang gak suka orang yang gak menghormati orang yang lebih tua.. jadi kata" Altair terkesan gak sopan ditambah nadanya seperti menantang...

      Altair minta Ratu Huban ngeluarin senjata bukan untuk dirinya sendiri lho~ tapi untuk dipinjamkan ke Mima...

      Oke untuk scene adegan battle saya akui masih hambar.. baru belajar soalnya..

      Kupikir antar bab udah jelas tinggal pembaca lagi yang menyambungkannya...

      Cameo Shiro lanjutannya ada saat sub bab Reason (Reason part 1 dan part 2)... Altair sendiri saat sebelum masuk dunia mimpi belum tahu apa alasannya bertarung sementara saat masuk dunia mimpi ia sudah tahu alasannya (yaitu saat ia menutup nata sebelum masuk portal lagi)
      Cameo Kuro cuma menegaskan kalo Altair sudah masuk dunia mimpi (kemungkinan ada plot lain)

      Well balasan saya mungkin itu aja, saya kagum anda bisa melihat apa yang saya bingung kan selama menulis.. ^^

      Sign, Lyre Rein

      Hapus
    2. Suka sama anime dan manga,yah? Kalau, iya, saya gak heran kalau kamu ngebuat karakter kayak gitu, dan bagi saya pribadi buruk.

      Gak peka? Kamu bilang gak peka? Astaga! Orang gila sekalipun aklau udah urusan sama hidup mati ya gentar juga. Ini, cuma karena gak peka, dia gak takut mati? Astaga!

      Intinya bisa dimintain bantuan, kan? Walau untuk siapa saja? Dan kenapa Mima gak bisa minta bantuan juga? Dan kenapa Mima gak dateng ke alam mimpi dengan persenjataan lengkap? Makin jomplang, kan. Jujur, Mima walau gak modal senjata juga, bakal tetep bisa ngelibas. Mima itu kuat, loh. Runner-Up BoR V, udah pernah ngelawan berbagai OC God-Like.

      Dan untuk emosi Mima. Kurang tepat kalau kamu bilang "Berdasar CS, dia benci orang yang gak sopan." Saya udah baca cerita dari author Mima, dan gak terlalu over dalam menyikapi "hal yang tidak sopan" itu. Malah kamu ngebuat Mima dengan kayak gitu, berkesan seperti gadis labil yang sedang pms. Malah Mima harusnya kasian, karena ngeliat lawannya yang begitu muda nanti harus dia bunuh.

      Cameo Kuro atau Shiro tetep gak bikin impact apa2 bagi saya. Cuma sekedar kain tambalan aja biar ceritamu jadi panjang.

      Hapus
    3. Iya saya emang suka hal hal yang berbau jejepangan..

      Altair dari luar terlihat seperti itu... saya cuma lupa menjabarkan emosinya..

      Oke~ kritik anda saya terima..
      Mungkin saya aja yang kurang meriset.... dan pengetahuan Mima saya akui kurang sekali... ^^

      Soal Shiro dan Kuro mungkin pesannya belum nyampe.. '-'

      Hapus
    4. Saya tunggu perkembangannya di BoR VI ... cIAO ;)

      Hapus
    5. Oke~ makasih Kisarannya... ^^

      Hapus
  10. Udah baca, banyak banget sebenernya yang pengen saya tulis di sini. Tapi kukasih per poin aja sebagian yang kurasa paling penting.

    - Diksi berulang. Pembaca kan nggak perlu dikasih tau berkali2, misalnya, kalo MC warna matanya pelangi. Menurut saya yang seperti ini bisa bikin pembaca bisa bosan.

    - Pembagian bab dan subbab agak nggak jelas, saya nggak paham tujuan pembagiannya dan inti per babnya itu apa. Kalo cuma karena pengen dibagi, lebih baik nggak sekalian.

    - Altair pas dikasih tahu bahwa bakal mati ketika di dunia mimpi juga mati, tapi nggak diperlihatkan kaget atau takut sama sekali. Hanya 'okay'? Serius? Seberani apapun, ketika pertama kali dengar fakta itu harusnya diperlihatkan juga reaksinya.

    - Mima nanyain Alstair, dibales "Kenapa bertanya?", apakah menurut situ alasan yang cukup buat ngerubah mood yang awalnya biasa jadi ngamuk2 kayak gitu? ._.

    - Mima tampak lemah, dia habis ngelawan Fatanir yang kekuatannya DEWA banget loh. Masa di sini dia cuma begitu aja? Aku agak nggak suka poin ini tapi okelah, nggak kuanggep mempengaruhi nilai.

    -Saya juga pake sfx, tapi anda terlalu banyak make 'Dor!' dalam waktu yang berdekatan. Lebih enak diganti dengan deskripsi 'rentetan peluru'.

    - 'Oh My God' kamu tulis miring, tapi 'sweetheart' nggak. Bedanya apa? Sebaiknya sih dimiringin semua.

    - Si Altair ini kayak labil. Tadinya bilang nggak punya mimpi, tapi begitu mau pergi eh bilang punya mimpi. Seolah dia tiba2 punya mimpi dari yang awalnya nggak ada sama sekali. How? Aku ngelihatnya kayak ibu2 yang nawar kemurahan, terus cabut, terus dipanggil lagi sama penjualnya ._.

    - "…Aku kesini untuk bertarung. Bukan untuk mati." Ia mengangkat tangannya. Telunjuknya mengarah ke Mima. Best part, dari seluruh entri aku cuma suka bagian ini, haha.

    Saya... cuma sanggup ngasih nilai 4/10

    ~Dreyanata

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah angka 4 kedua... XD

      Sebagian pembelaan mungkin udah ditulis di balasan komen atas..

      Soal italic iya saya lupa karena nulisnya buru" dan balapan sama entry sebelah (Rose Vinensine) dan alhasil dua"nya hancur... '-'

      Soal labil iya di char sheet udah dijelaskan kalau emosinya masih labil... '-'
      Lalu Ratu Huban bilang ia sudah dikasih kesempatan, masa' disia siakan?

      Yah, saya juga suka saat menulis part itu... XD

      Thanks nilai 4 nya.. semoga bisa jadi motivasi buat saya di BoR mendatang..

      Sign,
      Lyre Reinn

      Hapus
    2. Yaudah yg ga dibales, kuasumsikan dah paham ya. :)

      Maaf, ini di-proofread dulu nggak? Sebelum disubmit saranku mending di-proofread, jadi cepet2an itu nggak ada hubungannya sama kualitas cerita. Deadline masih ada tapi malah nggak dimanfaatin itu agak disayangkan.

      Labilnya aneh, soalnya dia dari nggak punya jadi tiba2 punya. Kesan dibuat2nya kerasa. Mungkin bisa ditambah narasi semacam:
      Sebenarnya Altair punya mimpi dalam diri, tapi ia sangsi. Maksud hati ingin berkata tapi ia tak mau mengumbar rahasia. Namun ketika melihat sang Huban melangkah, berpikirlah ia dalam benak, 'Kesempatan akan datang lagikah?'
      atau semacamnya, terserah situ XD

      Ditunggu perkembangannya di BoR 6 :D

      Hapus
    3. Gak sempet di proofread... asal kirim #plakk

      Nah... itu yang ingin saya sampaikan .. mungkin seharusnya saya sampaikan tapi sudah kehabisan kata" duluan #plakk

      Oke terima kasih sarannya... ^^

      Oke.. Insyaa Allaah saya ikut BoR... :3

      Hapus
    4. Lain kali proofread dulu, biar rasanya lebih mantep :) teman ada yang bilang, "Lebih baik ngga ngirim sama sekali drpd ngirim entri yang bahkan aku pun nggak puas."

      Ada waktu buat proofread, harusnya dimanfaatkan XD

      Semangat~

      Hapus
    5. Saya sedia jadi proofread, Mbak. Asal dibayarin pulsa #plak

      Hapus
  11. Entri ringan tapi lumayan menyentuh juga.

    Soal teknis saya rasa mbaknya bisa pelajari lagi ya, jadi tak perlu dikomentari.

    Ya, gimana, entrinya ringan, enjoy dibaca, meski kurang kerasa tapi pas separuh menuju akhir klimaksnya halus. Paling coba variasi gaya narasi aja kalau nanti menulis lagi.

    Nilai dari saya 8 karena Eksekusi kematian ibu Mima mantap.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Zarid Al-Farabi.

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.