AELUVARS
VERSUS
MIMA SHIKI REID
VERSUS
MIMA SHIKI REID
[Tantangan N1]
oleh: Alqoir Elane
---
Salvation
Impian. Sesuatu yang pasti dimiliki oleh setiap manusia. Hasrat dan keinginan untuk sesuatu yang lebih lagi selalu muncul dari jiwa manusia yang tidak pernah puas. Impian tersebut terkadang dapat dicapai, namun banyak pula yang gagal. Tubuh manusia yang terbatas oleh hidup dan mati tidak mampu memenuhi seluruh hasrat jiwa yang tidak terbatas.
"Tik….."
"Tik…..Tik….."
Hujan
mulai turun membasahi bumi. Di atas tanah itu tergeletak sebuah tubuh tak
bernyawa. Seorang perempuan berambut hitam yang panjang, matanya menatap
kosong. Tubuhnya sudah tidak berbentuk lagi. Jari- jari tangannya sudah hilang
entah kemana. Kaki kirinya hampir lepas dari tubuhnya. Tak seorangpun yang tahu
siapa nama wanita itu. Yang mereka tahu hanyalah ia telah mati. Tubuh itu kini
tanpa jiwa, hanya seonggok daging yang kelamaan akan membusuk.
Kin
perlahan membuka mata, terbangun dari tidurnya. Ia mendapati dirinya berada di
sebuah tempat yang asing. Tempat itu berwarna putih, membentang tanpa batas
sejauh mata memandang. Dia tidak ingat mengapa dirinya bisa tiba di tempat itu.
Memori terakhir yang masih tersimpan di benaknya hanyalah namanya. Kin, seorang
wanita berambut hitam panjang dengan pupil hijau, dia memakai baju terusan
berwarna putih, senada dengan kulitnya yang juga putih. Kin melihat ke
sekeliling, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, berharap seseorang muncul di
sana dan menjelaskan segalanya. Rasa takut mulai memenuhi dirinya. Takut akan
kesendirian dalam ruangan itu. Ia bangkit berdiri, berlari tak tentu arah,
mencari seseorang yang akan membawanya pergi dari sana.
"Kin."
"Kin."
Sebuah
suara lembut memanggilnya. Kin tidak menemukan asal suara tersebut.
"Jangan
takut, Kin. Namaku Ratu Huban. Aku adalah orang yang membawamu ke sini."
Suara lembut Ratu Huban menggema di benak Kin.
"D…D…Dimana
ini? Siapa kau? Mengapa aku tidak ingat apa-apa?" Getaran terdengar dari
suara Kin. Mata hijaunya mulai basah oleh air mata. Rasa takutnya semakin
besar, takut karena kekosongan di ruangan itu, takut akan kekosongan batinnya.
"Tutuplah
matamu, Kin. Lalu perlahan- lahan ingatlah."
Mata
hijau Kin perlahan-lahan menutup. Ia melakukan hal yang dikatakan oleh Ratu
Huban. Ingatan demi ingatan mulai kembali, namun tidak sempurna. Ia ingat saat
dirinya mati. Saat ia menjalani kehidupan yang seperti neraka. Ketika dirinya
dijual dan dijadikan pelacur. Setiap potongan ingatan yang kembali
perlahan-lahan mulai terjahit menjadi satu kesatuan oleh benang merah itu.
Kesatuan itu bernama kebencian. Kebencian itu meluap dalam diri Kin perlahan namun
pasti, semakin lama semakin besar dan benang merah itulah penyebabnya.
Mima
Shiki Reid.
Perlahan-lahan
Kin membuka matanya. Mata yang semula lemah itu kini menjadi mata yang
menebarkan kebencian pada Mima. Dialah orang yang membuat hidup Kin seperti di
neraka. Kin melihat ke sekeliling, ruangan berwarna putih tempat dia berada
sudah terganti. Ruangan itu berganti menjadi sebuah langit berbintang, namun
tanpa daratan. Di langit berbintang itu dia melayang bebas bersama dengan
ratusan orang yang memakai pakaian yang sama dengannya. Suara merdu Ratu Huban
digantikan oleh suara lain, seorang lelaki yang bersuara sangat buruk.
"Saudara-saudara,
selamat datang di Memoria. Namaku Y."
Seorang
pria muncul entah dari mana, dan tiba-tiba berada di tengah-tengah mereka. Pria
itu memakai setelan tuxedo lengkap, dengan sepatu pantofel pada kakinya dan
sebuah topeng tanpa wajah melekat pada kepalanya.
"Hei
apa-apaan ini? Cepat keluarkan kami dari sini!" Seorang laki-laki berbadan
besar berteriak pada sosok tanpa wajah itu. Y menoleh kepada laki-laki yang
baru saja berteriak itu lalu menjawab, "Sayang sekali, tuan. Aku tidak
bisa memulangkan kalian semua. Memoria adalah tempat bagi orang-orang yang
sudah mati. Kalian semua berada di sini karena memiliki hasrat yang sangat
kuat, urusan yang belum selesai selagi kalian hidup." Y kemudian
menjentikkan jarinya, sebuah siluet wanita muncul di samping kiri Y, "Dan
hasrat kalian tersebut adalah orang ini, Mima Shiki Reid."
Sontak
seluruh orang yang berada di situ langsung bereaksi. Mereka semua memaki dan
mengumpat pada siluet itu, perempuan yang membuat mereka semua berada di
Memoria.
"Baik
saudara-saudara sekalian. Mohon tenang. Aku tahu kalian semua menyimpan hasrat
yang besar pada wanita ini." Y kembali menjentikkan telunjuk kanannya.
Sosok berikutnya muncul, berdiri di sebelah kanan Y. Y kembali angkat bicara,
"Perkenalkan, yang di sebelah kanan adalah majikanku, R. Dia
akan mengabulkan hasrat terbesar yang belum kalian tuntaskan selama
hidup." Sama seperti Y, R juga memakai topeng tanpa wajah dan setelan
tuxedo hitam lengkap. Yang membedakannya dari Y hanyalah tinggi badannya. R
terlihat seperti anak kecil. Tanpa banyak basa-basi lagi, R mengangkat tangan
kanannya. Seketika itu juga 108 orang di Memoria menghilang. Menyisakan R dan Y
di memoria. "Sayang sekali, Ratu Huban hanya memperbolehkan
penyelesaiannya lewat mimpi." Y mengangkat sedikit topengnya, memperlihatkan
seringainya pada R. R hanya menganggukkan kepalanya untuk membalas perkataan Y,
dan mereka berdua pun hilang dari situ.
Kin
kembali tertidur. Yang diingatnya terakhir kali hanyalah saat R mengangkat
tangannya. Ia mencoba membuka matanya, namun yang dilihatnya hanyalah
kegelapan. Bahkan ia tidak bisa melihat tubuhnya sendiri. Di tengah-tengah
kegelapan itu, suara Ratu Huban kembali terdengar, "Kin, bangunlah. Kau
adalah orang terakhir. Sekarang aku akan mengabulkan keinginanmu untuk bertarung
dengan Mima. Seratus tujuh orang lainnya sudah siap. Pejamkan matamu sekali
lagi. Keluarkan hasratmua yang paling dalam."
Kin
mengangguk dan mengikuti arahan Sang Ratu. Ia memejamkan matanya lagi. Terlihat
bayangan Mima dalam pikirannya. Di sekelilingnya terdapat kota asalnya, tempat
dimana dia mati, beberapa meter di depan pemandangan berubah menjadi sebuah
rumah kecil. Beberapa meter di depannya lagi-lagi pemandangan berubah menjadi
hutan belantara.
Sesaat
kemudian Kin tersadar. Dia tidak berada di dunia nyata. Ratu Huban membawanya
ke dunia mimpi. Gabungan mimpi dari 108 orang di Memoria dan mimpi milik Mima
sendiri. Ia berjalan ke genangan air terdekat untuk melihat sosoknya. Kini
sosoknya bukan lagi Kin. Tubuhnya memang memiliki wajah seperti dirinya dulu,
namun dengan bekas jahitan di mana-mana. Bagian yang disambung dengan jahitan
itu bukanlah bagian tubuhnya yang ia kenali, melainkan tubuh orang lain. Di
kedua lengan dan pahanya tertancap berbagai macam senjata tajam. Dari dalam
kepalanya terdengar teriakan 107 orang lainnya yang meminta kendali atas tubuh
baru mereka.
"Kin,
kau adalah orang terakhir yang masuk ke tubuh ini, sekaligus menjadi kunci yang
membatasi 107 orang lainnya. Sekarang aku sudah memberi kesempatan pada kalian
semua untuk mewujudkan hasrat kalian. Pergunakanlah kesempatan ini sebaik
mungkin dan jangan ada penyesalan lagi." Suara merdu Ratu Huban terdengar
untuk yang terakhir kalinya. Samar-samar terdengar suara lain, suara itu tidak
seperti suara laki-laki atau perempuan dan hanya mengulang-ulang beberapa kata.
"All
of Us, Aeluvars."
"Tik…."
"Tik….Tik…."
Hujan
kembali turun semakin deras, namun derasnya aliran air itu hanya jatuh di
tempat Kin berdiri. Kin menatap ke langit yang sedang menurunkan airnya. Di
seberang sana, di sebuah kota besar dengan gedung-gedung tinggi berdiri Mima
Shiki Reid, dengan seragam SWAT berwarna biru tua.
"Hey,
ngapain bengong di sana, cepat bunuh dia!" Suara-suara mulai muncul dalam
benak Kin.
"Tunggu
apa lagi? Memangnya kau kesini buat berdiri saja?"
Suara-suara
makin keras. Kin menatap ke arah Mima. Tatapan dinginnya dibalas oleh Mima
dengan tatapan yang tidak kalah dingin.
"Hey,
kalau ga bisa naik ke panggung, turun aja sana! Kita semua udah ga sabar
lagi!"
Kin
menutup matanya, mencoba berkomunikasi dengan batinnya.
Terlihat
sebuah panggung yang penuh sorotan lampu. Kin berdiri diatas sana, sementara
orang-orang lainnya berdiri di bawah panggung, yang semuanya serba hitam. Kin
memberanikan diri membuka mulutnya, "Baiklah, jadi siapa diantara kalian
semua yang akan maju duluan?"
"Minggir
kau bocah! Biar aku saja yang naik ke panggung. Biar Tuan Dale ini yang
membunuhnya. Kalian semua tidak akan dapat bagian, hahahahaha!" Seseorang
berjalan dari kegelapan naik ke atas panggung. Ia mengibaskan lengan kanannya
dan menepis pundak Kin, tepisan itu membuat Kin jatuh terjungkal dari panggung
ke dalam kegelapan, berdiri bersama orang lain.
Mata
Aeluvars membuka. Di depannya, Mima sudah berlari, memegang sebuah pisau
tentara dan bersiap menebas leher Aeluvars.
"Aku
tak tahu siapa engkau dan apa maumu di sini, namun kurasa, kau pasti bukan
orang yang bersahabat kan?"
"MIIIMAAAAAA!"
Hujan
berhenti dari semesta mimpi Aeluvars, digantikan oleh sebuah jalan
berkelok-kelok di atas bukit, dimana ada sebuah pagar pembatas jalan yang rusak
tertabrak mobil, dan di bawah jurang, sebuah mobil minibus sedang terbakar.
Dale,
yang sekarang mengendalikan tubuh Aeluvars, menggenggam pisau yang diarahkan
pada lehernya dengan tangan kirinya. Dari tangan itu keluar darah berwarna
hitam. Mima terkejut mendapati serangannya ditangkap begitu saja. Pisau tentara
itu seharusnya dengan mudah memotong jari-jari makhluk mengerikan yang berads
di depannya itu.
"MIIIMAAAAA!
JANGAN BILANG KAU LUPA SUARA INI! KAU SUDAH LUPA APA YANG TERJADI DENGAN
ANAK-ANAKMU DULU?"
Ekspresi
Mima berubah. Raut muka kaget sekarang mulai bercampur rasa takut. Dia teringat
kembali atas peristiwa masa lalunya, dimana anak-anaknya hampir dibunuh oleh
seorang pembunuh berantai yang mengincar anak kecil. Seingatnya, pembunuh itu
telah mati terjatuh dari jurang ketika sedang melarikan diri dengan mobil.
Namun suara yang didengarnya tadi sangat mirip dengan suara pembunuh itu.
"Nampaknya
kau sudah mulai sadar, Mima. Benar sekali, aku adalah Dale, yang kau lempar ke
jurang itu."
"T…T…Tidak
mungkin. Seharusnya kau sudah jatuh ke jurang. Mayatmu sudah hancur
berkeping-keping. Kenapa kau bisa ada di sini? Tubuh itu pasti bukan tubuhmu,
kan?" Suara yang keluar dari mulut Mima menunjukkan ketakutannya.
"Sekarang
aku kembali, Mimaaaa. Sehabis kau, berikutnya giliran anak-anakmu,
hahahahaha!"
Aeluvars
mencabut pisau di lengan kirinya dengan tangan kanannya yang masih bebas. Pisau
karatan itu dihunuskan pada mata kiri Mima. Meski dihantui rasa takut, Mima
masih mampu mengelak ke kanan untuk menghindari tusukan Aeluvars. Kemudian Mima
mengayunkan kaki kanannya untuk menendang tangan kanan Aeluvars yang memegang
pisau. Tendangan itu mematahkan tangan kanan Aeluvars.
"Krek….Krek…."
Tulang-tulang
yang patah dalam sekejap menyambung kembali. Melihat itu Mima melompat mundur
beberapa langkah. Wajah Aeluvars perlahan tersenyum. Senyum itu makin lama
makin lebar, menunjukkan kegilaan sang pemiliknya.
"Hai
kak Mima, masih ingat aku kan?" Suara Dale seketika itu juga berubah
menjadi suara anak remaja laki-laki berusia belasan tahun.
"Jangan
bilang kakak sudah lupa." Aeluvars mencabut sebuah tombak yang menusuk
tangan kirinya.
"Ayo
kita main bunuh-bunuhan seperti dulu lagi." Aeluvars berlari maju dengan
tombak di tangan kirinya. Tusukan demi tusukan dilancarkan ke arah Mima. Dengan
susah payah, Mima menghindari ujung tombak penuh nafsu membunuh itu.
"Teal,
mengapa kau bisa ada di sini? Di mana Dale yang baru saja muncul."
"Dale?
Siapa itu Dale? Aku kesini gara-gara permainan kita dulu belum selesai,
kak." Senyum gila masih menghiasi wajah Aeluvars. Pemandangan sekitar
berubah lagi. Kali ini menjadi sebuah sel tahanan di suatu penjara. Seorang
psikopat bernama Teal, yang ditangkap Mima sewaktu masih menjadi anggota SWAT,
muncul menggantikan kepribadian Dale.
"K…K…Kau…..Seharusnya
kau sudah mati di penjara." Mima terbata-bata. Satu persatu sosok yang
pernah menjadi korbannya muncul di hadapannya. Psikopat berumur belasan tahun
dan maniak pembunuh anak kecil datang kembali untuk membalas dendam padanya.
Mima berkonsentrasi penuh. Dia teringat akan perkataan Ratu Huban saat
membawanya ke alam mimpi. Dimana keinginan yang kuat menjadi kunci untuk
memenangkan pertarungan ini. Dalam pikirannya, gambaran senjata-senjata yang ia
butuhkan muncul satu persatu.
Dua buah
handgun muncul di kedua tangan Mima. Handgun hitam dan putih yang sudah
menemaninya bertahun-tahun. Tanpa menunggu lagi, Mima langsung menembakkan
handgunnya ke arah Teal. Lubang-lubang langsung bermunculan di seluruh mayat
hidup itu. Tak menghiraukan hujan peluru Mima, Aeluvars tetap berlari dan
menyerang bertubi-tubi dengan tombaknya. Mima, yang sudah mengetahui pola
tusukan tombak Teal, menghindarinya dengan mudah. Serangan balasan berupa
pukulan dan tendangan dilancarkan Mima tanpa menunggu Aeluvars beregenerasi.
"Haah….haah….haah…."
napas Mima mulai memburu. Mamtan anggota SWAT itu kini sudah kehabisan tenaga,
setelah dua jam bertarung dengan monster mengerikan yang tak bisa mati.
Aeluvars berdiri beberapa meter di depannya, tak sedikitpun menunjukkan
tanda-tanda akan kalah.
"Adik
Jade……" Kepribadian Aeluvars berganti lagi. Mima sudah tidak tahu lagi
siapa yang sedang dilawannya. Puluhan kali zombie itu berganti jiwa. Ia hanya
tahu pemilik suara yang memanggilnya. Segad, seorang anggota mercenary yang
dikorbankan oleh Jade untuk kesukesan misi mercenary. Ia juga tahu bahwa dulu
Segad jatuh cinta pada dirinya.
"Jade……Weasel……."
Aeluvars mengeluarkan sebuah gergaji mesin yang menancap di tubuhnya.
"Ngiiiiiiiiiing……"
suara gergaji mesin terdengar tepat di samping telinga Mima. Ia mengelak
beberapa sentimetet dari sabetan gergaji Aeluvars. Melihat gerakan musuhnya
yang melambat karena senjata berat, Mima kembali memanggil senjata. Kali ini
yang muncul adala sebuah tongkat besar. Tongat penetralisir sihir yang
dipakainya di BoR V. Dengan satu gerakan halus, Mima memperkecil jarak diantara
mereka, dan memukul kepala Aeluvars sekuat tenaga.
Serangan
Aeluvars terhenti. Tubuhnya terdiam seperti patung.dari mulutnya keluar sesuatu
berwarna putih. Ia tidak dapat menjelaskan apa yang keluar dari mulut Aeluvars.
Yang diketahuinya hanyalah ketika benda putih itu keluar, jari kelingking kiri
Aeluvars terbakar, bersamaan dengan terbakarnya benda putih itu. Raungan suara
Segad terdengar untuk terakhir kalinya, "JAAAAADE!" dan stelah itu
lenyap tanpa bekas. Melihat kejadian yang terjadicdi depan matanya, Mima hanya
bisa terdiam. Benda putih yang baru saja terbakar adalah jiwa Segad dan tongkat
Mima. Dengan kata lain, pukulan Mima tadi telah membunuh Segad.
"Maafkan
aku Segad." Mima membatin dalam hati, menitikkan setetes air mata.
Untuk
urusan kecepatan dan keakuratan gerakan, sang mayat hidup tak mampu mengimbangi
Mima. Dengan mudah pukulan demi pukulan dilancarkan Mima dengan tongkat anti
sihirnya. Jiwa-jiwa penghuni tubuh rakitan Aeluvars mulai terbakar beserta
dengan bagian-bagian tubuhnya setelah dimusnahkan oleh Mima.
Berpuluh-puluh
orang yang mati dihadapannya telah ia bunuh sekali lagi. Mima sudah tidak kuat
lagi. Meskipun diluar tubuhnya menang di atas angin, namun beban untuk membunuh
orang yang sama lagi, membuat jiwanya mulai terkikis. Uraian air mata menetes
di pipinya, menuju ujung dagunya yang lancip.
"Sudah!
Kumohon hentikan semua ini!" Teriak Mima pada wadah jiwa-jiwa
dihadapannya. Air matanya tidak berhenti mengalir.
"Hee….Apa
maksudmu menghentikan semua ini. Kami semua sudah sepakat. Kau lah penyebab
hidup kami menderita." Kepribadian yang kali ini memegang kendali adalah
Jesse, sahabat baiknya saat masih bergabung dengan SWAT.
"Jesse……Maafkan
aku, teman."
"Jangan
panggil aku teman dengan mulut busukmu itu! Kau pikir setelah semua yang kau
lakukan padaku, kau masih berhak memanggilku teman?" Raut muka Aeluvars
berubah. Sorot mata kebencian tampak dari mata hijau dan kuningnya.
"Wanita
jalang, mati kau!" Aeluvars meniru kuda-kuda lawan di depannya. Mima tahu,
bahwa dari dulu Jesse sering memperhatikannya berkelahi, meniru bela dirinya,
meskipun gerakan Jesse jauh dari sempurna.
Aeluvars
maju ke arah Mima, tangan kanannya sudah mengambil ancang-ancang untuk
melakukan serangan. Tanpa menunggu lebih lama, Mima maju kedepan, mengurangi
jarak diantara mereka, dan melancarkan tendangan ke ulu hati Aeluvars. Beberapa
tulang rusuk mayat hidup itu patah dan menyembul keluar, membuat gerakannya
terhenti. Tetapi raut wajah Aeluvars menunjukkan hal yang sebaliknya, dia
tersenyum penuh kegilaan.
"HAHAHAHAHAHA!"
Tangan kanannya yang tadi akan digunakan untuk memukul, sekarang menangkap kaki
kanan Mima. Melihat lawannya meronta-ronta mencoba membebaskan diri, Jesse
tertawa makin puas. Dengan kekuatan penuh, tangan kiri Aeluvars yang sudah
tidak memiliki jari menyikut kaki kanan Mima yang dicengkramnya, dari atas ke
bawah.
"Krek….krek…."
"UWAAAAAAAA!"
Mima
berteriak kesakitan. Tulang kering kaki kanannya patah dan menyembul keluar.
Cengkraman Jesse tidak mengendur. Tangan kirinya masih terus menyikut kaki
kanan Mima yang sudah patah.
"UWAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!"
Teriakan Mima semakin keras menahan sakit yang sangat hebat. Jesse tertawa
dengan sangat puas.
"Rasakan
ini jalang! Setelah kau mengambil semua yang kupunya, sekarang giliranku!
Dimulai dari kaki indah yang kau banggakan ini. HAHAHAHAHAHA!" Darah
mengalir dari kaki Mima yang sudah tidak lurus lagi. Rasa sakit yang amat hebat
membuat Mima hampir tidak sadar.
"Jesse….."
Suara Mima nyaris tidak terdengar lagi. "Kumohon…..maafkan aku….."
"HAH?
Setelah kau merebut Weasel dariku, membakar wajahku dan menghancurkan hidupku,
kau masih berani bilang maaf?"
"Maafkan
aku……karena harus membunuhmu sekali lagi."
Raut
wajah Mima berubah. Ia telah menguatkan hati. Seakan rasa sakit dari kakinya
yang patah hilang sepenuhnya, ia menendang tangan Aeluvars yang mencengkram
kakinya sekuat tenaga. Tendangan itu melonggarkan cengkraman Aeluvars.
Kesempatan ini tidak disia-siakan Mima. Ia mematerialisasi dua buah pisau
tentara, lalu melemparkannya ke arah wajah Aeluvars. Lemparan pisau itu tepat
mengenai kedua mata Aeluvars. Cengkraman pada kaki Mima terlepas karena tangan
yang mencengkramnya beralih mencabut pisau yang menancap di matanya. Kesempatan
ini tidak disia-siakan Mima. Ia melompat sekuat tenaga ke arah lawannya dengan
kakinya yang masih kuat, mematerialisasi dua buah pisau lagi.
Sesaat
kemudian, dua buah tangan penuh jahitan melayang di udara. Mima menebasnya
dengan kedua pisaunya. Tangan yang sudah terlepas dari tubuhnya dengan cepat
membusuk dan menjadi tidak berbentuk lagi.
"Perempuan
sialaaaaan!" Jesse berteriak. Ia sudah tidak bisa apa-apa tanpa kedua tangannya.
"Selamat
tinggal, sahabat. Kuharap kau mau memaafkanku." Sekali lagi, Mima
mematerialisasi tongkatnya, dan melemparnya ke arah Aeluvars.
"UWAAAAAAA!
Wanita jalang! Terkutuk kau Mimaaaaa!" jiwa Jesse keluar dan terbakar
habis. Tubuh tanpa jiwa itu roboh ke tanah.
"Kin….."
"Kin….."
Suara
itu terdengar di telinga Kin. Suara itu bukan suara perempuan ataupun
laki-laki. Suara itu tidak halus dan tidak kasar, namun penuh kedamaian. Kin
mengangkat kepalanya. Di sekelilingnya gelap gulita. Hanya secercah cahaya yang
muncul dari sebuah panggung. Tidak ada lagi suara orang yang berteriak-teriak,
berebut tempat di atas panggung. Kini hanya tinggal Kin seorang dan panggung
itu menantikannya untuk naik ke atas. Perlahan ia melangkah ke panggung, seakan
panggung itu menariknya untuk naik. Tanpa perlawanan, Kin membiarkan panggung
itu menariknya naik.
"Saatnya
kau untuk tampil, Kinara Steille. Kau, sebagai orang terakhir di sini,
lepaskanlah hasratmu kepadaku, biarkan aku yang menerima dan
mengabulkannya."
Kin
mengangguk pelan. Ia sudah berada di atas panggung. Cahaya dari panggung yang
terlalu terang menyinari matanya, membuatnya silau dan menutup mata erat-erat.
Aeluvars
bangkit. Jiwa terakhir mengambil alih tubuh itu. Mima, yang telah kelelahan dan
menahan sakit, memandang putus asa pada lawannya yang masih juga bangkit.
Aeluvars berdiri, berjalan perlahan ke arah Mima yang sudah tidak dapat bergerak.
Ia mematerialisasi sebuah tangan bionik di tangan kanannya, memungut sebuah
pisau dari tanah. Dengan senyuman paling lebar, ia menusuk perut Mima dengan
pisau yang dipungutnya.
"Ughhh........"
Rasa sakit baru mula menjalar ke seluruh tubuh Mima. Kesadaran yang daritadi
dipertahankannya mulai goyah. Perlahan-lahan pandangan Mima kabur dan semuanya
menjadi gelap. Tubuh itu pun perlahan jatuh ke tanah, kehilangan kesadaran
akibat dua buah luka yang menganga lebar.
Mima
terbangun di sebuah tempat yang gelap gulita. Disana tidak ada apapun selain
dirinya, dan sebuah panggung yang bercahaya. Ia tidak ingat apa yang terjadi
dan mengapa dirinya bisa berada di tempat seperti ini. Diatas
panggung itu berdiri seorang remaja perempuan berambut panjang, dengan pakaian
terusan berwarna putih bersih. Dilihat dari posturnya, remaja itu berusia
sekitar enam belas tahun.
"Kakak."
Remaja
itu menoleh ke arah Mima. Memperlihatkan wajahnya yang cantik dan matanya yang
berwarna zamrud.
"Kak
Mima, ayo naik ke sini." Dia tersenyum, mengulurkan tangannya seraya
mengajak Mima berbagi tempat dengannya di atas panggung. Tanpa berpikir
panjang, uluran tangan gadis itu disambut oleh Mima. Keduanya berpegangan
tangan, seolah ada yang mendorongnya, Mima melayang naik ke atas panggung dan
berdiri berdua bersama gadis itu. Segala memorinya muncul begitu menginjakkan
kaki di atas panggung. Tentang kehidupannya di masa lalu, suami dan
anak-anaknya, tentang bagaimana ia bisa berada di dunia mimpi dan bertarung
dengan jiwa orang-orang yang meninggal dihadapannya.
"Kak
Mima. Kakak masih ingat aku kan?" Wajah gadis itu melihat Mima sambil
tersenyum. Yang dilihat merasa kebingungan, sebab di dalam ingatannya yang telah
kemali, wajah gadis di sebelahya tidak pernah muncul sekalipun, tidak seperti
jiwa-jiwa yang dilawannya, Mima tidak tahu siapa anak ini, meskipun
kelihatannya anak ini mengenalnya.
"Maaf,
aku tidak mengenalmu. Mungkin kita pernah bertemu di suatu tempat?" Mima
nampak kebingungan.
"Kakak."
Air mata mulai turun dari wajah cantik gadis itu. "Sudah lama sekali aku
ingin bertemu kakak. Sejak kejadian itu, aku kangen sekali sama kakak."
Sambil menangis, gadis itu memeluk Mima erat-erat. "Rasanya sudah lama sekali
aku ingin bertemu dengan kakak."
Mima
memeluk dan menepuk-nepuk kepala gadis itu. Meskipun dia tidak mengenalnya, ia
tidak tega melihat seorang anak yang menangis di depannya.
"Eh?
Apa ini? Kenapa mendadak aku mengenalnya? Kinara Steille." Mima memandang
heran pada gadis di depannya. Setelah memegang kepalanya, ingatan baru muncul
di kepala Mima. Kinara Steille, seorang remaja polos yang ditemui Mima saat
perang saudara di negaranya dulu. Salah seorang korban perang saudara yang
kedua orangtuanya dibunuh oleh Mima, tetapi si gadis tidak mengetahui hal itu.
Mima telah bersumpah akan merawat Kinara seperti anaknya sendiri, sebagai
bentuk penyesalannya karena membunuh orangtua Kinara.
"K...K...Kinara?"
Air mata kembali tertumpah dari mata Mima. Ia memeluk Kinara erat-erat.
"Maafkan aku. Aku telah membuatmu menderita seperti ini. Akulah yang telah
membunuh kedua orangtuamu. A...A...Aku juga yang telah membunuhmu dengan tangan
ini." Tangisan Mima semakin keras terdengar.
Dengan
ingatannya yang telah kembali, tentu saja Mima juga tahu bagaimana Kinara mati
di depannya, saat mereka berdua dikejar oleh pasukan separatis yang memecah
perang saudara di negara Mima. Saat itu Kinara melindunginya dari rentenan
tembakan dan granat yang mengincar mereka berdua. Kin mendorong Mima menjauh
dari ledakan granat. Dengan mata kepalanya, Mima melihat sendiri tubuh gadis
itu tercerai berai, namun wajahnya tetap tersenyum kepada dirinya.
"Tidak
apa-apa, kak, aku sudah tahu. Ingatanku sudah kembali semuanya. Aku juga tahu bahwa
kakak yang telah membunuh papa dan mama. Sekarang bisa berada di sini bersama
kakak sudah cukup bagiku."
"Kinara...."
Mima mempererat pelukannya, seakan tidak mau lagi dipisahkan dari Kinara.
"Maafkan
aku kak. Tubuh ini hanyalah tubuh pinjaman, dipinjamkan kepada orang-orang yang
memiliki dendam kepada kakak. Termasuk aku. Sehabis meninggal, ingatanku yang
pertama muncul adalah kakak yang membunuh kedua orangtuaku. Karena itu aku bisa
berada di sini bersama dengan orang-orang lainnya."
Panggung
tempat mereka berdua berdiri bersinar makin terang, menghilangkan seluruh
kegelapan di sekitarnya. Pemandangan perlahan muncul dari balik kegelapan.
Pemandangan dengan latar kota yang berantakan di tengah hujan, dan separuhnya
lagi adalah pemandangan halaman rumah Mima. Disana mereka berdua melihat tubuh
Aeluvars yang menusuk tubuh Mima dengan sebuah pisau.
"Terima
kasih kak, karena telah mau memenuhi permintaanku dan semua orang disini."
Satu persatu jiwa orang-orang yang telah terbakar muncul disamping Kinara.
Jumlah semuanya seratus delapan orang. "Sekarang, setelah hasrat kami
semua terpenuhi, saatnya kami semua pulang. Selamat tinggal kakak. Sampai jumpa
lagi di lain kesempatan." Senyum mengembang dari bibir Kinara. Mata
hijaunya yang cantik tidak berhenti mengeluarkan air mata.
"Tidak...Kinara
jangan pergi. Aku...Aku masih ingin lebih lama bersamamu. Kembalilah ke
sini." Mima tidak mau melepaskan pelukannya. Tubuh Kinara mulai terurai
menjadi cahaya-cahaya, bersamaan dengan seratus tujuh orang lainnya.
"Kakak
tidak usah merasa bersalah lagi. Kakak sudah membuatku merasa seperti punya ibu
lagi, meskipun dalam waktu yang singkat. Aku tidak akan melupakan kebaikan
kakak. Aku pamit dulu kakak." Bersamaan dengan selesainya kalimat itu,
seratus delapan jiwa lenyap dari tempat itu.
"KINARAAAAAA!"
Mima menangis tersedu-sedu. Rasa penyesalan bercampur rasa rindu menyatu dalam
batinnya. Setelah semuanya pergi, cahaya yang sangat terang muncul dan semuanya
menjadi putih.
"Tik….."
"Tik…..Tik….."
Mima
merasakan air hujan jatuh membasahi pipinya. Perlahan ia merasakan sakit pada
kaki kanan dan perutnya. Dia telah kembali ke dalam tubuhnya.
"Akh....."
Di perut
Mima tertancap sebuah pisau. Pisau itu menancap cukup dalam, namun tidak
menembus bagian vital. Tubuh yang menancapkan pisau itu telah lenyap menjadi
abu. Kinara telah menyelamatkan nyawanya lagi.
"Dia
menusukku agar bisa mendapatkan waktu bicara denganku." Batin Mima dalam
hati. Mima membiarkan dirinya terlentang di tengah hujan. Air hujan yang
menerpa tubuhnya, menyembunyikan tangisan yang mengalir dari mata Mima.
"Terima
kasih Kinara, dan sekali lagi, maafkan aku." Mima pun menutup matanya.
Epilog
"Kriiiiiiiiing"
Jam weker berbunyi. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Dua orang anak kecil sedang
tidur tanpa mengindahkan bunyi jam weker yang nyaring.
"Orlick!
Phila! Ayo bangun! Nanti kalian terlambat!" Suara teriak terdengar dari
luar kamar.
"Mmmmm....Sebentar
lagi, ma." Orlick menjawab setengah sadar.
"Cepat
bangun! Kutunggu sampai tiga hitungan!" Sesudah berkata demikian, tanpa
menunggu tiga hitungan , pintu kamar Orlick dan Phila telah rusak dihantam oleh
ibu mereka.
"Eeeh?
Katanya sampai tiga hitungan." Kedua anak kecil itu menyahut berbarengan.
"Kalian
berdua! Cepat mandi dan sarapan!"
Orlick
dan Phila berlari untuk mandi, takut ibunya akan semakin marah.
"Haah.
Susah sekali mengatur dua anak ini." Si ibu menggeleng-gelengkan kepala.
"Ya
tapi kau tetap sayang pada mereka kan? Hahahaha." Sang suami muncul dari
belakang.
"Weasel,
jangan mengagetkanku begitu. Tentu saja aku sayang pada keluargaku." Si
ibu tersenyum. "Ayo kau juga cepat makan. Sarapan sudah siap di
bawah."
"Pa,
ma, kami berangkat dulu ya." Orlick dan Phila berpamitan kepada orangtua
mereka dan keluar untuk pergi ke sekolah.
"Kalau
begitu aku juga. Pergi dulu, Weasel." Si ibu mengenakan celana training
dan kaos lengan panjang berwarna biru bertuliskan 'The Running Mama'.
"Kau
mau pergi lagi ke sana? Masih tidak bosan berlari ya?"Weasel menatap ke
arah istrinya.
"Yah,
Mau bagaimana lagi, sudah hobi sih." Istrinya mengecup kening Weasel, dan
pergi keluar untuk berolahraga. Weasel hanya menggelengkan kepala sambil
tersenyum.
"Sifatnya
memang menurun ke anak-anak."
Tak terasa hari sudah mulai siang. Kegiatan komunitas
'Running Moms' sudah selesai. Mima, yang kelelahan berbaring di bawah pohon di
taman dekat situ.
"Kakak mau minum?" Seorang remaja perempuan berambut
hitam mendekati Mima dan menawarkan minum kepadanya.
"Kami sedang promosi minuman energi baru. Silahkan
dicoba." Kata remaja bertopi itu. Mima yang memang sedang kehausan,
mengambil minuman yang ditawarkan dan langsung meneguknya.
"Terima kasih ya. Kau tahu saja kalau aku sedang
haus." Mima tersenyum pada anak itu.anak itu membalas tersenyum padanya,
namun Mima tidak bisa melihat wajahnya.
"Terima kasih kembali, kak Mima."
Mima kaget. Suara itu jelas-jelas suara Kinara. Tapi ketika
dia mencari-cari anak yang menawarkan minuman, anak itu sudah tidak ada disitu.
Mima menaruh botol minuman itu di rumput, sambil berbaring dia tersenyum dan
memandang ke langit biru.
"Terima kasih, Kinara."
Beautiful Death, TAPI GAK NYANGKA ZOMBIE KINARA YANG KHUSNUL KHOTIMAH!!!
BalasHapusAAAHHH, TWIST BANGET. SUKA SUKAAAAAAAA.
Pertarungannya cukup intens. Serasa kayak liat Resident Evil.
Mima udh kayak Jill Valentine, (klo Ada Wong kurang muka2 asia, wkwkwk).
108 Jiwa dijejalkan R dan Y, trus si H alias Huban sebagai pewujud mimpi.
Wajar sih Zombie kan daya berantemnya gk bagus2 banget.
Impactnya dapet, walo agak hambar pas terakhirnya.
Dan endingnya, keren.
Overall saya suka, walau agak hambar di ending (yang ketusuk). Tapi rada ngefeels jga. Gk berdosa tapi berani berkorban.
Nilai?
Hmmm, 10 deh. Twistnya gak nyangka. Serius
OC: Kaede Hazuki
Hmm... jujur, format tulisannya mengganggu cerita yang disampaikan. Terutama perkataan yang terlalu banyak digabung menjadi satu paragraf. Terlalu padat dan sempat mengusir saya dari entri ini.
BalasHapusContohnya seperti perkataan seorang arwah, lalu disambung perkataan tuan Y. Tapi ada juga 3 perkataan Tuan Y yang benar-benar mengganggu karena dipadatkan jadi 1 paragraf.
Terus untuk pemilihan kata, semisal :
"D…D…Dimana ini? Siapa kau? Mengapa aku tidak ingat apa-apa?" Getaran terdengar dari suara Kin.
Kata Getaran terdengar dari suara Kin kurang rapi dan boros kata, coba dengan "suara Kin gemetar".
Overall, cerita yang diberikan bagus, terutama di bagian arwah yang terus berganti. Saya mau kasih nilai 8, tapi penataan kalimatnya tolong di atur lagi supaya memudahkan pembaca.
Nilai : 7
OC : Opi Sang Operator
OC: Ghoul :=(D
BalasHapusBagus prolognya dramatis, memiliki daya seni klasik di prolog kisah yang berkualitas. Suka prolog yang gak kaku kayak gini dan bisa membawa rasa penasaran ke scroll berikutnya.
Suara hujan bukan dialog ga usah pake kutip.
d-d-di mana ini? (pake tanda – untuk kata terputus-putus)
Tuan (ini sapaan, jadi awal huruf besar ya)
Wow ratusan ruh alam 1 tubuh, keren. Bagus ne imaji hehe! Pasti seru lanjut ngescrollnya neh…
Melarikan diri dengan mobil? Artinya lari barengan mobil, dong? Coba cari kalimat yang pantas bagusnya apa.
Keren banget idenya n plotnya seru. Aku baca sambil minum cat kering n enjoy banget sampe si lepi minta entrinya disave aja, Bos. Gituh katanya…
Aku hanya bisa kasih 10 karena suka banget. Maaf ya! :=(D
Ada dua kalimat (kadang lebih) yang digabung jadi satu, mohon dihindari lain kali. Ceritanya Kin ini cukup nyesek, sebenarnya punya dendam sama Mama Mima atau tidak?
BalasHapusPergantian pengendalian Aeluvars bagus, tapi sempet mikir apa nanti terus begini? Dan itu yang beautiful death malah Aeluvars? Plot twist sekali
8 untuk Kin dan 107 jiwa lainnya
OC Rea Beneventum
Subhanalloh.
BalasHapusIni entri yang cukup emosional juga.
Ga bakal komentar battle-nya, karena udah oke untuk cerita ini, yang mau saya bahas lebih dalam lagi adalah karakterisasi Kinara (dalam Aeluvars) sama ibu Mima.
untuk Aeluvars yang merupakan kesadaran kolektif, eksekusinya pas banget. Riset penulis mengenai ibu mima juga saya rasa pas. Saya gak ngerasa dia OOC di sini, dan memang udah pas lah blending si karakter Kinara dengan Ibu Mima.
saya kasih 9. Entri solid.
Salam Sejahtera dari Enryuumaru mewakili Zarid Al-Farabi.
Hmm ... menarik juga. Terkumpul 108 karakter mestinya bisa dapat best ending~ tapi ternyata semuanya kalah oleh seorang ibu-ibu. Komentator yang lain sudah memberikan sejumlah kritik dan saran, saya tambahkan sedikit saja.
BalasHapusDalam setiap narasi, secara otomatis benak pembaca akan langsung membentuk fokus. Siapa yang sedang disorot dalam cerita, settingnya di mana, dan segala halnya. Fokus dan runut ini penting dalam kesinambungan alur bercerita. Bisa cek di paragraf awal [Hujan turun ...] dan paragraf berikutnya [Kin perlahaan membuka mata ...]. Fokus di paragraf pertama adalah tentang sosok mayat wanita yang tak diketahui identitasnya. Tapi di paragraf selanjutnya, pembaca sudah dikasih nama tokoh, yaitu Kin. Bukan hanya itu, pergantian setting tempatnya juga tiba-tiba. Hal ini mengurangi keasikan alur, menurut saya. Coba untuk lebih diperhatikan soal ini~
Saya lumayan suka dengan adegan saat seseorang menghadapi dosa yang dia perbuat di masa lalu. Problemnya, di sini justru Mima-lah yang tampak seperti tokoh utamanya. Mima dapat porsi besar. Sedangkan lawannya, Aeluvars, adalah gabungan dari 108 kepribadian termasuk Kin yang masing-masing muncul hanya sebentar.
Itu aja komentar saya.
Ponten 8-
- hewan -
PS: Hayuk ikutan Battle of Realms 6 yang akan diselenggarakan tak lama lagi xD