Sabtu, 05 Maret 2016

[FBC] 017 - AELUVARS

AELUVARS
VERSUS
MIMA SHIKI REID
[Tantangan N1]
oleh: Alqoir Elane

---

Salvation


Impian. Sesuatu yang pasti dimiliki oleh setiap manusia. Hasrat dan keinginan untuk sesuatu yang lebih lagi selalu muncul dari jiwa manusia yang tidak pernah puas. Impian tersebut terkadang dapat dicapai, namun banyak pula yang gagal. Tubuh manusia yang terbatas oleh hidup dan mati tidak mampu memenuhi seluruh hasrat jiwa yang tidak terbatas.

"Tik….."
"Tik…..Tik….."
Hujan mulai turun membasahi bumi. Di atas tanah itu tergeletak sebuah tubuh tak bernyawa. Seorang  perempuan berambut hitam yang panjang, matanya menatap kosong. Tubuhnya sudah tidak berbentuk lagi. Jari- jari tangannya sudah hilang entah kemana. Kaki kirinya hampir lepas dari tubuhnya. Tak seorangpun yang tahu siapa nama wanita itu. Yang mereka tahu hanyalah ia telah mati. Tubuh itu kini tanpa jiwa, hanya seonggok daging yang kelamaan akan membusuk.

Kin perlahan membuka mata, terbangun dari tidurnya. Ia mendapati dirinya berada di sebuah tempat yang asing. Tempat itu berwarna putih, membentang tanpa batas sejauh mata memandang. Dia tidak ingat mengapa dirinya bisa tiba di tempat itu. Memori terakhir yang masih tersimpan di benaknya hanyalah namanya. Kin, seorang wanita berambut hitam panjang dengan pupil hijau, dia memakai baju terusan berwarna putih, senada dengan kulitnya yang juga putih. Kin melihat ke sekeliling, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, berharap seseorang muncul di sana dan menjelaskan segalanya. Rasa takut mulai memenuhi dirinya. Takut akan kesendirian dalam ruangan itu. Ia bangkit berdiri, berlari tak tentu arah, mencari seseorang yang akan membawanya pergi dari sana.


"Kin."
"Kin."
Sebuah suara lembut memanggilnya. Kin tidak menemukan asal suara tersebut.
"Jangan takut, Kin. Namaku Ratu Huban. Aku adalah orang yang membawamu ke sini." Suara lembut Ratu Huban menggema di benak Kin.
"D…D…Dimana ini? Siapa kau? Mengapa aku tidak ingat apa-apa?" Getaran terdengar dari suara Kin. Mata hijaunya mulai basah oleh air mata. Rasa takutnya semakin besar, takut karena kekosongan di ruangan itu, takut akan kekosongan batinnya.
"Tutuplah matamu, Kin. Lalu perlahan- lahan ingatlah."

Mata hijau Kin perlahan-lahan menutup. Ia melakukan hal yang dikatakan oleh Ratu Huban. Ingatan demi ingatan mulai kembali, namun tidak sempurna. Ia ingat saat dirinya mati. Saat ia menjalani kehidupan yang seperti neraka. Ketika dirinya dijual dan dijadikan pelacur. Setiap potongan ingatan yang kembali perlahan-lahan mulai terjahit menjadi satu kesatuan oleh benang merah itu. Kesatuan itu bernama kebencian. Kebencian itu meluap dalam diri Kin perlahan namun pasti, semakin lama semakin besar dan benang merah itulah penyebabnya.
Mima Shiki Reid.


Perlahan-lahan Kin membuka matanya. Mata yang semula lemah itu kini menjadi mata yang menebarkan kebencian pada Mima. Dialah orang yang membuat hidup Kin seperti di neraka. Kin melihat ke sekeliling, ruangan berwarna putih tempat dia berada sudah terganti. Ruangan itu berganti menjadi sebuah langit berbintang, namun tanpa daratan. Di langit berbintang itu dia melayang bebas bersama dengan ratusan orang yang memakai pakaian yang sama dengannya. Suara merdu Ratu Huban digantikan oleh suara lain, seorang lelaki yang bersuara sangat buruk.

"Saudara-saudara, selamat datang di Memoria. Namaku Y."
Seorang pria muncul entah dari mana, dan tiba-tiba berada di tengah-tengah mereka. Pria itu memakai setelan tuxedo lengkap, dengan sepatu pantofel pada kakinya dan sebuah topeng tanpa wajah melekat pada kepalanya.
"Hei apa-apaan ini? Cepat keluarkan kami dari sini!" Seorang laki-laki berbadan besar berteriak pada sosok tanpa wajah itu. Y menoleh kepada laki-laki yang baru saja berteriak itu lalu menjawab, "Sayang sekali, tuan. Aku tidak bisa memulangkan kalian semua. Memoria adalah tempat bagi orang-orang yang sudah mati. Kalian semua berada di sini karena memiliki hasrat yang sangat kuat, urusan yang belum selesai selagi kalian hidup." Y kemudian menjentikkan jarinya, sebuah siluet wanita muncul di samping kiri Y, "Dan hasrat kalian tersebut adalah orang ini, Mima Shiki Reid."

Sontak seluruh orang yang berada di situ langsung bereaksi. Mereka semua memaki dan mengumpat pada siluet itu, perempuan yang membuat mereka semua berada di Memoria.
"Baik saudara-saudara sekalian. Mohon tenang. Aku tahu kalian semua menyimpan hasrat yang besar pada wanita ini." Y kembali menjentikkan telunjuk kanannya. Sosok berikutnya muncul, berdiri di sebelah kanan Y. Y kembali angkat bicara, "Perkenalkan, yang di sebelah kanan adalah  majikanku, R. Dia akan mengabulkan hasrat terbesar yang belum kalian tuntaskan selama hidup." Sama seperti Y, R juga memakai topeng tanpa wajah dan setelan tuxedo hitam lengkap. Yang membedakannya dari Y hanyalah tinggi badannya. R terlihat seperti anak kecil. Tanpa banyak basa-basi lagi, R mengangkat tangan kanannya. Seketika itu juga 108 orang di Memoria menghilang. Menyisakan R dan Y di memoria. "Sayang sekali, Ratu Huban hanya memperbolehkan penyelesaiannya lewat mimpi." Y mengangkat sedikit topengnya, memperlihatkan seringainya pada R. R hanya menganggukkan kepalanya untuk membalas perkataan Y, dan mereka berdua pun hilang dari situ.

Kin kembali tertidur. Yang diingatnya terakhir kali hanyalah saat R mengangkat tangannya. Ia mencoba membuka matanya, namun yang dilihatnya hanyalah kegelapan. Bahkan ia tidak bisa melihat tubuhnya sendiri. Di tengah-tengah kegelapan itu, suara Ratu Huban kembali terdengar, "Kin, bangunlah. Kau adalah orang terakhir. Sekarang aku akan mengabulkan keinginanmu untuk bertarung dengan Mima. Seratus tujuh orang lainnya sudah siap. Pejamkan matamu sekali lagi. Keluarkan hasratmua yang paling dalam."
Kin mengangguk dan mengikuti arahan Sang Ratu. Ia memejamkan matanya lagi. Terlihat bayangan Mima dalam pikirannya. Di sekelilingnya terdapat kota asalnya, tempat dimana dia mati, beberapa meter di depan pemandangan berubah menjadi  sebuah rumah kecil. Beberapa meter di depannya lagi-lagi pemandangan berubah menjadi hutan belantara.

Sesaat kemudian Kin tersadar. Dia tidak berada di dunia nyata. Ratu Huban membawanya ke dunia mimpi. Gabungan mimpi dari 108 orang di Memoria dan mimpi milik Mima sendiri. Ia berjalan ke genangan air terdekat untuk melihat sosoknya. Kini sosoknya bukan lagi Kin. Tubuhnya memang memiliki wajah seperti dirinya dulu, namun dengan bekas jahitan di mana-mana. Bagian yang disambung dengan jahitan itu bukanlah bagian tubuhnya yang ia kenali, melainkan tubuh orang lain. Di kedua lengan dan pahanya tertancap berbagai macam senjata tajam. Dari dalam kepalanya terdengar teriakan 107 orang lainnya yang meminta kendali atas tubuh baru mereka.
"Kin, kau adalah orang terakhir yang masuk ke tubuh ini, sekaligus menjadi kunci yang membatasi 107 orang lainnya. Sekarang aku sudah memberi kesempatan pada kalian semua untuk mewujudkan hasrat kalian. Pergunakanlah kesempatan ini sebaik mungkin dan jangan ada penyesalan lagi." Suara merdu Ratu Huban terdengar untuk yang terakhir kalinya. Samar-samar terdengar suara lain, suara itu tidak seperti suara laki-laki atau perempuan dan hanya mengulang-ulang beberapa kata.
"All of Us, Aeluvars."

"Tik…."
"Tik….Tik…."
Hujan kembali turun semakin deras, namun derasnya aliran air itu hanya jatuh di tempat Kin berdiri. Kin menatap ke langit yang sedang menurunkan airnya. Di seberang sana, di sebuah kota besar dengan gedung-gedung tinggi berdiri Mima Shiki Reid, dengan seragam SWAT berwarna biru tua.
"Hey, ngapain bengong di sana, cepat bunuh dia!" Suara-suara mulai muncul dalam benak Kin.
"Tunggu apa lagi? Memangnya kau kesini buat berdiri saja?"
Suara-suara makin keras. Kin menatap ke arah Mima. Tatapan dinginnya dibalas oleh Mima dengan tatapan yang tidak kalah dingin.
"Hey, kalau ga bisa naik ke panggung, turun aja sana! Kita semua udah ga sabar lagi!"
Kin menutup matanya, mencoba berkomunikasi dengan batinnya.

Terlihat sebuah panggung yang penuh sorotan lampu. Kin berdiri diatas sana, sementara orang-orang lainnya berdiri di bawah panggung, yang semuanya serba hitam. Kin memberanikan diri membuka mulutnya, "Baiklah, jadi siapa diantara kalian semua yang akan maju duluan?"
"Minggir kau bocah! Biar aku saja yang naik ke panggung. Biar Tuan Dale ini yang membunuhnya. Kalian semua tidak akan dapat bagian, hahahahaha!" Seseorang berjalan dari kegelapan naik ke atas panggung. Ia mengibaskan lengan kanannya dan menepis pundak Kin, tepisan itu membuat Kin jatuh terjungkal dari panggung ke dalam kegelapan, berdiri bersama orang lain.

Mata Aeluvars membuka. Di depannya, Mima sudah berlari, memegang sebuah pisau tentara dan bersiap menebas leher Aeluvars.
"Aku tak tahu siapa engkau dan apa maumu di sini, namun kurasa, kau pasti bukan orang yang bersahabat kan?"
"MIIIMAAAAAA!"
Hujan berhenti dari semesta mimpi Aeluvars, digantikan oleh sebuah jalan berkelok-kelok di atas bukit, dimana ada sebuah pagar pembatas jalan yang rusak tertabrak mobil, dan di bawah jurang, sebuah mobil minibus sedang terbakar.

Dale, yang sekarang mengendalikan tubuh Aeluvars, menggenggam pisau yang diarahkan pada lehernya dengan tangan kirinya. Dari tangan itu keluar darah berwarna hitam. Mima terkejut mendapati serangannya ditangkap begitu saja. Pisau tentara itu seharusnya dengan mudah memotong jari-jari makhluk mengerikan yang berads di depannya itu.
"MIIIMAAAAA! JANGAN BILANG KAU LUPA SUARA INI! KAU SUDAH LUPA APA YANG TERJADI DENGAN ANAK-ANAKMU DULU?"
Ekspresi Mima berubah. Raut muka kaget sekarang mulai bercampur rasa takut. Dia teringat kembali atas peristiwa masa lalunya, dimana anak-anaknya hampir dibunuh oleh seorang pembunuh berantai yang mengincar anak kecil. Seingatnya, pembunuh itu telah mati terjatuh dari jurang ketika sedang melarikan diri dengan mobil. Namun suara yang didengarnya tadi sangat mirip dengan suara pembunuh itu.

"Nampaknya kau sudah mulai sadar, Mima. Benar sekali, aku adalah Dale, yang kau lempar ke jurang itu."
"T…T…Tidak mungkin. Seharusnya kau sudah jatuh ke jurang. Mayatmu sudah hancur berkeping-keping. Kenapa kau bisa ada di sini? Tubuh itu pasti bukan tubuhmu, kan?" Suara yang keluar dari mulut Mima menunjukkan ketakutannya.
"Sekarang aku kembali, Mimaaaa. Sehabis kau, berikutnya giliran anak-anakmu, hahahahaha!"
Aeluvars mencabut pisau di lengan kirinya dengan tangan kanannya yang masih bebas. Pisau karatan itu dihunuskan pada mata kiri Mima. Meski dihantui rasa takut, Mima masih mampu mengelak ke kanan untuk menghindari tusukan Aeluvars. Kemudian Mima mengayunkan kaki kanannya untuk menendang tangan kanan Aeluvars yang memegang pisau. Tendangan itu mematahkan tangan kanan Aeluvars.

"Krek….Krek…."
Tulang-tulang yang patah dalam sekejap menyambung kembali. Melihat itu Mima melompat mundur beberapa langkah. Wajah Aeluvars perlahan tersenyum. Senyum itu makin lama makin lebar, menunjukkan kegilaan sang pemiliknya.
"Hai kak Mima, masih ingat aku kan?" Suara Dale seketika itu juga berubah menjadi suara anak remaja laki-laki berusia belasan tahun.
"Jangan bilang kakak sudah lupa." Aeluvars mencabut sebuah tombak yang menusuk tangan kirinya.
"Ayo kita main bunuh-bunuhan seperti dulu lagi." Aeluvars berlari maju dengan tombak di tangan kirinya. Tusukan demi tusukan dilancarkan ke arah Mima. Dengan susah payah, Mima menghindari ujung tombak penuh nafsu membunuh itu.
"Teal, mengapa kau bisa ada di sini? Di mana Dale yang baru saja muncul."
"Dale? Siapa itu Dale? Aku kesini gara-gara permainan kita dulu belum selesai, kak." Senyum gila masih menghiasi wajah Aeluvars. Pemandangan sekitar berubah lagi. Kali ini menjadi sebuah sel tahanan di suatu penjara. Seorang psikopat bernama Teal, yang ditangkap Mima sewaktu masih menjadi anggota SWAT, muncul menggantikan kepribadian Dale.

"K…K…Kau…..Seharusnya kau sudah mati di penjara." Mima terbata-bata. Satu persatu sosok yang pernah menjadi korbannya muncul di hadapannya. Psikopat berumur belasan tahun dan maniak pembunuh anak kecil datang kembali untuk membalas dendam padanya. Mima berkonsentrasi penuh. Dia teringat akan perkataan Ratu Huban saat membawanya ke alam mimpi. Dimana keinginan yang kuat menjadi kunci untuk memenangkan pertarungan ini. Dalam pikirannya, gambaran senjata-senjata yang ia butuhkan muncul satu persatu.

Dua buah handgun muncul di kedua tangan Mima. Handgun hitam dan putih yang sudah menemaninya bertahun-tahun. Tanpa menunggu lagi, Mima langsung menembakkan handgunnya ke arah Teal. Lubang-lubang langsung bermunculan di seluruh mayat hidup itu. Tak menghiraukan hujan peluru Mima, Aeluvars tetap berlari dan menyerang bertubi-tubi dengan tombaknya. Mima, yang sudah mengetahui pola tusukan tombak Teal, menghindarinya dengan mudah. Serangan balasan berupa pukulan dan tendangan dilancarkan Mima tanpa menunggu Aeluvars beregenerasi.

"Haah….haah….haah…." napas Mima mulai memburu. Mamtan anggota SWAT itu kini sudah kehabisan tenaga, setelah dua jam bertarung dengan monster mengerikan yang tak bisa mati. Aeluvars berdiri beberapa meter di depannya, tak sedikitpun menunjukkan tanda-tanda akan kalah.
"Adik Jade……" Kepribadian Aeluvars berganti lagi. Mima sudah tidak tahu lagi siapa yang sedang dilawannya. Puluhan kali zombie itu berganti jiwa. Ia hanya tahu pemilik suara yang memanggilnya. Segad, seorang anggota mercenary yang dikorbankan oleh Jade untuk kesukesan misi mercenary. Ia juga tahu bahwa dulu Segad jatuh cinta pada dirinya.

"Jade……Weasel……." Aeluvars mengeluarkan sebuah gergaji mesin yang menancap di tubuhnya.
"Ngiiiiiiiiiing……" suara gergaji mesin terdengar tepat di samping telinga Mima. Ia mengelak beberapa sentimetet dari sabetan gergaji Aeluvars. Melihat gerakan musuhnya yang melambat karena senjata berat, Mima kembali memanggil senjata. Kali ini yang muncul adala sebuah tongkat besar. Tongat penetralisir sihir yang dipakainya di BoR V. Dengan satu gerakan halus, Mima memperkecil jarak diantara mereka, dan memukul kepala Aeluvars sekuat tenaga.

Serangan Aeluvars terhenti. Tubuhnya terdiam seperti patung.dari mulutnya keluar sesuatu berwarna putih. Ia tidak dapat menjelaskan apa yang keluar dari mulut Aeluvars. Yang diketahuinya hanyalah ketika benda putih itu keluar, jari kelingking kiri Aeluvars terbakar, bersamaan dengan terbakarnya benda putih itu. Raungan suara Segad terdengar untuk terakhir kalinya, "JAAAAADE!" dan stelah itu lenyap tanpa bekas. Melihat kejadian yang terjadicdi depan matanya, Mima hanya bisa terdiam. Benda putih yang baru saja terbakar adalah jiwa Segad dan tongkat Mima. Dengan kata lain, pukulan Mima tadi telah membunuh Segad.
"Maafkan aku Segad." Mima membatin dalam hati, menitikkan setetes air mata.

Untuk urusan kecepatan dan keakuratan gerakan, sang mayat hidup tak mampu mengimbangi Mima. Dengan mudah pukulan demi pukulan dilancarkan Mima dengan tongkat anti sihirnya. Jiwa-jiwa penghuni tubuh rakitan Aeluvars mulai terbakar beserta dengan bagian-bagian tubuhnya setelah dimusnahkan oleh Mima.
Berpuluh-puluh orang yang mati dihadapannya telah ia bunuh sekali lagi. Mima sudah tidak kuat lagi. Meskipun diluar tubuhnya menang di atas angin, namun beban untuk membunuh orang yang sama lagi, membuat jiwanya mulai terkikis. Uraian air mata menetes di pipinya, menuju ujung dagunya yang lancip.

"Sudah! Kumohon hentikan semua ini!" Teriak Mima pada wadah jiwa-jiwa dihadapannya. Air matanya tidak berhenti mengalir.
"Hee….Apa maksudmu menghentikan semua ini. Kami semua sudah sepakat. Kau lah penyebab hidup kami menderita." Kepribadian yang kali ini memegang kendali adalah Jesse, sahabat baiknya saat masih bergabung dengan SWAT.
"Jesse……Maafkan aku, teman."
"Jangan panggil aku teman dengan mulut busukmu itu! Kau pikir setelah semua yang kau lakukan padaku, kau masih berhak memanggilku teman?" Raut muka Aeluvars berubah. Sorot mata kebencian tampak dari mata hijau dan kuningnya.
"Wanita jalang, mati kau!" Aeluvars meniru kuda-kuda lawan di depannya. Mima tahu, bahwa dari dulu Jesse sering memperhatikannya berkelahi, meniru bela dirinya, meskipun gerakan Jesse jauh dari sempurna.

Aeluvars maju ke arah Mima, tangan kanannya sudah mengambil ancang-ancang untuk melakukan serangan. Tanpa menunggu lebih lama, Mima maju kedepan, mengurangi jarak diantara mereka, dan melancarkan tendangan ke ulu hati Aeluvars. Beberapa tulang rusuk mayat hidup itu patah dan menyembul keluar, membuat gerakannya terhenti. Tetapi raut wajah Aeluvars menunjukkan hal yang sebaliknya, dia tersenyum penuh kegilaan.
"HAHAHAHAHAHA!" Tangan kanannya yang tadi akan digunakan untuk memukul, sekarang menangkap kaki kanan Mima. Melihat lawannya meronta-ronta mencoba membebaskan diri, Jesse tertawa makin puas. Dengan kekuatan penuh, tangan kiri Aeluvars yang sudah tidak memiliki jari menyikut kaki kanan Mima yang dicengkramnya, dari atas ke bawah.

"Krek….krek…."
"UWAAAAAAAA!"
Mima berteriak kesakitan. Tulang kering kaki kanannya patah dan menyembul keluar. Cengkraman Jesse tidak mengendur. Tangan kirinya masih terus menyikut kaki kanan Mima yang sudah patah.
"UWAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!" Teriakan Mima semakin keras menahan sakit yang sangat hebat. Jesse tertawa dengan sangat puas.
"Rasakan ini jalang! Setelah kau mengambil semua yang kupunya, sekarang giliranku! Dimulai dari kaki indah yang kau banggakan ini. HAHAHAHAHAHA!" Darah mengalir dari kaki Mima yang sudah tidak lurus lagi. Rasa sakit yang amat hebat membuat Mima hampir tidak sadar.
"Jesse….." Suara Mima nyaris tidak terdengar lagi. "Kumohon…..maafkan aku….."
"HAH? Setelah kau merebut Weasel dariku, membakar wajahku dan menghancurkan hidupku, kau masih berani bilang maaf?"

"Maafkan aku……karena harus membunuhmu sekali lagi."
Raut wajah Mima berubah. Ia telah menguatkan hati. Seakan rasa sakit dari kakinya yang patah hilang sepenuhnya, ia menendang tangan Aeluvars yang mencengkram kakinya sekuat tenaga. Tendangan itu melonggarkan cengkraman Aeluvars. Kesempatan ini tidak disia-siakan Mima. Ia mematerialisasi dua buah pisau tentara, lalu melemparkannya ke arah wajah Aeluvars. Lemparan pisau itu tepat mengenai kedua mata Aeluvars. Cengkraman pada kaki Mima terlepas karena tangan yang mencengkramnya beralih mencabut pisau yang menancap di matanya. Kesempatan ini tidak disia-siakan Mima. Ia melompat sekuat tenaga ke arah lawannya dengan kakinya yang masih kuat, mematerialisasi dua buah pisau lagi.

Sesaat kemudian, dua buah tangan penuh jahitan melayang di udara. Mima menebasnya dengan kedua pisaunya. Tangan yang sudah terlepas dari tubuhnya dengan cepat membusuk dan menjadi tidak berbentuk lagi.
"Perempuan sialaaaaan!" Jesse berteriak. Ia sudah tidak bisa apa-apa tanpa kedua tangannya.
"Selamat tinggal, sahabat. Kuharap kau mau memaafkanku." Sekali lagi, Mima mematerialisasi tongkatnya, dan melemparnya ke arah Aeluvars.
"UWAAAAAAA! Wanita jalang! Terkutuk kau Mimaaaaa!" jiwa Jesse keluar dan terbakar habis. Tubuh tanpa jiwa itu roboh ke tanah.

"Kin….."
"Kin….."
Suara itu terdengar di telinga Kin. Suara itu bukan suara perempuan ataupun laki-laki. Suara itu tidak halus dan tidak kasar, namun penuh kedamaian. Kin mengangkat kepalanya. Di sekelilingnya gelap gulita. Hanya secercah cahaya yang muncul dari sebuah panggung. Tidak ada lagi suara orang yang berteriak-teriak, berebut tempat di atas panggung. Kini hanya tinggal Kin seorang dan panggung itu menantikannya untuk naik ke atas. Perlahan ia melangkah ke panggung, seakan panggung itu menariknya untuk naik. Tanpa perlawanan, Kin membiarkan panggung itu menariknya naik.
"Saatnya kau untuk tampil, Kinara Steille. Kau, sebagai orang terakhir di sini, lepaskanlah hasratmu kepadaku, biarkan aku yang menerima dan mengabulkannya."
Kin mengangguk pelan. Ia sudah berada di atas panggung. Cahaya dari panggung yang terlalu terang menyinari matanya, membuatnya silau dan menutup mata erat-erat.

Aeluvars bangkit. Jiwa terakhir mengambil alih tubuh itu. Mima, yang telah kelelahan dan menahan sakit, memandang putus asa pada lawannya yang masih juga bangkit. Aeluvars berdiri, berjalan perlahan ke arah Mima yang sudah tidak dapat bergerak. Ia mematerialisasi sebuah tangan bionik di tangan kanannya, memungut sebuah pisau dari tanah. Dengan senyuman paling lebar, ia menusuk perut Mima dengan pisau yang dipungutnya.
"Ughhh........" Rasa sakit baru mula menjalar ke seluruh tubuh Mima. Kesadaran yang daritadi dipertahankannya mulai goyah. Perlahan-lahan pandangan Mima kabur dan semuanya menjadi gelap. Tubuh itu pun perlahan jatuh ke tanah, kehilangan kesadaran akibat dua buah luka yang menganga lebar.

Mima terbangun di sebuah tempat yang gelap gulita. Disana tidak ada apapun selain dirinya, dan sebuah panggung yang bercahaya. Ia tidak ingat apa yang terjadi dan mengapa dirinya bisa berada di tempat seperti ini.  Diatas panggung itu berdiri seorang remaja perempuan berambut panjang, dengan pakaian terusan berwarna putih bersih. Dilihat dari posturnya, remaja itu berusia sekitar enam belas tahun.
"Kakak."
Remaja itu menoleh ke arah Mima. Memperlihatkan wajahnya yang cantik dan matanya yang berwarna zamrud.
"Kak Mima, ayo naik ke sini." Dia tersenyum, mengulurkan tangannya seraya mengajak Mima berbagi tempat dengannya di atas panggung. Tanpa berpikir panjang, uluran tangan gadis itu disambut oleh Mima. Keduanya berpegangan tangan, seolah ada yang mendorongnya, Mima melayang naik ke atas panggung dan berdiri berdua bersama gadis itu. Segala memorinya muncul begitu menginjakkan kaki di atas panggung. Tentang kehidupannya di masa lalu, suami dan anak-anaknya, tentang bagaimana ia bisa berada di dunia mimpi dan bertarung dengan jiwa orang-orang yang meninggal dihadapannya.

"Kak Mima. Kakak masih ingat aku kan?" Wajah gadis itu melihat Mima sambil tersenyum. Yang dilihat merasa kebingungan, sebab di dalam ingatannya yang telah kemali, wajah gadis di sebelahya tidak pernah muncul sekalipun, tidak seperti jiwa-jiwa yang dilawannya, Mima tidak tahu siapa anak ini, meskipun kelihatannya anak ini mengenalnya.
"Maaf, aku tidak mengenalmu. Mungkin kita pernah bertemu di suatu tempat?" Mima nampak kebingungan.
"Kakak." Air mata mulai turun dari wajah cantik gadis itu. "Sudah lama sekali aku ingin bertemu kakak. Sejak kejadian itu, aku kangen sekali sama kakak." Sambil menangis, gadis itu memeluk Mima erat-erat. "Rasanya sudah lama sekali aku ingin bertemu dengan kakak."

Mima memeluk dan menepuk-nepuk kepala gadis itu. Meskipun dia tidak mengenalnya, ia tidak tega melihat seorang anak yang menangis di depannya.
"Eh? Apa ini? Kenapa mendadak aku mengenalnya? Kinara Steille." Mima memandang heran pada gadis di depannya. Setelah memegang kepalanya, ingatan baru muncul di kepala Mima. Kinara Steille, seorang remaja polos yang ditemui Mima saat perang saudara di negaranya dulu. Salah seorang korban perang saudara yang kedua orangtuanya dibunuh oleh Mima, tetapi si gadis tidak mengetahui hal itu. Mima telah bersumpah akan merawat Kinara seperti anaknya sendiri, sebagai bentuk penyesalannya karena membunuh orangtua Kinara.
"K...K...Kinara?" Air mata kembali tertumpah dari mata Mima. Ia memeluk Kinara erat-erat. "Maafkan aku. Aku telah membuatmu menderita seperti ini. Akulah yang telah membunuh kedua orangtuamu. A...A...Aku juga yang telah membunuhmu dengan tangan ini." Tangisan Mima semakin keras terdengar.

Dengan ingatannya yang telah kembali, tentu saja Mima juga tahu bagaimana Kinara mati di depannya, saat mereka berdua dikejar oleh pasukan separatis yang memecah perang saudara di negara Mima. Saat itu Kinara melindunginya dari rentenan tembakan dan granat yang mengincar mereka berdua. Kin mendorong Mima menjauh dari ledakan granat. Dengan mata kepalanya, Mima melihat sendiri tubuh gadis itu tercerai berai, namun wajahnya tetap tersenyum kepada dirinya.
"Tidak apa-apa, kak, aku sudah tahu. Ingatanku sudah kembali semuanya. Aku juga tahu bahwa kakak yang telah membunuh papa dan mama. Sekarang bisa berada di sini bersama kakak sudah cukup bagiku."
"Kinara...." Mima mempererat pelukannya, seakan tidak mau lagi dipisahkan dari Kinara.
"Maafkan aku kak. Tubuh ini hanyalah tubuh pinjaman, dipinjamkan kepada orang-orang yang memiliki dendam kepada kakak. Termasuk aku. Sehabis meninggal, ingatanku yang pertama muncul adalah kakak yang membunuh kedua orangtuaku. Karena itu aku bisa berada di sini bersama dengan orang-orang lainnya."

Panggung tempat mereka berdua berdiri bersinar makin terang, menghilangkan seluruh kegelapan di sekitarnya. Pemandangan perlahan muncul dari balik kegelapan. Pemandangan dengan latar kota yang berantakan di tengah hujan, dan separuhnya lagi adalah pemandangan halaman rumah Mima. Disana mereka berdua melihat tubuh Aeluvars yang menusuk tubuh Mima dengan sebuah pisau.
"Terima kasih kak, karena telah mau memenuhi permintaanku dan semua orang disini." Satu persatu jiwa orang-orang yang telah terbakar muncul disamping Kinara. Jumlah semuanya seratus delapan orang. "Sekarang, setelah hasrat kami semua terpenuhi, saatnya kami semua pulang. Selamat tinggal kakak. Sampai jumpa lagi di lain kesempatan." Senyum mengembang dari bibir Kinara. Mata hijaunya yang cantik tidak berhenti mengeluarkan air mata.
"Tidak...Kinara jangan pergi. Aku...Aku masih ingin lebih lama bersamamu. Kembalilah ke sini." Mima tidak mau melepaskan pelukannya. Tubuh Kinara mulai terurai menjadi cahaya-cahaya, bersamaan dengan seratus tujuh orang lainnya.

"Kakak tidak usah merasa bersalah lagi. Kakak sudah membuatku merasa seperti punya ibu lagi, meskipun dalam waktu yang singkat. Aku tidak akan melupakan kebaikan kakak. Aku pamit dulu kakak." Bersamaan dengan selesainya kalimat itu, seratus delapan jiwa lenyap dari tempat itu.
"KINARAAAAAA!" Mima menangis tersedu-sedu. Rasa penyesalan bercampur rasa rindu menyatu dalam batinnya. Setelah semuanya pergi, cahaya yang sangat terang muncul dan semuanya menjadi putih.

"Tik….."
"Tik…..Tik….."
Mima merasakan air hujan jatuh membasahi pipinya. Perlahan ia merasakan sakit pada kaki kanan dan perutnya. Dia telah kembali ke dalam tubuhnya.
"Akh....."
Di perut Mima tertancap sebuah pisau. Pisau itu menancap cukup dalam, namun tidak menembus bagian vital. Tubuh yang menancapkan pisau itu telah lenyap menjadi abu. Kinara telah menyelamatkan nyawanya lagi.
"Dia menusukku agar bisa mendapatkan waktu bicara denganku." Batin Mima dalam hati. Mima membiarkan dirinya terlentang di tengah hujan. Air hujan yang menerpa tubuhnya, menyembunyikan  tangisan yang mengalir dari mata Mima.
"Terima kasih Kinara, dan sekali lagi, maafkan aku." Mima pun menutup matanya.

Epilog

"Kriiiiiiiiing" Jam weker berbunyi. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Dua orang anak kecil sedang tidur tanpa mengindahkan bunyi jam weker yang nyaring.
"Orlick! Phila! Ayo bangun! Nanti kalian terlambat!" Suara teriak terdengar dari luar kamar.
"Mmmmm....Sebentar lagi, ma." Orlick menjawab setengah sadar.
"Cepat bangun! Kutunggu sampai tiga hitungan!" Sesudah berkata demikian, tanpa menunggu tiga hitungan , pintu kamar Orlick dan Phila telah rusak dihantam oleh ibu mereka.
"Eeeh? Katanya sampai tiga hitungan." Kedua anak kecil itu menyahut berbarengan.
"Kalian berdua! Cepat mandi dan sarapan!"
Orlick dan Phila berlari untuk mandi, takut ibunya akan semakin marah.
"Haah. Susah sekali mengatur dua anak ini." Si ibu menggeleng-gelengkan kepala.
"Ya tapi kau tetap sayang pada mereka kan? Hahahaha." Sang suami muncul dari belakang.
"Weasel, jangan mengagetkanku begitu. Tentu saja aku sayang pada keluargaku." Si ibu tersenyum. "Ayo kau juga cepat makan. Sarapan sudah siap di bawah."

"Pa, ma, kami berangkat dulu ya." Orlick dan Phila berpamitan kepada orangtua mereka dan keluar untuk pergi ke sekolah.
"Kalau begitu aku juga. Pergi dulu, Weasel." Si ibu mengenakan celana training dan kaos lengan panjang berwarna biru bertuliskan 'The Running Mama'.
"Kau mau pergi lagi ke sana? Masih tidak bosan berlari ya?"Weasel menatap ke arah istrinya.
"Yah, Mau bagaimana lagi, sudah hobi sih." Istrinya mengecup kening Weasel, dan pergi keluar untuk berolahraga. Weasel hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Sifatnya memang menurun ke anak-anak."

Tak terasa hari sudah mulai siang. Kegiatan komunitas 'Running Moms' sudah selesai. Mima, yang kelelahan berbaring di bawah pohon di taman dekat situ.
"Kakak mau minum?" Seorang remaja perempuan berambut hitam mendekati Mima dan menawarkan minum kepadanya.
"Kami sedang promosi minuman energi baru. Silahkan dicoba." Kata remaja bertopi itu. Mima yang memang sedang kehausan, mengambil minuman yang ditawarkan dan langsung meneguknya.
"Terima kasih ya. Kau tahu saja kalau aku sedang haus." Mima tersenyum pada anak itu.anak itu membalas tersenyum padanya, namun Mima tidak bisa melihat wajahnya.
"Terima kasih kembali, kak Mima."
Mima kaget. Suara itu jelas-jelas suara Kinara. Tapi ketika dia mencari-cari anak yang menawarkan minuman, anak itu sudah tidak ada disitu. Mima menaruh botol minuman itu di rumput, sambil berbaring dia tersenyum dan memandang ke langit biru.
"Terima kasih, Kinara."


6 komentar:

  1. Beautiful Death, TAPI GAK NYANGKA ZOMBIE KINARA YANG KHUSNUL KHOTIMAH!!!
    AAAHHH, TWIST BANGET. SUKA SUKAAAAAAAA.
    Pertarungannya cukup intens. Serasa kayak liat Resident Evil.
    Mima udh kayak Jill Valentine, (klo Ada Wong kurang muka2 asia, wkwkwk).
    108 Jiwa dijejalkan R dan Y, trus si H alias Huban sebagai pewujud mimpi.

    Wajar sih Zombie kan daya berantemnya gk bagus2 banget.
    Impactnya dapet, walo agak hambar pas terakhirnya.
    Dan endingnya, keren.

    Overall saya suka, walau agak hambar di ending (yang ketusuk). Tapi rada ngefeels jga. Gk berdosa tapi berani berkorban.

    Nilai?
    Hmmm, 10 deh. Twistnya gak nyangka. Serius

    OC: Kaede Hazuki

    BalasHapus
  2. Hmm... jujur, format tulisannya mengganggu cerita yang disampaikan. Terutama perkataan yang terlalu banyak digabung menjadi satu paragraf. Terlalu padat dan sempat mengusir saya dari entri ini.

    Contohnya seperti perkataan seorang arwah, lalu disambung perkataan tuan Y. Tapi ada juga 3 perkataan Tuan Y yang benar-benar mengganggu karena dipadatkan jadi 1 paragraf.

    Terus untuk pemilihan kata, semisal :
    "D…D…Dimana ini? Siapa kau? Mengapa aku tidak ingat apa-apa?" Getaran terdengar dari suara Kin.

    Kata Getaran terdengar dari suara Kin kurang rapi dan boros kata, coba dengan "suara Kin gemetar".

    Overall, cerita yang diberikan bagus, terutama di bagian arwah yang terus berganti. Saya mau kasih nilai 8, tapi penataan kalimatnya tolong di atur lagi supaya memudahkan pembaca.

    Nilai : 7
    OC : Opi Sang Operator

    BalasHapus
  3. OC: Ghoul :=(D

    Bagus prolognya dramatis, memiliki daya seni klasik di prolog kisah yang berkualitas. Suka prolog yang gak kaku kayak gini dan bisa membawa rasa penasaran ke scroll berikutnya.

    Suara hujan bukan dialog ga usah pake kutip.

    d-d-di mana ini? (pake tanda – untuk kata terputus-putus)

    Tuan (ini sapaan, jadi awal huruf besar ya)

    Wow ratusan ruh alam 1 tubuh, keren. Bagus ne imaji hehe! Pasti seru lanjut ngescrollnya neh…

    Melarikan diri dengan mobil? Artinya lari barengan mobil, dong? Coba cari kalimat yang pantas bagusnya apa.

    Keren banget idenya n plotnya seru. Aku baca sambil minum cat kering n enjoy banget sampe si lepi minta entrinya disave aja, Bos. Gituh katanya…

    Aku hanya bisa kasih 10 karena suka banget. Maaf ya! :=(D

    BalasHapus
  4. Ada dua kalimat (kadang lebih) yang digabung jadi satu, mohon dihindari lain kali. Ceritanya Kin ini cukup nyesek, sebenarnya punya dendam sama Mama Mima atau tidak?

    Pergantian pengendalian Aeluvars bagus, tapi sempet mikir apa nanti terus begini? Dan itu yang beautiful death malah Aeluvars? Plot twist sekali

    8 untuk Kin dan 107 jiwa lainnya
    OC Rea Beneventum

    BalasHapus
  5. Subhanalloh.

    Ini entri yang cukup emosional juga.

    Ga bakal komentar battle-nya, karena udah oke untuk cerita ini, yang mau saya bahas lebih dalam lagi adalah karakterisasi Kinara (dalam Aeluvars) sama ibu Mima.

    untuk Aeluvars yang merupakan kesadaran kolektif, eksekusinya pas banget. Riset penulis mengenai ibu mima juga saya rasa pas. Saya gak ngerasa dia OOC di sini, dan memang udah pas lah blending si karakter Kinara dengan Ibu Mima.

    saya kasih 9. Entri solid.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru mewakili Zarid Al-Farabi.

    BalasHapus
  6. Hmm ... menarik juga. Terkumpul 108 karakter mestinya bisa dapat best ending~ tapi ternyata semuanya kalah oleh seorang ibu-ibu. Komentator yang lain sudah memberikan sejumlah kritik dan saran, saya tambahkan sedikit saja.

    Dalam setiap narasi, secara otomatis benak pembaca akan langsung membentuk fokus. Siapa yang sedang disorot dalam cerita, settingnya di mana, dan segala halnya. Fokus dan runut ini penting dalam kesinambungan alur bercerita. Bisa cek di paragraf awal [Hujan turun ...] dan paragraf berikutnya [Kin perlahaan membuka mata ...]. Fokus di paragraf pertama adalah tentang sosok mayat wanita yang tak diketahui identitasnya. Tapi di paragraf selanjutnya, pembaca sudah dikasih nama tokoh, yaitu Kin. Bukan hanya itu, pergantian setting tempatnya juga tiba-tiba. Hal ini mengurangi keasikan alur, menurut saya. Coba untuk lebih diperhatikan soal ini~

    Saya lumayan suka dengan adegan saat seseorang menghadapi dosa yang dia perbuat di masa lalu. Problemnya, di sini justru Mima-lah yang tampak seperti tokoh utamanya. Mima dapat porsi besar. Sedangkan lawannya, Aeluvars, adalah gabungan dari 108 kepribadian termasuk Kin yang masing-masing muncul hanya sebentar.

    Itu aja komentar saya.

    Ponten 8-

    - hewan -

    PS: Hayuk ikutan Battle of Realms 6 yang akan diselenggarakan tak lama lagi xD

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.