oleh : Naer Sisra
.
.
.
Keriutan lantai besi tua ruangan ini terdengar setiap ia bergerak. Aroma apak dan karat terkuar di udara, membuatnya sedikit tidak nyaman. Penerangan di tempat ini sangat redup, didominasi warna biru pucat dan beberapa bolham kuning temaram yang sudah ketinggalan zaman. Ia tak pernah tahu kalau di bawah ruangan kesehatan sekolahnya ada laboratorium rahasia.
Rahasia, kedengarannya keren dan misterius.
Nyatanya ruangan ini tidak terurus, berantakan, dan kuno. Tidak ada keren-kerennya sama sekali. Walaupun demikian, suara mesin yang menyala di kejauhan membuktikan kalau tempat usang ini masih berfungsi. Setidaknya itu yang ingin Ulrich Schmidt yakini.
Bocah halfling bertanduk gading itu berdiri di depan sebuah alat berbentuk kapsul. Cukup besar untuk dimasuki orang dewasa. Walaupun asap-asap yang keluar dari dalam alat itu membuat Ulrich khawatir.
"Masih lama?" Tenornya pecah karena serak setelah setengah hari tidak bersuara sama sekali, bocah berkacamata itu lalu berdeham, "Apa alatnya belum siap, Profesor Benedict?"
Seorang elf paruh baya berjas putih hanya melambaikan tangan tanpa berbalik ke arah Ulrich, tandanya ia tengah berada dalam mode tak bisa diganggu. Sesekali Profesor Benedict menggaruk rambut yang setengah populasinya sudah menjadi uban, nampak gusar dan tergesa-gesa. Ulrich memang baru mengenal Profesor Benedict selama dua minggu belakangan, namun beliau adalah insan yang tenang dan selalu berkepala dingin. Melihat orang seperti itu gelisah, artinya bukan kabar baik.
"Sebentar lagi selesai kok," suara sayu itu terdengar amat pelan bahkan dari jarak dekat. Nona Yvette, undine wanita yang wajahnya tembus pandang karena tersusun dari air, tersenyum dengan canggung. Berkali-kali ia menguras ujung lengan jas labnya karena basah—yang mana percuma karena alasan yang amat jelas.
"Oh," jeda sejenak, kemudian Ulrich mengangguk.
Ia tak bisa duduk tenang menonton dua orang dewasa berjas putih itu mengutak-atik mesin tua karatan di ruangan ini. Namun iapun tak bisa membantu mereka, semua persiapan ini membuatnya gugup. Kekhawatiran Ulrich tidak semuanya berasal dari mesin-mesin yang suaranya seperti tengah berusaha bertahan dari kerusakan umur, tapi kondisi di atas sana, di permukaan.
Pikirannya kembali pada keluarganya; ayah, ibu, dan ketiga saudaranya. Pada kejadian dua minggu lalu, saat semua orang menjadi 'boneka'.
Ulrich menggeleng kuat, berupaya melepaskan ingatan itu untuk sementara dan menggantinya dengan acara menatap kapsul berasap di hadapannya. Ternyata cukup sulit dilakukan, karena matanya terasa amat berat hingga kapsul berasap pun terlihat begitu menggoda untuk dijadikan tempat istirahat. Dua minggu terakhir ini ia tak bisa tidur nyenak tanpa rasa waswas. Hal ini tak pernah terjadi sebelumnya, well... sebelum ia mengetahui kalau seseorang bisa diserang lewat mimpi dan mati karenanya. Ulrich tak boleh tidur sekarang—setidaknya sebelum alat ini siap.
"Krooookkk," koakan panjang nan serak membuatnya terperanjat, lalu sedetik kemudian Ulrich mendengus lega.
"Aku sampai lupa padamu, Fernando," ujar Ulrich ketika melihat kodok merahnya tengah terbang rendah dengan sayap putih yang mungil, "apa kau lapar?" Tanya Ulrich seraya meraup kodok terbangnya dalam genggaman tangan. Ia baru ingat kalau Fernando belum makan apapun dari kemarin.
"Masuk angin? Mungkin makan yang hangat-hangat saja ya hari ini," ucap Ulrich seraya menghembuskan napas hangat berwarna merah yang langsung disedot oleh Fernando dengan rakus. Tingkah kodok itu terlihat begitu konyol hingga membuat wajah si bocah halfling menjadi lebih tenang.
Suara daya listrik meninggi di kejauhan, penerangan menjadi benderang dengan mendadak. Membuat mata hijau bocah Schmidt itu mengerjap berkali-kali sebelum ia terbiasa dengan silaunya ruangan ini. Fernando berkoak panik seraya melompat ke lipatan kupluk Ulrich dengan tergesa. Lantai besi bergetar pelan, lalu seluruh ruangan ini berguncang untuk beberapa jenak sebelum mereda. Intensitas cahaya perlahan menurun, membuat ruangan ini menjadi dapat dilihat tanpa menyipitkan mata.
"Ugh, tidak ada peringatan sama sekali," Ulrich mengeluh, sedangkan Profesor Benedict hanya mendengus.
"Keluhan tak akan membawamu ke mana-mana, nak," Profesor Benedict mengurut pelipisnya, kerutan di keningnya menunjukkan kalau penggunaan otaknya terlalu berlebihan, "kapsul mimpi sudah selesai dikonfigurasi, harusnya ada test drive dua kali dalam satu minggu. Tapi kita tak punya banyak waktu, setiap detiknya berharga."
Ulrich mengangguk. Profesor Benedict tak punya pilihan lain karena hanya bocah ini seoranglah yang dapat menggunakan kapsul mimpi, lagipula mereka tak punya waktu satu minggu.
"Kita sudah membahas ini dari kemarin, Profesor, aku mengerti," Ulrich menghembuskan napas pelan. Ekspresi wajah Profesor Benedict yang biasanya kaku kini tercemar sedikit keraguan.
Schmidt muda mengerti, kalau ia hanyalah seorang remaja lima belas tahun yang kebetulan memiliki gelombang otak yang cocok dengan kapsul mimpi. Hanya dirinya sendiri dari tiga orang di ruangan ini yang bisa berkelana dalam dreamscape dan hal ini tentunya tidak menjamin keberhasilan ideal rencana Profesor Benedict. Walaupun demikian, tekad Ulrich sudah bulat. Karena hanya ini satu-satunya cara untuk menghentikan kegilaan di permukaan sana.
Profesor Benedict menghembuskan napas berat. Cukup keras hingga asistennya, Yvette, sampai terperanjat di tempat.
"Mengirimkan anak seusiamu untuk menyelesaikan masalah orang dewasa, rasanya...," Profesor Benedict tidak menyelesaikan ucapannya, ia hanya menggeleng pelan seraya mengisyaratkan agar Ulrich segera masuk ke dalam kapsul, "Yvette, pastikan kalau kenop penutup kapsul masih berfungsi, kita tak pernah tahu kapan mesin tua ini akan bertingkah. Aku tak ingin tiba-tiba kaca penutup kapsul menjeblak terbuka dengan sendirinya."
Profesor Benedict dan Yvette sibuk dengan beberapa persiapan akhir, sedangkan Ulrich melompat masuk dalam kapsul, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk membantu dua orang tersebut. Suhu di dalam sini ternyata lebih dingin, hal itu membuat Ulrich meringis karena sekarang ia hanya menggunakan celana pendek. Well, setidaknya sweater hijau yang ia kenakan cukup membuat torsonya hangat.
Hangat...
Hm, kalau dipikir-pikir sudah cukup lama ia tak merasakan hangatnya cahaya matahari. Sudah lebih dari satu minggu ia menghabiskan waktu di saluran air bawah tanah bersama dua orang dewasa ini. Lari dari kejaran aparat bersenjata dari satu tempat ke tempat lainnya nyaris tanpa istirahat, setidaknya sampai kemarin. Saat tiba di laboratorium bawah tanah milik Profesor Benedict, mereka bisa rehat barang sejenak.
Ia berbaring di kapsul ketika asap-asap putih disedot keluar, membuatnya bisa sedikit relaks. Tak ada yang dapat ia lihat kecuali langit-langit kotor yang terbias cahaya biru pucat yang dingin. Yvette berdiri di samping kapsul, wajahnya menunjukkan... entahlah, sulit untuk melihat ekspresi wanita undine itu kerena seluruh tubuhnya selalu beriak, bahkan ketika diam.
Namun Ulrich tahu kalau wanita itu khawatir—oh Yvette selalu khawatir, tapi kali ini kekhawatirannya bukan karena masalah remeh seperti yang sudah-sudah. Tapi sesuatu yang mungkin akan memutus tali kehidupan bocah lima belas tahun ini di dreamscape nanti. Ulrich hanya tersenyum seraya mengusap tanduk gading di pelipisnya, hal itu selalu bisa mengusir rasa ansietas barang sekejap.
"Aku baik-baik saja Nona Yvette," walaupun jelas sekali kalau ia tidak dalam keadaan baik, "Oh ya, Profesor Benedict kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyalahkan siapa-siapa," untuk apapun yang akan terjadi kelak setelah ia tertidur.
Bahkan Yvette yang ekspresinya sulit ditebak kini terlihat ingin menangis. "Kau anak yang baik, Richie."
Ulrich tersenyum tipis, "Entahlah soal anak baik itu, Nona Yvette. Tapi, terima kasih." Kesenyapan menyergap, hanya dengung mesin dan detik jam dinding tua yang terdengar. Tak ada yang bicara, semuanya menunggu beberapa saat untuk berdiam diri sebelum misi ini dimulai.
"Kau siap?" Ulrich tak dapat melihat Profesor Benedict dari dalam sini, tapi ada getaran aneh dalam suaranya.
"Siap."
Suara keriutan karat terdengar ketika kaca penutup kapsul bergerak. Pemandangan di luar sana terdistorsi oleh kaca yang retak, membuat Nona Yvette yang berdiri di samping kapsul terlihat konyol. Mungkin saja Ulrich akan tertawa jika keadaannya tidak seperti saat ini.
Suhu di dalam kapsul perlahan menghangat, napasnya menjadi pelan dan teratur, tubuhnya menjadi sangat rileks hingga pelupuk mata terasa begitu berat. Sudah lama ia tak merasa sengantuk ini dan dua detik kemudian Ulrich sudah tertidur pulas.
.
.
.
"Dia sudah tertidur," Yvette menggigit ujung jempol airnya dengan gusar, undine itu menatap Profesor Benedict dengan tatapan nelangsa. Sedangkan yang ditatap hanya menggeleng pasrah.
"Kau sendiri tahu Yvette, hanya dia yang bisa masuk ke wilayah orang itu," ucap Profesor Benedict, pria setengah baya itu duduk merosot di kursi putarnya seraya menatap ke layar besar di hadapannya. Tempat ia bisa mengawasi apapun yang akan dimimpikan si bocah halfling.
"Tapi..."
"Aku tahu, kita telah berbohong kalau hanya dia yang bisa masuk ke dreamscape lewat kapsul mimpi," bariton itu terdengar lemah, seakan-akan telah kehabisan tenaga karena rasa bersalah yang menumpuk. Yvette menatap punggung kursi Profesor Benedict, ia membuka mulut hendak mengatakan sesuatu namun ia mengatupkannya lagi. Ia tak bisa berkata-kata, ia juga merasa bersalah.
"Kita berdua bergelombang alpha," ucap Profesor Benedict pelan, "kau butuh gelombang yang sama dengan orang itu untuk menyusup ke dalam mimpinya." Profesor Benedict mengetuk jari telunjuknya di meja, menunggu layar putih di hadapannya menunjukkan citra mimpi bocah lima belas tahun tersebut.
"Anak yang unik," ucap Yvette sembari mengelus kaca kapsul dengan iba, "sayang sekali gelombang otaknya senada dengan orang itu, bagaimana ia bisa memiliki gelombang yang sama? Rasanya tak pernah ada warga sipil yang memilikinya tanpa pelatihan khusus."
"Alami atau mungkin..., ah tapi mustahil," celetuk Profesor Benedict. Elf tua itu menopangkan dagu pada dua tungkup telapak tangannya, menatap layar putih dengan cemas dan gelisah.
"Dan kita mengirim anak malang itu untuk membunuh seseorang," Yvette menggelengkan kepalanya, "aku tak pernah semalu ini dalam hidupku, Profesor."Dua orang itu diam dibawah tekanan atmosfer canggung. Profesor Benedict hanya mendesah seraya berbalik pada asistennya.
"Kita tak bisa mundur sekarang, hanya ia Delta yang kita punya."
.
.
.
"Reveiers."
Bisikan lembut bergaung di telinganya, amat dekat namun suaranya terdengar jauh. Ulrich merasa kalau tubuhnya mengambang di tempat yang begitu terang, entahlah darimana ia bisa merasa yakin padahal matanya masih tertutup rapat. Ulrich ingin terus tidur, namun bisikan itu membuatnya penasaran. Kelopak matanya bergerak membuka dengan pelan, lalu ia mengerjap beberapa kali karena intensitas cahaya yang benar-benar kuat.
Ulrich mengangkat kacamatanya hingga ke kening, sedangkan sebelah tangan yang lain mengusap kedua matanya yang terasa pegal. Perlahan ia merasa kalau kakinya telah memijak sesuatu yang keras, setidaknya ia tahu kalau serkarang dirinya tidak mengambang.
Hal pertama yang didengarnya adalah suara denting bel lonceng yang biasanya ada di resepsionis hotel, disusul hembusan angin hangat yang berlalu satu kali seakan hanya numpang lewat. Hamparan putih sepanjang mata memandang, hanya itu yang bisa ia lihat ketika ia membuka matanya. Kehampaan tiada ujung, Ulrich bahkan tak yakin apakah ia tengah berdiri di atas kaca tembus pandang karena di bawah kakinya pun hanya hamparan putih.
Namun perlahan-lahan Ulrich menyadari kalau hamparan putih ini seperti tengah bergerak. Seperti saat melipat kertas yang berbeda warna tiap sisinya, putih dan warna lainnya. Putih melipat diri digantikan warna lain seperti efek domino yang perlahan-lahan membentuk suatu pemandangan baru, sekotak demi sekotak, membuat hamparan hampa dihadapannya ini berubah menjadi tempat yang sama sekali tidak ia kenali.
Ia tengah berdiri di pucak tangga pualam yang menunjukkan pemandangan ballrom bernuansa klasik di bawah sana. Lampu-lampu kristal benderang dengan kerlip mewah membiaskan cahaya warna-warni hangat ke atap yang berhiaskan kaca mosaik yang disusun sedemikian rupa hingga membentuk pemandangan desa tepi hutan yang bernuansa hijau, berbeda sekali kesannya dari Piltover yang didominasi warna metal baja. Meja-meja bundar beralaskan tapestri elegan disusun melingkari lantai dansa yang berukirkan lambang... entahlah... bintang raksasa?
Pemandangan di hadapannya benar-benar formal hingga membuat Ulrich tidak nyaman. Pasalnya yang ia kenakan sekarang sama sekali tidak cocok untuk pesta dansa. Sweater hijau terang dan celana levis pendek yang digulung hingga atas lutut. Terlalu santai untuk tempat berkelas ini. Lalu ia ingat kalau dirinya punya misi tersendiri dalam dreamscape ini.
Yeah, misi asasinasi.
Masalah pakaiannya tadi jadi terkesan konyol. Akan terdengar lebih konyol lagi kalau bocah halfling yang kesehariannya mengurus kappa di danau pinggir sekolah, merasa bisa menjalankan tugas ini.
Terlalu percaya diri? Tidak. Tolol lebih tepatnya.
Ulrich tidak membawa apapun, alat yang dapat membantunya melakukan tugas asasinasi. Ia ingat perkataan Profesor Benedict kalau di dunia mimpi ini Ulrich bisa memunculkan benda yang ia miliki, benda yang familiar, hanya dengan memokuskan pikiran.
Dalam sekejap di pinggangnya bertengger pistol paintball miliknya yang selama dua minggu ini menjadi senjata utamanya. Tangan kanannya langsung terselimuti oleh sebuah sarung tangan metalik yang memiliki sensor di setiap ujung jari, sebuah bubble compresor. Dan yang paling konyol namun paling krusial adalah sebuah peniup gelembung sebesar spidol whiteboard yang dikalungkan di leher.
"Kroook?"
"Huh? Kok kau ikutan muncul, Fernando?" Si katak merah bersayap miliknya terbang di depan muka, Ulrich segera menyelipkan si kodok dalam lipatan kupluk sweaternya, "setidaknya sembunyilah di sana."
Aneh rasanya ketika kau bermimpi dan sadar tengah berada di dalamnya. Mungkinkah ini efek dari kapsul mimpi? Lucid Dream—mimpi nyata. Yeah, mimpi pertamanya dalam lima belas tahun ini benar-benar menggelikan.
Jadi sepertinya sekarang yang bisa ia lakukan hanyalah mendunggu sampai target masuk ke—
"Hm hm... menarik."
—oh lupakan.
Ulrich terperanjat ketika mendengar gumaman bernada playful yang berasal dari lantai dasar. Bocah bersurai sewarna dadu itu mencengkeram pegangan tangga pualam dengan erat ketika melihat sosok yang tengah bergumam.
Pria elf bertubuh tegap dan tinggi, dibalut blazer hitam rapi berkemeja putih dengan dasi... yang agak norak, bling bling bintang galaksi. Terlepas dari dasi konyol itu, penampilan elf setengah baya itu bisa dibilang dandy. Dengan rambut hitam yang pangkalnya sudah memutih disisir klimis ke belakang dengan banyak sekali minyak rambut, membuatnya makin gemilang.
Satu yang Ulrich tahu, elf itu adalah targetnya.
Oliver Nightchild, si Marionetter.
"Ck ck ck...," decakan Oliver bergaung di lantai dansa, "Ben, Ben, Ben! Astaga, harusnya aku tahu kalau si nerd itu punya kapsul mimpi cadangan di suatu tempat. Malam ini aku benar-benar sial."
Si tua Oliver mendengus keras, bahkan kesannya diperbesar berkali-kali karena kesunyian lantai dansa. Ketukan sepatu pentofelnya di lantai bahkan lebih nyaring lagi, nampak sekali kalau elf tua itu tengah kesal. Well, sudah seharusnya. Kalau yang dikatakan Profesor Benedict benar, Oliver sekarang tengah diisolasi dalam mimpinya sendiri, tak bisa bangun dan tak bisa kabur dari bingkai mimpi miliknya.
Lantai dansa ini adalah sangkar Oliver Nightchild.
"Tapi tak kusangka Ben seputus asa ini... ia bahkan mengirimkan bocah pinky yang kebetulan punya gelombang delta—atau bukan kebetulan? Hm... oh sudahlah, lagipula siapa yang peduli," Oliver terus-terusan mengeluh, tidak merasa dalam bahaya sama sekali. Hal ini membuat Ulrich sedikit tertekan.
Pasalnya elf tua itulah biang keladi semua masalah di Piltover. Dialah yang bertanggung jawap pada keluarganya—juga penduduk sipil Piltover dari pengaruh mind control massal. Ia tak yakin dengan membunuh orang ini akan menyelesaikan semuanya, namun menyingkirkan elf tua ini tidak ada ruginya.
Semua ini adalah permainannya, permainan seorang Presiden sinting yang benar-benar tidak punya moral. Geram Ulrich dibuatnya, ingin rasanya ia menerkam pak tua itu sekarang tapi ia tak bisa gegabah. Profesor Benedict bilang kalau Oliver itu bukan Presiden yang butuh bodyguard untuk menjaga keselamatan dirinya.
Kemudian Ulrich menyadari bahwa Oliver tidak membawa apapun kecuali berbusana dandy, kalau begini ia bisa menghabisi elf tersebut dengan mudah. Asal ia punya bubble maker, bubble compressor, dan waktu lima menit. Tapi mengulur waktu selama itu sambil main tiup balon dengan napas warna-warni miliknya nampaknya mustahil. Ulrich juga tak bisa bilang,
'Eh om, kita ngeteh dulu ya lima menit, sambil menunggu hasil kondensasi napasku buat meledakanmu berkeping-keping.'
Ulrich hendak meniup bubble maker miliknya ketika Oliver mengisyaratkan untuk berhenti. "Aku tahu apa yang diperintahkan Ben padamu, bocah, tapi kusarankan agar kau tak terlalu percaya pada Profesor Dungu itu, apa dia bilang aku ini seorang yang tidak butuh Bodyguard untuk menjaga keselamatanku? Oh tolonglah, aku ini orang penting, nak. Walaupun aku bisa menjaga diri, tapi aku terlalu malas melakukannya." Lalu ia menjentikkan tangannya bersamaan senyum timpang pertanda kabar buruk.
Dua kepulan asap hitam muncul dari samping kiri dan kanannya. Lalu asap itu berpusar, membentuk siluet fluid yang perlahan memadat. Ulrich terbeliak ketika melihat dua sosok yang baru muncul di lantai dansa.
Minotaur setinggi tiga meter dan harpy mungil seukuran anak SD, keduanya memakai atribut tentara Piltover. Seragam loreng dengan senjata melingkar di pinggang masing-masing.
"Ck, cuma bisa panggil dua ekor, ternyata," Oliver mengendikkan bahu, "apa boleh buat, sepertinya Ben benar-benar memasang restriksi yang ketat dalam bingkai mimpi ini. Tapi ada yang tidak ia ketahui, kalau aku selalu punya dua orang yang menjaga mimpiku. Oh darn, indeed."
"Perkenalkan, Brutus dan Elena. Mereka akan jadi teman mainmu sampai kapsul mimpi Ben kehabisan energi untuk memerangkapku dalam lantai dansa ini, masalah dasar pegawai swasta mereka tak punya sumber energi yang infinit, ck ck ck," Oliver menujukan sindiran itu pada Profesor Benedict. Nampaknya dia tahu kalau Profesor tengah memantau mimpi ini.
Mendadak semuanya terasa mengerikan, bulu romanya berdiri semua. Ulrich berada dalam bahaya. Ia menyapukan pandangannya ke seluruh sudut ruangan, mencari jalan untuk kabur. Ia tak bisa mengonfrontasi minotaur yang tingginya dan lebarnya dua kali tubuh Ulrich. Ia bisa langsung dilumat begitu saja, belum lagi Harpy yang mukanya seperti habis diparut, kalau tidak salah ras setengah burung itu punya kecepatan yang mematikan. Seakan tahu apa yang tengah dipikirkan Ulrich, Oliver kembali berceloteh.
"Kau bisa gunakan pintu di belakangmu untuk lari nak, tentu saja, ini kan perangkap untuk mengurungku, bukan mengurungmu... juga tidak berfungsi mengurung anak buahku," Oliver berjalan ke salah satu meja bundar, "ah sayang sekali hanya ada sampanye murahan, tapi tak apalah yang menjamu juga Ben si Kere, apa mau dikata?"
Oliver menuangkan minumannya ke gelas sampanye, lalu mendentingkan gelasnya dengan sentilan jari telunjuk seraya memberi gestur bersulang, "Cheers."
Lalu dua anak buahnya menyerbu ke arah Ulrich.
.
.
.
Ulrich tak sempat merasa kaget ketika pintu yang ia buka membawanya ke jalan raya di tengah-tengah kota Piltover, diapit gedung-gedung pencakar langit yang benderang dengan lampu penerangan yang menyilaukan.
Walaupun demikian, jalanan yang harusnya rampai dua puluh empat jam ini sekarang sunyi. Hanya ada kendaraan-kendaraan yang diparkir di pinggir jalan, tak bertuan. Hembusan angin malam yang menusuk tak ia indahkan, ia hanya ingin berlari sekencang-kencangnya agar bisa menjaga jarak dari minotaur dan harpy yang mengejarnya.
Untunglah minotaur itu tidak terlalu cepat. Tapi masalahnya Harpy wanita itu terbang bagai kilat, Ulrich yang bisa dibilang punya kecepatan diatas rata-rata dari teman sekelasnya. Tidak ada bandingannya dengan si wanita burung.
"Sial! Aku tak bisa diam saja," Ulrich dengan tergesa meniup bubble maker yang terkalung di lehernya, serumpun balon-balon bergas merah tercipta di udara. Ulrich segera meraup beberapa balon dengan tangan kanannya yang terbalut sarung tangan metalik bubble compressor yang langsung menciutkan balon hingga seukuran kelereng.
Empat kelereng merah dimasukkan ke dalam kompartemen peluru pistol paintball-nya... dan ia harus menunggu lima menit untuk dapat menggunakannya.
"Sial! Sial! Sial!" Ulrich mengutuk alat buatan Profesor Benedict yang tidak bisa bereaksi instan.
Suara gemuruh bagai gempa terdengar dari kejauhan. Ketika Ulrich menengok ke belakang, ia terperanjat melihat minotaur gede itu berlari ke arahnya sambil meninggalkan jejak retakan di aspal di setiap hentakan kakinya.
Masalah lainnya datang, kini Harpy mungil telah berada tepat di atas kepala bocah berkacamata itu, terbang dengan suara kikikan yang mengerikan. Untungnya harpy hanya punya sayap alih-alih lengan, kalau tidak pasti sekarang Ulrich sudah ditikam belati atau ditembak mati. Tapi si harpy muka parutan itu punya cakar burung di kakinya yang berhasil mencengkeram kupluk sweater Ulrich dan berhasil mengangkat si bocah Schmidt beberapa kaki dari atas aspal.
"Whoa! Lepaskan aku muka parut!" Ulrich makin kalut ketika suara debuman langkah minotaur semakin dekat, dengan kecepatan yang mengerikan.
Gila! Kalau kena tubruk satu kali saja ia pasti mati!
Untungnya Ulrich belum habis akal, ia melihat tiang lampu jalan berada di jarak rentangan tangannya. Diraihnya tiang lampu, lalu dengan sekuat tenaga ia menarik tubuhnya merapat, untung saja si harpy tidak terlalu kuat. Lalu ia menggunakan sebelah kakinya sebagai poros, diayunkan tubuhnya ke kanan hingga ia berotasi di tiang. Cukup untuk menghindari tubrukan tubuh gede minotaur. Saking kuatnya gerakan rotasinya, cengkeraman cakar kaki harpy lepas dari kupluknya. Ulrich langsung melompat ke salah satu gang yang diapit oleh dua gedung toko swalayan.
Ia belum pernah melakukan ini sebelumnya, namun bocah bersurai dadu itu melompat zigzag di antara dinding toko, begitu cepat dan mahir seakan tengah main lompat tali. Dan dalam sekejap ia telah berada di puncak gedung setinggi sepuluh meter. Demi apapun, ia belum pernah merasa segembira ini punya kemampuan akrobatik alami yang diturunkan dari gen ibunya.
Brutus si minotaur, meraung marah.
"Hei bocah! Turun kau agar aku bisa melumatmu dengan pukulanku!"
Oh tolonglah, siapa yang mau turun setelah mendengar ancaman pencabut nyawa seperti itu, dasar dungu. Ulrich tidak menghiraukan ucapan Brutus yang lama kelamaan menjadi caci maki tak keruan. Bocah berkacamata itu hendak melompat ke gedung di sebelahnya ketika Elena, si Harpy muka parutan terbang menghadang.
"Oh iya, kau bisa terbang." Ulrich berdecak sebal seraya melompat sekali ke belakang menghindari sabetan belati panjang yang dicengeram cakar kaki burung Elena. Selain berfungsi mencakar dan menarik kupluk sweater Ulrich, kedua cakarnya dapat mencengkeram belati dengan sempurna.
Elena menukik cepat ke arah Ulrich. Dua belati disabetkan ke arah bocah berkacamata dengan kecepatan yang mengerikan. Ia masih bisa menghindari semua serangan itu walaupun beberapa berhasil menyabet pakaiannya hingga robek. Gerakan kaki Elena sangat lincah, sabetan demi sabetan dilancarkan dengan pola acak, hingga sulit bagi Ulrich memprediksi serangan berikutnya. Sampai sekarang ia masih hidup hanya karena kecepatan gerakannya bisa menandingi Elena.
Sialnya, harpy ini bisa terbang dengan manuver menukik yang begitu cepat. Ulrich harus melompat sampai tersungkur hanya untuk melindungi lehernya agar tidak putus oleh sabetan belati dengan kecepatan tinggi. Ia beringsut, mundur melata dengan bokongnya di atap gedung.
Serangan menukik Elena berikutnya kembali dilancarkan. Ulrich dengan cepat memungut pipa besi yang tergeletak di sebelahnya. Dentingan keras terdengar ketika dua logam beradu. Belati dan pipa besi. Parah, saking kuatnya ayunan belati Elena, tangan Ulrich sampai kesemutan akibat efek tumbukan yang tiba-tiba.
Kabar baiknya, satu belati Elena melenting, lepas dari genggaman cakarnya, menggelinding ke tepi atap hingga akhirnya jatuh ke bawah gedung.
"Oh dear, kau punya refleks yang bagus, manis," suara Elena begitu serak, seakan-akan tenggorokkannya dipenuhi ingus, "tapi kusarankan diam saja dan mati, Tuan Oliver tidak suka berlama-lama di pesta yang membosankan."
"Oh ya? Kurasa ia harus menunggu lebih lama," ujar Ulrich dengan napas memburu, "ini sudah lebih dari lima menit, omong-omong."
"Apa hubungannya, manis!" Elena kembali terbang menukik ke arah Ulrich dengan satu belati di cakarnya. Ulrich melemparkan pipa besi ke lantai kemudian melompat ke samping.
"Tentu saja ada," ditodongkannya pistol paintball ke arah Elena, "peluruku sudah matang." Ditariknya pelatuk pistol paintball dari jarak point blank dan setengah detik kemudian bahu kiri Elena terkena ledakan api yang membara.
Ulrich terlempar akibat ledakan dari jarak yang begitu dekat. Jeritan Elena terdengar pilu, namun tembakan barusan tidak mengenai titik vital. Si harpy masih bisa merayap di atap sebelum terbang sempoyongan menjauh.
"Oh, kau tidak boleh pergi," ujar Ulrich seraya menodongkan pistolnya kembali ke arah Elena.
Tiba-tiba terjadi guncangan pada bangunan ini. Berasal dari tinjuan ganas Brutus yang mengerikan ke dinding gedung, hingga Ulrich tidak bisa mengeker Elena dengan akurat. Pelurunya tinggal tiga, ia tak bisa buang-buang amunisi.
Astaga, sekuat apa sih si kerbau bego ini?
Ulrich senang kalau Brutus itu hanya otot, tak ada otak. Tapi setolol apapun dia, nampaknya Brutus punya cara yang lebih baik daripada terus-terusan menonjoki dinding gedung sampai rubuh. Ia merayap di dinding, seperti pemanjat tebing profesional.
"Oh tidak," Ulrich dengan cepat berlari ke sisi lain atap gedung. Mengira-ngira jarak dengan gedung hotel di sebelah. Ia bisa melompati celah ini, setidaknya ia ingin mempercayai itu.
Ia melirik pistol paintball. Merasa amunisinya terlalu sedikit, Ulrich meniupkan napas biru lewat bubble maker hingga selusin gelembung biru tua mengambang di celah antar gedung. Guncangan di atap semakin kencang dengan suara debuman keras pendaratan minotaur marah di atap.
"Mau kemana kau bocah!"
"Uh... ke sebelah, mau ikut?" Ulrich harusnya tahu ia tak perlu menambahkan minyak pada api, Brutus bukanlah minotaur penyabar.
"Kemari kau bocah teingik!" Brutus menarik belati—belati minotaur setinggi tiga meter itu bisa disamakan dengan pedang pendek, kacau. Lalu tanpa muslihat, si kerbau dungu itu berlari ke arah Ulrich.
Schmidt berkacamata itu mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang-ancang, kemudian berlari dan melompat sekuat yang ia bisa. Ketika melayang di celah gedung, ia meraup gelembung biru sebanyak yang ia bisa dengan tangan kanan. Lalu ia mendarat dengan berguling dua kali di atap hotel degan suara gedebuk pelan.
Namun ia tak bisa merasa tenang begitu saja karena saat ia menengadahkan kepala ke atas, Brutus tengah melayang di udara. Minotaur itu melompat sangat tinggi dengan kecepatan yang mengerikan.
Suara debuman keras disusul dengan suara retakan konkrit menjadi tanda pendaratan Brutus. Membuat Ulrich terjerembab karena impact yang begitu keras. Brutus terlihat begitu kesal, mungkin karena dari tadi ia diacuhkan, ditinggalkan sendirian di bawah.
"Hahahaha! Kau tidak bisa lari kemana-mana lagi bocah pink!" Brutus menebas-nebas belati besarnya ke atap beton hingga meninggalkan garis-garis yang dalam. Dan benar kata Brutus, Ulrich tak bisa kabur. Atap gedung hotel ini jauh dari gedung-gedung lainnya. Ulrich hanya bisa kabur dengan cara normal. Menggunakan tangga darurat ke lantai bawah.
"A, a, a...," suara serak Elena membuat Ulrich berjengit, harpy mungil itu masih gemetar menahan rasa sakit karena bahu kirinya hangus. Tapi dari ekspresi muka parutnya sama sekali tidak menunjukkan rasa putus asa, harusnya Ulrich tahu kalau bodyguard Oliver bukanlah seseorang yang dipilih acak. Namun bukan itu yang penting, tapi posisi Elena berdiri sekarang. Wanita burung itu tengah menghadang satu-satunya pintu di atap ini, memutus rute kabur Ulrich.
Pembalasan Elena nampaknya benar-benar serius. Ia ingin Ulrich dilumatkan dengan brutal oleh Brutus. Sedangkan si minotaur masih saja mengais-ngaiskan belatinya pada beton atap, seakan tengah mengasah senjatanya sebelum memenggal kepala target.
Ulrich tak punya pilihan lain, ia harus melawan. Walaupun ia tak begitu yakin tiga peluru api miliknya bisa melumpuhkan badan kekar Brutus bahkan jika ditembakan secara beruntun.
Ulrich melirik ke tangan kanannya, ada tiga buah kelereng biru yang baru dikompres. Ulrich mendengus kesal. Astaga, ternyata menunggu lima menit untuk membuat kelereng ini berguna terasa lama sekali. Setidaknya bagi seseorang yang bisa saja mati dalam waktu tiga puluh detik ke depan.
Kalau saja ia bisa mengulur waktu...
"Hei," setidaknya ia bisa mencoba.
"Ada apa bocah? Sudah siap mati?"
"Um... tidak juga," Ulrich menyelipkan tiga kelereng biru ke dalam kantung sweaternya, "cepat atau lambat kita semua toh akan mati."
"Bah! Sok bijak sekali kau!" Brutus mengacung-acungkan belatinya ke depan.
"Mungkin," Ulrich mengendikkan bahunya, ia jadi sangsi bisa mengulur waktu dengan cara ini. Ia adalah bocah yang sulit bersosialisasi, dan sulit sekali mencari bahan pembicaraan dengan seorang algojo. "Aku hanya heran saja, kenapa kalian tidak terpengaruh oleh mind control Oliver."
"Hahahaha! Tentu saja tidak! Kami adalah anak buahnya yang terbaik, mana mungkin beliau melakukan hal itu pada kami!"
"Begitu? Lalu kenapa aku tidak terpengaruh sedangkan seluruh penduduk lainnya langsung menjadi boneka dalam semalam?" Sebenarnya ia sudah tahu alasannya, "aku hanya agak heran saja."
"Oh bukan masalah besar sih sebenarnya," Elena mengambil alih pembicaraan, seakan tahu kalau Brutus tidak akan bisa menjawab pertanyaan ini karena terlalu dungu, "setiap percobaan dalam suatu populasi yang banyak, tiga puluh juta penduduk itu bisa dibilang banyak banget, pasti ada beberapa tes subjek pencilan, yeah... pencilan-pencilan kecil yang tidak terprogram dengan baik selama beberapa dekade ini.
"Well, kebanyakan sih bocah-bocah lima belas tahun ke bawah, toh projek ini dimulai dua puluh tahun lalu. Mereka baru mendapat treatment seperti ini tidak lebih lama dari orang yang lebih tua, jadi... yeah, tentunya kau tahu kalau kebanyakan anak-anak yang lolos dari mind control dua minggu lalu sudah diburu dan dibinasakan, bukan? Kami tak perlu aset yang tak berguna untuk negara."
Ulrich menggeretakkan giginya. Ia ingat kalau hal itu memang terjadi, Ulrich sedikit beruntung karena bertemu dengan Profesor Benedict dan Yvette. Kalau tidak, mungkin ia sudah tak bernyawa sekarang. Satu lagi daftar alasan mengapa Oliver harus dibinasakan, elf tua itu menganggap semua warga sipil sebagai aset. Memangnya siapa yang mau diperlakukan bagai barang?
"Aku beruntung dong kalau begitu?" Ulrich melirik ke sekitar diam-diam, mencari sesuatu yang dapat digunakan ketika situasi memburuk, "setidaknya aku punya kesempatan untuk membunuh dalang dari semua bencana ini, hm?"
"Bhahaahaha!" Kini Brutus yang tertawa terbahak, "jangan bermimpi bocah, kau sedang dalam mimpi jadi hal itu mustahil terjadi."
Oh sesuatu yang cerdas keluar dari mulut si kerbau, tumben.
"Kau pikir bisa kabur dari kami? Bocah ingusan sepertimu?" Tubuh gempal Brutus berguncang ketika ia tertawa lagi.
"Eh, mungkin saja. Kau tidak lihat ada burung bakar di depan pintu sana? Siapa ya kira-kira yang membuatnya seperti itu?" Terlalu belagu? Entahlah, Ulrich sama sekali tidak punya intensi bermanis-manis. Alhasil Elena mendesis galak, ekspresi congkaknya memudar.
"Sudahlah Brutus! Habisi dia sekarang!"
Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Brutus langsung melaju ke arah Ulrich. Tubuh gempalnya terlihat mengerikan, namun hal itu membuat gerakannya lebih lambat dari Elena. Yang mana membuat Ulrich dapat menghindar dengan sangat mudah.
Brutus terlihat geram, "Aku heran, kenapa orang yang emosinya mudah meledak-ledak seperti ini bisa jadi bodyguard kepercayaan Oliver, kenapa ya? Mungkinkah Oliver sudah kehabisan kandidat yang kompeten?" Seperti bom meledak, gelegar raungan murka si minotaur membuat Ulrich menyesal telah sok-sok membakar amarah lawannya.
Brutus menarik torrent penampung air dengan amat mudah, lalu melemparkannya ke arah Ulrich. Diluar dugaannya lemparan Brutus sangat cepat. Satu detik saja ia terlambat, Ulrich pasti sudah terkapar ditimpa torrent.
Pias air membasahi wajahnya yang ngeri melihat sebongkah konkrit atap hotel melaju ke arahnya. Ulrich tiarap, membiarkan bongkah beton itu melewatinya hingga jatuh ke bawah gedung. Ia tak bisa diam barang sejenak, Ulrich harus berguling ke depan untuk menghindari serangan konkrit selanjutnya. Begitu terus hingga sebagain besar atap di sekitar Brutus kini berlubang akibat ulahnya. Benar-benar mengerikan. Bahkan dengan semua lemparan, minotaur gede itu belum menunjukkan kelelahan sama sekali.
"Cukup lari-nya, bocah," entah sejak kapan Elena sudah berada di atas kepalanya, terbang rendah dengan limbung. Namun demikian, si wanita burung itu masih punya sisa kekuatan untuk mengangkat Ulrich dengan cakar yang mencengkeram punggung sweater, "nah Brutus, cobalah untuk tidak membabi buta di atas sini, kau tidak ingin pijakanmu runtuh, kan?"
"Ini kupermudah, kau tinggal kemari saja dan menghanjarnya hingga lumat," usulan jahat itu ditanggapi dengan seringaian buas minotaur tersebut. Mereka berdua benar-benar menikmatinya, membuat Ulrich makin muak. Tapi ia sendiri tak dapat berbuat apa-apa, kedua tangannya berusaha melepaskan cengkeraman cakar tajam, namun hasilnya nihil. Kakinya hanya bisa dikibas-kibas di udara, sulit sekali berontak tanpa adanya pijakan. Kalau hal ini terus terjadi, ia akan mati.
Suara belati melata di atap konkrit terdengar seperti asahan pisau, kemudian berganti dengan debuman hentakan kaki Brutus ketika ia berlari ke arah Ulrich.
Ia tak bisa lari.
Setiap detiknya berlalu begitu lambat hingga Ulrich merasa kalau rasa sakitnya juga akan terasa dengan perlahan dan menyakitkan.
Hei.
Suara itu bagai dentingan lonceng. Terdengar begitu lembut, namun bergema.
Dalam sepersekian detik ia merasa melihat seseorang tengah berdiri di atas torrent, yang pertama ia lihat dari siluet hitam itu adalah senyumnya, lalu mata hijau yang dibingkai kacamata, rambut sewarna dadu, dan dua tanduk gading di masing-masing sisi pelipisnya.
Ulrich tengah melihat dirinya sendiri.
Sebuah gramofon tua muncul dalam genggaman sosok tersebut, kemudian sebuah lagu anak-anak mengegma dalam kepala Ulrich.
Ein, zwei, Polizei...
Jantungnya berdegup keras, seakan tengah menolak semua nada-nada ceria yang keluar dari corong gramofon. Kepalanya seakan ditusuk-tusuk seribu jarum secara bersamaan. Sosok-sosok polisi berdatangan, mendobrak pintu rumahnya. Menarik Ulrich yang mendadak menjelma menjadi balita lima tahun dengan paksa dari orang tuanya.
Drei, vier, Grenadier...
Napasnya terengah, seakan baru saja ditenggelamkan dan diangkat satu detik sebelum mati, lalu diulang berkali-kali. Kepalanya disengat listrik bertegangan tinggi, teriakan keluar dari mulutnya dengan pilu. Namun kejutan menyakitkan itu tak kunjung berhenti. Dadanya seperti ditikam benda tumpul, ditalu seperti goong. Lalu pandangannya menjadi merah. Ia melihat lautan darah anak-anak balita di sekitarnya, bahkan tak sedikit yang berasal dari tubuhnya sendiri. Ia berkubang dalam kolam darah kental disaksikan para Grenadier—tentara berseragam loreng yang tertawa seperti orang sinting.
Funf, sech, Alte Hex...
Ia merasakan serangan trauma bertubi-tubi, gambaran dirinya saat kecil yang bahkan tak pernah ia ingat sama sekali. Digantung terbalik, dibiarkan kelaparan, dikurung dalam sangkar burung kenari, dimasukkan ke dalam lubang penuh semut merah, jeritan demi jeritan Ulrich kecil mengais meminta ampun. Namun semua itu tak berhenti, air matanya kering, pandangannya kosong, dan ia ingin mati saja. Namun seseorang datang, berpakaian hitam legam dengan senyum manis yang begitu menenangkan. Alte hex—penyihir tua, membawanya pergi dari siksaan neraka.
Sieben, acht, Gute Nacht.
"Sayangku yang malang, kau akan baik-baik saja, Sorge, aku akan selalu menyayangimu, mencitaimu, menginginkanmu. Kau mungkin adalah Sorge (pelayan) untuk saat ini... namun kelak, kau akan berevolusi, evolusi untuk dunia yang lebih baik, menjadi peninggalan yang kuat, peninggalan yang berharga menjadi—
—Ulrich."
"Kita akan berjumpa lagi besok, juga besoknya lagi, dan seterusnya hingga kepompong kucal kita berubah menjadi kupu-kupu cantik."
"Selamat malam."
Ulrich kecil membuka matanya, sosok hitam penyihir tua di hadapannya terbuyar bagai serbuk besi tersapu angin digantikan sosok berjas hitam dengan telinga lancip.
Oliver Nightchild menyeringai padanya.
"Arghhhh!" Ulrich menjerit keras, kedua tangannya yang menggapai udara kini bertumpu pada kaki burung Elena. Ulrich masih belum dapat berpikir jernih, tubuhnya begerak dengan sendirinya. Ia mengayunkan badannya ke depan dengan kuat, kedua tangannya menjadi pusat rotasi saat ia melompat ke atas dengan cepat hingga cengkeraman cakar Elena terlepas. Tujuh ratus dua puluh derajat ia berputar di udara, hingga tubuhnya melayang di atas kepala si wanita burung yang kaget.
"Mati! Mati! Mati!" Ulrich meracau ketakutan, dengan kuat ia menendang tubuh mungil Elena ke depan, pada Brutus yang melaju begitu cepat ke arahnya. Tumbukan dua orang itu tak bisa terelakkan.
Dalam keadaan masih melayang di udara, Ulrcih melemparkan satu kelereng biru dengan kuat ke arah Elena. Terjadi ledakan yang terdengar seperti kaca pecah, dan sedetik kemudian tubuh Elena diselimuti es, menempel di kepala Brutus yang setengah membeku. Brutus menggerung, kesakitan karena kepalanya kedinginan.
Ulrich mendarat di atap. Tubuhnya merinding luar biasa, rasa takut dan gairah datang silih berganti. Pipinya berdarah, meneteskan darah beraroma metalik ke lantai atap. Merah, merah, merah. Seketika tubuhnya menggelegak seperti dihajar selusin gelas kafein. Ia melesat ke depan dengan seperti bocah kelebihan gula, melompat kemudian menendang tubuh miontaur setinggi tiga meter sekuat tenaganya.
Tubuh bongsor Brutus bergeming tidak terpengaruh oleh tendangan Ulrich, entahlah ia hanya ingin menyalurkan rasa hiperaktifnya yang datang tiba-tiba.
Ulrich menembakkan kelereng merah dari pistol paintball miliknya, ledakan api tercipta ketika kelereng itu menghantam punggung Brutus. Membuat si besar bego sempoyongan.
Matanya nyalang ke segala penjuru, kemudian Ulrich melihat kabel listrik yang putus dari antena. Ia segera meraup kabel panjang itu, lalu mulai berputar dengan cepat mengelilingi antena. Semakin lama semakin cepat, kabel listrik semakin pendek. Tubuhnya bergerak laju dengan gaya sentrifugal yang dapat membuat gajah raksasa pingsan.
Dalam salah satu putarannya Ulrich menembakkan satu kelereng merah dari pistolnya ke arah kaki Brutus. Ledakan api dahsyat membuat target kehilangan keseimbangan, tubuh besar itu hendak tumbang ke depan. Namun sebelum hal itu terjadi, Ulrich melepaskan pegangannya pada kabel, melontarkan diri secepat angin ke arah Minotaur gempal itu, kemudian menendang tulang belakang Brutus bagai peluru raksasa.
Suara patahan tulang terdengar begitu keras tersamar dengan gerungan kesakitan. Tubuh minotaur terbang melenting di tengah udara menembus pintu atap yang seakan meneleportasi mereka kembali ke ballroom.
Suara debuman keras terdengar bersamaan dengan guncangan hebat di lantai dansa yang retak. Gemerincing lampu gantung kristal perlahan mereda bersamaan dengan kembali mulainya musik orkestra yang datang entah dari mana. Di sana, di sebuah meja bertapestri merah, duduklah Oliver Nightchild dengan setengah lusin botol sampanye kosong.
"Hebat, tak kusangka kau berhasil mengalahkan mereka sebelum botol keenamku habis," ujarnya seraya menyisip tetes terakhir sampanye di gelasnya, "bravo."
Ulrich kembali mengingat semua kejadian mengerikan beberapa saat lalu. Semuanya terkesan seperti lelucon tidak lucu yang dibawakan elf setengah baya dihadapannya. Yang paling parah, Ulrich merasa semua itu benar. Hati kecilnya mengatakan semua hal mengerikan itu terjadi padanya.
Kepalanya pusing, rasa hiper-nya perlahan reda digantikan kelelahan yang menyergap tanpa ampun. Lututnya lemas hingga membuatnya berlutut di lantai, mendadak rasa takut menjalar ke seluruh sendi tubuhnya ketika melihat paras Oliver Nightchild yang tengah menyeringai. Semua selnya meneriakan tanda bahaya, namun Ulrich bahkan tak mampu berdiri.
"Aku mengenalmu dari awal aku melihatmu dalam sangkar mimpi ini, Sorge. Aku hanya pura-pura tidak kenal saja. Biasalah, untuk sekadar main-main."
Sorge. Nama itu bergema dalam kepalanya, membuatnya sakit kepala.
"Tapi sayang sekali, Ben tidak tahu menahu tentangmu," Oliver berjalan menatap dua bawahannya yang sudah tak bernyawa di lantai yang retak, "Ben, Ben, Ben... rekan sesama peneliti dreamscape, namun sayangnya ia tidak punya ambisi. Benar-benar saintis yang hanya haus akan rasa ingin tahu, ia bahkan tak punya keinginan sedikitpun untuk memanfaatkan pengetahuan alam bawah sadar ini."
Ulrich berlutut, menahan kepalanya agar tetap mendongak menatap Oliver rasanya berat sekali.
"Maksudku, kau bisa mengendalikan semua orang lewat alam bawah sadar mereka. Bisa kau bayangkan apa yang dapat kulakukan dengan semua itu?"
"Semua orang akan menuruti perintahku, aku bisa menciptakan pemerintahan tanpa cela! Tak perlu ada aparat keamanan ketika semua penduduk di Piltover menjadi warga yang baik budiman. Tapi, Benedict Getrudge, si bego itu terlalu naif. Mengatakan kalau impianku ini akan menciptakan mimpi buruk di dunia nyata."
"Kurasa ia benar," Ulrich bergumam dengan sisa-sisa tenaganya dan dorongan kebencian perlahan merayap di tenggorokannya. Oliver menatap Ulrich dengan tajam, tatapan yang menusuk ke relung sukma terdalamnya hingga untuk bernapas saja sulit.
"Sorge yang malang," Oliver berdecak simpati, "ternyata masih ada sisa-sisa core persona-mu di dalam sana. Kenapa kau tidak keluar saja, Sorge? Biarkan Ulrich merasa bebas, sebebas persona delta sejati."
Tubuh Ulrich menggelinjang hebat seakan ada kekuatan yang memaksa keluar dari raganya. Namun sesuatu menahannya, dengan kuat, dengan sangat putus asa. Perasaan tidak berdaya ini membuat Ulrich kasihan. Kasihan pada siapapun yang dipaksa keluar dari dalam tubuhnya.
"Oh dear," Oliver terkekeh pelan, "apa kau tidak rindu denganku, Sorge? Bukankah kita sering menghabiskan waktu yang menyenangkan bersama-sama?"
"Tidak!" Gaung gema, suara Ulrich berganda menjadi dua. Yang barusan menyangkal bukanlah dirinya, tapi seseorang yang lain. Core persona-nya, Sorge.
"Kau tak bisa memaksaku kembali! Aku tak sudi kembali padamu!"
"Ah, efek samping program yang diberhentikan ditengah-tengah, membuatmu tidak bisa berevolusi menjadi Ulrich dengan sempurna, Sorge. Tidak kah kau kasihan pada Ulrich? Harus berbagi tubuh dengan seorang pengecut?" Kata-kata itu diucapkan dengan lembut, namun Ulrich merasa kalau Sorge melemah, gemetar dalam ketakutan.
"Aku butuh delta yang kuat, Sorge," Oliver mendadak berada di hadapan Ulrich, jari telunjuknya yang dingin memaksa bocah berkacamata itu menatap ke dalam mata hitamnya yang kelam bagai kumbang malam. "Delta superior yang dapat berkelana dalam dunia mimpi, jauh... jauh lebih dalam dari bingkai mimpi kecil ini, pergi berkelana untukku ke tempat... semua mimpi berawal."
"Semua deltaku tak ada yang dapat mempertahankan gelombang otaknya untuk tetap sadar di dunia mimpi lebih dari satu jam, tapi kau," Oliver tersenyum penuh kemenangan, "kau berhasil, kau bahkan dapat mengalahkan anak buah terbaikku karena kau dapat mempertahankan gelombang otakmu, membuat semua kemampuanmu tetap nyata walau dalam mimpi sekalipun! Tidakkah itu sempurna?"
"Setelah kau menyiksaku hingga hampir mati?!" Suara Sorge bergetar melalui mulut Ulrich, "Aku tak akan percaya dengan semua ucapanmu!"
"Oh, bukankah kau menyukainya, Sorge?" Oliver tertawa pelan, "kau bahkan memohon padaku untuk tidak pernah pergi dari sampingmu sebelum kau tidur. Tidur untuk melakukan program keesokan harinya."
"Tidak!"
"Tak perlu menyangkalnya," suara itu terdengar lembut namun kejam, "aku tahu kau mencintaiku seperti kau mencintai orang tuamu."
Ulrich semakin tidak tahan dengan gejolak dalam tubuhnya, ia menarik napas kuat kemudian meneriakkannya.
"BERISIK!" Suaranya menggaung di lantai dansa menyingkirkan musik orkestra yang mengganggu, bahkan berhasil membungkan Oliver untuk senejak.
"Kau ingin mengakhiri ini, Sorge?" Ulrich merasa konyol telah bicara pada diri sindiri, namun hal itu terkesan wajar, seakan tengah bicara dengan saudara kembar, "kau ingin lepas darinya, kan? Nah, bagaimana kalau dia kita habisi saja? Sekarang, dengan tangan kita sendiri. Aku sudah muak mendengar celotehannya." Ulrich bahkan sudah lupa tujuan misinya membunuh Oliver, yang ingin ia lakukan adalah membungkam si tua bangka hingga membuatnya diam untuk selama-lamanya.
Kekuatannya perlahan kembali, ia bisa berdiri walaupun dengan susah payah. Sorge-pun lebih tenang. Membuat gejolak dalam dirinya perlahan surut. Si Tua Oliver tertawa, terbahak hingga tubuhnya berguncang. Ia terlihat begitu senang, yang membuatnya terlihat seperti orang gila.
Dia memang gila, batin Ulrich.
"Dan saat kupikir semuanya tidak bisa lebih baik dari ini, Ulrich, kau benar-benar mengejutkanku!" Tawa Oliver perlahan mereda, digantikan kesunyian yang pekat.
"Baiklah, hibur aku."
Ulrich tak kunjung maju, ia tidak bodoh. Seperti kata Profesor Benedict, Oliver adalah seorang yang tidak perlu dilindungi.
"Oh kalau kau tidak mau maju," dalam sekejap Presiden Piltover itu seakan berpindah tempat ke belakang Ulrich, "biar aku yang mulai," sebuah tendangan keras dilancarkan pada punggung Schmidt muda. Membuatnya terpelanting ke depan hingga menabrak salah satu meja bundar. Tendangan itu begitu keras sampai Ulrich kesulitan bernapas. Ia merangkak di lantai, terbatuk dengan napas sengal. Ia langsung mengerti mengapa Oliver tak butuh bodyguard sama sekali.
Si tua ini kuatnya minta ampun. Elena dan Brutus bagai balita jika dibandingkan dengannya.
"Wow aku tak menyangka kalau kekuatanku masih berbekas, walaupun sudah setua ini hahaha...," Oliver tertawa seakan apa yang diucapkannya adalah lelucon konyol.
Ulrich harus melawan. Kalau tidak bisa dari jarak dekat, setidaknya ia bisa melakukannya dari jarak jauh. Diangkatnya pistol paintball miliknya dan...
"A-apa?!"
Pistol itu perlahan terbuyarkan menjadi asap, menghilang dari genggamannya begitu saja. Begitu pula dengan bubble maker di lehernya dan bubble compresor di tangan kanannya. Bahkan dua butir kelereng biru di kantung sweaternya pun menguap. Semuanya lenyap, dalam sekejap. Meninggalkan Ulrich sendiri dengan ekspresi bingung.
"Ah... rasa syokmu barusan telah membuyarkan semua kemampuanmu, mentalmu harus tetap kuat di dunia mimpi, Ulrich." Oliver berkata dengan nada kecewa, "Kau tak akan bisa bertahan di dunia mimpi kalau mentalmu mudah sekali kendur. Ck ck ck..., Sorge memang harus keluar dari tubuhmu agar kodisi gelombang deltamu stabil."
Ulrich tak bisa terus-terusan ditekan oleh orang itu. Setidaknya kemampuan fisiknya masih bisa berfungsi dengan baik, ia yakin itu. Walaupun memang benar, tanpa alat-alatnya ia tidak bisa bertarung dengan efektif. Ia bukan petarung yang mengandalkan fisik dan lawannya benar-benar mahir baku hantam dari jarak dekat.
Ini buruk.
Ulrich berlari ke tangga pualam, ia harus membuat jarak.
"Wah, setelah kau bicara sok jago barusan, inikah caramu untuk menghabisiku? Dengan berlari?" Oliver menggeleng, kemudian melesat dengan cepat. Kini ia sudah berada di puncak tangga pualam, membuat Ulrich berjengit kaget, "Kau tak bisa terus lari dari masalahmu untuk selamanya, kan?" Sebuah tendangan dilancarkan, untungnya kali ini Ulrich lebih siap sehingga ia bisa melompat ke pegangan tangga berpelitur, kemudian kembali melompat melewati kepala Oliver. Setidaknya kemampuan akrobatiknya masih berfungsi.
"Oh sudah mulai terbiasa dengan kecepatanku, rupanya," Oliver melancarkan tendangan rendah yang tak terlihat, bahkan Ulrich tak cukup cepat menghindarinya, "tapi belum cukup mahir."
Tubuh bocah itu menghantam lantai pualam, kemudian ia berguling ke kiri untuk menghindari injakan kaki Oliver. Dalam usaha setetengah putus asa, ia mengunci sebelah kaki lawan dengan kedua tangannya, lalu menendang satu kaki Oliver yang lain dengan keras hingga tercipta regangan kedua kakinya. Lalu dengan tubuhnya ia menjegal Oliver hingga si elf tua terjatuh di lantai.
Ulrich beringsut merayap di dinding, merasa sedikit aman. Namun ia salah, karena sedetik kemudian Oliver melompat berdiri, dengan cepat melancarkan tendangan yang telak mengenai dada Ulrich hingga bocah tersebut terpelanting dari lantai satu kembali ke lantai dansa. Punggungnya menghantam meja bundar, dadanya sakit sekali hingga ia merasakan amis di lidah. Darah mengalir pelan dari sudut bibirnya.
Ulrich hampir tewas jika ia tidak menghindari tendangan melompat Oliver dari lantai satu. Ia berguling dari meja yang sedetik kemudian hancur berkeping-keping. Membuat lantai dikotori serpihan kayu.
"Boleh juga usahamu untuk bertahan hidup, Sorge," Oliver bergerak dengan lincah, mencengkeram leher Ulrich yang masih terkapar di lantai, mengangkatnya tinggi-tinggi hingga kakinya menggantung, menendang-nendang udara kosong, "kau memang aset yang berharga, Ulrich, tapi tidak begitu berharga untuk dipertahankan. Masih banyak yang dapat menggantikanmu di masa depan."
Lehernya tercekat, membuatnya sulit bernapas. Kepalanya pening kekurangan oksigen, matanya menatap nyalang ke arah Oliver yang tersenyum keji. Kedua tangan Ulrich mencakar-cakar cekikan elf tua, namun sayangnya hal itu tidak berefek. Bocah itu makin sesak, hingga beberapa saat kemudian kedua tangannya terjulur lemas ke samping tubuhnya.
"Oh sudah selesai? Padahal kukira kau lebih dari ini," Oliver melonggarkan cekikannya seraya berdecak mencela. Namun kedua tangan Ulrich yang terkulai tadi langsung mencengkeram kerah blazer Oliver, menariknya hingga wajah mereka amat dekat lalu dengan segera Ulrich meniupkan napas kekuningan yang memiliki efek kejut listrik berdaya kecil tepat di mata Oliver.
"Uarrghhh!" Oliver mundur, cengkeraman di leher Ulrich lepas seutuhnya, matanya kesemutan parah bahkan masih terlihat percikan-percikan listrik kecil sebelum memudar. Ulrich hanya punya kesempatan ini untuk melumpuhkan lawan. Ia menyerbu ke depan dengan berlari cepat, menyundulkan kepalanya ke perut Oliver membuat elf itu terhuyung, kemudian tanpa pikir panjang Ulrich menyula leher lawannya dengan ujung tanduk kirinya yang tajam.
Dapat ia rasakan tanduk gadingnya menembus kulit leher Oliver, ia juga dapat merasakan tanduknya beradu dengan tulang dalam kerongkongan elf tua itu. Membuatnya meringis, campuran antara muak dan rasa jijik. Ia mendorong kepalanya terus ke depan hingga tanduknya makin dalam bersarang dalam leher Oliver. Kepalanya merasakan tetesan-tetesan darah yang mengucur cepat, namun tubuh Ulrich melayang sedetik kemudian setelah terkena tendangan begitu keras dari Oliver yang masih punya simpanan energi.
"Ahk!" Ulrich meringis ketika punggungnya menghantam lantai, tubuhnya sudah mati rasa, lehernya tersengal kesulitan bernapas pasca cekikan, dan ia tak dapat kabur ketika Oliver menduduki perutnya. Darah mengucur dari leher Oliver, menetes pelan ke permukaan lensa kacamata bocah bersurai dadu. Aroma metalik terkuar memuakkan, membuatnya ingin pergi dari tempat itu.
"Bocah sialan...," suara itu terdengar aneh, seakan sebagain suara keluar dari lubang di leher Oliver. Lalu dia memukulkan botol sampanye kosong yang entah darimana ia dapatkan ke lantai tepat di samping wajah si bocah pink.
Suara pecah beling menusuk telinga Ulrich, beberapa pecahan menusuk pipinya. Perih, namun hal itu tidak sebanding dengan rasa ngilu di tangan kirinya yang ditancap pecahan botol sampanye dengan pecahan tajam yang mengoyak daging lengan kirinya. Ia meraung begitu keras, berusaha kabur namun kekuatan Oliver masih ada bahkan ketika kucuran darah itu tak kunjung usai.
Dalam keputus asaannya, Ulrcih memukul selangkangan lawannya dengan tanagan kanan sekuat yang ia bisa dan... efektif! Oliver seakan kehilangan tekanan berat badannya untuk menduduki tubuh Ulrich hingga si bocah halfling itu bisa mendorong lawannya ke belakang dan bebas dari kuncian Oliver.
Namun ia tak berhenti sampai sana, Ulrich segera mencabut botol sampanye pecah yang menancap di lengan kirinya bersamaan dengan teriakan keras. Tidak memedulikan nyilu yang menusuk dari luka di tangan kirinya, tanpa ampun ia menghujamkan bagian tajam botol pecah itu ke tubuh dada si tua.
"Aaaaaa! Mati! Mati! Mati!" Berkali-kali ia menusukkan botol pecah itu ke dada lawan. Tubuh Oliver kejang-kejang, beberapa kali berusaha meloloskan diri namun percuma. Luka dan pendarahannya sudah terlalu banyak. Lalu tubuh si tua menjadi diam tak ada gerakan sama sekali, namun Ulrich merasa belum cukup. Ia takut lawannya tiba-tiba bangun dengan tubuh penuh luka dan membunuhnya. Maka dari itu, hujaman itu belum juga usai, terus dilakukannya sampai kebas.
Hingga akhirnya Ulrich beringsut mundur, meninggalkan tubuh lawannya yang kaku dengan banyak bekas tusukan di dadanya. Ulrich tak ingin melihat wajah Oliver, ia takut.
Bocah itu meringis kesakitan, matanya berair karena rasa takut yang perlahan datang setelah ketegangan usai. Tangannya, pakaiannya, wajahnya, tanduk kirinya berlumur darah. Amis, anyir, memuakkan.
Rasa letih menyergapnya dengan mendadak, lalu ia tumbang beberapa saat kemudian.
.
.
.
"Sudah bangun?"
Suara anak perempuan adalah hal pertama yang didengar Ulrich ketika mengerjapkan matanya. Ulrich kebingungan, sepertinya tadi ia terkapar di lantai dansa.
Kini ia berada di sebuah ruangan trapesium poligonal yang penuh cermin. Cahaya penerangan aneh berpendar di atas kepalanya, walaupun demikian ia tak tahu apa sumber cahaya tersebut. Namun yang membuatnya kaget adalah dua orang yang tengah berdiri di depannya. Seorang pria berjanggut rapi dan perempuan berpayung aneh dan bermuka bantal.
Ya muka bantal. Ini bukan guyonan, omong-omong.
Terlepas dari semua keanehan itu, Ulrcih merasa tidak dalam bahaya.
"Jadi... aku dimana?" Setelah mengalami mimpi nyata super aneh barusan, ia jadi terbiasa dengan kejutan, seperti melihat dua orang asing tambahan yang entah datang darimana, "Apa Oliver sudah mati?"
"Pertama kau berada di depan gerbang dunia mimpi dan kedua, ya, Oliver Nightchild sudah mati," pria berjanggut itu menjawab sembari mengamati Ulrich dengan saksama.
"Mimpi yang unik, ya, Paman Nurma," Muka Bantal berceletuk, "dari sebagian besar mimpi yang kita jelajahi mungkin hanya ini mimpi yang kematiannya nyata."
"Jangan heran, Ratu Huban," Nurma mendengus geli, seakan menemukan sesuatu yang menarik, "kemungkinan besar ada hubungan dengan [Kehendak], banyak relik-relik yang menghubungkan dunia nyata dan dunia mimpi, bahkan teknologi yang membuat semua kejadian dalam mimpi menjadi nyata," Nurma melirik Ulrich penuh arti, kemudian kembali bicara pada Ratu Huban ,"kau tahu kan, Ratu Huban, banyak insan yang tertarik untuk berkelana di dunia mimpi."
"Seperti pengikut Dewi Mirabelle?"
"Seperti itu dan banyak lagi orang yang ingin masuk ke dunia mimpi... dan beberapa di antaranya masuk tanpa kesulitan, tanpa efek samping, tidak menjadi gila, hm...," Nurma menatap Ulrich beberapa saat sebelum tertawa pelan.
"Salah satunya, kau," telunjuk panjang Nurma mengetuk pelan dada Ulrcih.
"Tapi aku..."
"Kau bisa saja merasa keberatan, nak," Nurma beranjak ke arah salah satu sisi dinding cermin ruangan yang ternyata bersegi delapan ini, kemudian mengetuk cermin itu satu kali, "tapi sudah terlambat, kau sudah ditandai dan tak bisa kembali ke duniamu." Cermin itu terbuyarkan, lalu berubah menjadi pintu kayu bergagang putar.
"A—"
"Dan sebagai kompensasinya," Nurma memotong ucapan si bocah, "kau bisa menciptakan suatu mahakarya."
"Maha...karya?"
"Ya mahakarya, kau bisa menciptakan sesuatu yang mustahil sekalipun dari segala impianmu... mimpimu. Seperti mengembalikan kesadaran orang-orang terkasih dari kendali pikiran Oliver, misalnya. Kau juga tahu kalau membunuh orang itu tidak akan memuat penduduk Piltover kembali waras dengan sekejap? Bahkan Profesormu pun butuh waktu untuk mengembangkan alat pengembali pikiran—itupun, kalau dia belum tertangkap. Dan lagi, apa kau pikir hanya Oliver saja yang memegang kendali penuh atas pengendali pikiran? Banyak antek-antek pemerintah lain yang akan naik setelah Oliver tumbang, nak." Nurma tersenyum penuh kemenangan ketika melihat Ulrich mulai terbujuk.
"Tertarik?" Tanpa harus menjawab pun mereka berdua sudah tahu jawaban Ulrich, "Kalau begitu, kami tunggu di seberang," Nurma membuka pintu yang memancarkan sinar begitu terang.
"Oh iya, sebelum aku lupa," Ratu Huban berbalik, berjalan setengah melompat ke arah Ulrich, lalu ia menyodorkan seekor domba putih pada Ulrich, "pegang ini ya, jangan sampai hilang."
"Ini... untuk apa?"
"Hehe... nanti juga tahu," Ratu Huban berlari kecil ke arah Nurma, "yuk," ujarnya pada pria berjanggut itu, lalu mereka berdua masuk ke dalam pintu. Meninggalkan Ulrich yang membopong domba dengan bingung. Senyap untuk beberapa saat sebelum bocah itu bergumam.
"Kau tak ikut?" kemudian ia menoleh ke salah satu dinding cermin, dimana pantulan bayangannya tersenyum, "Sorge."
"Aku tak bisa," ucapnya pelan.
"Jadi kau akan tinggal di sini?"
"U-hum."
"Sampai kapan?"
"Sampai kau kembali."
"Kalau aku tidak kembali?"
Mereka terdiam, kemudian Ulrich menjulurkan tangannya, perlahan menyentuh permukaan cermin.
"Pergilah," Ujar Sorge, "aku mengantuk," imbuhnya pelan.
"Mau kunyanyiakan sesuatu?" Ujar Ulrich pelan dan dijawab dengan anggukan oleh Sorge. Ulrich menyandarkan punggungnya ke permukaan cermin, domba berada dipelukannya, matanya dipejamkan, lalu bernyanyi.
Ein, zwei, Polizei...
Sorge sudah menderita sejak kecil. Ia ingin melarikan diri dari hidupnya sendiri, dari tubuhnya sendiri. Maka dari itu ia membuat satu persona yang berbeda. Kepribadian lain yang menggantikannya untuk hidup normal di masyarakat. Dia Ulrich.
Drei, vier, Grenadier...
Ajaibnya, Ulrich sama sekali tidak ingat apapun tentang program delta yang dikerjakan pada Sorge. Semua kenangan tentang Oliver hilang tak berbekas, seakan-akan hidupnya lurus-lurus saja selama ini.
Funf, sech, Alte Hex...
Tapi Sorge terlalu baik. Ia yang tertidur dalam Ulrich harus kembali bangun untuk membantu Persona Delta ini untuk bertahan dari maut. Membuka kunci ingatan, membuka kekuatan terpendam seorang persona delta terprogram. Bahkan jika harus mengingat semua hal mengerikan di masa lalu.
Sieben, acht, Gute Nacht.
Maka dari itu yang dapat Ulrich lakukan sekarang adalah menyanyikan lulabi ini. Agar Sorge kembali terlelap dalam tidur yang dalam tanpa mimpi. Agar jauh dari ingatan-ingatan mengerikan masa lalu.
Tidurlah...
Walaupun kau tertidur di sini, kau akan selalu bersamaku.
Karena aku Ulrich Sorge Schmidt.
"Selamat malam, tidur yang nyenak."
.
.
.
Prolog—Selesai.
Tiga tahun kenal Naer, kayaknya archetypenya ocnya kurang lebih sama secara desain. Apa perasaan saya aja?
BalasHapusEntrinya lancar dibaca. Bagian battle yang paling saya suka itu finishernya, baik waktu lawan Brutus-Elena atau waktu nusuk Oliver pake botol sampanye. Lumayan kerasa desperate dan upaya Ulrich, seakan selama baca saya denger 'mati, mati, mati!'
Jadi Sorge ga ikut nantinya? Padahal unik juga, kepribadian masa lalu dan kepribadian baru masih sinergi satu sama lain gini. Tanpa Sorge, kayaknya Ulrich jadi pribadi dari nol lagi ya - dalam arti saya ga ngeliat dia bakal punya cerita bg atau masa lalu buat digali...atau mungkin bakal ada?
Nilai 8
Saya emang suka banget bikin chara demon. Tapi jadi keseringan ya... Dan jadi mirip sama OC2 BOR saya sebelumya haha...
HapusSorge nggak ikut, dia ditinggalin aja. Dia itu semacam kepribadian utama yang dilepas, diganti sama kepribadian baru. Walaupun tanpa Sorge, Ulrich bisa punya cerita BG kok, soalnya Sorge ini semacam segel ingatan. Jadi ingatan2 Sorge sekarang jadi ingatan Ulrch juga ' 'd
Btw makasih komennya sam XD
Entri menarik~!!
BalasHapusSaya nangkepnya Ulrich ini bener kena Multiple Personality Disorder kan?
OC nya Naer selalu kebawa nuansa lelaki ganteng di kartun-kartun ikemen kayak Bungo Stray Dogs dan Free. Entah kenapa. Mungkin pengaruh ilustrasi kali ya? www
Ceritanya enjoy dibaca. Eksekusi rapi dan adegannya menarik semua. Cuma menurut saya agak sedikit dragging plotnya, tapi mungkin maksudnya biar jelas kali ya ceritanya?
Titip 8 buat mas Ulrich.
Btw liat judul saya sempet mau nyebut inferno cop, tapi tidak ada referensi Inferno Cop di sini.
Salam Sejahtera dari Enryuumaru
Yup multiple personality disorder. Dapet idenya dari MK ultra sih yang ngeprogram prajurit jadi mesin pembunuh.
BalasHapusWah padahal tahun ini saya niat mau bikin chara shota. Tapi ternyata jadinya malah kayak bishounen lagi ya XD. Seperti kata Sam. Archtype OC saya ini sama tiap tahunnya. Huft... Sepertinya nanti bakalan bikin yang rada beda di BOR selanjutnya.
Soal plot emang agak dragging sih. Pas saya baca ulang kadang jadi cringe sendiri liat banyak kalimat yang gak nyambung sama kalima setelahnya. Anjlok2an gitu deh. Dibuatnya buru2 sih. Emang dasarnya juga prokras bhahaha....
Ok deh makasih udah mampir dan baca cerita Ulrich ya, Mz Enryuumaru XDd
cerita yang keren dan plot cerita yang bagus dan dieksekusi dengan baik.
BalasHapusseperti komentar yang di atas, plotnya terasa dragging. dan juga ada beberapa typo.
tapi keren juga sih berserk modenya pake cara dua kepribadian gitu.
nilai dari saya 8, semoga sukses..
Dwi Hendra
OC : Nano Reinfield
Wuiiih keren-keren. Ada bahasa jerman-jermannya (?). Asik.
BalasHapusIni tuh ada beberapa kepribadian gitu ya? Saya agak gak ngerti. Tapi liat komentar diatas kayaknya iya. Menarik~.
Eksplorasi ceritanya bagus. Enak dibacanya. Typo sedikit bisa di perbaiki kelanjutannya.
Saya kasih nilai 8
Raditya Chema | Zauber Magi
Keren!
BalasHapusItu aftertaste yang saya dapet setelah baca entri ini. Agak dragging emang, tapi begitu masuk ke pertarungan, jadi bener-bener seru. Kemampuan unik dari Ulrich dengan nafas pylox(?)nya.
Tfw Fernando in the hoodie gimana nasibnya? Jujur saya kira dia bakal jadi pengalih perhatian atau semacamnya, yah. Gak keluar.
9/10
OC : Takase Kojou
Huahahaha ada juga yang sadar kalau Fernando nggak berkontribusi dalam battle.
HapusSaya nggak munculin si kodok karena peraturan prelim ini sih, kan dia masuk dalam kategori pet jadi kemampuannya tersegel. Jadi kalau dikeluarin pun bakalan percuma.
Well, walaupun harusnya bisa dikeluarkan buat pengalih perhatian seperti komen kamu di atas :')) Tapi deadline kemarin bikin kepala saya blank. hahaha
Saya kan mikir kalau tuh kodok apa gak gepeng/kelempar gara-gara Ulrich yang sering jatuh/lompat akrobat.
HapusJujur saya ngira Fernando bakal keluar waktu Ulrich dipegangin sama harpy, entah ngerecokin harpynya supaya pegangannya lepas, atau ngagetin minotaur supaya gagal nyerang(?).
Menurut saya, sih, sudah lumayan alurnya, tapi si kodok gak kenapa-napa ngikut si Ulrich (atau Sorge) tempur. Ada beberapa masalah teknis (baca: EYD dan typo).
BalasHapusNilai: 8
SERILDA ARTEMIA
Unik, kesan pertama saya pas mbaca entri ini.
BalasHapusSeorang ras Halfling yang punya kemampuan unik pada napasnya, dan bisa dikompres jadi peluru paintball. Apa bisa dikompres dalam bentuk lainnya?
Tapi ngga nyangka sama adegan battlenya, cukup sadis juga untuk seorang remaja. Rada ngilu gimana gitu mbayangin tanduknya Ulrich yang nembus kerongkongan Oliver, darah yang mengucur, dan suara2 aneh yang dikeluarkannya. Aura2 piskopat pun muncul ketika Ulrich dengan beringasnya menusuk2 dada Oliver dengan pecahan gelas hingga puas. Kudu hati2 kalau ketemu sama Ulrich.
Tapi yang menyebabkan Ulrich seperti itu adalah Sorge ya? Jadi Ulrich seperti mengalami kepriadian ganda?
Tapi akhirnya Sorge ditinggal sendirian tak ikut ke alam mimpi. Apa itu artinya Ulrich menjadi seperti remaja normal lagi dalam artian tak akan pernah menusuk2 lawannya dengan sadis lagi?
Nilai 8
~ Alexine E. Reylynn
Bisa dikompres dalam bentuk lain kok, sebenarnya kalau niup balon atau niup permen karet dengan napasnya dan dibiarkan untuk lima menit, bisa berfungsi sebagai senjata juga.
HapusYah, untuk battle-nya memang saya bikin jadi baku hantam despreate gitu, soalnya kan kemampuan Ulrich semuanya berpusat kompresi napasnya dan serangan senapan paint ball jarak jauh. Saat kemampuan itu hilang, dia cuma bisa menggunakan fisik yang mana dia juga nggak terlalu jago bela diri. Jadi deh gitu, baku hantam gak tentu rudu :'))
Iya Sorge ditinggal, tapi bukan berarti Ulrich bakalan jadi anak baik.
Makasih udah mampir dan komen ya X'D
ok saya gk bisa komentar banyak.
BalasHapusnarasi, plot, battle dah top cer.
gk nyangka endingnya sadisme, but i like it.
mati mati mati, udah mati masih terus ditusuk, kenapa gk si leher aj skalian wkwkwk
9
Samara Yesta~
ok saya gk bisa komentar banyak.
BalasHapusnarasi, plot, battle dah top cer.
gk nyangka endingnya sadisme, but i like it.
mati mati mati, udah mati masih terus ditusuk, kenapa gk si leher aj skalian wkwkwk
9
Samara Yesta~
ijin masuk
BalasHapusuntuk teknik penarasiannya sendiri, tergolong rapi dan tertata apik. actionnya sendiri juga tergolong "penuh perjuangan" sehingga impactnya lebih berasa.
apalagi eksekusinya beuh... mantap, coba kali nusuknya ke leher terus dipuntir kayak adegan Rama nghabisin maddog
8
axel elbaniac
Mati, mati, mati...
BalasHapusItu kata favorit saya di entri ini, seolah seperti menonton anime survival dimana setiap orang yang terancam dan putus asa berusaha mempertahankan diri hingga diluar kesadarannya. Tak jarang ada yang mengatakan itu.
Untuk plot, alur, karakterisasi dan semua unsur di dalam cerita ini terbangun dengan baik. Good job, i like it.
Tapi kodoknya gak keliatan yah selama pertarungan, kirain dia jatuh atau apa gitu. XD
Battlenya juga sadis2 gimana gitu tapi wajar sih, dalam keadaan terdesak gtu. XD
Nilai : 9
Mahapatih Seno