oleh : Chandra Wu
--
King of Heart
I.
Kehidupan Yang Umum
28 November 24xx, Astro City.
Samara dan Vidi Noel, atau yang akrab
disapa Vino sedang menghabiskan waktu malam di cafe yang terletak di salah satu
sudut blok kota. Mereka juga ditemani
seorang gadis bernama Astronema, yang setia mengikuti Vidi. Jadi itu jelas
bukanlah kencan.
"Sekarang kau tiba-tiba datang
menemuiku dan ingin menginap di tempatku.
Ke mana teman-temanmu yang dari Third… Third apalah itu?" tanya Vino penasaran.
"Teman katamu? Bagiku, teman
hanyalah orang-orang berengsek. Aku lebih suka menyebut mereka dengan kata
‘rekan’. Sama halnya denganmu. Soal di mana mereka bukan urusamu. Anggap saja semua
ini sebagai bayaran dari serpihan Magicinite yang telah kuberikan padamu."
Samara meraih cangkir tehnya, lalu
menyeruput teh beraroma melati itu. Dia selalu menyukai aroma ini.
[Magicinite: Kristal sihir yang mana
sekarang menjadi sumber tenaga untuk Astronema]
Vidi berpikir sejenak sambil
menatapnya lekat-lekat. Mulutnya terbuka, “setelah kupikir-pikir, baiklah,
kukira ini setimpal.”
Sejurus kemudian, ujung mata Samara
telah tertuju pada gadis robot di sampingnya dengan cangkir teh masih menempel
pada bibir tipis menggodanya. Dia tak melepaskan lirikan itu meski Astronema
membalasnya.
Keadaan hening sesaat. Tidak satupun
dari mereka bersuara maupun mencoba memulai percakapan. Hingga akhirnya Samara
bersuara, “jadi di sanakah benda itu berada?” Samara menggoyangkan kepalanya
mengarah ke robot berwujud gadis itu.
“Memangnya di mana lagi tempat yang aman?”
jawab Vidi malas, memutar-mutar sedotan dalam gelas jusnya.
“Seingatku, bukannya dia rongsokan
yang tergeletak di tempat di mana kita bertemu pertama kali?”
“Saat itu … dia masih purwarupa yang
belum sempurna. Tunjukan padanya!” ucap Vidi.
Gadis robot itu menjelama menjadi
Samara. Kini ada dua Samara di sana, bahkan tidak ada yang bisa membedakan
mereka. Tak berselang lama kemudian, Samara memutuskan untuk menyudahi malam
itu.
“Sudahlah, ayo kita pulang!” Samara
melangkah terlebih dahulu.
Vidi cepat-cepat mengeluarkan beberapa
lembar uang lalu meletakkannya di atas meja, menyusul Samara yang menunggu di
luar pintu.
Mobil Vidi berada di seberang. Belum
saja kaki mereka menyentuh aspal jalanan, tetesan air yang memberondong mulai
mengguyur. Tanpa aba-aba, Samara, Vidi, serta Astronema berlari ke seberang dan
segera membuka pintu lalu masuk ke dalam mobil.
Tak banyak percakapan yang terjadi
selama perjalan, atau bahkan tidak ada sama sekali. Semuanya berlalu begitu
cepat hingga akhirnya mereka bertiga tiba di apartemen mewah milik Vidi yang
terletak di lantai 40 di Astro Tower.
Gedung kembar pencakar langit terbesar
dan tertinggi yang pernah dibuat manusia, dengan ketinggian mencapai 1500 meter.
Bahkan dari ketinggian mereka sekarang, Samara dapat melihat jelas seluruh isi
kota yang bermandikan hujan. Indah sekali.
Setengah jam berlalu. Pakaian Samara
telah berganti piyama putih berlengan panjang, terasa halus, ringan, dan
nyaman. Dia benar-benar merasa rileks.
Vidi memberinya kamar tamu, lengkap dengan
televisi, komputer, serta jaringan internet. Dia menunggu reaksi wanita itu
yang sepertinya terpukau dengan keindahan di luar jendela. Matanya tak lepas
dari sana sejak sepuluh menit lalu.
Tanpa berkata apapun atau sekedar mengucapkan
“selamat malam”, Vidi meninggalkannya dalam keheningan yang damai. Mereka
mengakhiri pertemuaan malam itu secepat mereka berjumpa.
Jam baru menunjukkan pukul delapan
malam. Masih terlalu dini bagi Samara untuk terlelap dalam mimpi. Jadi dia
memutuskan untuk berselancar sebentar ke dalam dunia maya yang sudah entah
berapa lama tidak disentuhnya. Mungkin ada berita-berita menarik yang telah dia
lewatkan.
Mulai dari berita perkembangan dalam
negeri hingga luar negeri. Dia tipe orang yang sama sekali tidak peduli dengan
urusan politik, baginya semua itu hanya omong kosong. Pada akhirnya, arus
membawanya hingga berita dunia hiburan.
Dari sekian banyak halaman yang telah
dia klik dan masuk, rata-rata membahas satu nama yang sama, yaitu Danny.
Bernama lengkap Danny Hart, usia 21 tahun, kebangsaan Eutria, dan segala macam
biodata mulai dari yang perlu hingga tidak perlu pun tercantum di sana.
Samara membacanya tanpa arti. Ada
sedikit getaran-getaran aneh yang seolah menyetrum kesadarannya ketika dia
mencoba mencari bagaimana rupa dari Danny Hart, sang aktor muda yang sedang
naik daun belakangan ini.
Hah …
gantengnya. Matanya yang indah … bibirnya …
Pikiran Samara seakan terbawa arus.
Untuk beberapa detik lalu, dia bahkan tidak sadar apa yang sedang
dipikirkannya. Sesaat kemudian, ada sesuatu dalam dirinya yang seperti
menamparnya hingga dia tersadar dari lamunan menggairahkan itu.
Samara tersadar secepat mata berkedip.
Dia terdiam sebentar.
Apa yang
barusan?
Otaknya berusaha mengulang apa yang
baru saja terjadi padanya. Namun dia sendiri tidak yakin. Karena rasa
penasaran, dia pun mencari lebih jauh lagi sampai menonton semua drama yang
dilakoni sang aktor muda itu.
Bukannya menemukan sesuatu, dia malah
ikut menangis. Kadang dia tertawa, lalu menangis kembali. Kisah drama yang
sepertinya sangat menyedihkan dan hebat karena mampu menggerakkan hati seorang
Samara untuk berlinangan air mata oleh sebuah kisah fiksi belaka.
“Hahaha! Samara … Samara …. Aku tidak
menyangka ternyata kau bisa menangis juga.”
Wanita itu kaget, tapi tidak berbalik
dan masih terpaku pada layar monitor di depannya. “Sialan! Sejak kapan kau ada
di belakangku?”
“Kau terlalu serius sampai-sampai
tidak menyadari kehadiranku. Jangan gara-gara hal sepele seperti itu, kau bisa
celaka. Kan tidak lucu jadinya.”
“Apalagi yang kau lakukan di kamarku
ini, Vidi Noel?” Nada Samara sedikit meninggi tapi tetap tenang.
“Sebenarnya aku ingin sedikit
berbincang-bincang denganmu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan
seseorang(manusia). Jika aku terus-terusan berbicara dengan robot-robotku,
lama-lama aku bisa gila. Makanya aku datang lagi ke sini. Dan hal yang paling
tidak kusangka adalah kau tertarik dengan drama. Seorang Samara tertarik pada
drama bertema yaoi?” Vidi menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sebenarnya aku ingin
menertawaimu sekali lagi.”
“Apa salahnya menonton sebuah drama
bertemakan cinta sejenis? Terkadang kisah mereka jauh lebih indah. Pikiranmu
saja yang terlalu sempit sampai harus mengikuti cara pandang orang lain.”
“Wow. Sekarang kau jadi semacam …
aktivis?”
“Tidak, bodoh! Aku cuma tidak melihat
itu sebagai sebuah kesalahan ataupun kebenaran. Kebanyakan orang di dunia ini
berpikir, mereka adalah sebuah kesalahan, menjijikan, dan tidak pantas ada. Itu
tidak masalah buatku. Kenyataannya, aku bahkan telah menjumpai pasangan hetero
yang jauh lebih menjijikan dalam perjalanan hidup ini. Dengan tidak
segan-segan, mereka meneriakkan ‘laknat’ pada mereka. Namun mereka tidak sadar
kata itu seperti pedang bermata dua yang menusuk mereka sendiri.”
“Hmm, jadi intinya kau ini seorang
fujoshi atau bukan?” Vidi tertarik dengan obrolannya, meski tidak terduga.
“Bukan sama sekali. Aku hanya …
katakanlah percaya pada cinta. Cinta itu aneh, buta, bisa datang dari siapa
saja, mana saja, dan kapan saja.” Samara memutar kursinya 180o
menghadap Vidi. “Sebab itu, aku percaya pada cinta mereka. Cinta yang juga sama
dengan cinta pasangan hetero. Kau pasti berpikir aku seorang yang pro, namun
kenyataannya tidak begitu. Sejak bertemu dengan rekan-rekanku itu, aku mulai
menerapkan ideologi mereka.”
“Apa itu?”
“Bagi mereka, mata kanan adalah
penilai kebaikan dan keburukan. Mata kiri adalah penyaksi ilusi dan kenyataan.
Saat kau bisa menutup kedua mata, maka kau akan melhat apa yang harus dilakukan
demi menjaga keseimbangan itu. Aku berhasil menutup mata kananku dari segala
baik buruknya dunia. Sayangnya, aku masih belum bisa menutup mata kiriku.”
“Itukah sebabnya kau masih
terbuai dengan ilusi indah dari kisah drama itu? Baiklah, aku tertarik dengan
pemikiran ideologi kalian.” Vidi beranjak dan duduk di pinggir kasur lalu
berkata, “silahkan lanjutkan!”
“Aku ingin mengajukan satu pertanyaan
padamu. Apa alasan keberadaan mereka ditolak? Jangan menggunakan alasan yang
merujuk pada agama!”
“Mmm …, karena … mungkin … pasangan
seperti itu tidak bisa menghasilkan keturunan.”
“Coba kau berandai-andai bagaimana
jika bisa!”
‘Eng ing eng, dunia akan jadi terlihat
sedikit kacau dan aneh.” Vidi mengangkat kedua tangannya tinggi, lalu
merebahkan tubuhnya ke kasur dengan kedua telapak kaki masih bertumpu di atas
lantai.
Samara terkekeh. “Dunia ini memang
sudah kacau. Jika hanya masalah keturunan, aku pikir, manusia tidak akan punah
hanya karena satu alasan itu saja.” Dia berbalik lagi mematikan komputernya.
Setelahnya, Samara bangkit dari kursi, merenggangkan seluruh otot-ototnya, dan
berjalan menghampiri jendela besar di sampingnya. Matanya menatap lurus menyaksikan
rintik hujan yang masih belum selesai dengan pekerjaannya. Lanjutnya, “kau
pikir apa para petinggi Negara peduli dengan hal seperti itu? Saat mati, kau
hanya tidak berada di dunia ini lagi. Apa yang akan terjadi di muka bumi ini,
tidak ada lagi kaitannya denganmu. Alasan apa yang membuat mereka harus peduli?
Jawab aku, Vino!”
Vidi menyatukan jari kedua tangannya.
Meletakkan mereka di belakang kepala. “Ya, mereka peduli dengan anak cucu dan
keturunan-keturunan yang mungkin masa bodoh dengan mereka nantinya. Atau
mungkin ada alasan yang lebih rumit dari ini. Bukannya manusia adalah makhluk
sosial?”
“Makhluk sosial katamu? Kau percaya hal
itu? Itulah satu kekeliruan terbesar. Aku sudah hidup lebih lama daripada kau
dan juga semua orang yang ada di atas benua ini (usia saat ini 122 tahun). Dan
aku lebih suka menyebut mereka dengan ‘makhluk semi-sosial’.”
Waktu menunjukkan pukul 12 malam. Jam
di ruangan tengah berdentang nyaring, meresap ke dalam dinding, merambat, lalu sampai
pada indra pendengaran mereka.
Vidi menguap berkali-kali. Rasa lelah
dan ngantuk tak tertahankan melanda dirinya. Hal itu membuatnya enggan untuk
merangkak keluar dari kamar ini, meninggalkan kasur empuk yang sebenarnya juga
dia miliki di kamarnya sendiri.
“Ngomong-ngomong …, bagaimana kalau
kita tidur bersama?” tawar Vidi menepuk-nepuk kasurnya tiga kali. “Aku jamin
ini akan jadi pengalaman luar biasa.”
Samara berbalik begitu mendengar
tawarannya. Senyum mengembang jelas dalam tiap langkahnya. Dia berhenti tepat
di depan Vidi yang tengah berbaring. “Bagaimana mungkin aku bisa menolak
tawaran dari tuan rumah yang baik hati ini.”
Vidi menyeringai. “Tunggu apa lagi?”
Sambil memainkan kedua alisnya.
Samara bergerak. Dia mengangkat kedua
kaki Vidi hingga sebatas pinggul, lalu memberikan satu gerakan paling mematikan
bagi laki-laki. Ya, kaki kanannya bersarang di selangkangan Vidi. Di saat
tangannya menarik kaki Vidi, di saat bersamaan pula kakinya mendorong kuat.
Laki-laki itu tersentak kaget
mendapati serangan fatal tersebut. Dia menggelepar. Tangannya berusaha meraih
kaki Samara, namun wanita itu semakin kuat memberikan dorongan. Terdengar suara
cekikikan serta ringisan tanda derita. Semua tergambar di wajahnya.
“Masih ingin tidur denganku?” tanya
Samara semakin beringas. Dia juga sedikit menahan tawa.
“Sudah, sudah, hentikan, Sam!
Hentikan!”
Samara menghentikannya. Dia yakin Vidi
pasti akan kapok. Sedikit keterlaluan memang, walau sebenarnya dia hanya ingin
bermain-main dalam konteks “sedikit kasar”.
Yang terdengar selanjutnya hanyalah
suara mengaduh dari pemuda malang itu. Niat hanya menggoda malah berakhir
petaka. kasihan. Dia pun berguling hingga ke ujung kasur seberang. Dengan tertatih-tatih,
dia berusaha menggapai pintu.
“Sialan! Kau keterlaluan, Sam!”
“Ups, maaf. Selamat malam. Semoga
mimpimu indah.”
Pintu tertutup kembali. Semuanya
kembali tenang, damai, dan waktunya untuk beristirahat. Sebelum Samara benar-benar
terlelap, sesuatu lewat di otaknya sepintas.
Kisah yang
indah.
—[][][]—
II. Teman
Lama
Sinar terang menembus masuk melalui
jendela. Cuaca di luar begitu cerah, setelah langit menangis semalaman. Sinar
tersebut membelai permukaan kulit Samara dengan penuh kehangatan, membuatnya
terbangun dari mimpinya dengan segar.
Meski begitu, otaknya tidak mampu
memberikan gambaran akan siapa dan apa yang terjadi dalam mimpi semalam.
Otaknya benar-benar tidak mampu mengulangi kejadian itu, seolah memori tersebut
sudah terhapus. Bahkan dia yakin ada suara-suara yang terdengar, namun hal itu
juga samar-samar tentunya.
Samara bangun, mencoba menuju ruang
tengah, terasa hening seperti tidak ada kehidupan sama sekali. Dia melirik jam
besar di dinding kirinya, pukul tujuh pagi. Saat melewati sofa, dia melihat
sesosok manusia terbaring di atasnya. Dia mendekat, lalu menggunakan kakinya
menedang kecil kaki orang itu.
“Hey, bangun!”
Semalaman Vidi tidur di sofa di ruang
tengah. Dia sudah terbiasa melakukan itu, berulang kali, bahkan sudah menjadi
kebiasaan.
Matanya terbuka pelan, mengintip siapa
yang membangunkannya. Dengan agak malas, dia bergeser ke posisi duduk, menguap
dengan mulut terbuka selebar-lebarnya, sambil mengucek matanya beberapa kali.
“Kau bisa berjalan?” Itu pertanyaan
pertama yang keluar dari mulut Samara.
Mendengarnya membuat Vidi berpikir
bahwa perempuan itu menaruh prihatin padanya atas kejadian semalam. “Entahlah.”
Dengan tololnya, dia menarik celananya lalu mengintip isinya. “Kukira masih
berfungsi dengan baik.”
Mulut Samara berkedut mendengar
jawabannya. Dia pun mengambil tempat di sebelah Vidi dan duduk sambil menguap
kecil. “Dasar mesum!”
“Siapa yang mesum? Atau jangan-jangan
kau bahkan belum pernah melakukannya selama ini? Iya ‘kan?”
“Hei, dengarkan aku! Aku—Samara—tidak
peduli dengan hal itu. Tidak peduli kau mau bercinta dengan siapapun, oke? Aku
tidak peduli.” Samara memicingkan mata ke arah Vidi. “Jika itu berkaitan
denganku, maka kau tidak akan kulepaskan.”
Mata Vidi melebar. “Jadi benar ‘kan
kau masih perawan?” Tawa Vidi menggelegar ke tiap sudut ruangan, memecah
keheningan. “Samara … Samara …, kau ingin memecahkan rekor perawan abadi, ya?”
Samara tidak menyesal atau tersipu
malu melihat reaksi Vidi yang seakan-akan menggoloknya. Memang itulah
kebenarannya. Namun hal yang membuatnya berdecak jengkel adalah ketika reaksi
yang dikeluarkan Vidi tidak terkendali.
Laki-laki itu terus tertawa karena
menurutnya terdengar lucu. Tubunya tidak bisa diam, terus berguling ke sana
berguling ke sini. Sampai akhirnya dia menungging, membuat bokongnya mengarah
ke Samara secara tidak sadar. Alhasil, satu tendangan berhasil membuatnya
terjerembab.
Vidi mengaduh. “Kau ingin membunuhku,
ya?”
“Jika aku ingin membunuhmu, maka sudah
kulakukan sejak awal. Belakangan ini aku sedang malas menggunakan kekuatanku.
Aku ingin mencoba hidup normal.” Samara berdiri. Ia berseri-seri. “Cepatlah
mandi dan ganti pakaianmu!”
“Mau ke mana?”
“Kita jalan-jalan ke luar.”
“Apa ini sejenis kencan?” Vidi
bersemangat.
“Tergantung ….”
Vidi tersenyum simpul. Lekas dia
berdiri dan bergegas membersihkan dirinya yang tampak berantakan.
Lima belas menit sesudahnya, keduanya tampak
rapi dan bersih dengan dandanannya sendiri. Terutama Vidi, dia terlihat lebih
baik dengan gaya kasualnya sekarang. Lebih sedap dipandang. Berbeda dengan
Samara yang mengenakan baju setengah lengan dan celana panjang. Keduanya
berwarna hitam, memberi kesan elegan padanya.
Pemuda itu mengerjapkan matanya
menyaksikan sosok anggun di hadapannya. Samara tampak menarik, seperti
biasanya, terutama dalam balutan warna hitam. Hingga retina hijaunya kelihatan lebih
lencolok.
—[][][]—
Setelah sarapan di salah satu toko
yang menjadi favorit Vidi, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar.
Vidi membawa Samara berjalan mengelilingi blok demi blok Astro City. Suasananya
lumayan ramai, kebetulan hari itu adalah hari minggu.
Mereka berjalan seperti sepasang
kekasih, namun sayang keduanya tidak berpegangan tangan. Hal itu tidak mungkin
terjadi, walau Samara tidak mengatakan “tidak” ataupun “iya” untuk itu.
Mengingat kejadian semalam saja, sudah membuat pemuda itu bergidik ngeri.
Setelah lumayan jauh dari kediaman,
Vidi dan Samara tiba di salah satu blok. Di sana telah terlihat puluhan lusin
orang, baik pria atau wanita, tapi lebih didominasi oleh wanita tentunya. Karena
penasaran, Samara meminta Vidi untuk mengantarnya mendekat ke sana, mencoba
mencari tahu apa yang terjadi.
Sebuah mobil hitam datang. Pintu
belakang terbuka. Keluarlah seseorang dari dalamnya yang membuat teriakan para
fans fanatik itu semakin bising dan memekakkan telinga.
Sang aktor muda pendatang baru yang
sukses dengan drama barunya telah berhasil memikat hati para penonton setianya.
Jumlah fansnya semakin bertambah dari hari ke hari.
“Danny!”
“Danny! We love you!”
“Arghh, Danny!”
Spanduk, poster, dan segala macam
benda yang bertuliskan nama sang aktor serta fotonya, berkibar lebih
bersemangat ketika sosok yang ditunggu-tunggu itu hadir.
Kilatan cahaya blitz menembak dari
mana-mana. Suasana kian histeris. Sang aktor—Danny Hart—memberikan tandatangan
dan berfoto selfie dengan penggemarnya sebelum memasuki gedung studio untuk
mengisi sebuah acara sebagai tamu spesial.
Di tengah keramaian yang mengelilingi
Danny, seseorang muncul entah dari mana. Orang itu mengenakan jaket kulit hitam
panjang hingga betis. Dia berdiri begitu saja di tengah-tengah sambil
menundukkan kepalanya, di mana fans-fans yang lain berada di belakang pagar
pembatas.
Melihat keberadaan orang asing itu,
sontak membuat Danny sendiri kaget. Beberapa bodyguard yang bertugas segera
menghampiri sosok asing tersebut dan bermaksud untuk menyeretnya keluar. Namun
sebelum dia diseret, orang itu mengangkat wajahnya, menunjukkannya pada Danny
Hart.
“Kau …?” gumam Danny sedikit ragu.
“Ya, ini aku, Danny! Gunawan … Gunawan
Swikosta. Masih ingat? Sedikit?” ucap orang itu. Dia masih terlihat muda, atau
usianya hampir sama dengan Danny.
Ketika beberapa bodyguard hendak
menariknya, Danny menghentikan mereka.
“Bagaimana? Kita pernah sekelas selama
setahun, lho. Memang aku tidak seterkenal dirimu. Apa mengingat kembali nama itu
begitu sulit untuk anak sepertimu?”
Danny berusaha menggali memorinya
lebih dalam. Agak samar-samar, sebab itu adalah memori empat tahun lalu.
Mungkin butuh waktu sedikit lama, karena suara dari para fans di sekitar cukup
mengganggunya.
“Aku akan membantumu dengan sebuah
kutipan, ‘beberapa orang berubah. Beberapa tidak berubah. Beberapa lainnya
berubah terlalu banyak’. Merasa familiar dengan kutipan itu?”
Danny ingat sekarang. Pemuda yang
berada di hadapannya kini memang adalah teman sekelasnya dulu. Nama belakangnya
begitu mengingatkan Danny akan seseorang yang duduk di bangku paling belakang,
yang selalu dianggap paling aneh, dibully, dan hampir tidak memiliki teman.
Melihat kondisi mata aktor tampan itu
yang sedikit berubah, Gunawan tahu kalau dia sudah sadar. “Dan kulihat kau
sepertinya hampir tidak berubah. Sama seperti dulu. Selalu dikerubungi
orang-orang. Disukai oleh semua wanita dalam sekali pandang.”
Danny tidak terlalu mengerti apa yang
dia ucapkan. Danny harus bergegas untuk masuk ke dalam karena acara akan segera
dimulai. “Maaf, aku hampir lupa kalau ini dirimu, teman.”
Gunawan menyunggingkan senyum. “Teman
katamu? Aku merasa kau mungkin akan menyesal menyebutku teman atas apa yang
akan terjadi nanti.”
Aktor itu benar-benar tidak mengerti
maksudnya dan kembali dengan nada penuh keraguan. “Ada yang bisa kubantu,
Gunawan …?”
“Tentu saja. Kau harus ikut
bersamaku!” Gunawan menghampiri Danny, lalu menarik kerah bajunya. “Sekarang!”
Sontak kelakuannya langsung membuat
ketiga bodyguard tadi kembali bereaksi. Tapi tiba-tiba saja seorang dari mereka
jatuh terkapar di tanah dengan sebuah bekas luka di dahi yang mengalirkan
darah.
Tak ayal, seluruh manusia di sana
langsung melarikan diri sambil berteriak. Seseorang telah terbunuh. Sisa kedua
bodyguard diam tak berkutik. Mereka sama sekali tak berani bergerak.
Sementara itu, tangan Gunawan masih
jelas membentuk visualisasi pistol seperti yang dilakukan anak kecil ketika
bermain. Tak lebih dari sepuluh detik kemudian, kedua bodyguard juga mengalami
nasib serupa. Dahi mereka berlubang.
Luka itu tampak seperti luka tembakan,
tapi tidak ada suara letusan pistol yang terdengar.
“A-apa yang kau lakukan sebenarnya?”
tanya Danny dengan nada ketakutan melihat ketiga penjaganya tewas.
“Sudah kubilang, aku akan membawamu dengan
paksa. Tak peduli kau mau atau tidak.”
Di tengah-tengah ketegangan, akar
raksasa muncul di dekat mereka. Akarnya meliuk-liuk melesat ke arah Gunawan,
sehingga pemuda itu terpaksa melepaskan cengkramannya pada Danny lalu bergerak
menjauh.
Di saat bersamaan, satu tendangan
bersarang ke pipinya. Pemuda itu terpelanting sampai mengahantam tembok di
seberang jalan. Samara berdiri di tengah jalan, sementara Vidi yang tidak tahu
apa-apa hanya mengekor, berdiri di dekat sang aktor sesuai permintaan Samara
untuk menjaganya.
Gunawan kembali bangkit sambil bertopang
pada dinding di dekatnya. Matanya menatap tajam ke arah Samara. Punggung tangan
kirinya mengelap darah di ujung bibir akibat tendangan tadi.
“Siapa kau?” tanya Gunawan marah.
“Begitu melihat lambang di bahu
jaketmu, aku langsung sadar kalau itu kalian. Enam lingkaran saling berkaitan,
dengan inisial ‘HC’ di tengahnya. Hybrid Company! Aku benar ‘kan?”
Vidi dan Danny bingung harus berkata
apa. Mata mereka berdua bertemu sesaat. Seketika itu juga, ada sebuah sensasi
aneh yang belum pernah dirasakan terjadi pada Vidi. Dia tidak tahu apa itu,
namun ada semacam energi emosional yang kuat melanda dirinya.
Gunawan menjilati bibirnya sambil
bertepuk tangan untuk Samara. “Bravo! Tebakanmu tepat sekali.” Setelah satu
desahan nafas panjang, dia melanjutkan, “kukira semua akan berjalan lancar dan
bisa kuatasi sendirian sebelum dia tiba. Tapi sepertinya aku harus merepotkan
dia sekali lagi.”
“Aku tahu apa yang kalian lakukan.
Kalian menangkap anak-anak yang memiliki kemampuan kinesis, lalu kalian latih
untuk dijadikan pasukan tempur. Di sisi lain, kalian juga mencuri kekuatan itu
dan menanamkannya pada tubuh baru.”
“Kulihat … kau tahu banyak tentang
kami. Aku tidak punya banyak waktu berbincang denganmu, jadi aku akan
mengambilnya kembali.” Tunjuk Gunawan pada Danny.
“Sayangnya aku tidak membiarkan hal
itu terjadi,” timpal Samara.
Gunawan memberi seringai miring.
Kakinya melangkah maju. Pemuda itu berhenti tepat di depan fire hydrant yang membelakangi dirinya.
“Hei! Apa yang sedang kalian berdua
bicarakan? Tolong jelaskan padaku!” tukas Danny.
“Kau memang tidak berubah banyak,
Danny. Masih saja tidak mengerti apa yang bisa kau lakukan. Nyatanya kau hanya
seekor angsa menawan yang terbang lurus tanpa berhenti untuk berpikir sejenak.”
“Dan itu yang kalian incar, bukan?”
Samara menimpali lagi.
Gunawan beralih memicingkan matanya
kepada Danny. “Kau yang dari dulu tertawa dan merasa bebas, di mana aku selalu
bersembunyi dalam ketakutan dan kesendirian karena kekuatan ini. Akan
kutunjukan padamu bahwa dunia tak seindah yang kau kenal.”
Pipa air di belakang Danny meledak.
Pancuran air melebihi dua meter terus menyembur keluar dari dalam tanah,
membuat aspal di sekitar banjir. Dengan kemampuan hydrokinesisnya, Gunawan
menarik semua air itu dan membuatnya melayang mengelilinginya di sekitar.
Hal itu lantas membuat Danny terkejut.
Ternyata
semala ini dia ….
Serangan pertama dimulai. Vidi yang
seharusnya tidak terlibat, malah mengambil urutan pertama. Dengan menggunakan
metallokinesis, dia mengangkat mobil yang terparkir di dekat sana lalu
melemparkannya ke arah Gunawan.
Sayang sekali, laju kendaraan itu ditahan
oleh air yang membentuk dinding pelindung sebelum menggapai targetnya.
“Terkadang air bisa menjadi perisai
tak berbentuk dan mematikan,” ucap Gunawan, sebelum akhirnya tiga buah mobil
kembali menyerangnya dari kiri, kanan, dan atas. Namun lagi-lagi perisai air
melindunginya secara sempurna.
Samara memanfaatkan waktu ketika
pandangan Gunawan terhalang mobil dan menarik Danny yang seakan kesadarannya
hilang setengah masuk ke dalam gedung. Di luar, Vidi berusaha menahan Gunawan.
Dia menarik beberapa mobil, berniat menghalangi pintu masuk. Dalam sekejap
mata, serangan dari Gunawan menghancurkan pertahanannya.
Butiran-butiran kecil air menembak
beruntun ke arah pintu masuk bagai senapan mesin, bahkan lebih kuat. Peluru
airnya mampu menembus mobil, menghancurkan jendela-jendela, menyebabkan Vidi
yang berlindung di balik mobil bergeming karenanya.
Untungnya dia telah menyimpan Milinium
di dalam tubuhnya, material terkuat yang membuatnya selamat dari luka tembakan
ini. Tapi dia tetap merasakan peluru air itu bagaikan sentilan-sentilan. Betapa
hebat kekuatan air itu pikirnya, jika dibandingkan dengan peluru yang biasanya
tidak dia rasakan sama sekali.
Rongsokan-rongsokan mobil menghalangi
pandangan Gunawan. Vidi memanfaatkan kesempatan tersebut, menyusul Samara ke
dalam gedung.
Bentuk dari gumpalan air berubah,
semakin membesar, dan semakin berwujud. Ujungnya mulai membentuk rahang dari
suatu makhluk dengan moncong panjang.
Water Dragon!
Naga air itu segera melesat,
menghancurkan rongsokan mobil yang menghalangi pintu masuk. Tak berapa lama
kemudian, bangunan setinggi enam lantai itu memuntahkan air dari tiap jendela
ataupun celah.
Sebelum serangan naga air membanjiri,
Samara, Vidi, serta Danny telah berhasil meloloskan diri melalui pintu
belakang. Mereka berlarian di lorong di antara bangunan-bangunan, menyaksikan
air memecahkan jendela, menghanyutkan semua barang dari dalam gedung itu.
Satu hal yang menyebabkan mereka
bertiga terkejut adalah ketika gedung itu mulai rubuh tiba-tiba. Asap serta
puing-puing bangunan berderai ke mana-mana. Salah satu puing nyaris saja
membentur kepala Danny.
Sebenarnya Danny enggan mengikuti
kedua orang asing ini, tapi karena terus dipaksa oleh Samara, mau tidak mau menurutinya.
Mereka berhenti sejenak setelah dirasa
cukup jauh. Vidi dan Danny duduk di atas tumpukan balok kayu. Nafas keduanya
memburu hebat. Lain halnya dengan Samara, dia terlihat biasa saja, berusaha
membersihkan debu yang menempel di pakaiannya.
“A-apa yang terjadi se-sebenarnya?”
Danny berusaha berbicara di tengah nafasnya yang tidak teratur.
“Kaulah masalah sebenarnya, Danny
Hart.” Samara memberitahu.
“A-aku?”
Vidi tidak berkomentar banyak. Dia
daritadi hanya menatap lekat-lekat wajah Danny yang berada di sampingnya.
Sampai-sampai Danny sendiri kaget mendapati pemuda itu sedang memerhatikan
dirinya. Dia merasa sedikit aneh, apalagi dengan tatapan yang tidak biasa
seperti itu.
“Hei! Ada yang salah?” tanya Danny
polos.
“Ti-tidak ada. Lupakan!” balas Vidi
singkat.
“Memangnya apa yang sudha kulakukan?”
“Kau benar-benar tidak tahu? Wajar
saja. Tidak pernahkah terpikir di benakmu, mengapa semua orang sangat tertarik
denganmu? Seolah ada semacam daya tarik yang tak bisa dijelaskan. Apa kau pikir
itu semua karena wajah tampan belaka, kharisma, atau kemampuan aktingmu?” tutur
Samara.
“Beritahu aku!”
“Amokinesis! Kemampuan yang
memanipulasi cinta … mungkin lebih tepatnya perasaan. Hanya saja, secara tidak
sadar kau menggunakannya tanpa bisa dikendalikan. Kau dengan mudah bisa mencuri
hati seseorang dan menaklukkannya, terutama hati yang lemah dan rapuh.”
“Amokinesis?”
“Salah satu kekuatan yang mengerikan.
Aku pernah mengenal seseorang dengan kemampuan serupa di masa lalu.”
“Lalu di mana bagian mengerikannya?”
Vidi memotong karena penasaran.
“Ketika kau berhasil menaklukan hati
orang itu, maka dia akan rela melakukan apapun. Bayangkan jika skalanya adalah
seluruh dunia. Ironisnya, kemampuan ini juga bisa menyebabkan seorang
heteroseksual menjadi homoseksual dan sebaliknya, bahkan menggerakkan hasrat
seorang aseksual. Sebab begitu perasaan sudah tertanam, dia akan menumbuhkan
kelopak cinta dan mekar menjadi bunga nafsu. Aroma cinta yang kau tumbuhkan
untuk dia, lakukan untuk dia, dan hanya dia.” Samara mengedipkan matanya pada
mereka berdua. “Kalian paham maksudku, bukan?”
Danny memutar kepalanya yang terasa
berat ke arah Vidi. Pemuda itu segera berpura-pura membetulkan tali sepatunya
karena takut ketahuan menatapnya lagi.
“Yo yo yo! Ada pembahasan menarik di
sini. Kalian memang pintar memilih waktu dan tempat.”
Suara itu lantas membuat mereka
melebarkan mata. Gunawan Swikosta telah bertengger di atas dinding yang berada
persis di belakang Danny dan Vidi sekarang ini. Dia berjongkok di atas sana,
kedua siku tangannya menempel pada lutut dan digoyang-goyangkan pelan.
Water Gun!
Peluru air ditembakan, menembus dada
Samara. Serangan itu jelas menyebabkan Samara segera tumbang ke atas tanah dengan
posisi tengkurap.
Lagi-lagi kedua pemuda itu melarikan
diri. Gunawan membiarkan mereka pergi, lalu menyusulnya dengan langkah santai
meninggalkan tubuh Samara di sana sendirian.
“Bisa tolong lepaskan tanganku?”
“Tidak! Karena aku yang akan menjagamu
sekarang,” tukas Vidi.
Kata-katanya barusan terdengar ganjil
di telinga Danny, tapi dia tidak mempermasalahkannya untuk saat ini. Keduanya
tiba di area konstruksi. Terlihat tiga kendaraan berat terparkir di sana. Suasana
begitu sepi, mungkin sedang jam istirahat.
Setelah Vidi melepaskan genggamannya,
Danny mengusap-usap pergelangannya yang sakit.
Otak Vidi terus berputar, ke mana lagi harus bersembunyi?
“Serahkan Dannyku, atau kau kueksekusi
di sini sekarang juga!” sahut sebuah suara dari belakang.
Tanpa pikir panjang, Vidi melemparkan
ekskavator di depannya . Kendaraan berat itu melayang ke belakang mengarah ke Gunawan.
Water Jet!
Segumpalan air yang mengerubungi
Gunawan berubah bentuk. Wujudnya bak seutas tali yang menembak lurus ke arah
ekskavator itu datang, membelahnya secara vertikal. Alhasil kendaraan besi
tersebut terbelah menjadi dua bagian, jatuh ke sisi kanan dan kirinya.
Vidi terbelalak, baru pertama kali ini
dia menyaksikan bagaimana air mampu membelah sebuah ekskavator dengan mudahnya.
Tangan kanan Gunawan diangkat, jari
telunjuknya menunjuk ke atas. Air-air langsung bergerak naik, membentuk bola air
raksasa. Sebelum apa yang ingin dilakukannya terlaksana, sesosok bayangan
melesat cepat mendekati pemuda itu.
Plak!
Gunawan Swikosta berhasil menangkap
kaki Samara tanpa menoleh sedikitpun. “Jangan lakukan ini lagi! Aku benar-benar
tidak menyukainya,” sahutnya dengan nada kesal.
Samara tersentak. Yang terjadi
berikutnya adalah dia merasakan tubuhnya terangkat, melayang, lalu terlempar.
Begitu mendarat di atas tanah, tubuhnya berguling-guling dan berhenti tepat di
depan Danny. Wanita itu kembali berdiri setelah menopangkan kedua tangannya.
Celananya sedikit robek di bagian lutut.
Gunawan kembali memerhatikan dengan
lebih seksama. Dia ingat betul kalau peluru air menembus tepat di dadanya,
namun mengapa sosok yang seharusnya sudah tewas itu kini masih bisa bergerak
bahkan menyerangnya? Dia benar-benar tidak habis pikir.
“Hei! Seingatku kau sudah mati.”
Gunawan memicingkan matanya, saat yang terlihat di balik lubang baju akibat
peluru tadi adalah kulit putih yang mulus, bukannya luka yang mengeluarkan darah.
“Aku mengerti sekarang. Mari kita lihat apa kau masih bisa beregenerasi setelah
ini.”
Bola air raksasa yang telah menanti di
atas kepalanya mulai beraksi. Dari dalam sana, menembaklah keluar dua jalur air
yang mirip seutas tali. Dengan tekanan yang luar biasa, air itu menjadi alat
pemotong sempurna.
Double Water Jet!
Samara dan Vidi sontak berlari
menghindar ketika menyadari tembakan air itu hanya mengejar mereka. Ke mana pun
mereka pergi, pemotong itu akan mengikuti gerakannya bahkan dalam pola zig zag
sekalipun, memotong semua yang berada dalam jalurnya.
Perhatian Gunawan terfokus pada dua
ekor tikus pengganggu tersebut. Padahal ini waktu yang tepat bagi Danny untuk
melarikan diri, tapi dia tidak melakukannya, hanya mematung menyaksikan yang
terjadi seolah orang bodoh.
“Hei! Apa yang kalian lakukan di sini?
Ini bukan tempat bermain!” teriak salah satu pekerja saat menyadari kehadiran
beberapa bocah.
Splashh!
Malang sekali nasibnya. Samara tidak
menyadari kalau sosoknya tiba-tiba saja muncul di belakangnya, sehingga air
pemotong tersebut menebas tubuhnya sampai terbelah dua.
Di pihak lain, Vidi jatuh tersungkur
saat mencoba menyerang Gunawan. Serangan tekanan air berhasil menebas perutnya.
Lantas bajunya pun tampak koyak segaris lurus horizontal di area tebasan,
meninggalkan ruam merah pada permukaan kulit. Meski begitu, dia masih tetap
bergerak.
Sialan! Jika
bukan karena Milinium, mungkin aku sudah mati. Sakit sekali.
Samara tak bisa berbuat banyak dalam
pelariannya. Mengeluarkan serangannya pun percuma saja, mengingat airnya mampu
memotong apapun. Satu-satunya rencana terbaik adalah menunggu.
Seiring waktu berlalu, bola air
raksasa semakin mengecil dan mengecil hingga akhirnya menghilang. Airnya telah
habis. Baik Samara maupun Vidi bisa kembali tenang. Mereka kembali bersatu di
hadapan Gunawan.
“Kelemahan tersebesar seorang
hydromancer adalah air itu sendiri. Saat dia kehabisan air, maka tamatlah dia.”
Samara mengingatkan.
“Tidak perlu kau beritahu pun aku
sudah tahu. Jangan meremehkanku! Aku sudah mengalahkan banyak sekali orang.” Gunawan mengangkat kedua tangannya tinggi.
Terdengar bunyi ledakan tak jauh dari
area konstruksi. Pipa air bawah tanah meledak. Segera semburan air tersebut
dikendalikan Gunawan dan mewujudkannya dalam bentuk yang familiar. Dari tempat
mereka berdiri sekarang, tampaklah dua sosok naga air yang menjulang tinggi.
Begitu tangan Gunawan diturunkan
secara bersilangan, kedua naga air itu bergerak. Mereka saling bertabrakan,
lalu membentuk satu wujud yang jauh lebih besar. Dengan rahang terbuka siap
menerkam, naga airnya melaju cepat menghampiri Samara dan Vidi.
Samara langsung menapakan tangannya ke
permukaan tanah. Muncullah sebuah sulur dengan sehelai daun. Kemudian tumbuhan
itu tumbuh kian tinggi dan membesar, hinnga terciptalah sebuah pohon besar di
hadapannya. Dia berniat menjadikan pohonnya sebagai perisai.
Splashhh!
Terjangan naga air membentur pohon,
mengakibatkan air terciprat ke mana-mana membasahi area sekitar. Serangan masih
berlangsung. Kini mereka berdua berada pada titik di mana “serangan atau
pertahanan siapa yang jauh lebih kuat”.
Air terus terciprat. Setelah tiga
puluh detik kemudian, serangan berakhir dengan menyisakan pemandangan sebuah
pohon dengan batangnya yang setengah menghilang. Terjangan air yang kuat
berhasil merobek kulit pohon serta mengikis batangnya. Namun akar yang kuat
membuatnya tetap kokoh berdiri.
“Tck!” Gunawan berdecak. Dia hampir
terjatuh saat mencoba bergerak, sebab Samara telah mengikat kedua kakinya
dengan sulur yang muncul dari bawah tanpa dia sadari.
Jauh sebelum itu, Vidi telah berdiri
di hadapan ekskavator lainnya. Tangannya menyentuh permukaan kendaraan. Materi
logamnya terserap ke dalam tangan, dan hal itu membuat keduanya tampak bersatu
seolah ekskavatornya kini menjadi kepalan tangan Vidi.
Menyadari bahaya mendekat, sebisa
mungkin Gunawan menarik genangan air terdekat guna membentuk pelindung, meski waktu
terlalu sempit untuk mencapai wujud sempurna.
Tak ayal perisainya pecah, seketika
itu juga tubuhnya langsung terpental jauh saat terhantam ekskavator yang telah
menyatu dengan Vidi. Berpuluh-puluh meter jauhnya sampai sebuah dinding
menghentikan lajunya, ditambah beberapa pipa besi yang menganggur ikut
menimpanya.
Butuh waktu cukup lama sampai Gunawan
kembali bangkit dari tumpukan batu dan besi. Saat itu terjadi, mereka semua
telah menghilang dari pandangan. Beberapa orang yang berpakaian jas hitam
formal ala pria kantoran segera menghampiri Gunawan. “Anda tidak apa-apa, Tuan?”
Pemuda yang mereka panggil tidak segera
menyahut. Tangannya sibuk menekan sebuah alat kecil yang menempel pada rongga
telinganya, dan berbicara dengan orang di seberang sana.
“Bereskan semua kekacauan di sini!”
perintahnya singkat, sambil berlalu pergi meninggalkan beberapa orang tadi
dengan wajah kusam berdebu dan dahi yang berdarah.
—[][][]—
III. Amokinesis
Selama satu jam mereka sempat
tersesat. Sususan blok di kota ini terasa banyak sekali yang berubah, bahkan
ada bangunan yang sebelumnya tidak ada. Hal itu membuat sang penunjuk jalan—Vidi—jadi
bimbang dan terheran-heran, mengapa hal ini bisa terjadi.
Kemudian matanya menangkap pemandangan
dua buah gedung kembar yang puncaknya kelihatan samar, padahal sebelumnya tidak
terlihat sama sekali. Ditaksir dari ukuran gedung dan tempat mereka berdiri
sekarang, mereka sudah tersesat terlalu jauh. Mungkin butuh waktu lebih dari
yang diperkirakan untuk sampai ke tempat itu.
Samara lupa kalau memilih berjalan
kaki adalah sebuah kesalahan fatal. Pasalnya, sejauh kaki melangkah, sepanjang
itu pula kharisma sang aktor menebar ke mana-mana tanpa disadari. Hal itu
tentunya mengundang ponsel-ponsel dan kamera untuk saling bersaing mengambil
gambar dan video.
Satu orang menyadari keberadaan Danny,
menyebar ke orang di sampingnya, dan seterusnya. Selanjutnya, segerombolan fans
tiba-tiba muncul mengejar mereka. Baik itu wanita maupun pria yang diam-diam
mengagumi. Sekuat apapun laki-laki itu membantah dan mengatakan dia lelaki
super normal yang “cuih” jika harus sampai mengagumi laki-laki selain dirinya
pun tunduk dibawah Amokinesis.
Kemampuan itu sekarang malah membuat keadaan
semakin kacau. Mereka bertiga berlari lagi, mengejar taksi yang berhenti di
depan. Seorang penumpang hendak masuk ke dalam, namun dengan sigap Samara
menarik tangannya dan menghentikannya. “Kami memerlukan taksi ini.”
“Aku yang memanggilnya duluan. Kau
pikir siapa dirimu?” bentak ibu-ibu paruh baya dengan rambut keritingnya.
Samara menyikut Danny, menyuruhnya
berganti posisi. Danny maju ke depan. “Maaf! Boleh kami ambil taksinya, Bu?”
Amokinesis kembali bereaksi, seolah
menghipnotis ibu-ibu itu dalam hasrat keduniawian yang menggairahkan,
perasaan-perasaan yang sudah lama layu kini kembali mekar dalam hatinya.
“Silahkan! Silahkan, anak muda! Gantengnya!” Sambil mecubit pipinya dengan gemes.
Cepat-cepat Samara mendorong Danny
masuk ke dalam diikuti dirinya dan Vidi. Sebelum penggemar gilanya menghalangi
taksi, kendaraan telah melaju pergi meninggalkan korban-korban perasaan di
belakangnya.
Setelah berbagai peristiwa melelahkan,
tibalah mereka di depan pintu apartemen mewah Vidi. Pintu berdaun ganda itu
terbuka, seseorang di baliknya tampak menyambut kehadiran mereka.
“Selamat datang kembali, Tuan.
Kelihatannya Anda membawa seorang tamu lagi,” sapa Astronema dengan senyum
mengembang.
“Atau lebih tepatnya korban
penculikan,” sela Danny berusaha mengoreksi keadaan.
Setelah pertarungan sengit selesai,
Samara terus berperan seolah menjadi penculiknya dengan tetap menarik
tangannya. Karena dia tidak bisa membiarkan Danny sendirian. Dia tahu kalau
melepaskannya, maka orang-orang dari Hybrid Company akan kembali datang
untuknya.
Bukan berarti dia memilih untuk
melindungi sang aktor, melainkan dia mencegah kemampuan yang dimilikinya jatuh
ke tangan mereka. Mengingat Company tersebut sanggup memodifikasi kemampuan
yang mereka curi, kalau sampai itu terjadi, maka seluruh dunia akan ditaklukan
dalam sekejap.
“Hei! Seharusnya kau berterima kasih, kalau
bukan kami yang menolongmu, pikirmu apa kau masih bisa bernafas dengan leluasa
seperti sekarang ini? Lagipula kau bisa melarikan diri tadi, kenapa kau tidak
melakukannya? Aku mengawasimu lho.”
Danny tertampar oleh kata-kata Samara.
Apa yang diucapkannya tidak salah. Kalau bukan mereka, sekarang dia sudah
berada entah di mana. “Baiklah, maafkan kata-kataku tadi. Terima kasih atas
bantuan kalian. Tapi yang kukhawatirkan adalah apa yang akan muncul di berita
nanti.”
Vidi tiba-tiba saja merangkul leher
Danny dan membawanya masuk. “Lupakan hal itu sejenak. Sekarang biar aku yang melayanimu
sebagai tuan rumah. Oh, ya. Ngomong-ngomong … maukah kau jadi adik angkatku?
Soalnya kau mengingatkanku akan seseorang.” Entah angin apa, tanpa ragu-ragu
Vidi menanyakan pertanyaan semacam itu.
Danny menatapnya dengan mulut sedikit
terbuka. “Emm, kukira teman saja sudah cukup.”
“Baiklah, teman! Tunggu! Ada sesuatu
di si ….” Vidi menggunakan ibu jari kirinya dan membersihkan noda hitam di pipi
kanan Danny.
Wajahnya terlalu dekat sampai Danny mampu
merasakan desahan nafasnya. Terasa tidak biasa untuknya. “Kau tidak merasa ini
sedikit aneh?” ucapnya pelan berusaha mendorong tangan Vidi menjauh.
“Apanya yang aneh? Bukannya teman
harus harus saling membantu?” Vidi terus berusaha menyentuh pipi mulusnya. “Bagaimana
kalau mandi bersama? Biar kubersihkan punggungmu.”
“A-apa barusan?”
“Mandi bersama.” Tangan Vidi mulai
menarik dan melepaskan kancing teratas kemeja teman barunya.
Entah raut macam apa yang ditunjukkan
Danny saat ini. Yang pasti dia seperti merasa ada sesuatu yang tidak beres
dengan orang baru ini. Tangannya cepat menepis jari jemari Vidi yang bergerak.
“A-aku tak perlu bantuanmu!”
Astronema memerhatikan dengan seksama
dari ambang pintu. Berdiri di sampingnya, Samara, bukan mulai lagi tapi sudah
menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Apa yang terjadi dengan Tuanku,
Nona?”
“Sesuatu yang tak akan bisa dirasakan
oleh robot sepertimu. Tuanmu itu … terlena lebih jauh daripada yang
kubayangkan. Kuharap dia tidak akan berbuat nekat. Seandainya terjadi pun, aku
tidak sanggup menolongnya.”
Sesaat kemudian, semua mulai berpencar
melakukan urusan masing-masing. Kala itu, hari sudah semakin sore. Astronema
bergerak ke dapur menyelesaikan pekerjaannya, mengeluarkan beberapa bahan
tambahan dari dalam kulkas mengingat mereka kedatangan seorang tamu.
Setelah bahan-bahan diolah, barulah
dia mulai melakukan keahliannya. Aroma masakan mengarungi udara bagian dapur. Bau
harum yang akan meracuni tiap indra penciuman manusia.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi
kulihat Tuan begitu bahagia,” sahut Astronema mendadak, meski tidak ada seorang
pun di sana.
“Meowww,” suara si kucing berbulu
keemasan—Buster—dari atas kulkas. Kucing robot ini tak pernah jauh-jauh dari
Astronema, terkadang saking dekatnya, si kucing bisa bertengger di atas kepala
gadis itu.
Bold hadir. Robot bulat itu melayang
dekat lemari gantung. “Sesuai yang kau lihat, sensorku juga mengatakan ada
suatu gejala aneh pada Tuan, tapi sistemku tidak dapat menganalisinya. Aku
harap Tuan baik-baik saja.”
“Tuan akan baik-baik saja, bahkan
lebih baik dari itu.” Astronema tersenyum. Belakangan, gadis robot ini bisa mulai
mengerti dan merasakan perasaan manusia, walau terdengar sedikit aneh.
Samara beranjak keluar dari bilik
kamar mandi di dalam kamarnya dengan berbalutkan kimono mandi. Tempat pertama
yang dia tuju adalah tepat di hadapan jendela kaca besar. Dia merasa sedikit
aneh. Waktu terasa berputar cepat, dan sekarang langit sudah gelap.
Di kejauhan, tampak bangunan yang
kelihatan tak asing baginya. Bukan cuma satu, tapi ada banyak. Cahaya dari
puncak gedung itu menembak lurus ke atas langit, hingga menghilang di balik
awan, bagaikan pilar cahaya.
Mengapa
gedung-gedung dari kota Lighthalzen bisa berada di sini?
Serpihan-serpihan ingatannya mulai
terhubung. Sedikit demi sedikit, dia mulai mendapatkan gambaran dari mimpi
semalam, kata-kata apa saja yang terdengar dari mimpi itu, beserta entitasnya,
namun Samara sendiri masih tidak yakin bagaimana cara mendeskripsikan mereka.
Satu hal yang Samara yakini sekarang
adalah dia berada di dalam dunia mimpi. Semua hal nyata yang terjadi tadi siang
juga tak lebih dari sekedar mimpi yang bisa mendatangkan kematian. Dia tidak
cemas maupun bingung, baginya ini semua terlihat seperti sebuah hiburan yang
cukup menyenangkan untuk diikuti.
Jauh di kamar seberang, suara percikan
air terdengar dari dalam kamar mandi. Pancuran air hangat dari shower telah menaikkan
suhu di dalam ruangan, hingga cermin bulat di dalam sana jadi berembun dan
tampak buram.
Air itu jatuh ke atas kepalanya,
membelai setiap helai rambut hingga basah. Lalu menerjang turun menuju kelopak
mata gandanya, menelusuri hidung, dan bibir yang secara alami berwarna agak
kemerahan, yang merupakan salah satu daya tarik sensasional bagi para fans
fanatiknya.
Benda cair itu tak berhenti sampai di
sana, dia akan mengalir jatuh dari dagu menetes ke dada, melewati area perut
hingga ke bawah pusar menuju bagian paling intim. Kadang melesat melalui paha
dan berakhir di ujung jari kaki.
Air ini telah menyentuh keseluruhan
bagian tubuh sang idola, melebihi yang diinginkan para penggemarnya dalam
fantasi mereka sekalipun. Berlomba-lomba menciptakan delusi seolah Danny adalah
sahabat, atau yang paling ekstrem membuat delusi dia adalah pasangan mereka.
Tak jarang, fans wanitanya bahkan bermastubarsi menggunakannya sebagai sebuah
subjek yang sangat menggairahkan.
Di luar pintu, Vidi mondar-mandir
gelisah sambil menggosok kedua telapak tangan dan meniupnya, entah karena udara
dingin atau sesuatu yang lain. Pikirannya seperti terganggu.
Pasalnya, di dalam sana ada seseorang
yang seakan telah melempar batu besar ke dalam kolam ingatannya, menyebabkan
lumpur kenangan di dasarnya naik kembali ke permukaan. Memori akan seseorang
yang pernah singgah, tinggal bersama, dan pergi meninggalkannya pun kembali
memuncah.
Danny yang asyik menikmati air hangat,
memilih untuk tidak menutup tirai kamar mandi. Sebab dia sudah mengunci
pintunya. Jadi orang aneh itu—Vidi—tidak akan mungkin bisa masuk walaupun dia
nekat, pikirnya.
Andai saja dia bisa mengingat Vidi
juga termasuk orang yang memiliki kinesis untuk mengendalikan logam, maka idenya
percuma. Lalu yang terjadi berikutnya ….
“Bha!”
Danny sontak terkejut dan berbalik. Mendapati
sosok pemuda aneh yang beberapa waktu lalu menawarkan menjadi saudaranya, telah
berada di belakangnya.
“F*ck! Apa-apan kau? Keluar!” umpat
Danny kasar.
Saat Vidi hendak melangkah mundur,
kakinya tergelincir. Dalam timing
singkat itu, tangannya menari-nari berusaha meraih apa yang bisa diraih. Dan
satu-satunya hal yang dia raih adalah tangan Danny.
Dengan tubuhnya yang lebih berat
ditambah lantai yang tidak biasanya licin, Danny ikut terjatuh dan keduanya
berakhir dengan saling mengadu kepala. Terdengar bunyi yang cukup keras dari benturan
tersebut.
“Shit!” umpat Danny sekali lagi. Dia
berusaha berdiri, tapi Vidi dengan iseng kembali menariknya hingga terpeleset
lagi dan lagi. Danny tak kepikiran lagi tentang dirinya yang tak menggunakan
sehelai kain pun. Orang asing di depannya ini sudah melihat lebih dari apa yang
bisa dilihat orang lain, sudah kepalang tanggung. Rasa jengkel dalam kepalanya
sudah memuncak.
Berbeda dengan tuan rumah yang
terlihat bahagia dari cengiran yang dia berikan walaupun dia juga basah kuyup.
Peristiwa ini, sensasi ini, pernah dia rasakan di waktu yang sangat dulu
sekali. Ingatannya berkata demikian.
“Brengsek! Jangan kira kau bisa lari!”
Ketika Vidi berniat untuk berdiri,
Danny menjegal kakinya dan peristiwa yang sama kembali terulang berkali-kali. Sampai
pada satu titik di mana ketika Vidi jatuh, tangannya secara sengaja mendarat pada
sesuatu yang terasa familiar. Objek yang
juga dia miliki.
Dengan tololnya, mereka berdua
mengarahkan matanya ke arah tersebut bersamaan. Sialnya, pria mesum
itu—Vidi—melakukan gerakan meremas singkat sekali.
“Keparat!” Danny langsung menendang
wajah Vidi dengan keras sambil melotot. “Dasar bajingan! Akan kubuat kau
menyesal!”
“Kemarilah, dasar iblis kecil! Sikap
kalian benar-benar mirip.”
Untuk waktu entah berapa lama, mereka
habiskan saling membalas di dalam sana. Tak ada seorangpun di kediaman itu yang
tahu kecuali mereka sendiri, tentang apa yang terjadi dan mereka lakukan.
Sementara di dapur, Astronema sudah
selesai dengan pekerjaannya. Aroma yang menggiurkan telah menyeruak ke seluruh
ruangan. Dia menyajikan masakannya ke atas meja makan persegi yang letaknya tak
jauh dari dapur.
Tepat pukul tujuh malam, ketiga orang
itu—Samara, Vidi, Danny—telah duduk bersama dalam satu meja. Alis Samara naik.
Dia heran melihat kondisi pemuda yang dibawanya itu, kenapa babak belur begini.
Tampak memar di atas alis kanannya, di
siku kirinya, dan kemungkinan masih ada di bagian yang tak tampak.
“Apa yang sebenarnya kalian lakukan?”
Samara bertanya. Melihat kondisi Vidi yang baik-baik saja, dia tahu pasti ada
sesuatu yang terjadi.
“Dia hanya tidak terbiasa dengan
lantai kamar mandi. Jadi ya beginilah. Jatuh bangun berkali-kali,” jawab Vidi
enteng tanpa merasa bersalah.
Pemuda di samping meliriknya dengan
tatapan mematikan. Vidi membalasnya dengan memainkan kedua alisnya sekali
seolah mengisyaratkan “kau masih ingin bermain?”.
Danny jelas enggan mengatakan kejadian
sebenarnya, hal itu sangatlah memalukan untuk diceritakan apalagi di hadapan
seorang wanita, mau ditaruh di mana wajahnya.
Walaupun keduanya sempat bergulat di
kamar mandi, entah mengapa sekarang Danny duduk di sebelah Vidi seperti anak
penurut. Seolah dia kalah taruhan dan harus mematuhi perjanjian, meski alasan
sebenarnya bukanlah itu.
“Ini! Makanlah yang banyak! Masakan
Astronema semuanya enak-enak.” Vidi mengambilkan sayur dan daging untuk Danny.
“Kau masih terlalu lemah untuk melawanku,” ucapnya pelan kembali mengingatkan.
Untuk kali ini, aktor itu tidak
menolak. Dia mencicipinya. Benar. Masakannya memang sangat lezat. Dia
mengunyahnya pelan, sebab rahangnya masih terasa sakit akibat benturan keras di
kamar mandi. Seandainya para fans fanatik melihat apa yang sudah terjadi pada
idola mereka, mungkin saja Vidi bisa dibunuh.
“Ngomong-ngomong aku masih belum tahu
nama kalian.” Danny bersuara.
“Namaku Vidi. Namaku Vidi. Lalu dia,
Samara Yesta.” Vidi menjawabnya dengan cepat, sampai-sampai sengaja mengulang
namanya dua kali.
“Hanya Vidi?”
“Hanya Vidi.”
Sekitar jam sepuluh malam, Samara
keluar dari kamarnya dan ikut duduk di ruang tengah. Lebih dari satu jam dia
berselancar di dunia maya demi mencari informasi terkait dengan kejadian siang
tadi, terutama yang terjadi di depan gedung itu. Namun hasilnya nihil, tidak
ada yang dia dapatkan seperti kejadian itu memang tidak pernah terjadi.
Pikirnya ini sangatlah aneh.
Danny terus menerus menekan tombol
remote televisi guna mencari berita mengenai dirinya. Sebanyak apapun dia
mengganti saluran, tetap tidak ada berita mengenainya.
“Apa yang kau lakukan itu percuma. Aku
bahkan sudah mencari di dunia maya dan hasilnya sama. Tidak ada berita apapun
mengenai kejadian siang tadi,” sahut Samara. Lanjutnya, “intinya mereka masih bergerak.”
“Sampai kapan aku harus tetap seperti
ini?” tegas Danny kesal.
“Entahlah. Pastinya jika kau masih
memberontak ingin keluar dari sini, percayalah kau akan kulempar keluar dari
jendela,” ancam Samara menciutkan nyalinya. Nadanya terdengar serius. Setelah
beberapa saat, dia pun kembali ke dalam biliknya untuk beristirahat.
“Aku tidur di mana?” tanya Danny lirih
pada tuan rumah.
“Kau bisa menggunakan kamar tadi,”
balasnya singkat tanpa menoleh, sibuk dengan ponselnya.
“Jadi kau tidur di mana? Bukankah ini
aneh, tempat sebesar ini cuma memiliki dua kamar tidur. Jangan bilang kita
berbagi Kasur.”
“Tenanglah sedikit! Kenapa kau
kelihatan gelisah seperti itu? Aku bisa tidur di mana saja kok.”
Selepas itu, Danny melangkah cepat
lalu menghilang di balik pintu. Terdengar bunyi “klik” yang jelas dari sana.
Hal itu lantas membuat Vidi melepaskan tawa kecil sambil geleng-geleng kepala. Percuma saja, bisiknya dalam hati.
Satu jam berlalu. Keadaan benar-benar
hening. Di balik selimut hangat, Danny cukup lama berbaring menghadap ke arah
kiri, mengawasi pintu di sana. Dia menutup mata, tapi beberapa saat kemudian
dia mengintip lagi. Berkali-kali sampai dia telat mengintip karena rasa kantuk
berat sudah menggantung di matanya.
Cukup lama dia melakukannya sampai
dirasa keadaan cukup aman untuk menutup mata. Saat memutar badannya kembali ke
posisi telentang, dia terperanjat sentengah mati.
“F*ck!” Danny setengah terbangun dari
posisinya. “Aku hampir mati jantungan.”
Vidi telah berada di sana selama ini.
Diam memerhatikannya dari belakang dengan menopangkan kepalanya pada tangan
kiri. “Ei! Kuperhatikan daritadi kau terus melihat pintu itu. Kenapa? Pintu
terlalu bagus ya sampai matamu tidak bisa lepas?”
“Bagaimana kau ….” Danny membatalkan
pertanyaannya. “Apa yang kau lakukan di sini? Bukannya kau tidur di luar?” Nadanya
ketus.
“Heh, siapa yang bilang? Aku ingat aku
bilang kalau bisa tidur di mana saja, berarti termasuk di sini.”
Danny hanya bisa mendengus kesal. Rasa
kantuk tak tertahankan membuatnya malas meladeni pemuda itu. Dia berbaring
memunggunginya, berharap tidak ada gangguan dari orang brengsek ini lagi. Saat
ini, dia lebih membutuhkan istirahat.
“Ei!” panggil Vidi sekali. “Hei!”
panggil kedua kali dan tetap tak ada jawaban. Begitu juga dengan usaha
ketiganya.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di bokongnya
hingga suara nyaring tercipta. Dia tetap tidak berbalik. Suaranya kecil hampir
terlelap, “apalagi? Aku benar-benar ngantuk sekarang. Masih belum cukup
menyiksaku?”
“Cuma ingin bilang kalau ... aku
rasanya mulai horny.”
“Dasar sinting! Bisa-bisanya kau
mengatakan hal itu pada orang yang baru saja kau temui. Saraf otakmu sudah
tidak beres?” gumam Danny. Kesadarannya tersisa lima persen.
Tangan Vidi bergerak nakal melingkar
di pingganganya. Hal itu sontak membuat Danny melempar tangannya kasar.
Kesadaran kembali terisi setengah. “Tch! Bisakah tidak menggangguku semenit
saja? Tolong,” decaknya.
Tanpa menghiraukan permintaannya, Vidi
segera memeluknya erat. Saking eratnya hingga Danny yang kaget dan memberontak
pun tak mampu melepaskan lingkaran tangannya.
“Aku jadi gila setelah bertemu
denganmu. Serius! Kau mengingatkanku padanya.” Suara Vidi lirih.
“Brengsek … lepaskan!” Danny meronta-ronta,
memukul-mukul tangan Vidi.
“Kenapa? Biar kuhangatkan dirimu.”
Wajahnya sudah sampai di tengkuk Danny. “Matamu dan juga kelopaknya itu … hah,
mirip sekali dengan adik laki-lakiku. Kau sudah membuatku teringat kembali
padanya, karena itu kau harus bertanggung jawab.”
“Omong kosong macam apa ini. Peluk
saja dia! Jangan aku! Aku bukan adikmu, dasar gila!”
“Dia … dia sudah meninggal lima tahun
lalu. Aku ingat permintaan terakhirnya di malam itu. Dia tiba-tiba datang ke sini,
lalu memintaku memeluknya,” ujar Vidi dengan nada lirih, tersirat sebuah
kesedihan yang mendalam. Dia pun melepaskan pelukannya. “Aku menyesal tak bisa
menyelamatkannya. Jika saja aku tahu itu adalah terakhir kalinya aku bisa
memeluknya ....”
Danny mungkin merasa kesal akan
kelakuannya tadi, tapi mendengar ceritanya sekarang membuat hatinya luluh,
tanpa terpikirkan olehnya apakah cerita itu asli atau karangan belaka. Sejauh
apapun kemampuannya mampu memengaruhi seseorang, dia sendiri masih seorang
manusia biasa yang meiliki hati yang rapuh. Ada kata “maaf” yang hampir keluar
dari mulutnya, namun sebelum dia berucap, Vidi melingkarkan tangannya lagi.
“Aku mengerti kesedihanmu, tapi bisa
tidak kau lepaskan tanganmu. Ini terasa tidak normal dan membuatku risih.”
Danny tak mampu lagi memberontak. Kesadarannya sudah mencapai akhir seolah
meneguk pil tidur dalam dosis besar.
“Aku akan menjagamu kali ini, Randy,”
ngigau Vidi yang terlelap lebih dulu. Secara tak sengaja, dia menyebut nama
adik laki-lakinya. Entah seberapa besar rasa kehilangannya waktu itu.
“Shiiiial ...,” makinya dalam senyum kecut
dan ikut tenggelam ke dalam alam bawah sadar.
Malam itu, kedua orang asing yang baru
bertemu beberapa jam sebelumnya, terbuai dalam mimpi yang sama. Melihat interaksi
mereka bagaikan simbiosis komensalisme, di mana Vidi seakan kembali menjumpai
adiknya dalam wujud berbeda yang berada dalam pelukannya sekarang.
Perasaan-perasaan yang tumbuh berkat Amokinesis ini, suatu saat bisa saja
berubah menjadi sebuah cinta. Cinta yang buta.
—[][][]—
IV. Jenderal
Musim Dingin
Jam besar di ruang tengah berdentang
sebanyak lima kali, menunjukkan pukul lima pagi. Suaranya membangunkan Danny
dari tidurnya. Dia mendapati tubuhnya masih berada dalam jeratan tangan Vidi,
namun sudah mulai melemah hingga dia sanggup menyingkirkan tangannya dengan
mudah.
Istirahat selama beberapa jam cukup
untuk melenyapkan segala rasa kantuk. Kini dia berada dalam kondisi
sesegar-segarnya, tidak ada keinginan untuk kembali terlelap. Lekas dia
berdiri, memutar-mutar leher dan badannya, lalu beranjak keluar dari kamar itu
meninggalkan Vidi yang masih bermimpi.
Sosok pertama yang dia temui di luar
sana adalah Astronema. Gadis itu menyapanya dengan lembut yang kemudian dibalas
Danny. Tidak banyak perbincangan yang terjadi sesudahnya, selain Danny berdiri
di depan jendela besar dan menatap langsung ke bawah.
Dia merasa hidupnya tak sesempurna
yang orang lain bayangkan. Menjadi artis terkenal, dipuja-puja, dikejar-kejar,
sama sekali bukanlah dirinya. Andai dia bisa memutar waktu, tapi itu tidak
mungkin. Kadang dia bertanya pada dirinya di depan cermin, siapa sebenarnya aku?
“Mau jalan-jalan?” tawar Astronema
melihatnya melamun di ujung sana, sembari menggendong kucing kesayangannya,
Buster.
“Ke mana?”
“Ikut saja!”
“Meowww!”
Mereka pun meninggalkan kediaman,
meninggalkan Vidi dan Samara, lalu bergerak naik ke lantai atas, tepatnya
lantai lima puluh yang mana terdapat sebuah balkon besar di sana. Tempat yang
cocok untuk menikmati udara segar sambil meluapkan emosi.
—[][][]—
Gunawan Swikosta tengah menanti
kehadiran seseorang. Dia berdiri di luar mobil sambil menyandarkan punggungnya.
Tiga orang berpakaian jas juga terlihat di dekatnya. Apa yang sebenarnya
orang-orang ini ingin lakukan sepagi ini?
Sekitar sepuluh menit kemudian,
muncullah mobil hitam lainnya dari kejauhan dan berhenti tepat di belakangnya
dengan bunyi mendecit.
Pintu belakang terbuka. Sebuah stiletto
tampak menyembul keluar dengan hak runcing, menambah kesan mematikan. Lalu
disusul sosok seorang wanita berambut putih kebiruan panjang, kulitnya seputih
salju, dan seragam berupa jaket yang sama seperti Gunawan namun berwarna sama
dengan rambutnya, ditambah sepasang sarung tangan.
Setelah dia berdiri, barulah tampak
seberapa tinggi posturnya dengan 195 sentimeter. Tanpa banyak basa-basi, dia segera
melangkah ke dalam sana gedung itu, diikuti Gunawan. Saking heningnya suasana
kala itu, suara ketukan stiletto-nya bisa
terdengar dalam tempo tetap.
“Sa-sampai Nona Cayleen datang? Ini
masalah besar,” bisik salah seorang pada rekannya.
—[][][]—
Masih dalam keadaan menutup mata, Vidi
meraba-raba kasur. Dia tak mendapati sosok yang seharusnya tersentuh sekarang.
Akhirnya dia pun segera tersadar, tanpa jeda langsung keluar dari kamarnya
mencari sosok Danny. Tapi yang ditemuinya di luar sana malah Samara.
“Kau juga sudah bangun?” sapa Vidi
menguap lebar.
Keduanya lantas dikejutkan dengan
suara ketukan kecil dari arah pintu. Terdengar seperti diketuk dengan
menggunakan satu jari saja. Bunyinya berulang, tiga ketukan cepat dalam satu
tempo yang lama kelamaan berubah pelan.
Samara yang penasaran, mendekati lalu
mengarahkan tangannya hendak memegang gagang pintu. Ketika ujung jarinya
menyentuh gagang yang terbuat dari logam, dia segera menariknya kembali. Ada
suatu sensasi yang membuatnya terkejut, seperti tersetrum … tidak, melainkan
rasa dingin yang amat mengangetkan.
Ada sesuatu yang tidak beres,
pikirnya. Otaknya memberi peringatan untuk mundur perlahan dan dia
mengikutinya. Dengan perasaan was-was, Samara terus mengawasi. Dia tahu pada
akhirnya mereka akan datang, namun tidak sepagi ini, saat matahari masih belum
terlihat.
Seketika sebuah lapisan es tampak
menyelimuti pintu. Pertama-tama menyeruak dari celah di tengah dan lubang
kunci, merambat menutupi seluruh permukaan pintu kayu secara perlahan sehingga
tampak mengeluarkan uap dingin.
Sebuah retakan membentang jelas,
meninggalkan bunyi waspada untuk Vidi maupun Samara. Lalu retakan kedua. Tak
berapa lama disusul retakan ketiga. Alhasil seluruh pintu itu pecah berkeping-keping.
Dari sana, terlihat sesosok wanita
yang tingginya hampir mencapai ketinggian pintu. Dia melangkah masuk tanpa kata
permisi apapun. “Serahkan dia atau kalian akan benar-benar berada dalam
masalah!”
“Apa maksudmu? Merusak pintuku, lalu
mengancam kami?” hardik Vidi.
“Kuyakin kau tidak sebodoh itu. Untuk
apa kalian menyembunyikannya, lagipula tidak urusannya dengan kalian.” Mata
birunya seolah bersinar ketika langkahnya masuk ke dalam daerah yang lebih
gelap.
“Bodoh! Lihat baik-baik seragamnya!”
tukas Samara. Dia tak percaya wanita di depannya itu begitu tinggi, bahkan
melebihinya.
Udara dingin kian menyebar,
menyebabkan satu ruangan itu sudah seperti kulkas saja. Tak jelas dari mana
asalnya. Tanaman kecil penghias ruangan mulai membeku satu per satu.
“Lihat, bahkan teman wanitamu lebih
pintar darimu.” Tangannya mulai bergerak, mengepal lalu melepaskannya hingga
gelombang beku merayap cepat ke tempat Vidi berada.
Pemuda itu terbelalak sambil melompat
ke samping. Seketika itu juga, kursi sofa di belakangnya diselimuti es. Jika
dia terlambat tadi, mungkin saja dia sudah menjadi patung es sekarang.
Serangan itu juga mengalihkan
perhatian Samara untuk waktu singkat. Ketika dia menoleh kembali pada musuhnya,
hak stiletto yang amat runcing tengah
mengarah tepat ke wajahnya.
Sontak dia menjatuhkan tubuh ke
belakang, bersalto menjauh, dan kembali berdiri tegak setelah mengambil jarak
beberapa meter. Matanya masih dapat melihat kaki jenjang itu lurus menghunus padanya.
Begitu kakinya kembali dihentakan ke
lantai, dua jalur es seperti ular tengah merayap di permukaan lantai,
masing-masing mengejar targetnya. Apapun yang menghalangi akan membeku dalam
sekejap.
Vidi dan Samara memiliki pemikiran
sama. Keduanya saling melompat melewati satu sama lain, membiarkan es yang
mengejar mereka di bawah saling bertubrukan. Lantas terciptalah ledakan es
disertai serpihan-serpihan kecilnya yang berterbangan di udara.
Belum saja Vidi menggapai lantai,
wanita es tersebut tiba-tiba muncul di depannya dan memberikan hadiah kejutan.
Sebelum tulang kering itu mencapai wajahnya, tangannya sempat disilangkan
sehingga berhasil menahan serangan langsung tersebut. Namun dia tetap
terpelanting hingga ke pojok ruangan.
Postur yang tinggi dan kaki jenjang,
memberi dia keuntungan tersendiri. Jarak yang dapat diraihnya dalan satu
langkah menjadi lebih besar dibanding orang lain, sehingga terkesan lebih
cepat. Terbukti dari keberadaannya sekarang yang sudah mencapai lokasi Samara.
Dia belum puas jika belum berhasil
menyayat si rambut hitam dengan hak runcingnya. Selain memiliki cryokinesis, dia juga ahli dalam
pertarungan jarak pendek terutama memanfaatkan kakinya yang panjang.
Samara terus memberikan serangan
terbaiknya, tapi selalu gagal. Monster tinggi itu lebih lincah darinya,
gerakannya pun jauh lebih cepat. Sehingga jelas beberapa kali serangannya luput
dari pengawasan Samara.
Benda runcing itu dengan semangat
menusuk dan menyayat piyamanya sampai robek. Samara hanya bisa meringis menahan
rasa sakitnya, tapi itu bukan masalah sebab dalam beberapa detik ke depan,
lukanya akan kembali menutup.
Retina biru yang terus mengawasi dari
balik rambut putih kebiruannya yang terus berkibar, menyadari akan hal itu. Dia
segera berjongkok, menyapu area di depan dengan kaki. Alhasil, Samara terjegal
sampai mencium lantai.
Melihat lawannya terjatuh, dia segera
menarik kakinya, mengangkat dan melemparnya. Sungguh tenaga yang luar biasa
untuk ukuran seorang wanita.
Di sudut lain, Vidi berusaha kembali
berdiri. Sialnya, belum sempurna saja posisinya, tubuh Samara dengan cepat
menghantam tubuhnya hingga kembali terjatuh bersamaan. Situasi seperti itu
membuat otaknya sepintas mengingat kembali memori berjam-jam lalu, ketika dia
dan seseorang jatuh bangun di dalam kamar mandi. Persis yang terjadi detik ini.
Tujuh buah pisau tercabut keluar dari
kotak kayu penyimpanannya. Segera pisau-pisau itu melesat menghujamnya dari
arah belakang. Lagi-lagi es di permukaan lantai mendadak menjulang naik,
membentuk sebuah perisai es dengan ketebalan sepuluh sentimeter.
Wanita dari Company itu selamat.
Pisau-pisau yang digerakan Vidi tertancap setengah ke dalam dinding es dan
segera ikut membeku—bersatu—dengan perisainya.
Samara telah setengah bangkit. Di saat
bersamaan, dari ambang pintu muncul sosok yang paling tidak diharapkan
kedatangannya sekarang. Danny menampakan diri.
“Sialan! Di saat aku tidak berharap
dia muncul, dia malah muncul,” gerutu Vidi. Dia menyaksikan Samara dengan
reflek bergegas ke tempat Danny. Pikirnya wanita itu pasti ingin melindunginya.
Samara mengalungkan lengannya ke leher
Danny. Keramik di bawahnya retak kecil. Dari dalam sana muncul dahan kecil yang
terus tumbuh membesar dan naik, hingga tangan Samara mampu meraihnya tanpa
harus berjongkok. Dia mematahkan ujungnya, lalu mengarahkan ranting tajam itu
ke leher Danny.
“Maafkan aku, Danny! Sejak awal aku
memang tidak berniat melindungimu, tapi aku hanya memastikan mereka tidak
mendapatkan kemampuanmu,” ucap Samara menyembunyikan sebagian wajahnya di
tengkuk Danny.
“Sialan! Apa yang kau lakukan,
Samara?” bentak Vidi yang masih bergeming di tempatnya. Dia bingung mengapa
keadaan berbalik seperti ini.
“Kau tahu apa yang akan terjadi jika
mereka sampai mendapatkanmu? Bisa kutebak seluruh dunia akan bertekuk lutut
dengan mudahnya. Amokinesis … memang salah satu kekuatan mengerikan di dunia
ini. Jika membunuhmu adalah pilihan terbaik, maka aku harus melakukannya,”
tutur Samara serius.
“Hentikan, Sam! Jika kau sampai
melukainya, kau akan berurusan denganku!” Kata-kata Vidi terbukti sudah menunjukkan
sejauh mana dia terpengaruh, sejauh apa kekuatan ini bisa disebut mengerikan.
“Hei, hei! Bicara apa kau ini? Apa kau
serius?” pancing wanita itu memainkan rambutnya.
Dia meremehkan Samara. Wanita berambut
hitam tersebut langsung melayangkan ranting tajamnya. Ujungnya sudah menyentuh
permukaan kulit leher Danny. Jika bukan kehadiran tamu berikutnya, bisa
dipastikan Danny sudah tewas di tangan Samara detik itu juga.
Water Gun!
Peluru air melubangi pergelangan
tangan Samara dalam hitungan sepersekian detik. Kendali atas jari-jarinya
hilang, akibat saraf-saraf yang putus. Segera setelah ranting itu terjatuh,
sebuah tendangan kuat menghantam telak di wajahnya. Tubuhnya melayang jauh, dan
jatuh di atas meja kaca di ruang tengah.
Wanita dari Company menghampiri Danny
yang berada dalam genggaman Gunawan. Pemuda itu melepaskannya, membiarkan
rekannya mengambil alih. Raksasa tinggi itu melingkarkan tangannya, memberikan
rasa dingin mematikan yang membekukan saraf-sarafnya.
Selain Danny tahu dirinya berada di
ambang bahaya, tubuhnya tak dapat digerakkan. “Si-siapa kau?” Nadanya gemetar.
“Cayleen! Orang-orang biasa
memanggilku Jenderal Musim Dingin, sebab aku selalu datang membawa kabar duka
yang dingin.” Dia meletakan tangannya ke kepala Danny dan bertopang dagu di
sana. “Lihatlah baik-baik! Kami sudah mendapatkannya, menurutmu apa yang akan
kami lakukan?”
Tidak ada jawaban. Vidi memerhatikan
dengan perasaan gundah.
Cayleen sedikit menunduk, menopang di
bahu kanan Danny. Kemudian melayangkan wajahnya dari sebelah kanan dan muncul
di sebelah kiri, tampak mengerikan ditambah seringainya. Lalu wanita itu
menjulurkan lidah, menjilat pipi kiri Danny dengan sensual. “Hmm, begitu
tampan, muda, dan bergairah. Namun sayang, hati ini telah beku. Kau terlalu
meremehkan kami. Kau ingin tahu apa yang akan kulakukan?” Cayleen menatap ke
arah Samara. Tangan kanannya berada di kepala Danny, sedangkan tangan satunya
lagi memegang dagunya.
“Tidak! Jangan! Jangan lakukan itu!”
teriak Vidi setengah menangis.
Krekk!
Gunawan tersentak tak percaya. “Apa
yang kau lakukan?” Ada rasa tidak setuju dengan apa yang Cayleen lakukan
barusan.
“Bilang saja situasi berubah, atau
lebih baik biar aku saja yang jelaskan nanti. Lebih baik, kita habisi juga
mereka.”
Jiwa Vidi terasa mati, menyaksikan
tubuh Danny jatuh ke lantai. Air matanya tak dapat dibendung lagi. Tak kala
harus menyaksikan orang yang disayanginya pergi untuk kedua kalinya. Pikirannya
kacau, emosinya tidak stabil, bahkan dia hanya meringkuk di sana sembari
menangis disaat Gunawan dan Cayleen menghampirinya dengan niat buruk.
Gunawan menarik rambutnya, memaksanya
untuk meyaksikan tubuh Danny yang telah tewas, lalu menariknya hingga Vidi
berada di posisi berlutut dengan kepala ditarik ke belakang. Cayleen menciptakan
sebilah golok yang terbuat dari es, siap untuk mengeksekusi Vidi.
“Bodoh! Sadarlah!” teriak Samara dari
seberang. Puluhan beling masih menusuknya, mematikan gerakannya.
Prang!
Goloknya pecah. Mereka berdua
kebingunan. Cayleen merespon dengan mencekik lehernya, menyeretnya naik dengan
bertumpu pada dinding di belakang. Tubuhnya terasa berat sekali, tidak seperti
korban-korban Cayleen sebelumnya, terasa sedikit janggal baginya. Kaki Vidi
bahkan tidak menyentuh lantai lagi.
Saat Cayleen mencoba membekukannya,
secara tak sengaja dia memancing reaksi dari Milinium di tubuh Vidi. Emosi Vidi
yang tidak stabil mengakibatkan keberadaan logam itu memberontak dan menampakan
wujudnya.
Cayleen dan Gunawan sontak menjauh
ketika mendapati sesuatu muncul dari tubuh Vidi. Warnanya keperakan sedikit gelap,
ditambah wujud yang tak pasti seperti cairan. Benda itu tiba-tiba membulat
penuh, melompat-lompat ke sana ke sini.
Sedetik kemudian, Milinium Avatar
melompat dan melebarkan bentuknya mirip kain hitam raksasa guna menangkap
orang-orang Company. Keduanya berpencar. Gunawan menembakan peluru airnya yang
tak berefek sama sekali.
Avatar kembali mengecil, setelah
memantul sekali, dia tiba di depan Cayleen. Bentuk bulatnya segera mengeluarkan
duri dari segala sisi. Alhasil duri-durinya hampir melukai wanita itu, namun
tidak. Dengan satu gerakan cepat, Cayleen membekukan benda sialan itu dalam bongkahan
es yang tebal.
Dia berhasil menahan gerakannya di
dalam sana. Logam hidup itu sendiri masih bergerak, tapi dengan susah payah. Cayleen
pikir, dia sudah berhasil melumpuhkan benda aneh tak karuan tersebut.
“Lihatlah dirimu! Begitu menyedihkan.”
Cayleen tidak tahan melihat keadaan Vidi, ingin cepat-cepat melenyapkan
tangisan dari wajahnya yang kelihatan semakin menjengkelkan.
Saat dia mendekati Samara yang hanya
diam daritadi, Cayleen melemparkan beberapa tombak es guna mematikan
gerakannya. Tombak yang keras itu menancap lumayan dalam, cukup untuk
memastikan tidak ada gangguan selagi dia berniat menghabisi Vidi untuk ketiga
kalinya.
Cayleen sudah tiba di depan Vidi.
Postur tingginya selalu membuat dia menatap ke bawah, bahwa semua orang lebih
rendah dan lemah darinya. Pemuda itu masih merengek, menangis seperti anak
kecil yang kehilangan permen. Sementara jarum es raksasa sudah diacungkan
tinggi-tinggi siap menerkamnya.
Di belakang Cayleen, Gunawan
menyaksikan bagaimana mayat itu kembali berdiri dengan leher yang sudah patah.
Matanya melebar semakin tak percaya ketika mayat Danny bergerak menyerang
rekannya sampai terpental jauh, menghancurkan sofa yang membeku hingga pecah
berderai.
Mayat Danny membetulkan posisi
lehernya sampai kembali tegak. Perlahan sosok itu berubah. Ada semacam riak
gelombang dari ujung kepala yang membuat wujudnya berubah menjadi sosok lain.
“Anda baik-baik saja, Tuan?” suara
gadis itu—Astronema—segera menyadarkannya.
Vidi mendongakan wajahnya. Dia bingung.
Berbagai makian dia teriakan pada dirinya. Bodoh, dungu, tolol. Kenapa dia
tidak sadar kalau sosok Danny sebenarnya adalah Astronema yang menyamar dengan
kemampuan Doppelganger. Berarti dia menangisi sesuatu yang tidak ada.
Kembali ke Samara, dia berhasil
melepaskan jarum-jarum besar dari tubuhnya. Rasa sakitnya luar biasa, tak kala
merasakan tiap saraf yang robek harus bergesekan dengan benda keparat itu
ketika ditarik keluar. Dia meringis dan selalu meringis, sebagai pertanda dia
masih hidup.
Bip! Bip!
Gelang di tangan Gunawan dan Cayleen
meyala merah berkedip-kedip bersamaan. Layaknya sebuah alarm, menandakan kode
merah. Itu adalah isyarat bagi mereka untuk mundur. Bukan mundur karena
menyerah, melainkan kode yang memanggil semua yang bertugas kembali ke markas,
dan menghentikan apa yang dilakukan saat itu juga.
Cayleen telah bangkit. Sosoknya tak
bisa dipungkiri lagi bagaikan raksasa yang muncul dari tumpukan es. “Kode
Merah?” Liriknya ke arah Gunawan.
Mereka bermaksud untuk segera
meninggalkan lokasi, tapi Samara tahu, dia tidak berniat untuk melepaskan
mereka. Keramik-keramik di lantai mulai retak. Tumbuhan-tumbuhan mulai keluar
dari celah-celah retakan, tanpa menunggu lama, akar itu berupaya melilit mereka.
Meladeni Samara sama saja dengan
membuang-buang waktu. Perintah adalah perintah. Begitu kode dinyalakan, secepat
mungkin mereka harus kembali.
Mereka bergerak menghindar dan semakin
mempercepat langkah setelah menemukan jalan keluar alternatif. Cara berpamitan
yang elegan dengan melompat menghancurkan jendela kaca besar dari ketinggian
ratusan meter.
Samara tetap tidak membiarkan mereka
lolos walau yang mereka lakukan adalah aksi bunuh diri. Dia mengerahkan
serangannya mengejar targetnya yang jatuh ke bawah. Akar itu tumbuh dengan
cepat mengarah ke bawah berusaha meraih salah satu anggota tubuh mereka, tapi
tidak berhasil. Sebab setelah mencapai batas tertentu, tanaman itu berhenti
tumbuh.
Gunawan tidak bodoh. Mereka bukan
melakukan aksi bunuh diri. Dia dapat merasakan air yang sangat banyak mengalir
di dalam bangunan tersebut. Hanya dengan satu perintah, keran air dari bagian
dapur dan kamar mandi apartemen Vidi meledak. Menyemburkan air dalam volume
besar yang segera mengalir keluar sesuai perintah.
Tampak air yang sangat banyak meluap
dari celah jendela, menerjang turun lebih cepat dibanding gunawan. Dalam
sekejap saja, air telah sampai di bawah. Mereka berkumpul membentuk satu bola
air raksasa. Tak lama kemudian, Gunawan serta Cayleen mendarat dengan empuk di
atas permukaannya sambli sedikit memantul-mantul seperti bola karet.
Keduanya pun meluncur melalui pinggirannya
dan kembali memijak tanah. Bola airnya pun perlahan terurai, mengalir masuk ke
dalam drainase di sekitar.
Semuanya berakhir. Samara hanya
berdiri di ujung jendela, menatap ke bawah, merasakan kencangnya tiupan angin
menerbangkan rambutnya dan membuat piyamanya berkelepak. Saat dia berbalik,
sesosok pemuda dengan kucing di tangannya tengah melangkah masuk ke dalam.
“A-apa yang terjadi? Kenapa jadi hutan
seperti ini?” Danny yang asli tidak tahu apa-apa. Sempat terpikir bahwa dia
salah masuk kamar, melihat pintu yang tidak ada, tumbuhan merajalela di
mana-mana, dan sebagian lantai menjadi es.
Suasana hati Vidi berubah. Dia langsung
berlari kepadanya. Syukurlah! Syukurlah
kau masih hidup!, teriaknya dalam hati. Betapa lega hatinya sekarang
mengetahui Danny masih dalam keadaan utuh. Memberi satu pelukan hangat mungkin
bisa membuat Danny menerimanya sebagai saudara, otaknya berpikir pendek.
Adegan itu bisa saja menjadi sangat
dramatis, kalau bukan saja gara-gara es dari wanita sialan itu yang menyebabkan
langkah Vidi terpeleset saat sudah begitu dekat. Tubuhnya melayang, lalu
menabrak dan mendorong tubuh Danny hingga jatuh bersama-sama. Sebelum tabrakan
terjadi, Buster telah melompat terlebih dahulu dari tangan Danny.
Di atas lantai yang dingin, bibir
kedua pemuda itu saling bertemu untuk pertama kali. Ada percikan-percikan emosi
memancar dari mata. Vidi sudah bersiap untuk menerima makian yang akan
dilontarkan Danny, tapi nyatanya tidak. Danny malah melingkarkan tangan ke
pinggangnya, menarik lepas bajunya.
Menyadari itu, Vidi juga melakukan hal
yang sama. Tanpa ragu-ragu, dia mendaratkan bibirnya sekali lagi yang diterima
Danny. Hasrat yang bergariah telah menyulap lantai yang dingin menjadi kasur
empuk yang hangat.
Keduanya saling bercengkrama tanoa
peduli lagi keadaan sekitar maupun siapa yang ada di sana. Namun suara dari
Samara segera membuyarkan lamunan-lamunan indah itu dalam sekejap. “Oi! Kau
baik-baik saja?” sahutnya pada Vidi.
Yang ditanya tidak menjawab. Dia hanya
mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali dengan cepat.
“Heh, dilihat dari tatapanmu yang
kosong, aku tahu kau lagi memikirkan yang tidak-tidak ‘kan?” Begitu selesai,
Samara segera menyadari akan munculnya dua sosok di belakangnya—di luar
jendela—tengah melayang.
Segera dia memunculkan sebuah sulur
dan menyambar mereka. Ajaibnya kedua entitas tersebut berubah menjadi bulu-bulu
angsa dan dedaunan bergenus Artemisia yang menyerbakan aroma tajam. Mereka
melayang masuk, mengitari Samara lalu ke seluruh ruangan, dan berkumpul
kembali.
Sosok berkepala bantal dan dewi
berperlengkapan perang muncul di tengah-tengah. Ketika sang dewi—Mirabelle—tak
sengaja memandangi Danny Hart, hatinya pun tak mampu melawan kuasa Amokinesis.
Dia terbuai. “Ratu Huban, boleh gak kita ganti reveriernya? Aku mau yang itu?”
Tunjuknya ke arah Danny.
“Eh …?” Ratu Huban juga ikut melihat
ke arahnya, alhasil dia juga mengalami nasib serupa.
Tiab-tiba Vidi muncul di depan Danny,
menghalanginya dari dua makhluk mesum itu. “Dia milikku! Takkan kuserahkan pada
kalian!”
Sementara itu, Samara dengan entengnya
melemparkan bongkahan es pada mereka. Tubuhnya kembali berabstraksi dan muncul
di tempat yang sama.
“Eh, apa yang barusan?” Otak Mirabelle
seperti tersetrum.
“Tidak! Tidak! Jangan menatapnya!
Wajahnya berbahaya sekali,” sahut Ratu Huban cepat-cepat berpaling ke arah
Samara. Lalu memunculkan seekor domba untuknya.
Yang duluan menghampiri si domba
adalah Buster, kucing robot milik Vidi.
“Meow.”
“Mbekkk!”
“Meowww!”
“Mbekkk! Mbekkkk!”
“Meoowww!”
Kedua makhluk itu kelihatannya saling
bertengkar dengan bahasa yang hanya mereka mengerti.
“Apa yang kalian lakukan di sini?”
tukas Samara.
“Memberi hadiah dan menjemputmu,”
balas Ratu Huban. “Domba itu hadiahnya.”
Samara mendekati domba kecilnya. “Hah,
lucu sekali!”
Tak ingin berlama-lama lagi, portal
tercipta dari ledakan kembang api. “Ke mana?”
“Tempat persinggahan berikutnya.”
Mirabelle masuk duluan. Matanya masih mencuri-curi pandang pada Danny.
Si domba masih sibuk dengan Buster,
sedangkan Samara sudah kehilangan kesabaran menunggunya. Dia mengangkat domba
kecilnya, lalu melemparnya masuk ke dalam portal.
“Mbeeeekkkkkkk ….”
“Kau mau ke mana, Sam?” tanya Vidi.
“Ke tempat baru yang lebih seru
kurasa. Daripada itu, kau ….” Tatap Samara ke arah Danny. “Kau harus lebih
berhati-hati mulai sekarang.”
“Tenang saja! Aku yang akan menjaganya
mulai sekarang.” Vidi menawarkan diri.
“Itu dia masalahnya. Kau harus mulai
lebih berhati-hati padanya.” Samara memperingatkan Danny. “Aku mencium
gerakan-gerakan kalau dia ingin memakanmu.”
“Heh?”
Belum saja Danny ingin menanyakan
kejelasan ucapannya, Samara telah menghilang di balik portal yang bergerak
menutup. Sementara Astronema sendiri melangkah pergi membersihkan kerusakan.
Dengan polos dan bodoh Danny bertanya,
“Apa maksudnya kata ‘memakan’ tadi?”
“Kau serius ingin tahu? Akan
kutunjukkan padamu!” Segera Vidi membopong Danny di pundaknya yang memberontak
liar, membawanya masuk ke dalam kamar. Setelah mengunci pintu, dia melemparnya
ke atas kasur. Dan ….
—[][][]—
>Cerita selanjutnya : [ROUND 1 - 11K] 14 - SAMARA YESTA | ENTER THE DRAGON
Love is powerful. It can bring the gods to their knees.
BalasHapus-Rick Riordan
Amokinesisnya Danny jadi spotlight di sini. Jadi ngerasa kalau karakter utamanya jadi kalah pamor sama Danny :')). Samara di sini gak terlalu berasa kayak karakter utama, mungkin karena banyak dimasukan sub oc dalam cerita ini, jadi pembagiannya susah.
Sudut pandang ceritanya juga sering lompat-lompat. Pas Samara ketemu Danny buat pertama kalinya, sudut pandang ceritanya langsung pindah ke Danny, mendadak banget seakan-akan Samara gak ada di sana.
Karakterisasinya saya suka. Lucu juga sih liat Vidi jadi Seme gak jelas gitu ='))))) Tapi ada scene yang bikin cringe. Itu pas bagian Vidi nangis. Lalu kesan terakhir saya, entri ini jadi kayak cerita Vidi x Danny dengan Samara sebagai kambing congek #dibantai
Untuk battlenya ok banget. Penuh aksi, narasinya juga cukup mudah dimengerti, nggak berbelit. Cuma tensinya sempat turun, jeda dari battle pertama sama yang terakhir itu agak panjang. Jadi gregetnya ilang timbul XD
Skor akhirnya... 8.
Oc Ulrich Schmidt
Yang mau ditonjolin di entri ini sebenarnya tentang Amokinesis, tapi gw sendiri ingin sesuatu yg lebih berbeda. Saking berbedanya campur bahan ini itu jadinya lbh byk porsi untuk Vidi & Danny ketimbang Samara si kambing congek itu. Scene melow itu memang sedikit memuakkan :v LOL
HapusSebelum nulis aja udah sadar klw porsi OC utama bakalan kalah banyak sama sub-OC.
Alasan jeda battle pertama dan kedua telalu panjang karena di sini gw gk mau terlalu nonjolin action sebenarnya. Nulis ini aja seolah mengkhianati genre sendiri yg padahal lbh suka action.
Terima kasih untuk komennya~
Typo : sudha, semala
BalasHapusSettingnya lumayan well-thought, saya seneng liat kemampuan" kinesis di sini. Battle pertamanya ngelawan Gunawan yang pengendali air juga jadi ngingetin saya sama entri sendiri
Vidi ini parah juga ya. Di awal saya kira dia semacem friend with benefit sama Samara, tapi begitu Danny muncul langsung berubah 180 derajat jadi full-fledged gay
Btw, saya ngerasa buat itungan karakter utama, Samara cukup berasa sidelined sepanjang entri ini, minus pas battle. Entah kenapa saya ngerasa kebanyakan fokusnya di Danny dan Vidi, sementara karakter si Samara sendiri berasa kurang keeksplor. Saya harap kalo dia maju bisa lebih digali lagi
Nilai 8
Author lgi pengen coba sesuatu yang lbh berwarna kek pelangi biar gk monoton jika dibandingin entri FBC yang lalu :v wkwkwkwk
HapusSebab itu juga Samara sedikit tersingkirkan, gak ada pemikiran klw ujung2nya jadi 3some #lupakan
Mgkn selanjutnya bisa lbh keeskplor si Samara.
Thanks atas komentarnya~~
Vidi Noel yang sering akrab disapa Vino. Pertanyaanya adalah kenapa di cerita ini malah lebih sering memanggilnya dengan Vidi? Kalau saya boleh saran sih mending pilih salah satu dari nama Vidi atau Vino, biar pembaca tidak bingung.
BalasHapusTypo menjelama
Tapi setelah saya baca keseluruhannya saya suka,apalagi bas bagian Vidi ngegrepe-grepe Danny, itu membuatku ketawa sendiri. Entahlah saya merasa adegan itu sangat konyol. Untuk Samara, saya kira dia tokoh utamanya tapi ternyata hanya sebagai pelengkap saja, karena yang saya baca, karakter Vidi dan Danny lah yang lebih menonjol apalagi si penulis lebih mengutamakan adegan youinya.
Karena cerita ini udah bikin saya ketawa dengan tinggkal konyol Vidi, saya kasih nilai 9.
Wadooo...
BalasHapusceritanya mantep banget. Misleading besar-besaran www
Dibanding yang di FBC, entri yang ini jadi lebih hidup.
Tapi masalahnya, Samaranya jadi sampingan gitu www.
Ga apa lah, plotnya udah enjoyable kok. Tulisannya kurang lebih rapi kayak yang di FBC, cuma ya itu, lebih keliatan hidup suasananya.
Jadi titip nilai 8 deh buat Samara
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
weehh.. cerita cinta sejenis. /plak
BalasHapusplot ceritanya bagus. mengalir halus dan mulus.. dan terasa kaya live action. tapi bener dengan komentar di atas. samara jadi karakter sampingan daripada tokoh utama. /plak
lucu juga kalo bayangin buster sama dombanya "berantem"..
well, nilai dari saya 8. semoga sukses..
Dwi Hendra
OC : Nano Reinfield
Hwaa panjang lagi ;-;
BalasHapusOk, udah dibahas diatas-atas. Samara keliatan kayak tokoh sampingan dari pada tokoh utama.
PoVnya sempet ganti-ganti tapi masih nyaman dibaca. Udah bagus sebenernya semuanya.
Saya kasih nilai 8
Raditya Chema | Zauber Magi
Naga air, too late four years. /gak
BalasHapusTbh gak bisa banyak komentar karena sudah dijabarkan oleh orang-orang diatas. Pertarungannya asyik, saya yang awalnya juga pengen ngemasukin OC yang kemampuannya hampir sama kayak Samara (kemudian berubah pikiran ngemasukin harsh hammerman), harus dikembangkan.
Dan ya, sejak Vidi keliatan seme-nya saya jadi geli sendiri, pengen ketawa tapi ketahan. /plak
7/10
OC : Takase Kojou
saya suka intrik pertarungannya. cukup seru dan menegangkan. penggamabaran actionnya lumayan cukup detail meski agak melelahkan buat saya... dragging gitu, tp saya juga sama kok :)
BalasHapushanya saja endingnya itu agak kecampur sama kemunculan domba sehingga semua pertarungan itu udah fix mutlak cuma ujian. jadi saya agak kePHPnya di situ
7
Porsinya Danny untuk memakai amokinesis besar, ya. Harus lebih hati-hati agar jangan sampai kekuatannya Danny menutupi kekuatannya Samara dalam hal porsi di cerita. Kata 'retina' seharusnya diganti 'iris' karena bagian mata yang berwarna adalah iris, bukan retina. Pikirannya Vidi (alias Vino) sudah dikuasai amokinesis Danny kayaknya. Adegan megang 'anu' memunculkan rasa berdosa yang lumayan besar (saya lagi puasa saat pertama kali membaca). Overall, sudah lumayan. Semoga lanjut.
BalasHapusNilai: 8
SERILDA ARTEMIA
di FBC aja ud mindblown, yang ini jga, gusti
BalasHapusGak bsa komentar banyak krn perlu baca ulang.
Kayaknya lebih rapi yang ini deh dalam narasi kekuatannya?
tapi pemeran utama dibayangi orang lain. Susahhhhh wk
8 deh
OC: Kaminari Hazuki
mindblown?
Hapusgw selaku penulis jg ragu mau nulisnya, mgkn gegara kebanyakan nonton drama saat itu, jatuhnya kek gini deh. #lupakan
TQ dah mampir
Baca apaan saya barusan? ._.
BalasHapusTerlepas dari Danny x Vidi yang bikin saya mengernyitkan alis sendiri, Battlenya seru pun pembawaannya juga enak, lancar. Tapi saya rasanya kok malah kaya baca kisah Danny dan Vidi yang berusaha menemukan cinta daripada Samara yang berjuang menyelesaikan ujian mimpi ya?
Porsinya kebanyakan gitu, dan adegan battlenya Samara yang malah kaya selingan.
Nilai 8
~ Alexine E. Reylynn
Sebenarnya ini jga lgi eksperimen nulis drama tpi yg antimainstream ._.
HapusKarena judulnya King of Heart jadi jatuhnya ke part 3 Amokinesis, di mana keberadaan Samara hanya seperti angin berlalu di sana ._.
Porsinya kek gini sih:
Part 1: Vidi x Samara
Part 2: Vidi x Samara x Danny
Part 3: Vidi x Danny
part 4: Vidi x Samara
Berasa salah pilih OC ._.
Ty dah mampir~