oleh : Manya
--
N o w P l a y i n g . . .
Di ruangan itu, di mana semua mata dinonaktifkan gelapnya ruang tertutup. Hanya ada satu runtutan nafas yang keluar masuk. Hembusannya tidak wajar, ibarat seekor oposum yang tergeletak setelah ditendang orang –tidak ada yang berpikir bahwa mamalia yang menyerupai musang itu sudah mati kan?—. Jeda nafas yang cukup panjang sampai orang yang mendapatinya menganggap makhluk itu sudah mati. Kemungkinannya bukan karena kamuflase, melainkan karena proses respirasi sedang dipaksa menyesuaikan diri karena minimnya bahan bakar yang dicerna.
Adalah seorang gadis, Alpacapone namanya (bukan nama sebenarnya), yang jasmaninya dipaksa bersimpuh di ruangan itu. Mau bergerak pun susah, banyak penghalangnya; Tangannya diikat dengan borgol tiga rangkap, matanya diikat dengan karet ban, mulutnya disumpal dengan gag bola, lehernya diikat dengan kerat tambang yang ujung satunya menggantung di langit-langit, kakinya ditimpa oleh balok berat yang tak bisa dibayangkannya, pakaiannya sudah dilucuti, dan benda-benda nakal dilekatkan di kulitnya. Nakal bagaimana? Nakal karena suka menggelitik. Selain itu, yang menempel di kulitnya hanyalah satu set pakaian dalam dan seikat dinamit dengan detonator jam digital yang dihimpitkan di antara payudara dan bra-nya yang melar.
+++
Sebuah portal menghubungkan sebuah dunia dengan ruangan yang teramat luas. Dari lingkar transdimensional itu segala macam makhluk berduyun-duyun keluar, mulai dari makhluk abu-abu berkepala besar sampai planaria raksasa dengan sepasang tentakel, hingga akhirnya ruangan raksasa itu benar-benar kosong. Menyisakan sesosok makhluk tinggi berwajah bulat tengah yang dengan asyiknya memainkan objek yang serupa dengan kalkulator.
"Wah, hari ini bangsa Wilytulip memborong balok oksigen. Sepertinya stok untuk bulan ini harus disuplai lagi." gumamnya. "Utang Yrt si Foshuly, Tropis dari Ashorum, Pappy dari silLahna, lalu—
"WOI, Tomnook, selametin Gue."
Sontak makhluk itu berhenti memencet kalkulatornya. Setruman kecil di instrumen kecerdasannya menghidupkan sebuah komunikasi berupa telepati.
"Bukan Tomnook, Al. Sudah kubilang panggil aku oom Miller". balas makhluk itu pada lawan bicaranya yang sedang lumpuh.
"Persetan, tolongin gue! Gue abis diperkosa!!" jerit Al.
"Persetan, tolongin gue! Gue abis diperkosa!!" jerit Al.
"Rasain! Sudah dikasih tahu kan kalau manusia Spiralis punya dendam paling kesumat. Masih berani aja nawarin barang rusak ke mereka"
"Anjing, tolongin plis, kirimin Gue super-soldier ato mecha gitu."
Telepati berhenti sejenak ketika sebuah gelombang kejut yang kuat dirasakan oleh otak Miller. Cukup kuat sampai hidung Miller meneteskan darah.
"... Ya ampun, kamu orgasme ya?!"
"Bangsat, buruan kirimin"
"Besok kamu bakal kulunasi. Tapi hutangmu bakal nambah banyak lho?"
"Sekarang gak bisa?!?"
"Ngantuk, selamat malam. Jumpa lagi besok!"
"... Sialan!"
Komunikasi terputus. Miller sedikit terkikik karena pembicaraan tadi. Puas batinnya mengetahui gadis yang selalu berhasil melunasi tunggakannya itu tengah ditimpa masalah yang tidak 'murah'. Sekali-sekali piutang pun ia maklumi, asal besar.
Sudah 5 menit sejak komunikasi barusan terputus. Selangkangan Al masih berlendir. Berat baginya untuk bersandar di objek terdekat, mengingat tali tambang sedang mencengkram lehernya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Al kecil sedang frustasi, biasanya kalau Al frustasi kedua kakinya akan berjingkrak. Sayangnya belenggu yang menimpanya memakruhkan dinamika. Mari kita tanya pada sang borgol, apa Al mungil boleh berontak. Tentu saja belenggu besi membisu, itu artinya tidak mungkin. Selama tak ada kunci tetap tidak mungkin. Ke mana si kunci? Tak tahu, tanyakan saja pada makhluk Spiralis yang merupakan isolator komunikasi. Yang bisa dilakukan Al hanyalah menahan gatal di otaknya, rasa gatal yang timbul akibat siklus kehidupan sel yang ultrasingkat. Gatal itu pula yang merupakan gara dari sikap subal impulsif Alpacapone.
Mustahil juga asanya putus. Dengan modal fisik yang tak terbebat, Al kembali mencoba berontak. Sayangnya, beberapa perangkat yang sengaja disetel di tubuhnya malah bereaksi. Setrum mini namun tidak madani mengalir di organnya, organ mana kalian mungkin bisa menebak sendiri, semoga.
Menyerahlah Al melawan penat. Tenaganya hanya tersisa untuk menegak. Kalau tidak tegak, suplai nafas bisa habis. Di tengah kantuk, Al berharap agar bisa tertidur dalam posisi tegap. Juga jangan sampai jam dering yang dihimpit dadanya menyala. Sekeras-kerasnya Al membantah siapa saja, Al takkan pernah siap membangunkan sang maut.
Akhirnya Al terlelap tanpa mengingat dosanya pada para Spiralis dalam mimpinya. Yang walau teramat besar namun tak cukup besar untuk layak dimuat dalam mimpi ini.
Prelude berakhir di sini.
---------------------------------------------------------------------------------------------
VICUGNAPACO CHANNEL #1
Mustahil juga asanya putus. Dengan modal fisik yang tak terbebat, Al kembali mencoba berontak. Sayangnya, beberapa perangkat yang sengaja disetel di tubuhnya malah bereaksi. Setrum mini namun tidak madani mengalir di organnya, organ mana kalian mungkin bisa menebak sendiri, semoga.
Menyerahlah Al melawan penat. Tenaganya hanya tersisa untuk menegak. Kalau tidak tegak, suplai nafas bisa habis. Di tengah kantuk, Al berharap agar bisa tertidur dalam posisi tegap. Juga jangan sampai jam dering yang dihimpit dadanya menyala. Sekeras-kerasnya Al membantah siapa saja, Al takkan pernah siap membangunkan sang maut.
Akhirnya Al terlelap tanpa mengingat dosanya pada para Spiralis dalam mimpinya. Yang walau teramat besar namun tak cukup besar untuk layak dimuat dalam mimpi ini.
Prelude berakhir di sini.
---------------------------------------------------------------------------------------------
VICUGNAPACO CHANNEL #1
SPECIALE: ALPACAPONE
ENTITLED: UNHEARTLING
ENTITLED: UNHEARTLING
PRODUCED BY: MIRANDA RECORDS
SIDE A
SIDE A
Andai Tuhan lebih manusiawi.
Alpacapone masih di dalam mimpi, belum terjaga. Dalam mimpinya ia berdiri di atas lantai hitam onyx beratapkan langit yang berwarna kuning langsat. Dari kejauhan dia tatap dua sosok makhluk yang menyerupai insan tengah melambaikan tangannya, memanggil-manggil. Al seakan ogah-ogahan menuruti isyarat mereka. Tidak sampai berdekatan, namun saling berkomunikasi. Kedua makhluk itu lalu menyapa Al. Berdua mereka menyampaikan pesan buram yang terdengar seperti; "reveriers", "mahakarya", "Alam Mimpi". Sisanya terdengar samar-samar. Andai Al mau menyetarakan frekuensi, mungkin akan kedengaran jelas. Sayangnya ia terlalu egois sekaligus malas untuk menanggapinya. Tanpa mencerna apa yang dimaksud kedua keberadaan itu. Al hanya termegut sambil berceracau ya, ya dan ya. Sampai keduanya lenyap presensinya dari hadapan Al. Hanya sedikit hal yang membuat Al tertarik dari pembicaraan tadi.
Sebelum benar-benar lenyap. Satu dari kedua makhluk itu, yang fisiknya pria, menjentikkan jarinya. Secercah cahaya yang perlahan menyilau memancari tubuh Al.
Al terbangun, semua belenggu yang mengikatnya hilang! Hanya pakaian dalamnya yang masih setia mendekapnya. Deru angin mencium punggungnya yang tak terlindungi. Dingin. Al lalu melihat ke sekitar. Dari atas ia diawasi oleh mega yang megah berhiaskan sebuah bintang kecil yang menyorot tajam. Dia duduk di atas sebuah ruangan tanpa atap yang berisikan meja dan kursi beserta papan tulis dan perlengkapan kelas lainnya, sebuah kelas kosong di kepala sebuah bangunan tinggi bertingkat banyak.
Memori Al menjelaskan, bangunan 25 lantai ini adalah bekas bangunan dari mantan sekolahnya dulu, bangunan luas yang berdiri di atas sebuah taman raksasa di sebuah semesta mini yang luasnya hanya sekitar 20 kali luas Vatikan. Setelah bangunan sekolah pindah ke semesta baru wilayah ini dibiarkan begitu saja tanpa penghuni. Dibilang tanpa penghuni pun sepertinya tidak bisa. Ada beberapa makhluk hidup yang dibiarkan melanglang buana di sekitar sini dengan harapan agar makhluk-makhluk itu menganggap wilayah ini sebagai ekosistem mereka.
Teringat oleh keadaannya sekarang. Al mulai berjalan dengan niatan mencari udara hangat atau sesuatu yang bisa dikenakan. Al bingung sendiri, bagaimana bisa ia yang sebelumnya babak belur kini kembali bugar. Lalu ia anggap angin lalu setelah berpikir kalau ia disembuhkan kedua orang yang ia temui di mimpi.
"Gimana kalau ini masih di mimpi?" pikirnya. Sambil berpikir. Ia memergoki sesosok makhluk kecil. Seukuran kucing, mirip rakun, kita sebut saja kurpelai. Tanpa dadidu ditendangnya hewan tak berdosa itu. Terang saja hewan itu marah. Tak punya salah malah ditendang. Padahal ia sudah berlaku baik dan ramah pada setiap kurpelai yang ia kenal.
"Wah, ringannya." ucap Al heran sambil terkekeh. Lalu menangkap kurpelai yang marah tadi. Kurpelai itu berharap bisa balas dendam dengan menggigit hidung Al sampai putus. Sayangnya ia malah ditangkap dan dimainkan oleh Al. Habis bosan, si bola bulu dibuang dengan modisnya dari jendela, padahal di sini lantai 24. Matikah? Jangan mati bola bulu!
"Gimana kalau ini masih di mimpi?" pikirnya. Sambil berpikir. Ia memergoki sesosok makhluk kecil. Seukuran kucing, mirip rakun, kita sebut saja kurpelai. Tanpa dadidu ditendangnya hewan tak berdosa itu. Terang saja hewan itu marah. Tak punya salah malah ditendang. Padahal ia sudah berlaku baik dan ramah pada setiap kurpelai yang ia kenal.
"Wah, ringannya." ucap Al heran sambil terkekeh. Lalu menangkap kurpelai yang marah tadi. Kurpelai itu berharap bisa balas dendam dengan menggigit hidung Al sampai putus. Sayangnya ia malah ditangkap dan dimainkan oleh Al. Habis bosan, si bola bulu dibuang dengan modisnya dari jendela, padahal di sini lantai 24. Matikah? Jangan mati bola bulu!
"Mimpi atau bukan sih?" batin Al.
--------------------------------------------------------------------------------------
"Jadi, ini di mimpi ya, bisa kabur gak ya?" tanya Al, lalu masuk ke sebuah lubang berbentuk persegi panjang. Tak ada penolakan. "Yesh! Bisa kabur!"
"Bisa kabur ndasmu! Seluruh supermarket-ku malah terserap masuk ke alam yang kau sebut bingkai apalah itu. Paling tidak aku bisa bersembunyi di sini selama kau bertarung." ucap lawan bicaranya.
Al tengah berbicara dengan makhluk serupa rakun namun jangkung yang membuka sebuah jendela nirnyata di udara lepas. Makhluk bernama Miller ini sepertinya kecewa melihat keadaan Al yang kembali ceria, cerewet, dan culas. Tapi bisa masuk ke alam mimpi dengan sadar membuatnya mengabaikan kekecewaannya tadi.
"Bisa kabur ndasmu! Seluruh supermarket-ku malah terserap masuk ke alam yang kau sebut bingkai apalah itu. Paling tidak aku bisa bersembunyi di sini selama kau bertarung." ucap lawan bicaranya.
Al tengah berbicara dengan makhluk serupa rakun namun jangkung yang membuka sebuah jendela nirnyata di udara lepas. Makhluk bernama Miller ini sepertinya kecewa melihat keadaan Al yang kembali ceria, cerewet, dan culas. Tapi bisa masuk ke alam mimpi dengan sadar membuatnya mengabaikan kekecewaannya tadi.
"Mau beli baju? Atau mau merayuku? Sori aku gak tertarik ke fisik manusia."
"Najis ngerayu makhluk pengerat penjilat. Apalagi yang sosoknya serem kayak lu! Imutan dikit kenapa, kayak alpaka." keluh Al. "Ya sudah kali ini aku pinjam Plasma Blaster."
"Plasma Blaster 1700g, Armor-set 800g, Blue Sapphire 200g, 8 potion 4000g, telur dua butir dan susu 3 botol 25000g, totalnya 31700g, dan selamat, kamu dapat bonus satu setel pakaian, jaket, tas, kacamata, dan cangkir. Terima kasih. Aku masih mau mengurus robot-robot perawat yang butuh perbaikan. Jangan ganggu!" ujar Miller sambil mendengus. Lalu menutup jendela mayanya dan meninggalkan secarik kertas.
"Setan, Gua gak minta malah dikasih. Anggap hibah deh, kan gak boleh ngutang." ucap Al. "Ah, kaca mata dan cangkirku. Males deh punya utang ke si buruk itu. Tapi makasih deh." gumam Al sambil memakai pakaiannya yang mulus seperti habis disetrika.
"Najis ngerayu makhluk pengerat penjilat. Apalagi yang sosoknya serem kayak lu! Imutan dikit kenapa, kayak alpaka." keluh Al. "Ya sudah kali ini aku pinjam Plasma Blaster."
"Plasma Blaster 1700g, Armor-set 800g, Blue Sapphire 200g, 8 potion 4000g, telur dua butir dan susu 3 botol 25000g, totalnya 31700g, dan selamat, kamu dapat bonus satu setel pakaian, jaket, tas, kacamata, dan cangkir. Terima kasih. Aku masih mau mengurus robot-robot perawat yang butuh perbaikan. Jangan ganggu!" ujar Miller sambil mendengus. Lalu menutup jendela mayanya dan meninggalkan secarik kertas.
"Setan, Gua gak minta malah dikasih. Anggap hibah deh, kan gak boleh ngutang." ucap Al. "Ah, kaca mata dan cangkirku. Males deh punya utang ke si buruk itu. Tapi makasih deh." gumam Al sambil memakai pakaiannya yang mulus seperti habis disetrika.
Beberapa langkah setelah perjumpaan tadi. Al mendapati dirinya masuk ke dalam sebuah ruangan yang dipenuhi bau bedak. Unit kesehatan. Al hanya menghabiskan 1 semester di bangunan ini, jadi skema denah bangunan yang tergambar di benaknya hanya remang-remang. Namun ia pernah mendengar cerita. Cerita yang menggambarkan seberapa seram ruangan kesehatan ini. Acap kali tercium bau bedak tanpa sebab yang diiringi dengan lampu yang berkedip-kedip, juga lantai yang tiba-tiba bergetar. Juga suara sendu seorang gadis yang ikut mengiringi getaran pada lantai tadi.
"Huh, serem deh." gumam Al santai. Sambil mengendap masuk ke dalam ruangan tersebut. Ruangan yang cukup luas. Namun benar kata rumor. Getaran dan suara sendu tadi benar-benar dirasakan Al. Lampu yang tergantung juga bergetar. Al lalu mencoba menyelidiki darimana suara desah tadi berasal. Didapatinya sebuah bilik kecil yang nampaknya terkunci. Setelah mencoba membukanya, ternyata tidak terkunci. Di dalamnya ada sesosok gadis. Gadis yang mengenakan kain gotri kelabu dan rambut panjang yang awut-awutan. Tidak seram.
Dan kalian mengharapkan apa?
Gadis yang bukan hantu tadi menatap Al dengan senyuman. Al berusaha menjaga ketenangannya.
"Lu siapa? Kok di sini?" tanya Al.
"Lu itu siapa?? Saya tidak kenal Lu." jawab gadis itu polos.
"... Lu itu artinya kamu. Dasar gak kekinian," ucap Al merendahkan. "Wajah itu, kok mirip perangkat cerdas yang selalu bersih-bersih di lingkungan sekolah dulu ya?" tambah Al setelah melihat wajah si gadis yang berbeda dengan gadis yang kalian bayangkan. Matanya ditutupi oleh sepotong besi berongga dan pada gigi serinya terukir angka '01'.
"Oh, nama saya? Saya Robot Girlfriend 01. Ditugasi untuk membubuhkan serbuk kapur di sini. Kalau tidak dibubuhi kapur, nanti kecoa penggerogot beton bisa berulah."
"Huh, serem deh." gumam Al santai. Sambil mengendap masuk ke dalam ruangan tersebut. Ruangan yang cukup luas. Namun benar kata rumor. Getaran dan suara sendu tadi benar-benar dirasakan Al. Lampu yang tergantung juga bergetar. Al lalu mencoba menyelidiki darimana suara desah tadi berasal. Didapatinya sebuah bilik kecil yang nampaknya terkunci. Setelah mencoba membukanya, ternyata tidak terkunci. Di dalamnya ada sesosok gadis. Gadis yang mengenakan kain gotri kelabu dan rambut panjang yang awut-awutan. Tidak seram.
Dan kalian mengharapkan apa?
Gadis yang bukan hantu tadi menatap Al dengan senyuman. Al berusaha menjaga ketenangannya.
"Lu siapa? Kok di sini?" tanya Al.
"Lu itu siapa?? Saya tidak kenal Lu." jawab gadis itu polos.
"... Lu itu artinya kamu. Dasar gak kekinian," ucap Al merendahkan. "Wajah itu, kok mirip perangkat cerdas yang selalu bersih-bersih di lingkungan sekolah dulu ya?" tambah Al setelah melihat wajah si gadis yang berbeda dengan gadis yang kalian bayangkan. Matanya ditutupi oleh sepotong besi berongga dan pada gigi serinya terukir angka '01'.
"Oh, nama saya? Saya Robot Girlfriend 01. Ditugasi untuk membubuhkan serbuk kapur di sini. Kalau tidak dibubuhi kapur, nanti kecoa penggerogot beton bisa berulah."
Robot Girlfriend, termasuk salah satu dari kecerdasan buatan yang sengaja diciptakan untuk melayani siapa saja yang mengaktifkannya. Mereka dipasangi dengan kompetensi manusia dewasa, tenaga kuda, dan kepatuhan program aplikasi. Walaupun fisik mereka mirip 105 persen dengan manusia. Mereka tetaplah komputer yang kebebasannya terbatas.
"Eh, pantes aja ini ruangan masih cakep. Ngomong-ngomong, lu tahu kalau bangunan ini udah engga kepake?"
"Tolong lebih jelas." ucap Robot Girlfriend meminta koreksi.
"Duh, males deh. Begini ya, kamu sadar kalau bangunan ini sudah tidak ada yang memakai?"
"Yang memakai tetap ada kok. Dan mereka akan menyuruh kita untuk pergi dari sini." ucap Robot Girlfriend.
Tak elak, sedetik sesaatnya terdengar rentetan derap kaki makhluk berkaki kuartupedal. Kumpulan makhluk berbulu yang sebelumnya diperkenalkan sebagai kurpelai dengan ukuran yang beragam dengan geramnya berdesakan masuk ke dalam ruangan. Di barisan pertama nampak kurpelai bulat yang babak belur. Di sampingnya ada kurpelai besar yang lebih pantas disebut beruapelai ketimbang kurpelai.
"Waduh, ada yang marah." kata Al sambil menenteng senapannya. Di tariknya tuas yang terkait di badan senapan. Pada sebuah kolom yang dijajari sebuah barisan beberapa jajar genjang kecil berwarna hijau nampak redup sebuah jajar genjangnya. Dari moncong senapan itu menjalar dengan linear sebuah sinar teramat terang yang meluluhkan apa yang dilewatinya. Baris median pada susunan kompi mamalia berbulu itu terbuka lebar. Menyisakan sebaris mayat-mayat makhluk malang yang hanya ingin membalaskan dendam kawanan.
"Tolong lebih jelas." ucap Robot Girlfriend meminta koreksi.
"Duh, males deh. Begini ya, kamu sadar kalau bangunan ini sudah tidak ada yang memakai?"
"Yang memakai tetap ada kok. Dan mereka akan menyuruh kita untuk pergi dari sini." ucap Robot Girlfriend.
Tak elak, sedetik sesaatnya terdengar rentetan derap kaki makhluk berkaki kuartupedal. Kumpulan makhluk berbulu yang sebelumnya diperkenalkan sebagai kurpelai dengan ukuran yang beragam dengan geramnya berdesakan masuk ke dalam ruangan. Di barisan pertama nampak kurpelai bulat yang babak belur. Di sampingnya ada kurpelai besar yang lebih pantas disebut beruapelai ketimbang kurpelai.
"Waduh, ada yang marah." kata Al sambil menenteng senapannya. Di tariknya tuas yang terkait di badan senapan. Pada sebuah kolom yang dijajari sebuah barisan beberapa jajar genjang kecil berwarna hijau nampak redup sebuah jajar genjangnya. Dari moncong senapan itu menjalar dengan linear sebuah sinar teramat terang yang meluluhkan apa yang dilewatinya. Baris median pada susunan kompi mamalia berbulu itu terbuka lebar. Menyisakan sebaris mayat-mayat makhluk malang yang hanya ingin membalaskan dendam kawanan.
Efek dari tembakan itu tidak hanya menyisakan beban batin pada kawanan kurpelai. Bahu Al sempat tergeser sesaat, meninggalkan beban fisik yang cukup melemahkan Al. Sial memang kalau menjadi Al yang punya spesifikasi menengah pada semua bidang. Mau jago pun tak bisa. Pegangannya saat menjinjing senapan tadi jelas bahan tertawaan bagi semua militansi.
Jangan lupa, berkat tembakan tadi. Kumpulan kurpelai yang sempat bengong sesaat makin marah. Kecerdasan mereka melebihi seekor anjing rupanya. Dengan komando misterius, makhluk-makhluk berbulu itu sudah mau memojokkan Al dan Robot Girlfriend di sudut ruangan.
"Waduh, mau mati nih." ucap Al berkeringat, sambil tersenyum anyir melihat balasan Robot Girlfriend yang seakan tetap tabah sembari tersenyum. "Ah iya, buruan pegang senapanku." ucap Al sambil menuntun Robot Girlfriend untuk menenteng senapannya. Mengarahkan mulut senapan ke bawah.
"Kalau jatuh duluan tangkap aku ya," bisik Al. Menarik pelatuk senapan tersebut dengan jari tengah.
Sama seperti sebelumnya, satu kolom jajar genjang meredup. Dan sebuah cahaya panas memancar ke arah lantai. Tanpa terpantul, sinar tersebut melukai lantai. Lukanya semakin lama semakin melebar, meninggalkan permukaan lantai yang rapuh dan siap hancur kapan saja. Beban dari dua orang makhluk berwujud gadis tentu saja tak mungkin bisa ditahannya. Jatuhlah Al dan Robot Girlfriend.
--------------------------------------------------------------------------------------------
Jangan lupa, berkat tembakan tadi. Kumpulan kurpelai yang sempat bengong sesaat makin marah. Kecerdasan mereka melebihi seekor anjing rupanya. Dengan komando misterius, makhluk-makhluk berbulu itu sudah mau memojokkan Al dan Robot Girlfriend di sudut ruangan.
"Waduh, mau mati nih." ucap Al berkeringat, sambil tersenyum anyir melihat balasan Robot Girlfriend yang seakan tetap tabah sembari tersenyum. "Ah iya, buruan pegang senapanku." ucap Al sambil menuntun Robot Girlfriend untuk menenteng senapannya. Mengarahkan mulut senapan ke bawah.
"Kalau jatuh duluan tangkap aku ya," bisik Al. Menarik pelatuk senapan tersebut dengan jari tengah.
Sama seperti sebelumnya, satu kolom jajar genjang meredup. Dan sebuah cahaya panas memancar ke arah lantai. Tanpa terpantul, sinar tersebut melukai lantai. Lukanya semakin lama semakin melebar, meninggalkan permukaan lantai yang rapuh dan siap hancur kapan saja. Beban dari dua orang makhluk berwujud gadis tentu saja tak mungkin bisa ditahannya. Jatuhlah Al dan Robot Girlfriend.
--------------------------------------------------------------------------------------------
Lantai 13, tempat di mana pancaran cahaya penghancur tadi diserap lantai. Menghancurkan dua tulang rusuk dan pundak Al. Diteguknya segelas potion yang didapatkannya dari Miller. Rasanya menjijikkan, seperti daging ayam mentah yang dilumuri bubuk teh hijau dan kopi. Namun perlahan dada Al terasa ringan, dan nafasnya kembali seperti sediakala.
Robot Girlfriend? Baik-baik saja. Dia bukan sekedar makhluk biasa yang hancur berkeping-keping kala dijatuhkan dari lantai tertinggi sebuah gedung. Raut wajahnya tetap tenang, ditambahi senyum yang seakan terpatri selamanya di wajahnya.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya,
"Gak papa, cuman mau mati tadi," balas Al ketus, lalu menangkap uluran tangan Robot Girlfriend.
Mereka berdua jatuh ke sebuah ruangan luas yang disesaki bangku-bangku besar dan lemari-lemari yang berhias karat. Sepertinya ini ruang guru. Lengkap dengan segala fasilitas terabaikan yang sebelumnya pernah dipakai guru-guru untuk melengkapi tugas atau melepas rehat sehabis mengajar.
"Wah, kangennya. Dulu sering banget dipanggil ke sini." kenang Al.
"Kalau begitu, kamu kenal pak Adide, nama lengkapnya Adise Risedu Bede Dodo Dededede- destruction, pengajar ilmu penciptaan dan ide?"
"kenal, gimana bisa lu hafal nama anehnya?" tanya Al heran.
"Beliau, yang mengaktifkan semua Robot Girlfriend sepertiku. Yang memberi kami segala pengetahuan untuk menjadi berguna. Tanpanya kami takkan ada."
"Oh, begitu. Orangnya baik sih."
"Beliau orang baik, juga penyayang. Dia merawat kami dengan pengertian seakan kami putrinya sendiri. Dia tidak akan bisa membenci orang lain."
Robot Girlfriend? Baik-baik saja. Dia bukan sekedar makhluk biasa yang hancur berkeping-keping kala dijatuhkan dari lantai tertinggi sebuah gedung. Raut wajahnya tetap tenang, ditambahi senyum yang seakan terpatri selamanya di wajahnya.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya,
"Gak papa, cuman mau mati tadi," balas Al ketus, lalu menangkap uluran tangan Robot Girlfriend.
Mereka berdua jatuh ke sebuah ruangan luas yang disesaki bangku-bangku besar dan lemari-lemari yang berhias karat. Sepertinya ini ruang guru. Lengkap dengan segala fasilitas terabaikan yang sebelumnya pernah dipakai guru-guru untuk melengkapi tugas atau melepas rehat sehabis mengajar.
"Wah, kangennya. Dulu sering banget dipanggil ke sini." kenang Al.
"Kalau begitu, kamu kenal pak Adide, nama lengkapnya Adise Risedu Bede Dodo Dededede- destruction, pengajar ilmu penciptaan dan ide?"
"kenal, gimana bisa lu hafal nama anehnya?" tanya Al heran.
"Beliau, yang mengaktifkan semua Robot Girlfriend sepertiku. Yang memberi kami segala pengetahuan untuk menjadi berguna. Tanpanya kami takkan ada."
"Oh, begitu. Orangnya baik sih."
"Beliau orang baik, juga penyayang. Dia merawat kami dengan pengertian seakan kami putrinya sendiri. Dia tidak akan bisa membenci orang lain."
"Lu yakin dia orang yang sesuci gitu? Biasa aja deh."
"... Memang, aku pernah dengar beliau mengutuk beberapa orang."
"Wah, siapa ya nama mereka. Kali aja kenal."
"Anak berkebutuhan khusus. Kami para Robot Girlfriend dilarang mengadakan kontak dengan mereka. Terutama dengan 4 orang gadis yang terkenal gemar membuat ulah. Nama mereka adalah Ionsaa Tsahur, Inspira Simagnum, Soraya Nagaraksa, dan..."
"... dan siapa?"
"Yang paling harus dihindari, putri ketua Komite, Miranda Hadyatha."
"Wah, gue kenal tuh ama itu anjing, lagaknya sotoy banget." balas Al mengangguk-angguk.
"... Sudah waktunya kamu memperkenalkan diri, gadis yang paling dibenci ayah Adida" ucap Robot Girlfriend mengubah nada bicaranya.
"Heyheyhey.. Gua bukan Miranda kok. Lu jangan main prasangka" jawab Al.
"Kalau begitu, kenapa kebiasaan, fisik, dan presensimu amat identik dengan Miranda Hadyatha."
Mendengarnya, Al yang sebelumnya kelihatan tak tahu membuyarkan ekspresinya. Menggantinya dengan mimik wajah yang lebih mempunyai arti.
"Penasaran dengan apa yang terjadi pada gadis sok imut yang selalu memaksakan senyumannya, dan berusaha menarik perhatian orang lain dengan berbuat onar itu? Aku membunuhnya, membuang namanya, dan mengganti kacamatanya dengan kacamata yang lebih trendi." ucap Al sambil memamerkan kacamata bulatnya.
"Mengapa kamu tega menyelakai ayah Adide? Padahal beliau tidak ada hubungannya denganmu." ucap Robot Girlfriend melenyapkan senyumannya.
"Karena bangunan ini gue rasa gak cocok dengan sirkulasi nafas gue, dan pak Adide yang paling pantes buat disalahin," ucap Al, tanpa merasa bersalah. "Bisa balikin senjataku engga?"
"Heh, baiklah. Rasanya kamu memang tak perlu dihormati. Nih, silakan dipakai, " ucap Robot Girlfriend sambil membidikkan senapan tersebut ke arah Al. Al tidak kalah cepat, bahkan lebih sigap. Sepakannya sudah melesak ke arah dagu senapan. Memelesetkan tembakan senapan itu ke atas. Sepakan tadi kemudian berganti menjadi ayunan kaki ke bawah yang kemudian membentuk sebuah kuda-kuda bela diri karate. Sebuah dorongan mengarah ke abdomen Robot Girlfriend, yang hanya mendorongnya mundur, sedikit. Untungnya pegangan yang mengikat senapan itu juga melemah, yang kemudian momen tersebut dimanfaatkan Al dengan singkat. Direbutnya kembali senapan tersebut dan ditariknya segala upaya perlawanan. Bendera putih imajiner berkibar. Suatu tindakan bodoh bagi makhluk lemah untuk melawan makhluk yang lebih padat dan berat daripadanya. Setidaknya Al masih punya akal untuk mengatur strategi untuk melawan tank berwujud manusia itu.
"Sialan, kok tinjuku jadi lemah ya. Kuda-kudanya kurang kokoh duh." pikir Al sambil melarikan diri. Di belakangnya sosok Robot Girlfriend ikut mengejarnya sambil berlari. Tak hanya itu saja, objek-objek yang berserakahan di lorong mulai melayang menuju tubuh Al. Entah presisi Robot Girlfriend yang tidak jitu atau ia terlalu dimakan ambisi pembunuhan. Tidak ada lemparannya yang tidak meleset. Al lalu memutar beberapa lingkar pengatur volume pada senapannya, membalikkan tubuhnya, dan menembak langit-langit dengan senapannya. Sebuah tembakan kecil meresap masuk ke dalam bekas lampu yang tak terpakai. Lampu tersebut kemudian menyala, terang sekali. Pancaran sinar yang membutakan itu sesaat memburamkan penglihatan Robot Girlfriend. 30 detik setelahnya lampu tersebut pecah dan sosok yang dikejar Robot Girlfriend lenyap.
--------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE B
"Wah, siapa ya nama mereka. Kali aja kenal."
"Anak berkebutuhan khusus. Kami para Robot Girlfriend dilarang mengadakan kontak dengan mereka. Terutama dengan 4 orang gadis yang terkenal gemar membuat ulah. Nama mereka adalah Ionsaa Tsahur, Inspira Simagnum, Soraya Nagaraksa, dan..."
"... dan siapa?"
"Yang paling harus dihindari, putri ketua Komite, Miranda Hadyatha."
"Wah, gue kenal tuh ama itu anjing, lagaknya sotoy banget." balas Al mengangguk-angguk.
"... Sudah waktunya kamu memperkenalkan diri, gadis yang paling dibenci ayah Adida" ucap Robot Girlfriend mengubah nada bicaranya.
"Heyheyhey.. Gua bukan Miranda kok. Lu jangan main prasangka" jawab Al.
"Kalau begitu, kenapa kebiasaan, fisik, dan presensimu amat identik dengan Miranda Hadyatha."
Mendengarnya, Al yang sebelumnya kelihatan tak tahu membuyarkan ekspresinya. Menggantinya dengan mimik wajah yang lebih mempunyai arti.
"Penasaran dengan apa yang terjadi pada gadis sok imut yang selalu memaksakan senyumannya, dan berusaha menarik perhatian orang lain dengan berbuat onar itu? Aku membunuhnya, membuang namanya, dan mengganti kacamatanya dengan kacamata yang lebih trendi." ucap Al sambil memamerkan kacamata bulatnya.
"Mengapa kamu tega menyelakai ayah Adide? Padahal beliau tidak ada hubungannya denganmu." ucap Robot Girlfriend melenyapkan senyumannya.
"Karena bangunan ini gue rasa gak cocok dengan sirkulasi nafas gue, dan pak Adide yang paling pantes buat disalahin," ucap Al, tanpa merasa bersalah. "Bisa balikin senjataku engga?"
"Heh, baiklah. Rasanya kamu memang tak perlu dihormati. Nih, silakan dipakai, " ucap Robot Girlfriend sambil membidikkan senapan tersebut ke arah Al. Al tidak kalah cepat, bahkan lebih sigap. Sepakannya sudah melesak ke arah dagu senapan. Memelesetkan tembakan senapan itu ke atas. Sepakan tadi kemudian berganti menjadi ayunan kaki ke bawah yang kemudian membentuk sebuah kuda-kuda bela diri karate. Sebuah dorongan mengarah ke abdomen Robot Girlfriend, yang hanya mendorongnya mundur, sedikit. Untungnya pegangan yang mengikat senapan itu juga melemah, yang kemudian momen tersebut dimanfaatkan Al dengan singkat. Direbutnya kembali senapan tersebut dan ditariknya segala upaya perlawanan. Bendera putih imajiner berkibar. Suatu tindakan bodoh bagi makhluk lemah untuk melawan makhluk yang lebih padat dan berat daripadanya. Setidaknya Al masih punya akal untuk mengatur strategi untuk melawan tank berwujud manusia itu.
"Sialan, kok tinjuku jadi lemah ya. Kuda-kudanya kurang kokoh duh." pikir Al sambil melarikan diri. Di belakangnya sosok Robot Girlfriend ikut mengejarnya sambil berlari. Tak hanya itu saja, objek-objek yang berserakahan di lorong mulai melayang menuju tubuh Al. Entah presisi Robot Girlfriend yang tidak jitu atau ia terlalu dimakan ambisi pembunuhan. Tidak ada lemparannya yang tidak meleset. Al lalu memutar beberapa lingkar pengatur volume pada senapannya, membalikkan tubuhnya, dan menembak langit-langit dengan senapannya. Sebuah tembakan kecil meresap masuk ke dalam bekas lampu yang tak terpakai. Lampu tersebut kemudian menyala, terang sekali. Pancaran sinar yang membutakan itu sesaat memburamkan penglihatan Robot Girlfriend. 30 detik setelahnya lampu tersebut pecah dan sosok yang dikejar Robot Girlfriend lenyap.
--------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE B
Dari sini, Saya menjadi Aku. Namaku Robot Girlfriend. Panggil saja Eca. Tapi Robot Girlfriend juga tidak apa-apa.
Aku adalah makhluk buatan, ditambah barang imitasi pula. Penciptaku merancangku dengan mencontek skema manusia, sebuah mahakarya dari eksistensi yang sedikit lebih tinggi derajatnya daripada penciptaku. Keunggulan kami hanya satu, yaitu liat yang dipilin memadat menjadi mineral padat alih-alih menjadi daging, yang berujung dengan lebih unggulnya fisik kami dari manusia. Walau begitu, aku tak pernah menganggap diriku lebih sempurna dari manusia yang mempunyai kehendak, namun hal tersebut seakan tak digubris penciptaku, yang malah mengkaryakan makhluk-makhluk lain yang serupa denganku lalu melabelinya sebagai saudariku. Keberadaan dewata tadi menganggap kami sebagai putri-putrinya, merawat kami, dan memberi kami alasan hidup. Tak ada alasan bagi kami untuk membencinya.
Tetapi, gadis itu. Gadis berambut biru itu. Merenggut segalanya dari pencipta kami. Belum sempat kami mengucapkan selamat tinggal, bapak kami sudah dipundung ke semesta antah berantah. Alasannya konyol, beliau dituduh mencemari lingkungan dengan penciptaan terbarunya. Kalau saja gadis yang bernama Miranda itu bukan putri pemilik yayasan, alasan tadi bisa dibantah dengan mudah bahkan oleh kami. Sekarang, hanya aku yang akhirnya bisa berhadapan dengan gadis itu. Akan aku renggut semua yang bisa didekap oleh gadis itu.
Nyaris saja aku berhasil meremukkannya sampai mungil. Gadis itu nampaknya memang licin. Lebih licin daripada cacing yang mandi oli. Sudah begitu bisa berpikir pula.
Di antara saudari-saudariku, akulah yang paling jago dalam lacak-melacak. Apalagi berbulan-bulan ditelantarkan di bangunan ini membuatku merasa paling akrab dengan segala kenampakan di dalam bangunan ini. Maaf nona, kamu memilih tempat yang salah untuk main petak umpet.
Lantai 3, dan gadis itu sepertinya terus menuruni tangga. Dari lantai 13 tadi aku melihat jejak kakinya yang merah dari darah kurpelai yang juga bertebaran di tangga, kebanyakan mati dengan luka lebam dan luka tembakan. Entah berpikir apa gadis itu, tapi yang ia perbuat malah meninggalkan jejak kentara untukku. Walaupun larinya lumayan kencang juga untuk kukejar. Oh iya, aku mempunyai daya pendengaran yang cukup bagus sampai bisa kubanggakan. Karena kemampuan itulah aku heran, apa gadis itu tidak capai berlari menuruni tangga tanpa mengurangi langkah larinya, yang sedari tadi tetap lancar. Ah, seharusnya itu bukan urusanku.
Kudengar sesaat gadis itu berhenti, samar sekali aku mendengar suara terengah-engah. kemudian, kudengar suara benda dijatuhkan. Kutelusuri asal suara itu, nampak sesosok kurpelai raksasa tengah terbujur di tanah. Di dekatnya ada sebuah senapan yang dibiarkan tergeletak, kehabisan amunisi. Punggung kurpelai itu terlihat robek dan tengkuknya basah karena darah. Kupikir gadis itu menungganginya untuk menuruni tangga dan membunuhnya ketika makhluk malang ini sudah tak bisa dipakai. Mudah ditebak.
Aku mencoba masuk ke ruang di dekat mayat tersebut tergeletak. Ada 3 ruangan yang berjajar di lorong ini. Masing-masing merupakan ruang kelas yang pemandangannya sudah tidak bisa disebut kelas untuk pembelajaran lagi. Bangku dan meja yang usang dibiarkan berserakahan, papan tulis yang sudut kirinya tidak tergantung di dinding sehingga terlihat miring, dan dari setiap bangku dan segala perabotan kelas lain yang terbuat dari kayu sudah banyak lubangnya karena disantap rayap, rayap jenis apa aku tak tahu.
Setelah meyakinkan diri bahwa tak ada apa-apa di sini. Aku kembali menuruni lantai bangunan ini. Terdengar suara langkah kaki yang gontai dan lelah dari lantai terbawah. Kulanjutkan perburuanku. Dan benar saja, gadis itu terlihat pincang ketika memasuki sebuah ruangan. Segera aku mempercepat langkahku dan kuhadapi muka ruangan itu.
Kosong, sosok yang kulihat masuk ke ruangan ini menghilang. Yang ada hanya sebuah ruangan gelap yang nyaris tak ada siapapun di dalamnya. Belum sempat aku berpikir bagaimana caranya gadis itu menghilang, sebuah bujur sangkar tiba-tiba tercipta di udara. Lalu pada bujur sangkar itu tergambar sebuah pemandangan yang nyata dan tridimensional. Dari lubang itu pula terlihat Miranda, yang keluar dan menutup pintu ruangan ini, menguncinya, lalu mematahkan kuncinya sekaligu merusak lubang kuncinya. Kemudian ia memandangiku, mengangkat tangan dan menjulurkan lidahnya. Bujur sangkar tempatnya keluar tadi kemudian menyerong, dan dari bujur sangkar tersebut keluar jasad kurpelai raksasa yang tergeletak tadi.
Kukira makhluk itu sudah mati, tetapi ketika aku sadar makhluk itu masih hidup saat ia melenguh ketika moncongnya membentur lantai. Makhluk itu menatapku. Bulu-bulunya berdiri dan dari mulutnya keluar suara menggeram. Walau aku lama tinggal di sini bukan berarti aku sahabat makhluk-makhluk yang ada di sini. Apalagi bau kapur yang selalu kutebar amat dibenci semua makhluk yang ada di sini. Dibenci dalam artian membuat mereka marah, bukan menghindarinya.
Dan akhirnya aku sadar, gadis itu sengaja menggiringku ke sini. Setelah ia masuk kembali ke dalam portal itu ia dengan asyiknya menonton kami. Portal yang menempel di atap ruangan itu seakan seperti pagar yang menutupi lapangan dan kursi penonton. Sambil melihatku gadis itu berkata,
"Hoi, robot. Kalau bisa ngalahin ini beruang, temui aku di basement ya!" ucapnya, lalu terdengar suara pria yang sepertinya marah. Gadis itu kemudian terdengar membalas suara marah tadi.
"Duh, sori ya gak bisa lama-lama! Ada rakun pelit tukang riba. Dagh, jangan ancur ya!" ucapnya menutup pembicaraan bersamaan dengan tutupnya bujur sangkar tadi. Sekarang yang tersisa adalah aku dan kurpelai besar ini. Tak ada tempat untuk lari di ruang kosong yang aku tak tahu fungsinya apa ini. Dan makhluk besar itu sudah siap menerkamku kapan saja.
Aku kurang jago dalam hindar-menghindar.
Tahu-tahu saja bahuku sudah dikunyah oleh moncongnya yang punya gigi-gigi kecil seperti gergaji. Karena rasanya seperti dipencet-pencet, aku memukul-mukul moncongnya dengan tanganku. Makhluk itu melepaskan gigitannya, namun melemparku ke atas. Belum sempat aku mendarat. Ayunan ekornya yang besar mencambukku. Melemparkanku seperti bola kasti.
Aku terhempas, mencium tembok, dan tergeletak. Berpura-pura mati adalah cara terbaik untuk menghindari beruang. Sayangnya lawanku bukan beruang, makhluk itu masih mengitari tubuhku. Menendang-nendang tubuhku sembari terbatuk-batuk karena lukanya sebelum ini. Makhluk itu seakan tidak bisa meninggalkan pandangannya dariku.
Ya ampun bodohnya aku. Bagaimana bisa aku berpikir berpura-pura mati akan menyelamatkan diriku selama kami berdua masih terkunci di ruangan ini? Apa tidak ada cara lain selain membunuh kurpelai ini? Susah buatku untuk tidak menampilkan empati. Andai saja aku diciptakan tanpa perasaan. Mungkin akan lebih mudah. Eh.
Kebanyakan berpikir membuatku tak sadar kakiku digigit. Andai saja aku diciptakan tanpa pikiran. Mungkin akan lebih mudah. Eh.
Kakiku kelihatannya patah, bengkok sampai melawan persendian. Ah, tidak bagus. Huh, andai saja aku diciptakan tanpa bisa mengeluh. Mungkin akan lebih mudah. Eh.
Kalau mengeluh terus, kapan majunya. Pada akhirnya yang dibutuhkan cuma perasaan tega. Ya, aku akan mengaktifkan kemampuan istimewa kami para Robot Girlfriend. Dengan melepas besi fentilasi yang menutupi separuh wajahku.
Besi yang menutupi mataku sebenarnya adalah peredam suara untuk menetralkan gelombang yang keluar dari sistem pengoperasian kami yang setiap kerjanya mengeluarkan suara bising yang amat kuat sampai membuat siapa yang mendengarnya mengalami perubahan susunan otak. Sama dengan kurpelai itu yang sekarang meraung-raung, mulutnya berbusa, dan kemudian rubuh begitu saja. Suara ini tetap menggaung di ruangan terkunci ini. Benar juga, aku sendiri sampai mual mendengarnya.
Dan sekarang. Waktunya menyelesaikan permainan petak umpet. Aku tak punya waktu untuk berpikir lagi.
------------------------------------------------------------------------------------------
Seakan seseorang lupa saat ini sang surya atau sang rembulan yang berjaya. Jawabannya tak ada. Yang ada hanyalah sebuah matahari buatan yang sengaja dibuat agar tumbuhan bisa makan kenyang setiap hari. Di bawah tumbuhan yang sedang asyik-asyiknya mandi bentaran sinar panas itu terdapat ruang yang berisi puluhan tombol-tombol dan monitor yang walau berdebu namun masih aktif. Di ruangan itu bernaung Al yang sedang asyiknya memencet-mencet tuts.
Al tentu saja mengerti kurpelai sekarat takkan bisa mengalahkan gadis robot super yang punya kecerdasan setingkat manusia. Setidaknya ia sudah diberi waktu untuk mempersiapkan rencana terakhirnya. Ia sudah berdiri di ruangan paling bawah di bangunan ini. Ruangan basemen di mana ruang kontrol matahari buatan bernaung. Al sudah mengutak-atik semuanya. Dengan hasilnya yaitu mempercepat revolusi bintang tersebut hingga kalor yang tersimpan melampaui yang bisa dikandung. Hanya satu tombol besar yang tak sanggup ia pencet. Dan ia menunggu kedatangan Robot Girlfriend untuk mengeksekusi tugas terakhir.
Sesuai prediksi. Robot Girlfriend menendang hancur pintu besi yang melengkapi ruangan itu. Tanpa babibu dilancarkannya sebuah tinju yang mengarah langsung ke arah dada Al. Entah kehabisan energi atau deskripsi detil. Al malah dengan terbukanya menerima pukulan Robot Girlfriend. Tinju yang sangat kuat sampai menembus dada Al, menghancurkan organnya.
Setidaknya itu yang dipikirkan oleh Robot Girlfriend.
Tentu saja semua tak berakhir di sini. Tak ada banyak darah yang tumpah dari dada Al. Yang tentu saja membuat Robot Girlfriend bingung setengah mati.
"K-kamu, k-kenapa tidak mati? P-padahal dadamu sudah kutembus sebegini rupa."
"Haha, lo tembus juga percuma. Paru-paru dan jantung gua udah gua jual buat biaya sewa membuka portal punya sohib gua si rakun pelit dan jelek itu. Yah kembaliannya juga cukup buat beli jantung artifisial, alat pernafasan baru sama robot perawat yang dimodifikasi jadi juru operasi. Untung aja operasinya cuman bentar." pamer Al sambil menunjukkan perutnya yang belepotan darah dan bekas jahitan.
"K-kamu, kamu itu apa sebenarnya?" tanya Robot Girlfriend setengah tak percaya.
"Baiklah, gua bakal ngenalin diri lagi. Panggil gua Alpacapone karena gua lagi engga pakai nama Miranda Hadyatha, kerjaan gua sekarang ngelola perusahaan dagang kecil-kecilan yang gua namain UD. Deus Ex Machina. Untungnya lumayan lah sampai bisa ngumpulin sponsor buat ngelakonin operasi barusan." jelas Al, kemudian membatukkan darah hasil dari denyut rasa sakit luar biasa di dadanya. Setidaknya dia yakin luka tusuk tersebut tak mungkin membunuhnya. "Oh iya, gua pengen ngucapin makasih. Soalnya lo udah ngebantu gua mencet tombol anti-gravitasi buat matahari buatan. 2 menit lagi matahari buatan bakal gabung ama tanah dan alam ini bakal jadi neraka. Haha."
Robot Girlfriend benar-benar tidak paham. Sebelum sempat mencerna ucapan Al sampai terserap semua, portal berbentuk bujur sangkar yang sebelumnya muncul di hadapannya kembali terbuka tepat di belakang Al. Tombol yang sebelumnya ditekan oleh tinju Robot Girlfriend berganti menjadi udara kosong tanpa tembok. Al lalu dengan gamblangnya mundur selangkah. Meninggalkan Robot Girlfriend yang masih tak percaya.
"Jangan gosong ya! Bai!" ucap Al, kemudian portal tadi tertutup. Ujung tinju Robot Girlfriend yang masih mengepal ke depan lenyap termakan portal. Robot Girlfriend tidak merasa sakit.
2 menit terasa singkat ya? Semoga ledakan supernova tidak menyakitkan.
-------------------------------------------------------------------------------------------
Epilude
Tanpa teringat bagaimana caranya ia tertidur, Al tiba-tiba terbangun. Di sebuah tempat di mana ia bertemu dengan dua makhluk yang kemudian mengenalkan diri mereka sebagai sang kurator musium semesta dan asistennya, yang kini bertindak selayaknya penjemput yang hendak mengantar menuju alam antah berantah.
Berangkatlah mereka menuju sebuah tempat yang belum terjelaskan. Belum sempat juga Al mengambil kalkulator dan abakusnya. Padahal ia ingin sekali membeli sebuah benda dari alam mimpi. Benda apa gerangan? Entahlah.
S t o p . . .
Tetapi, gadis itu. Gadis berambut biru itu. Merenggut segalanya dari pencipta kami. Belum sempat kami mengucapkan selamat tinggal, bapak kami sudah dipundung ke semesta antah berantah. Alasannya konyol, beliau dituduh mencemari lingkungan dengan penciptaan terbarunya. Kalau saja gadis yang bernama Miranda itu bukan putri pemilik yayasan, alasan tadi bisa dibantah dengan mudah bahkan oleh kami. Sekarang, hanya aku yang akhirnya bisa berhadapan dengan gadis itu. Akan aku renggut semua yang bisa didekap oleh gadis itu.
Nyaris saja aku berhasil meremukkannya sampai mungil. Gadis itu nampaknya memang licin. Lebih licin daripada cacing yang mandi oli. Sudah begitu bisa berpikir pula.
Di antara saudari-saudariku, akulah yang paling jago dalam lacak-melacak. Apalagi berbulan-bulan ditelantarkan di bangunan ini membuatku merasa paling akrab dengan segala kenampakan di dalam bangunan ini. Maaf nona, kamu memilih tempat yang salah untuk main petak umpet.
Lantai 3, dan gadis itu sepertinya terus menuruni tangga. Dari lantai 13 tadi aku melihat jejak kakinya yang merah dari darah kurpelai yang juga bertebaran di tangga, kebanyakan mati dengan luka lebam dan luka tembakan. Entah berpikir apa gadis itu, tapi yang ia perbuat malah meninggalkan jejak kentara untukku. Walaupun larinya lumayan kencang juga untuk kukejar. Oh iya, aku mempunyai daya pendengaran yang cukup bagus sampai bisa kubanggakan. Karena kemampuan itulah aku heran, apa gadis itu tidak capai berlari menuruni tangga tanpa mengurangi langkah larinya, yang sedari tadi tetap lancar. Ah, seharusnya itu bukan urusanku.
Kudengar sesaat gadis itu berhenti, samar sekali aku mendengar suara terengah-engah. kemudian, kudengar suara benda dijatuhkan. Kutelusuri asal suara itu, nampak sesosok kurpelai raksasa tengah terbujur di tanah. Di dekatnya ada sebuah senapan yang dibiarkan tergeletak, kehabisan amunisi. Punggung kurpelai itu terlihat robek dan tengkuknya basah karena darah. Kupikir gadis itu menungganginya untuk menuruni tangga dan membunuhnya ketika makhluk malang ini sudah tak bisa dipakai. Mudah ditebak.
Aku mencoba masuk ke ruang di dekat mayat tersebut tergeletak. Ada 3 ruangan yang berjajar di lorong ini. Masing-masing merupakan ruang kelas yang pemandangannya sudah tidak bisa disebut kelas untuk pembelajaran lagi. Bangku dan meja yang usang dibiarkan berserakahan, papan tulis yang sudut kirinya tidak tergantung di dinding sehingga terlihat miring, dan dari setiap bangku dan segala perabotan kelas lain yang terbuat dari kayu sudah banyak lubangnya karena disantap rayap, rayap jenis apa aku tak tahu.
Setelah meyakinkan diri bahwa tak ada apa-apa di sini. Aku kembali menuruni lantai bangunan ini. Terdengar suara langkah kaki yang gontai dan lelah dari lantai terbawah. Kulanjutkan perburuanku. Dan benar saja, gadis itu terlihat pincang ketika memasuki sebuah ruangan. Segera aku mempercepat langkahku dan kuhadapi muka ruangan itu.
Kosong, sosok yang kulihat masuk ke ruangan ini menghilang. Yang ada hanya sebuah ruangan gelap yang nyaris tak ada siapapun di dalamnya. Belum sempat aku berpikir bagaimana caranya gadis itu menghilang, sebuah bujur sangkar tiba-tiba tercipta di udara. Lalu pada bujur sangkar itu tergambar sebuah pemandangan yang nyata dan tridimensional. Dari lubang itu pula terlihat Miranda, yang keluar dan menutup pintu ruangan ini, menguncinya, lalu mematahkan kuncinya sekaligu merusak lubang kuncinya. Kemudian ia memandangiku, mengangkat tangan dan menjulurkan lidahnya. Bujur sangkar tempatnya keluar tadi kemudian menyerong, dan dari bujur sangkar tersebut keluar jasad kurpelai raksasa yang tergeletak tadi.
Kukira makhluk itu sudah mati, tetapi ketika aku sadar makhluk itu masih hidup saat ia melenguh ketika moncongnya membentur lantai. Makhluk itu menatapku. Bulu-bulunya berdiri dan dari mulutnya keluar suara menggeram. Walau aku lama tinggal di sini bukan berarti aku sahabat makhluk-makhluk yang ada di sini. Apalagi bau kapur yang selalu kutebar amat dibenci semua makhluk yang ada di sini. Dibenci dalam artian membuat mereka marah, bukan menghindarinya.
Dan akhirnya aku sadar, gadis itu sengaja menggiringku ke sini. Setelah ia masuk kembali ke dalam portal itu ia dengan asyiknya menonton kami. Portal yang menempel di atap ruangan itu seakan seperti pagar yang menutupi lapangan dan kursi penonton. Sambil melihatku gadis itu berkata,
"Hoi, robot. Kalau bisa ngalahin ini beruang, temui aku di basement ya!" ucapnya, lalu terdengar suara pria yang sepertinya marah. Gadis itu kemudian terdengar membalas suara marah tadi.
"Duh, sori ya gak bisa lama-lama! Ada rakun pelit tukang riba. Dagh, jangan ancur ya!" ucapnya menutup pembicaraan bersamaan dengan tutupnya bujur sangkar tadi. Sekarang yang tersisa adalah aku dan kurpelai besar ini. Tak ada tempat untuk lari di ruang kosong yang aku tak tahu fungsinya apa ini. Dan makhluk besar itu sudah siap menerkamku kapan saja.
Aku kurang jago dalam hindar-menghindar.
Tahu-tahu saja bahuku sudah dikunyah oleh moncongnya yang punya gigi-gigi kecil seperti gergaji. Karena rasanya seperti dipencet-pencet, aku memukul-mukul moncongnya dengan tanganku. Makhluk itu melepaskan gigitannya, namun melemparku ke atas. Belum sempat aku mendarat. Ayunan ekornya yang besar mencambukku. Melemparkanku seperti bola kasti.
Aku terhempas, mencium tembok, dan tergeletak. Berpura-pura mati adalah cara terbaik untuk menghindari beruang. Sayangnya lawanku bukan beruang, makhluk itu masih mengitari tubuhku. Menendang-nendang tubuhku sembari terbatuk-batuk karena lukanya sebelum ini. Makhluk itu seakan tidak bisa meninggalkan pandangannya dariku.
Ya ampun bodohnya aku. Bagaimana bisa aku berpikir berpura-pura mati akan menyelamatkan diriku selama kami berdua masih terkunci di ruangan ini? Apa tidak ada cara lain selain membunuh kurpelai ini? Susah buatku untuk tidak menampilkan empati. Andai saja aku diciptakan tanpa perasaan. Mungkin akan lebih mudah. Eh.
Kebanyakan berpikir membuatku tak sadar kakiku digigit. Andai saja aku diciptakan tanpa pikiran. Mungkin akan lebih mudah. Eh.
Kakiku kelihatannya patah, bengkok sampai melawan persendian. Ah, tidak bagus. Huh, andai saja aku diciptakan tanpa bisa mengeluh. Mungkin akan lebih mudah. Eh.
Kalau mengeluh terus, kapan majunya. Pada akhirnya yang dibutuhkan cuma perasaan tega. Ya, aku akan mengaktifkan kemampuan istimewa kami para Robot Girlfriend. Dengan melepas besi fentilasi yang menutupi separuh wajahku.
Besi yang menutupi mataku sebenarnya adalah peredam suara untuk menetralkan gelombang yang keluar dari sistem pengoperasian kami yang setiap kerjanya mengeluarkan suara bising yang amat kuat sampai membuat siapa yang mendengarnya mengalami perubahan susunan otak. Sama dengan kurpelai itu yang sekarang meraung-raung, mulutnya berbusa, dan kemudian rubuh begitu saja. Suara ini tetap menggaung di ruangan terkunci ini. Benar juga, aku sendiri sampai mual mendengarnya.
Dan sekarang. Waktunya menyelesaikan permainan petak umpet. Aku tak punya waktu untuk berpikir lagi.
------------------------------------------------------------------------------------------
Seakan seseorang lupa saat ini sang surya atau sang rembulan yang berjaya. Jawabannya tak ada. Yang ada hanyalah sebuah matahari buatan yang sengaja dibuat agar tumbuhan bisa makan kenyang setiap hari. Di bawah tumbuhan yang sedang asyik-asyiknya mandi bentaran sinar panas itu terdapat ruang yang berisi puluhan tombol-tombol dan monitor yang walau berdebu namun masih aktif. Di ruangan itu bernaung Al yang sedang asyiknya memencet-mencet tuts.
Al tentu saja mengerti kurpelai sekarat takkan bisa mengalahkan gadis robot super yang punya kecerdasan setingkat manusia. Setidaknya ia sudah diberi waktu untuk mempersiapkan rencana terakhirnya. Ia sudah berdiri di ruangan paling bawah di bangunan ini. Ruangan basemen di mana ruang kontrol matahari buatan bernaung. Al sudah mengutak-atik semuanya. Dengan hasilnya yaitu mempercepat revolusi bintang tersebut hingga kalor yang tersimpan melampaui yang bisa dikandung. Hanya satu tombol besar yang tak sanggup ia pencet. Dan ia menunggu kedatangan Robot Girlfriend untuk mengeksekusi tugas terakhir.
Sesuai prediksi. Robot Girlfriend menendang hancur pintu besi yang melengkapi ruangan itu. Tanpa babibu dilancarkannya sebuah tinju yang mengarah langsung ke arah dada Al. Entah kehabisan energi atau deskripsi detil. Al malah dengan terbukanya menerima pukulan Robot Girlfriend. Tinju yang sangat kuat sampai menembus dada Al, menghancurkan organnya.
Setidaknya itu yang dipikirkan oleh Robot Girlfriend.
Tentu saja semua tak berakhir di sini. Tak ada banyak darah yang tumpah dari dada Al. Yang tentu saja membuat Robot Girlfriend bingung setengah mati.
"K-kamu, k-kenapa tidak mati? P-padahal dadamu sudah kutembus sebegini rupa."
"Haha, lo tembus juga percuma. Paru-paru dan jantung gua udah gua jual buat biaya sewa membuka portal punya sohib gua si rakun pelit dan jelek itu. Yah kembaliannya juga cukup buat beli jantung artifisial, alat pernafasan baru sama robot perawat yang dimodifikasi jadi juru operasi. Untung aja operasinya cuman bentar." pamer Al sambil menunjukkan perutnya yang belepotan darah dan bekas jahitan.
"K-kamu, kamu itu apa sebenarnya?" tanya Robot Girlfriend setengah tak percaya.
"Baiklah, gua bakal ngenalin diri lagi. Panggil gua Alpacapone karena gua lagi engga pakai nama Miranda Hadyatha, kerjaan gua sekarang ngelola perusahaan dagang kecil-kecilan yang gua namain UD. Deus Ex Machina. Untungnya lumayan lah sampai bisa ngumpulin sponsor buat ngelakonin operasi barusan." jelas Al, kemudian membatukkan darah hasil dari denyut rasa sakit luar biasa di dadanya. Setidaknya dia yakin luka tusuk tersebut tak mungkin membunuhnya. "Oh iya, gua pengen ngucapin makasih. Soalnya lo udah ngebantu gua mencet tombol anti-gravitasi buat matahari buatan. 2 menit lagi matahari buatan bakal gabung ama tanah dan alam ini bakal jadi neraka. Haha."
Robot Girlfriend benar-benar tidak paham. Sebelum sempat mencerna ucapan Al sampai terserap semua, portal berbentuk bujur sangkar yang sebelumnya muncul di hadapannya kembali terbuka tepat di belakang Al. Tombol yang sebelumnya ditekan oleh tinju Robot Girlfriend berganti menjadi udara kosong tanpa tembok. Al lalu dengan gamblangnya mundur selangkah. Meninggalkan Robot Girlfriend yang masih tak percaya.
"Jangan gosong ya! Bai!" ucap Al, kemudian portal tadi tertutup. Ujung tinju Robot Girlfriend yang masih mengepal ke depan lenyap termakan portal. Robot Girlfriend tidak merasa sakit.
2 menit terasa singkat ya? Semoga ledakan supernova tidak menyakitkan.
-------------------------------------------------------------------------------------------
Epilude
Tanpa teringat bagaimana caranya ia tertidur, Al tiba-tiba terbangun. Di sebuah tempat di mana ia bertemu dengan dua makhluk yang kemudian mengenalkan diri mereka sebagai sang kurator musium semesta dan asistennya, yang kini bertindak selayaknya penjemput yang hendak mengantar menuju alam antah berantah.
Berangkatlah mereka menuju sebuah tempat yang belum terjelaskan. Belum sempat juga Al mengambil kalkulator dan abakusnya. Padahal ia ingin sekali membeli sebuah benda dari alam mimpi. Benda apa gerangan? Entahlah.
S t o p . . .
Kenapa kayaknya penulis selalu bawa oc cewek kekinian yang ga pake nama sebenernya?
BalasHapusDedededestruction... Nama manga kan ini
Saya suka pembagian partnya pake side A side B kayak kolor. Saya juga suka gaya narasinya yang semau gue dan penuh perumpamaan suka". Santai dan kadang berkesan ngelantur, tapi rapi. Saya kira entri Eleanor Tiffany juga punya potensi kayak gini andai penulisnya lebih serius dikit
Dan untuk ukuran oc chaotic evil, Al ini lebih enigmatik daripada AI, 2 entri sebelum ini yang sesama destroyer, meski secara wujud dan motivasi AI lebih sulit dicerna daripada Al. Saya kebayang mungkin kalo ketemu Al bakal cocok jadi bahan buat ngangkat topik soal kapitalisme dan liberalisme, yang bikin saya lumayan pengen oc ini maju terus
Nilai 8
Wiw, seperti yang diharapkan dari seorang manya dalam menulis sebuah kisah dengan karakter unik dan kekinian.
BalasHapusDibuka dengan cerita yang harusnya tragis dan saran dengan berbagai konten yg eksplisit di dalamnya tapi diolah oleh manya menjadi sebuah cerita pembuka yang tak terlalu "bahaya" bagi yg berpuasa *setidaknya jangan membayangkan secara berlebihan atau mencoba mengerti lebih jauh lagi.
Lalu masuk ke inti cerita dan setelah membaca sampai selesai, cuma satu tanggapan untuk mewakili karakter Alpacapone ini,yak Ngeselin.
Awalnya sempet ngerasa miris sama kondisinya tapi dihancurkan gitu aja setelah baca sampai selesai.
Lalu untuk pertarungannya. Ya gak bisa banyak komentar, bertarung dengan kabur2an dan menggunakan strategi yg culas. Gak buruk juga.
Sepertinya Seno harus berhati-hati melawannya.
Secara keseluruhan, okelah untuk sebuah kisah yg dibuat oleh seorang manya.
Nilai : 7
Seno
Kalau sudi, bisakah mampir sebentar dan meninggalkan komentar dan nilai di entri Mahapatih Seno.
numpang review yah ^_^
BalasHapusjujur cerita ini berkesan semau gue... lepas dan apa adanya. banyak adegan "terlarang" yang ditampilkan secara cerdas tanpa merusak iman. hehehehehe. pas saya cek data karakternya, emang kayak gitu. jadi sah-sah aja
cuma Bahasanya kurang gamblang, ending gak dikasih domba kayak yang dibilang di pembukaan prelim.. kalo gak salah, kurang emosional, ada beberapa eror EBI terutama sebelum dialog tag. hehehe..
Nilai:6
Sangat minim emosi. Plain aja bacanya
Prolog yang enggak aman buat yang puasa. Habis sahur mau baca, eh ketemu kata terlarang. Jadilah saya baca habis buka puasa. Sesekali saya curhat enggak apa-apa lah ya.
BalasHapusAlpacapone alias miranda. Pas dia ngomong kata-kata kotor saya langsung buka CSnya. Dan benar. CSnya cuma salah satu, Al bukan gadis, tahu sendirikan alasannya.
Walaupun banyak menggunakan kata kias, tapi saya cukup menikmatinya. Kurangnya cuma dia enggak dapat domba aja. Enggak masalah juga sih, si Al kan punya portal sendiri.
7 dariku
-=AI=-
gaya cerita yg unik juga. narasinya rapi dan agak2 nyastra, kontras sama gaya bicara al itu sendiri yg semaunya. seakan dia ada dalam cerita tapi juga berada di alam yg berbeda dari yg lain... ._.
BalasHapusrasanya ikutan kesel juga baca dari pov robot gf kejar2an cuman buat dapet jebakan dan jebakan lagi orz
tapi overall fun.
nilai: 8
oc: castor flannel
Suka deh sama yang kaya gini. Narasi yang jor2an, santai, suka-suka gue, perumpamaan seenaknya, sampe ngelantur. Unik dan asik di gabung jadi satu. Salah satu entri yang ngga mbuat saya bosan baca di tengah jalan. Bikin mata ngantuk jadi ngejreng lagi.
BalasHapusSi Al juga ngeselin dan masa bodo pada semua hal ternyata, sampe kurpelai tak bersalah dilempar keluar gedung. Tapi, ini malah membuat entri ini seperti memiliki ciri khas dan lebih mencolok keberadaannya daripada yang lain.
Well, pengin liat gimana Al menghadapi babak2 selanjutnya. Jadi, 9 deh.
OC: Alexine E. Reylynn
Dasar kamu dadais garis keras.
BalasHapusKarakter kapitalis sejati dibawa dengan narasi avant-garde yang melawan kapitalisme itu sendiri. Sial kamu.
Enigmatis, banyak pesan subliminal tak disadari, serta pertarungan ala bajingan tengik.
Dasar bangsat. Ku kasih 9/10 deh. Dasar revolusioner
Salam Bangsat dari Enryuumaru dan Mbah Amut
'Suka suka gue'
BalasHapusHaduh, serasa kalah sama chara sendiri. x'D
Entry ini saya suka soalnya narasinya, 'so much free'. Tapi walaupun kesan bebas gitu tetap mudah dimengerti.
Walau, yah.. pas awal-awal sedikit kaget juga ada adegan yg bikin iman goyang.
----------------
Rate = 8
Ru Ashiata (N.V)
Al mengagumkan sekali... <3
BalasHapusNarasi sudah dibahas banyak, tapi sifat Al ini bagus sekaligus bikin penasaran. Al ini benar-benar bebas dan seenaknya sendiri, tapi evil. Pertarungannya dengan robot pacar cewek terkesan santai padahal saling menghancurkan, sampai seperti kiamat, keren sekali. Kasian sih robot pacar cewek dapat jebakan
Nilai 9
Merald
Variatif, kosakata penulisnya sangat kaya dan tidak biasa!
BalasHapusGaya nulisnya berbanding lurus dengan sifat Al yang semaunya sendiri.
Hubungan Al dan Tomnook yang kompleks(rekanan, tapi tetap perhitungan) cukup tereksplor.
meskipun agak bosen waktu baca bagian nya si robot, entri ini cukup sukses menghibur saya.
sebenarnya sih mau ngasih 7, tapi Al yang mengakhiri semua dengan supernova tanpa peduli tetek-bengek semacam makhluk hidup atau ekosistem membuat Al menjadi 'true' chaotic evil dimata saya. Nilai akhir 8.
Ini dia miss suka beli-beli yang tarung dengan belanjaannya. Narasi oke dan mengalir lancar, karakter-karakter yang dimunculkan unik.
BalasHapusAda yang ambiguitas soal bagaimana belanjaan Al bisa langsung ia dapatkan, baru tahu itu teknologi si Tomnook habis baca charsheetnya. Harusnya ditambahkan dalam cerita supaya pembaca gak usah ngelirik charsheetnya.
Untuk battle kurang memuaskan, aksinya kurang dan berakhir begitu saja kena matahari buatan.
Satu lagi poin minus untuk paragraf yang kurang rapi dan paragraf obesitas~
Nilai 7~
OC : Begalodon
Well, saya baca ini dengan ... banyak tanda tanya. Seperti biasa, authornya kalau bikin cerita penyampaiannya--seenggaknya buat saya--agak sulit dipahami. Saya bisa merasa ada pesan-pesan tersirat, tapi maaf karena ilmu saya masih kurang jadinya saya nggak nangkep apa itu. Dan penuturannya banyak istilah asing, menunjukkan ilmu authornya luas banget--tapi mungkin, buat saya bakal lebih baik lagi kalau bisa menyederhanakan penyampaian.
BalasHapusKarakterisasinya lucu. Kirain si robot girlfriend bakal sama abstraknya kayak sifat Al, ternyata serius doi. Dan Al kayaknya menyimpan sesuatu, yang nampaknya menarik buat disimak.
7,5 sebenernya. Saya bulatkan ke bawah karena menurut saya kurang konflik emosional.
7/10
-Sheraga Asher
OCnya bebas banget pembawaannya, jadi ngiri Nano nggak bisa sebebas itu. /plak
BalasHapussifatnya yang selfish dan semuaunya sendiri memang bagus. alur cerita runtut dan dieksekusi dengan baik.
cuma kurangnya disini emosinya kurang digali lagi.
well, nilai dari saya 8. semoga sukses..
Dwi Hendra
OC : Nano Reinfield
Entri yang terkesan seenaknya, tapi asik buat diikutin.
BalasHapusSifat Al yang semaunya sendiri itu menarik dan cocok banget buat karakter tipe destroyer. Ada beberapa istilah dan kata yang saya kurang ngerti, tapi overall ceritanya bagus.
Nilai dari saya, 8
OC : Catherine Bloodsworth
Jujur aje aye kagak ngerti ini baca apaan ceritanye,,sebagian besar bikin bleng kepala gitu..ketinggian levelnye buat aye kali ye,ini tipe cerita kayak gini. Cuman berasa agak akrap gitu di dialognye,,Mpok..pakek bahase gaul lu-gue gitu kayak Betawi pasar. Sama satu yang aye suka tuh nama-nama tokohnye ajaib.
BalasHapusCuman tetep aje kurang paham aye,,lebih sreg sama cerita tinggal bag-big-bug.
Skor 9 dari aye
Karakter: Harum Kartini
Mau kasi 8, tapi endingnya ga ngena. Cih.
BalasHapus7/10
Untuk pembagian part yg pas.
Preludenya....hmmmmmmmmmmmm
Perpindahan povnya bikin nyengir.
Tapi bener2 berasa chaotic evilnya karena bahkan penjelasan dari sisi zainurma dan huban bener2 wuussh, gitu aja, apalagi pas jemput dia.
Gitu deh.