oleh : MirorMirors
--
PROLOG
Bisa tidak waktunya dihentikan sebentar saja?
Aku ingin bersamamu sedikit lebih lama
You make me wanna say I do, I do, I do
Colbie Caillat – I Do
LAGOON
masih menyisakan derai tawa di sela obrolan menjelang tengah malam. Sesekali juga terdengar suara Shawn Mendes menggema dari speaker yang sengaja dipasang di setiap sudut café itu, mengalunkan Aftertaste.
"Sudah kubilang, aku tidak maaaauuuuuu."
Tal sampai memajukan bibirnya beberapa senti. Sengaja menandaskan kalau dia benar-benar tidak mau melakukannya. Aftertaste jadi tidak sempat dia nikmati dengan baik. Sudah dua hari ini dia dihantui oleh hantu pria. Konyol, 'kan? Masa hantu dihantui hantu. Aih, memang itu yang sedang dialaminya. Bagaikan mimpi buruk, eh bukan mimpi buruk juga sih. Soalnya hantu pria itu bisa dibilang bertampang di atas rata-rata. Tahu sendiri di atas rata-rata itu bernilai berapa? Interval delapan hingga sepuluh lah kira-kira.
"Ayolah! Hanya kau yang bisa menolongku," pinta hantu pria itu. Wajah pucatnya semakin terlihat mengenaskan karena menampakan ekspresi sedih. Tal memutar bola matanya jengah. Jangan tanyakan kenapa Tal jadi semacam buronan dadakan begini.
Dua hari lalu, Tal tiba-tiba sudah berada di depan sebuah gereja tua. Hulswit d'Almeida begitulah tulisan itu terpampang cukup besar di muka gereja. Terletak di Yerrus, jantung Kota Brando. Dari sanalah dia bertemu dengan si hantu pria, Vance Stewart namanya.
"Kalau kau tidak membantuku, semua orang di Brando ini akan mati sia-sia," tandas Vance. Sepasang heterochromia biru-hijau miliknya menatap lekat-lekat pada Tal.
"Memangnya aku peduli," sahut Tal. Sengaja memalingkan wajah. Ikut menegaskan kalau dia sama sekali tidak mau berurusan dengan apapun perseteruan yang sedang dan akan terjadi di kota tua ini. Baginya menemukan cara untuk kembali menjadi manusia itu lebih penting. Walau harapannya itu bisa dibilang tidak mungkin. Orang yang sudah mati, tidak akan bisa hidup lagi.
Vance mendesah pasrah, "Tidakkah kau merasa kasihan padaku?"
"Lucu sekali. Kau pikir aku panti sosial, eh?" Tal menekuk wajahnya. Sama sekali tidak berniat untuk menyunggingkan senyum. Vance mengetuk-ngetukan jari jemarinya di atas meja. Bukan mengetuk dalam arti yang sebenarnya. Jarinya mengambang beberapa senti dari atas meja.
"Apa kau pernah jatuh cinta? Mencintai seseorang begitu lebih?" tanya Vance tiba-tiba. Tal menaikan alisnya sebelah. Cukup lama dia memandangi Vance. Menebak-nebak kemana arah pembicaraan lelaki itu nantinya.
"W-well, pernah," ucap Tal. Vance menaikan sebelah sudut bibirnya.
"Baguslah. Kau pasti tahu bagaimana rasanya meninggalkan orang yang kita cintai saat kita sedang cinta-cintanya."
Vance memalingkan wajahnya. Memilih menatap salju yang turun perlahan di luar jendela. Tal bungkam, mencoba mencerna ucapan Vance barusan. Harus diakui, Tal tahu rasanya. Sampai saat ini Tal sendiri tidak tahu harus berbuat apa agar bisa kembali bertemu dengan kekasihnya. Apakah di dunia atau di keabadian?
*****
Cumbuan kuas dan cat air begitu menggoda untuk dipandangi. Bagaikan dua insan yang tengah dimabuk cinta. Saling mengisi, berbalas, hingga menghasilkan sebuah keindahan. Sudah hampir dua jam lamanya, Tal Becker betah melayang-layang tak jauh dari seorang pelukis jalanan. Sesekali decak kekaguman meluncur dari bibir berpulas lipstik warna marmalade itu. Bahkan, tak jarang Tal harus mengerutkan kening terlalu dalam karena kesusahan memahami lukisan dalam kanvas. Wanita setengah telanjang dengan background merah kehitam-hitaman, kalau Tal tidak salah ingat semacam warna merlot. Seolah ada amarah bercampur kesedihan yang sengaja diisyaratkan.
"William!" pekik seorang gadis.
Dengan malas, Tal melirik ke arah sumber suara. Alis hitamnya langsung terangkat. Tatapannya bolak-balik dari wanita itu ke lukisan yang tengah dilukis oleh si pelukis.
"Oh!" gumam Tal. "Wanita yang sama?"
"Pelankan suaramu," tandas si pelukis bernama William.
William kembali melanjutkan lukisannya tanpa berniat melirik gadis itu sedikit pun. Bukannya ingin ikut campur, tapi Tal cukup tertarik dengan apa yang akan terjadi diantara mereka berdua. Bagaimana bisa William melukis wanita itu, sementara dia begitu dingin dan tidak peduli. Kalau tidak bermakna di dalam hati, untuk apa dilukis, diabadikan seperti itu?
Baru saja Tal akan kembali memandangi gadis itu, seseorang tiba-tiba menabraknya. Alhasil, tubuhnya yang melayang jadi terjungkal dan berbalik seperti balon yang dihempas angin. O-oh, apa itu tadi benar manusia? Jangan-jangan si brengsek Elbaniac, bisa bahaya. Harus buru-buru kabur sebelum tertangkap.
"Ck!" decak Tal kesal. Well, rambutnya jadi berantakan. Itu masih mending, untungnya hari ini dia tidak mengenakan rok. The hottest androgynous style. Bayangkan kalau tadi dia masih mengenakan rok. Duh, tidak bisa terbayangkan malunya seperti apa itu underware merah berenda terlihat.
"Maaf. Maaf." Lelaki itu menatap Tal penuh penyesalan, "kau tidak apa-apa?"
"Menurutmu?" sambar Tal dingin. Ugh, dengan jengkel harus merapikan rambut dengan jari-jari tangannya. Sesekali Tal melirik ke arah lelaki yang sekarang sedang menggaruk kepalanya –salah tingkah. Tapi, sedetik kemudian Tal menyadari sesuatu yang berbeda.
"K-kau? Lagi?" tanya Tal dengan alis terangkat sebelah. Lelaki itu balik menatap Tal dengan pandangan sendu. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut lelaki itu. Minimal anggukan atau gelengan kepala pun tidak ada.
"Kau menguntitku, eh?" tuduh Tal tanpa basa-basi. Vance mendesah pelan. Mau tidak mau dia harus mengikuti Tal kemanapun gadis hantu itu pergi. Alasannya? Pertama, karena hanya Tal –hantu yang ditemuinya di daerah Yerrus ini. Kedua, entah kenapa instingnya mengatakan jika Tal bisa membantunya.
Vance terdiam cukup lama. Dengan gerakan mendadak, langsung menarik tangan Tal. Memaksa gadis itu untuk ikut berteleportasi mengikutinya.
"H-hei!" teriak Tal mencoba untuk meloloskan diri, tapi Vance lebih cepat membawanya berpindah tempat.
BAB SATU
Cinta dan benci itu beda tipis.
Antara rindu, ataukah benci?
"I don't come back to tell you that I can't live without you.
I can live without you. I just don't want to."
Jennifer Aniston – Rumor Has It
LEMBAR
demi lembar kertas di hadapannya dibuka dengan sangat hati-hati dan teliti. Tidak jarang ia harus kembali membuka lembaran yang tadi sudah dibacanya. Mengamati dua buah lembar sekaligus, kemudian meletakannya kembali ke atas meja.
Menyerah.
Kacamata minusnya terpaksa harus dia tanggalkan dari telinga. Meletakan di atas meja dengan tangan kiri, sementara tangannya yang bebas memijat kening perlahan. Sudah seharian ini pria berusia lima puluh lima itu mencoba mempelajari semua data yang dipunyainya mengenai sekte yang baru-baru ini menjadi perbincangan masyarakat. Sayangnya nihil, dia belum mendapatkan informasi yang bisa membantu perkembangan penyelidikannya.
"Masih belum menemukan sesuatu, Roosevelt?" suara lembut itu membuyarkan pikirannya. Detektif Roosevelt melirik sekilas ke arah wanita berbalut daster motif floral itu seraya melempar senyum tipis. Jade Kristina dengan penuh sayang, melingkarkan sepasang tangannya ke leher suaminya itu. Ikut menatap ke arah lembaran kertas yang berantakan di atas meja. Roosevelt mengusap tangan istrinya perlahan.
"Pasti aku akan menemukannya," ucap Roosevelt. Suara baritonnya memberikan ketegasan dan kesungguhan, meski di usianya yang sudah tidak lagi muda. Jade mengecup singkat pipi kiri Roosevelt, lalu melepaskan pelukannya.
"Sebentar lagi kau pensiun. Tidakkah lebih baik menyerahkan penyelidikan ini pada anak buahmu?" tanya Jade. Kalau boleh jujur, dia sebenarnya sedikit khawatir akan penyelidikan Roosevelt kali ini. Katakanlah insting seorang istri itu selayaknya ikatan batin seorang ibu kepada anaknya, sangat peka. Tapi, Jade tidak mau terlalu dalam memikirkannya. Roosevelt menghela napas pelan. Dibimbingnya Jade untuk duduk dipangkuannya. Mengusap wajah yang menua itu dengan kelembutan. Seolah jika Roosevelt mengusapnya terlalu keras, bisa merusak kecantikan Jade yang baginya akan selalu abadi meski usia perlahan memakan kehidupan wanita itu.
"Aku ingin meyelesaikan semua yang menjadi kewajibanku. Dengan begitu, aku bisa menikmati masa tuaku bersamamu dengan tenang," ucap Roosevelt. Satu kecupan hangat menyapa bibir Jade, "Bukankah kau ingin kita berbulan madu lagi?"
Jade hanya bisa menyunggingkan senyum. Mengenal Roosevelt puluhan tahun, membuatnya tak bisa berbuat banyak untuk mencegah lelaki itu berhenti melakukan penyelidikan.
*****
Menurut prediksi yang tadi sempat didengarnya melalui siaran radio tadi malam, pagi ini seharusnya tidak turun salju. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Salju sepertinya sedang semangat untuk mencumbu dedaunan agar membeku dalam dekapan. Sialnya, lelaki berbalut jubah merah itu sudah keluar rumah. Berniat untuk pergi ke gereja pagi-pagi sekali. Sebut saja dia seseorang yang taat beragama. Kelewat taat kalau boleh menambahkan. Di usianya yang masih terbilang muda, orang-orang sudah memanggilnya Pendeta Pokiel.
Derap langkah panjang-panjangnya meninggalkan jejak panjang yang mengular di belakangnya. Wajah seputih kapas itu semakin terlihat pucat saat hembusan angin menerpa tubuhnya.
"Tidak ada yang bisa dipercaya," gerutunya. Menyesal karena telah percaya dengan ramalan cuaca semalam. Kalau dipikir-pikir, turun salju ataupun tidak, dia juga pasti akan tetap pergi ke gereja. Harus. Pagi ini ada salah satu jemaah yang ingin mengabdikan diri kepada kepercayaan Pokiel. Pendeta Pokiel melirik arloji tuanya, lalu mempercepat langkah.
Sudah ada lima orang berjubah hitam yang menunggunya di dalam gereja. Entah jenis kelaminnya apa dari kelima orang berjubah itu, karena semua kepalanya tertutup kerudung hitam. Kelimanya sibuk membaca sebuah buku kecil di masing-masing pangkuan. Semacam Alkitab, tapi mereka menyebutnya sebagai Libri ne qiell[1]. Suara derit pintu yang didorong susah payah, menghentikan alunan do'a-do'a yang tengah mereka panjatkan. Kelimanya menengok ke arah pintu. Menemukan orang yang sedari tadi mereka tunggu, akhirnya datang juga.
"Maaf sudah menunggu lama," ucap Pendeta Pokiel. Topi lancipnya sebagian tertimpa salju dan setengah basah saat memasuki gereja. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, dia menyuruh kelima orang itu untuk mengikutinya. Memasuki sebuah ruangan di samping altar, menuruni tangga spiral yang tembus ke sebuah ruangan di bawah tanah. Tak ada penerangan listrik selain obor-obor yang terpasang di dinding berjarak satu meter. Pendeta Pokiel membelokan langkahnya ke kiri. Memasuki sebuah ruangan yang bisa dibilang cukup megah. Ruang yang mampu menampung sekitar 50 orang itu, dipenuhi oleh lukisan-lukisan abstrak. Tepat di tengah-tengah ruangan, terdapat sebuah ranjang besar lengkap dengan kelambu yang menghiasi.
"Kita harus memberikan pencerahan yang abadi. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan surga. Tempat paling abadi dan membahagiakan," ucap Pendeta Pokiel seraya melepas topi lancipnya. Salah satu dari kelima orang berjubah hitam itu jatuh bersimpuh di lantai marmer. Kepalanya tertunduk dalam. Pendeta Pokiel membalikan tubuhnya, menghadap pada orang itu. Menatapnya cukup lama, sebelum akhirnya berjalan mendekat dan menurunkan penutup kepala.
"Apakah kau dengan sukarela memberikan jiwamu untuk Lord?" tanya Pendeta Pokiel. Sebuah senyum tipis menyembul di sudut bibirnya yang pucat. Orang berjubah hitam yang ternyata seorang laki-laki itu menganggukan kepalanya.
"Madeline, kekasihku sudah meninggalkan. Aku ingin menyusulnya dengan menjadi persembahan untuk Sang Keabadian," ucap lelaki itu dengan suara serak. Sepasang mata sayunya mulai berkaca-kaca. Jika dia berkedip sekali saja, airmatanya pasti akan langsung tumpah. Pendeta Pokiel mengganggukan kepalanya beberapa kali.
"Kau sudah mengambil jalan yang benar. Lord dengan senang hati akan mempertemukanmu dengan kekasih tercintamu," ucap Pendeta Pokiel begitu mantap. Seolah kebohongannya itu adalah kebenaran yang mutlak, yang harus dipercayai oleh semua orang. Ia mengayunkan kakinya mendekati sebuah meja di sudut ruangan. Menuang sebuah minuman dari botol kristal berwarna hijau. Cairan kebiruan mulai memenuhi dalam gelas berkaki. Pendeta Pokiel mengangkat gelas itu tepat di depan matanya. Cukup lama dia memandangi gelas itu, hingga kemudian kembali menurunkannya. Pendeta Pokiel membalikan tubuh dan berjalan mendekati si lelaki itu. Menyerahkan gelas itu kepadanya.
"Minumlah. Kau akan merasakan ketenangan," ucapnya begitu manis. Tanpa menaruh kecurigaan sedikit pun, lelaki itu meneguk air kebiruan itu hingga tandas. Tidak butuh waktu lama, tubuh bersimpuh itu ambruk tepat di bawah kaki Pendeta Pokiel. Gelas kosong itu menggelinding pelan di lantai. Pendeta Pokiel segera membalikan tubuhnya menghadap sebuah lukisan besar di sebelah ranjang.
"Wahai Lord Yang Agung, kupersembahkan jiwa yang lara ini kepadamu. Terimalah dia dengan baik dan berikan kami pencerahan dalam hidup kami agar senantiasa mengabdi kepadamu," ucap Pendeta Pokiel dengan lantang.
"Amin …." Sayup-sayup itu mengiringi akhir dari persembahan pagi itu. Keempat orang berjubah itu segera memindahkan mayat ke atas ranjang. Lalu, berjalan keluar ruangan. Meninggalkan Pendeta Pokiel di sana dan tubuh tak bernyawa itu.
Teleportasi yang dilakukan Vance, membawanya ke sebuah tempat dimana terakhir kali dia melihat orang yang dicintainya itu. Tal nyaris saja menabrak tubuh jangkung Vance, kalau saja tidak buru-buru mencekal lengan lelaki itu. Pandangan Vance langsung tertuju pada dua insan sesama jenis yang tengah bercumbu di atas ranjang. Tal yang sudah siap memakinya, diurungkan. Matanya membulat maksimal melihat pergumulan di atas ranjang.
"YAK!" pekik Tal seraya menutup kedua matanya dengan tangan, "kau mengajakku hanya untuk melihat orang makeout, eh? Dasar gila!"
Vance tidak mempedulikan ocehan Tal. Tatapannya masih lekat ke sana. Pada seorang lelaki dominan yang tengah mengusap lembut pipi lelaki yang terbaring di atas ranjang. Tak jarang, ciuman-ciuman singkat lelaki berjubah merah itu berikan pada lelaki dalam rengkuhannya. Tal membuka mulutnya tak percaya.
"Tunggu!" gumam Tal. "Itu … mayat, 'kan?"
BAB DUA
Mana yang lebih menyakitkan,
Kebohongan atau kejujuran?
"There are two people who I trust,
the first person is me, the other is not you."
Nicholas Cage – Con Air
SUASANA
di dalam ruangan yang tidak begitu luas itu nampak ramai. Bukan ramai dengan derai tawa, melainkan suara-suara bernada meninggi. Saling beradu argumentasi, bahkan tidak segan-segan memukuli meja.
"Kita harus menghentikannya sebelum semakin berbahaya!" Sebuah suara dengan lantang masuk ke dalam perdebatan.
"Benar! Bahkan pagi tadi ayah Roger mengatakan jika anaknya menghilang dan sampai sekarang belum diketemukan," ucap suara yang lain.
"Aku melihatnya masuk ke dalam gereja Hulswit d'Almeida. Jangan-jangan dia sudah dijadikan tumbal!" seru suara dari arah belakang. Perdebatan itu semakin memanas saja. Mereka semua yang ada di dalam, merupakan perkumpulan aktivis penentang kepercayaan Pokiel. Sudah berbagai cara mereka mencoba menghentikan sekte sesat itu. Tapi, Pendeta Pokiel selalu saja bisa menarik orang-orang untuk menjadi pengikut sekte. Entah apa yang laki-laki itu katakan, hingga orang-orang dengan mudah mempercayai. Tidak ada yang tahu asal usul Pendeta Pokiel. Dia datang bagaikan iblis yang sengaja diutus untuk memusnahkan manusia.
Perdebatan itu seketika terhenti, saat suara pintu mahogany berderit pelan. Memunculkan sesosok lelaki dengan topi detektif yang sudah usang. Roosevelt masuk ke dalam ruangan itu. Membiarkan orang-orang menatapnya dengan pandangan tidak sabar.
"Apa ada perkembangan?" tanya salah satu aktivis tidak sabar. Roosevelt menarik salah satu kursi dan duduk. Melepas topi detektifnya yang tertimpa salju. Ah, dia tidak bisa berpikir dengan jernih tanpa cerutu yang menemani. Setelah menyalakan cerutu murahannya dengan pemantik, Roosevelt memandangi orang-orang satu per satu.
"Belum ada perkembangan. Tapi, kepolisian baru saja mendapatkan laporan orang hilang lagi," ucap Roosevelt. Suara baritonnya terdengar berat. Deru napas lelaki itu saat berbicara terdengar seperti banteng yang bersiap mengamuk. Keheningan semakin melingkupi begitu semua telinga mendengar ucapan Roosevelt. Seolah bertemu dengan jalan buntu, tidak tahu harus melakukan apa agar ritual gila itu bisa dihentikan.
*****
Tal mengetuk-ketukan Jimmy Choo-nya dengan malas. Sudah sedari tadi dia hanya berdiri mengambang di depan Vance. Tapi yang ada, lelaki itu justru semakin menenggelamkan kepalanya di antara kedua lututnya yang tertekuk. Bukan tempat yang menyenangkan untuk didatangi. Tal mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kota yang sepi. Sangat sepi malahan. Sedari tadi tidak ada orang yang lewat, padahal keduanya sedang berada di depan sebuah toko yang tutup di tengah daerah Yerrus. Jalanan berbatu terlihat memanjang dan semakin mengecil di ujung sana. Ah, kalau Tal tidak salah ingat ini jalan yang menghubungkan Yerrus dan Phagon –kota penghasil buah kesemek dan pir. Jangan tanya, gadis itu tahu dari mana. Tal sudah pernah kesana sekali. Mengikuti seorang detektif tua yang mengendari Porsche klasik hitam yang sebagian catnya sudah mengelupas.
"Kalau kau tidak mau bicara juga, aku akan pergi," ucap Tal setengah mengancam. Barulah Vance mau mengangkat kepalanya. Ugh, wajahnya benar-benar mengerikan. Tal sampai harus memalingkan wajahnya, mual.
"Apa itu wajahmu saat mati?" tanya Tal. Tapi, masih belum mau menatap ke arah Vance. Desahan pelan tertangkap pendengaran Tal. Ia perlahan melirik pada Vance. Ah, sudah kembali seperti mula.
"Jadi, apa kau ada ide untuk menghentikan kegilaan Pokiel?" tanya Vance. Mengabaikan pertanyaan Tal tentang bagaimana Vance mati dulu. Tal menggelengkan kepalanya tanpa minat. Memangnya dia memikirkan itu? Sama sekali tidak, sayangnya. Sejak awal Tal memang tidak berniat untuk terlalu ikut campur dengan apa yang terjadi di kota ini. Sepertinya ia hanya mendapatkan tugas untuk menemani Vance. Baru saja Tal akan membuka mulut, pandangannya menangkap deru mobil yang semakin mendekat. Tal menajamkan pandangannya. Memastikan jika dia tidak salah mengenali mobil yang sebentar lagi akan lewat itu.
"Kita masuk ke mobil itu," ucap Tal. Tanpa sadar menarik tangan Vance. Yah, karena hanya Vance yang mampu melakukan teleportasi. Dengan tanpa minat, lelaki itu menuruti permintaan Tal.
Tidak butuh waktu lama, keduanya sudah duduk manis di kursi penumpang. Sementara sang pengemudi –Roosevelt nampak datar-datar saja memandangi jalanan yang ada di depannya. Kasus yang tengah dihadapinya benar-benar menguras tenaga dan pikirannya. Bahkan, sudah dua hari ini dia terpaksa tidur di kantor.
"Memangnya dia bisa melihat kita?" tanya Vance ragu. Tal mengedikan bahunya, bingung juga bagaimana membuat komunikasi dengan detektif tua itu. Mencoba iseng, Tal meniup tengkuk Roosevelt beberapa kali. Membuat lelaki tua itu merinding tiba-tiba. Terlalu dalam berpikir, membuat Roosevelt tidak menyadari ada makhluk lain yang menumpang di dalam mobilnya.
Suara decitan ban yang beradu dengan jalanan berbatu dan dilapisi salju, membuat Porsche tua itu nyaris keluar dari jalur. Untung saja dengan gesit Roosevelt bisa menguasai setir. Kalau tidak, bisa-bisa nasibnya samaan dengan dua makhluk yang menumpang mobilnya. Roosevelt memang tidak pernah percaya hantu. Meski sejak kecil dia sudah memiliki kemampuan melihat hantu. Tapi, otaknya selalu menyugesti bahwa apa yang dilihatnya hanyalah kebohongan, imajinasi tak berdasar yang muncul di dalam otak kecilnya.
Tal mengerjap-ngerjapkan matanya saat mobil sudah benar-benar berhenti. Lumayan kaget juga dengan kejadian barusan, dia juga tidak mau kalau harus mengalami kematian dua kali. Eh, mungkin tidak sih? Oke, abaikan yang terakhir itu. Roosevelt takut-takut melirik ke arah Tal yang kini sudah duduk di kursi penumpang di smapingnya. Sementara Vance memilih untuk duduk diam di kursi belakang.
"S-siapa kalian?" tanya Roosevelt. Meski dia lumayan ketakutan, tapi suara baritonnya masih terdengar cukup tegas. Sama sekali tidak bergetar. Tal menyunggingkan senyum manis dan melemparkan pandangan pada Vance.
"Cepat ceritakan padanya. Dia pasti bisa membantumu," ucap Tal. Roosevelt ikut melirik pada Vance. Cukup lama Vance terdiam dan menundukan kepala. Sebelum akhirnya, ia mau membalas pandangan Tal dan Roosevelt. Lalu, mulai menceritakan semuanya. Dari awal hingga terakhir.
*****
Meja berbentuk oval itu nampak dipenuhi orang-orang yang duduk melingkarinya. Beberapa di antaranya berpenampilan seperti pemangku adat atau tokoh masyarakat, tokoh agama, dan beberapa orang dalam pakaian rapi. Ini merupakan pertemuan kesekian yang dilakukan para dewan tertinggi sekte Pokiel. Pematangan rencana mereka yang akan mengadakan ritual akbar, dimana akan ada 50 jemaah yang akan dipersembahkan untuk Lord di sepertiga malam saat bulan separuh. Diprediksi ritual ini akan dilakukan pekan depan.
"Jadi, apa anda sudah mengubungi pihak kepolisian untuk menjaga gereja selama acara berlangsung?" tanya Pendeta Gabriel pada beberapa orang yang mengenakan stelan kemeja dan celana hitam-putih. Salah satu dari mereka menganggukan kepalanya.
"Semua sudah diselesaikan. Mereka akan datang sebelum tengah malam," ucap lelaki berjenggot itu. Pendeta Gabriel tersenyum penuh arti. Sementara Pendeta Pokiel hanya duduk terdiam. Entah kenapa instingnya merasakan jika ini tidak akan berjalan dengan mulus. Beberapa malam dia memimpikan Stewart. Mimpi yang cukup aneh dan mengusik pikirannya.
"Pendeta Pokiel?" suara Pendeta Gabriel membuyarkan lamunannya, "bagaimana?"
"Semua sudah beres. Anda baik-baik saja?" tanya Pendeta Gabriel nampak khawatir. Pendeta Pokiel menyunggingkan senyum seraya menganggukan kepalanya.
*****
Roosevelt melempar sebuah tumpukan berkas ke atas meja Robbs. Tidak peduli beberapa anak buah Robbs menatap ke arah keduanya dengan pandangan bingung sekaligus ingin tahu.
"Apa maksud dari semua ini?" tanya Roosevelt. Nada bicaranya sama sekali tidak menunjukan jika dia ingin bercanda saat ini. Robbs mendesah pelan. Ditatapnya tumpukan berkas yang kini menjadi berantakan di atas meja kerjanya. Robbs menatap Roosevelt dengan pandangan tidak suka. Dengan malas Robbs beranjak dari duduknya. Berdiri menjulang di hadapan Roosevelt yang jauh lebih tinggi darinya beberapa senti.
"Hentikan saja usahamu untuk menyelesaikan kasus ini. Beristirahatlah!" tandas Robbs. Jelas pandangan mata pria itu meremehkan pada Roosevelt. Robbs menginginkan Roosevelt segera mengurus masa pensiunnya. Dengan begitu, Robbs bisa naik jabatan, keberadaan Roosevelt sebagai konsultan kepolisian cukup menyulitkannya.
"Sekte gila itu akan melakukan bunuh diri massal dan kau mengabaikannya?" Suara Roosevelt meninggi. Semakin menarik perhatian orang-orang yang ada di dalam kantor. Robbs tertawa mendengar ucapan Roosevelt. Ditepuknya bahu Roosevelt beberapa kali.
"Kau sedang mabuk, Ro? Eh?" ucap Robbs seolah tidak percaya dengan ucapan Roosevelt. Dengan kesal Roosevelt menepis tangan Robbs dari bahunya. Manik hitamnya menatap tajam anak buahnya itu. Seolah-olah ingin melumat kepala Robbs dan memakannya hidup-hidup. Roosevelt mengambil salah satu map dan membukanya. Menunjukan sebuah data diri milik Vance Stewart. Di bagian atas terdapat stempel close case, kasus kematiannya ditutup tanpa alasan yang jelas. Roosevelt memukuli berkas itu di depan Robbs.
"Aku akan membongkarnya." Dilemparnya berkas itu pada Robbs, lalu berjalan meninggalkan ruangan. Robbs hanya bisa tersenyum miring, sama sekali tidak takut dengan ancaman Roosevelt. Toh selama ini dia sudah biasa melakukannya. Robbs sudah cukup lihai.
Roosevelt berdiri di atas gedung kantornya. Sekaleng bir tergenggam erat di tangan besarnya. Membiarkan hembusan angin dingin menerpa tubuhnya yang berbalut mantel musim dingin. Sesekali ia meneguk birnya. Tak lupa sebatang cerutu murahan terselip di antara jari-jarinya yang gemuk.
"Apa kau menemukannya?" Sebuah suara mengalihkan pandangan Roosevelt dari pemandangan sendu di hadapannya. Dia memutar kepalanya ke sumber suara. Sudah ada Tal yang berdiri tidak jauh darinya. Roosevelt mengembalikan pandangannya ke kejauhan. Meneguk birnya lagi yang masih menyisakan separuh di dalam kaleng. Tal mendesah pelan, sudah bisa membaca apa yang terjadi. Aih, dia memang tidak ingin terlibat terlalu dalam. Tapi wajah sendu Vance semakin hari malah membuatnya prihatin dan menimbulkan empati. Hal yang sangat jarang dialami oleh Tal, bahkan semasa dia hidup sekali pun dulu. Roosevelt berdehem pelan, melirik Tal.
"Aku tidak punya bukti apa-apa, selain cerita dari hantu Vance. Aku tidak bisa menggunakan cerita itu, aku membutuhkan bukti," ucap Roosevelt. Sorot matanya nampak kelelahan. Tal menyunggingkan senyum tipis.
"Aku sendiri juga tidak tahu harus bagaimana. Jujur saja, aku juga tidak tahu kenapa aku bisa berada di kota ini. Bertemu Vance dan … kau," ucap Tal. Dia berjalan mendekati pagar pembatas. Merasakan hembusan angin yang seolah menyatu dengan tubuhnya. Roosevelt hanya membiarkan Tal berdiri tepat di sampingnya. Tangan besar Roosevelt menggoyang-goyangkan kaleng bir yang sudah nyaris habis, satu tegukan lagi kaleng itu akan kosong. Tal melirik Roosevelt sekilas.
"Terkadang cinta itu mengerikan, 'kan?" tanya Tal. Melihat Roosevelt sepertinya tidak berniat menanggapi ucapannya tadi. Pria tua itu sepertinya juga tidak habis pikir dengan apa yang sudah terjadi.
"Bukan cinta, melainkan orang yang menyalahgunakan cinta untuk keuntungan pribadi," ucap Roosevelt kalem. Diteguknya bir itu hingga tandas, lalu meremas kalengnya hingga penyok. Roosevelt membalikan tubuhnya, bersandar pada dinding pembatas. Tal memiringkan tubuhnya menghadap Roosevelt. Mengamati lelaki itu dengan cukup teliti. Tapi, Roosevelt memilih untuk tidak melanjutkan ucapannya. Membiarkan Tal menafsirkan sendiri apa maksud dari perkataannya tadi.
*****
"Apa kau merasa lega sekarang?"
Vance menatap Tal sekilas, lalu menggelengkan kepalanya pelan. Vance mendengus dengan keras. Membiarkan rongga paru-paru yang membeku itu setidaknya bisa sedikit melonggar. Dia butuh udara meski semu. Keduanya sedang duduk di salah satu meja di dalam Lagoon. Sebuah alunan soul menggema melalui speaker, Tal beranjak dari duduknya. Mendekati Vance yang memilih untuk menatap salju turun di luar jendela. Dengan lembut, Tal menarik kedua tangan lelaki itu. Memaksa Vance untuk berdiri bersamanya. Perlahan Tal mulai menggerakan tubuhnya mengikuti alunan musik. Tapi, Vance diam memandangi Tal datar. Tal menggerakan tangan Vance agar mau mengikutinya juga. Lama kelamaan sebuah senyum menyembul di sudut bibir lelaki itu. Vance akhirnya mau berdansa dengan Tal. Bahkan sesekali derai tawa menyelingi dansa keduanya.
BAB TIGA
Seperti gerimis, cinta itu datang
Begitu perlahan dan tanpa kusadari
"Sometimes. The smallest things take up
the most room in your heart"
Winnie the Pooh
CINTA
bisa jadi merupakan hal paling membahagiakan. Seharusnya hakekat cinta seperti itu. Ada memberi dan menerima. Ada perjuangan dan pengorbanan. Aku dan kau menjadi kita. Cinta begitu ajaib untuk digambarkan. Ada banyak cara mendeskripsikan cinta. Dari yang pemalu menjadi pemberani. Dari yang pendiam menjadi banyak bicara. Dan, seharusnya cinta tidak mengenal perbedaan.
"Jangan lupa besok ke gereja."
Kalimat itu akan selalu kudengar di setiap hari Sabtu sore. Ujung hari sebelum aku dan dia berpisah ke rumah masing-masing. Meski kalimat itu terdengar biasa bagi orang lain. Tapi untukku, kalimat itu mengandung sejuta makna. Apalah yang bisa dilakukan pria bodoh sepertiku ini. Tidak pandai beragama dan hanya tahu bagaimana memindahkan berkarung-karung gandum dari gudang Mr. Ports ke toko-toko kelontong di Yerrus.
Satu hal yang ingin kukatakan. Aku sedang jatuh cinta. Sangat biasa, 'kan? Aku tahu. Semua orang di dunia pasti pernah merasakan seperti apa yang kurasakan sekarang. Aku sosok yang pendiam. Bisa dibilang aku sedikit antisosial dan apatis. Waktuku habis hanya untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Tapi, semuanya berubah setelah aku bertemu dengannya. Pertemuan singkat dan tanpa makna sih sebenarnya. Tidak ada yang aneh dan berbeda darinya. Penampilannya seperti orang-orang pada umumnya. Dalam balutan kemeja putih yang dipadu dengan celana bahan warna beige. Sebuah tas kulit tersampir malas di bahu kirinya. Aku bahkan masih ingat dengan jelas, sepasang mata yang dinaungi alis tebal dan rapi itu menyiratkan ketegasan yang meneduhkan.
"Berapa lama lagi untuk sampai ke Aleik[2]?"
Suara serak dan dalam itu untuk pertama kalinya kudengar. Tanpa kusadari aku mengingat suara itu di tempat khusus di dalam ingatanku. Awalnya mungkin hanya kekaguman semata karena suaraku tidak semenarik itu. Ah, aku seolah kehabisan kata-kata untuk menggambarkan keindahan yang Tuhan ciptakan. Cinta selalu saja bisa menjelma. Begitu perlahan, lembut, dan saat aku menyadarinya … aku menemukan diriku sudah jatuh terlalu dalam. Silau akan senyuman sehangat mentari pagi itu. Lupa untuk berkedip saat sepasang mata biru itu menyergapku. Ketika untuk kesekian kalinya kenyataan menamparku. Aku sadar bahwa aku dan dia berada di titik yang saling berjauhan. Tak terjamah. Tak tergapai.
Meski begitu, kisahku dan dirinya pun dimulai. Selayaknya novel-novel romantis yang menjanjikan sebuah kebahagiaan di akhir cerita. Kisahku dengannya pun demikian. Sangat manis. Semenjak pertemuan singkat itu, dia selalu menumpang mobil fordku yang digunakan untuk mengangkut karung gandum. Setiap Minggu dia akan datang ke Yerrus untuk beribadah di Hulswit d'Almeida. Aku sudah bilang, jika aku bukan Kristen yang taat. Tapi dia dengan mudah mengubah pola pikirku. Mengajakku untuk rajin mendatangi Hulswit d'Almeida setiap hari Minggu bersamanya. Semakin lama, aku merasa ada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Saat aku menyadari semuanya … aku terlambat. Betapa cinta sangat naif, bukan? Mencampur cinta dengan harapan hanya membawaku pada sebuah keterpurukan yang semestinya kusesali. Sayangnya, lagi-lagi cinta berkuasa. Meleburkan amarah dan menghempaskan benci.
BAB EMPAT
Aku membencimu sekaligus mencintaimu,
dalam sekali waktu
"Me, I always tell the truth, even when I lie."
Tony Montana – Scarface
ROOSEVELT
berkali-kali mengambil tumpukan buku dari cubbyhole (rak) ruang kerjanya di rumah. Bahkan hampir dari separuh isi cubbyhole-nya sudah berpindah. Berantakan tak beraturan di sekitaran meja dan lantai. Sesekali Roosevelt membetulkan letak kacamata minusnya yang melorotnya. Membaca deretan kata di dalam lembaran buku, mencocokan dengan semua berkas yang sudah dia kumpulkan beberapa bulan terakhir.
"Roosevelt, ada tamu untukmu," ucap Jade dari ambang pintu.
Wanita itu menaikan alisnya tinggi. Menemukan pemandangan yang buruk di dalam ruang kerja yang selalu rapi itu. Jade menggelengkan kepalanya pelan. Roosevelt meliriknya sekilas, lalu menutup buku ditangan.
"Siapa?" tanya Roosevelt.
"Marquez Campbell," jawab Jade sekenanya.
Marquez Campbell masih berdiri di ruang tamu. Lelaki dengan perut besar dan jatuh hingga pahanya itu sibuk menatap foto-foto yang terpajang di atas nakas panjang. Keningnya yang tinggi dan nyaris membuatnya botak nampak berkerut-kerut sesekali. Well, orang mungkin akan bertanya-tanya bagaimana lelaki itu melihat organ vitalnya, membasuhnya, atau menggunakan benda itu secara semestinya. Perutnya benar-benar besar, sangat tidak ideal dengan tubuhnya yang hanya setinggi seratus tujuh puluh senti.
"Apa yang membawamu kemari, Campbell?" tanya Roosevelt. Tanpa basa-basi. Roosevelt tidak ada waktu untuk sebuah keramah tamahan yang hanya ditujukan sebagai basa-basi belaka. Ada setumpuk pekerjaan yang jauh lebih penting dan cukup menarik ketimbang obrolan ramah tamah. Roosevelt mempersilakan lelaki gemuk itu untuk duduk dengan gerakan tangannya. Sofa tua itu mengeluarkan suara derit pelan saat tertindih bokong besar Campbell. Busanya sampai melesak cukup dalam. Tapi, Roosevelt nampak tidak begitu peduli.
"Apa kau sudah mendengar jika mereka akan melakukan ritual akbar lusa?" tanya Campbell. Roosevelt menyalakan cerutunya dengan pemantik. Namun, ekor matanya masih mengawasi Campbell.
"Ya. Mereka meminta pihak kepolisian untuk melakukan penjagaan di sekitaran gereja selama acara itu berlangsung," ucap Roosevelt. Nada suaranya nampak terdengar frustrasi. Campbell mengangguk-anggukan kepalanya secara berlebihan. Seutas senyum mengembang di wajah bulatnya.
"Para aktivis akan melakukan penyerbuan. Jacob sudah mengumpulkan orang-orang dari Aleik dan sekitarannya," jelas Campbell berapi-api.
Roosevelt mendesah pelan. Bersamaan dengan Jade yang muncul dengan nampan berisi dua mug berisi teh hangat dan sepiring kue talam buatannya sendiri. Jade meletakannya dengan hati-hati di atas meja. Sesekali ia melirik Campbell yang nampak memandanginya dengan cukup intens. Jade menyunggingkan senyum dan mengambil duduk di samping suaminya, Roosevelt.
"Silakan," ucap Jade ramah.
Lagi. Campbell menganggukan kepalanya berlebihan. Seolah lelaki itu selalu memiliki obesesi yang berlebihan, tidak hanya pada makanan saja. Roosevelt menatap Campbell cukup lama. Menghisap cerutunya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke udara.
"Mereka sudah membayar pihak kepoilisian Yerrus," ucap Roosevelt. Campbell menegakan kepalanya, kaget. Jade memutar kepala menatap pada Roosevelt.
"Kau bisa menghubungi pihak kepolisian pusat Brando untuk meminta pasukan," ucap Jade tiba-tiba. Roosevelt melirik Jade sekilas, lalu menggelengkan kepalanya pelan.
"Ini sama sekali bukan …,"
"Benar kata istrimu, Ro. Kau bisa mencoba menghubungi Kapten Marcus," imbuh Campbell. Kedua tangan gempalnya mengepal dan memukul-mukul pahanya sendiri. Roosevelt terdiam cukup lama. Menimbang ide itu dan berkas-berkas bukti yang sudah dia kumpulkan berkat bantuan dua hantu yang beberapa kali menemuinya.
"Aku akan coba," putus Roosevelt akhirnya.
*****
Pendeta Pokiel mempercepat langkahnya menyusuri jalanan gang yang sempit. Tidak peduli sepatunya yang mulai basah karena salju yang mencair dan menjadi genangan air super dingin di beberapa jalan yang tidak rata. Hembusan embun dari hidung dan mulutnya, memperlihatkan seberapa dinginnya malam itu. Sesekali Pendeta Pokiel mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia harus segera menyelesaikan semuanya, sebelum acara ritual dimulai. Langkah kakinya berbelok ke sebuah gang yang jauh lebih sempit, pengap, dan remang. Kemudian ia berhenti di depan sebuah pintu kayu yang mulai mengelupas catnya di beberapa bagian. Sekali lagi, lelaki itu mengedarkan pandangan. Memastikan tidak ada satu orang pun yang mengikuti langkahnya kemari. Setelah yakin aman, dia mulai membuka gembok, mendorong pintu hingga setengah terbuka, dan masuk ke dalam. Ia segera menyalakan saklar yang terpasang di balik pintu. Rumah mungil yang nampak kotor dan pengap. Sepertinya memang sudah ditinggal pemiliknya cukup lama. Lihat saja tebal debu yang menempel di salah satu buku di dalam rak. Derap langkah si Pendeta memecah keheningan di dalam sana.
Praaaanng!
Suara gelas pecah terdengar cukup memekakan telinga. Pendeta Pokiel terkesiap. Merasa ada seseorang di dalam rumah ini. Jangan-jangan seseorang diam-diam mengikutinya. Pendeta Pokiel sudah akan bergerak mendekati sumber suara pecahan, tapi diurungkan karena mendadak angin yang entah datangnya dari mana berhembus cukup kuat. Bahkan Pendeta Pokiel harus menyipitkan matanya karena debu yang cukup mengganggu penglihatan.
"Hentikan kegilaanmu, Joseph!" Suara bernada amarah itu memenuhi seisi rumah. Pendeta Pokiel mengerjap-ngerjapkan matanya. Berusaha untuk kembali beradpatasi dengan cahaya dan keadaan rumah yang sudah kembali seperti semula.
"Siapa disana?" serunya. Tapi hanya keheningan yang menyahuti tanyanya. Pendeta Pokiel merapikan jubbah merah dan topi lancipnya yang miring. Dia mendengar suara tadi, sangat jelas tertangkap oleh indra pendengarannya. Pendeta Pokiel menggelengkan kepalanya pelan. Ia segera melanjutkan urusannya yang tadi sempat tertunda. Ia berjalan memasuki sebuah kamar. Berjalan cepat mendekati ranjang. Dengan gesit, ia mendorong ranjang itu hingga bergeser beberapa senti. Lantai kayu jati itu sekilas memang terlihat biasa. Tidak ada yang mencurigakan. Pendeta Pokiel mengetuk-ngetuk bagian kayu lalu, mencongkel tepiannya. Membuka tiap-tiap bagian kayu itu hingga sebesar ukuran liang lahat. Dari atas nampak sebuah peti mati yang sudah mulai usang. Pendeta Pokiel mencondongkan tubuhnya. Membuka peti mati susah payah. Sebuah senyuman langsung merekah saat pandangannya menatap sebuah jasad yang dia awetkan itu.
"Kau pasti sangat merindukanku," ucap Pendeta Pokiel. Dia mengusap wajah kaku itu dengan sangat lembut. Sebuah kecupan ia daratkan di bibir beku itu.
"Bersabarlah. Sebentar lagi, kau akan hidup lagi, sayang," bisiknya. Tanpa sadar airmata mengalir di pelupuk matanya. Dengan tangan gemetar Pendeta Pokiel menarik kalung berbandung pentakel itu dari tubuh si mayat. Ditatapnya kalung itu dalam-dalam. Mengusap pentakel kebiruan itu dengan sangat hati-hati. Sebuah senyum mengembang di sudut bibirnya.
*****
Mobil-mobil polisi mulai berdatangan. Mereka segera bersiaga di depan gereja Hulswit d'Almeida. Robbs muncul dari salah satu mobil. Mengenakan seragam kebanggaannya. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu berjalan memasuki gereja.
Sementara tak jauh dari gereja, dua bayangan berbeda jenis nampak sibuk beradu mulut. Tal Becker sama sekali tidak ingin ikut campur terlalu banyak. Tapi, Vance terus memaksanya.
"Aku sudah membantumu hingga detektif tua itu mau membantumu. Itu sudah lebih dari cukup!" ucap Tal dengan suara meninggi. Kesal, Vance meninju udara dua kali. Tatapannya tajam namun ada sarat kepasrahan disana. Vance mengusap wajahnya kasar.
"Kau ingin semua orang mati?" seru Vance. Nada suaranya tidak bisa berbohong. Dia sudah pasrah dengan apapun yang akan terjadi nanti. Tal menatapnya malas. Hingga, derap langkah Roosevelt yang muncul dari balik mobil yang terparkir menghentikan berdebatan keduanya. Lengkap dengan topi detektif lusuh yang masih menjadi kebanggaannya, juga cerutu murahan yang biasa dia beli di pasar loak di Delovon, menyelip di bibir tebalnya. Tal melirik ke arah detektif itu. Sepasang mata hitam milik Roosevelt dengan tajam menyelidiki sekitar. Sebuah bullybuster terpasang di telinga kirinya.
"Kalian berdua, masuklah ke dalam," ucap Roosevelt pada dua hantu di sampingnya. Vance menaikan alisnya tinggi, merasa menang dengan ucapan Roosevelt. Tal memajukan bibirnya beberapa senti, wajahnya cemberut.
"Ingat ya! Aku hanya menemanimu, jadi aku menonton saja," ucap Tal. Menyelipkan tangannya ke genggaman Vance.
"Aku tidak janji," sahut Vance. Langsung berteleportasi tanpa menunggu protes yang akan meluncur dari bibir Tal.
Lima puluh orang sudah berkumpul di dalam gereja. Kursi-kursi panjang sudah disingkirkan. Kelima puluh orang-orang itu berdiri menglingkari sebuah peti mati yang penutupnya dilepas, digantikan dengan kain tile putih sebagai penutupnya. Di dalamnya sebuah mayat tergeletak begitu tenang. Pendeta Pokiel berdiri di tengah-tengah lingkaran, tepat di samping peti mati. Orang-orang disana mulai mengalunkan do'a-do'a dari Libri ne qiell. Senandung yang orang awam tidak pahami. Bagi orang yang mendengarnya, pasti akan dibuat merinding ketakutan. Pendeta Pokiel membalikan tubuhnya. Menatap tubuh kaku di dalam peti dengan pandangan nanar.
"Ritualnya sudah dimulai," ucap Vance. Diliriknya Tal sekilas. Tal tahu kalau acaranya memang sudah dimulai. Tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda akan adanya bunuh diri massal. Semua orang hanya berkumpul dan membaca sebuah kitab. Tal memilih diam dan mengawasi sekitaran.
"Aku penasaran apa isi peti itu," imbuh Vance dengan alis terangkat tinggi. Tal menatapnya sesaat, lalu melempar pandang pada peti mati di sana. Ia mengedikan bahu. Kalau dari bentuknya yang menyerupai peti mati, sudah bisa dipastikan isinya ya orang mati. Vance tanpa sadar meremas-remas tangan Tal yang masih dalam genggamannya. Merasa tangannya digenggam terlalu kuat, Tal kembali menarik atensinya pada Vance.
"Kau gugup?" tanya Tal. Vance menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Lelaki itu tiba-tiba merasa hilang fokus. Tidak tahu harus memulai dari mana untuk mencegah yang akan terjadi sebentar lagi. Sementara, di luar semua sudah dalam kendali Roosevelt. Hanya tinggal menunggu kode yang nanti akan diberikan Tal atau Vance.
"Kau bisa menggerakan benda?" tanya Vance, justru balik bertanya dan mengabaikan pertanyaan Tal. Tal menaikan alisnya tinggi. Menggerakan benda? Sepertinya dia belum pernah melakukannya. Tal menggelengkan kepalanya pelan. Memberikan jawaban jika dia tidak punya kemampuan apa-apa, selain terbang. Vance mengusap puncak kepala Tal lembut.
"Coba amati lilin itu dengan intens. Lalu, berkonsentrasilah kau ingin menggerakannya," ucap Vance. Menarik bahu Tal agar berdiri di depannya. Dari belakang Vance memberikan bimbingan. Tal melakukan apa yang diperintahkan lelaki itu. Berkonsentrasi dan … tiba-tiba salah satu lilin di dekat peti mati terangkat. Pendeta Pokiel yang sedang berdiri tak jauh dari sana, bisa melihatnya. Wajahnya nampak kaku dan mengeras. Ini kejadian yang kesekian kali yang pernah dia alami. Benda yang bergerak sendiri dan suara-suara aneh.
"Jatuhkan!" titah Vance dan Tal menuruti. Ia menjatuhkan lilin tepat di samping peti, api kecilnya mulai membakar ujung taplak meja. Pendeta Pokiel yang kaget, refleks segera menyambar salah satu gelas dan menyiramnya ke api yang mulai membakar ujung taplak meja. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, api semakin bertambah besar, bak disiram dengan bensin. Semua yang ada disana nampak kaget dan berusaha untuk memadamkan api.
"Cepat ambilkan air!" teriak Pendeta Pokiel menahan geram.
Tal menatap Vance dengan senyum lebar yang mengembang. Merasa senang karena dia berhasil melakukan poltergeist. Keributan kecil itu segera berlalu saat api sudah kembali padam. Melihat situasi yang sepertinya tidak memungkinkan. Pendeta Pokiel mulai mempercepat acara. Ia menghentikan suara-suara yang tengah membaca kitab itu. Kedua tangannya terangkat ke atas.
"Kepada seluruh jemaah yang dimuliakan oleh Lord. Kita akan segera memulai malam persembahan ini," ucap Pendeta Pokiel dengan lantang. Dia memerintahkan orang-orang mengambil sebuah kue beras yang sudah disediakan di atas piring besar. Orang-orang pun mulai mengambil kue beras dan kembali berdiri di posisinya semula.
Vance semakin tegang di tempatnya. Sementara Tal hanya bisa mendesah pasrah. Toh dia tidak ada sangkut pautnya dengan semua ini. Jadilah hanya bisa melihat bagaimana orang-orang itu akan mati. Saat Tal akan membuka mulut, ia sudah tidak melihat Vance berada di sampingnya. Tal mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari keberadaan Vance. Tapi, nihil, dia tidak melihat sosok laki-laki itu.
"Hentikan!!" Suara salah seorang jemaah seketika menghentikan rentetan panjang do'a yang tengah dipanjatkan oleh Pendeta Pokiel. Lelaki itu menatap ke arah sumber suara. Vance merasuki salah satu tubuh jemaah yang saat itu dalam pikiran kosong. Mungkin hanya dengan cara ini, ia bisa menghentikan kegilaan Pendeta Pokiel.
"Siapa kau?" seru Pendeta Pokiel. Kilatan di matanya menyiratkan kemarahan yang teramat sangat. Ritualnya sebentar lagi akan dilaksanakan. Sebentar lagi tubuh dalam peti itu akan kembali bangun. Vance melalui tubuh itu menatap nanar ke arah Pokiel.
"Aku tidak ingin kau melakukan ini, Joseph …," ucap Vance. Orang-orang yang berada di dalam gereja terlihat terkejut. Mereka menatap laki-laki yang sebenarnya bernama Nathan itu dengan pandangan penuh ingin tahu. Pendeta Pokiel menatap tidak percaya ke arah Nathan yang sedang kerasukan.
"S-siapa kau sebenarnya?" tanya Pendeta Pokiel. Tangan kanannya sudah memegangi belati yang tersimpan dibalik jubahnya. Bersiap menghunus pada siapa saja yang akan menggagalkan ritualnya.
"Kau tahu siapa aku. Hentikan semua ini. Aku tidak mau kau seperti ini," ucap Vance melalui tubuh Nathan. Pendeta Pokiel menggelengkan kepalanya. Dia menatap tajam pada Nathan.
"Kau harus hidup! Aku tidak akan membiarkan kau pergi! Aku tidak mau menjadi pembunuh atas kematianmu!" teriak Pendeta Pokiel dengan suara yang mulai kalap. Bersamaan dengan pintu gereja yang menjeblak keras. Pasukan kepolisian langsung melakukan penyergapan. Bahkan ada yang muncul dari pintu belakang gereja. Semua yang ada di sana nampak ketakutan dan tidak berani bergerak. Nathan bergerak maju, saat itulah Vance bisa melihat isi peti mati. Jiwanya seperti menggelegak. Tubuh di dalam peti mati itu … adalah dirinya.
"Semuanya angkat tangan!" seru salah seorang polisi dengan lantang. Dia yang memberikan komando atas penyergapan ini. Robbs yang ternyata juga merupakan bagian dari sekte itu terlihat kaget melihat Roosevelt muncul diantara pasukan kepolisian Brando yang jumlahnya cukup banyak. Vance keluar dari tubuh Nathan begitu melihat Roosevelt masuk ke dalam gereja. Seketika tubuh Nathan ambruk di atas lantai marmer. Penyergapan itu terjadi sangat cepat. Tal yang juga berada di dalam gereja menutup mulutnya dengan kedua tangan, tidak menyangka.
BAB LIMA
Pada akhirnya hanya ada dua hal,
Meninggalkan atau ditinggalkan
"Every fairy tale need a good old fashioned villain."
Sherlock Holmes
KABUT
pagi hari berarak pelan di sekitaran Yerrus. Dedaunan beku tidak tertarik lagi akan sejuknya, saat salju mengekang tanpa ampun. Tal berdiri tepat di atas jembatan Willows, jembatan yang menghubungkan Yerrus dengan Aleik. Semburat kuning telur beradu nasib dengan sisa malam. Selayaknya pagi untuk malam, ditinggalkan untuk meninggalkan. Tal merasakan tubuhnya semakin mendingin saat hembusan angin yang cukup kuat menerpanya. Rambutnya yang sudah dibiarkan tergerai nampak berkibar-kibar begitu indah.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Vance. Ikut berdiri di samping Tal. Menikmati perpisahan antara malam dengan pagi. Tal menoleh saat merasakan jari jemarinya digenggam. Manik hijaunya langsung bertemu dengan samudra tanpa batas milik Vance. Tangan Vance yang bebas bergerak mengusap pipi pucat Tal. Sebuah senyuman tersungging di sudut bibirnya yang membiru.
Vance menarik pelan tangan Tal, membuat tubuh gadis itu semakin merapat dengan tubuhnya. Vance memiringkan sedikit kepalanya dan menunduk. Tangannya yang tadi mengusap pipi Tal, kini mengangkat dagu gadis itu agar membalas sapaan kecupannya. Tal perlahan memejamkan matanya. Merasakan bibirnya yang saling bergesekan dengan bibir Vance. Oh, betapa sejak awal Tal mendambakan bibir itu. Bibir yang merah pucat, tidak terlalu tebal, dan bergetar saat Vance berbicara. Kini Tal bisa merasakan tekstur bibir itu secara langsung. Rasanya manis, selayaknya puding yang selalu ditemuinya setelah main course. Ciuman yang berawal hanya sebagai sapaan, semakin lama justru semakin menuntut. Membuat Tal semakin bersemangat mencecap puding Vance yang begitu menguras hawa napsunya. Keduanya semakin terbang ke atas. Membentuk sebuah lingkaran putih yang menyilaukan. Vance merasakan Tal seolah semakin menipis, bagaikan udara yang perlahan mulai tidak tergapai. Begitu juga dengan Tal. Saat keduanya menyadari, semuanya sudah berubah.
*****
Hal yang membahagiakan saat menjadi tua adalah tetap bersama dengan orang yang dicintai. Apapun perubahan yang sudah dialami, cinta itu tetap utuh tanpa satu orang pun yang bisa mengusiknya. Roosevelt mengemudikan Porsche tuanya melaju membelah jalanan Yerrus. Sementara disampingnya, Jade sesekali menoleh ke arah Roosevelt seraya menyunggingkan senyuman hangat. Roosevelt menarik tangan Jade, menggenggamnya dengan sangat erat dan menciumnya penuh sayang.
*****
Jika di akhir disebutnya penyesalan, lalu bagaimana jika di awal? Sayangnya, setiap orang tidak pernah berpikiran di awal. Semua disadari ketika sudah sampai di akhir. Ruangan pengap tanpa ventilasi, dengan jeruji besi yang dipasang begitu kuat dan kokoh, temaram yang hanya bersumber pada lampu bohlam kuning semakin membuat ruangan itu jauh dari kata bahagia. Lelaki itu meringkuk di sudut ruang, terisak tanpa suara. Bahu yang selalu terlihat angkuh itu kini melorot, berguncang-guncang seiring tangisannya yang semakin menjadi.
EPILOG
Sebutkan satu kata saja,
bagaimana kisah ini harus diakhiri
"You can't lose someone you never had."
Kate Hudson – How To Lose A Guy In Ten Days
MAKIAN
yang terdengar begitu menyakitkan. Suara teriakan yang seolah menegaskan sebuah keangkuhan. Jari telunjuk yang mengarah pada wajah. Tatapan penuh amarah yang menyiratkan keegoisan.
"Aku melihatmu memeluknya!" suara Joseph terdengar semakin meninggi. Lelaki itu kehilangan akal sehatnya. Sorot matanya menunjukan ketidakampunan. Sementara orang yang menerima makian itu hanya bisa terduduk di sofa dalam diam. Seolah tidak punya nyali untuk membalas segala ucapan keras dan kasar yang ditujukan kepadanya.
"Kau bohong mencintaiku!"
Lagi. Kalimat tuduhan yang sejujurnya sangat menyakitkan itu, ditelannya bulat-bulat. Vance Stewart lelah mendengarkan amarah Joseph yang berkepanjangan dan tak berdasar. Vance beranjak dari sofa, berjalan melewati Joseph yang masih berdiri dengan amarah yang memenuhi dirinya. Vance menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Tangan kirinya diletakan di atas kening. Dia butuh ketenangan sebentar saja. Baru saja pulang bekerja langsung mendapatkan amukan. Siapa yang tidak akan kesal? Tidak marah? Tapi, Vance hanya bisa diam. Sama sekali tidak menentang atau membalas ucapan Joseph. Bisa saja dia melakukannya, bahkan memberikan lelaki itu sebuah tamparan karena mulutnya yang sudah kelewat batas. Vance mencintai Joseph. Sesederhana itu. Vance sudah cukup lelah dengan pandangan orang-orang Yerrus dan Aleik yang memandang mereka seolah kecoak yang patut untuk dibasmi. Joseph langsung menaiki tubuh Vance. Menduduki paha lelaki itu, lalu tanpa sadar memegangi kedua bahu Vance.
"Aku mencintaimu, Vance!" ucap Joseph kalap. Pegangan tangannya semakin naik dan mulai mencekik leher Vance.
"Joseph!" erang Vance. Dia berusaha menarik tangan Vance agar melepaskan cekikannya. "Lepaskan!"
"Aku mencintaimu. Aku tidak mau orang lain merebutmu dariku!" seru Joseph semakin tidak terkendali. Vance terus meronta-ronta mencoba melepaskan diri. Tapi, semakin dia banyak bergerak, Jospeh semakin kuat mencekik lehernya. Vance mencoba menyakar tangan Joseph agar lelaki itu segera sadar. Tapi, emosi melingkupi Joseph. Seperti orang kesetanan Joseph semakin kuat mencekok Vance hingga lelaki itu tidak bisa bernapas lagi. Melihat Vance yang berhenti bergerak. Joseph menatapnya dengan pandangan nanar. Kedua tangannya masih berada di leher Vance.
"Vance!" panggil Joseph. Ia menelan ludah susah payah. Tangannya segera dilepaskan dari leher Vance.
"Vance, bangun!" ucap Joseph dengan suara bergetar. Menepuk-nepuk pipi Vance, tapi tidak mendapatkan respon. Tubuh itu sudah terlanjur membujur kaku. Kedua tangan Joseph bergetar hebat. Diremasnya pakaian Vance kuat-kuat.
"AAAAAARRRRRRRGGGHHHH!!!!"
-THE END-
Special thanks to Zul
Roosevelt and Jade Kristina from his novel 'Roosevelt'
[1] Kitab menuju surga – dalam bahasa Albania
[2] Aleik adalah sebutan tak resmi untuk wilayah tenggara Brando. Wilayahnya mencangkup Cornfalls, Delovon, Dormine, dan city and country of Bradsthow
--
>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 14 - TAL BECKER | SENTIMENTAL
>Cerita berikutnya : -
--
>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 14 - TAL BECKER | SENTIMENTAL
>Cerita berikutnya : -
hmm...bahasanya bagus sih. beneran ala-ala telenovela. jujur saya sendiri belum bisa menulis dengan bahasa sebagus ini. alurnya juga lumayan. tapi dari segi cerita ntah kenapa saya ngerasa ada yang kurang. (bingung juga njelasin karna saya sendiri masih amatir).
BalasHapuslalu dari segi pengolahan karakter. rasanya karakter-karakter dari sekelompok nggak kepake ya? si william aja cuma disebut di awal?si dukun bajingan juga. jadi oc lain pada dikemanain? padahal ada karakter baru yang cukup berperan dalam cerita ini selain OC tamu yang memang harus ada. kenapa nggak ngemanfatin. OC sekelompok saja?
dikelompokkan, bukankah itu artinya supaya kita juga memanfaatkan OC yang sudah ada? saya jadi bingung.
dari entri ini yang menonjol masalah percintaan ya
eh ada yg ktinggalan
Hapus8
akhrinya ada peningkatan di entrimu.
BalasHapussaya juga teknik bahasamu yg legit. yah meski, bayak ungkapan konototatifnya, tp semua itu gak mempengaruhi kelezatan narasi yang tersaji. karakterisasi tal dan tokoh"mu lumayan solod dan siapa sangka.. ew
kayaknya kamu terinspirasi ama dua gay di resto kopdar dulu..wkwkwk
hanya saja, kamu gak maksimalin peran oc lain. semua cuma dimention sepintas aja kayak penghias. jadi buat r2 perdalam karakter lawan oc kamu nanti
8
Axel Elbaniax
waktu saya baca entri Battle Of Realms adalah hal lumrah buat saya untuk melihat dulu, OC saya ditulis sebagai apa di sini?
BalasHapusdan jujur ae, itu yang paling tak tunggu.
jadi saat ada entri yang nggak pake OC peserta lain sebagai peran penting dalam cerita, BAHKAN malah bikin OC sendiri, saya jadi kecewa.
Terus William sama Axel kamu sebut itu buat apa?
Saya merasa kamu bisa kirim ini ke luar Battle Of Realms dan orang ga bakal ngeh kalau ini buat turnamen Battle of Realms.
Iya, cerita ini bagus. Maka layak jika orang di atas saya ngasik delapan. Tapi sebagai entri Battle Of Realms, Lagi-lagi anda tidak memenuhi ekspektasi saya.
tapi karena saya dihujat waktu ngasih nilai 2, maka saya kasih nilai 4
William Amadeus Anderson
Yah lagi-lagi numpang lewat oc lain, jadi cameo pun kgk. Mungkin bbrp karakteristik oc lain terlalu susah utk ikut mengalir dlm cerita, tapi alangkah baiknya dibuat ala kadarnya aja, ketimbang gk sama sekali.
BalasHapusYa, teknik bahasamu emang maknyus warbyazah, tapi ada penggunaan imbuhan yg kurang tepat, letaknya, dan juga kata yang kurang sesuai utk menggambarkan kondisi saat itu.
Yg kutunggu-tunggu dr tiap entri adalah puncak dari konflik yg berlangsung, tapi di sini klimaksnya lho gitu aja. Stlh panjang lebar, penyelesaiannya kesurupan, bla bla bla sampai polisi dtg menyergap, lalu selesai. Terlaluuuuu cepat.
Epilognya ternyata GAY wkwkwk, jadi keingat prelim.
7
Samara Yesta~
Nah, kalau yang ini fokusnya lebih kerasa dibanding pas prelim.
BalasHapusSoal narasi dan teknis lainnya udah oke, jadi gak perlu dikomentarin lebih jauh lagi. Paling tinggal substansi ceritanya.
Lagi, sebenernya ini lebih jelas dibanding sebelumnya. Tapi, kalau menurut saya, potensi ceritanya kurang dimaksimalin. Spesifiknya, temen satu timnya sih. Dinamika Vance dan Joseph oke sebenernya. Tapi... saya lebih berharap teman satu tim ada dinamika sih. Jadi keliatan gitu Tim Ghastly-nya.
Entri yang bagus, tapi kurang maksimal.
Saya kasih 7 deh, karena kurang pengolahan karakter satu tim. D:
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
==Riilme's POWER Scale==
BalasHapusPlot points : B
Overall character usage : E
Writing techs : B
Engaging battle : E
Reading enjoyment : A
Ngga kayak entri lain, dari awal entri ini sama sekali ga bahas soal diundang ke Museum Semesta dulu dan segala tetek bengeknya, bikin keliatan bener" beda dari pandangan pertama
Tapi minusnya, lagi" sama dengan prelim, adalah karena saya ngerasa ini bisa jadi cerpen pendek standalone yang ga ada dan ga perlu ada hubungannya sama Battle of Realms itu sendiri. Di awal William sama Axel sempet dimention, tapi ternyata mereka sama sekali ga kepake sepanjang cerita. Padahal ada 6 reverier lho. Rasanya sayang aja kalo mereka ga kepake, padahal tujuan turnamen ini kan justru interaksi antar pesertanya
Pun demikian, bohong kalo saya bilang ga bisa nikmatin entri ini. Ringan dan lancar dibaca, juga twist (kalo emang bisa disebut twist) bahwa ternyata tujuan Pokiel pengen ngehidupin Vance itu lumayan bagus. Cuma saya heran kenapa mendadak Tal sama Vance jadi bercumbu, kayaknya saya gagal nangkep hint romance antara mereka sepanjang cerita
Akhir kata, ya gitulah. Entri ini lumayan, mungkin bisa dibilang bagus di mata sebagian orang, tapi berkesan ga relevan ke turnamen ini sendiri
==Final score: C (7)==
OC : Iris Lemma
Narasinya asyik ya, enak buat diikuti~
BalasHapusIni settingannya grup, tapi saya nyaris nggak ngelihat OC lain yang digarap jauh ke dalam inti cerita. Memusatkan spotlight ke OC sendiri itu bagus, tapi itu nggak berarti kamu bisa mengabaikan semua OC yang lain.
Mereka terkesan cuma numpang lewat aja, yang penting ada, itu sudah.
Si William contohnya, dia nongol di depan aja. Selebihnya udah hilang tak berbekas. Padahal meski authornya ada tendesius jelek sama kamu, dia maksimalin garap OC Tal Becker di entry dia.
tl;tr semua OC author lain cuma jadi cameo aja,
This is bad for such thing called "Battle of REALMS"
Nilai kebersamaan antar author yang ada nihil terasa. Kamu nggak ngehargai penulis lain yang bersedia mencurahkan pikiran dan fokus demi menghadirkan karaktermu (Tal) di cerita mereka.
On the other hand, saya harus muji kemampuan menulis kamu dalam membuat narasi yang aduhai lezat buat dicerna.
Sayangnya dari segi plot, masih terasa kurang. Konklusi yang ada nggak memuaskan. Dan kalo menyinggung soal pembangunan chemistri antara Tal dan Vance, saya sukses dibuat bingung. Usaha untuk melatarbelakangi asmara di antara mereka terasa gagal di mata saya (selaku pembaca). Alih-alih romantis, Tal ini jadi terkesan kayak perempuan murahan. Gampang banget ditidurin orang.
Kalau saja tidak ada hal minus soal di atas tadi, saya sebenarnya pengen ngasih nilai 9. Tapi sayangnya nggak. Saya harus mengurangi 4 point atas kekecewaan saya terhadap keseluruhan ide cerita.
Point : 5
OC : Venessa Maria
Dari segi tulisan cerita ini sudah sangat bagus namun sayang seperti kata komentator lain, cerita ini tidak berasa seperti BOR.
BalasHapusNilai 8
Penulis dadakan / Arca
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusThis surely leaves a bad aftertaste...
BalasHapusAwalnya ini memang enak dibaca, seperti narasi dalam novel pada umumnya. Sayangnya untuk cerpen yang (harusnya) berorientasi battle, narasi seperti ini akan terasa draggy dan lambat dibacanya. Selain itu juga, seperti komentator sebelumnya, kau gagal mengikutsertakan OC lain dalam ceritamu.
Sebagai cerpen atau sebuah chapter dari novel, ini tulisan yang bagus, tapi ini gagal sebagai entri BoR menurutku.
Maaf, tapi untuk ini saya hanya bisa kasih kau 6 poin.
Asibikaashi
benarkah? maaf kalau begitu. saya tidak tahu kalau menggunakan OC peserta yang segrup itu adalah kewajiban. nggak tahu ya yang benar yang mana, ada yang bilang itu tidak wajib. tapi semua justru menitik beratkan pada hal itu. kalau memang itu sebagai kewajiban, mungkin lebih baik disampaikan pada panitia. biar newbie kayak saya, nggak salah paham. saya pikir memasukan atau tidak oc lain itu suatu kebebasan.
Hapussebelumnya terima kasih, dan maaf kalau entri ini cukup mengecewakan dan gagal.
Mirip sama komentar lain, saya juga menyayangkan ga adanya beberapa karakter sesama tim, tapi di samping itu ini cukup well-built kok ceritanya. Memang absennya karakter2 di tim gastly bikin entri ini sangat asing pas dibaca (apalagi dengan munculnya karakter2 baru seperti Vance), dan ini juga ngaruh karena jadi ga ada pertarungan yang berarti buat disajikan. Tapi hey, battle of realms bukan cuma pertarungan fisik, jadi jangan ngerasa bahwa kamu kurang cocok dalam perhelatan ini. Konflik Pokiel
BalasHapusPenggunaan kutipan lagu jadi selingan yang cukup menghibur, meski ga terlalu kerasa pengaruhnya ke hubungan Pokiel, Vance sama Tal. Overall, menurut saya ini bisa lebih menarkk lagi kalo karakter BoR lain muncul, tapi penyelesaian konflik dan penuturan ceritanya sama sekali ga ada masalah di saya. Jadi...
7
PUCUNG
jujur aja, banyak bag yg ku skip karena ga tertarik. sbnarnya bagus bwt penggemar romance atau telenovela. cuma.... aku ga pernah tertarik dg yg begituan...
BalasHapusah cmn masalah selera yg rada ga biasa.
banyak yg bilang OC lain ga ditonjolkan ya? sebenarnya aq jg kena masalah yg sama jdi merasa senasib haha..
total: 7
OC: Mia
Seperti yang bisa diharapkan, gaya penulisannya bagus banget. Indah dan enak dibaca. Tapi, tak seperti yang diduga tulisan ini serasa gak berhubungan dengan BoR. OC yang lain serasa tak berhubungan, dan jalan cerita gak terhubung juga dengan kanon panitia.
BalasHapusDi sini terasa seolah, sekali lagi, "seolah" kalau yang bisa dinilai dari tulisan ini cuma gaya penulisannya doang. Karena itu, saya sendiri bingung mau komentar apa lagi. Tapi, kalau tak berhubungan dengan BoR, saya akan senang hati membaca tulisan seperti ini.
Nilai: 7
OC: Satan Raizetsu
Umi suka satu ciri khas kamu yaang ga kamu tinggalin di sini, gaya bahasa dan narasi khas romance Metropop dan Chicklit yang ga berubah.
BalasHapusPertahankan itu!!
Entrimu juga lebih berkembang, berkembangnya gimana? Plotnya mulai rapih. jelas alurnya dari A->b->c. Walau masih ada plot hole, tapi ga terlalu masalah. Karena plot hole-nya sendiri ga bikin cerita rusak.
Apa lagi yang Umi suka dari cerita ini? Karakterny Tal yang Solid.
Apa yang perlu di progress dari Entri Tal ke depannya? Konflik. Cerita ini plotnya udah oke. Konfliknya ada tapi ibarat kata kamu jalan, ga ada proses menanjaknya, ga ada proses menurunnya. Ada konflik tapi kurang bikin deg degan. Ini bisa kamu kembangin lagi.
Yang kedua, karakter lawan. Ga ada kewajiban untuk masukin mereka. Jelas. Kamu masukin mereka di awal. Oke banget. tinggal olah mereka juga biar jadi plot device di ceritamu.
Manfaatkan mereka sampai titik darah mereka habis #plak XD
-----------------------------
Oke, nilai dari Umi : 7 yah Tal :)
waduuu bahasanya lentur banget ini plus roman roman roman.
BalasHapuspengen banget sebenarnya liat gaya bahasa dengan istilah2 mantap ini bener2 diolah dalam bentuk pertarungan yang ciamik dan melibatkan karakter2 lain, apalagi temanya sudah group begini.
ga bisa kasi lebih dari 6, padahal Quote2ya sudah super.
coba bener2 masukin "battle" dan "gali banyak karakter yang sudah ditentukan segrup/lawan tanding" ya.
spasi paragrafnya juga yang konsisten.
ukuran fontnya juga.
oc: wamenodo Huang
Kalau soal tulisan sudah ga perlu saya komentarin banyak ya. Keunggulan MirrorMirror sendiri di tulisannya. Dan kalau boleh saya bilang, roman sudah jadi semacam "spesialiti" dari author sendiri
BalasHapusSejujurnya kalau boleh saya komentar, ceritanya asik. Ngalir, saya kayak baca teenlit, dan yang terpenting ada peningkatan dari prelim ya (at least saya bacanya ga tersendat)
Sayangnya, senada seperti di atas, cerita ini bagus buat Tal sendiri, tapi masih kurang kalau dibuat untuk BoR. Sejujurnya saya merasa sedikit tanggung jawab. Waktu dulu awal2 ronde keluar, saya memang bilang boleh kalau ada satu yang dimunculin asal lewat doang (kalau ga salah saya kasih contoh William yang ditemuin Tal dah mati karena diserang axel atau siapa gt). Tapi saya ga nyangka semuanya yang jadi cameo.
Saya sih ga baca Setting B aturannya gimana, tapi kalau bercermin di setting A sendiri ada peraturan kalau OC saya dan OC lain harus beda pihak, dan saya interpretasiin sebagai 'saya harus lawan'
Kalau OC banyak emang susah sih, di entry sayapun ada satu chara yang punya porsi sendiri tapi asal lewat.
Next, kalau lolos, dan dapat grup lagi semoga bisa eksplore lebih jauh OC lawan. Soalnya sayang, sudah bagus nulis dan plotnya, kalau harus minus karena kurang interaksi sama OC lain.
Sementara saya kasih 7 dulu ya.
-Odin-