oleh : meridianna
--
--
Blood and Steel Nation
Maafkan aku...
Bukan aku musuh kalian...
Gunakan kesempatan ini untuk membuat diri kalian kuat.
"Selamat pagi, Mia. Cuaca cerah sekali hari ini."
"Apa ini? Deja vu..?"
Mata Mia perlahan-lahan membuka dengan susah payah. Dia terbangun di sofa yang ada di depan TV miliknya. Dia menimbang-nimbang untuk terus tidur. Tapi jika dipikirkan itu akan percuma dengan apa yang baru saja dia terima, dia tidak jadi melaksanakan idenya itu. Sebelumnya dia diberitahu bahwa dia adalah suatu karya yang berada di suatu museum, harus menghadapi tantangan jika ingin kekuatannya kembali, di tempat lain dengan menggunakan sebuah domba. Lalu dia dikembalikan di tempat yang disebut Bingkai Mimpi, tempat yang mirip dengan tempat asalnya, oleh sebuah makhluk berkepala bantal. Dia bahkan tidak yakin makhluk itu laki-laki atau perempuan. Walau dipanggil sebagai Putri Huban, bisa saja dia adalah laki-laki yang menyamar jadi seorang putri. Mia terlalu sering melihat hal seperti itu di game-game yang dia mainkan. Bahkan karakter bernama Bridget saja ternyata laki-laki.
Sebenarnya Mia tidak terlalu peduli jika dia menghilang dari ingatan orang-orang. Dia juga tidak peduli jika kekuatannya tidak kembali. Kekuatan macam apa itu, istilah kutukan lebih tepat. Asalkan dia bisa melakukan apa pun yang dia mau, memiliki kebebasan untuk bersantai, dia tidak keberatan hidup singkat. Tapi dengan adanya tantangan ini, dia tidak bisa bebas. Tantangan? Ya, dia menganggap semua hal yang terjadi padanya baru-baru ini adalah tantangan. Yang tidak bisa dia hindari, harus dihadapi.
"Dietrich, bagaimana menurutmu jika sebenarnya kita berada di dunia lain dan sewaktu-waktu dilenyapkan?"
"Pertanyaan bagus. Sedari tadi saya penasaran. Kenapa daerah di luar rumah ini hanya berupa ruang kosong, tanpa cahaya dan materi. Walau ada sebagian jalan yang bisa dilalui tapi itu hanya mengarah ke tempat kita melawan setan gagal itu. Karena tidak ada pengaruh yang berarti pada saya, saya hanya diam saja." Tunjuk Dietrich ke arah pintu menuju taman di luar.
"Kenapa tidak bilang dari tadi?!"
Mia berdiri dan berlari keluar, melihat apa yang ditunjuk Dietrich. Benar seperti katanya, hanya ada ruang kosong tak bermateri. Seakan-akan cahaya yang masuk tidak akan keluar lagi, seperti lubang hitam.
"Ah sialan~" lalu mata Mia beralih memandang ke taman di hadapannya. Taman bunga mawar merah yang luar biasa lebat.
"Ngomong-ngomong Dietrich, sejak kapan ada mawar disini?"
"Oh itu. Saat saya bosan, saya menanam mawar-mawar ini. Cukup menyenangkan ketika harus memotong pucuk tanaman yang tidak berbunga agar bunga selanjutnya bisa tumbuh indah. Saya cukup menikmatinya."
Dietrich mengatakan hal itu sama seperti ketika mengatakan cuaca cerah. Mia tidak tahu harus menanggapi pembicaraan setan satu ini. Terlebih di saat seperti ini.
"Sebenarnya saya berusaha sedari tadi untuk menghubungi kontak luar. Tetapi tidak ada balasan. Bisa dibilang kita benar-benar terputus dengan dunia asal kita, jika perkataanmu tadi adalah yang sesungguhnya. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Muka Mia kusam, sangat enggan untuk menjawab pertanyaan ini. Dia menjawab dengan sesingkat mungkin.
"Yah, seperti yang kubilang tadi. Kita berada di dunia lain. Tergantung dengan apa yang kulakukan, kita bisa terus ada atau dilenyapkan."
"Wah, sangat mengerikan." Tapi wajah Dietrich masih terlihat kalem. Ekspresinya malah terlihat sedang membicarakan tali sepatu yang putus. Kesialan yang tidak berarti dan sangat sepele. Mia sebenarnya ingin tahu kenapa dia masih tidak terlihat gugup atau khawatir, tapi dia memutuskan untuk tidak bertanya karena tidak ingin mendengar hal yang tidak-tidak.
"... sudahlah, khawatir terus-terusan juga percuma. Dietrich, tolong charge smartphone dan handheld console-ku. Juga buatkan kopi susu. Aku pergi mandi dulu."
"Oh tumben. Baiklah." Walau Mia berkata Dietrich bukan pelayannya, tapi tindakan mereka sudah seperti hubungan majikan dan pelayannya.
Setelah beberapa waktu berlalu, Mia sudah berganti pakaian. Dia tidak lupa memasukkan smartphone dan handheld-nya ke saku jaket yang dia kenakan. Dia juga memasukkan beberapa potong coklat dari kulkas ke sakunya. Merasa sudah cukup persiapannya, dia berkata pada Dietrich sambil meminum secangkir kopi susu hangat.
"Dietrich, aku pergi dulu. Sendirian, jadi kamu di sini saja."
"Oh? Apakah tidak apa-apa? Bukankah kamu secara praktisnya tidak bisa berbuat apa-apa tanpa saya."
Ini setan, percaya diri sekali. Walau tidak salah juga hiks, pikir Mia.
"... ini... syarat."
"Dari seseorang yang memindahkan dunia kita ke dimensi lain? Tantangan yang sangat menyusahkan sekali."
"Bukan, yang satunya lagi... uh, intinya hanya aku yang diperbolehkan menjawab tantangan ini. Dan juga, aku mau ada chocolate souffles, chocolate eclairs, dan lemon meringue pie ketika aku pulang nanti. Tolong. Aku butuh motivasi. Melakukan hal ini sangat merepotkan, lebih merepotkan dari memanggilmu dulu."
Tapi sejujurnya ini tidak lebih berat dari waktu itu. Ketika tidak ada orang yang tersisa di rumah ini, pikir Mia diam-diam.
"Oke. Tetapi tunggu dulu Mia. Kalau tidak segera dimakan, souffles cepat rusak."
"Ah... padahal aku ingin sekali makan souffles. Unghh, tidak apa-apa deh. Buatkan saja untukku."
Lalu terdengar suara embikan domba, dan muncullah sebuah domba kecil yang lincah di hadapannya. Selain itu muncul kupu-kupu yang kemudian berubah menjadi surat. Mia mengambilnya dan ketika dia selesai membacanya, surat itu menghilang menjadi kupu-kupu yang lebih kecil lagi. Surat itu hanya berisi peringatan sesuatu akan dimulai. Tetapi Mia masih diam sejenak, memandangi layar monitor dan tumpukan game miliknya di pojok ruangan.
"... sumpah, kalau semua ini selesai aku akan main game non-stop 15 jam."
"Bukankah selama ini kamu bermain game selama itu?"
"Diam kamu."
Tiba-tiba ada cahaya muncul di ruangan itu lalu berubah menghitam. Seperti sebuah lubang hitam, black hole, cahaya itu berpusar dengan ketidakadaan ditengahnya. Mia mengulurkan tangannya ke tengah cahaya itu dan menghilang tanpa jejak sembari memeluk domba yang mulai berontak.
"Nah, mari melanjuntukan menata taman di bagian belakang rumah." Kata Dietrich dengan ringan.
++++
Setelah keluar dari portal, akhirnya Mia sampai di tempat yang dituju. Tapi dengan tidak nyaman. Terhempas di atas aspal.
"Woaaa..! Ugh... sama sekali tidak mulus. Woi Kambing yang benar dong kalau mau antar orang!"
Domba yang ada dipelukannya berontak, seakan tidak diterima dipanggil sebagai kambing. Dengan kuku yang tidak disangka ternyata tajam, domba itu mencakar Mia dan membuat kalung di lehernya lepas. Lalu domba itu mengembik marah dan berlari menghilang.
"Eh..? Ah gawat!! Jangan sampai terjadi lagi!"
Tapi kepanikannya tidak beralasan. Tidak ada perubahan pada dirinya ataupun pada sekitarnya. Perlahan Mia membuka mata dan melihat sekeliling. Dia lega tidak ada orang yang mati di sekitarnya. Bagaimanapun melihat seseorang mati karena dirinya bukanlah pemandangan yang indah.
"Syukurlah.."
"Ada apa Nona?" tanya seorang bapak dengan wajah penuh perhatian di sampingnya.
"Oh tidak apa-apa. Aku hanya panik sebentar. Umm... maaf Pak, tapi ada apa disana?"
Tidak jauh dari hadapannya terdapat kerumunan orang. Selain orang-orang berkumpul mengintari sebuah gedung, para jurnalis dan cameramen terlihat mondar-mandir. Sibuk mencari berita.
"Baru saja terjadi penculikan di gedung itu. Korban diperkirakan berjumlah ratusan orang jadi kejadian ini menghebohkan seantero negeri. Apa lagi penculiknya menuntut untuk membebaskan kawannya yang dipenjara. Tidak hanya itu, mereka juga menuntut uang tebusan 1 milyar Dollar Libertia! Aduh jaman sekarang tidak ada yang aman dimana-mana..."
"Eh... eh?!!!" Mia akhirnya ingat akan perkataan orang itu sebelumnya di museum. Jadi ini yang dimaksud. Walau tidak dikatakan langsung tapi sudah jelas kan, tantangannya berupa penyelamatan orang. Dengan kata lain, menyelamatkan korban penculikan ini. Walau dia tidak yakin hubungan antara tantangan ini dan kekuatannya. Bah, tapi Mia memutuskan untuk tidak memikirkannya, merepotkan.
"Saat akhirnya kupikir aku bebas dari kutukan itu, ternyata hanya mimpi. Ditambah harus melakukan hal yang paling merepotkan. Ooh rasanya ingin tiduran saja." gumam Mia.
"Apa kamu benar tidak apa-apa Nona?" tanya bapak itu, khawatir karena Mia mulai bicara sendiri.
"Sungguh tidak apa-apa Pak. Oh kalau ada penculikan seperti ini pastinya ada polisi yang berjaga bukan. Yang mana polisinya?"
"Kalau itu mudah. Cukup lihat kumpulan orang itu, ya itu, dengan mobil van hitam. Itu mobil polisinya. Mereka mulai berjaga dari awal."
"Danke!"
Lalu Mia bergegas pergi meninggalkan bapak itu yang kebingungan. Rencana mulai disusun di kepalanya. Pertama dia harus mengetahui dimana dia berada dan kondisi di tempat ini. Surat yang dia terima tidak memberi informasi apapun selain sebagai penanda. Karena itu dia melihat tayangan TV di sebuah deretan toko elektronik. Sambil membaca koran dan buku yang dia ambil sekenanya di sebuah kios. Tidak lupa dia sesekali memakan coklat yang dia bawa.
Tidak jauh dari apa yang dia bayangkan, dia terlempar di tempat yang merepotkan. Dia sedang berada di Libertia, mirip seperti Amerika di dunia asalnya. Libertia adalah sebuah negara modern yang makmur dengan ekonomi yang kuat. Akan tetapi di balik itu, negara ini dibangun dengan landasan industri berat yang diekspor ke seluruh penjuru dunia. Negara ini terletak di daerah tandus dengan tambang logam yang berharga, yang berarti negara ini hanya bisa bertahan dengan tambang-tambangnya. Di permukaan negara ini terkenal dengan industri logam dan berat seperti industri mobil dan alat transportasi lainnya. Tapi Mia tahu arti lain dari industri berat, yaitu industri senjata. Dengan kata lain negara ini menjual berbagai macam senjata api, tank, dan pesawat tempur lalu mengambil untung darinya. Kenapa harus industri ini Mia tidak begitu paham. Oh tapi bukankah dimana-mana perang tidak pernah berakhir dan sebenarnya yang paling menguntungkan?
Selain itu Mia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa pemilihan presiden akan diselenggarakan lagi antara Alan Otto Bismarck, presiden Libertia saat ini yang populer dengan rakyat, melawan John Rockweller, konglomerat ambisius yang terkenal sukses dengan jaringan perbankannya. Presiden Bismarck populer karena kebijakannya yang menguatkan industri berat di negara ini. Dia dielu-elukan dan dicintai oleh rakyat karena membuat negara ini makmur. Lalu John Rockweller sebagai konglomerat membuka jaringan perbankan sehingga pergerakan uang di negara ini sangat stabil. Apakah ini ada hubungannya dengan penculikan yang sedang terjadi Mia tidak bisa memutuskan dengan pasti. Yang dia tahu, dia tidak bisa bersimpati pada penculik itu, Kendrik Blaire. Walau menurut koran yang dia baca, Kendrik dikenal sebagai orang yang berkharisma dan mendukung rakyat kecil, bagi Mia dia tetaplah teroris. Lagipula Mia tidak pernah suka orang sejenis ini.
++++
Setelah puas makan coklat dan mencari info, Mia langsung menghampiri mobil van polisi itu. Dia harus bertemu dengan orang yang bertanggungjawab dengan operasi penyelamatan korban. Dia berjalan menuju pria yang terlihat penting dan memerintah polisi lain.
" 'allo, apakah kau pemimpin polisi disini?"
"Benar. Aku Kolonel Thomas McConnor, yang bertanggung jawab disini. Apakah kau jurnalis? Kau terlihat terlalu amatir untuk itu tapi sayang aku tidak punya informasi penting lagi untuk kalian." jawabnya ketus. Thomas McConnor terlihat cukup muda, mungkin di pertengahan atau awal umur 30 tahun. Umur yang cukup muda untuk menjadi seorang kolonel. Badannya tinggi dan tegap, cukup berotot. Tapi dengan rambut cepak, dia nyaris tidak ada bedanya dengan polisi-polisi lain. Kecuali mata tajamnya.
"Wah wah tapi aku datang bukan untuk itu. Kulihat polisi terlalu lamban mengatasi penculikan seperti ini. Ini bukan seperti polisi negara maju yang selama ini kudengar, yang terkenal dengan kesuksesannya. Ada masalah ya?"
"Anak kecil sepertimu tahu apa?"
"Oh? Bukankah lebih baik kau jujur saja jika sedang dalam keadaan genting daripada berdebat denganku? Waktu terus berlalu lho. Aku baru saja melihat siaran langsung saat para teroris itu membunuh satu korban untuk mendesak pemerintah memenuhi tuntutan mereka. Kurasa itu bukan yang terakhir."
Thomas menatap Mia dengan tajam.
"Juga ada batas waktu kan? Jam 5 tepat sore ini."
Mendengar kata-kata Mia, Thomas menghela napas panjang.
"Oke, oke, akan kuutarakan semuanya."
"Tapi Kolonel!!" sergah lelaki muda disampingnya. Dia tampak sebagai bawahan Kolonel Thomas. Dia juga terlihat jujur dan serius. Khas polisi muda dengan idealisme tinggi.
"Diamlah Sersan Kevin Green. Aku tidak punya pilihan lagi. Lagipula jika dia tahu atau tidak, keadaan ini tidak akan lebih buruk dari sebelumnya."
Mia diam menunggu pria penting itu untuk meneruskan bicaranya.
"Benar seperti katamu. Kita, kami para polisi lebih tepatnya, berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Teroris menuntut hal yang tidak akan dikabulkan pemerintah. Pemerintah dari awal tidak berniat untuk memenuhi tuntutan para teroris itu. Uang tebusan 1 Milyar? Hah tidak akan dibayarkan! Pembebasan tahanan terorisme? Mustahil!"
"Bagaimana dengan korban?" tanya Mia walau dia terkejut dengan penjelasan ini. Dia butuh informasi sebanyak mungkin.
"Mereka akan dikorbankan. Dan lalu digunakan sesuai keinginan pemerintah. Iya, kau mendengarku dengan jelas. Pemerintah tidak peduli dengan rakyatnya sendiri!" Thomas menggebrak meja marah. "Dan mereka berniat menyeretku bersama para korban!" tambahnya. Wajah Thomas berkerut saking marahnya.
"...maksudmu?"
"Jika kita anggap benar-benar akan jatuh korban, mereka sudah siap dengan pidato yang di dramatisir sehebat mungkin. Mengutuk terorisme, mengajak rakyat untuk bersatu melawan terorisme, kemudian menyerang negara yang dianggap sarang teroris. Dan di akhir, menyalahkanku atas ketidakmampuanku menolong para korban penculikan, dengan bumbu suasana bela sungkawa pada para korban. Ooh mungkin mereka tidak akan langsung bicara seperti itu dan sejujurnya ini hanya perkiraan. Tapi aku yakin. Kambing hitam untuk kejadian ini adalah aku."
"Dan mereka adalah... presidenmu?"
"Dengan anggota parlemen tentu saja."
"Woow wooow..!! Sungguh luar biasa presidenmu itu. Jujur saja aku jadi kasihan padamu. Sepertinya kau banyak musuh di parlemen itu."
"Begitulah. Mereka tidak senang ketika ada orang muda yang menjadi kolonel secepat ini. Dan yang paling memuakkan, presiden seperti itu bahkan sangat dicintai oleh rakyat negara ini!! Walau aku membocorkan segalanya rakyat tidak akan percaya padaku. Jadi ya, aku berada dalam lumpur terdalam."
Thomas memandang Mia dalam-dalam.
"Jadi kau tahu semua sekarang, ini keadaan yang sulit. Kenapa kau mau menolong? Kau tidak akan mendapat keuntungan dariku. Kolonel muda yang sebentar lagi hancur."
"Sebenarnya alasanku sangat sederhana. Aku tidak suka pemimpin teroris itu, Kendrik Blaire. Orang seperti itulah yang paling memuakkan di dunia ini. Teroris, tapi di video yang dikirimkannya pada media dia bertindak seolah-olah melakukan hal yang benar. Terpaksa menjadi teroris karena pemerintah ini secara tidak langsung menyebabkan perang. Tapi saat rekannya tertangkap, dia menculik orang, memasang bom di tempat orang sipil, dan meminta tebusan, dengan tambahan pembebasan teman-temannya. Tidak ada bedanya koar-koar ingin jadi pahlawan tapi sebenarnya tindakan yang dilakukannya sama saja dengan pembunuh. Peduli dengan rakyat di negara lain tapi tidak untuk rakyat negara ini. Padahal apa bedanya, rakyat negara ini juga manusia. Apa karena rakyat ini tinggal di negara makmur membuat mereka patut untuk diculik lalu dibunuh? Karenanya aku ingin menghancurkannya." Ekspresi Mia menjadi serius. Sorot matanya berubah dingin, membekukan dan tanpa belas kasihan.
Thomas terdiam. Dia tidak menyangka kata-kata seperti itu keluar dari gadis semungil ini. Yang terlihat lemah dan tidak bisa apa-apa.
"Aku hampir lupa memperkenalkan diri. Panggil saja aku Mia. Tentu saja, aku tidak akan membiarkan orang tidak bersalah dikorbankan." Mia tersenyum, seperti malaikat. Lembut dan bercahaya. Tapi Thomas tidak tahu motivasi sebenarnya dari gadis ini atau apakah dia berbicara yang sebenarnya. Untuk menyelamatkan atau menghancurkan. Dia hanya bisa menerima bantuan gadis berambut pirang yang mirip malaikat ini. Atau sebenarnya dia malaikat pencabut nyawa?
+++++
"Apa kamu pikir cara ini akan berhasil?"
"Yaah, sebenarnya aku tidak bisa memikirkan hal yang lain. Ahahaha..."
Thomas menatap Mia tidak percya. Dia baru sadar ternyata gadis ini impulsif. Beberapa saat lalu Mia mmberi tahu rencananya pada Thomas. Thomas tidak prcaya tapi tetap melaksanakan itu.
"Tujuan utama kita adalah jinakkan dan lepaskan sandera. Kalau memungkinkan para penculik juga ditangkap. Tidak lupa si Kendrik."
Thomas menatap Mia dan bertanya padanya.
"Kau yakin hanya membutuhkan stun gun? Aku bisa meminjamimu satu-dua senjata api."
Mia berbalik badan mendengar perkataan Thomas dan berhadapan langsung dengannya.
"Menurutmu apa aku terlihat bisa menembak?"
"Tidak"
"Tepat. Daripada senjata yang tidak bisa digunakan dan akhirnya membebani, lebih baik ini saja."
Dia mengayun-ayunkan stun gun itu. "Ini sudah cukup."
Setelah itu, mereka tiba di pintu darurat. Polisi tidak tahu dimana bom dipasang dan cetak biru dari gedung itu sudah lama. Baru-baru ini gedung itu diperbaiki jadi ruangannya berubah dari cetakan biru yang lama. Mau tidak mau Mia meminta Thomas, orang yang paling paham tentang bom di kepolisian untuk menjinakkan bom itu. Dia harus berada dimana bom itu ada.
"Kupikir kau cuma memberi rencana dan diam di markas."
"Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bersiap untuk kemungkinan buruk saja.... sstt diam dulu. Sudah dimulai sekarang."
Apa yang dimaksud Mia adalah konferensi press dari Kepolisan. Terdengar suara para wartawan berkumpul. Semua media massa jadi lebih sibuk karena Kepolisian akhirnya mengumumkan sesuatu terkait dengan penculikan ini. Mereka memutuskan untuk memenuhi tuntutan para penculik. Karena mereka tidak bisa menghubungi pemimpin penculik itu secara langsung, maka Kepolisian memutuskan untuk melakukan konferensi press dengan harapan para teroris itu akan menghubungi mereka. Thomas sebagai juru bicara sah sedang bersama dengan Mia, jadi tugas juru bicara diganti oleh Kevin Green, bawahannya. Mia memintanya melakukan press konferensi dengan tujuan sebagai pengalih perhatian dirinya dan Thomas untuk masuk ke gedung itu.
Mia menunjuk orang yang seperti teroris yang ditugaskan untuk mengawal pintu. Jumlahnya ada dua orang. Mia memberi isyarat pada Thomas untuk diam dan membiarkan dia untuk maju lebih dulu. Thomas sebenarnya tidak terima tapi dia membiarkan saja. Dia mengikuti Mia dan memakai maskernya agar tidak dikenali.
"Tch."
Mia berjalan mendekati lelaki itu sambil merapikan rambut dan senyumnya yang paling menarik. Yang sebenarnya tidak mudah bagi gadis tidak pedulian sepertinya.
"Permisi." Mia tersenyum manis. Dia menunjukkan senyumnya yang terbaik dan yang paling menyenangkan.
"Oh ya. ada apa manis?" salah satu penculik balik bertanya pada Mia, tidak sadar seharusnya tidak ada gadis cantik di tempat seperti ini.
Sebelum bisa mendengar jawaban dari Mia, lelaki itu pingsan karena stun gun Mia. Dengan senyum yang perlahan menghilang, Mia membentuk huruf V dengan tangannya. Lalu Thomas dengan kecepatan tinggi, Thomas melumpuhkan penculik sebelum penculik itu sempat memberitahu rekan-rekannya di dalam gedung. Kemudian Mia memeriksa lelaki pingsan itu, mencari sesuatu yang bisa dimanfaatkan.
"Hah... tidak kusangka, akan datang saatnya aku menggunakan honey trap." Gerutu Mia saat dia mencari sesuatu di kantong teroris itu. Dia menemukan sebuah mini smartphone.
"Menggunakan kecantikan untuk menaklukkan laki-laki? Pfffft." Thomas menahan senyum karena geli. Mia menatap tajam dia. Dia tidak suka ditertawakan.
"...yang penting semuanya masih terkendali."
Mereka lalu memeriksa mini smartphone itu. Ternyata alat itu memuat peta gedung itu, lengkap dengan titik yang menunjukkan letak bomnya, di lantas paling atas gedung itu, lantai 10.
"Mudah sekali. Oke. Langsung jinakkan bom itu. Semakin cepat semakin bagus." Kata Mia.
Setelah itu, mereka berjalan di suatu lorong, sambil sesekali mnghindari penjaga. Tidak akan bagus jika mereka membuat gaduh dan akhirnya tertangkap. Walau sesekali mereka berpapasan dengan beberapa teroris, Thomas selalu sigap melumpuhkan para teroris, bahkan sebelum mereka sempat berteriak. Semuanya terlihat mulus karena semua teroris memperhatikan TV di setiap lantai untuk mendengar konferensi press. Terlihat tidak ada masalah, sampai saat Mia mengenali seseorang di gedung itu.
"Dia?!!"
"Siapa maksudmu?" tanya Thomas.
"Orang yang pernah kutemui di tempat lain. Sejujurnya aku tidak tahu namanya. Yang kutahui, dia bukan orang biasa. Bertemu dengannya disini adalah kesialan. Duh..."
"Lalu kita harus bagaimana?"
"Hah..." Mia menghela napas panjang. Sepertinya dia terlalu banyak menghela napas akhir-akhir ini.
"Tidak ada cara lain. Tujuan utamanya adalah kaulah yang harus menjinakkan bom itu. Aku menemukan bom itu pun aku tidak akan bisa berbuat apa-apa. Berarti hanya aku yang tersisa untuk menahannya."
"Apa kau yakin cukup kuat untuk melawannya? Dia terlihat bukan laki-laki yang bisa dikalahkan hanya dengan stun gun."
"Aku malah tidak yakin masih bisa hidup setelah melawannya. Kenapa susah sekali sih menolong orang. Padahal juga tidak dikenal." Gerutu Mia.
Thomas hanya bisa diam. Tidak mampu menjawab Mia. Bagaimanapun operasi penyelamatan selalu merepotkan dan menyusahkan, lebih dari operasi penangkapan. Setelah beberapa lama mereka berdiskusi dan mengingat peta itu, Thomas berlari menuju lift. Sedangkan Mia menghadang pria yang dimaksud.
" 'allo.... tunggu, kenapa akhir2 ini aku yang menyapa orang sih.." gerutu Mia.
"Siapa kau?"
"Kita tidak pernah berkenalan secara langsung. tapi aku sempat melihatmu di sebuah museum. Iya museum yang itu."
"Museum... semesta?"
"Ding dong! Akhirnya kau ingat. Sepertinya kehadiranku sangat tipis eh?"
"Jadi kau juga seorang Reverier... dan berada di sisi berlawanan denganku... sisi polisi huh?! Dengan kata lain kau membantu pemerintah busuk ini?!"
"Waa, kau cepat sekali memutuskan sesuatu. Yah bisa dibilang begitu. Berhubung waktuku singkat, aku akan langsung saja. Apa tujuannmu berada di sisi teroris?"
"Karena... pemerintah ini busuk. Sebagai manusia, aku tidak bisa membiarkannya. Kau... kau tahu pemerintah ini memanfaatkan rakyat semena-mena kan?! Kalau kau tahu kenapa kau masih mau menolongnya?!"
"Sayang sekali, itu tidak benar. Aku tidak peduli dengan pemerintah ini. Hanya saja aku tidak suka lelaki itu, Kendrik Blaire. Kupikir itu sudah cukup jadi alasan."
Pria di hadapan Mia menjadi marah. Walau dia tidak membentak atau sejenisnya, matanya menunjukkan api amarah yang membara. Dia tidak terlihat akan diam dan menyerah dengan damai.
"Kita tidak akan setuju rupanya. Kau tidak tahu betapa mulianya Kendrik dan tujuannya." Kata pria itu.
"Kurasa juga begitu. Dan memang, aku tidak mau tahu." Jawab Mia.
Mereka saling tatap mata. Lalu Mia yang pertama kali membuka mulut.
"Aku Mia, dikenal sebagai Professional Procrastinator. Agar dianggap sopan, sebaiknya kau juga sebutkan namamu. Salah satu diantara kita bisa saja mati. Jadi kurasa memperkenalkan diri sebelum mati bukan ide buruk."
"Lucas Masoleum, The Exacta Player. Ketepatan adalah kekuatanku. Dan sudah kupastikan kau akan mati disini!"
Lelaki berambut pendek itu, yang menyebut dirinya sebagai Lucas, mulai melempar pisau dari balik bajunya. Mia berhasil mencegah pisau-pisau itu mengenai organ vitalnya. Tapi sebagai ganti, lengannya lah yang tertusuk pisau kecil itu.
"Sepertinya sudah takdirku harus kabur seperti ini. Tapi memang kapan aku beruntung haha..."
Tidak pernah sejak lahir, pikirnya.
Tanpa ragu, Mia mencabut pisau dari lengannya dan melemparnya ke lantai sambil tetap berlari. Walau dia kesakitan, dia berusaha untuk tetap terlihat tenang. Dengan tetap tenang, dia berharap bisa melewati keadaan genting seperti ini.
Mia terus menghindari pisau Lucas. Dan jebakan-jebakan Lucas terus mendatanginya. Beberapa kali bom kecil buatan Lucas mengenainya. Walau bisa mencegah kematian tapi itu hanya untuk sementara. Mia terluka cukup banyak dan luka-lukanya cukup parah. Bajunya robek di berbagai tempat.
Mereka terus bertarung walau hanya secara satu pihak karena Mia tidak pernah melawan langsung. Lalu sampailah mereka di suatu ujung lorong, dimana ada jendela di ujungnya. Jendela itu sudah terbuka dan menghembuskan angin dengan lembut. Dari papan petunjuk di sekitarnya, mereka ada di lantai 5.
"Sampai kapan kau terus lari?"
"Walaupun aku tidak mau tapi aku hanya bisa lari."
"Pengganggku sepertimu harus mati!"
Lucas berlari menyergap Mia. Dia mengayunkan pisau yang tersisa pada dirinya.
"Maaf, tapi ada souffles menungguku!"
Mia melempar jaket yang dipakainya, menutupi mata Lucas yang sedang berlari ke arahnya. Lalu dia ditarik dan akhirnya didorong oleh Mia ke arah jendela sehingga terlempar keluar. Semuanya ini terjadi dalam hitungan detik jadi kejadian itu terasa sangat cepat. Walau begitu Lucas berhasil berpegangan pada pinggir tembok di luar jendela.
Mia yang menyadari hal itu, melempar smartphone miliknya, membuat pegangan Lucas terlepas dan Lucas pun akhirnya jatuh.
"Kau tahu, game smartphone hanya untuk pemain kasual!" serunya sambil memandang Lucas yang terhempas di semak-semak di tanah.
Lalu Mia membalik badan dan berjalan terseok-seok ke arah lift. Seperti ada pertolongan di setiap keadaan sulit, Mia tidak bertemu teroris-teroris yang lain. Sambil menekan tombol lift untuk menuju ke lantai tertinggi, dia berusaha menekan pendarahan di tangannya. Tidak ada obat dan perban di sekitarnya, tapi dia menemukan selotip plastik di jalan menuju lift. Dia membebat tangan dan pahanya yang terluka dengan selotip itu dan memotongnya dengan pisau milik Lucas yang tercecer. Dia menganggap selotip lebih baik dari kain saat pertolongan pertama seperti ini.
"... aku ingin tidur. Serius..." Gumamnya.
Lalu lift sampai di lantai tertinggi. Layaknya polisi-polisi yang dia gerakkan di game, dia bersembunyi di pinggir pintu lift dan membiarkan lift terbuka sendiri, memperlihatkan ruang yang tampak kosong. Setelah menunggu beberapa lama, Mia tidak mendengar reaksi dari luar lift, dia pun mengintip ke arah luar lift. Beruntung tidak ada satu orang yang terlihat di lantai itu. Dia lalu mencari ruangan dimana bom berada. Disana dia hanya melihat Thomas terduduk dan bom ada di hadapannya.
"Woi... bagaimana..."
"Maafkan aku, Mia." sela Thomas.
"...bomnya. Oke. Sekarang apa maksudmu?"
"Bomnya ternyata palsu. Ini hanya tipuan. Dan aku tidak tahu dimana yang asli!"
"Arghh...! Saat kupikir kenapa menemukan bom bisa semudah ini, dan ternyata memang ini hanya tipuan! Kurang ajar!!"
Mia mulai marah dan panik. Dia merogoh saku jeansnya dan memakan sisa coklat dengan cepat. Thomas hanya bisa memandangnya, tidak percaya bahwa saat seperti ini dia masih makan coklat. Setelah beberapa menit, dengan mengkerutkan dahi dengan cukup lama, Mia berkata pada Thomas.
"Aku punya ide, tapi aku tidak yakin akan berhasil. Apa kau percaya padaku?"
"Aku percaya padamu," tapi Mia menatapnya ragu, "Oke, sebenarnya tidak sepenuhnya. Tapi kalau kita gagal menjinakkan bom, kita semua akan jatuh bersama-sama. Walau tidak juga, karena kau masih lepas tangan dari urusan ini. Tidak ada alasan untuk menolak idemu itu."
Mia mengangguk pelan.
+++++
Konferensi press dari Kepolisian akhirnya berakhir. Isi dari konferensi itu adalah pemerintah menyanggupi permintaan para penculik. Tetapi dengan syarat pemimpin penculik itu, Kendrik Blaire, sendiri yang mempersilakan dan mengambil uang. Di pihak polisi, Thomas dan satu orang lagi yang mengantar uang itu ke tangan Kendrik. Karena itu, diharapkan para penculik untuk tidak menembaki pihak Thomas.
Para penyiar berita beramai-ramai memberitakan kejadian langsung ini di jam 4.40. Mereka semua berlomba-lomba menayangkan siaran langsung sejak 20 menit sebelum bom meledak. Berharap ada sesuatu yang bisa diliput dan menggemparkan orang banyak. Thomas dan Mia berjalan masuk menuju gedung lalu mereka diantar ke lantai dimana Kendrik berada. Luka-luka Mia sudah dirawat dan sekarang dia didandani ala sekretaris, dengan kemeja dan rok pendek, rambutnya juga digulung rapi. Dia sebenarnya tidak suka dandanan seperti ini. Tapi dia tidak bisa membiarkan kemungkinan ada teroris lain yang mengenalinya ketika dia menyusup ke gedung bersama Thomas. Apalagi polisi wanita yang meminjami bajunya tertawa karena Mia terlihat seperti remaja yang pura-pura dewasa. Untung dengan make-up yang cukup, umur asli Mia terlihat. Walau mungil seperti itu, dia tetap sudah dewasa.
Kendrik menunggu mereka sembari duduk di sofa. Kendrik adalah seorang pria yang terlihat seumuran dengan Thomas. Badan mereka berdua nyaris tidak ada bedanya, sama-sama tegap dan berotot. Kecuali rambut Kendrik lebih panjang kecoklatan dan bergelombang berbeda dengan rambut Thomas yang cepak dan hitam. Selain itu matanya menyorotkan kepercayaan diri yang tinggi dan hati yang tinggi. Namun itu tertutupi oleh kharismanya yang terlihat sangat meyakinkan. Tidak akan heran jika tidak ada yang tahu bahwa pria ini sebenarnya menyembunyikan hal besar. Atau merencanakan kudeta. Kecuali Mia. Dia mulai mengerti kenapa pria berkharisma sejenis Kendrik menjadi pemimpin teroris dan menculik, yang biasanya lebih memilih menjadi politikus sukses.
Kendriklah yang memulai pembicaraan.
"Akhirnya kalian datang. Mari kita selesaikan urusan ini. Serahkan uang itu. Dan bebaskan rekan-rekanku."
"Oh? Bagaimana kalau ini adalah sebuah jebakan?"
Kendrik mengalihkan pandangan ke Mia.
"Gadis pintar. Kau pikir kau bisa menipuku? Ingatlah, kalian berada di sebuah gedung, dikelilingi oleh anak buahku. Kalian tidak akan bisa berbuat apa-apa, termasuk kabur."
"Heh, dasar kau omong besar. Tidakkah kau sadar bahwa bommu sudah dijinakkan? Lihatlah siaran-siaran berita itu. Kurang 5 menit lagi dan kau akan tahu apa aku berkata benar atau tidak."
"Jangan bercanda, bocah. Baiklah, mari kita tunggu."
Lalu mereka menunggu. 5 menit berlalu. 6 menit berlalu dan tidak terjadi apa-apa. Kendrik menjadi gelisah dan mengeluarkan remote pengatur waktu bom yang ada di sakunya. Remote itu menunjukkan waktu 4.41. Sembilan menit sebelum bom meledak.
"Apa maksudnya ini?"
"Thomas sekarang!" teriak Mia tiba-tiba.
Thomas berlari menyergap Kendrik, merebut remote itu dari tangannya. Kendrik juga tidak kalah cekatan, dia mencoba mengeluarkan pistol dari balik bajunya. Namun Mia tahu itu dan melempar handheld console-nya, membuat Kendrik gagal mengambil pistolnya. Akhirnya remote berada di tangan Thomas. Lalu dia pun menon-aktifkan bom itu saat itu juga.
"Apa yang terjadi?!"
"Hanya trik sepele. Aku mempercepat waktu 10 menit dari yang sebenarnya. Semua media massa, termasuk TV, menyiarkan waktu 10 menit lebih cepat dari yang sebenarnya."
"Bagaimana itu mungkin?!" sentak Kendrik. Wajah berkharisma yang penuh percaya dirinya mulai rusak, mengkerut marah.
"Bisa saja. Jika pak presiden yang memintanya. Dengan sedikit dorongan dan negosiasi, presiden bersedia melakukan hal itu." Yang dimaksud dorongan dan negosiasi ini adalah ancaman. Mia mengancam akan membeberkan seluruh kejahatan yang dilakukan oleh presiden. Walau itu terlihat mustahil, tapi Mia mampu meyakinkan presiden jika dia akan benar-benar memberitahu semua orang apa yang akan terjadi jika presiden tidak bersedia membantu Mia. Mia mengatakan itu semua dengan percaya diri.
"Sombong sekali kau bocah. Kau berkata seakan-akan bisa lolos dari tempat ini hidup-hidup."
"Karena memang bisa." Mia lalu membuka gulungan rambutnya, membiarkannya terurai. Warna keemasan yang terang terkena sinar lampu membuatnya terlihat menyilaukan.
"Ingat aku?"
Penjaga di samping Kendrik tiba-tiba berteriak, "Kau! Jadi kau gadis yang berkeliaran masuk ke markas ini!!" Teroris itu pastinya melihat dari balik CCTV. Sehingga dia tahu wajah Mia.
"Jadi ternyata benar ada yang mengenali aku. Lucu ya, hanya ganti baju dan pakai make-up orang-orang jadi tidak mengenali. Yup, kau benar. Aku gadis yang tadi membuka jalur untuk memasuki gedung ini. Dan selagi kita berbicara, polisi-polisi yang lain menangkapi teman-teman kalian."
"Dan satu lagi, aku tahu siapa yang mendanai kegiatan-kegiatanmu. John Rockweller kan? Terlalu bagus untuk disebut kebetulan jika ada pemilihan presiden dengan dia sebagai calonnya bersamaan dengan kejadian penculikan ini. Kurasa dia bermaksud untuk membuat imej Presiden kita menjadi buruk dengan kejadian ini. Kau dijanjikan apa? Kekuasaan? Sayang sekali itu semua berakhir disini."
Wajah Kendrik shok berat. Dilihat dari reaksinya yang kuat, apa yang dikatakan Mia mungkin adalah kebenarannya.
"Menyerahlah Kendrik. Kau sudah hancur." Kata Mia.
"AAAAAAA!!!" Kendrik panik dan akan menembak Mia dengan tangan satunya. Tapi langsung dilumpuhkan oleh Thomas yang menembak tangannya.
"Semua sudah berakhir Kendrik. Impianmu jadi penguasa hanya sia-sia. Sejak dulu, aku selalu mengatakannya bukan?"
"Diam kau, Thomas. Anak orang kaya dan berprestasi yang bisa mendapatkan apapun macam kau tahu apa tentangku. Sejak dulu, sejak kita di sekolah aku selalu membencimu."
Thomas hanya diam, wajahnya terlihat kecewa dan sedih. Mia penasaran dengan dua orang ini, jangan-jangan mereka kenal satu sama lain dari dulu. Mungkin memang benar begitu. Lalu seperti yang dikatakan Mia, ada puluhan polisi yang datang menyergap para teroris termasuk yang di ruangan dimana Mia berada. Dengan borgol yang dibawa anak buahnya, Thomas menangkap Kendrik dan menyuruh Kevin untuk membawanya pergi.
Diantara kerumunuan polisi dan teroris, Thomas berkata pada Mia.
"Terima kasih. Tanpa bantuanmu, ratusan orang pastilah sudah mati."
"Itu bukan apa-apa. Aku hanya orang lewat yang kebetulan terlalu banyak waktu. Walau jujur saja, aku lebih suka tiduran di rumah daripada melakukan hal seperti ini lagi." Mia tersenyum tipis.
Thomas yang melihatnya ikut tersenyum. Satu kejadian sudah berakhir. Namun ini bukan berarti akhir dari segalanya.
"Thomas, presidenmu itu berniat membangun negara ini dengan darah dan baja... ya?"
Thomas mengangguk pelan.
"Aku pikir itu bukan ide bagus. Karena itu berarti akan ada pihak yang tidak setuju dengan idenya dan akan berbuat apa saja." Kata Mia khawatir.
"Ya, aku tahu itu. Karena itu suatu saat nanti, aku akan menggantikannya."
Mia terkejut dengan jawaban Thomas. Dia pun tertawa dengan lepas.
"Ahahahaha!! Tidak kusangka!" tiba-tiba terdengar suara embikan dari seekor domba.
"Oh, itu jemputanku datang. Selamat tinggal Thomas!" Mia melambaikan tangannya dan segera lari. Walau dia hampir jatuh karena high-heel-nya, dia tidak berhenti berlari. Membuat Thomas bengong dan tidak ada kesempatan untuk mencegahnya pergi. Dia akhirnya hanya melihat punggung kecil seorang gadis pergi dan menghilang.
Mia berlari terus hingga ke sebuah lorong dan berbelok. Di ujung lorong yang mengarah ke pintu darurat, dia menemukan seekor domba berdiri.
"Yo, Kambing!" Domba itu langsung mengembik marah. Mia buru-buru mengganti nama panggilan untuk domba itu.
"Ah, kau tidak suka nama itu rupanya. Oke... ah bagaimana kalau kupanggil Cotton? Dari bulu warna putih itu selalu mengingatkanku pada buntelan kapas di bantal. Atau malah sebuah permen."
Domba itu lalu mengembik pelan. Tidak meloncat-loncat marah seperti sebelumnya. Mia kemudian memeluknya dan sebuah portal terbuka di hadapannya. Diapun pergi dari tempat itu ke tempat asalnya.
+++++
Dietrich sedang berada di dapur, membuat souffles, eclairs dan pie. Dia baru saja selesai membuat segala makanan manis itu.
"Ah, dia sudah datang."
Dengan membawa makanan-makanan itu, dia berjalan menuju ruang tamu dan meletakkannya di meja. Di ruang tamu terdapat portal yang terbuka dan memperlihatkan sosok Mia yang keluar darinya. Dia terlihat sangat kelelahan jadi berdiri saja sudah tidak sanggup. Dietrich langsung menerima tubuh Mia sebelum jatuh ke lantai.
"...aku.......ngantuk....." katanya sebelum terlelap. Sepertinya hanya itu sisa tenaga yang dia miliki. Domba yang dibawanya pun sudah pergi entah kemana.
"Wah wah, aku harus membuat souffles lagi setelah ini." Kata Dietrich sambil menggendong Mia pergi.
--
>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 24 - MIA | KUPU-KUPU YANG TIDAK BISA BERHENTI BERMIMPI
>Cerita selanjutnya : [ROUND 2] 16 - MIA | THE NAME OF THE GOLDEN FLOWER
Cerita dan narasi yang sungguh menarik.
BalasHapusTiga OC yang lain pada lenyap kemana?
Yah, walaupun agak berlebihan seorang asing tiba2 datang lalu bisa bergabung dgn pihak polisi utk terjun dalam lapangan (seorang gadis lagi)
Dan yang terakhir, blank space yang terlalu banyak itu memang blank atau ada yg kehapus ya?
8
Samara Yesta~
sepertinya ini belum fix. jadi tunggu dipublish di fp dulu saja baru baca
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapushmm...bingung mau komen gmana. hmm...apa ya? menurut saya ceritanya kurang menggugah selera. berasa datar2 saja. dan misinya juga terlalu mudah selesai. semacam tanpa usaha pun Mia bisa memperoleh hasil yang ia inginkan.
BalasHapusdan teroris di sini kesannya juga teroris bukan pro, cuma teroris kelas teri dan bodoh yang lg iseng nyandra gedung saja.
mungkin kalo lebih didramatisir, hmm...ditambahkan ketegangan2 yang membuat tantangannya lebih berasa jd bs lebih seru. 8
Hmm, kalau dibanding prelim, Entri Mia satu ini lebih oke sih. Tapi ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi.
BalasHapus- Pendapat mba Cho mengenai progres cerita yang terlalu mudah. Saya kurang lebih setuju. Memang ceritanya jadi halus, tapi terlalu mulus juga jadinya terlalu licin, kurang nikmat (hh3) gitu. Harusnya misi Mia diberi obstacle yang lebih lagi agar perkembangannya jadi lebih kerasa. Kalau ini kan jadi semacam dikasih misi, dijalanin, selese gitu aja.
- Absennya sebagian besar tim Thinker. Yang saya notis rasanya cuma si Lucas doang, itu pun battlenya sebatas simple dan kurang berkesan. Sayang banget potensi tim Thinker dipotong abis di entri ini.
Selain itu, entri ini sebenernya udah mantep. Sayang aja poin-poin yang pentingnya gak dimanfaatin dengan maksimal. Sayang banget.
Mau kasih 8 tapi jujur, dua poin tadi menjadi faktor yang cukup penting juga. Jadi maaf, saya kasih 7 sebagai nilai akhir entri ini.
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
terima kasih komentarnya semuanya.
BalasHapussepertinya memang harus lebih detil lagi dan lebih banyak drama..
==Riilme's POWER Scale==
BalasHapusPlot points : C
Overall character usage : D
Writing techs : C
Engaging battle : D
Reading enjoyment : B
Uh... Saya ngerti karakter Mia emang ogah"an dan pemales, dan emang karakternya cukup dapet. Tapi itu malah bikin entri ini jadi berkesan tanpa tantangan.
Mia terlalu gampang dapet kepercayaan polisi, padahal siapa dia? Lucas nongol sebentar, tapi ke mana 3 orang reverier lainnya? Ini teroris kok kayaknya gampang banget dikelabuinnya?
Paling kalo ada yang saya suka dari entri ini, beberapa dialognya lumayan enak diikutin (terutama rant Thomas soal pemerintahan negaranya), dan sebenernya pihak yang dibela Mia ini ga bisa dibilang bener juga. Tapi yah Mia cuma numpang lewat doang buat sekedar nyelesein misi, jadi apa pedulinya sama negara Libertia ini ya
==Final score: C (7)==
OC : Iris Lemma
Dari awal saya sudah suka personality nya Mia yang terkesan males dan ga peduli hal-hal disekitarnya. Entrinya cukup ringan dan enak diikuti.
BalasHapus3 orang reverier yang lain ngilang kemana?
Saya ga begitu ngerti di beberapa bagian, kayak kenapa Thomas jadi curhat masalah kerjaannya, atau kenapa tiba-tiba Mia nyamar buat ngibulin teroris, trus tau-tau mereka dah diserbu.
Overall Score: 8
At last, greetings~
Tanz, Father of Adrian Vasilis
Errr~ saya bingung mau mulai dari mana. Hehe...
BalasHapusOke, gaya kepenulisannya ringan. Dan, saya cukup enjoy baca cepat sampai selesai. Hanya saja, yaah ... Saya merasa agak janggal saja saat Mia bertemu si polisi kemudian polisinya mengikuti Mia begitu saja.
Terus, saat Mia menghampiri dua orang penjaga dan tiba-tiba si penjaga pingsan. Itu serasa apa ya ... Bukan dipaksakan sih. Tapu lebih seperti puzzle yang dihilangkan sebagian. Meski kita tahu itu huruf A. Tapi kurang mantep aja kalau kepingan puzzlenya ngga lengkap. Kurang lebih gitu maksud saya.
Untuk nilai saya beri 7.
MirorMirors / Tal
Mia ini males, tapi banyak hal yang bisa dikembangin. aku tahu maksud authornya membiarin Mia maju sendiri karena saat prelim Mia serasa jadi Sub OC.
BalasHapusbattlenya sama Lucas doang ya? sayang tuh. kan bisa aja ada adu bacot (walaupun Mia pasti males ladenin) yang terpaksa ke OC lain. Mia kan punya stun gun, kenapa nggak digunain untuk melumpuhkan Lucas di tiap kesempatan? jadi rasa battlenya lebih kerasa.
si Kendrik sama Thomas kurang dieksplor lagi konflik dan motivasinya. kalau Mia males dengerin curhatnya Thomas, tapi seenggaknya pembaca tahu apa konflik antara kedua OC tamu ini. jadi terasa kaya yang miskin benci sama yang kaya tapi nggak tahu masalahnya apa.
gedung 10 lantai tapi terorisnya kesannya dikit. jadi kesannya ini bukan terorisme, tapi simulasi aja.
well, tapi ceritanya cukup bagus. nilai dari saya 7.
Dwi Hendra
OC : Nano Reinfield
Not enough blood nor steel...
BalasHapusNarasinya oke, karakterisasi Mia yang malesin juga oke. Sayangnya dari segi plot buat grup yang bernama "The Thinker", cerita ini tidak sesuai dengan ekspektasi (saya pribadi).
Versus reveriers lainnya hanya gitu aja. (saya gak masalah dengan lenyapnya reveriers lain, at least you got one others in—a very brief—action)
Tingkat intelegensi para teroris di sana setingkat para villains dari Home Alone.
Yang tentu saja jadi bikin saya meragukan kompetensi para polisi di sana.
Poin itulah yang membuat saya berpikir kalau tindak terorisme dan penyanderaan (yang harusnya) berskala nasional ini jadi terkesan remeh, terkesan kalau ini juga bisa diselesaikan oleh personel kepolisian setingkat polsek...
Maaf, untuk ini saya hanya bisa beri 7 poin.
Asibikaashi
"Aku percaya padamu," tapi Mia menatapnya ragu, "Oke,............
BalasHapusDi sini seharusnya Thomas yang bicara kan? Hahah gpp, saya juga ada salah ketik.
Well kita lihat overall cerita, dari segi konsep dan penyelesaian saya bisa bilang oke. Tapi, itu beneran teroris? Dan Thomas, ada denganmu percaya pada orang baru begitu saja tanpa ada alasan konkrit?
Terlebih, Grup Thinker lainnya gak muncul. saya kecewa, OC saya sama sekali gak muncul. hahaha
Yah, itu bukan masalah utama. Tapi, saya suka tindak akhirnya Mia..
Nilai: 7
OC: Satan Raizetsu
6.
BalasHapusini ceritanya luruuuusssssss ga ada belok2 ke karakter lain...
luruuussss, ga ada pembagian bab. payah nafas jadinya.
dan yes, kayak yang di atas2.
The thinkernya....
gak thinker.
oc: wamenodo Huang
HapusHm...
BalasHapusApakah Mia adalah seorang Mary Sue? Dimana dia adalah tokoh utama yang overpowered dan (hampir) ngga punya kelemahan?
Kalau dari penulisan narasi sudah lumayan oke, tapi saya masih ngerasa ini "tell" dan have no tension.
Lempeng. Datar. Kurang chitato orz
Sedikit kecewa, karena cuma Mia dan Lucas ya yang kebagian jatah disini? [saya sempet prasangka kalau Mia dendam sama Satan, tapi that's not the case]
7 dulu ya.
-Odin-