Minggu, 17 Juli 2016

[ROUND 1 - 9I] 06 - LUCAS MASOLEUM | PENYELAMATAN DI STARBRIGHT.INC


oleh : R.J. Marjan

---

The Dream

Aula Museum Semesta, lebih dari enam puluh orang tak sekalipun membuatnya sesak. Mereka berkumpul di atas karpet merah dengan kebingungan dan keterkejutan. Di dinding, di atas permadani berhiaskan benang merah dan emas, berjejer lukisan-lukisan luar biasa. Emas membingkai tiap kanvas besar yang memuat laga-laga penuh drama dan aksi. Para Reveriers.

Lucas berdiri disana, tak memperhatikan apapun selain lukisan yang memuat gambaran dirinya, baru saja menembakan pisau, dan kabel listrik jatuh di depannya. Garis listrik kekuningan yang memercik terasa begitu nyata. Disana, dengan detil terlukis gambaran dari sosok yang tengah menjulurkan tangan, menggeliat. Daniel. Lucas jelas tak menikmatinya. Juga tak menyesalinya.

Ketika mengedarkan pandangan ke sekeliling, dia menyadari tiga sosok di dekat pintu tengah mengamati orang-orang yang kebingungan ini. Salah satu dari mereka terus menjawab tanda tanya dari para reverier. Mereka tau banyak.

Dari ketiga sosok itu, Lucas mengenal salahsatunya, Ratu Huban. Kali ini, dia geram akan mereka yang menahannya dalam mimpi ini. Untuk apa? Dia tak menemukan gagasan masuk akal di benaknya.

"Apa ini? Apa maksudnya semua ini? Siapa kalian?" Dia mengeraskan suaranya.

Mirabelle, Sang Dewi Konservasi sempat menjawab sebelum gempa bumi dan pekik kesakitan melingkupi aula. Beberapa orang menatap langit-langit dengan nanar sementara tubuh mereka perlahan menjadi tanah liat. Lucas menatap Sang Dewi dengan kengerian dan tanda tanya. Yang didapatnya hanyalah kata maaf dari mulut Mirabelle. Pria necis di sampingnya tak berhenti berkilah sementara Ratu Huban, si kepala bantal malah tertawa dibelakangnya.

Kesewenang-wenangan. Sebenarnya Lucas tak begitu peduli. Dia tak peduli pada orang yang kini telah menjadi tembikar. Tapi kekhawatirannya berpusat pada dirinya. Bahkan saat rasa sakit menyelimuti semua reveriers. Lucas mengerang sakit, hingga cahaya membawanya pergi. Dia cemas.


Lucas

Mataku terbuka saat rasa sakit itu menguap dariku. Aku terbaring dengan nafas memburu. Di sampingku, seekor domba besar bergelung nyaman. Aku bangkit dan merasakan butiran pasir yang menempel di tubuhku. Tak jauh dariku, sebuah taksi terparkir menggilas sejalur ladang gandum di belakangnya.

Tempat ini, gumamku.

Jika bingkai mimpi masih sama, aku pikir lebih baik kembali ke kota untuk mencari tempat tinggal. Keadaan selalu tak terduga, aku harus menyiapkannya. Mungkin, membuat beberapa senjata cukup membantu.

Jangan tanya padaku betapa mengesalkannya pergi dari tempat itu. Aku harus membangunkan dombaku, mengendalikannya, memasukannya ke jok belakang taksi, dan membuatnya tenang. Mengemudikan taksi melewati ladang gandum juga sama mengesalkan, karena domba itu terus mengembik mengetuk-ngetuk kaca mobil dengan tanduknya seolah mengeluh rindu pada jerami yang menggunung. Kurasa dia ingin makan.

Pada dasarnya, tempat itu masih sama. Untuk pertama kalinya, aku berkendara menjelajahi bingkai mimpi. Aku menentukan mata anginku sendiri. Di utara, tempat ini dibatasi ladang gandum dan pantai. Di sisi yang lain, ada bebatuan dan jurang membatasi tempat ini.

Aku terus berkeliling, sementara dombaku makin jarang mengembik. Yang mengesalkan dari perjalanan ini adalah jalanan terus berubah dan posisi gedung-gedung silih berganti. Tempat ini masih sama, tapi ada yang terus berpindah-pindah.

Sebenarnya aku tak berniat untuk keliling kota, hanya saja aku perlu tempat istirahat yang bagus. Tidak ada siapapun di sini. Hanya aku. Lalu bayangan Daniel muncul di benaku seolah dia sedang berdiri di atas mobil hendak menebas kaca depan dengan bilah berlistriknya.

Tanganku terangkat menutupi wajahku, dan sebuah hentakan yang keras menghentikan laju taksi. Domba mengembik dibelakangku. Bersama semua itu, bayangan Daniel menghilang. Aku tersadar kalau aku baru saja menabrak lampu taman di depan rumah orang. Satu hal yang kusadari, 'Jika kau bukan psikopat, itu yang bisa kau alami setelah membunuh orang.'

Setidaknya, Daniel tidak benar-benar muncul kembali. Aku mendesah berat dan keluar dari taksi. Kubuka juga pintu belakang, membiarkan dombaku keluar. Dia cukup tenang ketika keluar dari mobil dan pergi merumput.

Apa aku benar-benar membunuh Daniel? pertanyaan itu kembali terlintas di benakku.

Untuk pertama kalinya, aku menyadari sesuatu. Di sini, di alam mimpi, kau tak akan selalu mengingat masa lalumu dengan baik. Kau juga tak akan tau bagaimana semua ini bermulai. Mimpi selalu terpusat pada satu episode. Kali ini, ketika episode mimpiku adalah terjebak di alam mimpi, aku tak benar-benar yakin apakah Daniel berniat membunuhku. Entahlah. Tapi kali sebelumnya--mungkin kemarin--Daniel jelas-jelas menantangku menuju kematian.

Terlalu banyak memikirkan dunia ini membuat kepalaku penat. Aku menggelengkan kepalaku dan berpaling menatap rumah di dekatku. Saat itu juga, aku dibuat terperangah. Lagi. Itu rumahku, rumahku di Paris. Satu blok perumahan telah berjejer dengan indah seolah telah lama berada disana. Berikutnya, aku berlari ke rumah dengan antusias.

Dalam hatiku, aku berharap akan menemukan keluargaku. Yang kutemukan adalah ruang kosong dan harapan kosong. Aku sendirian, agak kecewa. Tapi akalku bilang tak perlu bersedih, dan aku berhasil melakukannya.

Hanya perlu beberapa menit untuk membersihkan diri dan kembali berpakaian. Ajaibnya, pakaianku di Manhattan juga ada disini. Aku mengenakan celana jins biru dan kemeja putih berbalut vest hitam favoritku. Sederhana dan bergaya.

Aku membawa makanan ke kamarku dan lekas pergi berbaring di ranjang, terlalu malas untuk melakukan sesuatu. Aku bahkan setengah ingat untuk menyiapkan senjata. Mataku terpejam. Kubawa seluruh bayangan yang berkecamuk membebaniku. Dan di bingkai mimpi ini aku bermimpi. Sepotong ingatan dari kehidupan nyataku melayang-layang di benakku.

Aku tengah duduk di sofa ketika kakakku datang bersama rekannya dari pintu. Itu Daniel Corick. Sama sepertiku, dia masih muda dan begitu segar. Tapi meskipun muda, dia sudah menemukan temuan-temuan yang menakjubkan. Rivalitas kami dimulai hari itu. Kami memang berteman, dan juga bersaing.

Berikutnya muncul di benakku momen-momen ketika kami bekerja di satu lab. Adegan berpindah ketika dia bicara padaku. Sinis dengan keberhasilanku dan opini di media yang mengatakan bahwa keberhasilanku bahkan telah mengalahkan Daniel Corick dengan Mind Visualizernya. Lalu bayangan berikutnya adalah ketika dia menyabetkan bilah menyengatnya padaku.

Aku terlonjak bangun.

Sial! Kau harus berhenti dari syndrom ini! Ini tak nyata! Kau bisa saja membunuh lagi di sini! aku merutuk pada diriku sendiri.

Aku bangkit duduk di tepi ranjang dan minum segelas air ketika telepon rumahku menyala. Dengan heran aku bergegas pergi ke beranda dan mengangkat telepon.

"Permainan dimulai, Masoo!" Gadis itu, pikirku. Gadis kepala bantal. "Selamatkan orang-orang! Pergilah bersama dombamu!" Suara tawa di ujung telepon mengakhiri sambungan.

Kecemasan melandaku sampai-sampai aku membanting telepon. Dengan kalut aku segera mencari sepatu dan pergi keluar. Aku hanya membawa pisau lipat, kusimpan di balik vest. Pena kesayanganku terselip di saku celana jinsku dan cermin kecil di saku belakangnya. Di luar, dombaku mengembik menungguku. Ketika aku datang dia menyerunduk lembut padaku dan menjilat tanganku. Agak menjijikan, memang. Sudahlah!

"Well, bagaimana jika namamu..." Aku berfikir sejenak. "Hermy. Si pengantar."

Langit mendung ketika aku menunggangi Hermy menjauh dari rumah. Dia berlari seperti keledai, langkahnya pendek-pendek. Kami menyusuri jalanan dengan domba itu sendiri yang memimpin. Aku tak tau dimana dia akan berhenti.

Kami melewati jalanan di bawah Menara Eiffel, berbelok ke selatan dan berlari secepat kuda pacu ketika jalan lurus membawaku ke batuan cadas dan jurang tak berujung. Awan kelabu bergulung di hadapanku seakan Dewa Aeolus membuka mulutnya hendak melahapku. Ya, omong-omong aku suka mitologi sehingga segala bayangan mengerikan akan apa yang hendak menimpaku, berkelebat di benakku.

Aku cemas dan tanpa sengaja menjambak bulu Hermy. Dia mengembik geram. Langsung saja aku berhenti menjambak rambutnya dan merunduk memeluk Hermy ketika kami melompati cadas, makin dekat ke jurang. Di batu terakhir, Hermy menjejakkan kakinya cukup keras dan melompat ke dalam awan. Adapun aku.., berteriak seperti gadis labil yang baru naik rollercoaster.

Awan itu melahapku. Kilat menyambar udara di kanan kiriku. Melihat garis cahaya kekuningan, aku teringat akan Daniel.

The Dream

Hermy melompati perbatasan dan awan kelabu menyelimutinya. Sesaat kemudian, dia terhempas di jalanan sunyi, melontarkan penunggangnya cukup jauh ke depan. Langit di ufuk barat berkilau jingga seakan semburat senja di langit Manhattan.

Lucas meringgis nyeri sambil menggosok siku dan pundaknya yang sakit. Dia mengusap hidungnya yang membentur aspal lalu menatap Hermy yang telah bangkit berdiri. Domba itu menatapnya seolah menyuruhnya segera pergi. Sedetik kemudian dombanya melesat pergi menjauh darinya.

Tidak ada yang menyenangkan di alam mimpi, ataupun bingkai mimpi. Dan sial bagi Lucas, dia belum menyiapkan apapun sebelum tiba di sini. Dia berjalan ke trotoar dan menyusuri jalanan sejauh satu blok sebelum menyadari kejanggalan yang berada cukup jauh di sebelah kanannya.

Sekitar dua blok dari perempatan, sekumpulan polisi dan personil militer tengah mengepung sebuah bangunan tinggi. Mereka telah siaga di pos masing-masing. Mereka dibekali beragam senjata, dari mulai senapan tangan hingga laras panjang. Beberapa awak media nampak siaga merekam setiap momen yang terjadi di sana. Dengan tanda tanya, pemuda itu berlari ke arah mereka.

Di sekitar gedung, suasana terasa tegang. Terdengar suara-suara reporter melaporkan dari radius yang cukup jauh dari gedung. Sementara di gedung itu sendiri, ketegangan tak bersuara selain bunyi komando yang dihubungkan dengan walkie-talkie.

Lucas mendekat ke arah mereka lalu harus berhenti ketika seorang polisi berpaling ke arahnya dan menodongkan pistol. Sontak saja dia mengangkat tangan, menunggu dengan risau kala polisi itu berbicara di walkie-talkienya.

"Mau apa kau?"  teriak polisi itu tegas.

Lucas mengepal-ngepalkan jemarinya berusaha menyembunyikan segala kerisauan yang menekannya. Dengan suara yang tenang dia menjawab, "Aku dikirim ke sini."

Polisi itu kembali berbicara ke walkie-talkienya. Lalu bertanya lagi, kali ini nadanya lebih mengancam. "Siapa kau?"

"Aku Lucas. Emm.. Aku bekerja untuk New York Laboratory. Dan aku berniat bergabung dengan CERN kedepannya."

Mendengar jawaban Lucas, polisi itu menurunkan senapannya dan mendekat. "Pergilah ke barikade mobil yang berjejer di depan pintu masuk. Kapten Jhonson ingin menemuimu."

Mendengar demikian, Lucas berjalan cepat ke barikade mobil. Lalu menemukan seorang gadis berambut pirang tergerai, tengah duduk bersandar pada mobil. Di dekatnya Kapten polisi itu berdiri, menatap Lucas menelisik. Dia berambut pendek dengan jambang tipis dan kumis lebat. Alisnya berdekatan, salah satunya terangkat saat mengamati bocah di depannya.

"Jadi benar.., senat mengirimkan seorang ilmuan beken? Dia pikir penjinak bom kita tak cukup cerdas untuk pekerjaan mereka. Dan presiden kita malah menyetujuinya." Dia menyeringai. "Sini, Nak!"

Lucas mendekat sesuai instruksi si kapten. "Begini saja.. Aku hendak mengirim Thomas McConnor untuk bicara pada mereka. Aku mengirim Mia dan Alexine untuk menganalisa sekaligus mengendalikan suasana di dalam gedung. Dan kau akan kukirim bersama mereka, setidaknya memastikan mereka aman." Dia tertawa muram, nampak terlalu lelah melakukan semua ini.

Lucas mengangguk dan Kapten Jhonson pergi darinya. Sementara itu, gadis berambut pirang tadi masih tetap bergeming di tempatnya. Tak jauh dari mereka seorang gadis lain berjalan mendekat lalu menepuk pundak Lucas.

"Jadi.., kamu Lucas?" sahutnya. Dia melambai, lalu menyentuh kacamatanya. "Hai.., aku Alexine dan dia Mia. Welcome Dear Reverier!"

"Kamu juga?"

"Semua yang dikirim masuk adalah Reveriers. Kecuali McConnor. Kuharap kita bisa bekerja sama."

"Etahlah..," jawab Lucas seraya berpaling dan menatap gedung. Sebaris huruf-huruf besar berjejer diatas pintu utama berbunyi 'Starbright Inc.' berwarna biru. "Aku pernah punya rekan, dan aku membunuhnya kemarin. Perintah untukku hanyalah menyelamatkan orang-orang," lanjutnya.

"Kita semua begitu." Akhirnya gadis berambut pirang itu angkat bicara. Dengan malas, dia berdiri, mendekat, dan membuat Lucas berpikir dia adalah gadis pendek. "Dan senator yang mengirim kita, mungkin Zainurma atau Ratu Huban."

"Mereka..!" Lucas mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih.

Alexine menatap heran pria itu sebelum mendecak pelan. Dia meluruskan kacamatanya lalu tersenyum manis pada Lucas. "Sudahlah! Itu dia McConnor, dia menyuruh kita segera pergi bersamanya."

Babak baru dimulai ketika mereka melintasi barikade polisi dan menginjakan kaki di atrium. Dua orang serdadu teroris segera mengarahkan senapan kepada para utusan. Segera saja, dia menghentikan langkah mereka.

"Berikan senjata kalian!" pinta salah satunya.

Masing-masing utusan memang dibekali pistol sebelumnya. Demi keamanan, itu yang dikatakan pada mereka. Tapi kenyataannya saat ini, Lucas, Mia dan Alexine memberikannya dengan enggan. Ketika McConnor bergeming, serdadu yang lain menodongkan ujung laras senapan memberikan peringatan. Alexine tau polisi itu mencoba terlihat diplomatis dan sopan. Dengan senyuman palsu, McConnor menatap serdadu itu.

"Aku adalah juru bicaranya. Kau sudah dapatkan senapan kami dan tak perlu menggeledahku atau pemanduku sehingga tampak mengintimidasi. Di sini polisi masih punya kendali. Kita punya wewenang yang setara, kurasa. Aku perlu bertemu Ketua Equilibrium."

Serdadu itu mendengus ketika berpaling dan memimpin mereka ke dalam, menemui ketua. Para utusan dapat mengamati beberapa kondisi di dalam gedung. Tirai-tirai ditutup sementara hampir seluruh lampu di ruangan dibiarkan tak menyala. Padahal hari makin mendekati malam membuat dunia nyaris gelap. Para utusan dibawa jauh ke dalam gedung, melintasi koridor-koridor muram dan ruangan-ruangan sunyi. Berkali-kali mereka melewati Serdadu Equilibrium yang tengah berjaga. Hingga, ketika mereka melintasi kafetaria, sesuatu terjadi.

Cahaya redup dan bayangan memberi ruang pada Satan untuk bersembunyi. Dia berdiri diam di dekat meja bartender, menunggu. Ketika utusan-utusan itu hendak meninggalkan kafetaria, Satan melangkah dan menahan pria yang berjalan paling belakang. Dengan tangan kanannya, Satan menempelkan katana ke leher pria itu dan menghentikannya.

"Sst," perintahnya begitu lirih sebelum pria itu sempat memberontak. Ketika rombongan telah berjalan cukup jauh, Satan menariknya sembunyi dan berkata, "Halo, Lucas!"

"Siapa, kau?" tanya Lucas, mencoba tetap tenang.

"Sama sepertimu, The Reverier." Satan menekankan katananya di leher Lucas hingga guratan menyakitkan terbentuk dan mengucurkan tetesan darah.

"Jadi misimu adalah menghentikan kami, ya," tebak Lucas.

"Sama sekali tidak benar. Kenyataannya misi kita sama. Hanya saja cara pandang kita sedikit berbeda."

"Mari bicara dan jauhkan bilah itu dariku."

"Jangan melakukan hal bodoh, karena sebenarnya kita sama-sama cerdik, Lucas." Satan menjauhkan katananya. Ketika Lucas berbalik menatapnya, dia menyeringai. "Hai! Namaku Satan--atau Saizen--Raizetsu."

Baru kali ini Lucas mendengar nama macam itu, dan baru kali ini dia melihat orang seperti itu. Satan lebih pendek darinya, tapi masih dapat menjitak kepala Lucas dengan cepat jika dia ingin. Selain itu, jelas lebih berbobot. Bocah itu mengenakan seragam sekolahnya dengan syal melingkar di lehernya. Wajahnya cukup mengatakan kalau anak itu tak perlu poster yang bertuliskan, Aku orang asia. Dan matanya, Lucas bergidik ketika mendapati mata kiri satan berkilau merah.

"Bagaimana kau tau namaku?" tanya Lucas, menatap tajam matanya yang hitam. "Dan misiku."

"Alexine terlalu sesumbar mengobrol bersamamu tadi, berbisik-bisik di kafetaria ini," jawabnya sambil mendengus tak percaya. "Dan aku menyadari bahwa disini, lima reveriers, punya misi yang sama. Hanya saja Huban meletakan kita di sisi yang berbeda."

"Kau malah akan membunuh setidaknya dua ratus orang jika bersama Equilibrium, Saizen!" Sejujurnya, Lucas tak menyukai nama lain anak itu.

"Itu yang mereka katakan. Dan memang kenyataannya tiba-tiba dombaku meninggalkanku di atap. Tapi dengarkan, Equilibrium melakukan ini demi kesejahteraan orang banyak. Kendrik, Ketua Equilibrium, aku yakin dia tak akan membunuh dua ratus orang tak berdosa. Justru para polisi dan para senat akan dengan senang hari membayar kematian Kendrik dengan dua ratus orang." Terdengar begitu persuasif. Lucas menyadari daya tarik Satan, tapi dia juga menyadari kebenaran kata-katanya.

"Hanya saja.., kau juga tak bisa begitu saja mempercayai Kendrik. Equilibrium ataupun aparat sama-sama akan mengorbankan orang-orang itu jika perlu," kilahnya mantap.

"Mari pikirkan, kalau begitu. Intinya, kupikir kita bisa bekerjasama demi menyelamatkan banyak orang. Dan tentu saja, jika ini berhasil, aku menjauhkanmu dari kekalahan, Lucas."

"Kau peduli padaku atau orang-orang itu?"

"Tidak keduanya. Mereka hanya rakyat di antah berantah. Kau mungkin membantuku dan mendapat keuntungan. Tapi intinya, aku harus menuntaskan pekerjaanku."

"Kita menjadi rekan ataupun rival, akan berakhir buruk sepertinya. Terakhir kali aku punya rekan, aku membunuhnya." Lucas menghembuskan nafas berat dan beringsut mundur bersandar ke meja bartender.

"True Undecided," kata Satan sentimen. Sejujurnya, benar atau tidak, Lucas merasa itu ejekan. Hingga Satan melanjutkan, "Aku juga sama, Lucas. Aku melihat karyamu. Dan sudah pasti kau melakulan itu karena dia akan membunuhmu juga. Nampaknya, aku tak berniat membunuhmu. Keinginanmu sekarang hanya tetap hidup, bukan?"

Lucas mengerjap ragu. Yang dikatakan Satan memanglah benar. Yang menyulitkan adalah dia harus menentukan keputusan. Tentang hidupnya dan tentang keselamatan orang-orang. Sedikit demi sedikit, para reveriers mulai menganggap episode ini sebagai realitas. Ironi dan sifat dasar alam bawah sadar.

Sementara itu, para utusan polisi kini berdiri di depan lift, menunggu sepasang pintu besi itu terbuka. Masih di tempat yang sama, dalam wujud tak kasat mata sesosok jin mengedarkan pandangan dengan heran. Dia mendekat kepada gadis berambut pirang dan berbisik sesuatu. Tepat saat terdengar suara dentingan dan pintu lift terbuka, McConnor, Alexine dan serdadu Equilibrium itu memasuki lift, mendahului Mia yang tengah terbelalak. Dia memeriksa ke belakangnya mendapati Lucas memang tak ada disana.

"Ayo, Mia!" Alexine belum juga menyadari sesuatu.

"Lucas..," jawabnya mengejutkan semua orang.

"Aku akan mencarinya." Alexine bergegas melangkah keluar lift berlari kembali ke arah mereka datang.

Sebelum serdadu itu sempat mengangkat senjata ataupun mencegah hal lain terjadi, McConnor beringsut kearahnya membelakangi cctv dan menyentuhkan ujung pistol ke perutnya. "Antarkan saja aku ke bosmu."

Mia menatap Alexine menjauh ketika dia masuk ke dalam lift. Disampingnya, McConnor mendelik curiga. Dia merasa ada yang tak beres dengan orang-orang asing ini. Dia nyaris tak bisa percaya bahwa mereka dikirim pemerintah.

Ketika gadis bersamanya itu menutup lift dan menatapnya, dia dapat melihat kerutan heran di kening Mia. Mungkin Mia tak menyangka polisi itu akan mengeluarkan pistol secepat ini dan menodong seseorang dari belakang. Dengan kepalsuan, McConnor tersenyum ramah pada gadis itu.

Sama berpura-pura, Mia balas tersenyum. Tanpa terlihat McConnor ataupun Serdadu Equilibrium, si Jin Dietrich berbisik pada Mia. Memperingatkan sesuatu.

"Berhati-hatilah dengan McConnor!" Bisiknya.

Beberapa jauh dari lift, Alexine menyusuri jalur yang dia lewati sebelumnya. Dia mengendap dan menyelinap saat bertemu serdadu Equilibrium. Keberuntungan atau memang kesengajaan yang dibuat Alexine, para penjaga begitu ceroboh dan tak menyadari keberadaan gadis itu.

Alexine telah memeriksa tempat tempat yang dilaluinya dan menguping suara-suara dibalik pintu-pintu kelabu di koridor redup. Dia tak menemukan apapun selain kesunyian. Hingga ketika dia kembali ke kafetaria, dia melihat seorang pemuda dengan kemeja anak sekolahan dan vest rajut berwarna hitam, tengah mengisi gelas dengan bir dari balik meja bartender. Sekilas, keremangan membuatnya tampak seperti Lucas. Tapi postur tubuh, syal dan kemejanya membuat Alexine segera menyadari dia sama sekali bukan Lucas. Terutama, ketika dia melihat sorot tajam dari mata yang mengidap Heterochromia itu.

Satan mendelik tajam pada gadis berkacamata yang menghampirinya. Dia yakin Alexine kembali untuk Lucas. Tapi dia heran kenapa gadis itu cukup berani mendatanginya seolah mengacuhkan katana yang diletakkan di atas meja. Segera saja dia menyingkirkan botol bir itu dan meraih senjatanya, menyimpannya di samping tubuhnya dengan siaga.

Entah apa itu, yang jelas ia terheran dan merasakan ada sesuatu yang salah. Gadis itu tetap mendekat dan tersenyum. Dia melambaikan tangannya hingga ketika dia tiba di sebrang meja dia melakukan sesuatu. Satan masih belum sadar apa yang salah.

Sebaliknya, Alexine mengerahkan semua konsentrasinya menahan kesadaran anak laki-laki itu. Dia mengulurkan tangannya mencoba menyentuh kening Satan, bermaksud mengendalikan pikirannya. Namun beruntung bagi Satan. Seseorang menggenggam tangan Alexine, menahannya dan mengalihkan perhatiannya.

"Lucas!" sahut Alexine tak percaya apa yang dilakukan laki-laki di hadapannya.

"Jangan berburuk sangka dulu! Dia hanya anak SMA yang akan membantu kita menyelamatkan orang-orang," jawab Lucas.

Mendengar komentar tentangnya, Satan mengerjap dan mendengus sebal. Dia tak suka dianggap anak-anak. Selain itu, Alexine membuatnya linglung dan hampir saja merenggut kesadarannya kalau saja tidak dihentikan. Nyatanya dia mesti berterimakasih pada Lucas. Dengan marah, anak itu keluar dari meja bartender mendekati Alexine.

"Apa yang kau lakukan, Saizen!" Lucas memperingatkan.

Memang terlalu gegabah untuk membunuh seseorang di saat seperti ini. Namun Satan malah menodongkan bilah katananya hingga nyaris menyentuh leher si gadis. Alisnya berkerut dan matanya kian menyipit menampakan sorot tajam yang mengancam.

"Hey! Berhentilah!" Lucas mencoba menengahi. "Kita punya pekerjaan, Saizen! Kita harus pergi ke basement dan mulai menjinakan bom yang ditanamkan di bawah. Kita masih butuh orang untuk merusak bom di lantai atas dan jaringan kontrolnya."

"Polisi itu akan melakukannya, Lucas." Satan bersikeras.

"Owh.. Benar begitu? Jika memang iya, kau pikir Kendrik akan membiarkan dia melakukannya? McConnor mungkin akan mencoba menjinakkan bom. Tapi dia tak akan berhasil dan akan mati bersama yang lainnya. Lalu gadis yang satunya akan melakukan misi sesuai instruksi polisi, sepertinya. Equilibrium ataupun polisi sama-sama tak dapat dipercaya."

Satan masih bergeming.

"Kirim dia kembali ke atas! Dia harus memastikan keselamatan para sandera. Sementara itu, kita yang akan mengantisipasi kegagalan mereka."

Hari ini kenyataan memang menyebalkan. Satan menurunkan pedangnya sementara Lucas dan Alexine berdebat soal kebenaran. Sekarang kafetaria terdengar ribut dan bermasalah.

Hampir saja Alexine nekat menghalangi Satan. Juga hampir saja Satan menebas leher Alexine. Kalau saja tidak terdengar bunyi derap kaki menuju kafetaria, gadis itu akan benar-benar kehilangan kepalanya.

"Ada apa..?"

Serdadu Equilibrium lagi. Dengan sigap dia mengangkat senapannya, mengarahkannya pada anak-anak ini bergantian. Tak sampai di situ, serdadu ini terus mendekat.

"Halo, bung!" Satan mulai bertindak. "Kemarilah. Bantu aku! Kendrik menyuruhku berjaga dan lihat kalau aku dapat dua cecunguk!"

"Apa? Kendrik Blaire menyuruh bocah sepertimu?" dia bertanya curiga dan mengarahkan ujung senapannya pada Alexine dan Lucas.

Alexine mulai ragu pada anak ini, dia nampaknya berada di pihak teroris. Itu bukan berita bagus baginya. Sementara Lucas, tengah menatap ujung senapan dengan cemas. Dia selalu gugup dengan hal-hal yang bisa merenggut nyawanya. Namun, tak perlu waktu lama hingga Satan menyeringai pada Lucas lalu mengangkat katananya. Dia menebas putus leher lelaki yang sempat meragukannya itu.

Jika saja dia tak menutupkan tangannya di mulut, Alexine mungkin akan memekik nyaring. Dia terlalu terkejut untuk menyadari siapa di pihak siapa. Tidak ada sisi untuk Satan dan tidak ada kompromi.

"Pergi ke atas!" Satan berkata lugas.

Bahkan ketika Alexine mencoba tampak santai, Lucas bisa merasakan kebingungannya. Dia sadar gadis itu punya kemampuan luar biasa, tapi juga kekurangan yang sama besar. Matanya balas menatapnya dari balik kacamata, mengatakan dilemanya saat ini. Rasanya Lucas ingin bicara, hanya saja Satan menodongkan katana dan membuat gadis itu segera pergi.

"Kenapa kau membunuhnya?" tanya Lucas. "Pria tadi..?"

"Ayolah! Kau juga akan melakukan hal yang sama," jawabnya seraya merapihkan syal di lehernya dan mengibaskan katana itu hingga darah memercik pergi dari bilahnya. "Nah ini lebih baik."

Lucas menatap darah yang terciprat di lengan kemejanya. Pikirannya bergelut dengan konfik batin. Sambil menggulung lengan bajunya, dia menjauh dari genangan darah yang meluas. Matanya menatap tajam nekat menusuk mata merah lawan bicaranya.

"Kau tak bisa terus bertingkah seakan kau tak pernah menyesali semua itu," sindir Lucas.

"Jangan munafik, Lucas! Kau juga sama sepertiku. Kau bahkan berusaha sekuat tenaga menghilangkan bayangan derita yang kau timpakan pada orang yang kau bunuh. Satu pembunuhan membuka kelapangan untuk pembunuhan berikutnya. Hidupku sudah tergurat demikian," beber Satan dengan raut iba pada Lucas.

Sulit melawan jawaban itu. Bukan semata karena Satan pandai bicara, tapi juga karena Lucas harus menelan kebenarannya. Dengan kesal dia merampok senapan berdarah di dekat kakinya dan mendahului Satan pergi ke basement sementara anak itu menggeledah mayat si serdadu malang.

Di atas sana, lantai empat, McConnor dan Mia diantar masuk ke ruangan gelap dengan penjaga berbaris melindungi seseorang. Kendrik Blaire duduk di atas kursi menatap pendatang itu dengan antusias, sementara tangannya menyelipkan sebuah remote kontrol dengan tombol tunggal ke saku dalam jasnya.

Lucas

Menuju basemen, aku melangkah tergesa karena rasa kesal. Kalau bukan karena katana di tangannya, rasanya ingin sekali aku menonjoknya. Baiklah, aku memang pengecut. Tapi ayolah! semua katana memang mematikan. Hingga saat ini, luka di leherku masih terasa.

Sebenarnya, bukan semata hal itu yang membuatku kesal. Kebenaran kata-kata Saizen lebih aku benci dibanding apapun. Tapi tentu saja, kepalaku mengatakan untuk bersikap tenang dan logis. Jadi aku segera pergi ke basement untuk memulai aksi penyelamatan--maksudku penonaktifan bom. Dengan gagah aku menenteng senapan dan mengarahkannya ke depan dengan siaga.

Aku menuruni tangga darurat, berusaha menghindari para serdadu yang berjaga. Tak lama kemudian Saizen datang menyusul. Dia membawa botol minuman beralkohol yang masih setengah penuh di tangan kirinya sementara tangannya yang lain mengenggam katana.

Dengan sigap aku mengambilnya dan hendak menegak isinya. Sementara itu, Saizen menatapku geram. Aku menghentikan botol yang bergerak menuju mulutku dan segera bicara sebelum anak itu marah-marah duluan.

"Ada apa? Kau belum cukup umur. Biar aku coba meminumnya." Aku menyeringai padanya. Aku memang tak gemar pada minuman beralkohol, tapi melihatnya didekatku saat ini, aku tergoda.

"Idiot! Aku telah mencampurnya dengan senyawa lain. Kau bisa mati dan menjadi tak berguna."

"Apa?" Serius, ini mengejutkanku. Tapi sekaligus melegakan karena aku baru saja terlepas dari maut.

"Aku hanya perlu sumbu dan pemantik. Kita punya molotov," lanjutnya sambil merebut botol itu dariku, melangkah menuruni tangga.

"Aku punya senjata api!" Aku menjawab ketus.

" Lucas.."

"Hmm?" sahutku kesal.

"Jaga kepalamu tetap jernih!"

Baiklah. Dia benar lagi. Entah apa yang terjadi padaku, sehingga akal sehatku agak terganggu. Sambil mengikuti Saizen, aku mencoba menyegarkan kepalaku. Mulai menyusun rencana dan mengingat-ngingat tentang bom. Coba Tebak! Apa yang digunakan Equilibrium untuk meledakkan gedung sebesar ini?

Sial dan memang seperti biasa, aku selalu susah mengingat. Apalagi di saat mendesak ini, ditambah pikiranku yang semrawut. Aku tak mendapatkan apa-apa bahkan ketika aku tiba di ujung tangga dan menghadapi pintu terkunci di depanku.

Saizen meletakkan katana dan botolnya sementara dia meraih tabung nitrogen di dinding. Dengan cepat, dia menghantamkannya ke gagang pintu, berharap membukanya. Tapi pintu tak berayun terbuka.

"Hey! Apa yang kau lakulan? kau malah mematahkan gagangnya. Bukan begitu! Langsung saja pukul dan penyokkan. Yap! dan sekarang tarik pintunya. Nah! percaya padaku, kan! Jangan terlalu banyak nonton Hollywood, deh!"

Tabung merah itu dilemparkannya ke samping menghantam tembok dan berbunyi nyaring. Apa anak itu marah? Kesal mungkin. Tapi sekarang dia menatapku. Ada apa? Dan, Ya! Aku menyadarinya.

Ada penyok di dinding, seakan terbuat dari besi. Di sudut bawah di dekat tangga, ada yang aneh dengan dinding. Agak berbeda dengan bagian yang lain. Lalu kuingat bunyi nyaring yang timbul saat bernturan terjadi. Aku menatap Saizen dengan bingung. Hanya saja, dia menggeleng padaku seakan tak pedulu. Atau begitulah yang nampak darinya.

Semntara dia mengambil kembali botol dan katananya, aku melangkah masuk duluan. Satan menyusul di belakangku dan menabrakku saat aku berhenti. Cukup terperangah.

"Apa lagi?" Saizen merutuk lalu berdiri di sampingku.

"Tidak! hanya saja, tadinya kupikir akan menemukan tempat parkir alih-alih ruangan koridor penuh liku bercat putih," balasku.

"Tentu saja. Ini bisa jadi laboratorium. Ini kan kantor perusahaan produk pembersih." Saizen terdengar dongkol.

"Kenapa teroris itu begitu dungu menyandra kantor produk pembersih? Harusnya kusarankan dia menyabotase bandara."

Saizen tak menjawab.

Aku pergi mengikuti bocah Asia itu menyusuri koridor lab. Aku tersenyum puas membayangkan apa yang bisa kubuat di tempat ini. Cukup bersemangat, aku mengambil bolpenku dan mencatat beberapa hal di telapak tanganku.

Kutulis apa yang terbayang dikepalaku untuk kubuat. Bahan peledak. Zat ekstra korosif. Gas beracun. Jebakan maut. Alat penyelamatan. Dan.. Tunggu dulu! Aku harus pastikan aku mengingat apa sekiranya yang perlu diperbuat. Sayangnya, kebahagiaanku sirna gara-gara pria ceking menjijikan yang duduk bersandar di tengah koridor.

Aku berhenti melangkah sementara benakku bertanya-tanya siapa dia. Di bibirnya terselip rokok putih yang menyala. Sementara itu, mulut dan hidungnya berkali-kali menghembuskan asap rokok. Pakaiannya begitu jelek. Celana jins belel, kaus lusuh dan sepatu kets bulukan. Dia selayaknya diseret polisi karena mengganggu pemandangan.

Lain denganku, Saizen melangkah cepat kearahnya sembari mengangkat katana dengan siaga. Kulihat tangannya menggenggam erat katana hingga gurat-gurat putih di jemarinya terlihat mengkhawatitkan.

"Gold!" Kudengar Saizen masih bisa mengendalikan diri dan mengalirkan ketenangan di suaranya. Ketenangan yang mengancam.

Gold tak menatap anak itu sekalipun saat bicara. "Aku segera tau ketika Kendrik mempercayaimu dan mengizinkanmu berjaga. Lift membawaku secepatnya ke sini. Aku mengamati dan tau cepat atau lambat kau akan datang. Polisi adalah sekumpulan pecudang, dan Equilibrium adalah sekumpulan orang manja. Tapi salah satu dari mereka berlaku benar. Kau terlalu kebingungan menentukan pihak yang tepat, rupanya."

Gold menarik rokok dari mulutnya dan menyeringai. Dia bangkit berdiri, membuat Saizen berhenti berjalan. Dia menatapnya heran. Asap rokok mengguar dari sela-sela gigi kuningnya. Satu isapan lagi, lalu asap mengepul dari mulutnya yang terbuka. Gold melemparkan rokok ke arah Saizen dan berlari ke arah berlawanan secepat kilat.

Anak itu nampak tak menyadari yang akan terjadi. Tapi aku tau. Jadi, aku membuang senapanku dan berlari meraih Saizen, menariknya kembali secepat yang kubisa. Botolnya terjatuh saat aku menarik tangannya dan membawanya berlari. Namun, ledakan terjadi begitu cepat sebelum aku sempat bersembunyi dengan aman. Kami berdua terlontar dan ambruk di lantai ketika ledakan kedua terdengar diiringi api yang menyambar dinding koridor di belakang kami. Asap hitam mengepul mengotori dinding. Ledakan kedua itu, pasti dari molotov yang dibuat Saizen. Dari baunya, kukira anak itu menggunakan terlalu banyak alkohol dalam campurannya.

Kami tertatih dan mencoba berdiri. Katana Saizen terlontar jauh kedepan. Entah bagaimana, Gold sudah ada di dekatnya dan segera memungutnya. Parahnya lagi, dia mengambil senapanku. Pria itu pergi berbelok menghilang dari pandangan kami.

"Sial! Dia tak akan berhenti. Lucas, pergilah dan nonaktifkan bom sebanyak yang kau bisa." Anak itu bangkit menatap ke arah Gold pergi. Di wajahnya nampak noda-noda hitam. "Aku akan menahannya dari menggagalkan rencana kita. Dia tak akan pergi jauh-jauh."

"Tunggu!" sergahku sebelum dia pergi. "Aku tak tau dimana bomnya. Kau pikir aku harus menyusuri setiap tempat disini?"

"Ya! Aku lupa bilang," katanya sambil merogoh ke dalam saku.

Dia mengeluarkan smartphone yang sedang diisi ulang dengan powerbank. Dia menunjukkan padaku peta gedung ini dengan titik-titik merah di beberapa tempat. Aku mengerti dan segera mengambilnya dari Saizen. Segera saja aku berlari menuju tempat terdekat yang ditunjukan peta itu.

Kamar mandi. Entah apa yang dipikirkan Kendrik sehingga dia meletakkan peledak di toilet. Aku serius, peledak yang cukup besar diletakkan diatas toilet, dicor menempel di dinding. Pemicunya tak nampak dari sini. Ini terhubung dengan wireless dan aku yakin, sekali tekan Kendrik dapat meledakkan semua bom ini.

Aku naik ke atas toilet duduk dan memanjat ke papan pembatas. Yah, mematikan sinyal penghubung dengan pemicu utama cukup mudah. Yang sulit adalah tetap seimbang di atas papan pembatas toilet. Bayangkan rasa kesemutan di pantatmu dan pegal di seluruh kakimu.

Satu bom sudah diamankan.

Kutandai titik merah di denah WC dengan coretan ceklis hijau. Tetap memperhatikan smartphone, aku berjalan menyusuri koridor lagi menuju titik berikutnya. Ada enam titik lagi. Salah satunya ditandai dengan titik yang lebih besar dari yang lainnya.

Itu akan jadi yang paling sulit, keluhku.

Berikutnya, peta ini membawaku ke sebuah ruangan yang terkunci. Sebuah pintu yang akan terbuka jika ID-Card teregistrasi digesekkan ke panel pemindai. Bahkan bagiku, ini merepotkan. Jadi, aku meraih pisauku dan meraba-raba panel. Hingga aku menemukan bantalan yang menyembunyikan lubang baut. Kugunakan pisau untuk mecokel bantalan karetnya dan membuka bautnya. Ada empat baut, tak sulit melepaskannya. Karena tak sampai setengah menit, casing depan panel sudah kubuka.

Ini akan sediki sedikit lama, pikirku.

Aku mengembalikan smartphone ke layar utama dan menghubungkannya pada panel dengan USB. Aku beruntung sejauh ini. Perlu beberapa menit berputar-putar di layar ponsel sebelum aku ingat bagaimana untuk meretas pintu ini. Lalu bunyi dentingan pelan terdengar membuatku lega setengah mati. Segera saja aku mengambil ponselku kembali dan mencari bom berikutnya.

Ini ruang lab. Mungkin disini ilmuan persahaan mencari formula yang tepat untuk cairan pembersih toilet. Aku sedikit tersenyum. Ada bau menyengat dari bahan kimia yang terletak di lemari-lemari kimia. Lalu di dinding, sama seperti sebelumnya sebuah bom bertengger mengejek. Ya tuhan! ini baru basement. Belum lagi di lantai atas. Siapa yang bisa menjamin Kendrik tak akan menekan pemicu sebelum aku selesai. Aku bahkan tak yakin Alexine akan berbuat apa.

Kecemasan mulai melandaku. Ini kondisi yang amat tidak menguntungkan. Tanganku mengepal-ngepal dan nafasku memburu. Dengan sekuat tenaga, aku mengendalikan diri menumpuk kursi di atas meja dan mencoba menjinakan bom.

Berkali-kali aku hampir salah potong kabel dan menjatuhkan pisauku. Tapi akhirnya, aku berhasil. Dengan lelah, aku turun ke lantai dan mengecek smartphone Saizen. Ceklis hijau lagi!

Kali ini, mencoba meredakan rasa cemasku, aku memperhatikan sejenak pola yang dipasang Kendrik. Dalam jarak teratur dan pola yang cerdik, bom itu di letakkan. Ini dirancang agar bisa merobohkan gedung dengan satu ledakan serentak. Dan di tengah peta, sebuah titik besar mengingatkanku akan titik rawan, tempat yang akan merusak tatanan gedung. Mungkin, jika yang ini mati, gedung tidak akan hancur dan ambruk. Berantakan mungkin, tapi tidak roboh.

Jika aku benar, aku harus menjinakan dulu yang satu ini. Tapi, sebelum sempat kutinggalkan tempat ini kudengar rentetan tembakan dan letusan. Lalu Saizen nampak dari pintu menorobos masuk untuk menyelamatkan diri. Syalnya terbakar dan wajahnya kacau, ada luka di sudut mata dan bibirnya. Sebuah luka gores melintang di lengannya. Entah apa yang terjadi.

"Berlindung!" katanya sambil merapatkan diri ke tembok di sisi pintu.

Dengan kalut, kuikuti dia dan menempel di dinding disampingnya. Lalu kulihat dari lubang pintu menyembul pistol dan satu tangan Gold yang menggenggamnya. Untungnya dia tidak membawa senapan otomatis yang dia curi dariku sebelumnya. Sebelum gembel itu melangkah masuk, Saizen menendang tangannya melontarkan pistol itu dari tangan Gold. Gold nampaknya geram dan mulai mengerang seperti zombie kehausan.

Gold merangsek dengan katana Saizen di tangannya. Dia mencoba menebas Saizen dengan gerakan--yang Demi Tuhan..!--payah sekali. Anak Asia di dekatku merunduk sementara aku menahan bilah katana itu dengan pisauku. Percayalah, dia sama sekali tidak kuat.

Aku menendang tangannya, membuat pedangnya kembali terlontar hingga menancap pada kantung plastik besar yang terletak di bagian teratas rak. Senang rasanya ketika aku menjotos wajahnya membuat darah keluar dari hidungnya. Sekaligus, itu membuat kecemasan keluar dari diriku.

Berikutnya, aku mengikat Gold dengan lakban dari lemari peralatan. Sementara anak SMA itu berjuang meraih katananya kembali, aku mengecek smartphone Saizen dan meneliti jalur menuju titik merah yang paling besar.

"Kupikir kita harus mematikan yang satu ini," kataku saat Saizen bergabung denganku. "Setidaknya kita bisa mencegah gedung ini rusak total sementara polisi membawa sandera keluar."

"Ambil pistol Gold!" Saizen mengambil kembali smartphonenya saat menyuruhku. "Bagus! Dan ambil pemantik di sakunya. Yaps! Bawa apa yang perlu dan ayo pergi!"

Sebenarnya aku agak enggan menyelipkan tanganku ke celana jinsnya. Tapi aku memaksakan diri dan membawa pergi pemantiknya diiringi protes sia-sia dari gembel menyedihkan itu. Oh! Aku tak sanggup membunuhnya kali ini, jadi aku tendang saja kepalanya. Itu cukup memberiku waktu hingga dia mulai berpikir untuk meloloskan diri.

Rasanya aku berlari cukup cepat untuk menyusul Saizen. Bersama kami menyusuri koridor dan pada akhirnya kami sampai di parkiran. Wow! Tempat yang luas berisi deretan mobil. Tidak semua jelek, sih. Karena kulihat Lamborghini merah, mustang kuning dan skyline biru keren di tempat terpisah.  Gila! Mereka akan meledakkan semua ini.

Aku tak langsung melihat bom yang tercantum di peta, karena tujuh orang pria jelek berbadan kekar menahan langkah kami. Mereka punya senapan mesin otomatis yang sekarang terarah pada kami. Jadi, sebelum aku tertembak, aku tersenyum dan menembak duluan pada pria berkepala botak yang berdiri di dekat minivan hitam. Headshoot! Aku, aku berlari sembunyi dari enam pria yang menembaki kami dengan geram.

Mobil-mobil itu cukup memberiku tempat sembunyi. Aku dan Saizen terpisah dan masih sembunyi. Dengan kalut aku sembunyi di kolong mobil sedan tua yang nampaknya sudah lama tak dicuci. Sambil mengawasi langkah kaki yang lewat di dekatku aku masih menenangkan diri. Beberapa jauh di dekatku ku dengar Saizen berteriak seperti samurai cerewet. Bunyi gedebuk lalu rentetan tembakan mengiringi raungan anak itu. Baiklah, entah siapa yang mati.

Sebelum aku mengetahui kabar rekanku. Seseorang berhenti melangkah di depanku dan kepalanya melongok ke bawah mobil. Secepat yang kubisa, aku menembak tepat di keningnya. Entah berapa lagi Serdadu Equilibrium yang tersisa, pokoknya itu mencemaskanku, tapi juga memacuku untuk berguling keluar dari kolong mobil.

Kudengar beberapa orang menghmpiriku dengan senjata di tangan. Aku bersembunyi di mobil lainya dan main tembak-tembakan sejenak. Percuma! Tak ada yang kena. Jadi aku mencari cara lain. Dan melihat sesuatu di dalam mobil di sampingku, aku punya sedikit gagasan.

Aku memecahkan kaca mobil dan menarik perhatian musuhku. Aku mengambil selang air yang tersimpan di jok depan. Cepat-cepat aku membawanya keluar dan membukakan pintu mobil mencoba membuat barikade kecil. Kubobol kap penutup tank bensin lalu menghisap selang kuat-kuat mencoba mengalirkan bensin keluar.

Agak menggelikan melihat seorang serdadu datang dan melongok ke tempatku berdiri lalu kelabakan karena bensin menyembur ke mukanya. Aku menekan ujung selang dan membuat alirannya deras saat mengibaskannya kesana kemari. Orang besar itu memaki padaku dan membanting pintu mobil dampai tertutup. Tapi aku telah berlari menjauh ketika kakinya basah menginjak kubangan bensin dibawah kakinya. Lalu api menyulut kemana-mana dan BUM! Terjadi ledakan. Well, orang itu pasti mati.

Aku berlari mencari dimana Saizen. Ketika anak itu nampak di ujung blok ada seseorang mengejarnya dengan rentetan tembakan menyusul. Aku bersembunyi lagi lalu menunggu. Tapi tiba-tiba aku merasakan ujung laras senapan di belakang leherku. Sial!

Serdadu yang mengejar Saizen nampaknya telah dilumpuhkan. Ketika aku berdiri, kulihat dia sangat berkeringat dan babak belur, ada bekas peluru di bagian bawah telinga kirinya. Pakain putihnya berdarah. Dia meraih katananya yang terjatuh lalu berteriak padaku.

"Ayolah, Lucas! Itu bomnya." Saizen menunjuk ke arah sebuah kotak besar yang memuat beberapa tabung kaca panjang berisi larutan biru.

"Apa?" Aku terlalu bingung dan terkejut menyaksikan bahan peledak yang digunakan.

Parahnya  sekarang tanganku diborgol dan pria dibelakangku mengancam akan menembakku. Jadi aku hanya menatap Saizen dari tempat ini dan menyaksikan betapa terkejutnya dia menyadari keberadaan si penodong. Aku gugup. Anak itu bingung. Daia berulabg kali menatap aku dan bom itu bergantian.

Kurasakan pundakku didorong oleh si penodong. Aku melangkah ragu melihat panel rumit yang berada di bagian atas kotak. Di sekelilingnya, entah desain apa yang dibuat Kendrik. Ini cukup mengerikan bagiku. Apalagi ketika aku menyadari bahwa aku digiring mendekati bom.

Tanganku diseret sementara serdadu lain muncul mengarahkan senapannya mengancam. Klik! borgol itu terkunci menahan tanganku pada bagian belakang bom. Aku memberontak mencoba melepaskan diri. Hingga suara dering ponsel terdengar. Serdadu yang menggiringku menerima telepon dari ponsel jadulnya dan menatap temannya dengan tenang.

"Kita harus segera pergi." Kudengar dia bicara pada rekannya.

Ada perasaan tak menyenangkan ketika mereka berlalu pergi mengacuhkanku dan Saizen. Anak itu datang menghampiriku dan nampak berfikir keras. Baiklah kuakui aku agak kecewa dengan anak itu. Harusnya dia tau persis apa yang terjadi. Aku pikir dia baru menyadari kalau bom ini akan diledakkan ketika panel di bagian atas bom menyala dan menunjukan waktu hitung mundur.

"Bagaimana menghentikannya?" Saizen berteriak cemas.

"Err.. Entahlah! Aku baru melihat yang seperti ini" jawabku dengan suara lirih yang merisaukan. "Mungkin hidrogen. Atau lebih buruk. Kupikir terlalu berlebihan untuk ukuran kantor produk pembersih."

"Tidak! Nampaknya Starbright Inc. Lebih dari sekadar perusahaan produk pembersih. Ada sesuatu disini. Kau tau apa ancaman Equilibrium?"

Aku mengangguk dan merasakan hal yang cukup konspiratif melinstas di benakku. Aku ingat penjelasan Saizen di Cafetaria tentang tuntutan Equilibrium.

"Lucas, kurasa aku tau kebenarannya. Jika pemerintah menyembunyikan pabrik senjata mematikan di bawah sini, dan yang disandra adalah arsitek dan ilmuan pemerintah, semuanya lebih logis. Equilibrium ingin menghancurkan ini dan membuat pemerintah berhenti menyokong senjata militer. Kau pasti ingat misteri di ujung tangga darurat. Penyok itu."

"Jadi..," kataku ragu. "Kita mungkin tak perlu lagi menghentikan Equilibrium, jika itu benar."

Tapi mataku melebar ketika aku menyadarinya. Aku memberontak lagi mencoba melepaskan diri. Tanganku terikat. Aku belum mau mati.

"Tidak begitu!" katanya tegas. "Jika dua ratus sandera belum selamat, tidak boleh ada ledakan. Tapi jika mereka sudah diselamatkan, pekerjaanku selesai."

"Persetan! Lepaskan aku!" Saizen menatapku penuh pertimbangan.

Sial! Mataku menatapnya garang. Tapi aku tau, bahkan anak itu tak tau apakah ini sudah berakhur? Dia menghampiriku nampak akan mencoba menebas borgolnya. Memang benar kalau dia harus melepaskanku. Karena dia harus membiarkanku mematikan bom itu atau dia akan berubah menjadi tembikar.

Sebelum aku memintanya lagi dengan penuh harap, dia telah mengayunkan tangannya dan menebas. Tidak terjadi apapun. Tapi bilah katana Saizen patah seperti batangan kue stik. Menguap sudah harapanku.

"Sial!" rutukku letih. "Aku lupa bilang, sebenarya tadi katanamu menusuk sekantong penuh soda api."

Well, omong-omong aku baru sadar betul ini hanyalah mimpi. Permainan. Dan ujian. Equilibrium, polisi, Starbright Inc., Senat dan peledak ini. Ini hanyalah ilusi di benak kami. Yang siap menerkam membawa para Reveriers ke dalam limbo. Alam bawah sadar abadi yang memenjarakan.

Satu menit! Aku bingung mana yang lebih baik. Mati di sini lalu pergi le Limbo, atau tetap hidup lalu menjadi tembikar? Ini tidak lucu! Pilihan apa lagi yang kupunya? Dadaku terasa sakit. Nafasku memburu. Aku..

The Dream

Gold masih merasa marah pada Lucas dan Satan. Darah masih membekas di wajahnya dan luka membiru di kepalanya membuatnya merasa tak nyaman. Kulitnya berwarna merah lantaran tadi dia melepaskan lakban yang menjeratnya. Tapi dua cecunguk itu lupa mengambil pisauku.

Disitulah Gold Marlboro, dia telah memecahkan kaca mobil dan merangsek masuk ke dalam Mustang di parkiran. Dia telah menyalakan mesin dan tengah berjuang keluar dari barisan mobil. Ketika dia melihat Lucas dan Satan, Gold menyeringai. Dia membukakan pintu dan berteriak mengejek.

"Hoi! Gadis berkacamata-mu telah membawa semua sandera keluar. Ayo ikut pergi!"

Pria dekil itu menembak ke arah borgol yang mengunci Lucas. Harusnya, Lucas tak mencuri pistolnya agar Gold bisa datang lebih cepat, ketimbang jika harus menjarah mayat serdadu botak untuk mendapatkan pistol. Pada akhirnya, mereka harus menyelamatkan diri. Tapi bomnya harus dibiarkan meledak.
Sementara Lucas berlari mendekat sambil melongo, Gold mencium kalung semangginya. Mengharapkan keberuntungan. Atau mungkin karena suasana hatinya sedang riang.

Satan mengikuti Lucas masih tak bersemangat. Mau apa lagi? Dia tak punya mimpi ataupun harapan setinggi langit. Lolos ataupun mati sama saja baginya. Tapi lain dengan Lucas dan Gold.

Anak Prancis itu merangsek mengisi jok depan. Sementara Satan, dia berdiri di luar mobil, menutup pintu dan melambai. Anak itu tau mereka berhasil. Tapi entah apa yang dipikirannya hingga menolak pergi saat ini juga.

Sebelum menginjak pedal gas dan melesat pergi, Gold tersenyum lebar pada Satan. Tak ada yang tau bagaimana akhirnya. Mereka berdua melintasi parkiran dan keluar ke jalanan cukup cepat.

"Sial! Salah belok! Ada polisi disana " Gold agak melambatkan lajunya.

"Jangan!" cegah Lucas, membuat mobil itu kembali melesat. "Lanjut saja! Kita kehabisan waktu. Sebentar lagi akan meledak. Sedikit lebih jauh lagi."

Lucas menyadari jalanan baru saja di evakuasi. Dan dia bersumpah melihat sosok transparan di belakang Mia yang tengah mendekat ke mobil polisi. Sementara itu, polisi membawa Alexine yang teah memastikan para sandra diangkut menjauh ke tempat aman. Lalu, nampak McConnor dibopong ke arah mobil sementara dirinya penuh luka. Tak ada yang kelihatan teramat riang selain para reverier.

Melaju di jalanan, Lucas tak menyadari ada lamborgini merah mengikutinya dari parkiran namun berbelok ke arah yang berbeda menjauh dari polisi.dibelakangnya. Di kursi kemudi seseorang tersenyum sambil mengendalikan setir. Di jok disampingnya, Satan menyeringai pada si Supir.

Kendrik Blaire mendengar ledakan di belakangnya sementara dia dan Lamborghininya telah melesat jauh di jalanan. Dia meminta Satan membuka dashboard mobil dan membawakannya sekaleng Diet Coke. Mereka berdua bersulang, dan Kendrik menyalakan musik.

Berakhir. Pemerintah pasti menyetujui tuntutan Kendrik. Meski pada akhirnya Equilibrium tetap akan ditangkap karena merusak fasilitas umum dan aset negara, setidaknya akhirnya bagus. Orang-orang selamat, para reveriers masih bernafas.

Lucas

Keadaan tak pernah mudah diduga-duga. Aku sempat bertanya mengapa Gold repot-repot menyelamatkanku. Jawabannya sederhana, "Karena aku belum menyelamatkan siapapun."

Tentu saja, semua orang disini begitu. Tapi yang penting ini sudah berakhir. Pemerintah pasti menyetujui tuntunan Kendrik. Orang-orang selamat dan para Reveriers masih bernafas.

Aku menghembuskan nafas lega sementara tanganku terangkat kedepan wajahku. Kulihat salah satu mata gelang yang sempat memborgolku masih melingkar di tanganku. Agak malas, kubuka pintu mobil dan melangkah keluar menuju bangku yang terletak di pinggir jalan. Tertatih aku menghampirinya, tapi terasa menenangkan saat aku duduk diatasnya sambil menatap asap hitam membumbung di udara.

Kudengar langkah kaki kecil. Seorang gadis. Ketika aku memalingkan muka menengok ke arahnya, Alexine melambang singkat padaku. Senyuman tergurat di wajahnya yang manis. Aku tersenyum balik. Dia agak kacau. Berkeringat, berdarah dan berantakan.

Aku berdiri menatapnya makin dekat ketika dia bertanya apa kabarku. Rasanya aku bergurau dengannya seakan teman dekat. Lalu sesuatu datang mengganggu. Gold membawa mobilnya berputar dan melesat pergi dengan decit ban dan raungan mesin yang memekakkan telinga. Terdengar teriakan kurang waras dari seseorang di belakangku.

"Penghianat berengsek! Kau meledakkan gedungnya!" Thomas McConnor yang penuh luka melangkah gontai kearahku dengan tangan terangkat memegang pistol di genggaman.

Aku membalikkan tubuh.

'DOR!'

Peluru melesat sementara perutku merasakan sesuatu yang membakar dan merobek. Kuangkat tanganku menyentuh lubang berlumur darah di vest hitamku. Makin samar pendengaranku menangkap suara orang-orang menahan McConnor, menenangkannya. Tapi sempat kulihat McConnor seakan tercekik sosok tak kasat mata. Matanya membelalak sementara tangannya seakan mencoba melepaskan jeratan di lehernya. Dia nampak kehabisan nafas.

Sementara rasa sakitku kian meradang, kulihat Mia berpaling dari para polisi seakan tau apa yang terjadi dan merasa kesal. Lalu aku ambruk. Kurasakan seseorang menahanku diiringi teriakan yang melafalkan namaku.

Alexine ada di dekatku. Dia menatapku cemas. Aku balas menatapnya tersenyum. Dibalik kacamatanya, aku melihat iris yang menenangkan. Entah warna apa itu, aku tak yakin. Entah karena pandanganku yang mengabur atau memang warnanya membingungkan. Yang jelas, matanya indah.

"Tapi aku berhasil, Aphrodite Daughter!" kataku dengan mulut berdarah.

"Apa?" Dia berkata terdengar khawatir. "Jangan bicara! Kau akan hidup! Kita akan bertemu di episode berikutnya,  Lucas!"

"Charmspeak!" Aku susah payah mencoba bicara. Melawan sihir dari Alexine yang menaarikku untuk menurut. "Dan matamu! Itu biasanya hanya putri Aphrodite,  Venus."

"Tidak! Aku bukan demigod. Tetap tenang! Kau berhasil. Alam mimpi akan membuatmu tetap hidup. Kau akan pulang ke tempat kau mengalahkan musuhmu dengan listrik. Aku melihat karyamu."

"Aku tau aku tak akan mati.."

"Ya!"

Tak kudengar lagi Alexine bicara. Lampu oranye di pinggir jalanan membuat mataku sakit. Aku memejamkan mata. Malam justru terasa panas dan membakar. Aku merasakan tubuhku yang terkulai ke pangkuan gadis itu. Tapi pikiranku berisi hal lain. Sepotong memori lagi dari kehidupanku.

Daniel memberenggut padaku. Dia ingin memukulku tapi terurung karena perasaan yang kulihat di matanya. Dia menjauh dariku dan beringsut ke dalam bayangan dari rak buku di perpustakaan. Aku melangkah maju dengan marah.

"Kau jadi musuhku?"

"Lucas, sudah kukatakan bukan aku yang menghancurkan proyekmu. Hanya pikiranmu yang bilang aku penyebabnya!" Daniel berkata geram, kedengaran begitu letih. "Ingat ini, Lucas! Betapapun orang memusuhimu dan bersaing denganmu, musuhmu hanyalah kau sendiri. Kau yang tak pernah mendengarkan suara hatimu. Tapi aku tau, kau akan menaklukkannya suatu hari nanti. Dan kau akan berhenti lupa.."

Kuingat, sejak saat itu aku belum pernah baikan dengannya.

Aku kembali merasakan alam mimpi yang menyakitkan saat tubuhku serasa kesemutan dan terbakar. Kurasakan seseorang memelukku. Hanya tinggal senyumanku yang kuingat dalam kesadaranku. Dan kalimatku yang terakhir.

"Daniel bukan musuhku,"

Hari ini.. Usai.

The Dream

Tak sadar Lucas, kala dengan ajaib Hermy membawanya pulang. Awan bergulung tak menggentarkannya dalam ketidaksadaran. Dia tak mati. Dia berhasil. Dia akan hidup untuk esok untuk sebuah mahakarya dan harapan. Dia melompat lagi dalam mimpi di benaknya. Bingkai mimpi lagi.

Malam telah menjadi sunyi sementara Lucas berbaring di ranjangnya. Malam penuh bintang sementara Gold memarkir mobilnya di bingkai mimpi. Domba putihnya tertidur di jok belakang. Saizen menunggangi domba terbang diantara awan dingin dan cahaya bulan. Alexine mengingat Lucas saat menatap bintang-bintang di mimpinya. Malam kini serasa menenangkan bagi Dietrich yang menemani Mia bermain konsol di kamarnya

Mereka menanti. Sama-sama menanti esok bagi mereka yang tetap bertahan dalam mimpi.

---

>Cerita selanjutnya : -

14 komentar:

  1. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : B
    Overall character usage : B
    Writing techs : C
    Engaging battle : C
    Reading enjoyment : C

    Maaf, rasanya saya gatel pengen komentar soal teknis entri ini.

    Entri ini bertabur typo lumayan banyak, beberapa yang saya liat di antaranya :
    Tau >> tahu
    Meringgis >> meringis
    Mecokel >> mencongkel
    Melambang >> melambai?
    Berakhur >> berakhir
    Teah >> telah

    Narasinya juga lumayan jumpy, kadang" bikin bingung apa atau kenapa sesuatu terjadi. Kayak Alexine dan Mia ilang gitu aja setengah cerita (meski saya ngerti merekaa emang punya tugas lain offscreen), kenapa Lucas malah dorong Satan dan bikin botol molotov pecah (padahal kalo diem aja kan rokok Gold bisa apa?), atau pas Lucas mau jinakin bom terakhir dan mendadak ditodong serdadu Equilibrium. Beberapa bagian mesti diulang" bacanya biar saya nangkep maksudnya apa

    Ada satu paragraf yang persis diulang :
    >'Berakhir. Pemerintah pasti menyetujui tuntutan Kendrik. Meski pada akhirnya Equilibrium tetap akan ditangkap karena merusak fasilitas umum dan aset negara, setidaknya akhirnya bagus. Orang-orang selamat, para reveriers masih bernafas.'
    Berselang satu paragraf kemudian ada lagi gini :
    >'Tentu saja, semua orang disini begitu. Tapi yang penting ini sudah berakhir. Pemerintah pasti menyetujui tuntunan Kendrik. Orang-orang selamat dan para Reveriers masih bernafas.'

    Saya juga ngerasa lucu karena Lucas kayaknya sering banget excited sendiri di narasinya, berulang kali nyebut sesuatu kayak 'Yaps! Oh! Wow!'

    Oke, terlepas dari masalah teknisnya, ceritanya sih ga bermasalah dan lebih kegambar jelas daripada prelimnya. Lima orang reverier, semuanya keliatan netral, ga bener" berpihak ke polisi ataupun teroris, berusaha mencapai konklusi terbaik dari konflik di setting ini, dan endingnya emang berakhir lumayan damai untuk semua pihak. Tugasnya selesai sesuai standar ketentuan.

    ==Final score: C (7)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks uncle, Sam..
      And aku setuju.. itu fail bgt teknisnya..
      Sma ada proofreading gagal..

      Hapus
  2. Hmmm, dari misinya sih saya kira tensi ceritanya akan dibangun sejak awal misi. Tapi ceritanya baru kerasa serunya mulai dari setengah plot lebih.

    Terus ada masalah typo yang diangkat sama Sam di atas.

    Tapi begitu ceritanya masuk bagian seru, ngikutinnya juga lebih asyik, setelah sempat kerasa dragging. Endingnya juga oke.

    Saya rasa ceritanya pantas diberi nilai 7/10

    Fahrul Razi
    OC: Anita Mardiani

    BalasHapus
  3. setuju sama mas fachrul, saya juga baru bisa menikmati ceritanya dari tengah-tengah.

    hmm...pembukaannya yg fokus ke lucas dan deskriptif yg ada di sekitar lucas ntah kenapa membuat saya pngen cepet2 nglewatin bab itu. tp wkt udah masuk pencarian dan penjinakan bom saya mulai fokus bacanya.

    sayangnya pas di ending ntah knp ada yang kurang bisa saya pahami. apalagi gold yg mendadak berpihak pd lucas hanya dg alasan blm nylametin org.

    BalasHapus
  4. Jujur, ceritanya memang bagus. Bagian yang paling saya suka menjelang ending, terutama pada bagian yang menggambarkan yang dilakukan para reverier ketika balik ke alam mimpinya. Saya langsung kebayang scene film yang serupa.

    Hanya saja...
    - Bagian awal cerita, sepertinya porsi monolog terlalu banyak. Jadi agak membosankan bacanya.
    - Typo bertebaran. Yah, ini minor sih buat saya, tapi mungkin akan cukup mengganggu dan membingungkan buat awam, apalagi kalo typo yang mengubah makna katanya.
    - Saya kurang bisa memahami beberapa bagian, sehingga harus dibaca beberapa kali. Entah karena otak saya yang ga nyampe atau emang ada yang janggal sama narasinya.

    Overall Score : 8

    At last, greetings~
    Tanz, Father of Adrian Vasilis

    BalasHapus
  5. Hmm, jadi secara keseluruhan, ada perkembangan di entri R1 ini kalau dibandingkan prelim yang kemarin. Kekakuan tulisannya udah mulai hilang. Dan dialog-dialognya udah mulai lebih hidup, walau menurut saya pribadi masih ada kaku-kakunya. Sedikit, sih. Tapi gapapa.

    Yang bikin saya kurang sreg paling build-up ceritanya sih. Di bagian awal setuju monolognya agak kurang enak. Menrut saya monolognya masih bisa diakali, sih, jadi tetap bisa bermonolog yang menarik, maksud saya.

    Di pertengahan sendiri udah mulai kelihatan tensi ceritanya, dan disuguhkan akhir yang cukup oke.

    Teknis udah ditunjukkin ama rekan-rekan yang lain. Paling kalau menurut saya, narasinya aja yang diperhalus lagi. Udah mulai dekat ke narasi yang enak dibaca.

    Nilai dari saya 8

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  6. I have no idea what was going on.

    Monolog di awal udah oke buatku. Ngasi kesan fresh countryside yg rasanya tenang, asik banget suasananya. Nah, begitu masuk ke misi, di sini letak kesalahannya. Misi nggak dijelasin musti ngapain, tapi tiba2 Lucas udah tau musti ngapain dan sudut pandang pun udah ganti ke POV 3 serba tahu.

    Aku sebagai pembaca merasa tertinggal. Seiring cerita berjalan, aku semakin tertinggal jauh, makin nggak ngerti di sini Lucas musti ngapain. Ini siapa, itu siapa. Musuhnya siapa.

    Saranku, pake POV 1 secara penuh. Menurutku POV 3 serba tahunya tahu terlalu banyak tapi nggak bagi2 ke pembaca. Atau klo mau pake POV 3, pake yg terbatas.

    Selalu posisikan pembaca sebagai orang awam yg nggak tahu apa itu battle of realms, latar battle kali ini, dan juga charsheet OC. Jadi selalu jelaskan misi, bukan dengan paragraf infodump. Tapi dari bagaimana OC bereaksi dan beradaptasi terhadap latar cerita.

    I really hope i could enjoy this :(
    Dariku 6/10
    +1 because i want you to be better
    7/10

    ~FaNa

    BalasHapus
  7. jujur, saya kurang nyaman dengan pindah Pov dr 3rd Pov ke 1st Pov. Lagi asyik liat penggambaran situasi secara luas, tiba-tiba ke bawa ke pendalaman batin para tokoh utama melalui narasi sudut pandang pertama. Ibaratnya lg asyik main game, tiba-tiba berasa diseret buat main bola. Gitu deh.

    7

    BalasHapus
  8. Cowok masokis...
    ._.

    Penjabaran bingkai mimpinya mantep Um... orang kalo lagi Lucid Dream kurang lebih kayak gitu lho.

    Jalan pemikiran Lucas bikin terkesan dia kayak anak kecil polos ya. Meski dia punya semacam PTSD, tapi segala sesuatu dianggap sebagai "discovery"
    Saya agak skimming di awal-awal, karena rasanya dragging aja ngejelasin Lucas jalan2 di bingkai mimpi, terus tentang kegalauannya itu.

    Saya bisa mengabaikan soal Typo, karena udah dikomen sama Sam.

    Oh iya, pengalihan dari PoV1 Lucas, ke PoV 3 itu bikin saya bingung lho~
    Setelah adegan jinak menjinakkan (??) bom, baru saya bisa dapet konklusinya (meski ada beberapa yang harus dibaca ulang karena masih belum mengerti)
    btw, perpindahan pihak Gold itu rasanya janggal aja, atau mungkin karena kurang mendapat perhatian soal motif dan latar belakangnya.

    Point : 7
    OC : Venessa Maria

    BalasHapus
  9. Narasinya unik dan menyenangkan. Kecemasan Lucas, ancaman bom, interaksi antar karakter yang ada di sini juga cukup tergambar, well, di bagian Lucas sama Saizen banyak banget yang geli-geli bikin ketawa.

    Terus detailnya, di tiap bagian, rapi. Saya nikmatin ini sampai akhir, dan ya, akhirnya itu manis banget. Mungkin beberapa koreksi lain dari saya sama kayak komentar-komentar sebelumnya. 8/10

    Oc: Namol Nihilo

    BalasHapus
  10. Oke, saya sendiri bingung mau bereaksi apa.

    Pertama, plot dan alurnya terasa nyaman buat dibaca. Tahu-tahu, udah selesai aja. Masalah typo, terlalu bersebar di sana-sini. Tapi, penggunaan karakter The Thinker udah bagus banget. Terlebih Satan, yah mungkin cara dia ngomong kurang panjang. Soalnya biasanya dia kalau jelasin gak cukup 2-3 kalimat, haha

    Nilai:8 deh

    OC: Satan Raizetsu

    BalasHapus
  11. Aye juga ngambil settingan nyang ini,,terus kerasa banget beda di penggarapannye,,Bang. Mungkin emang lantaran ini dari grup tukang mikir,,kayaknye setiap mau begono-begini kudu dipikirin dulu tahapannye..jadi kurang banyak aksi.

    Tapi secara cerita nih Bang,,udah kerasa solid banget. Kesampean deh apa yang diceritain gitu. Tinggal kasih lebih banyak adegan yang lebi nampol aje kalo pendapat dari aye nih Bang

    Ponten dari aye 9,,Harum Kartini karakter aye

    BalasHapus
  12. Plotnya Lucas mayan bagus juga ya. Saya kira bakal boring di awal eh tapi pas ke tengah lumayan menarik, apalagi di endingnya Lucas juga kena tembak. Hhaah

    Logikanya ga salah, yang penting ga mati aja sih. Dying selama masih napas ya gapapa, lol.

    Mungkin agak beda dengan most commentary di entry ini... Saya malah ga masalah sama perpindahan POV selama jelas ditunjuk.

    Oke, ini soal Lucas. Jadi kalau Partnya berjudul Lucas, jadi POV 1 pun ga masalah, meanwhile yang Part dengan nama lain pakai POV 3

    "We can read things through Lucas Eyes"

    untuk alasan Gold sendiri, meski agak 'maksa' tapi ga masalah buat saya, toh interpretasi author.

    Lumayan ringan sih,

    8


    -Odin-

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.