Jumat, 20 Mei 2016

[PRELIM]16 - MBAH AMUT | SEBUAH KEHILANGAN

MBAH AMUT
oleh : Énryuumaru

--



Catatan: Mungkin akan ada kekerasan, sindiran keras, dan lawakan garis keras. Éntri keras inti ini harus dibaca dengan pengawasan yang berwawasan dan bertenggang perasaan. Aslinya diniatkan untuk tertawa, tapi bisa jadi malah bikin kecéwa. Tak apa, yang penting waspada sebelum membaca.

=========================================================
=========================================================

Hai kamu,

Ya, kamu.

Kamu yang di sana.

Kamu keberatan tidak bila aku mengajakmu untuk duduk bersamaku?

Hah? Untuk apa, katamu?

Aku bosan.

Aku terkurung di sini lama sekali, di sini sangat sepi. Dan aku tak bisa melakukan apa-apa selain mengamati. Apa? Kau takut aku memakanmu, katamu? Oh, ayolah... di ruang imajinér ini memangnya aku bisa apa, sih? Lagipula di sini aku ingin berbagi denganmu. Berbagi sebuah tontonan yang mungkin akan menyenangkan, atau mungkin membosankan, tergantung bagaimana kamu menilainya.

Jadi, sudikah kiranya kamu duduk di sini bersamaku dan menonton di sini? Sambil menonton, kita bisa tebak-tebakan, walau aku tak bisa kasih hadiah untuk kamu. Tapi lumayan untuk menghabiskan waktu dalam kekosongan ini.

Kenapa kamu bisa ada di sini? Kalau mau tahu, kamu juga bagian dari kekosongan ini, sama denganku. Jadi tak ada gunanya lari dari kenyataan dengan tidur atau apapun caramu melakukannya. Kau akan selalu ada di sini, bersamaku, terjaga oleh kehampaan yang tak bisa diukur oleh satuan buatan makhluk. Kita akan selalu di dalam kekosongan ini.

Hmm, menonton apa, katamu?  Kita akan melihat sebuah cerita. Tentang apa? Aku juga tak tahu. Yang pasti kita akan selalu menonton cerita-cerita baru, atau mungkin cerita lama yang diulang kembali. Entahlah, aku terlalu banyak menonton, jadi lupa.

Haha, akhirnya duduk juga. Aku tidak menggigit, kan? Kalau begini dari tadi kan énak, toh?

Tenang, tenang. Tontonannya belum mulai. Sabarlah sedikit.

Ngomong-ngomong, maaf bila aku meracau selagi kita menikmati tontonan ini, tapi racauan ini yang membuktikan bahwa aku ada, seperti kamu, yang ada di sini. Lagipula biasanya racauanku ini adalah racauan tentang tontonan kita nanti, anggap saja koméntarku ketika sedang menonton. Dan juga, di sini sepi. Aku bosan kalau sepi. Aku yakin kamu akan bosan kalau diam saja, karena aku begitu. Mungkin sebaiknya kau ikut meracau juga bersamaku.

Éh? Apa? Kamu mendengar suara? Bersiaplah kalau begitu, tontonan kita baru saja dimulai. Saatnya duduk manis dan menyaksikan apa yang terjadi.

//...Ré...verier...//

//...ha...karya...lam...//

//...mimpi...//

Hmm, ya, kau benar, suaranya masih samar-samar. Apakah yang kita lihat sama? Aku melihat sesosok tinggi kurus dan satu sosok yang sangat péndék, seperti anak kecil. Kamu lihat juga? Gambarnya samar sih, jadi aku tidak yakin. Oh, kamu juga? Kukira mataku sudah rabun.  Ternyata memang gambarnya tidak jelas.

Ya... mau bagiamana lagi? Kalau seperti ini, kita hanya bisa menunggu saja. Bagaimana nantinya itu pun aku tidak tahu. Seperti kataku tadi, tua bangka ini hanya bisa mengamati, kau tahu?

Apa? Kepalamu sakit?

Aku juga.

Kadang kepalaku suka terasa berputar. Padahal aku tidak berpikir apa-apa, tapi kepalaku suka tiba-tiba pusing sendiri, sakit, nyut-nyut sama cekit-cekit gitu. Lucu, kan?

Hmm, tontonannya menghilang. Sekarang kita hanya bisa menunggu sampai ada tontonan baru.

Mémang begitu adanya. Kita menunggu ada tontonan, nonton sampai selesai, setelah itu menunggu lagi. Aku ingin protés, tapi protés pada siapa? Di sini tak ada siapa-siapa selain aku dan kamu.

Hah? Ada angin, katamu? Aku dengar suaranya sih, tapi tak mungkin ada angin bertiup di sini, ngawur aja kamu. Bisa jadi kita akan dapat tontonan baru.

“...mut...”

“...”

Ah, suara perempuan.

Kamu bisa merasakannya?

Entah kenapa menurutku suara perempuan ini membuatku sakit. Hmm, bagaimana ya, bukan sakit juga sih, tapi aku begitu muak setiap ada suara perempuan ini. Mungkin kamu merasa juga, atau mungkin tidak.

Ya, suaranya memang lembut, penuh kasih sayang. Tapi aku merasa séntimén setiap perempuan ini berbicara. Entah, mungkin orang tua sepertiku hanya bisa muak dan muak pada sekitarnya.

Ah, tunggu! Gambarnya jadi jelas. Yang berbicara adalah seorang pendéta wanita, dengan tudung bermahkota dan jubah putih tanpa noda. Rambutnya bagus. Putih dengan bayang emas di ujungnya. Tongkat emas kotak-kotak berdiri tegak.

Aku benci dia.

Kenapa? Aku rasa itu bisa diceritakan nanti. Sebaiknya kamu lihat ke sana.

“Amut...”

“...Syu?”

Hmm? Kamu bingung kenapa ada naga tua punya rambut dan jenggot beruban? Katanya naga bisa punya rambut dan jénggot. Jadi harusnya wajar. Kalau codét di badan itu wajar. Namanya petarung tapi tak ada codétnya masih belum lengkap. Bukan keharusan, tapi codét itu bisa jadi bukti dan saksi kalau mereka pernah bertarung. Mungkin begitu. Aku juga tidak begitu mengerti. Tapi aku hanya merasa codét itu perlu.

Ha? Tak apa. Mungkin kamu ada séntimén juga, sama seperti aku. Biarkan saja. Kalau séntimén terlalu dipikirkan, nanti kamu juga tidak nyaman. Biarkan saja, nanti juga reda dan tak terasa.

Ya, masih tidak terlalu jelas gambar dan suaranya, tapi kelihatannya meréka berdua sedang berbicara di tengah-tengah ruang putih kosong.

“Maafkan aku, Amut...”

“Hah? Kenapa, Syu?”

“Sekarang aku harus pergi, Amut. Ada yang harus menghadapi takdir besar ini.”

“Tunggu. Maksud kamu téh1 apa?”

“Maaf Amut, aku harus pergi. Aku titipkan yang lain padamu.”

Sedih? Iya, sedih. Meréka berdua mulai menangis, tapi kita di sini tak mengeluarkan setitik pun air mata, padahal ini saat-saat sedih, kan? Aku pun masih tidak mengerti kenapa.

“Syu... ai2 kamu téh ngomong apa?Amut gak ngerti!”

“Akan ada banyak kehilangan, Amut. Harus ada yang mencegahnya sebelum kita kehilangan semuanya. Aku titipkan semuanya padamu.”

Ah, wanita itu pergi. Ia berjalan menjauhi si naga. Sementara naga yang namanya Amut kelihatan masih bingung dan tak mengerti maksud si pendéta. Tapi aku punya firasat, apa kata si péndéta itu benar. Cepat atau lambat, sepertinya akan ada banyak kehilangan. Tuh, pendéta itu saja mulai menghilang.

Si naga mulai mengejar, tapi ia sudah tua, ia lari juga seperti kura-kura. Lambat sekali. Hahaha. Hmm? Ya, bisa juga sih. Mungkin mémang si pendéta terlalu cepat jalannya.

“Syu! Tunggu atuh3! Amut masih gak ngerti maksud kamu!”

“Syuuuu! Tunguuu!”

Kata orang, kalau kita mengejar sesuatu, kadang sesuatu itu makin menjauh sampai tak bisa kita capai. Kurasa itu ada benarnya juga. Kamu lihat itu? Sekarang sosok Syu sudah tak ada. Hanya ada Amut sendiri di sana, sedang ngos-ngosan.

“Syu... maksud kamu téh apa...?”

 Waduh,

Sekarang gambarnya jadi kabur. Dan tiba-tiba silau.

Aku ingin tutup mata tapi tetap saja silaunya tembus. Aku tak bisa lihat apa-apa.

Dan tiba-tiba gelap.

Terus bagaimana, katamu?

Kita hanya bisa menunggu.

Kalau ada catur atau gapléh4 mungkin akan lebih énak bila sedang menunggu seperti ini. Kamu setuju tidak? Aku ingin sekali main gapléh, mendengar suara “bletak!” dari kartu yang beradu. Atau mungkin kamu lebih suka main karambol5...?

Yah, tapi mau berharap seperti apapun, kita tak bisa main apa-apa untuk melewatkan senggang yang kita jalani di sini. Sudah kubilang kan, kita di sini hanya jadi pengamat. Pengamat yang sejati dan abadi.

Hmm? Abadi itu berapa lama, katamu?  

Selamanya.

Selama kamu masih bisa merasa ada di sini.

Kalau kamu sudah tidak merasa ada di sini ya sudah, kamu tidak ada. Terus aku akan sendiri lagi di sini. Sesederhana itu.

Wah... kamu dengar tidak?

Rasanya tadi aku mendengar sesuatu, apa kamu dengar juga?

Hmm? Iya, sepertinya mémang suara perempuan, tapi aku juga tak yakin itu suara si pendéta. Yang pasti aku mendengar seorang perempuan memanggil Amut berkali-kali, yang kamu dengar sama denganku, kan?

Minta tolong? Iya, sepertinya dia minta tolong.

Coba lihat itu, gambarnya muncul lagi...

Si naga tua itu lagi rebahan, kan?

Benar rebahan, kan?

Kelihatannya ia terdampar di tanah bertabur rumput abu. Di depannya ada hutan dengan pohon-pohon yang daun-daunnya layu. Langitnya hijau dan abu penuh dengan gemerisik warna-warni. Nun jauh di sana ada sebuah tugu batu menjulang tinggi. Tinggi sekali. Kamu dengar suara bergetar di bawah tanah? Ya, sepertinya ada gempa kecil di tempat ini, tapi bisa jadi juga itu hanya perasaan saja.

Wah lihat, matanya terbuka. Sambil lihat sana-sini, dia berdiri.

“...Ini téh ada dimana...?”

Jangan tanya aku. Dia saja bingung, apalagi aku.


=========================================================
=========================================================

Amut masih linglung. Mungkin ia masih belum sadar sepenuhnya.

Maklum, orang tua. Kalau aku tidur juga ketika bangun kadang-kadang masih suka bingung. Bingung kenapa? Aku juga tidak tahu. Lebih tepatnya, aku lupa kenapa.

Mungkin anéh bagi kamu, tapi aku merasa tempatnya Amut sekarang berada itu lumrah. Ya, pemandangannya memang anéh. Tapi aku kenal betul pemandangan itu. Seperti, tempat ini pernah ada di suatu tempat, tapi bukan di sini. Apa kamu merasakannya?

“Tempat ini téh rasanya kenal... tapi di mana, ya? Tempat ini nggak asing, tapi rasanya béda... kenapa ya...?”

Ya wajar kalau dia celingukan. Orang bingung pasti celingak-celinguk sana-sini walau masih tidak mengerti apa yang terjadi. Dia sama seperti kita, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bisa jadi, sih, tapi aku tidak yakin kalau Amut langsung bertarung, kita lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya.

Dia mulai berjalan, setiap jengkal tanah pijakannya disusur sampai ujung, yang tak lebih dari jurang besar, yang memisahkan tanah bergetar dengan langit hijau abu bertitik warna-warni di atasnya. Aku juga tidak mengerti kenapa bentuk tempatnya harus begitu, tapi aku merasa jéngkél, sama seperti Amut di sana.

Yang lebih membuat jéngkél lagi adalah getaran tanahnya jadi makin keras, membuat Amut bergoyang dan hampir jatuh ke langit tanpa batas di ujung jurang. Untung saja Amut bisa berkelit, jatuhnya jadi ke belakang, bukan ke depan. Kalau nanti Amut jatuh ke sana, aku rasa nanti tontonannya selesai begitu saja. Dan aku rasa tak akan ada tontonan lagi. Jadi kita akan selamanya di sini tanpa hiburan. Aku rasa begitu.

Hmm? Apa? Tempat kita ikut berguncang tadi? Yang benar? Aku tidak begitu merasakannya. Mungkin perasaanmu saja. Tapi harus aku akui, sekarang tontonannya mulai seru.

“Apaan ini?! Tambah kenceng gempanya!”

Goyangan gempanya makin dahsyat. Aku rasa kau benar soal tadi. Aku bisa merasakannya.

Oh, lihat, Amut tiarap di atas tanah sambil menggenggam rumput abu.

Aku rasa ia tidak ingin bergésér ke ujung jurang. Uh, aku juga tidak mengerti kenapa Amut harus melakukan itu. Mungkin ia ingin bertahan hidup. Lagipula, aku yakin kalau semua makhluk akan melakukan apa saja agar bertahan hidup, bagaimanapun keadannya. Kamu mengerti, kan? Aku rasa kamu dan aku bisa setuju mengenai pentingnya kelangsungan hidup.

Hmm, guncangannya mulai reda.

Sementara itu Amut masih tiarap sambil memégangi rumput sabana. Mulutnya bergerak kecil seperti komat-kamit tidak keruan. Menurutmu ia berdoa atau hanya sekadar komat-kamit agar bisa melupakan gempa tadi?

Gusti nu agung6. Ini téh ga jelas amat tempatnya. Ga ada siapa-siapa lagi.”

Setelah bangun, Amut mengeluh, seperti orang tua pada umumnya. Kalau kamu sudah tua, wajar kalau kamu banyak mengeluh. Kalau sudah tua kan ya jadi payah. Kalau masih muda kamu harusnya masih bisa berusaha.

Tuh lihat, Amut yang sudah tua saja tidak menyerah, ia kembali menyusuri sabana abu dengan penuh waspada. Kita kan tidak tahu, bisa jadi nanti ada gempa lagi, atau mungkin ada naga yang lebih besar dari Amut, atau mungkin nanti malah ada wanita cantik léwat. Kemungkinan selalu ada.

“Woooi!”

“Uwwoooii!!”

“Ada oraanng nggaaaakk?!!”

Wajar kok dia teriak, namanya tempat asing kan tidak ada yang tau kalau ada makhluknya atau tidak. Amut itu cuma memastikan saja. Hah? Suaranya mirip gélédék? Ya wajar, naga memang suaranya seperti itu. Mungkin buatmu suaranya adalah suara monster, tapi buat kalangan naga, suara seperti Amut itu suara milik yang tampan rupawan. Itu juga katanya, sih. Jadi aku bisa saja asal bicara. Tapi selemah-lemahnya suara naga itu adalah sebuah kelantangan dan kemantapan penuh wibawa. Mémangnya kamu pernah dengar naga mencicit seperti tikus?


Panggilan Amut sejauh ini hanya dijawab gempa dan angin saja. Tapi dia tidak terlihat putus asa. Katanya makin tua jadi makin sabar dan bijak.

Amut masih seperti tadi, menyusur sabana sambil teriak-teriak, berharap ada yang mendengar panggilannya.

Kamu tahu? Kadang aku juga suka seperti itu di tempat ini. Memanggil seseorang atau sesuatu, berharap di tempat ini bukan aku saja. Sekarang kamu ada di sini, aku jadi tidak begitu kesepian. Tapi mungkin kamu akan menghilang lagi, seperti yang sudah-sudah. Ya, kadang kamu tiba-tiba menghilang, lalu kamu muncul lagi. Terus seperti itu.

Usaha Amut sepertinya sia-sia sejauh ini. Sudah hampir jatuh di ujung barat, ujung selatan dan ujung timur juga tak ada makhluk hidup yang terlihat. Kalau sudah tiga penjuru, berarti tinggal satu yang dituju.

Tugu raksasa yang ada jauh di utara.

Sepertinya memang tempat itu yang bisa menjadi jawaban dari semua ketidakjelasan yang ada di sini. Ya, aku setuju denganmu. Seharusnya Amut langsung saja pergi ke arah tugu yang mencakar langit di ujung sana sedari awal. Lagipula, tempat yang paling menonjol dari semua pemandangan di sana ya tugu itu.

Heuh... bener juga, kenapa ga langsung ke ujung sana aja, coba? Dasar Belo’on7...”

Sambil terkékéh-kékéh, naga tua berjalan ke arah tugu yang dari tadi bergetar hébat. Sekilas aku merasa tempat ini luasnya tidak terkira. Besar sekali, kan? Tapi setiap Amut melangkah, jarak satu jengkal itu rasanya béda-béda semua. Kamu sadar tidak akan hal itu? Kadang satu langkah Amut bisa seperti sepuluh menit perjalanan, kadang bisa sejauh langit ke bumi, kadang malah tidak terasa seperti sebuah langkah sama sekali. Kalau kamu merasakan hal yang sama, berarti tempat Amut berada mémang tidak bérés. Tapi bisa jadi itu hanya perasaanku saja. Ya, namanya orang sudah tua jadi gampang merasakan apa-apa.

Oh, Amut sudah sampai ke hutan berpohon layu? Tak terasa, ya? Tahu-tahu dia sudah ada di sana saja. Pohon-pohon layu di sana daunnya gugur, terbang kemana-mana. Angin menyulap daun-daun dan debu jadi kabut warna-warni yang baunya agak wangi.

Mimpi? Bisa jadi. Toh aku juga sudah tak tahu mana yang asli dan mana yang hanya mimpi. Aku hanya bisa menjadi saksi di sini.

Kabut ajaib itu sepertinya bukan jadi halangan untuk Amut, dia masih saja berjalan melewati pepohonan. Kalau aku jadi dia, ya aku lebih peduli tempat tujuan dibanding gangguan kecil seperti kabut ini. Wajar, pastinya dia penasaran, dan tentu butuh jawaban dari semua ketidakjelasan yang ada di sana. Kamu juga ingin tahu kan apa yang sebenarnya terjadi?

“...saté!!”

Hah? Apa?

Iya, iya, aku mendengar ada yang teriak dari kejauhan. Akhirnya ada makhluk juga. Memangnya tidak bosan menonton naga tua jalan-jalan sendirian? Tapi karena masih belum jelas apa atau siapa yang teriak, Amut hanya bisa memperhatikan sekitarnya dengan seksama, mencari sumber suara yang bersembunyi di balik angin dan daun-daun terbang.

“…spatuUUW!!”

Suara nyaring yang samar-samar terdengar lagi. Suara yang melengking tinggi rasanya tak asing di telinga Amut. Sepertinya Amut tidak bisa ingat, tapi ia kenal betul suara itu.

Itu suara milik orang yang ia kenal.

“Woooiii!!”

Si naga balas berteriak, berharap suaranya didengar makhluk yang berada di tengah-tengah hutan ini. Kabut daun dan debu warna-warni menjadi penghalang suara Amut, jadinya ya samar-samar seperti teriakan tadi.

“…caaAANG!!”

Suara tadi jadi terdengar lebih keras dan jelas. Tahu artinya apa? Ya, jarak mereka jadi makin dekat.

“WOI! ADA ORANG GAK?!”

“TELORR!!”

Isi kepala Amut serasa gatal. Saat kata telor disebutkan, ia ingat sesuatu yang sangat, sangat, tidak asing baginya. Tapi ia tidak bisa mengingat lebih jauh, selain mengingat balasan yang tepat untuk menyahut panggilan tadi.

“KACAAAANG!!”

Sepertinya Amut memutuskan untuk berteriak sekencang-kencangnya. Suaranya persis seperti gelédék menyambar. Suara di seberang juga tak mau kalah dari suara Amut. Teriakan keduanya sama-sama menggelegar.

“TELOOOORR!!”

“KACAAAANG!!”

“TELOOOORR!!”

“KACAAAANG!!”

“TELOOOORRR!!!”

“GARUDAAAA!!!”

Daun dan angin takluk oleh teriakan dua makhluk yang bersahutan. Akhirnya keadaan jadi sangat hening. Hanya samar-samar getaran tanah terdengar di bawah. Amut kembali berjalan, mendekati langkah kaki yang mulai kedengaran dari depan.

Ya, cukup mendebarkan. Bisa jadi ini sebuah pertarungan. Ya, bisa jadi.

“Wah, beneran si embah. Kirain apaan...”

Dari belukar lesu di antara pohon yang sudah tak berdaun, melangkah seorang pemuda tinggi, namun tak lebih tinggi dari si naga, masuk dari utara. Tapi dibandingkan seorang pemuda, aku lebih suka menyebutnya seorang mayat hidup.

Kamu tidak lihat? Sudah kulitnya pucat, rambutnya putih acak-acakan, wajahnya seperti orang berdarah-darah, tangannya yang diperban juga warna mérah. Belum lagi giginya taring semua. Aku tidak yakin makhluk itu termasuk dalam golongan orang. Kamu tahu siapa dia? Tidak? Oh, tak apa. Amut juga sepertinya tidak tahu makhluk yang léwat ini apa.

Amut sudah melihat mayat hidup ini dari ujung rambut ke ujung sepatu, lalu bolak-balik ke baju tanpa lengannya yang warna abu dan celana hitamnya, matanya terus bolak-balik melihat sosok itu. Dan tetap tak ada yang bisa ia ingat. Masih terlalu rancu, sepertinya.

Ai kamu téh siapa?”

Sosok itu mukanya langsung menjadi cemberut. Rajah di keningnya jadi berlipat-lipat. Sepertinya dia tahu akan begini jadinya, dan itu membuatnya tidak senang.

“HAH?”

Dengan nada tinggi lelaki itu bertanya kehéranan. Sambil mendongak,ia menatap Amut dengan pinggang berkacak. Tatapannya berani, seakan-akan sosok itu satu pijakan dengan si naga. Anak-anak jaman sekarang tak tahu sopan santun, ya?

“Mbah lupa beneran apa pura-pura lupa?”

Yang ditanya malah senyum-senyum sendiri sambil menggaruk kepala.

“Ih, bener, mbah gak inget kamu téh siapa. Mbah tau mbah kenal ama kamu, tapi mbah ga bisa inget kamu siapa.”

Rahang sosok itu seperti lepas. Mukanya dibenamkan ke telapak tangan berbalut perban. Sepertinya dia mémang sudah menyangka akan seperti ini keadaannya.

Maklum, orang tua.

“Astajim, mbah... segini blangsak mbah ga inget?!”

Sosok itu menunjuk mukanya berkali-kali agar amut bisa ingat, tapi Amut tetap saja garuk-garuk kepala. Sulit mengingat orang kalau tahu wajah tapi tidak tahu nama. Apakah kamu suka begitu?

“Coba sebut nama, siapa tau mbah bisa inget, sép8.”

“Ini abi9 téh Nwu Ghé Llo, mbah.”

Kali ini giliran Amut yang wajahnya mengkerut. Ia tidak percaya dengan apa yang ia dengan barusan. Kalau sosok tadi héran saja, Amut ini sangat kehéranan. Orang tua mana yang memberi nama anaknya Nugélo10?

“Hah? Nugélo?”

“Iya mbah, abi Nwu Ghé Llo.”

“Nama kamu téh Nugélo, sép?”

Amut mengulang pertanyaan itu karena saking tidak percaya kalau sosok yang ia jumpai bernama Nwu Ghé Llo. Sosok yang mengaku bernama Nwu Ghé Llo membenturkan keningnya pada telapak kanannya berkali-kali karena sudah cukup muak “dipermainkan” oleh si naga. Pada akhirnya, ia memang bertingkah seperti Nugélo yang sungguhan. Berteriak-teriak sambil berjingkrak, dan menggerakkan tangannya kemana-mana.

“HARUS BILANG BERAPA KALI EMBAH PIKUUUN?! IYA NAMA SAYA TÉH NUGÉLO! NUUGÉÉLOO!! NWU, GHÉ, LLLLOOOOO!!”

Setelah Nwu melakukan hal tersebut, baru Amut ingat siapa dia. Ia adalah salah satu muridnya yang paling liar dan sulit diajar. Tapi walau begitu, Amut mémang merasa ada ikatan batin yang kuat antara ia dengan Nwu. Tapi ia masih tak bisa ingat apa yang membuat Nwu berharga bagi Amut. Si naga tua hanya tertawa ha ha ha sambil menunjuk si pemuda.

“Oh iya, kamu teh Nwu Ghé Llo ya!”

GUSTIII NU AGUUUNG!! BARU SADAR SEKARANG MBAAAH!?”

Aku baru tahu kalau orang bisa menghilangkan rasa kesalnya dengan menjambak rambut kuat-kuat. Mémang bisa ya? Tapi akhirnya cerita ini jadi tak membosankan. Kamu setuju kan kalau apa yang kita tonton sebelumnya cukup membosankan?

Ya, kurasa begitu.

“Aih, Nwu! Kamu téh di sini juga?! Kok bisa?”

“Mana tau, mbah!? Mbah sendiri kenapa bisa ada di sini?!”

Bentakan Nwu seakan membuat tanah di bawah jadi marah. Sepertinya gempa lagi.

Tapi tunggu sebentar... gempa kali ini tak sama dengan gempa-gempa sebelumnya. Memang tidak sekuat yang sebelum-sebelumnya, namun kali ini, retakan-retakan muncul dari permukaan tanah, seakan tempat mereka berpijak jadi pecah. Langitnya juga jadi kusut, berbagai macam warna bertumpukan jadi satu dan membuat pusaran warna-warni yang membuat sakit mata.

Matamu sakit? Ya, mataku juga sakit. Tapi sepertinya ini adalah awal dari sebuah tontonan yang menarik. Kita tak bisa melewatkannya.

“Mbah! Tugunya pecah!!”

GUSTI NU AGUNG!!


=========================================================
=========================================================

Sampai di mana tontonan kita tadi?

Oh iya, tugu pencakar langit itu pecah bersama dengan tanah dan langitnya. Coba kita lihat lagi...

Wah... lihat, sekarang tanahnya jadi berkeping-keping. Amut dan Nwu kebetulan masih satu pijakan, di antara keping-keping tanah yang melayang. Sementara tugu yang pecah itu mengeluarkan cahaya mérah hitam sambil berdenging sangat nyaring, sampai aku yang mendengarnya jadi pusing.

Cahaya itu berubah jadi bentuk, sementara tugu yang tadinya jadi bungkus kini jadi bubuk. Dan kini bentuknya menjelma menjadi sesosok makhluk. Makhluk yang besar dan tinggi melebihi tugu yang tadinya mau dituju.  Bentuknya seperti manusia tapi serangga, dengan tempurung seperti batu karang dan tiga pasang lengan panjang. Sayapnya panjang dan dua pasang. Di tengah badannya ada wajah, dan di kepalanya ada dua wajah.

Wah, wah, wah. Seram tidak menurut kamu? Menurut aku sih cukup seram. Mirip sétan-sétan di dunia sana itu, lho...

Baik Amut maupun Nwu tak gentar, justru kemunculan makhluk itu membuat keduanya seperti dilanda amarah membara. Sosok itu tak asing bagi mereka, lebih tepatnya, bagi si naga tua. Ia pernah melihat, bahkan berhadapan langsung dengannya. Suara desis si manusia serangga yang basah membuat Amut makin menggeram dalam marah.

“Mbah! Itu...”

“Darek Pales...”

“Apa?! Mbah sérius itu DAREK FALES?!”

“Iya, Nu. Itu Darek Pales.”

“DAREK FALES yang itu?!”

“Bukan yang nyanyi. Yang nyanyi itu Iwan Pales.”

“Mbah! Saya téh nanya sérius malah dijawab lawak! Gimana sih?!”

“Iya, Nu. Makhluk itu, Darek Pales, yang dulu bikin kekacauan di Pana...”

Baik Nwu maupun Amut masih adu tatap dengan wajah raksasa yang terpampang di ujung utara. Mungkin meréka sedang berusaha mengenal satu sama lain? Tapi yang ini tanpa basa-basi sebut nama. Mémang kalau mau bertarung harus kenal dulu siapa kamu siapa saya? Oh, tidak. Itu konyol. Kalau mau bertarung harusnya langsung diadu saja, kan?

Lagipula kalau diajak bicara, makhluk raksasa itu hanya bisa tertawa dan bicara seperti orang kumur-kumur.

“Cwakcwakcwakcwakcwakwrkwkwkrwkrwrwrrrwrrwrrrr!”

Tuh kan, ngomongnya cikiwe-cikiwer-wer-wer begitu.

“Mbah, awas!”

“Waduh!”

Untung Nwu sudah siaga dari awal, ia sadar Darek Fales—sosok manusia serangga yang tadi diceritakan—sudah melemparkan dua keping tanah yang diarahkan pada keduanya. Amut yang mendengar seruan muridnya langsung menendang tanah yang ia pijak dan berpindah ke arah kanan, sementara Nwu melesat ke sebelah kiri. Meski beda arah, Nwu dan Amut punya musuh yang sama.

Darek Fales.

Gelut gak, mbah?!”

“Ada saran yang lain, Nu?!”

“Mbah pergi ke sana, ngomong baik-baik ama dia!”

“Ide bagus, Nu. Ayo kita samperin terus ajak ngomong!”

Si mayat hidup nyengir sangat lebar sambil membuka lilitan perban yang ada di kedua tangannya dengan cara digigit. Ketika lilitan itu mulai jadi kendur, sepuluh buah kuku mérah gelap mencuat dari ujung jari Nwu. Matanya menjadi mérah pekat, dan cahaya kuning bersinar dari bulatan hitam yang ada di matanya.

“Siap, mbah!”

Keduanya sudah tahu, tak ada cara lain untuk menang dari Darek Fales selain melawannya. Meréka merasakannya, sama sepertiku. Memang tak ada cara lain selain bertarung. Ya, mémang tak ada cara lain selain bertarung kalau sudah seperti ini.

“Awas Nu! Keroconya datang!”

Enam tangan Darek Fales membentang, membuka lubang hitam yang mengeluarkan lalat hamil, nyamuk tajam, dan capung keras yang besarnya sama dengan seorang manusia pada umumnya. Lalat hamil menyemburkan cairan dari perutnya, dan sesekali melepas sesuatu seperti telur dengan banyak kaki, yang kemudian berubah menjadi kumpulan lalat yang lebih kecil. Sementara capung keras dan nyamuk tajam balapan untuk melukai Amut dan Nwu.

Ya, di sini bagian serunya dimulai. Sebaiknya kamu jangan berkedip, agar kamu tidak meléwatkan semuanya.

“Tenang, Mbah!”

Nwu sudah siaga duluan, jadi ia tahu kapan ia harus menyabet keroco yang léwat  ke arahnya. Cakarnya Nwu mengayun begitu liar, memotong-motong serangga yang mampir seperti mencincang daging menjadi potongan yang kecil. Darah hitam membuncah di sekitar Nwu. Sambil berpindah-pindah tanah pijakan, Nwu mencakar segala keroco yang mengganggu jalannya, sesekali sambil digigit karena lapar.

Harap maklum, namanya sudah menggila itu susah mengendalikan diri.

“Ayo mbah! Keluarin jurusnya, dong!”

“Ntar dulu, ah, Nu. Mbah masih lemes.”

Amut Juga tidak kalah hébat dibanding muridnya, dengan tangan kosong Amut bisa meninju serangga-serangga yang menyerangnya sampai pecah. Tak lupa semburan api panas keluar dari mulutnya, menggosongkan keroco-keroco yang masih nékat mencoba menyerangnya.

Tapi kérén-kérénannya mungkin sampai di situ saja.

Namanya keroco, kalau cuma satu atau dua mungkin tidak jadi masalah. Kalau keroconya satu kampung atau satu kota, pasti béda cerita. Sebaiknya jangan meréméhkan keroco, kalau keroyokan pasti kamu juga bisa kewalahan. Seperti Amut dan Nwu di sebelah sana.

Bajigur11! Keroconya gak abis-abis!”

Tuh, Nwu saja kewalahan. Apalagi Amut yang lebih tua.

Tapi dua-duanya tidak menyerah. Méréka terus memikirkan cara untuk menyapu bersih keroco-keroco Darek Fales tanpa sisa.

(Hmm... kalau begini terus bakal modar. Mau gak mau harus keluar jurus biar keroco ini gak bikin masalah lagi.)

Aha! Akhirnya naga tua itu mengeluarkan jurus. Jurus seperti apa ya yang kira-kira bisa sapu bersih keroco-keroco yang tidak ada habisnya itu?

“Nwu! Minggir kamu! Mbah mau ngejurus!”

Nwu yang berada di keping tanah depan Amut langsung menjauh dari sana dan mendekati keping tanah tempat Amut berdiri.

Sementara Amut sudah berdiri tegak, ia sudah memasang kuda-kuda untuk mengeluarkan jurus pamungkas. Oh sepertinya ini akan jadi sangat menarik. Persiapan terakhirnya adalah sebuah tarikan nafas yang sangat panjang. Situasi menjadi tegang kala Amut terlihat mempersiapkan diri matang-matang.

“Menembus méga, menghapus... khatulistiwa!”

Setelah mengucap mantra, mulut Amut terisi penuh oleh cahaya kebiruan, sepertinya dia akan menyemburkan sesuatu.

“Ohok!”

Tapi sayangnya apa yang harusnya disemburkan Amut meledak di dalam mulutnya, membuat ia batuk-batuk sambil terjungkal, dan mengeluarkan sinar biru yang tidak keruan, mengenai beberapa keroco yang kebetulan léwat ke arah keluarnya sinar.

Namun tidak menghabiskan jumlah meréka.

“Aduh... ohok ohok!”

Sebodoh-bodohnya seorang petarung, aku rasa petarung paling bodoh tak akan lupa bagaimana caranya ia mengeluarkan jurus pamungkasnya. Ini kenapa aku tidak terlalu suka sihir. Kalau pakai sihir berdasarkan pengucapan mantra, salah ucap mantra jadinya salah juga jurusnya.

Tapi mau bagaimana lagi? Maklum lah, orang tua. Kalau sudah tua, nama saja bisa lupa, apalagi kalau jurus.

“Mbah?! Mbah kenapa?!”

“Ohokohokohok... kayaknya salah jurus, Nu. Mbah lupa.”

“APA?! Masa pas gawat begini malah lupa jurus?!”

“Ohokohok, duh, maap...”

Bajindut12! Mbah masih kuat gak?”

“Bentar, Nu. Ohokohok. Mbah masih batuk sedikit. Mbah mau réhat sebentar aja Nu...”

Meski tadi Nwu berlagak tidak sopan pada gurunya, pemuda ini réla menawar waktu sampai gurunya bisa pulih dari kecelakaan akibat salah jurus. Ia mengerti keadaan gurunya yang sudah jompo. Tapi karena banyaknya keroco, Nwu mempertimbangkan untuk melepas sedikit batas dari kekuatan yang ia simpan. Pertarungan ini membuatnya sangat lapar.

“Cih, kalo gitu yang cepet, mbah! Keroco-keroco ini ta urusin sampé mbah siap maju lagi!”

Kuda-kuda Nwu langsung berubah. Membungkuk seperti macan dengan telapak yang sudah siap mencakar serangga-serangga yang sudah mengitari dari tadi.

“Cap, cip, cup, kem-bang kun-cup.”

Sambil melantunkan celotéh kesukaannya, mata Nwu seakan mencari sesuatu, setiap keroco yang léwat ia hapal satu-satu.

“Ka-mu yang ke-na, a-yo MA-SUP!!”

Setelah merasa ia dapat mangsanya, Nwu melolong seperti anjing kena penyakit. Mulutnya yang agak berbusa dari tadi membuka, memperlihatkan taring-taring tajam, dan kemudian menancap di tubuh seékor nyamuk tajam yang cukup besar di depannya. Nyamuk itu lalu digerogoti badannya, dikunyah mentah-mentah.

Aku suka makanan mentah, tapi aku tidak begitu suka serangga mentah. Kalau sudah di dalam mulut, lembék dan basah. Rasa dan baunya juga tidak begitu énak. Udang mentah masih lebih baik dibanding nyamuk mentah yang banyak darah. Ugh...

Setelah puas menggerogot nyamuk yang sudah pecah, Nwu kembali ke tempat Amut berada, masih mengunyah makanannya. Tapi perlahan-lahan sosok Nwu berubah bentuk. Kulitnya pelan-pelan menghitam, dan tangan kanannya yang tadinya masih berupa tangan lima jari, seakan tumbuh urat-urat yang membentuk ulang lengan tersebut, menjadi sebuah pedang besar, hitam, dan penuh duri-duri tajam.

Ah, aku jadi ingat. Ada makhluk yang bisa seperti ini. Memakan makhluk atau benda apapun dan memakai kekuatan dari apa yang ia makan. Manusia ini punya darah Ragnadd dalam dirinya.

“Mbah!!”

Nwu melesat secepat kilat sambil membabat keroco yang masih dihadapi Amut setengah-setengah. Dengan kekuatan barunya yang diambil dari nyamuk tadi, kini Nwu bergerak lebih cepat dan jadi senang membabat musuh-musuhnya dengan pedang hitam mengkilap di lengan kanan.

Amut yang tertolong berusaha agar ia bisa berdiri tegak. Kekuatannya yang tersisa dihimpun sebanyak mungkin. Namanya sudah tua, pasti tak bisa menghimpun banyak tenaga, tapi Amut melakukan apa yang ia bisa, agar ia bisa menang melawan Darek Fales.

“Ckwakckwacwakrrkwwrrrkwkrwrwwrrrrkwrkarwkrrcwaaak!”

Darek Fales sepertinya tak terlihat senang dengan dua hama yang tak bisa dihabisi keroconya. Serangga-serangga yang tersisa akhirnya dipanggil untuk menghadap dirinya. Ditambah dengan serangga-serangga lain yang muncul dari lubang hitam disekitarnya. Kumpulan serangga itu mengerubungi Darek Fales seperti sekumpulan semut menyerbu wadah gula.

Sedikit-sedikit lama-lama seperti bukit. Kumpulan serangga itu membentuk tempurung baru untuk Darek Fales. Kelihatannya kali ini dia sendiri yang turun tangan untuk melawan Amut dan Nwu.

Darek Fales yang kini berwujud lebih gahar perlahan maju ke arah kepingan tanah yang tak jelas bentuknya. Amut dan Nwu pun setuju kalau ini saatnya mereka menghampiri makhluk itu untuk “bicara baik-baik” dengannya.

//Tolong!//

//Tolong aku!//

!!

Samar-samar suara perempuan kembali terdengar di telinga Amut. Bukan, bukan suara Syu. Yang ini berbeda. Aku punya firasat, suara ini ada hubungannya dengan Darek Fales. Entahlah, tapi aku yakin, bahwa apapun suara yang tadi ada di benak Amut, jawabannya ada di balik Darek Fales yang ia hadapi.

“Maju sini, Darek Fales!! Elu jual, gua beli!!”

“Jangan gegabah, Nu!”

Jarak antara Darek Fales dan musuhnya jadi semakin sempit. Aku sudah tak sabar lagi melihatnya. Ini akan menjadi pertarungan yang paling sengit dalam tontonan ini. Apa kamu setuju?

Héhé.


=========================================================
=========================================================

Akhirnya, yang kunantikan sudah tiba. Pertarungan Amut dan muridnya melawan Darek Fales yang sudah memperkuat dirinya. Laga dibuka dengan adu jotos  tangan raksasa dengan tinju si naga tua.

Besar ukuran bukan penentu kekuatan, kalau kamu mau tanya aku. Tuh lihat, tangan Darek Fales bisa dihalau tinju Amut, meski Amut harus susah payah mengeluarkan tenaga. Tapi boléh lah, untuk ukuran naga yang sudah tua seperti Amut, ia masih cukup perkasa. Nwu tak akan kuat menahan tinju raksasa si manusia serangga.

Amut membalas budi yang sudah Nwu lakukan terhadapnya, kini ia membuka kesempatan bagi si mayat gila untuk menggorés Darek Fales dengan pedang hitamnya, yang disabetkan pada ruas lengan si raksasa. Sayangnya, tempurung Darek Fales sama kerasnya dengan pedang yang ada di tangan Nwu. Sabetan tadi hanya meninggalkan gorésan dangkal.

“Cih, keras euy13!”

Nwu mengutuk kekuatan zirah kulit Darek Fales yang luar biasa alotnya. Namun jangan salah, bisa membuat gorésan dangkal di zirah sekeras itu juga sebuah préstasi. Amut yang tadi menahan jotosan berubah haluan dan melanjutkan serangan Nwu dengan melompat sambil menémbakkan bola api beruntun ke arah gorésan dangkal tadi, membuatnya menjadi retakan yang cukup besar. Tempurung di lengan itu kini menjadi ringkih.

Jangan tanya aku kenapa bisa begitu. Mungkin kulit serangga tidak tahan panas?

“Sekarang, Nu!”

“Udah tahu!!”

Tanpa diberi perintah, Nwu sudah berpijak dari tanah, melompat tinggi sekali. Setelah dirasa cukup pas, pemuda itu menukik tajam ke arah lengan Darek Fales yang retak, meninggalkan jejak cahaya mérah sambil melolong keras, menghantamkan benda tajam yang menyatu dengan tangan kanannya sampai tuntas.

Zirah itu pun pecah seperti gelas, bersama dengan benda tajam di lengan kanan Nwu. Namun serangan masih berlanjut.

“Serang yang bulat di wajah situ, Nu!”

Seruan Amut diiringi oléh gerakan melayang yang mengarah pada wajah besar di badan Darek Fales. Tepat di tengah-tengah kening wajah antah berantah badan tersebut, ada sebuah bulatan mérah pekat menyala-nyala.

Ya, itu jelas-jelas titik terlemah Darek Fales. Tak usah ditanyakan lagi. Maksudku, apa yang lebih mencurigakan dibanding jerawat raksasa yang ada di badan?

Tapi aku rasa tidak seru kalau Darek Fales membiarkan titik lemahnya diserang begitu saja. Dua tangannya yang bebas mengisi tenaga dalam yang besar, untuk kemudian dihempaskan pada Amut dan Nwu yang sedang mengarah ke badannya. Empat bola bayangan langsung terbang mengejar kedua petarung .

Bangké!”

Amut dan Nwu merutuk bersamaan dan segera menjauh dari Darek Fales, menuju ke keping tanah terdekat.

Bola-bola bayangan tadi gagal kena karena berhasil dihalau oléh semburan api Amut selagi menjauh, namun meréka melupakan kalau masih ada dua tangan lagi yang bébas, dan tangan-tangan itu sedang berusaha menepuk keduanya, agar jadi pipih.

“Hhh, hampir aja digoréng-“

“Nwu, awas! Serangan dadakan!!”

Amut jelas tak akan sempat menghindari serangan tangan Darek Fales, dia jadi adu kuat dengan tangan itu sekali lagi. Sementara Nwu yang lebih cepat réfléksnya langsung melompat dan berlari di atas lengan si raksasa sekali lagi. Mencoba untuk menyerang titik lemahnya.

Lagi, tak semudah itu mendekati Darek Fales. Bola-bola bayangan kembali mengincar Nwu, kali ini menghempaskannya jauh menghantam kepingan tanah yang melayang dekat tempat Amut berada.

“Ugh!!”

Tidak diberi kesempatan menarik nafas, Nwu langsung dihujani oléh bola-bola bayangan milik Darek Fales.

Bangké! Nyerangnya macem lémpar récéh limaratusan!”

Nwu langsung bangkit dan melompat sebisanya untuk menghindari bola-bola bayangan yang mengincarnya. Mbah Amut yang masih bergumul dengan tangan raksasa akhirnya merubah haluan jadi membantu Nwu. Ia lepas pergumulannya dan melesat ke arah Nwu yang sedang melompat-lompat menghindari hujan témbakan.

“Minggir, Nu! Jadi gurih kamu kalau kelamaan di situ!”

Amut menutupi jalur antara bola bayangan dan Nwu. Réntétan bola api disemburkan seperti senapan mesin, menghapus témbakan milik Darek Fales. Namun beberapa témbakan Darek Fales masih tersisa, mengenai tubuh Amut dan meledak seperti petasan. Amut tidak terhempas, namun ia terjungkal sampai berada di sebelah Nwu yang masih takjub dengan kehébatan Mbah Amut.

Meski lupa jurus, Amut masih bisa mempertahankan dirinya sendiri, dan muridnya, sampai sejauh ini.

“Sudah jadi gurih, mbah?”

“Jadi nyoy14, Nu. Ohokohoeeeerrk.”

“Wah, udah gak kuat ini badan...”

Darah kental keluar dari mulut Amut selagi batuk. Ia sudah hampir mencapai batasnya. Nwu juga sudah mulai kehabisan tenaga. Sepertinya tidak mungkin meréka bisa menang dari Darek Fales, meski tadi berhasil memecahkan sebagian kecil zirahnya.

“Héhé... jadi selesé nih berantemnya, Mbah?”

“Mau gimana lagi? Mbah udah capék banget...”

Dan Darek Fales juga sudah bosan bermain-main. Dia sudah cukup puas dengan perlawanan Nwu dan Amut yang sudah berusaha sekuat tenaga. Enam lengannya berjéjér beraturan, membentuk sebuah pola lingkaran. Dari bulatan mérah di tengah badan itu, terbentuk sebuah lubang hitam raksasa, bersiap mengeluarkan sinar mérah, yang akan membakar habis Amut dan Nwu. Keping tanah di sekitar lubang hitam itu berubah jadi debu.

Yah, mémang bukan akhir yang kerén untuk kedua petarung kita. Tapi setidaknya pertarungan tadi benar-benar membuatku puas. Sudah lama tak menonton pertarungan seperti tadi. Sayangnya, mungkin ini akan menjadi tontonan terakhirku.

Padahal aku berharap ceritanya tidak berakhir seperti ini.

Hah? Mengucapkan selamat tinggal, katamu? Aku rasa tak perlu.

Sudah kubilang, kan? Kita akan terkurung di sini selamanya. Kalau tidak ada tontonan, ya kita hanya ada di sini dan tidak melakukan apa-apa.

Jangan terlalu sedih. Kita masih bisa mengobrol.

//Amut!//

//Gélo!//

Ah, suara perempuan kembali terdengar. Kali ini sangat jelas dan keras. Lubang hitam yang tadi sudah terbentuk sempurna jadi tak ada. Darek Fales juga tidak bergerak, mematung seperti batu. Ini begitu tiba-tiba. Padahal aku sudah siap-siap untuk berduka. Aku agak kecéwa, tapi semoga kelanjutannya jadi lebih baik.

//Tolong aku!//

Apa? Suara perempuan itu berasal dari Darek Fales? Kamu bercanda? Apa? Baik, baik, coba kita lihat wajah yang ada di atas. Hmm... sepertinya kamu benar. Di kepala dengan dua wajah itu, ada bentuk seperti badan wanita terkurung di sana.

Itu bukan Syu. Rambut dan wajahnya beda. Tapi siapapun dia, yang jelas ada sangkut pautnya dengan Amut maupun Nwu.

“Ohok... kamu...”

Eceu15 Marko?!”

//Iya! Aku Marko!//

Sepertinya onggokan badan wanita itu yang berhasil menghentikan pergerakan Darek Fales. Hmm? Kenapa namanya Marko? Entahlah. Jaman sekarang serba terbalik. Yang perempuan jadi jantan, yang laki jadi cantik menawan. Tak habis pikir aku ada yang seperti itu.

//Kalian harus tolong aku! Aku... aku gak tahu kenapa bisa bangkit jadi Darek Fales!//

“Apa?! Jadi selama ini kita berantem sama kamu, Markonah?!”

//Tolong aku, Amut! Gélo! Cuma kalian yang bisa bébasin aku!//

“Tunggu! Kamu bisa jelasin gak kenapa kita bisa ada di sini, ceu!?”

//Aku gak tau!! Cepetan! Aku gak bisa nahan Darek Fales lama-lama, cepet bébasin aku! Badanku pegel nempél di atas terus, tau!//

Baik Nwu dan Amut saling pandang dan kebingungan. Situasi berubah total saat Darek Fales yang meréka lawan berbicara sebagai Marko. Baik Nwu dan Amut juga tidak terlalu ingat apa hubungan meréka dengan Marko, namun meréka merasa bahwa Marko itu sama-sama saudara. Ya, kamu tahu lah, yang namanya ikatan batin itu akan sulit lepas. Meski mereka lupa, yang namanya batin itu akan selalu jujur.

Tak terasa, terdengar suara isak tangis dari perempuan yang tersangkut di atas Darek Fales. Walau ia jauh berada di atas, suara batin Marko terdengar sampai ke ubun-ubun Amut dan Nwu.

Perempuan itu menderita.

//Aku... gak tahan lagi... cepet seleséin semua ini... demi kebaikan kita semua...//

“Mbah...?”

Nwu yang masih hijau dalam urusan ini menunggu keputusan gurunya. Ia sering bertindak gegabah dalam hidupnya. Tapi, untuk pertama kalinya Nwu harus mempertimbangkan sesuatu secara matang-matang.

“Jadi... mau gimana, mbah? Mau diakhiri penderitaan ceu Marko?”

Amut yang masih telungkup dan terbatuk-batuk perlahan bangkit.

“Kamu siap bayar harganya, Nwu?”

“Maksud mbah apa?”

“Kalau Darek Pales mati, Markonah juga mati.”

“H-hah?! Maksud mbah...?”

“Markonah itu jadi badan buat Darek Pales. Kalau kita hancurin Darek Pales, berarti kita hancurin badan Markonah.”

//Cepetan...//

“...Gak ada pilihan lain, kan, mbah?”

“Jadi kamu sudah réla?”

“Mau gimana lagi?”

Amut yang tatapannya mendadak redup jadi tertunduk. Ia merasa dipermainkan. Maksudku, ia baru bangun dan harus kehilangan dua orang dekatnya? Kalau ini mimpi pastilah ini mimpi buruk. Tapi aku rasa ini terlalu nyata untuk sebuah mimpi.

“Ya sudah kalau begitu.”

Lihat itu, tangan Amut retak, dan ada api keluar dari retakan tersebut. Oh bagus, ini penyelesaian cerita yang kunanti dari tadi.

Dengan tenaga yang tersisa, Amut dan Nwu bersiap mengerahkan tinju terakhir mereka, pada jerawat mérah besar di tengah badan Darek Fales. Baik tangan Amut maupun Nwu, sudah sama-sama terbungkus api gaib.

“MARKONAAAAAAHH!!”

“AAAAAAAAAAAAARRGH!!”

Keduanya berteriak hébat, melepaskan semua émosi yang ada bersama dengan pukulan terakhir mereka, ke arah jerawat besar tersebut. Kamu suka aksi berdarah panas? Aku tidak begitu suka sebenarnya, tapi ini adalah penyelesaian cerita yang bagus.

Ketika tinju meréka berdua mengenai titik lemah Darek Fales, seketika retakan terjadi si sekujur tubuh Darek Fales. Cahaya silau sedikit-sedikit keluar dari retakan tersebut.

Tubuh Darek Fales pun pecah sempurna, mengeluarkan cahaya putih yang menyilaukan mata. Amut dan Nwu melayang-layang di tengah ruang putih, namun lama-lama meréka seakan ditarik oleh sesuatu, memaksa keduanya untuk berpijak pada permukaan datar.

Di ruang putih itu kemudian muncul seonggok badan yang rusak, hanya tersisa setengah badan. Tak salah lagi, itu badan Marko.

“Ah... Amut... Gélo...”

Nwu dan Amut langsung berlari sebisa meréka, menghampiri potongan tubuh Marko yang sudah tak berdaya. Pucat dan banyak retakan, seperti bonéka dari plastik. Ya, sungguh naas nasib Marko.

Eceu!!”

“Gusti nu agung... kenapa harus begini...”

“Maafin aku ya, Amut... Gélo... aku juga gak tau kenapa bisa jadi begini...”

“Mbah yang harusnya minta maaf, Markonah...”

Sosok perempuan yang bernama Markonah itu masih bisa sumringah meski badannya sudah pecah. Ia menatap Amut dan Nwu dengan senyum yang mengisyaratkan ia tak apa-apa. Menurutmu orang yang berusaha tegar meski sudah tahu ajalnya tiba itu kerén atau konyol?

“Aku... cuma bisa bilang kalau ramalan Bunda Syu itu beneran... Sesuatu yang besar sedang mengancam Vana. Tapi pas aku mau ngikut Bunda Syu... jadinya malah begini...”

Mata Amut jadi membelalak. Kepalanya sakit dan pusing. Ada sesuatu yang mengetuk-ngetuk ingatannya, tapi Amut tak bisa ingat. Begitu pun Nwu. Ketika kata “Ramalan Bunda Syu” disebut, rasanya seperti ada sesuatu yang terkunci di ingatan meréka. Aku juga penasaran ramalan seperti apa yang dimaksud. Tapi kan aku tidak tahu. Jadi mau bagaimana?

“Ramalan? Ramalan apa, Markonah?!”

“Itu... aku titip sama kalian buat dicari jawabannya.”

Tubuh Marko yang pecah-pecah akhirnya berubah menjadi remah-remah bercahaya, seperti kumpulan bintang pergi ke antah berantah.

“Ngomong-ngomong, makasih udah ngebébasin aku...”

“...Akhirnya... gak pegel lagi...”
Émosi Amut dan Nwu sampai ke puncak. Air mata langsung menyeruak.

“...Eceu Marko... mati...?”

Nwu yang jarang émosional seperti ini, hanya bisa kaku terdiam, dengan air mata yang berlinang.

Béda dengan si naga tua. Bila Nwu terdiam karena tak tahu harus bagaimana, Amut terdiam karena perlahan-lahan ingatannya mengalir deras, seperti waduk yang dibuka bendungannya. Ingatan dan perasaannya membuncah ke mana-mana. Kematian Marko memunculkan berbagai macam ingatan semasa ia hidup.

“GRRROOAAAAAAAAAA!!”

Retakan yang tadi hanya sebatas di tangan kini menjalar ke seluruh tubuh Amut. Matanya jadi merah, buta oleh amarah dan perasaan yang tumpah ruah. Raungan Amut menggema ke seluruh penjuru ruangan putih, mengguncangnya. Air mata Amut berubah jadi merah. Apakah itu darah? Entahlah.

Raungan Amut yang penuh kesedihan tentunya membuat Nwu juga menangis tersedu-sedu. Nwu paling benci kalau harus sudah bersedih-sedihan seperti ini.

Tak lama setelah itu. Di depan Amut dan Nwu muncul sebuah lubang hitam dengan warna-warni di setiap sudut lubang tersebut. Muncul tiga sosok manusia, keluar dari portal tersebut. Sosok yang pertama adalah anak kecil dengan jas hujan kuning berwarna dan sepatu bot berwarna mentéréng, ia menenteng tongkat gulali warna-warni. Sosok yang kedua adalah lelaki klimis berkumis dan rapi, dengan setelan jas nécis, kacamata hitam manis, dan jubah yang megah sambil membawa sebuah buku bersampul méwah. Yang terakhir adalah seorang perempuan anggun dengan gaun panjang, lengkap dengan hélm, tombak, dan perisai.

Amut yang sudah gelap mata menatap meréka dengan nafsu membunuh yang kuat. Ia sudah tak peduli apa-apa lagi, yang ada di pikirannya hanya satu: Hancurkan semua.

Meski ia batuk-batuk, Amut tidak peduli. Ia bangkit dan berjalan dengan langkah tergesa-gesa menuju tiga sosok yang baru muncul.

“Luar biasa! Kamu berhasil meléwati-AAAAHH!!”

Anak kecil kepala bantal itu tiba-tiba dicekik oléh naga tua yang sudah gelap mata. Kepala bantal itu perlahan mengkerut dan basah, sepertinya dia ketakutan melihat naga seram yang terlihat sangat siap untuk mengunyahnya menjadi gumpalan kapuk.

“MATA GANTI MATA!! GIGI GANTI GIGI!! DARAH GANTI DARAH!!”

“T-ttututunnggu! Aku-aku-aku bisa jela-“

“HABISI!!”

Si kepala bantal yang mau digigit itu tiba-tiba berubah menjadi sekumpulan bulu, menyebar seperti daun gugur, sebelum bersatu dan kembali menjadi anak kepala bantal di belakang pria berjubah. Namun Amut masih belum selesai, ia merangsék ke arah tiga sosok misterius itu, siap menyerang meréka semua.

Amut sudah dikuasai nafsu. Ia hanya ingin membunuh sampai puas. Entahlah, tapi itu terdengar dangkal, atau... primitif?

“Hentikan dia, Tombak Giruvédan!!”

Wanita bertombak mengeluarkan suara lantang sambil menghujam benda yang ia sebut “Tombak Giruvédan” ke arah dada dan perut Amut, membuatnya tertusuk dan terjungkal.

“M-MBAH!!”

“Ohokohoeeeeeerrrk!!”

Nwu yang masih kebingungan jadi mendadak marah begitu melihat badan Amut mengeluarkan banyak darah karena tindakan yang dilakukan oleh wanita itu. Kukunya langsung mencuat sangat tajam.

“Bangsaaaaatt!!”

Serangan Nwu yang membabi buta ditepis oléh perisai si wanita. Dan wanita itu tak bergésér sedikitpun karena serangan yang kelihatannya dikeluarkan dengan seluruh tenaga.

“CUKUP!!”

Akhirnya pria nécis itu turun tangan. Sambil menendang Nwu dengan keras, ia bersuara dengan sangat tegas, membuat situasi menjadi seperti di dalam kulkas. Dingin dan hening. Nwu yang kini berada di samping Amut juga mulai batuk darah.

“Kalian pasti punya banyak pertanyaan.”

Lelaki berkacamata itu berdehem sedikit sebelum ia mulai berbicara. Sepertinya ia dan dua pendampingnya datang ke sini untuk beramah-tamah, bukan untuk mencari ribut.

“Akan aku jelaskan satu-satu, tapi dimohon dengan sangat untuk tenang. Apapun yang kalian pikirkan, itu semua salah paham.”

“Salah paham apaan?! Kenapa saya ama mbah jadi ngebunuh Marko?! Apa maksudnya ini?!”

“Gadis itu aman bersama kami. Jangan khawatir.”

“AMAN APANYA?! TADI KAN MATI!!”

“Gadis itu, Markonah, aman bersama kami, aku bisa jamin hal tersebut.”

Buku méwah itu dibuka, kemudian halamannya bersinar, mengeluarkan berkas cahaya yang perlahan-lahan memperlihatkan sebuah patung seukuran manusia. Patung tersebut memiliki ciri-ciri yang sangat mirip dengan Marko. Rambut dan wajahnya sama, ukuran badannya juga tak ada yang béda. Yang membédakan, dia telanjang. Dan wajahnya terlihat pegal karena mematung seperti itu.

“Sebelum kita berbicara lebih jauh, sebaiknya luka kalian kuobati.”

Wanita bertombak itu kemudian berjalan mendekat ke arah Amut dan Nwu yang mungkin sedang sekarat. Setelah mengucapkan semacam do’a dan menyebut nama [Kehendak] yang terdengar begitu asing, wanita itu menempelkan kedua telapak tangannya pada dua makhluk berlumur darah. Perlahan-lahan, cahaya menyelimuti keduanya, menghilangkan darah dan luka yang diderita.

Amut yang dari tadi batuk darah kini séhat sejahtera. Nwu juga merasa ia seperti batu baterai terisi penuh. Keduanya lalu berdiri dengan wajah yang kehéranan.

“Sudah baikan?”

“Ya... udah mendingan. Makasih, néng...”

“Sama-sama.”

Wanita itu tersenyum welas asih sebelum kembali ke posisinya. Waktu dan tempat berbicara kembali diberikan kepada pria nécis.

“Ehem, jadi... seperti yang kalian lihat. Markonah aman bersama kami. Sekarang ia menetap di Museum Semesta.”

Patung Marko menghilang seperti ditelan udara. Amut dan Nwu jelas kagét.

“Museum...”

“...Semesta?”

“Ya, Museum Semesta. Tempat Mahakarya sejagat raya berkumpul.”

“Jadi, Markonah masuk Mahakarya ini?”

“...Kurang lebih begitu.”

Amut garuk-garuk kepala. Ia masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Ia mengharapkan jawaban yang sejelas-jelasnya.

“Baiklah, kita langsung saja pada intinya. Amut, kau terpilih menjadi seorang réverier. Dengan menjadi réverier, kau diundang untuk menghadiri pagelaran seni paling masyhur di seluruh jagat raya.”

“Pagelaran seni?”

“Ya. Kau berhasil membuktikan pada kami bahwa kau berhak untuk mengikuti paméran ini dan turut serta menyumbang Mahakarya untuk paméran nanti.”

Kepala bantal yang dari tadi gemetaran kini memberanikan diri untuk maju ke depan. Menghampiri Amut dan Nwu yang masih kebingungan dengan penjelasan pria tadi.

“Mmm... mbah naga udah gak galak lagi kan?”

“Uh... nggak, kok. Maaf ya tadi mbah kalap...”

“Mbah naga... ada hadiah dariku... mungkin tidak seberapa, tapi dia bisa diandalkan dalam perjalananmu nanti.”

Gumpalan putih susu muncul tiba-tiba, kemudian dua pasang kaki dan sebuah kepala hitam mencuat dari gumpalan awan tersebut. Suara berat mengembik keluar dari makhluk itu.

“...Domba? Tadi kita pontang-panting ngelawan Darek Fales segedé gaban dan kita dikasih hadiah DOMBA?! KALIAN TÉH NGELAWAK?!”

Protés Nwu dibungkam oléh Amut dengan sebuah sentilan. Anak muda suka lupa sopan santun.

“Kenapa harus mbah yang jadi réverier?”

“Kau memperjuangkan mimpimu sampai akhir.”

Sebelum Amut bertanya lebih banyak lagi, pria klimis itu menyudahi percakapan mereka.

“Aku tahu kau masih punya banyak pertanyaan, tapi waktu kami di sini tak sebanyak pertanyaanmu. Sampai jumpa di Museum Semesta, réverier...”

Bersamaan dengan salam perpisahan itu, ketiga sosok tadi menghilang begitu saja.

“Ilang déh...”

Kini tinggal Amut, Nwu, dan domba kecil yang dari tadi melihat meréka berdua seperti rumput raksasa.

“Ini domba bisa apaan sih...”

“Mbeeeeeek...”

“Y-yah! Dombanya kabur, mbah!”

“Kejar, Nwu! Katanya tadi penting!”

“Hoooi!! Tungguiiin!!”

Gambarnya hilang.

Ah, sepertinya tontonan kita sudah selesai. Akhir cerita yang tidak buruk. Tapi akhir dari cerita ini sepertinya adalah awal cerita yang baru.

Ya, kita hanya bisa menunggu cerita yang baru itu tiba...


=========================================================
=========================================================

Sementara itu, di sebuah semesta nun jauh di sana bernama Vana.

Seorang pria kekar penuh rambut di sekujur tubuhnya sedang berlari terburu-buru di sebuah koridor putih. Nampaknya ia hendak menemui seseorang yang sangat penting. Setelah léwat banyak lorong dan tangga, pria itu sampai di sebuah pintu besar dari kayu yang diukir gambar belukar dan pohon. Pintunya diketuk kencang karena pria itu sangat buru-buru.

“Ya, silakan masuk.”

Setelah suara penuh wibawa di balik pintu mengizinkan, pria berbulu itu membuka pintu buru-buru sambil berkata-kata dalam keadaan panik. Di hadapannya, ada seorang pria yang tak kalah kekar, dengar rambut pendek rapi, dan kumis yang sangat tebal.

“Konsulat Noor! G-g-g-gawaaat!!”

“Éh, éh, éééh... Ada apa tiba-tiba begitu, Yéd?”

“R-ramalan Bunda Agung b-benar, tuan Konsulat!”

“Ramalan?”

Pria yang tadi duduk mendadak berdiri. Ia langsung mendekati pria berbulu yang ternyata péndék dibanding dia.

“Coba jelaskan.”

“S-s-setengah tanah Hyangan Dvipa, setengah laut Pantai Selatan, dan setengah wilayah Kartanagara... tiba-tiba menghilang...”

“Menghilang? Kayak simsalabim prokprokprok si Tarno?”

“I-iya...”

“Ada lagi?”

“Tugu Perjuangan menghilang juga, bersama dengan kuburan yang menyegel Darek Fales...”

Air muka wajah pria itu mendadak jadi keras. Setelah satu kedipan, ia langsung mengeluarkan perintah tegas.

“Jemput anggota Konsulat yang lain, rapat darurat harus segera diselenggarakan.”

“S-siap!”

Saat bola bulu péndék itu hendak pergi, ia dihentikan oléh satu perintah tambahan.

“Tunggu. Satu lagi.”

“Kontrol kerusakan yang ada, situasi harus dikontrol agar masyarakat tidak panik.”

“Siap, tuan Konsulat!”

Setelah pria itu menghilang di hadapan mata sang Konsulat. Ruangan itu kembali tertutup rapat. Pria berkumis tebal itu menopang dagunya dengan jepitan antara ibu jari dan telunjuk.

“Hmm... sudah kuduga...”

=========================================================
“Nyata atau maya, kemanapun kau pergi, pasti kan kuikuti.”
=========================================================

Catatan Kaki:
1.) Partikel yang biasa disisipkan di tengah atau kalimat, berasal dari bahasa Sunda.
2.) Partikel yang biasa disisipkan di awal kalimat, berasal dari bahasa Sunda.
3.) Partikel yang biasa disisipkan di akhir kalimat, berasal dari bahasa Sunda.
4.) Permainan kartu seperti domino.
5.) Permainan memasukkan biji seperti biliar, namun lebih kecil ukurannya.
6.) Ungkapan seperti Allahu Akbar/Allah Maha Besar, memuji kebesaran Tuhan.
7.) Bahasa Sunda dari kata “Bodoh”
8.)  Bentuk singkat dari kata Bahasa Sunda “Kasép” yang berarti “tampan” dan biasa digunakan untuk merujuk anak laki-laki.
9.) Bentuk lain dari kata Bahasa Sunda “Abdi” yang biasa digunakan untuk merujuk diri sendiri.
10.) Kata Bahasa Sunda yang berarti “Yang Gila/Orang Gila”
11.) Minuman khas Sunda yang terbuat dari gula kelapa dan santan.
12.) Penghalusan kata “Bajingan”
13.) Partikel Bahasa Sunda yang biasa digunakan di akhir kalimat.
14.) Empuk.
15.) Sebutan untuk kakak perempuan atau saudara perempuan yang lebih tua dalam bahasa Sunda.

--
 
>Cerita selanjutnya : [ROUND 1 - 3C] 25 - MBAH AMUT | MÉ:καᴎίᴢεδ MÉ:μοяϊζ

29 komentar:

  1. Dibanding Zarid, entri mbah Amut kerasa lebih fresh. Kayak gabungan gaya Asep sama Kumirun, saya kaget juga mbah Amut ngomong pake logat Sunda. Narasinya dibuat sedemikian rupa sengaja buat nyelipin humor sepanjang cerita, ya. Awalnya saya pikir bakal dibikin jengah sama penuturan ala pov2 gini, tapi ternyata lumayan enak dan lancar juga dibaca sampe akhir. Cuma rasanya saya miss, jadi narator ini siapa?

    Nilai 8

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir mas sam.

      Klarifikasi aja soal naratornya. Sepanjang cerita, sebenarnya si narator ini terlibat semua peristiwa yang terjadi. Tapi dia terpaksa jadi pengamat, kalau dia yang terlibat langsung, ceritanya gak bakal jadi begini.

      Hint soal naratornya harusnya paling jelas pas di bagian empat. ;)

      Salam sejahtera dari Énryuumaru dan Mbah Amut

      Hapus
  2. Ohok ada nagaaaaaaaaaaa :*

    Saya suka cerita dengan narator. Itu naratornya Mbah Amut sendiri kah? Soalnya kayak gak mungkin kalau Zainurma atau Mirabelle atau Ratu Huban

    Lucuuuu tapi juga menegangkan saat Mbah Amut dan Nugelo melawan Darek Fales. Nugelo harus sabar ya dengan kepikunannya Mbak Amut, juga tubuhnya yang mudah lelah. Teriakan Gusti Nu Agung itu keren sekaligus lucu. Istilah-istilah Sunda juga diberi arti jadi orang awam bisa mengerti

    Nilai 9
    Merald

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih sudah mampir mba ana

      Untuk narator sendiri, ya, tebakan mba Ana benar. Mbah Amut sendiri naratornya, atau lebih tepatnya, alam bawah sadar/otak kadal/Id/Nafsu Mbah Amut yang dia kekang selama ini.

      Salam sejahtera dari Énryuumaru dan Mbah Amut

      Hapus
  3. -Lol, jenis narasinya unik juga.

    -Humornya oke.

    -Sifat si Mbah di luar dugaan bener, serasa ngga kaya naga X))

    -Tapi pengamat yang jadi suara narasinya ini... entah kenapa ngga begitu cocok untuk saya, jadi nggak bisa terlalu menikmati ceritanya.

    -Itu endingnya seharusnya dramatis, tapi entah karena narasinya atau apa, ngga gitu kerasa dramanya.

    -Jadi saya berikan nilai 7/10

    Fahrul Razi
    OC: Anita Mardiani

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih sudah mampir bang king.

      Ini saya mau coba gaya narasi baru, karena ya, sesuai tema dan julukan Mbah Amut, seorang Cendekia Kehancuran.

      Pengamat cerita ini tidak lain dan tidak bukan adalah sisi gelap Mbah Amut yang dikekang, niatnya pakai narasi gaya ini karena saya mau memberi gambaran bahwa di balik mbah amut yang orang-orang lihat, ada sebuah sisi yang sangat berbahaya kalau lepas, tapi sejauh ini dia cuma mengamati saja.

      perkara misplacing elemen cerita ketika ending itu sendiri lagi-lagi eksperimen. Saya mau mencoba menyampaikan pesan serius dengan cara yang tidak serius. Saya sudah meniatkan kemasan substansi kanon Amut jangan terlalu berat, jangan terlalu bertepi, biar orang-orang bisa tertawa senang selagi membaca kisah simbah ini.

      Sekali lagi, makasih udah komentar bang king u,u

      Salam sejahtera dari Énryuumaru dan Mbah Amut

      Hapus
  4. GHOUL : “Nonton iklan tv maksudmu buat tebak iklan?
    Lalatnya hamil?! Tanggung jawab!” :=(0

    SHUI : “Gaya kepenulisannya beda ala naratornya tapi alurnya malah lambat jadi bikin mule bête ne meski awalnya masi enjoy2 aja, moga seru2annya segera nongol….
    (beberapa menit kemudian) Membosankan, alurnya sangat lambat! Ngaku juga, cih.”

    GHOUL : “Story telling gaya baru. :=(O
    eh, Shui jangan getu kamu ga sopan pergi getu aja, kita belum selesai bacanya.
    Nih naratornya bikin penasaran deh siapa di baliknya. Ya meski seperti kata Shui tadi sih narasinya rada ngebosenin. Tapi menurutku ini beda banget!”

    SUNNY : “Eyd-nya dah oke2 aja si.
    Tapi selalu diulang ‘tua-tua’nya, sebaiknya si ga usah toh dah didapat kesimpulannya memang dy dah tua.”

    GHOUL : “Bajindut, aku ga begitu suka tema naga, si Shui ga suka alur yang lambat, tapi karna eyd nya dah bagus si menurut penilaian Sunny, kami kasi se’re, rua, tellu, appa’, lima, annang (kasih catatan kaki: enam dalam bahasa bugis).
    Tapi karena ini gaya naratornya beda banget, tambah satu lagilah.”
    (nyetor 7 sambil nunggu kembaliannya) :=(D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih sudah mampir ke entri Mbah

      Perkara lambatnya alur Mbah rasa karena narasi pengamat yang memang bertele-tele. Tapi wajar, kan orang tua sukanya bicara panjang lebar dan diulang-ulang, bisa dimaklumi, lah ya, hehehehehehe...

      Perkara naratornya siapa sudah dijelaskan sama ncep Enryuu. Mbah sendiri yang menarasikan lakon mbah, tapi tepatnya, alam bawah sadar Mbah sendiri yang jadi narator. Mbah gak bisa narasi sambil gerak-gerak soalnya, hehehehehe...

      Makasih udah mampir ke Entri Mbah, kapan-kapan kita ketemu lagi.

      Salam sejahtera dari Mbah Amut dan Énryuumaru

      Hapus
  5. POV 1 Pengamat masih agak canggung meski naga pikun ini tidak rumit pemikirannya. Agak sayang dengan bagian dimana mbah tersulut amarah sampai bisa muncul. Padahal pasti seru kalau ia menahan emosi meski pahit rasanya, karena sejatinya naga adalah hewan yang arif.

    8/10 dari Jane Cho.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih sudah mampir mas nyasu.

      Perkara mbah yang triggered itu karena mbah masih sulit mengatur emosi kalau berserk buttonnya dipencet.

      Dan lagi, ini di dunia mimpi, dimana Mbah amut kehilangan inspirasi (yang saya artikan ingatan dan pengetahuan simbah) dan jadi downgraded. Dibuat seperti ini di prelim agar nanti di ronde selanjutnya bisa bikin improvement dan development yang signifikan buat simbah.

      Salam sejahtera dari Énryuumaru dan Mbah Amut

      Hapus
  6. kuro: mbah amut namanya imut. jangan2 suaminya naga gini ya?. itu tuh naganya angling dharma-drama kolosal yang tayang di indosiar
    chou: pas pisah sama syu backsoundnya chemystry-saigo no kawa. trus pas mulai gemra back soundnya ganti goyang dumang. 'ayo goyang dumang♪♪♪'
    kuro: lah? authornya malah nyanyi. yaudah aku aja yang lanjut komen. hmm...ceritanya lucu ada iklan kacang garuda trus ada muncul makanan2 lain, bajigur sate. paling suka sate ayam. cuma satu yg aku radak bingung. jd naratornya zainurma sama ratu huban?...
    chou: mbah amut imut lucu, terimalah kuro sbgai tanda apresiasi saya?
    kuro: thor? bukannya author kesepian kalo aku nggak ada?
    chou: oh iya ya. nanti nggak ada teman curhat. maaf mbah amut saya ralat, saya tarik kata2 saya. saya kasih hachiro (8) lagi sebagai apresiasi. kakaknya kuro nggak papa kan yah.
    kuro:……

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih sudah mampir ke entri Mbah, nak Kuro

      Nanti mbah traktir Tahu Bulat sama sayur asem.

      Salam sejahtera dari Mbah Amut

      Hapus
  7. Saya akui, cerita ini mengesankan. Penggambaran Mbah Amut dan Nwu cukup jelas. Adegan pertarungannya juga epik, dua makhluk melawan entitas kolosal, yang sepertinya bernama "Dark Falls"

    Saya baru pertama kali melihat bentuk narasi seperti ini, jadi saya agak kesulitan memahami beberapa hal di tulisan itu.

    Well, saya bukan orang sunda, jadi ga terlalu mengerti soal bahasa sunda. Dan untungnya author meninggalkan footnote. Appreciate it.

    Hal yang mengganggu saya ketika membaca entri ini adalah adanya beberapa kata yang diulang-ulang dalam jarak dekat, seperti kata "wajar".

    Overall Score: 8

    At last, greetings~
    Tanz, Father of Adrian Vasilis

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih sudah mampir di entri ini m(_ _)m

      btw kalau mau pakai ejaan inggris, Darek Fales dibaca jadi Dark False/Dark Fals

      Mengenai narasi, sudah dijabarkan di balasan komentar bang king (fachrul razi). Gaya narasi ini sebenarnya eksperimental. Sejauh ini cuma gaya narasi ini yang saya rasa pas untuk menggambarkan bagaimana karakter Mbah Amut ini.

      mengenai catatan kaki, karena saya yakin orang yang baca cerita ini tidak semuanya mengetahui budaya sunda yang mau dibawa dalam tema kebudayaan Mbah Amut, saya berjaga-jaga dengan menambahkan catatan kaki.

      Sementara pengulangan kata, saya akui itu salah satu kelemahan saya. Dalam penulisan cerita, kadang kebiasaan mengulang-ngulang kata yang sama masih terjadi dan sulit dihilangkan. Tapi syukurlah masih bisa dinikmati.

      Salam sejahtera dari Énryuumaru dan Mbah Amut

      Hapus
  8. entri dengan pov gaya baru

    pov 1 pengarang serba tau wkwkwkwk

    saya terkesan dengan pembawaan amut yg berkesan simpel dan Sundanese banget. banyak joke-joke yg berkesan eklusif buat para bujang dan mojang priangan tp untung ketulung ama catatan kaki.

    yah, saya harap kapan-kapan kalo Mbah kena santet atau teluh, maen aja ke tempat Axel.

    8

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hmm, sebenarnya maksud hati mau mencoba POV 2 lho, makanya ada "kamu" di sini. Paling yang mungkin bikin ini terasa POV 1 adalah bahwa fakta si narator tidak lain dan tidak bukan adalah Mbah Amut sendiri, yang lebih tepatnya adalah manifestasi alam bawah sadarnya. Dan juga karena kamu yang dirujuk di sini bukan pembaca sebagai simbah, tapi sebagai entitas yang ada bersama si alam bawah sadar simbah :s

      Terima kasih komentarnya ngomong-ngomong, semoga bertemu di final m(_ _)m

      Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

      Hapus
  9. naga pake logat sunda. uhuk..

    ceritanya ringan dan ingin pembaca ikut "mendengarkan" penuturan dari penulis. nggak ada typo sepanjang cerita.

    akan jadi lawan yang sulit kalo Nano Reinfield bertemu Mbah Amut.

    nilai saya buat Mbah Naga 8. semoga sukses..

    Dwi Hendra
    OC : Nano Reinfield

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir di lakon mbah, nak Nano

      Mbah traktir Tahu Bulat digoreng dadakan ya?

      Salam Sejahtera dari Mbah Amut

      Hapus
  10. 8

    Ceritanya oke, dan konfliknya jelas..
    Humornya klem..
    Ini asli nyunda? amut itu nagaaaa... nyundaaa...
    Oke, wgats wrong..

    See you enryuumaru

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih suda mampir.

      Anu... perkara kenapa musti nyunda dalam Entri Mbah Amut. Karena menurut saya Suku Sunda adalah suku yang pas untuk menggambarkan kondisi sosiokultur dari lingkungan Mbah Amut tinggal. Selain itu, Vana, semesta fantasiyah tempat Mbah Amut tinggal adalah sebuah konsep yang berasal dari ide untuk memparodikan Indonesia secara fantasiyah.

      Demikian penjelasannya.

      Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

      Hapus
  11. “KACAAAANG!!”

    “TELOOOORRR!!!”

    “GARUDAAAA!!!”

    Wkwkwkwk. Sponsor lewat~

    Disini Mbah Amut membawakan narasi untuk ceritanya sendiri. Walau agak kacau di awal transisi antar bab, sisanya mengalir lancar dan enjoy.

    Battlenya mantap diselipi sedikit humor. Tapi seperti yang ditunjuk bang king di atas berakhir kurang dramatis. Tidak dijelaskan hubungan Marko dengan Mbah Amut, apa yang membuat kematiannya menyedihkan bagi Mbah.

    Overall amazing reading experience, nilai 9. Makasih sudah mampir di entri Begalodon ya~

    OC : Begalodon

    BalasHapus
  12. Berkebalikan dengan komentar2 di atas, aku justru nggak bisa menikmati entry ini. Pendekatan cerita dengan POV 1 karakter sampingan sebenarnya unik. Tapi justru malah jadi karakter utamanya yg nggak tergali karakterisasinya.

    Rasanya kayak nonton film di mana kamera nyorot narator yg ngomenin orang bertarung di background. Atau kayak nonton tinju di mana komentatornya yg lebih disorot ketimbang petinjunya. Aku nggak dapet alur ceritanya karena terdistraksi komentar narator terhadap cerita yang dinarasikannya sendiri.

    Jokenya miss buatku. I get it, but it aint make me laugh.
    Terus notenya terlalu banyak dan jauh di bawah, keburu lupa. Mungkin lebih baik kalo pake Superscript/Subscript langsung aja. Jadi pembaca awam nggak keburu males nyari arti kata tersebut di akhir entry. I was like, "what was the word again? Ah, nevermind"

    Endingnya yg harusnya dramatis nggak kerasa sama sekali. Karena karakter Markonah ini berasa out of nowhere. Mungkin karena si mbah lupa ingatan, tapi juga bisa karena pembaca nggak bisa ngerasa relate ke karakter si mbah, jadi kurang bisa bersimpati dengan kemarahan si mbah, yang lagi2 berasa out of nowhere.

    Mungkin pendekatan POV 3 atau POV 1 si mbah bisa dipake untuk mendalami karakter. Multi POV juga oke, jadi ada variasi permainan sudut pandang yg bisa bikin pembaca lebih dapet gambaran menyeluruh tentang cerita, karakter beserta motivasinya.

    Secara teknis udah bagus, cuma karakternya kurang digali aja.

    Dariku 7/10
    -FaNa
    FaNa

    BalasHapus
  13. Asal duninya Vana. Jadi kalau ada yang nanya, dari mana mbah amut berasal? Jawabannya dari dunia vana (fana). Dark Falls jadi darek fales ya, baru sadar juga ini :)) overall humor dan battlenya oke sih buat saya.

    Terus uniknya di sini pada pake huruf e curek. Untuk ngebedain bunyi e. Ini apa ga cape copas e curek? Atau pake semacam automated custom font? Pemakaian seperti ini bikin kesan e-nya disebut lebih ditekan, tapi ada yang malah berasa bukan diucapkan pake logat Sunda, kayak waktu: keren-kerenannya sudah selesai. Terdengar Batak. Tapi justru bikin kesan komedik sih.

    Narasi sempet bikin saya enjoy di awal karena interaktif. Asumsi saya mbah amut yang cerita ala ala elder. Eh sampe tengah saya nyangka yang cerita justru Zainurma. Soalnya komentar2nya menurut saya kurang mbah banget. Petunjuknya kurang kesorot. Jadi nggak nyangka aja itu masih mbah yang cerita.

    8/10

    PUCUNG

    BalasHapus
  14. Eem sudut pandang cerita baru...
    Rupanya si narator itu sisi mbahnya itu sendiri.
    Eem tak pikir awalnya memang bakalan pake POV 2 tapi sayangnya fail, karena sisi gelap itu masih nyelipin kata pengganti sudut pandang pertama bahkan cenderung ke POV 3. Gimana gitu kesannya, cukup konsisten aja kalau mau pake POV 2 dngan narator yg mendikte pembaca dengan mengatakan kamu.
    Untuk cerita, harusnya sih bisa ngefeels karena kehilangan si markonah ini tapi ntah knpa malah jdi masang wajah "meh" begitu entri ini selesai tak baca.
    Untuk karakterisasi udah lumayan mewakili kepribadian masing2, saya suka dengan percakapan sunda mereka.

    Overall mbah amut dapet ponten 7.
    Mahapatih Seno

    BalasHapus
  15. Wilujeng sonten, Mbah, kumaha cageur? Ah, nteu? Naha atuh nteu? Oh, keur nyeri hulu? Sok atuh nginum domestos heula, abdi jamin eta nyeri hulu *whuuush* ngaleungit sadayana. Hereuy, Mbah. Ulah, ulah nginum domestos, eta mah lain obat. Dahar bala-bala weh jeung orek bohlam. Oh, ieu, abdi teh resep-bogoh pisan ka carita Mbah.
    Ya, ya, cerita ini bagus dan fresh! Pengalaman membaca yang baru kalo buat saya. Komedinya ada beberapa yang dapet banget, ada juga yang miss. Naratornya begitu menjiwai; semua karakter pikun, bijak, sotoy, dan tuanya dapet. Dan bagian terakhir, waktu Marko menghilang itu, ditambah respons si Mbah-nya, well, nicely done. 9/10

    Oc: Namol Nihilo

    BalasHapus
  16. Hm...

    Gaya narasinya di awal agak jauh dengan si mbah, tapi kemudian tiba-tiba jadi terasa seolah terlibat langsung. Tapi karena si narator nembus 4th wall dan seolah terlibat, ini terkesan hantu yang nemplok di si mbah.

    Oh well, yang bikin saya kurang nyaman dari naratornya hanya satu, overfamiliar, SKSD sama pembaca, juga soal asumsi kalau si pembaca menjawab pertanyaannya. Juga soal kepo bin rempongnya ini narator nanya mulu.

    Meski begitu, saya agak penasaran dengan kelanjutan perjalanan Mbah Amut Nugelo, so I'll give 8 points for now!

    Asibikaashi

    BalasHapus
  17. Wew, saya baca ini di awal-awal sambil mengerutkan kening karena penuturannya yang ... janggal. Yha, PoV yg ngajak pembaca, tp saya susah ngikutinnya entah kenapa. Barangkali karena ... si narator sendiri yg menentukan segala respons kita? Yha, pokoknya gitu. Buat mengerti, saya jadi harus baca lebih dari sekali kalimatnya--faktor otak lelet uwu

    Untung makin ke tengah, penuturannya makin enjoyable~

    Ini sepertinya komedi, tapi saya malah nangkapnya kesan-kesan sendu. Si Mbah cukup melankolis, penuturannya juga. Dan kalau bagian lucunya, ya, mesti diakui beberapa kena. Salah satunya yg saling sahut menyahut. Hmm.

    Oh ya, latarnya buat saya agak samar gitu. Entah kenapa sepanjang cerita, saya malah mbayanginnya ini tarung terjadi di ruang kosong serba putih--did I miss something?

    Saya titip 8

    -Sheraga Asher

    BalasHapus
  18. Astaga eta budak meni di aranan NU GELO ?! siga eweuh ngaran nu bener deui wae atuh mbah. Kahade bisi dibaledogan batu ku barudak leutik engke di alam mimpi ah, isin. hahahahahah, hereuy mbah.

    Kukira dengan judul "Sebuah Kehilangan" isinya akan FULL of dark. Ternyata tidak, isinya malah parodi serta komedi yang benar benar impact ke pembaca seperti saya dan saya suka itu!

    Pembangunan karakter pun sangat bagus, dan point of view unik ini juga jadi point plus.

    Saya ingin mbah lanjut, ceritanya patut untuk dikembangkan!

    Walakhir 9
    Ganzo Rashura

    BalasHapus
  19. Bukan keharusan, tapi codét itu bisa jadi bukti dan saksi kalau mereka pernah bertarung
    >> Codet adalah bukti seorang lelaki - Preman tak dikenal


    Oke mbah dan yus,

    Plus :
    + POV
    Unik ya pake POV 2. Buat saya ini tergolong sukses loh bisa selesai sampai akhir dengan konsisten pake POV 2

    + Bahasa
    Bahasanya ringan ya, pake banget. komedinya pas, saya ngakak plis, meski saya ga bisa bahasa sunda (thanks buat footnote), saya bisa bayangin logatnya gimana.

    + Keseluruhan entry
    Saya mau komentarin layout disini. Sumpah, saya baru ini baca ada art yang jadi header part. Buat saya itu hal baru yang bagus jadi saya kasih nilai lebih.

    Buat minus, apa ya, saya ga kepikiran. Battlenya bagus jadi mestinya bukan minus, tapi bukan plus juga, karena tensi saya datar pas baca. Soale serba salah saya mah. Narasinya oke pake POV 2, saya akui, tapi saya berasa dicekoki, kayak nonton sepak bola atau tinju, dimana yang rame adalah spectator atau yg komen acara. wwww

    Saya sih harap Mbah maju :>



    SCORE :

    Basic : 5
    Plus : 3
    Minus : 0

    Total Score : 8


    Bonus buat Yus :
    ketek Alter Jyanu http://66.media.tumblr.com/477de5da7fbf23a90da0ed612dde9e28/tumblr_o5j1zipBmB1smzgcuo1_1280.jpg


    -Odin-

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.