Minggu, 21 Agustus 2016

[ROUND 2] 02 - ADRIAN VASILIS | I AM BLESSED WITH HER FLOWER

oleh : Tanz

--

Chapter 3
I Am Blessed With Her Flower




"Ibu …"

Iya, ada apa?

"Ayah belum pulang ya?"

Maaf ya, tadi ayahmu bilang dia belum bisa pulang hari ini.

"Ayah sibuk ya?"

Jangan sedih ya, besok Ayah pasti pulang, setelah itu kita sekeluarga bisa mampir ke rumah Kakek.








"Janji ya …"





***

Ruangan kosong dengan pendar putih yang menghangatkan. Untuk sesaat aku heran, kenapa cahaya itu tidak membunuhku. Aku mencium semacam aroma bunga yang terasa asing. Rasa nyaman yang sejuk dan damai—begitulah yang kurasakan di tempat ini.
Pesona itu makin lengkap dengan kehadiran sosok di depanku. Seorang gadis dengan surai hitam yang dikuncir dua di kanan dan kiri. Sebuah jepit rambut dengan ornamen bunga berwarna jingga kekuningan menahan poninya. Mata kanannya tertutup oleh sebuah eyepatch putih, dan mata kirinya yang terbuka menampilkan manik biru yang indah. Dia mengenakan jaket yang mirip denganku—benar-benar mirip, jaket itu jadi terlihat sedikit kebesaran di badannya, dengan resleting yang ditutup sampai tengah, memperlihatkan kaos kuning cerah dibaliknya. Untuk bawahan, dia mengenakan sebuah rok pendek hitam. Sepatu kets berbahan jins dengan tali putih dan stocking hitam membungkus kakinya.
"Heh, kenapa malah bengong?" aku ketahuan.
"Eh … umm … itu …"
"Itu apa? Jangan coba-coba berbuat mesum ya," ujarnya kesal sambil bersedekap.
Setelah itu, aku merasa sangat tolol karena baru mengingat sesuatu.
"Kau …" suaraku mulai bergetar, "s-suara itu …"
Dia menyunggingkan senyum sinis. "Oh, sudah ingat sekarang?"
Kesan bagus tempat ini sirna begitu saja ketika aku menyadari siapa gadis ini.
"Kenapa kau melakukan itu?!"
"Kau mau jadi pahlawan dengan menyelamatkan sandera dari teroris? Itu sangat jauh dari kodratmu!"
Aku teringat sesuatu tentang diriku. "Apakah aku benar-benar seburuk itu?"
"Kau bahkan bisa menghabisi orang tanpa rasa kasihan." Ujarnya. "Lagipula, aku mengundangmu kesini bukan untuk marah-marah. Aku ingin membicarakan sesuatu, jadi lupakan sebentar motivasi dariku itu,"
"Motivasi macam apa itu?!"
"Dia—"
"Dan apa maksudnya dengan mengundangku?"
"Serius, dia—"
"Jelaskan semuanya sekarang!"
Mulutku terkunci rapat.
"Nah, itu lebih baik. Kalau kau tidak bisa menutup mulutmu, maka aku yang akan menutupnya."
Aku masih tidak mengerti. Aku benar-benar tidak mengenalnya, tapi dia bertingkah seolah aku bukan orang asing. Dan lagi, aku tidak tahu ini dimana. Hanya ada kami berdua di ruangan ini. Bahkan aku tidak melihat ada pintu.
"Sial! Cepat hentikan ini!"
"Kalau kau mau mulutmu tidak kupaku dengan permanen, berjanjilah untuk tidak berisik."
"Eh?"
"Oh, iya, aku juga tahu apa yang kau katakan dalam kepalamu~"
Dia memiliki kekuasaan mutlak disini. Entah bagaimana dia bisa membaca pikiranku atau caranya membuatku tidak bisa berkata-kata—secara harfiah. Dia bukan gadis biasa.
"Baiklah,"
"Apa kata ajaibnya~?"
"Serius, cepat buka."
"Apa kata ajaibnya~?"
Aku menggeram pelan—dalam pikiranku. "Kumohon …"{}

***

"Everyone of us is a story writer you know~"

"Everything you can see is made by all of us~"

"Let's see tonight what should we do for now~"

"That's it we will dance together~"

Aku menatap lekat-lekat kedua lukisan yang tiba-tiba saja muncul di kamarku tanpa kehendakku sambil mendengarkan musik yang mengalun dari headphone-ku. Yang satu menggambarkan diriku yang tengah mencekik seorang penembak jitu, satunya lagi menggambarkan sosok diriku yang secara dramatis berdiri di depan sebuah ledakan. Harus kuakui, lukisan ini memang bagus. Tapi kesan mengerikan dari setiap peristiwa di balik lukisan-lukisan itu terus membuatku merinding.
Kuduga Si Brengsek Nurma itu yang mengirimkan lukisan ini, entah apa maksudnya. Menakut-nakuti kah? Dia juga mengatakan sesuatu soal "karya seni" yang harus kubuat selanjutnya. Benar-benar merepotkan.
Satu-satunya hal yang membuatku merasa baikan setelah tragedi yang menimpaku adalah …
"Ian, kau tidak makan? Kakek sudah buatkan telur dadar, uhuk!"
"Sebentar, nanti aku makan."
Sosok yang barusan melongok di pintu kamarku kini berlalu.
Ya. Kakek—dan semua penduduk Seattlon—telah kembali entah darimana. Kondisi mereka semua sama, linglung dan terserang semacam flu. Kota yang mati untuk beberapa saat kini kembali dipenuhi peradaban. Namun semuanya masih terasa sunyi. Aku tidak bisa merasakan sukacita diantara orang-orang. Mereka semua suram dan kelam, tapi kupikir itu kondisi yang cocok untuk melengkapi kota yang sekarat ini. Kalian pernah bermain game bertema post apocalyptic? Kira-kira begitulah kondisi Seattlon saat ini.
Diluar, medan energi itu masih ada, tapi sekarang terlihat lebih luas dan berwarna kehitaman. Sama-sekali tidak ada aura yang bagus. Serius, aku merindukan sinar mentari pagi yang membuatku kesal karena membangunkanku dari mimpi. Omong-omong soal mimpi, ada beberapa hal yang masih tidak kupahami. Coba pikirkan, menurut kalian skenario macam apa yang sedang kualami ini? Apa itu Alam Mimpi? Apa yang terjadi di tempat ini sampai-sampai bisa terlihat seolah baru saja ditimpa bencana?
Kenapa aku harus bertarung?
Suara embik pelan disusul suara deham tua yang menyakitkan terdengar dari dapur. Kurasa itu tanda yang cukup meyakinkan untuk segera menuju meja makan.

***

"Siapa namanya?"
"Siapa?"
Kakek menunjuk seekor domba bodoh yang sedang menyantap telur dadar yang berserakan di lantai. Aku tidak akan heran kalau nanti dia bakal mengorek isi tempat sampah.
"Entahlah, kurasa dia tidak perlu hal semacam itu."
Kakekku batuk. "Kau harus merawat peliharaanmu dengan baik. Hargailah pemberian pria itu."
Ya, sebelumnya aku sudah membicarakan tentang hal yang sudah kualami beberapa puluh jam terakhir. Seperti rumah yang diberondong peluru, tentang Zainurma dan Si Kepala Bantal yang selalu mengikutinya, peristiwa terorisme yang kutonton secara langsung … tapi aku tidak cukup berani untuk menceritakan hal-hal buruk yang berhubungan denganku, seperti fakta bahwa aku menghabisi nyawa orang-orang tanpa rasa kasihan. Kupikir Kakek akan langsung serangan jantung ketika mendengar cucunya menjadi seorang psikopat—dalam konotasi.
Aku merasa aneh sejak aku menekan tombol di remote itu. Otakku seolah terpecah menjadi dua. Aku tidak pernah ingin menekannya, tapi ada sesuatu—yang membuatku jadi berhasrat untuk memusnahkan semuanya. Apakah mungkin ada yang tidak beres dengan kondisi kejiwaanku?
"Ian, kau sakit?"
Ucapan Kakek membuyarkan lamunanmu.
"Kakek tahu kau memang sering lesu, tapi Kakek belum pernah melihatmu sepucat ini. Kau ada masalah?"
"Banyak."
Aku mengelus headphone yang terkalung di leherku sambil menatap telur dadar yang tinggal setengah di atas piring—mencoba mengingat lagu yang bisa menghiburku di saat seperti ini.
"Baiklah, ingat untuk ceritakan itu nanti, ehm!"
Dahak di dalam lehernya terdengar menyiksa.
Dia beranjak seraya mengambil sisa telur dadar di meja dan memasukkannya ke dalam lemari pendingin. Dombaku masih sibuk menjilati sisa bumbu dan minyak di lantai seolah itu benda terenak yang pernah dia rasakan.
"Aku boleh pinjam komputernya?"
Dia hanya mengangguk sambil membereskan piring di wastafel.
Jarang sih aku meminjam komputer Kakek saat dia ada di rumah. Tapi aku benar-benar butuh asupan FPS.

***

Permainan berakhir dengan kekalahan telak di pihakku. Tim yang kumasuki kalah dalam tiga ronde. Aku pribadi hanya mendapatkan delapan kill(s) dan tiga belas death(s). Dengan sedikit kesal kututup jendela permainan itu. Kalah dari bot akan jadi hal yang memalukan, setidaknya itu yang mereka katakan.
Sebuah notifikasi muncul dari pojok kanan bawah monitor. Skype? Bahkan tidak ada webcam ataupun koneksi internet disini. Siapa yang memasang aplikasi Skype disini? Dan siapa yang cukup sinting menghubungiku untuk video call di saat lingkungan di sekitarku terkorosi secara perlahan?
Klik!
"Halo lagi,"
Wajah memuakkan itu kembali muncul di hadapanku melalui layar monitor.
"Wah, aku kaget."
"Kau ini pasti masuk dalam hitungan orang yang tidak asik di kalangan anak muda, ya?"
"Ada apa?"
Dia tersenyum miring. "Karyamu selanjutnya. Seperti biasa, dombamu yang akan jadi pengantarnya."
"Apa aku harus berhadapan dengan teroris lain?"
"Sebenarnya, tidak. Kupikir kau akan lebih rileks dengan yang satu ini."
"Maksudnya?"
Pria berambut klimis itu membolak-balik halaman bukunya, mencari sesuatu.
"Ah, ketemu! Kali ini kau akan berhadapan satu lawan satu dengan Reverier lain."
"Dan … siapa yang harus kulawan?"
"Sebuah kaleng."
Hah?
"Aku tahu, itu memang terdengar konyol. Tapi lawanmu kali ini memang sebuah kaleng penyegar ruangan."
"Kau lagi bercanda kan?"
Sorot matanya makin tajam dan serius. Kurasa tak perlu ada pertanyaan lain.
"Percayalah, jangan sepelekan benda itu."
"Uh, baiklah."
"Dan perlu diingat, kalau kau mau semuanya selamat, menangkanlah pertarungan ini."
Terbesit dalam pikiranku ketika Seattlon—tidak, seluruh bumi beserta para penduduknya terhisap ke Alam Mimpi, dan menjadi properti Museum Semesta—jika aku gagal. Setidaknya begitulah yang dikatakan oleh Si Brengsek Nurma ketika para Reverier dikumpulkan untuk kedua kalinya beberapa waktu yang lalu.
"Rasanya tidak adil,"
"Jangan protes padaku," ujarnya. "Seperti yang pernah kubilang, kita sama-sama terperangkap dalam permainan gladiator ini."
"Hei, siapa yang cukup gila untuk menanggungkan beban seluruh dunia pada seorang anak kurang gizi sepertiku?"
"Hati-hati dengan ucapanmu. Kau tak mau membuatnya murka dan melenyapkanmu sampai tak bersisa, bukan?"
"Apa? Siapa?"
Beberapa detik kemudian, aku menyadari alzheimer menyerangku lebih cepat.
"Ah, monumen itu …" jujur saja, membayangkan sosok patung itu saja sudah membuatku bergidik.
"Persiapkan dirimu, buat karya seni terbaik."
"Ya, ya, dasar cerewet."
Jendela video call tertutup, diikuti oleh menghilanya logo Skype di pojok kanan bawah. Seekor domba mengembik sambil masuk ke kamar Kakek, menuju ke arahku yang masih terduduk di depan komputer.
Sebenarnya aku tidak menyangka akan datang misi baru dalam waktu sedekat ini. Aku bahkan belum sempat buang air sejak kemarin. Tapi aku juga tidak punya pilihan lain.
Seperti yang pernah kubilang, kita sama-sama terperangkap dalam permainan gladiator ini.
Aku heran. Kenapa kita tidak bisa menentang pencipta skenario mematikan seperti ini? Apa memang kekuasaannya begitu mutlak sampai Zainurma—yang kulihat sebagai "panitia" kompetisi berdarah ini—menjadi tunduk padanya? Aku yakin, Zainurma, Si Kepala Bantal, dan seorang wanita yang kuingat sebagai Mirabelle bukan orang biasa. Mirabelle bahkan secara terang-terangan menyatakan kalau dia adalah seorang dewi. Lalu apakah entitas yang misterius ini memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari seorang dewi sekalipun? Mereka bungkam. Sepertinya harus aku sendiri yang memecahkan teka-teki ini … sendirian.

***

"Oh, iya, kita belum kenalan kan?" Senyum sinisnya tiba-tiba menghilang, digantikan oleh mimik ceria yang menggambarkan antusiasme dalam dirinya.
"Itu yang mau aku tanyakan dari tadi." Ujarku. "Siapa namamu?"
"Anna."
"Anna? Cuma itu?"
"Iya, hanya itu yang bisa aku ingat."
"Kau pernah gegar otak atau semacamnya? Amnesia?"
"Ehm …" dehamnya mengingatkan.
"Err … oh, ya, sebenarnya tempat apa ini? Dan kenapa kita bisa ada disini?"
Dia berbalik memunggungiku. "Jujur, selama ini aku terus mencoba. Akhirnya terwujud sekarang …"
"Apa maksudmu?"
"Yah, ceritanya panjang, dan hampir semuanya tidak mengenakkan." Dia berbalik lagi. "Saat ini, kita sedang bicara dari hati ke hati."
Dia tersenyum lembut … manis sekali. Sangat berbeda dari apa yang kulihat pertama kali.
"Dari … hati ke hati?"
"Mata ini … yang menghubungkan kita berdua."
Tubuhku terasa merinding. Kepalaku mulai berkedut, entah kenapa.

Detak jantung stabil, peralatan sudah steril.

Jadi dia pendonornya? Astaga …

Tidak perlu khawatir …

"Jadi … kau …"
Tahu-tahu gadis itu sudah berada persis di depanku. Perlahan dia menyeka rambut yang menutupi salah satu mataku.
"Mata yang indah …" ujarnya sambil tertawa kecil.

***

Setelah duduk di kloset selama satu setengah jam (ya, aku ketiduran di toilet) dan pamit pada Kakek, aku pun menelusuri jalan raya ke utara, mengikuti bimbingan dari domba bodoh ini.
Di jalanan, orang-orang berhamburan seperti mayat hidup. Tapi mereka tidak menghendaki untuk memakan otak seperti yang digambarkan oleh beberapa film horror. Semuanya mengeluhkan hal yang sama: kerongkongan dan tenggorokan yang dirasa tidak nyaman dan sakit kepala. Beberapa bahkan ada yang sampai batuk darah. Apakah ini yang mereka sebut sebagai akibat dari biohazard?
Aku yakin sudah berjalan lebih dari satu kilometer, tapi aku tidak bisa melihat ujung tembok medan energi di utara. Tempat ini serius bertambah besar. Aku mulai merasa tidak nyaman terlalu lama berada di luar, dan tenggorokanku juga mulai gatal.
Beberapa ratus meter kemudian, Seattlon terpotong. Maksudku, benar-benar terpotong—jalanan beraspal berhenti di depan, bahkan salah satu gedung di sampingku terbelah dengan mulus, memperlihatkan isi dan ruangan-ruangan di dalamnya. Tidak ada seorangpun disini, berbeda dengan lingkungan di sekitar rumah Kakek. Di hadapanku hanyalah jalanan kotor dengan blok paving yang tidak terlalu rapi. Di sisinya terpampang ladang pertanian yang sangat luas yang dibatasi oleh selokan-selokan kecil. Jajaran pohon pisang menghiasi bahu jalan yang masih berupa tanah.
Suasana pedesaan, sangat kontras dengan Seattlon. Di kejauhan, samar-samar terlihat semacam istana megah dengan kubah keemasan. Kutebak di sekitar tempat itu adalah pusat peradaban. Walaupun begitu, aku masih bertanya-tanya kenapa tiba-tiba Seattlon terhubung dengan tempat ini? Apakah ini latar yang diatur oleh Zainurma?
Domba bodohku yang seolah terhipnotis melihat hamparan hijau di depannya langsung berlalu menghampiri lusinan tanaman padi itu. Yah, kuakui, telur dadar juga tidak membuatku kenyang.
Kulangkahkan kakiku menuju jalan kecil itu. Tidak ada medan energi yang meliputi tempat ini. Langit biru tak berawan terbentang luas, menampilkan mentari yang bersinar terang—terik, sebenarnya. Keningku jadi sedikit berkeringat.
Kutelusuri jalan ini, meninggalkan dombaku yang tengah mengisi perutnya. Mataku tertuju pada sebuah warna kecoklatan beberapa meter di depanku. Bangunan reyot—sebuah gubuk—itu terlihat bersembunyi diantara pohon pisang dan ilalang yang tumbuh dibelakangnya. Perlahan kudekati gubuk itu.
Dindingnya hanya berupa triplek tipis dengan kayu kecil sebagai rangka, sedangkan atapnya menggunakan kardus. Jika memang digunakan untuk beristirahat para petani, mungkin keberadaan gubuk ini bukan hal yang janggal. Tapi desain gubuk kecil ini lebih mirip seperti hunian. Dan ketika aku masuk, kupikir orang yang tinggal disini pasti sangat miskin.
Hanya ada sebuah dipan dan kasur tipis kotor yang bisa digunakan untuk alas duduk dan tidur. Di atas dipan ada sebuah tas karung dan semacam tongkat pengait. Di pojok ruangan ada sebuah meja kecil, tempat tergeletaknya sebuah buku tebal seperti kitab, sebuah lilin yang sudah terbakar setengah, dan—
"Inikah kaleng yang dibicarakan Si Brengsek itu?"
Kuperhatikan kaleng hijau itu. Aku sedikit terkejut, tapi bukan karena kalengnya. Benda itu digenggam sebuah sarung tangan besi yang sepertinya merupakan bagian dari zirah yang lebih lengkap—sebuah gauntlet.
Untuk apa ada benda seperti ini di tempat tinggal kumuh?
'Permisi, kamu siapa?'
"Siapa itu?" ujarku sambil menatap sekeliling, tak menemukan siapapun.
'Ini aku, kaleng di depanmu.'
Kutatap kaleng itu lekat-lekat. "Kau … kau bicara padaku?"
Wow. Sebuah kaleng penyegar ruangan yang bisa bicara. Siapa yang mengira hal itu bisa terjadi? Haha.
'Iya.' Katanya. 'Kamu ini siapa?'
"Err … cuma orang yang kebetulan lewat."
Dia terdiam.
"Untuk melawanmu," lanjutku.
Tiba-tiba ujung gauntlet yang menggenggam kaleng itu mengeluarkan roket, mendorongnya keatas dan melayang ke arahku, membuatku tersentak ke belakang.
'Jadi … kau Reverier yang harus kulawan, ya? Saviit bilang kalau aku harus berhati-hati padamu.'
"Cih, lagipula apa yang bisa sebuah kaleng lakukan padaku?"
Aku terhempas, melubangi tembok triplek lalu terjatuh di atas blok paving yang tidak rata. Kepalaku terantuk ke batu dan dan meninggalkan rasa sakit yang teramat sangat. Aku mencoba bangun dengan sempoyongan yang napas yang tiba-tiba terasa sesak. Ini aneh, aku tidak biasanya seperti ini.
Kaleng itu melayang keluar melalui lubang yang kubuat, berhenti di bawah daun pohon pisang.
'Sepertinya aku beruntung tadi.'
Jari telunjuk dari gauntlet bersiaga di kepala penyemprot kaleng itu.
"Apa—apa yang kau lakukan barusan?" ujarku dengan suara terengah-engah sambil menyeka keringat di dahiku.
'Saviit menyarankanku untuk bersiap-siap, dan kelihatannya aku menyerap elemen yang tepat.'
Suara embikan menyusulnya. Seekor domba yang sepertinya milik kaleng ini muncul dari balik gubuk.
"Apa maksu—"
Aku mendengar suara desis yang tidak asing. Kulirik asal suara itu yang ada di bawah, dekat kakiku. Selembar daun dari rerumputan yang mencuat diantara blok paving itu … terbakar. Tidak mungkin kan kalau kaleng itu menguasai pyrokinetic? Dan satu-satunya alasan logis kenapa rumput itu bisa terbakar adalah …
Astaga …
Aku harus segera keluar dari sini …
Sekuat tenaga aku berbalik dan berlari, menuju ke tempat dimana seharusnya aku berada. Sialnya, kaleng itu melesat jauh ke depanku. Lalu dia terbang memutar, dan dengan cepat menghajarku dengan telak, tepat di perut.
Sekali lagi aku terjengkang dan terjatuh. Aku berguling ke samping dan mencoba bangun sambil menahan sakit dan mual. Saat baru merangkak bangun, aku terbatuk—yang terdengar menyakitkan. Di bawah, muncul bercak cairan berwarna merah.
"A-aku … harus …"
Aku kembali bangkit. Padahal hanya tinggal beberapa puluh meter lagi, aku bisa kembali ke tempat yang mereka sebut Bingkai Mimpi—Bingkai Mimpiku.
Dengan tenaga yang tersisa, aku mencoba berlari lagi. Di belakangku, muncul sebuah pancaran sinar, yang semakin lama semakin terang … semakin terang … dan semakin terang.
Aku terpental lagi, cukup jauh sampai aku terguling berkali-kali di blok paving yang keras. Bunyi desis itu muncul lagi, terdengar lebih banyak. Mataku mulai berkunang-kunang, pening mulai menyerang kepalaku. Terseok-seok aku menyeret tubuhku dengan susah payah.
Entah apa yang terjadi selanjutnya. Aku hanya merasakan tubuhku diangkat oleh sesuatu dan dibawa pergi. Sinar terik di atas kini telah berganti dengan sesuatu yang kehitaman. Perlahan aku merasa baikan, dan penglihatanku mulai kembali.
Untuk sementara aku aman sekarang. Kemudian, aku menyadari bahwa yang membawaku kesini adalah dombaku—yang sekarang berdiri dengan kedua kaki belakangnya.
"T-terima kasih …"
Dia mengembik prihatin. Aku bangun, berusaha untuk duduk. Kutatap ke arah dunia yang memotong Seattlon. Kaleng itu mendekat dengan cepat, melayang dibawah lindungan daun-daun pisang.
Dombaku tiba-tiba merebut revolver dari pinggangku.
"Hei!"
Dia menarik pelatuknya, lalu mengarahkan revolverku ke arah kaleng itu. Aku terkesima sesaat. Domba bodoh itu kini membantuku, melindungiku … menyelamatkanku. Ini memang bukan pertama kalinya, tapi yang dia lakukan sekarang benar-benar diluar dugaanku.
Dor!
Meleset.
Dia langsung menarik kembali pelatuknya, lalu meletuskan satu peluru lagi. Tembakannya masih meleset.
"Hoi, jangan buang-buang peluru!" Aku bangun dan merebut revolver itu, kemudian melemparnya ke jalanan. "Aku tidak punya banyak, tahu! Kalau kau mau menyampah, cari amunisi sendi—"
Domba didepanku berubah menjadi asap putih. Kaleng itu berhasil merangsek ke Bingkai Mimpiku. Dia terbang memutar, lagi. Dengan cara yang sama, dia menubruk tubuhku. Beruntung, dia hanya menyebabkan lubang berasap di dadaku.
Aku berbalik. "Yah, sepertinya kau yang akan ka—"
Dia berada tepat di depanku.
'Halo.'
Yang terakhir kuingat adalah tubuhku yang berubah menjadi asap, lalu semuanya menjadi gelap.

***

"Kau ingat tragedi yang menimpamu empat tahun lalu?"
Ya, jelas sekali. Ketika aku sekeluarga mengalami kecelakaan lalu lintas. Semuanya meninggal, kecuali aku.
"Aku tidak mau membahas itu."
Gadis itu masih menyeka rambutku, memperhatikan mata kanan yang selama ini berusaha kututupi.
"Apakah menderita heterochromia non-alami itu sangat mengganggumu?"
"Tidak sih, tapi …" kuhela napas dalam-dalam. "Aku tidak ingin mengingat kenangan itu. Dan tiap kali aku melihat mata ini di depan cermin …"
Dia mundur selangkah. "Aku mengerti."
"Kau tahu istilah move on?" aku mengangguk. "Itu bukan berarti kau harus melupakan segalanya. Kau hanya harus menerimanya dan terus melanjutkan hidup."
Nah, sekarang dia tiba-tiba jadi bijak. Maunya apa sih gadis ini.
Dia merogoh saku jaketnya, lalu mengambil sesuatu dari dalamnya.
"Ini, buatmu."
Dia menyodorkan sebuah jepit rambut yang sama persis dengan yang dia kenakan.
"Err … apa menurutmu aku suka bunga?" kuambil benda itu dengan sedikit terpaksa.
Dia menggeleng. "Tapi aku suka."
Kuperhatikan jepit rambut hitam polos dengan ornamen bunga berwarna jingga itu. Tidak ada yang istimewa, hanya jepit rambut biasa.
"Itu Gazania, bunga keberuntungan."
"Kenapa kau memberikan ini padaku?"
Dia mengangkat bahu. "Yah, anggap saja itu jimat dariku."
"Aku masih tidak mengerti …"
"Hee? Kau ini tolol atau bagaimana?"
Sekarang dia mendekat lagi. Diambilnya headphone yang kukalungkan, lalu memasangnya di telingaku. Setelah itu dia mencabut audio jack-nya dengan paksa dari mp3player-ku.
"Hei, a-apa yang mau kau lakukan?"
Gadis itu merogoh saku jaketnya yang lain, mengambil sebuah iPod dari dalamnya. Kemudian dia menyambungkan audio jack dari headphone-ku kesitu.
"Lain kali, kau harus lebih banyak mendengar."


" オレンジの世界に 隠したガザニア "
"Orenji no sekai ni kakushita gazania~"
(Somewhere in this orange twilight world, a Gazania lays hidden)


" 息をすること忘れて いたよ "
"Iki o suru koto wasurete ita yo~"
(Forgetting to even breathe)


" なんで君はわかんないの "
"Nande kimi wa wakannai no~"
(Why can't you understand?)


" そして もう一度 声が 私に響いたら "
"Soshite mou ichido koe ga watashi ni hibiitara~"
(And if that voice of yours could resonate for me once again)


" アンビエント 止まるアナライズ "
"Anbiento tomaru anaraizu~"
(It's ambience would set my mind at ease)


" なんで君はわかんないの ねぇ "
"Nande kimi wa wakannai no nee~"
(Why can't you just understand?)


***

Gelap—hanya itulah yang kurasakan. Aku tidak ingat dengan rinci kejadian sebelum ini, tapi jika perkiraanku benar … kaleng ini bisa menyerap unsur apapun yang ada di sekitarnya—termasuk diriku yang dasarnya terdiri dari gumpalan asap. Cara yang sama dia lakukan untuk menembakkan semacam meriam cahaya tadi. Dia menyerap energi dari pancaran sinar matahari. Zainurma ada benarnya juga, aku terlalu meremehkan kaleng ini.
'Halo lagi,'
Suara itu menggema dalam hitam kelam.
"K-keluarkan aku!"
'Terima saja, kamu sekarat sekarang.'
"Aku tidak—"
Tubuh asapku bergetar, dan entah kenapa aku merasakan perih yang luar biasa. Beberapa titik asap dalam tubuhku menggumpal, lalu mengembun. Tetesan cairan berwana merah mulai berjatuhan.
"Sial …"
'Sekarang kamu sudah terperangkap dalam tubuhku. Tidak ada yang bisa kamu lakukan.'
Dalam keadaan buta tanpa penerangan, aku meraba-raba. Hasilnya nihil. Dinding keras ada dimana-mana. Satu-satunya jalan keluar adalah melalui jalur yang sama ketika aku masuk, yang sekarang tertutup rapat.
'Tinggal tunggu waktu sampai—'
Dunia berguncang. Tidak, maksudku, tempat dimana aku berada yang berguncang-guncang. Samar-samar kudengar suara dentuman dan letusan yang terdengar familiar. Karena otakku yang terlalu malas diajak berpikir, setelah seperempat menit aku baru sadar apa yang sedang terjadi.
Dombaku mengambil revolver yang tergeletak di aspal.

Siapa aku?

Tembakan kedua.

Untuk apa aku dilahirkan?

Hening. Tidak ada letusan peluru lagi.

Stalla?

Terdengar suara benturan logam.

Apakah maksud dari eksistensiku hanya sebagai penyegar ruangan?

Aku mengerti.
Aku mendengar semuanya.
"Stalla …"
'Eh?'
Guncangan terhenti. Namun tak lama setelah itu, terjadi guncangan yang yang lebih besar, diikuti dengan beberapa kali bunyi benturan yang teredam. Sepertinya kaleng ini baru saja dihajar dan terpental hingga jatuh ke tanah.
"Semprotkan aku."
'M-maksudnya?'
Udara terasa makin panas disini.
"Cepat lakukan, kalau kau tidak mau mati."
Beruntung—lagi—gauntlet yang menggenggam kaleng ini tidak terlepas. Ketika jalur semprotannya terbuka, aku merangsek keluar, menimbulkan bunyi desis yang panjang. Cukup lama sampai seluruh tubuhku bisa keluar dari sana.
Dengan segera aku mewujud menjadi tubuh manusiaku, setelah itu berlari menghampiri dombaku yang sedang dalam posisi siaga.
"Sudah! Hentikan!"
Aku memeluk domba itu dengan erat, menahannya agar tidak bergerak. Dia mengeluarkan embikan bahagia, mengetahui diriku yang sudah terbebas dari kaleng yang kini melayang mendekatiku.
Kulepaskan pelukanku, lalu kuambil revolver yang ada pada dombaku.
"Stalla … itu namamu kan?"
Kubuka katrid peluru revolverku—kosong.
'Iya …'
Satu peluru terisi, kututup.
"Kau tahu … kau punya sesuatu dalam dirimu."
'Apa maksud kamu?'
"Kita punya kesamaan dalam beberapa segi."
Kusentuhkan tanganku di bawah permukaan dasar kaleng itu. Roketnya mati, dia mendarat.
'Persamaan?'
"Untuk apa kita berada di dunia ini? Untuk apa kita berada disini?" ujarku. "Untuk apa kita bertarung?"
Kaleng itu terdiam sebentar.
'Aku tidak tahu.'
"Kita sama-sama tidak tahu siapa atau apa sebenarnya kita. Dan apa bergunanya kita bagi orang-orang?"
'Umm … entahlah. Tapi kurasa … bapak-lah yang menjadi tujuan keberadaanku, setidaknya beberapa waktu yang lalu.'
"Ah, kau punya orang tua?"
'Bukan. Dia bapak pemulung yang pertama kali menemukanku di dalam tong sampah.'
"Uhm … aku mengerti." Ujarku sambil mengangguk pelan. "Tapi disini kita dipaksa beradu, berlomba untuk menghasilkan karya seni terbaik dengan tekanan dari sebuah entitas yang tidak kupahami."
'Yah, sepertinya kamu benar.'
"Stalla, apa kau mau keluar dari semua setting ini? Mencari tahu tentang siapa dirimu?"
Dia kembali terdiam.
'Iya …'
Aku menatapnya dalam-dalam. "Baguslah, kau punya secercah harapan. Dan harapan itu hanya bisa diwujudkan dengan satu hal,"
'Apa itu?'
"Bangun dari mimpi buruk ini."
Dor!
Tidak, kaleng itu hanya penyok. Padahal seharusnya peluru cukup kuat untuk membuat lubang pada sebuah kaleng penyegar ruangan biasa. Tapi kaleng ini begitu berbeda.
Setelah tertembak, dia terhempas dan jatuh di depanku, sama sekali tidak bersuara lagi. Gauntlet yang sedari tadi menggenggam kaleng itu pun kini terlepas. Apa dia mati? Atau cuma pingsan?
Untuk sesaat senyum licik tergores di wajahku tanpa aku sadari. Tapi setelah itu …
"Eh … kok?"

Kau pembawa duka dan kematian …

Tanpa arah dan tak punya impian …

Kau adalah …


… monster …


"Kenapa aku … menembaknya …"
"Itu adalah naluri yang lahir dari mata kananmu." Beberapa meter di sebelahku, seorang gadis tengah berusaha untuk berdiri. "Tampaknya kaleng itu berhasil mengeluarkanku juga, entah bagaimana caranya."
"A-Anna?"
Kami saling tatap dalam keheningan.
Tiba-tiba terdengar suara embik yang saling bersahutan dan terdengar berat. Ketika aku menoleh ke sumber suara, lima ekor domba hitam besar setinggi dua meter telah muncul di tengah jalan raya. Satu-satunya hal aneh menurutku diantara mereka adalah kehadiran sesosok makhluk pendek berbadan kerangka tulang dengan kepala yang berupa bola mata besar bermanik ungu. Dia membawa semacam tongkat panjang dengan ujung yang kukenali sebagai bentuk dari dreamcatcher. Sebuah jubah ungu terpasang di tubuhnya.
"Pergi," ujar kerangka itu.
"Siapa lagi kau?"
"Enyah dari tempat ini,"
Aku masih mencerna apa yang terjadi disini. Satu manusia, satu kerangka, dan lima domba muncul begitu saja entah darimana, atau mungkin aku yang tidak memperhatikan kedatangan mereka.
"Pergi."
Si Jubah Ungu mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. "Usir mereka!"
Domba-domba hitam itu mengembik bersamaan, lalu berlari ke arahku. Mata merah domba-domba itu menandakan kalau mereka bukan hewan yang bersahabat. Ukuran tubunya juga makin memperparah kesan menakutkan itu.
"Aku akan menangani ini," ucap gadis itu sambil segera memasang kuda-kuda di depanku. "Cepat, lari!"
Tanpa pikir panjang, aku segera berbalik dan bergegas. "Domba!"
Domba putihku berlari di belakangku, membawa Stalla dan gauntlet yang tadi terjatuh. Kami terus berlari sampai berada persis di batas antara Bingkai Mimpiku dengan Bingkai Mimpi milik Stalla. Aku terkejut, karena aku hanya dapat melihat kobaran api dimana-mana. Aku mundur perlahan, menghindari lokasi yang mungkin bisa membunuhku.
Kutolehkan kepala ke belakang.
"Flame!"
Api menyembur dari salah satu tangannya, menghanguskan salah satu domba menjadi abu.
"Breeze!"
Angin dingin berhembus dari lengannya yang lain, membekukan domba nomor dua begitu saja.
"Spark!"
Percikan listrik muncul dari kedua lengannya, disetrumkan kepada domba nomor tiga sampai lumpuh dan tak berdaya.
"Quake!"
Dihentakkan kaki kanannya sampai domba nomor empat tenggelam dalam lubang dalam yang terbentuk dalam sekejap. Satu hentakan lagi, material di tembok lubang itu rubuh dan menimbun domba itu—menguburnya.
"Terakhir, Saint!"
Tubuh gadis itu mulai bercahaya, yang semakin lama semakin terang. Pada titik yang membutakan mata, sebuah ledakan sinar terjadi, persis seperti yang pernah Stalla lakukan. Hanya saja, kali ini gelombang kejut ledakan itu tidak terfokus pada satu arah, melainkan ke segala arah. Hal itu membuat semuanya terlontar, termasuk diriku.
Sepertinya keberuntungan sangat menyayangiku hari ini. Aku berhasil bertahan dan tidak terseret terlalu jauh. Tapi dombaku sepertinya tidak mendapatkan nasib baik itu. Dia terlontar jauh ke dalam Bingkai Mimpi milik Stalla. Hanya ada api yang kulihat disana. Aku bisa mendengar dia mengembik kesakitan sebelum akhirnya melebur menjadi awan putih dan lenyap. Kemudian …
Bum!!!
Kaleng itu meledak seperti granat.
Isi bertekanan tinggi, dapat meledak pada suhu di atas 50 derajat celsius.
Ah, iya … aku pernah membaca peringatan semacam itu di wadah yang sama. Bagaimanapun, dia adalah kaleng penyegar ruangan.
Di depan sana, Anna terlihat terengah-engah, domba-domba yang tadi sudah dihabisinya terus muncul dan muncul kembali walaupun sudah dihabisi. Empat domba yang mengepungnya terus menghajar gadis malang itu.
Tunggu dulu …
Empat domba?
Aku menoleh ke samping, dan hidung basah itu tepat berada di depan wajahku.

***

Perlahan-lahan kubuka mataku. Sosok buram wanita berambut merah panjang yang pertama kali kulihat. Dia mengenakan sebuah helm perak dan mengenakan gaun putih yang membuatnya terlihat seperti orang dari jaman Yunani Kuno yang gambarannya sering kulihat di beberapa komik dan novel.
Dewi Mirabelle.
"Kakak tidak apa-apa?" ujar sosok berkepala bantal dengan nada khawatir.
"Kurasa begitu,"
Aku mencoba untuk bangun dan duduk.
"Kau terluka parah tadi. Kedua kakimu hilang dan kepalamu hancur separuh." Aku terlonjak mendengar itu. "Tapi sepertinya kami datang tepat waktu, jadi aku bisa memulihkanmu. Kau beruntung, Sang [Kehendak] sepertinya mengijinkanmu untuk bisa kembali utuh."
"Huh, dasar Oneiros nakal. Aku langsung usir dia sama domba-dombanya yang bikin Kakak jadi begini," sekarang nada Ratu Huban terdengar kesal.
"Sang [Kehendak]?"
"Ya. Dialah entitas yang mengawasi kita. Mengekang kita semua sehingga berada dalam situasi yang seperti ini."
"Monumen itu …"
Kami terdiam selama beberapa detik.
"Bibi Mira," Si Kepala Bantal tampak menunjuk sesuatu. "Kakak yang disana bagaimana?"
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Ratu Huban.
"A-Anna?!"
Dengan segera aku bangun dan berlari, menghampiri gadis itu yang sekarang berdarah-darah. Pakaiannya terkoyak di berbagai bagian. Luka gores dan lebam hadir nyaris di sekujur tubuhnya. Tangan kanannya putus. Eyepatch yang tadinya terpasang di kepalanya sekarang hilang entah kemana, memperlihatkan kelopak mata kanannya yang terlihat tidak beraturan.
"Ugh … I-Ian …" mata kirinya kini terbuka.
"Iya, aku ada disini … bertahanlah,"
Aku berlutut di sampingnya. Dengan kedua lenganku kuangkat tubuh lemahnya, menuju ke pangkuanku.
"Dewi Mirabelle! Cepat tolong dia!"
Wanita itu tertunduk. Raut sedih dan penyesalan bercampur di wajahnya. "Maafkan aku … Sang [Kehendak] mencegahku untuk melakukan itu …"
"A-apa …"
Kenapa … kenapa di saat seperti ini malah …
"Keparat kau [Kehendak]! Apa maumu sebenarnya, hah?! Kau mempermainkan mereka, aku, para Reverier, semuanya! Kau pikir siapa dirimu bisa mengatur semuanya?! Kau hanya patung jelek, bajingan busuk yang seharusnya ada di tempat sampah!!"
Tanpa sadar, aku menangis.


 


Kemudian, hangat menyerang wajahku. Dengan tangannya yang tersisa, dia mengusap pipiku perlahan—sangat lembut …
"Jangan begitu …" ujarnya lirih.
Kugenggam pergelangan tangan yang berdarah itu.
"Ingat jimat yang aku berikan? Itu berfungsi, kan?"
Aku mengangguk pelan. "Aku memang mendapat banyak keberuntungan dalam beberapa jam terakhir …"
"Syukurlah kalau begitu,"
Dewi Mirabelle membuang muka, sementara Ratu Huban tertunduk lesu.
"Hei …"
"Hmm … ?"
"Jangan lupa dipakai ya … walaupun itu mata seorang monster, tapi aku tidak ingin kepalamu terantuk pintu," ucapnya lalu tertawa renyah, sempat-sempatnya dia begitu saat kondisinya benar-benar kritis.
"Tidak, kau bukan—"
"Iya, Ian. Itulah kenyataannya. Flame, Breeze, Spark, Quake, Saint, dan yang terakhir … Shade—milikmu."
"A-apa maksudnya?"
"Akulah asal kekuatanmu, Ian. Akulah iblis yang ada dalam dirimu …"
Aku menurunkan tangannya dengan badan yang gemetar.
"Dan sekarang iblis itu akan menghilang … seperti nasib seharusnya yang dialami orang jahat …"
"Tidak!" Aku jadi makin cengeng. "Kau tidak boleh mati, tidak boleh! Kau pernah menyelamatkan nyawaku, seharusnya sekarang giliranku untuk menolongmu!"
"Ian …" suaranya terdengar makin lemah. "Cepat atau lambat, kau akan mengingatnya …"
Aku hanya diam. Perkataannya memunculkan sesuatu dalam benakku. Seseorang seperti dia … tapi siapa? Kapan? Dimana?
"Dasar bodoh …" umpatku sambil terisak.
"Hei, sopanlah sedikit. Aku lebih tua dua tahun darimu,"
Hening.
"Oh, iya, kalau boleh …"
Kutatap wajah penuh luka yang tersenyum parau itu. Siapa? Apa? Dimana? Kenapa?
"Aku mau dengarkan satu lagu terakhir …"
Aku mengerti. Perlahan kucopot headphone yang terkalung di leherku, kemudian kupasangkan di kepalanya dengan hati-hati. Aku bahkan tidak yakin kalau pendengarannya masih berfungsi dengan normal.
"Putarkan …"
Setelah itu, kutekan tombol play.


"Can you see me, the pixels on your screen~"


Sebenarnya kenapa aku ada disini, Kek … umm … Dokter?


"My voice that can reach you, the one thing that breaks through~"


Panggil Kakek saja, aku bukan dokter.


"The words that you type, they keep me warm at night~"


Umurku tidak akan lama lagi, kah?


"But why can't I feel you, to be there just us two~"


Maafkan jika anakku berlebihan …


"If I could break through just for a day~"


Tidak, lagipula dia butuh subjek langsung untuk penelitiannya …


"Less than 2 inches from you yet so far away~"


Tapi … jikapun aku mati … aku masih ingin membantu orang …


"But this glass wall between us won't keep us apart~"


Kalau begitu … maukah kau membantu cucuku … ?


"I will sing out my heart, just for you my love~"


*

*

*

*

*

*

*

*

*

*




Tidak, dia tidak sepenuhnya menghilang dari dunia ini.

Masih ada kenangan-kenangan tentangnya yang tersisa.

Ah, iya, mata ini juga dulu miliknya.

Dia juga memberikan jepit rambutnya padaku.

Yah, dia mungkin mengenal dirinya sendiri sebagai monster yang hanya bisa merusak dan membinasakan.

Tapi bagiku, dia adalah malaikat.

Seorang penyelamat.

Aku tidak boleh menyia-nyiakan mata ini.

Mata ini adalah mata kehidupan, juga mata pembunuh.

Mulai sekarang, akan kutunjukkan dengan bangga, iris biru dari malaikatku!






Oh iya, selain itu …


Ketukan pintu terdengar tiga kali.
"Iya, sebentar,"
Pintu yang dibuka menampakkan figur seorang pria tua yang sudah berumur tapi masih terlihat sehat.
Hening, tidak ada percakapan.
"Err …" dia terlihat heran. "Apa aku mengenalmu? Aku belum pernah melihat gadis sepertimu di sekitar sini. Ah, dan jaket itu mirip sekali dengan yang selalu dikenakan cucuku. Katakan nak, siapa namamu?"
Aku menghela napas.
"Ini aku, Kek. Adrian Vasilis," ujarku sambil tersenyum manis.








Chapter 3 – End




===============================================================


PLAYLIST
>> "Story Rider" – Eleki ft. Hatsune Miku

>> "キミにガザニア(Kimi ni Gazania)" – tilt-six ft. Hatsune Miku

>> "Glass Wall" – GuitarHeroPianoZero ft. Hatsune Miku


>Cerita sebelumnya :
[PRELIM] 12 - ADRIAN VASILIS | I AM CURSED
[ROUND 1 - 10I] 07 - ADRIAN VASILIS | I AM BETWEEN A CONFLICT
>Cerita selanjutnya : -

16 komentar:

  1. Hal pertama yang menganggu adalah jarak antar paragraf yang terlalu rapat. Sebaiknya beri spasi lebih antar paragraf agar pembaca lebih nyaman.

    Untuk mencerna dengan jelas isi cerita saya membutuhkan jeda beberapa saat ketika membaca. Menurut saya mungkin karena cerita ini terlalu cepat.

    Pertarungan cukup oke kecuali Stalla yang mau begitu saja memuntahkan Ian kembali. Mungkin ada alasan lain? Selain ancaman Ian yang cuma begitu aja.

    Hal yang saya sukai adalah adanya latar lagu yang bisa membantu pembaca mengerti maksud dari penulis.

    Oke...itu aja. Yang lain-lain sudah bagus.

    BalasHapus
  2. Plus dan Minus

    (+) narasinya oke
    (+) sekarang, pembangunan karakternya Ian lebih kerasa. Terutama karena interaksi dia dengan orang-orang yang sekarang ada di Bingkai Mimpi.

    (-) Ada penampakan zona bio hazard, tapi narasinya tetap selo dan santai? Walaupun sifat Ian begitu, rasanya penampakan mayat hidup ini cuma jadi tempelan.
    (-) Secara keseluruhan, narasinya kurang bisa menyajikan nuansa urgensi atau ketegangan.
    (-) Mungkin karena itu juga pertarungannya terasa kurang oke, terutama di bagian penutupnya.

    Skor: 75 (Hanya untuk digunakan sebagai pembanding dalam menentukan vote)

    Vote: [Pending sampai Stalla juga ngepos]

    BalasHapus
  3. Overall saya masih ngerasa entri ini tergolong santai. Selain ga kerasa ketegangan apa", juga battlenya agak bikin saya ngernyitin dahi. Bukan masalah karena singkat atau mungkin susah mikirin battle yang bagus lawan Stalla, tapi karena berkesan kegampangan. Adrian disedot, terus cuma perlu dibujuk bentar, udah dikeluarin lagi. Kenapa Stalla ga dinyatain menang begitu Adrian udah ilang dari pertandingan? Dan kenapa dombanya bisa make revolver?!

    Di luar itu, sedikit banyak karakter Adrian yang muka dua, antara psikopat dan galau" mellow lumayan kegambar. Sayang karena kelemahan narasi, saya jadi ga ngerasain apa" pas Anna mati. Saya lebih kepikiran apa ke depannya Adrian bakal bisa mainan 6 elemen gara" scene Anna nahan Oneiros sebelumnya

    BalasHapus
  4. Entri nomor dua.

    Saya gak pakai panjang lebar ya, soalnya entrinya sebenernya juga gak panjang lebar amat www

    Narasinya cukup konsisten dibandingkan entri-entri sebelumnya. Tapi yang saya bingung kenapa feel atau rasa dari narasi Adrian ini malah kurang ya kalau dibandingkan entri sebelumnya? Karena terlalu gamblang kah? Atau mungkin kata-katanya kurang menohok batin? Entah yang mana, tapi saya ngerasa ada kehampaan di narasi Adrian kali ini. Apa pengaruh plotnya yang kehilangan Anna? uwu)

    Dan ya, saya harus setuju urgensi dalam cerita ini kurang. Ronde dua kan situasinya memburuk, setidaknya latarnya dibuat lebih mendukung situasi tersebut harusnya. Sebenarnya udah cukup menggambarkan, sih, tapi saya sebenarnya berharap lebih.

    Karakter Adrian cukup tereksplor setelah melihat entri ini, membayar kekurangjelasan yang ada sebelum-sebelumnya. Ini masuk ke dalam poin plus.

    Dan saya ngerti bikin adegan battle sama Stalla pasti susah banget, dan saya rasa ini udah cukup membuktikan anda sudah berusaha sebaik mungkin. Tapi sayang banget aja potensinya tidak dimanfaatkan dengan maksimal.

    Entri yang cukup solid, tapi kalau boleh jujur ini terlalu hambar buat saya.

    Segini aja deh, vote saya menyusul belakangan.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  5. GHOUL:
    “Hm, padahal aku lebih suka ama OC Ian ini, tapi entri ini agak mengecewakanku T.T”


    @_@:
    “Iya, nih. Seperti koment di atas2, entri ini tak maksimal banget! Kurang bernyawa, kurang gairah tempurnya padahal kemampuan Ian keren T.T

    Selain itu banyak Typonya juga, ada banyak koma-koma ga pada tempatnya.

    Di balik (Preposisi di, ke, pisah).

    dialog taq seperti ‘ujar’ dll, setelah tanda koma di dialog, pake awalan huruf kecil.

    Alur prolognya lamban

    Lupa atur spasinya kali, ya? Mepet banget neh tulisannya juga kekecilan padahal DL masi panjang.

    Dialog taqnya monoton, pake kata ‘ujar’ terus, kurang variasi.

    Bahasa agak kaku dan klise, terlalu mainstream, kurang perkembangan kosa kata.

    Versusnya ga begitu menonjol, ga begitu sengit, ian ga melawan apa2, T.T

    Kalimat Ian yang terlalu polos adalah ‘aku lawanmu’, tuh seolah loyo banget si Ian. Seolah ga pede bakal menang dari Stela!

    Ayo dong, Ian. Kamu anemia, ya? Minum sangobion!

    Tapi aku suka lagu2 hatsune miku feat luka-nya, terutama lagu Kagome-kagome yang kupake di entriku.

    So, kami ga butuh waktu panjang tuk diskusi cus vote kami jatuh pada…”


    GHOUL: “STALLA. Cuz di entri ini Ian lebih bernyawa dan pede, lebih agresif daripada di kampungnya sendiri. Di entri Ian kayak gitu doang dan ringkas seolah entri Ian ogah memperpanjang masalah, tapi di entri Stalla lebih berapi-api dan menyala penuh, cari2 masalahnya full deh…”


    :=(D

    BalasHapus
  6. Ermm, komen saya sedikit sahaja deh yha.

    Saya udah baca ini dari lama. Tapi jujur aja saya perlu baca ulang lagi entri ini buat dapat gambaran besarnya.

    Hmm yea, sehubungan dgn pernyataan di atas, entri ini kurang pemanjangan konflik. Kayak kota dilanda mimpi buruk, tp buat seterusnya gak ada pengaruh. Ian masuk kaleng, dinego dikit musuhnya ... Ian langsung bisa keluar, dsb. Padahal secara narasi udah enak dibaca dan cukup rapi.

    Ini tambahan aja sih. Tp saya nggak bisa nggak inget Tokyo Ghoul pas liat 'sesuatu tentang Ian'.

    -Sheraga Asher

    BalasHapus
  7. Halo Ian, ketemu lagi.

    Baca entry ini sudah lama, dan.iverall, saya melihat ada oerkembangan dari entry sebelumnya, meski nuansa yang dibangun masih suram2 ala Ian, tapi di entry ini sudah mulai muncul "warna", ada elemen seperti mayat hidup, lagu, dsb sepanjang cerita, saya merasa itu jadi variasi yang lumayan mewarnai.

    Yang kurang, yaitu di diksi atau kekayaan narasinyang masih terkesan datar-datar saja, kurang greget dan kurang nge-jleb gitu.Memang Ian.karakternya suram, tapi seharusnya dengan kesuramannya itu ada sesuatu yang gelap, yang rusak, yang bisa membuat pembaca jatih kasihan atau malah benci... nah itulah yang belum ada.
    Tapi untuk menulis itu memang butuh skill, sih. Bisa dipelajari kok.

    Overall, good job.

    Regards,

    Rakai A
    OC Shade

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf banyak typo, ngereviu pakai HP soalnya... vote nanti ya setelah baca Stalla

      Hapus
  8. Adrian :
    Yg kupikirkan ternyata sudah diomongin reviewer sebelumnya.
    Yah, sejauh ini Adrian kayak keliatan kayak lebih “loyo”. Terutama narasinya seolah berfokus ke kegamangan yang dialami sang tokoh utama. Melankonis tp berasa kurang dramatis. Terutama pas penggambaran mimpi buruk dan penyajian adegan tarungnya yg masih terbilang singkat tanpa meninggalkan kesan yang mendalam.
    But well, sejauh ini secara teknis, cerita Adrian lebih rapi dan runtut meski ada wall of text. Saya pikir itu murni keslahan formatting jadi gak begitu dipermasalahin. Dan juga interaksi dengan karakter lain juga tergolong cukup solid.
    Penggunaan lagu dan video yg dimasukin juga cukup menghibur... so, ceritanya ga membosankan. Cuma sebatas kurang “berdenyut” aja.

    BalasHapus
  9. Hai :') /slap/

    Nggak kayak di entri-entri sebelumnya, entah kenapa di beberapa bagian menurutku selipan lirik lagunya kurang pas. Jadi agak gimana gitu.

    Terus, mimpi buruknya kok serasa diabaikan ya? cuma dijelasin sedikit terus berlanjut kayak gak ada apa-apa.

    Dombamu yang bisa pakai pistol itu keren kok. Gak bikin heran sama sekali. Kayak Shaun the sheep(?)

    Stalla disini ganas juga ya, baru ketemu langsung nyerang. Nembak rudal lagi. /slap/ Tapi, beda sama reviewer lain, entah kenapa menurutku dramanya ini ngena. Berusaha nyelametin cewek yang gak mustahil untuk diselamatkan.... :') /slap/
    Dan, dat flower in the end. I think it's a beautiful ending.

    Coba kalau kamu gak terburu-buru, mau nambahin sesuatu biar lebih epik lagi....

    OC : Takase Kojou

    BalasHapus
  10. Setelah menimbang2...

    Diksi n narasi: Stalla

    Begini, utk Ian, banyak yg bisa diekplor sebenarnya, krn diksi-dikai bernuansa suram cukup banyak. Memang butuh re-edit2 dan parafrase, tapi layak divoba kalau semisal author masih terus menulis ttg Ian.

    Character development: Stalla
    Memang di Ian juga ada perkembangan, tapi nggak begitu terbaca.


    Alur; Stalla
    Yang ngganjel di entry ini adalah kenapa Stalla ngeluarkan Ian begitu mudah? Jadi ada semacam enggak imbang gitu, seolah kurang dipikirkan dramatisasi cerita.

    3-0 untuk Stalla, tapi siapapun yang maju, kuharap Author bisa lebih ajib lagi nantinya dalam menulis Ian.

    Keep writing Tanz

    BalasHapus
  11. Langsung saja.

    Saat sy mulai baca, narasi yg disajikan cukup rapi dan menggambarkan suasana galau si ian. Akan tetapi, semakin lama kok malah makin datar, gak ada penekanan berarti untuk scene urgensi atau saat mayat2 diperlihatkan.

    Terus, konflik yg ada juga kerasa kurang diolah. Segala atribut pada bingkai mimpi yg diserang mimpi buruk gk dimanfaatin. Jadi jalan ceritanya lempeng aja.

    Overall, ceritanya nagus tpi kurang diolah.

    Sekian

    BalasHapus
  12. Aduh... Saya bingung komentar xD

    Pertama saya ucapkan selamat karena narasinya yang sudah bagus dari R1 menjadi lebih baik disini. Dan setelah sebelumnya saya rada belum terbiasa dengan paragraf yang berdempetan akhirnya sudah tidak jadi masalah sekarang.

    Di awal awal kisah saya mulai flow ke cerita, hingga akhirnya Ian bertemu Stalla dan battle terjadi... lalu udahan.

    Sumpah saya ga merasakan apa apa dan tiba tiba udahan aja. Saya juga kalau bertemu dengan Stalla di ronde ini pasti kebingungan bagaimana cara melawannya dengan tetap menampilkan cerita yang bagus ._. tapi saya liat entri ini muncul di awal awal R2, jadi padahal author masih memiliki waktu untuk memperoleh ide agar battlenya lebih terasa emosinya. Padahal potensi emosi yang bisa diolah dalam battlenya bisa dikembangkan.

    Menuju ending baru saya bertemu sama yang namanya 'emosi' dalam kisahnya.

    Vote saya tahan dulu ya...

    Wasalam
    Ganzo Rashura

    BalasHapus
  13. Oneiros dan dombanya tidak ada...
    mimpi buruknya...hampir tidak ada penjelasan langsung terkait itu.
    Pertarungannya? ini pertarungan eksistensi?keinginan atau apa?

    Keberadaan kakek ndak memberikan pengaruh besar sebagai alasan dari Adrian untuk maju.
    telur dadar juga tidak membantu apapun selain mengisi sedikit tenaga pada adrian.
    zombienya? mana dag dig dug ser dari rasa teror akibat kemunculan zombie?

    dan yang paling off adalah:
    perpindahan scene dari kondisi sekarang dengan waktu lampau. ga ada pemisah jelas. ini bikin bingung.

    yang bisa dinikmati adalah kerapihan dan syair yang dimasukkan per scene...

    BalasHapus
  14. jarak spasi yang rapat masih jadi kendala di entry ini. dan juga alur cerita yang menurut saya masih agak ngambang. dramanya udah bagus cuma kurang dikit lagi biar lebih baik.

    maaf, saya lebih memilih entry Stalla.

    sekian,
    Dual Dagger Dancer

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.