Kamis, 19 Mei 2016

[PRELIM] 12 - ADRIAN VASILIS | I AM CURSED

oleh : Tanz

--

Chapter 1
I Am Cursed

======================================================================
Warning! : Contains explicit swearing and harsh words that inappropriate for young readers.
======================================================================

Angin lembut berhembus diluar, membuat ranting-ranting pohon itu berdansa. Sinar mentari membuatnya tampak lebih cerah. Warna hijau dedaunan yang menyejukkan mata terasa sangat mendamaikan. Dan yang bisa kulakukan hanyalah menatap keluar jendela.
Tidak banyak yang bisa kulakukan ketika akhir pekan. Kadang aku merasa sangat bosan, tapi entah kenapa aku tidak punya semangat untuk keluar rumah. Ditambah lagi kelas olahraga yang membuat badanku nyeri sejak dua hari yang lalu. Rasanya aku cuma mau berbaring seharian, mengistirahatkan otot-ototku yang tipis dan lemah ini. Alih-alih bisa istirahat, malah rasa frustasi yang datang. Entah berapa kali playlist di mp3player milikku yang kusetel dengan volume rendah terulang. Kupingku mulai sakit, hampir tiga jam headphone terpasang di telingaku. Ditambah dengan cuaca yang sedang dingin, membuatku harus memakai jaket dan celana jinsku.
"Ah, membosankan,"
Aku bangun dari ranjang sambil mengalungkan headphone-ku dan memasukkan mp3player ke saku jaket. Ketika kutatap pintu kamarku, hanya satu hal yang terpikir olehku. Mungkin ada sesuatu yang menarik di dapur.
Kuputar kenop pintu dan membukanya. Aroma daging panggang langsung masuk ke lubang hidungku. Kubayangkan makanan mewah ala restoran tersaji di meja makan—makanan dengan rasa bintang lima. Tapi walaupun begitu, akulah yang paling tahu bagaimana kakekku kalau sedang memasak.
"Kakek masak daging lagi?" kudekati dia yang sedang membalik lembaran daging.
"Ah, Ian. Apa ini terlalu matang?" katanya sambil menyodorkan seiris daging padaku dengan penjepit.
Kuambil daging itu dan kucicipi. "Seperti biasa, masih keras dan susah dikunyah."
"Haha … Kakek memang tidak terlalu pintar masak. Apa kau mau pesan pizza saja?"
Dia kembali membalik daging-daging itu, seolah berharap ada yang mau memakan masakannya yang tidak terlalu enak menurutku. Aku tidak heran kalau dia mau menelannya sendiri, entah jika orang lain yang makan.
"Aku biasa makan sampah kok," ujarku seraya duduk di kursi meja makan, menjatuhkan keningku di meja.
"Kalau kau tahu sopan santun pada orang tua, pasti tidak akan begitu."
"Terserah Kakek,"
Dia menghela napas dan kembali memperhatikan masakannya. "Oh iya, ini akhir pekan ya? Apa kau tidak punya rencana dengan teman-temanmu?"
"Tempat yang mereka tahu cuma pusat perbelanjaan. Untuk apa keluar dengan mereka?"
"Setidaknya cobalah bersosialisasi." Kakek menghampiriku di meja makan dengan sepiring penuh daging panggang alot. "Kau tidak akan tahu sebelum mencoba."
"Persetan dengan persahabatan."
Dia menaruh piring diatas meja. Lalu dia menepuk punggungku, dan pergi ke kamar mandi. Kudengar samar-samar suara keran air.
Sebenarnya banyak yang bisa kulakukan untuk mengisi hari libur, seperti merampok bank atau menjarah minimarket. Tapi itu bukan hal jenius untuk dilakukan saat dunia mengalami krisis keuangan seperti ini. Yah, walaupun aku punya satu unit revolver yang kucuri dari seorang mantan polisi, dan aku masih kesulitan dimana aku bisa mendapatkan peluru tambahan. Seorang pak tua yang tak kukenal juga pernah memberiku sebuah belati yang kelihatan cukup bernilai, dilihat dari ukiran di bilahnya yang terbilang indah menurutku. Entah siapa pria itu, veteran perang dunia barangkali?
Soal "teman" yang tadi, itu memang benar. Aku pergi ke sekolah, mengikuti pelajaran, bicara dengan beberapa orang, makan siang, belajar lagi, lalu pulang. Dan aku tidak benar-benar punya seseorang yang bisa disebut teman atau sahabat. Mereka semua mata duitan. Yah … kau tahu, mereka tidak mungkin berhubungan dengan orang yang tidak setara dengan mereka. Dengan kondisiku yang tidak terlalu kaya dan juga tidak miskin, mereka mungkin meneriakiku dengan dua kata: tidak asik.
Nah, kembali ke topik utama. Sepertinya aku tidak terlalu berbakat dalam menghibur diri sendiri. Entah apa yang bisa membuatku bergairah saat ini. Dan kurasa menonton film porno sambil masturbasi bukan solusi yang tepat untuk saat ini. Aku benar-benar putus asa. Kututup mataku, mencoba mengingat hal-hal menyenangkan yang pernah aku lakukan.

***

Aku bisa melihat diriku, tapi semuanya hitam. Ada semacam aura yang bercahaya di seluruh badanku.
Keadaan disini terasa janggal. Aku yakin aku sedang berdiri, tapi aku tidak merasakan ada pijakan di bawah sepatuku. Di kejauhan kulihat dua sosok samar-samar. Yang satu terlihat seperti lelaki tinggi dengan setelan berwarna gelap, dan yang lainnya terlihat seperti anak kecil dengan pakaian kuning dan rambut ungu.
Kau … Reverier …
Suara berat menggema disekelilingku.
Itu … kau … Mahakarya …
Aku tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Ada efek gema yang sangat berisik diantara kata-katanya, dan juga bisikan-bisikan halus entah darimana.
Alam Mimpi … capai …
"H-hei! Bisa diulang? Suaranya tidak jelas!"
Tapi kedua sosok itu makin memudar, hanyut dalam asap, kemudian menghilang.
"T-tunggu!"

***

Kubuka mataku.
Pipiku masih menempel di meja. Badanku masih utuh, tidak ada aura cahaya, dan aku terduduk di kursi kayu sederhana. Aku mencium aroma daging panggang di sebelahku.
Aku tertidur, pikirku.
Kuangkat kepalaku perlahan. Kepalaku terasa seperti habis terbentur tiang lampu jalan. Suasananya tenang disini—terlalu tenang. Mungkin sunyi lebih tepat. Tidak ada suara kendaraan, langkah kaki, bahkan suara air keran yang aku yakin masih menyala sekarang menghilang.
"Kakek? Kakek dimana?"
Kulirik daging panggang di depanku. Tidak gosong.
Kakek tidak pernah memasak dengan benar. Tapi ini, warna dan aromanya mengundang selera. Benar saja, kulahap selembar daging. Enak.
Setelah kutelan daging itu, aku beranjak bangun.
Kuhampiri kamar mandi dan kuketuk pintunya. "Kakek? Kakek masih di dalam?"
Tidak ada jawaban. Kuketuk pintu itu berkali-kali sambil memanggilnya, tapi hasilnya nihil. Akhirnya kuputar kenop pintunya perlahan. Ketika kudorong pelan … tidak dikunci. Celah kecil dari pintu yang terbuka sedikit itu tidak memperlihatkan keberadaan seseorang. Perlahan, kubuka pintu ruangan itu.
Dan … kosong.
Ruangan ini terlihat kering, seperti tidak dipakai selama sehari penuh. Tapi lampunya masih menyala, seakan seseorang baru saja keluar dari kamar mandi.
Aku mulai merasakan ada hal yang aneh. Ini tidak seperti biasanya. Kucoba menelusuri semua ruangan di rumah ini, tapi aku tidak menemukan seorangpun, termasuk di kamarku.
Aku duduk di tempat tidur dengan sprei yang lusuh itu. Kakek tidak biasanya meninggalkanku sendirian di rumah tanpa pamit. Dan daging panggang itu, aku yakin sebelumnya gosong, tapi entah sulap macam apa yang membuat masakan kakekku tiba-tiba jadi terasa lezat.
Kulirik keluar jendela. Agak berkabut, yang mungkin cuma efek cuaca saja. Kudekati jendela itu dan melihat keluar. Dan baru aku sadari, semuanya sudah benar-benar berubah.
"Astaga …"
Suasananya begitu sepi. tak ada riuh seorangpun yang bisa kudengar. Kertas koran berserakan di jalanan. Mobil-mobil yang terparkir terlihat berdebu, bahkan beberapa ada yang berkarat. Tembok gedung dan bangunan terlihat kusam, catnya banyak yang mengelupas. Bahkan beberapa kaca jendela sudah pecah.
Sejenak aku berpikir, apakah aku telah tidur selama berates-ratus tahun atau apa. Diluar terasa seperti kota mati, menyiratkan kalau manusia sudah punah disini, kecuali diriku. Kuyakinkan diriku kalau ini bukan skenario kiamat zombie seperti yang ada di film-film. Maksudku, astaga, lihat tempat ini. Aku mengumpat berkali-kali sambil memegangi kepalaku. Kuperiksa lagi dunia luar dari balik jendelaku, dan aku menemukan kejutan lain.
Seorang pria kekar botak berdiri di tengah perempatan jalan terdekat, membelakangi pandanganku. Kulitnya berwarna gelap, dia mengenakan kaos tanpa lengan berwarna putih dan semacam celana tentara lapangan. Dan yang paling menarik, dia membawa sebuah senapan mesin yang aku yakin daya hancurnya cukup untuk meledakkan mobil dengan beberapa tembakan, sepertinya. Walaupun begitu, aku tidak melihat amunisi yang terpasang di senapan mesin itu.
Pria itu menoleh kebelakang. Terlihat dia memakai sebuah kacamata hitam dengan model bundar yang aku tidak tahu apa namanya. Entah kenapa aku merasa dia menatap kearahku. Dia lalu berbalik, dan menodongkan senapannya yang sayangnya … kearahku juga.
"Apa yang …"
Sebuah peluru melubangi kaca jendela kamarku, diikuti dengan peluru lainnya. Dengan reflek aku menunduk, merapat di rak kayu berpintu.
"Sial, apa yang terjadi disini!"
Hujan peluru masih terus berdatangan. Aku tidak punya pilihan lain. Ini saat untuk mengeluarkan kemampuan aneh yang kumiliki sejak dulu … kemampuan yang kusembunyikan bertahun-tahun, bahkan dari kakekku. Kubuka pintu rak di dekatku. Kuambil sebuah utility belt, lengkap dengan sebuah belati dan revolver di sebelah kanan dan kantung peluru di sebelah kiri, kemudian kupasang sabuk itu di pinggangku, dikaitkan dengan celana jins.
Suara tembakannya berhenti, namun aku bisa mendengar langkah kaki samar-samar di luar. Menyadari itu, aku mengendap-endap keluar kamar, mencoba tidak menimbulkan suara. Aku berjalan menuju pintu keluar rumahku. Kubuka pintu itu dengan hati-hati, perlahan. Aku langsung berjalan keluar, dan bersembunyi di balik bangunan rumahku, menghindari orang gila itu.
Aku melihat ke arah langit. Alih-alih pemandangan langit biru, yang terlihat adalah semacam medan energi aneh berwarna toska, melebar sampai jarak yang tidak aku ketahui dan agak samar-samar karena kabut. Sesaat aku meragukan apa aku masih berada di "rumah".
Suara langkah kaki itu terdengar lagi. Tapi suara itu terdengar menjauh. Bagus, pikirku. Kulirik kondisi di sisi rumah yang lain dari balik ujung tembok. Aku tidak melihat keberadaan pria itu, jadi kurasa situasinya sudah aman. Aku pun keluar dari persembunyianku.
Dor!
Sebuah perluru melesat dari atas, menembus dadaku, lalu melubangi trotoar. Bekas tembakan yang ada di tubuhku tadi menjadi asap tipis, lalu mewujud kembali seperti semula tanpa lecet sedikitpun. Mencoba melukaiku dengan serangan murahan seperti itu benar-benar tidak berguna.
Aku melihat ke atas, memeriksa. Kucari dimana sniper sialan itu berada, setidaknya begitu perkiraanku.
Dan, kutemukan dia. Ada di sebuah gedung apartemen tua setinggi enam lantai di seberang rumahku. Kufokuskan pikiranku pada tubuhku yang lalu memudar menjadi gumpalan asap. Kubiarkan angin membantu partikel-partikel kecil dari tubuhku yang sudah menjadi asap untuk terus bergerak naik … terus naik … dan naik … sampai gumpalan asap tubuhku berada di hadapan seorang pria dewasa yang mengenakan celana lapangan dan T-shirt biru dengan rompi anti peluru, lengkap dengan sebuah topeng kain yang menutupi kepalanya, menyisakan bagian mata dan mulut yang terbuka. Dengan kata lain, penampilannya mirip teroris pada sebuah game komputer keluaran lama yang dulu sering kumainkan.
Dia terlihat agak terkejut sambil melihat gumpalan asap di depannya—tubuhku, lalu menurunkan senjatanya. Kurambatkan tubuh asapku diantara udara berkabut, bergerak menuju ke arah belakang tubuhnya. Dia berbalik, masih terus memperhatikan gumpalan asap dihadapannya.
Kubiarkan tubuhku turun perlahan, kemudian kembali mewujud menjadi manusia. Lantai di bagian atap bangunan ini terlihat basah, seperti habis terkena hujan. Padahal aspal dibawah tadi masih terlihat kering.
Aku baru mendekatinya dua langkah, dan dia sudah menodongku lagi.
"Whoa … tenang dulu," aku mundur selangkah. "Aku hanya mau minta penjelasan."
Orang itu hanya diam, dan masih menodongku.
"Setidaknya katakan sesuatu, aku tidak mau gila sendirian disini."
"Jangan bergerak." Ujarnya.
"Itu saja? Ada pria berotot gila yang mau membantaiku dibawah, dan sekarang kau—penembak jitu di garis belakang. Apa yang sebenarnya terjadi disini?!"
Dia menatapku tajam. Bagiku itu berarti satu.
"Oke, dasar keras kepala. Mau pakai cara kasar atau halus?"
Kudekati pria itu dengan langkah cepat. Dia hanya mundur selangkah, terhalang pembatas beton setinggi satu meter di belakangnya. Ujung dari senapan yang dia gunakan sudah tidak berjarak, terarah tepat di tenggorokanku. Langsung kugenggam larasnya dan kuturunkan dengan paksa. Aku maju selangkah lagi.
"Dengar, aku tidak tahu siapa kau, dan aku tidak peduli. Aku mencari penjelasan, dan kau menantangku dengan menodongkan kemaluanmu itu. Jangan membuatku kesal." Kukatakan itu sambil menudingnya, tapi ekspresinya tidak berubah. "Baiklah! Itu maumu!"
Dengan cepat kugunakan telapak tangan kiriku untuk menutup mulutnya. Sebelum dia menggenggam lengan kiriku, kufokuskan pikiranku. Kuleburkan tangan ku menjadi asap, lalu kudorong dalam-dalam melalui mulutnya.
Matanya terbelalak. Dia menjatuhkan senapannya, dan terus memukul-mukul tubuhku yang melebur menjadi asap, lalu mewujud kembali seiring dengan pukulannya. Asap dari bagian tubuhku—lenganku, terus memeruhi setiap rongga paru-parunya, membuat orang itu kesulitan bernapas. Bulir-bulir air mulai keluar dari sudut matanya. Wajahnya mulai memucat. Beberapa puluh detik kemudian, dia sudah terkulai lemas.
"Cih, lemah."
Kutarik lenganku dari mulutnya. Setetes darah mengalir dari sudut bibirnya. Matanya melotot seperti habis melihat hantu.
Bruk!
Kujatuhkan mayatnya begitu saja. Kemudian kuistirahatkan diriku dengan duduk di lantai, bersandar di pembatas beton.
Aku mulai lelah. Ada dua orang yang mau menghabisiku. Aku yakin ini bukan di Seattlon. Semua hal yang terjadi disini terasa irasional, perkecualian untuk kekuatanku. Kututup mataku, coba untuk menenangkan diri.
Ini bukan pertama kalinya aku membunuh seseorang. Ingat darimana aku dapat revolver? Mantan polisi itu mati tercekik. Kalian sudah tahu siapa pelakunya. Lalu, bagaimana aku bisa lolos? Aku bisa memanipulasi tubuhku menjadi asap, jadi aku tidak meninggalkan jejak. Pria malang.
Walaupun aku bisa menjadi asap, aku tidak terlalu senang dengan itu. Jika kalian bertanya darimana aku mendapatkan kemampuan ini, akan kujawab dengan senang hati.

***

Sekitar 4 tahun lalu, ketika aku masih berumur 13 tahun. Saat itu aku, ayahku, dan ibuku, sedang dalam perjalanan menuju rumah kakekku di Seattlon—yang kemudian menjadi tempat tinggalku bersama kakek sekarang—untuk mengisi waktu liburan.
Kami bertiga menaiki sebuah mobil sedan yang sudah cukup berumur. Keadaan jalan saat itu tidak terlalu ramai, jadi ayahku terus menginjak pedal gas, membawa kami di jalanan dengan kecepatan tinggi. Padahal ibuku sudah berkata padanya untuk pelan-pelan.
Tidak apa-apa, tenang saja.
Hanya itu yang dikatakan ayahku. Dia terus ngebut sampai kami mendekati persimpangan jalan. Tanpa ayahku sadari ada sebuah mobil  yang melaju dari arah samping. Ayahku tidak sempat mengerem, sampai akhirnya …
Brak!
Tabrakkan tidak terelakkan. Mobil kami terpelanting dan terguling beberapa kali sampai berhenti dalam keadaan terbalik. Pandanganku kabur, kupingku pengang, dan aku langsung pingsan saat itu.
Tenanglah, semua akan baik-baik saja.
Kata-kata itu terus menggema di kepalaku saat aku pingsan. Dan ketika aku terbangun, aku sudah berada di rumah sakit yang tidak terlalu kusukai aromanya. Beberapa saat setelah itu, seseorang dengan pakaian dokter dan seseorang yang lain dengan pakaian suster memasuki ruanganku. Mereka bilang kalau mereka terkejut ketika pertama kali membawaku yang tidak sadarkan diri kesini. Karena saat itu, tidak ada luka sedikitpun di tubuhku, sehingga aku tidak perlu mendapatkan perawatan khusus. Aku hanya diberi infus oleh mereka, dan beberapa obat lain yang aku tidak mengerti apa gunanya.
Hal yang membuatku sedih adalah … orangtuaku tidak seberuntung itu. Mereka berdua tewas di tempat dengan luka parah di bagian kepala. Aku sulit tidur ketika mengetahui hal itu. Di satu sisi aku menyalahkan ayahku yang terlalu tolol dan ngebut di jalanan. Tapi di lain sisi, aku juga menyalahkan diriku sendiri … karena hanya aku yang masih hidup.
Suatu malam, aku merasa kantung kemihku sudah penuh, sehingga harus dikeluarkan sebelum aku membasahi tempat tidur pasien. Ketika aku beranjak dari tempat tidur, entah kenapa aku lupa kalau jarum infus masih menancap di lenganku. Jarum itu pun tertarik dan … terjatuh begitu saja. Ada seberkas asap tipis di tempat dipasangnya jarum infus itu di tubuhku, lalu sesaat kemudian menghilang. Tidak ada bekas luka ataupun rasa sakit. Merasa ada yang aneh, aku ambil jarum infus tadi, dan kutusukkan lagi di lenganku. Bagian yang tertusuk tadi berubah menjadi asap. Ketika kucabut, barulah asap tadi menghilang dan mewujud kembali di lenganku.
Sejak saat itu, aku mengetahui hal-hal tentang kemampuanku. Selama 4 tahun, kekuatan itu kusembunyikan, dan kulatih secara diam-diam. Sampai akhirnya aku bisa mengendalikan kemampuan itu sesuai dengan keinginanku.

***

Iyap, kemampuan ini mengingatkanku akan tragedi itu, setiap saat. Kadang, aku merasa kalau kekuatan ini bukan anugerah, tapi kutukan—sebuah hukuman akibat hilangnya nyawa kedua orangtuaku. Memikirkan itu sering membuatku depresi. Tapi aku tidak bisa bunuh diri karena kemampuan sialan ini. Kemampuan yang membuatku nyaris tidak bisa merasakan sakit.
Kubuka mataku perlahan. Kabutnya belum menghilang. Aku masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi di sini. Aku coba untuk berdiri, entah kenapa rasanya punggungku mulai sakit. Aku ingin segera berbaring dan tidur seharian.
Aku kembali mendengar suara langkah kaki yang berat. Ketika aku lihat kebawah, benar saja. Pria dengan senapan-mesin-berpeluru-tanpa-batas itu sedang berdiri di tengah jalan, memeriksa sekitar.
"Oke, ini pasti mudah."
Kulangkahkan kakiku, berdiri diatas pembatas beton yang tadi kusandari. Kufokuskan pikiranku, mencoba untuk turun seperti bagaimana aku naik. Dan ketika kujatuhkan badanku, aku … benar-benar jatuh.
"Aaaaaaa!"
Kalian pernah mengendarai sepeda motor kalian sampai pada kecepatan maksimal? Yap, begitulah rasanya jatuh. Setidaknya itu yang aku rasakan, kira-kira.
Bruk!—yang sangat keras tentunya.
Kurasakan nyeri pada setiap ruas tulangku. Badanku nyaris tidak bisa digerakkan, dan kepalaku pusing.
Aku mengerjapkan mataku. "Sialan … medis … siapapun …"
Kutolehkan kepalaku. Kulihat dia masih berdiri di tengah jalan. Aku bisa merasakan tatapan tajamnya bahkan dari balik kacamata.
"Hei, pria besar, bisa bantu aku yang sedang dalam kesusahan?" Kuulurkan tanganku dengan lemas. "Tidak? Baiklah, aku bisa melakukannya sendiri.
Dengan kepala yang sempoyongan kucoba untuk berdiri. Aku harus berpegangan pada tembok untuk menjaga keseimbangan, apalagi dengan rasa nyeri yang belum juga hilang.
"Sejak kapan aku bisa kesakitan seperti ini … argh …" Kucoba untuk memasang kuda-kuda. "Hei, botak!"
Ekspresinya benar-benar datar. Aku yakin dia tipe orang yang kurang jalan-jalan.
"Aku tidak tahu apa motifmu, tapi kau benar-benar menyusahkanku. Apa tidak ada orang yang yang bisa kau ajak bermain?"
Ucapan bagus, dasar idiot. Sekarang dia menodongkan senjatanya padaku.
"Kau pasti bercanda,".
Rentetan peluru kembali dia muntahkan. Dengan susah payah aku mencoba untuk bergerak dan berlindung di balik kotak surat, berharap ada keberuntungan.
Sial, bagaimana sekarang, batinku.
Yang terpikir olehku saat itu adalah sama seperti ketika aku menghabisi sniper di atas tadi. Tanpa pikir panjang aku langsung keluar dari persembunyian dan berlari kearahnya. Kuabaikan semua tembakan pelurunya yang melewati tubuhku begitu saja.
"Rasakan ini bajingaaan!" Teriakku sambil mengepalkan tangan.
Buk!
Ya, hantaman pukulanku tepat mengenai mulutnya. Tapi, tidak sesuai apa yang kuharapkan. Sasarannya tepat, hanya saja … entah kenapa tanganku tidak mau berubah menjadi asap. Ketika kutarik lagi tanganku, kulihat bibir pria besar itu sudah berdarah.
"Ah … umm … ini sebuah kecelakaan, kan?" Kataku sambil menatap wajahnya yang terlihat tidak terlalu senang.
Satu tanda untukku, dan yang hanya bisa kulakukan: lari. Peluru kembali berdatangan seperti shower. Aku terus berlari dan berlindung di balik sebuah mobil kontainer kecil.
Bencana, ini bencana. Sekarang dia benar-benar ingin membakarku seperti satai. Aku tidak bisa mencekiknya, karena entah kenapa aku kehilangan kemampuanku untuk merubah tubuhku menjadi asap dan juga bisa merasakan sakit ketika jatuh tadi, namun aku masih kebal. Aku harus mencari cara untuk menghabisi orang ini.
Saat itu aku menyadari sesuatu. Aku masih punya belati dan revolver. Jika kemampuanku hilang, aku bisa menyerangnya dengan ini, bertaruh kalau dia memang manusia yang bisa dilukai secara fisik.
Suara tembakan itu berhenti, berganti dengan suara langkah kaki yang mendekat. Aku merayap di sisi box container, menuju ke bagian belakang mobil, sementara dia berjalan ke arah kursi pengemudi.
Kudengar suara pintu mobil yang dibuka paksa. Ketika kulirik dari sudut mobil, dia tampak sedang mengutak-atik seisi kabin itu. Entah dia yang terlalu bodoh atau bagaimana, tapi coba pikirkan, kenapa dia perlu memeriksa tempat yang sudah jelas tidak ditempati oleh manusia sebesarku?
Kutarik belatiku dari sarungnya. Kucoba untuk keluar dan melangkah sepelan mungkin. Pria itu masih disana, entah apa yang dilakukannya. Terus kudekati pria itu sampai aku berada persis di belakangnya. Kumantapkan kuda-kudaku, bersiap untuk menyerangnya.
Tiba-tiba pria itu berbalik. "Huaaaaa!" Reflek, kuayunkan tanganku yang memegang belati ke atas.
Crak!
Cairan merah memuncrat dan membasahi sebagian jaketku. Yang kulihat disana … aku baru saja menusuk lehernya, mengiris tenggorokannya. Mulutnya penuh dengan darah, dia tergelagap sebentar sebelum aku tarik kembali belatiku. Aku menyingkir, dan pria besar itu pun ambruk dihadapanku.
Kutenangkan diriku dengan mengatur nafas, jantungku berdebar kencang. Akhirnya aku bisa menumbangkan keparat besar ini dengan tanganku sendiri. Kuoleskan belatiku ke jok mobil kontainer tadi untuk membersihkannya, lalu kumasukkan kembali ke dalam sarung.
Sekarang, aku bingung. Aku sendirian di tempat yang ditinggalkan. Benar-benar menyenangkan.
Dengan putus asa, aku pun melangkahkan kakiku. Mungkin memang tidak ada hal lain yang bisa kulakukan. Aku akan mencari tahu apa yang terjadi. Berharap untuk sebuah jawaban, atau mungkin malah harapan lagi.

***

Setelah kurang lebih seperempat jam, aku melihat dua sosok di kejauhan. Yang satu tinggi, dan yang satunya lagi pendek. Aku tidak peduli mereka ancaman atau bukan, dan aku langsung berlari ke arah mereka. Jika memang mereka merupakan ancaman, aku masih punya beberapa "mainan" untuk melawan mereka.
Aku berhenti beberapa meter di depan mereka. Dua orang itu tampak tidak asing bagiku.
"Ah, rupanya kau sudah sampai disini." Ujar seorang pria dewasa berkacamata dengan rambut hitam klimis, memakai setelan jas dan mantel, dan membawa semacam buku.
"Maaf, apa aku mengenal kalian?" Ujarku.
"Halo!" Sahut seorang bocah yang mengenakan raincoat berwarna lemon yang modelnya sekilas seperti kostum bebek, membawa sebuah tongkat yang warna-warni, dan kepalanya … bantal.
"D-dia bicara?!" Tudingku pada bantal ungu yang bisa berjalan itu.
"Tentu saja! Aku Ratu Huban!"
"Dan perkenalkan, namaku Zainurma."
"T-tunggu dulu, jangan bikin aku kena serangan jantung. Aku punya banyak pertanyaan," kataku dengan nada panik.
"Simpan itu untuk nanti, Reverier. Pertama-tama, kuucapkan selamat padamu karena berhasil menuntaskan misi pertamamu."
"Eh? Misi apa?"
"Menaklukkan mimpi burukmu sendiri—pria besar dengan senapan mesin itu, dan juga seorang penembak jitu."
"M-maksudnya? Aku masih tidak mengerti,"
"Paman Nurma mengucapkan selamat untuk kakak cantik karena memenangkan pertarungan itu,".
"Hoo … begitu,"
Kakak cantik.
"E-eh? Apa katamu barusan?!"
"Y-yang mana?" Jawab bantal ungu itu dengan gugup.
"Maafkan dia, aku tidak ingat untuk memberitahunya kalau kau ini laki-laki."
"Hah? Jadi kakak cantik ini laki-laki?"
Aku menghela napas, mencoba untuk bersabar. "Kenapa aku harus bertemu makhluk seperti kalian …"
"Ehm, akan kulanjutkan. Untuk kemenanganmu, teman kecil kita ini punya sebuah hadiah untukmu."
"Ah, iya! Aku punya hadiah khusus dibelakangku,"
Kulirik ke belakang tubuh bocah itu. Aku berani sumpah kalau tadi tidak ada apapun dibelakangnya, tapi sekarang tiba-tiba ada sesuatu dibelakangnya.
"D-domba putih …" Oke, bocah ini mengagetkanku dua kali.
"Iyap, ini hadiahnya. Ayo domba, pergi ke orang itu,".
Domba itupun menurut seolah bocah cebol itu adalah majikannya, dan berjalan mendekatiku.
"Untuk apa ini?"
"Dia akan terus mengikutimu. Anggap saja dia itu temanmu." Ujar pria berambut klimis itu seraya berbalik.
Kepalaku terasa pening lagi. Aku mulai khawatir akan kondisi kejiwaanku yang bisa saja terguncang disini.
"Maaf, aku sudah mengalami hal-hal aneh selama beberapa menit terakhir. Aku butuh penjelasan,".
"Pertanyaan-pertanyaanmu itu pasti akan terjawab sambil kita berjalan. Jadi, tolong ikut aku."[]

Chapter 1 - End

16 komentar:

  1. Buat ukuran pov1, cerita ini termasuk datar buat saya. Padahal biasanya justru potensial buat ngegali gimana sudut pandang si aku, tapi saya liat di sini kebanyakan penuturan apa yang terjadi 'as-is' aja, kurang keliatan karakter Adriannya selain beberapa snarky comment

    Soal ceritanya sendiri agak kurang di masalah 'ini yang dilawan siapa?', kayak random mob diadain cuma buat dikalahin tanpa kesulitan berarti, jadinya kurang ngasih kesan istimewa dari keseluruhan entri ini

    Nilai 7

    BalasHapus
  2. Sebelumnya setuju dengan Bang Sam di atas. Adrian terlihat datar walau menggunakan pov-1. Adrian kurang memperlihatkan dunia sesuai sudut pandangnya, yang saya dapatkan dari Adrian cuma anak biasa dengan beberapa komen pedas. Cuma beberapa. Hingga peringatan di atas sepertinya unnecessary. Diganti dengan peringatan konten r-18 karena kegiatan liburan Adrian yang tak patut dibaca untuk anak kecil.

    Adegan battle pun masih datar. Dua preman yang dikalahkan dengan mudah buktinya. Maaf, bukannya bermaksud mendikte, tapi sebenarnya banyak yang bisa digali dari kemampuan asap Adrian ini. Contohnya, ia melawan makhluk sebesar titan. Bisa saja ia mengubah tubuhnya jadi asap, terbang ke bahu titan itu, dan menembakinya kepalanya dari jarak sedekat itu untuk memberi efek yang maksimal.

    Nilai 7

    OC : Alexine E. Reylynn

    BalasHapus
  3. GHOUL: “Wah liburan agendanya panas, ya!
    Aku jadi suudzon ama daging yang dimasaknya itu, jangan-jangan itu daging—“ :=(0

    SHUI: “Sebenarnya mule ngantuk pas baca paragraph awalnya yang untung aja tu ga berlebihan n langsung masuk ke adegan. Untung aja alurnya ga bertele-tele.”

    GHOUL: “Pertarungannya ga sengit, seadanya aja tapi penerapan jurusnya menarik. Aku suka jurus-jurusnya n tertarik berhadapan dengan orang ini kelak hahaha…” :=(D

    SUNNY: “’Embus’ bukan ‘hembus’,
    banyak banget awalan ‘di’ yang harusnya dipisah bukan sebagai ‘di’ pada kata aktif,
    ada juga penempatan koma yang tak tepat sebelum kata ‘dan’,
    ‘genius’ bukan ‘jenius…”

    GHOUL: “Mumpung kami juga lagi liburan di Trans Studio Makassar, kami kasih 8 deh.
    Tapi kalau lagi gak liburan sih, tetep 8 ajah…” :=(D

    BalasHapus
  4. Untuk narasi saya kasih 9
    Untuk pemanfaatan setting saya kasih 6
    Untuk adegan antar pesertanya saya kasih 6
    Rerata jadinya : 21/3 = 7

    Saya merasa author sudah memiliki kemampuan membangun narasi yang mumpuni namun sayang belum bisa memanfaatkan situasi dan kondisi yang menjadi setting battle ini. Semuanya terkesan cepat, sekilas dan .... bener kata Sam Rillme ... datar!

    BalasHapus
  5. Saya menyukai bagian menggorok leher dengan pisau, menambah pengetahuan =))

    Memang perlu digali, tapi jalan ceritanya bagus. Terutama pemaparan tentang perubahan asap dalam tubuh Ian. Pertarungannya terkesan cepat, padahal saya ingin tau bagaimana Ian memodifikasi/menggunakan asap dalam mengalahkan pria yang entah siapa dia

    Narasinya bagus dengan PoV 1, sungguh

    Nilai 8
    Merald

    BalasHapus
  6. Wah, narasinya apik juga.

    Jalan cerita udah sip, komentar-komentar Adrian oke juga. Tapi sayangnya masih kurang fleshed out. Emosi ceritanya masih kurang kebentuk, nuansa ceritanya juga kurang terasa menonjol. Paling buat ke depannya diperkuat aja penjiwaan karakter sama ekspresi cerita lewat dialog karakter atau penggambaran suasananya.

    saya kasih 8/10 deh. Mantep narasinya.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  7. hmm...sbenarnya sama kaya beberapa komen di atas. saya stuju mbah amut. krn porsi dramanya yg terlalu bnyak jd adegan utama seolah tenggelam di dalamnya dan membuat konflik, titik blik dan klimaksnya tidak telalu menonjol. jd datar2 aja gitu. tp karna kuro orangnya baik hati dan nggak tegaan, dia ngasih 8

    BalasHapus
  8. poin penting dr pov 1 adalah sebisa mgkn menekan sebanyak kata 'aku' dan 'ku'agar gak bejibun bacanya, hampir tiap kalimat ada kata itu jadi berasa aneh & mengganggu

    pembagian porsi untuk adegan battle dirasa msh terlalu sedikit dibandingkan penjelasan yg lain, dan seperti yg lain... terasa sedikit datar, mgkn baiknya munculkan sesuatu yg lbh menghebohkan agar alurnya bergelombang dan tidak terkesan flat

    pas d bagian menjelaskan drmn mendapatkan kekuatan ini, akupikir dia memakan buah iblis tipe logia, tpi nyatanya tidak wkwk. Pas bagian itu tidk terlalu menjelaskan drmn sumbernya malah lbh tpatnya memberitahu ke pembaca sejak kapan dia mulai menyadari kekuatan itu.

    nilai 7
    Samara Yesta

    BalasHapus
  9. Kamu salah nak, nonton bokep sambil mansturbasi itu justru katanya hiburan paling yahud buat para cowok`

    woooogh, ada pemakan buat moku moku no mi.

    mc'nya tipe2 misterius tapi imba dalam segala hal yaaa
    dari awal kurang begitu disiratkan akan kemampuan dar der dor nya, saya kira dia ini semacam anak sma yang masih labil. tapi taunya punya refleks mencari cover di tengah serangan tembakan, seorang ahli bersenjata.

    btw, dia kena tembak, jatoh dari motor lalu berdarah darah. mungkin penembaknya menggunakan peluru yang terbuat dari batu laut **digeplak

    lalu lawannya sendiri siapa? kayaknya nggak dijelasin di sini selain sekelompok geng motor yang entah punya dendam apa, sampe rela ngabisin peluru mahal demi membunuh si Adrian.

    point : 7
    oc : maria venessa

    BalasHapus
  10. well... saya sendiri juga cukup suka dengan pemaparan ala pov 1 dr tanz. hanya saja saya g bisa menangkap development karakternya. flat... bisa diibaratkan ini pov 1 terbatas.

    saya jg kurang merasakan pertarungan lahir batin yang terjadi. yu know.. like a game, not a movie

    7 dr axel elbaniac

    BalasHapus
  11. ceritanya keren, namun dieksekusinya lumayan gagal. kemampuan asapnya kurang digali dengan baik.

    cerita seseorang melawan 4 orang bersenjata yang tidak tahu apa nama kelompoknya. harusnya dijelaskan darimana 4 orang bersenjata itu, dan kalo tidak menyebutkan nama, setidaknya ada atribut khusus yang bisa dijadikan suatu nama buat 4 orang bersenjata itu. entah baret hijau, ikat kepala merah, tato naga, dan lain-lain.

    sekali lagi, ceritanya kurang diekspos dalam.

    saya kasih nilai 7. semoga sukses..

    Dwi Hendra
    OC : Nano Reinfield

    BalasHapus
  12. Hm...

    Penulisannya rapi dan narasinya oke, tapi sayangnya saya kurang menemukan sesuatu yang "wah" dari karakterisasinya, padahal ini PoV 1 lho. Battle-nya juga terkesan terlalu mudah, hal ini malah bikin karakternya terasa imba.

    Bukan saya ada masalah dengan karakter imba, tapi kalau dalam cerita serius, karakter imba cenderung kurang menarik buat saya.

    Lalu ada soal melawan ketakutan dari Adrian, tapi dari pertarungan dengan kedua karakter sniper dan machinegunner itu, saya sama sekali tidak merasa kalau Adrian ketakutan.

    Tapi saya yakin kau masih bisa lebih baik lagi dari ini, jadi untuk sekarang saya hanya bisa beri 7 poin untuk entri ini.

    Asibikaashi

    BalasHapus
  13. Narasinya oke, cuma karakterisasinya kurang digali aja. Sama kayak komentar2 di atas. Penggunaan aku-ku nya perlu sedikit dikurangi. Sedikit tips dariku yg sama2 pake POV 1 nih. Coba hanya gunakan kata Aku utk mengawali paragraf setiap 4-5 paragraf sekali. Dan juga minimalisir penggunaan ku-[kata kerja] di paragraf yg sama.

    Aku coba ambil contoh dari entryku.

    "Aku langsung berteriak dan berlari tanpa arah. Sejauh mataku memandang, hanyalah pepohonan dan semak belukar yang kutemui. Cahaya redup rembulan sama sekali tak ingin membantuku. Sementara, suara-suara gaib itu menertawaiku dari balik kegelapan."

    Beri sedikit personifikasi pada benda mati di background. Mungkin ini hanya sekedar preferensiku, tapi buatku ini cukup membantu utk meminimalisir kata aku dan juga memberi sentuhan warna. Karena jika hanya menggunakan aku, tulisannya berasa hitam dan putih.

    Dariku 7/10
    -Fana

    BalasHapus
  14. Di dalem ceritanya sendiri nama Adrian sama sekali engga disebut ya? Buat PoV1-nya cukup bagus menurut saya, sederhana. Karakter Adrian juga, kalau mengambil referensi full dari cerita ini, bisa saya bayangin. Agak kurang di tantangannya aja mungkin. Dua teroris itu kerasa masih kaya baby mode, masih baru bisa kasih Adrian lampu buat perkenalan kekuatannya aja. Selebihnya ena, lancer. 8/10

    Oc: Namol Nihilo

    BalasHapus
  15. Setuju dengan banyak orang diatas, narasi pov1 nya sangat baik! Its a huge plus point for adrian.

    Tapi menurutku ada yang aneh, jika adrian mendapatkan kekuatannya reflels ketika tabrakan, memangnya apa yang terjadi hingga membuatnya jadi smokebender? Apa ada radiasi? Apa ayahnya memberi kemampuan itu sebelum tabrakan? Memang ini fiksi fantasi tapi saya selalu penasaran akan hal hal sekecil itu xD

    Walakhir 7 dulu
    Ganzo Rashura

    BalasHapus
  16. hauu ngiri sama POV 1nya... but somehow perpindahan scene dari kenyataan ke mimpinya agak err.. gimana yah.. itu orang gundul gedenya siapa yah kira2, dan ini bikin saya langsung mikir keras gimana nanti Airi nge hajar orang yg ga bisa di pukul.. perlu gitu pke Haki(?) //ehh //skipp..


    well done :3 8/10 karena saya suka POV1 @3@
    Kagero Yuuka
    OC: Airi Einzworth

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.