oleh : hewan
Ringkasan cerita sebelumnya:
Para reverier dihadapkan pada kenyataan memuakkan,
yaitu semesta asal mereka jadi taruhan dalam setiap pertarungan di Alam Mimpi.
Dan dari 32 reverier yang tersisa untuk bertempur di babak kedua, setengahnya
akan tersingkir. Itu berarti akan ada 16 semesta yang terserap ke Alam Mimpi pada
akhir babak tersebut atas kuasa Sang Kehendak. Semesta itu akan lenyap dari
asalnya, berganti menjadi wilayah mimpi yang terdistorsi di Alam Mimpi.
Pernah Zainurma mengatakan pada mereka untuk bertahan
dan terus menang, serta bertambah kuat. Kalau ada harapan untuk impian diri
mereka dan impian semesta mereka, maka itu hanya bisa diraih dengan kekuatan tersebut.
-reveriers-
Seorang pemuda berwajah oriental duduk di kursi seraya
memetik gitar dan menyanyikan sebuah tembang klasik dari negeri barat di
dunianya:
Dream, dream, dream, dream~
When I want you, in my arms
When I want you, and all your charm
Whenever I want you, all I have to do … is dream
Dream, dream, dream~
When I feel blue, in the night
And I want you, to hold me tight
Whenever I want you, all I have to do … is dream
I can make you mine, taste your lips of wine,
anytime, night or day
Only trouble is, gee whiz, I’m
dreamin’ my life away~~
(All I Have to Do is Dream, oleh Everly Brothers)
Ketika dia beres menyanyikan lagu itu, maka impiannya
pun berakhir sudah. Dalam hatinya pemuda itu hanya bisa berharap, andai si hijab putih bisa selamat. Kemudian
dia hanya bisa pasrah saat tubuhnya bertransformasi menjadi patung perunggu
dengan gaya seperti patung-patung pada era romantik. Citarasa artistiknya
lumayan tinggi. Pemuda itu telah bertarung dengan baik selama setidaknya tiga
babak.
Prinsip turnamen ini hanya satu. Semakin lama para
reverier bertahan maka karya yang mereka hasilkan akan semakin indah. Termasuk
saat mereka sendiri yang akhirnya jadi karya seni itu. Dan pemuda penyanyi itu
hanyalah 1 dari 16 reverier yang tersingkir di babak kedua. Keenam belas
pemimpi tangguh itu telah takluk oleh lawan-lawan mereka. Kini mereka berkumpul
di suatu aula istimewa di Museum Semesta hanya untuk menanti jiwa raga dan
impian mereka termanifestasi (baca: dikutuk) menjadi karya seni.
Nama besar bukanlah jaminan untuk bertahan. Impian
seorang koki legendaris tak cukup kuat untuk mengalahkan impian dari manusia
kloning yang belum tahu banyak soal dunia. Sekumpulan badut sirkus dengan
segala atraksinya hanya bisa mengundang tepuk tangan kagum sebelum akhirnya
dikalahkan oleh tebasan pedang dari wanita tinta.
Seorang nabi pun kini kehilangan petunjuk dari “tuhan”-nya,
tak mampu untuk sekadar mengalahkan pemuda dengan dunia yang dipenuhi nama-nama
aneh. Robot supercanggih sudah kehilangan kesempatan untuk mencari siapa
pencipta dirinya karena kalah populer dari, sebut saja, si pemburu hantu.
Beberapa reverier memilih untuk tidak melakukan apa-apa pada babak tersebut. Pemuda penyandang
gelar setan sudah menyerah begitu saja. Begitu pula dengan gadis berkacamata
asal Betawi, tiba-tiba hilang kabarnya sama sekali meskipun sudah meraih kepopuleran
di turnamen ini. Menyusul selanjutnya adalah teroris yang apinya telah padam. Lalu
makhluk mitos dari suku Indian juga takluk. Bahkan ada pula seorang pengendali
tumbuhan tak lagi bisa memupuk dan menumbuhkan impiannya. Terakhir, wanita PSK
merasa dirinya tak sanggup lagi bertahan. “Aku yang cuman bisa ngeseks, punya
daya apa buat memenangkan pertarungan gila ini?” katanya.
Setelah semua reverier itu selesai berubah menjadi
karya seni, catatan kuratorial mereka pun muncul di Katalog Semesta yang dipegang
oleh sang Kurator. Pria perlente itu hanya bisa menghela napas panjang
menyaksikan terciptanya 16 karya
baru. “Hhh … bukan mereka. Pecundang seperti mereka ternyata tidak cukup kuat
untuk membangkitkan Arsamagna. Padahal aku sudah sedikit berharap dari
nama-nama besar mereka. Cih, sialan!”
-reveriers-
Dipenuhi perasaan kesal, Zainurma sang Kurator hanya
bisa berpaling dan kembali ke ruangannya. Setidaknya begitulah niatnya semula,
andai saja dia tidak segera merasakan perubahan udara. Hawa menekan yang tadinya begitu kuat menyelimuti Museum
Semesta kini menghilang begitu saja. Dan itu tandanya …
“Sang Kehendak tertidur? Di tengah berlangsungnya
turnamen??”
Tak mempercayai hal itu, Zainurma segera berpindah ke
Aula Kehendak di mana terdapat patung otak berantai dengan ukuran gigantik yang
ditopang ratusan patung manusia—atau Sang Kehendak. Namun terdapat keanehan.
Ratusan patung manusia telah hancur remuk, tak lagi mampu menopang otak yang
bertambah besar hingga dua kali lipat. Otak itu terus berdenyut dan berdenyut
pelan. Rantai yang tadinya membelit kini berserakan begitu saja di lantai.
Mata Zainurma membelalak. “Tidak … artefak sial ini
bukan sedang tertidur. Tapi dia sedang BANGKIT!”
Dari belakang sang Kurator muncul Mirabelle yang juga
merasakan peristiwa ini. Dia juga berkomentar, “Apa yang terjadi, Tuan Kurator?”
Lalu sang dewi pun menatap sosok Sang Kehendak, “A-aku belum pernah melihat
Sang Kehendak seperti itu.”
Zainurma membalas, “Aku juga belum pernah! Tapi kurasa
artefak brengsek ini sedang dalam proses … err, anggap saja kepompong pada
kupu-kupu.”
Mirabelle terdiam. Dirinya masih mencerna penggambaran
yang dijelaskan secara tak meyakinkan oleh sang Kurator. Mirabelle pun menyimpulkan,
“Kalau memang ini adalah kepompong, bukankah
itu berarti dia sedang dalam kondisi terlemahnya?” Kemudian dewi itu
mengeluarkan tombak Giruvedan-nya seraya memasang ekspresi siap perang. Namun—
Rantai raksasa yang tadinya berserakan di lantai
tiba-tiba melesat cepat hendak memecut Mirabelle dari atas. Sang dewi berusaha
menahan rantai itu dengan melintangkan tombak ke atas. Akan tetapi, hantaman rantai
tersebut mampu mematahkan tombak Giruvedan Mirabelle dan menghunjamkan tubuh
sang dewi ke permukaan tanah. Retakan besar tercipta bersamaan dengan bunyi
menggelegar. Mirabelle kehilangan kesadaran.
Kemudian rantai-rantai tersebut kembali bergerak, bertumpuk
lekat-lekat menciptakan secamam kubah pelindung yang tak tertembus.
Zainurma tertawa kecut, “Heh, kurasa tak semudah itu,
ya?” Pria itu pun mengangkat dan membopong tubuh Mirabelle. “Namun ini kesempatan.
Ahahaha!”
Walaupun hanya sementara, melemahlah kekangan dari Museum
Semesta terhadap diri sang Kurator. Dan yang ada di pikirannya adalah
memanfaatkan jeda ini untuk mengunjungi suatu tempat yang selama ini ingin dia
datangi namun tak memungkinkan karena jiwa raga dan mimpinya terikat pada
Museum Semesta yang dikuasai Sang Kehendak.
“Ah, tapi turnamen harus tetap berjalan,” gumam
Zainurma. “Kuserahkan saja pada si Huban untuk saat ini.”
-reveriers-
Enam belas reverier yang tersisa kini dikumpulkan lagi
di suatu wilayah di Alam Mimpi. Bukan di kuil pegunungan berkabut seperti
pembukaan babak sebelumnya. Kali ini mereka terombang-ambing di lautan susu
karamel, hanya berpegangan pada pelampung berbentuk donat beraneka rasa dan
ukuran (ekstra mini untuk si kaleng). Mereka tak mendapati sosok Zainurma
ataupun Mirabelle yang biasanya memandu jalannya turnamen. Yang mereka temui
hanya si kepala bantal yang melompat-lompat girang di perahu pancake.
“Yeay, selamat sudah lolos ke babak ini~~” sapa Ratu
Huban, si kepala bantal.
Tapi tak ada yang menjawab. Para reverier merasa badan
mereka gatal-gatal karena separuh badan mereka terbenam di lautan susu karamel.
Bahkan ada beberapa yang mengaduh karena ada sesuatu yang mirip ikan sedang menggigiti
badan dan kaki mereka di bawah air.
“Hey, Bantal Setan! Apa nggak ada tempat lebih nyaman
buat kita ngobrol, hah?” seru si demonologist
tangguh yang penuh percaya diri sehabis mengalahkan robot supercanggih. Namun
balasan yang dia dapat hanyalah pukulan tongkat permen dari Ratu Huban—yang secara
ajaib terasa begitu menyakitkan.
“Aku ucapkan terima kasih karena sudah merawat
domba-dombaku dengan penuh impian~~ kurasa mereka semua sudah bisa berevolusi
sekarang~”
Para reverier terpana. Berevolusi, katanya? Menjadi
apa?
“Jadi apapun yang kalian butuhkan, tentu~” jawab Ratu
Huban seolah membaca pikiran semuanya. Kemudian dia melanjutkan, “Tapi aku
memanggil kalian ke sini bukan cuman untuk itu, ehehe. Kalian semua beruntung~”
“B-beruntung?” tanya pemuda yang kerepotan menjaga
palu besarnya supaya tidak tenggelam.
“Ya,” jawab Ratu Huban, “karena aku yang jadi pemandu
kalian sekarang, kuputuskan inilah saatnya untuk … treng deng deng ♪ … KUN-JUNG-AN MU-SE-UM!”
Para reverier kembali terheran.
Salah satu yang pemalas di antara mereka segera mengeluh, “Astaga, kunjungan museum seperti anak sekolah??”
Selanjutnya bocah muda bertutup mata sebelah menyadari
sesuatu, “Tunggu! Kunjungan museum itu maksudnya kita mengunjungi MUSEUM
SEMESTA!?”
“Waduh gawat,” respon alien di antara para reverier, “berada
di Museum Semesta sebentar saja membuat kami sangat tertekan, tahu? Seolah
pikiran bisa jadi gila seketika.”
Ratu Huban menggelengkan kepala bantalnya, “Tenang
saja~ kali ini Museum Semesta sedang aman.
Dan ini kesempatan besar kalian~”
Mengocehlah Ratu Huban panjang lebar soal petualangan
di museum, pencarian harta impian, atau petunjuk untuk mewujudkan cita-cita,
juga tentang sumber pengetahuan yang terkira banyaknya di museum yang semuanya
berasal dari entah berapa juta semesta.
“Tapi tentu saja kalian masih tetep harus berantem
satu lawan satu~ nanti kukasih memonya siapa yang melawan siapa. Sekarang, saatnya
kalian kembali ke Bingkai Mimpi masing-masing~”
Ratu Huban menyelupkan ujung tongkat permennya ke
permukaan laut susu karamel, lalu tongkat itu diputar-putar. Pusaran air pun
tercipta, dengan cepat membesar dan menelan seluruh reverier yang ada di sana.
Mereka hanya bisa berteriak kesal, tak berdaya diusir oleh Ratu Huban.
Dan para reverier satu pikiran, sesampainya di Bingkai
Mimpi maka mereka harus mandi jika tak ingin badan mereka yang berlumuran susu dikerubungi
semut.
Ketika pusaran mereda, para reverier sudah tak
terlihat lagi. Ratu Huban tertawa gembira. Sungguh dia merasa dirinya sedang
pintar sekarang. Memanfaatkan kosongnya Museum Semesta, dia malah memilih
museum itu sebagai tempat berlangsungnya babak selanjutnya. Itu sangat berbeda
dengan instruksi Zainurma yang menemui Ratu Huban beberapa waktu lalu. Sang
Kurator menyuruh agar lokasi pertempuran para reverier tetap dilangsungkan di
Alam Mimpi. Akan tetapi, bagaimana mungkin dirinya melewatkan peluang untuk
menemukan impian sendiri? Karena itu dia akan mengirimkan para reverier ke
Museum Semesta … tempat semuanya berasal dan berakhir.
“Yeay, ideku sangat cemerlang~~”
-reveriers-
Bukan hanya Ratu Huban yang punya pikiran untuk
menyusup (atau mengirimkan segerombolan penyusup) ke Museum Semesta. Tampaklah
si penggembala domba hitam, Oneiros, sedang mengamuk sebal karena di babak yang
lalu dirinya malah terkesan sebagai pengganggu yang tidak penting. Rencananya
untuk mengusir para reverier telah gagal total. Tapi kali ini, dia punya
rencana lain.
“Kalau mereka semua pergi ke Museum Semesta, maka aku
juga harus pergi.”
Domba-domba hitam Oneiros mengembik kencang bersahut-sahutan.
Si penggembala pun menenangkan domba-dombanya.
“Demi kalian, dombaku, maka aku akan berlatih agar lebih
kuat. Aku punya bayangan, aku bisa merasakannya. Aku akan mempelajari Museum
Semesta sebanyak-banyaknya dalam masa kekosongan ini! Aku bisa meraih inspirasi
tertinggi. Aku juga tahu tentang itu, Kurator jelek, … tentang Arsamagna!”
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Selamat mengapresiasi~
Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.
PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.