oleh : hewan
Pria itu terlelap. Dia duduk bersandar dengan kedua
kaki dinaikkan ke meja. Kedua tangannya bersilang di belakang kepala sebagai
bantalan. Tak ada yang lebih nyaman daripada di sini. Tiga kali lima meter
adalah sempit yang sempurna untuknya sebagai tempat melepas penat dari labirin
museum yang luasnya tiada terkira. Penerangan yang redup memanjakan mata. Jika
saja dia masih memiliki kemampuan untuk bermimpi maka lengkaplah sudah. Sayangnya
tidak. Sebagai penghuni museum, tak ada lagi impian untuknya. Matanya boleh
saja menutup tetapi angannya tak akan pernah bisa memimpikan apapun. Tidak di
semesta ini.
Remangnya ruangan diusik oleh kilau cahaya dari sebuah
buku yang tergeletak di pinggir meja. Buku itu membuka sendiri, hanya
menampilkan lembar-lembar kosong. Akan tetapi, halaman yang tadinya polos itu
tiba-tiba terukir oleh cahaya keemasan, membentuk untaian narasi dan gambar.
Ketika satu halaman terisi penuh maka buku itu membuka halaman selanjutnya
untuk terus ditorehkan catatan baru. Hingga semua selesai, cahaya menghilang
dan buku itu menutup sendiri seperti sediakala.
Mata pria itu membuka. “Ng … Katalog Semesta? S-siapa
yang meregistrasi karya-karya baru?” Rihat singkat berakhir sudah. Pria itu
bergegas meraih buku yang disebutnya sebagai Katalog Semesta. Diperintahkanlah buku katalog tersebut, “Tunjukkan
data-data tadi.”
Sekali lagi buku itu bercahaya keemasan dan terbukalah
halaman-halaman tersebut. Tampak 21 data karya terbaru yang muncul begitu saja
tanpa sepengetahuan dirinya. “‘Putri Yang Lenyap Bersama Negeri – Roze Aurora’,
‘Kematian Boss Besar – Altair Bonanza’ …,” keringat dingin mengalir ketika pria
itu membacakan judul-judul karya yang tertera pada buku katalog. Kemudian dia
tertawa kesal, “Heh! Sepertinya aku telah melewatkan sesuatu.”
Terdengar suara pintu diketuk.
“Tuan Kurator, Anda di sana?” suara perempuan
memanggil. “Tuan Zainurma?”
Zainurma, nama pria itu, menutup buku katalognya. Kemudian
dia melangkah dan membukakan pintu. Sosok wanita anggun itu berdiri di sana,
memandang serius ke arah Zainurma.
“Hai, Dewi Mirabelle,” sapa sang Kurator. “Kurasa kau
kesini mau menanyakan tentang karya-karya yang baru saja muncul, hah? Kukatakan
saja, bukan aku yang mengakuisisi mereka.
Tahu-tahu saja mereka datang dari Alam Mimpi.”
Ekspresi Mirabelle berubah. “Jadi mereka itu—” Dia
tidak menyelesaikan perkataannya ketika melihat gelagat sang Kurator yang
bersiap-siap pergi. “Anda butuh pengawalan dariku?” tanya Mirabelle.
Menggeleng Zainurma, “Tidak perlu. Kau rapikan saja koleksi
baru itu. Mereka hanya karya seni kelas C, jadi untuk sementara lokasikan saja
dulu di gudang. Jangan dipajang.” Diambilnya mantel berbulu yang tadinya
tersemat di sandaran kursi, lantas dikenakannya.
Saat mereka masih berbicara, seluruh ruangan tiba-tiba
bergetar kencang. Bukan hanya ruang kurator yang sempit itu, melainkan seluruh
museum ternyata berguncang.
“M-Museum Semesta akan aktif, Tuan!” seru Mirabelle.
“Sial! Secepat itukah?” maki Zainurma. Kemudian dia
melanjutkan di dalam hati, Kalau aku
ingin melakukan sesuatu, SEKARANG-lah saatnya!
Setelah ditelan oleh aura keemasan, sosok sang Kurator
pun menghilang.
-reveriers-
Gadis berkepala bantal itu berguling-guling di dataran
gulali bergelombang yang dialiri oleh susu kental manis. Hatinya sangat senang
karena baru saja menyaksikan pertunjukan para pemimpi yang bertarung demi
mewujudkan keberanian mereka dalam bermimpi. Namun di saat yang bersamaan,
hatinya juga sedih. Sudah sebanyak ini dia melihat impian dari berbagai jenis
makhluk tapi belum juga dia menemui petunjuk untuk menemukan mimpinya sendiri.
Lansekap pun berubah menjadi tanah gersang berumput
kuning kering dengan semilir angin membara. Gadis berkepala bantal itu
tersentak. Ada yang datang mendekatinya. Maka melompatlah gadis itu dengan
bertumpu pada tongkat permennya.
Sosok itu hadir di depan si kepala bantal. “Ratu
Huban,” sapa sosok tersebut. “Ini pertama kalinya kita bertemu, kurasa. Tapi
aku sudah lama mengawasimu.”
Ratu Huban, nama si gadis berkepala bantal, tampak
terheran karena ada yang mengenal dirinya. Diperhatikannya penampilan sosok
tersebut. Seorang pria. Pakaiannya cukup rapi, setelan jas hitam-hitam berpadu
dengan mantel berbulu yang elegan. Dan yang paling menarik dari pria perlente
tersebut adalah kacamata semi-gelapnya dan rambut klimisnya. Setidaknya bagi
Ratu Huban begitu. Tampak seperti—
“Helo, Paman Mafia~” ujar Ratu Huban.
Yang disapa pun menghela napas. “Aku bukan mafia,
setidaknya bukan lagi. Namaku Zainurma.”
“Ho, kalau begitu kupanggil Paman Nurma saja, ya?”
Ratu Huban melompat tinggi dan mendarat terbalik di awan berbentuk balon.
Zainurma menengadah lantas berkata, “Kau memanggil sejumlah
pemimpi ke sini beberapa waktu lalu? Tadinya kukira kau hanya bisa mengintip
mimpi-mimpi.”
Ratu Huban berguling-guling di awan balon. “Hanya
sementara, Paman. Setelah mereka beres bermimpi, semua balik ke asalnya
masing-masing.”
“Tidak semua, yang jelas.”
Kini ekspresi Ratu Huban—terlihat dari kerutan
bantalnya—menjadi sedih. “Paman benar. Sayang sekali dari 58 pemimpi, hanya 37
yang berhasil menyelesaikan pertarungan impian mereka.”
“Dan 21 yang tersisa itu kini jadi rongsokan di gudang
Museum Semesta!” hardik Zainurma.
Kumpulan awan balon yang dinaiki Ratu Huban pun
meletus secara bersamaan, memuntahkan keping-keping permata. Zainurma bergeser
sedikit agar tidak terkena kepingan permata yang langsung pecah menjadi cat
warna-warni.
Ratu Huban terjatuh di hadapan Zainurma. Gadis kepala
bantal itu cemberut, “I-itu bukan salahku. Mereka mengaku berani bermimpi, makanya kupikir mereka semua memang mampu.”
Zainurma hening.
“Oh, iya. Paman Nurma ini dari Museum Semesta?”
“Yap.”
“Jangan-jangan Paman Nurma ini … Sang Kurator??”
“Ternyata kau bisa menebaknya,” Zainurma menyeringai.
Ratu Huban kini waspada. Kaki bersepatu bootnya
melangkah mundur dengan perlahan. “Jangan-jangan Paman Nurma ini … anak buah
[Sang Kehendak]?!” seru si gadis bantal, kedua kakinya sudah siap untuk lari
kapanpun.
“Bukan!” jawab Zainurma. “Tapi aku tak bisa melawan artefak
brengsek itu. Dan sebentar lagi, kau tahu, semua akan dimulai kembali.”
“Dimulai kembali?”
“Yah, tentu saja Pameran Raya. Dan Alam Mimpi tak bisa
berbuat apa-apa selain menyediakan panggungnya.”
Ratu Huban semakin murung. “A-aku rindu Alam Mimpi
yang dulu. Ketika [Sang Kehendak] belum menguasainya.”
Kini permukaan tanah berganti menjadi hamparan putih.
Salju pun turun dari kiri ke kanan
secara horizontal. Pohon-pohon cemara berhiaskan lampu-lampu kecil pun tampak
beterbangan di udara.
“Bukan berarti kita tak bisa berbuat apa-apa,” tutur
Zainurma, seringainya kembali hadir.
“Maksud Paman?”
Kaki kanan Zainurma menginjak-injak tanah, memberi
kode. “Artefak brengsek itu tidak tahu potensi sesungguhnya dari Alam Mimpi.
Dan Ratu Huban … bagaimana kalau kita jalan-jalan sejenak?”
Sementara itu, Museum Semesta terus bergetar.
Di suatu aula terbuka yang dikelilingi taman, tampaklah sebuah patung gigantik berbentuk otak yang disangga oleh tumpukan patung manusia yang dirantai. Patung itulah yang disebut sebagai [Sang Kehendak]. Dialah yang kehendaknya menguasai seluruh Museum Semesta dan Alam Mimpi. Ketika dia bangkit, Museum Semesta akan kembali memperluas dirinya. Mahakarya-mahakarya baru akan tercipta dan menjadi artefak seni yang menghiasi segala sisi museum.
Mirabelle hanya mampu berdiri terpaku, sepuluh meter di hadapan patung tersebut. Pernah ada masa di mana dirinya merupakan seorang Dewi, entitas ilahiah yang memiliki kekuasaan begitu tinggi. Namun kini dia hanyalah penghuni museum ini, sama tak berdayanya dengan Zainurma. Dalam hati Mirabelle berkata, Aku tak tahu apa yang engkau rencanakan, wahai Tuan Kurator. Tapi aku percaya ... jika ada harapan kecil untuk kebebasan kita, maka aku akan bertaruh pada rencanamu.
-reveriers-
Sementara itu, Museum Semesta terus bergetar.
Di suatu aula terbuka yang dikelilingi taman, tampaklah sebuah patung gigantik berbentuk otak yang disangga oleh tumpukan patung manusia yang dirantai. Patung itulah yang disebut sebagai [Sang Kehendak]. Dialah yang kehendaknya menguasai seluruh Museum Semesta dan Alam Mimpi. Ketika dia bangkit, Museum Semesta akan kembali memperluas dirinya. Mahakarya-mahakarya baru akan tercipta dan menjadi artefak seni yang menghiasi segala sisi museum.
Mirabelle hanya mampu berdiri terpaku, sepuluh meter di hadapan patung tersebut. Pernah ada masa di mana dirinya merupakan seorang Dewi, entitas ilahiah yang memiliki kekuasaan begitu tinggi. Namun kini dia hanyalah penghuni museum ini, sama tak berdayanya dengan Zainurma. Dalam hati Mirabelle berkata, Aku tak tahu apa yang engkau rencanakan, wahai Tuan Kurator. Tapi aku percaya ... jika ada harapan kecil untuk kebebasan kita, maka aku akan bertaruh pada rencanamu.
[]
saya ngrasa Sang Kehendak kayak diktator macam thurqk
BalasHapusSaya penasaran, karakter "Minion" panitia yang akan muncul tahun ini apa.
BalasHapusDi BoR 4 ada Hvyt, di BoR 5 ada para maid.
Actually, clue ke arah itu udah bertebaran di charsheet Ratu Huban ataupun di judul cerita panitia ._ .
HapusAda domba ._.
HapusCuma Otak doang pada gak bisa apa apa. Coba kalo kepala lengkap. Mereka pasti jadi boneka tanpa jiwa. :-D
BalasHapusHmm, aku mencium bau persekongkolan
BalasHapus...dan semoga tidak berakhir dengan pengkhianatan...
HapusHm~ Domba...
BalasHapusIni akan menarik
Alam Mimpi, abstrak, hohoho :3 Jadi penasaran bagaimana sejasad relic macam otak bisa menguasai alam tak terbatas
BalasHapustype S... hati-hati, Ratu Huban, jaga kepalanya, takutnya ada yang mo copot gara-gara salah paham... :=(0
BalasHapusaku baca sambil nyalon dan minum air galon
ALBO telah menjadi bagian dari rongsokan Museum Mimpi. *Rip ALBO, my OC...
BalasHapusWahaha, Roze jadi rongsokan doang. ckckck, memang, dia itu cuma seni kelas C //authortidakbertanggungjawabXD
BalasHapusOpi Si Operator tewas jadinya 23 kan~
BalasHapusHmm ... betul juga. Dan ada pula si Aeluvars ._.
Hapustenanglah Ratu Huban. Kaminari mungkin akan menjadikan [Sang Kehendak] jadi otak-otak khas palembang.
BalasHapus