"Kalau kau berhasil mencabut name taq ini dariku, maka kau boleh menggunakan nama ini." Ia lalu menunjukkan name taq di dada seragam sekolahnya.
Ghoul menghela napas. "Huft! Begitu, ya? Oke. Sebelum kita mulai, boleh aku tahu siapa nama aslimu agar aku bisa memakamkanmu kelak dengan nama itu?"
Hening. Salju yang turun seolah saling berbisik, namun tak memberi jawaban apa-apa.
Sang lawan menarik napas kemudian memperkenalkan dirinya, "Satan! Satan Raizetsu."
NAMAE NO NAI KAIBUTSU - 3
(Monster "29 Februari" Tanpa Nama – arc.3: Kagome-kagome)
(by: Arieska Arief)
*Rasakan juga sensasi genre arc. sebelumnya!!!
- prolog (FBC: entri ke-15) : genre full action yang akan membuatmu bisa merasakan serunya…
- arc. 1 (prelims: entri ke-31) : genre drama tragedi yang akan membuatmu bersimbah air mata haru…
- arc. 2 (R1: entri ke-23) : genre dark fantasy yang bisa membuatmu merinding sekaligus tegang dan menahan napas…
warming: jangan baca entri horror-thriller seksi ini tengah malam karena akan mengakibatkan insomnia, depresi pernapasan, takikardi, delirium, sianosis, paralisis, dispne… hal ini tak berlaku bagi yang vote (kidding) :p
"Kagome kagome…
Burung dalam sangkar!
Kapan kau keluar? Saat malam dini hari
Burung jenjang dan penyu tergelincir
Siapa yang ada tepat di belakangmu?"
Sekelompok anak berjumlah lima orang tampak mengitari seorang anak perempuan yang menjadi oni (iblis) di permainan Kagome-kagome itu. Permainan ini cukup popular dimainkan di Jepang sana. Anak-anak itu bernyanyi dengan riang sambil berpegangan tangan dan berjalan mengelilingi anak dalam lingkaran tersebut meski hari di taman sudah senja.
Anak perempuan di tengah lingkaran itu menutup mata dengan tangannya. Begitu lagu itu selesai dinyanyikan, ia pun tampak berpikir sejenak untuk menebak siapa anak yang berada di belakangnya.
"Hm… siapa, ya? Setan! Iya, pasti Setan yang berada di belakangku!" pekiknya penuh keyakinan.
Seorang anak lelaki yang berada tepat di belakangnya tertegun sambil menelan ludah. Ia bukannya takut karena akan mengganti posisi anak perempuan tadi menjadi iblisnya, tapi…
"Benar!" seru anak-anak lainnya. Anak yang menjadi oni tadi tampak kegirangan sambil berbalik ke belakang.
Sementara itu, si anak lelaki tadi mengepalkan tangan sambil tertunduk seolah menahan amarah.
"Setan! Kamu tunggu apa lagi? Sekarang, ayo kamu berdiri di tengah menjadi iblisnya," kata anak perempuan tadi.
"Tidak. Kamu salah…"
Si anak perempuan tadi mengernyit keheranan. "Apanya yang salah? Jelas-jelasnya kan aku berhasil menebakmu dan namamu kan memang Setan!"
Anak lelaki itu menegakkan kembali kepalanya. "Tapi kamu salah mengeja namaku! Maknanya kan jadi lain! Kamu mau merusak namaku, ya?!"
"Loh, memang salahku kalau kamu diberi nama Setan? Kalau kamu risih dengan nama itu, ya udah. Ganti nama saja!" kata si anak perempuan santai. "Dan kau tak perlu menatapku seperti setan sungguhan. Lagian lidah kami kan lebih enak memanggilmu sesuai ejaan kami sendiri—Se-tan!"
"Hahaha!!!" Anak-anak yang lain kemudian tertawa menghina.
Anak lelaki itu menggeram karena namanya dijadikan olok-olok. Tanpa pikir panjang, ia kemudian mengambil batu besar di dekat ayunan, mengerahkan tenaganya untuk mengangkatnya tepat ke muka si anak perempuan tadi. Crot!
Anak perempuan tadi langsung tumbang dengan wajah berlumuran darah. Belum puas, si anak lelaki kembali menghantamkan batu itu ke wajah si anak perempuan hingga tak bergerak lagi. Si anak perempuan mengejang sebelum akhirnya tak sadarkan diri. Namun si anak lelaki masih saja terus merusak wajahnya dengan batu itu. Darah memerciki wajah kelamnya yang kesetanan.
Wajah anak perempuan itu tampak semakin remuk. Darah yang tergenang sudah mengepung mereka berdua di dalam lingkaran merahnya. Tapi si anak lelaki tak berhenti juga meski wajah anak perempuan itu hancur berserakan ke dalam rongga tengkorak.
"Kita lihat saja siapa setan sebenarnya di sini! Akan kubuat wajahmu seperti setan yang sesungguhnya. Mungkin dengan begitu, kau tak berani lagi mengolok-olok namaku setelah menjadi setan."
Anak lelaki itu terengah-engah dan menghentikan hantamannya tadi. Ia kemudian berdiri menghela peluh seolah tak melakukan hal yang biadab. Dipandanginya hasil karyanya dengan senyum puas mengerikan. Wajah anak perempuan itu sekarang sudah gepeng. Isi kepalanya berserakan keluar, sebagian wajahnya runtuh ke dalam tengkoraknya sendiri. Wajah imutnya sudah tak bisa dikenali lagi seolah habis digilas ban mobil berkali-kali.
Anak lelaki itu menolehi teman-teman di belakangnya. Mereka menatapnya ketakutan sambil berdiri gemetaran.
"Apa yang kalian lakukan di sana? Ayo kita lanjutkan permainannya dan… jangan pernah salah lagi mengeja namaku!"
…
Tlep. Pemuda belia berambut hitam itu membelalakkan matanya seketika. Matanya nyalang menatap langit-langit kamarnya yang kelabu. Terlihat warna kedua matanya yang memiliki perbedaan mencolok. Mata kirinya berwarna merah sedangkan sebelah kanannya normal.
Ia kemudian terduduk sambil terengah-engah. Keringat dingin mengalir di kening dan lehernya. Ia menelan ludah. "Mimpi! Rupanya hanya mimpi buruk saja."
Ia mengambil segelas air di meja sebelah ranjangnya kemudian meneguknya sebuas mungkin. Setelah itu, mata redupnya kemudian memandangi suasana di luar jendela kamarnya.
Ia menghela napas. "Tak mungkin kan aku melakukan hal sekeji itu. Sebaiknya aku mandi air dingin dulu lalu keluar untuk jalan-jalan."
Pemuda itu kemudian keluar kamar untuk melakukan Misologi yaitu tradisi mandi air dingin di Jepang untuk menghilangkan ketegangan. Namun ia tak menyadari seperti apa bayangan wajahnya di cermin. Tampak percikan darah menghiasi pipinya!
***
Pemuda itu melangkah gontai di sepanjang jalan. Ia menghela napas karena tak bisa melihat jelas pemandangan di kota itu akibat kabut asap yang kadang menipis dan menebal sewaktu-waktu. Sinar mentari tampak redup dari tempatnya tinggal sekarang hingga panasnya tak begitu menyengat.
Ia terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya di Tokyo—Jepang karena suatu hal. Sebuah bencana besar yang menimpa negerinya membuatnya terpaksa mengungsi ke kota ini. Ini memang hanya untuk sementara, tapi setiap kali ia memperkenalkan diri, ia harus menahan malu karena rata-rata orang di sana akan menertawakan namanya.
Ia melangkah tak tentu arah hingga tibalah ia di area tepi sebuah jurang.
"(AA), tiap tanggal 29 Februari, Ibu pasti selalu menyempatkan diri menengokmu di sini. Apa kabarmu, Nak?"
Pemuda itu berhenti melangkah dan tertegun begitu melihat seorang wanita berdiri tepat di ujung tebing. Ia was-was saja kalau sampai wanita itu berbuat yang tidak-tidak. Dari nada suaranya, wanita itu tampak begitu sedih. Begitulah ia menganalisis suasana mendung di hati wanita itu.
"Padahal seharusnya kau sudah berusia 20 tahun. Tapi kenapa kau harus berakhir di kolam air mendidih di bawah sana?"
Blup blup… suara air mendidih di bawah tebing itu memecahkan suasana.
Wanita itu mengusap air matanya. "Nama yang kuberikan padamu akan tetap abadi di hati Ibu, Nak. Meskipun kau belum sempat mengenakannya sama sekali. Aku akan selalu menyebut namamu dalam doaku agar kau tenang di sisi-Nya, (AA)."
Pemuda di belakangnya itu mengernyit, tampak serius menyimak curahan hati wanita itu.
"Ibu ingin sekali memanggilmu dengan nama itu, tapi kau keburu tiada. Ibu ingin kau mendengar panggilan ibumu ini di surga sana. Arti namamu sungguh indah. Mungkin kau memang tercipta dari abu, tapi kau bukan sembarang abu. Kau bukan abu yang dengan mudah berserakan diterbangkan oleh angin, tapi kau adalah abu yang bisa kembali mengikat dirimu sendiri menjadi utuh. Ibu ingin kau menjadi orang yang selalu berusaha dengan gigih dan pantang menyerah. Abu yang dihancurleburkan tapi bangkit lagi. Nama itu juga bisa berarti seorang pelindung yang terbuat dari abu. Tapi… arti nama itu sudah tak ada gunanya lagi karena kau harus menyerah oleh keadaan."
Wanita itu kemudian menutup wajahnya dan menangis tersedu-sedu. "(AA)!!!" Ia kemudian meneriakkan nama putranya itu berkali-kali.
Sementara itu, pemuda yang tak disadari kehadirannya itu tersenyum penuh makna. "(AA)? Nama yang bagus! Aku suka nama itu dan artinya. Pemilik nama itu sudah meninggal, bukan? Jadi tak ada salahnya kan kalau…"
***
Sebuah pamflet buronan melayang-layang gemulai diterbangkan angin. Pamflet itu melewati seorang wanita yang masih saja setia menanti sesuatu di tepi jurang. Ia sudah beberapa hari ini berada di sana—menanti kepastian yang tak jelas kapan datangnya. Ia terduduk sendu di sana seorang diri sambil mendekap tubuhnya dari dinginnya angin malam.
"Padahal sudah jelas ia tak akan datang. Kenapa juga ya aku masih menantinya?" Ia mengusap matanya yang sudah berhari-hari tak tidur. "Tapi aku ingin sekali bisa melihat wajah anakku—A** Aegisa…"
Seorang pemuda yang tengah melintas di balik kegelapan malam tertegun mendengar nama itu. Ia sendiri tak habis pikir mengapa begitu merespon nama yang disebutkan oleh wanita malang itu.
Pemuda bermata cekung itu tampak seperti gelandangan dengan ujung lengan baju dan ujung celana yang compang-camping dengan bekas sobek di mana-mana, belum lagi di pakaiannya yang dekil itu terdapat noda darah yang bersebaran. Ia yang tadinya tengah melangkah terpaku memandangi wanita itu setelah nama itu disebutkan meski yang kedengaran hanya nama belakangnya.
"Sebaiknya aku pulang saja. Anak dan suamiku pasti sudah lama menunggu. Aku tak ingin mereka jadi khawatir." Wanita itu kemudian menegakkan tubuhnya. Namun karena terhuyung-huyung, ia hampir saja jatuh ke jurang.
Pemuda misterius tadi dengan sigapnya menahan tubuhnya. "Anda tidak apa-apa? Hati-hati!" tegurnya sambil menggiring wanita itu ke tempat yang aman.
Wanita itu mendongak menatap pemuda itu. Namun karena gelap, ia tak bisa melihat wajah si pemuda dengan jelas. "A** Aegisa?"
"Maaf? Anda memanggilku siapa?" Pemuda itu masih kurang bisa mendengarnya.
Wanita itu menelengkan wajah. "Ah, maaf! Terima kasih sudah menolongku." Wanita itu kembali menatapnya. "Siapa namamu, Nak?"
Pemuda itu tertegun sejenak. "Aku… aku tak punya nama…"
Wanita itu melebarkan matanya. "Sebagai tanda terima kasih karena kau sudah menyelamatkanku, bagaimana kalau aku memberimu nama Aegis?"
Si pemuda kembali terdiam, tapi kelihatan senang.
"Itu adalah nama belakang putraku yang sudah tiada. Apa kamu suka nama itu? Nama itu artinya pelindung. Karena kau sudah berbaik hati menolongku tadi, kurasa nama itu cocok untukmu."
Diam-diam pemuda misterius itu tersenyum.
"Kalau ia masih hidup, ia pasti sudah sebesar kau sekarang." Wanita itu membelai wajah si pemuda misterius.
Pemuda itu memejamkan mata menikmatinya. "Ibu boleh memanggilku kapan saja dengan nama itu. Semoga bisa mengobati kerinduan Anda."
Wanita itu kemudian pergi sambil tersenyum lega padanya. Pemuda itu terus memandanginya dari belakang hingga tertelan kegelapan.
"Aegis…," ia mendesiskan nama itu sambil tersenyum penuh ketenangan.
***
Bingkai Mimpi, beberapa hari kemudian…
"Gisss…"
Ghoul menghela air matanya dengan susah payah begitu mendengar suara desisan misterius. Sudah cukup lama juga ia dalam kondisi terlentang di markas kotor itu sambil melakukan proses bernapas yang bisa mempercepat proses regenerasinya.
Setelah melihat Mahesa yang ingin memberikan napasnya tadi, pemandangan itu kemudian meluruh menyisakan tembok kusam. Ia tak tahu kejadian selanjutnya apa, tapi sudah menangis histeris seolah ada yang mati. Ia tahu tak bisa mencegah Mahesa tadi karena beda dunia. Teriakannya tadi tak berarti apa-apa.
"Egissss…"
Suara desisan itu kembali menegurnya. Merasa dipanggil, Ghoul berusaha menelungkupkan tubuhnya agar bisa merayap menuju sumber suara itu. Napasnya terengah-engah karena merasa usahanya sia-sia.
"Aegisssss…"
Desisan yang kesekian kalinya itu semakin membangkitkan semangatnya menuju si pemilik suara. Setelah berusaha keras, akhirnya ia berhasil menelungkupkan tubuhnya dan merayap keluar ruangan. Suara itu terus memanggil-manggilnya.
Tiba di koridor, ia berusaha menegakkan tubuhnya sambil bertumpu pada meja di sepanjang koridor. Meski tertatih-tatih, ia tak menyerah demi menemukan si pemilik suara.
Ia semakin bersemangat begitu mendengar sumber suaranya berasal dari balik sebuah pintu besar. Cepat-cepat ia melangkah ke sana, tak sabaran membuka pintunya dan… bruk!
Desisan itu sudah menghilang. Sekitar 30-an sosok tangguh menolehinya dari dalam sana. Tampak juga Sang Kurator dan Mirabelle di sana.
"Terlambat! Apa-apaan kau ini?! Aku tak suka ada reverier yang tak disiplin waktu seperti kamu di sini. Masih niat bermimpi nggak, sih?! Hargai waktu sedikit, dong!" omel Zainurma kesal. "Yang capek kan bukan hanya kamu saja! Panitia juga! Push-up 50 kali, terus jalan jongkok kemari! Kalau perlu merayap!" gelegarnya bagai senior ospek.
"Enak saja. Daritadi aku sudah merayap, kok! Kalau aku masih bisa jalan, kenapa harus jalan jongkok segala?" Ghoul berusaha menegakkan tubuhnya meski memerlukan usaha keras. Ia harus berpegangan pada pegangan pintu segala.
Setelah mampu menyeimbangkan diri dengan baik, ia kemudian melangkah terseok-seok sambil memandangi sekitarnya. Terdapat ratusan gunung yang menjulang menembus awan dengan pusatnya merupakan gunung tertinggi di mana sebuah kuil megah berdiri di puncaknya. Ghoul tampak mengangumi tempat itu.
"Awas! Ntar ada hukuman buat kamu, Bocah!" Zainurma tampak kesal karena Ghoul mengabaikannya. Ghoul tentunya sedang tak ingin disusahkan siapa pun setelah susah setengah mati tadinya.
"Oke! Abaikan saja monster kecil itu. Kalian pasti bertanya-tanya sedang berada di mana." Zainurma kemudian duduk penuh lagak di mimbar yang menghadap amfiteater di mana para reveriers dikumpulkan. "Selamat datang di Bingkai Mimpi Mirabelle!"
"Kenapa mereka tak membawa kami ke Museum Semesta, ya?" Ghoul bertanya-tanya sambil mendekati 31 reveriers yang tersisa. Ia tak membutuhkan jawaban apa pun begitu melihat tanah kelahirannya seolah runtuh karena tanahnya amblas dan terbakar di layar itu. Ghoul terbelalak melihatnya.
"Kiamat! Apa-apaan ini?!"
***
Jalanan utama di Distrik Kabut Asap memang selalu ramai oleh pejalan kaki. Seorang pemuda berseragam SMA melangkah riang sepulang sekolah. Ia berpapasan dengan seorang pemburu hadiah yang tengah melangkah lunglai—Sunny. Sunny kemudian memandangi punggung anak tersebut dengan tatapan sendu.
"Enaknya bisa menjalani hari yang normal. Bisa punya orangtua dan disekolahkan setinggi itu. Tapi aku harus cari uang sendiri untuk menyambung nyawa. Apa bangku SMA itu sangat menyenangkan, ya? Kurasa sekarang sudah terlambat untuk memikirkan seperti apa rasanya," keluh Sunny yang hanya tamatan SMP itu sambil melanjutkan perjalanannya.
Krek. Namun langkahnya terhenti begitu merasakan ada retakan di tanah. Retakan itu menjalar dengan cepatnya ke arah anak SMA yang tak menyadarinya itu. Mata Sunny terbelalak melihatnya.
"Awas!"
Terlambat! Retakan itu sudah sejajar dengan kaki si pemuda. Pemuda itu keheranan karena kedua kakinya semakin berjauhan. Retakan itu semakin melebar, tapi pemuda itu malah tak buru-buru menyatukan kedua kakinya karena penasaran.
Hasilnya, sebuah tebasan angin dari dalam retakan itu kemudian dengan cepatnya membelahnya tepat di selangkangan kemudian berakhir di puncak kepala. Kondisinya mengerikan bagai pohon yang terbelah.
Tubuh yang terbelah dua itu tumbang ke arah yang berlawanan. Tak ada yang mau melihatnya lama-lama kecuali Sunny yang masih syok. Darah korban yang tergenang dengan cepatnya menyapu sepatu bututnya. Tak hanya satu kematian saja yang harus dia saksikan, namun beberapa kematian lagi.
"Tolong! Keluarkan aku dari sini!" Retakan itu menenggelamkan seorang siswi SMA kemudian retakan itu kembali merapat dengan kecepatan tinggi. Crot! Darahnya mekar yang bagai kembang api muncrat (bayangkan saja bagaimana jika tanganmu berhasil menepuk nyamuk!).
Ada juga seorang siswa SMA yang berusaha keluar dari retakan di sisi lainnya. Ia juga terjatuh ke retakan itu. Kepalanya sudah keluar dari dalam retakan disusul dengan tangan kanannya yang berusaha menjangkau rerumputan. Namun…
Retakan itu juga kembali menutup dengan kecepatan tinggi bagai menepuk nyamuk dan… crot!
Syer. Percikan darah menimpa wajah Sunny yang syok. Bagian kepala korban yang masih tersambung dengan lengan kanannya kemudian berguling-guling ke dekat kaki Sunny. Rupanya tubuh korban terpotong secara diagonal dari sisi leher ke ketiak di sisi lain.
Napas Sunny termegap-megap melihat mata terbelalak dari potongan tubuh korban itu. Ia melayangkan pandangan ke sekelilingnya. Semua korbannya adalah anak SMA!
"Tidaaaaaakkk!!!"
***
"Intinya, kau tak boleh kalah!"
Ghoul tertegun dengan wajah mengeras. Setelah pertemuan yang mendebarkan itu, Ratu Huban menemaninya kembali ke markas Nine Lashes. Ghoul berdiri dan memandangi pemandangan di luar sana melalui jendela. Meski hari sudah gelap, namun ia menyadari ada perubahan kecil di sana.
"Ng? Pemandangannya terlihat semakin jauh. Padahal waktu ronde awal, pemandangannya hanya sampai pagar markas. Tapi sekarang aku sudah bisa melihat puluhan bangunan di kejauhan sana di depan pagar."
"Itu artinya bingkai mimpimu semakin meluas, Ken," Ratu Huban menginfokan. Ghoul langsung menolehinya berharap penjelasan yang lebih rinci. "Dengan meluasnya lahan yang kaulihat itu, maka akan semakin banyak pula orang-orang yang berpindah ke alam ini."
Wajah Ghoul semakin serius. "Jadi tak hanya Nine Lashes yang akan mengancamku, tapi juga para pemburu hadiah lainnya maksudmu?"
Ratu Huban mengangguk mantap. "Tak hanya mereka tentunya, tapi juga orang-orang yang mencintaimu. Bisa jadi itu ayah angkatmu atau… ibu kandungmu."
Wajah Ghoul berubah menjadi tenang mendengarnya. "Aku… jadi aku bisa bertemu dengan mereka?" harapnya. "Aku ingin bisa melihat wajah ibu kandungku itu jika ia memang berada di sini."
"Jangan senang dulu! Kalau kau kalah, tanah ini akan kiamat. Hanya kau yang bisa menyelamatkan orangtuamu."
Ghoul menelan ludah. Ia kembali kepanikan. Tak hanya ancaman para pemburu hadiah yang akan ia hadapi, tapi juga perihal keselamatan orang-orang di bingkai mimpinya sendiri.
"Aku… aku tak akan membiarkan ada korban yang jatuh lagi karena impianku!"
Ratu Huban seolah tersenyum riang melihat semangat Ghoul. Padahal sebenarnya Ghoul ingin menyerah tadinya karena luka-luka yang dideritanya dan ingin segera terbangun. Ia rela dihukum mati hari itu juga, tapi kalau ia mati itu artinya…
"Tapi bagaimana caranya mencari nama asliku sendiri?" Ghoul kembali menatap jendela. "Seandainya saja luasnya sudah mencapai hutan tempat di mana setan 29 Februari itu dibakar, aku pasti bisa menggunakan abunya."
Sayangnya, tempat itu tak kelihatan sama sekali!
"Mbek!"
Ghoul melirik Buckazy yang datang tergopoh-gopoh sambil menggigit sebuah pisau. Ghoul memicingkan mata melihatnya. "Ini kan pisaunya si Pokiel? Kau mencurinya dari gereja?"
"Itu pisau yang menusukmu waktu bertarung dengan Pokiel," Ratu Huban menjelaskan.
"Tapi untuk apa Buck memberikan benda ini padaku? Aku tak membutuhkan senjata, apalagi senjata yang hampir saja menghabisiku."
Ratu Huban mengodekan agar Ghoul mengambilnya saja agar ia mengetahui jawabannya. Secara perlahan, Ghoul pun menggengam pegangan pisau itu dengan tangan kirinya dan…
Ztztztzztztztztztzt!!!
"Auw!!!" Ghoul spontan menjatuhkan pisau itu setelah merasakan ada sesuatu yang tajam merajah telapak tangannya. Ia mengibas-ngibaskan tangannya kemudian mengecek ada apa di telapak tangannya. Ia terbelalak begitu melihat ada tulisan yang hadir begitu saja melukai telapak tangannya. "Apa ini?!" Tangan kiri Ghoul jadi gemetaran karenanya.
Ratu Huban bergegas mengelap darah di telapak tangan Ghoul agar bisa membaca tulisan itu dengan jelas. Tulisan yang dibuat oleh goresan pisau itu sudah tampak ditulis dengan tinta merah. "Sepertinya ini pesan dari Sang Kurator!"
Ghoul terkekeh stres. "Kapan ya tempat ini berhenti merajamku?"
"Mungkin ia kesal padamu karena tadi terlambat. Makanya ia menghukummu seperti ini."
"Pria licik itu sepertinya sentimen padaku. Cepat bacakan apa yang dia katakan dan tolong beritahu dia lain kali tak usah begini!"
"Mungkin kau memang tercipta dari abu, tapi kau bukan sembarang abu. Kau bukan abu yang dengan mudah berserakan diterbangkan oleh angin, tapi kau adalah abu yang bisa kembali mengikat dirimu sendiri menjadi utuh. Kau adalah abu pelindung yang bisa dihancurleburkan kapan saja, tapi pada saat itu juga kau akan bangkit lagi," Ratu Huban membacakan tulisan menyakitkan itu.
"Jadi pria itu mengirim puisi buat aku? Puisinya bagus, tapi aku tak suka caranya melukaiku seenaknya," omel Ghoul penuh harga diri.
Ratu Huban menggeleng. "Tidak. Ini sepertinya petunjuk mengenai nama aslimu, Kenzo Samuel."
Wajah Ghoul mendadak tampak antusias. "Aku adalah abu. Hancur lebur tapi bangkit lagi," Ghoul menyebutkan inti pesan tersebut. "Kira-kira apa maksudnya? Apakah itu mengarah pada sebuah tempat kelahiran atau arti namaku?"
"Soal itu, kau harus cari tahu sendiri tentunya." Ratu Huban mengangkat bahu kemudian menyemangati kawannya itu, "Ayo semangat, tinggal sedikit lagi kau bisa menemukan nama aslimu. Tapi jangan lupa untuk bangun hidup-hidup, ya! Nyawa penduduk di sini tergantung 'usaha'mu."
Ratu Huban membuka portalnya sendiri dan tanpa basa-basi lagi, ia pun menghilang ke dalamnya. "Selamat bertarung!"
Kini tinggal Ghoul dan Buck di sana—menemaninya berpikir.
***
"Ash, ayo bangun!"
Seorang gadis berambut pirang membungkuk membangunkan seorang pemuda yang tengah terlentang di ranjang. Rambut panjangnya membelai wajah pemuda itu.
"Urami?" Pemuda itu kemudian membuka matanya dan tersenyum begitu melihat wajah cantik blasteran di atasnya. "Ngh… kau jangan memanggilku dengan nama itu kalau di Jepang. 'Ash' itu kan hanya nama sementaraku di perantauan dulu."
"Tapi aku suka memanggilmu dengan nama itu, Say." Urami kemudian duduk di tepi ranjang sambil membelai pipi pemuda itu.
Pemuda itu menelan ludah begitu memperhatikan wajah kekasihnya dalam-dalam. Ia ingin sekali bisa mengemut bibir seksi di hadapannya. Tapi ia sadar, ini bukan waktunya untuk memikirkan gairahnya sebagai lelaki normal meski sedang berada di Love Hotel.
Baru saja ia hendak mendekatkan wajahnya ke bibir Urami, tiba-tiba saja ia tersadar sesuatu. Tak lama, ia sudah berada di depan jendela kamar. Meski pun langit gelap, ia bisa menyadari kalau wilayah bingkai mimpinya semakin meluas. Tak hanya itu saja, tapi…
"Urami, lihat!"
Urami mendekat ke sebelahnya. Matanya turut melebar begitu melihat ada wilayah asing di seberang sana. "Sepertinya itu bukan Jepang."
"Itu… itu kota di mana aku merantau dulu, Urami," pemuda itu menjelaskan. "Kota di mana aku memakai nama (AA)."
***
Ghoul yang menutupi tubuhnya dengan selimut melangkah tak tentu arah. Buck menemaninya dengan setia asalkan Ghoul rutin memberinya rokok. Untungnya ia menemukan banyak bungkus rokok di markas tempatnya dirajam dulu. Ia membawa bungkus rokok itu agar Buck bisa memakannya.
Kaki-kaki telanjangnya menjejaki tanah. Ia tetap bersikeras tak mau mengenakan alas kaki meski berisiko tinggi terinfeksi parasit. Tapi untuk atasan, mau tak mau untuk sementara ia tutupi dengan selimut kalau tak mau masuk angin. Rompi pemberian Shui terpaksa harus ditelan air asam agar ia bisa selamat.
Bruk! Sekian lama berjalan tanpa tujuan, ia terjungkal kemudian jatuh terlentang. Entah apa yang menjegalnya tadi. Sambil mendesis, ia memegangi belakang kepalanya yang terhantam dengan baik.
Tak lama ia tertegun begitu sadar di mana ia terbaring sekarang. Punggung sebelah kirinya terasa dingin membeku. Ia menggenggam serpihan sedingin es di sisi tubuhnya itu dengan kepalan tangan kirinya dan melebarkan mata. "Salju?! Tapi tak ada salju di negara khatulistiwa!"
Tapi di sisi kanannya masih berada di tanah becek berlumpur. Setengah tubuhnya berada di setengah belahan negerinya dan setengahnya lagi di negeri asing!
"Tapi setengah tubuhku ini berada di mana?"
Rokok di saku Ghoul berserakan hingga Buck berkesempatan menyantap semua batangan haram yang harganya selangit itu. Di negerinya, rokok dijual secara online. Domba itu tentu saja tak bisa menjawabnya.
Tiba-tiba saja beberapa orang sudah berada di sekelilingnya sebelum Ghoul sempat bangkit sedikit pun. Ghoul memperhatikan orang-orang yang mengelilinginya. Wajah mereka tampak kaku dan pucat seperti mayat. Entah sejak kapan mereka berada di sana.
Orang-orang itu melangkah mengelilinginya sambil bergandengan tangan satu sama lainnya. Ghoul merasa mereka juga tengah bernyanyi. Secara perlahan, suara mereka pun tampak jelas sedang menyanyikan lagu apa.
"Kagome kagome kago no naka no tori wa… Itsu itsu deyaru yoake no ban ni… Tsuru to kame to subetta… Ushiro no shōmen dare?"
"Kagome-kagome?" Ghoul mendesiskan nama permainan tradisional anak asal Jepang itu. Matanya melebar begitu melihat dengan jelas siapa saja di sana: Mahesa, Shui, Sunny, Tal, Axel, Willy, Ul, sesosok mahluk gaib berbentuk pocong, juga ada seorang pemuda berseragam sekolah Jepang yang masih asing di matanya.
Begitu lagu itu selesai dinyanyikan, mereka berhenti berkeliling dan mengarahkan wajah mereka yang tersenyum menyeringai padanya. Karena dilihat dari bawah, wajah mereka tampak mengerikan!
Napas Ghoul terengah-engah karena ketakutan. Ia ingin bangkit tapi karena takut, ia membeku di tempatnya terlentang. "Buck? Buck, tolong aku!"
"Setan kok takut Setan?" suara yang melenceng itu disambut suara cekikikan. "Ayolah! Mereka hanya ingin bermain denganmu."
Sebuah tangan lentik yang keluar secara halus dari tanah mendekap dadanya. Spontan saja Ghoul terduduk. Sosok halus tersebut keluar sepenuhnya dari tanah dan segera berpindah ke hadapan Ghoul.
Ghoul menatap risih mahluk halus di hadapannya. Mahluk itu terbentuk dari kobaran api biru yang membentuk sekujur tubuhnya. Ia adalah seorang pemuda 20 tahunan berwajah seperti banci. Gerakannya pun gemulai meski dibalut oleh jas dan kemeja mewah. Penampilannya seperti kaum bangsawan, tapi wajahnya yang cantik membuatnya seperti ratu. Yang paling mencolok dari wajahnya adalah bekas luka gores di bawah mata kirinya.
"Kamu siapa?!" hardik Ghoul sambil menepis belaian mahluk itu di pipinya.
"Jangan galak-galak begitu dong, Cute! Aku Lucifer," ia memperkenalkan diri dengan suara banci.
"Aku tak kenal kamu. Jangan dekat-dekat!"
Mahluk itu tampak tersinggung. "Loh, tak kenal bagaimana? Kamu sadar tidak kalau aku menempel di tubuhmu selama 20 tahun ini, loh. Jadi aku sangat mengenalmu dengan baik, Kenzo Samuel!"
Bola mata Ghoul bergerak-gerak gelisah. "Menempel selama 20 tahun. Apa maksudmu?!"
"Masih tak mengerti juga?" Lucifer kembali melayang ke belakang tubuh Ghoul. Sebuah suara masa lalu Lucifer terngiang di kepala Ghoul.
"Aku akan balas kalian semua… aku… aku akan lahir kembali dalam tubuh anak-cucu kalian yang lahir setiap tanggal 29 Februari ini! Di tanggal kelahiran sekaligus tanggal kematianku ini, akan menjadi mimpi buruk bagi kalian semua… jiwaku akan terpecah… aku akan membagi jiwaku pada mereka yang terlahir di tanggal ini dan aku akan bangkit memakan keturunan kalian semua hingga tak tersisa! Aku akan mengutuk! Aku kutuk distrik tercinta kalian ini! Wahahahahahahahahahahaha!!!"
"Jadi kamu…" Napas Ghoul jadi berantakan saking syoknya.
Lucifer kembali melayang ke hadapannya. "Kau adalah salah satu bagian dari jiwaku yang terpecah," tegasnya.
"Tidak!" Ghoul menjerit membantahnya.
"Kau adalah anak kesayanganku yang paling berharga."
"Kenapa kau baru muncul sekarang?"
"Karena kau sangat istimewa! Di antara semua pecahan jiwaku yang berwatak iblis, hanya kau yang mampu mempertahankan akhlak baikmu. Dan aku tak akan membiarkannya karena kau milikku!"
Ghoul menelengkan wajahnya dengan napas memburu.
"Sekarang waktunya aku mendidikmu, Cute! Akan kulepaskan kau dari sifat-sifat merugikan seperti itu. Bergurulah dariku agar kau bisa selamat. Belajarlah melukai dan membunuh orang dariku."
Ghoul menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak. Terima kasih! Aku bisa melakukannya sendiri."
"Kau akan menyesal sudah menolakku. Penolakan ini akan membuatmu terbunuh sebelum kau bisa menemukan nama aslimu sendiri. Kau harus meminjam kekuatanku agar bisa menang dan semuanya selamat."
Kali ini Ghoul merenung dan tampak dilema berat.
"Aku akan membiarkanmu mempertimbangkannya, tapi setelah kau memenangkan permainanku ini. Tapi kalau kau kalah, mau tak mau kau harus menerima tawaranku untuk menjadi bengis."
Ghoul mengangguk ragu, tak punya pilihan lain. Lucifer kemudian menutup mata Ghoul rapat-rapat dengan gerakan lentiknya sementara mahluk-mahluk berwujud orang yang dikenalinya itu berjalan mengelilinginya sambil bergandengan tangan. Permainan kagome-kagome kembali dimulai!
Lucifer iseng saja menekan-nekan jakun Ghoul dengan tangan sebelah sementara lagu itu dinyanyikan. Ia malah semakin bernafsu menekan-nekan ke bagian tubuh lebih ke bawah lagi, namun lagunya sudah selesai. Tibalah saatnya Ghoul menebak nama orang di belakangnya.
Meski tak bisa melihat apa-apa, tapi Ghoul dapat melacak posisi mereka melalui embusan napas masing-masing. Mahluk-mahluk itu benar-benar meniru sosok-sosok kenalannya dengan sempurna, termasuk napas mereka sekali pun.
Kulitnya yang sensitif dapat merasakan getaran napas itu. Ia dapat mengenali cara bernapas Mahesa, Shui, Sunny dan lainnya. Ada dua mahluk yang tak bernapas sedikit pun hingga ia pun melangkahi untuk menganalisisnya karena itu pasti si pocong dan Tal. Sisanya, ia berusaha mengenali getarannya terutama orang yang berada di belakangnya. Namun…
Kening Ghoul mengernyit. "Aku tak tahu…"
"Haha! Kalau begitu, kau harus tunduk pada aturanku sekarang."
"Bukan! Bukannya aku tak tahu, tapi lebih tepatnya, aku… aku tak mengenalinya. Aku tak tahu siapa namanya." Ghoul menggelengkan kepala.
Lucifer tertegun karena jawabannya benar. Ia memang sengaja menjebak Ghoul dengan memasukkan satu orang yang tak dikenalinya ke lingkaran itu. "Baiklah. Kita seri kali ini. Tapi kau harus cari tahu dulu siapa namanya agar jelas siapa yang kalah dan siapa yang menang di sini."
"Ck!" Ghoul ingin mengeluh karena itu berarti kesibukannya bertambah. "Tapi… tapi aku sibuk!"
Lucifer melepaskan bekapan tangannya hingga Ghoul bisa kembali melihat. Sorot matanya berubah semakin kebingungan setelah sadar berada di mana. Ia celingukan memandangi sekelilingnya, namun hanya ada dia seorang di sana.
Di hadapannya kini berdiri angkuh sebuah sekolah Jepang tingkat menengah atas. Tak hanya itu, sinar mentari pagi pun menyorot wajahnya dari sisi samping.
"Gissss…"
Desisan itu memancing langkahnya untuk memasuki sekolah itu. Entah mengapa ia merasa terpanggil setelah dipanggil berkali-kali.
"Siapa yang memanggilku itu? Padahal itu kan hanya nama yang diberikan oleh wanita asing padaku. Hanya ia yang pernah memanggilku begitu. Tapi kenapa aku begitu meresponnya?"
***
Byur!
"Hei, bangun! Dasar gelandangan kotor! Berani-beraninya kau mengganggu ketenangan belajar sekolah ini!"
Sunny langsung terduduk sambil mengelap wajahnya. Seorang petugas kebersihan rupanya telah menyiramkan air bekas pel padanya. Ia menatap si petugas dengan mata tak berdaya.
Sunny bergegas beranjak pergi dari tempat itu dengan langkah terseok-seok. Ia memang tidur di depan gerbang sekolah semalam. Bukannya mimpi indah sebagai anak sekolahan, ia malah mimpi buruk.
Ia memang ingin sekali bisa sekolah lagi, minimal sampai SMA. Namun sekarang takdir harus memaksanya bertarung. Sejak gagal memburu Ghoul, ia sudah tak punya uang lagi. Ia juga tak bisa berburu tanpa bantuan Eve yang selalu berhasil menjebak mangsa dengan kecantikannya. Ia sudah tak punya semangat berburu lagi. Sekarang ia terancam mati kelaparan.
"Ini mimpi buruk untuk yang kesekian kalinya. Apa maksud dari semua ini? Apa artinya tanah ini menjadi retak dan mencincang penduduk?"
Krucuk! Jeritan perutnya memaksanya untuk tak terlalu banyak berpikir. Sunny memegangi perutnya. Ia merogoh sakunya, namun tak mendapati apa-apa lagi di sana. Uang hadiah dari buruan terakhirnya digondol maling saat ia tidur mencari Ghoul di alam mimpi.
"Ck! Ini semua gara-gara si Dua Puluh Lima Juta itu! Aku harus bisa segera menangkapnya agar bisa pulang kampung. Bukannya melacak jejaknya di alam mimpi, aku malah diteror mimpi buruk. Di mana lagi aku bisa mencarinya? Di markas Nine Lashes tak ada. Siapa yang sudah membebaskan dia?"
Sunny masih memaksakan diri untuk berpikir.
"Aku harus segera mencari orang itu! Tapi mula-mula…"
Ia melirik perutnya yang sudah semakin tak bersahabat.
***
Ghoul terus melangkah menapaki halaman sekolah sambil memicingkan mata karena asap kabut dari negerinya seolah berpindah ke negeri itu. Asap kabutnya malah tampak lebih tebal daripada di tanah kelahirannya hingga membuatnya sulit melihat.
"Kenapa Lucifer malah membawaku ke sini? Memangnya apa kepentinganku mencari tahu siapa nama orang asing yang di belakangku tadi? Aku tak punya banyak waktu untuk disia-siakan di sini. Tapi aku jadi penasaran siapa yang mendesis itu. Kok aku jadi merasa terpanggil, ya?"
"Aegisss…"
Suara desisan misterius itu terus memancing langkahnya. Ghoul memutuskan untuk menyampingkan kepentingannya sendiri demi mendapatkan si pemilik suara misterius itu. Meski tak merasa memiliki, tapi panggilan itu begitu kuat menarik perhatiannya.
Ia tak menyadari ada sosok misterius tersembunyi di balik asap kabut itu. Sosok itu melangkah perlahan mendekati Ghoul sambil menyeret-nyeret kedua pedangnya. Trek trek trek…
Trep. Ghoul menyetarakan posisi kedua pijakan kakinya (berhenti) begitu mendengar suara itu. Ia menanti ada sosok dari munculnya suara itu. Tak lama, sosok yang dinanti-nantinya keluar juga dari kepulan asap kabut kemudian berhenti di kejauhan sana.
Meski sudah keluar dari asap kabut, tapi Ghoul masih sulit melihat wajahnya. Asap kabut sedikit-sedikit menelan sosoknya kemudian memperlihatkannya lagi meski tak begitu jelas.
Wajah Ghoul menegang—waspada begitu melihat kedua pedang di tangan sosok itu. Ia merasa sosok pemuda di hadapannya itu tidak bersahabat dan tak akan segan-segan melukainya.
Syut! Dugaan Ghoul tak meleset begitu dengan cepatnya sosok itu berlari memperpendek jarak mereka sambil mengayunkan kedua pedangnya. Ghoul yang tak bersenjata hanya bisa menghindar dan menjauh. Meski sosok tersebut mendekat, tapi ia tak sempat mengecek wajah orang itu saking cepatnya ayunan pedang yang harus diwaspadainya. Ia membutuhkan waktu yang lama untuk mengeceknya, tapi ia harus fokus ke serangan pedangnya.
Yang dapat ia lakukan hanya merunduk, menjauh, dan… bersembunyi. Dengan gerakan memutar tubuh, ia berlindung di balik sebuah pohon hingga ayunan pedang si penyerang hanya bisa menyayat batang pohon.
Dengan agresifnya si penyerang bergegas memburu Ghoul di balik pohon. Ghoul sudah mempersiapkan kuda-kuda untuk menahan serangan itu. Ia menangkap tangan kanan orang itu disusul tangan kirinya. Mereka kemudian adu kekuatan.
"Siapa kamu?! Mengapa kamu menyerangku?" pekik Ghoul sambil mendeliki orang itu sepanas bara.
Angin yang memutar asap kabut di sekitar wajah orang itu kemudian membuat mata Ghoul melebar tak percaya. Angin itu membuat asap kabut di sekitar wajah orang itu memudar. Cengkraman tangan Ghoul mengendur. Namun itu membuat orang tersebut kembali melancarkan serangannya.
Sret. Pedang si penyerang berhasil mencabik jins Ghoul di bagian lutut kanan. Ghoul menghentikan gerakannya sambil mempertahankan posisi tegapnya. Lutut jinsnya sobek disusul aliran darah di lukanya meski hanya luka kecil. Luka itu tak cukup untuk menghalangi gerakannya. Namun… ia malah tersenyum kecil.
Orang tersebut juga menghentikan serangannya. Dari jarak tertentu, ia lalu menghunuskan salah satu pedangnya ke arah Ghoul. "Lumayan," komentar orang itu.
"Seperti biasa, kau selalu hadir memberiku kejutan."
"Sekarang bertarung!" Si penyerang lalu melemparkan salah satu pedangnya pada Ghoul.
Trep. Bagai baling-baling, pedang itu berhasil digenggam oleh Ghoul. Ia siap menikmati pertarungannya sekarang!
Orang itu dengan lincahnya kembali menyerang. Ghoul memasang kuda-kuda ingin menahan serangannya dengan pedang itu. Trang. Ghoul malah terjungkal ke belakang, tak kuat menahan serangannya.
Si penyerang tak menyediakannya waktu untuknya beristirahat. Dengan lancarnya ia menghujamkan tusukan ke kepala Ghoul yang tengah terlentang. Tak mau berakhir begitu saja, Ghoul buru-buru memiringkan badan dan bangkit.
"Bertarung kataku!" Si penyerang tak mengurangi keberingasannya. Ia menebas tak karuan. "Bertarung! Bertarung! Bertarung!"
Ghoul masih berusaha menahannya meski kewalahan. Tapi ia belum pernah berpedang sebelumnya. Berkali-kali ia harus jatuh bangun menahan kekuatan lawannya.
"Lemahnya! Kan aku bilang bertarung!"
Napas Ghoul semakin memburu. "Sabar, Kawan! Kita bisa bicara baik-baik. Kenapa kau begitu marah?!" seru Ghoul sambil berusaha menahan serangan tanpa mampu mengayunkan serangan.
"Kenapa?! Kenapa kau tak memberiku kesempatan untuk membayar hutangku?" raung si penyerang. Serangannya tak berkurang sedikit pun.
Ghoul tertegun.
"Keparat! Mengapa kau membuat hidupku terus dibayang-bayangi hutang ini? Kapan aku bisa membayarnya?!" jerit si penyerang putus asa.
Clep. Tanpa ragu Ghoul kemudian menangkap mata pedang si penyerang dengan tangannya yang tak memegang pedang. Mata teduhnya menatap si penyerang itu meski darah di tangannya melelehi lengannya.
"Jangan buru-buru, Kawan," tegur Ghoul kalem.
Keduanya mematung dalam posisi dramatis.
"Aku tak meminta sepeser pun darimu. Kau tak usah merasa tak enak begitu." Ghoul menurunkan pedang si penyerang yang terus mendelikinya.
"Lalu bagaimana dengan harga diriku?"
Ghoul mengusap bahu si penyerang dengan lembut meski darahnya harus sedikit mengotori pakaian si penyerang. "Maaf. Tapi aku tak mau menerima apa-apa darimu…"
Si penyerang kemudian tertunduk dengan genggaman erat di pedangnya.
"Mahesa," Ghoul menyebutkan nama si penyerangnya.
Si penyerang yang rupanya Mahesa itu kembali menengadahkan wajahnya sambil mendeliki Ghoul dengan pandangan berapi-api. "Enak bagimu untuk mengatakannya!"
Tatapan Ghoul tak berubah. Ia teringat waktu Mahesa hendak mengembalikan napasnya, Ghoul malah menahan napas agar tak menerima sedikit pun darinya. Ghoul tahu apa risikonya jika Mahesa memberinya napas, bisa-bisa nyawa Mahesa melayang karena ruh dalam tubuh Ghoul pasti akan mengambil semua napas Mahesa.
Mahesa tak tahu apa-apa. Lagipula Mahesa tak tahu betul bagaimana caranya memberi napas. Yang ia tahu hanya ia ketularan penyakit asma Ghoul.
Ghoul berusaha mengembangkan senyumannya. "Aku tak tahu kalau kamu juga bisa bertarung menggunakan pedang, Kawan," basa-basinya.
"Kamu jangan lupa kalau aku ini atlet. Aku bisa mencoba semua senjata. Diam-diam aku melatih diri di klinik. Bagaimana kemampuanku? Keren, kan?"
Ghoul mengangguk. "Kamu pasti sangat merindukanku hingga kau mau ke sini."
Mahesa memandangi sekitarnya. "Sebenarnya tadi aku sempat nyasar. Bingkai mimpimu jadi tampak lebih berbeda. Seperti ada perpaduan budaya di sini."
"Ya. Aku juga heran kenapa dibawa ke sini. Ngomong-ngomong pedangnya bagi satu, boleh ya?" Ghoul mengangkat pedang di tangannya, namun langsung direbut Mahesa.
"Enak saja! Pedang-pedang ini aku pinjam dari klinik. Selama dokter Anis masih belum kembali, diam-diam aku memakainya untuk latihan. Habis, gelang panahanku kan kamu bakar."
Ghoul menggigit bibir. "Sori. Khilaf."
"Untuk yang satu ini, aku tak mungkin bisa memaafkanmu. Bukan hanya satu, tapi semua dosamu padaku, aku tak akan mungkin bisa memaafkannya!"
Rasa bersalah Ghoul kembali ke permukaan. Wajahnya mendadak sendu. Ingin sekali ia teriak bahwa bukan dirinya yang membunuh kakak Mahesa, melainkan ruh dalam tubuhnya. Tapi ia yakin Mahesa tak akan percaya padanya dan semakin membencinya jika mengungkit hal itu. Makanya ia tak ingin Mahesa melakukan hal fatal seperti di klinik itu. Ia tak ingin Mahesa mati seperti kakaknya.
Tapi melihat semua sikap Mahesa belakangan ini padanya yang semakin melunak, sepertinya Mahesa sudah mulai menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Sejak ketularan dan kemunculan Ratu Huban yang memperlihatkan isi mimpi Ghoul, Mahesa jadi paham kalau Ghoul hanyalah alat untuk membunuh. Ghoul bagai pistol, tapi ruh jahat dalam tubuhnya lah yang memakainya untuk menembak.
"Tapi terima kasih untuk dua puluh lima jutanya ya, Ghoul!"
"Maksudnya?" Mood Ghoul pun berubah demi menanggapinya.
Mahesa menghela napas. "Aku sudah menyerahkanmu ke pihak kepolisian," katanya santai.
Ghoul tersenyum gelagapan. "Tak apa. Sudah seharusnya."
"Waktu itu aku panik karena kau hampir tak bisa bernapas. Aku menggendongmu ke rumah sakit, tapi mereka malah melemparmu ke rumah sakit polisi. Mereka memberiku dua puluh lima juta sesuai janji mereka."
"Selamat, ya!" Ghoul berusaha terus tersenyum, menganggap tak ada masalah dengan itu semua. Ia berharap bisa merasakan kebahagiaan yang besar seperti Mahesa dengan ditemukannya nama aslinya. Ia ingin sekali bisa segera menyandang nama pemberian orangtua kandungnya sebelum dieksekusi mati. "Makasih sudah peduli padaku. Tapi seperti yang kau lihat sendiri, bukan? Aku bisa menangani masalahku sendiri."
"Yap! Kau harus bangun setelah menemukan nama aslimu sendiri. Nama aslimu pasti bagus, sebaik pemiliknya."
"Kau beruntung bisa punya masa depan. Kau masih punya kesempatan di luar sana. Gunakanlah uang itu untuk melanjutkan kuliahmu, Kawan."
Mahesa tertegun. Ia dapat melihat senyum kesedihan di wajah mantan targetnya itu. Namun sosok Mahesa perlahan memudar. "Aku tak punya waktu banyak di sini. Aku harus menjaga tubuhmu di ruang rawat. Kau berjuanglah di sini. Jangan lemah seperti tadi. Sekiranya kau takkan seberuntung ini kalau saja aku tak berbaik hati menggemblengmu…"
Mahesa menghilang.
"Aku? Digembleng?" Ghoul tertawa pendek. "Jadi ia jauh-jauh ke sini untuk melatihku bertarung? Serius sekali dia!"
"Kamu mau terus di situ atau mencari nama aslimu di dalam?"
Sebuah suara mengetuk arah pikirannya. Ghoul spontan menolehi sesosok bayangan di depan pintu masuk.
"Kamu?" Setengah menggeram, Ghoul kemudian melangkah mendekati sosok tersebut…
***
"Huh! Di mimpi kemarin, aku terpanggang di musim panas dan sekarang? Aku terperangkap di kabut asap! Yang benar saja?!" gerutu pemuda yang disebut Ash oleh Urami itu.
Pemuda itu tengah melangkah bersama pacarnya—Urami—yang tengah duduk di atas dombanya. Asap kabut tebal yang entah darimana asalnya, mengganggu pandangan mereka.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Apa ada kebakaran hutan yang tiba-tiba terjadi di sekitar sini?" Urami turut menganalisis situasi.
"Tunggu dulu biar kuteliti kita sedang berada di mana kini." Si pemuda yang tengah menuntun si domba memicingkan mata sambil mengibas-ngibaskan kabut di sekitarnya. Ia mengamati perumahan di sekitarnya. "Eh? Ini kan jalan yang selalu kulewati tiap pulang-pergi sekolah."
Mereka tengah berada di distrik pertokoan. Tak seperti biasanya, tempat yang selalu dipenuhi oleh kerumunan orang yang rutin belanja untuk makan ini, kini sepi. Hanya ada mereka berdua di sana.
Pemuda itu mengenang masa di saat ia menemukan katana yang tertancap dalam tanah. Itulah pertama kalinya ia bertemu lagi dengan Urami setelah sekian lama tak bertemu. Mengingat itu, ia menggenggam tangan Urami seolah tak ingin kehilangan.
"Jangan jauh-jauh dariku, Say," tegurnya manis. Tiba-tiba saja nada dering "Kagome-kagome" yang dinyanyikan oleh Hatsune Miku dari smartphone-nya berbunyi. "Pesan baru dari Sang Kurator!"
Ia kemudian bergegas membaca pesan itu. Tak lama, wajahnya memucat setelah membacanya. "Gawat! Kita harus segera ke sekolah."
"Apa yang terjadi, Ash?" Urami kepanikan.
"Si pemilik nama sebenarnya yang kupakai ini, sekarang ada di sekolah kita. Anak itu tak boleh mendapatkan nama aslinya kembali!"
"Tapi kenapa?"
Wajah si pemuda jadi penuh ketegangan. "Soalnya kalau ia mendapatkan nama aslinya kembali, itu berarti aku kalah. Dan kalau aku kalah, maka Jepang akan ditenggelamkan tsunami secara besar-besaran. Jepang akan lenyap dari peta."
Mata indah Urami melebar. "Terus kita harus bagaimana?" tanyanya sambil turun dari Fuwa si domba.
"Itu artinya aku harus melawannya dan ia baru bisa menyandang nama aslinya setelah membunuhku. Soalnya nama itu milik satu orang saja! Huh, jadi teringat pertarunganku dengan Kai di titik koordinat dulu. Kasusnya hampir serupa. Aku tak menyangka nama yang kupakai dulu akan membawa bencana seperti ini. Pokoknya aku tak boleh membiarkannya atau Jepang akan hancur."
"Kamu tenang saja, Ash! Aku tak akan membiarkan orang itu membunuhmu. Nama itu akan tetap menjadi milikmu, demi Jepang. Kalau boleh tahu, orangnya seperti apa?" Urami mendekap pemuda yang kemudian memperlihatkan foto seorang pemuda berambut jingga kehitaman dari smartphone-nya.
Urami tersenyum licik. "Jangan khawatir! Setampan apa pun dia, aku tetaplah milikmu. Aku akan coba menggodanya."
"Aku mohon bantuannya ya, Say! Kumohon jangan kecewakan aku demi tanah air kita."
Sebagai tanda kesepakatan mereka, mereka pun melekatkan bibir masing-masing agar bisa saling percaya.
***
"Sekarang pakai ini!" Lucifer melemparkan seragam sekolah ala Jepang pada Ghoul setibanya di ruang ganti.
"Untuk apa?" Ghoul hanya menerima seragam itu.
"Kau akan menjadi murid di sini, Cute!"
Ghoul mengangkat alisnya. "Jadi murid? Aku tak berpikir sejauh itu untuk ke sini. Atau kau hanya mau menghinaku karena aku putus sekolah? Kalau saja bukan gara-gara kamu, pasti aku sudah berjuang masuk kedokteran sekarang. Sekarang aku hanya ingin mencari nama asliku. Di mana aku bisa menemukannya?"
"Untuk itulah kau harus menjadi murid di sekolah ini. Namamu itu sedang dipakai oleh orang yang tak bertanggung jawab, Cute. Ia juga sekolah di sini!"
Ghoul terbelalak. "Hah?! Siapa?"
"Oleh orang yang berdiri di belakangmu saat bermain kagome-kagome—orang yang kusuruh kaucari tahu siapa namanya."
"Jadi…"
"Ya. Kau pasti menganggap perintahku itu hanya buang-buang waktu dan tak penting, kan? Cute, aku tak mungkin memberimu pe-er yang tak bermanfaat. Jadi kerjakanlah sekarang juga, demi kebaikanmu sendiri. Lagipula, aku tak mungkin rela membiarkan tanah kelahiranku sendiri habis terbakar. Oleh karena itulah aku ada di hadapanmu sekarang."
Ghoul berusaha mengingat-ingat orangnya. "Matanya merah sebelah. Jadi aku harus melawan anak yang lebih kecil dariku?"
"Tak hanya melawan, tapi kau juga harus membunuhnya agar nama itu bisa menjadi milikmu lagi. Dan kau juga harus hati-hati karena orangnya sangat genius!"
Ghoul terperangah syok. Seragam di tangannya terlepas ke lantai. "Me-membunuhnya?!"
"Kudengar kau kan pintar, makanya sekolahnya Mahesa mau menerimamu karena nilai-nilaimu tinggi. Jadi kami mengandalkanmu. Jangan khawatir, Cute. Aku akan menolongmu!"
Ghoul menggeleng-gelengkan kepala.
"Ini takdirmu, Cute. Terimalah!" Lucifer kemudian melayang dan menyampirkan pakaian seragam ke bahunya. "Sekarang ganti celanamu dan kancing bajumu. Atau mau aku pakaikan? Tapi kalau aku yang pakaikan, jangan salahkan aku kalau sampai salah pegang sesuatu." Ia melayang mendekap Ghoul dari belakang. Jarinya kembali menggaruk-garuk jakun Ghoul.
Saking ngerinya, Ghoul memungut celana seragamnya dan memakainya di suatu tempat. "Dosa apa aku, Tuhan? Kemarin hampir diperkosa wanita nakal, juga hampir menikah dengan hantu cantik dan sekarang… dilirik homo banci!"
***
Ciiiiit!
Sunny yang baru saja hendak menyantap roti yang didapatkannya dari tempat sampah, langsung menuju lokasi tabrakan. Rupanya seorang siswa menjadi korban tabrak lari. Tanpa sempat isi perut sedikit pun, ia bergegas menolong korban kecelakaan.
Ia melihat mata korban yang cekung. "Kamu tidak apa-apa? Kamu pasti kurang tidur, makanya tak hati-hati!"
Korban menggelengkan kepala. Ia lalu menjambak-jambak rambutnya begitu melihat tanah. "Tanahnya retak. Ia akan menelanku!"
Sunny mengernyit kebingungan dan tak melihat ada keganjilan di tanah itu. Ia baru saja akan menanyakannya, namun tiba-tiba saja kecelakaan kendaraan tunggal menabrak sebuah pohon. Brak!
Si pengemudi mobil keluar sempoyongan dari mobil itu. Dengan kepala berdarah-darah, ia memperingati warga di sekitarnya, "Kiamat sudah dekat! Kita akan ditenggelamkan di tanah ini. Retakan jalan semakin lebar. Apakah kalian tak melihat tanda-tandanya?"
Orang-orang di sekitarnya kemudian saling berpandangan dan berkomentar.
"Setiap hari aku selalu mimpi buruk. Retakan tanah ini menenggelamkan kota kita."
"Aku juga mendapatkan mimpi yang sama hingga jadi kurang tidur begini. Kiamat benar-benar akan segera tiba!"
"Dulu monster 29 Februari-lah yang menjadi mimpi buruk kita. Setelah mereka diasingkan, kupikir masalah sudah selesai. Tapi ternyata…"
Sunny menggeleng-gelengkan kepala mendengar ocehan orang-orang bermata cekung itu. "Kiamat? Yang benar saja! Kalian hanya kurang tidur saja. Aku juga bermimpi seperti itu, tapi itu kan hanya bunga tidur saja."
Orang-orang itu menatapnya dingin. Mereka kemudian melangkah mendekatinya secara perlahan. Sunny mulai merasakan adanya ketidakberesan pada mereka.
"Kudengar, salah satu cara menangkal bencana alam yaitu dengan menyerahkan tumbal."
"Ya! Kurasa tak ada salahnya dicoba. Kita bisa menggunakan orang asing ini. Semoga saja dengan begitu, kiamatnya diundur!"
Sunny terperangah mendengar dialog sinting mereka. Tanpa mau berbasa-basi sedikit pun, ia segera melarikan diri—mengerahkan tenaga habis-habisan meski dalam kondisi perut lapar.
***
Lorong koridor yang dilalui Ghoul seolah bernyawa. Ghoul memegangi tengkuknya yang merinding. Daritadi ia merasa diawasi oleh sesuatu. Berkali-kali pula Ghoul harus melirik ke belakang. Namun ia terus melanjutkan langkahnya berharap penuh ada lorong yang akan mempertemukannya dengan nama aslinya.
Ia juga merasa aneh karena sekolah itu tampak sepi. Daritadi ia tak melihat ada siapa pun di sana. Ia merasa tak perlu menyamar menjadi murid di sekolah itu, tapi ia harus menuruti permintaan Lucifer daripada menjadi korban pelecehan seksual.
Ghoul memang sudah mengenakan seragam sekolah itu meski tak rapi. Kemeja putihnya tak dikancing sama sekali; ikat pinggang di celana hitamnya tak dikaitkan; sepatu dan dasi pun tak digunakan.
"Cute, kancing kemejamu. Orang-orang bisa iba melihat luka-luka di dada dan perutmu itu," tegur Lucifer dari belakang.
"Gerah!" respon Ghoul cuek sambil terus mencari sebuah ruangan.
"Setidaknya kaitkan ikat pinggangmu. Ntar kedodoran kan malu."
"Sesak! Ikat pinggangnya bikin susah bernapas."
"Padahal kau akan lebih tampan kalau pake dasi dan sepatunya."
"Dasinya bikin aku tercekik. Sepatu bikin kakiku kepanasan."
Lucifer menghela napas. Setidaknya Ghoul tak bertelanjang dada lagi dan ujung celananya tak compang-camping seperti gelandangan.
"Ruang absensi!" seru Ghoul seraya antusias memasuki ruangan yang juga sepi itu. "Aku bisa mencari nama murid-murid di sekolah ini yang kata-katanya berkaitan dengan pesan Kurator yang merajah telapak tanganku."
"Tak cukup hanya dengan mencari. Tapi kau juga harus membunuh orang yang mengambil namamu itu."
Mendengar itu, wajah Ghoul jadi murung. Namun ia segera memulai pencarian. Cukup lama juga ia harus memeras keringat mencari, namun…
"Argh! Setelah dicek semua sebanyak dua kali, aku tak menemukan nama yang artinya sesuai pesan si Kurator!" gerutu Ghoul.
Lucifer yang tengah bersantai di kursi putar menimpali, "Mungkin namamu menggunakan bahasa Jepang atau apa. Jadi diartikannya dalam bahasa itu juga."
"Benar juga." Ghoul kembali membuka buku absensi dari murid kelas 1 sampai kelas 3. Peluh menetes-netes di keningnya. Tapi setelah mandi keringat dan stres memeras otak, ia tak menemukan apa-apa. Bagaimana pun, di sekolahnya yang dulu ia sempat mengikuti kegiatan ekstrakulikuler bahasa Jepang. "Tidak ada!" raungnya stres sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Ini sudah 3 jam! Apa orang itu menggunakan nama aslinya sendiri di daftar absensi, tapi di sekolah ini dia dikenal dengan nama aslimu?" Lucifer menganalisis.
"Pantas tak ada kalau begitu!" Ghoul melempar buku absensi terakhir di tangannya. "Tapi masa kau tak tahu siapa nama asliku? Buktinya kau menyeret orang itu dalam permainan kagome-kagome."
Lucifer melayang mendekat. Ia tampak malu-malu. "Cute, aku memang sempat mendapati anak itu menggunakan nama aslimu. Tapi karena kupikir itu tak penting, makanya aku lupa. Tapi untungnya aku ingat orangnya. Seandainya saja dari dulu kau bilang menginginkan nama aslimu kembali, aku pasti tak akan lupa dan kau bisa dieksekusi mati dengan nama kelahiranmu sendiri."
Ghoul menghela napas. Ia malah merasa tak ingin cepat-cepat menemukan nama aslinya untuk menunda eksekusi matinya. Tapi ia ingin segera mengakhiri petualangan maut ini dan memenangkannya demi warga Kabut Asap.
"Padahal nama Kenzo Samuel bagus juga. Ayah angkatmu pintar memberi nama tapi kenapa kau masih ngotot juga?"
Ghoul belum menanggapinya. "Aku sudah terlanjur basah. Lagian aku tak ingin mengotori nama pemberian beliau. Aku sudah mencopot nama beliau di belakang nama itu. Ia sudah berbaik hati menjadi ayahku. Aku tak punya hak mengenakan nama itu lagi setelah mengecewakannya habis-habisan. Jadi lebih baik aku dipanggil 'Ghoul' saja."
"Kagome-kagome…"
Bulu kuduk Ghoul merinding begitu mendengar suara nyanyian itu. Ia menoleh keluar pintu. Sumber suaranya dari sana. Tak lama, ia pun melangkah keluar karena penasaran. Ia ingin bisa melihat orang di sana.
"Suara siapa itu?"
"Tsukiatari no heya ni… wasuraruru kodomotachi…"
Sesuai lirik lagunya, suara itu berasal dari sebuah ruangan yang cukup gelap. Tanpa ragu, Ghoul segera memasukinya. Greeeek!
(Setiap berbicara dengan orang Jepang, Ghoul juga akan berbahasa Jepang karena pernah belajar di sekolahnya dulu. Bahasanya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia).
Mata Ghoul melebar begitu melihat sosok bertubuh kecil memakai kimono. Dari balik kegelapan, tampak matanya yang memerah. "Kau mau main? Masuklah!"
Firasat Ghoul mulai tak enak mendengar suara sedingin itu. "Ma-main apa?"
"Aku akan memanggil teman-temanku…"
Hawanya jadi begitu mencekam. "Maaf! Aku tak ada waktu. Aku lagi ada urusan."
Baru saja Ghoul hendak melangkah keluar, sosok misterius itu malah menyahut, "Aku tahu kau pasti sedang mencari nama aslimu. Aku bisa membantumu menemukan orangnya lewat permainan kagome-kagome."
Sebuah tangan dingin menggenggam tangannya kemudian menariknya ke sudut ruangan yang paling gelap. "Bergabunglah bersama kami untuk bermain!"
Ghoul berada di tengah-tengah mereka sekarang. Lingkaran itu bergerak, namun Ghoul tak bisa melihat dengan jelas siapa saja berada di sana. "Tapi bagaimana caranya aku menebak kalian kalau nama kalian saja aku tak tahu?"
Namun mereka terus mengelilinginya tanpa ampun. Ghoul yang berdiri di tengah lingkaran itu merasakan sesak di dadanya seolah udara direngut darinya. "Hentikan!" Ia menutup telinganya rapat-rapat.
"Kami dapat merasakan persamaan nasib denganmu. Kau adalah korban pencurian organ—torakoplasti—sedangkan kami adalah kelinci percobaan para ilmuwan kotor. Sama seperti kau, kami juga tak dibius saat dibedah dan kau pasti tahu persis kan bagaimana rasanya? Sakit sekali!"
Suara lainnya menimpali, "Mereka menguliti kepala kami dan anggota tubuh lainnya. Eksperimen yang mereka lakukan sangat gila!"
Tak lama, Ghoul bisa melihat mereka dengan jelas… melayang-layang di atasnya. Cahaya jendela di atas sana menyoroti sosok-sosok misterius itu. Ghoul menengadah dan syok.
Ia melihat sosok gadis kecil tanpa lengan, sosok anak lelaki tanpa kepala, sosok anak 10 tahun tanpa tulang dahi, sosok gadis kecil 6 tahun tanpa rahang bawah, sosok dengan kepala separuh, dan sosok mengerikan lainnya.
Lagu tersebut selesai dinyanyikan dan Ghoul disuruh menebak siapa di belakangnya.
"Setan!" raung Ghoul tanpa mau mengecek kebenaran di belakangnya.
Para mahluk halus tersebut saling berpandangan. "Kau benar."
Ghoul terperangah masih dengan napas ngos-ngosan. Padahal ia tak bermaksud menebak karena semua yang ada di sana adalah setan! Jadi meskipun jawabannya sama, tetap saja dibenarkan karena mereka tak ada bedanya. Namun bukan itu tujuan permainan ini.
"Carilah ia! Si Setan itu sudah lancang mengambil nama aslimu…"
Ghoul mengerjap-ngerjapkan matanya. Tak lama, ia melangkah mundur menghindari mereka dengan kaki gemetaran. Namun tak lama ia jatuh terlentang begitu tiba di mulut pintu karena tersandung bingkai pintunya. Bruk.
"Ugh!"
Sudah jatuh tertimpa tangga, tiba-tiba saja seseorang yang melintas tanpa sengaja menginjak perutnya. Kecelakaan beruntun itu membuat Ghoul kehilangan kesadaran sejenak…
***
Suasana keseharian penduduk di Chiba tampak seperti biasa. Jalan dipenuhi para penduduk yang berlalu-lalang menyelesaikan urusannya masing-masing. Namun ada yang tak biasa hari itu…
"Ada orang mau bunuh diri!" pekik seorang pria sambil menunjuk ke puncak gedung sebuah rumah sakit.
Suasana yang tenang mendadak jadi riuh seperti pasar. Orang-orang berkerumun di depan rumah sakit itu sambil membujuk orang tersebut agar tidak meloncat sementara beberapa orang mencekalnya dari atas sana kemudian menyeretnya menepi.
"Lepaskan! Biarkan aku mati!" jerit wanita yang hendak bunuh diri itu sambil meronta. Tentu saja orang-orang yang menyeretnya tak akan membiarkannya. "Para ilmuwan gila Nazi itu akan datang kembali! Mereka akan menjadikan penduduk Jepang sebagai kelinci percobaan mereka!"
Salah seorang yang menyeretnya tertegun. "A-aku juga melihat mimpi yang sama dengannya. Belakangan ini aku selalu bermimpi buruk!"
Meski tak menimpali, namun sepertinya ada di antara mereka—yang sedang menyeret wanita itu—melihat mimpi yang sama.
Brugh!
"Kyaaaaa!!!"
Keriuhan kembali terjadi di bawah sana. Sesosok tubuh terjun bebas dari atap sisi lain rumah sakit itu dan menghantam atap mobil. Kaca mobil itu pecah seketika.
Sresh! Sebuah dahan pohon yang patah kembali mengejutkan mereka. Seperti ada yang menjatuhinya. Buru-buru sebagian kerumunan itu mengeceknya kemudian terdengar jeritan nyaring di sana. Rupanya ada orang yang berpikiran sama dengan wanita tadi. Leher korban yang terjun dari kamar apartemennya di lantai atas itu patah. Kondisinya sangat mengerikan!
Kehebohan tak terhenti sampai di sana karena bencana bunuh diri berantai itu akan terus terjadi dan semuanya dikarenakan oleh suatu hal: mimpi buruk!
***
Ekaliptus…
Aromanya yang menyentuh membangkitkan kesadaran Ghoul. Dengan mata terpejam, bibirnya mengulas senyum kecil mengenang masa kecilnya saat Sam mengolesi tubuh mungilnya dengan minyak aromaterapi Ekaliptus kala masuk angin.
Aroma yang penuh kenangan di kala ia sakit, namun wanginya membuatnya merasa sangat dicintai oleh si pemilik tangan. Ia begitu menikmati aroma itu dan… ia juga menikmati sentuhan tangan di tubuhnya ketika tangan itu mengolesi minyak favoritnya itu.
"Ng?" Ghoul mengerjap-ngerjapkan matanya begitu menyadari sentuhan di tubuhnya itu agak sedikit nakal. Tentu saja berbeda dengan sentuhan kasih sayang ayah angkatnya. Sentuhan ini membuatnya merasa… ah, sudahlah! Disensor saja.
Setelah beberapa kali berkedip, akhirnya ia bisa melihat seorang gadis muda cantik tengah mengolesi perutnya dengan minyak Ekaliptus itu. Wajah Ghoul memerah melihat pesona gadis itu. Rambutnya menjuntai panjang di salah satu bahunya.
Gadis itu kemudian menolehinya sambil tersenyum. "Bagaimana? Sudah agak mendingan? Kenapa kau tidur di jalan?" tegurnya. "Maaf ya aku sudah menginjakmu. Tak sengaja."
"Kalem." Ghoul tanpa sadar merekahkan senyumnya. Wangi menenangkan itu malah membius akalnya. Ia melayangkan pandang ke sekitarnya. Rupanya ia tengah terbaring di sebuah ranjang berseprai putih di ruangan serba putih pula. "Aku di mana dan kamu siapa?"
"Urami. Kau bisa memanggilku begitu dan kau sedang berada di UKS," jawab gadis itu sambil terus mengolesi tubuh Ghoul dengan minyak itu. "Oh, ya. Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Anak baru, ya? Siapa namamu?"
Ghoul mengangguk saja. "Aku…"
Kalimatnya terputus begitu gerakan tangan Urami yang melingkar mulai memasuki bagian dadanya.
"Eh! Tak perlu repot-repot, Urami. Yang sakit kan hanya perutku saja, tak perlu ke bagian yang lain," cegat Ghoul.
Namun Urami tak mengindahkannya. Tanpa malu, ia terus mengusap. Ghoul spontan saja hendak menggerakkan tangannya untuk mencekal tangan gemulai itu, namun…
"Ng?" Ghoul mengernyit seraya melirik ke atas di mana tangannya berada. Matanya melebar begitu melihat kedua tangannya diikat di kepala ranjang dengan tali. Ia menyentak-nyentakkan kedua tangannya juga kedua kakinya yang sayangnya juga terikat.
Mata tajam elangnya kemudian mendeliki Urami. "Ini apa maksudnya, Non?"
Selesai mengolesi, Urami menutup minyak Ekaliptusnya dengan tenangnya. Ia meregangkan jari-jarinya hingga berbunyi kemudian berdiri di atas ranjang.
Ghoul berusaha tersenyum meski mencemooh. "Kamu mau apa? Sungguh biadab kalau hal tak senonoh ini dilakukan di sekolah. Aku tahu kau memang berasal dari negara bebas, tapi di negeriku ini dosa besar. Jadi tolong ya, kamu jangan paksakan budaya kamu padaku."
"Jangan khawatir! Aku hanya ingin bertanggung jawab sedikit lagi," jawab Urami tenang.
"Bertanggung jawab apanya? Jadi begini caramu bertanggung jawab?" Ghoul melempar dagu pada salah satu tangannya yang terikat. "Rasanya kok seperti mau diperkosa, ya?"
"Kau akan segera tahu." Urami kemudian menaikkan salah satu kakinya ke perut Ghoul. Secara perlahan, kaki sebelahnya pun menyusul.
Secara otomatis, napas Ghoul jadi berat karena tubuh Urami yang berdiri di perutnya membebaninya. Namun Ghoul tetap berusaha untuk tenang mengingat pengalamannya dulu menangani wanita nakal yang ingin mencoba pengalaman seru dengannya. Ia jadi teringat pada keliaran Eve yang berani menjilat-jilat luka di tubuhnya dan Tal yang lancang menaikkan resleting jinsnya.
"K-kau mau membunuhku?" nada suara Ghoul mulai dingin.
Urami kemudian menahan keseimbangannya dengan berpegangan pada penyangga lampu di langit-langit. "Aku akan memijatmu. Ini cara pijat orang Jepang dan aku paling ahli melakukannya di sekolah ini. Jadi nikmatilah karena kau salah satu pasien yang beruntung mencium kakiku."
"Perasaan, posisi orang yang dipijit biasanya tertelungkup, deh. Kalau terlentang begini bukan mijit namanya tapi menyiksa orang. Kamu ini mau menipu aku, ya?" Ghoul agak termegap-megap mengatakannya.
Dugh. Urami langsung menghentakkan salah satu kakinya ke perut Ghoul. Kedua mata Ghoul melebar menahan sakit. "Ukh!"
"Suka-suka aku, dong! Ini gaya khasku dalam memijat orang. Kalau dari belakang kan sudah biasa. Makanya kamu kujadikan kelinci percobaanku, jadi semacam bahan eksperimenku. Ntar aku tanya bagaimana rasanya."
Ghoul terbatuk-batuk. "Kakimu cantik, tapi tenagamu luar biasa," Ghoul mengatakannya dengan setengah tertawa.
Dugh! Kaki kanan indah Urami kali ini mendarat tajam ke dada Ghoul.
"Argh!"
"Jangan kurang ajar, ya! Kalau kau masih banyak omong, maka kau akan berakhir di sini sebelum pijatanku selesai. Bagaimana?"
Ghoul yang tengah mengerang-ngerang kesakitan mendeliki Urami. Mulutnya terkatup rapat karena marah.
Pelan-pelan, Urami melangkah di atas perut dan dada Ghoul dengan santainya. Tak lama ia mengangkat salah satu kakinya dan mengacungkannya ke hidung Ghoul. Ghoul langsung menelengkan wajahnya ke samping menghindari kaki wangi itu meski itu wangi Ekaliptus favoritnya.
"Sekarang cium kakiku!"
Wajah Ghoul semakin mengeras. "Cukup main-mainnya."
"Cium!" seru Urami sambil kembali mengayunkan kakinya itu ke dada Ghoul lebih keras lagi. Duagh!
Semburan darah muncrat dari mulut Ghoul. Ia mengepalkan kedua tangannya yang terikat. Meski agak lemah, ia mengarahkan kepalanya dengan mata yang terus menantang mata indah Urami. "Lagi!"
Urami membelalakkan matanya syok. "Oke!" Gadis itu kemudian berlutut di atas tubuhnya agar dapat menjambak rambut Ghoul. "Aku paling ahli dalam hal ini. Selamat menikmati!"
Urami berdiri lagi untuk melanjutkan "pesanan" Ghoul dan…
Ghoul semakin mengepalkan tangannya, mengeraskan otot-ototnya, dan membiarkan Urami melanjutkan "pijatannya" yang tak manusiawi karena ia yakin gadis itu tak akan semudah itu merontokkan tulang-tulangnya!
(Adegan disensor karena terlalu keras!)
***
Gadis kecil itu bersembunyi di lemari pakaiannya saat tragedi itu terjadi. Jeritan menggema di mana-mana. Meski bersembunyi, namun ia masih bisa melihat kejadian mengerikan itu dari cela pintu lemari.
"Bajingan kalian!" pekik salah seorang bocah lelaki. Ia terus mengumpat hingga para ilmuwan itu secara perlahan menggesek pisau ke lehernya hingga ia tak bersuara lagi.
Setelah itu, mereka menarik kepala itu sampai putus kemudian melemparnya ke arah lemari tempat gadis kecil itu berada. Kepala itu menggelinding menyelinap memasuki lemari itu.
Si gadis kecil membekap mulutnya rapat-rapat. Mata di kepala itu sempat berkedip dua kali padanya sebelum pada akhirnya terbuka terus.
Meski sudah melihat pemandangan tragis terhadap teman sekelasnya itu, si gadis kecil masih terus mengintip. Kali ini ia melihat para ilmuwan gila itu membelah perut seorang anak kemudian mencabut tulang rusuknya. Jeritan semakin menggila di kelas itu.
Meja-meja kelasnya yang dijadikan tempat tidur mereka sudah berlumuran darah. Ada juga yang menjerit hebat karena kelopak matanya dicabut paksa seolah mencabut uban dan…
Grek! Pintu lemari itu bergeser.
"Sekarang giliranmu!"
Dengan kasarnya, tangan besar itu pun menarik si gadis kecil keluar dari lemari untuk memulai "audisi"nya!
"Kyaaaaaaaaa!!!"
***
Dugh!
Urami terengah-engah setelah menendang sisi wajah Ghoul. Darah menghiasi hidung, mulut, pelipis, dan tulang pipi pemuda itu. Ghoul berusaha menegakkan kembali kepalanya. Mata tajam masih terus bersinar di wajah berlumuran darahnya.
"Puas?" desis Ghoul dengan napas berat. "Sekarang lanjutkan," bisiknya.
Urami mengepalkan tangannya. Ia sengaja menjatuhkan tubuhnya hingga terduduk di atas perut Ghoul dalam posisi mengangkang. Karena tak sabaran, kedua tangan halusnya mencengkram kerah baju Ghoul. "Kau… bagaimana kau bisa bertahan?!" raungnya. "Kau bisa mati!"
Ghoul tersenyum kecut. "Jangan khawatirkan aku dan jangan buat aku menunggu lama…"
Urami mendorong kedua bahu Ghoul hingga kembali rebah kemudian kembali berdiri di atas tubuhnya. Ia berusaha mengontrol emosinya yang sudah lelah menghajar pemuda berambut kuning kucel itu. Tak lama ia berusaha memasang senyum meski gelagapan.
"Rupanya seranganku tak mempan, ya? Bagaimana kalau aku mundur beberapa langkah lagi?"
"Oh, silakan," respon Ghoul santai. Ia sudah mulai terbiasa menahan beban tubuh gadis itu dan ia juga harus membiasakan diri saking beratnya untuk bernapas.
Dengan langkah anggun, Urami melangkah mundur dari dada hingga ke perut Ghoul. Namun ia terus melangkah ke bagian bawah perut Ghoul. Ghoul menelan ludah. Wajahnya yang babak belur menegang.
Kakinya dengan lancangnya melayang-layang di atas area tubuh sensitifnya. "Kamu sudah disunat, belum? Kalau aku pecahkan, keturunanmu akan habis!" Urami tersenyum penuh kemenangan.
Ghoul berusaha memasang senyum melecehkannya demi menutupi gelagapannya. "Ronde kedua…"
Urami yang tak main-main lagi menggigit bibirnya sambil bersiap mendaratkan kaki mulusnya ke sasaran dan…
"Oshiete oshiete yo sono shikumiwo…"
Lagu nada dering kesayangannya mengalun. Urami bergegas turun dari tubuh Ghoul dan mengangkat ponselnya di meja. Ia melangkah ke ambang pintu menerima telepon itu. "Halo, Sayang?"
"Bagaimana? Sudah ketemu belum orangnya? Sudah kauhabisi, belum?"
Urami menolehi Ghoul yang terikat di ranjang. "Sudah ketemu tapi belum kuhabisi."
"Kenapa, Say?! Tunggu apa lagi?"
Urami tertegun sejenak. "Oke! Akan kulakukan sekarang juga."
Ia menutup percakapannya. Urami kemudian melangkah ke meja suster untuk mengeluarkan sesuatu dari ranselnya.
Sementara itu, Ghoul berusaha melepaskan belenggunya. Ia berusaha menertibkan napasnya kemudian menaikkan suhu tubuh di bagian pergelangan tangannya. Bara api tampak menyala di pergelangan tangannya. Bara api itu kemudian membakar tali yang mengikatnya. Trik yang sama dilakukannya juga pada tali yang mengikat kedua kakinya.
Urami mengeluarkan sebilah katana dari sarungnya pelan-pelan. Ia menarik napas sambil menatap katana itu penuh arti. Sebenarnya ia enggan menggunakan katana itu untuk menghilangkan nyawa orang. Tapi apa boleh buat? Untuk pertama kalinya ia harus melakukan ini, demi kekasihnya tercinta!
Ia segera membalikkan badan. Namun alangkah syoknya ia begitu mendapati Ghoul sudah berdiri gagah di hadapannya. "Kau?!"
Dengan tangan mengepal, Ghoul tak ragu melangkah mendekatinya. "Katakan, kenapa kau mau membunuhku? Siapa yang menyuruhmu?"
Urami meneguk ludah kemudian tersenyum sadis. "Ash Aegisa," desisnya.
***
Si gadis kecil terbangun dari bunga tidurnya dengan napas terengah-engah. Mata cekungnya menandakan betapa kurang tidurnya ia. Tak lama ia bergegas beraktivitas kemudian berangkat ke sekolah dengan langkah lunglai.
Di sepanjang jalan distrik pertokoan itu, ia tak memedulikan kejadian sekitarnya. Padahal tiap beberapa langkah kakinya, selalu saja ada orang yang bunuh diri!
Ia melewati begitu saja seorang wanita dengan tubuh tergantung di pohon, ia melewati begitu saja mobil yang menabrak tiang listrik, orang yang jatuh tak jauh di belakangnya karena terjun dari lantai 13 dan sebagainya.
Keadaan menjadi kacau karena mimpi buruk!
Gadis kecil itu sendiri terus melangkah, tapi bukan ke arah sekolahnya melainkan ke stasiun kereta api. Seolah terhipnotis, gadis kecil itu melangkah tanpa ragu ke rel kereta api. Ia berdiri mematung di sana.
Tak ada yang berbaik hati menegurnya meski melihat jelas gadis kecil itu menantang bahaya di sana. Dan begitu kereta api yang melintas memporak-porandakan tubuh mungilnya, tak ada juga yang mau repot-repot mengurusinya… saking banyaknya orang yang bunuh diri karena sebuah mimpi buruk!
***
"Ash Aegisa?!"
Entah ada sensasi apa yang meletup-letup di kepala Ghoul begitu mendengar nama itu. Mulutnya terperangah, pupilnya mengecil. Ia mengulangi nama itu berkali-kali. Wajah tak jelas seorang wanita yang menamainya dengan nama itu terbayang kembali di benaknya. Namun ia belum menyadari siapa wanita itu sebenarnya.
"Kenapa? Apa kau mengenali nama itu?"
Ghoul mengatupkan mulutnya dan berusaha relaks. "Oke. Siapa dia? Siapa itu Ash Aegisa?"
"Jawabannya ada dua." Urami mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya. "Yang pertama itu adalah kekasihku dan yang kedua…" Ia sudah melipat satu jarinya…
Ghoul menanti jawabannya.
"… orang yang sebentar lagi akan menjadi sate di pedangku!" jawab Urami lancar, selancar serangan beruntunnya.
Wush! Dengan cepatnya Urami menebaskan katananya ke arah Ghoul. Ghoul melengkungkan tubuhnya ke belakang untuk menghindarinya. Bukannya menghindar lebih jauh lagi, ia malah mengamati teknik berpedang Urami. Ia harus cepat mempelajarinya sebelum terlambat, terutama teknik bernapas gadis itu saat menggunakan jurus itu. Namun ia harus mengatur jarak agar napasnya bisa mengambil napas gadis itu. Tentu saja sulit untuk mendekat di tengah gempuran semacam itu.
Sambil menghindari tebasannya, diam-diam Ghoul terus menggali dan mempelajari teknik bernapas lawannya meski belum bisa mencuri jurusnya! Dengan begitu, ia bisa menemukan titik kelemahan lawannya. Tak lama Ghoul kemudian tersenyum menang sambil menyeka darah di sudut bibirnya. Ia masih punya alternatif lain selain mengambil napas targetnya.
Untung saja hari itu Urami hanya membawa satu katana saja karena yang satunya lagi dipinjamkannya pada kekasihnya yang meminjam nama Ash Aegisa. Kalau tidak, kekuatannya bisa lebih mengerikan lagi!
Meski hanya menggunakan satu katana, gerakan Urami lincah sekali. Ghoul tak ingin kalah lincahnya. Dengan berat hati, akhirnya ia menyalakan api di kedua telapak tangannya sambil terus menghindar. Api itu menjalar bagai bara dari ujung jari hingga ke pergelangan tangannya. Dengan keahlian itu, ia mencoba untuk bertarung. Teriakan Mahesa yang menyuruhnya untuk bertarung bergema di kepalanya.
Karena tak bisa mendekat untuk mengambil napas targetnya, Ghoul mencoba menangkap mata pedang yang diayunkan Urami. Ia berencana menaikkan suhu di tangannya agar bisa melelehkan katana gadis itu meski harus mengeluarkan tenaga ekstra. Urami geram karena selain menghindari sabetannya, Ghoul nekat mencoba menangkap mata pedangnya.
Dugh! Sebuah pukulan berapi singgah ke perut Urami. Gadis itu meringis kesakitan. Tak bisa mengendalikan keseimbangannya, ia mundur terhuyung-huyung hingga punggungnya kemudian menghantam tembok.
Ghoul jadi merasa agak bersalah melihat gadis itu kesakitan, namun untung saja tingkat panasnya tak begitu berbahaya—tingkat panas yang digunakannya umum dikeluarkannya saat bertarung seperti ini agar tak membunuh lawan. Tak hanya itu, baju seragam di sisi perut Urami jadi koyak. Gadis itu terengah-engah sambil memadamkan bara api yang tertinggal di bajunya. Untung saja pusar Urami masih terbungkus.
Urami mendelik geram. Ia menegakkan kembali katananya sambil berlari menerjang Ghoul. "Hiaaaaa!!!"
Angin berbentuk bor segera melingkari katananya. Kekuatannya tampak lebih besar lagi daripada sebelumnya. Ia mengayunkan tebasannya membabi buta. Ghoul tak mau kalah. Selain menghindar, ia juga mengayunkan tinju apinya secepat yang ia bisa. Mau tak mau, Urami harus lincah menghindarinya. Belum lagi, Ghoul masih mengincar pedangnya.
Urami mundur mengambil jarak dari Ghoul. Sambil merapikan kuda-kuda berpedangnya, ia mengatur napas. Ghoul memberinya kesempatan untuk memisahkan diri. Mungkin seharusnya ia tak memberi gadis itu banyak kesempatan.
Dengan mengayunkan pedangnya dalam satu tebasan, badai angin berbentuk bumerang melaju dengan kecepatan tinggi ke arah Ghoul. Ghoul buru-buru menghindarinya. Kalau tidak, nasibnya mungkin akan sama seperti ranjang yang ditempatinya tadi. Ranjang itu sekarang terbelah dua diamuk serangan Urami. Kaki-kaki ranjang itu berserakan karena tak kuat menahan beban amukan.
Truk. Urami jatuh berlutut sambil bertumpu pada pedangnya di lantai. Napasnya ugal-ugalan karena sudah menggunakan serangannya sebanyak 6 kali berturut-turut. Ia jadi kehabisan napas dan sulit untuk menyerang lagi. Ia terpaksa harus mengumpulkan energinya kembali dan tak menggunakan jurus anginnya dulu.
"Sial! Kenapa aku jadi terburu-buru begini? Aku terpancing menghabiskan energiku karena cowok itu membuatku marah terus. Sudah kehabisan tenaga, tidak kena- kena lagi. Ugh!" geram Urami sambil memukul lantai. Geram karena harus istirahat dulu.
Ghoul juga tak kalah terengah-engahnya, namun ia segera memasang senyum percaya dirinya lagi. "Napas kita sama-sama lemah. Selama pertarungan tadi, aku jadi punya pertanyaan baru untukmu."
Ia melangkah terseok-seok mendekati Urami. "Di mana Ash Aegisa yang palsu itu berada kini? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan padanya."
"Langkahi dulu mayatku, Sayang," Urami tersenyum manis padanya.
"Tak ada jawaban lain? Gadis sepertimu tak cocok mati di tanganku. Kamu cocoknya jadi istriku dan bisa kupastikan pacarmu tak akan bisa berbuat apa-apa kalau sudah begitu. Menolongmu saja, tak tahu ia ada di mana," Ghoul mengatakannya dengan nada menyebalkan.
"Grrrrm!" Urami mengerucutkan bibirnya. Ia kembali mengangkat katananya. "Oh, ya? Kurasa kau mengatakannya pada semua gadis!"
Urami melakukan gerakan menebas meski kepayahan. Ia tak bisa lagi menggunakan tenaga anginnya karena sudah melakukannya secara maksimal tadi. Ia tak melihat Ghoul rupanya melangkah mendekat untuk mengambil salah satu kaki ranjang yang remuk tadi, bukannya mendekatinya. Dan kini Ghoul menangkis pedangnya dengan kaki ranjang yang terbuat dari besi itu.
Mereka beradu kekuatan sekarang!
"Kau tak bisa berbuat apa-apa dengan benda itu," ejek Urami.
"Kalau begitu, akan aku tunjukkan bagaimana aku bisa bertahan selama ini!"
Dengan gerakan cepat, Ghoul memutar tubuhnya kemudian merendah untuk melumpuhkan salah satu kaki Urami. Urami tak sempat mewaspadai gerakan itu. Betisnya terkena hantaman besi Ghoul dan hasilnya membuatnya kembali jatuh berlutut.
Urami tetap gigih. Tanpa memedulikan rasa sakitnya, ia langsung berbalik dan menyerang Ghoul di belakangnya. Posisi Ghoul lumayan dekat dengannya, namun pedangnya tak berhasil menjangkaunya. Ia tak sadar kalau Ghoul sudah berhasil menarik udara dari hembusan napasnya melalui tarikan napas dalam. Napas mereka sudah terhubung sekarang!
Ghoul membiarkan Urami menebas-nebas sementara ia mempelajari olah napas gadis itu. Saat Urami je'dah sejenak, Ghoul coba meniru olah napas Urami saat bertarung tadi. Kekuatannya telah dicopi-paste!
Ghoul mencoba menyerang Urami yang dengan lincahnya meliuk-liuk. Urami tak menyangka gaya bertarungnya bisa ditiru olehnya dan lagi… bruk! Urami jatuh berlutut sambil memegangi dadanya yang terasa sesak.
Begitu korbannya sesak napas, itu artinya Ghoul sudah memiliki gaya bertarung yang sama dengan Urami! Kekuatan mereka sebanding sekarang. Ghoul menghembuskan napas kuat-kuat agar aliran napas yang mengikat mereka terputus. Ia kasihan melihat Urami sesak napas seperti itu. Begitu jurus pernapasan itu dilepaskan, Urami sudah bisa bernapas dengan baik kembali.
Dengan kaki gemetaran, Urami berusaha untuk berdiri tegak. Dengan gerakan mendadak, ia menendang kursi di dekatnya untuk menghalangi pandangan Ghoul. Begitu terhalangi, ia berkesempatan menerjang sambil melayangkan tebasan secara diagonal.
Seharusnya ia bisa mengenainya, namun di balik kursi yang terbelah dua disabetnya itu, ia hanya menemukan udara kosong di sana. Matanya terbelalak. "Di mana ia?!"
Ketukan jari sebanyak dua kali di belakang bahunya membuat Urami langsung menoleh. Ia langsung mengarahkan tusukan mata pedangnya ke arah Ghoul yang menahannya dengan tangkai besinya. Dari balik senjatanya, Ghoul menelengkan wajahnya ke samping dan tersenyum menyeringai pada Urami. "Sekarang aku tak hanya ahli meniru cara bernapas tupai yang bisa bergerak lincah, loh! Tapi juga…"
Wajah Urami semakin masam dicemooh seperti itu.
"…jurus berpedangmu!"
Dengan kuda-kuda sempurna, Ghoul melancarkan alat tempurnya. Sementara itu, Urami jadi merasa bertarung dengan dirinya sendiri!
Akhirnya setelah lumayan lama bertarung dengan kekuatannya sendiri, Urami beranjak menjauh sambil menarik napas dan menstabilkannya. "Emosi napas kita memang hampir sama. Tapi…"
Urami melakukan gerakan menebas yang sempurna. Badai angin kembali tercipta di balik serangan pedangnya itu. Akhirnya tenaganya cukup untuk menggunakan jurus itu setelah mengistirahatkannya. Ghoul yang tak menyangka kekuatan angin Urami telah pulih, terpaksa harus menghindarinya dan… tersudut ke dinding.
"…kupikir kau belum mengopi paste yang ini karena hanya darah keturunan kami yang bisa!"
Tak hanya sekali, namun dua kali Urami menggunakan jurus maut itu. Ghoul memiringkan kepala begitu cermin di sampingnya remuk terkena badai angin dan pecahannya menyerbu wajah Ghoul. Ghoul menelengkan kepalanya dan menjauh dari cermin. Selain melukai wajahnya, tapi serpihannya juga membuatnya kelilipan. Ghoul mencoba membersihkan matanya dari serbuk kaca yang nyasar. Ia menahan pedih sambil mengucek-ngucek matanya.
Urami merasa itu kesempatan untuk menghabisinya. Ia melangkah dengan tenangnya mendekati Ghoul yang masih sibuk dengan matanya. Ia sudah siap menusukkan pedangnya dari atas ke tubuh Ghoul yang tengah meringkuk. Meski tak bisa melihatnya, tapi Ghoul bisa merasakan napas Urami semakin menguat di sekitarnya. Ia yang sudah dapat mengenali hembusan napasnya dengan baik kemudian berguling dengan lincahnya ke kolong ranjang yang masih utuh di pojok ruangan.
Urami bergegas menaiki ranjang kemudian menusukkan pedangnya ke tengah ranjang disertai dengan jurus anginnya. Ia yakin meski pedangnya pendek dan kurang menjangkau tubuh Ghoul, tapi anginnya mampu menembus kiranya tubuh Ghoul berada. Srukh!
Hening. Hanya terdengar suara napas Urami yang terengah-engah. Ia tersenyum begitu berpikir sudah berhasil mencabik-cabik musuhnya. Ia bergegas menarik katananya dan tertegun begitu melihat kondisi pedangnya kini.
"Ke-kenapa tinggal separuh?!" pekiknya. Separuh katananya seolah meleleh oleh sesuatu dan ia butuh penjelasan untuk ini!
Ghoul merayap keluar dari kolong ranjang dan melentangkan tubuhnya sambil terengah-engah pula. Ia memperlihatkan bara kebiru-biruan di telapak tangannya. "Butuh tenaga lebih untuk memanaskan tangan ini agar bisa melelehkan pedang murahanmu. Dengan begitu, badai anginnya tak akan bekerja karena aku melelehkannya dengan sangat singkat. Padahal tak sampai seribu derajat Celsius!"
Urami menggigit bibirnya. Ia mencampakkan sisa katananya kemudian menyerang Ghoul dengan amukan barunya: tinju dan tendangan!
Ghoul memiringkan tubuhnya untuk menghindari serangan terjun Urami. Prak! Saking marahnya, lantai tempat Urami mendarat sempat retak sedikit. Entah bagaimana jadinya kalau Ghoul telat bergerak.
Melihat itu, Ghoul segera berdiri dan berlari menghindari tinju dan tendangannya. Ia mencari-cari sesuatu dan menemukan sebuah kursi. Ia menunggu Urami mendekat sambil melakukan proses pernapasan gorila kemudian mendorong Urami menggunakan kursi itu dengan posisi perut di sela-sela kaki kursinya.
Ghoul sekuat tenaga mendorongnya hingga gadis itu mundur terhuyung-huyung dengan cepatnya dan… cret. Perut Urami tertahan kaki-kaki kursi yang tertancap di tembok. Kaki-kaki kursi yang terbuat dari besi itu tertancap bagai paku saking kuatnya pernapasan gorila yang ditirukannya.
Kini Urami tak bisa ke mana-mana lagi. Dudukan kursi begitu rapat dengan perutnya. Punggungnya pun merapat penuh ke tembok.
"Untung saja aku tak tega meremukkanmu," kata Ghoul santai sambil mengangkat kakinya menginjak sisi lain dudukan kursi yang menahan Urami. "Aku hanya ingin berkenalan dengan pacarmu karena sebentar lagi aku akan menggantikannya."
"Coba saja! Meski kau mengecup bibirku, aku takkan mau buka mulut," tantang Urami.
Ghoul melipat tangan. "Kalau begitu, kau akan jadi perawan tua di sana karena tak ada yang bisa mengeluarkanmu selain aku."
Urami mengepalkan kedua tangannya. Matanya mendelik, setengahnya seperti mau menangis.
Ghoul menurunkan kakinya dengan sikap tubuh relaks. "Oke! Kalau begitu, selamat tinggal. Senang berkenalan denganmu, Urami," ucap Ghoul sambil membalikkan badan kemudian melangkah keluar ruangan. Sosoknya pun menghilang di balik tikungan. UKS itu tampak hancur berantakan seperti kapal pecah sekarang.
Sementara itu, Urami berusaha membebaskan diri dari kursi yang menghimpitnya. Sangat sulit melakukannya setelah tenaganya terkuras karena bertarung habis-habisan tadi. Akhirnya ia menyerah dan terus berdiri di sana entah sampai kapan.
Ia memutuskan untuk beristirahat saja dulu. Namun waktu tenangnya itu tak lama begitu ia merasakan guncangan yang awalnya ringan kemudian semakin hebat itu. Urami kepanikan sambil memandangi sekelilingnya. Gempa bumi!
Secara perlahan fondasi bangunan itu mulai rapuh. Ia dihujani butiran-butiran semen yang menjatuhinya. Untung ukurannya masih kecil-kecil.
Bug-bug. Urami memukul-mukulkan tinjunya ke kursi saking putus asanya. Tak ada yang bisa menyelamatkannya kini begitu langit-langit ruangan itu pun runtuh…
***
"Mbek?" Buckazy melemparkan pandangan pada sekolah runtuh di sana. Meski merasakan gempa pula, namun ia santai-santai saja memamahbiak di depan sekolah. Namun sekarang ia rela meninggalkan kenyamanannya itu untuk menolong tuannya di dalam sana.
Tuk tik tak tik… tuk! Buck menghentikan derap langkahnya begitu melihat kumpulan awan gelap yang membukit mendekatinya perlahan. Ia mundur. Ia mengerti ada bahaya apa di hadapannya. Tanpa mau maju selangkah lagi, ia pun mengambil langkah seribu!
***
"Ng?" Urami perlahan membuka matanya. Udara di sekitarnya pengap dan ia tengah terlentang sekarang. Gempa yang membuat runtuh sekolah itu membuat Urami secara otomatis terlepas dari kursi yang membelenggunya. Namun sekarang ia terperangkap dalam reruntuhan bangunan.
Begitu ia mengerjap-ngerjapkan matanya, ia lalu tersadar. Matanya melebar begitu melihat…
"Ash?!"
Orang yang dipanggilnya Ash itu berada di atas tubuhnya dalam posisi berlutut. Kedua tangannya berada di atas tengah menahan beban tembok yang hampir saja tadi menimpa Urami.
Orang itu tertegun sejenak. Ada raut wajah kerinduan di sana begitu mendengar nama itu. "Kau sebut aku siapa?"
Giliran Urami yang tertegun.
"Coba panggil aku lagi dengan nama itu," pinta orang itu sebelum reruntuhan dari langit-langit jatuh menimpa menambah bebannya.
Tak kuat lagi, jarak tubuh orang itu ke tubuh Urami semakin pendek. Agar tak membahayakan, orang itu menahan beban tembok runtuh itu dengan punggungnya sementara kedua lengan dan lututnya bertumpu di sisi tubuh Urami.
"Ash!" pekik Urami cemas. Wajahnya menegang.
Ghoul tersenyum lembut mendengar namanya dipanggil dengan nada secemas itu. "Terima kasih," ucapnya.
Urami memperhatikan kedua lengan dan lutut Ghoul bergetar-getar menahan beban berat di punggungnya. Tak tahan melihat wajah setengah mati Ghoul, Urami menelengkan wajahnya yang tampak malu.
"Maaf, Urami," ucap Ghoul.
Wajah Urami malah memerah mendengarnya. Ia merasa Ghoul mau minta maaf karena hampir saja membahayakan nyawanya dengan membelenggunya di tembok.
"Bisa nggak kamu segera keluar? Napasmu bau sekali."
Wajah Urami seolah meledak. Ingin rasanya ia meninju wajah lelaki di atasnya ini, namun tentu saja tak dilakukannya. Ia segera menyeret-nyeret tubuhnya keluar meninggalkan posisi mesranya tadi. Sayangnya tak bisa lama-lama seperti itu. Kasihan kan Ghoul harus menahan beban seberat itu terlalu lama.
Begitu keluar, Urami tak bisa menegakkan tubuhnya. Kakinya terluka dan tak bisa berdiri apalagi berjalan karena sempat terkena hujan reruntuhan. "Tapi bagaimana denganmu, Ash? Bagaimana caramu keluar?" Urami tak memikirkan dirinya sendiri, melainkan Ghoul.
Ghoul juga malah tak memikirkan dirinya sendiri harus bagaimana setelah menolong Urami. Ia tak memikirkan itu sebelumnya.
Namun Urami dengan lincahnya mengangkat beberapa potongan tembok di dekatnya kemudian meletakkannya di ujung sebagai penopang beban Ghoul. "Kau harus segera keluar sebelum penopang sementara ini hancur. Kalau tidak, tulang-tulangmulah yang hancur!"
Ghoul sudah mulai memindahkan posisinya kemudian bergerak cepat seperti kucing menerjang. Setelah keluar, ia malah menutup gerakan cepatnya dengan roling. Ghoul sudah terduduk begitu tembok yang ditopangnya tadi merapat dengan lantai. Bruk!
Ghoul menegakkan tubuhnya kemudian mengulurkan tangan pada Urami. "Sebelum gedung ini hancur dan kita kehabisan udara, mari kita lanjutkan pertarungan kita di luar sana."
Urami menggelengkan kepala. "Kau duluan saja. Kakiku… kakiku tak bisa berjalan."
Ghoul tertegun. Tanpa pikir panjang, ia langsung saja berjongkok dengan posisi punggung membelakangi Urami. "Naik atau aku akan keluar dari sini sendirian untuk membunuh pacarmu."
Mata Urami melebar.
Ghoul meliriknya sedikit. "Tentunya kau tak akan membiarkan hal itu terjadi, bukan? Buktikan rasa cintamu padanya dengan menghalangiku. Tapi bukan di sini."
"Ck!" Mau tak mau, Urami kemudian mengalungkan kedua lengannya ke bahu Ghoul.
Ghoul menopang kedua paha gadis itu kemudian berlari sambil menggendongnya. Urami tampak menikmatinya dan diam-diam tersenyum, namun itu tak lama.
Ghoul terhenti begitu koridor yang dilaluinya tertutupi oleh reruntuhan. Namun di reruntuhan itu masih menyisakan lubang yang bisa dilewatinya dengan merangkak. Tapi…
"Urami," desis Ghoul sambil melirik gadis di belakangnya itu.
Wajah Urami jadi mendung melihat kondisi itu. "Tinggalkanlah aku, Ash. Biarkan saja aku mati di sini. Tak usah lagi kaupikirkan aku."
Ghoul kembali meluruskan kepalanya. Tentu saja ia tak akan mempertimbangkan omongan Urami tadi. Ia merasa mendingan ia mencari ide agar mereka berdua bisa keluar dengan selamat.
"Turunkan aku! Kalau kau mau aku merayap, gedung ini keburu hancur dan kau akan mati tapi bukan dengan nama aslimu. Kakiku sudah hancur. Kurasa ini adalah karma karena sudah menyiksamu tadi."
Ghoul menghela napas kemudian akhirnya… berjongkok untuk menurunkan Urami dari punggungnya!
***
"Ck! Kenapa Urami tak mengangkat-angkat teleponnya?"
Sementara itu, seorang pemuda misterius di sebuah ruangan kelam tampak gelisah sambil mematikan panggilannya (tinggal menekan nomor 1 untuk menelpon Urami). "Apa ia sudah berhasil membunuh anak itu ataukah dia yang…"
Ia tak berani memikirkan yang tidak-tidak. Kembali diutak-atiknya ponsel layar sentuhnya untuk mengecek kondisi. Sebuah berita terpanas dari negerinya sudah menyebar di beberapa situs internet. Ia membaca berita itu dengan wajah tegang. Ia juga melihat foto-foto kejadian yang cukup menggenaskan. Tak tahan melihat disturbing picture itu, ia meletakkan ponselnya.
"Hanya sebuah mimpi buruk, semuanya memutuskan untuk berakhir seperti itu?! Apakah ini artinya aku harus bergerak cepat?" Bola matanya bergerak-gerak cepat.
Ia menggenggam erat katananya sambil melirik keluar jendela. Matanya terbelalak ketakutan begitu melihat sesuatu menembus kegelapan di luar sana. "Fuwa?!"
***
"Apa kau merasa harus melakukan ini?"
Wajah Urami menegang begitu Ghoul membuka kemejanya yang tidak terkancing.
"Apa kau mau menunggu jawabannya sampai gedung ini runtuh?" Itu jawaban Ghoul sambil menelungkupkan tubuhnya.
Urami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak! Aku tidak mau…"
"Cepat lakukan! Kalau tidak… pacarmu akan habis di tanganku. Aku ini orangnya haus darah juga, loh!" nada suara Ghoul meningkat hingga ancamannya terdengar serius. "Ayo cepat baring!"
"Tapi aku…" Mimik wajah Urami tampak tak enak hati.
"Sekarang cepat naik! Berbaringlah di punggungku!" Posisi Ghoul sudah siap untuk merayap.
Didesak seperti itu, akhirnya berhasil membuat Urami yang tengah duduk, terlentang di atas punggung Ghoul. Ia melingkarkan kemeja di balik perut Ghoul ke perutnya kemudian mengikatnya cukup kencang. Sekarang kemeja itu sudah merekatkan mereka berdua. Rupanya Ghoul membuka kemejanya untuk digunakan sebagai sabuk pengaman.
"Kamu sudah siap?" Ghoul mulai merayap memasuki cela itu. "Jangan takut. Percayalah padaku! Aku bisa merayap dengan cepat dan kita akan keluar hidup-hidup dari sini."
Ghoul yang merayap dengan Urami di punggungnya sudah berada di lubang reruntuhan yang berbentuk lorong itu. Memang lubang itu bisa dilewati dengan merangkak, namun dalam kondisi seperti ini tentu saja Ghoul harus merayap untuk menyisakan ruang agar Urami juga bisa lewat.
Urami yang terlentang di atas punggung Ghoul menelengkan wajahnya agar terhindar dari debu di atas reruntuhan. Kakinya yang memar-memar terkulai lemas dan tak bisa digerakkan lagi, hanya bisa terseret-seret di lantai. Meski menderita lumpuh, namun suara napas Ghoul yang berjuang seolah menghiburnya.
Sedikit-sedikit Ghoul terhenti. Bukannya untuk beristirahat karena waktu mereka sudah tak banyak lagi. Lambat sedikit, bisa jadi reruntuhan itu mengubur mereka hidup-hidup. Tapi ia terhenti untuk menyingkirkan sisa material bangunan yang menghalangi jalannya.
Urami menjadi saksi perjuangan itu. Peluh yang membanjiri punggung Ghoul menyerap ke punggungnya hingga ia pun bisa merasakan basahnya tekad keras Ghoul. Air mata Urami meleleh. Ia membekap mulutnya agar Ghoul tak menyadari emosinya kini.
Ghoul terhenti sejenak. Kali ini bukan karena jalannya yang terhalangi, namun karena ada setetes air memerciki bahunya. Ia sempat heran darimana asalnya air itu, namun segera mengabaikannya dan kembali merayap. Ia berpikir mungkin itu hanya keringat. Tapi kenapa munculnya dari atas?
Setelah merayap sekitar 15 menit, akhirnya Ghoul melihat ada cahaya di ujung lubang itu. Matanya melebar begitu melihat pemandangan malam di sana.
"Wah, rupanya sudah malam! Kamu tahan ya, tinggal sedikit lagi kita berdua selamat."
Ghoul semakin semangat merayap. Namun… truk. Sebuah material kecil dari atas sana terjatuh dan… tiba-tiba saja disusul oleh hujan material dari cela tempat mereka masuk dan menjalar menuju tempat mereka berada kini!
"Ash! Lubang ini akan runtuh!" pekik Urami yang duluan melihatnya.
Ghoul menyempatkan diri untuk melirik ke belakang sana dan terbelalak. Ia segera mempercepat rayapannya. Reruntuhan di belakang mereka semakin mendekat seolah hendak menjadikan mereka bagian dari gedung hancur itu.
Wajah Urami tampak cemas sekali. Reruntuhan yang menjalar itu selalu hampir mengenai kaki Ghoul. Ia menangis, namun air matanya itu bukan untuk dirinya melainkan…
"Ash, sori," bisik Urami. Tanpa ragu lagi, ia melepaskan ikatan pengaman di perutnya. Ia terlepas tepat pada saat sebentar lagi mereka akan keluar. Tubuh Urami melorot dan Ghoul bisa bergerak lebih cepat lagi.
Mata Ghoul melebar begitu tak ada lagi beban di punggungnya. Namun buru-buru ia keluar dari lubang itu dan… dengan gerakan lincah, kedua lengannya menjulur kembali masuk ke dalam untuk menarik tangan Urami keluar. Tubuhnya masuk kembali ke lubang hingga perut.
Urami terkejut. Dengan tenaga ekstra, Ghoul menarik Urami keluar secepat mungkin dan… bruagh! Lubang itu tertutupi sempurna oleh reruntuhan. Debu-debunya bertebaran.
Ghoul langsung melentangkan tubuhnya dengan napas ugal-ugalan. Sementara itu, Urami terperangah tak percaya akan apa yang dilakukan Ghoul. Padahal ia sengaja melepaskan ikatannya agar Ghoul bisa bergerak cepat dan selamat. Tapi…
Setelah berhasil mengatur napas, Ghoul mendeliki Urami. Buru-buru ia merangkak menuju Urami yang terduduk di dekat reruntuhan kemudian mencengkram kedua bahunya. "Kau…!!!"
Ghoul tak sempat melanjutkan omelannya begitu Urami menutup muka dan menangis tersedu-sedu. Wajah Ghoul yang tadinya mengeras jadi mencair melihat air mata gadis itu. Matanya melembut.
"Aku… aku menangis bukan karena kamu, loh! Tapi aku menangis karena kangen sama pacarku yang menantiku di sekolahmu sendirian."
Mata Ghoul melebar. "Ia ada di kampungku?"
Urami mengangguk sambil tetap menutup wajahnya.
Ghoul menegakkan tubuhnya. Tampak sikunya lecet-lecet kemerahan karena merayap tadi. Di dada dan perutnya pun terdapat luka-luka kecil. Tanpa sempat mengenakan kemejanya kembali yang tertimbun reruntuhan, ia pun membalikkan badan dan melangkah pergi.
"Ash," tegur Urami terisak-isak.
Ghoul terhenti tanpa menoleh sedikit pun.
"Kau tak akan menghabisinya, bukan?"
Ghoul tertegun sejenak. Setelah lama hening, akhirnya ia menolehi Urami juga sambil tersenyum. "Aku akan melakukan yang terbaik."
Setelah itu Ghoul kembali melangkahkan kakinya…
***
Buckazy setengah mati berlari menghindari kejaran segerombol mahluk di belakangnya.
"Aku… sungguh tidak suka Alam Mimpi yang sekarang!" gerutu seorang pengembala domba-domba hitam. Sosok itu tampak seperti bocah 8 tahunan dengan kepala berwujud bola mata dan anggota badan seperti kerangka tubuh manusia. Di genggaman tangannya terdapat tongkat aneh yang disebut sebagai dreamcatcher.
"Cepat kalian makan domba putih itu! Singkirkan reveriers dari tempat ini!" serunya sambil mengerahkan domba-domba hitamnya mengejar Buckazy. "Mimpi mereka bikin penuh-penuh tempat ini saja. Huh, kerjaanku tambah banyak deh!"
Buckazy tiba-tiba saja menghentikan derapannya begitu melihat sesuatu di hadapannya. Ia ingin mundur, tapi…
***
Hujan salju ringan menyambut Ghoul begitu menjejakkan kaki kembali ke bingkai mimpinya. Ia melangkah ke sekolahnya sambil melayangkan pandangan ke sekelilingnya.
"Aneh. Kenapa kampungku tak seperti biasanya? Mana kabut asap yang menjadi ciri khas kampung halamanku ini? Kenapa kabut asapnya pindah ke bingkai mimpi lawan sementara hujan salju di kampung lawan malah pindah ke sini?" komentarnya sambil mendekap dirinya sendiri. "Kok seperti sinetron, ya? Cuaca yang tertukar."
Akhirnya tibalah ia di depan sekolahnya dengan Mahesa dulu. Kenangan masa lalunya dibangkitkan oleh bangunan sederhana itu. Ia tersenyum kecil, namun itu tak lama begitu melihat kondisi di sekelilingnya.
Tanah di sekitarnya tampak retak-retak. Meski begitu, ia tetap melangkah memasuki halaman sekolahnya dengan tenang. Namun begitu melihat ada tangan kering mencuat dari retakan itu, barulah ia segera lari karena ngeri.
Sekarang ia tiba di halaman sekolahnya. Ia melayangkan pandangan dan terbelalak begitu melihat kepala seekor domba tertancap di salah satu ranting kering di sebuah pohon keramat!
"Buckazy!!!"
***
Tangan pemuda itu—kekasih Urami—bergetar-getar saat menggunakan ponselnya. Ia tampak gencar mencari-cari sesuatu di internet. "Sekarang aku sendirian. Aku harus segera mendapatkan cara untuk mengalahkan Ash Aegisa itu!"
Keringat dinginnya mengalir, namun tak lama senyumnya mengembang gelagapan setelah melihat seseorang di bawah sana. "Ghoul?"
Dari bawah sana, Ghoul menatapnya di dekat pohon tadi. Kedua tangannya mengepal-ngepal melihat salah satu matanya yang berwarna merah. "Hei, turun kau! Pengecut! Kenapa kau membunuh kawanku?!"
Lawannya melangkah santai ke tepian. "Yang ada kepentingan kan kamu. Kamu dong yang naik!" Ia lalu menunjukkan name taq di dada seragam sekolahnya. "Kalau kau berhasil mencabut name taq ini dariku, maka kau boleh menggunakan nama ini."
Ghoul menghela napas. "Huft! Begitu, ya? Oke. Sebelum kita mulai, boleh aku tahu siapa nama aslimu agar aku bisa memakamkanmu kelak dengan nama itu?"
Hening. Salju yang turun seolah saling berbisik, namun tak memberi jawaban apa-apa.
Sang lawan menarik napas kemudian memperkenalkan dirinya, "Satan! Satan Raizetsu."
Ghoul mengangguk-angguk sambil menyebutkan nama itu tanpa suara. Sebenarnya ia teringat pada nama itu saat bermain kagome-kagome dengan hantu-hantu tadi. "Oke. Kenapa kau diberi nama itu?"
"Namaku terbentuk dari kanji [差:Perbedaan] dan [単:Tunggal]. Memang, jika kedua kanji tersebut dibaca dalam satu kata artinya adalah Satan dalam bahasa Inggris. Namun, dapat juga dibaca sebagai Saizen yang artinya Terhebat!" Dengan bangga, Satan menjelaskan arti namanya. "Kenapa? Mau ketawa? Mau jelek-jelekkan namaku?"
Ghoul menggelengkan kepala. "Kenapa aku harus menjelek-jelekkan nama orang yang sudah mengganti namanya sendiri dengan namaku? Secara tak sadar, kaulah yang sudah merendahkan namamu karena sudah tak percaya diri menggunakan namamu sendiri! Kau lebih suka memakai namaku daripada namamu sendiri, bukan?"
"Namamu? Ck! Wanita itu bilang si pemilik nama itu sudah meninggal."
Ghoul tertegun karena berpikir bisa jadi wanita yang dimaksudnya itu ibu kandungnya.
"Tapi aku akan berusaha mewujudkan dugaan wanita itu!"
"Grrrrrrr!!!"
Ghoul melayangkan pandang ke sekelilingnya dan terbelalak.
Satan tersenyum binal. "Tadi aku baca di internet kalau sebuah tanaman yang diserang parasit akan mengeluarkan zat kimia yang dapat memancing datangnya predator parasit itu untuk menolongnya. Luar biasa! Ilmu itu menginspirasiku untuk menggunakan hal yang sama."
Di bawah sana, Ghoul terpaku. Ia tampak mati gaya karena takut.
"Anggaplah aku tanaman, zat kimia pemancing itu adalah kepala domba putih itu, parasit itu adalah kamu, dan predatormu adalah…"
Ghoul dikepung oleh segerombolan anjing hitam. Mereka tampak kelaparan melihat Ghoul. Ghoul menelan ludah, berusaha menyingkirkan trauma beratnya terhadap anjing. Ia melirik kepala domba di pohon kemudian menyadari sesuatu. Anjing-anjing itu datang karena mencium bau bangkai!
"Groar!" Salah seekor dari mereka menerjangnya. Namun Ghoul dengan sigapnya mengayunkan batang kayu di belakangnya ke depan hingga gigi anjing itu tertancap di kayu itu.
Sebelum anjing lainnya beraksi, Ghoul segera melompat ke salah satu dahan pohon keramat setinggi 3 meter. Padahal ada anjing yang menerjangnya dari belakang, namun hanya bisa menyergap udara kosong dan jatuh berguling-guling karena hilang keseimbangan.
Ghoul bergelantungan di sana karena badan pohon yang terlalu besar untuk dipanjati. Tapi bagaimana caranya Satan meletakkan kepala domba di salah satu ranting itu?
Salah seekor anjing tak menyerah sampai di sana. Ia melompat-lompat dan hampir saja menggigit kaki Ghoul. Ghoul menaikkan suhu di telapak kakinya dan mengusir-usir anjing-anjing itu dengan api di kakinya sementara ia berusaha untuk naik.
Ghoul bergegas menarik tubuhnya ke atas dahan itu. Ia berpijak di atasnya dengan api yang sudah padam di kakinya. Tak mau ambil risiko lagi, ia menaikkan suhu di telapak tangannya untuk memunculkan api dan membakar bagian bawah pohon dengan sentuhan ajaibnya. Api dengan cepatnya menjalar ke sekeliling pohon bagian bawah itu hingga anjing-anjing kelaparan itu pun tak berani mendekat. Api menjalar berpola spiral.
Ghoul yang berdiri di atas dahan itu menatap Satan yang menggertakkan gigi karena jebakannya tak bertahan lama. Ghoul mengambil ancang-ancang untuk melompat ke atap balkon itu. Jaraknya ternyata tak begitu jauh.
Trap. Ghoul mendarat dengan posisi setengah bersimpuh. Satan menelan ludah begitu Ghoul kembali tegak dan melangkah perlahan mendekatinya. Ia menegakkan katana di kedua tangannya dan mulai memasang kuda-kuda. Ghoul tetap mendekatinya dengan tenang.
"Hiaaaa!!!" Satan meningkatkan percaya dirinya untuk maju duluan. Ia berlari sambil menebas-nebaskan pedangnya. Namun dengan entengnya Ghoul mengelak, merunduk, menjauh. Santai malah.
Rasa percaya diri Satan menipis, apalagi serangannya tak ada yang kena-kena. Satan sudah salah memilih lawan karena ia tak tahu Ghoul menguasai sistem pernapasan tupai yang dapat menghindar dengan lincahnya. Karena kurang olahraga, Satan jadi capek sendiri sementara tenaga Ghoul masih tersedia banyak untuk menggulingkannya.
Tep. Memanfaatkan cela tersebut, Ghoul menangkap pergelangan tangan Satan yang memegang katana kemudian kakinya menjungkal belakang betis Satan hingga terjengkang.
Ghoul melempar katana Satan jauh-jauh kemudian berlutut di atas tubuhnya dan tangan sebelahnya sudah mulai bergerak beringas mencabut name taq di dada seragam Satan. Satan tentu saja tak ingin kecolongan. Ia menggigit tangan Ghoul dan bergegas menjauh darinya.
Ghoul menegakkan tubuhnya kembali sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Wajahnya tetap santai. "Aow," ia mengucapkannya tanpa ekspresi kesakitan sedikit pun. Ia hanya mengucapkannya untuk mengejek kemampuan Satan.
Satan menggertakkan giginya kemudian berlari memasuki gedung sekolah. Ghoul meregangkan kedua telapak tangannya kemudian berlari mengejar Satan. Mereka berkejar-kejaran di koridor yang sepi. Ghoul masih dapat melihat punggung Satan dan tak pernah tertinggal sedikit pun meski tak menggunakan bantuan cara bernapas kuda agar bisa berlari cepat.
Namun ia salah begitu ia mengejar Satan hingga masuk ke perpustakaan. Sepi. Ghoul celingukan mencari-cari, namun suara napasnya saja tak ada.
"Ke mana ia? Sepertinya aku sudah terlalu meremehkannya. Cepat sekali ia menghilangnya," gerutu Ghoul. Ia memutuskan untuk masuk lebih dalam lagi karena perpustakaan itu cukup luas. Ia mencari-cari ke setiap sudut ruangan. Tak ada!
Wajah Ghoul menegang. Ruangan itu memang remang-remang karena masih ada cahaya rembulan yang meneranginya. Tapi Ghoul masih dapat melihat jelas meski cahaya minim.
Ia tak menduga Satan bersembunyi di salah satu rak buku paling bawah karena rak itu kosong. Satan menunggu Ghoul melintas kemudian keluar diam-diam dari arah yang berlawanan dan berusaha agar tak bersuara sedikit pun, termasuk bernapas.
"Mati kau!!!" Sekuat tenaga, Satan mengerahkan kekuatan maksimal untuk mendorong rak buku besar tempatnya bersembunyi tadi ke arah Ghoul.
Ghoul terbelalak begitu rak buku di hadapannya tumbang menimpanya. Refleks saja ia menahan rak buku itu meski harus dikeroyok oleh buku-buku yang jatuh menimpanya. Mana buku-bukunya tebal-tebal lagi!
Ghoul berhasil menahan rak buku berat itu dengan kedua lengannya. Sebagian buku-buku di atas rak itu berjatuhan. Hidung Ghoul mengeluarkan darah karena wajahnya tertimpa buku-buku tadi.
Breg. Sebuah buku tebal mengenai tubuhnya dari sisi samping. Tak hanya sekali, tapi beberapa kali ia diserang oleh lemparan itu. Sisi perut dan kepalanya kena. Meski terkena beberapa buku sekaligus, namun Ghoul berusaha agar pijakan kakinya tak goyah.
Ghoul menelengkan wajah ke samping dan melihat Satan mengangkat beberapa buku sekaligus dengan kedua tangan di atas kepalanya kemudian kembali melemparinya. Kali ini lengannya yang menahan beban kena. Pertahanannya menurun. Satu kakinya sudah bersimpuh sementara kaki yang satunya mencoba untuk kembali tegak meski gemetaran.
Ghoul tak bisa mengeluarkan jurus bernapas gorilanya karena napasnya jadi berantakan menahan beban. Ia dalam keadaan terkunci sekarang!
"Maaf ya, Ghoul! Tapi hanya satu orang saja yang bisa memakai nama itu dan aku memakainya lebih lama daripada kamu. Jadi bisa kah untuk kali ini kau mengalah saja?" kata Satan sambil ngos-ngosan.
Ghoul mendelikinya. "Jadi kau mau membunuhku dengan cara seperti ini?"
"Matilah dengan nama 'Ghoul'. Nama itu lebih cocok untuk monster sepertimu," timpal Satan sambil duduk di atas tumpukan buku. "Aku memang sudah tak memakai nama aslimu, tapi… aku sudah terlanjur dikenal oleh sebagian orang dengan nama itu. Dan dunia mencatat akulah pemilik nama itu, ya meski itu nama curian. Kalau ada dua orang mengakui nama itu, maka… salah satu dari kita harus mati!"
"Tapi aku harus bangun dengan membawa nama asliku!" pekik Ghoul sambil menatap name taq Satan dalam-dalam. Ia tampak begitu merindukan nama itu. "Aku akan dihukum mati dengan nama itu. Aku harus bangun dari komaku dan menyampaikan keinginanku itu pada pihak berwajib nanti. Aku tak boleh mati di sini!"
"Wah-wah-wah! Itu sih deritamu," gumam Satan santai sambil melangkah mendekati Ghoul yang setengah mati dengan bebannya. "Apa kau bisa melakukannya dengan keadaan seperti ini?" Ia melangkah ke belakang Ghoul.
Ghoul menoleh, namun tentu saja ia tak bisa melihat apa yang ingin dilakukan Satan di belakang sana.
"Padahal ini kartu AS-ku! Bagaimana kau bisa keluar dari jebakanku ini?" Satan sudah berdiri di belakang Ghoul. "Melihatku mau ngapain saja di belakang sini kau tak berdaya. Bagaimana caramu membela diri lagi?"
Satan tentu saja tak sebodoh itu menyerang Ghoul dari belakang. Bisa-bisa mereka berdua mati tertimpa rak buku sekaligus. Namun ia melangkah ke sisi rak buku lainnya kemudian bersandar penuh ke rak itu dengan tubuh yang dihempaskan.
Ghoul menggeram. Kedua lengannya melorot hingga mau tak mau Ghoul menggunakan bahunya juga untuk menahan beban rak buku. Satan berniat menambah bebannya!
"Ayolah! Buatlah pekerjaanku jadi lebih mudah. Apalah arti sebuah nama. Meskipun kau mati dengan nama aslimu sekali pun, kau akan tetap dikenang sebagai penjahat," ujar Satan menyebalkan.
Sorot mata Ghoul berubah mendung.
"Bikin malu-malu ibumu saja! Ibumu sudah capek-capek memberimu nama yang bagus dengan mengerahkan seluruh ide dan kreativitasnya, tapi kau malah mengotorinya dengan darah para korbanmu. Aku yakin ibumu ingin kau menanggalkan nama itu. Ia pasti tak merestuimu mati dengan nama pemberiannya setelah kau membantai banyak orang tak berdosa."
Air mata Ghoul malah menetes mendengarnya.
"Mau mati saja kok repot banget? Kalau mau mati, pakai nama 'Ghoul' saja kan beres!"
"Kau bisa mencobanya!" Ghoul mengeluarkan tenaga seadanya untuk berseru.
"Ng?" Satan mengernyitkan kening.
"Satan, sebenarnya kau tak bisa membunuhku dengan cara seperti ini. Kalau pun aku tertimpa rak buku ini, aku masih bisa bertahan hidup dan aku akan membalasmu sebiadab mungkin. Aku yakin kau tak berani membayangkannya. Kau mau mencobanya sekarang?"
Satan malah mencari kebenarannya dengan berselancar di internet melalui ponselnya.
"Satan, kau tak akan menemukan cara membunuhku di internet dari duniamu. Ruh Lucifer bersemayam di tubuhku. Kalau kau mau tahu cara yang benar membunuhku, kau bisa buka satu per satu buku di rak buku ini. Ini rak buku sejarah dan semua sejarah tentang kota ini lengkap di rak ini."
Satan tertawa-tawa. "Ghoul, kaupikir aku ini bego? Kau menyuruhku mencari cara membunuhmu di antara buku-buku sebanyak ini?"
"Coba saja cari buku sejarah Lucifer. Oh ya, kau juga bisa membebaskan Urami dengan bantuan buku itu. Soalnya… soalnya Urami sekarang—"
Ekspresi wajah Satan menegang. Ia kemudian berlari menghadap Ghoul. "Apa yang kaulakukan pada pacarku?!"
"Kasihan gadis itu sekarang! Masa depannya terancam dan demi dirimu, ia rela menyerahkan dirinya pada Lucifer. Hanya kau yang bisa menolongnya. Aku juga tak bisa membantu banyak karena itu deritamu."
"Bagaimana aku bisa memercayaimu?"
"Apa kau merasakan ada yang tak beres dengannya? Misalnya ponselnya tak diangkat-angkat? Atau ia tak memberimu kabar? Kurasa kau tak punya pilihan lain lagi selain percaya padaku."
"Ck!" Satan terpengaruh tipu muslihat Ghoul dan mengangkat semua buku di rak itu sedikit demi sedikit ke tempat yang lebih terang agar bisa melacak buku yang dimaksud Ghoul. Ia tak bisa mengeceknya di tempat karena gelap dan senter ponselnya tak bisa membantu banyak. Ia sadar ia juga sudah membantu meringankan beban Ghoul, tapi ia tak punya pilihan lain untuk itu.
"Hosh-hosh!" Ghoul akhirnya berhasil membenarkan posisi rak buku yang sudah kosong itu. Ia lalu melangkah mendekati Satan yang sibuk mencari-cari buku yang dimaksud. "Kau butuh bantuanku? Gadis itu rupanya sangat berarti bagimu, ya? Hm, sama berartinya dengan nama asliku itu bagiku!"
Satan segera siaga. Spontan saja ia menjauhi Ghoul sambil melirik-lirik tumpukan buku yang dibawanya tadi. Ia bingung harus mengutamakan yang mana.
"Mendengar pacarmu dalam bahaya saja, tingkat kewaspadaan otakmu langsung menurun drastis. Kepanikan membuat intelegensimu disedot habis. Urami memang beruntung memiliki pacar perhatian seperti kamu."
Satan mengepalkan tangannya. "Kau menipuku?"
"Tidak! Ia memang dalam bahaya." Kemudian Ghoul melanjutkannya dalam hati, "Tadinya…"
Satan yang tak mau memercayainya lagi, melemparinya buku yang dipegangnya. Ghoul menelengkan wajah agar mukanya tak kena. Dengan gerakan mendadak, ia memperpendek jaraknya dengan tangan yang berusaha mencopot name taq-nya lagi.
Satan berusaha mengayunkan tinjunya ke wajah Ghoul. Namun tinjunya mendarat di udara kosong karena Ghoul merunduk. Meski tahu itu percuma, ia tetap mengayunkan tinjunya. Terakhir, Ghoul menangkap kepalan tinju Satan kemudian meremasnya. Krek.
"Argh!"
Ghoul kembali memanfaatkan cela itu untuk berusaha mencengkram kerah bajunya. Ghoul buru-buru mencopot name taq Satan. Namun Satan berusaha menghindar dengan menjauhkan tubuhnya meski telat. Tak disangka, usahanya cukup berhasil. Name taq di seragam Satan hanya sobek sedikit. Setengah jahitan yang memasang name taq itu terlepas.
Satan buru-buru melarikan diri lagi sambil memikirkan bagaimana cara membunuh Ghoul. Tak mungkin kan ia mengecek buku-buku yang direkomendasikan oleh Ghoul tadi. Ia yakin Ghoul pasti menipunya!
"Ia sama merepotkannya seperti Kai! Apakah metode untuk membunuhnya juga sama?" gerutu Satan sambil berlari. "Tidak! Yang ini lebih berbahaya."
Derap lari mereka berseru-seru di sepanjang koridor. Ghoul tak ingin meremehkan lawannya lagi. Larinya tak main-main lagi—yang tentu saja jauh lebih kencang daripada Satan. Tak membutuhkan waktu lama, tangannya sudah mencengkram kerah baju Satan dari belakang. Satan jatuh terduduk.
"Sedikit lagi! Ayolah, ini tak akan lama. Jangan seperti anak kecil yang mau disunat," ujar Ghoul santai sambil berpindah ke hadapannya.
Satan masih tak kehabisan akal. Ia menyalakan senter ponselnya kemudian mengarahkannya ke mata Ghoul.
"Ck!" Ghoul menelengkan wajahnya sejenak. Sambil melawan silaunya dengan tangannya, ia kembali meluruskan pandangan dan merebut ponsel itu dari Satan kemudian membantingnya hingga membentur tembok. Hancur!
Meski sedih ponselnya hancur, Satan memanfaatkan cela itu dengan menghantamkan pot kecil di dekatnya ke kepala Ghoul. Prak! Ghoul tak mewaspadai serangan itu. Spontan saja cengkramannya terlepas dan Satan pun melarikan diri. Namun sebelum ia jauh, Ghoul langsung menghimpit tubuh Satan dengan menabraknya ke arah jendela.
Prang! Saking kerasnya benturan itu, kacanya pun pecah dan keduanya jatuh berguling-guling di sekitar kebun belakang sekolah. Hening. Keduanya mengumpulkan tenaga masing-masing sambil berusaha bangkit.
Tubuh Satan yang lecet sana-sini berusaha berdiri meski sedikit-sedikit ia terjatuh. Sementara Ghoul yang pelipisnya mengeluarkan darah segar—dengan mudahnya mengembalikan kembali keseimbangannya—melangkah tenang di atas pecahan kaca. Ia tak memedulikan jejak darah yang ditinggalkannya di atas salju. Fokusnya hanya tertuju pada Satan.
Satan yang jatuh dekat jurang berusaha untuk tetap tegak begitu melihat Ghoul mendekat. Melihat kondisi itu, Ghoul mengerahkan segenap energinya untuk membakar sekeliling Satan. Dengan api di kakinya, ia mengendalikan api itu agar menjalar melingkar mengepung Satan.
Satan terperangkap! Di belakangnya ada jurang, sementara di sekitarnya api mengepung dengan ketinggian hampir 2 meter. Namun ia masih belum putus asa. Ia memainkan kuda-kudanya lagi.
Ghoul memutuskan untuk meladeninya sekali lagi meski sudah lelah setengah mati. Satan mengayunkan tinjunya berkali-kali meski selalu gagal mengenai sasaran. Giliran Ghoul yang membalas, ia dengan cepatnya menyikut wajah Satan hingga hidungnya berlumuran darah.
Satan terhuyung-huyung mundur, namun segera mempertahankan pijakannya begitu sadar di belakangnya ada jurang. Ghoul kembali mendekat kemudian menekuk lututnya dan menghantamkannya ke perut Satan. Satan jatuh berlutut sambil memegangi perutnya. Gemetaran, ia mendongak. Tangan Ghoul dengan cepatnya bergerak ke name taq di seragam Satan.
Satan masih tak mau kalah. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia menebaskan kakinya ke kaki Ghoul. Ghoul yang sudah kepayahan pula setelah bertarung daritadi, terjungkal dengan mudahnya. Ia terlentang dengan salju yang segera menyerbu wajahnya.
Sekarang yang terdengar di bawah salju itu hanya suara napas berat mereka berdua. Secara perlahan, salju yang turun semakin menipis.
Satan terkekeh. "Ghoul, kau begitu menginginkan namamu bukan?"
Ghoul berusaha memiringkan tubuhnya yang semakin lemas. Ia melihat Satan berusaha berdiri sambil memegangi perutnya. Ia pun tak mau kalah melakukan hal yang sama.
"Hanya saja sayangnya, aku sudah merusak namamu ini, Ghoul!"
Ghoul yang sudah berdiri tegak meski terhuyung-huyung terperangah.
Satan yang berusaha santai tersenyum licik. "Kamu tahu, tidak? Aku punya akun media sosial atas nama aslimu. Akun itu aku gunakan untuk menipu para pembeliku. Aku menjual ponsel pintar di akun itu. Mereka bayar, tapi aku menghilang hingga kiriman mereka tak sampai-sampai. Uangnya mau aku gunakan untuk bercinta dengan Urami di Love Hotel, sih. Biaya hotel di Jepang tak murah. Aku butuh banyak uang demi menyenangkannya. Akun itu tanpa foto sih, jadi sebagai pemilik nama, sepertinya kau harus berurusan dengan polisi Jepang juga."
Ghoul mengepalkan kedua tangannya. Sementara itu, Satan malah melangkah mundur!
"Bagaimana? Apa kau masih menginginkan nama aslimu?"
Ghoul menggigit bibir. "Kau…!"
"Meski pun kau menang sekali pun, kau masih harus bekerja keras membersihkan nama aslimu. Kalau tidak, namamu akan jelek dua kali. Sementara aku…" Satan terus melangkah mundur meski terseok-seok.
Ghoul jadi auto fokus karena Satan mundur terus. Ia jadi mengenyampingkan masalahnya sejenak. "Kau mau apa?"
Satan berhenti tepat di mulut jurang. "Aku sudah tak bisa ke mana-mana lagi. Seperti dalam permainan kartu, aku tak bisa menggerakkan kartuku lagi. Apa kau pernah dengar apa itu 'Harakiri'?"
Ghoul terperangah syok begitu tanpa pikir panjang lagi, Satan merentangkan tangannya kemudian… menjatuhkan tubuhnya ke jurang!
***
Kriet…
Sebuah langkah kaki tampak mengendap-endap memasuki kamar di mana Ghoul yang tengah koma dirawat. Tubuh tak berdaya itu bernapas dengan bantuan tabung oksigen. Selang infus dari berbagai kepentingan pun turut membantu kehidupannya. Di salah satu tangannya tampak terborgol dengan pengaman ranjang.
"Tiap tahun, diperkirakan ada 130 orang meninggal karena jatuh dari ranjang," gumam orang itu.
Kebetulan di kamar itu sedang tak ada penjaganya hingga orang misterius tersebut berkesempatan untuk masuk. Ia kemudian melangkah perlahan mendekati Ghoul dengan sebuah pisau yang hadir di genggamannya!
"Tapi tidak denganmu!"
***
Satan menegakkan wajahnya ke atas. Tubuhnya tertahan berkat gerakan kilat Ghoul yang kini tengah menarik bagian depan bajunya. Ia bergelantungan berkat Ghoul yang sampai harus tertelungkup untuk menolongnya!
Satan memasang senyum kecutnya. "Bukankah ini yang kauinginkan? Ambil namamu dan rayakanlah kemenanganmu!"
"Aku tak mau menang dengan cara begini!" Ghoul langsung sambar meresponnya. "Di negeriku, ini dosa besar yang tak termaafkan! Kau bisa dibakar di neraka!"
"Jangan samakan aku dengan budayamu. Bagi kami, ini adalah cara yang agung daripada terus hidup dan menanggung malu akan kekalahan. Inilah surga bagi kami. Kami sudah biasa menebus kekalahan kami dengan harga mahal seperti ini dan kau tak akan bisa mengerti betapa terhormatnya cara ini."
Ghoul menggelengkan kepala. "Tapi kau masih bisa berusaha! Terus bagaimana dengan kampung halamanmu? Bagaimana dengan mereka yang tak bersalah?"
Satan menelengkan wajahnya. "Kau benar-benar aneh! Diberi kemenangan, malah ditolak." Ia lalu menegakkan wajahnya lagi. "Aku memang tak mengerti jalan pikiranmu. Tapi aku masuk ke alam ini tanpa tujuan apa-apa. Itulah yang membuatku malu. Aku juga tak bisa memperjuangkan nasib kampungku. Aku sudah tak punya muka berada di tengah-tengah mereka lagi. Jadi kau mau apa? Sekarang lepas!"
Hening. Satan kemudian menarik jari-jemari Ghoul agar terbuka. Ghoul yang sudah keram di lengannya, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia memejamkan mata begitu lengannya tak merasakan beban apa-apa lagi.
Mungkin ia memang tak boleh lagi mencampuri keputusan Satan yang ingin mengakhiri hidupnya. Dengan berat hati, ia harus menerima keputusan lawannya itu.
Ghoul menegakkan tubuhnya. Keningnya mengernyit begitu merasa ada sesuatu di telapak tangannya yang menarik baju Satan tadi. Ia membuka tangannya dan tersenyum sendu melihat benda di tangannya itu.
"Ash Aegisa," desisnya. Rupanya tadi tanpa sengaja tangannya menarik bagian dada baju di mana name taq itu berada. Air matanya menetes karena hanya berhasil menyelamatkan name taq yang terlepas itu.
Ghoul menghela air matanya. Perasaannya bercampur aduk. Entah mau gembira atau sedih. Ia sadar perjuangannya belum selesai. Ia harus membawa nama itu hingga pulih dari komanya. Ia harus mengenakannya hidup-hidup!
Namun, seseorang di dunia nyata sana mengancam impiannya. Orang itu mulai menegakkan pisaunya ke bawah dan menghunus tubuh Ghoul dari atas.
"Matilah kau, Ghoul!!!"
(Mati atau tidaknya Ghoul, ada di tangan pembaca!!!)
· Durasi: 2 jam tanpa sensor dan iklan.
· Tempo bermimpi: 18 Agustus – 3 September 2016
>Cerita sebelumnya : [ROUND 1 - 2B] 23 - GHOUL | NAMAE NO NAI KAIBUTSU 2
>Cerita selanjutnya : -
Menolehi, mendeliki... Saya ga tau ini baku atau ngga, tapi kayaknya baru nemu aja kata diimbuhin kayak gini
BalasHapusJe'dah ini maksudnya jeda?
Name taq >> name tag
Copi paste >> copy paste
Kayak biasanya, dialog" di entri ini sering berasa heboh sendiri, tapi ngasih kesan komedik pas baca alih" serius. Soal sfx, kayaknya ga perlu dikomentarin lagi. Saya malah lebih bingung kenapa mesti ada peringatan bahasa Jepang diterjemahin ke bahasa Indo, sementara semua reverier juga asalnya kan emang beda" tapi dibikin bisa bicara satu bahasa aja
"Ia harus cepat mempelajarinya sebelum terlambat, terutama teknik bernapas gadis itu saat menggunakan jurus itu. Namun ia harus mengatur jarak agar napasnya bisa mengambil napas gadis itu. Tentu saja sulit untuk mendekat di tengah gempuran semacam itu."
^kebanyakan 'itu', jadi redundan bacanya
Saya ga nangkep anak kecil yang sembunyi sama Sunny yang berapa kali diselipin di tengah cerita itu relevansinya apa ke cerita ini sendiri, kok kayaknya ga gitu penting
Saya sempet ngira Ghoul bener" dikuras ngelawan Urami doang karena panjang banget, meski ternyata sempet juga lawan Satan. Pas Satan bilang make nama Ghoul buat scam di internet, saya malah bingung lagi : peduli apa Ghoul sama internet di dunia Satan kalo mereka beda dunia? Atau menurut canon Ghoul dunia mereka masih satu universe? Terus saya baru keinget Satan dapet nama ini dari perempuan di awal cerita, apa itu ibunya Ghoul? Kenapa mereka bisa ketemu? Terus Kagome" di awal itu siapa yang main? Satan?
Yah, pertanyaan" ini remeh sebenernya, tapi saya ga bisa ga kepikiran kalo ini ganjil aja pas baca
hm entahlah tuh baku ato kagak... aku asal spontan aja nulisnya :=(D
Hapushehe, tulisan bakunya: JEDA, NAME TAG
oh,,, gak perhatiin hehe...
itu-nya spontan aja, buru2 sih...
tuh mimpi buruknya, anak kecilnya figuran doang. mimpi buruk dari sisi Satan, kan mimpi buruk dari negeri Ghoul yang alami si Sunny...
hanya urami yang jago n kekuatannya sebanding ama Ghoul sih. dunia masih 1 universe, kabut asap ada di bumi juga di bimasakti meski ga ada di map google... tuh mamanya Ghoul, ketemu ama ghoul waktu ghoul kabur dari penjara n dicabik2 ama anjing2 pemburu hadiah meski masi idup di fbc... kagome2 di awal tuh yang main satan, jadi karna namanya dilecehkan dy pinjem nama ash aegisa--nama asli Ghoul...
:=(D
Entri pemenang tunggal lagi :0
BalasHapustapi saya tetap berusaha komen.
Hmm, jujur, setelah baca semua entri yang berhubungan dengan Ghoul. Saya dapetnya kesan "heboh" banget, tapi malah menggelitik dibanding serius. Saya nggak tahu ini kesengajaan atau bukan. Kalau boleh jujur (lagi), saya serasa baca sebuah fanfic Harry Potter legendaris: My Immortal, tapi dengan penjabaran yang lebih banyak di tiap paragraf.
Dan plotnya jujur jadi mbingungin, meski saya bisa nangkep kejadian yang ada di plot ini. Cuma relevansi ke Ghoul sendiri apa? Alangkah baiknya misteri-misteri plot kayak gini jangan ditambah bingungnya, karena jujur saya udah agak nggak fokus kalau ngikutin plotnya Ghoul. Jadi mau dibawa kemana gitu :s
Cukup menghibur juga sih battle dan adegan si Sunny, meski anehnya Sunny figurannya kerasa banget www
Segitu aja kayaknya komen saya.
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
:=(D iya nih...
Hapushm, mungkin gini kalo komedian nulis kisah action serius. ga sengaja sih kalo lucu, spontan saja...
belum perna baca...
misteri plotnya dah terkuak, kan dah dapat nama aslinya. dy tinggal bangun sambil bawa nama aslinya sebelum mati beneren. kalo mati dalam komanya misalnya mau ditusuk ama sunny saat koma, kan dy dikubur pake nama ghoul. n dy ga suka nama itu...
sunny sub oc sih :=(D tapi peranannya sangat penting karna kehadirannya mengancam bangunnya ghoul...
:=(D
siapakah yang mau membunuh Ghoul saat koma?
BalasHapusa. shui,
b.sunny,
c. mahesa...
berhasil ato kagak?
a. berhasil dan mati,
b. berhasil tapi masih hidup,
c. tidak berhasil.
lagu kagome2 dipopulerkan oleh siapa?
a. hatsunem miku feat luka
b. egoist.
c. saya kali?
Sekedar mampir untuk beri komen, karena Ghoul maju lanjut krn lawan WO, tapi saya sudah telanjur baca beberapa bulan lalu.
BalasHapusSeperti biasa, situasi yang dubangun seperti komedi, tapi Ghoul sendiri nggak jadi sentral di sini, alih2, authorlah yang terkesan heboh sendiri dengan menggunakan POV 3.Jadi, meskipun jati diri Ghoul mulai terkuak, saya maaih agak bingung, alur yang dibangun arahnya bagaimana. Sekilas saya lihat mungkin ada flashback dengan adanya Sunny, tapi kok ternyata nggak terlaku jelas kenapa dia muncul
Kalaj dibanding Hannibal atau entry-nya mas Dee (Odin) waktu dia masih nulis gore, entry ini masih toleran banget kok sadisnya.
Paling kasih PR aja buat author, di babak selanjutnya sebaiknya mulai narik garis pemisah antara sudut pandang sendiri dengan POV3 para tokohnya, karena menurutku itu semua bikin cerita jadi nggak utuh, kurang solid, gitu. Soalnya, harus beda dong antara kita nulis tentang kita sendiri (otibiografi), kita menulis sudut pandang kita dalam cerita (seperti entry Iris) dan dengan kita bener2 menulis kisah para tokoh (well kayak cara nulisnya King, Asher, dan aku juga, hehehe)
Anyway pokoknya harus ada perkembangan lah.
Regards
Rakai A
OC Shade.
Sori banyak typo. Hapeku murah soalnya
Hapussyukron, Shade dah mampir... duh komedi ya? padahal ga bermaksud ke komedi, spontan nulisnya ngelucu mungkin karna jariku keriting.
BalasHapussunny nongol karna sebenarnya dy yang mo bunuh ghoul di endingnya...
mas glen saranin nonton hanibal... hm belum baca mua gorenya odin, baru yang di buku midnight story...
syukron sarannya :=(D
baru nyadar kalo ini entry tunggal :v
BalasHapusidentitas asli ghoul mulai terkuak tapi dengan cara yang agak aneh. dan juga ada kejadian yang agak tidak saling terhubung. katanya Lucifer yang bunuh anak kecil karena nggak mau disebut setan, tapi kok satan ngambil nama asli ghoul karena nggak mau dipanggil setan. jadi agak aneh bacanya.
sekian,
Dual Dagger Dancer
yang bantai anak kecil di awal waktu main kagome2 itu satan waktu kecil bukan lucifer. sulit menghubungkan cus rencananya mau bikin mimpi buruknya, jadi rada ga nyambung ama cerita utamanya.
BalasHapus:=(D sori ga sempet mampir ke lapak nano, baru baca sebagian...