Selasa, 20 September 2016

[ROUND 2] 10 - NANO REINFIELD | PROTECT FROM NIGHTMARE

FA VS NANO REINFIELD

oleh : Dwi Hendra

--


0 – Prologue


Tiga puluh dua.


Tiga puluh dua orang berkumpul di suatu tempat lain, namun bukan Museum Semesta. Yang terlihat hanyalah ratusan gunung yang menjulang tinggi menembus awan. Dimana pusat tempat itu merupakan gunung tertinggi dengan kuil megah berada di puncaknya. Kemegahan itu mengalahkan gereja manapun di Kota Amor. Di sana terdapat banyak patung-patung menawan berbentuk sosok dewa dan dewi. Mirabelle menjelaskan tempat ini adalah bingkai mimpi miliknya dan patung-patung itu adalah para dewa dan dewi yang dijadikan patung oleh [Sang Kehendak].


Semua terheran-heran karena beberapa reverier yang mereka lawan ada di tengah-tengah mereka. Termasuk aku yang terheran melihat gadis berambut bob hitam dengan senyum ramahnya, yang mungkin tidak bisa kulupakan. Aku seketika teringat dengan Mirabelle yang–dengan seijin [Sang Kehendak]–bisa mengembalikan jiwa reverier walaupun tubuh mereka hancur beberapa kali.


Kali ini aku berdiri di barisan belakang. Karena aku tak ingin lama-lama melihat wajah menyebalkan Zainurma itu. Bisa-bisanya dia tersenyum sementara kami harus berjuang mati-matian hanya untuk–setidaknya–terhindar dari kekalahan dan menjadi guci buruk rupa. Mengingat guci buruk rupa, hatiku bertanya-tanya kemana reverier yang lain. Aku mengingat ada 61 reverier–termasuk aku–berkumpul di Museum Semesta. Sekarang separuh dari kami yang tersisa.


Semua menoleh ketika seorang reverier berbentuk naga mengangkat tangannya. Zainurma mempersilahkan naga itu menanyakan sesuatu. Setelah naga itu selesai berujar, sang kurator seperti menantang para reverier untuk pergi ke Museum Semesta. Seketika naga itu terdiam seperti salah mengucapkan sesuatu ke Zainurma.


Rasakan kau, Naga Tua Bangka!, tawaku dalam hati.

Namun ada benarnya juga si Naga Tua itu. Aku juga penasaran apa yang terjadi dengan reverier lain. Merinding rasanya bila mengingat lima orang yang berubah menjadi guci di depan mataku sendiri. Aku bertaruh semua reverier yang berkumpul di tempat ini tidak akan mau kembali ke tempat mengerikan yang disebut Museum Semesta.


Melihat ekspresi dari para reverier, dengan santainya Zainurma memainkan emosi para reverier. Sungguh ingin rasanya aku menghajar wajah orang itu. Tapi apa daya, kemampuan abstraksi miliknya membuat ia tidak terluka sedikitpun. Seperti menghajar angin, aku yang akhirnya kelelahan saat pertama kali bertemu dengannya.


Si Kurator itu berdiri di mimbar dengan santainya. "Sebenarnya alasanku memanggil kalian ke sini untuk memperlihatkan ini kepada kalian," katanya kemudian menjentikkan jarinya.


Sebuah layar sepanjang 10 meter dengan tinggi 3 meter melayang membentuk layar sinema. Dari layar tersebut muncul adegan seperti film, namun terlihat seperti film horror. Film itu menanyangkan beberapa semesta yang berpindah ke alam mimpi dan direnggut oleh Museum Semesta. Suara jeritan memilukan membuat para reverier merinding, bahkan beberapa diantaranya tidak bisa menahan air matanya.


"Kalau kalian kalah di turnamen ini, nasib semesta kalian akan jadi seperti itu." Dengan santai Zainurma menjelaskan.


Seorang diantara kami geram dengan penjelasan Zainurma yang terkesan sangat santai. Bagaimana mungkin jika salah satu diantara kami yang kalah, Semesta kami akan hancur direnggut Museum Semesta. Ini seperti Do or Die yang mengharuskan seseorang untuk berbuat sesuatu dengan terpaksa. Entah kenapa aku seperti menyesal "mengikuti" turnamen yang menggelikan ini.


Mirabelle berusaha memberi penjelasan untuk menenangkan para reverier, bahkan memberi harapan walaupun itu belum tentu meredam amarah kami. Sang Dewi seperti tak berdaya meredakan amarah kami setelah melihat apa yang ada di layar itu.


Si Kurator menghela napas dan berkata dengan nada terpaksa, "Kuberi sedikit petunjuk untuk kalian. Alam mimpi ini memiliki potensi untuk membangkitkan inspirasi tertinggi setiap pemimpi. Inspirasi adalah kekuatan, tapi tentu saja hal itu tidak mudah untuk diraih. Kalian paham?"


"Jadi maksud Anda apa yang kami lakukan ini bukan tanpa tujuan?" tanya seorang pemuda di antara kami.


"Itu saja yang bisa kuberi tahu untuk sekarang," balas Zainurma. "Intinya teruslah bertarung dan jadilah lebih kuat."


Berakhir begitu saja? Keterlaluan si Zainurma itu! Terlalu banyak rahasia yang ada pada dirinya. Entah skenario apa yang akan kami hadapi nanti. Akhirnya kami hanya bisa pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.


Si Kepala Bantal muncul dari balik atap kuil. Tidak mengherankan untukku saat ini. Yang kuherankan setelah dia memerintahkan domba-domba yang ia berikan kepada kami mulai menyeret kami satu per satu. Aku tak bisa berbuat banyak ketika Putih tiba-tiba datang dan menggigit pakaianku. Ratu Huban seketika melompat dan mengusap kepala Putih.


"Putih, tunggu sebentar ya?" pinta Ratu Huban kepada Putih.


Domba yang kuberi nama Putih itu menuruti permintaan Ratu Huban dan melepaskan tubuhku yang diseret.


"Bisakah kau menyuruh dombamu lebih lembut lagi?" keluhku sambil membersihkan debu yang menempel di pakaianku. "Aku hampir saja mati terseret."


"Ah maaf soal itu," Ratu Huban dengan santainya menanggapi keluhanku. "Aku hanya ingin bilang selamat berjuang. Dan hati-hati jika suatu saat kau bertemu dengan domba hitam."


"Domba hitam? Apa kau juga memiliki domba hitam?" tanyaku kebingungan.


Ratu Huban seperti berpikir sejenak, namun kemudian malah menari-nari berputar tidak karuan.


"Hei, aku serius!" Aku mulai kesal dengan tingkah laku Ratu Huban.


"Ngh?" Ratu Huban akhirnya mendapatkan perhatianku. "Oh iya. Aku tidak punya domba hitam. Lihat aku hanya punya domba putih."


"Lalu kenapa aku harus berhati-hati dengan domba hitam?"


Aku tidak habis pikir dengan makhluk bantal berwarna ungu ini. Bisa-bisanya ia tidak menanggapi pembicaraanku yang serius ini. Makhluk itu memutar tongkatnya dan tercipta kembang api dari ujungnya, sungguh tidak aneh bagiku sekarang.


"Domba itu milik Oneiros. Dia juga makhluk mimpi sama sepertiku," Ratu Huban mengusap kepala Putih lagi. "Kau harus berhati-hati dengan domba hitamnya karena domba itu bisa memakan mimpi dan impianmu."


***


Sekali lagi, aku kembali ke Kota Odojilak–Bingkai Mimpiku. Sekarang aku harus berjuang agar tempat tinggalku tidak menjadi properti [Sang Kehendak] dan bagian dari alam mimpi ini. Ingin rasanya aku memiliki kekuatan yang maha dahsyat untuk mengalahkan [Sang Kehendak]. Tapi aku juga teringat dengan Mirabelle dan kisahnya yang membuatnya harus terperangkap di alam mimpi.


Aku mengedarkan pandangan ke seluruh sudut penginapan. Tidak ada yang berubah terlalu banyak. Hanya ada sudut yang berubah dan menarik perhatianku. Benar yang dikatakan Zainurma. Lukisan, foto, dan sebuah patung terpampang rapi di sudut kamar penginapan. Ada dua lukisan yang satu aku melihatnya di Museum Semesta dan lainnya tentang diriku dan empat reverier lain menghadapi ujian di Kota Bekasi.


Empat reverier? Seingatku hanya dua reverier yang kutemui, batinku.


Aku melihat kelima foto dengan bingkai menarik. Masing-masing menampilkan reverier dan membentuk lingkaran dengan fotoku berada di tengah. Di masing-masing bingkai terpampang nama-nama reverier. Dan di atas bingkai itu terdapat papan berukir dengan kata "Tim Unholy" di papan itu.


"Venessa Maria, Odin, Anita Mardiani, Weiss Nacht," ucapku melihat nama di bingkai searah jarum jam.


Kuperhatikan foto milik Weiss berbeda dengan yang lain. Seperti tercetak hitam putih. Lalu kulihat sebuah patung setinggi anak berusia 12 tahun di sebelah kanan bingkai-bingkai foto. Dan aku langsung tersadar bahwa patung itu adalah Weiss Nacht.


Ku kembali memandangi kelima bingkai foto itu. Dan perhatianku tertuju pada bingkai foto milik Anita. Aku tersenyum bisa melihat wajah wanita itu, walaupun hanya dari foto. Senyumnya yang ramah selalu terpatri di otakku. Kuusap wajah wanita berambut bob hitam yang ada di foto itu. Namun seketika aku terkejut melihat foto Anita yang lain dengan tentakel yang menyelimuti separuh tubuhnya. Aku teringat dengan tentakel itu. Mirip seperti tentakel monster setinggi 300 meter yang kulawan saat mengikuti ronde pertama.


Apa monster yang kulawan saat itu adalah Anita? Kalau iya, aku akan minta maaf padanya nanti, kataku dalam hati.


Tapi aku sadar, kata "nanti" seperti mustahil di dunia yang tidak menentu ini.


***


Seorang prajurit berlari tergopoh-gopoh menghadap Raja Ronald yang berada di singgasananya. Prajurit itu berlutut memberi hormat kepada Raja yang ada di hadapannya. "Maaf, Baginda. Hamba ingin melaporkan sesuatu," katanya.


"Bagaimana situasinya?" tanya Raja Ronald.


"Setelah Kota Odojilak menghilang, daerah yang menghilang semakin luas, Baginda."


Raut wajah Ronald Reinfield tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Seketika ia berdiri dari kursi singgasananya dan bertanya, "Apa? Daerah mana saja yang menghilang?"


"Kota Minante, Baginda."


Roland tidak tahu harus berbuat apa. Ia tak tahu apa yang terjadi di wilayah kerajaannya saat ini.  Kakek Armes beserta Epturk dan Arnegg datang menghadap Raja Ronald. Epturk dan Arnegg ikut berlutut di samping prajurit yang memberi laporan. Sementara Kakek Armes sedikit membungkuk. Sang Raja memberi isyarat ke prajurit untuk kembali ke tugasnya. Si prajurit berdiri dan meninggalkan ruang itu dengan hormat.


"Kejadian ini sepertinya akan terus terlanjut, Baginda." Kakek Armes mengusap jenggot putih panjangnya.


Roland menoleh ke arah Kakek Armes dan bertanya, "Apa paman tahu apa yang terjadi?"


Kakek Armes berjalan ke jendela besar melihat daerah hitam yang merupakan Kota Odojilak dan Minante. "Hamba tidak tahu pasti, Baginda. Tapi sepertinya kita harus serahkan semuanya kepada Pangeran Nano."


"Ada hubungan apa antara anakku dengan kejadian aneh ini?"


Kakek Armes terdiam dan menghela napas. Entah apa yang dipikirkannya sekarang. Sementara Raja Ronald terdiam dan memikirkan dalam-dalam hubungan antara anaknya dengan kejadian yang baru kali ini ia hadapi.


"Ini bukan salah pangeran, Baginda," Kakek Armes menusap jenggot putih panjangnya lagi. "Ada sesuatu dari dunia lain yang memaksa Pangeran."


"Apa yang bisa kita lakukan untuk saat ini, Paman?"


"Kita hanya bisa berdoa dan persiapkan para prajurit jika sesuatu yang lebih buruk terjadi, Baginda." Kakek mengalihkan pandangannya ke langit dengan awan yang berwarna kelabu kehitaman.


"Baiklah," Ronald Reinfield kembali duduk di kursi singgasananya. "Epturk, Arnegg, pantau terus keadaan saat ini dan cari penyebab hilangnya Kota Odojilak, Minante, dan Venesia."


"Kami laksanakan titah Baginda," kata Epturk dan Arnegg bersamaan.


1 – Oneiros, Penggembala Domba Hitam Berjubah Ungu


Sesosok makhluk ajaib berdiri dan mengedarkan pandangannya ke setiap domba hitam yang ia gembalakan. Makhluk bola mata besar dengan tubuhnya berupa kerangka menggeram sebal dengan apa yang terjadi di alam mimpi saat ini.


"Sungguh, aku tidak menyukai Alam Mimpi yang sekarang."


Tugas utamanya menyeimbangkan alam mimpi dengan memakan mimpi-mimpi agar tercipta impian yang baru. Namun kini, [Sang Kehendak] merenggut impian dengan cepat dan membuat sampah-sampah yang berserakan di alam mimpi. Membuatnya tidak bisa apa-apa selain menggeram sebal.


"Si Huban itu masih sibuk bermain-main dan lupa dengan tugasnya," kata Oneiros sambil memandang domba-domba hitamnya yang sedang makan rerumputan. "Dia malah ingin punya mimpinya sendiri. Sangat aneh untuk ukuran makhluk mimpi."


Domba hitamnya mulai mengembik kelaparan. Oneiros mendekati salah satu domba hitam dan mengusap bulu warna hitam dombanya.


"Kalian lapar ya?"


Domba hitam Oneiros mengembik seolah mengiyakan. Makhluk bola mata itu mengayunkan tongkat anehnya yang digunakan sebagai Dream Catcher untuk mendeteksi sisa-sisa mimpi dari bongkahan semesta untuk makanan domba-dombanya.


"Kali ini kuusir saja semua. Agar alam mimpi bisa seperti sediakala."


Domba-domba milik Oneiros berjalan bersamaan dan bertumpuk bagai awan gelap yang siap membawa badai kehancuran. Dream Catcher milik Oneiros menunjukkan ada sisa impian dibalik sampah-sampah di Alam Mimpi.


"Ayo kita kesana, Domba-dombaku!"


Sesampainya di tempat itu, Oneiros mengayunkan tongkatnya lagi. Memastikan bahwa Dream Catcher miliknya tidak salah mendeteksi sisa impian di sana. Ia juga terkejut mengetahui ada jejak Dream Catcher miliknya yang dulu pernah dicuri.


"Akhirnya aku menemukanmu, Oneironaut. Aku akan mengambil milikku yang kau curi."


Oneiros dan domba-domba hitamnya bergegas memasuki Bingkai Mimpi salah satu reverier.


2 – Nightmare in Anniversary Day


Nano sudah puas melihat koleksi museum semesta yang dipinjamkan oleh Zainurma. Baginya semua itu tidak penting. Yang ia pikirkan sekarang adalah cara meloloskan diri dari turnamen yang membuatnya hampir tidak bisa berpikir dengan jernih. Ia merasa tubuhnya perlu mandi. Ia bergegas melepas pakaian yang ia kenakan lalu pergi ke kamar mandi.


Air hangat mengucur deras dari shower membasahi tubuh atletis Nano. Ia memejamkan mata ketika air hangat itu membasahi tubuh dan rambut merah marunnya. Sekelebat ingatan yang tidak mengenakan mulai berputar di otaknya. Ia menjadi merinding mengingat hal itu. Kematian Dimara, sosok berpakaian serba gelap, saat berada di sebuah daerah asing bernama Little Italy. Hal itu ingin dia lupakan namun semakin ia berusaha melupakannya, semakin ia ingat kejadian itu.


Nano mengulurkan tangannya ke kran dan memutarnya untuk mematikan semprotan air di shower. Saat Nano memejamkan matanya untuk melupakan kejadian itu, kepulan asap muncul memenuhi kamar mandi. Ia terkejut ketika membuka mata dan menemukan asap ada dimana-mana. Ia makin terkejut saat kepulan asap itu bergerak mengikuti gerakan tangannya.


Nano keluar dari penginapannya lewat jendela dan melihat para penduduk berdansa dan musik dimainkan dengan nada gembira. Banyak hiasan dan lampu gantung yang menempel di setiap gedung dan rumah. Ia masih ingat jika hari ini adalah perayaan Hari Jadi Kota Odojilak.


Ia melihat di kejauhan cakrawala dan mengetahui bahwa Bingkai Mimpinya sekarang lebih luas dari sebelumnya. Ia melihat ada satu kota yang jaraknya saling berjauhan. Ia mengetahui kota itu adalah Kota Minante, kota pelabuhan yang pernah ia datangi bersama Dimara.


"Kenapa jadi semakin luas?" tanya Nano pada dirinya sendiri.


Ia duduk di atas atap dan memegangi perutnya. Tak sadar ia belum memasukkan makanan apapun sejak berada di Little Italy. Seketika beberapa roti buah di dalam keranjang sudah ada di samping kanannya. Ia terheran dengan keranjang berisi roti yang tiba-tiba ada di sampingnya.


"Kalian tahu saja kalau aku kelaparan." Nano berkata sambil memandang langit seolah berbicara dengan seseorang di atas sana. Ia memakan beberapa potong roti di keranjang itu. Setelah dirasa kenyang, ia turun dari atap dan mencari dimana adiknya saat ini.


Di saat ia sedang mencari adiknya, satu persatu gadis-gadis yang sedang berdansa menggoda dan mengajak Nano untuk ikut berdansa. Awalnya ia menolak ajakan gadis-gadis itu dan fokus mencari adiknya. Namun lama-lama ia menerima ajakan itu dan mulai menari.


Nano ikut berdansa saat ditawari oleh beberapa gadis. Suasana di tiap sudut kota semakin semarak dengan adanya pawai. Tangannya ditarik oleh seseorang ketika ia sedang menikmati berdansa dengan para gadis.


"Natera, aku mencarimu dari tadi." Nano menghentikan tariannya.


"Tapi sepertinya kakak tidak berniat mencariku." Natera menggerutu kesal. "Apa yang kakak lakukan?"


"Aku hanya berdansa sebentar..."


"Dan melupakan kalau kita ada di dunia yang aneh ini?" potong Natera.


Natera pergi meninggalkan Nano di keramaian itu. Dengan terpaksa Nano meninggalkan para gadis yang mengajaknya berdansa.


"Natera! Tunggu!"


Nano mengejar Natera yang setengah berlari. Natera berhenti dan Nano berdiri di depannya.


"Baiklah. Kakak akan serius mencari jalan keluar untuk kita berdua. Kita akan segera pergi dari dunia aneh ini dan menyelamatkan rumah kita."


Secara tidak sengaja tangan kiri Nano memegang ujung belatinya dan melukai jari tengahnya. Nano yang terkejut melihat jarinya yang terluka dan mengeluarkan belati di sisi kiri tubuhnya dan mengamati belati dengan gagang yang terukir nama "Dimara" itu. Tanpa berpikir panjang ia pergi ke pandai besi untuk memperbaiki belatinya itu.


***


Di sebuah workshop pandai besi, Nano mencoba untuk memperbaiki retakan yang ada di belati yang memiliki ukiran "Dimara" di gagangnya.


"Retakan ini tidak pernah hamba lihat sebelumnya, Pangeran." Pandai besi itu berdiri setelah melihat kerusakan yang ada di belati itu.


"Apa retakan ini bisa diperbaiki?" tanya Nano dengan cemas.


"Akan hamba usahakan, Pangeran. Tapi hamba tidak menjamin belati Pangeran bisa kembali seperti semula," Pandai besi itu melihat belati milik Nano dengan teliti. "Logam pembuat belati ini termasuk langka."


"Baiklah. Kutitipkan belatiku disini." Nano meletakkan salah satu belatinya di atas meja. "Apa kau tahu dimana mendapatkan amunisi untuk senjata ini?"


Tukang Pandai Besi itu melihat dengan seksama revolver yang ada di genggaman Nano. "Hamba tidak tahu pasti, Pangeran. Tapi sepertinya tidak ada amunisi untuk senjata seperti itu di kota ini." Pandai Besi itu mempersiapkan peralatannya. "Seingat hamba amunisi itu ada di kota Minante."


Nano beranjak dari workshop dan menemui adiknya lagi. Kota Odojilak makin semarak dengan jalannya pawai dan pertunjukan sirkus. Saat suasana Kota Odojilak semakin riuh, tiba-tiba gempa berskala kecil berguncang di bawah kaki para penduduk. Tak ayal para penduduk menjadi panik. Kemeriahan berubah menjadi kepanikan massal. Semua berlari mencari tempat yang aman untuk menyelamatkan diri.


Gempa pun berhenti. Semua orang bernapas lega. Namun bencana tak sampai disitu. Awan hitam seketika menyelimuti langit dan angin pun mulai berhembus dengan kencang. Kepanikan semakin menjadi. Semua berusaha menyelamatkan diri dan saling mendorong. Pasukan Kota Odojilak bersiaga mengatur para penduduk untuk mengungsi di bunker. Nano juga ikut membantu para prajurit mengevakuasi penduduk. Seseorang datang menghampirinya dan ia mengetahui seseorang itu adalah Gubernur Roya.


"Apa semuanya sudah dievakuasi, Gubernur Roya?" tanya Nano ketika Gubernur Roya mendekatinya.


"Hampir semua, Pangeran. Anak-anak dan lansia sudah masuk terlebih dahulu."


"Lalu bagaimana dengan persediaan makanan untuk para penduduk?" tanya Nano lagi.


"Masih kami usahakan, Pangeran. Salju yang datang tiba-tiba ini merusak banyak tanaman di kebun maupun ladang. Tapi hamba yakin persediaan makanan mencukupi."


Nano menghela napas lega. Bukan hanya penduduk yang diungsikan, namun Gubernur di kota ini bukan Adneg Ziza seperti yang ia alami saat prelim.


Di saat para penduduk mengantri masuk ke dalam bunker, sesosok makhluk mimpi berkepala bola mata muncul di gerbang kota. Para penduduk semakin panik melihat makhluk mimpi itu. Segera para prajurit menutup pintu gerbang yang besar itu secepat mungkin. Setelah pintu gerbang tertutup, para prajurit menggeser sebongkah kayu panjang menjadi penahan pintu gerbang. Domba-domba hitam mulai menubruk dan merusak gerbang kota yang sudah tertutup. Para prajurit berlari ke menara pengawas dan bersiaga membidik domba hitam yang merusak gerbang kota.


"Tembak!" teriak salah satu komandan prajurit.


Para prajurit menembakkan senjata ke gerombolan domba hitam, namun hasilnya nihil. Domba hitam itu berubah menjadi gumpalan awan hitam dan kembali seperti semula. Mereka terus menembak berharap domba-domba hitam itu bisa dilukai.


"Arrghh.. Domba-domba itu tidak bisa dibasmi!"


Makhluk mimpi bernama Oneiros berjalan ke pintu gerbang yang hampir saja roboh dirusak oleh domba-domba hitamnya. Dengan sekali tendang, Oneiros bisa merobohkan pintu gerbang itu. Domba-domba hitam mulai menyebar dan memakan bangunan yang ada di dekat mereka.


Para prajurit yang tersisa menembaki domba-domba hitam bertubi-tubi. Namun setelah terkena tembakan, tubuh domba itu menjadi gumpalan awan hitam dan berkumpul lagi menjadi seekor domba. Oneiros tak luput dari sasaran tembakan para prajurit. Ia berubah menjadi bola-bola mata berwarna ungu dan berkumpul lagi ke bentuk semula tanpa terkena luka tembak. Dengan santainya Oneiros mengayunkan tongkatnya dan memerintah domba hitamnya untuk menyerang prajurit yang menembakinya.


Butiran salju mulai turun di kota. Semua yang ada di dalam bunker terheran dengan turunnya salju padahal saat ini musim panas. Suhu mulai menurun drastis dan berefek pada para lansia dan anak-anak di bunker. Mereka terkena hipotermia. Beberapa diantara mereka tidak sanggup bertahan hingga akhirnya menjadi korban dari anomali cuaca ini. Tangis diantara mereka pecah saat keluarganya menjadi korban. Nano dan Natera tidak kuasa melihat tragedi yang ada di depan mereka.


Sesaat kemudian, seorang prajurit berlari ke arah Nano dan Natera. Prajurit itu mengambil napas sebentar lalu memberi laporan. "Gawat, Pangeran! Ada makhluk aneh dan domba hitam yang banyak sudah memasuki kota," lapornya.


Nano memeriksa Revolver dan peluru yang tersisa di dalamnya. Ia mendengus kesal karena hanya lima peluru yang tersisa di dalam senjata itu. "Cazzo! (Sial!) Seharusnya aku juga mengambil peluru lebih banyak dari Panji si Polisi itu," keluhnya.


Ia memasukkan kembali Revolver itu ke belakang tubuhnya dan menunggangi Putih menuju gerbang kota untuk membantu para prajurit. Sesampainya di sana, ia melihat para prajurit bergelimpangan di tanah. Dan ia terkejut melihat banyak domba hitam memakan beberapa bangunan, beberapa diantaranya bahkan rata dengan tanah.


Ia teringat pesan Ratu Huban tentang domba hitam. Ia bersembunyi di tembok yang rendah dan mengeluarkan belatinya. Namun ia ragu saat akan melemparkan belatinya ke kerumunan domba hitam itu. Ia berpikir tentang makhluk-makhluk yang berasal dari Alam Mimpi. Ia teringat tentang Zainurma yang tidak bisa dilukai dengan apapun. Apa mungkin makhluk itu dan domba hitamnya sama seperti Zainurma?, batinnya.


Ia memutuskan untuk meletakkan belati ke tempatnya dan mengambil Revolver yang ada di belakang tubuhnya. Ia berusaha membidik namun tangannya gemetar. Ia teringat dengan latihannya menggunakan senjata api dan hasilnya mengecewakan.


Keringat mengalir perlahan dari pelipisnya. Berharap dia memperoleh ketenangan saat membidik. Sementara target yang dibidik masih mencari apa yang dia inginkan. Nano menarik pelatuk dan tercipta suara tembakan yang keras. Peluru dengan cepat melesat ke arah Oneiros. Makhluk itu terkena tembakan dan berubah menjadi ribuan bola-bola mata kecil berwarna ungu dan kembali seperti semula.


"Ayo Putih kita pergi!" Nano menunggangi Putih dan berlari ke arah barat kota.


Oneiros yang mengetahui keberadaan Nano menunggangi salah satu domba hitamnya. "Kejar!" Oneiros dan domba-domba hitamnya mengejar Nano.


Nano berhasil menarik perhatian Oneiros dan domba-domba hitamnya. Ia terus memacu Putih agar berlari lebih cepat. Sementara Oneiros dan kawanan domba hitamnya mengejar bagai ombak berwarna hitam yang siap menerjang Nano.


Ia hampir sampai di gerbang barat kota. Ia teringat dengan kemampuannya bisa mengeluarkan dan memanipulasi asap. Segera ia mendekat ke suatu penampungan air di depannya dan mulai membuat asap.


Jarak pandang Oneiros semakin menipis akibat asap yang dibuat oleh Nano. Namun ia semakin memacu domba hitam yang ia tunggangi. Di dalam kepulan asap itu ia melihat siluet seperti seseorang yang menunggangi seekor domba. Oneiros dan kawanan domba hitamnya mengejar targetnya yang sekarang berada di luar gerbang kota.


"Akhirnya aku menemukanmu, Reveri.."


Belum sempat Oneiros menyelesaikan perkataannya, ia terkejut melihat yang dikejarnya bukan Nano dan Putih. Melainkan balon gas yang dari kejauhan terlihat mirip. Balon gas itu meledak dan membuat mereka menjadi gumpalan awan hitam dan bola-bola kecil lalu kembali seperti semula.


Iris mata Oneiros berubah menjadi merah gelap dan seekor serigala keluar dari bola matanya. Serigala itu berlari cepat menuju Kota Odojilak. Serigala itu segera merusak bangunan-bangunan yang ada di depannya berusaha mencari keberadaan Nano.


Oneiros dan domba hitamnya kembali ke Kota Odojilak. Namun ketika mereka akan memasuki kota, Oneiros merasakan sesuatu yang tidak asing baginya. "Aku merasakan Dream Catcher milikku tidak jauh dari sini," katanya.


Oneiros mengurungkan niatnya kembali ke Kota Odojilak yang sudah rusak parah. Serigala itu pun lenyap dari pandangan.


3 – Reverier Lain


Seorang laki-laki bersweater abu-abu dengan kaos hitam berada di suatu kota metropolitan. Kota metropolitan dengan aktivitas dan orang-orang yang berlalu lalang dengan biasa. Seorang wanita berkulit tan menodongkan Shotgun ke arah laki-laki itu.


"Sjena?" Laki-laki itu tiba-tiba berbicara sesuatu.


Wanita berkulit tan itu terkejut namanya dipanggil oleh laki-laki itu. Sjena menodongkan Shotgun-nya ke kepala laki-laki itu.


"Si-siapa kamu?"


"Namaku Alfa."


"Pakaian itu. Aku pernah melihatnya."


Tidak ada reaksi dari keduanya. Sjena mengamati Alfa dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Dari pakaian yang dikenakan Alfa, mengingatkan dirinya akan sesosok wanita yang juga mengenakan pakaian itu.


Shotgun milik Sjena masih mengarah ke Alfa. Dengan tenang Alfa memegang ujung Shotgun dan menurunkan bidikan senjata itu.


"Aku tak tahu denganmu. Tapi aku ada sesuatu yang dilakukan."


Sjena menurunkan senjatanya dan menghilang bersama api hitam yang ada di tangannya. "Aku ingin ikut denganmu."


Alfa tidak menanggapi Sjena. Ia melangkah pergi meninggalkan wanita berkulit tan itu. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku sweater dan tidak menoleh sekalipun ke arah lain. Tanpa ia sadari, Sjena mengikutinya dari belakang.


Langkah Alfa tiba-tiba berhenti dan menoleh ke arah belakang. "Kenapa kau mengikutiku?" tanyanya.


Sjena terdiam lalu terkekeh pelan. "Aku hanya ingin ikut denganmu," jawabnya santai.


Saat Alfa akan melanjutkan langkahnya lagi, Oneiros dan para domba hitamnya berada di depan Alfa dan Sjena.


"Disini kau rupanya, Oneironaut." Makhluk berkepala bola mata itu memandang Alfa dengan kesal. "Kembalikan Dream Catcher yang kau curi dariku!"


"Kembalikan? Kukira kau akan merelakannya untukku." Alfa memasukkan kedua tangan ke saku celana pendeknya. "Aku punya pertanyaan untukmu. Aku berada di Alam Mimpi ini tapi aku tidak merasa ditandai Zainurma atau Ratu Huban. Apa kau yang menandaiku?"


"Iya. Aku yang menandaimu di Alam Mimpi ini."


"Sekarang aku tahu penyebab aku ada di Alam Mimpi ini."


Sebuah tembakan meluncur ke Oneiros. Membuat tubuh Oneiros menjadi bola-bola mata kecil berwarna ungu dan kembali seperti semula tanpa terluka. Alfa menoleh ke belakang dan melihat Sjena memegang Shotgun.


Oneiros memerintahkan enam dombanya menyerang Sjena. Sjena dengan cepatnya menembak keenam domba itu hingga berubah menjadi gumpalan awan hitam. Gumpalan awan hitam itu kembali menjadi domba hitam dan berlari semakin mendekati Sjena. Dengan santainya Sjena berdiri seolah siap menerima serangan domba-domba tersebut.


Sebuah ledakan terjadi saat domba-domba hitam itu menyentuh tubuh Sjena. Seketika Oneiros diserang lagi dan berasal dari belakang. Alfa terkejut melihat yang menyerang Oneiros dari belakang adalah Sjena. Oneiros kembali menjadi bola-bola mata kecil dan kembali seperti semula. Tanpa pikir panjang Alfa membawa Sjena menaiki Ixephon menjauhi Oneiros dan domba-domba hitamnya.


***


Sebenarnya Nano tidak tega meninggalkan para penduduk Kota Odojilak dan para prajurit di situasi seperti ini. Namun ia juga harus pergi ke tempat lain untuk memastikan tidak ada suatu kota–di wilayah lain–bernasib sama dengan Kota Odojilak.


"Apa kakak yakin ingin meninggalkan penduduk disini?"


Nano menghentikan langkahnya dan menoleh ke Natera. "Sebenarnya kakak belum yakin meninggalkan para penduduk. Tapi tadi kakak melihat ada kota lain lagi di kejauhan. Kakak yakin itu adalah Kota Minante," katanya.


"Kota Minante? Apa yang terjadi dengan semesta kita?"


"Kakak tidak tahu pasti, Natera. Yang pasti kita harus pergi ke kota itu memastikan mereka tidak menjadi korban seperti kota ini."


Setelah dirasa kedua belati miliknya dalam kondisi baik, Nano dan Natera bersiap ke kota berikutnya, yaitu Minante. Mereka menunggangi Putih dan melesat menuju Kota Minante. Disana Nano berencana ingin membeli peluru untuk senjata apinya sebanyak-banyaknya. Dan juga ia ingin latihan kembali menggunakan senjata apinya.


Salju turun semakin lebat. Membuat tumpukkan salju semakin tebal dan susah untuk dipijak. Namun hal itu tidak begitu membuat Putih kesulitan. Dengan lincahnya Putih berjalan melalui tumpukan salju yang tebal.


Udara semakin dingin dan suhu kian menurun. Hal itu berefek pada tubuh Nano yang belum siap dengan keadaan ini. Dia mengigil kedinginan. Natera yang menyadari keadaan kakaknya berusaha menghangatkan tubuh kakaknya dengan kekuatan apinya. "Kakak bertahanlah! Sebentar lagi kita akan sampai di Kota Minante," katanya.


Nano tidak tahan dengan rasa dingin yang menusuk walaupun Natera berusaha menghangatkan tubuhnya. Ia pun jatuh pingsan.


Ia siuman dan menyadari ia sedang berada di dalam suatu rumah. Pandangannya tertuju pada api yang menyala di perapian. Natera datang membawa semangkuk sup dan meletakkannya di meja samping tempat tidur.


"Syukurlah kakak sudah siuman."


"Dimana kita, Natera?"


Natera mengusap kepala kakaknya. "Kita ada di suatu rumah di luar Kota Minante. Aku cemas kakak tiba-tiba jatuh pingsan seperti itu."


"Kalau begitu maafkan kakak."


"Tidak usah dipikirkan. Lagipula jika aku yang pingsan pasti kakak juga akan melakukan hal yang sama."


Nano tersenyum dan mencubit pipi adiknya. "Kakak akan berpikir ratusan kali untuk membawamu. Tubuhmu berat sekali," candanya.


"Kakak..." Natera cemberut dan merajuk. Sementara Nano hanya bisa tertawa.


"Kakak hanya bercanda." Nano mengusap kepala adiknya.


Nano berusaha bangkit dari tempat tidurnya dan memakan semangkuk sup hangat buatan adiknya.

***


Alfa dan Sjena sudah sampai di suatu kota. Mereka terkejut ketika mereka melihat salju turun dan menyelimuti daratan sejauh mereka memandang. Alfa bernapas lega bisa menghindari Oneiros sekali lagi. Ia tahu Oneiros tidak akan menyerah untuk mendapatkan Dream Catcher yang ia curi.


"Untuk sementara kita tidak akan bertemu dengan dia lagi." Alfa menoleh ke belakang memastikan Oneiros dan domba hitamnya tidak mengikuti mereka.


Mereka memasuki kota itu setelah mengaku sebagai pengungsi dari suatu kota lalu mencari tempat sementara untuk bersembunyi. Mereka melihat kapal-kapal besar yang terdiam di dermaga dan pasar ikan yang sepi tanpa adanya penjual dan pembeli. Mereka akhirnya menemukan suatu gedung untuk mereka bersembunyi.


Sementara di tempat lain, Nano bersiap untuk memasuki Kota Minante. Ia dan Natera sudah mengemasi barang mereka kembali dan melanjutkan perjalanan menuju Kota Minante. Sesampainya di gerbang kota, mereka diperbolehkan masuk oleh para penjaga.


"Bagaimana keadaan di Kota Minante?"


"Semuanya aman terkendali, Pangeran. Setelah kami mendengar kabar tentang Odojilak, Gubernur Emira memerintahkan kami untuk menjaga keamanan kota."


"Kami ingin bertemu dengan Gubernur Emira," kata Nano kepada Prajurit


"Silahkan ikut dengan kami, Pangeran."


***


"Nano, apa urusanmu datang kesini?"


"Kau masih saja kasar padaku, Emira."


"Tolong pergi dari kotaku jika kau ingin mencari masalah lagi." Emira memasukkan kertas kerjanya ke dalam laci.


Nano duduk di kursi dan menyilangkannya ke atas meja. "Justru aku mengkhawatirkan kota ini. Dan juga dirimu, Emira."


"Itu tidak lucu, Nano." "Apa kau tahu ada keanehan cuaca di wilayah kerajaan Muarza akhir-akhir ini?"


Nano menurunkan kedua kakinya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Emira. "Mungkin kau tidak akan percaya padaku. Saat ini kita bukan berada di wilayah Muarza."


"Hentikan lelucon itu. Benar-benar tidak lucu untukku."


"Baiklah. Anggap saja aku melucu. Tapi kau bisa jelaskan apa yang terjadi di Odojilak?"


"Apakah kau ada di Odojilak saat itu, Nano?"


"Kota dirusak oleh makhluk aneh, domba dan serigala hitam? Apa itu bisa menjelaskan kita ada di Muarza, Emira?"


"Baiklah. Kau menang. Lalu apa yang harus kulakukan?"


"Baiklah. Jika prajurit menemui makhluk yang aneh dan domba hitamnya, segera hindari. Oh iya dan satu lagi. Jika ada satu atau lebih orang yang membawa domba putih sepertiku, segera habisi dia."


"Tunggu, tunggu. Aku tak mengerti. Orang yang membawa domba putih sepertimu?" tanya Emira kebingungan lalu terkejut melihat Putih sedang duduk membaca buku bergambar di samping Nano. "Mungkin kita memang bukan di Muarza," tambahnya.


***


Alfa dan Sjena sudah menjadi buronan di Kota Minante. Mereka menunggangi Ixephon berusaha menghindari kejaran dan tembakan dari para prajurit.


"Ada apa dengan prajurit disini?"


Sjena mengubah api hitamnya dan mengubahnya menjadi senapan laras panjang. Satu persatu prajurit Minante ditembak oleh Sjena. Prajurit yang lain berusaha menghindari tembakan dari Sjena dan berhasil menggiring Alfa dan Sjena ke arah dermaga.


Sesampainya di dermaga, Alfa terkepung pasukan elit Emira. Para pasukan menodongkan senjata ke kepala Alfa. Nano dan Natera berdiri di samping Emira.


"Kalau terjadi apa-apa, kau dan pasukanmu segera pergi dari sini."


"Kenapa Nano?"


"Tidak bisa kujelaskan. Yang pasti orang itu terlalu berbahaya untuk kalian."


Seekor domba putih keluar dari balik tubuh Alfa. Nano segera mengetahui laki-laki itu sama seperti dirinya. "Sudah kuduga kau reverier juga sepertiku." Nano mengeluarkan satu belati dari pinggangnya. Ia kemudian berlari ke arah Alfa.


Tiba-tiba seorang wanita berkulit tan muncul dari samping kanan Nano dan menendangnya ke arah perut. Nano yang tidak siap dengan serangan itu terkena tendangan dan tersungkur beberapa meter. Sementara Emira dan pasukan elitnya menjauh dari tempat itu sesuai dengan keinginan Nano, namun Emira menugaskan kedua penembak jarak jauhnya untuk membantu Nano dari kejauhan. Putih dan Ixephon saling mengembik. Keduanya duduk berhadapan lalu muncul sebuah papan permainan ular tangga. Mereka melakukan suit dan Ixephon mendapat giliran pertama.


Natera yang sedari tadi diam berlari mendekati Nano yang tersungkur.


"Kakak!"


Di saat Natera berlari ke arah Nano, Sjena melancarkan tendangannya ke Natera. Natera yang lebih siap, menahan tendangan itu dengan kedua tangannya. Ia mundur beberapa langkah dan melakukan serangan balasan dengan melancarkan pukulan dan tendangan ke Sjena.


Sjena dengan mudahnya menghindar dari pukulan dan tendangan Natera. Tapi tanpa Sjena sadari, tubuhnya sudah dikunci oleh Natera. Natera tersenyum karena berhasil mendapatkan tubuh Sjena.


"Kena kau!"


Natera membanting tubuh Sjena dengan cepat. Kepulan asap menyebar karena kuatnya bantingan yang Natera lakukan. Natera melompat keluar dari kepulan asap itu. Napasnya tersengal karena bantingan itu menguras tenaganya.


Suara tertawa berasal dari kepulan asap itu. Natera terkejut melihat lawannya masih bisa berdiri setelah dibanting ke tanah dengan kekuatan penuh. Sjena mengubah api hitamnya menjadi Shotgun dan membidik Nano dan Natera bergantian. Sjena menembakan Dark Fire dari Shotgun-nya bertubi-tubi. Mereka susah payah menghindari rentetan api hitam yang bisa saja membakar dirinya.


Nano berlari ke arah Alfa dan menembakan peluru ke tubuhnya. Protector Alfa langsung beraksi memantulkan peluru-peluru yang ditembakan oleh senjata api milik Nano. Ia menutup mata dan kemudian Nano langsung tersungkur dengan beberapa luka seperti terkena senjata tajam di tubuh pemuda bertudung biru itu.


"Apa hanya itu kemampuanmu? Lemah!" Alfa memasukkan kedua tangan ke saku celana pendeknya.


Nano berusaha berdiri namun ia menjadi sasaran empuk peluru api hitam Sjena. Ia tergeletak lemas tak berdaya dengan luka di sekujur tubuhnya. Ia samar-samar mendengar suara tembakan dari jarak jauh dan melihat Protector Alfa secara otomatis menahan tembakan itu. Darah segar mengalir di sudut bibirnya serta api hitam yang berada di jaket biru tuanya.


4 – All Depends on Your Dream


Nano terjatuh setelah menerima serangan dari Ayahnya. Pedang kayu di genggaman terlempar agak jauh dari tubuhnya.


"Konsentrasimu masih kurang, Nano. Berdiri dan perbaiki konsentrasimu!" bentak Ayahnya.


Nano hanya terduduk dan cemberut, "Aku tidak mau latihan lagi!"


Ronald Reinfield mendekati dan duduk di samping anaknya. Ia mengusap rambut merah marun Nano. Nano menjadi gusar dan mengusir tangan Ayahnya dari kepalanya. Ronald tertawa karena tingkah anaknya.


"Ayah terlalu kuat. Mana mungkin aku bisa mengalahkan Ayah."


"Mungkin sekarang kau belum bisa mengalahkan Ayah," kata Ronald dengan mantap. "Tapi suatu hari nanti kau pasti bisa seperti Ayah."


Senyum mengembang di bibir Nano. Ia menatap kedua mata Ayahnya dan bertanya, "Benarkah itu, Ayah?"


"Tentu saja, Nano. Tapi kau harus ingat satu hal."


"Apa itu, Ayah?"


"Semua tergantung pada impianmu. Semakin kau mempercayai impianmu, maka kau akan semakin kuat." Pria itu bangkit dari duduknya. "Sekarang bangkit dan latihan lagi."


Dengan semangat Nano bangkit dari duduknya dan mengambil pedang kayunya lagi.


***


Di suatu kamar yang luas. Nano kecil berbaring di pangkuan seorang wanita yang mengelus kepalanya. Senyum khasnya selalu menghiasi wajahnya yang teduh.


"Ibu, kenapa Ayah bisa lebih kuat dari yang lain?"


"Itu karena Ayahmu memiliki impian."


"Impian? Apa itu impian?" tanya Nano kecil dengan polosnya.


"Impian adalah hal yang membuat kita terus berjuang untuk mewujudkannya." "Dan itu membuat kita lebih kuat."


"Apa impian sama saja dengan perang?"


"Tentu tidak, Anakku.  Walaupun perang juga membuat kita terus berjuang, namun impian membuat kita tidak menghalalkan segala cara untuk memperjuangkannya." Wanita itu mengusap pipi Nano kecil dengan lembut. "Kau ingin mewujudkan impianmu kan?"


"Lalu apa yang harus aku lakukan, Ibu?"


"Kau hanya perlu mewujudkan impianmu dan buat impianmu lebih kuat dari apapun."


"Apa Ibu tahu apa impian Ayah?"


Wanita paruh baya itu tersenyum dan mengusap rambut merah marun anaknya dengan lembut. "Coba Ibu pikir dulu," katanya sambil berpura-pura berpikir.


Nano kecil memandang Ibunya dengan perasaan ingin tahu. Ia ingin secepatnya mendapatkan jawaban dari Ibunya.


"Ayo cepat katakan, Bu."


"Baiklah, baiklah." Wanita itu akhirnya menyerah. "Impian Ayahmu adalah ingin menjadikanmu pewaris tahta yang kuat dan arif."


Untuk anak seusia Nano kecil, ia tidak begitu tahu kewajiban dan tugas sebagai seorang raja. Ibunya tahu akan hal itu. Namun ia akan terus memberi pelajaran dasar sebagai pewaris tahta dahulu. Agar anaknya sadar dengan takdirnya sebagai pewaris tahta.


"Apa itu benar, Ibu?"


"Tentu saja benar, Nano."


"Kalau begitu, aku akan mewujudkan impianku."


"Lalu apa impianmu, Nano?"


"Aku ingin menjadi raja yang baik seperti Ayah."


Wanita itu tersenyum dan mendaratkan ciuman penuh kasih sayangnya ke kening Nano kecil.


***


Dark Fire yang menyelimuti tubuh Nano perlahan meredup dan berganti dengan lapisan es tipis. Ia mulai tersadar dari pingsannya. Lapisan es perlahan tercipta di tempat ia pingsan. "Raja yang baik dan kuat seperti Ayah," Nano bangkit dari tempatnya "Harusnya raja yang lebih baik dan kuat dari Ayah."


5 – New Power In Nightmare


Lapisan es mulai meluas sementara Nano masih terdiam. Lapisan es tersebut mulai mendekati tempat Alfa berdiri. Alfa melompat menghindari lapisan es tersebut karena beberapa es berbentuk paku menerjang tubuhnya. Nano berdiri dan menyiapkan kedua belatinya. "Sepertinya hanya kita berdua yang ada di mimpi buruk ini." Ia memutar belatinya ke belakang.


Nano melempar belati miliknya ke arah Alfa. Alfa menangkisnya dengan Protector yang ia miliki. Nano mengeluarkan Ice Needle untuk menahan laju belatinya. Ia berlari dan mengambil belati yang menancap di Ice Needle dan mengayunkannya ke tubuh Alfa.


Protector milik Alfa kembali menangkis serangan belati milik Nano. Namun kali ini Alfa bergerak mundur sedikit setelah menahan serangan. Nano memfokuskan pengendalian air di kedua belatinya dan membuat lapisan es di kedua belati itu hingga dua kali lebih panjang dari sebelumnya.


Nano kembali berlari menerjang tubuh Alfa dan menebaskan belati yang berlapis es itu ke tubuh Alfa. Alfa memegang salah satu tangan Nano dan melemparkannya ke tanah. Dan hasilnya Nano terjungkal. Ia langsung berdiri dan mengambil kedua belatinya.


"Belatimu terasa berat, kan?" tanya Alfa datar.


Nano merasa kedua belatinya sangat berat. Belati itu pun jatuh ke tanah. Placebo Effect milik Alfa berhasil mengenai Nano. Alfa mendekati peti kayu yang besar dan mengangkatnya ke udara. Setelah itu peti itu dilemparkan ke arah Nano. Nano menghindar dan berlari ke arah Alfa.


Baku hantam antara Nano dan Alfa tidak bisa dihindarkan. Mereka saling jual beli pukulan. Alfa lebih banyak menahan pukulan dan tendangan Nano. Sementara Natera mulai kehabisan tenaga melawan Sjena, sementara Sjena tidak tampak mengalami kelelahan.


Nano terlempar dan menabrak peti-peti kayu yang ada dibelakangnya. "Cazzo!" umpatnya. Darah segar mengalir di sudut bibirnya dan luka memar di sekujur tubuhnya.


Nano mengeluarkan pengendalian airnya untuk membuat asap tebal untuk menutupi pandangan Alfa. Jarak pandang Alfa menjadi menipis. Ia hanya bisa mengandalkan Protector miliknya saat ini. Nano berlari dan menendang perut Alfa. Alfa terkena tendangan dan tersungkur ke tanah.


Sementara itu Natera terengah-engah menghadapi Sjena yang kondisinya tidak jauh beda. Natera mengeratkan genggaman tangannya dan melancarkan pukulannya ke tubuh Sjena. Sjena menghindari pukulan Natera dan memutar tubuhnya lalu menendang punggung Natera. Natera terkena tendangan dan jatuh ke depan. Ia menjadikan kedua tangannya sebagai tumpuan dan memutarkan tubuhnya lalu membalas tendangan Sjena. Ia berdiri dan mendekati kakaknya. Nano dan Natera saling memunggungi. Mereka menunggu saat yang tepat menunggu lawan mereka menyerang.


"Kau tahu apa yang harus dilakukan, Natera?"


"Tentu saja, kakak."


"Kalian berdua harus mati!" Sjena berlari ke arah Nano dan Natera lalu melancarkan pukulan. "Mati!"


Nano dan Natera segera melompat menghindari pukulan Sjena. Sjena tidak tahu bahwa di depannya ada Alfa. Ia yang tidak bisa menghentikan terjangannya menabrak tubuh Alfa hingga keduanya terjungkal.


Nano segera berlari mengeilingi Alfa dan Sjena. Udara dengan cepat mengikuti Nano dan tercipta pusaran angin setinggi 5 meter. Pusaran angin itu semakin padat dan cepat. Natera mengumpulkan mananya untuk menciptakan bola api berdiameter 50 sentimeter. Alfa berusaha meloloskan diri dari pusaran angin itu dengan membuat dirinya dan Sjena melayang dan meloloskan diri lewat atas pusaran angin.


Namun terlambat bagi mereka. Natera melempar bola apinya ke pusaran angin yang dibuat Nano. Badai api pun tercipta dan membakar Alfa serta Sjena yang terperangkap.


6 – End of Nightmare


Oneiros tiba-tiba muncul di dermaga. Emira memerintahkan pasukannya untuk mundur dari tempat itu. Nano bersiaga dengan salah satu belatinya yang tertancap di tanah. Oneiros yang memperhatikan Nano mendekati pemuda bertudung biru tua itu.


"Aku tak ingin melawanmu saat ini. Aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan," ucap Oneios.


Zainurma, Mirabelle, dan Ratu Huban muncul dari portal. Oneiros yang agak terkejut menoleh ke arah mereka bertiga.


"Oneiros, jangan ganggu para reverier!" seru Mirabelle.


"Apa urusan kalian disini?" tanya Oneiros agak bingung.


"Kami hanya ingin menyelamatkan anak ini," jawab Zainurma lalu menoleh ke arah Nano yang tersungkur. "Lalu apa yang kau lakukan disini, Oneiros?"


"Aku hanya menjalankan tugasku."


"Kau tahu, semua ini bukan urusanmu, Oneiros." Zainurma membenarkan rambut klimis dan kacamata hitamnya.


"Bukan urusanku? Aku tahu kau mengatakan hal itu hanya ingin mencari keuntungan saja, Zainurma."


"Sebaiknya kau pergi dari sini. Sebelum domba hitammu menjadi mainan Ratu Huban," ucap Zainurma santai.


Oneiros melihat ke domba hitamnya dan benar saja, Ratu Huban berlari mengejar domba hitam Oneiros.


"Jangan kejar domba-dombaku, Huban!"


"Ngh? Aku hanya bermain dengan domba hitammu." Ratu Huban memutar gagang permennya.


"Baiklah. Aku akan pergi dari sini." Oneiros hanya bisa pasrah. "Aku hanya ingin mengambil apa yang jadi milikku."


Oneiros mendekati Alfa yang tidak berdaya, lalu mengambil sepasang Dream Catcher miliknya. Makhluk mimpi itu pergi bersama domba-dombanya dari Bingkai Mimpi.


"Te-terima kasih," ucap Nano kepada Zainurma.


"Hei, kami melakukannya bukan untukmu. Jadi jangan berterima kasih dulu." Zainurma mengalihkan pandangannya. "Buka portalnya, Huban."


Ratu Huban membuka portal dan mereka bertiga masuk ke dalamnya lalu portal itu menghilang.


***


Menyebalkan sekali mereka, terutama Zainurma. Aku tahu dia hanya tidak ingin "properti" miliknya diganggu orang lain. Aku hanya tersenyum kecut melihat mereka bertiga yang pergi melewati portal.


Cuaca kembali seperti semula. Salju yang menutupi seluruh Bingkai Mimpi mulai mencair. Para penduduk mulai keluar dari rumahnya dan bersorak sorai. Aku merasa senang penduduk di Kota Minante tidak menjadi korban.


"Kita bisa mengalahkan dia, Kak." Natera memeluk tubuhku yang tersungkur.


Aku hanya bisa terdiam dan memandangi adiknya yan mengkhawatirkannya.


"Ada apa, Kak?" tanya Natera kebingungan.


"Iya kita memang berhasil." Aku hanya meringis menahan sakit di sekujur tubuhku.


Aku duduk termenung memandang langit yang mulai cerah. Luka dan nyeri di sekujur tubuhku masih terasa walau Natera sudah mengobatiku. Sinar mentari mengenai tubuhku dengan hangatnya. Beberapa saat kemudian pandanganku menjadi gelap dan tubuhku terkulai di rerumputan. Natera yang panik beberapa kali mengguncang tubuhku agar kesadaranku kembali.


7 – Epilogue


"Ah. Selesai juga akhirnya." Makhluk berkepala bantal itu merenggangkan tubuhnya setelah keluar dari portal.


"Dan terlebih lagi kita bisa mengusir Oneiros. Kita bisa bersantai sedikit untuk saat ini."


"Apa anda yakin Oneiros tidak akan melakukan hal yang sama?" tanya Mirabelle butuh kepastian.


"Aku tidak tahu pasti. Tapi aku yakin Oneiros tidak akan kembali dalam waktu dekat," jawab Zainurma dengan santai.


Seseorang berpakaian serba hitam menghampiri mereka bertiga. Ratu Huban terkejut dan Mirabelle memasang gerakan waspada. Sementara Zainurma tidak terpengaruh dengan kehadiran orang itu. Orang itu hanya tersenyum dan berdiri di hadapan mereka bertiga.


"Siapa kamu?" "Bukankah hanya yang berkepentingan masuk ke dunia mimpi?"


"Apa kau tidak tahu siapa dia, Mirabelle?"


"Apa maksudmu, Zainurma?"


"Dia salah satu aset berhargaku untuk Nano Reinfield," Zainurma mengalihkan pandangan ke orang berpakaian serba gelap itu. "Benar begitu, kan?"


"Kau kejam sekali, Zainurma," kata Orang itu datar "Tapi tak apa, aku masih ingin melihat bagaimana Nano Reinfield bertahan dengan impiannya."


-The End-


>Cerita sebelumnya : [ROUND 1 - 1A] 17 - NANO REINFIELD | BIG TROUBLE IN LITTLE ITALY 
>Cerita selanjutnya : -

4 komentar:

  1. Oneironaut ini apa ya?

    Antara Nano pingsan terus siuman, sama ketemu Emira terus Alfa-Sjena jadi buronan, saya kira bagusnya dikasih jeda biar ga terlalu terkesan tiba". Pace ceritanya sendiri sebenernya normal, tapi kadang perpindahan scenenya kadang masih kurang mulus

    Begitu masuk battle, saya baru ngerasa kalo narasinya agak datar. Bukan karena tell atau padet; tapi kalimatnya kayak kurang bumbu dan kesannya repetitif. Contohnya ini :

    "Nano melempar belati miliknya ke arah Alfa. Alfa menangkisnya dengan Protector yang ia miliki. Nano mengeluarkan Ice Needle untuk menahan laju belatinya. Ia berlari dan mengambil belati yang menancap di Ice Needle dan mengayunkannya ke tubuh Alfa."

    Jadi formulanya kebaca kayak : A melakukan X, lalu B melakukan Y, kemudian A melakukan Z dan B balas menyerang A. Ini ga salah dan alur apa yang terjadi masih bisa ketangkep jelas, tapi kalo diutak-atik sedikit ada potensi jadi lebih baik dan menarik

    Btw, kesannya Oneiros kayak nunggu Nano-Natera selese ngalahin Alfa-Sjena dulu ya baru dateng terus ngambil dreamcatchernya dengan damai. Entri ini sama entri lawan sama" bikin versi Oneiros yang ga gitu ngerusak atau ngeganggu

    BalasHapus
  2. Halo, numpang komentar ya.

    Entri nano-nano kelihatan kontrasnya sih kalau dibanding entri Alfa. Perkembangannya kalau saya kira-kira lebih cepat di sini. Bukan hal yang jelek, karena kalau perkembangannya cepat saya juga cepat ngehnya ini plot ceritanya gimana.

    Tapi jadinya, emosinya kurang. Kalau mau jujur, dengan perkembangan secepat ini, kesan emosi dalam ceritanya kurang ngena, seenggaknya buat saya.

    Battlenya sebenarnya bagus, adegan-adegannya saya bisa bayangin dan jadi epik juga ternyata kalau dipikir-pikir lagi. Sayangnya narasinya kurang ngimbangin. Itu aja yang disayangkan.

    Segitu dulu deh dari saya. Votenya nanti ya :s

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  3. Sebagian besar apa yg mau saya komen, udah dibahas Kak Sam. Dan saya setuju. Tapi kalo menurut saya, kalimat dlm entri ini bkan cuman kurang bumbu, tp emg tell. Ibarat dengerin komentator bola. Contohnya udh ada di komen Kak Sam.

    Maaf sy antara lupa atau emg belum baca sm entri Nano, jd ada byk hal yg blm sy tau. Kenapa ada PoV1 di awal dan menjelang akhir tp di tengah"nya PoV3? Mendingan, kalo menurut saya, konsisten aja deh. Jadinya lebih rapi.

    Paling yg agak bikin meringis sedikit itu ... kenapa Nano yg masih "di pangkuan ibunya" bisa berpikir sedalam itu u/ ukuran bocah (pas flesbek)? Rada janggal aja. Pikiran bocah kan sederhana, aneh aja mengajukan pertanyaan kek gitu.

    Oh ya, huruf kapital di "kota" dalam Kota Odojilak itu kecil, ya. Yg besar itu buat penamaan latar geografis macam: sungai, danau, gunung, dst. Sekadar ngasih tau. Saya juga baru tau ini sih, tbh. Di entri saya aja masih kapital. Hiks.

    -Sheraga Asher

    Vote-nya ntar dulu bray.

    BalasHapus
    Balasan
    1. untuk POV1 saya memang lagi bereksperimen. karena saat prelim dan R1 pakenya POV3.

      umm.. mungkin itu bergantung juga pada situasi dan kondisi sih. kan pikiran bocah berbeda-beda *ngeles mode

      masih bingung soal kapitalisasi. :\

      tapi makasih atas kritik dan sarannya n.n

      Hapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.