Kini, mimpiku adalah realitaku.
Kenyataanku
Senangkah aku? Sedihkah aku?
Entahlah, batinku semakin susah memantapkan perkataannya. Semacam tertekan
suatu entitas dengan eksistensi Maha Tinggi. Yang benar saja. Baru kemarin
kurasakan ia mempermainkan raga asliku, tiba-tiba saja jiwaku mendadak
direngkuhnya. Maksudku, sebelum akhirnya nalarku mengerti secuil kisahnya yang
lebih dari sekedar kiamat.
[Sang Kehendak]
Aku tiba di kuil itu dalam
keadaan yang seperti biasa. Tempelan fisik Jess di sebelah kananku, belaian
domba seputih kertas kosong yang dikejar deadline, dan rasa khawatirku yang
mereka-reka jika aku bertemu dengan-Nya. Sejenis amphiteater berisi tiga puluh
dua reverier yang selamat dari pertempuran sebelumnya, dengan mimbar dan patung
dewa-dewi di sekelilingnya.
Kami tak melihat [Sang
Kehendak], namun kami dipertunjukkan kepada kekuasaan-Nya. Kiamat, huru-hara
dunia, kehancuran yang nyata. Jess menahan nafasnya, begitupun aku yang dipaksa
kondisi tubuh setengah wanita-setengah pria ini untuk berbagi rasa satu sama
lain. Beberapa reverier bertanya ragu, sedangkan sisanya sudah terlampau panik.
Sampai akhirnya aku tahu bahwa kami, para pemimpi, adalah mereka yang
beruntung, yang terpilih, untuk menyelamatkan semestanya masing-masing.
Kurasakan kepercayaan Zainurma,
juga Si Dewi Perang, yang begitu besar terhadap kami. Kepercayaan yang
menantang intuisiku terhadap ronde selanjutnya.
Yang sabotasenya dilakukan Si
Jubah Ungu di ujung Alam Mimpi sana.
~
Pesta akan dimulai beberapa jam lagi di rumah ujung jalan. Sebagai
anak muda, sudah merupakan kewajiban bagi Harley untuk ikut dan memeriahkannya.
Dandanan kinclong? Sudah. Baju kece? Jangan tanya. Baju yang dipakainya
sekarang adalah hasil seleksi ketatnya di antara ratusan potong pakaian lain
yang menumpuk dalam lemarinya. Mood bagus? Errrr....sepertinya masih belum.
“BERAPA KALI KUBILANG JANGAN PAKAI PAKAIAN ITU?!” bentak Frank.
Yap, bentakan penghancur utama mood Harley sore itu yang juga menakuti
ayam tetangga. Padahal dia sudah berusaha mengendap-endap agar tak ketahuan,
bahkan menyuap dan meninggalkan wasiat pada ibunya secara diam-diam. Kenapa
ayahnya bisa sampai tahu?
“Tak bisakah kau mengerti kalau aku sudah dewasa, yah?” balas Harley
tak kalah emosi. Akal bulusnya bekerja mencari seribu alasan (ala Zaskia Go Thick) agar bisa lolos.
“Kau pulang terlalu larut ketika terakhir kali mengenakan baju gembel
itu. Mau ditaruh di mana wajahku jika terjadi apa-apa nanti?” Frank kembali
memutar memori minggu lalu, saat Harley mengetuk pintu rumah tepat pukul
sepuluh malam dengan pakaian yang sama yang dipakainya sekarang.
Harley mengernyit heran. Matanya mengamati kembali blus biru elektro
sepinggang yang dibalut blazer lengan panjang warna monokrom. Terus ke bawah,
rok model mekar selutut disambung stocking sewarna kulit dan diakhiri high heels hak sedang. “Apanya yang
gembel? Jam sepuluh juga masih sorean kali, ah.”
“Kau hidup di generasi yang salah.”
“Kan ayah sendiri yang bikin embrioku di ‘generasi yang salah’ ini.”
Tak habis pikir dengan anaknya, di kubu lain Frank terperangah
mendengar argumen Harley yang langsung pada ‘sesuatu yang menjadi hakikat’nya.
Salah sendiri juga, sih. Ngapain ngomongin masalah generasi? Tahu sendiri ‘kan
Harley itu anak IPA?
“JANGAN HARAP KAU BISA MASUK LAGI LEWAT PINTU YANG SAMA!” Frank
mengambil nafas panjang. Sudah tak sanggup lagi membujuk, dan keluarlah desis
kutukan, “Semoga teman yang menjemputmu juga membawa kematian.”
Peduli setan dengan ayahnya, Harley memantapkan langkah keluar rumah.
Senyumnya mengembang bagaikan menang lotere lima ratusan. Sesekali Harley
berkaca, mengecek make-upnya yang siapa tahu luntur. Bergaya bak sosialita
kelas teri sembari menunggu jemputan.
~
Rumah Sakit
dr. Albus, 2 KM dari pusat kota Astro.
Lengangnya
rumah sakit berubah riuh saat pasien itu datang. Ya, siapa lagi kalau bukan si
tampan Danny yang sedang digendong tergopoh-gopoh hingga jatuh bangun oleh
Vino. Bagi yang belum tahu, Danny adalah aktor tersohor yang sedang naik
angkot, eh, naik daun di seantero negeri, terlebih lagi di Astro City. Drama
cinta sejenis yang dibintanginya sukses mencuri perhatian berbagai kalangan.
Tua-muda, lelaki-perempuan, mas-mas laundry langganan Vino sampai mbak-mbak
kasir Betamart. Fantastis.
Bukan tanpa
alasan. Selain dianugerahi wajah tampan dan aura kharismatik, sihir amokinesis
pun tertanam kuat dan alami seperti rambut Painten dalam dirinya. Itu lho,
sihir yang bisa membuat segala makhluk jatuh hati pada si empunya hanya dalam
sekali lirik.
Tapi sayang sebelas
kali sayang, bukan gosip receh itu yang akan diceritakan.
Entah apa
yang terjadi pada Danny hari ini. Beberapa titik di kulit tubuhnya berubah
menjadi seperti kulit kayu yang membusuk dimakan perasaan udara lembab.
Kesadarannya pun lumpuh. Entah kenapa pula Vino membawanya ke rumah sakit,
padahal dia punya seperangkat robot serba bisa dalam apartemennya yang bahkan
lebih berguna dari rumah sakit itu sendiri.
Satu
penjelasan logis : Vino hanya ingin tebar garam. Pamer-pamer tak penting ke
semua orang.
Setelah
melolong-lolong tak jelas dan berani malu melakukan aksi teatrikal di depan
umum karena operator rumah sakit yang tak kunjung paham, Vino akhirnya bisa
bernafas lega, untuk saat ini. Senyum sumringahnya bercampur kekhawatiran
tatkala memperhatikan para dokter spesialis ahli mulai bekerja di balik pintu
kaca bertuliskan ‘VVIP Room’.
Yah, setidaknya
untuk saat ini pihak rumah sakit belum tahu tentang belasan orang di sekitarnya
yang mengidap penyakit sejenis. Bahkan lebih buruk.
Senyata
inikah mimpi buruk itu?
~
Sedang asik-asiknya bersolek, tiba-tiba dua makhluk asing menabrak
Harley, entah dari mana datangnya. Ia jatuh tersungkur di atas aspal. Ia
meringis, aspalnya menangis. Dua sosok itu menjauh, memperlihatkan wujudnya
yang samar-samar. Seekor kucing biru bersayap yang melayang-layang dan bayangan
hitam tak berbentuk di sampingnya.
“Seingat eyke kemaren tuh di sekitar sini, Tuan. Pasrahin aje dihh
kalau emang udah ilang,” kata si kucing biru.
“Percuma saja, tapi kalau dibiarkan mereka juga bisa jadi masalah
besar di dunia nyata.”
“Mereka siapa?” Harley penasaran. Dua sosok asing itu mendekat dan
tersebutlah dua buah nama.
“Jessica Romanoff dan Hutcher Stanford.”
Harley tak mengerti apa yang terjadi, namun jelas nama kakaknya
disebut dalam suatu masalah yang pasti berkaitan dengan keluarganya. “Masalah?
Masalah apa?”
“Biar kuulangi sekali lagi,” suara si bayangan hitam. “Jadi begini,
kakakmu dan pacarnya sebenarnya sudah mati beberapa minggu sebelum debut
pertama mereka di dunia musik. Roh mereka kuragukan, jadi kukirim kembali ke
dunia nyata dalam wujud setengah hantu.
“Masing-masing dari mereka sengaja kuberi kemampuan khusus karena aku
menganggap mereka akan segera mati untuk kedua kalinya. Namun, yang terjadi
justru lebih buruk. Suatu entitas Maha Tinggi, melalui perantara Alam Mimpi,
menguasai jiwa Jess dan Hutcher. Entah apa yang akan dilakukan-Nya. Entah itu
kiamat, atau bahkan yang lebih menyengsarakan.”
“Jadi, kau ini...emm, Tuhan atau apa? Bagaimana kau bisa tahu begitu
banyak?” Tubuh Harley bergetar, merasakan ngerinya entitas di hadapannya saat
ini.
“Bukan, aku yang mengatur roh makhluk hidup setelah raganya mati. Dan
kau juga sudah bertemu Hayati, bukan? Kucing biru di sampingku ini secara tak
sengaja ikut terlempar ke dimensi antah berantah saat aku mentransfer Jess dan
Hutcher kembali ke Bumi.
“ Aku tak ingin kehilangannya, jadi kutandatangani saja kontrak free spirit yang membuat Hayati bisa
bebas pergi ke manapun dia mau, dengan Jess-Hutcher sebagai jaminan. Selain
itu, dia juga punya sistem syaraf sekompleks manusia. Dia menjadi mata-mata
pribadiku di Alam Mimpi, melaporkan apa yang terjadi pada kakakmu dan pacarnya
yang masih menjadi tanggunganku.
“Ahhh, sepertinya [Sang Kehendak] tak suka aku berlama-lama di
wilayahnya. Sebaiknya aku pergi, dan kalian berdua, bersenang-senanglah.” Si
bayangan hitam menghilang, lagi-lagi dengan mendadaknya. Tanpa bekas, hanya
seperti letupan awan abu kecil segera setelah bersuara ‘ploph’.
Harley tertegun mendengar
penjelasan si bayangan mengenai keberadaan super tinggi. Masalah yang lebih
dari sekedar izin berbusana yang dialaminya sore ini. Sempat terpikir untuk
memberitahu kedua orang tuanya. Membayangkan betapa paniknya mereka sementara
ia sibuk mengambil keuntungan sebagai pihak ketiga. Bukankah itu menyenangkan?
Hayati melayang-layang ringan di sekitar halaman rumah Harley.
Bercengkerama ringan dengan kupu-kupu, bunga, dan segala yang dirasanya hidup.
Cuek saja meninggalkan Harley yang terduduk di pinggiran jalan. “Eh mbak
psikopat, jangan ngelamun mulu, ih. Sini, gabung sama kita.”
Tak terima dipanggil psikopat, Harley bangkit dan menerjang Hayati.
Yang ingin ditangkap gagal menghindar, terjebak di pelukan Harley yang
tersenyum nista. “Kamu bilang apa tadi? Psikopat? Enak aja, cuih.”
“Mmpphhh... wah, bagus nih ada psikopat. Ceritanye bakal makin bagus,
dan Jessie bisa selamat, uhuyyy!!” Hayati megap-megap mencoba melepaskan diri.
Hasilnya? Bagus juga, dengan bulu-bulunya yang rontok di pakaian Harley sebagai
tumbal.
“Hemmm....aku ngerti. Jadi [Sang Kehendak] yang kalian omongin tadi
mencari cerita yang bagus dan memakai kakakku sebagai alatnya? Tapi buat apa?”
“Eng ing eeeng. Selamat, dua juta rupiaah! Anda benar! [Sang Kehendak]
suka banget tuh nyari karya seni yang menurutnya bagus buat dikoleksi di Museum
Semesta. Kabar baiknya, bukan cuma Jess-Hutcher doang yang dijadiin alat, tapi
juga puluhan makhluk lain dari penjuru dimensi yang aku sendiri belum pernah ke
sana. Nah, kalo karyanya ga bagus gimana? Yaudah, wassalam. Jadilah ia patung
tembikar buruk rupa. Habis itu ya dunia asalnya kiamat. Selesai.”
Sukar mempercayai apa yang diucapkan kucing biru ini. Terlalu kentara
untuk dibedakan menjadi imajinasi. Khayalan semu, namun terasa nyata. Tapi apa
mau dikata. Semuanya memang adalah realita yang sudah terlanjur, dengan atau
tanpa peringatan.
Harley bangkit, mengeluarkan pisau dapur yang selalu dibawanya. Dengan
cekatan, tangannya membawa bilah pisau menari lincah mengelilingi tubuhnya.
Merobek pakaiannya sendiri hingga terlihat kurang bahan, yang menggoda birahi
kaum Adam.
“Kalau begitu, mari kita
hidupkan karya ini.”
~
Tempat yang
sama. Halaman belakang yang sama seperti pertama kalinya Jess Hutcherson
melewati portal yang sama pula. Terlempar keluar dari lubang hitam beserta
domba setianya, lagi.
Pemandangan di sini tak banyak berubah. Kecuali, di luar para tetangga
yang sepertinya kembali mendapat gairah hidup untuk melanjutkan aktivitasnya.
Di ujung jalan, dekat perempatan yang mengarah langsung ke New York,
gedung-gedung tinggi terlihat berlomba mencakar langit. Tak peduli langitnya
mengaduh resah, membawa mendung ke atas kepala setiap insan lalu lalang yang
dinaunginya.
“Keren, nih. Abis perang terus disuguhi mall-mall keren sama
brand-brand ternama. Wanita mana sih yang mau nolak? Iiiihhhh!” seru Jess
gemas. Segemas tangannya yang menjawil sisi kiri wajahnya.
“Kali aja ini cuma ilusi ala-ala Alam Mimpi. Tapi kalau beneran ada
boleh juga, sih. Kan biasaya banyak tuh cabe-cabean yang bajunya kurang bahan,”
timpal Hutcher.
“Operasi kembar siam dulu noh, baru bisa goyang. Gaya apa aja
terserah, deh.” Jess hanya bisa maklum dengan insting Hutcher sebagai pria. “Btw
ini domba ke mana lagi? Mau diajak nyalon eh malah kabur.”
“Palingan lagi masak, biasa. Coba kita ma-“
“AAAAAAHHHHH!!”
Jeritan familiar yang memotong langkah Jess-Hutcher masuk ke dalam
rumah. Sontak ia—dengan dua kesadaran kompaknya berlari sigap ke sumber suara.
Penggalan kepala Frank Romanoff berguling pelan dari pintu dapur.
Jejak darah menuntun Jess-Hutcher ke ruang makan. Di mana tubuh istri si
empunya kepala, Anne Romanoff, tersaji di atas meja berlumuran darah beserta
tubuh kepala buntung Frank. Dapat dipastikan nyawa keduanya sudah melayang.
Beberapa langkah dari ruang makan, Harley tergemap dengan wajah syok.
Antara aneh melihat wujud kakaknya dan juga perasaan
itu. Hayati bersembunyi di balik rok mekar Harley yang sobek, tertiup angin
musim gugur. Terbang perlahan mendekati Jess-Hutcher.
Berbagai perasaan bergejolak dalam tubuh setengah pria-setengah wanita
yang mengamati mayat itu. Bau busuk yang menyengat hidung tak menggetarkan
Hutcher. Namun na’as bagi Jess. Kesadarannya terpukul keras hingga jatuh terduduk.
Wanita itu bagai putus harapan. Ia menarik nafas panjang dan bersiap
melakukan teriakan maut berfrekuensi tinggi.
Hutcher terbelalak beberapa detik sebelum teriakan itu. Diambilnya
biola beserta gesekannya, bidik, dan...
“Harley, menunduk!”
“....”
Ia memanah salah satu kuciran rambut Harley hingga terlempar puluhan
meter jauhnya keluar rumah. Sepersekian deik sebelum Jess berteriak. Dan ketika
itu terjadi...
“AAAAAAAAARRRRRRRRGGGGGGHHHHHH!!!!”
Rumah itu seolah meledak. Segala jenis kaca dan benda-benda berongga
di dalamnya hancur berkeping-keping. Tembok rumah dipenuhi bekas sayatan.
Perabot kayu dan tekstil robek di mana-mana. Genteng rumah pun ikut pecah
memeriahkan suasana.
Jess Hutcherson membuka mata. Segera disambut cahaya yang amat
menyilaukan, memenuhi visual yang dapat ditangkapnya. Perlahan, cahaya itu
meredup. Semakin redup. Sampai akhirnya mewujud ketiga sosok yang amat dikenal
masing-masing kesadaran mereka.
Domba, Hayati, dan tamu yang tak diundang, Zainurma. Berlatar belakang
rumah yang hancur dan dua potong mayat, entahlah, mereke lebih terlihat seperti
saat sesi foto keluarga psikopat.
“Oy mbak, eh maksudnya mas, eh...euuuhhh, udah deh siapapun ente, kalo
mau teriak jangan keras-keras napa? Emang situ belom pernah nyoba ke Inul
Vista? Kuping eyke sakit, boook. Untung aje ada om ini. Eyke diajakin
abstraksi, jadi kagak modar duluan,” gerutu Hayati yang berkacak pinggang
sambil menunjuk-nunjuk Jess-Hutcher.
“Kau harus belajar mengendalikan kekuatanmu, Jess. [Sang Kehendak] tak
akan suka ada nada sumbang di karya ini.” Zainurma menaik-naikkan alisnya.
“Domba dan Hayati menjadi tanggunganmu sepenuhnya sekarang. Selain itu,
sepertinya Harley juga ingin ikut bermain.”
Yang diajak bicara diam. Merenungi setiap perkataan Zainurma.
“Aku mengerti ini sedikit gila, tapi negosiasiku dengan Pak Tua itu
berjalan lancar. Terbukti, Hayati berhasil masuk ke permainan ini. Kontak free spirit itu masih berlaku,
setidaknya sampai Dia menghentikan permainannya.
“Atau kau yang berhenti terlebih dahulu, hah?” tantang Zainurma.
Kesadaran Jess masih belum pulih seutuhnya. Setidaknya sampai ia
mendengar tantangan Zainurma. Perlahan dirinya bangkit, kembali memegang kendali atas tubuhnya yang sempat diambil
alih Hutcher.
“Zainurma, mengertilah. Kedua orang tua Jess, kesadaran yang menopang
50% tubuh ini, baru saja dibunuh. Tak bisakah kau berhenti sejenak dan biarkan
kesedihan itu bernapas sembari mengobati lukanya?” pinta Hutcher. Wajahnya
kembali sumringah dengan kehadiran
Jess.
“Tapi [Sang Kehendak] tidak pernah berhenti.”
Zainurma menyisiri dapur. Menghampiri panci, wajan, dan kompor yang
penuh goresan. Tak lupa ia sapa domba dan Hayati, dua makhluk abstrak si
penyuka kuliner.
“Bagaimana kalau jeda beberapa jam?” tawar Jess.
“Tapi, Jess, kau kan-“
“Sudah, tak apa sayang. Mari selesaikan permainan ini. This woman is on fire, baby.”
Keras kepala. Ya, itulah sifat Jess yang sulit sekali diubah. Pernah
suatu ketika ia salah memilih baju di salah satu Mall, padahal struk
pembayarannya sudah keluar. Jadilah ia ribut dengan security setempat dan berakhir tragis. Hutcher? Kurang sabar apa lagi
laki-laki itu menghadapi Jess?
“Hmm....ini menarik. Huban memang tak pernah salah memilih reverier.”
Zainurma melirik arloji emas di pergelangan tangannya. “Waktu rehat setengah
jam sebelum pertarungan, cukupkah itu?”
“Jangan bodoh, Jess. Kita sedang diperalat-“
“Pertarungan? Maksudmu seperti perang tempo hari?” potong Jess cepat.
“Lebih sederhana. Kau, maaf, maksudku kalian, akan melawan salah satu
dari tiga puluh satu reverier yang tersisa di kuil tadi.”
Hutcher menelan ludah. Bukan apa-apa, tapi lihatlah para pemimpi itu.
Dari yang diperhatikannya, masing-masing dari mereka dianugerahi kemampuan
bertarung kelas wahid. Ditambah dengan kekuatan impiannya yang memang sudah
kuat, menganggap sepele mereka sama saja mengundang malapetaka.
“Dan di mana kami akan melakukannya?”
“Entahlah, bisa jadi di sekitar sini. Berhati-hatilah, mungkin zona
pertarungan kalian bisa jauh lebih berbahaya dari musuh itu sendiri. Aku
mendengar ada yang tak senang dengan Hunger Games kali ini, jadi berusahalah
untuk menghindarinya sampai pertarungan kalian selesai.”
“Ahh....sepertinya aku terlalu cepat memberi kabar soal tamu kita.
Jadi, bagaimana? Jess Hutcherson, apa kalian setuju?”
“Baiklah, setuju,” jawab Jess dan Hutcher berbarengan. Ya, dua tipe
suara yang keluar dari satu mulut.
Zainurma berbalik menuju pintu belakang, hendak kembali ke tempat yang seharusnya. “Hey, Hutcher,
aku punya hadiah kecil untukmu.”
“Mafia macam apa yang mau memberikan hadiah?” Hutcher terkekeh dan
berjalan mendekat.
Dari kantung jaketnya, Zainurma mengeluarkan segenggam serbuk perak
berkilauan. Menamparkannya langsung ke pipi Hutcher.
“Hey, apa yang kau-“
“Lihatlah cermin itu.”
Bukan wajah setengah wanita-setengah pria yang didapati Hutcher,
melainkan spektrum-spektrum warna yang berubah-ubah seiring pergerakan matanya.
“Dan kuucapkan selamat datang bagimu, wahai inspirasi.”
~
Perih berbuah rapuh. Rapuh
ciptakan hancur.
Dan hancur pun bersemi duka.
Hari ini orang tuaku dibunuh.
Wafat. Bahkan sebelum aku mampu mengukir senyum di masing-masing bibirnya.
Tak ada, dan tak akan pernah ada
yang abadi. Semula kukira lebih baik mati untuk yang kedua kalinya setelah
jeritan pertamaku dalam beberapa minggu terakhir lima belas menit yang lalu.
Tapi Zainurma benar. No more tears, this is war zone. Rasa tertantang yang
bahkan lebih kuat dari duka itu sendiri. Menjadikannya luka sesaat yang hanya
menumpang lewat.
Dorongan dari Hutcher pula yang
melakukannya. Meskipun kami tak tahu isi pikiran masing-masing, tapi ada satu
bagian yang ‘diizinkan’ untuk berbagi di antara kami. Hutcher melihat hal itu
sebagai kesempatan dan berbagi kekuatannya. Memperkuat hubungan setubuh dua
jiwa kami.
Dan Harley, apa maksud Zainurma
menyebut namamu ikut dalam permainan?
Kali ini biar kuserahkan pada waktu
untuk menjawabnya. Nikmati saja dulu demo masak ala domba yang diiringi
permainan cahaya Hutcher dan celotehan Hayati.
Eyke capcus yuuu..
~
Mendung terasa semakin kelam. Lebih gelap, bahkan dari kegelapan itu sendiri. Awan-awan sendu
itu dibawa angin hingga tiba di wilayah campuran bagian terluar kota New York
dan pusat kota Astro. Wilayah yang seharusnya
terlihat aneh, tetapi cocok-cocok saja dilihat. Sama saja. Tak ada bedanya
dalam perspektif Oneiros.
Salah satu awan yang mengantarnya bergerak turun, diikuti belasan awan
kecil-kecil. Ups, itu bukan awan. Lihat saja kaki-kaki mungil mereka, keluar
diiringi bunyi ‘pluk’ ringan.
Yap, domba hitam peliharaan Oneiros.
Jubah ungunya berkelepak diterpa angin. Sesekali terbuka, menampakkan
isinya : rangka tulang bocah lelaki delapan tahunan. Cukup mengerikan, namun
bola mata besar pengganti kepala Oneiros-lah yang membuat keangkeran fisiknya
semakin menjadi-jadi.
“Aku.... akan kuusir mereka semua.”
~
“Mbeeek”
Embikan
domba bersayap kepunyaan Samara membangunkan Vino dari lamunannya, masih
tentang Danny. Tak bisakah ia enyahkan Danny dari pikirannya? Mungkin, jika dia
tak terlalu banyak terpapar pengaruh amokinesis Danny.
Masih belum
peka, si domba menyeruduk Vino agar naik ke punggungnya. Langsung melesat
kembali ke tuannya, meninggalkan lobi rumah sakit yang masih penuh celoteh dan
ghibah tak jelas.
Sementara di
taman kota, Samara Yesta sibuk mematuti Harley yang kuciran rambutnya menempel
di batang pohon Ek. Penggesek biola Hutcher tertancap kuat di sana, setelah
sebelumnya menjadi panah darurat perang.
Yups, Sam
terus saja mengunci gadis berkucir dua dan berbusana gemes itu dengan
pandangannya. Mulai dari kulit kekuning-langsatan Harley, blazernya tak
berlengannya, blus yang hanya menjadi penutup dada, sampai hot pants berbahan jeans yang terbalut rok super mini. Diteruskan stocking jaring hitam hingga bertemu
Salvator Veragamo merah ngejreng dengan hak sedang.
Diperhatikan
sampai segitunya oleh orang asing, Harley hanya bisa memberi senyum termanisnya
untuk membei impresi baik-baik. Mulut Yesta tak mengucapkan apapun, namun jelas
sekali matanya tengah berbicara banyak sekali.
“Jadi
begitu, Sam. Kau mengerti kan?” ucap Mirabelle. Sedari tadi ia sibuk
menjelaskan ronde selanjutnya. Bersama Sam turut memperhatikan Harley. Sam
menjawab dengan anggukan kecil.
Dan anggukan
puas Harley.
“Waktuku
habis. Selamat berjuang,” Mirabelle mencabut gesekan biola yang ‘mengunci’
Harley, lantas memberikannya kembali. “Jangan nakal, Harley.”
Si Dewi Perang
berlalu seiring datangnya domba serta Vino di atasnya. Tak lupa pula Buster,
robot kucing peliharaan Vino ; Astronema, si gadis humanoid ; dan Bold, semacam robot seukuran bola bowling melayang
yang turut diajak domba Sam.
“Jadi
Harley, atau siapa pun namamu, aku tak ingin kau terlibat lebih jauh. Tetaplah
di sini dan jangan ikut campur. Vino akan menjagamu,” perintah Sam.
“Apa yang
membuatmu berpikir aku akan macam-macam, nona, samai kau menitipkanku pada lelaki
kerdus pangeran rupawan ini?” Harley mengerilingkan matanya pada Vino.
“Tampang
badutmu cukup meyakinkan,” balas Sam datar. Dia lantas berjalan pergi hendak
menemui sang lawan diikuti ‘geng’nya. Sesaat membayangkan dirinya bak seorang
ketua gangster yang mau tawuran.
“Setidaknya sedikit
make-up bisa cukup membantu, kan?”
“Ya, jika
saja kau tak terlihat seperti pelacur.”
“Ohoho, mucikari
mana lagi dengan hati semurah dirimu yang rela memuji asetnya?”
Muak akan
celoteh Harley, Samara menumbuhkan pohon layaknya penjara untuk mengurung
Harley. Tampak sebagai pohon yang melebar pada bagian bawahnya hingga setinggi
dua meter. Celah-celah pada dasarnya mirip kurungan ayam, dengan Harley sebagai
ayamnya. Minus kamar kecil dan kasur, sejatinya penjara itu adalah tempat yang
nyaman.
Rombongan
karnaval Sam bergerak maju menghampiri lawan. Dengan semangat ’45 yang membara,
kelompok itu terlampau siap untuk bertempur.
Daaaan, mari
kita kembali ke Jess Hutcherson.
Yang saat
ini tengah terlelap di lantai, dengan Hayati sebagai bantal dan domba sebagai
gulingnya.
“Mbeeeek”
Satu suara
membahana yang membangunkan seisi rumah. Jess Hutcherson kocar-kacir. Dari
jendela dapur, diliriknya Samara Yesta dan sepasukan
robot beragam rupa tengah berjalan ke arahnya walau masih terlihat jauh.
“HUTCHER!
BURUAN AH, ENTAR KITA KEBURU MATII!”
“BERISIIK!
Aduhh, ini gesekan biola mana cuma satu lagi.”
“CEPETAAN!”
Dengan
persiapan ala kadarnya, si musisi hode terburu-buru keluar rumah. Hayati dan
domba? Sialnya mereka pergi mendahului tuannya. Walau hanya beberapa saat,
sepertinya dua hewan ini terlanjur memulai lewat jalan yang salah.
“Serang,
Cyiiiiiin!!!!!”
“MBEEEEEEK!”
~
“Aku belum pernah melihat wanita berdebat sampai seperti itu. Lain
kali, jangan pernah coba melawannya.” Vino bersandar pada kurungan Harley.
“Tapi sepertinya hari ini aku cukup beruntung tidak dipaksa ikut perang. Tak
biasanya Sam seperti ini. Baguslah, memikirkan dia hari ini sudah cukup
membuatku lelah.”
“Dia siapa? Kau siapa?”
“Itu tak penting. Siapa pula dirimu?”
“Si cantik yang tersesat, dan disesatkan. Harusnya kau tahu itu, Vin.
Lagipula, apa pedulimu?”
“Benar, aku memang tahu. Dan yang ingin kuketahui selanjutnya adalah apa
yang akan kau lakukan jika kau kulepaskan?”
“Bertukar posisi?”
“Keduanya.”
Hening sejenak di antara keduanya. Memberikan celah pada suara gerimis
untuk diperdengarkan. Dedaunan lebat serupa atap di atas kurungan pohon
melindungi Vino dan tentu saja Harley dari tampiasnya.
“Jikalau ada yang bisa kuingini sekarang terhadap perang di depan
sana, tetap saja aku akan diam. Terus saja mengamati seksinya abs dan biceps
yang siluetnya bertonjolan dari balik kaos oblongmu.”
Vino menggaruk rambut hitamnya yang tak gatal walau berketombe,
kemudian pura-pura merapikan baju sembari terus tersenyum lebar. Ini memang
pakaian sehari-harinya di dalam apartemen. Jarang dia keluar apartemen dengan
T-shirt hijau lumut khas tentara dan celana jeans longgar yang menampakkan
bentuk tubuh balutannya.
“Mengapa kau tak mau ikut campur? Maksudku, di luar alasan sarkasnya
Sam yang akan berujung pada perang di dalam perang nantinya.”
Nafas panjang keluar dari mulut Harley yang membalas senyuman Vino.
“Entahlah, aku merasa telah merusak terlalu banyak.”
“Bisakah kau perjelas? Maksudku, sejelas hubungan kita nanti, manis.”
Rona merah bersemu di pipi Harley. Dipandangnya bilah gesekan biola
setajam silet, bergantian dengan beberapa orang di sekitarnya yang seolah
sekarat. Sepertinya permainan sudah
seharusnya dijalankan.
“Hanya hal sederhana yang membuat makhluk setengah wanita-setengah
pria di sana rela untuk bertarung.”
Vino melempar pandangannya ke arah pertempuran yang tak jauh dari
lokasinya sekarang.
Dan perisai kiranya telah
berubah menjadi tombak. Begitu pula sebaliknya.
Jess Hutcherson menari ringan menghindari sulur-sulur berduri yang
mengejarnya sejak lima menit yang lalu. Dengan sekali tebasan penggesek biolanya,
putuslah benda-benda hijau itu. Sam ditatapnya tajam, menciptakan kesan
mengintimidasi. Sia-sia saja. Yang ditatap malah semakin beringas menumbuhkan
pohon di sana-sini. Mengubah arena menjadi hutan mini.
“Bagus juga sih lawan kita, itung-itung bantuin WWF buat penghijauan,”
komentar Jess. Ia sigap mengelak
ketika serbuan ranting setajam pedang mengincar kepalanya dari sisi kanan.
“Dia itu....tipikal penyihir yang sukanya main dari jauh. Aku bosan
ngeladenin penyihir macam dia beberapa hari ini.” Duri-duri melesat cepat,
sebisa mungkin ditangkis dan dihindarinya dengan penggesek biola. Belakangan
benda itu beralih fungsi bukan hanya sebagai pedang, bahkan sebagai anak panah.
Multifungsi, bukan?
“Ya udah, kita menghindar dulu sampai dia capek. Atau langsung hajar
aja di jantungnya. Aku lagi pengen bunuh orang, nih.”
“Shhhhtttt....kalau ngomongin rencana tuh pelan-pelan.”
Samara yang memperhatikannya hanya tersenyum sinis. Baginya, makhluk
bodoh yang mengitari dan menghindari serangannya dari tadi ini tak lebih dari
sekedar jerawat yang pernah mampir saat masa SMA-nya yang cerah ceria penuh
warna bahagia. Mencolok, namun mudah disingkirkan. Lihat saja tubuhnya yang
kini jatuh terjengkang seusai menabrak batang pohon yang diciptakan Sam
tiba-tiba.
Tubuh aspal meretak, lalu tumbuhlah tanaman dengan sulur elastis
seperti karet. Di bagian lainnya, tumbuhan berbatang serupa anak panah diciptakan
Samara. Matanya fokus membidik Jess Hutcherson, dan singkat cerita
ditembakkanlah panah itu.
Tetapi si anak panah hanya menembus tubuh sasarannya.
“Apa yang-“
Alih-alih mengenai sasarannya, anak panah Samara malah merobek ekor
lapis Millinium Buster yang kebetulan lewat. Kucing itu meraung keras, memecah
konsentrasi Astronema yang sibuk mengolah informasi lawan dari Bold sembari
terus melakukan aksi bela diri melawan Hayati dan domba. Dua lawan empat, mana
imbang?
Ups, sepertinya salah. Di luar dugaan, domba menciptakan beberapa klon
dirinya dan menyerang membabi buta.
Kemampuan silat ala chef dikombinasikan dengan sedikit sentuhan sihir dan
abstraksi efektif memukul mundur Astronema dan domba bersayapnya.
Bagaimana dengan Hayati? Kali ini dia benar-benar tak bisa diremehkan.
Ia diunggulkan dalam medan yang setengah hujan, mengubah manipulasi airnya
menjadi senjata maut.
“Owwhh yeaaah! Pesta yuk,
beibs!!”
Sembari terus terbang dengan domba bersayap Sam yang terus
mengikutinya, Hayati mengirim air bah ke arena, lantas berhenti dan menyedotnya
kembali secepat angin, sebelum menembak Bold dan Buster yang kebetulan berada
di satu titik menggunakan air bertekanan tinggi. Air bagai laser yang terciprat
ke mana-mana cukup untuk menimbulkan kerusakan pada kedua robot itu.
Tapi kemudian mereka bangkit. Bold mengubah mentransparansikan
tubuhnya sebagai bagian dari sistem bertahan. Terlihat kontras dengan Buster
yang semakin ofensif menghajar Hayati.
“Meong, mpuss cantik....Heyyy!! Jangan sampai bulu eyke rusak!”
Domba Samara hanya bisa terus berabstraksi merasakan serangan beruntun
menghabisinya. Pertama air bah hayati, lalu dilanjutkan tendangan demi
tendangan kaki klon domba Jess Hutcherson. Setidaknya, sayap hasil evolusi
cukup membebaskan geraknya untuk terbang, menghindar, dan sesekali menyerang.
Bagai di atas angin, namun
kenyataannya masih di bawah awan.
“Tunggu, dari mana kau mendapatkannya?” kicau Vino penasaran.
“Ini? Oh, aku juga tak ingat. Mungkin akan berguna suatu saat,” jawab
Harley sembari mengayun-ayunkan penggesek biola. “Aku bukan musisi. Jangan
sembarangan menilai orang.”
“Begitukah diriku? Sembarangan menilai orang?”
“Ya, menurutku. Kau meraba-raba pribadi seseorang sebelum mengecap
wajahnya.”
“Hey, bukan kepadamu aku melakukannya.”
“Sayangnya, itulah yang aku tangkap, anak muda.”
Vino terkekeh. Si cantik dalam kurungan ini begitu menarik
perhatiannya. Bahkan lebih menarik dari Danny, pikirnya. Iseng, dia
mengeluarkan logam Millinium dari dalam tubuhnya, lantas membentuk kalung
berliontin Mawar serupa berlian.
“Tahukah kau seberapa cantik aku jika memakainya?” ucapan menantang si
gadis.
Berani sekali, batin Vino. “Hal itulah yang selalu membuatku
penasaran.”
Harley menyambut uluran tangan berisi kalung Vino. Seulas senyum
terukir di wajahnya. “Bisakah kau membuatnya menjadi lebih elastis?”
“Tentu. Seleramu boleh juga, ternyata,” ujar Vino. Kalung itu
digenggamnya sekali lagi. Logamnya seketika terasa elastis, namun tetap solid.
Lampu kota yang berkelipan memantul indah di tubuh Milliniumnya.
Setelah menimang-nimang
sedikit, Harley memasang kalung secara horizontal pada jeruji kayu. Penggesek
biola Hutcher dijadikannya sebagai anak panah. Untuk yang kesekian kalinya,
anak panah lainnya melesat pada hari itu.
“Hey, apa yang kau-“
Dan benda itu pun disambut
tangan Hutcher, lebih tepatnya tangan kirinya. Sedari tadi ia—beserta rekan
potongan tubuh sebelahnya, Jess, sibuk memainkan ilusi dirinya yang sibuk
melawan Samara Yesta. Tunggu, jika itu hanya ilusi, bagaimana mungkin
sulur-sulur tadi bisa terpotong?
Simpel, sih. Kemampuan lanjutan dan kombinasi manipulasi cahaya Hutcher serta suara Jess.
Singkatnya, bayangan itu adalah kendali Hutcher, sedangkan serangan yang
diluncurkan adalah manifestasi suara Jess yang sampai dapat menyentuh, bahkan
menghancurkan benda. Ia terkekeh geli melihat Sam yang mencak-mencak karena
serangannya gagal.
Namun memberi celah bagi para kerangka besi itu.
Kabut pucat tampak tersebar ke seluruh kota. Bukan kabut biasa,
seperti cintaku padamu yang tak biasa pula. Semua orang tampak sekarat setelah
tersentuh kabut itu. Kulit mereka membusuk, seperti penyakit yang diidap Danny.
Seketika itu pula kepanikan melatari seisi wilayah.
Oneiros yang telah selesai dengan kabutnya berpaling pergi. Kini
saatnya mengurus para reverier sialan itu, pikirnya. Dreamcatcher (tongkat panjang dengan jaring lingkaran rumit di
ujungnya) Oneiros angkat.
“Usir mereka. Makan domba-domba beserta inspirasi mereka.”
Domba-domba hitam yang digembalakannya merengsek masuk ke arena
pertarungan. Membawa serta kabut pucat yang telah menyebar ke seisi kota. Tamu
yang tak diundang telah ikut berpesta.
Astronema selesai memproses data lawan. Segerea mengirim sinyal kepada
Bold untuk kemudian diteruskan ke Samara dalam bentuk hologram. Robot wanita
itu lalu menembakkan air bertekanan tinggi keluar arena. Sasarannya hanya satu
: Jess Hutcerson.
Ya, menggunakan kemampuan Mimicry,
Astronema dapat meniru keahlian lawan. Bahkan sihir sekalipun. Dia juga telah
meng-copy botanokinesis Samara.
Dengan dua kemampuan barunya, pertarungan ini sepertinya akan segera berakhir.
Sadar akan kemunculan bahaya yang teramat tiba-tiba, Jess berinisiatif
menghindar ke samping. Namun pohon-pohon besar yang sekali lagi muncul mendadak
mengalihkan perhatiannya. Ekor gaun Jess robek, menyisakan bagian pinggang yang
memanjang sedikit hingga paha.
Seolah tak cukup, batang pohon besar setinggi puluhan meter di
hadapannya ambruk. Si musisi mengeluarkan biola dan dengan dua gesekannya, Jess
bermain seligat mungkin hingga tercipta retakan besar pada salah satu sisi.
Sekali lagi, nyawanya terselamatkan.
Musisi itu melesat cepat sambil terus memainkan biolanya. Sesekali
Jess berteriak lantang, menghancurkan pepohonan yang tumbuh semakin rapat.
“Cih, pantes aja makin kuat. Ada bantuan datang rupanya.”
“Dasar pengecut beraninya main keroyokan.”
Gerimis yang turun mengucap salam pada kabut sepucat kulit mayat.
Sepuluh menit berada di arena, belasan batang pohon sukses dibusukkannya
sebelum akhirnya tumbang. Tetesan air dengan cepat menebalkan tubuh gasnya. Dan
sekarang, selimut putih itu tengah berusaha dihindari Sam yang kulitnya melepuh
dan Astro dengan punggung yang berkarat.
Melihat ada kesempatan bagus, Jess Hutcherson berimprovisasi untuk mengarahkan lawannya
kembali ke kabut. Tak begitu mempedulikan rambut Jess yang mulai memutih
terpapar kabut. Berayun dan melompat mengikuti kepala aneh tempat akarnya
tertancap.
“Kembalilah ke neraka! Aku benci wanita berpakaian hitam. Selera
mereka terlalu rendah,” seru Jess.
“Tidak, jika aku lebih dulu.”
“Di manakah neraka itu, Nona?” tanggap Astronema polos.
Terpapar kabut dan beberapa domba hitam yang menyertainya tak lantas
membuat Sam menyerah. Arena adalah istananya. Astro juga sangat membantu, meski
harus diakuinya kalau tergadang robot ini ceroboh juga. Bagaimana tidak? Humanoid yang satu ini berulang kali
jatuh terpeleset dan salah-salah mengarahkan kekuatannya pada Sam. Sambaran
petir juga hampir mengenainya. Samara hanya bisa mengelus dada selagi
menciptakan tanaman-tanaman macam Sansevieria
untuk menetralisir kabut.
“Astro, kirimkan air dalam volume besar hingga membanjiri tempat ini!
Kabut tak berguna ini membuatku kesal,” perintah Sam, tak lupa dengan gerutu
khasnya.
“Baik, Nona!”
Sekonyong-konyong air bah bervolume raksasa datang dan menghancurkan
hutan. Jess-Hutcher tak dapat mengelak. Namun, betapapun konyolnya makhluk ini,
sepertinya keberuntungan masih memihak padanya. Lihatlah, perisai suara yang
dibuat mendadak oleh jeritan Jess melindungi mereka.
“Wadooo,” komentar Hutcher.
“Ayo cepetan! Aku ada ide,” sahut potongan tubuh sebelahnya, memberi
usul. Sembari terus menggunakan perisai yang mengelilinginya, Jess-Hutcher
memotong akar-akar yang menjulang tinggi. Sistem sonar frekuensi tinggi yang
digunakaan Jess mendeteksi adanya
makhluk hidup di atas mereka. Siapa lagi kalau bukan Samara dan robotnya?
Dalam air, proses perambatan gelombang bisa terjadi lebih cepat.
Gelombang yang dihantar bisa menghasilkan frekuensi yang lebih tinggi pula.
Maka...
BYYUUURRR!!
Keduanya tak sempat kaget—konon lagi menghindar saat gravitasi menarik
jatuh tubuh mereka. Samara dan Astronema langsung disambut suara berfrekuensi
ultra dari Jess yang berteriak dan memanipulasi suara kerasnya dalam air.
Mereka berdua ikut menjerit menahan sakit dalam tubuh dan kepala masing-masing.
Tetapi sekian detik kemudian air yang menenggelamkan mereka malah
menyurut. Ah, sepertinya air pun marah diteriaki seperti itu.
Matahari mengintip sendu dari
balik awan. Bagai inspirasi dan ide cemerlang dalam benak Hutcher.
Ia mencoba mengarahkan sinar matahari hingga dipantulkan genangan air
serupa cermin. Pantulan cahaya yang hingga beratus-ratus kali itu pun
menghasilkan laser bersuhu ribuan derajat dalam satu titik fokus. Pohon-pohon
pun tumbang diputus pancaran laser, dan ketika hampir mengenai musuhnya...
“Mbeeek!”
Seru domba hitam yang tiba-tiba menyeruduk Jess-Hutcher hingga jatuh
terjengkang. Domba Oneiros itu menggesek-gesekkan tubuhnya pada si musisi.
Sesekali ia berabstarksi dan mengitari tubuh aneh Jess Hutcherson. Inspirasi
yang menggerakkan kekuatannya menurun seketika.
Dan sulur-sulur itu pun berkejaran cepat menuju padanya.
Domba bersayap kini hanya berdua dengan Buster setelah ditinggal kedua
rekannya yang berpaling ke sisi Sam. Di hadapannya, Hayati dan domba
Jess-Hutcher terengah-engah tanda capek. Buster sendiri tampak masih semangat,
terlebih lagi dengan adanya data lengkap musuh yang juga diterimanya dari
Astro.
Tetapi mereka tidak sendiri. Domba-domba hitam Oneiros mengepung
hewan-hewan itu, bagai serigala yang siap menerkam anak rusa.
Dan kemudian terjadilah aksi menegangkan yang biasa kita lihat di channel ‘Animal Planet’.
“Aku hanya bosan. Itu saja,” ucap Harley enteng.
“Lalu aku harus apa untuk menghilangkan jenuhmu?”
“Kau bisa keluarkan aku dari sini, kan?”
“Memangnya ada apa? Jangan bilang kau mau ikut perang. Bisa mati aku
dibuat Sam.”
“Oh, itu tidak akan terjadi.” Harley menggigigit pelan bibirnya.
“Setidaknya kau pernah mengecap surga sebelum mati,” tambahnya sembari melepas
blazer, bersamaan dengan elusan lembut di selangkangan Vino. Aduhai, lelaki
mana yag tidak tergoda?
Vino kembali mengeluarkan Millinium. Kali ini ia membentuk pedang yang
segera ditebaskannya ke dua jeruji kayu. Lebih dari cukup untuk jalan keluar
Harley. Benar-benar lelaki perkasa.
“Dari mana aku harus mulai? Emmhh... tidak mungkin aku langsung
menghisapnya, kan?”
Lelaki itu menikmati saja dua tonjolan kecil dadanya dimainkan tangan
kanan Harley. Tangan lain si gadis melempar sesuatu dengan kekuatan penuh ke
arah yang terlihat acak.
Pisau itu sukses mengabstraksikan Oneiros yang sibuk memperhatikan
domba-dombanya. Tubuhnya berubah menjadi ratusan bola mata, lalu mewujud
kembali dengan sempurna di samping Vino dan Harley. Kalau boleh dibilang,
adegan mereka berdua makin panas saat ini.
“Ap....apa yang kalian berdua perbuat?” Oneiros histeris melihat kedua
tangan Vino meremas bukit simetris lawan mainnya sambil terus melayangkan cumbuan
mesranya hingga susah bernafas.
“Kau mau ikut? Aku penasaran apa rasanya bercinta dengan kerangka.”
Harley makin beringas memainkan titik kecoklatan menantang Vino yang
masih terbungkus kaos tipis. Tak jarang ia menjilat dan menyedot bagian
sensitif itu. Tangan kirinya meremas gemas kakunya batang di selangkangan Vino
dan dua bola kecil yang menyertainya—sudah bangkit duluan sebelum dikomando.
“Ah..ah..ahh, yeahh teruskan, sayang. Kocok terus botol susu itu,”
desah Vino.
“Ti....ti..tidak! Tidak! Aku benci melihat gerakan-gerakan seperti
itu.”
“Ayolah, mas. Kau pasti suka.”
“Kalian, kalian adalah reveriers, kan? CEPAT PERGI DARI SINI!!!”
Yang diteriaki malah semakin asyik bercinta. Vino bahkan sudah membuka
bajunya, membiarkan jilatan Harley menyusuri keringat yang mengucur dari perut
enam kotak dan dada bidangnya sampai ke kedua celah sempit dihimpit biceps kekar.
Fantasinya terbang entah ke mana saat Harley makin ganas mengocok botol yang
menggantung tegak, melompat keluar begitu Vino memelorotkan boxer-nya.
“Eemmmpphh....kau salah. Jika kau mencari sepasang reveriers, maka
itulah mereka.” Harley menunjuk Astro dan Samara. Terlihat samar karena
tertutup dinding pohon. “Aku bisa memberi tips untuk mengusir mereka.”
Yang ditunjuk tak peduli. Tengah fokus dengan musisi berpedang ganda
yang menari indah nan mematikan di hadapannya. Beberapa kali penggesek biola
pemusik itu berhasil menyayat Sam, bahkan hampir memutus tiga anggota tubuhnya
jika saja gagal melakukan regenerasi. Astronema bertarung gaya defensif,
menghindari dan menangkis tiap serangan Jess Hutcherson sambil terus mencari
momentum.
“Memangnya apa yang bisa kau lakukan? Kau hanya wanita penghibur,
bukan?” ejek Oneiros. Dia mengetahui terlalu banyak hal untuk bocah seusianya.
“Kau terlalu meremehkanku. Makhluk sejantan ini saja mampu kutaklukan,
bagaimana dengan dunia?”
“Urrrrrgggghhhhh....aaaaaarrgghhhhh... Demi Tuhan, atau siapapun kau,
ahhhhnnnn... aku telah sampai di surga.”
“Baiklah, katakan.”
Harley permainannya, lalu berdiri dan menatap tajam bola mata
‘raksasa’ Oneiros. “Arahkan dan rapatkan semua dombamu dan rapatkan ke mereka. Astronema
dan Sam akan pergi selamanya.”
“Tak bisakah kau mengerti bahwa hal itulah yang sedari tadi coba
kulakukan?”
“Cobalah sekali lagi. Keadaan sudah berbeda, kau akan berhasil,” ujar
remaja itu sembari mencium lembut botol Vino yang kemerahan.
Oneiros mengarahkan dreamcatcher
ke tengah lokasi Astro dan Sam yang tengah menatap sinis lawannya terlilit
sulur-sulur hijau berduri. Darah mengalir deras, beberapa terciprat bebas.
Nyawa pun serasa di awang-awang.
“Sudah berakhir, sayang. Kabarkan padaku bagaimana keadaan neraka
nanti. Jangan lupa untuk selalu mengirim surat.”
“Kenapa tidak? Malaikat pasti senang mengirim surat pada Si Rambut
Hitam, Panjang, dan Berketombe,” jawab Hutcher.
Di sekitar mereka, segala domba
hitam, baik yang tengah mengeroyok Hayati dan binatang di sekitarnya maupun
yang iseng menyeruduk penduduk lokal segera berkumpul. Tiba-tiba mengepung dan
menggencet Sam serta Astro sembari menyerap inspirasi mereka. Sulur yang
menjebak Jess Hutcherson pun terlepas.
Jess Hutcherson mundur menjauh. Terlihat bingung campur lelah luar
biasa terhadap apa yang terjadi. “Eh? Eh? Kok gitu sih? Loh kok marah?”
“Jangan gitu sayang. Jangan gitu sayang~”
Momen paling tepat yang langsung disambar si musisi. Panah darurat
perang kembali diarahkan, kali ini dengan dua anaknya, mengikuti anjuran KB.
Dengan kekuatan penuh, senjata itu ditembakkan tepat mengincar jantung
masing-masing targetnya.
Whhhoooooossshhhh~
“AAAAAAAAAAAAARRRRGGGGGGHHHHHH!!!!”
“AHHH....CROOTT!!”
Dua teriakan berbeda yang berbunyi bersamaan. Di teriakan pertama,
kita melihat Samara Yesta dengan dada kirinya berbanjir darah. Regenerasinya
tak dapat digunakan lagi seiring habisnya inspirasi oleh domba hitam. Dan kini
jantung, titik terlemahnya, dihancurkan habis-habisan oleh penggesek biola.
Teriakannya bagai seruan kepada malaikat untuk segera menjemput nyawanya yang
telah berpisah dengan raga.
Di teriakan kedua, umm.... situasi di sini rumit. Tak dapat
dijelaskan. Yang pasti adalah Si Jubah Ungu diusir secara tak terhormat dengan
Mirabelle, bersamaan dengan menghilangnya kabut pucat dari penjuru wilayah.
Dewi Perang itu tak berucap apapun, juga tak begitu kaget dengan tubuh yang
terbaring dengan wajah luar biasa puas dan resleting terbuka. Begitu juga pada
gadis bermulut penuh cairan putih, tidur menyandar pada tubuh si pria.
Usaikah ini?
~
Aduuuuhhh....
Capek juga sih berantem mulu dari
tadi. Banget. Tapi eyke ya... seneng sih. Dapet inspirasi baru tuh rasanya
kayak makan Mbak-Mie Meow-ah sama om Rapli Amat. Kebayang dong gimana serunya?
Eyke juga akhirnye ngerasa berguna walau dari tadi cuma terbang-terbang gaje.
Inspirasi, sesok-sesok ojo lali mampir meneh yo (baca : aku Yahudi
Inspirasi,
besok-besok jangan lupa mampir lagi ye!).
Emang dah ini binatang. Kagak ada abisnye
kalau diajakin kompromi. Yang satu ngeong, satu lagi ngembek, satu lagi cuma
manggut-manggut doang. Hayati lelah, bang! Untung aje mereka pada bisa diajak
damai. Kan gak lucu kalo Tipikor penuh sama hewan-hewan ga berbentuk?
Yups, iye beneran. Awalnya tuh
si kucing besi kagak setuju. Ya udah eyke komporin aje barengan sama kambingnye
si bencong. Kambing yang ade sayapnye juga berhasil ane bujuk. Terus
kambing-kambing hitam itu....emmm..... au ah gelap. Dan sejauh ini eyke cuma
ada satu pertanyaan, ga penting-penting amat sih :
ITU KAMBING-KAMBING LAKNAT
EMANGNYE KAGAK IKUTAN KURBAN APE?
~
Zainurma menghampiri Jess Hutcherson yang terbaring dalam keadaan
koma. Musisi itu menghabiskan terlalu banyak energi. Jasad yang aneh,
sebenarnya. Apa lagi kalau bukan penampilan fisiknya yang semakin aneh dengan
busana setengah-setengah yang robek di sana-sini.
Keempat binatang yang tadinya berselisih kiranya telah berhasil
mencipta damai. Mereka sadar, sebagai hewan yang sama-sama langka, tak sepatutnya
mereka berselisih paham. Setidaknya itu yang disampaikan Hayati, disambut oleh tanggapan
setuju dari suara spesies masing-masing.
Kini, pandangan Zainurma tertuju pada dua sosok yang juga terbaring
lemas tak jauh dari posisi Mirabelle. Tubuh semi telanjang itu bertindihan,
dengan ekspresi kepuasan luar biasa di wajah masing-masing. Zainurma berdesis
pelan.
“Lelaki kerdus.”
~
Hahaha... Ya ampun, gila sekali.
Kau tahu, hampir-hampir aku tak
percaya pada hal ini. Tak pernah terbesit benakku akan datangnya hari ini.
Namun, secara keseluruhan aku bahagia. Bahagia karena gila, gila karena cinta,
cinta karena cerita.
Kau juga pasti tahu tentang
goresan luka yang teramat mendalam padan kakakku. Ups, sepertinya aku terlampau
jauh. Yahh, setidaknya tujuanku menghidupkan karya ini bisa dibilang tercapai,
walau dalam beberapa momen ia melenceng jauh dari yang aku dapatkan.
Emmhhh, gurih sekali. Asam yang
dipadukan pada rasa tubuh itu lebih dari kuat. Harus kuakui, jujur saja, kali
ini aku terlalu berlebihan untuk sekedar pengalih perhatian. Namun, sekali
lagi, aku berhasil. Tak bisakah kau bayangkan betapa kecilnya kemungkinan untuk
selamat jika dengan Metallokinesisnya ia mengamuk setelah tahu aku membunuh
pacarnya.
Cukupkah ini semua? Bisa jadi,
jika aku bukanlah Harley Romanoff.
Mmuuaaachh!
--
>Cerita sebelumnya : [ROUND 1 - 7F] 41 - JESS HUTCHERSON | RINAI PURNAMA
>Cerita selanjutnya : -
Saya ga ngerti awalannya. Kenapa tiba" kepala orangtua Jess kepotong? Apa Harley yang bikin jadi begitu?
BalasHapusEntah kenapa banyak hal yang bikin saya rada bingung sepanjang baca entri ini. Jadi, Harley ditangkep sama Samara, terus dijagain Vino? Sementara Samara dan robot" ngelawan Jess-Hutcher? Dan Oneiros di akhir ngincer Samara, secara ga langsung nyelamatin Jess-Hutcher?
Saya susah nge-pinpoint apa tepatnya masalah di entri ini, tapi intinya saya kadang ngerasa agak susah fokus ke apa yang lagi terjadi. Seengganya saya nangkep garis besarnya aja meski agak miss detil kejadiannya
Dan saya juga ga ngerti siapa yang bicara tiap ada monolog italic
Iseng balik ke entri ini dan baca ulang, komprehensi saya lebih dapet dari 2nd read. Mungkin mesti balik juga ke entri lain yang udah dikomen seselesainya baca
HapusSaya baru ngeh kalo monolog italic itu ganti", dari Hutcher-Jess-Hayati-Harley, cmiiw. Juga diliat lagi, entri ini beneran singkat in a hindsight karena langsung tarung tanpa bumbu apa". Tapi saya masih ga ngerti kenapa orangtua Jess mati di awal, juga apa kontribusi Vino/Harley ke cerita ini selain jadi pengalih Oneiros
Ummm.. .okay, so... Sepertinya strategi menggunakan Misteri dan foreshadows yang singkat ini gagal.
HapusJadi, seperti yang kita tahu, Harley-lah yang membunuh kedua orang tuanya. Kenapa? Pertama karena dia sudah terlanjur ilfeel sama bokapnya (seems di sini harusnya memang lebih detail lagi). Alasan lainnya karena pengetahuan Harley tentang turnamen yang disampaikan majikannya Hayati. Nah, si cewek ini pengen bangkitin kekuatan dari dukanya kakaknya (tapi gagal juga toh karena tantangannya Zainurma. Tertulis di monolog Jess).
Harley bisa dibilang berhasil. Terbukti dengan jeritan Jess setelah melihat kedua orang tuanya. Karena kejadian itu pula Harley bisa bertemu dengan kubu lawan setelah tak sengaja dipanah Hutcher (ini di luar rencananya).
Harley adalah perancang cerita ini. Segala sesuatu diamatinya, terlebih lagi di dalam kurungan Sam. Dia membunuh orang tuanya sendiri untuk membangkitkan inspirasi kakaknya, dia beradu bacot dengan Sam untuk mengacaukan kondisi psikologisnya, juga untuk menarik perhatian Vino, dia mengembalikan penggesek biola Jess-Hutcher karena sadar akan bahaya besar yang mengintai, dia mengacak-acak nalar Oneiros hingga bisa ditipu, dan dia sukses memperjakai Vino. Jika lebih teliti, ada banyak kejadian yang tidak akan terjadi tanpa adanya Harley.
Vino? Dia lebih dari sekedar pengalih perhatian. Karena Milliniumnya-lah penggesek biola bisa dikembalikan. Karena atensinya yang begitu kuatlah Harley bisa menggiring Oneiros. Pengalih perhatian bukan sebagai pengulur waktu, tapi 'pengakhir waktu'. Dia jugalah yang menjadi 'pengantar' mimpi buruk ke kota yang dimulai dari Danny.
Btw saya ga ngeliat komen tentang teknik penulisan kali ini, padahal itu yang paling saya tunggu2. Thx udah komen dan nyempetin baca 2 kali
Trims balesannya. Sama kayak Pucung, kalo dibeberin langsung sama penulisnya gini baru saya nangkep. Kadang" emang reading comprehension saya ga bisa diandelin, jadi kurang nangkep kalo sesuatu disampeinnya tersirat
HapusNgeliat segitu banyaknya plot Harley, Jess-Hutcher kayak jadi motor cerita sementara pengemudinya Harley ya. Ngingetin saya beberapa entri lain di ronde ini juga ngasih impresi yang sama kayak gini
Btw soal teknik penulisan, ronde ini saya ga gitu pengen nyorotin kecuali emang ngusik perhatian saya, yang artinya di entri ini saya anggep ga ada yang gitu perlu saya komenin. Mungkin ada satu-dua hal yang saya kurang sreg pas baca (kayak narasi Hayati), tapi saya anggep itu emang style penulis aja, sementara komplain saya palingan subyektif dan minor, ga ngaruh ke ceritanya sendiri
Gak kerasa sekarang udah entri nomor 20 aja www
BalasHapusTeknik penulisan... saya rasa lebih halus dibandingkan R1 ataupun prelim, jadi sekiranya yang bisa saya komentari lebih ke bagian plotting dan penokohan.
Pertama, premis plot dan eksekusinya lumayan rapi meski tersirat dan harus dibaca ulang agar bisa ngerti yang sebenarnya. Tapi saya rasa hal seperti itu adalah hal yang bagus kok. Pembaca jadi kepo, dong? Tinggal kita ngolahnya lagi aja sih.
Harus saya akui pembangunan emosi dalam cerita ini udah makin kerasa wah. Meski saya rasa Harley yang malah dapat sorotan utama dibanding Jess maupun Hutchernya sendiri. Tapi setelah baca ulang, saya rasa itu relevan sih. Jadi saya maklum.
Pemanfaatan karakter-karakter lawan juga udah cukup mumpuni. Meski kalau boleh jujur pas dibandingin sama Samara yang di entrinya sendiri (ngerujuk di prelim, fbc, dan R1) rasanya ada perbedaan kesan ama suasana yang dibawa karakter itu.
Btw Jess dan Hutcher pemenang tunggal juga ya :'0
Sayang sekali, padahal kalau Samara ikutan juga sekiranya akan jadi entri yang bisa berimbang, jadi lebih seru gitu pas mau nentuin vote www.
Segitu aja kayaknya dari saya.
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusIni baca sambil komen, jadinya kalo ada yang menarik ane masukin sini nih.
BalasHapusThat Zaskia Go-Thick surely make everyone smile
Lah, ini yang ngebunuh ortunya jess siapa? masak harley? Alasan illfeel sama bapaknye sih kayaknya kurang kuat ye. entahlah, mungkin bisa dibuat semacam 'dendam kesumat bertahun-tahun'. Kalo untuk ngebangkitin inspirasi Jess kayaknya masih ada sejuta cara lain tanpa harus membunuh ortunya. Kalo dia psikopat, well, lain lagi ceritanya.
Kerasa agak sepi yah. waktu Zainurma ngomong sama Jess-Hutcher. harley kaga nimbrung? serasa hilang,
Oke, baru ngeh kalo Sam itu Samara setelah beberapa paragraf. gw kira NPC wanjirr
lebih menarik obrolan romansa vino-harley ketimbang battlenya. Mungkin karena lebih emosional?
demonstrasi skill jess, jadi keinget Jurus Auman Singa di kungfu hustle, yang emak-emak punya apartemen
Overall leh uga nih entri. Apalagi si Harley likeable juga karakteristiknya. tipe-tipe strategist gitu yang tahu harus melakukan apa dan kapan, observant juga. Kalo muncul lagi di entri selanjutnya seru, nih.
-Authornye entri nomer 21
Selamat melenggang ke 16 besar. Ane seneng ada entri komedik begini, selain Takase dan Marikh, juga Nora. Formalitas harus tetap dilakukan, jadi...
HapusDewa Arak Kolong Langit melempar 'Anggur Merah cap Orang Tua' pada Jess Hutcherson!
+1 vote buat Lady-Man Sin!