Alam Mimpi.
Ialah rupaan semesta ide yang terbentuk dari bermiliar impian dan lamunan, perwujudan ranah penggubah angan dan cita dari pemimpi beribu jagat. Berbentuk nirstabil, Alam Mimpi tersusun dari materi acak nan abstrak akibat jumlah impian tak terbatas. Impian-impian itu lalu berkelompok, menghimpun Bingkai-Bingkai Mimpi sesuai semesta masing-masing.
Bingkai Mimpi ini bukan tanpa pemukim. Pernahkah kalian mendengar, orang yang kita saksikan dalam mimpi sesungguhnya adalah mereka yang memang pernah kita jumpai di dunia? Itulah Kayal, makhluk jelmaan yang terwujud dari kenangan pemimpi. Setiap Kayal yang tercipta, bertahan di semesta mimpi dan menjadi penghuninya.
Pun rupa, bau, rasa, warna, dan semuanya terkoleksi dalam semesta mimpi sesuai dengan apa yang diingat oleh sang pelelap.
Namun apa yang menurutmu akan terjadi jika seseorang tertidur tanpa mengingat apapun?
Apa yang berlaku ketika terselap namamu kala pejam?
Satu: Karya-Gempa-Lawan
"Lalala~"
Di sebuah Bingkai Mimpi kegemarannya, Ratu Huban melangkah dengan riang.
Ia menyeberangi jembatan kayu di atas aliran sungai susu vanilla, bersenandung menikmati panorama mimpi. Padang rumput berwarna jingga, bunga-bunganya hijau menghias rupa. Dari kuncupnya tercium semerbak madu campur susu. Acap kali terbuka mulut untuk bicara, terasa manis dikecap lidah.
Di sana Zainurma mendekat, menghampiri ia yang berparka warna lemon.
"Huban, apa kau sudah menemukan penyebab si anomali itu?" tanyanya, tak didengar oleh si kepala bantal. Zainurma kemudian berdeham dan menyebut nama sang Ratu penjelajah sekali lagi, ditanggapi dengan keterkejutan Huban.
"M-maaf Om Mafia," gugup Huban, "tadi bilang apa?"
Sedikit kesal, Zainurma mengutarakan kembali pertanyaannya. Huban menggeleng.
"Kukira itu bukan masalah?" jawab Huban. "Lagipula satu pemimpi saja tidak ada pengaruhnya untuk turnamen ini 'kan?"
"Entahlah," keluh Zainurma. "Aku hanya penasaran, benda mati yang kamu tandai dengan asal itu, bagaimana bisa benar-benar punya Bingkai Mimpi sendiri? Ugh, bermimpi saja tak bisa."
"Om 'kan bisa ajak dia ke museum terus cari tahu langsung dari orangnya–eh maksudku, kalengnya."
"Tidak," jawab Zainurma, "[Sang Kehendak] tak akan mengijinkanku membawa pemimpi ke dalam museum hanya untuk memuaskan rasa penasaranku akan keanehan ini."
"Anda yang aneh, Tuan Nurma," Mirabelle menghampiri mereka, mendadak muncul entah dari mana. "Soal cuak itu, bukankah lebih perlu kita perhatikan daripada seonggok sampah hidup?"
Zainurma terbisu, sedikit kaget mendapati kedatangan Mirabelle.
"Seluruh tempat ujian yang kita siapkan di Bingkai Mimpi masing-masing pemimpi telah diinvasi oleh cuak. Tak hanya itu, Bingkai Mimpi yang sudah terserap dari awal pun mulai diracuni oleh kehadiran mereka dan menjelma menjadi Bingkai Mimpi Buruk," terang Mirabelle.
"Setidaknya para pemimpi masih beruntung, Bingkai Mimpi mereka diutuhkan kembali oleh [Sang Kehendak] sebelum kekacauan melanda lebih jauh," ungkap Zainurma.
"Yah, lagipula kita sudah tahu kalau Oneiros ada hubungannya dengan jumlah cuak yang membludak, bukan?" tukas Huban, dibalas dengan anggukan sang Dewi.
"Sayangnya ia bersikeras tak ingin memberitahukanku apapun."
"Tapi jika memang dia, bagaimana Oneiros mengambil energi inspirasi?"
"Entahlah, Huban," jawab Zainurma. "Cuak hanya akan muncul jika Bingkai Mimpi kehilangan inspirasi, jadi pasti Oneiros memiliki suatu cara untuk menyerapnya."
"Kalau dibiarkan, manusia akan kehilangan mimpi indah ... aku tidak suka itu," rutuk Huban.
"Sebenarnya itu bukan urusan kita," lanjut Zainurma seraya membetulkan kacamata hitamnya. Ia lalu berbalik arah, berniat meninggalkan tempat itu.
"Aku dan kau, Mirabelle.
"Kita tak lebih dari Kurator dan Konservator Museum Semesta, pesuruh [Sang Kehendak]."
===
'Bukankah itu Tuan ...?'
Ini Bingkai Mimpi Stalla.
Kota tinggal bapak pemulung kini terasa semakin luas. Jarak antara area padang rumput dan kota menjauh, jajaran gunung tak lagi kasatmata. Pun istana Gleastran kini tak terjangkau langkah, berlokasi cukup jauh dari gubuk si Bapak.
Saviit dan Stalla kini berada di dalam gubuk, mendapati dua buah benda baru di dalamnya. Mereka melayang, tak bergantung dan tak bertopang pada apapun. Satu lukisan berbingkai, lainnya berwujud kubus. Keduanya memiliki ukiran yang mirip di tepinya, dilengkapi tulisan serupa judul di salah satu sisinya.
Diperhatikannya lukisan bertajuk 'Bapak' dengan huruf B yang menonjol. Sosok Gleastran dan Bapak yang dipasung di tiang besi itu membawanya kembali ke kisah lalu. Sebuah kisah yang tak berakhir menyenangkan.
Stalla lalu beralih ke kubus di sampingnya, kotak emas dengan kata 'Anatolia' terpintal di luarnya. Tak lama setelah ia mendekat, kubus itu seketika terbuka dan menampilkan miniatur Kilat dan Akari. Model kecil itu bergerak-gerak lucu sambil mengalunkan melodi Anatolia yang datar.
"(Ini karya seni yang kamu gubah dari dua ujianmu sebelumnya,)" embik Saviit. "(Kamu tidak mendengarkan ya? Zainurma tadi sempat bilang karya kalian dikirim ke Bingkai Mimpi masing-masing.)"
'Begitukah? Aku tak ingat, hehe~'
Memang setelah Anatolia, Stalla sempat terseret ke Bingkai Mimpi berhias panorama gunung-gunung yang menghunus awan dengan sebuah kuil di puncak yang tertinggi. Di dalam dan luar bangunan itu tersebar patung-patung pemukau mata, gagah dan anggun layaknya penghuni kayangan.
Itulah Bingkai Mimpi Mirabelle, sang Konservator Museum Semesta.
Masih terbayang di benaknya sebuah tayangan dari Zainurma yang alih-alih menghibur malah membangkitkan kengerian para Reverier yang juga hadir di kuil Mirabelle. Sebuah semesta di ambang kebinasaan.
Berawal dari penggelapan, berakhir dengan siksaan yang menggerogoti nalar. Seiring waktu dunia yang dikisahkan melenyap dan tertarik ke lokasi yang mereka kenali sebagai Museum Semesta.
"Semua semesta itu memang akan direnggut oleh [Sang Kehendak], dengan atau tanpa kalian menjadi Reverier. Ketika kalian ditandai dan menjadi reverier – atau pemimpi unggul – maka setidaknya kalian punya kesempatan untuk mengubah takdir."
Kata-kata Mirabelle terngiang. Sulit bagi Stalla untuk kemudian memperhatikan Zainurma dengan baik. Berbeda dengan pemimpi lain, Stalla bahkan tak mengerti apa yang harus dilindunginya.
Dirinya diliputi kegamangan.
===
Pada suatu masa, terbangun satu keluarga di sebuah hunian yang hangat.
Suatu waktu mereka berkumpul mengelilingi sebuah meja yang di atasnya telah tersaji beragam sayur dan lauk-pauk. Kedua kakak beradik terlihat duduk tertib sementara sang ibu dengan tekun mengambilkan nasi untuk mereka. Sang ayah memandang sang istri dengan mesra, memperhatikan tiap gerak lakunya.
Obrolan sebelum makan malam pun kian menentramkan. Ibu yang setia meladeni keluarganya, Ayah tak lupa untuk menasehati anak-anaknya, sementara mereka senantiasa antusias mengisahkan apa-apa kejadian menarik di sekolah.
Betapa bersyukurnya sang kakak melihat keluarganya ketika itu.
Betapa bersuka ia sebelum tragedi menghantam.
"...."
Sayangnya kini cuma ia yang tersisa.
Sekarang dirinya sedang berada di sebuah taman. Ada jungkat-jungkit, ayunan, dan perosotan. Terdapat pula bak pasir besar lengkap dengan sekop dan ember kecil. Pohon-pohon hijau tumbuh mengitari sisi dalam, melambai-lambai tertiup angin. Di bawah salah satu pohon tersedia bangku panjang yang terbuat dari kayu bercat merah.
Di sanalah ia, Adrian Vasilis, merebah berbantalkan domba.
Pria berambut poni itu melirik dua buah karya yang dirangkainya pada dua peristiwa sebelum, melayang tak jauh darinya. Ingatan-ingatan pertempuran itu terkilas balik, mengembalikan kegeramannya. Tangannya terkepal terbayang dendamnya.
"Patung otak biadab," umpatnya.
Mendadak terdengar ricuh.
Adrian bangkit, agak terkejut. Dilihatnya puluhan orang berlarian diiringi dentuman bertalu-talu. Ketakutan, mereka seolah kabur dari penjemput ajal. Sebagian menuju taman, memenuhi area pribadinya. Belum sempat memastikan bencana apa yang berlangsung, Adrian diselimuti bayangan bulat yang luas.
"Awas!"
Batu besar menghajar.
Kursi itu remuk, lantak oleh bongkahan raksasa yang meluncur jatuh. Entah bagaimana benda itu ambruk tepat di tempat Adrian. Tak cuma satu, beratus lain menyusul. Daratan hancur, mencabut nyawa siapa yang terkena. Jerit takut bergaung-gaung, mengiringi kengerian yang melanda.
Namun ajaib, salah satu batu itu berasap lalu terbubung ke atas. Asap itu segera menyatu dalam satu kepulan, mewujud siluet manusia. Laun asap itu memadat, mengembalikan rupa yang tadi lenyap.
Adrian kembali.
"Ugh, untung tubuhku terbuat dari asap."
Ia berdiri di atas batu, mengamati sekeliling. Hujan dadakan itu terus menderu selama sekian menit. Bahkan headphone yang dikenakannya tak mampu menyembunyikan bising yang melanda. Sejenak mereda, pandangan menyisakan genangan darah di tiap alas batu. Segelintir jiwa selamat, gemetar mendapati mayat rekan-rekannya terlumat.
Lalu gemuruh.
Mayat dan darah menggumpal seperti gel, merambat melingkupi batu besar yang menimpanya. Batu bergeretak seolah dikunyah, sang selimut merah bergetar kuat. Gumpalan itu kemudian membentuk tentakel-tentakel lancip, menikam siapapun yang terjangkau.
Pelan mayat itu menghimpun, membentuk wujud baru dari darah dan raga manusia namun dengan anyir bangkai yang menyengat.
"Mimpi buruk apa lagi– aaahh!!"
Bingkai Mimpi berguncang kuat.
===
'Ayo cepat kabur, ueeee~'
Belum lama Saviit dan Stalla bertukar cakap, keriuhan terjadi. Langit kelam, nuansa mencekam. Saviit dan Stalla menyaksikan manusia-manusia berlarian ke segala arah. Sekali waktu mereka bertubrukan, lalu bangkit dan kembali kabur. Kengerian mengubur pandang, sesuatu mengejar mereka.
Stalla bersama Saviit menggiring rasa penasarannya ke luar gubuk, mengikuti arah suara. Dari arah pengejar muncul beberapa figur manusia berpakaian perang mendekat. Mereka berjalan lambat-lambat, mata membelalak, mulut terkuak. Liur dan darah mengalir dari segala rongga, termasuk sekujur lengan yang berlubang-lubang.
Satu terjatuh.
Punggung kemudian terbelah vertikal, memunculkan sewujud makhluk hitam bertaring. Makhluk itu lalu menggunakan manusia asalnya sebagai kaki – bergerak merangkak layaknya laba-laba. Tak hanya ia, berpuluh lain menjelmakan monster mengerikan. Rupa beragam, tapi satu yang pasti: monster-monster itu berawal dari manusia.
'Ini sama seperti ketika Tuan Pemulung dibunuh,' Stalla sedang diangkut oleh Saviit, turut kabur dari makhluk-makhluk itu.
"(Apa maksudmu, Stalla? Kamu pernah melihat mereka?)"
'Iya, waktu pertama kali aku muncul di Bingkai Mimpi ini. Waktu itu mereka menyerang semuanya, termasuk Raja dan para pengawalnya.'
"(Tapi bagaimana cuak-cuak itu muncul di sini ...?)"
'Oh iya, kalian sempat menyebut soal cuak,' Stalla menyela. 'Apa itu sebenar– aaaa!'
Saviit mendadak berbelok, beralih ke sebuah gang kecil di jepitan bangunan. Kawanan monster itu terus melaju, mengabaikannya. Saviit tetap bersembunyi melindungi tuannya sampai mereka lenyap dari pandang.
'S-sudah aman kah? Mereka seram ....'
"(Sepertinya mereka telah jauh,)" jawab Saviit.
Namun mimpi tak pernah sederhana.
Sedikit tersentak, mereka melihat sesuatu yang tak bisa terlukis dengan pintalan kata. Sebuah dinding raksasa kasatmata yang terus meninggi sampai tak hingga terpampang di ujung lain gang kecil itu. Bening, menampakkan sesuatu yang tak mampu mereka nalar.
Kabut, hanya kabut dari atas sampai bawah. Tak perlu Stalla melongok untuk tahu bahwa di balik dinding tembus pandang itu adalah dunia tanpa dasar dan tanpa ujung, tiada awal dan tiada tepi.
"(Ini tepi Bingkai,)" jelas Saviit, "(tapi tak pernah sekalipun dulu aku bisa melihat sisi luar Bingkai Mimpi. Biasanya kubah bingkai tidak transparan begini. Apa yang terja– ugh!)"
Cahaya.
Setitik sinar mencerah, mewujud persegi panjang putih dengan untaian kalimat berhuruf lengkung yang unik. Saviit mengangkat kepalanya, membaca. Ia lalu mengembik-embik, kembali dengan bunyian yang tak bisa Stalla maknakan bahkan dengan kekuatannya.
'Apa dia bilang?'
"(Lawan berikutnya sudah ditentukan. Namanya Adrian Vasilis,)" jawab Saviit. "(Kamu ini ... membaca sendiri bisa kan?)"
'Ehehe,' Stalla tersipu, 'lagipula 'kan ada kamu– ahh! Kenapa lagi ini!?'
Pijakan Saviit bergetar, tak stabil. Tubuh Saviit seketika terguling, turut ambruk bersama Stalla yang terlepas dari punggung. Bingkai Mimpi bergoncang kuat, meruntuhkan gedung dan rumah di sekitar. Tak cukup, bahkan tanah pun mulai retak di sana-sini. Jeritan takut manusia kini bercampur dengan rintih kesakitan monster yang tertimpa reruntuhan.
Gempa.
===
"Tuan Nurma, para cuak itu muncul lagi."
Mirabelle mengikuti Zainurma kembali ke Museum Semesta, mendatanginya di ruang kerjanya. Zainurma tampak tak tertarik. Ia tengah membuka-buka katalog mimpi – buku berisikan informasi tentang segala yang disimpan di jagat Museum Semesta.
"Ini lawan ini. Yak!" ucapnya seraya mengambil dua lembar kartu dari dalam katalog dan menumpuknya ke meja.
"Tuan Nurma, tolong dengarkan aku," panggil Mirabelle dengan suara lebih keras.
"Menurutmu apa yang sedang kulakukan?" jawab Zainurma selagi meneruskan apa yang diperbuatnya tanpa melirik Mirabelle sedikit pun.
"Pada titik ini bisa-bisa tak sebingkai pun akan bertahan. Sayangnya aku harus membuat setidaknya separuh peserta bertahan untuk memuaskan [Sang Kehendak], membuatkan karya demi mengisi museum. Hmm, ini dan ini ... lalu ini dan ini ...."
Mirabelle seperti bingung, tak memahami penjelasan sekilas Zainurma. Sudut mata pria klimis itu menangkap raut Mirabelle, menertawakan ketidaktahuannya.
"Maksudku, bukankah lebih baik jika mengumpulkan cuak-cuak itu di salah satu Bingkai Mimpi saja?" ungkap Zainurma saat menutup katalog dan menaruhnya di meja. Ia menyeringai sebelum melanjutkan.
"Butuh kehancuran satu dunia untuk menyelamatkan lainnya."
===
Satu dentuman tertangkap telinga, lalu senyap.
'... Sudah reda?'
"(Sepertinya iya ... tunggu, aku melihat– Awas!)"
Peluru melesat. Saviit segera menyundul Stalla dengan ujung hidungnya, menghindarkan ia dari satu tembakan tak terduga. Saviit lalu menangkap Stalla dengan mulut, membawanya pergi.
"Jadi di sini Bingkai Mimpi si kaleng itu?"
Tak disadari oleh mereka, pinggir bingkai telah menghilang. Kabut tak berkesudahan itu telah tergantikan oleh sebuah kota yang luas, tapi terlihat tak cocok berada di sana. Jalan kecil di sela bangunan yang dilewati Stalla tadi berlanjut dengan sebuah jalan raya besar, seakan tersambung dengan paksa.
Di situlah dia muncul, seorang lelaki muda berjaket tudung abu dengan tubuh yang berasap.
"Akan kuakhiri mimpimu."
Dua: Inspirasi-Hilang-Mati
"Berhenti!"
Kedua pemimpi berkejaran di antara amukan monster. Stalla di mulut Saviit, dan Adrian menunggangi dombanya. Tembakan demi tembakan merundung, tapi Saviit begitu lincah. Tak satu pun peluru menggores mereka.
Cuak serupa kelelawar menukik.
'Awas, Saviit!'
Dengan bantuan peralatan canggih yang dipasang padanya dari Anatolia, Saviit meningkatkan laju dan membiarkan monster itu menghantam hampa. Adrian terhempas mundur sementara Saviit terus kabur. Dengan bantuan semacam mesin pendorong, Saviit berlari makin kencang.
"Sial, kau mengganggu."
Terdengar tubian letus pistol di belakang, tak dihirau Saviit. Satu makhluk hendak melahap, tapi dilompati saja oleh Saviit. Ia lari berkelok-kelok demi menghindari terjangan makhluk-makhluk itu, menghindarkan Stalla dari serbuan mereka.
'Sebenarnya makhluk apa sih itu cuak?' tanya Stalla. 'Kamu belum kasih tahu aku, Saviit.'
"(Kamu ingat Kilat menyebut soal kayal, bukan?)" Saviit bertanya balik. "(Semua yang pernah dilihat di dunia nyata, tertanam atau tidak dalam ingatan tetap akan terjelma di semesta mimpi. Itulah bahan dasar Bingkai Mimpi: memori bawah sadar.)"
"Kau tak akan bisa lari dariku!"
Saviit tersentak, pacunya terhenti mendadak. Suara tapi tiada rupa, garis-garis asap kelabu mengapung mendekati mereka. Kepulan itu lalu memadat di muka, mewujud segenggam tangan berpistol.
Saviit kena.
Namun ajaib, ia hanya berubah menjadi bulir-bulir cahaya yang segera menyatu kembali menjadi domba putih bersih. Saviit segera menangkap Stalla dengan mulut, melangkah meninggalkan Adrian.
"Cih, kena si domba," decak si pria asap.
'Saviit, bagaimana ...?'
"(Aku tak apa, tubuhku tak bisa mati,)" sela Saviit. "(Yah, selama kamu masih bertahan aku juga tak akan terbunuh.)"
'Apa maksud– auw!'
Cuak berwujud gurita gigantik dengan tubuh terbentuk dari ratusan kepala dan bola mata menghadang bersama puluhan cuak bersayap mengelilinginya. Tentakelnya yang terbuat dari tangan dan kaki manusia yang tersambung-sambung menghancurkan tanah di depan Saviit. Tipis. Jika Saviit tak berhenti tadi mungkin ia sudah lebur.
"(Stalla,)" panggil Saviit.
'Iya, aku paham,' jawab Stalla.
'RAVEN, menyala!'
===
"Jadi kau ingin mengadu dunia para pemimpi?"
Mirabelle tak menunjukkannya, tapi genggaman kuatnya di tombak Giruvedan emas kesayangannya mengatakan lain. Ia sendiri adalah pemimpi yang terperangkap. Mirabelle paham apa arti dari Bingkai yang kehilangan pemimpinya.
Zainurma mengangguk, "tak masalah bukan? Pada akhirnya mereka juga harus menggubah karya untuk [Sang Kehendak]."
"Tapi bingkai yang kehilangan pemimpinya berarti kehilangan sumber energi inspirasi ... cuak akan memenuhinya dan ... dan ... dunia mereka akan menjadi Bingkai Mimpi Buruk!"
"Aku tahu," Zainurma berdiri, menutup katalog dan meletakkannya di lemari. "Apapun yang terjadi, dunia mereka akan diserap ke museum dan dijadikan bahan prakarya oleh [Sang Kehendak].
Zainurma mengangkat lapik lilin di sisi meja, lalu berjalan mendekati Mirabelle. Mata bertemu mata, Zainurma menangkap sorot tak suka di tatapan Mirabelle. Namun dirinya tahu itu bukan kebencian Mirabelle padanya, melainkan terhadap Dia yang telah memerangkap mereka semua.
"Begini, Mirabelle," Zainurma melanjutkan, "jika kukumpulkan keburukan itu di satu bingkai, kita memperlambat penyerapan semesta siapapun yang berhasil menang. [Sang Kehendak] juga tak akan curiga meski ada satu karya sampah, karena karya lainnya akan sangat berkelas dan bersih dari cuak. Kamu lihat nasib mereka yang bingkainya telah dikuasai cuak, bukan?"
"Seperti seekor ayam yang ditandai Huban dengan seenaknya itu? Aku ingat bingkai ayam itu mati dan menjadi sampah di museum karena penuh oleh cuak."
"Begitulah," Zainurma meniup lilin tadi, menyimpannya ke laci khusus di sudut ruangan.
"Daripada keduanya mati karena cuak yang mengamuk, lebih baik menyelamatkan salah satu dengan mempertandingkannya, bukan?"
Setelah berkata begitu Zainurma lekas sirna dari pandang, meninggalkan Mirabelle yang terbisu dalam ruang.
"Sebenarnya apa rencanamu, Nurma?"
===
Satu ledakan.
Terbentuk liang raksasa di tengah-tengah gurita cuak raksasa itu. Tapi sebentar, daging cuak yang terserak itu perlahan mengumpul. Tak sampai hitungan menit untuknya kembali utuh dan menyerang balik.
'Kenapa bisa tak mempan? Padahal aku sudah memakai laser A.I.'
Stalla kini mengenakan semacam zirah berpendorong roket di baliknya. Pakaian besi itu mampu menyesuaikan raga kalengnya, menyelimuti silindernya seperti genggaman tangan. Pula pemberian Kilat Hitam itu dilengkapi dengan lima jari, membantu Stalla melepaskan serangan melalui pencetan di kepalanya.
"Bodoh. Menyerang cuak tak ada gunanya."
Adrian menyusul.
Paruh bawah tubuhnya berubah penuh menjadi asap, membantunya terbang. Sekejap ia melesat ke hadapan Stalla dengan belati di tangan kiri. Ayunan vertikal, dihindari dengan gampang oleh Stalla. Namun insting bertempur Adrian lebih baik, ia langsung menghantam Stalla dengan tangan satunya.
Stalla nyaris terbanting, jika bukan berkat roketnya yang menahan benturan.
"Kiihhh!!"
Di belakang Stalla terdengar cuak memekik, meski sejenak. Tak lama sekumpulan cuak bersayap tadi menerjang Stalla, mengeroyoknya. Stalla yang tahu serangannya tak akan mempan segera meliuk-liuk, mencari cara untuk kabur dari mereka.
'K-kenapa mereka jadi lebih cepat ... ugh!'
Lengah, tubuh Stalla tertangkap tangan Adrian yang melayang jauh dari sang empunya – hanya tersambung oleh kepulan asap. Adrian secepat mungkin menarik genggaman itu kembali mendekati dirinya.
"Auw!"
"(Sudah kubilang kamu harus bertahan, bukan!?)"
Saviit tiba-tiba meluncur ke udara, menyeruduk pergelangan Adrian dan menjatuhkan Stalla. Ia lalu mendarat dan berlari menjauh. Stalla menyusul, terbang dengan bantuan roketnya. Mereka melaju kencang, meninggalkan Adrian beserta kawanan cuak.
'Bagaimana ini? Manusia asap itu begitu kuat. Apalagi cuak-cuak itu tak bisa kuapa-apakan. Aduh Saviit ... aku harus apaa?'
"(Awas!)"
Sebutir peluru melesak bumi, hampir menggores Stalla jika tak didorong Saviit. Saviit lalu segera mengajak Stalla untuk bersembunyi ke dalam salah satu bangunan besar di sana, menghindar dari kejaran.
'Huff ..., untuk sementara selamat,' lega Stalla.
"(Kamu seharusnya membaca undangan tadi, di sana tertulis semuanya.)"
'Oh iya, soal cuak itu juga ... cepat jelaskan, Saviit!'
"(Sekarang? Uh ....)"
===
"Inspirasi adalah pondasi utama Bingkai Mimpi. Tanpa inspirasi, manusia tak akan memiliki kekuatan untuk meraih mimpi ... hmm, ini sih aku juga tahu."
Zainurma berada dalam sebuah ruang berbentuk silinder tanpa atap dan dasar. Ia hanya berpijak pada sebuah benda serupa piring yang melayang. Dinding dalam tabung itu terdiri dari beribu rak yang memanjang ke atas dan ke bawah tanpa batas. Cukup menyebutkan sejumlah kata, buku-buku itu akan memilah sendiri dan bergerak ke hadapan Zainurma.
Perpustakaan Semesta.
"Semakin rendah inspirasinya, kekelaman bingkai akan meningkat .... Pada suatu titik kekalutan yang dialami manusia itu akan menimbulkan ketakutan dalam Bingkai Mimpi, mengubah kayal menjadi makhluk mimpi buruk yang disebut cuak ... hmm."
Jari-jari Zainurma menelusuri kata per kata, terus mencari sesuatu yang ia cari.
"Apa tidak ada soal benda mati yang bermimpi?" bingung Zainurma sembari menggaruk kepalanya. "Masalahnya kaleng itu hidup dan bahkan memiliki sebuah bingkai yang utuh. Seingatku waktu Huban asal menandai, tak ada indikasi kehidupan di kaleng itu."
Zainurma ingat betul ketika mereka menandai pemimpi untuk pertarungannya. Zainurma memilih pemimpi dengan hati-hati, mencari mereka yang sekiranya bisa membantunya. Berbeda dengan Huban, menandai siapapun yang ingin ia tandai. Bahkan kaleng pengharum ruangan di tempat sampah pun ia tandai dengan seenaknya.
"Aku perlu tahu energi macam apa yang menghidupkannya, siapa tahu bisa membantuku meraih Arsamagna. Ah, jangan-jangan ini .... Jika orang gila atau orang yang hilang ingatan tertidur, mereka akan mengalami mimpi di bingkainya sesuai dengan memori yang sudah ada sebagaimana jika mereka baik-baik saja."
Zainurma meneruskan jarinya, membaca lanjutannya.
"Perbedaannya, mereka akan mengalami mimpi itu dengan kondisi mereka saat itu ... berarti orang gila akan bermimpi sebagai orang gila? Menarik ... hmm. Jika dia amnesia ... hah? Bagaimana bisa? Orang yang sampai lupa nama dan dirinya bahkan tak akan bisa memiliki fisik dalam mimpi?"
Zainurma tertegun. Ingatannya terputar, membawanya kembali ke jumlah pemimpi yang mereka tandai. Memorinya meyakinkan kembali bahwa ia tak salah menghitung hasil berburu mereka yang seharusnya ada 92 tanda.
"Berarti satu orang itu ... hilang ingatan?"
===
'Jadi bingkai ini dipenuhi cuak karena aku – sebagai pemimpi – kehilangan inspirasi?' tanya Stalla, ditanggapi anggukan Saviit.
"(Ditambah lagi cuak-cuak ini tak bisa diserang dengan cara biasa. Menurut undangan dari Zainurma, cara menghilangkan mimpi buruk itu hanya dengan mengalihkannya ke bingkai lain.)"
'Dengan membunuh pemilik bingkai ...?'
"Di sini kamu sembunyi rupanya."
Belum selesai mereka berbincang, Adrian mendadak muncul.
Tubuhnya yang terburai menjadi asap menembus sela dinding. Begitu mewujud, Adrian langsung meluncurkan belati ke arah Stalla. Stalla menghindar ke samping dengan dorongan roket RAVEN miliknya. Runtutan peluru menyusul, mengejar Stalla yang terbang meliuk-liuk.
'Uagh!'
Lagi, Stalla lengah.
Adrian menendangnya hingga terbanting ke bumi. Saviit tak bisa diam, ia balas membidik Adrian dengan bagian tubuhnya yang dilengkapi mesin. Namun layaknya asap sungguhan, peluru itu hanya menembus tubuh.
"Percuma, domba bodoh."
"(Guh!)"
Saviit kembali terpecah menjadi bulir cahaya. Peluru mengenai dari kejauhan, membuatnya tak sempat merespons. Saviit menengok ke arah tembakan begitu kembali utuh, mendapati seekor domba bertopi mengokang senapan jarak jauh di atas salah satu gedung.
Di sisi lain Adrian maju menerjang Stalla. Peluru ditembakkan, sebagian diserap dalam Stalla. Pun begitu, Stalla tak mampu melawan. Apapun yang dikeluarkan Stalla hanya menembus tubuh asap itu.
'U-uhh ... rasakan ini!'
Stalla menyemprotkan hembusan angin kencang, melontarkan Adrian. Sedikit kaget serangannya berhasil, Stalla segera melarikan diri ke luar gedung diikuti Saviit.
Domba milik Adrian tak diam, beberapa kali berusaha menembus Stalla dengan pelurunya.
"(Stalla,)" panggil Saviit, "(kenapa kamu tak menyerapnya saja? Dia kan asap.)"
'Aku tak berani mengambil risiko memasukkan makhluk hidup ke dalam tubuhku,' jawab Stalla. 'Lagipula tak ada jaminan ia akan mati dalam tubuhku, bukan?'
"(Tunggu, berhenti.)"
Sunyi.
Area lapang yang luas, terdiri dari tanah dan rerumputan. Di atasnya terdapat patok-patok batu dan beberapa gundukan tanah yang berjajar rapi. Angin sepoi sesekali menghembus, sanggup menaikkan bulu kuduk. Di tiap gundukan tersebar bunga-bunga merah, membuatnya tampak segar.
'Ini kan ... pemakaman?'
"(Sial,)" umpat Saviit, "(kuburan itu salah satu tempat terburuk bagi pemimpi buruk. Tak kukira kita akan berlari sampai sini.)"
"GRAAARH!!"
Tangan mencuat dari salah satu gundukan.
'J-jangan bilang mayat pun ....'
Satu, dua, tiga, lalu berpuluh manusia perlahan naik dari dalam tanah. Pria, wanita, bahkan bayi dan anak-anak. Tubuh mereka berlubang-lubang, dengan belatung memenuhi tiap rongganya.
"(A-ayo pergi dari sini, Stalla!)" ajak Saviit.
Namun Stalla geming, abaikan Saviit. Ia mematung, entah karena takut atau apa. Mayat-mayat hidup itu berjalan mendekat, mendatangi Stalla dan Saviit. Saviit memanggil-manggil, tapi tak dipedulikannya. Malah ia mendekati salah satunya, mayat seorang wanita muda yang fisiknya telah jauh dari sempurna.
'K ... kamu?'
Wajah terburai, kepala lantak.
"(Stalla!)" teriak Saviit, moncong senapan yang mencuat dari baju besinya masih mengepul putih. Stalla tertegun sejenak, mendapati makhluk yang dihampirinya tadi telah ambruk tanpa kepala.
"(Ayo cepat lari!)"
Tiga: Bayi-Asap-Petir
Di suatu kota bagian selatan negeri kepulauan, lahirlah seorang bayi lucu nan jelita.
Tangis bak nyanyian malaikat, jerit laksana senandung nirwana. Kedua orang tuanya begitu bersuka menyaksikan tiap gerik si buah hati. Rasa sakit terlupakan, ibunda memperhatikan anak turunnya dengan penuh kasih kerinduan.
Namun sayang, itu tak bisa berlama.
Mata pejam, senyum mengembang. Ibu sang bayi meraut lega di mukanya, tiada secuil sesal tergaris di sana. Ayah coba memanggil. Sekali, dua kali, tidak ada jawaban. Sekilas dikira tidur, tapi bukan.
Detak ibunda telah tiada.
...
Kehilangan sang istri tercinta, Ayah mau tak mau menjadi pengampu tunggal sang anak.
Tiap hari beliau mengendara roda tiga kesayangannya demi sang anak, mencari nafkah untuk senyum tawanya. Menjadi duafa tak lantas menyurutkan gairah sang Ayah. Kayuh jadi peluh, berusaha ia menyekolahkan dan mendidik hingga belia.
Pun sebatang kara, Ayah tak luput menanamkan nilai moral pada anak terkasihnya. Tak pernah Ayah lalai mengajak beribadah, mengajarinya membaca sedari dini, serta mengingatkan untuk senantiasa menolong sesama.
Meski sedikit keras kepala, sang bayi tumbuh menjadi gadis yang baik dan cerdas.
Gadis sempurna dengan segala ketidaksempurnaannya.
===
"(Kita sudah jauh ....)"
Saviit terengah. Baru saja mereka lari menjauh dari kawanan mayat berjalan, menggunakan mesin pendorong mereka sekuat tenaga. Stalla dan Saviit kini berhenti di sisi tanah lapang. Sepi, seolah semua telah menjelma jadi cuak.
'U-ugh ... kenapa rasanya pening sekali,' desah Stalla.
Stalla melayang melihati sekitar. Rumput-rumput menghitam, sebagian kecil yang masih hijau. Pohon-pohon seperti meleleh, mewujud cairan-cairan coklat kemerahan di sisi-sisinya. Mendung yang tadinya hitam gelap, kini memerah darah.
Entah kenapa perasaan menyesak datang merambat.
"(Jangan-jangan ... ini akibat bingkai mimpi memburuk?)"
'Tidak ... Saviit, bukan cuma itu,' jawab Stalla. 'Rasanya tiap aku mencoba mengingat siapa wanita tadi, seperti ada yang memukul-mukulku, mengoyak memoriku.'
"(Ah!)"
Desing tembakan.
Mujur, Saviit berhasil menyundul Stalla dan menghindarkannya dari peluru yang menyerbu. Saviit menerawang jauh, domba Adrian. Dengan kaki depan berlaku seperti tangan, domba itu kembali membidik Stalla dan Saviit.
"(Adrian pasti di dekat sini,)" ucap Saviit. "(Waspadalah sedikit, Stalla!)"
'I-iya maaf,' sesal Stalla. 'Tapi cerita macam apa ini sampai domba bisa berkali-kali menghindari peluru sniper?'
"Di sini kau rupanya."
Entah sejak kapan lapangan itu dipenuhi asap yang membubung, mengepung Stalla dan Saviit.
Sebentuk tangan dengan cepat mewujud di antara gumpalan asap, membidik Stalla dan menembakinya. Stalla mengelak, namun tangan lain berusaha melubangi tubuh si kaleng dengan belati terhunus. Tak hanya itu, dari jauh domba Adrian berusaha mengincarnya jua.
'Ugh! Coba ini!'
Petir menyambar, tapi tak mengena. Tubuh asap itu hanya membentuk lubang, membiarkan petir itu menyengat tanah dan menghanguskannya. Biar begitu entah kenapa sebagian asap itu memerah, seolah terbakar.
'Itu kan asap, bagaimana bisa?' bingung Stalla.
Adrian lalu kembali menerjang. Satu tusukan mendekat. Stalla sigap, menyemburkan api dari kepalanya. Kobarannya menyala-nyala, membakar rumput dan pohon di sekitar. Belum sempat belati menggores, asap itu menjauh dan menyatu kembali.
Adrian langsung mengokang pistolnya, berkali-kali menarik pelatuk. Stalla berputar-putar, berusaha menyingkir dari jarak tembak. Terlihat olehnya jaket Adrian hangus sebagian.
'Jadi begitu ... Saviit, aku punya ide,' ujar Stalla, 'tapi aku butuh bantuanmu, Saviit. Domba itu ... aku tak bisa konsentrasi kalau harus menghindarinya juga.'
"(Hmm ... baiklah,)" tegas Saviit. "(Domba itu biar aku yang urus!)"
Saviit segera melejang kilat, meninggalkan Stalla. Adrian tak berdaya mencegah.
'Nah, sekarang bagaimana?'
===
Ayah sendiri memiliki pribadi yang mulia.
Bangun sebelum fajar dan mandi sebelum beribadah. Mengantarkan anak menuju sekolah dan menjemputnya kembali dengan becak tersayangnya. Beliau selalu mengutamakan anaknya lebih dari apapun karena ia adalah satu-satunya anggota keluarga yang tersisa.
Hingga suatu hari ....
"Ayah, aku berangkat sekolah sendiri saja tidak apa-apa?" ujar sang anak yang telah menginjak sekolah tinggi.
Ayah tentu terkejut, gerangan apa yang membuat sang anak tak lagi mau diantarnya. Sekolah jauh, berjalan tentu akan melelahkan. Dengan angkutan umum? Biayanya yang menyesakkan. Tapi atas dasar rasa sayang, Ayah mengiyakan saja maunya.
Usut punya usut, ternyata itu akibat anak Ayah mulai merasa malu.
Beberapa kawan di sekolahnya meledek ia yang masih diantar dan dijemput. Apalagi menggunakan kendaraan kumuh nan dekil, si gadis jadi semakin diejek oleh teman-temannya.
"Anak tukang becak," olok mereka.
Berbeda dengan Ayah, bekerja sebagai penyewa jasa tiga roda tak lantas menyurutkan harga dirinya. Beliau tak pernah merasa malu, lebih-lebih terhina. Selama pekerjaan itu halal, ia tak pernah merasa harus kehilangan kepercayaan diri. Menganggap dirinya miskin pun tidak, karena menurutnya beliau hanya hidup sederhana sesuai kebutuhannya.
Tak hanya itu, Ayah juga memiliki jiwa yang suka menolong. Tua atau muda, besar atau kecil, kaya atau miskin, tak terkecuali mereka yang pernah menyakiti kita perlulah jua diulurkan tangan.
Satu waktu seorang ibu ketinggalan dompet sehingga tak bisa membayar becaknya, digratiskan. Di waktu yang lain Ayah bertemu dengan seorang lelaki muda gagah yang ban motornya kempes, beliau membantu mendorongnya. Pernah juga Ayah menemukan beberapa anak kucing yang baru lahir namun diabaikan oleh ibunya, beliau merawatnya. Di setiap langkahnya menuju tempat ibadah pun Ayah tak henti memungut sampah demi sampah, terutama gelas dan botol yang kiranya membahayakan pengguna jalan.
Agaknya si anak tak menyukai ini, tak jarang ia mengungkapkan keberatannya pada sang Ayah.
"Kita kan sudah susah, seharusnya mereka yang membantu kita."
"Apa Ayah tak malu, mengumpulkan sampah seperti itu?"
"Ayah, biarkan saja kucing itu ... nanti juga paling mati."
Ayah senantiasa sabar dan balik menasehatinya tiap kali terdengar keluhan si anak. Namun sebagaimana sifat para belia, ceramah Ayah cuma masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Selalu seperti itu, bahkan ketika Ayah tak berhenti dan tak menyerah untuk mengajari anaknya.
Sampai suatu peristiwa menerpa ....
===
"(Haha, menarik.)"
Jauh di atas gedung, domba Adrian membidik Saviit melalui lensa senapan jarak jauhnya. Baru bermaksud menarik pelatuk, tapi hilang. Menjauh sebentar untuk melirik pandang, ternyata Saviit telah terbang lurus ke arah domba Adrian dengan mesin pendorong yang menempel di punggung.
Peluru melesat.
Saviit kena, tapi hanya terpecah menjadi butir cahaya. Pecahan sinar itu langsung mengumpul kembali menjadi Saviit, tepat di hadapan domba Adrian.
Saviit meluncur.
"(K-kau tahu kita tak bisa saling membunuh, bukan?)"
"(Heh, biar begitu tak akan kubiarkan kau mengganggu!)"
Tanduk keduanya beradu, menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Kepala ditarik sesaat, lalu dibenturkannya kembali. Kedua domba tak mau mengalah, saling mendorong dan menghantam.
Sementara itu jauh di bawah sana, Stalla terbang menjauhi Adrian.
'Ugh ... kenapa rasanya sepusing ini?'
"Jangan lari, kaleng rongsok."
Belati terlempar.
Stalla mengelak ke sisi, membiarkan belati itu menikam kosong. Tak terduga, paruh atas tubuh Adrian melayang dan muncul di hadapan Stalla, menangkap kembali belati itu. Bedil mengacung.
'Kalau begitu, ini!' teriak Stalla, mengeluarkan papan besar di hadapannya.
Adrian menarik pelatuknya, bertubi melubangi kayunya. Namun ia lengah, Stalla menerobos dari bawah dan melewatinya begitu saja. Adrian mengubah arah senjatanya dan menembaki dari kejauhan. Stalla berkelit, tak satu pun peluru menggoresnya.
"Kaleng keparat," umpat Adrian, "tak akan kubiarkan kau mempermainkanku!"
'S-sial, dia marah,' Stalla mulai gentar. 'Tapi aku tak bisa ber– ugh!'
Kepeningan tadi makin menjadi. Sekejap itu, Stalla merasa sekitarnya melambat. Seakan bisa merasakan kesemutan, kekosongan mengisi pandang. Apa yang tadinya berwarna, kini hampa. Jarak, ruang, rasa, dan bau pun tak lagi bisa dirabanya.
Seakan semua kosong.
Dari ketiadaan, bayang seorang pria tua terlihat mendekat. Batiknya lusuh dan sobek di sana-sini, menguatkan kenangan Stalla akan orang itu. Rambutnya ternoda merah, mengurangi tampak warna ubannya.
Itu Bapak ... dengan tubuh bersimbah darah.
'A-apa? Bagaimana ... auw!'
Stalla tersadar.
Ia terantuk sesosok makhluk serupa singa raksasa, dengan rambut-rambutnya terbuat dari kumpulan jari-jari manusia. Sekujur wajahnya dipenuhi mata, memandang Stalla dengan seram. Puluhan bola mata bersayap mengelilingi mereka, seakan menunggu giliran untuk memangsa.
Singa itu mengayunkan cakarnya.
'Uhh, kenapa tiba-tiba ....'
Stalla memunculkan pilar raksasa berbentuk paku, menembus kaki dan menancapkannya ke tanah. Pertama kaki kanan depan, lalu Stalla memutar dan memaku kaki kiri belakangnya. Stalla berputar ke belakang.
Dua kepal terbanting.
Serangan tiba-tiba Adrian hampir mengenai tubuh Stalla jika ia tak segera berbelok. Stalla langsung mempercepat geraknya, tak mengacuhkan Adrian.
"Berhenti kau, sialan!" teriaknya. "Aku harus menghabisimu, atau aku tidak akan menang!"
'Menang?'
'K-kenapa aku ingin menang?'
===
"Ayo, kita ke makam ibumu."
Suatu hari ayah mengajaknya untuk mengunjungi pemakaman di pinggir desa kelahirannya, tempat ibunya disemayamkan. Si anak gadis meski sedikit ogah-ogahan tetap menurut. Dengan bermodal becak kesayangan Ayah, mereka melaju menuju desa.
Namun kesalnya sang anak, perjalanan yang seharusnya sebentar itu menjadi sangat panjang dan melelahkan.
Bagaimana tidak? Setiap ada mereka yang sekiranya mengalami kesulitan barang sedikit, Ayah tak ragu untuk parkir sejenak dan menolongnya. Menepikan kucing di tengah jalan, menyingkirkan batu dan memungut sampah yang menghalangi, dan banyak lagi yang kian lama membuat anaknya makin gusar.
"Bisa cepat tidak, sih?" amuknya.
"I-iya, Nak," panik Ayah. "Sebentar."
Ayah pun tergopoh mendekati becaknya yang diduduki oleh sang anak terkasih. Gadis itu tahu ayahnya belum selesai mengambili beberapa sampah di jalan, tapi ia tak peduli. Sampah bekas layangan, botol-botol plastik, dan beberapa lainnya terpaksa dibiarkannya saja di pinggir jalan.
"Buat apa sih?" keluhnya.
Pun begitu, Ayah tetap sabar meladeni keinginan anaknya. Beliau senantiasa mengayuh pedalnya dengan suka hati, apalagi jika ingat ia akan mengunjungi peristirahatan istrinya.
"Sabar ya, Sayang."
===
"Akhirnya kamu terperangkap."
Stalla dan Adrian kini berada di dalam gedung yang terabaikan. Kiri, kanan, serta belakang dikepung dinding. Adrian berhasil memojokkan Stalla, membuatnya tersudut dengan seluruh asapnya.
'K-kenapa,' Stalla ciut, suaranya gemetar, 'kenapa tuan begitu ingin menang?'
"Hee? Ternyata kamu bisa bicara?"
Adrian mengumpul, kembali ke wujud manusia bertubuh jangkung. Pria muda berjaket kelabu itu baru kali ini dilihat secara utuh oleh Stalla. Posturnya bungkuk dengan rambut hitam yang gondrong. Mata kanannya tak terlihat, tertutup oleh poni.
'J-jawab aku, Tuan Adrian.'
"Kamu bodoh? Jelas aku tak mau duniaku hancur," jawabnya menghina. "Tidak, aku sesungguhnya tak peduli pada duniaku. Aku hanya tak ingin mati, apalagi di tangan otak busuk itu."
Tubuh Adrian berasap, lalu memudar.
"Matilah untukku, Sampah!"
Sepotong tangan meluncur, terlepas dari Adrian. Stalla mengelak, membiarkan tinju menyerang dinding di belakangnya. Namun nahas, ketika ia mengira dirinya telah lolos ternyata tangan lain mendekat dengan belati tercengkeram.
Stalla nyaris kena, berkelit dengan memutar kalengnya dan menghindari tusukan. Tipis, tubuhnya agak terpental akibat terbentur genggaman tangan.
'B-bagaimana bisa dia ... bukankah tangan satunya masih di sana?'
"Aku bisa membentuk apapun dari asapku, Kaleng," Adrian menjawab keheranan Stalla. "Selama volumenya masih sesuai, aku bahkan bisa melakukan ini ...."
Punggung Adrian berasap, menghasilkan larik-larik kelabu. Tiap larik itu lalu menggumpal di belakang Adrian, membentuk bulatannya masing-masing. Laun, bola-bola asap itu menjelma menjadi pisau.
Satu melesat.
Stalla mengelak, tapi lainnya menyusul. Rentetan belati terbang ke arahnya, mengincar tubuhnya. Stalla terbang berputar-putar, berusaha agar tak tergores barang secuil pun.
'K-kalau sekedar membuat pisau aku juga bisa!'
Stalla membalas. Ia menyemburkan besi-besi tajam dari kepalanya, menerjang Adrian. Namun sebagaimana asap, semua serangan Stalla hanya menembus raganya.
"Bodoh, sudah jelas seranganmu tak ada pengaruhnya."
Stalla tak peduli, ia terus meliuk-liuk dan melontarkan mata pisau dari segala arah. Adrian tak sabar, mengubah wujud tangannya menjadi raksasa dan menahan Stalla di bumi dalam satu ayunan.
"Sudah berakhir, bodoh."
Sekejap kemudian Adrian melebur, berubah jadi asap seutuhnya. Kepulan itu lalu mengumpul di atas punggung tangan besarnya. Perlahan gumpalannya makin membesar dan membesar, hingga membentuk sebuah palu besi berukuran lebih dari tangannya sendiri.
Palu dijatuhkan.
'U-ugh ... aku tak boleh kalah di sini ... hiah!'
Stalla mencuatkan kawat-kawat besi, lurus hingga menancap lelangit. Kawat itu melubangi telapak besar Adrian, membentuk rongga-rongga yang berasap. Memanfaatkan celah, Stalla segera melepaskan diri dan membiarkan palu itu menghantam tangan yang kembali mengasap.
"Mau berapa kali pun percu– ugh!"
Satu kawat bergerak seperti cambuk, menggunakan ujung yang tertancap di langit-langit sebagai poros gerakan lalu berhenti. Kawat lainnya bergerak, menyerupai yang sebelumnya dengan arah yang berbeda.
Kemudian satu demi satu kawat itu meluncur ke berbagai arah, hingga mengacaukan bentuk Adrian yang terlecut berkali-kali.
Hening.
'Persiapan beres.'
Tak disadari Adrian, ujung lain kawat yang seolah bergerak tak beraturan itu semuanya kini menempel di besi tajam buatan Stalla. Kawat-kawat itu terbentang lurus dari langit-langit menuju pisau Stalla yang tersebar, membentuk garis-garis tenda.
Adrian mendongak, tak tahu bahwa pisau dan kawat itu terbuat dari magnet.
'Rasakan ini, seratus ribu volt!'
Benderang.
Sedetik terasa lama, keterangan mendadak itu seolah menghilangkan kesadaraan untuk sesaat. Ketukan berikutnya, asap Adrian memerah. Raungan dan rintihan itu pertama kali Stalla dengar dari Adrian. Nada bicara meremehkan sang pria tinggi itu kini berubah menjadi tangis siksaan.
Adrian terbakar.
Empat: Gorila?-Domba!-Nama
"Mbeeek!"
Suara seekor domba menyadarkan Stalla. Domba itu mengembik-embik di samping figur si asap yang fisiknya sudah menghitam, tak berdaya. Domba milik Adrian itu seakan khawatir, memanggil-manggil tuannya.
Tak lama kemudian Stalla melemah, jatuh. Beruntung sesuatu berbulu kapuk menangkapnya.
'Saviit,' sapa Stalla.
"(Bagaimana kamu bisa tahu kelemahannya adalah cahaya?)"
'Ca ... apa?'
"(Bukankah kamu menerangkan ruangan ini dengan petir itu untuk membakar Adrian?)" balas Saviit. "(Aku dengar dari Reohyuisatrasatratnoixaverusaga – domba Adrian – kalau asap miliknya berasal dari kegelapan. Seharusnya cahaya bisa membakarnya.)"
'E-eh? Kukira kelemahannya petir ...?'
"K-kaleng keparat!"
Stalla terkejut, serangannya tak sempurna menghabisi Adrian. Sosok manusia di depannya perlahan bangkit, lalu berdiri lemas. Meski dengan tubuh setengah hangus, nafsunya tak jua pudar. Matanya penuh kebencian, ingin segera menghabisi kaleng di hadapannya.
Tiba-tiba atap hancur.
Tak hanya Stalla, Adrian pun terperanjat. Dari lubang di atas sana muncul tiga ekor binatang mirip gorila tapi berkepala domba, lengkap dengan tanduk dan bulu-bulu serupa awan mendung di punggungnya. Makhluk itu begitu besar, tingginya mencapai dua kali Adrian.
Para domba gemetaran.
"Mbeekkh!!"
Salah satu berhasil menangkap domba Adrian, membuatnya meronta-ronta di genggaman. Adrian tak terima, mengacungkan pistol dan menembaki tangan si gorila-domba. Namun nihil, peluru-peluru itu hanya menembus lengan. Gorila-domba mengibas tangan, melontarkan Adrian jauh.
"G-gahh!!"
'K-kenapa? Apa yang terjadi?!'
Diam. Sang domba terlalu takut hingga tubuhnya gemetaran, mundur sampai menyentuh dinding. Mulut Saviit menganga, tapi tiada kata. Peluh membasahi wajah dombanya, menunjukkan kengerian. Gorila itu lalu mendekatkan mulutnya pada domba Adrian.
Ia dimakan.
'Ugh, kalau begini ....'
Stalla mengeluarkan jaring, memerangkap Saviit. Ia segera terbang menjauhi lokasi, meninggalkan ketiga gorila yang berebut daging domba yang telah koyak. Agak terseok, tapi Stalla berhasil mengangkut Saviit bersamanya.
"(I-itu domba hitam,)" Saviit seketika tersadar.
"(Domba Oneiros akan membunuh kami!)"
===
"Nak, bantu taburkan bunganya."
Mereka sampai di sebuah pemakaman umum, tempat peristirahatan akhir bagi siapapun yang meninggalkan dunianya. Setibanya di sana Ayah mengeluarkan sekantung besar berisi bunga yang telah dibelinya di jalan. Setelah Ayah menyerahkan bunga-bunga itu ke anak gadisnya, beliau pergi mengambil air dengan botol plastik yang telah disiapkannya.
"T-tunggu, jangan dituang semuanya!" cegah Ayah, melihat sang anak hampir mengeluarkan semua bunga dari kantungnya. "Biar Ayah saja."
Ditaruhnya bunga sebagian, lalu Ayah meninggalkan sang gadis di sana. Ia bingung, tapi dibiarkannya saja Ayah pergi saat dirinya mendoakan ibunya.
"Sini, Nak," seru Ayah sekembalinya entah dari mana. "Siram kuburan ibumu."
Diturutinya perintah Ayah, membasahi peristirahatan ibunya dari ujung kepala hingga kaki. Ayah lalu berjongkok, mendoakan wanita yang paling ia cintai semasa hidupnya.
"Nak," Ayah memanggil, "semasa hidupnya, Ibumu adalah wanita yang luar biasa sabar. Tak pernah sekalipun marahnya ia tunjukkan. Beliau juga yang mendorong Ayahmu untuk selalu bertindak berdasar nilai moral dan agama."
Si gadis hanya mengangguk-angguk meski tiada apapun dirasakannya. Ia ingin haru pun tak bisa, mengingat sedari kecil tak pernah menjumpai Ibunya.
"Ayah sangat kangen pada ibumu ...," parau suara Ayah, terasa betul kerinduannya di sana. Mata sedikit sembab, tapi segera ia usap. Ayah kemudian berdiri, siap beranjak.
"Ayo, Nak," ajak Ayah.
Sang anak kemudian berdiri dan mengikuti langkah ayahnya keluar gerbang.
Alangkah terkejutnya sang anak kala menemukan warna merah menyelimuti pemakanan. Sang Ayah ternyata baru saja memastikan semua makam di sana telah diberi bunga dan terguyur air.
"Nak?"
===
'Siapa Oneiros?'
Mereka baru saja mendarat di sebuah atap gedung. Saviit masih gemetaran, agak tak tega Stalla untuk mengulang pertanyaannya. Namun rasa penasaran mengikisnya, apalagi jika ditambah suara ribut di bawah sana.
'Saviit,' panggilnya lagi.
"(M-maaf ... aku tak sanggup ... Stalla, aku akan mati ... aku ...,)" Saviit terlihat begitu panik. Tak biasanya.
'Saviit, tenanglah,' Stalla bingung. Tak disangkanya Saviit yang selalu tenang itu bisa setakut ini. Ia tak tahu bagaimana caranya untuk membuatnya kembali.
"(Oneiros,)" sahut Saviit, "(domba-domba hitam miliknya mampu membunuh kami. Kamu lihat apa yang dilakukannya pada domba Adrian, bukan? Aku ....)"
Gedung bergetar.
'A-apa yang terjadi?!'
Di bawah sana ternyata seekor gorila-domba menghajar dinding gedung, menghancurkan keseimbangannya. Bangunan pencakar langit itu perlahan oleng, lalu ambruk. Stalla dan Saviit berhasil menyelamatkan diri, mendarat di sisi jalan. Dilihatnya keramaian, cuak-cuak bertebaran dan domba hitam mengamuk-amuk.
"(M-mereka ...,)" Saviit gentar, "(mereka punya kemampuan memakan semua yang berkenaan dengan mimpi, Stalla ... termasuk aku!)"
Satu menangkap sosok mereka, perlahan beralih dan menghampiri.
'Saviit, ayo kabur!'
"(T-tidak ... aku tak mau mati ... j-jangan mendekat,)" Saviit tak mendengar. Tubuhnya kaku, ketakutan. Tak seujung kuku pun bisa digerakkan, hanya menunggu waktu bagi Saviit untuk dihabisi oleh sang domba hitam.
Satu lengan mengayun.
'Awas!'
Stalla menyemprotkan tembakan air deras tepat ke muka, mendorong mundur si domba. Tapi masih kurang, sekali hentak si domba melompat tinggi siap menyergap. Stalla mendorong Saviit ke sisi, membiarkan domba hitam menghempas bumi.
Domba lain menghadang.
'Aaagh!'
Cukup sekali kibasan lengan, Stalla terlontar. Domba-domba hitam di sekitar menengok, menyadari keberadaan Stalla. Mereka lalu mendekati Stalla, mengepungnya dengan lidah terjulur panjang.
'K-kenapa ini?' Stalla panik, mesin pendorong dari RAVEN tiba-tiba tak merespons. Salah satu domba hitam mengangkat lengannya, membantingnya ke bumi.
"(Stalla!!)"
Tipis. Saviit berhasil meluncur menyelamatkannya, tepat sebelum telapak meremuk aspal. Dengan gesit Saviit menyelinap di antara kaki domba-domba raksasa itu, berusaha kabur sejauh mungkin.
"(Sebesar itulah kengerian mereka, Stalla,)" Saviit memperingatkan. "(Cukup dengan sentuhan, sebagian mimpimu akan hilang! Lihat sekarang, tenaga RAVEN berkurang.)"
Tak ada jawab.
Untuk sesaat Saviit kira ia sedang berpikir, maka itu sang domba terus melaju dan berusaha kabur dari sana. Sayangnya tiada tempat aman, seluruh area dipenuhi domba hitam. Sementara di langit sang mendung kian kelam, petir menyambar-nyambar. Cuak di sekitar terus meraung dan melolong. Wujud bingkai tak lagi utuh, hancur di mana-mana.
"(Stalla? Hei, Sta–)"
Pekikan kencang.
Bukan suara, tapi terdengar. Jerit tangis seolah meronta memenuhi kepala Saviit. Savit pening, teriakan itu begitu menyakitkan. Bukan dari luar, tapi jeritan dalam pikiran sang domba.
"(U-ugh ... sial, jangan-jangan pengaruh mimpi buruk telah menggerogoti Stalla.)"
'Gyarrrh!'
Bayang-bayang Bapak kembali dalam benak Stalla. Kali ini tak hanya berlumur darah, tubuhnya terbaring tak berdaya.
"Ini salahmu ..., Nak."
"(K-kenapa ini?)"
Saviit tiba-tiba merasakan dirinya dikitari kelam. Kabut gelap menghampiri, sedikit demi sedikit menyelimuti keduanya. Pandangan terbuta, Saviit seketika panik. Hendak berteriak namun hening, tak sebunyi embikan pun keluar dari pita suaranya. Tubuh kaku, bibir kelu.
Perlahan kemudian tabir kabut terkuak. Laun terbuka, cahaya menerpa.
Memperlihatkan seorang gadis yang menjerit tangis.
===
"Ayah, kenapa sih Ayah begitu suka membantu orang-orang itu padahal jelas-jelas kita yang butuh bantuan?"
Ayah tersenyum. Dirinya ingat ketika ia menanyakan hal yang sama pada istri tercintanya. Ditatapnya anak gadisnya itu lembut seraya terus mengayuh pedal. Ia tahu sang anak tak menyukai lakunya, tapi tetap ingin ia mengajarkan untuk senantiasa bertindak mulia.
"Begini, Nak," jawabnya. "Tuhan berfirman melalui hamba terkasih-Nya, barang siapa menyelamatkan satu jiwa maka ia seolah telah menyelamatkan seluruh umat manusia. Pun sebaliknya, jika kita mencelakakan satu nyawa itu berarti kita mencelakakan semua manusia di dunia.
"Tahukah kamu, Nak? Bahkan ketika tampaknya kita tak mampu berbuat apapun, sejatinya kita tetap bertanggung jawab atas segala kejadian yang ada di sekitar kita. Sekecil apapun."
Sang anak manggut-manggut. Dia tahu, tapi tak terlalu mengerti. Dirinya hanya mengangguk agar ceramah sang Ayah segera selesai. Ia tahu jika ayahnya didebat, kata-kata Ayah tak akan berujung.
"Ah, kita lewat sini lagi," ujar Ayah memecah hening.
Sang Anak mengamati sekitar. Di sini tadi ia memanggil ayahnya untuk lekas bergerak, meski beliau belum selesai membersihkan sekitar. Bahkan sampah-sampah itu pun masih terlihat berserakan di depan sana. Betapa tak pedulinya manusia terhadap dunia, tak satupun memungut rongsokan di jalan sebagaimana sang Ayah.
Sebunyi klakson, disusul berderu kendaraan.
Sekawanan pemuda bermotor muncul dari arah berlawanan, tampaknya konvoi pendemo karena terlihat salah satu membawa bendera suatu agama. Tak satu pun dari mereka mengenakan atribut pengaman seperti helm, hanya berpeci dan berpakaian serba putih.
Di jalan yang tak terlalu lebar itu, Ayah yang waspada mengalah dan meminggirkan becaknya ke sisi.
"Awas, Pak Becak!" teriak salah satunya. Satu per satu mereka melalui becak Ayah, menimbulkan kesal sang Anak. Ribut, ia tak suka. Tapi berisik itu segera terhapus oleh suara kencang lainnya.
Teriakan.
Satu pengendara oleng. Gigi mesin pengendara itu terbelit benang layangan tepat setelah bannya tergelincir. Tak lagi bisa dikendalikan, motor itu meluncur tak terarah.
"Maia, awas!"
===
Saviit panik.
Gadis di depannya menutupi mata dengan telapak, meraung-raungkan tangis. Rambutnya panjang sedada, menghalangi pandangan menuju muka. Pakaiannya yang putih dengan corak bunga-bunga hijau terlihat lusuh. Pula roknya yang berwarna biru, kotor dan robek-robek.
Sementara itu para cuak mengganas, mengamuk dan membabi buta. Pun domba hitam menghajar apa-apa yang ada dalam pandang. Langit mendung memerah, petir-petir menggelegar. Bangunan roboh, tak ada lagi yang berwujud sama.
Lalu letusan.
"(Stalla!)"
Tubuh Stalla tembus. Dari kejauhan terlihat sosok Adrian yang berlumuran darah dengan pistol teracung. Sekujur tubuhnya luka, bahkan bergerak pun susah payah. Tubuhnya jatuh, disandarkannya di tembok salah satu bangunan.
"Ha ... hahahaha!! Persetan domba hitam itu! Dengan ini aku yang menang!"
Kaleng itu terguncang sesaat, lalu melayang dan mencuatkan larik-larik cahaya yang bergerak keluar dan masuk melalui kedua lubang bekas tembakan. Larik itu bergerak begitu cepatnya hingga wujud Stalla terkurung dalam bola sinar, mengecil sedikit demi sedikit.
Lenyap.
Saviit lemas. Ia tak menyangka tuannya akan musnah dalam kejapan mata. Sejenak membisu, Saviit kemudian berkali-kali meneriakkan nama sang kaleng. Jerit tangis tak terbendung, meski yang terdengar di telinga Adrian hanya embikan-embikan tak berarti.
Dirinya senang, dirinya menang.
"S-Stalla ...?"
Saviit terkejut. Si gadis cengeng memahami embikannya. Menoleh, ia memperhatikan sang gadis membuka wajahnya dan memperlihatkan sembabnya. Hidungnya merah, matanya basah.
"N-namaku ... bukan Stalla ...,
"Aku Maia! Namaku Maia Maharani!"
Lima: Akhir-Maia-Ikut
"Mana Zainurma?! Ratu Huban?! Mana kalian?!"
Adrian meracau.
Sedari tadi ia memanggil-manggil sang Kurator, namun tak seorang pun datang menyusul. Dirinya menggila. Berteriak-teriak tak karuan. Bayang-bayang kengerian mulai meracuni. Pengaruh mimpi buruk dari bingkai asalnya kiann menggerayangi benaknya, tak terbendung.
"Otak keparat! Bantal bodoh! Cepat kema-UGHHK!!"
Lagi-lagi domba hitam.
Lengannya yang kekar lagi besar menahan tubuh Adrian. Ia meronta, berusaha lepas tapi tak berdaya. Sebagian besar inspirasinya telah termakan sang domba sehingga menjadikannya pria tak berkemampuan, atau bahkan lebih lemah dari itu. Domba hitam itu pelan-pelan menundukkan kepala.
"GRAARGH!"
Adrian diterkam.
"(Hei, kamu bisa mengerti kata-kataku?)"
"I-iya," jawab yang dipanggil. "Ini aku. Aku kaleng itu, tapi aku ...."
"(Nanti saja,)" potong Saviit. "(Kita kabur!)"
Saviit menunggangkan si gadis yang menyebut dirinya Maia ke punggungnya lalu berlari menjauh. Maia menoleh, tapi langsung berbalik dan menutup mata ketakutan mendapati raga Adrian tak lagi utuh seperti awal mulanya.
Seiring laju Saviit, langit mencerah. Mendung menghilang, petir melenyap. Segalanya terang, matahari kembali memperlihatkan sinarnya. Pun cuak, tak lagi tampak. Auman segala jenis monster yang sebelumnya mengamuk di bingkai Stalla telah hilang.
Kecuali para domba hitam.
"Awas!!"
Domba itu menghajar tanah. Nyaris Saviit kena kalau ia tak mengerem pada waktunya. Kepal kedua diangkat, lalu dihantamkan. Ketiga, keempat, berpuluh tinju berikutnya mengejar Saviit dan Maia. Mujur, Saviit begitu gesit sehingga tak satupun diijinkan menyentuh mereka.
Tapi selincah-lincahnya Saviit, mereka kalah jumlah. Tak lama berselang, puluhan domba hitam mengepung mereka.
"Sudah kuduga, begitu rupanya."
Tiba-tiba para domba terhempas, jauh terlempar dari titik semula. Dari belakang Maia muncul seorang pria dengan kacamata hitam dan jas coklat, berjalan ke arah mereka. Ia membawa buku di tangan kirinya sementara telapak kanan teracung ke depan, seolah menahan para domba dari berlaku.
"Ketika seorang manusia kehilangan ingatan akan dirinya, ia tak akan memiliki wujud fisik dalam bingkai dan mengalami mimpi tanpa tubuh. Sayangnya akibat perbuatanmu, Huban, yang telah menandai sebuah benda mati dan memaksanya masuk ke alam mimpi meski tanpa jiwa dan kenangan apapun yang menempel, hukum alam memaksa mereka yang saling membutuhkan untuk menyatu."
"Dengan kata lain, Maia di sini yang tak ingat tubuhnya sehingga nggak punya tubuh dan Stalla yang tak memiliki jiwa dan mimpi jadi tarik menarik? Begitu, Om?"
Maia dan Saviit terbengong, tak menyangka. Zainurma dan Huban muncul di hadapan mereka, menghentikan laju semua domba hitam.
"Hmm, jadi hanya kamu yang tersisa," lanjut Zainurma sambil menoleh ke arah Maia.
"Ayo, ikut aku."
===[B]ersambung===
>Cerita sebelumnya : [ROUND 1 - 4C] 33 - STALLA | [A]NATOLIA
>Cerita selanjutnya : -
Saya udah google, tapi masih ga ngerti 'cuak' ini tepatnya ngerefer ke apa. Mimpi buruk? Monster?
BalasHapusOh, ternyata dijelasin juga di tengah"
Saya ga gitu inget dua entri sebelumnya, tapi baca yang ini berasa sengaja banget pemilihan kata dan struktur kalimatnya berusaha munculin semacem citra unik sendiri
Pertarungan Stalla vs Adrian di sini lebih elaborate dari versi Adrian, tapi lagi" plotnya 'kalah karena pihak ketiga'. Keliatannya ronde ini banyak yang make beginian. Potong" flashback di sela" battle lumayan rapi, tapi emang jadi obvious juga ya pas di akhir direveal siapa sebenernya Stalla ini
==Riilme's CQC Score==
Hapus>Character likability
Background Stalla lebih ke-flesh out, dan karakternya juga ngasih kesan yang lebih unik dibanding Adrian
>Stalla
>Quality value
Entri Adrian agak terlalu gampang, sementara entri Stalla lebih keliatan strugglenya
>Stalla
>Canon anticipation
Saya ga tau apa yang menanti di babak depan buat Adrian, tapi jelas ada sesuatu di depan sana buat Stalla
>Stalla
3-0, VOTE Stalla
Cuak itu sinonim dari takut/gentar, simbol mimpi buruk di kanon Stalla.
HapusSource: http://kbbi.web.id/cuak-2
Anyway, terimakasih sudah membaca dan berkomentar :D
(+) Dibandingkan yang tersaji di Ian, narasi yang digunakan mas J- mas Fudo untuk menyajikan dunia, plot, dan karakternya terasa lebih kuat.
BalasHapus(+) Mampu menyajikan Adrian sebagai rintangan yang menarik untuk dilalui
(+) Alur battlenya oke
(+) Background Stalla semakin terungkap, membuat karakternya menarik untuk diikuti.
(-) Walau karakter Ian coba ditonjolkan sebagai musuh di entry ini, karakterisasinya kok kerasa kurang kena dari yang biasa ditampilkan sama author aslinya. Hmm.
Skor: 80/100 (hanya digunakan untuk pertimbangan vote)
Atas nama Nyarlathotep, Fahrul Razi memutuskan menaruh vote ke Stalla
HapusFahrul Razi
OC: Anita Mardiani
Karakter Ian sengaja tidak ditonjolkan sih sebenernya, takut ilang fokus krna ada banyak yg perlu dijelaskan plus akunya juga yg kesusahan nangkep karakter Ian kayak gimana meski dah baca entri sebelumnya.
HapusSalah satu kelemahanku sih, susah mainin karakter orang -.-
Anyway, terima kasih udah baca ya King :D
Cuak itu apa sih?
BalasHapus._.
eh, ada penjelasan na ternyata.
wait, respon saya sama kayak Sam! wkwkwkwkw
Saya jadi simpati sama si Adrian. Masa lalu dia lumayan blangsak ya. Tapi nama domba dia juga brengsek, bikin saya keseleo lidah ketika mengucapnya.
ANJIR, STALLA TERNYATA CEWEK. Saya kira flashback-flashback itu tentang orang lain, ternyata masa lalu si kaleng ajaib.
Selama ini saya selalu membayangkan Stalla itu cowok polos usia 14 tahunan. Ini mindfuck banget
DX
Cuak arti sebenarnya sih takut/gentar. Source: http://kbbi.web.id/cuak-2
HapusNama domba itu ... nama di antara para domba aja sebenernya. Krna manusia ga ngerti bahasa mereka, jadilah para manusia menamai dombanya sesuai mau masing2 ._.
Anyway, tengkyu dah baca Aniki :>
Narasi dongeng omfud berevolusi, sama seperti Stalla yang berevolusi jadi Maia Maharani. /ngek
BalasHapusSederhana, apa adanya, tapi berwarna. Saya pun penasaran, apakah selama ini bapak yang ada di prelim adalah bapak Maia? Tebakan saya bapak berganti profesi jadi pemulung sepeninggal Maia dari dunia ini. Hiks.
Meski saya rasa Ian di sini kurang wah, tapi battle yang terjadi luar biasa wah. Untuk ukuran kaleng vs manusia asap. I knew it, RAVEN Suit pasti berguna suatu saat nanti www
Dan di sini peran Oneiros serta domba hitamnya cukup dominan. Saya suka.
Ga banyak komentar lagi deh. Entri Stalla mantabs bangets.
Vote menyusul setelah saya selesaikan semua komentar saya.
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
Atas pertimbangan:
Hapus-Kanon yang menjanjikan
-Twist cerita yang lebih menggigit
-Ekspektasi terhadap Bapak dan Maia Maharani yang lebih menarik
Enryuumaru dan Mbah Amut memutuskan untuk memberikan Vote terhadap Stalla
Altem - Po
BalasHapusEntri ini punya buildup flashback yg bagus,krn diselipin sepanjang cerita, dan diakhiri dengan penyingkapan jati diri yg memuaskan. Meski nggak terlalu mengejutkan tapi tetap fresh, karena diiringin penjelasan atau penemuan fakta yg cukup alami dari Zainurma tentang inspirasi/jiwa dan objek.
Bagusnya di sini, konflik antara Stalla dan Adrian kerasa lebih tersalurkan melalui battle. Meskipun battle vs Adriannya dominannya itu adalah secara fisik, tapi permainan asapnya Adrian kerasa cukup menantang untuk Stalla. Atau mungkin merepotkan aja sih, karena ada minusnya jg di battle bahwa:
- Stalla kyknya nggak bener2 kesusahan atau terancam pas nglawan Adrian
- Pas muncul domba hitam juga kayaknya Stalla gak susah buat lolos dari mereka sementara Adrian ko tau2 langsung kalah aja
Faktor kalahnya Adrian tanpa usaha atau finisher dari Stalla ini yg bikin aku kurang suka sama penyelesaian dari battle di entri ini.
Tapi revealing tentang cuak itu ternyata nggak sebombastis yg kukira. ternyata semua peserta jg ngalamin itu kalo ilang inspirasi, kirain itu si Stalla yg punya sesuatu di dalam tubuhnya yg bikin para Kayal berubah jadi cuak.
...dan asli istilah cuak ini kok annoying dan kurang keren gitu.
Vote Stalla.
WHUOOOO SI JAGO DI MENTIOOOOON #digaplok
BalasHapusStalla.. kau hanya kaleng pengharum ruangan, yang punya sejuta misteri didalamnya. Tapi ceritamu.. uuuugggghhhhhh~~~!! Kepala ane terbawa dengan kisah tokoh unik ini! Apa kartu katalognya akan ganti?
Serius ane suka percakapan para panitia. Begitu mendalam menjelaskan tentang mimpi, inspirasi, dan sebagainya. Eh, tapi ane sempat salah fokus dari tokoh utama. Atau memang kaleng ini sengaja terus dipancing agar jadi kunci para panitia.
Selain itu, ane suka gimana pembagian flashback dongeng, main story, lalu FB lagi dengan teratur. Sampe misteri si kaleng terkuap :O
N.V: Sebagai auth Lady in Black, ane memvote Stalla / Maia.
Hoo, di entri r2 ini selipan kilas baliknya udah mulus banget. Enak diikutin. Keren, salut deh. xDb
BalasHapusSaya kira cuak-cuak ini bakal direveal pas udah ronde-ronde jauh(?), dan ternyata memang gak semengerikan yang kukira. Yah, masih bisa diperbaiki kalau lolos ronde depan kan ya. /slap/
Battlenya juga cukup memuaskan buatku, kejar-kejaran domba ngingetin Car Chase ala-ala film Holywood(?) Penyelesaiannya pun pakai teknik magnet. (merasa tersaingi) /slap/
Jadi si Stalla(Maia) ke depannya bakal pakai tubuh manusia? Apa kekuatan kaleng(?)nya dibawa atau justru kekuatan baru? Walau ada Armor hasil nyolong dari Anatolia lah ya.
Overall, saya bener-bener terhibur baca entri kamu ronde ini. Pertahankan xDb
OC : Takase Kojou
Dan, yah, karena plot mendatang yang lebih menjanjikan dan bikin gak sabar mau baca(?)
HapusVote STALLA, atau MAIA ESTI- MAHARANI.
GHOUL:
BalasHapus“Ian di sini lebih idup dan maksimal tempur daripada di kampungnya sendiri. Terasa lebih dicharge full daripada di sebelah.”
@_@:
“Hm meski begitu, typonya masih berserakan, meski di entri Ian masih lebih banyak…
Cuak=binatang? Kerbou?
Itulah Kayal—makhluk jelmaan yang terwujud dari kenangan pemimpi (em dashnya dicuekin tuh).
Pelelap, terselap, berparka, (wah! Apa-apaan kata ini?! Bikin lidah kepedasan tak berarti).
para Reveriers (pake ‘s’, kan jamak).
dari alur ga bikin ngantuklah, cukup menguras timba di sumur emosi kami yang kering.
So, kami ga butuh waktu panjang tuk diskusi cus vote kami jatuh pada…”
GHOUL: “STALLA. Cuz di entri ini Ian lebih bernyawa dan pede, lebih agresif daripada di kampungnya sendiri. Di entri Ian kayak gitu doang dan ringkas seolah entri Ian ogah memperpanjang masalah, tapi di entri Stalla lebih berapi-api dan menyala penuh, cari2 masalahnya full deh…”
:=(D
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusStala :
BalasHapusFud, kok saya jadi pengen nangis yah?
Saya kira OC yg gaje bentuknya pasti jatuhnya ke komedi. Tapi mas fud berhasil merusak stereotipe dan membawakan drama yg alurnya cukup kompleks. Biasanya saya agak kejegal ama teknik flashback selang-seling. Tp buat cerita stala rasanya alus alurnya kayak jalan tol.
Dan yang bikin saya salut adalah misteri BG stala dan materi inspirasi mimpi disampaikan dengan apik dan gampang dipahami. Apalagi tentang cuak, wkwkwk..unik menurut saya. Jujur, berkat ini.. jika lolos, saya udah ada bayangan kalo Axel sampe ketemu Teh Maia.
Seperti yang disampaikan para komentator sebelumnya, mungkin masih ada kekurangan baik typo maupun teknik penarasian adegan battle serta yang paling penting, spot karakter lawan yang kurang dalam. Tp semua itu tertutupi plot drama yang kompleks serta development karakter Stalla aka Teh Maia yang oke punya.
Betewe apa bener Teh Maia bakal jadi elementalist.. terus dia ngeluarin materi alam dari mana? Apa benar r3 nanti judulnya Maia Maharani | INI TALK SHOW?
Vote buat Spray Maia Maharani.
Maaf celetukan saya bakalan random, tergantung ingatan saya tentang entri ini cus bacanya udah dari ... lama.
BalasHapusKesan pertama: ajigile, narasi adiluhung (y)
Iya, serius. Lumayan puitis dan kaya kosakata. Kalo ibarat kain, ini entri kayak kain yang penuh corak meliuk-liuk cakep.
Tbh, itu bukan selera saya sih. Saya kan sukanya pake baju monokrom polos yang tydac trendi, hehe. Tapi saya akui dari segi narasinya, entri Stalla ini mengandung nilai seni tersendiri (y). Siapa lagi yg kayak gini di BoR? Unik ♡
Hmm ... saya salut karena entri ini bisa nyajiin battle sekaligus drama yg baik. Drama utamanya emg bukan dr present time, tp walau dr flesbek sekalipun ... itu cukup menyentuh. Klasik dan ringan, kayak kisah anak-anak ttg budi pekerti, tapi emg karena Stalla dari awal niatnya mau mengesankan nuansa dongeng ... jadi flesbek tsb lumayan ngena.
Dan yg menarik, saya nemuin pesan tersirat dari sana :> Lalu beda dari cerita klasik kalo org kecelakaan menstrimnya ketabrak truk, ini malah ketabrak ... orang-orang itu. :>
Battle-nya sendiri saya gak banyak cingcong. Soalnya saya sendiri awam sama mekanisme yg ada. Kayak pemanfaatan medan dan sebagainya ._. Tapi saya bilang udah cukup baik, sebab bukan sekadar "A dan B saling berhadapan, lalu berantem" tapi gak dijelasin gimananya atau kurang detail (kayak saya) :"
Huhu ... lagi-lagi entri yg mengalami penanjakan, saat saya ngalemin penurunan. Tapi saya suka banget ngeliat perkembangan seseorang. Saya jadi penasaran gebrakan apa lagi yang bakal dibawa Stalla.
Dan oh, soal kekurangan ... menurut saya, sama kayak suhu-suhu di atas, ya paling Ian aja. Bukan sesuatu yang gimana banget. Toh Ian saya anggep lumayan disorot di sini. Cuman kurang pendaleman aja mungkin ya.
Lalala lalala ...
Komen kelamaan.
Saya udah komentar entri Ian, jadi langsung aja saya vote ke lapak cewek lab--maksudnya Maia Maharani ♡♡♡
VOTE STALLA.
Soalnya: bisa terlihat dari paparan di atas, konflik, narasi, karakterisasi, plot, semua lebih baik dibanding lawan.
-Sheraga Asher
Cuak itu apa ya...?
BalasHapusOK, lupakan..
Uhuiiii akhirnya ada chara development yang signifikan banget di sini. Saya semoet heran kenapa kok ada cerita lain nyelip di tengah2 diantara kegentingan pertarungan, ternyata sebagai prelude kemunculan seseorang..
(Dalam hati: Oalah..) tapi gradasinga halus banget, motong2nya juga pas jadi serasa potongan film2 dari dua acene twrpisah yang lalu tergabung.
Untuk diksi, alur, yang lain sudah komen banyak lah. Good job overall, halus. Palingbyang kurang adalah ekaplorasinya Ian di sini, kurang suram dan gelap.
Vote tunggu dulu yha.Mikir dulu.
Rakai A
OC Shade
Setelah menimbang2...
HapusDiksi n narasi: Stalla
Character development: Stalla
Alur; Stalla
3-0 untuk Stalla.
Vote Stalla
Langsung saja.
BalasHapusSaat membaca entri ini, sy ngerasa ada peningkatan. Yap, sy udh ngikutin stalla dri awal. Cuma sempet komen bru skrg.
Lalu, cerita ini cukup konsisten krn ttp menyajikan unsur dongen dan puitisasi xD Bahkan ada sedikit bumbu yg ditambahkan agar tidak terkesan seperti dongeng anak.
Drama yg disajikan juga cukup dpt, lalu pemanfaatan atribut mimpinya juga keren.
Terakhir, char develop utk ian juga lumayan kegali walau msih kerasa kurang desprate.
Pada akhirnya, setelah sy menimbang .... Sy memilih utk vote stalla 😁😁😁
Walah...
BalasHapusTernyata si kaleng selama ini adalah wanita?! Saya puji perkembangan kanon Stalla yang sangat signifikan ini, kisahnya kompleks namun masih bisa diikuti kok.
Pujian lainnya jatuh pada narasi mas Fudo, mungkin kalau saya disuruh milih narasi paling bagus di BoR tahun ini menurut saya jatuh diantara tangan authornya Stalla dan Sheraga deh.
Saya gatau lagi apa yang kurang disini...
Berbeda dengan beberapa entry lain, saya akan langsung Vote Stalla! Alasannya karena perkembangan kanon yang disajikan disini lebih kerasa impact nya dan lebih menjanjikan juga kedepannya. Lalu secara pribadi saya lebih merasakan battle nya lebih emosional dari Adrian yang saya rasa berlalu begitu saja.
Wasalam
Ganzo Rashura vote Stalla.
Narasinya sangat cocok dengan aye, bisa langsung autovote ini hahahahah
BalasHapussuka dengan ala dongeng di penceritaan masa lalu stalla.
Aye jadi penasaran juga, sama kayak entri Anita. kalau sudah begini, gimana jadi mimpi ke depannya? ini mimpi stalla atau mimpi si cewek?
and dammit...zainurma main asal comot "ini dan ini" buat pemilihan reverier yang mau battle.
Kalau di entri adrian alasan battle ga kuat, terutama alasan pribadinya. ini malah stella cuma bertahan hidup dan lari melulu ya. ga ada alasan penting yang bisa dijadikan acuan untuk maju.
seandainya mimpi buruknya beneran menggambarkan kondisi stalla. entrinya bakal lebih mantep ini.
Vote:
HapusSTALLA
-Wamenodo Huang
ternyata selama ini kaleng itu adalah... jeng jeng jeng /plak
BalasHapustwistnya kerasa di entry om fudo ini. dimana sang kaleng berubah menjadi manusia. mungkin udah capek kali kalengnya /plak
untuk entry ini saya lebih memilih entry Stalla
sekian,
Dual Dagger Dancer