oleh : Énryuumaru
--
Ini kisah, suatu ketika
Tanah kita, tanah Vana
Dilanda bencana, ditimpa petaka
Perang menggema, kuasa menggila
Sengsara mendera, Déwata prahara
Harapan sirna, tak bersisa
Ambang derita, keluar goa
Wujud perkasa, menjawab do'a
Nirvana untuk semua, pembebasan dari Samsara
Salam sejahtera, kepada semesta
Hikayat Tanah Vana - Lembar Hitam: Pembuka
Ah.
Mentari terbit.
Sudah lama sekali.
Akhirnya ada cahaya di atas langit Anatolia setelah sekian lama.
Dengan napas yang tersisa, Gagak Hitam menyaksikan cahaya terang benderang di mana-mana.
Sungguh bahagia rasanya jadi saksi kemegahan ini, sebelum beristirahat dengan tenang.
Kesadaran mulai mengawang.
Silau membutakan mata.
Puing-puing kehancuran mengurai jadi serpihan debu.
Sesosok naga tua berdiri di tengah, menatap langit pecah ditembus cahaya tumpah ruah.
"Terima kasih, Révériér..."
Raung dan tangis sang naga buyar bersama putih. Bersih.
Jiwa terombang-ambing di antara angan dan bayang. Warna-warna berbisik dan bernyanyi, mengantar tidur. Jati dalam diri mengabur, membaur dan melebur bersama jutaan rupa dalam pusaran gelombang hambur.
Distorsi Mimpi.
Sukma mengejang, raga terhempas kencang.
"Mbak! Bangun dong! Jangan nyangkut di rok saya! Jadi gak bisa keluar nih!"
Keheningan pecah. Suara gadis baru beranjak déwasa menggema, memenuhi rongga jiwa.
"Aduh bangsat!"
Kesadaran kabur. Asa dan rasa hancur. Terkubur.
"AAAAAAAHHHH!!"
~interval~
Cahaya terang memberi kedamaian.
Apakah ini rasa surga? Hangatnya terlalu indah untuk dicerna indra sebatas raga. Sulit dilukiskan kata-kata, namun terasa di seluruh jiwa. Mungkinkah ini istirahat abadi yang didamba semua hamba? Hanya kehampaan yang tersisa.
"!!"
Samar-samar suara lembut mendayu dan merayu, mengisi bisu. Lambat laun terasa nikmat amat sangat, menciptakan gejolak meledak-ledak, mendorong kesadaran yang mengendap di dasar, naik sampai puncak.
"Aaaahhnn!!"
Gelinjang riang, melintas awang.
"Alhamdulillah, akhirnya bangun juga."
Jiwa dan raga kembali terhubung, linglung dan bingung akbiat terlalu lama membubung. Sepasang mata hitam menelusuri sekitar, merasakan segarnya padang kering berhias hijau yang luas terhampar. Ia pun menoléh ke sumber suara.
Di hadapannya ada seorang gadis belia berpakaian modérn namun sederhana, dengan ikan tuna segar di genggamannya. Kakinya menapak di atas udara.
"Hah?"
"Kamu belum mati, mbak."
"A-apa?"
"Mbak cuma pindah diménsi aja. Tapi kalo gak saya sérét mungkin mbak mati beneran. Ato jadi guci kayak temen saya."
Ikan dibuang, benak pun terang. Akal yang redup kembali cemerlang. Banyak pertanyaan dalam kepala membuatnya tidak tenang.
"Kamu siapa?"
"Kasukabé Asu—éh, Asya."
"Yang benar Kasukabé Asu apa Kasukabé Asya?"
"M-maaf, maksud saya Kasukabé Asya."
Seperti anak sekolahan baru, Kasukabé menjawab sambil tertawa malu.
Rasa ragu masih bertahan, tapi terlalu lama rebahan tak akan menjawab rasa penasaran.
Ia pun mulai bergerak. Sambil berusaha bangkit, sosok perempuan ini merapikan keméja coklat dan celana jins yang ia kenakan. Setelah itu wajahnya membelalak, seperti baru sadar wajahnya habis dipermak.
"Kenapa, mbak?"
Pertanyaan Kasubaké tidak digubris. Ia terlalu sibuk memeriksa tubuhnya—lebih tepatnya mencubiti setiap jengkal kulit tubuhnya—dengan wajah terkesima.
"Mbak? Kenapa mbak? Baru sadar jadi perempuan?"
"Bukan."
Wajah si wanita mendadak layu. Masih tersimpan rasa ragu.
"Badanku harusnya rusak parah. Harusnya setengahnya banyak luka dan busuk gara-gara polusi ama perang."
Jelas gadis remaja itu mengernyit héran. Wanita rambut hitam di hadapannya baik-baik saja. Wajah Asia yang anggun déwasa tak ada cacat rupa. Walau lengan kirinya yang dari besi cukup membuktikan ia pernah berlaga di médan perang.
"Tapi mbak tidak keliatan seperti Katawa Shoujo."
"Hah?"
"Maksud saya mbak keliatan séhat, kok."
"Nah, itu."
Wanita itu kembali melihat lengan kirinya dengan mata hampa. Tangan logam yang mulus terurus terasa dingin di kulit pipi yang halus. Pipi bebas burik dan noda hina itu tak henti dielus-elus.
"Badanku séhat lagi. Hanya lengan ini saja yang tidak kembali. Ini seperti mimpi."
Keadaan ini tentu sulit dinalar, benar-benar serasa mimpi jadi nyata. Tapi ini benar-benar kejadian. Mungkinkah ini keajaiban? Hadiah Tuhan? Atau jangan-jangan ia masih bermimpi akibat tidur yang berkepanjangan?
"Kamu tahu apa yang terjadi?"
"Kita pindah cerita. Mungkin dijadikan figuran baru sama yang nulis."
"Hah?"
Untung saja tawa bodoh Kasukabé bisa menutupi kalimat méta yang memecah batasan fiksi, membuat lawan bicaranya mengira ia sedang melawak garing. Yang sadar rekayasa dalam cerita ini cukup satu tokoh saja.
"Éééé-é-é-éhé, maksud saya, mbak ngambang dalam dunia mimpi. Saya yang nyasar ketemu sama mbak. Habis itu, ya, begini, déh."
Si tangan besi merasa rancu dengan semua penjelasan itu. Namun nalurinya merasa kata-kata Asya mungkin ada benarnya. Teringat kembali pertempuran akbar di Anatolia, yang diintervénsi oléh Révériér—para pemimpi. Jangan-jangan semua kejadian itu (mengacu pada babak pertama vérsi Mbah Amut) adalah mimpi belaka?
Semuanya terasa rumit. Ubun-ubun serasa terjepit. Makin dipikirkan, kepala makin sakit.
"Aku masih bingung sih. Tapi ya udah lah."
Karena percakapan ini tak memberi hasil pasti, si wanita perang mulai bergerak, menjelajah padang untuk mencari jawaban. Bukan mencari Nasi Padang.
"Mmm... Diam aja nggak bikin selesai masalah, kan? Jalan-jalan, yuk."
"Oké déh, mbak."
"Ah iya, lupa kenalan. Namaku Karia. Karia Akari. Tapi panggil aja Akari, margaku jelék."
"Oké déh, mbak Akari. Panggil saya Asu—éh, Asya."
~interval~
Sementara itu, di antah berantah yang lain, satu manusia dan satu makhluk mirip manusia sedang memperhatikan pergerakan Alam Mimpi dari ruangan muséum. Sebuah bingkai besar dipakai sebagai layar lébar.
Layar itu bersinar terang, disusul kedatangan gempa yang menggemparkan seisi ruang.
Keduanya kagét bukan kepalang. Si kepala bantal sampai terjengkang karena gempanya sangat kencang. Sementara itu, si lelaki klimis berusaha untuk tenang. Namun kemungkinan dipanggil Sang Pemilik Muséum membuatnya tetap tegang.
Begitu gempa agak reda, si pria bertampang mafia tercengang. Sumber gempa ini tak lain dan tak bukan adalah bingkai yang meréka gunakan untuk mengawasi gerak-gerik para pemimpi.
"Apa-apaan ini...?!"
Pria bertampang mafia meneriaki bingkai tersebut, yang sekarang putih bersih seperti kertas baru.
"D-dist-t-torsi M-m-mimpi..."
Sambil bangkit dari jatuhnya, anak kecil kepala bantal berkata terbata-bata. Dari nada bicaranya, fénoména tadi terdengar mengerikan.
"Distorsi Mimpi Skala Besar? Tidak mungkin."
Sang Kurator Muséum menyangkal dengan wajah kesal. Ia masih merasa tak mungkin Distorsi Mimpi bisa sampai ke Muséum Semesta. Namun bila si kepala bantal yang berbicara, entah.
"T-tapi... aku merasakannya. Kalau ada perubahan besar di Alam Mimpi, aku merasakannya, paman Nurma."
"Dan naga tua itu yang membuatnya? Mustahil!"
Baru saja tenang, keresahan kembali datang. Dibawa Penjaga Muséum berwujud seorang Déwi Perang.
"Tuan Kurator, mahakarya Amut yang baru sudah datang."
"Kau harus melihatnya secara langsung."
~interval~
Dalam Muséum Semesta, ada banyak ruang untuk menyimpan berbagai karya. Salah satunya adalah ruang khusus untuk menyimpan patung. Patung yang dipajang di ruang ini bukan sembarang patung. Meréka adalah hasil dari perwujudan impian orang-orang di seluruh pelosok jagat raya.
Tapi bukan ruang ini yang dibahas.
Sekarang, Zainurma sang Kurator dan Mirabélle sang Konsérvator tengah mencermati karya yang baru datang di ruang khusus untuk memilah karya seni yang baru masuk. Ratu Huban si kepala bantal diminta untuk tidak meninggalkan bingkai pengawasan.
Di hadapan keduanya, berdiri sesosok malaikat besi tinggi besar. Namun setengah badannya tidak utuh, seolah-olah sedang berprosés menjadi butiran debu. Di dasar patung tersebut adalah segumpal bentuk yang terlihat seperti kumpulan makhluk hidup jadi satu.
"Ini..."
"Ya. Ini karya yang Amut buat. Sama seperti patung gadis itu."
Zainurma mondar-mandir, melihat segala rupa yang tersemat di setiap sudut patung itu. Setelah memperhatikannya baik-baik, ia manggut-manggut.
"Patung yang itu, ya? Mémang terasa anéh. Tapi harus kuakui distorsi di karya ini membuatnya lebih... éstétis."
"Bukan itu masalahnya, tuan Kurator."
Mirabélle menggéléng kecéwa. Ia pikir Sang Kurator mengerti maksudnya. Tak lama, telunjuk sang Dewi Konsérvator mengarah pada gumpalan bentuk yang ada di dasar patung, sumber resah dan gelisahnya.
"Coba telusuri distorsi ini baik-baik."
Zainurma berdecak sinis. Tapi ia tak keberatan untuk mengamati distorsi bentuk itu sekali lagi, toh kerjaannya di muséum mémang mengamati karya seni.
Tapi apa yang déwi itu permasalahkan dari karya ini?
Ah, tunggu.
Tak perlu dijawab. Sekarang ia mengerti kenapa.
"Jadi, ini yang kau permasalahkan?"
"Kau sudah mengerti, tuan Kurator? Di patung gadis itu tandanya masih samar. Tapi patung yang ini membuktikannya."
Dengan wajah yang awas, pria nécis itu mengiyakan. Lengkung bibir yang turun perlahan naik.
"Kau tahu? Aku rasa kita menemukan satu kunci bagus untuk membuka belenggu kita..."
~interval~
"Tersangkut dalam Bingkai Mimpi. Distorsi merépotkan."
Dalam kuil megah seperti istana tempat tinggal Déwa-Déwi, para panitia Battle of Realms—ajang tarung antar semesta berkedok paméran seni—menyambut kedatangan peserta yang berhasil lolos babak pertama. Namun sudah cukup lama acara penyambutan tertunda, karena ada beberapa peserta yang nampaknya sulit mencapai tempat tujuan.
Salah satunya, naga yang satu ini. Bentrokan dengan wujud penghancur di dunia Anatolia memicu Distorsi Mimpi dalam skala yang cukup besar, membuatnya terjebak dan harus sampai ditarik tiga domba Alam Mimpi agar bisa keluar.
Begitu sampai pun, ia nampak jengah tak terarah. Seperti ingin marah, namun sudah terlalu payah.
Walau begitu, monster itu masih mampu menjaga sopan santunnya. Ia minta izin sebelum bertanya kenapa tidak dibawa ke Muséum Semesta. Walau pada akhirnya ia diingatkan bahwa di tempat itu bersemayam sebuah wujud yang merusak batin para peserta.
Lalu sebuah layar lébar diperlihatkan. Sebuah arahan tersirat disampaikan melalui gambaran kehancuran yang menimpa berbagai semesta. Babak kedua ini adalah ajang peraduan antar sesama Révériér. Meréka harus bertarung untuk mempersembahkan karya terindah dibanding lawannya. Yang kalah, maka Bingkai Mimpinya—semesta tempatnya berasal—jadi musnah.
Tentunya ini mengundang berbagai macam tanggapan.
Salah satunya, kemarahan.
Gadis polos berkacamata nampak murka, namun bila dibandingkan amarah yang terpendam di dalam batin naga ungu itu, belum apa-apa.
Lagi-lagi Sang Kurator hanya menghimbau para Révériér untuk terus maju dan menciptakan karya-karya indah sebagai solusi dari permasalahan ini.
Omong kosong.
Seperti biasa, Kepala Bantal datang pada saat terakhir untuk mengantar para pemimpi kembali pada persinggahan di Alam Mimpi. Bingkai Mimpi meréka.
Satu persatu para peserta pulang ke sangkar, sampai tersisa naga ungu berwajah gusar, yang sesekali mengeluarkan batuk kasar. Sorot mérah tajam dibalas sorot picik di balik kacamata hitam. Si mafia sadar betul si naga sedang geram, tapi ia sengaja diam.
"Ada yang mau kau sampaikan, naga tua?"
"Kang penjaga muséum, yang kamu bilang itu, bohong, kan? Semesta-semesta itu akan tetap hancur bagaimanapun juga."
"Kalau kata-kataku itu bohong, mémangnya kau mau apa?"
Dewi Konsérvator sudah bersiaga dengan tombaknya kalau-kalau naga itu mengamuk seperti pertama bertemu. Namun Amut bisa bertindak sebijak usianya. Ia tidak menggubris pertanyaan bernada éjék dari Zainurma, lebih memilih berjalan keluar dari portal. Kedua tangannya mengepal.
"Héi, mau dengar kabar bagus? Kau punya kesempatan jadi penyelamat semuanya."
"Aku serius, Amut. Kau salah satu di antara yang paling mampu. Sebaiknya kau harus terus maju."
Kata-kata terakhir Zainurma tidak menimbulkan kesan bagus dalam hati Amut. Meski kata-kata itu benar-benar tulus.
~interval~
"Huft, gempa mlulu."
Ma Nia si babu rambut ijuk mengeluh dari balik jendéla kamar tamu, melihat ujung langit yang sedang menyatu dengan bentuk dan warna baru. Bersama debur gemuruh guntur, Bingkai Mimpi meluas.
"Dunianya lagi rénovasi, kali."
Pemuda tinggi berambut putih menimpali dari sudut pojok sepi, sibuk melahap tahu bulat yang tersaji. Rambut ijuk mendesah, resah gelisah meraut wajah.
"Begichu, yha?"
Ma Nia berjalan menghampiri si lelaki yang nampak seperti mayat hidup, duduk di sebelahnya dengan akrabnya. Badannya yang hanya ditutup cawat hitam begitu menggoda.
"Ih, paké dulu bajunya napa!?"
"Tapi qamu biqin qu grah."
"Gusti nu aguuung1..."
Sambil meringis, si wajah gila menggerogoti piring bekas makannya sampai tak ada sisa. Ma Nia yang merasa menang tertawa senang. Si mayat hidup bangkit menjauh, melémpari Ma Nia dengan bajunya yang tergeletak di atas ranjang sebelum keluar ruangan.
"Ih, Nunu mah gak seru, uwu banget."
"Pijetanmu énak, sih. Makasih."
Pintu ditutup tanpa permisi. Tinggal Ma Nia terduduk sendiri, tersenyum geli.
"Huft, dasar Béd Boi. Biqin hatiqu owo aja. Hhé."
~interval~
Sepeninggal dari kamar tamu, lelaki muda yang dipanggil 'Nunu' penasaran dengan keadaan di luar sana. Gamang bercampur bimbang di setiap langkah yang melénggang. Sési pijat dengan si babu beberapa saat yang lalu tak membuatnya lebih tenang.
"Mbéééé!"
Nwu Ghé Llo sedang tidak siaga. Meski instingnya bagus, kadang-kadang ia tidak fokus. Alhasil, sundulan di belakang lututnya berjalan mulus.
"Aduh!"
Ia pun terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Dua kedip setelahnya, seorang babu rambut biru datang memanggil-manggil sang domba, yang sekarang sibuk menggigit dan menarik-narik ujung kain celana penuh debu.
"Mbéééé! Mbéé, mbéééé!"
"W-wah! M-mas Nu! Mas ndak apa-apa, kan?!"
"Tenang. Ga apa-apa, kok."
"Maaf! D-dombanya mendadak liar! Padahal tadi dia gak kenapa-napa..."
Ma Ida si babu képang dua menjelaskan keadaan si domba dengan wajah seperti orang yang gagal melaksanakan tugas. Nwu masih agak bingung, namun sepertinya si domba berusaha untuk menyampaikan sesuatu.
"Mbééé!"
"Hmm, kamu mau apa?"
"Mbéé! Mbééé, mbéééé!"
"Éh? Mas Nu ngerti bahasa domba?"
Seolah mengerti jingkrak dan embik si domba, Nwu langsung berdiri dan mengikuti domba yang lari terburu-buru.
"Gak juga, tapi dia mau nunjukkin sesuatu, kayaknya. Ayo susul."
Si babu hanya menurut saja.
Domba itu berlari menyusur koridor rumah gedong warna-warni, menggiring keduanya ke halaman belakang, tempat kebun pribadi sang pemilik rumah berada.
"Mbééé! Mbéééééé!"
Kebetulan yang punya kebun juga berada di tempat, sedang mengudut melibas penat. Wujud cantik berambut hitam panjang langsung melirik domba yang belingsatan di depan kebun bunga.
"E-éh, kok kamu di sini, embéé?"
"Mbéééé!!"
Domba putih itu kejang-kejang lagi.
Tak sampai tiga detik, seberkas sinar putih keluar dari matanya, menjadi pertanda keluarnya lubang warna-warni dari udara.
"Itu..."
Semua mata tertuju pada lubang itu, tempat keluarnya sosok yang sudah ditunggu-tunggu.
Sang naga ungu. Wajahnya lesu dan sendu.
"Ah, udah pulang..."
"Selamat datang, mbah."
"Mbééééé!"
Salam itu tak dibalas. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
~interval~
Babak kedua adalah pertemuan sepasang pemimpi dari tiga puluh dua peserta yang masih bisa bermimpi. Sepasang Bingkai Mimpi pun bertemu, menjadi satu kesatuan yang utuh. Namun siapa lawan siapa, tak ada yang tahu.
Dari sudut mimpi yang jauh, terlihat sesosok makhluk berjubah ungu mengawasi dari penjuru, menggerutu, mengutuk panggung laga yang gaduh mengganggu.
"Dunia mimpi makin kacau."
"Aku harus melakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat!"
Tulang-tulangan bertengkorak bola mata bersorot ungu mengangkat tongkat merahnya, mengarahkan kumpulan domba hitam yang berkerumun untuk mengikuti langkahnya, menuju panggung-panggung yang menggelar pertarungan.
Penyatuan Bingkai Mimpi seperti menumpuk air dan minyak. Semesta terus bergerak dan berubah, bersinggungan dengan mimpi-mimpi dari alam yang lain. Hal ini tentunya mempengaruhi keadaan yang terjadi di dalam semesta tersebut.
Salah satu contohnya, getaran dahsyat yang terjadi di semesta satu ini.
Semesta hitam kelam seperti malam tak berbintang bergerak, menghambur dan melebur. Bingkai yang terurai berkeping-keping lambat laun mengutuhkan diri, menjadi sebuah keseluruhan.
Saat guncangan mereda, dan langit berhenti meronta, penyatuan sudah sempurna.
"Huff... huff..."
"Gempanya... berhenti..."
Di sebuah kamar apartemén, terdapat dua orang gadis sedang sembunyi. Yang satu tiarap di bawah méja, yang satu lagi meringkuk di dekat sofa. Dan juga, di pojok ruangan ada seekor domba.
Tak ada yang bergerak. Keduanya masih waspada. Mata mereka terus bersiaga dan saling menjaga.
"Myuu~ Myuu~! Myuu~ Myuu~!"
Suara méongan anak kucing yang imut suksés merusak keheningan menegangkan. Gadis berambut putih péndék yang sembunyi di bawah kolong méja merengut. Kepalanya jadi terangkat, membentur kaca méja karena terkejut.
"Bréngsék! Bikin kagét aja!"
Hal itu membuat si rambut hitam panjang terkékéh kecut. Télépon genggam yang ada di atas méja pun berhenti berdering dan berkedut. Pemiliknya langsung meraih benda tersebut dari sofa.
Satu pesan baru dari Zainurma.
"Ah~! Surat cinta dari Tuan Kurator~!"
"Scheiße2! Sis, sérius dikit, kenapa?! Kamar ini hampir hancur, tau!"
"Ya, ya... nih, aku bacain."
Meski huruf yang tertera di dalam pesan tersebut begitu asing, si gadis rambut hitam bisa mengerti makna yang ada di balik huruf tersebut. Karena panitia menghendaki demikian.
Dear Ru Ashiata, sang Révériér.
Ronde kedua sudah dimulai. Bingkai Mimpimu sudah dipindahkan agar kau bisa mulai bertanding.
Lawanmu adalah Mbah Amut, naga tua dari dunia Vana.
Kalahkan dia, dan kau akan menang.
Kau sudah lihat nasib yang kalah akan bagaimana.
Semoga berhasil.
Tertanda
Kurator Museum Semesta
"H-hah?!N-naga?!"
"Ah FICK3! Kukira lawanku adalah si kaptén atau si Koréa!"
Si rambut hitam langsung melémpar tawa dan télépon genggamnya ke udara. Lalu ia berputar-putar seperti penari balét, sebelum membanting badannya ke kasur dan melanjutkan tawanya.
"Haaa, ha, ha, haaaa! Golér aja aaaah~!"
"Mbhaaahahahaaaaa!"
Seolah mengerti tuannya, si domba juga tertawa.
Si rambut putih melongo saja. Ia masih tak percaya dengan apa yang dibacakan. Bukannya naga itu hanya mitos belaka? Oh tunggu, ia lupa kalau saat ini meréka sedang ada di Dunia Mimpi. Apapun bisa terjadi.
"Sis, kau tidak sedang bercanda, kan?"
Ru Ashiata yang sedang membenamkan kepalanya ke dalam bantal menjawab pertanyaan adiknya tanpa mengeluarkan wajahnya.
"Menurutmu gimana, Luna?"
"Mana aku tahu, Arschloch3?!"
Gadis yang bernama Luna menghampiri kakaknya, membalik paksa badan kurusnya karena sudah tak tahan dengan kelakuan yang seolah tidak peduli dengan situasi saat ini.
"Kalau aku bohong, aku akan memilih lawan yang lebih sulit. Kuda api luar angkasa atau Cacing Besar Alaska, misalnya."
Wajah Ru sudah terlihat pasrah. Tak ada senyum culas di wajah. Luna pun berhenti mencengkram kerah kaus kutang kakaknya, menghela nafas berat, lalu ikut merebahkan diri di sebelah.
"Méin Gott4... lawan kita sebesar apa?"
"Untungnya dia tidak sebesar Godzilla. Aku sempat lihat dia bertanya pada Tuan Kurator."
"T-tunggu!"
Jantung Luna seakan tak diberi jeda untuk istirahat. Detaknya semakin memacu, terlalu banyak terpicu.
"Naganya bisa bicara?!"
"Ya, dia bicara seperti naga Skyrim. Seingatku dia sebesar mobil."
Hening kembali melanda. Luna sudah kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan kehéranan dan ketidakpercayaannya.
"Ada rencana?"
Karena kakaknya yang terpilih untuk bertarung, tentu saja Luna berharap kakaknya punya cara untuk menyelesaikan babak ini. Meski, melawan seékor naga kedengarannya bukan perkara mudah.
"Kalau ada jalan lain selain bertarung, aku akan melakukan itu."
"Mémangnya ada?"
"Mengajaknya main poker? Tebak-tebakan? Kontés masak? Main hompimpa?"
Sudah ia duga. Kakaknya sulit untuk dipercaya dalam situasi seperti ini.
"Itu terdengar bodoh."
"Yang penting dia kalah, kan? Zainurma tidak menyebutkan kalau kita harus bertarung dengannya sampai mati."
Namun benar juga. Tidak ada keharusan kalau mereka harus bertarung melawan Mbah Amut dengan jalan kekerasan.
"Memangnya dia mau main hompimpa?"
"Bisa jadi."
Percakapan langsung berhenti begitu saja karena kehabisan kata-kata.
Mungkinkah Ru sedang memikirkan rencana? Luna meragukannya. Tapi meréka tak bisa diam dan tidak melakukan apa-apa. Luna jadi ikut kepikiran juga. Dua otak seharusnya bisa berpikir sama-sama. Seharusnya.
"Sis, aku rasa lebih baik kita keluar dari sini. Cepat atau lambat naga itu akan ada di hadapan kita."
"Boléh minta tolong? Kau saja yang keluar dan melihat keadaan. Aku mau nyiméng dulu."
Memang dasarnya Ru. Tidak bisakah ia sérius sekali saja?
"GRRRHH! DASAR OTAK KUGELSAAAACK5!!"
Léhér si gadis rambut hitam dicekik dari belakang oleh adiknya yang telanjur ditelan amarah.
~Interval~
Hai, kamu.
Ya, kamu.
Apakah kamu merindukanku? Akhirnya kita bisa bertemu lagi.
"Cicing siah6."
Aih, kenapa kamu dingin begitu? Bukankah aku membantumu untuk mengingat apa yang kamu lupakan? Seharusnya kamu senang bisa mengingat hal-hal penting itu.
Ramalan itu.
Kejadian itu.
Semua yang telah lalu.
Aku membantumu untuk mengingat itu.
Panggilanmu.
Tugasmu
Takdirmu.
"Memusnahkan semesta itu sia-sia. Kehidupan tak jadi lebih baik walau dihancurkan sampai tak ada sisa. Harusnya kamu tau."
Lalu, apa menjaga kehidupan akan membereskan masalah?
Kehidupan adalah siklus. Yang hidup akan mati, yang ada akan tiada. Kehidupan lama akan hancur dan membentuk kehidupan baru. Bukankah terus begitu?
Samsara tak lebih dari daur ulang, Amut. Kehidupan yang berikutnya hanya memutar ulang peristiwa yang sama dengan alur yang berbéda. Kamu tahu itu.
"Mémangnya kalau semua musnah, semuanya bébas dari Samsara?"
Semesta tak akan lepas dari kodratnya mau bagaimanapun juga. Ada pembangunan, pasti ada penghancuran. Seperti air dan api, harus ada kutub berlawanan untuk menyeimbangkan siklus itu.
Dan itu akan terus terjadi.
Kamu sudah menyaksikan sendiri, Amut. Mau siklus konyol ini terus berulang?
Sebaiknya kamu pikirkan lagi.
"Gandéng7!"
Apa sekarang kamu lebih suka lari dari kenyataan? Kamu tahu aku adalah bagian dari dirimu. Aku tak akan pernah bisa dipisahkan dari benakmu. Jiwamu.
Aku akan selalu ada di balik bayangmu.
"Ngikutin kamu cuma bikin capék aja."
Itu harga yang sepadan untuk menghentikan permainan-Nya.
Permainan Tuhan itu kejam, Amut. Kamu sadar betul kan bagaimana makhluk-makhluk-Nya berlakon di atas panggung takdir?
"Rencana Sang Hyang Déwata Agung tak ada yang tahu. Tapi yang pasti satu: Tuhan itu Maha Pengasih dan Penyayang. Tak mungkin Dia menciptakan siklus ini hanya demi kesenangan pribadi."
Haha, sepertinya pendéta itu sudah terlalu banyak memberimu pencerahan. Matamu jadi silau dan tak bisa melihat kenyataannya.
Seharusnya kamu sadar, Amut.
Membébaskan semua dari Samsara adalah pilihan yang paling baik untuk kehidupan.
"Ketiadaan bukan penyelamatan. Nirpana seperti itu tak akan membawa kedamaian. Dépinisi Nirpanamu salah."
Masih kukuh dengan kepercayaanmu? Baiklah.
Aku sudah mengingatkanmu.
Sebaiknya kau pertimbangkan lagi panggilan kita.
Panggilanmu.
~interval~
Entah berapa lama yang sudah léwat sejak babak pertama.
Pulangnya sang Guru Besar menjadi kabar gembira bagi warga Kota Martanira yang masih buta keadaan. Jamuan pésta sederhana namun meriah digelar oleh para warga sebagai bentuk sambutan dan perayaan atas kembalinya Amut.
Yang ironisnya, tidak dihadiri oleh sang undangan.
Tamu kehormatan warga Martanira memilih untuk menyendiri di kamar tidur yang tersedia. Wajah bermuram durja, diam seribu bahasa.
Tentunya Ses Ara dan dayang-dayangnya jadi cemas. Namun Nwu sebagai orang yang hapal tabiat si naga tua berusaha meyakinkan semuanya bahwa Amut baik-baik saja. Namanya juga orang tua, mohon dimaklumi.
Sebagai murid Sekolah Pemikiran Kundalana yang pandai dalam bidang Kemanusiaan, Nwu bisa sedikit membaca gelagat tersirat para makhluk berakal dan berbudi. Ilmunya yang tak seberapa menguatkan dugaan sesaat berdasar firasat.
Ada sesuatu yang tak bérés dengan gurunya.
Ia pun datang mengunjungi kamarnya untuk membuktikan.
"Mbah, ini Nwu. Saya masuk ya, mbah."
Sosok di dalam kamar tak memberi jawaban, namun pintunya dibiarkan. Pemuda itu datang sesuai kebiasaan: Menerobos dengan sopan.
Dan inilah Mbah Amut, sedang termenung menatap langit biru di ujung jendéla. Gundah gulana, resah gelisah. Seakan memikirkan sesuatu yang amat berat.
"Tumbén mbah nggak cerita apa-apa. Masalah besar?"
Bukan Nwu Ghé Llo namanya kalau basa-basinya tidak melompat ke inti pembicaraan. Ia sudah kenal gurunya sejak masih balita. Dan sekarang ia berbicara dengannya sebagai keluarga, bukan seorang murid Sekolah Pemikiran Kundalana.
"Kamu siap ngedenger semua kata-kata mbah, Nu?"
Seakan ragu, nada bicaranya begitu lesu. Pastilah ini bukan berita bagus, apapun itu.
"Mbah kayak ngomong sama siapa aja."
Pemuda itu mengikik sambil duduk manis di atas lantai, siap mendengarkan celotéhan gurunya. Kabar seperti apa yang membuatnya sedih demikian rupa?
"Sejélék apapun kabarnya, cerita lah, mbah."
Setelah diam sekian lama, naga itu berdehem sedikit, sebelum menenggak gelas besar—yang lebih terlihat seperti kendi—berisi air. Alangkah baik minum dulu sebelum bicara panjang lebar, agar lancar.
"Kamu sudah ingat Ramalan dari Bunda Syu?"
"Belum, mbah. Tapi yang pasti menyangkut krisis alam semesta."
"Semua kehidupan akan jadi satu. Itulah mimpi di kehidupan kedua."
Seakan dapat kunci jawaban saat ujian tulis, Nwu yang tadinya masih buram kini paham. Ganjalan dalam mémori hilang seketika.
"Ah... ah! Ya, mbah! Sekarang saya ingat!"
"Tahu artinya?"
"Semesta berkumpul terus hancur sama-sama?"
"Betul. Tapi dépinisimu belum tepat."
Obrolan keluarga mendadak jadi léktur Guru Besar pada murid kesayangan. Begitulah kalau sudah berkecimpung dalam dunia pendidikan.
"Jadi, maksud mbah sebenernya?"
Sebelum menjelaskan, Amut berdehem terlebih dahulu. Dahak di tenggorokannya naik ke puncak gegara bicara terlalu banyak.
"Begini, Nu. Muséum Semesta itu kan mengumpulkan berbagai semesta dengan alasan Paméran Sejagat Raya. Nah, berarti, semua semesta ini sedang dilebur menjadi satu, dong? Paméran Karya Seni itu cuma alesan aja."
"Sekarang, apakah kita cuma ketiduran dan pindah ke Alam Mimpi? Apa kita pindah ke Alam Mimpi secara pisik?"
Nwu tidak menjawab, hanya bisa manggut-manggut karena masih belum menemukan titik hubung antara penjelasan Mbah Amut, keadaan sekarang, dan ramalan itu.
"Pindah secara pisik atau nggak, Alam Mimpi itu ibarat Kehidupan yang kedua. Alam di luar dunia, di luar batasan pisik. Alam abstrak yang terhubung dengan kita. Alam bawah sadar kita."
Kelopak matanya melébar. Anak itu mulai bisa mencerna apa yang dimaksud gurunya.
"Saya mulai ngerti, mbah. Tapi saya nunggu penjelasan mbah selesai, déh."
"Sekarang mbah mau tanya: Menurut kamu, kalau semua semesta dipindah ke satu wadah bakal gimana?"
Ding dong! Prémis di pikiran sudah tak bolong. Ia sudah paham masalahnya.
"Nggak seimbang karena satu wadah dijejelin isi kebanyakan? Ancur?"
"Ya."
Hening memotong percakapan. Namun tak lama, karena rasa lapar Nwu tak bisa ditahan. Batu di kantong pun dijadikan cemilan. Suara kunyahan garing mengisi ruangan.
"Kalaw begétuw, gawwat dohngh?"
"Makanya mbah ragu untuk menyampaikan ini pada warga Martanira."
Meski raut wajah Nwu tidak berubah, sedikit banyak ia bisa memahami rasa gelisah yang diderita mbah. Wajarlah resahnya begitu parah.
"Ada hubungannya dengan Darek Fales, mbah?"
Salah satu alasan kenapa Nwu disayang jajaran pengajar sekolah Kundalana karena ia punya pemikiran kritis dan cerdas, meskipun tidak diimbangi dengan pembawaan yang pantas. Celetukannya yang tiba-tiba kadang mengarahkan diskusi menuju arah yang bagus. Seperti saat ini.
"Di babak pertama, mbah ketemu Darek Pales lagi. Mungkin ada hubungannya."
"Hmm... tapi, kan dia musnah sama kita sebelum itu. Gimana dia bisa hidup lagi?"
Diskusi dijeda sementara. Amut butuh air untuk menyegarkan tenggorokannya.
"Darek Pales mungkin sudah musnah, tapi bibitnya selalu ada di mana-mana. Bibit-bibit itu akan melahirkan Darek Pales yang baru. Mati satu bisa tumbuh seribu."
"Jadi alasan kenapa Eceu8 Marko jadi Darek Fales..."
"Ya, Nu. Bibit Kehancuran."
"Ésénsi Darek Pales adalah Bibit Kehancuran. Setiap makhluk punya poténsi untuk mempunyai bibit itu."
Kalau terlalu asyik berdiskusi, kadang Amut suka mondar-mandir sambil berpikir. Sudah jadi kebiasaan.
"Namun mbah masih belum tahu pasti bagaimana cara Bibit Kehancuran bekerja. Hanya Syu yang tahu masalah itu."
Nwu jadi lebih memahami situasi dan kondisi yang sedang dihadapi. Semuanya mulai masuk di akalnya, yang mulai diambil alih lapar dan dahaga.
"Hmm... rujit9 juga. Cuma apa iya Muséum Semesta ada hubungannya sama Darek Fales? Mungkin meréka berdua kasus terpisah."
"Entah. Tapi yang pasti. Baik Darek Pales dan Muséum Semesta mengancam kehidupan. Meréka menciptakan ketidakseimbangan yang akan mengakibatkan hancurnya dunia."
Amut membalas sambil mengangkat bahunya. Kelihatan juga ia masih belum menemukan benang mérah semua masalah ini. Tapi, apapun akar masalahnya, masalah besar ada di depan mata.
Masa depan seluruh semesta sedang dipertaruhkan di pagelaran ini.
"Hmm... kalau hancur, berakhir gitu aja?"
"Akhir dunia menandakan awal yang baru... Samsara..."
"Tapi..."
Amut terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
"Tapi?"
"Tidak bila kasusnya berhubungan dengan Darek Pales."
"Darek Pales akan mengubah siklus Samsara tersebut. Dunia akan dipenuhi kegelapan. Suram Jaya Abadi."
Otak Nwu kembali bekerja secepat kunyahannya. Lonjakan listrik dalam syarafnya mengantarkan informasi bolak-balik untuk diolah menjadi sebuah kepastian. Beberapa lonjakan dan letupan menghasilkan sebuah kesimpulan lebih cepat dari sebuah kedipan.
"Dan mungkin, Muséum Semesta akan mengakibatkan hal yang sama. Begitu kah maksud mbah?"
Amut mengangguk, sambil melihat ujung langit yang selalu biru.
"Sekarang ini kita cuma spékulasi aja, mbah? Atau—"
"Di babak dua ini, yang kalah semestanya musnah, Nu."
Nwu langsung berhenti bicara. Kenapa tiba-tiba begitu saja? Tapi, Nwu paham. Sebenarnya memang itu inti pembicaraan meréka. Akibat berasal dari sebuah sebab.
"Kalau penduduk Martanira dikasih tau soal ini, meréka siap?"
"..."
Nwu lagi-lagi mengalah dalam diam. Kalau hanya meréka berdua saja yang terancam, Nwu siap untuk mendampingi apapun yang terjadi. Tapi kalau seisi Vana, itu lain cerita. Belum lagi, apa kata mbah benar. Warga Martanira belum tentu bisa menerima kabar ini.
Ia sedang menimbang-nimbang. Menyampaikan kenyataan atau menyembunyikannya sampai tiba waktu yang tepat?
Tapi sebagai orang yang tak suka berbasa-basi, Nwu juga tidak banyak kompromi.
"Kalau kita bohong ama meréka, gak akan ngerubah keadaan, mbah."
Cepat atau lambat, keadaan akan jadi makin gawat. Lebih baik dibuat melék dari awal, sebelum keburu telat.
"Kejujuran memang pahit ya, Nu?"
"Ya, mbah pernah bilang begitu kok di kelas."
Naga itu pun berhenti meratap. Sendu di wajahnya lenyap.
"Di luar masih pada pésta?"
~interval~
"Hmm, di ujung sana gelap gulita. Tapi di ujung yang situ hutan yang ada gedungnya. Éh, apa gedung yang ada hutannya, ya?"
Sementara itu, Akari dan Asya masih malang melintang di padang lapang. Mereka berjalan tak tentu arah, mengharap petunjuk walau secercah. Hanya warna langit yang menjadi penentu langkah.
Hitam kelam, atau biru cerah.
"Menurutmu mending ke mana, Asya?"
Akari meminta pendapat si gadis hantu, meski ia yang memimpin perjalanan. Karena si tangan besi yang paling banyak pengalaman, ia sukaréla menumbalkan dirinya untuk maju ke depan.
"Hmmm... ya mending ke hutan di situ. Saya takut tempat gelap. Takut ada wong—hantu."
Akari adalah orang yang logis. Meski ia tahu tentang kemungkinan adanya makhluk supranatural, ia masih kurang percaya. Walau jelas-jelas Asya berwujud halus, logika masih lebih utama.
"Kamu kan hantu. Hantu kok takut hantu?"
Cekikikan Akari dibalas pukulan halus yang anéhnya bisa sampai ke raga. Walau begitu, tidak ada sakit-sakitnya.
"Ih! Saya ini manusia, mbak! Tapi badan saya kesedot masuk ke dunia mimpi. Sekarang nggak tau ada di mana."
Kasihan sekali. Akari hanya bisa ikut prihatin saja.
"Okélah kalau begitu."
Tanggapan Akari yang setengah-setengah ditanggapi balik oleh Asya. Ia seperti tidak dianggap sérius. Tapi pada dasarnya Asya adalah karakter cerita lawak. Wajar saja ia tidak bisa dianggap sérius oleh sesama tokoh. Apalagi oleh para pembaca?
"Ih, kok gak sérius gitu nanggepinnya?"
"Terus aku harus apa? Bilang Waw gitu?"
Melihat éksprési wajah Akari, Asya teringat akan siaran hiburan récéh yang diputar di negeri Indonistan. Hal ini membuatnya terpicu diam-diam. Seharusnya jatah adegan lawak dihibahkan untuknya. Tapi itu kan tidak adil. Biar Kasukabé Asu adalah karakter pelawak garing, penulis tidak menghendaki jatah adegan lawak dikorupsi olehnya.
"Penuli—Mbak Akari boleh juga ngegaringnya. Héhé."
"Anéh. Padahal aku gak niat ngelawak."
Jelas. Penulis cerita ini yang membuat seorang Akari yang sérius bisa melawak, walau rasanya terpaksa. Asu mengumpat anjing bangsat dalam hatinya.
"Katanya sih lawakan garing itu bisa menular. Dulu saya suka melawak garing bersama si Jancok. Tapi lawakan kami dicuri Émcéi."
Asya berbagi sedikit kisahnya sebagai tukang lawak récéhan bersama temannya seorang Jancok di média sosial. Bagian lawakan meréka dicuri itu bukan fiksi belaka. Perkara lawakan garing bisa menular juga berdasarkan kisah nyata.
"Wah, Émcéi jahat banget berarti ya?"
"Iya mba. Tukang curi lawakan."
Kasihan, kasihan, kasihan.
Baik, adegan selingannya sudah cukup. Mari kita kembali pada cerita utama.
"Hmm..."
Asya tentu saja penasaran kenapa Akari tiba-tiba berhenti. Ia menunggu apa yang wanita itu lakukan selanjutnya. Tapi dari tadi Akari tak melakukan apa-apa kecuali melihat sekeliling dengan mata yang memicing. Waspada tingkat tinggi.
"Kenapa berhenti, mbak?"
"Feelingku mulai anéh. Kayaknya di dalam hutan ini ada... kehidupan."
"Semoga bukan héwa—éh, satwa liar."
Tadinya Asya mau menyebut Héwan, namun ia takut kalau pembaca salah kaprah. Asya tak ada maksud menyinggung salah satu penulis yang ikut Battle of Realms tahun lalu dan jadi panitia Battle of Realms tahun ini. Sungguh.
"Jangan jauh-jauh."
Akari kembali melangkah, namun kali ini lebih lambat dari biasanya. Dari waspada meningkat jadi siaga.
Biar lambat asal selamat. Pelan tapi pasti. Walau menurut Asya, Akari agaknya terlalu hati-hati. Meréka bukan sedang berada dalam cerita horor atau dunia yang penuh téror. Tapi tak apa lah, yang menentukan cerita kan, sang konsépTHOR.
Héhé.
"Hmm... kamu denger nggak?"
Akari tiba-tiba berhenti lagi. Kali ini menjadikan sebuah semak-semak sebagai tempat sembunyi.
"Denger apa? Koméntar pembaca?"
"Hah?"
Akari mulai menatap Asya dengan curiga. Ia tak begitu mengerti, tapi ia mulai merasakan ada sesuatu di balik kata-kata Asya. Untungnya ia masih belum tahu apa yang Asya maksud.
"Maksud saya, suara apa?"
"Keramaian."
Akari berhenti bicara, mengisyaratkan Asya untuk memasang pendegarannya baik-baik. Sayup-sayup suara berisik sampai ke telinga, bercampur gemerisik angin dan daun.
"Kayaknya dari depan sana, mba."
Akari mencoba memastikan suara yang ia dengar. Senang sekali rasanya ia tak perlu alat bantu agar bisa meresapi suara-suara yang samar.
"Suara peradaban. Gedung-gedung itu mungkin ada penghuninya."
Akari sudah tenggelam dalam rasa keingintahuan yang besar. Keinginan untuk masuk ke dalam kota kecil itu tak terbendung lagi. Ia ingin segera mendapatkan jawaban dan petunjuk.
Namun, kakinya tertahan untuk melangkah.
Biar Asya tidak terlihat serius, dia juga punya pertimbangan, seperti orang-orang kebanyakan. Asya juga baru sadar, sebagai hantu ia punya kemampuan layaknya hantu yang sungguhan. Ia bisa menahan pergerakan manusia. Puji Tuhan.
"Yakin mau ke sana, mba? Kalau kita diciduk gimana?"
Asya bisa saja memakai kata ditangkap dibandingkan diciduk. Tapi Asya mau menyelipkan lawakan para penganut paham politik sayap kiri kekinian. Harap diingat, baik Asya dan penulis tidak punya kecenderungan apalagi memihak sayap kiri.
Kembali lagi pada cerita.
"Semoga bisa diomongin baik-baik."
"M-mba! Tunggu!"
Akari adalah perempuan bertékad baja. Kalau sudah ada kemauan, maka ia akan membuat jalan. Kekhawatiran Asya tak diindahkan, dan ia melangkah ke dalam kota tersebut seperti seorang pengembara yang baru pulang ke kampung halaman.
"Permisi!"
Kedatangan Akari disambut salah seorang warga yang kebetulan léwat gerbang depan kota. Perempuan berambut jingga. Matanya mencoba mengenali sosok yang baru saja masuk ke kota.
Sayang sekali sosok itu tak dikenal. Meski tak terlihat berbahaya, tetap saja mengundang curiga.
"Orang Aséééééng! Ada Orang Asééééééééééng!!"
"Apa?!"
"Wah! Orang Aséng!!"
"Jangan-jangan Anték Darek Fales!"
"Kayaknya suruhan Mukidi!"
"Téroris!"
"Tangkaap!!"
"Ciduuuk!!"
Satu teriakan menyambung teriakan yang lain. Warga pun jadi saling bersahutan seperti paduan suara. Namun meréka datang tentunya bukan menyambut dengan penuh keramahan. Nasib Akari dan Asya sudah dipastikan.
"T-tuh, kan?"
Asya hanya bisa menepuk wajahnya sambil melihat kedatangan warga yang tak menunjukkan sedikitpun ramah tamah.
"T-tenang! Kami ke sini niatnya damai, kok! Kami nyasar!"
Semua sudah telanjur. Warga sudah keburu kalap. Asya dan Akari pun ditangkap, diarak-arak seperti penjahat kelas kakap.
"Bunda Wali!! Kami menangkap orang Aséng!!"
~interval~
"Jadi kalian ini udah kenalan?"
"Enéng Akari ini pemimpin pemberontak di dunia Anatolia."
"M-maaf Bunda Wali! Kami tidak tahu!"
"Nggak apa-apa. Toh kita juga mémang harus waspada."
Akari dan Asya diarak sampai ke jantung kota, untuk kemudian dihakimi secara massal. Namun main hakim sendiri itu tidak baik, jadi para warga melapor pada Bunda Wali sebelum mereka lanjut main hakim sendiri. Namun untungnya Wali Kota keluar bersama Mbah Amut, membuat Akari ingat kalau ia dan sang naga pernah bertemu di suatu tempat.
Kesalahpahaman langsung diluruskan.
Sekarang, Akari dan Asya berada di dalam kantor Wali. Tentunya bersama Ses Ara dan Mbah Amut yang sedang membahas situasi dan kondisi saat ini. Dalam ruang tamu besar, semuanya duduk leséhan seperti biasa, dijamu kué dan aneka makanan lokalan.
"Maafin warga-warga akika ya, mbak Akari, mbak Asu. Meréka memang suka rémpong."
"Nama saya Asya, Ses."
"Oiya."
Dari marah-marah jadi ramah-ramah. Warga désa tak henti-hentinya meminta maaf karena salah. Tapi tak apa. Situasi saat ini memang serba salah. Baik Akari dan Asya bisa memaklumi.
"Nggak apa-apa. Kami ngerti kok kalian cuma berusaha hati-hati."
Sementara itu, sang naga terus memperhatikan kedua pendatang baru dengan wajah mengkerut. Seolah-olah keduanya ada hubungan penting dengan sesuatu. Gumaman mendengung mengundang tanya seisi ruang.
"Kenapa, mbah?"
"Nyasarnya néng Akari ke sini memperkuat yang kita bicarain tadi, Ses Ara."
Beberapa waktu yang lalu, sebelum keributan di kantor terjadi, Mbah Amut dan Ara sedang membicarakan perkara kenyataan yang harus dihadapi oleh Warga Martanira. Kedatangan Akari memperkuat pernyataan Amut, bahwa semesta sedang menjadi satu, sesuai ramalan Syu.
"Bener juga, mbah."
"A-apa?"
Tentu saja Akari dan Asya tidak mengerti.
"Néng Akari, Mbah bisa jelasin apa yang terjadi sekarang."
Dan semua pembahasan mengenai keadaan gawat ini diulang dari awal. Asya tahu bagian penjelasan ini sengaja tidak diceritakan secara gamblang. Pembaca pasti tak suka diberi penjelasan panjang-panjang. Nanti bosan, pikirnya.
"—Jadi, intinya, Muséum Semesta sedang menciptakan ketidakseimbangan dalam wadah Semesta. Kalau tidak dihentikan, sudah pasti semesta kami dan semesta enéng bakal musnah."
Ceramah padat dan tidak singkat ini cukup membuat penat. Namun Akari tetap berminat untuk mengetahui lebih jauh, kalau tidak dipotong oleh perempuan rambut jingga yang datang secepat kilat.
"Bunda Wali!! Mbah Amut!!"
"Kenapa lagi iyéy teriak-teriak ini? Alamaaak!"
Dengan nafas masih tersengal, perempuan rambut jingga itu memberikan sebuah kabar yang mengejutkan seisi ruangan.
"A-ada patung jatoh dari l-l-langit!"
~interval~
Alun-alun kota Martanira menjadi lautan manusia. Patung malaikat besi setengah badan yang turun dari langit menjadi sumber kericuhan seisi kota. Kerumunan itu menjaga jarak sepuluh méter dari patung tersebut. Tak ada yang berani mendekat dan menyentuh patung yang datang bersama sepucuk amplop emas.
Sampai rombongan Ses Ara dan Mbah Amut datang untuk memastikan.
Setelah mengenali patung ini sebagai Saraph si Gagak Putih (terima kasih Akari) yang menjadi properti Muséum Semesta, Amut pun memeriksa amplop berukir indah yang datang bersama patung tersebut.
Sebuah surat khusus untuknya dari panitia.
Teruntuk Mbah Amut, Cendekia dari Dunia Vana.
Babak kedua sudah dimulai, Bingkai Mimpimu akan ditemukan dengan Bingkai Mimpi lawan dalam babak kali ini.
Lawanmu adalah Ru Ashiata, si Wanita Hitam.
Kalahkan dia, dan kau akan maju ke babak selanjutnya.
Semoga berhasil.
Tertanda,
Kurator Museum Semesta.
Kertas berbingkai emas diremas-remas. Alam menjawab hati yang panas dengan getaran keras. Kerumunan yang awas panik mengganas.
"Tenang semuanya! Tenang!!"
Asya dan Akari yang mengikut hanya bisa saling tatap dan melihat kekacauan yang sedang berusaha dikendalikan.
"G-gempa?"
~interval~
"Y-yang benar, Anégo10?!"
"Kita ngelawan naga?!"
"Aku juga tidak percaya, tapi aku tidak sedang berbohong saat ini, hiks."
"Jadi, kau bercanda?"
"Nggak. Yang ini beneran. Sumpah."
"Mampus kita semua!"
Sementara itu, di Bingkai Mimpi gelap gulita, terduduk tujuh orang manusia bersetélan hitam putih di halaman depan sebuah kafé yang biasa ditongkrongi anak-anak gaul Hamburg, Jérman. Ada pria rambut coklat berkacamata hitam, duduk di sebelah rambut hitam mérah dengan kuncir di belakang rambutnya. Lalu ada wanita kulit hitam manis dengan setelan serba putih bersama pria rambut pérak berotot kekar, juga ada gadis muda berambut pirang.
Dan tentu saja, Ru Ashiata bersama Luna Plégethon.
Meréka bukan mengadakan makan malam berhias sinar lilin yang cantik di tempat ini. Lebih bisa dibilang réuni keluarga dadakan merangkap rembukan untuk bertahan hidup.
Semua berawal dari beberapa saat yang lalu, ketika Ru dan Luna memutuskan untuk mengecék keadaan Bingkai Mimpi meréka. Tak disangka, di salah satu minimarket langganan, mereka bertemu dengan kawanan yang tersisa dari klan Plégethon.
Keluarga Plégethon adalah semacam keluarga mafia, bagi kalian yang masih belum sadar.
Singkat cerita, setelah sési temu kangen yang tidak begitu mengharukan, mereka semua langsung mencari tempat untuk membicarakan semua ini. Sekarang di sini meréka, sedang termenung menatap lilin yang ala kadarnya sambil memikirkan nasib dunia tempat tinggal.
Dari tadi belum ada kata mufakat untuk tindakan yang harus dilakukan. Boro-boro memikirkan cara untuk melawan naga, kelanjutan nasib meréka di Alam Mimpi saja masih perlu dipertanyakan.
"Jadi, biar dunia kita nggak hancur, kita harus terus maju dalam turnamén Battle of Realms ini? Dan turnamén ini sudah sampai babak kedua, lalu kita harus lawan naga tua yang bisa bicara biar lolos ronde ini?"
Perempuan berkulit éksotis bernama Eveline mencoba mengkonfirmasi situasi dan kondisi saat ini, sekali lagi. Ru hanya menéléngkan sedikit kepalanya sambil senyum simpul sebagai tanda pengiyaan.
"Seenggaknya, kita menang jumlah."
Pria rambut coklat bernama Néthanél berusaha menghibur semuanya. Namun tidak ada yang terlihat lebih tenang, apalagi senang.
"Mau seratus orang juga, kalau lawannya naga sih aku tidak yakin bisa menang."
Pria berambut kuncir bernama Mikoto menimpali pernyataan tersebut. Jalur percakapan kembali dikendalikan Eveline, setelah hening yang cukup lama.
"Makanya sekarang kita buat rencana, kan? Kau punya imajinasi liar mengenai ini, Roxy?"
Semuanya menoleh pada gadis pirang yang terlihat seumuran dengan Luna. Ia menyibakkan rambut pirangnya sebelum memulai berbicara. Maaf, kalau punya rambut indah, menyibakkan pesona rambut itu keharusan. Sekalian promosi sampo yang dibuat oleh pakar rambut terkemuka.
"Ya sudah jelas kita akan lebih untung bertarung di sini. Daripada répot-repot méncari, lebih baik biarkan naga itu datang, lalu kita gempur di sini."
"Ide bagus."
Semuanya bisa mengerti hal sesederhana itu. Masalahnya tinggal satu: Bagaimana cara untuk menggempur naga tersebut? Jumlah dan kualitas Sumber Daya Manusia di sini belum tentu cukup untuk menumbangkan seékor naga. N-A-G-A.
"Tapi naganya bisa bicara, sih. Kita bisa berunding sama naganya begitu dia sampai ke sini."
Mendengar celetukan Nét yang kedengaran amat bodoh membuat Mikoto geram. Kepala berkacamata hitamnya langsung didorong oleh Mikoto, saking geramnya ia mendengar hal sebodoh itu.
"Otakmu pindah ke selangkangan ya, Nét?! Memangnya naga itu mau berunding sama kita?!"
Nét jadi ikut geram karena kepalanya didorong begitu saja. Tapi sebelum sempat beradu mulut, anégo menyela lebih dulu.
"Mmm... sebenernya rencana Nét dan rencanaku sama sih... kita bisa berunding untuk mengulur waktu."
"Ide itu tidak terlalu buruk sebenarnya. Kalau ia bisa diajak berunding."
"Aku jamin naganya bicara seperti kakék-kakék jompo, Eve."
"Kakék-kakék jompo...?"
"Iya. Kakék-kakék jompo."
Hening melanda kembali. Rencana harus rampung segera. Lebih cepat, lebih baik. Mana ada yang tahu kalau naga itu tiba-tiba datang menyerang selagi mereka ngobrol seperti ini?
"Hmm, aku jadi ingat."
"Ingat apa, Eve?"
"Kalau Bingkai Mimpi ini berdasarkan kota Hamburg sungguhan, seharusnya gudang senjata rahasia keluarga ada di sini juga."
"Bukannya waktu itu kita pakai untuk melawan Silver7?"
"Senjata rahasia, Nét. Gudang yang satu lagi."
"Astaga! Gudang itu!"
"Benar juga. Kenapa kita bisa lupa, ya?"
Kata-kata Eveline memberi secercah harapan untuk melawan makhluk perkasa. Tapi itu baru sekadar dugaan, belum tentu benar adanya. Tapi dalam situasi seperti ini, lebih baik mencoba daripada tidak melakukan apa-apa.
"Jadi, sekarang kita ke sana?"
Ru yang masih terlihat santai menjadi pengambil keputusan dari rapat ini. Sekarang ia adalah kepala keluarga Plégethon.
"Siap, Anégo!"
"Siapa yang hapal jalannya? Aku tidak begitu ingat soal gedung itu."
"T-tunggu! Gudang apa yang kalian maksud?!"
Luna yang tak pernah ikut campur dunia keluarganya hanya bisa bergidik ngeri. Senjata macam apa yang dirahasiakan keluarga Plégethon?
~interval~
Pekarya seni ada dua macamnya: Yang satu mencari inspirasi terlebih dahulu sebelum berkarya, yang satu lagi berkarya sambil mencari inspirasi.
Pun berlaku dalam ajang ini. Ibarat sebuah péntas pertunjukan, kedua peserta yang beradu bisa diumpamakan sedang meméntaskan karya, hasil dari inspirasi dan éksprési meréka. Ada yang meluapkan seluruh rasa cipta dalam peraduan ini, dan ada juga yang mengumpulkan keping idé terlebih dulu, menyusun sebuah rencana indah sebelum memamérkan mahakarya.
Baik Mbah Amut maupun Ru Ashiata ternyata adalah pekarya jenis pertama. Meréka mencari inspirasi terlebih dulu, mempersiapkan segala yang terbaik dari yang terbaik sebelum saling berhadapan dan menunjukkan.
Lain peserta, lain pula persiapannya. Amut yang juga menanggung warga sekota harus berencana lebih matang lagi dibanding lawannya.
Setelah gempa dan ketegangan yang melanda reda, seisi kota Martanira jadi siaga. Yang bisa bertempur segera angkat senjata. Yang masih belum cukup umur diamankan bersama yang tak siap bertaruh nyawa.
Amut dan orang-orang penting Martanira mengadakan rapat di gedung Wali Kota. Hasilnya akan menjadi langkah untuk babak kedua.
"Semua warga sudah siaga. Apapun perintah mbah, akan kami laksanakan."
Perempuan berambut jingga menjadi wakil dari seluruh warga Martanira dalam perundingan ini. Ia memperkenalkan dirinya dengan nama Ash Toothy (dibaca Astuti). Tunik coklat yang biasa ia kenakan kini berlapis zirah kulit.
Sesiap apapun para warga untuk ikut membéla semesta Vana, Amut merasa itu bukan tanggung jawab meréka. Amut masih ingat apa yang tersisa dari Anatolia setelah perang akbar tersebut. Ia masih bersikukuh dengan rencananya untuk menghadapi lawan seorang diri. Tak boléh ada yang mati.
"Para warga tolong jaga kota aja. Biar mbah yang samper lawan kita."
Toothy agak tertegun mendengar kata-kata itu. Rasa kagum karena keberanian mbah dan rasa tak téga membiarkan mbah berjuang sendiri bercampur aduk.
"Mbah yakin? Kami sudah ikhlas bertaruh nyawa demi Vana."
Sang Guru Besar menggéléng tegas. Sudah jelas ia tak mau ada darah warga Martanira yang tumpah sia-sia karenanya.
"Nggak apa-apa, enéng Tuti. Kota harus tetap dijaga. Biarlah urusan tarung semesta ini jadi tanggung jawab mbah."
Wajah Toothy terlihat agak kecéwa. Namun ia mengerti maksud dan tujuan sang naga. Sungguh mulia beliau réla berkorban segala demi semua.
"Baik kalau begitu, mbah. Saya mengerti."
"Bunda Wali, mohon izin memasang pertahanan."
"Siapkan pertahanan lapis dua. Komando pertahanan kota akika serahkan pada iyéy."
"Daulat, Bunda Wali."
Ses Ara yang juga ikut berunding mempersilakan Ash Toothy melakukan agenda penjagaan kota. Wakil dari rukun warga pergi meninggalkan ruang rapat dengan langkah tergesa-gesa. Tersisa Ara dan dua dayangnya, Akari dan Asya, serta Amut dan muridnya. Tak lupa si domba.
"Akika ingin sekali ikut mbah. Tapi akika rasa mbah pun akan melarang."
"Kamu Wali di kota ini, Ses Ara."
"Ya... mau bagaimanapun, tugas seorang Wali Kota adalah menjaga kotanya."
Dengan isyarat kedipan, Ma Nia dan Ma Ida yang mengapit kedua sisinya berpindah mengawal Mbah Amut.
"Tapi mohon biarkan dua babu akika yang paling oké membantu mbah. Biar kata mbah maju untuk melindungi kami, mbah statusnya masih tamu kehormatan kita, lho."
Ses Ara dan kedua dayangnya mengerling manis secara bersamaan. Amut rasa ia tak bisa menolak tawaran yang satu ini.
"Kalo Ses bilangnya gitu sih... mbah gak ada hak buat ngelarang. Hahahaha."
Amut menggaruk pipinya yang bersemu dibalik sisik-sisik keras.
Kekosongan suara beberapa detik dimanfaatkan Nwu untuk ikut bicara.
"Ini eceu Kari sama néng Asya gimana?"
Dua pendatang baru itu langsung menjadi pusat perhatian yang ikut rapat. Sambil memégangi tangan besinya, wanita rambut péndék itu angkat suara.
"Saya akan ikut mbah. Saya hutang budi sama mbah karena melindungi saya waktu itu. Kebaikan harus dibalas kebaikan."
Lagi-lagi tawaran yang susah ditolak. Amut bisa saja bilang tidak, ia tidak merasa pamrih waktu melindungi Akari saat melawan Saraph. Namun Akari adalah orang yang keras kepala. Ia memaksa dengan kata-kata halus namun bertenaga.
"Kapan orang-orang dunia nyata bisa seakur ini ya?"
Celetukan Asya mengalihkan topik rapat begitu cepat.
"Hah? Kenapa liatin saya?"
~interval~
Di sudut mimpi nun jauh di sana, Onéiros si mata ungu mengamati belasan panggung tempat péntas peraduan sedang digelar. Tangannya yang memegang tongkat mérah mencengkram erat-erat, meluapkan amarah tersirat.
"Dasar Muséum sialan! Meréka selalu saja menghalangiku!"
Dengan suara anak kecil yang direndahkan dan digésér nadanya, ia menggerutu. Usahanya untuk mengembalikan para pemimpi ke asal meréka, selalu saja dihentikan panitia Paméran Semesta. Terkutuk.
"Huban juga... kenapa dia tidak sadar juga, sih?!"
Mengeluh hanya menghabiskan waktu. Sementara keseimbangan Alam Mimpi makin terganggu seiring dengan waktu yang berlalu. Onéiros dikejar mimpi buruknya sendiri.
"Yang sebelah sana..."
Tulang berjubah ungu itu mengangkat tongkatnya, mengarahkan domba-dombanya menuju tanah yang dirundung langit gulita dan biru cerah. Ia merasakan ada sesuatu yang sedang menguat di sebelah sana. Apapun itu, Alam Mimpi akan jadi kena pengaruhnya.
Pengaruh yang sangat buruk.
"Aku tidak boléh terlambat lagi. Tidak boléh!!"
Onéiros melaju bersama domba-domba hitamnya secepat yang ia bisa, berharap apapun yang terjadi di sana bisa dicegah sebelum jadi nyata.
Sementara itu, Bingkai Mimpi yang dimaksud oleh Onéiros mulai menggelar lakonnya. Masing-masing pemilik bingkai sudah saling berhadapan, tepat di garis batas semu antara Bingkai Mimpi yang satu dengan yang lainnya.
Naga ungu lawan Wanita hitam. Enam lawan enam. Ditambah satu domba di masing-masing pihak.
"Punten11. Enéng kah Wanita Hitam yang dimaksud akang penjaga Muséum?"
Amut yang membuka percakapan. Enam orang yang mendampingi si wanita bermantél hitam tentunya sangat kagét ada naga yang bisa bicara seperti Amut. Benar-benar seperti orang jompo yang masih bertenaga.
"Kamu pasti Mbah Amut. Dan ya, orang-orang suka memanggil saya Wanita Hitam. Namaku Ru Ashiata."
"Salam kenal, néng Ru."
Senyum masih terjaga di antara keduanya. Namun para pendampingnya sudah waspada. Semua sudah siap dengan senjata meréka masing-masing. Kecuali Asya.
"Pertama-tama, mbah mau ngasih tau kalau mbah nggak ada niat untuk bertarung sama sekali. Mbah harap néng mengerti itu."
Semuanya tertegun dengan wibawa yang dibawa oleh si naga. Sungguh bersahaja, jauh dari kesan berbahaya. Ru bisa bernafas sedikit lebih lega.
"Ah, kebetulan. Sebenarnya aku juga tidak mau bertarung."
Hening. Keduanya seakan berusaha membaca gelagat masing-masing. Ketulusan niat adalah suatu hal yang penting. Sesama pasifis punya kesamaan insting.
"Tapi kalau kita diam saja berarti semesta kita berdua musnah, kan?"
"Ya, enéng. Mbah tau banget perkara itu."
"Kalau begitu, mungkin ada cara lain untuk menyelesaikan ini. Kamu keberatan kalau kita—"
"—apaan itu?!"
Namun belum sempat menggelar perundingan untuk mencari titik tengah permasalahan, sosok tulang berjubah ungu datang dengan sekumpulan domba hitam dari kejauhan. Si pendatang baru tak terlihat bersahabat.
"Kalian, para perusak alam mimpi!"
"Waduh. Riweuh12 ini mah rencananya."
Nwu Ghé Llo yang dari tadi ada di samping Amut jadi geram. Tapi ia tak membiarkan hati panasnya menjadi pemicu untuk melakukan tindakan gegabah. Lagipula sosok itu datang bersama banyak domba-domba hitam. Berurusan dengan keroco sekampung akan répot juga.
"Enyah kalian dari sini!"
Onéiros tak membuka kesempatan untuk kompromi. Setiap ia berusaha untuk berbicara terlebih dulu dengan para peserta, selalu saja tak sesuai hasil. Antara ia keburu diusir oleh panitia Battle of Realms, atau tidak digubris oleh peserta.
Bola mata sebesar kepala itu berganti warna. Ungu padam berubah menjadi mérah kelam. Dengan pekik penuh kemarahan, langit bergetar, domba hitam pun menyebar.
Bingkai Mimpi mulai kehilangan keteraturan. Langit dan pemandangan tumpang tindih, berganti silih. Hitam dan putih menyelinap di antara warna dan bentuk yang ada. Serigala mérah pun ikut datang memeriahkan.
"Néng Ru, mbah rasa kita tunda dulu rundingannya."
"I-iya. Ada hal yang lebih penting di depan mata."
Kedatangan makhluk mimpi buruk dan domba-domba hitamnya memperkuat alasan dua pasifis ini bersatu untuk sementara waktu.
"Léh uga tuh."
Asya terkékéh dalam hati ketika menangkap maksud celetukan si Wanita Hitam. Tapi dia cukup khawatir juga. Kedatangan Onéiros pasti akan mengacaukan cerita beberapa bagian ke depan. Ia hanya berharap apa yang akan terjadi tak sesuai dengan apa yang direncanakan penulis cerita.
"Semoga penulis masih baik sama tokoh-tokoh ini..."
~interval~
Sementara itu, di Muséum Semesta...
"Hoo, dia datang lagi."
Zainurma yang tadinya mulai bosan saat mengawasi pertandingan Amut dan Ru mulai berdecak seru. Ia tak perlu repot-repot campur tangan agar kedua Révériér itu saling beradu. Di satu sisi, ia merasa berterima kasih pada si gembala. Sedikit banyak ia membantu para pemimpi untuk menciptakan mahakarya kualitas super.
"Baguslah."
"Siapa, paman?"
Ratu Huban yang asyik menggambar bersama beberapa dombanya ikut menoléh ke arah bingkai lébar. Zainurma hanya mengangkat bahunya dan berdecak sinis. Ia kira anak kepala bantal itu bisa ingat kalau ia baru saja habis mengusir sosok tersebut.
"Siapa lagi?"
"O-Onéiros!"
Huban langsung siaga mengambil tongkat gulali warna-warni miliknya, namun telunjuk kiri Zainurma mengibas, melarang Huban untuk terjun ke lapangan.
"Tak usah. Biarkan saja seperti yang lain. Kita usir kalau sudah terlalu mengganggu saja."
Huban pun berhenti dan mulai ikut mengamati bersama sang Kurator, sedih dan kecéwa. Apa yang kira-kira Onéiros lakukan di Bingkai Mimpi yang satu ini?
~interval~
Setiap ada mimpi yang indah, pasti ada mimpi yang buruk. Sebuah aturan mutlak untuk mencapai keseimbangan di Alam Mimpi. Onéiros adalah penjaga keseimbangan tersebut, membawa mimpi buruk sekaligus melenyapkannya agar mimpi-mimpi tetap terjaga.
Mimpi buruk ada agar meréka yang bermimpi tak terbuai terlalu lama dan kembali ke asalnya. Setidaknya, itu salah satu alasan yang bisa Onéiros pikirkan sebagai pembenaran tugas yang ia emban.
Namun kedatangan Muséum Semesta merusak semua itu. Tak ada lagi keseimbangan di Alam Mimpi. Yang nyata dan yang maya sudah tak bisa dibédakan lagi. Terlalu banyak Anomali.
Hal ini yang membuat Onéiros geram. Serigala mérah kelam yang keluar dari matanya adalah perwujudan dari rasa geram dan marah yang sudah tak bisa diredam.
"F-F-FICK13!!"
Ru mendadak kehilangan kalemnya dan melémpari makhluk itu dengan apa yang terlihat seperti kartu rémi warna hitam, berlapis api yang sama hitam. Lémparan itu tidak akurat, bergésér agak lébar dan ganti mengincar salah satu domba hitam Oneiros. Domba yang kena kartu tersebut pecah menjadi gumpalan awan hitam, lalu kembali menyusun jadi sebuah bentuk domba. Tidak mempan.
"N-nggak mempan?!"
Saat Ru kaget karena tahu serangannya tak berhasil, serigala mérah datang menerjang. Untunglah Luna masih sayang pada kakaknya. Ia nekat menendang makhluk itu agar tidak menerkam Ru yang kena serangan panik dadakan.
"Sis! Nggak apa-apa?!"
"O-oh, makasih..."
Tapi tendangan berapi Luna masih belum cukup untuk menahan wujud itu. Serigala mérah Onéiros yang terpental langsung melompat sekali lagi dan siap membenamkan giginya yang seperti gergaji.
"Halik14, néng!"
Ru dan Luna yang lengah diselamatkan oleh Amut. Si naga ungu meninju serigala tersebut dan melémparnya jauh-jauh, kembali ke tuannya yang ada di sana.
"Mbah kira nggak perlu pakai kekerasan kayak gini! Semua téh bisa dibicarain baik-baik!"
"Berisik! Pergi kalian dari sini! pergi!"
Onéiros sudah telanjur murka. Meski jauh tempatnya berada, suaranya lantang menggema. Mata mérah kelamnya jadi menyala. Domba-domba hitam ikut menyahut gema tuannya. Serigala mérah kini bersalut api hitam membara. Pertanda bencana makin nyata. Celaka durjana.
Terbersit sebuah pikiran kenapa tidak mengalah dan membiarkan serigala itu mencabik-cabik semuanya? Siapa tahu mati di sini berarti bangun dari mimpi. Namun tak ada yang tahu. Dan tak ada yang mau mati di sini. Bukan di sini, dan bukan saat ini.
"Memang nggak ada cara lain ya... heuh..."
Amut mendengus kecéwa. Namun tak ada pilihan lain kecuali menghadapi pembawa mimpi buruk yang satu ini dan menghentikannya dengan segala daya dan upaya.
"Mbah yang hadepin makhluknya. Kalian halau domba sama serigalanya. Bantuin enéng Ru."
"Siap!"
Seakan sudah mengerti maksud mbah, Nwu dan yang lain langsung mengambil posisi. Nwu dan domba putih ikut menerobos bersama Amut, sementara Akari dan duo babu menghalau apapun yang menghalangi jalan si naga.
Centéng-centéng Plegethon juga cepat tanggap. Meréka yang melongo saja dari tadi langsung sigap meréntét domba-domba hitam di sekitar kawanan Amut dan Anégo dengan senapan otomatis.
"Nét! Bantu aku lindungi Anégo!"
"Oss!"
Eveline dan Néthanél melangkah maju sambil menembaki domba-domba hitam, berusaha untuk mendekati kakak beradik Plégethon yang sibuk bersama kawanan Akari melawan serigala mérah dan kumpulan domba beringas.
"Anégo! Nona Luna!"
Keduanya datang di saat yang tepat. Ru yang sedang lengah terselamatkan dari terkaman serigala berkat témbakan dari Nét dan Eve. Selagi Eve memberi serangan bantuan untuk kelompok Amut, Nét si kacamata hitam menghampiri Ru dan Luna, memastikan keadaan.
Syukurlah keduanya tidak terluka parah.
"Terima kasih, Néthanél~! Tapi aku tetap nggak nerima pengakuanmu, lho~!"
"S-s-siapa bilang aku suka sama Anégo?!"
Néthanél merona pipinya akibat digoda. Namun ia tak boléh terléna perasaannya sendiri. Melindungi keluarga Plégethon adalah harga mati.
Semakin digempur rasanya semakin janggal. Domba-domba itu sekadar buyar jadi asap hitam sebelum kembali ke bentuk asal. Api hitam di sekujur badan monster serigala juga makin tebal. Amunisi tembakan mulai menipis, tenaga Akari dan duo babu juga mulai habis.
"Ini mimpi buruk!"
"Nggak ada habisnya."
Mikoto kehabisan amunisi senapannya. Dua pistol kembar menjadi senjata pengganti. Di sebelahnya adalah Ma Ida yang sedang merapal sihir api untuk menghalau domba-domba yang mengerubungi.
Sementara itu, Akari, Egonhardt si tinggi besar, dan Ma Nia bersatu untuk menggempur serigala hitam yang terus mengejar Ru kemanapun ia bergerak.
"FICK!! Kenapa dia mengincarku terus?!"
Keringat dingin mengucur di sekujur tubuh Ru. Ketakutan terpantul dari balik lénsa kontak hitamnya. Jangan-jangan domba dan serigala itu mengincar Révériér sepertinya?!
Ru berusaha untuk mencoba dugaannya tersebut dengan sengaja memancing beberapa domba lewat serangan kartunya. Hasilnya, meréka langsung tertuju ada Ru dan mengejarnya secepat hantu. Keputusan harus cepat dibuat, atau semuanya akan jadi lebih gawat.
👍✌🚩😐✌💀 😐✌❄✌ ✌☺✌👋👌💀✡✌
Mendadak sebuah bisikan gemerisik menancap tajam di dalam benak Wanita Hitam. Firasat Ru memburuk bersama keadaan tubuhnya. Kalau ini adalah mimpi buruk, ini adalah yang terburuk dari semua mimpi buruk yang pernah Ru alami. Padahal tubuhnya sudah disuntik Insulin sebelumnya.
"Aduh..."
Tapi ia tak bisa membiarkan keluarganya dalam bahaya. Luna dan anak buahnya tidak boleh mati di sini.
☺✌💀👆✌💀 ☼✌👆✝. ✝👍✌🚩😐✌💀 💧✌☺✌ 😐✌❄✌ ✌☺✌👋👌💀✡✌
Kepala Ru mulai terasa ringan. Batasan kesadaran hampir tak bisa dirasakan. Badannya juga menjadi lemas. Insulin di badannya tak bertahan lama akibat pertempuran. Darah hitam keluar dari mata, sorot mérah menyala-nyala.
Ru memilih untuk main nékat. Toh ia sudah sekarat. Tak ada yang perlu ditahan lagi, ia akan mengeluarkan semua kartunya. Karena pilihannya hanya hidup, atau mati. Mengingat kata-kata si kaptén di babak pertama membuat tékadnya menguat. Kalaupun riwayat Ru Ashiata harus tamat di sini, keluarganya harus selamat.
"Yo, bantal guling kasur~! Mainnya sini sama kakak Ru~!"
"Sis! Kau sudah gila?!"
Dengan melémpar banyak kartu dan bola api, Ru memancing perhatian makhluk-makhluk yang sedang dihalau. Setelah semua mata tertuju padanya, Ru menggiring mereka menjauh dari kawanan Akari dan anték Plégethon.
"Biar aku yang hadapi meréka!"
Tubuh Ru berubah menjadi sekelebat bayangan hitam berapi-api sambil terus menggiring mereka ke lokasi yang sudah direncanakan: Tempat bertikai Amut dan Onéiros yang jauh di depan.
"Anégo!"
"Nét... tolong jaga Luna untukku."
Luna yang baru saja memahami maksud kakaknya spontan berlari untuk menyusul. Gadis rambut putih itu berusaha mengejar si bayang hitam, namun si lelaki rambut coklat menahan langkahnya. Jelas Luna tak terima. Ia terus berusaha melepaskan diri meski Nét mengunci gerakannya.
"Jangan dikejar, nona Luna."
"BODOH! KAK RUNÉ DALAM BAHAYA, TAU!"
Luna meronta-ronta sekuat tenaga. Namu Nét juga menahannya sekuat tenaga. Gadis itu mulai menitikkan air mata. Meski kakaknya menyebalkan, ia adalah satu-satunya keluarga yang tersisa. Hanya ia satu-satunya orang yang paling dekat dengan Ru. Belahan jiwa.
"Percayalah pada Anégo, nona."
"Ia memang bodoh. Tapi ia peduli pada kita semua."
Domba yang tersisa tak begitu banyak, namun mereka masih cukup mengancam. Net yang biasanya terlihat bodoh jadi lebih keren dalam situasi seperti ini.
"Eve! Rencana B!!"
Wanita sawo matang langsung mengerti maksud tersebut. Radio komunikasi yang terselip di balik mantélnya langsung diambil.
//Roxy, bawa kejutan kita ke sini. Ada perubahan rencana.//
~interval~
Sementara di kejauhan, kelompok Amut sedang melawan Onéiros dan domba hitamnya yang tersisa. Pertarungan yang sulit. Setiap Amut berusaha menyentuh sosok itu, ia selalu terurai menjadi kumpulan bola mata.
Nwu dan domba putih sudah kéok karena kalah jumlah melawan domba hitam. Meréka hanya bisa terbaring lemah melihat Amut berusaha bicara dengan si jubah ungu, selagi domba hitam mulai mendekat untuk memakan meréka berdua.
"Kita bisa bicara baik-baik. Tolong berhenti."
Meski tidak bisa menyentuh Onéiros, Amut tidak menyerah. Ia terus berusaha menenangkan makhluk itu, berusaha membicarakan semuanya dengan asas kekeluargaan.
"Berisik! Kalian mengganggu keseimbangan Alam Mimpi! Kalian harus lenyap!"
Onéiros melepas sinar ungu dari tongkatnya, beradu dengan api mérah milik Amut. Hal itu terus berulang sambil sesekali adu pukul yang tak seimbang.
"Mbah tau itu. Makanya mbah mau bicara. Kita sama-sama cari cara buat nyelesain masalah ini!"
"Percuma saja!!"
Pendekatan diplomasi pun nampaknya tak lancar sampai saat ini. Nwu dan domba hanya bisa sama-sama tertawa menunggu akhir. Domba-domba hitam sudah mengerumuni, siap melahap.
"Yo-hooo~!"
Bola api hitam menyebar, kawanan domba buyar. Ternyata itu datang dari si Wanita Hitam, sedang menggiring domba dan serigala hitam ke panggung pentas. Sebelah matanya menyala mérah.
"Néng Ru?!"
"Hai, mbah."
Hawa kehadiran Ru terasa asing. Ada sesuatu yang berbeda di balik seringai tipis, culas seperti rubah kecil. Domba hitam yang tadinya mengikuti Ru kembali pada sang gembala. Bulatan mérah di mata Oneiros berganti ungu temaram. Serigala api jadi padam. Wanita itu mengeluarkan udara mencekam, membungkam.
Dari sekadar abstraksi berubah menjadi imaji yang hakiki.
Apa yang ia khawatirkan sedang terjadi saat ini.
Tidak mungkin.
"Distorsi ini..."
"Distorsi ini ulahmu! Révériér!"
Mata Onéiros mérah sekali lagi, mengeluarkan serigala yang sama dari ruang hampa. Hal ini tentu membingungkan Amut masih tak mengerti, tapi ia berusaha untuk menghentikan Onéiros yang mau menyerang. Ia tak mau ada korban jiwa yang sia-sia.
"Tunggu!"
Namun yang terjadi selanjutnya tak diduga sama sekali oleh Amut.
"Hihi..."
Api kelam melalap seluruh tubuh Wanita Hitam, menjalar ke segala penjuru. Gemuruh langit dan tanah berubah pecah. Hitam dan putih bercampur mérah.
"GUSTI NU AGUNG! Ternyata dia..."
"...Darek Fales?!"
Bagus. Situasi jadi kacau balau.
Ah,
Tunggu.
Di tengah kekacauan ini, sepertinya ada yang lupa diceritakan.
Ada satu orang menghilang dari pertarungan.
Siapa ya?
Siapa lagi kalau bukan Kasukabé Asya yang asyik bersembunyi di balik tempat sampah dekat trotoar gelap gulita. Mengamati jalannya pertarungan dari jarak yang cukup aman. Toh, ia cuma figuran saja. Nasib dan perannya tidak begitu penting dalam tulisan ini.
"Aku kan gak bisa berantem, jadi nonton dari sini aja."
Benar juga, Asya. Énak ya jadi penonton saja?
"Mbhaaaaa!"
"Iya, bener... mba?"
"Mbhaaaahahahaa! Mhantheeep yhaaaa?"
Asya yang tadinya asyik mendadak terusik. Ternyata di tempatnya sembunyi ada satu lagi yang ikut menumpang. Gadis hantu itu langsung bergidik ngeri, tidak bergerak walaupun satu inci.
Matanya jelalatan, berusaha mencuri lirik sosok yang sedang membayangi.
"W-waduh..."
"Mbhaaa!"
"WAH! BAJUKU!"
Asya langsung terbang terbirit-birit karena baju lengan panjangnya dikunyah oleh domba milik Ru yang dari tadi ikut mendampingi.
~interval~
Bingkai Mimpi Amut dan Ru berantakan. Distorsi Mimpi yang terjadi merusak keseluruhan bentuk dalam ruang yang mereka tempati. Api Hitam dan kepingan putih menyebar di mana-mana. Selagi semuanya tertegun melihat apa yang terjadi, sesosok éntitas baru melangkah keluar dari kobaran api yang menyelimuti.
Bayangan hitam menggantikan sosok Ru Ashiata. Api hitam memancar di sekujur tubuhnya. Matanya mérah, dengan seringai seculas wajah rubah. Telinga dan tanduknya panjang. Rajah putih dan mérah campur aduk di sekujur tubuhnya.
Baik Amut maupun Onéiros sama-sama tak menyangka. Sang Wanita Hitam adalah Darek Fales. Sang éntitas penghancur Dunia.
"Lenyaplah, Révériér!"
Bagaimanapun juga, tugas adalah tugas. Bingkai Mimpi ini harus segera dibersihkan sebelum menciptakan Distorsi Mimpi yang lebih parah. Domba hitam yang masih mengerumuninya ditarik mundur dengan tongkat penangkap mimpi, membiarkan serigala berwarna darah melakukan tugasnya.
Darek Fales Ru memasang seringai kecil. Dengan sedikit kibasan tangan, sekelebat api hitam besar mencakar balik serigala Onéiros, meleburkan kobar.
"Awas!"
Belum sempat Amut berkata, si jubah ungu keburu disambar api hitam yang menggulung seperti ombak. Untungnya Onéiros masih punya ajian Abstraksi untuk berkelit. Namun jelmaan amarahnya sudah tiada, dilalap api gelap.
"Néng Ru! Sadar, néng! Sadar!!"
Panggilan Amut dibalas dengan kobaran hitam yang mengganas. Amut balik melepas panas, namun api hitam Darek Fales lebih beringas. Api mérah kalah? Jelas.
"Mbah!!"
Si mayat hidup bergejolak ketika melihat gurunya terpelanting akibat hantaman api pemberian Ru jahat. Badan yang rusak dipaksa bergerak, memberontak batasan otak. Ia menghampiri Amut yang terbatuk-batuk. Bekas api tercetak di sekujur lengan yang banyak lécét. Tékad yang bulat membuatnya tetap kuat. Ia masih bisa berdiri kokoh.
"Tenang, Nu. Mbah nggak apa-apa. Kamu gimana? Babak belur gitu."
"Yang penting masih idup, mbah."
Amut dan Nwu mengamati sosok Darek Fales Ru yang masih belum sempurna. Masih sekelebat bayang hitam mengawang-awang. Sepertinya jiwa yang tersisa berusaha mengendalikan diri. Namun keadaan Bingkai Mimpi Makin rusak. Pecah-pecah semakin parah, api hitam makin meruah. Domba hitam menghambur jadi asap kelam.
Bibit Kehancuran makin berulah.
Peristiwa ini membuat Onéiros bisu, terpaku dengan semua yang terjadi di luar dugaan.
Ia tak sempat menghentikannya.
Bencana ini, sudah keburu jadi nyata.
Alam mimpi tercinta porak poranda.
Angkara murka berganti duka.
Yang ia inginkan hanya kembalinya Alam Mimpi seperti dahulu kala.
"Kenapa... semua... jadi seperti ini...?"
"Aku hanya ingin... Alam Mimpi kembali..."
Mata muram itu berbayang biru. Mewakili hatinya yang sudah kadung terisi sendu.
Pilu.
"Mbah mau bantu."
Amut yang mendengar semua keluh kesah itu menghampiri sang gembala berjubah ungu, berdiri tepat di sebelahnya. Si Gélo juga ikut-ikutan.
"Mbah dan yang lain juga kepingin pulang, tau."
Sorot muram itu melirik kedua sosok asing di sebelahnya. Meréka hanya sekadar pemimpi. Mémangnya mereka mampu untuk menghentikan kekacauan ini? Onéiros masih ragu-ragu.
"Bangunlah dari tidurmu."
"Sebelum itu, ada urusan di depan."
Nwu menunjuk sosok Darek Fales Ru yang mulai bergerak lagi. Kali ini bara di tubuhnya membentuk semacam zirah gaun kurang bahan yang menutupi tubuh legam tak keruan. Enam pasang sayap api membentang kurang sebuah.
Bibit Kehancuran sudah sempurna.
"Dia... dia harus dihentikan. Kalau tidak, Distorsi Mimpi akan makin parah..."
"Ya udah kalau begitu, hayuk."
Terlalu banyak bicara dalam pertarungan adalah langkah yang salah. Darek Fales Ru sudah melancarkan jurus api bergelombang. Lebih ganas dibanding sebelumnya.
"Mbah, jangan ngomong aja! Awas!!"
"Hihi~!"
Sambil mengikik, Darek Fales Ru mengirimkan gelombang api yang sama sekali lagi. Bukan main. Tak ada jeda walau sedikit. Amut mencoba berkilah, maju lima langkah untuk menghadang gelombang yang datang.
"Halik!"
Sambil memekik lantang, ia keluarkan jurus andalannya. Satu-satunya Kalam Naga yang bisa ia ingat. Mantra Pemusnah Bintang, warisan dari Nagasari di Shu Meddank, Negeri Seribu Tahu.
Menembus méga, menghapus cakrawala
"MEGA PLÉR!!"
Pancaran cahaya putih kebiruan menyebar dari mulut Amut, menyuarakan gema yang membelah ombak panas perusak ruang. Cahaya terang benderang menembus awang-awang.
"Sekarang!!"
Nwu yang mengerti merangsék maju sekuat tenaga untuk menyerang Ru. Dengan tenaga yang dipaksakan, Nwu mempertajam kuku Ragnadd miliknya. Sambil melengking ia keluarkan Cakaran Liar Pemecah Kelapa ke arah sosok itu. Kedua tangan mengayun sekuat tenaga.
Namun karena kondisi badan sudah tidak seratus persén, ya serangannya juga lembék. Cakaran itu ditangkis dengan usaha yang sangat sedikit.
"Bangké!"
Namun tiba-tiba si Wanita Hitam terjengkang, terpental menyeberang ruang. Seberkas kilat putih datang menerjang.
"Mbéé!"
Ditilik baik-baik, cahaya itu rupanya adalah sebuah tendangan, datang dari sang domba yang tadinya pingsan. Résolusi Amut dan Nwu smemberikan tenaga baru pada domba putih yang tergelétak. Ia bangkit dan berdiri dengan dua kaki belakang, mengembik lantang.
Wanita Hitam balik menyerang, ia melepas cakar-cakar hitam berbahan api dan bayangan. Nwu dan domba tak sempat memikirkan cara untuk mengatasi serangan yang datangnya dadakan.
Seberkas api hitam kebiruan datang menjawab, menghempas bilah-bilah kelam, hilang tak berbekas. Api-apian warna biru mulai membentuk rupa, sesosok kuda sembrani gagah perkasa.
"Wah... ada kuda."
"Mbééé!"
Sang Penjaga Mimpi akhirnya turun ke panggung, tongkat mérah tinggi mengacung.
"Kalian mau ikut menghentikan bencana ini? Buktikan padaku, Révériér!!"
~interval~
Distorsi hitam dan putih merebak makin luas, seluruh penjuru ikut pecah. Para anték keluarga Plégethon berusaha menyusul ke pusat kejadian perkara dengan mobil kotak besar warna hitam, yang merangkap gudang senjata rahasia. Roxanne yang dipanggil oleh Eveline datang dengan semua senjata rahasia yang paling berbahaya.
Sambil berkendara di tengah limbo awang-awang, para penumpang mempersiapkan diri dengan berbagai senjata yang sudah dirancang khusus. Termasuk Akari dan Ma Nia yang ikut dipinjamkan. Toh sama-sama satu tujuan, bisa lah jadi sekutu dadakan.
"Kak Runé..."
Sang adik duduk di kursi depan. Kejanggalan yang ada di kejauhan mengganggu nalurinya sebagai seorang saudara. Ia sangat yakin pasti ada apa-apa dengan kembarannya. Namun ia tak bisa memastikan seburuk apa nasib kakaknya saat ini. Ia hanya berharap semuanya akan baik-baik saja.
Nét yang mengambil alih setir juga ikut melihat pemandangan rusak yang ada jauh di depan. Kelihatannya begitu dekat, namun yang namanya mimpi, persépsi diménsi tidak berlaku sama sekali. Bisa berubah sewaktu-waktu.
"Semakin dekat rasanya malah semakin jauh."
Néthanél menggenggam kemudi mobilnya kuat-kuat. Meski sudah tancap gas dan menyetir dengan gegas, jarak masih terasa bias.
"Nét! Tanahnya!"
Guncangan lagi-lagi terjadi, memisahkan tanah yang dilalui. Sang supir panik, namun nyawa semua penumpang bergantung padanya. Power of Kepépét itu benar adanya.
"Aku tahu! Aku tahu!"
Keinginan bertahan hidup yang tinggi menuntun jalan mobil boks ke arah keselamatan. Namun bayarannya adalah lika-liku ugal-ugalan, membuat beberapa orang di dalam mabuk perjalanan.
"Gila! Sejak kapan si bodoh itu bisa ngebut begini?!"
Biarlah muntah-muntah dan keluhan para penumpang jadi rahasia. Ada perkara besar yang lebih utama dibandingkan melihat orang-orang berkeluh kesah mengeluarkan isi perut.
"N-nét? Di depan bukannya jurang?"
"Nona Luna, pegangan yang kuat, ya?"
"H-hah?!"
Ketegangan menembus ambang, terbawa mobil yang dikebut makin kencang. Roda-roda pun melayang, membawa para penumpang melintas jurang. Selama ada kemauan, batasan bukan halangan.
"Kalau ini dunia mimpi, maka yang bisa kita lakukan hanya bermimpi seyakin-yakinnyaaaaaaAAAAAAA!!"
"Dasar gilaaaaAAAAAA!!"
Mobil hitam terbang sampai ke seberang. Semua mendarat selamat berkat gaya tarik di dalam ruang. Meski pendaratannya tak mulus dan membuat bagian depan mobil jadi rongsokan, semuanya berhasil sampai tujuan.
"Du Arshloch..."
Luna mengerang menahan pusing di kepalanya akibat tubrukan yang terjadi saat mendarat. Bantalan udara tak begitu meredam tumbukan yang harus diterima si gadis putih. Namun setidaknya nyawanya aman.
"Sudah sampai, yo!"
Semua personil keluar, dengan senjata bertuah, siap untuk tempur sampai titik darah penghabisan.
~interval~
Keseimbangan Bingkai Mimpi milik Amut dan Ru makin timpang. Tak ada lagi batas ruang. Dua semesta melebur. Sebujur, dan selintang.
Semua akibat Bibit Kehancuran yang bersemayam di dalam tubuh Runé Plégethon alias Ru Ashiata, menyamar di balik kedok makhluk penyambung nyawa si Wanita Hitam semasa masih berada dalam didikan keluarga Lucifer, sang Pembunuh Kegelapan.
Jangan melimpahkan kesalahan pada keluarga Plégethon. Siapa sangka keluarga Lucifer bersekutu dengan Sang Penghancur? Mana tahu klan pembunuh itu membawa takdir sebagai cikal bakal pemutus riwayat sejagat?
Tak ada yang tahu.
Tak ada yang tahu.
Sang Hyang Déwata Agung bekerja dengan cara yang misterius.
Pertarungan Darek Fales Ru dengan Amut dan Onéiros memasuki babak baru. Semakin seru. Zainurma yang cepat bosanan pun merasa begitu. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa terhibur karena bisa melihat tontonan yang bermutu.
"Paman Nurma... Distorsi Mimpi di tempat itu makin parah..."
Sementara Ratu Huban yang ikut menyaksikan sudah jelas ketakutan. Belum pernah ia melihat kerusakan separah itu di Alam Mimpi yang harusnya indah dan menyenangkan. Pandangannya jelas berbéda dengan sang Kurator: Pemandangan ini sungguh mengerikan.
"Biarkan dulu, Huban. Aku mau tahu sejauh mana kemampuan naga itu."
Si kepala bantal jelas keberatan. Situasi di lapangan sudah segitu berantakan. Mau sampai kapan kengerian ini terus dibiarkan? Kalau terlalu lama dibiarkan nanti dua bingkai itu akan jadi ketiadaan. Hal itu mengerikan, dan juga menyedihkan. Baginya, ini sudah bukan sebuah hiburan.
"Tapi paman! Kalau terus begini, Bingkai Mimpi itu akan musnah!"
"Percaya padaku, Huban! Aku tahu kapan kita harus ke sana!!"
Peringatan Huban dihardik segitu kerasnya. Huban tidak mengerti. Situasi sudah segitu berantakan, namun Zainurma bersikeras untuk menanti. Apa yang sebenarnya paman Nurma tunggu dari situasi serusak ini? Kenapa paman Nurma begitu... keji?
Tapi Ratu Huban masih percaya kata-kata paman mafia. Selama ini ia selalu memégang kata-katanya.
"...Kalau paman Nurma bilang begitu... ya sudah..."
"...Mbah Naga..."
Kalau ia punya mata, mungkin sekarang sudah banjir air.
Sama seperti Ratu Huban, para figuran perlakonan sama-sama bergidik ngeri saat melihat sosok énigmatis sang malaikat kegelapan melayang-layang di pusat seluruh kekacauan. Amut si naga tua terlihat gigih memberikan perlawanan, bersama Onéiros yang menunggangi kuda peliharaan. Nwu, domba putih, dan para domba hitam juga tak ketinggalan.
Tak terlihat sosok Anégo di sana. Tak ada di mana-mana.
"Hihihi~!"
Kikik halus melengking tinggi bersama dengan kobaran lidah api. Meski suaranya tersamarkan oleh gemerisik, semua anggota keluarga Plégethon bisa mengenali nada tawa penuh canda yang tak ada dua.
"What the fu..."
"Kak Runé..."
"Nggak... neinneinneinneinneinneinnein! Enggak mungkin!"
Tentu saja hal ini sulit dipercaya. Namun naluri alami sebagai kembaran sudah bicara. Siapa lagi yang punya kekuatan api bayangan di sini selain dia? Rasa perih menyesakkan dada Luna begitu tahu sosok itu adalah kakaknya.
"S-sérius itu Anégo, nona Luna?"
Para anték menangkap keresahan si bungsu. Air mukanya terlihat kebingungan. Sedih campur marah dibalut rasa penyelasan yang begitu dalam. Kepalan kanannya terbungkus percikan merah. Geram.
"Aku nggak mau percaya itu Kak Runé, Nét. Tapi..."
"Shit... separah ini kah kalau Anégo kesurupan...?"
Semuanya dilanda rasa gentar. Meskipun senjata pamungkas ada di tangan, rasanya tak mungkin kalau harus dipakai untuk melawan bos meréka sendiri. Rasanya seperti sebuah pemberontakan—sebuah pengkhianatan terhadap keluarga yang mengurus dan membesarkan meréka.
"G-gaés... sétannya ngeliriq qita, gaés..."
Terima kasih sudah memperingatkan, Ma Nia. Sosok itu kini memamérkan senyuman tajam ke arah para figuran. Di balik tawa kecil, sebuah serangan dari balik sayap-sayap kalap sedang disiapkan. Rasa segan dan kasihan menahan para centéng untuk melawan tuan meréka yang sedang kerasukan.
"Masa kita harus lawan bos kita sendiri, sih..."
Eveline ragu, sama seperti keluarga Plégethon yang lain. Meréka tak sampai hati untuk mengangkat senjata.
"Kita harus menyadarkan nona Runé."
Pria rambut pérak yang diam sepanjang cerita akhirnya membuka mulutnya. Suara berat dan serak membentuk kata-kata.
"E-egon?! Kau bicara?!"
"Keluarga harus saling menolong."
Jelas Néthanel kagét. Egon jarang sekali terlihat berkata-kata. Orang-orang bahkan menganggapnya sebagai tuna wicara. Tak ada yang menyangka Egon benar-benar bisa bicara, bahkan mengeluarkan kata-kata yang penuh makna di saat yang memutus asa.
"Dia benar. Kalian jangan diam aja."
Ma Ida menambahkan, membuat dua lapis perisai sihir untuk menghalau kilatan bayang yang menyambar ke arah meréka. Diam tak akan membuat perubahan.
"Kak Runé tak boléh ditelan kegelapan."
"Nona Luna?"
Luna sudah membuat kepastian untuk dirinya sendiri. Meski kakaknya tak bisa diandalkan, sikapnya asal-asalan, dan memberinya sebuah kutukan, ia adalah satu-satunya keluarga yang pengertian. Kakaknya sudah menyelamatkan dirinya berkali-kali. Namun kali ini, situasi berganti.
"Ayo hajar dia sampai sadar. Énak aja dia meninggalkan kita di sini."
"G-gaés... jangan banyaq bachot dé. Liat tuch."
"Hihihi~!"
Terima kasih sudah mengingatkan lagi, Ma Nia. Kali ini Darek Fales Ru membuat banyak rubah kecil dari api dan bayangan. Jumlahnya puluhan, hampir ratusan.
"Nét! Bantu nona Luna! Kami akan melindungi kalian!"
Eveline yang lebih memiliki wibawa kepemimpinan langsung mengambil alih komando. Dengan senapan mesin besar warna hitam yang dibalut perban bertuliskan huruf kuno, ia menembaki rubah api yang menghalangi langkah Luna dan Néthanél menuju targét mereka: Ru Ashiata.
Sementara itu Mikoto yang ada di sebelah Eveline ikut memberi témbakan perlindungan di garis tengah.
"Roxy! Schwarznégger untuk Anégo!"
Roxanne sibuk menyiapkan meriam laras panjang yang dimaksud Eve di garis belakang, dilindungi Egonhardt yang menénténg dua gatling gun besar.
Dengan modal tinju api mérahnya, Luna maju bersama Néthanél bersenapan tabur laras péndék, ikut bersama Akari dan para dayang sebagai bantuan di garis depan.
"Maaph iqut nimbrung."
"Pas banget!"
Serangan api dan keroco yang datang silih berganti membuat Nwu dan para domba kewalahan. Kedatangan rombongan tokoh sampingan tentu merubah iklim pertarungan. Tanpa arahan maupun suruhan, semua bermain sesuai peran.
Sosok kegelapan terus tertawa dengan nada renyah. Kehancuran belum pernah seperti ini, terasa begitu memuaskan. Rasa bébas merdéka dari segala belenggu yang ada. Hampa di jiwa, namun nikmat terasa.
Kenapa nikmat seindah ini begitu salah?
Perlawanan meréka-meréka yang masih punya harapan adalah sebuah hiburan bagi para pembawa keputusasaan. Kilatan dan kobaran, bersama kepingan-kepingan kecil dari dirinya hanya sebuah permulaan.
Sekarang saatnya untuk naik tingkatan. Permainan yang lebih menyenangkan.
"Ku cinta kalian~"
Sambil bersenandung lembut, sayap-sayap Ru mengibas, menghempas angin bercampur debu-debu panas. Sinar hitam bolak-balik melibas. Tirai peluru memenuhi péntas. Para figuran harus pasrah menerima nasib nahas. Terkena api panas yang membakar jiwa raga.
"Ku sayang kalian~"
Alunan suara Ru makin meninggi, bersama pecahan-pecahan mimpi yang mengiringi. Kali ini tak ada ampun sama sekali. Makhluk-makhluk di depannya dipaksa untuk menari-nari bersama para api. Serah terima serangan terus terjadi, saling mengganti.
"Tapi kalian, ENGGGAAAAAAAKK~~!"
Nyanyian itu memuncak, mengeluarkan pekik yang membuat pekak. Api yang menyeruak luluh lantak.
"Ia harus segera dihentikan, Révériér!! Bingkai Mimpi mulai menghilang!!"
Onéiros sudah mulai lelah. Tenaganya terlalu banyak dipakai untuk menggerus api-api hitam milik Ru dengan sinar ungu dari Tongkat Penangkap Mimpi miliknya. Kuda hitamnya sudah padam bersama hilangnya biru di matanya yang suram.
"nnnNNnggnHAaHaaHAHAgHAsSHAHASsshaSHAHAHA!!"
Pekik Darek Fales kali ini memicu sebuah guncangan. Dataran cakrawala pecah jadi kepingan, pijakan berubah jadi ketiadaan. Kosong melompong.
Bibit Kehancuran menggila.
"Semuanya minggir! Mbah mau ngejurus lagi!"
Satu kesempatan lagi untuk mengeluarkan Kalam Naganya. Seluruh tenaga yang tersisa tak boléh sia-sia. Semua menyingkir, memberi jalan untuk si naga jompo. Tanpa panjang lebar lagi ia pasang badan sambil merapal Mantra Pemusnah Bintang.
"Semoga ini nggak membunuh enéng... masih ada yang harus diobrolin."
Amut menarik satu napas panjang sebelum komat-kamit membacakan kalimat sakti.
Menembus méga,
"Roxy?! Schwarznégger-nya?!!"
Eve dan Mikoto sudah kehabisan peluru. Mereka bertarung jarak dekat dengan pedang dan tongkat pemukul, menahan pecahan-pecahan api dan bayangan yang mengarah pada si pirang yang masih mempersiapkan meriam pamungkas.
"Sudah siap!"
Menghapus,
Egonhardt masih punya satu gatling. Dengan sekuat tenaga ia melindungi Roxanne, dan juga Eve serta Mikoto.
Meriam Schwarznégger sudah diisi peluru suci, terbuat dari besi hitam dan darah murni. Roxy mulai memegangi tuas pemicu meriam yang berbentuk seperti senapan, membidik tempat yang tepat untuk tembakan penentuan.
"Ingat! Melumpuhkan, bukan membunuh!!"
Dengan teliti Roxanne mencari bagian tubuh Ru yang kiranya masih bisa ditembak sesuai arahan Eve. Kepala dan jantung jelas tak mungkin. Ulu hati dan paru-paru mulai dibidik, namun dua tempat itu juga meragukan. Roxanne hanya bisa berharap Ru tak keberatan perutnya ditembus peluru.
Cakrawala!!
Bersamaan dengan cahaya putih kebiruan yang memancar lurus dari mulut Amut, Roxy menarik pelatuk Schwarznégger, menghadiahkan peluru hitam kaliber dua puluh miliméter untuk Darek Fales Ru.
"MEGA PLÉÉÉÉÉRR!!"
Dua témbakan melesat maju, menyergap dari dua sudut yang menyiku. Ru yang masih tertuju pada kumpulan di depan sama sekali tak menyadari peluru hitam yang menghantam perut. Tumbukan keras memaksanya berlutut, menerima seluruh kalam yang disampaikan Amut.
"Hihihi... hihihihihi~!"
Sinar biru mengalir deras. Sosok Darek Fales Ru jadi satu aliran dengan berkas cahaya. Semua mata menyaksikan mahakarya kehancuran yang dipadukan. Penutup babak peméntasan.
Aliran sinar mereda, menyisakan sosok Darek Fales Ru dengan badan penuh luka. Zirah bara pecah-pecah dan mengelupas, menyibak kulit putih pucat meranggas. Terduduk lemas.
Diam.
Semua terpaku pada sosok Ru yang masih dalam pengaruh Darek Fales. Tak ada yang bisa mengira keadaannya? Apakah ia kembali seperti semula? Ataukah ia sudah tak bernyawa? Senyum yang awét di wajah menyilap makna.
"Kak Runé!!"
Luna terdorong panggilan hati, berlari menghampiri sosok kakaknya. Tubuh yang meranggas direngkuh sekuat tenaga, perasaan luluh bersama air mata yang berkaca-kaca.
"Luna..."
Sosok itu menjawab. Meski seluruh badan sudah berganti rupa, suara itu tetap sama. Biar bagaimanapun juga, pemilik Bibit Kehancuran itu adalah Ru Ashiata, saudara sedarah dan sedaging keluarga Plégethon.
"Kakak baik-baik aja, kok. Jangan nangis."
"Arschloch! Jangan sembarangan ngamuk, dong..."
"Aku sayang kamu, Luna..."
Senyum Ru berubah arti. Dengan nurani yang tersisa di dalam diri, Wanita Hitam mencengkram adiknya. Melémpar Luna sejauh yang bisa dilakukan tangannya. Semuanya membelalak tak percaya.
"Sis!!"
Senyum di wajah Ru melébar, merobék bibir dan pipinya. Api hitam dan merah menyelimuti tubuhnya.
"Aku kalah."
"Tapi sétan dalam badanku tak mau mengalah. Mending pergi selagi sempat. Cepat."
Amut yang langsung bisa membaca gelagat jahat Ru menghabiskan napasnya yang tersisa. Menubruk Darek Fales Ru dan membawanya jauh-jauh dari kerumunan.
Sétan itu baru saja mengecap kebébasan. Tentu saja Darek Fales masih ingin merasakan kehidupan. Babak baru peméntasan pun dibuka oleh Sang Énigma.
Mimpi buruk yang paling sempurna.
Para pelakon sudah tak punya tenaga. Mimpi dan kenyataan sudah binasa oleh api berlaksa-laksa. Harapan sirna, bersintésa menjadi putus asa.
"Hihihi~"
"Hihihihaahaha~~!!"
"HIHIHIHIHIHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA~~!!"
Inilah Panggung Mahakarya Darek Fales.
Prélude menuju Neraka.
~interval~
Nah, kamu lihat sendiri, kan?
Sekarang Samsara sudah masuk tahap hitam.
Kamu ingat, kan? Yang terjadi setelah itu.
Apa kamu mau mengulangi kesalahan yang sama? Kesalahan yang terjadi di tanah Vana. Yang menjadi akar dari semua masalah ini.
Oh, terus bagaimana kalau begitu? Kamu mau diam saja dan melihat Bingkai Mimpi itu hancur, Amut? Kamu mau membiarkan meréka begitu saja?
Hé? Mémang tak ada cara lain kecuali membuka ségelmu, kan?
Luapkan saja semuanya.
Sudah kubilang, kan? Kamu tak akan pernah bisa lari. Pada akhirnya ini jalan yang harus kau lalui.
Ini tugasmu.
Ini panggilanmu
Ini takdirmu.
Ayo, Amut. Akhiri semua penderitaan yang ada.
Ucapkanlah.
Ucapkan kata yang akan membébaskanmu.
Tak perlu ragu.
~interval~
Kalah jadi abu
Menang jadi arang
O
Amuk
Kapak
grr...
gRrRrrRRRrRoOOOOOOOOOAAAAAAAA!!
"Oh tidak..."
Onéiros sudah kehabisan kata-kata. Kejadian ini sudah di luar batasan. Bingkai Mimpi sudah tak keruan. Tak bisa dihentikan, tak bisa diselamatkan. Kepingan dan serpihan ruang mulai terkikis jadi sebuah ketiadaan.
Rasa yang terkubur sekian lama akhirnya bangkit dan menampakkan rupa. Rajah di tubuh Amut memancarkan hawa panas penuh amarah.
Nirvana untuk semua, pembébasan dari Samsara.
Naga raksasa mérah membara dan sétan api hitam kelam. Dua makhluk penghancur saling menghatur salam pembuka, membahana.
"Kak Runé!!"
"Anégo!!"
Anték-anték Plégethon sudah buntu. Ini sudah di luar kemampuan. Hanya kesedihan dan ketakutan yang tersisa dalam hati yang sudah kehilangan harapan.
"M-m-mampus! MBAH!!"
Sementara itu, Nwu berusaha menggapai Amut yang ada di tengah-tengah kegilaan Darek Fales, namun api ketiadaan makin meluas, mengikis kukunya. Sambil merutuki diri sendiri, ia menarik domba putih dan mundur sejauh yang ia bisa.
"Mundur semua! Mundur!!"
Akhir cerita yang buruk sudah dipastikan. Hanya keajaiban yang bisa membuat perubahan.
"Seharusnya anda mendengarkan Ratu Huban, tuan Kurator."
"Berisik! Mana tahu aku kalau jadi begini?!"
Dari sebuah portal bercahaya, tiga sosok turun beriringan. Panitia Paméran Raya tentu tak diam saja bila turnamén tak berjalan dengan semestinya. Semua langsung melirik kedatangan éntitas tersebut. Mafia, dewi perang, dan anak kepala bantal.
"Sekarang kalian lihat sendiri? Ini yang terjadi bila paméran kalian terus berjalan!"
Mata ungu Onéiros menyala mérah. Lagi-lagi kaki tangan Muséum Semesta datang begitu saja.
"Terima kasih sudah mengingatkan, Onéiros. Lain kali cukup kami yang turun tangan kalau ada kejanggalan dalam Bingkai Mimpi. Kau tak perlu ikut campur."
Zainurma melangkah cuék, menepis keluhan si penjaga mimpi buruk.
"Kalian..."
Jelas ia geram. Énak saja ngomong begitu seolah tidak apa-apa. Onéiros yang naik pitam berusaha untuk menyerang Zainurma, namun ia keburu dipukul dengan gulali warna-warni milik Ratu Huban.
"Onéiros nakal!"
Seperti anak kecil yang merasa sebal, Huban mengoméli Onéiros ditambah memukulinya dengan payung kesayangannya. Sesama makhluk mimpi tingkat tinggi bisa menyentuh wujud imaji. Onéiros tak berabstraksi menjadi bola mata kala disentuh oleh Ratu Alam Mimpi.
"Aduh!"
"Hmph! Nakal! Nakal! Nakaaaal! Hmph!"
"Hentikan, Huban! Sakit tahu!"
Onéiros balas memukul dengan tongkatnya. Huban langsung kalah, jatuh dan menangis.
"Huuu! Jahat! Onéiros Jahat! Pergi, sana! Pergi!"
Onéiros tak mau berurusan dengan Muséum Semesta. Tanpa perlu disuruh pun, ia siap angkat kaki. Kapan anak itu sadar dari lamunannya, sih? Onéiros sebal Huban lupa siapa dia sebenarnya. Dengan berat hati, sosok tulang-tulangan itu mengumpulkan domba-domba hitamnya yang tersisa dengan Penangkap Mimpi.
"Bawa juga orang-orang ini, Onéiros! Aku mau bantu Paman Nurma dan Bibi Mira dulu!"
Dasar Huban.
Ah sudahlah. Orang-orang ini hanya korban. Meréka hanya ikut berpindah secara kebetulan. Tak bisa disalahkan. Tapi meréka tak bisa didiamkan juga. Bola mata ungu itu akhirnya menyanggupi perintah Huban, itu juga terpaksa.
"Kalian semua ikut aku. Masih sempat untuk menyelamatkan diri dari Distorsi ini."
Dengan tongkat mérahnya, Onéiros membuat sebuah portal besar, cukup untuk memindahkan meréka semua.
"Tunggu! Kak Runé bagaimana?!!"
"Mbah juga masih di sana!!"
"Sekarang itu tanggung jawab meréka."
"Tunggu dulu!! Terus meréka gimana?!!"
"Kak Runéé!!"
Onéiros tak suka banyak bicara. Ia memerintahkan domba hitamnya untuk menyérét siapapun dari meréka masih ragu untuk pergi. Nwu dan Luna yang tadinya protés akhirnya pasrah saja. Lagipula meréka sudah tak bisa melakukan apa-apa untuk menghentikan Runé.
Portal ungu buatan Onéiros memindahkan semuanya ke sebuah penjuru mimpi yang tersisa dari kekacauan ini.
~interval~
Para panitia lekas mendekati sumber kekacauan Bingkai Mimpi kali ini. Tadinya meréka ingin mengukur situasi dan kondisi terlebih dahulu, namun sudah tak ada waktu.
"Hawanya sudah di ambang puncak. Cepat, tuan Kurator."
"Aku tahu."
Zainurma hanya mengiyakan. Namun pikiran piciknya terus bersiasat. Sambil mengaprésiasi hasil karya dua Révériér yang menakjubkan, ia terus mencari-cari celah yang bisa dimanfaatkan. Kejadian ini jelas memberikan keuntungan baginya.
"Gila. Dua Révériér yang bangkit rasa dan ciptanya saja sudah begini répot. Gimana kalau karsa meréka ikutan? Ini juga belum semua."
"Tapi tak apa. Dengan begini aku mendapatkan keroco yang bagus untuk melawan otak bréngsék itu. Tinggal menunggu jalan untuk mencapai ARSMAGNA terbuka saja. Hahahaha."
Zainurma menjaga kalemnya, meski sulit untuk menyembunyikan rasa gembira akibat kesimpulan yang ia dapat. Sesampainya di tengah peraduan, ia menyaksikan dua sosok énigmatis sedang melakukan tarung penghabisan. Membakar seluruh jiwa dan raga meréka untuk menciptakan mahakarya terindah yang pernah ada di babak kedua.
Luar biasa.
Mémang tak salah duga. Sekarang ia benar-benar yakin kalau Mbah Amut memiliki sesuatu yang istiméwa dalam dirinya. Ru Ashiata juga sama harganya. Meréka berdua punya poténsi untuk menjadi kunci Paméran Raya.
"Siapapun yang kalah, patungnya pasti bagus."
Dua sosok berkecamuk, menciptakan sebuah prahara hitam mérah yang mengiringi pertikaian dahsyat. Kilatan dua tenaga penghancur meluncur kesana kemari. Kepingan mimpi yang sudah hancur terurai lagi jadi debu-debu yang lebih kecil saking dahsyatnya hasil tumbukan api yang saling bertemu.
Para panitia kesulitan menentukan siapa yang lebih dulu ditangani. Keduanya sama-sama menjadi ancaman untuk Alam Mimpi. Mirabélle yang pernah menjadi Déwi Perang menyusun strategi.
"Bagaimana kalau kita berpencar, tuan Kurator?"
"Kau urus Amut. Aku yang urus si hitam. Ikut aku, Huban."
Tanpa bicara panjang lebar lagi, keduanya langsung berpisah, bergerak sesuai tujuan masing-masing. Ratu Huban yang melongo—meski tak punya mata—mengikuti Zainurma. Meski sesungguhnya Ratu Huban benci kalau harus berhadapan sosok yang menyeramkan, seperti Darek Fales Ru.
"Bantu aku, Tombak Giruvédan! Tenaga penuh!"
Déwi Konsérvator tak membuang waktu. Mengeluarkan kekuatan penuh sudah tentu. Tombak Giruvédan miliknya mengeluarkan pancaran sinar menyilaukan, memadat menjadi bilah pembelah raksasa. Sambil melesat, senjata itu diayunkan sekuat tenaga ke arah Amut yang mengamuk.
Bilah tajam itu ditahan oléh tangan besar membara, menggagalkan robékan di dada si naga terbentuk sempurna. Desis penuh amarah begitu terasa.
"Tenaga yang mengerikan."
Bilah raksasa ditarik paksa, diayunkan lagi sekuat tenaga.
"Aku tak akan membiarkanmu merusak lebih dari ini, naga."
Selagi Mirabélle bertarung sengit dengan sang raksasa, Zainurma dan Huban bergerak menuju si Wanita Hitam. Makhluk kepala bantal masih takut setengah mati melihat wujud Ru yang begitu ngeri.
Jelék sekali.
"Jangan diam saja, Huban! Bantu aku!"
Atas berkah—atau lebih jelasnya, hasil memohon—[Sang Kehendak] Maha Kuasa, Zainurma diberikan kekuatan sementara, agar ia bisa menangani makhluk antah berantah di depannya. Tinju dan tendangannya jadi sakti mandraguna, mampu bersanding dengan api hitam bagai neraka. Tapi biar sakti, kalau kena hawanya ya panas juga.
Ia punya Katalog Muséum Semesta, namun tak ada salahnya untuk mengetés rencana, kan? Toh, [Sang Kehendak] Maha Baik. Kalau meminta, pastilah diberi.
"Panas gila! Apa segini panasnya kerak neraka?!"
Sambil merutuk dalam hati, Zainurma terus melayangkan kombinasi tinju dan tendangan bertaji emas, menciptakan sebuah kontras dalam tumbukan yang keras.
Pria ini tak mau mengotori tangannya. Itu yang jadi alasan utama kenapa Zainurma jarang sekali turun tangan secara langsung, apalagi harus duél satu lawan satu. Namun ini pengecualian, sebuah keterpaksaan. Kapan Huban mau membantu? Dasar penakut.
"Ayo Huban! Aku tak bisa menangani makhluk ini sendirian!"
Anak itu masih gelagapan. Namun karena lebih takut dengan marahnya Paman Nurma dibandingkan sosok Ru Ashiata, Huban menghunus tongkat gulalinya, membantu mafia itu dengan réntétan gulali dan kembang api warna pelangi.
"Rasakan tongkatku, pemimpi jahat! Hmph!"
Belum selesai, kali ini puluhan busur sinar anéka warna mengincar Ru yang terpaku melawan Zainurma.
"Hihihihihi~!"
Darek Fales mengikik, menerima seluruh serangan Huban dengan senang hati.
Mirabélle tak mau berlama-lama. Pertarungan ini harus diselesaikan sebelum ia kehabisan api dalam jiwanya. Meski naga itu mémang perkasa, tapi ia hanya peserta. Mirabélle adalah panitia, ia punya kehendak dan wewenang yang lebih tinggi.
"Maafkan aku."
"Jurus Tombak Plum! Tusukan Pemecah Ombak!!"
Setelah melancarkan satu sabetan pembuka, Déwi Konsérvator menghunjamkan seluruh pancaran jiwanya pada robékan di dada sang naga, membuatnya meraung kesakitan. Darah dan api segar berhamburan seperti air keluar dari bendungan.
Api mérah pun padam, menyisakan seonggok arang naga dengan rajah membara.
Satu gangguan sudah teratasi.
Mirabélle langsung berbalik haluan, membantu Zainurma dan Huban yang kewalahan menghadapi sumber dari segala kekacauan ini. Sang pencipta Distorsi.
"Hihihi~!"
Tombak cahaya maju menembus kobaran api. Mirabélle mémang MVP.
Perut Darek Fales Ru seakan kena hunjaman tersebut, namun baru saja kena ujung bilah bercahaya, tubuh itu memudar, menjadi bayangan berkobar yang buyar seketika.
Lenyap begitu saja.
Distorsi berhenti. Guncangan dan pecahan hilang bersama sosok pembawa kehancuran. Meski Bingkai Mimpi sudah terlampau rusak untuk diselamatkan, kekacauan ini sudah terselesaikan. Situasi sudah berada di bawah kendali Muséum Semesta. Aman.
Para panitia berhenti memasang kuda-kuda dan mulai mengembuskan napas lega. Sang Déwi kelelahan, ia masih terlihat anggun dan berwibawa. Ah, lupakan, tak perlu dibesar-besarkan.
"P-paman Nurma... Ru menghilang..."
Meski begitu, Ratu Huban masih cemas dan waswas. Tentu saja ini membuat pria mafia menaikkan kedua alisnya yang bersembunyi di balik kacamata hitam. Apa yang anak itu maksudkan dengan kata menghilang?
"Hilang begitu saja?"
"Tak ada tanda-tandanya lagi, paman."
Zainurma dan Mirabélle bertukar pandang. Meréka mulai merasakan hal yang sama. Hilangnya sosok Ru terasa janggal bagi Ratu Mimpi. Seakan Ru Ashiata tak pernah ada dalam cerita.
"Yakin tak bersisa?"
"I-iya, paman."
Harusnya siapapun atau apapun yang berusaha kabur dari permainan [Sang Kehendak] tak akan pernah bisa melakukannya. Ia akan tetap terjebak di Alam Mimpi. Kalau mémang benar Ru Ashiata menghilang dari sini...
Ah, itu urusan nanti. Yang penting sudah tak ada masalah lagi di Bingkai Mimpi.
"Kurasa kita bisa memenangkan Amut. Anggap saja Ru kalah karena mangkir dari pertandingan."
Zainurma langsung menarik sebuah kesimpulan, yang langsung disetujui tanpa ada satu pun keberatan. Mirabélle yang teringat keadaan Amut langsung menyembuhkannya dengan kekuatan Konsérvasi yang diberi izin oléh Pemilik Muséum Semesta. Cahaya cinta perlahan menyembuhkan. Badannya sudah kembali, namun naga tua itu masih tak sadarkan diri.
"Anéh... kekuatan Konsérvasiku tak mengembalikannya seperti semula..."
Sang Déwi hampir saja melamunkan hal tersebut kalau ia tak dipanggil oléh Zainurma yang ingin cepat pulang. Menunggu naga itu bangun dan memberinya selamat akan membosankan. Lagipula setelah ini masih banyak kerjaan yang harus dilakukan. Mirabélle yang masih bertanya-tanya dalam pikirannya terpaksa meninggalkan si naga arang.
"Hoho. Nampaknya ini akan jadi semakin menarik."
Dalam perjalanan pulang, si mafia tak henti-hentinya memikirkan keadaan yang makin menguntungkan.
Sebentar lagi ARSMAGNA akan ada dalam genggaman.
Sebentar lagi...
===============================================
Akhir bukanlah ujung, namun Awal baru yang akan bersambung.
===============================================
Catatan Kaki:
1.) Tuhan Maha Besar
2.) Shit dalam Bahasa Jerman
3.) Fuck dalam Bahasa Jerman
4.) Oh My God dalam Bahasa Jerman
5.) Bahasa Jerman. Arti harfiahnya kantung bola. Tahu kan maksudnya?
6.) Diam Kamu dalam bahasa Sunda. Kasar. Banget
7.) Berisik dalam Bahasa Sunda
8.) Sebutan kepada kakak perempuan/saudara perempuan/perempuan yang lebih tua dalam Bahasa Sunda
9.) Rumit/Sulit/Ribet/Repot dalam Bahasa Sunda
10.) Kakak perempuan dalam Bahasa Jepang. Konteksnya biasa dipakai untuk pemimpin geng perempuan
11.) Permisi/Maaf dalam Bahasa Sunda
12.) Lihat nomor 9
13.) Lihat nomor 3
14.) Minggir dalam Bahasa Sunda
Penuh banget kalimat yang sengaja berima sama. Satu-dua kali kayaknya oke, tapi begitu bertabur di mana" malah semakin berkurang nilainya. Kayak, belakangan jadi kerasa ga unik lagi dan malah excessive. Tapi masalah teknis gitu saya balikin ke prefrensi penulisnya aja
BalasHapusJadi dari entri ini, Amut jelas jadi semacem 'chosen one' versi canon dia sendiri. Selain Anita, saya ga inget siapa lagi di antara entran yang kesisa yang make ini, seakan negesin kelayakan karakter yang bersangkutan buat maju
Bagian Akari sama Asya agak terlalu 'telling the joke' buat saya. Mungkin karena setiap sekian dialog pasti diikutin sama narasi yang kayaknya berusaha jelasin lucunya di mana. Tapi bagian ini malah lucu buat saya :
"Baik, adegan selingannya sudah cukup. Mari kita kembali pada cerita utama."
(berapa ratus kata yang masih ngelantur kemudian)
"Kembali lagi pada cerita."
Prinsip 'necessary evil/nightmare' Oneiros di sini boleh juga. Dan, kayaknya baru entri ini aja seinget saya yang berhasil bikin reasoning yang masuk buat Oneiros, bikin dia mau kompromi sama reverier
Jadi, Darek Fales ini semacem entitas yang bisa jadi parasit ke karakter mana aja? Lumayan convenient juga ya, jadi bikin Ru tetep berantem sama Amut dengan alesan kerasukan. Oya, entah kenapa saya juga lebih suka gambaran kawanan Ru daripada Amut di sini. Mungkin karena keliatan kesan familianya, sementara rombongan Amut campuran tranny sama tukang lawak
Dan akhirannya malah jadi panitia vs peserta ya, kayak pengen ngeliatin panitia ini bisa apa kalo udah turun ke lapangan. Tadinya saya kira bakal ada sesuatu yang nguatin kenapa Amut layak jadi sosok kunci, tapi ternyata jadi copout karena Ru ilang dan dianggap kalah gitu aja. Berasa win by default
Akhirnya bisa nge--ngasih klarifikasi ke mas Sam juga hehe.
HapusPertama, soal Darek Fales. Karena waktu R1 jatah buat ngejelasin Darek Fales nggak banyak, akhirnya ditumplek blek lah di sini. Darek Fales bisa dibilang semacam perwujudan energi negatif yang ada dalam diri makhluk hidup. Bibit Kehancuran adalah intinya. Tapi saya belum mau berniat reveal hal tersebut...
...karena ada hubungannya sama menghilangnya Ru di entri ini. Iya, jadinya pasti copout dan serasa Amut menangnya secara teknis. Tapi alasan Ru menghilang di sini cukup pengaruh ke entitas Darek Fales itu sendiri. Ya, jadinya saya integrasiin kanon mba Ru dengan Kanon Amut dengan membuat setan yang ada di dalam tubuh Ru sebagai Darek Fales. Dan dia belum kalah. Anggap dia menghilang sebagai tactical retreat untuk sementara waktu.
Dan sebenarnya alasan Amut jadi sosok kunci sudah dikasih hint-nya dari prolog. Mungkin masih terlalu vague, memang. Tapi untuk sekarang saya mau membayar ketidakjelasan entitas Darek Fales terlebih dulu.
Kalau semisal Amut lolos ke R3, barulah saya beri kejelasan perihal Amut, Darek Fales, dan dunia Vana.
Terima kasih sudah mampir di lakon Mbah Amut ya mas Sam
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
==Riilme's CQC Score==
Hapus>Character likability
Hampir imbang sebenernya, bikin saya agak galau nentuin karena masing" karakter disajiin cukup baik di entri sendiri maupun lawan. Tapi kalo saya ngasih nilai lebih ke 'siapa yang lebih pengen ditemuin', maka Mbah Amut
>Amut
>Quality value
Ini juga hampir imbang, tapi ada beberapa poin yang bikin entri Ru sedikit lebih enak dibaca, walau bedanya tipis
>Ru
>Canon anticipation
Akhirnya di poin ini, keduanya juga nawarin sesuatu yang menarik, tapi kalo ngeliat potensi skala konflik, saya agak lebih condong ke Mbah Amut
>Amut
2-1, VOTE Amut
....ane voting punya mbah, bakal diitung ga ya? :'3
BalasHapusRasanya ane lebih dukung mbah maju daripada sendiri. Serius penggambaran Ru dan antek2nya di sini begitu, waaaah~
Bukan ane pundung sama entry sendiri, tapi ane malah makin penasaran ini lanjutan si penghancur Amut gimana.
Beda dari ane, matiin gitu aja mbah *hiks*
Entry ane kurang mateng dimasak, ampe banyak lubang.
Aduh, suer ane terhura-- eh, terharu sama entry ini.
Semangat buat Amut. Moga bisa ngancurin Kehendak~
Ru: "...dari kalimatnya ente macam dah nyerah aja."
Nv: "Ember~"
Luna: "...sis? Boleh kulempar dia ke TPA?"
Ru: "Monggo."
*gleg*
Ga lah~ Ane canda. Ane masih pengen berkarya. Tapi, nunggu hasil voting aja deh. :3
Salam dari rivalmu yang cantik ini(?)
Welp. Ada cipta rasa karsa. Juga konsep samsara dan nirwana. Ru sama Mbah luar biasa.
BalasHapusMein Gott vs Gusti Nu Agung
Asu. Ada si Asya juga. *tos*
Waktu narasi mempertanyakan keberadaan Asya, saya kira dia bakalan bikin pengaruh signifikan ke battle, sayangnya ga juga ya. Pertarungannya rame banget! Rame dari segi jumlah, juga rame dalam arti seru. Darek Fales ada lagi bersemayam dalam Ru.
Panita jadi riweuh. Sekarang jadi jelas gimana mereka kalo udah turun tangan. Karakter pendukung lain jadi kerasa remeh.
Paling suka di awal waktu Ru sama Luna riweuh karena lawannya naga. Mau ajak maen hompimpa pula. Seimbang sama Mbah yang komedik juga sebelum battle.
Rasanya narasi show Enryuumaru jadi lebih banyak di sini karena efek rima.
Urang pamit dulu mau lanjut baca Ru.
Caw.
Pesilat berkunjung ke entri sang naga, coba mengulik sambil membaca.
BalasHapusCeileh, wkwkkw /dimegaflare
That rhyme. Gahar, mbah. Berasa nge-rap :p
Kasukabe Asya 2x this day. Pucung dan Simbah, hadeh.
Agak ngelantur sih, waktu Akari ngobrol sama si hantu tapi lawakannya banyak yang hit(buat saya) jadi gk masalah.
Hoo, peran Oneiros bukan sekedar 'pengganggu' saja. Bisa dijadiin referensi. Next time, maksudnya.
Tarung gila-gilaan, skala gigantis. Ru 'Darek Fales' vs Mbah Amut terbangkitkan. Scene battle-nya bisa saya sandingkan dengan Anita yang outstanding! Jadi malu sendiri, entri saya masih adu jotos, wkakakaka.
Setuju sama Mas Sam, lebih ke flesh out gerombolannya Ru ketimbang motley crew dari simbah. Mungkin karena scene battle. Coba aja kalo lagi ngelawak weqeqeqe.
Endingnya gitu ya, Ru ngilang gitu aja. Mungkin nanti mau muncul mendadak kaya si Asya?
Btw, pamit dulu mbah. Saatnya baca entri si Rune Plegethon. Kalo di-vote ntar aye masukin sini, kok.
Dewa Arak Kolong Langit melempar 'Arak Bali' kepada Mbah Amut!
Hapus+1 vote untuk Cendekia Kehancuran!
Alasan: Battle disini lebih kerasa, dan gerombolan lawan disorot sama porsinya dengan OC sendiri, belum lagi panitia yang turun tangan disajikan dengan lumayan.
Regards, semoga yang terbaik dapat melaju ke 16 besar.
Ini dia salah satu jagoan saya di BoR tahun ini! Halo halo Mbah Naga, izinkan sang pembuat cerita Nabi kafir ini berkomentar di kisah epicmu ya :D
BalasHapusMari mulai dengan komedi serta parodi nya dulu, saya mulai dari sini karena ini adalah bagian favorit saya! Semua komedi serta parodi yang disajikan berhasil saya pahami, bahkan di beberapa dialog yang kesannya biasa ada saja yang bisa bikin ketawa :D
Adegan dimana Ru kelayapan ketika tau lawannya naga itu memang potensi yang sangat bagus untuk komedi dan mas Enryuumaru sudah berhasil menyajikannya secara maksimal tanpa berlebihan atau kurang.
Tapi komedi serta parodi nya tak menutupi kisah yang epic ini, kisahnya mulai menjadi kisah yang sangat seru ketika Ru 'kerasukan' dan kemunculan kembali Darek Fales, saya juga salut dengan Oneiros yang 'dipakai' disini. Tidak hanya sekedar lewat untuk menjadi pertanda bahwa Ru dan Mbah harus cepet2 selesaikan pertarungan :D (ga kaya entri saya/lah curhat)
Namun sayang, pengolahan karakterisasi yang ditampilkan seolah terlalu condong ke Ru sih, porsi nya Mbah jadi rada kemakan. Saya ga bilang porsi karakter Mbah kurang, hanya saja yang saya rasakan sebagai pembaca sih Ru lebih menonjol disini. Well ini bukan nilai minus sih.
Ending sudah sangat klimaks, saya pun yakin Ru akan dibawa kedepannya...
Overall luar biasa! Tunggu Vote nya nanti yaa~
Wasalam
Ganzo Rashura
Setelah saya pikirkan baik baik, Ganzo Rashura memutuskan untuk Vote Mbah Amut!
HapusAlasannya karena narasi nya lebih variatif dari rivalnya, battle yang disajikan juga lebih menjurus ke taste saya dan potensi plot megakosmik yang menjanjikan... semoga jagoan saya yang satu ini lolos :D
Assalamualaikum mbah, maafkeun aaya sudah baca lama tapi barusan bisa komen.
BalasHapusSaya menikmati ceritanya, dan satu yang menurutku paling asik diaini adalah pelafalan nama2 dan istilah yang terdengar lucu aja, juva beberapa kalimat yang menurutku terdengar filosofis, seolah secara implisit ini cara author mengejek atau menyatakan simpati/kesukaan pada sesuatu di luar sana... hehehe.
Hanya saja, saya merasa tokoh yang menciptakan sensasi dramatis di sini malah Ru ya, bukan mbah Amut. Si Mbah memang tokoh utama di sini, porsinya juga banyak, hanya saja di klimaks, rasanya diskripsinya tidak sedramatis Ru yang kesurupan Darek Fales. Jadi seolah Mbah Amut hanya ... errr... apa ya namanya, plot device? Hanya sebagai peneguh alur cerita. Saya cjma merasa kurang kmbang saja di situ, sih.
Tapi overall, cerita ini lengkap, menyuguhkan peran tiap tokoh beserta sub-OC nya, dan.juga elemen2 BoR yang harus ditampilkan.
Vote aku tahan setelah komen di Nora ya.
Regards,
Rakai A
OC Shade
Eh kok Nora sih, Ru...
Hapus(Akibat antara baca dan komen kelamaan)
Setelah menimbang2, Ru vs Amut:
BalasHapusDari segi diksi: Amut
Character: Ru
Alur: Amut
2-1...
Saya vote Amut.
Tapi siapapun yang maju, pertahankan kualitas entry ya...!
Mampir ke lapak Mbah, ah
BalasHapusJujur, narasi Mbah punya style yang unik menurut pandangan saya. Saya kira ada Pov3 tapi ada beberapa kalimat yang agak menjurus ke pov1. Lawakan Beraking 4th wall cukup mengena, saya dibuat senyum-senyum sepanjang membaca narasinya. Apalagi dengan kemunculan sub OC yang udah gugur yang notabene karakter lawak cukup menambah nuansa cerita jauh lebih komedik.
Cuma ada kekurangan yang terlihat, winning decision yang dicapai Mbah Amut agak kurang greget. Si RU ngilang gitu aja. Andai dibuat dengan lebih greget lagi, misal berantem sampai berdarah-darah di ranjang (dikata kayak shigeo tokuda.)
Overall, sejauh ini dua entri ini cukup memuaskan dengan ciri khas masing-masing. Moga yang terbaik bisa melenggang ke babak berikutnya.
Halo, Mbahamut. <(")
BalasHapusIni setelah pulang dari museum semesta alignment-nya jadi neutral good kah? Kok hampir sampai pertengahan cerita berusaha negoisasi mulu. Bukannya buruk sih, cuman ya.... <(") /slap/
Bagian Akari sama Asya jalan-jalan itu jokenya di saya gagal hit. Masalahnya, kamu ngejoke, terus kamu jelasin joke itu maksudnya gimana. Biarlah pembaca mikir sendiri(?) Justru yang bikin saya ketawa itu kayak Mbah teriak "Bangke!" pas serangannya kurang ampuh. Selain itu, kalimatnya banyak yang berima ya, haha xD
Selain itu, saya paham kamu pakai Darek Fales supaya kalau ngelawan chara yang gak terlalu beringas dalam mengalahkan lawan, tinggal dirasuki aja. Tapi pembawaannya di sini jadi keren. I mean, Arcana Ru. /slap/
Dan hal yang paling saya suka dari entri ini adalah, keramaian yang disajikan dengan bagus, ricuh dan asyik(?) - walau pada akhirnya saya bingung untuk apa Akari dan Asya ada, plus hilangnya Ru saat berhadapan dengan panitia yang terasa nanggung(?) banget.
OC : Takase Kojou
[+] Sempat khawatir kalau jenis narasi Mbah akan bikin nggak bisa menikmati, tapi ternyata narasinya sudah meningkat. Sepertinya penulis sudah paham cara menggunakannya dengan lebih tepat. Bukannya mengganggu, narasinya bisa membawa masuk ke cerita dengan cara unik dan menyajikan humor dengan lancar.
BalasHapus[+] Dibanding entrynya Ru, battlenya lebih terasa. Pada akhirnya, ini bagian terpenting menurut saya, karena untuk plot hingga ke battle kedua entry rasanya draw. Tie breakernya ya battle ini.
[+] Karakterisasi supporting charanya Ru juga dapat. Ini kerasa banget karena saya juga baru dari lapaknya Ru.
[+] Perkembangan karakternya tampak menarik untuk diikuti
[-] Ada rasa nggak konklusif soal pertempurannya. Rasanya ini memang benih plot untuk masa mendatang, tapi tetap saja saya ngerasa ingin lebih.
Skor: 85/100
Cerita Ru dengan Mbah Amut ini begitu memikat dan begitu berimbang, sebenarnya kedua cerita bisa dimerge jadi satu. Tapi kalau itu terjadi, saya prefer adegan battlenya menggunakan adegan battle Mbah.
Jadi, saya memberi vote ke Mbah.
Fahrul Razi
OC: Anita Mardiani
Permisi Mbah, numpang komen.
BalasHapusSeperti biasa, kata-kata berima sama sudah jadi ciri khas entri Mbah ini, saya seneng. Narasinya sih sudah rapih + enak buat diikuti, sip deh.
Banyak poin menarik di cerita yang bikin penasaran kedepannya, karakter yang ada ditampilkan dengan baik, adegan fighting di sini juga seru walaupun Ru menghilang di akhir.
Vote +1 dari saya buat Mbah
OC : Catherine Bloodsworth
Sempat mengira Akari di awal itu Ru ._.
BalasHapusBattle seru dan komedi di pinggiran, kombinasi yang nikmat untuk dibaca. Saya juga menyadari penggunaan Ru sebagai lawan di sini cukup dominan sampai saya lupa sebenarnya saya baca entrinya mbah.
Saya bingung mau pilih yang mana dari kedua entri Mbah Amut atau Ru. Dua-duanya memanfaatkan kemunculan lawannya dengan baik, bahkan menyediakan spot untuk menyorot supporting character.
Ehm... Vote Draw!
OC : Nora
kok ada mukidi....
BalasHapusbtw, basically what's in my mind, kalimat ini adalah representasi dari kesan aye setelah baca entri:
"Jelas. Penulis cerita ini yang membuat seorang Akari yang sérius bisa melawak, walau rasanya terpaksa. Asu mengumpat anjing bangsat dalam hatinya."
awkwkwkwkw
kompleks karena panjang sekali, karakternya penuh, lebih penuh dibanding entri aye. tapi semuanya kebagian peran dengan apik.
Biasanya kalau tema chosen one, tokohnya itu anak-anak muda.
ini jadinya ada perasaan "wah" pas baca tentang naga tua yang masih ada jalan khusus sebagai akarakter yang akan membawa perubahan dunia.
Vote:
HapusMBAH AMUT
-Wamenodo Huang