SATIRE 1
MERGING FRAMES
BGM: A Light in the Attic
Meluas. Bingkai ini meluas.
Satu hal yang diketahui Pucung sejak beberapa jam lalu ia bangun adalah munculnya tempat-tempat baru dalam Bingkai Mimpinya. Bisa diumpamakan seperti ini: seseorang telah mengganti bingkai sebuah foto dengan bingkai yang lebih besar untuk foto yang lebih besar pula. Anggap saja ukuran foto itu adalah ukuran mimpi Pucung saat ini.
Dua sosok putih berjalan berdampingan. Pucung dan Alejandro menyusuri sebuah sungai tanpa nama, replika dari sungai di Desa Karikil. Di ujung sungai membentang hutan berkabut merah. Di sampingnya berdiri megah sebuah air terjun, tersambung dengan sungai. Mengesampingkan nuansa seram hutan berkabut, pikiran Pucung menyarankannya untuk memeriksa hutan itu. Definisi seram Pucung sedikit berbeda, lagipula.
Begitu asing. Tak pernah Pucung temukan tempat macam ini di Buana Panca Tengah, Nyungcung, Larang—tidak di buana manapun. Kabut merah menyesakkan seakan mencumbu area itu. Tak ada yang luput darinya. Manusia pastilah akan menutup hidung dan mulut di sini. Siapa yang tahu apa efek kabut ini pada mereka?
Bulu Alejandro bersinar. Domba itu tak terpengaruh suasana sesak ini. Hewan berbulu putih itu dapat menerangi jalan. Setidaknya hal ini meningkatkan jarak pandang Pucung dalam bereksplorasi. Seharusnya ia bisa berdecak kagum melihat betapa fleksibel dan adaptifnya kemampuan domba pemberian Ratu Huban. Perkataan bahwa Alejandro akan sangat berguna bukanlah isapan jempol. Pucung yakin sekarang.
Sudah dua kilometer Alejandro dan Pucung berjalan. Tak tersirat rasa lelah di wajah mereka. Ranting dan batu yang mereka injak selama perjalanan sesekali menghasilkan bunyi di antara sunyinya hutan. Itu karena Pucung dan Alejandro tak saling bicara. Pun Alejandro hanya mengembik seperlunya.
Apa itu? Rumah?
Langkah roda Pucung terhenti. Makhluk berkaki mobil mainan itu melompat ke atas sebuah pohon untuk mendapat pemandangan lebih jelas. Akhirnya ia menemukan sesuatu yang lain daripada pohon-pohon dan semak belukar membosankan. Sebuah rumah sederhana berdiri di sana. Ada pagar kecil mengelilinginya. Pagar magis, sehingga kabut merah tak bisa masuk ke rumah.
Hanya tempat itu yang bisa Pucung tuju saat ini. Ia mulai jengah dengan kabut merah. Rasanya sangat salah bagi Pucung. Lagipula, siapa tahu ia bisa menemukan yang ia cari di rumah itu—tidak, yang Zainurma inginkan di sana, yaitu seorang wanita.
Seorang wanita bernama Catherine Bloodsworth.
"Selamat datang di Kafe Bifrost. Orang-orang memanggilku Heimdall. Ada yang bisa dibantu?"
Memang, terpampang jelas kata 'Bifrost' di depan. Warna rumah ini tersamar merah dari luar. Di dalamnya ternyata dihiasi dengan cat lebih cerah, yaitu putih-kuning dengan aksen hitam. Tapi … kafe? Apa orang ini serius? Di tengah hutan begini?
Pemuda yang mengaku bernama Heimdall menyambut Pucung dan Alejandro dengan senyuman. Dua pengunjung lain tak terlihat heran dengan masuknya Pucung bersama Alejandro yang notabene adalah seekor domba. Pucung mulai menerka bahwa berkeliarannya domba adalah hal yang lumrah di Alam Mimpi ini.
"A-aku … membutuhkan informasi," response Pucung pada Heimdall. "Ngo-ngomong-ngomong, apa tempat ini memperbolehkan domba masuk?"
"Tentu saja. Kafe lain mungkin tak memperbolehkan binatang peliharaan masuk. Tapi di Bifrost, kami tidak keberatan. Dengan catatan tidak mengganggu pengunjung lain dan menjaga kebersihan," jelas pemuda berambut putih itu. Rambut putih yang dikepang ke belakang, kacamata, kemeja putih berompi hitam dan wajahnya yang tirus tanpa keriput mengesankan penampilan Heimdall tak setua yang Pucung pikirkan.
"S-sesungguhnya aku pun tak menganggapnya peliharaan. Bisa dibilang aku dan Alejandro hanya terjebak bersama untuk sementara."
"Begitukah? Tapi sepertinya kalian cukup akur. Itu hal yang bagus," jawab Heimdall. Senyumnya tak hilang.
"Pe-pertama-tama," Pucung melompat kecil untuk duduk di atas sebuah kursi bundar di depan counter Heimdall. Maklum, kursi itu agak tinggi bagi Pucung yang hanya berukuran 130 cm. Jika dipikir, kafe ini lebih menyerupai bar dengan counter panjang dan kursi seperti itu, "apa yang terjadi dengan hutan ini? Kenapa kabut merah?"
"Kabut merah? Seluruh Scattanheim memang seperti ini. Apa kau bukan berasal dari negeri ini?" tanya balik Heimdall. "Jujur, negeri ini punya sejarah yang kurang enak di hati. Peperangan berkesinambungan menyebabkan negeri ini kacau balau. Lalu ini terjadi—kabut merah yang kami sebut dengan miasma menyelimuti tujuh puluh persen negeri ini. Untungnya sihir dan ilmu pengetahuan dapat mengimbangi. Itulah mengapa Kafe Bifrost tetap aman. Kawasan ini punya orb pelindung."
"D-dan orb itu disematkan pada pagar kafe ini?"
"Tepat" ujar Heimdall. "Oh ya. Di mana sopan-santunku? Apa yang ingin kau pesan? Kami di Bifrost punya banyak pilihan minuman. Dari yang rasanya ringan sampai yang kuat."
"Ti-tidak. Aku tidak minum."
"Untuk Alejandro, kalau begitu?"
"…. Ku rasa sedikit air bisa menyegarkannya. Tapi aku sama sekali tak punya mata uang negeri ini."
"Satu baskom air akan diantar." Heimdall menulis sesuatu pada secarik kertas kecil yang biasa digunakannya untuk mencatat pesanan. "Jangan khawatir, aku yang traktir. Bagaimana kalau kau mencicipi makanan di sini juga?"
"A-aku tidak makan. Alejandro? Aku yakin dia lebih suka rumput mentah di Buana Panca Tengah daripada masakan matang."
Heimdall tergelak, "Tidak makan? Hahahaha. Kau datang ke kafe, tapi tak ingin makan dan minum. Yah, bukannya kami menyayangkan hal ini. Banyak juga pengunjung sepertimu yang hanya ingin tempat untuk singgah setelah menyusuri hutan. Aku takkan menyalahkanmu."
"Ba-bantuanmu sangat kuhargai," balas Pucung sebelum bergeming sejenak. Ia teringat pada alasannya menyusuri hutan sejak awal, "Ngomong-ngomong, apa kau tahu sesuatu tentang seorang wanita bernama Catherine Bloodsworth?"
Saat nama itu disebut, pupil mata Heimdall seakan mengecil. Ia lantas memanggil sebuah pisau roti dari laci terdekat yang bisa diraihnya.
"Sebelum aku menjawabmu … siapa namamu? Kalau aku boleh tahu," tanya balik Heimdall.
"Na-namaku Pucung."
"Pucung, ya. Kalau begitu, ini semua bisa jadi lebih mudah."
Tangan Heimdall meraih sebuah boneka kelinci yang digantung di dekat lemari berisikan anggur. Lantas ia tikam boneka itu dengan pisau roti.
***
Ruang Kuratorial milik Zainurma terasa begitu lengang dengan absennya buku-buku teori mimpi dan seni favoritnya. Secara teknis, ruangan ini bukan milik pria berkacamata hitam itu, melainkan tak lebih dari sebuah ciptaan milik Sang Kehendak. Sekarang, Zainurma hanya bisa puas membaca sedikit buku karena kesibukannya mengatur para reverier.
Dinding kayu jati yang kokoh membentuk setiap sudut Ruang Kuratorial. Namun ada yang berbeda pada salah satu sisi dinding. Hal itu adalah munculnya bingkai-bingkai bulu domba yang menampilkan sebuah layar. Saat ini Zainurma melipat tangan, nada bicara santai ia lontarkan pada seorang pria tua berambut panjang di dalam layar. Obrolan santai mereka menunjukkan bahwa mereka sudah saling kenal sejak lama.
"Harus ku akui," Zainurma memangku dagu, "teknologi EEG-mu sangat membantu. Tapi jangan besar kepala dulu, semuanya takkan mungkin tanpa kami. Aku, Mirabelle, dan tentu saja—aset besar kami—Ratu Huban."
"Si Kepala Bantal … aku juga takkan menyangkal hal itu." Si Kakek Rambut Panjang mengiyakan dari dalam layar. Ia pun mempunyai kepentingan yang mirip dengan Zainurma. Seharusnya turnamen yang ia jalankan akan mendapat banyak kemudahan andai Ratu Huban setuju untuk memihak padanya. Sialnya, Zainurmalah yang lebih disukai Ratu Huban untuk terjebak bersama di Alam Mimpi.
"Pokoknya," lanjut Si Kakek, "aku tidak peduli sejauh mana progres kalian untuk keluar dari sana. Pastikan kau pegang kata-katamu. Kalau kau sudah selesai dengan Ratu Huban, giliranku untuk menggunakannya."
Bahu Zainurma terangkat, "Tidak sabaranmu belum berubah, ya. Haha! Tenang saja, Pak Tua. Semuanya sudah ku atur. Kau tinggal duduk manis di sana. Ketika kau sudah lelah dan ingin berbaring, maka akan ku bawakan bantal untuk membantumu tidur nyenyak. Syukur-syukur jika kau bisa tidur selamanya."
"Cih. Yang belum berubah itu mulut berisikmu, tahu. Aku harus pergi. Jangan kacaukan semuanya."
Layar dimatikan.
Pintu ruangan terbuka. Zirah emas berkilauan dengan bunyi gemerincing terbungkam logam. Tak mungkin orang luput dari datangnya sosok mencolok itu. Wanita berzirah itu, Mirabelle, spontan bertanya, "Siapa yang Anda hubungi, Tuan Zainurma?"
"Dia?" respons Zainurma. Telunjuknya mengarah pada layar yang sudah mati. "Si Tua. Dalang dari EEG," lanjutnya.
***
SATIRE 2
THE GHOSTS OF YESTERDAY
BGM: Burial Scene
Kapas-kapas berhamburan dalam jumlah besar. Benda-benda putih itu menutupi pandangan Pucung. Hal terakhir yang ia ingat adalah berada di Kafe Bifrost saat Heimdall menikam sebuah boneka kelinci. Tapi apa ini? Kapas-kapas dari boneka itu malah keluar dengan jumlah yang sama sekali mustahil untuk bisa disimpan dalam badan boneka yang sangat kecil itu.
Pandangan Pucung akhirnya jelas. Kapas-kapas itu membuat semacam ruangan hampa berwarna putih. Seorang pemudi berambut ponytail merah menyambut Pucung dengan patung-patung melayang yang sepertinya dapat ia kendalikan dengan mudah.
"Kita bertemu lagi, Pucung. Ingat aku? Tal Becker?"
"K-kau …" Pucung mencoba mengingat, "Kau yang waktu itu bilang mengenai Aliansi Setan Alam Mimpi. Surat yang kau berikan saat kau datang padaku itu … apa maksudnya?"
"Yeap. Kita sedang membicarakan mimpi di dalam mimpi, loh! Meski berada di Alam Mimpi, kau masih bisa bermimpi sekarang. Kau tak terasa ini seperti di dalam sebuah film, DiCaprio!?"
"A-aku tak mengerti yang kau bicarakan. Terlebih lagi, kau ini siapa?"
"Yah … kita sebenarnya sempat bertemu di Kota Brando, sih. Kau sibuk dengan si pria bertangan api. Sementara aku … ng … sibuk dengan hal lain," jawab Tal.
"Be-begitu … kau wanita di taman itu."
Tal menjentikkan jari, "Tepat. Seharusnya aku bisa memberikan surat itu secara langsung. Tapi … kau tahu kan? Banyak yang terjadi di Kota Brando. Dan semua mimpi yang berhubungan dengannya pun terkena pengaruhnya. Termasuk Bingkai Mimpimu."
"…. se-sepertinya kau lebih terinformasi mengenai Alam Mimpi ini daripada aku. Lanjutkan." Pucung mulai tertarik. Ia bahkan tak tahu nama kota tempat ia bertarung dengan Sathanus waktu itu. Yang ia tahu, keadaan kotanya sangat kacau. Dan melakukan sesuatu mengenai itu adalah misi yang diberikan Zainurma padanya.
Dilihat dari keberadaan dirinya saat ini, Pucung rasa misinya cukup berhasil.
"Kau mau dengar lebih banyak? Bagus. Silakan duduk," jawab Tal. Sebuah kursi muncul dari gumpalan kapas yang melapisi lantai ruangan. Patung-patung yang ia kendalikan mendekat, membuat sebuah lingkaran mengelilingi terduduknya Pucung.
Perlahan, warna abu memudar dari patung. Hiduplah masing-masing dari patung itu satu demi satu. Patung pertama membentuk arwah seorang gadis bermata besar dengan rambut sebahu. Seluruh tubuhnya berwarna kelabu pucat transparan.
"Perkenalkan. Ini Asya," ujar Tal Becker.
"Kasukabe Asya bisa terbang dan meninju siapa saja hanya dengan tenaga pas-pasan," seru Asya.
"Ng … aku heran kenapa kau perlu menambahkan kata 'pas-pasan' di sana. Maksudku, itu bukan sesuatu yang perlu dibanggakan, kan?" kata seorang gadis dari patung berikutnya. Kali ini tubuhnya tidak transparan. Ia mengenakan kaos tanpa lengan. Hal mencolok yang ia miliki adalah rambut merah dan anak matanya yang menyerupai kucing.
Pucung menatap Tal Becker, "K-kau … mau memperkenalkanku pada sekumpulan gadis?"
"Bukan sekedar gadis," sanggah Tal. "melainkan sekumpulan setan. Dia adalah Airi Einzworth—manusia setengah setan crimson yang merupakan bangsa kuno Kota Belkan."
"Hai! Kau bisa panggil aku Airi, Ai, Arin, Ain atau Ein."
"Ha-hanya setengah? Panggilanmu juga banyak sekali …."
"Hah!? Kau meragukanku?" Airi nampak kesal. Persis seperti kucing tegang di sudut ruangan.
"Apa itu masalah?" tukas seseorang dari patung ketiga. Kulitnya putih, namun berpenampilan serba hitam dengan jaket berbulu. Berbeda dengan yang lain, dia laki-laki. "Aku juga setengah setan. Dan aku yakin tetap punya kesempatan yang bagus untuk mengalahkanmu, Jerami."
"Cain!" seru Airi sembari memeluk pemuda yang disebut Cain itu. Sedikit distraksi dengan mudah membuyarkan kekesalannya. Gadis itu benar-benar seperti kucing.
"Berhenti. Sok akrab. Denganku. Ai. Auramu membuatku geli, tahu."
"Sudah sampai di sana bercandanya, Cain Amakusa, Airi Einzworth." Tal Becker melerai. "Maksudku membangkitkan kesadaran kalian dari patung adalah agar Pucung tahu bahwa kita ada di pihak yang sama. Bukan memecah belah."
Pucung bangkit dari tempat duduk, menegaskan, "Be-benar. Kalau kalian hanya akan main-main, aku tak punya waktu. Ada seorang wanita yang harus ku temukan dan ku bawa pada seseorang. Akan lain cerita jika kalian tahu sesuatu tentang wanita bernama Catherine Bloodsworth."
"Catherine Bloodsworth?" Tal menaikan bahu, lantas melempar pandang pada ketiga 'kesadaran' yang baru saja ia panggil. Mereka menggeleng.
"Dia seorang reverier? Jiwa kami kan terjebak dalam patung-patung itu sejak Sang Kehendak seenaknya mengutuk setiap jiwa reverier yang mati dalam mimpinya. Jadi kami tidak tahu. Tapi kalau dia reverier, kau harus tanya pada reverier lainnya yang masih bebas bermimpi di luar sana," kata Cain.
"K-kau ada benarnya. Ya. Dia reverier. Reverier yang harus ku kalahkan. Zainurma bilang tidak apa-apa jika dibunuh pun," aku Pucung.
"Heee. Pucung seram," ujar Asya.
"Setan kan memang seharusnya begitu," timpal Airi enteng.
Tal Becker melipat tangan, "Hmm … benar juga. Siapa tahu di luar sana masih ada beberapa reverier setan yang masih bertahan. Coba kau ingat-ingat. Apa setelah mengalahkan Sathanus di Kota Brando, kau melihat reverier yang masih hidup selain dirimu?"
"A-aku tak yakin."
"…. Bagaimanapun, aku percaya kau bisa melakukan sesuatu terhadap Sang Kehendak yang mengutuk para reverier menjadi patung. Dengan bola mata ungu dari O, untuk saat ini aku hanya bisa membangkitkan diriku sendiri dan mereka bertiga. Padahal aku sangat ingin membangkitkan KasPeer. Ia ingin sekali bertemu denganmu. Namun sayang, sepertinya patungnya berada di tempat lain," jelas Tal panjang lebar.
"O-O? Siapa maksudmu? Dan jika jiwa kalian sekarang telah terperangkap dalam patung di Museum Semesta, lalu apa yang ku lihat sekarang? Hantu?"
"Duh … di saat ini kau masih sempat-sempatnya menyebut kata hantu. Kau itu juga hantu, tahu," tuduh Cain. "Tal, kau yakin KasPeer benar-benar menyebut setan ini sebagai connoisseur Aliansi Setan Alam Mimpi?" Telunjuk Cain mengarah pada Pucung.
Tanpa mereka sadari sebelumnya, proyeksi tubuh Pucung mulai terlihat tak stabil. Keberadaannya dalam ruang kapas mulai kabur seperti hologram di filem fiksi ilmiah.
Raut wajah Tal Becker menunjukkan sedikit kepanikan, "O akan menemukanmu. Faktanya, O pula yang memberiku bantuan di Kota Brando tatkala reverier lain langsung dijadikan patung. Berkatnya aku dapat muncul di mimpimu, juga menitipkan boneka kelinci ini kepada Heimdall. Tapi …"
"T-tapi?"
"Saat O menemukanmu, kau harus lari sejauh mungkin."
"J-jadi … dia berbahaya?" tebak Pucung.
Tal menghela napas, "Ya. Dia menolongku bukan tanpa alasan. O bilang, ia tidak suka Alam Mimpi yang sekarang. Maka dari itu ia akan membawa keseimbangan dengan memburu para reverier. Hal terakhir yang ku tahu adalah rasa sakit gigitan domba hitam peliharaannya. Dombaku tak berdaya. Kemudian semuanya menjadi gelap."
"Digigit domba hitam. Ewww … itu menjijikan. Untung saja kekalahanku tak semenyedihkan itu," sindir Airi. Tal Becker membalasnya dengan tatapan seram.
"De-dengar. Aku tak mengenal kalian. Jadi jangan berharap terlalu tinggi bahwa aku bisa membebaskan kalian dari kutukan patung."
"Kami tahu itu. Karena itulah aku melakukan hal yang ku bisa. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa ada sesama setan, setengah setan atau bahkan hanya arwah penasaran yang masih mengharapkanmu menghentikan Sang Kehendak. Sehingga, kami semua dapat kembali bebas menghantui Alam Mimpi."
Pucung melihat tubuhnya semakin memudar.
"Su-sudah waktunya."
"Berhati-hatilah, Connoisseur."
"Be-berhenti memanggilku begitu. Aku merasa pernah dan sering mendengarnya tapi entah dari mana."
"Ku dengar KasPeer yang sering memanggilmu begitu," senyum mengembang tipis di bibir Tal.
"…."
Tubuh Pucung menghilang, meninggalkan Tal, Asya, Airi dan Cain dalam ruang kapas.
***
"Teman-teman, sepertinya Pucung memang tidak ingat dengan ASAM, ya?" Airi membuka pembicaraan.
"Oh … aku berharap bisa memberitahu Satan tentang hal ini," respons Tal Becker. "Sebenarnya aku lebih berharap Satan yang menjadi duta ASAM untuk bernegosiasi dengan pihak Zainurma."
Cain mengiyakan, "Aku sangat setuju denganmu. Pucung? Jadi duta ASAM? Bicara saja dia susah …."
"Aku juga memilih Satan. Ia mungkin masih muda sebagai Raja Iblis. Heterochromia-nya juga mengganggu pemandangan. Tapi hei, ia punya sifat yang sangat netral. Bagus untuk pemimpin." Pendapat Airi pun sama.
"Kau yakin?" ujar Asya. "Ku rasa, dia sih pasti bakal bilang, 'Aku tak tertarik dengan hal seperti itu' atau 'Biarkan saja, aku tidak peduli'. Netral sih netral. Tapi terlalu cuek!"
"Ada benarnya," sahut Tal.
"Tapi lihat sisi lainnya. Ia tidak gagap. Tidak pula gagap teknologi. Kau tentu bisa tahu dari cara dia menundukan kepala untuk memandangi smartphone-nya selama setidaknya 30 menit," ujar Cain.
"Yah … itu yang kalian dapat kalau Raja Iblis dikenalkan pada teknologi modern," timpal Asya enteng. "Hah … perangkap Sang Kehendak ini menyebalkan, ya. Aku … ingin pulang dan nonton kartun Jepang.
"…."
Yang lain hanya bergeming.
Asya berbaring, menutup mata.
"Mati itu tidak enak, ya."
***
Pucung dan Alejandro bermaksud pamit pada Heimdall tatkala Pucung selesai mendapatkan visi dari boneka kelinci itu. Heimdall bilang boneka kelinci itu milik KasPeer. Benda itu dititipkan kepada Heimdall oleh sesosok makhluk berkepala bola mata ungu. Hal ini membuat Pucung berkesimpulan bahwa makhluk itu adalah O.
Boneka kelinci KasPeer kemudian dibawa Pucung. Karena Pucung tak punya kantung di balik jubah kain kafannya, ia tak tahu di mana bisa ia taruh boneka itu. Jadi ia bertanya pada Heimdall apakah ia punya seutas tali untuk mengikat boneka itu pada badan Alejandro.
"Nah. Dengan begini tidak akan jatuh. Semoga perjalanan kalian menyenangkan, Pucung, Alejandro," kata Heimdall.
"He-hei … Heimdall … jadi … apa kau sama sekali tak tahu sesuatu tentang Catherine Bloodsworth?"
Jemari Heimdall mengisyaratkan Pucung untuk mendekat. Ia akan membisikan sesuatu.
"Sebenarnya, aku tahu."
"K-kalau begitu …"
"Sshh. Tenang dulu." sela Heimdall. "Cathy yang ku inginkan ada di sekitar sini. Tapi sebagai pemilik Kafe Bifrost, aku tak ingin ada keributan yang mengganggu pelanggan saat kalian bertemu. Jadi … bisa tolong kalian lakukan apa-saja-yang-ingin-kalian-lakukan itu beberapa puluh meter lebih jauh dari pintu depan kafeku?"
"…."
Tak ada jawaban dari Pucung. Apa baru saja Heimdall memanggil Catherine dengan sebutan 'Cathy'? Kapan pemilik Kafe Bifrost ini akan berhenti melakukan tindakan mengejutkan?
Tak ingin ada masalah yang tak perlu, Pucung memenuhi permintaan Heimdall. Ia dan Alejandro keluar dari Kafe Biforst perlahan. Karena perkataan Heimdall, Pucung malah semakin bersiaga. Langkah kakinya terasa sangat lama saat menjauhi kafe itu. Dan pada saat ia berbalik untuk pertama kalinya ….
Kafe Bifrost sudah tak ada di sana. Yang ada hanyalah pohon-pohon dalam balutan kabut merah.
Namun ada satu hal yang luput dari perhatian Pucung. Ia terlalu terkejut untuk menyadari keberadaan sosok berjubah kelabu berlari dengan cepat ke arahnya. Dari pakaiannya, Pucung sadar bahwa sosok itu adalah salah satu pengunjung di Kafe Bifrost tadi. Alejandro pun sama terkejutnya untuk sekedar mengembik. Tak diketahui olehnya, incaran serangan sosok berjubah kelabu bukanlah Pucung.
Melainkan Alejandro.
Darah bercucuran dari leher domba malang itu. Diiringi perkataan setengah berbisik dari sang pelaku.
"Sudah saatnya menyembelih domba. Dombaku—Mutton adalah pengecualian."
***
SATIRE 3
WHITE DEVIL VS RED COMET
Itulah kali pertama Pucung bertemu dengannya—Si Gadis Bermata Dwiwarna. Satu biru safir. Satu lembayung ametis. Rambutnya hitam dengan kucir di samping. Dari mana Pucung bisa mengetahui semua itu?
Mudah. Turunnya tudung si Penikam Berjubah Kelabu itu menampilkan sosok asli pelakunya. Dialah Catherine Bloodsworth—The Gutpicker. Orang-orang menjulukinya begitu karena ia ahli dalam mengincar organ-organ dalam. Pancaran sinar kedua warna matanya menunjukkan nafsu membunuh yang belum terpuaskan dengan tergoleknya domba putih bernama Alejandro. Targetnya kemudian adalah Pucung.
Jika Pucung punya bola mata, pastilah ia sudah terbelalak sekarang.
"Kau mungkin bertanya kenapa aku menyerang dombamu, ya? Hmm … karena aku terbiasa melawan makhluk hidup—monster atau manusia, jadi aku agak grogi untuk berhadapan denganmu yang notabene adalah setan."
Grogi? Alasannya menyebalkan sekali.
"Tapi ini pasti seru! Aku belum pernah melawan setan sungguhan sebelumnya! Kalau setan berbentuk manusia sih banyak. Tapi ini … ini setan sungguhan!"
Tak tinggal diam, Pucung membalas dengan cekikan pada leher wanita itu. Cekikan ia pererat. Namun senyum di wajah wanita itu membuat Pucung tak tenang. Benar saja, seekor domba putih menyeruduknya dari samping kiri. Pucung tersungkur.
Itu bukan Alejandro. Ia masih bersimbah darah di tanah.
"Bagus, Mutton. Dua lawan satu. Ini akan mudah."
Tujuan Pucung berubah. Tadinya ia akan langsung melumpuhkan wanita itu untuk mengatasi pergerakannya. Tapi dombanya bisa jadi merepotkan. Jadi Pucung berusaha meraih Alejandro yang terkapar. Sayang sekali, ia bukan pupuh seperti Sinom yang menguasai kemampuan penyembuhan. Tak banyak yang bisa Pucung lakukan selain menyeret Alejandro.
"Mau lari? Ayolah … main-main dengan Kakak dulu di sini. Aku jamin Mutton akan bertindak lebih menyenangkan kali ini, ya?" Catherine mengeluarkan pisau lain dari kantong paha kanannya. Ia lantas kucurkan darahnya sendiri ke permata di pangkal bilahnya. "Kita lihat seberapa energi yang kau punya dalam tubuh itu, Adik Kecil. Malleus Maleficarum Gula!"
Siluet berbentuk babi memancar dari permata di pisau Catherine. Babi adalah symbol rasa lapar yang tak berkesudahan. Pucung tak sudi lagi-lagi energinya dihisap oleh musuh. Ia sudah muak dengan pertarungan yang melibatkan penghisapan energi seperti dengan bayangan Kinanti di lain hari.
"Jagat Sentra!" Pucung merapal mantra.
Cahaya putih bersinar dari mata Pucung. Saat kemampuan Jagat Sentra digunakan, ia dapat memiliki kemungkina lebih tinggi dalam membaca serangan lawan. Ayunan pisau Catherine hampir mengenai leher Pucung, ayunan selanjutnya mengincar dada kirinya. Sepertinya ia memang ahli mengincar bagian vital, jika dilihat dari apa yang terjadi pada Alejandro.
Mungkin Catherine belum menyadari bahwa badan Pucung hanya terdiri dari gabungan jerami dan beberapa ranting kayu. Tertusuk pisau bukan hal besar yang patut dikhawatirkan.
Pucung tak menyangka ada pohon yang menahan gerakan mundurnya. Untung saja ia masih sempat berguling ke sisi kiri. Bisa ia lihat efek tikaman pisau Catherine tidak main-main pada batang pohon. Tikamannya sangat dalam. Sungguh hal yang terasa ajaib bagi Pucung bahwa Catherine bisa mencabut kembali pisaunya dengan mudah. Ia tak menyangka manusia bisa sekuat itu.
"Hee … ck, setan memang luar biasa, ya. Kalau manusia, pasti sudah batuk-batuk di tengah miasma sepekat ini," decak kagum Catherine.
"Ba-bagaimana denganmu? Bukannya kau manusia?" tanya Pucung memastikan.
"Iya dan tidak. Darahku istimewa. Secara kiasan, aku merasa seperti bukan manusia lagi. Hehehe. Iya kan, Mutton? Ku pikir kita bisa akrab karena itu, loh."
Mutton mengorek tanah. Tanda akan menyeruduk lagi. Untuk ukuran domba, Pucung kira ia termasuk yang jarang mengembik. Tapi sekarang Pucung tahu alasannya ketika merasakan serudukan kedua dari Mutton. Aneh, seharusnya Pucung bisa menghindari gerakan Mutton meski agak janggal. Saat melihat mulut Mutton, barulah Pucung mengerti. Dua bilah pisau digigit domba itu. Hasilnya? Jerami di perut samping kiri Pucung terburai.
Sejak kapan Catherine mempersiapkan ini? Apa ini karena Pucung terlalu fokus pada serangan-serangan Catherine saja?
Catherine hanya tersenyum melihat kekagetan Pucung. Ia tak membuang waktu. Segera ia tebaskan pisau yang dipegangnya ke arah Pucung.
"Seda Niskala!"
Tertahan.
Kaki mobil-mobilan Pucung berhasil menangkis pisau Catherine. Ia tekankan kuat-kuat kakinya pada pisau, kemudian pelantingkan tangan Catherine ke sisi kanan. Satu kaki lagi milik Pucung menghasilkan tendangan berputar dan bersarang pada dagu Catherine. Wanita itu diharapkan setidaknya akan punya masalah mengunyah makanan atau berbicara beberapa waktu ke depan.
Lutut Pucung tertekuk. Ia melancarkan serangan lanjutan ke arah perut Catherine. Wanita itu meringis. Dengan rahang tak sehat, tak banyak keluhan rasa sakit yang bisa Catherine buat.
Mutton menerjang Pucung. Domba itu nampaknya tak suka melihat Catherine tersiksa. Saat Mutton beberapa senti lagi mengenai tubuh Pucung, setan berkaki mobil-mobilan itu melajukan rodanya ke atas pohon. Ia sukses menghindar, sekaligus mendaratkan tendangan kapak ke punggung Mutton.
Catherine dan dombanya berhasil dilumpuhkan. Ini saatnya bagi Pucung untuk—
Menghindar dari serbuan domba hitam.
Domba-domba hitam menyerbu Pucung, Catherine dan Mutton. Untungnya mereka tak tahu keberadaan Alejandro. Domba-domba itu berusaha menggigit. Kelihatannya mereka lebih ganas dan liar daripada domba-domba putih dari Ratu Huban.
Padahal, mereka bukannya liar. Melainkan begitulah sifat alami mereka. Yang bisa mengendalikan mereka hanyalah sosok berkepala bola mata dengan jubah ungu. Tubuhnya berupa kerangka. Sosok itu membawa tongkat yang disebut sebagai dreamcatcher.
"Dua reverier … kalian akan ku tangkap."
Dialah pembawa mimpi buruk di Bingkai Mimpi para reverier.
***
Ada dua hal yang menjadi perhatian Pucung saat ini. Pertama, cara untuk lari. Dengan kemampuan Seda Niskala tentu ia bisa melompat tinggi untuk menghindar. Masalahnya hanyalah sejauh apa Oneiros bisa mengejarnya jika domba-dombanya tak bisa terbang dan mengimbangi lompatannya. Kedua, mencari Alejandro. Pucung merasa akan sangat merugikan jika tak ada Alejandro di sisinya. Walau ia tak yakin domba itu bisa bertahan dari pendarahan. Maka dari itu, ia mencoba mengulur waktu dengan mengajak O bicara.
"Bo-bola mata ungu … kau pasti O. Benar?"
"Ya … aku adalah O. Oneiros … Semua reverier harus ku tangkap."
"A-apa tujuanmu?"
"…."
Tidak berhasil. Sepeertinya Oneiros bukanlah tipe yang suka bicara. Domba-domba hitam muncul semakin banyak dari belakang Oneiros. Memaksa Catherine menaiki Mutton untuk menjauh. Untung saja masih ada tenaga. Mereka kewalahan dengan serangan-serangan ini.
Demikian pula Pucung. Gigitan demi gigitan mengoyak kain kafannya. Tak ada cara lain selain ia memfokuskan kaki mobil-mobilannya untuk bertahan pada satu poros sehingga tubuh Pucung berputar dan mengempaskan para domba hitam. Lantas ia naik ke sebuah ranting pohon besar. Syukurlah domba-domba hitam ini tak bisa terbang.
Sepuluh menit telah berlalu sejak pisau Catherine, Gula, menyerap energi ghaib dari domba-domba hitam. Kondisi fisik Catherine dua kali lipat lebih baik sekarang. Namun, ia harus menunggu habisnya efek pisau Efek pisau Hexennacht memang mengerikan. Ada tujuh nama lain berdasarkan tujuh dosa mematikan. Gula adalah simbol nafsu makan. Siapa tahu pisau macam apa lagi yang akan dia keluarkan.
Oneiros melompat dari ranting ke ranting. Sesuai dugaan Pucung, jika domba-dombanya tak dapat meraih para reverier, maka ia akan turun tangan. Sialnya, reverier yang dipilihnya adalah Pucung. Tongkat dreamcatcher Oneiros ayunkan pada Pucung. Tangan jeraminya berusaha menahan. Mereka berdua adu kekuatan.
"Kesulitan!?" teriak Catherine dari kejauhan.
"Ke-kelihatannya?"
"Kelihatannya iya. Mau ku bantu?"
"T-tak perlu."
"Tapi … Kakak tidak tega nih melihatmu begitu, huhu."
"Ja-jangan bercanda …"
"Huh. Membantumu mengalahkan si Bola Mata ini bisa jadi sesuatu yang akan Kakak sesali nanti. Hihihi—hahaha! Siapa namamu, Adik Kecil? Pucung, kan? Sini main sama Kakak! Panggil aku Kak Cathy!"
"Ca-Cathy saja sudah cukup bagiku."
Catherine menerjang Oneiros berbekal pisau bernama Ira yang menyimbolkan kemarahan. Kemampuan pisaunya belum diaktifkan, untuk berjaga-jaga …
Berjaga-jaga jika Oneiros bisa melakukan hal ini: pisau menembus telak mata ungu besar Oneiros. Tapi apa yang terjadi? Tubuh makhluk itu malah berhamburan menjadi bola-bola mata kecil berwarna ungu. Bola-bola itu menyebar sejenak sebelum mewujud kembali dengan bentuk Oneiros seperti semula. Tanpa cacat sedikit pun.
Pucung sigap menarik tangan Catherine. Kalau tidak, wanita itu akan jadi korban tongkat dreamcatcher karena Oneiros melakukan serangan balasan seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya.
"Ga-gangguan yang bagus. Tapi kita harus menjauh lebih dulu," ujar Pucung.
"Kalau sudah bicara banyak, kau tak terasa seperti anak-anak." Catherine malah mengalihkan pembicaraan.
"A-aku memang bukan anak-anak."
"Begitukah? Berapa umurmu?"
"Cu-cukup lama."
Cathy mendengus, "Hah … ya, jawabanmu sangat tidak manusiawi." Ia tak mau mendengar perkataan Pucung. Ia memilih mencoba bernegosiasi dengan Oneiros.
"Hei Oneiros! Bagaimana kalau begini, aku serahkan setan jerami ini padamu, tapi kau biarkan aku pergi. Bagaimana?"
"…." Pucung tak percaya Oneiros akan termakan trik murahan seperti itu, di samping fakta bahwa dirinya dijadikan umpan.
"Tak ada kompromi. Pekerjaanku jelas: tangkap semua reverier. Kemudian domba-domba hitamku akan memakan domba-domba putih kalian."
Tidak bisa, batin Cathy, makhluk ini tidak bisa diajak berunding. Oneiros tak acuh dengan proposal Cathy. Ekspresi Oneiros mungkindatar, tapi kondisi Alam Mimpi saat ini sudah membuatnya terlampau kesal. Yang diinginkannya hanya satu: domba-domba hitamnya memakan mimpi sebanyak mungkin. Di sini dan sekarang!
"O-orang-orang di tempat asalku mungkin akan dengan mudah menyembelih mereka untuk dijadikan sate. Mungkin kau bisa melakukan hal yang sama dengan pisaumu?" cetus Pucung.
"Ha? Sate? Bagaimana caranya?" tanya Cathy tak mengerti.
"Se-seperti yang kau lakukan pada Alejandro."
"Maksudmu aku harus mengarahkan pisauku ke leher mereka!? Kau tidak lihat seramnya wajah-wajah domba itu!? Jelas-jelas mereka bukan domba biasa. Apalagi dengan ukuran seperti itu. Tidak. Tidak. Tidak mau! Seram!"
"Ba-bagiku mereka tidak seram sama sekali."
"Hhhh … susah juga bicara dengan setan. Kalian tak mengerti betapa seramnya diri kalian sendiri.
"Bo-bodoh. Setan-setan berkumpul untuk saling memahami sifat setan yang mereka miliki. Kalau kami pikir kami bisa memahami perasaan manusia, apa gunanya kami jadi setan!? Itu hanya mengganggu."
Berkumpul? Perkumpulan setan … aliansi ….
Alam mimpi?
Aliansi Setan Alam Mimpi. Aku ingat.
Apa yang ku lakukan di sini? Aku harus …
Dimakan! Kaki kiri Pucung dimakan! Seekor domba hitam dilempar Oneiros dari bawah pohon.
Lengah, Pucung tak menyangka target domba-domba hitam bukan hanya domba putih. Ia pun tak luput dari incaran domba-domba hitam. Apa karena kain kafannya yang sama-sama berwarna putih? Yang benar saja. Ini tidak lucu, pikir Pucung.
Setan jerami itu menarik tubuhnya ke arah berlawanan dengan si domba hitam. Ia relakan jerami berhamburan tatkala kaki kirinya putus. Asal Pucung bisa melesat lebih jauh, ia punya kesempatan menyerang balik.
Tapi Pucung tak pergi ke mana-mana.
"Si-sial … tidak mau berputar," keluh Pucung. Ia harus mau memandangi roda sepatu mobil-mobilannya yang tak kunjung berputar. Pahit memang. Semakin ia terluka, semakin terkikis juga inspirasinya. Kemampuan Seda Niskala Pucung terasa sudah mencapai batasnya.
"Mbeeeeeeeee!"
Dalam keadaan genting itu Alejandro datang menghalau. Tanduknya menabrak telak ke badan samping domba hitam, meninggalkannya jatuh tersungkur. Bagaimana luka di leher domba itu bisa pulih?
"I-itu ulahmu? Alejandro terlihat sehat bagiku," tanya Pucung pada Cathy sambil menunjuk Alejandro.
"Tidak … aku tidak melakukan apa-apa. Domba itu terlihat sehat juga bagiku."
"M-Mutton? Dia bisa kemampuan pemulihan?"
Cathy menggeleng, "Kalau ada, kau sudah kalah dari tadi."
Termakannya kaki Pucung memaksa setan itu mengambil satu kesimpulan; domba-domba hitam bukan hanya memakan mimpi, tapi juga inspirasi. Terbukti, sumber kemampuan Pucung kurang-lebih terletak pada kakinya. Jika kemampuan berlarinya terlupa lebih banyak, Pucung berani bertaruh, akan semakin mempersulit keadaan.
Tiba-tiba dalam satu kilatan petir, seluruh hutan bergetar. Sesuatu turun dari atas. 'Sesuatu' itu langsung menyambar Oneiros. Diselimuti cahaya putih, perlahan siluet wanita bersenjatakan perisai dan tombak muncul.
Pucung tahu sosok itu, ia menyapa, "T-tak kusangka kau begitu welas asih. Sampai-sampai sudi turun ke sini, Mirabelle."
"Berpendapat sama di sini," ujar Cathy.
Tanpa memalingkan fokus dari Oneiros, Mirabelle menjawab, "Kalian tahu? Zainurma bilang biarkan saja. Biarkan saja kalian bertarung walaupun terganggu oleh Oneiros. Ku rasa ia hanya senang melihat kalian menderita. Aku berbeda. Terganggunya pertarungan antar reverier tak disukai Sang Kehendak. Dan aku di sini untuk memperbaiki itu. Dengan izin Sang Kehendak."
"Se-sekarang jelas siapa yang menyembuhkan Alejandro."
"Begitu juga dengan kakimu, Pucung. Dan kesehatanmu, Cathy," kata Mirabelle. Kaki Pucung pulih seperti semula! Cathy juga terlihat lebih segar. Tombak Mirabelle terhunus, "Cepat. Bertarung di tempat lain. Biar ku urus Oneiros."
"Mirabelle … mana Ratu Huban? Aku ingin bicara," tanya Oneiros. Tubuhnya kali ini tidak berhamburan. Lagipula nampaknya dreamcatcher berhasil cukup kuat menahan tombak Mirabelle di samping penampilannya yang rapuh.
"Bicara? Bisa. Asal kau tenang, semua bisa diatur."
"Kau menggangguku … mana bisa aku tenang … domba-dombaku kehilangan arah …" Mata Oneiros berubah membiru. Ia bersedih. "Mana reverier …"
Oneiros meloncat, menghunus dreamcatcher ke arah kedua reverier. Tindakan ini disambut Mirabelle dengan perisai emasnya. Gelombang dahsyat menggetarkan sekitar ketika dua benda itu beradu.
"Tidak reverier. Tidak sekarang," seru Mirabelle pada Oneiros.
"Ja-jadi nanti boleh?" tanya Cathy polos. Sebelum wanita itu melontarkan pertanyaan konyol lagi, Pucung menggamit tangannya.
"A-ayo pergi. Aku punya firasat buruk tentang ini."
"Ya. Ayo bertarung lagi."
***
Cathy dan Pucung sampai di belahan Bingkai Mimpi Cathy yang lebih dalam. Itu adalah pesisir Schattenheim. Dulu, Cathy dan keluarganya sering tamasya ke sini. Tapi sejak miasma ada, serta satu dan lain hal … wanita itu behenti pergi ke sini.
"Sayang sekali. Padahal aku ingin lihat siapa yang menang. Kalau Mirabelle kalah, aku akan ambil organ-organnya. Lalu ku jual. Organ seorang dewi pasti mahal harganya."
Pucung tak habis pikir, bisa-bisanya Cathy memikirkan hal seperti itu padahal mereka baru lolos dari Oneiros belum sampai 20 menit yang lalu.
"Da-dari semua pilihan yang ada, kenapa memilih menjadi penjual organ?" tanya Pucung sambil menyikut kepala Cathy.
Untungnya serangan itu ditangkis dua pisau Cathy: Luxuria dan Acedia. Lagi-lagi tak ia aktifkan kemampuannya. Apa yang ia rencanakan?
"Haha, sudah mulai nih? Aba-aba dulu dong."
"Ku-kurasa tak perlu. Ini bukan lomba. Tak ada aturan seperti itu."
"Setan licik." Cathy tersenyum, "Untuk menjawab pertanyaanmu, bagi Kakak itu bukan pilihan, kok. Tidak ada pilihan."
Cathy menendang wajah Pucung. Terkena telak, Pucung langsung membalas dengan tendangan berputar dari belakang. Sementara itu Alejandro dan Mutton seperti punya pertarungan sendiri. Masing-masing saling membenturkan tanduk.
"Orang-orang basic acapkali bilang, ketika mengalami dilema, 'Hidup adalah pilihan.' Aku? Tak setuju! Hidup adalah prioritas. Pilihan mana yang harus kau dahulukan? Mereka tak pernah benar-benar menjelaskannya. Jadi akan kutunjukkan sendiri apa yang menjadi prioritasku."
"Ma-maksudmu, hal yang menguntungkanmu?"
"Tepat. Kita setia pada sesuatu pasti karena sesuatu itu menguntungkan bagi kita, kan? Apa lagi?"
Apa benar? batin Pucung. Apa setiap makhluk ciptaan Sang Hyang hanya melakukan sesuatu karena demi keuntungan? Pernah Pucung melihat manusia, pupuh, setan, tumbuhan, binatang—membuang-buang waktu kemudian mati demi satu sama lainnya. Apa itu termasuk keuntungan? Jika bukan, lantas apakah tindakan itu hanya berdasarkan suka atau tidak suka?
"Jujur saja, membunuhmu seharusnya tak menghasilkan keuntungan apa-apa bagiku. Maksudku, lihat dirimu! Dilihat dari mana pun, mana mungkin jerami sepertimu punya organ dalam. Membunuhmu juga ku kira bukanlah istilah yang tepat. Seharusnya: menghancurkanmu," tukas Cathy dengan gestur tangan menjelaskan.
Ayunan pisau Cathy membuat Pucung kembali terdesak. Namun kali ini ia tak terdesak pada sebuah pohon. Melainkan sebuah sumur.
"Oh! Sumur ini! Sumur permintaan!" Tetiba Cathy berseru, mengingatkan Pucung pada seseorang dengan tingkat fokus yang buruk.
"Su-sumur permintaan?" tanya Pucung bernada penasaran. "Kau yakin tak akan nada sesuatu yang keluar dari dalamnya?"
"Yep. Yah meski hanya tinggal beberapa penduduk di Scattanheim yang masih percaya ini. Orang-orang melempar uang—tidak banyak—hanya satu atau dua koin emas ke dalam. Dan .. TADAA! Permintaan mereka terkabul! Apa di tempat asalmu juga ada takhayul macam ini?"
"K-kau tak percaya?"
Cathy menggeleng, "Tidak. Sama sekali."
"Di-di Buana Panca Tengah juga banyak sumur. Manusia biasa menggunakannya untuk berbagai hal. Mandi, mencuci pakaian …."
"Hee. Jadi Adik Jerami ini suka mengintip orang mandi rupanya? Ah … Kakak harus semakin hati-hati sekarang. Tak kuduga kau nackal juga, ya." Wajah Cathy menampilkan senyum menyebalkan.
"Bu-bukan begitu maksudnya," sanggah Pucung.
"Ahahaha! Setan mesum! Jadi bagaimana menurutmu? Periksa, jangan?"
"Ta-tak ada salahnya mencoba."
Pucung tak dapat melihat dengan jelas tatapan Cathy karena rambut gadis itu menutupinya. Satu hal yang pasti—mulutnya berseringai, dan Pucung tak akan menyukai hal yang akan terjadi selanjutnya.
"Selamat mandi darah, Adik Jerami."
Tikaman cepat Cathy tujukan pada dahi Pucung. Pisau Cathy dapat dengan mudah menembus kepala jerami itu. Sensasinya mengacaukan pikiran Pucung. Pandangannya kabur.
Tubuh Pucung akhirnya jatuh ke dalam sumur, menyisakan bunyi riak air sayup-sayup sampai pada telinga Cathy. Tersenyum puas, gadis itu benar-benar menikmatinya.
***
Miasma. Miasma dan miasma. Hanya itu yang bisa Pucung rasakan. Tak memiliki indera tak menghalangi Pucung untuk merasakan kepekatannya. Pasalnya, miasma bekerja seakan merasuk tubuh. Jadi wajar jika jiwa Pucung yang bersemayam dalam jerami turut terusik karenanya. Ia menyadari bahwa semakin parah ia terluka, semakin pekat pula miasma terasa. Pucung penasaran apa hal ini juga terjadi pada Alejandro.
Untuk mengetahuinya, pertama-tama Pucung harus bisa kembali ke atas.
Sumur ini cukup sempit. Berbau amis. Air yang menggenanginya ternyata adalah darah. Tubuh Pucung yang kecil seakan membuat tempat itu agak lebih besar baginya. Bisa saja ia meluncur di dinding sumur jikalau diameternya lebih lebar.
Suara Cathy terdengar dari atas. Ia sudah melepas jubah kelabunya, menampilkan sweater merah. "Jangan dendam, ya. Lagipula, adalah hal yang natural bagiku untuk membenci karakter lawful evil sepertimu."
"Lawful? Evil?"
"Kau tak lihat character sheet-ku? Salah satu hal yang kubenci adalah aparat penegak hukum. Dan selamat! Kau adalah aparat itu!"
"Lu-lucu. Aku tak terlalu merasa seperti itu. Sulit untuk tidak dendam kalau sudah seperti ini."
Dari atas, terdengar bunyi seperti air yang dijatuhkan. Dan coba tebak, apa itu?
Itu adalah guyuran bensin.
Usai mengguyurkan bensin, Cathy bercakap sambil melihat ke dasar sumur. Kebetulan sekali pom ada rumah dengan dapur masih terisi di sekitar situ.
"Kau tahu, ku rasa ini adalah kutukan. Aku bisa mengetahui apa kelemahan lawanku. Baik itu manusia atau setan sepertimu—selama masih memiliki tubuh yang dapat ku lihat, ada saja yang bisa diincar untuk membuat semuanya lebih buruk bagi mereka."
Dua bilah pisau digesek pelan oleh Cathy di atas sana. "Dan api … adalah kelemahanmu. Iya kan?"
"Kalau aku dan semestaku selamat dari segala macam teatrik Sang Kehendak dan Zainurma ini, mungkin aku takkan protes."
"Hahahaha! Jadi apa yang akan kau lakukan, Pucung? Ups …"
Bunyi berdesing menimbulkan percikan api jatuh ke arah sumur. Menyambar tali katrol kemudian menyambar dinding yang terlumuri bensin. Terus ke bawah. Gestur Cathy menunjukkan seolah ia melakukannya secara tidak sengaja.
"Terbakarlah dengan indah, Adik Kecil."
Tepat sebelum api mencapai Pucung di dalam sumur, ia merapal mantra.
"Kersa Meista!"
Bunyi ledakan menggelegar dari bawah sumur. Cathy menutup telinga. Ia lihat mulut sumur rusak. Juga ia rasakan darah menetes ke seluruh tubuhnya seperti hujan. Namun yang membuat ia paling terkejut adalah kilatan cahaya di hadapannya.
Cathy menutup mulut dengan tangan, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Itu Mirabelle!
Bunyi gelegar bukan hanya dari ledakan. Tetapi juga dari petir yang menyeruak keluar … Membawa serta Pucung dalam wujud Mirabelle.
Untuk keluar dari sumur, Pucung membutuhkan daya dorong tinggi. Satu-satunya daya dorong paling hebat yang ia lihat hari ini adalah kilatan petir yang membawa Mirabelle. Maka dari itu, dengan kemampuan alih-wujud Kersa Meista, ia membayangkan Mirabelle dengan kemampuan petir dramatisnya saat menyambar Oneiros.
"Rasakan Tombak Giruvedan, Cathy!" teriak Pucung sebagai Mirabelle.
"Aku … ingin … kau yang merasakan itu!" Sebuah siluet rubah bersinar pada salah satu pisau Cathy. Darah telah meresap ke dalamnya. Ia tinggal merapal mantranya, "Malleus Maleficarum Avaritia! Kersa Meista!"
Avaritia adalah pisau simbol keserakahan. Cathy sengaja menghemat pengaktifan kemampuan pisaunya untuk pisau ini. Lawan yang pernah terkena pisau ini, akan dapat dicuri kemampuannya. Selain itu, kemampuan lawan pun tak dapat digunakan selama pisau ini aktif.
Cathy memilih mencuri kemampuan Kersa Meista. Maka jadilah ia Mirabelle!
Sedangkan, Pucung yang kembali ke wujud semula harus pasrah terkena Tombak Giruvedan. Tombak itu disematkan unsur petir seperti yang dirasakan oleh Oneiros. Tubuh Pucung terpelanting menabrak sebuah windmill di dekat sumur.
Acapkali Pucung memanfaatkan lingkungan untuk mengalahkan lawannya. Sekarang? Senjata makan tuan. Gilirannya merasakan strategi andalannya sendiri. Kompensasinya pun cukup besar: Pucung tak lagi memiliki kepala dan setengah badannya.
Kain kafannya robek-robek. Sebagian besar jeraminya hancur. Badan bagian bawah dan kaki Pucung hilang keseimbangan. Orang-orangan sawah itu tak terlihat lagi seperti orang. Kaki jeraminya berlutut agak lama. Kemudian ia ambruk.
Cathy sebagai Mirabelle mendekat. Ia menikam sisa lengan di tubuh jerami Pucung. "Katakan kau menyerah, Adik Kecil. Maka kau akan ku ampuni."
"A-aku tidak sudi. Kau—ugh …." Suara Pucung masih terdengar. Hilangnya kepala bukan halangan bagi setan ini untuk tetap dapat berbicara.
"Aku memaksa." Garis alis Cathy menukik tajam. Ia bersungguh-sungguh. Semakin dalam ia benamkan pisaunya pada tubuh jerami Pucung.
***
Sebelumnya di Bingkai Mimpi Pucung. Zainurma membeberkan beberapa informasi penting untuk Pucung. Ia menjanjikan sesuatu yang pantas diperjuangkan bagi Pucung.
"Lihat, dengar, dan rasakan. Wahai Pucung," seru Zainurma membentangkan tangan.
"A-aku tidak ingin bertemu pupuh lain."
"Itu hanya hidangan pembuka."
"…. Ka-kalau begitu kau menyajikan hidangan pembuka ke meja yang salah."
"Begitukah? Aku bertaruh kau akan menelan kata-katamu sendiri jika melihat ini."
Sebuah bingkai lukisan muncul di udara. Bingkai itu memperlihatkan tempat penuh cahaya terang. Pucung belum pernah ke tempat itu, tapi ia sangat mengenal tempat apa itu. Ciri-cirinya sangat persis dengan apa yang para pupuh ceritakan dari masa ke masa. Tempat itu Pucung kenal sebagai Mandala Hyang.
"S-Sang Hyang …. Kersa. Dia ada di sana," ucap Pucung.
"Gusti Nu Agung … Pangeran … semua mengacu pada Zat yang sama—Sang Hyang. Sampai-sampai seekor reverier naga tua pun acapkali mengucapkan namanya. Tak kusangka entitas superfisial ini begitu tersohor ke beberapa jagat dimensi."
"P-para manusia selalu berkata bahwa apa yang mereka lakukan adalah sembahyang. Padahal, saat ini kata itu sudah kuno. Kata itu tak lagi mengacu pada Sang Hyang yang seharusnya. Otak mereka terlalu banyak dibuai oleh kepercayaan yang mengada-ngada."
"Mengada-ngada? Ku pikir kata yang kau cari adalah imajinatif. Coba bayangkan. Tak ada kepercayaan. Tak ada kau. Tak ada pupuh. Tak ada aku. Individu tak akan bisa berkesenian. Itu sungguh disayangkan. Aku akan kecewa pada dunia jika itu terjadi."
"…. Ba-bagaimana aku bisa ke Mandala Hyang?" tanya Pucung. Ia malas berdebat tentang ketuhanan.
"Mengalahkan Catherine Bloodsworth," ujar Zainurma. "Dua reverier bertarung. Itu salah satu syaratnya dari Sang Kehendak. Akan ku beri tahu kau lebih banyak nanti. Berbahagialah karena kau akan megetahui rahasia semesta!"
Zainurma meninju udara untuk efek dramatis.
***
"Se-sepertinya ini hari sialku … Kau apakan Mutton?"
Cathy masih dalam wujud Mirabelle baru saja mematahkan tanduk Alejandro di hadapan Pucung. Setan jerami itu tetap tak mau menyerah meski melihat dombanya ia siksa.
Memang susah berurusan dengan setan … bukan, iblis putih ini, pikir Cathy. Ia lirik Mutton yang hampir sama tak berdayanya dengan Alejandro. Bedanya, tanduknya masih utuh.
Namun di luar dugaan, pada saat Cathy kembali ke arah Pucung, energi ghaib hitam terpancar dari tubuh Pucung.
Suara Pucung berbisik, "Ruina Valanka."
Untuk sepuluh menit, energi ghaib hitam Pucung menghilangkan fungsi indera pengelihatan Cathy. Dengan sisa tenaganya, Pucung berdiri dan berhati-hati mneghindari ayunan tombak Cathy. Meski dalam bentuk Mirabelle, Cathy akan kesulitan jika tak dapat melihat. Untung saja Mutton sudah tak berdaya. Jika tidak, Pucung tak yakin akan menang melawan seekor domba dalam keadaan seperti ini.
"Se-sekarang giliranku, Cathy. Sepuluh menit ini akan jadi penentuan."
"Tidak … aku Mirabelle! Kau tidak bisa mengalahkanku!"
Ayunan tombak Cathy melemah. Ia tak sepercayadiri sebelumnya. Diayunkan berapa kali pun, ia tak bisa menyentuh Pucung.
Saat Cathy mulai lelah, sebuah tendangan bersarang di perut bagian kanannya.
SATIRE 4
FOUND A BOX OF SHARP OBJECTS, WHAT A BEAUTIFUL THING!
Berembuslah angin-angin kecil ke dalam sebuah kamar. Ruangan itu lebih terlihat menyerupai gudang daripada kamar. Sudut-sudutnya dihiasi jaring laba-laba. Lantai kayunya pun tidak bisa dibilang bersih dengan debu-debu tebal yang ada.
Di sinilah tempat seorang gadis bernama Catherine Bloodsworth tinggal.
Orangtua Catherine adalah orang yang kacau. Terutama ayahnya. Itulah sebabnya selera Cathy Kecil pun ikut kacau. Ia mempunyai ketertarikan lebih terhadap benda tajam. Cathy Kecil pernah tertawa geli saat melihat ibunya memotong wortel di dapur. Ia tergelak seolah-olah itu adalah atraksi di tenda sirkus. Ia juga memasang ekspresi aneh ketika melihat tali jemuran yang mengkilap tajam. Itu sudah termasuk dalam tahap yang mengkhawatirkan secara psikis.
Untuk membuat segalanya semakin kacau, hari itu Cathy Kecil menemukan sebuah kotak. Isinya teramat membuat Cathy Kecil senang.
"Waaaaah! Indahnya! Ma! Ma! Lihat yang kutemukan di gudang!"
Tak ada jawaban dari ibunya. Wanita itu sudah pergi ke pasar rupanya. Cathy Kecil hanya punya daya konsentrasi rendah. Jadi saat ibunya bilang mau ke pasar, Cathy Kecil dapat melupakannya dalam waktu tiga detik saja. Hebat, Cathy Kecil.
"Hmm. Tak ada siapa-siapa," komentar Cathy Kecil celingukan di ruang makan. Segera ia kembali ke kamarnya dengan langkah berderap menyusur tangga lantai dua.
"Panjang … tebal … pisau-pisau apa ini, ya? Waaah. Hooo. Warnanya bagus-bagus …"
Mata Cathy Kecil berbinar sembari memandangi pisau-pisau dari kotak yang ia temukan. Digerakannya pisau-pisau itu dari atas ke bawah tanpa disadari. Melihat dari satu sisi saja tak cukup bagi Cathy Kecil. Ia dibuai takjub oleh benda-benda tajam itu.
Dalam keasyikannya, Cathy Kecil dikejutkan oleh bedebam pintu yang dibuka secara kasar oleh ayahnya. Pria itu tak menampilkan ekspresi berarti.
"Lihat, Pa! Aku bisa potong-potong banyak pakai pisau ini! Aku suk—"
Belum selesai Cathy dengan kalimatnya, wajah Cathy sudah menerima tendangan dari sepatu kerja ayahnya. Kalau begini sudah jelas—ayahnya tak suka Cathy Kecil bermain dengan pisaunya. Secara teknis pisau-pisau itu memang bukan milik ayahnya, namun tetap saja, pria itu tak menyangka Cathy bisa menemukan dan berani memainkan isi kotaknya. Mungkin seharusnya ia mengurung Cathy di gudang bawah tanah saja.
Cathy Kecil menangis. Dua belas tahun sama sekali bukan usia yang terlalu tua untuk itu. Biasanya kalau sudah begini, ia akan menghibur diri dengan memandang ke luar jendela. Banyak hal yang bisa dilihatnya, dari mulai anjing tetangga, sampai anak-anak seusianya yang asyik bermain sepeda.
Bagaimanapun, hal itu tak selamanya manjur. Suatu hari ayah dan ibunya bertengkar hebat.
"Kau selalu saja begitu! Kau tak pernah memikirkan bagaimana masa depan Cathy, apa dia makan banyak di sekolah, apa ada seseorang yang mengganggunya … kau tidak peduli itu! Kau bahkan tak pernah tahu ada undangan orang tua dari sekolah!"
"Wanita tak tahu diuntung! Sudah bagus aku masih pulang ke rumah memberi uang-uangku! Bocah itu belum bisa menghasilkan apa-apa untuk keluarga kita. Jadi terserahlah mau aku apakan. Aku kan ayahnya! Tugas kita sebagai orang tua itu memilih yang terbaik untuk anaknya!"
"Kau sama sekali tidak mau diajak kerjasama. Istri macam apa kau ini, hah!?"
"HEH! Yang tidak bisa diajak kerjasama itu kamu, tahu!"
Ini terjadi lagi. Mereka berdua kembali saling berteriak. Cathy Kecil benci keadaan ini. Telapak tangannya menutup telinga. Mendengarnya saja sudah membuat Cathy terisak. Rasanya seperti banyak jarum-jarum kecil yang menusuk dadanya.
Terduduklah Cathy Kecil di samping tempat tidurnya. Ia bersandar pada sebuah kursi. Teriakan-teriakan itu masih ada. Kalau dipikir-pikir, Cathy ingin mencoba mengerti bahwa ayahnya ingin yang terbaik untuknya.
Tapi … alih-alih dilatih, Cathy malah dianiaya. Ini yang paling Cathy tak suka dari pandangan ayahnya tentang 'latihan'. Jika ibunya datang melerai pun, ibunya malah jadi korban ayahnya.
Tentu saja, bagi Cathy itu adalah hal yang lebih menyakitkan. Maka ia bunuh saja ayahnya. Namun sial. Ayahnya sudah lebih dulu membunuh ibunya.
Merasa tak punya siapa-siapa lagi, Cathy lari dari rumah.
Sangat jauh ia berlari sampai ia ditemukan dan dirawat oleh seorang dokter bedah ilegal bernama Angie. Saat miasma mengontaminasi tubuh Cathy, Angie-lah dokter bedah yang berhasil menyelamatkannya. Tapi sebagai konpensasi selamatnya nyawa Cathy, bocah 13 tahun itu harus berdamai dengan kebiasaan baru untuk menopang hidupnya.
Yaitu mengumpulkan organ dalam. Sejak saat itu, orang-orang di pasar gelap menyebutnya sebagai … The Gutpicker.
***
Lamunan Cathy buyar. Ia merasakan nyeri pada luka bekas jahitan di perut sebelah kanan—pemicu kilas balik mengenai dirinya. Satu tendangan lagi dari Pucung menyambut Cathy kemudian. Ia jatuh terlentang.
Pucung melambatkan tempo serangan. Bukan untuk bersenang-senang, melainkan menghemat tenaga, lantaran ia tidak tahu apa yang bisa Cathy perbuat untuk membalikan keadaan. Satu kaki mobil-mobilan Pucung ditaruh pada wajah Cathy. Jika saja ia gerakan rodanya dengan kecepatan penuh, pastilah wajah Cathy akan menerima akibatnya.
Pada saat seperti ini Pucung tak ragu untuk merenggut apa yang berharga bagi Cathy. Tak heran. Pucung memang setan.
"K-kalau kau mau menyerah, setidaknya kau hanya akan jadi pajangan Si Zainurma. Perintah 'mengalahkan' terlalu ambigu. Bedebah itu seharusnya meneguhkan pilihan sejak awal. Bersyukurlah kau tak harus mati."
"Hmph … kaki … keparat …."
"Ti-tidak jelas kedengaran."
"GGGGAAAAH!"
Cathy mencoba bangkit. Ia sengaja dorongkan wajahnya untuk membuat Pucung terjatuh. Tapi ia meremehkan kekuatan kaki Pucung. Kendati jerami, tenaga di kaki Pucung masih cukup untuk melawan balik. Tak suka dengan tindakan berontak Cathy, spontan Pucung menjalankan rodanya, menyajikan kesakitan pada wajah Cathy.
"Euuuaaarrrggh … ah, ah, haaaaaa! HAAAAAA!"
Putaran demi putaran di wajah Cathy sesungguhnya terasa sebagai sayatan demi sayatan. Setan di hadapannya ini hidup dengan sifat alami jenisnya. Jahat. Keji. Tak acuh. Orang tua Cathy mungkin tak akan lagi mengenali wajahnya. Dan Pucung tetap tak acuh dengan itu.
Tidak. Pucung tak sebaik itu untuk membiarkan jasad Cathy sampai ke rumah orang tuanya setelah apa yang Si Jalang itu lakukan. Pucung mempersiapkan yang lebih istimewa. Ia hanya akan membiarkan Cathy meninggalkan namanya. Sehingga yang sampai ke rumah orang tuanya hanyalah berita kematian. Kabar nyata kematian Catherine Bloodsworth, The Gutpicker.
SATIRE 5
PERIPHESCENE
Sebuah kuil megah berdiri di atas gunung. Di sekitarnya, gunung-gunung yang tak kalah tinggi menjulang memancarkan aura magis. Ini Bingkai Mimpi Mirabelle. Di dalam kuil yang berhiaskan patung-patung dewa, Mirabelle dan Zainurma sedang berbincang-bincang. Mirabelle nampak kelelahan. Pakaiannya lusuh. Melawan Oneiros bukan perkara mudah bahkan bagi dewi sepertinya.
Zainurma menjelaskan, "Alasan utama para setan dan arwah berkeliaran di Alam Mimpi adalah … dengan berada di alam ini, akan memudahkan mereka terhubung dengan alam materi. Sang Kehendak sebenarnya tak menghendaki hal ini. Maka dari itu ia mengirim para tapir untuk mengendus setan mana yang menyediakan akses ke Alam Mimpi pertama kali."
"Pe-perbenturan kepentingan, ya. Untuk apa Sang Kehendak mencari sumber akses?" tanya Mirabelle.
"Untuk apa? Untuk dieliminasi. Ya. Setan-setan seperti Satan, Ghoul, Pucung dan yang lainnya adalah bahan eliminasi. Nasib mereka sudah jelas di hadapan artefak sialan itu."
"Lantas, kenapa Oneiros melakukannya?"
"Ini semua demi para arwah, setan dan iblis. Oneiros pasti berpikir bahwa melepaskan mereka yang mempunyai energi negatif akan mempercepat persebaran mimpi buruk. Saat Oneiros punya cukup kekuatan untuk melawan Sang Kehendak, kita mungkin punya kesempatan …. Sayangnya, Sang Kehendak tidak bodoh."
"Permisi."
Seorang tapir masuk ke dalam ruangan tempat Zainurma dan Mirabelle. Ia membawa sebuah kandang dengan ukuran sedang.
"Letakan di sebelah patung Alice Shadouzin. Orang-orang menenalnya sebagai Pencabut Nyawa Bermata Merah. Seharusnya ia hampir bisa berada di deretan yang sama dengan dewa-dewa di Bingkai Mimpi Mirabelle."
"Baik, Tuan Zainurma," jawab sang tapir.
***
"Hei Pucung. Boleh kau kupanggil 'kakak'?"
"He-hentikan …. Jangan buat aku mengasihanimu."
"Hahaha! Kata kasihan saja sudah aneh jika kedengaran dari setan." Tubuh Cathy sudah tak lagi berwujud Mirabelle. Namun ia tetap kesulitan melihat setelah apa yang terjadi pada wajahnya. "Hei … jadi kakak itu melelahkan. Aku … ingin istirahat saja. Gantian kau saja yang jadi kakak …."
Bukan maksud Pucung tak mengindahkan racauan Cathy, tapi … ada sesuatu yang mendekat. Pucung tak bisa
"Be-berisik, Cathy. Oneiros datang."
"A-apa-apaan ini. Apa Mirabelle kalah?" tanya Cathy.
"E-entahlah. Pokoknya, aku punya rencana. Kita akan melemparnya ke dalam api di windmill yang terbakar kemudian melarikan diri sejauh mungkin sebelum tubuhnya kembali seperti semula," cetus Pucung.
"Bagaimana kalau kita gagal?"
"J-jika ini tak bekerja. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kita coba. Melompat pun aku tak kuat."
Cathy bergeming sesaat, "… atau kita bisa coba ideku."
"I-idemu?"
"Ya. Pokoknya dekatkan aku padanya. Nanti akan kulontarkan dia. Giliranmu menyusul setelahnya."
"K-kau yakin?"
"Kita cuma harus mencoba."
Oneiros datang dengan kuda berwarna biru. Bola matanya pun biru. Meski masih tampak sedik]h, ia langsung menyadari keberadaan Pucung dan Cathy, "Kalian … reverier."
"A-apa-apan ini. Dia datang dengan kuda."
"Kau urus kudanya. Ingat, Oneiros biar aku yang urus. Katakan arahnya!"
Roda sepatu Pucung berputar dengan sisa tenaganya. Ia tak sanggup meloncat, tapi setidaknya bisa melakukan tendangan luncur untuk menggoyahkan kaki kuda Oneiros.
"D-dorong ke depan sekarang, Cathy!"
Berhasil. Oneiros terdorong masuk ke dalam kobaran api windmill. Hanya saja, Cathy mendekap Oneiros yang tubuhnya lebih kecil, alih-alih melontarkannya.
"Yah … pertemuan ini terlalu singkat." Tangan Cathy melambai. Ia bukan mengajak Pucung bersamanya. Itu adalah lambaian selamat tinggal.
Nanti kita main lagi ya, Kak Pucung.
Cathy?
Kobaran api melahap seluruh tubuh Cathy. Pakaian merah gadis itu tersamar di antara oranye. Siluetnya sangat mencolok—berwarna merah kehitaman, membuat Pucung sulit melepas pandangan. Bergeming.
Untuk sesaat tak ada bunyi lain di sana selain kobaran api. Sampai akhirnya sesosok makhluk keluar dari windmill yang terbakar itu.
"Tolol … manusia tolol … Nyawamu sia-sia."
"Cukup, Oneiros."
Kuda biru kembali berdiri. Namun sesegera itu pula seekor kuda putih dengan aksen biru muda pada rambut dan tanduknya datang menyambar. Sebuah penjara hologram memerangkap Oneiros dan memaksa warna bola matanya menjadi ungu kembali.
"Terima kasih, Hewanurma, Tamon Ruu. Dengan ini bertambah lagi hutangku," ujar Zainurma. Ia datang bersama pria tua berambut putih yang disebut Hewanurma, dan seekor kuda bertanduk yang menjelma menjadi seorang gadis cantik bernama Tamon Ruu.
"Sama-sama. Sebagai gantinya, pastikan Amatsu Festival Arena berjalan lancar, ya. Zainurma. Hiasi dengan mimpi indah! Aku harus pergi ke satu server lagi. Cheerio!" sahut Tamon Ruu.
"Bawa kandangnya. Padamkan apinya," perintah Hewanurma. Para pelayan setianya melakukan hal tersebut tanpa diperintah dua kali.
Zainurma menghampiri Pucung, "Rusaknya parah juga. Setidaknya kau berhasil. Selamat, Pucung."
Pucung masih mendengar sayup-sayup suara Cathy di benaknya. Hal terakhir yang ia ingat adalah seekor domba berbulu merah dipangku oleh Ratu Huban. Si Kepala Bantal membawanya masuk portal.
***
"Kau lucu. Sayangnya aku tak bisa memeliharamu. Lihat bulu-bulumu. Warna merahnya begitu indah," Ratu Huban mengelus-elus bulu si domba merah di sebuah ruangan di Museum Semesta.
"Apa itu, Tuan Zainurma?" tanya Mirabelle.
"Oh? Ini juga merupakan karya seni, kau tahu?"
Mata Mirabelle bergulir, "Apa selera Sang Kehendak sudah segila itu? Maksudku … ini … makhluk hidup, kan?"
"Tepat. Kau harus mengerti … bahwa makhluk hidup pun merupakan karya seni."
Mirabelle mendengus, "Seni yang ku tahu selama ini hanyalah seni berperang. Bagaimana melumpuhkan lawan secara efisien, dan sejenisnya. Seni yang kau sebut bukanlah bidangku. Sulit untuk mengatakan bahwa aku bisa mengerti." Mata wanita berzirah emas itu tertuju pada si domba. "Daripada itu, apa dia akan baik-baik saja?"
"Jangan khawatir," Zainurma tersenyum simpul. "Dia akan diperlakukan dengan baik. Kandangnya akan dibersihkan secara berkala. Makanan pun akan selalu dikirim untuknya secara terjadwal."
Mirabelle menatap kacamata hitam Zainurma lekat-lekat. Ia penasaran, bagaimana caranya memandang seekor makhluk hidup dikurung sebagai pajangan. Sempatkah rasa iba terbersit di sorot matanya?
"Aku harap ini segera berakhir." Mirabelle menyerah. Ia akan cari tahu hal itu lain kali.
"Kau bisa katakan itu lagi," aku Zainurma setuju.
Maka Zainurma menutup pintu Conflict Gallery setelah sedikit menjura, mempersilakan Mirabelle ke luar lebih dulu layaknya seorang gentleman. Terkuncilah di sana sebuah kandang dengan domba merah sebagai isinya. Ada papan judul karya yang tercantum di depan kandang.
Di sana, tertulis nama 'Catherine Bloodsworth.'
ASAM ini ngigetin saya sama Lightbringer, cuma versi yang lebih ga mencolok dan kurang berkesannya. Malah mungkin lebih mirip faksi Herotics di BoR 3 yang berkesan lepas dari turnamen dan independen seenaknya aja
BalasHapusSepanjang cerita entah kenapa saya ngerasa interaksi Pucung sama Cathy beneran janggal. Kayak, semenit berantem saling bunuh, semenit kemudian nyantai aja kerjasama kayak sebelumnya ga ada apa", terus balik berantem lagi. Apa ya...pokoknya kerasa aneh aja. Juga, meski ada satu part didedikasiin buat ngulas bg Cathy, sampe entri ini sendiri kayaknya kita ga tau apa" tentang Pucung. Meski disebut Lawful Evil pun, sikapnya lebih banyak mirip Namol Nihilo yang serba canggung dan ga yakin pasti apa yang ingin dan perlu dia lakuin
Terus, ini minor complaint sih, tapi saya ga nyangka aja Hewanurma sama Tamon Ruu masih dibawa" di sini, belum jelas relevansinya apa ke canon Pucung sendiri
2nd read. Yep, masih ga nangkep kenapa ASAM bisa ngasih visi padahal udah jadi patung, dan kenapa Cathy ngorbanin diri. Dan...Heimdall ini siapa ya?
HapusVisinya dibawa sama boneka kelinci KasPeer. Memang, di ronde 1 sebenernya Tal Becker udah nyampein sedikit visi ke Pucung tentang KasPeer (karena WO di R1, maka KasPeer saya anggap udah jadi patung.) Tapi sebelum Tal dijadiin patung, di Kota Brando dia ketemu O a.k.a Oneiros yang pernah ngebantuin Pokiel. Oneiros ngasih bola-bola mata kecil yang bisa memerangkap sebagian kesadaran Tal pada boneka kelinci KasPeer (yang dibawa oleh Tal) dan memungkinkannya untuk mengekstrak beberapa kesadaran para reverier setan yang telah jadi patung (Asya, Airi dan Cain; kecuali KasPeer karena patungnya berada di tempat lain).
HapusTapi, ada kompensasinya. Oneiros yang sudah bertekad memburu para reverier meminta sebagian kesadaran Tal menjadi miliknya. Tal pun terpaksa setuju asal ia bisa menyampaikan pesan dari KasPeer melalui kesadarannya dalam boneka kelinci KasPeer. Nah, Oneiros menitipkan boneka itu pada Heimdall.
Jadi, Heimdall yang sebenernya OC teman saya ini saya masukan di realm Cathy sebagai pembawa pesan. Ke depannya kalau lolos kemungkinan bakalan diungkap lebih banyak.
Jadilah saya murni bikin Oneiros punya kemampuan baru di luar charsheetnya, yaitu 'mengeluarkan kesadaran reverier yang sudah jadi patung.' Semuanya semata-mata saya bikin buat nunjukin bahwa Oneiros udah punya niat mengacaukan rencana Sang Kehendak sejak R1.
Mungkin ini agak maksa juga sih. Hewanurma saya reveal di sini sebagai penyedia EEG, mesin mimpi yang dipake Zainurma. Mereka punya semacam deal simbiosis mutualisme yang saling mendukung, dengan memanfaatkan energi mimpi dan ratu huban. Makanya ada Amatsu Festival Arena disebut di situ juga.
Bisa dibilang ... ronde 2 ini jadi berlatar berbarengan dengan akan dimulainya Amatsu Festival Arena di ronde kesekian Wildan Hariz di BoR 5.
Anyway, thanks udah baca! Kelawfulevilan Pucung memang saya sendiri kurang ngerasa kentara di entri ini, demikian juga dengan adegan battle sama Cathy yang awkward. Semoga kalau lolos bisa bikin yang lebih baik.
Wwww, entah kenapa dijelasin begini malah baru lebih jelas daripada baca entrinya. Saran saya, mungkin ronde depan bisa dicoba lebih elaborate lagi jelasin siapa dan apa dalem cerita, kayak Heimdall atau Kaspeer di entri ini, soalnya ga semua pembaca bisa narik kesimpulan sendiri (kayak saya #plak). Heck, malah karena antar ronde jedanya panjang biasanya orang mungkin udah rada lupa apa yang terjadi sebelumnya, jadi dijelasin dikit pake narasi gapapa lah
Hapus==Riilme's CQC Score==
Hapus>Character likability
Dua"nya seimbang, saya ga ngerasa favor ke salah satu secara khusus
>DRAW
>Quality value
Sekali lagi berimbang, sama" ada bagian plus-minusnya tapi ga bisa bikin saya nentuin yang satu lebih baik daripada yang lain
>DRAW
>Canon anticipation
Karena Pucung bawa" ASAM, kayaknya ini bakal menarik buat dieksplor karena manfaatin karakter yang hampir semuanya udah gugur
>Pucung
1-0, VOTE Pucung
Iya nih. I guess it wouldnt hurt to add some more details next time. Juga biar ngingetin ulang pembaca akan apa yang udah terjadi di sebelumnya. Thanks votenya! ;))
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus"Langkah roda pucung berhenti"
BalasHapusSyntax error, otak saya crash, gagal mencerna command begitu
XD
Njir, si 'Asu Kabeh' nongol di mari, wkwkwk
btw, O di sini mengingatkan saya sama O di Hakomari... Padahal kan cuma singkatan dari Oneiros.
._.
ASAM rencananya mau melakukan pemberontakan? Kenapa saya jadi terbayang Herotics? :O
Domba disembelih, apa ini salah satu efek dari Idul Adha?
Oneirosnya sopan ya.
._.
Kondisi Pucung ketika duel dengan Cathy udah kayak samsak (beneran)
._.
Btw, si Pucung ini begitu welas asih ya? Udah tinggal eksekusi Cathy, tapi masih aja mau ngajak dia melarikan diri dari si Oneiros. Jangan-jangan pocong satu ini merasa turn on karena dipanggil Oni-chan?
._.
Si Ruu juga nongol di sini, buseeet... ini jadi reuni.
._.
OC : Venessa Maria
Thanks votenya, san! Good luck no your wattpad project. Saya udah baca entri Maria juga.
HapusHmm... setelah baca entri, dan penjelasan mas Wildan. Akhirnya semuanya berhubungan. Dan saya bisa ngerti seluruh keseluruhan yang ada di plot Pucung ini.
BalasHapusTapi ya itu tadi sih yang jadi ganjelan buat saya. Kalau nggak dijelasin, kurang lebihnya saya perlu mikir keras banget buat ngerti plotnya.
Adapun pemanfaatan segala macam elemen ceritanya udah pas. Sama kayak lawan.
Aliansi Setan Alam Mimpi rasanya jadi hal yang bagus juga. Karakter yang udah gugur dapet kesempatan muncul lagi meski sebatas figuran apalagi cuma kameo.
Dan pacing plotnya agak lambat menurut saya, tapi udah ngepas kok.
Kayaknya segitu aja. Votenya baru diberikan setelah menggenapkan komentar.
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
Atas Pertimbangan:
Hapus-Worldbuilding yang kuat
-Perkembangan karakter yang lebih menarik dan siap diantisipasi
-Eksekusi plot yang apik
Enryuumaru dan Mbah Amut memutuskan untuk memberikan Vote untuk Pucung
Thanks! Berasa ga enak karena malah vote Ru ;)) kalian berdua sama-sama bagus sih kan jadi gua bingung nimbang-nimbang sehingga
HapusWhoa~ Baru sekarang reverier yg dah jadi patung dimention peserta yg masih survive.
BalasHapusDan sayang ane ngerasa banyak scene janggal.
- Scene battle awal saat pertama berteme Cathy gagal paham. Tau-tau Cathy dah dilumpuhin.
- Saat mengamankan diri dari kejaran domba di atas pohon bersama Cathy.
- Lalu scene battle kedua setelah Oneiros diusir, dialog normal sambil battle jadi ga sreg suasananya.
- Saat sumur meledak sampai mulut sumur rusak. Bukannya Catherine sedang berdiri di depan sumur? Harusnya dia terdorong efek ledakannya ya?
Err.. ga usah dijawab deh.
Dan, ane ga nyangka tokoh2 terdahulu juga dibawa-bawa ke entry ini.
Mungkin cuma itu komentar dari ane ._.
Salam dari penulis absurd auth Ru
Vangke. Ane lupa ninggalin komen voting ke entry pucung pas dah telat =="
HapusAduh. Hampura om pucung (/.\)
Ini baca sambil komen ya, kalau menarik aye masukin sini nih.
BalasHapusOhh, bagus, worldbuildingnya meningkat. Ada penyebutan lagi soal berbagai buana, belum lagi penyebutan pupuh.
Battlenya juga improve dari entri lalu. yang kemaren kan agak gimana gitu, serasa lost ditengah narasi pertempuran.
"Wanita itu diharapkan setidaknya akan punya masalah mengunyah makanan atau berbicara beberapa waktu ke depan." Lol-ed this!
Wakakak, Cathy langsung turun tangan bantuin gitu ya, saya rasa kok terlalu cepat.
Yes, that's it. 2x aliansi antara Pucung-Cathy. 2x berantem juga ._.
Flashback Cathy josss sudah, walau entah kenapa Cathy yang mengorbankan diri itu aneh aja.
Dewa Arak Kolong Langit melempar 'Bir Bintang' kepada Pucung!
Hapus+1 vote untuk Scarecrow Connoisseur!
Alasan: Sederhana saja. Walau janggal di beberapa scene, lampu panggung masih sempat menyorot masa lalu Cathy yang notabene entri lawan. Saya sangat menghargai itu, karena saya belum bisa melakukannya. Perkembangan dari entri lalu juga pesat. :p All in all, good luck, demit.
Anjay! Ngakak waktu sumur permintaan! Timingnya benar-benar kejutan karena sebelumnya Pucung-Cathy masih kerja sama. Battle mantap, saya baru tahu Pucung bisa pakai kemampuan dan wujud orang lain.
BalasHapusKemunculan ASAM mungkin bisa menjadi poin ke depan untuk Pucung, tapi saya kurang melihat ambisi pada sosok hantu Indonesia ini. Mungkin dia akan menemukan alasan untuk lebih "thriving" di entri pucung berikutnya.
Vote Vor Vucung!
Selain lebih rapi dari entri lawan, pucung sudah tampak rencana ke depan, sedangkan Cathy masih belum tampak. Akhirnya, saya lebih mengharapkan entri pucung ke depan.
Maafkan saya yang baru komen sekarang, sungguh...
BalasHapusEntri pucung yang ini cukup menarik, karakter yang sudah mati kumpul lagi dan bawa-bawa aliansi setan alam mimpi, bikin penasaran kelanjutannya gimana.
Adegan fightingnya menarik! Personally, menurut saya lebih menarik dari entri saya sendiri, huhuh...
walaupun begitu Cathy di bagian ending jadi berasa baik banget, ngorbanin diri buat nahan Oneiros, tapi saya tetep suka.
sekian dari saya, terima kasih
OC : Catherine Bloodsworth
Gapapa Wid!
HapusHaha iya nih maaf rationale dia ngorbanin diri itu masih belum sempat saya jelasin. Thanks udah nyempetin baca ;))
Something seems off saat baca entri ini.
BalasHapustapi baru ngeh setelah baca komen.
Nama-nama di Thor-asgardian kok muncul di sini wkwkwkwk
bifrost bar, sebagai perantara pengantar cerita.
Oneiros, domba dan miasma sebagai gabungan mimpi buruk dan cerita juga mantep.
tapi hubungan antara karakter ini bikin janggal.
kok yang udah mati jiwanya bisa dipanggil?
kok malah oneiros bisa lebih kuat tampaknya dibanding kehendak.
dan cathy.....mati mengorbankan diri.
ini kayaknya masalah kita sama, kesulitan naruh karakter utama jadi lawful evil. lawful dapet, evilnya hampir pudar. wkwkwkwk
vote:
HapusPUCUNG
-Wamenodo Huang