oleh : Rangga Rahman A.
--
Sejak hari itu pikiranku selalu dipenuhi pertanyaan.
Sejak kehidupanku diambil alih oleh takdir kejam.
Sejak mengambil kehidupan menjadi keseharianku.
Sejak Sang Kematian bersarang di dalam jiwaku.
Pertanyaan itu terus berputar dalam pikiranku.
Kehidupan.
Apakah itu semudah bernafas? Atau lebih dari itu?
Untuk apa manusia hidup? Apa hanya karena mereka
lahir?
Atau untuk sesuatu yang lebih dari itu?
Pertanyaan yang membuatku memutuskan pilihanku.
Pertanyaan yang menjadi alasan kehidupanku.
~~~
Di sebuah kota yang disebut oasis padang pasir,
Almeira. Sesosok lelaki berpakaian hitam terlihat berlari menembus kegelapan
malam. Rambut hitam terlihat menyembul dari tudung mantelnya dan mata birunya
bersinar di kegelapan malam. Dia berlari, berbelok ke arah gang kecil, lalu melompat
ke atap rumah-rumah menggunakan dinding di sekitarnya sebagai pijakan dengan
gesit dan dia melompat dari satu rumah
ke rumah lain.
Di belakangnya dapat terlihat beberapa pria
mengejarnya. Mereka semua membawa benda-benda berbahaya di tangan mereka
seperti pedang, pisau, gada, dan lainnya. Karena gerakan lelaki itu lincah
orang-orang yang mengejarnya mulai berkurang satu persatu karena kelelahan.
Lelaki itu terus berlari tanpa mempedulikan pengejarnya. Kemudian ia melompat
dari salah satu rumah dan turun ke sebuah gang. Setelah sampai di tanah dia
menengok ke belakangnya untuk memeriksa para pengejarnya.
“Fuhh... kelihatannya aku berhasil kabur dari mereka.”
Dia berjalan santai setelah menghela nafas dalam dan menelusuri
gang tempat dia mendarat perlahan. Setelah beberapa menit ia sampai di salah
satu ujung gang. Bukannya merasa senang, kali ini ia kembali merasa kesal dan
menghela nafas dalam melihat beberapa puluh orang menunggunya di luar gang.
Orang-orang itu berpakaian kumal seperti preman dan membawa senjata tajam. Dari
seluruh orang-orang itu terlihat seseorang yang berpenampilan mencolok. Lelaki
berambut pirang itu mengenakan baju mewah dan raut wajahnya terlihat sombong.
“Menyerahlah! Tidak mungkin kau bisa menang dari para
anak buahku!” ucap lelaki itu percaya diri.
“Maaf tapi aku tidak memiliki alasan untuk menyerah
padamu.”
“Cukup! Kau pikir kau bisa pergi begitu saja setelah
menghancurkan bisnisku?!”
Seketika semua perkataan lelaki di depannya masuk
akal. Dia mengingat apa yang dilakukannya sebelum dikejar para preman itu.
Ingatan saat ia menghancurkan tempat terkutuk itu mulai kembali. Rasa amarah
mulai muncul di dalam dirinya.
“Jadi, kau pemilik pelelangan budak itu?”
“Tentu saja! Kau pikir kau bisa seenaknya datang dan
membebaskan budak-budak yang dengan sulit kucari?!”
“Haah... seandainya kau hanya menjual budak kriminal
aku tidak akan protes. Tetapi aku melihat anak buahmu itu menculik beberapa
anak perempuan di kota.”
Nafsu membunuh yang cukup kuat untuk dirasakan manusia
normal terpancar dari tubuh lelaki berpakaian hitam itu. Para preman yang
merasakannya melangkah ke belakang secara perlahan. Entah dia cukup tangguh atau
tidak menyadarinya lelaki berambut pirang itu terus menerus mengoceh.
“Karena kau sudah merusak bisnisku kau harus mengganti
rugi! Kurasa kau bisa menjadi budak. Dengan tubuh seperti itu pasti banyak
orang menginginkanmu.” Ucapnya dengan senyum menjijikkan.
“Aku tidak punya alasan untuk mengganti rugi.
Lagipula, kalau tidak salah di kerajaan ini perburuan budak dilarang oleh
pemerintah kan? Meskipun aku kurang menyukai pemerintah.”
“Hahaha! Naif! Apa kau tidak tahu dengan uang semua
hal bisa diselesaikan? Kaupikir bagaimana usahaku bisa terus berjalan tanpa
hambatan hingga saat ini?”
Pada saat itu juga rasa jijik yang dirasakan pemuda
berpakaian hitam itu sejak awal semakin belipat ganda. Dia sebenarnya tahu jika
lelaki di depannya memuluskan hidupnya menggunakan kekuatan yang disebut uang.
Tetapi dia tidak mengira kalau lelaki itu sangat bergantung padanya.
“Baiklah, cukup basa-basinya. Kalau kau tidak mau
mengganti rugi maka sesali perbuatanmu... DI SURGA!”
Pada saat itu juga para preman dibelakang si pedagang
budak bergerak maju perlahan. Lelaki berpakaian hitam itu tiba-tiba berbisik
sesuatu.
“Nyx, apa kau bisa membantuku?”
Dari dalam jubahnya muncul sebuah bola hitam. Meskipun
disebut bola, terlihat sepasang telinga kucing menyembul di atasnya. Sepasang
tanda silang dan sebuah bekas jahitan seolah membentuk wajah di permukaan bola
itu. Tanda silang dan bekas jahitan di bola itu bergerak-gerak dan membentuk
ekspresi senang.
“Apa yang bisa kubantu Master!”
“Cukup lindungi aku dari orang-orang yang menyerangku
dari belakang. Aku ingin menyelesaikan ini secepatnya dan segera beristirahat.”
“Siap, Master! Roh Kegelapan, Nyx melapor untuk
bertugas!”
Mulai tidak sabar dengan tingkah Snow dan Nyx salah
satu preman yang membawa pisau merangsek maju dan mencoba menusuk Snow. Dengan
lihai Snow mencengkram tangan preman itu kemudian merebut pisau di tangannya
dan menendang dagunya sampai pingsan.
“Sejujurnya aku ingin menghindari konflik sebisa
mungkin. Tapi mengingat kalian sepertinya tetap ingin menyerang... sepertinya
aku tidak memiliki pilihan lain.”
Snow memasang kuda-kuda dan bersiap bertarung. Pisau
di tangan kanannya yang didapat dari preman sebelumnya sudah dalam posisi siap
dilempar. Saat ia mengamati pergerakan preman di sekitarnya tiba-tiba salah
satu preman yang membawa pedang berlari ke arahnya.
Dengan cepat Snow melempar pisau di tangannya dan
pisau itu tertanam di tangan preman itu. Melihat preman itu terkejut ia dengan
sigap merebut pedang milik preman itu dan menendang dagunya hingga pingsan.
Meskipun dua orang anak buahnya sudah tidak sadar sang pedagang budak tetap
terlihat percaya diri.
“Kau hanya beruntung bocah! Kalian semua, kepung dia!”
Dua orang preman kali ini menyerangnya dari sisi kiri
dan kanan. Di sebelah kii ada seorang pria berbadan kurus yang membawa dua buah
pisau dan di kanannya ada seorang pria bertubuh besar yang membawa gada kayu.
Snow menebas tangan preman yang di sisi kirinya dan merebut pisaunya sebelum
memukul belakang kepalanya dengan gagang pedangnya. Kemudian ia melempar
pisaunya ke pria di sebelah kanannya. Pria itu dengan mudah memukul pisau itu
dengan gadanya. Tetapi tanpa disadarinya Snow sudah mendekat dan menusuk pria
itu dengan pedang di tangan kanannya. Karena tubuhnya yang besar pria itu gagal
menghindar dan tertusuk di perutnya. Setelah itu Snow mencabut pedangnya dan
melemparnya ke preman berikutnya.
Satu persatu ia merubuhkan musuhnya tanpa membunuh
mereka. Dia merebut senjata, membuat mereka pingsan dengan pukulan atau
tendangan, kemudian menyerang musuh berikutnya. Sesekali ia menusuk musuh yang
terlihat cukup kuat atau menebas mereka. Beberapa orang yang mencoba
menyerangnya dari belakang terhempas karena sesutau. Semakin lama para preman
yang menyerangnya semakin berkurang. Ekspresi panik mulai muncul di wajah si
pedagang budak. Keringat dingin bercucuran membasahi wajahnya. Kemudian tanpa
dia sadari seluruh preman yang dia sewa sudah tumbang.
“Fuuh... jadi apa kau masih ingin melanjutkannya? Jika
kau menyerah sampai sini aku akan membiarkanmu hidup.”
Sang pedagang budak tidak menjawab. Dia hanya duduk
berlutut dan menundukkan kepalanya. Saat Snow kira dia akan menyerah tiba-tiba
sang pedagang budak tertawa terbahak-bahak.
“Ha....”
“Mm?”
“Hahahaha!”
“Apa kau menjadi gila karena bisnismu hancur? Tenang
saja, cukup lupakan apa yang pernah kaulakukan dan tempuhlah jalan baru...
sepertiku....”
“Mana mungkin?! Aku tidak mengira kalau aku harus
menggunakannya di sini, tapi kau tidak memberiku pilihan lain.”
Sang pedagang budak mengambil sebuah benda dari saku
celananya. Benda itu berbentuk seperti silinder besi dengan gagang dari kayu di
bawahnya dengan panjang keseluruhan 15 cm dengan sesuatu yang mencuat di gagang
kayu tempat sang pedagang budak memegangnya. Saat itu juga Snow merasakan
bahaya dan berguling ke samping.
Bunyi ledakan bergema di gang kumuh itu. Tempat dimana
dia tadi berdiri kini dihias sebuah lubang kecil. Snow yang menyadari benda apa
itu memasang ekspresi tidak senang.
“Hahaha! Kau lihat?! Dengan relik ini aku akan
membunuhmu! Lihat saja!”
“Haah... benar-benar hari yang sial. Sudah berapa kali
aku mengela nafas hari ini. Ditambah lagi aku harus melihat relik laknat itu
lagi. Aku sudah tidak ingat berapa orang yang menekan pelatuk itu saat
mengarahkannya padaku.”
“Apa kau sudah menyerah? Kalau begitu biarkan aku
membunuhmu secara perlahan!”
“Sebelum aku melepas semua kekesalan yang kutahan hari
ini. Biarkan aku bertanya satu hal padamu.”
“Baiklah! Setidaknya memberi tahu satu atau dua hal
pada orang yang sebentar lagi menjadi mayat tidak akan merugikanku.”
“Untuk apa kau hidup di dunia ini?”
Seketika keadaan menjadi hening. Hanya suara angin
malam yang terdengar di telinga mereka berdua. Kemudian sang pedagang budak
tersenyum lebar sampai-sampai nyaris mencapai telinganya.
“Aku hidup hanya untuk uang. Mencari uang,
menggunakannya, dan akhirnya mati setelah kehabisan uang. Aku juga tidak peduli
cara apa yang kugunakan untuk mendapat uang. Apa itu cukup jelas?”
“Hmm... baiklah.”
“Kalau begitu bersiaplah!”
Saat sang pedagang budak mengacungkan reliknya, Snow
hanya diam di tempat. Kemudian sang pedagang budak menekan pelatuknya
berkali-kali. Puluhan logam panas meluncur ke arah Snow bersamaan dengan sebuah
suara ledakan kecil. Tetapi semua logam yang meluncur ke arahnya dapat dengan
mudah dihindarinya.
Sang pedagang budak yang mulai frustasi menekan
pelatuknya lagi dan lagi. Seluruh peluru yang meluncur dari relik itu tidak ada
yang mengenai Snow. Sebagian besar meleset karena ditembakkan oleh seorang
amatir dan sebagian lagi dapat dengan mudah dihindari Snow.
“Bagaimana....”
“Hm? Apa kau mengucapkan sesuatu?”
“Bagaimana bisa kau menghindarinya!!!”
“Tentu saja aku tidak akan mengatakannya bodoh. Aku
bukan karakter antagonis dalam kisah-kisah fiksi yang mengumbar rahasia
tekniknya begitu saja.”
Sebenarnya teknik yang digunakan Snow disebut Slow
Motion Perception. Sebenarnya teknik ini adalah hal yang dilakukan tubuh pada
saat dalam bahaya dengan mempercepat kinerja otak. Snow yang mengontrol teknik
ini dapat melihat keadaan di sekitarnya terlihat berjalan sepuluh kali lebih
lambat. Yang dilakukan Snow sebenarnya hanya menggunakannya selama sepersekian
detik untuk melihat dan memprediksi arah jalur peluru musuhnya.
Sang pedagang budak terus menerus menekan pelatuk
reliknya dan menyerang Snow dengan timah panas. Setelah beberapa menit ia
melupakan sesuatu hal yang sangat penting. Meskipun dia menekan pelatuk
reliknya berkali-kali tidak ada peluru yang keluar.
“Ah? Tidak keluar? Kenapa kau tidak menembak lagi
relik sialan?!”
“Relik yang kaubawa itu disebut ‘handgun’ yang dibuat sekitar dua abad yang lalu. Salah satu
kelemahannya adalah batasan pada peluru yang dapat ditembakkan dan pelurunya
yang sudah tidak diketahui cara pembuatannya saat ini. Dengan kata lain kau
sudah kalah sejak aku dapat memprediksi lajur pelurumu.”
Pada saat itu sang pedagang budak hanya bisa gemetaran.
Dia sangat ingin kabur dari orang berbahaya ini. Tidak hanya mengetahui relik
apa yang dia gunakan, orang di depannya juga dapat memprediksi lajur peluru
yang dilontarkan senjatanya. Pada saat itu juga dia merasakan rasa takut yang
sebenarnya.
“Baiklah, berhubung jawabanmu dari pertanyaan yang
pertama sebenarnya sangat buruk, aku akan langsung ke intinya. Aku akan
membunuhmu.”
“Eh?”
Sebelum sang penjual budak sempat merespon apa-apa
sebuah pisau hitam kelam muncul di tangan Snow. Sang pedagang budak yang
melihatnya mencoba berlari ketakutan. Tetapi semua sia-sia. Dengan secepat
kilat Snow memenggal kepala sang pedagang budak. Sang pedagang budak pun mati
seketika di dalam genangan darahnya sendiri.
“Fuuhh... aku benar-benar tidak ingin melakukan ini.
Salahkan jawabanmu yang tidak membantuku sedikitpun dan ketidakberuntunganmu.”
Gerutu Snow.
Bersamaan dengan itu lelaki berpakaian hitam itu
menghilang bagai ditelan bayangan.
~~~
Malam ini benar-benar merepotkan. Seharusnya saat ini
aku sedang tertidur pulas di kasur yang empuk. Tetapi nyatanya aku malah
menghajar preman-preman ini. Aku terus berjalan sambil menggerutu.
Namaku Snow Winterfeld. Lelaki berumur 17 tahun
berambut hitam dan bermata biru. Mungkin kalian akan jarang bertemu manusia
berambut hitam sepertiku di dunia ini, Forlasea. Sebenarnya aku juga bukan
sepenuhnya manusia. Rambut hitamku ini adalah ciri yang hanya dimiliki
Shadowkin, ras yang menghilang 2000 tahun yang lalu.
“Master, kenapa kau mau repot-repot menghancurkan
tempat perbudakan itu? Bukannya kau sendiri mengatakan kalau kau tidak mau ikut
campur dengan orang lain?” tanya sebuah suara dari belakangku.
Ngomong-ngomong di belakangku tidak ada siapapun.
Satu-satunya benda yang ada hanya sebuah bola hitam dengan sepasang telinga
mencuat dan wajah seperti boneka setengah jadi. Bola hitam ini adalah Nyx, dia
adalah roh kegelapan yang kutemui saat sedang berkeliling dunia. Dia juga tidak
bisa berbicara tetapi ia melakukan telepati denganku.
“Kau tahu kan? aku memang tidak senang mencampuri
urusan orang lain. Tapi berhubung korban penculikan kali ini Kaya mau bagaimana
lagi.”
“Siapa Kaya?”
“Haah... asal kau tahu saja, dia adalah anak pemilik
penginapan tempat kita tinggal malam ini. Dan juga jika dia tidak meyakinkan
ayahnya untuk membiarkan tinggal gratis sementara dan memberikan kita makan,
mana mungkin aku bisa membiarkannya. Lalu pada dasarnya aku membenci
perbudakan.”
“Hmm... begitukah? Pada akhirnya kau menyelamatkannya
untuk mendapat makanan dan tempat tinggal gratis? Atau itu hanya sebagai alasan
untuk menghancurkan tempat perbudakan itu.”
“Tebak saja sendiri.”
“Hehe... Master memang orang yang baik walaupun tidak
mau mengakuinya.”
“Jangan ambil kesimpulan seenaknya.”
Aku berjalan perlahan sambil berbincang-bincang dengan
Nyx. Dia terus memaksaku untuk mengakui kalau aku sebenarnya orang baik.
Meskipun begitu aku hanya ingin membantu mereka entah karena apa. Mungkin
mereka sedang beruntung....
Atau mungkin pedagang budak brengsek itu yang sedang
sial.
Karena terlalu memikirkan hal yang tidak penting tanpa
kusadari aku sudah berada di depan pintu masuk penginapan tempatku tidur malam
ini. Di lantai bawah penginapan yang berfungsi sebagai bar pada malam hari
terdengar suara isak tangis beberapa orang. Nyx yang melihat wajah rumitku
segera menawariku bantuan.
“Kau perlu bantuan Master?”
“Haah... seperti biasanya. Antar aku ke kamar kita
menggunakan kekuatanmu.”
“Roger, Master!”
Aku berjalan memutar ke belakang penginapan. Dari sana
aku memicingkan mataku berusaha melihat ke dalam salah satu kamar yang gelap. Tiba-tiba
tubuhku terasa seperti tenggelam. Kakiku terbenam ke dalam tanah kemudian
perutku, leherku, hingga seluruh tubuhku.
Ini adalah salah satu kemampuan khusus Nyx, Shadow
Transfer. Dia menggunakan dimensi dalam bayangan sebagai media untuk berpindah
tempat. Meskipun begitu jarak maksimal yang bisa ditempuh hanya sejauh mataku
memandang dan harus di tempat dengan bayangan. Ngomong-ngomong aku juga bisa
menggunakan dimensi dalam bayangan. Walau hanya untuk menyimpan benda.
Tubuhku yang terbenam seluruhnya ke dalam tanah terasa
seperti dicengkram. Dimensi bayangan memang bukan tempat yang cocok untuk
mahluk hidup. Kemudian sebelum kusadari aku sudah berada di kamarku, di depan
kasurku.
Aku yang sudah tidak ingin berurusan dengan apapun
lagi segera merebahkan tubuhku di kasur. Mungkin karena sudah lama tidak
melakukan pertarungan pada malam hari kelopak mataku terasa sangat berat. Dan
juga beban mental saat menggunakan Slow Motion Perception hari ini masih
tersisa karena kugunakan lebih lama dari biasanya. Saat mencari Nyx aku
melihatnya tertidur pulas di samping bantalku. Aku mengelusnya beberapa kali.
“Haaah... benar-benar malam yang melelahkan.”
Perlahan aku menutup kelopak mataku. Sambil merasakan
empuknya kasur setelah sekian lama tidur di atas pasir kesadaranku mulai
menipis. Bersamaan dengan itu aku terbawa menuju alam mimpi.
Secara literal.
~~~
Di sebuah tempat yang tidak diketahui berdiri dua
sosok aneh. Sosok pertama adalah seorang pria berwajah mirip mafia. Dia sedang
berjongkok dan ekspresi bosan terpampang jelas di wajahnya. Sosok yang kedua
adalah seorang bocah yang mengenakan jas hujan kuning. Di atas lehernya tidak
ada kepala yang terlihat melainkan sebuah bantal bersarung ungu.
Awalnya sang bocah terlihat sedang menari sambil
mengayun-ayunkan tongkat. Kemudian sang mafia mengatakan sesuatu yang membuat
si bocah berhenti menari. Kemudian setelah beberapa kali saling berbicara si
kepala bantal menyodokkan tongkatnya dan dari ujungnya muncul kembang api
warna-warni. Kedua sosok itu memasuki portal warna-warni dan kemudian
menghilang.
~~~
Aku bermimpi.
Sudah lama sejak aku memimpikan hal ini.
Mimpi dari ingatan yang kulupakan.
Aku berlari di sebuah padang salju. Di sebelahku
seorang gadis sedikit lebih tua dariku ikut berlari bersamaku. Aku mengenalnya
karena dia adalah partnerku untuk misi ini. Kami berlari karena tempat
persembunyian kami ditemukan salah satu target kami.
Rambutku yang berwarna hitam sangat mencolok di tengah
padang salju sementara itu rambutnya yang berwarna putih membaur dengan padang
salju. Meskipun sangat lelah kami terus berlari karena tahu hanya kematian yang
menunggu di belakang kami.
Tiba-tiba sebuah ledakan terjadi. Kami berdua
terpental karena ledakan itu. Meskipun berat kupaksa tubuhku untuk bangun. Dari
balik ledakan itu muncul orang yang paling kubenci di dunia ini.
Rambut pirangnya berkibar tertiup angin. Mata merahnya
menatap kami seolah kami ini serangga. Di wajahnya terlihat ekspresi tidak
tertarik dengan keberadaan kami. Dia menarik sebilah pedang dari pinggangnya.
Pedang berwarna emas dengan corak biru dan hitam itu diacungkannya ke arah
kami.
Energi berwarna keemasan berkumpul di pedang itu.
Corak biru dan hitam di bilahnya bersinar sangat terang. Kemudian pedang itu
menembakkan ledakan energi yang sangat besar. Aku yang ketakutan hanya bisa
diam terpaku melihat cahaya berwarna hitam-biru itu menerjang ke arahku. Aku
menutup mata menunggu rasa sakit datang ke tubuhku.
Tetapi rasa sakit itu tak kunjung datang.
Sepasang sayap berwarna putih menghalangi ledakan
energi itu dan melindungiku. Meskipun begitu sayap itu terluka sangat parah.
Bulu-bulu yang rontok dari sayap itu beterbangan ditiup angin. Kemudian sang
pemilik sayap berdiri, tersenyum di hadapanku.
Dia adalah gadis yang berlari bersamaku.
Senyumannya memberi kesan dipaksakan. Meskipun
tersenyum dia terlihat sangat sedih. Aku hanya bisa duduk terdiam melihatnya.
Bibirnya bergerak-gerak seolah mengatakan sesuatu. Air mata membasahi pipinya.
Kemudian semuanya terjadi begitu cepat.
Matanya terbuka lebar menunjukkan keterkejutan.
Sebilah pedang berlumuran darah mencuat keluar dari dadanya. Salju di sekitar
kami ternodai merah darahnya. Saat itu juga aku merasa cairan hangat mengalir
dari kelopak mataku. Karena pedang yang menancap di tubuhnya dicabut tubuh
lunglainya jatuh ke hadapanku. Aku secara refleks memeluknya dengan erat.
Dia memberikan sesuatu kepadaku.
Aku menatap penuh kebencian ke arah pria yang
menusuknya. Tetapi dia sudah tidak ada di sana. Dia digantikan dua sosok
bayangan. Salah satu dari mereka memiliki bentuk wajah aneh sementara yang
satunya lagi bertubuh jangkung. Kemudian si jangkung mengatakan sesuatu.
“Reveriers....”
“Siapa... kau...”
“Mahakarya....”
“Kenapa kau lakukan ini!?”
“Alam Mimpi....”
“Jawab aku!!!”
Kemudian semuanya menghilang begitu saja.
~~~
“Master!!!”
“Woah!”
Aku terbangun dari tidurku karena suara teriakan yang
bergema dalam kepalaku. Kelihatannya Nyx mencoba untuk membangunkanku beberapa
kali. Sejujurnya aku ingin kembali tidur. Tetapi aku menyadari sesuatu yang
cukup aneh.
“Nyx, dimana kita?”
“Itu yang ingin kutanya padamu master! Kenapa kita
harus berada di padang pasir terkutuk semacam ini!!!”
Aku mengamati sekelilingku dan mendapatkan fakta
mengejutkan. Kami sekarang berada di tengah padang pasir dan matahari sedang
berada tepat di atas kepala kami. Aku tidak mengingat tertidur di atas pasir
panas ini maupun tertidur pada siang bolong. Nyx yang berada di sebelahku terus
melompat-lompat. Sebagai informasi tambahan Nyx benci sinar matahari.
“Hmm... baiklah, lebih baik kita mencari tempat untuk
berteduh.”
“Aku sudah mencobanya! Tapi entah mengapa setelah
pergi beberapa kilometer aku kembali lagi kemari.”
Mendengar itu aku merasakan firasat buruk. Tempat di mana
kita akan kembali setelah berjalan beberapa saat.
“ ... jangan bilang... tidak mungkin, rasanya
berbeda....”
“Ada apa Master? Kau terlihat kebingungan.”
“Ini mengingatkanku pada kejadian sebelum bertemu
denganmu.”
“Heeeeh... kejadian apa?”
“...”
Mendengar pertanyaannya aku mengingat kejadian
mengerikan itu. Bayangkan kau sedang berada di tengah gurun, kehausan karena
perbekalanmu habis dan sedang mencari kota terdekat. Kemudian entah mengapa
meskipun kau sudah mengikuti arah yang ditunjukkan seorang pedagang kau tidak
pernah sampai di kota itu. Kemudian tiba-tiba datang seorang wanita, memberimu
sebuah pedang dan menyuruhmu menyerangnya. Setelah dihajar habis-habisan dia
mengatakan hal-hal seperti ‘gaya bertarungmu kurang berseni!’ dan sebagainya, dan
mengangkatmu menjadi murid.
“Setelah itu mulailah hari-hari penuh latihan neraka.
Itulah ceritaku bertemu guru pertamaku.”
“Lalu apa hubungannya dengan kejadian kita saat ini?”
“Sebenarnya alasan kenapa aku tidak pernah sampai di
kota adalah sihir kombinasi antara ilusi dengan sihir barrier. Dan sebenarnya
kota tujuanku hanya tinggal beberapa ratus meter.”
“Begitukah? Aku ingin bertemu dengannya paling tidak
sekali...”
“Kusarankan jangan berharap. Dia tidak pernah tinggal
di satu tempat yang sama lebih dari 1 minggu kecuali untuk urusan penting.
Bahkan setelah berpisah dengannya aku belum pernah bertemu dengannya
sekalipun.”
Aku sedikit tersenyum saat mengingat hari-hari
berlatih bersamanya. Bagiku yang tidak memiliki sesuatu yang disebut keluarga,
bisa dibilang dia terasa seperti ibu. Tidak hanya dia, banyak orang yang
kutemui selama perjalananku kuanggap sebagai keluarga, seperti penyihir
eksentrik yang menggunakanku sebagai bahan percobaannya, paman pedagang yang
mengajariku berhitung, kakak pustakawan perpustakaan ibukota yang mengajariku
membaca, dan yang paling menyebalkan sang penulis misterius yang membuat buku
tentang setiap pengembara yang dia temui.
“Baiklah, sekarang mungkin lebih baik kita cari siapa
dalang dibalik semua ini.” ucapku sambil berdiri dan meregangkan tubuhku.
“Meskipun begitu aku merasa tempat ini sedikit
berbeda.”
“Apa maksudmu Nyx?”
“Ini hanya firasatku tapi kelihatannya ini sudah bukan
di dunia kita lagi.”
“... jelaskan padaku.”
“Tempat ini lebih terasa seperti dimensi tertutup. Dan
aku ragu ada manusia biasa yang cukup kuat untuk membangun dimensi tertutup.
Mendengar deskripsi tempat ini aku kembali mendapat
firasat tidak enak. Kalau bukan manusia, siapa yang bisa melakukannya? Dwarf
sudah di luar pertanyaan, Elf tidak terlalu menyukai konflik, Beastkin tidak
bisa menggunakan sihir dengan baik, kalau begitu pilihan terakhir hanyalah
Demonkin. Tapi Demonkin adalah salah satu ras yang mengetahui ciri khas
Shadowkin dan Angelkin, jadi mereka tidak akan berani mendekati keturunan kedua
ras legendaris itu, apalagi Demonkin berumur tua.
Kalau tidak salah terakhir kali aku bertemu Demonkin
dia langsung berlutut meminta ampun di hadapanku...
“Kalau begitu tersangka yang tersisa hanyalah Demonkin
muda yang berbakat atau...”
“Fenomena Distorsi Ruang yang sering dibicarakan itu
kan?”
“Jika itu jawabannya maka kita mungkin sudah berada di
dimensi yang terus menyusut dan hanya menunggu untuk lenyap.”
Sejujurnya aku ingin mencari pencipta fenomena ini
sebisa mungkin.
Rasa kesal dalam diriku ditambah terik matahari yang
tak kunjung terbenam membuat tekanan darahku naik. Dengan segera aku
mencelupkan tanganku ke dalam bayanganku mengambil sebuah tudung yang bisa
dilepas dan dipasang di mantelku. Dengan segera aku memasangnya dan menutupi
kepalaku. Seketika aku merasa rasionalitasku kembali bersama dengan menurunnya
suhu tubuhku di sekitar kepala.
“Haaah... terasa lebih baik...” ucapku lega.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan kami mencari
petunjuk untuk keluar dari tempat ini. Nyx yang iri denganku masuk ke balik
tudungku dan mendinginkan tubuhnya. Kami berjalan menuju arah yang berbeda dari
arah jalan Nyx sebelumnya.
Setelah berjalan beberapa menit kami menemui sesuatu
yang mengejutkan. Di tengah padang pasir tandus ini berdiri sebuah bangunan
setengah hancur. Meskipun begitu, bahkan anak kecil di tepi jalan mengetahui
bangunan apa ini.
“Teater Para Dewa. Juga biasa disebut Ruin of Light.
Beruntungnya kita bisa menemui tempat yang paling kaubenci Nyx.” Ucapku.
“Ugh!? Kenapa harus tempat terkutuk ini!!! pertama
dijemur di tengah padang pasir, kemudian berteduh dalam rumah para roh cahaya.
Siksaan macam apa ini?!”
Meskipun banyak menggerutu kami tidak ada pilihan
lain. Aku juga merasakan ada keganjilan di sini. Ruin of Light seingatnya
berada di Ibukota berhubung aku dan kak pustakawan sering membaca buku sambil
memandangi tempat itu.
Tempat ini berbentuk seperti arena pertarungan yang
cukup lebar dengan kursi penonton mengelilingi area utamanya. Sebelum memasuki
area utamanya ada puluhan batu kristal berwarna putih yang tertanam
mengelilingi tempat itu. Kami terus berjalan hingga mencapai area utama, yaitu
sebuah lapangan kosong.
Konon katanya, pada zaman dahulu ada seorang raja yang
menggunakan tempat ini untuk memilih persembahan pada dewa dengan mengadu
ratusan petarung hingga mati. Setelah tersisa satu petarung, dia dieksekusi di
depan umum atas nama dewa. Dewa yang marah membantai keluarga kerajaan dan
menghancurkan kerajaan itu. Jiwa para petarung yang mati diubah menjadi roh
yang abadi. Pada akhir cerita sebagian kecil roh-roh itu menetap di tempat ini.
“Entah mengapa aku merasa ada yang aneh.” Ucapku.
“Kau benar Master, biasanya para roh cahaya itu akan
datang dan menggangguku tapi....”
“Tempat ini terlalu sepi.”
Aku dan Nyx segera mempercepat langkah kami menuju
area utama Ruin of Light. Kami memasuki pintu masuknya kemudian menuju ruang
tunggu dan terakhir sampai di area utama. Tetapi aku melihat sesuatu yang
membuatku terkejut.
Di lapangan kosong itu berdiri seseorang yang sangat
kukenal. Saat melihatnya seketika seluruh tubuhku membeku.
Mata merah, rambut emas, kulit putih, dan tubuh tegap
meski dia sudah sepuluh tahun lebih tua dariku. Semuanya terlihat sangat
familiar.
Aku merasa luapan emosi yang kupendam selama ini naik
ke permukaan. Benci, marah, keinginan membunuh, dendam, dan semua emosi negatif
bercampur aduk menjadi satu. Perlahan dengan lirih kuucapkan namanya.
“Leon....”
“Snow.”
Saat mendengarku dia berbalik memanggilku. Tatapannya
benar-benar membuat emosiku lepas kendali. Pedang emas yang tergantung di
pinggangnya mengingatkanku akan kejadian di hari itu. Baju baja keemasannya
memantulkan cahaya yang berkumpul di tempat ini dan membuatku sedikit kesulitan
melihat wajahnya. Meskipun begitu aku dapat melihat sebagian wajahnya. Aku
terus menatap dengan penuh kebencian ke arahnya.
Kemudian senyuman terukir di wajahnya. Senyuman yang
membuatku marah sekaligus takut dalam waktu yang bersamaan. Senyuman tanpa
perasaan selain rasa haus darah.
“Jadi, kau ingin menyamakan skor?” tanyanya santai.
“Tentu saja. Jangan harap aku akan memaafkanmu. Tapi
sebelum itu jawab pertanyaanku.”
“Baiklah.”
Aku menarik nafasku dalam-dalam mencoba menenangkan
hatiku.
“Kenapa kau membunuhnya? Apa tujuanmu yang
sebenarnya?”
“Pfft... aku tidak mengira kau akan menanyakan hal
itu.”
“Jawab saja pertanyaanku.”
Dia terdiam sebentar. Dan dengan cepat menjawab
pertanyaanku.
“Untuk mencari kesenangan.”
“Jelaskan.”
“Baiklah. Hidupku sejak awal selalu terpenuhi. Jika
aku menginginkan sesuatu orangtuaku akan memenuhinya sepenuh hati. Tetapi
karena itu aku merasa bosan dengan hidupku di dunia ini. Aku juga mencoba
berguru ke beberapa guru besar ksatria atau penyihir kerajaan tetapi mereka
juga tidak bisa menghilangkan rasa bosanku. Karena itu saat aku melihat kalian
berdua aku berpikir untuk membuat sesuatu yang menyenangkan... dan beruntungnya
aku menemukan dua orang pembunuh bayaran yang mengincar nyawaku sedang beristirahat
di tengah padang salju. Jadi kupikir aku harus melakukan sesuatu agar hidupku
lebih menyenangkan dan jadilah kau.”
“Jadi kau membunuhnya hanya untuk alasan macam itu?!”
bentakku.
“Yah, begitulah. Aku akan menantikan pertunjukan hebat
darimu.”
Dia mencabut pedangnya dari sarung pedang di
pinggangnya. Kemudian ia menusukkan pedangnya ke dalam tanah. Melihatnya
melakukan ini aku menyadari gerakan apa itu dan mencabut pisau dan belatiku
dari sarungnya dan menusukkan mereka ke tanah.
“Aku, Leon Rheinhart menyatakan tantangan duel pada
Snow Winterfeld hingga mati.”
“Aku, Snow Winterfeld menerima tantangan duel Leon
Cromwell hingga mati.”
“Mari selesaikan ini semua, Bloody Winter.” Ucapnya
sambil menyeringai.
“Sejujurnya aku ingin buang jauh-jauh gelar itu.
Terutama kau adalah penyebab utama adanya gelar itu.” Jawabku geram.
Mengingat hari-hari saat aku melampiaskan kemarahanku
pada korban-korbanku membuat amarahku semakin meluap. Aku memantapkan hatiku
untuk menghabisi nyawanya. Manusia yang membunuh orang hanya untuk kesenangan
tidak punya hak untuk hidup di dunia ini.
Beberapa detik setelah pernyataan duel dinyatakan aku
mengambil sepasang kristal es berbentuk pisau lempar dari belakang punggungku
dan melemparnya. Sejak awal aku tidak peduli dengan peraturan duel atau apapun
selama aku bisa membunuh pria ini.
Dia dengan mudah menangkis kristal-kristal es yang
kulemparkan dengan pedangnya. Tetapi aku terus menerus membuat dan melemparkan
kristal-kristal es. Kemudian entah mengapa aku merasa kristal yang kubuat tidak
sekuat sebelumnya. Merasakan tidak ada keuntungan menggunakannya lagi, aku
menggunakan Shadow Storage dan mengambil beberapa pisau yang dimiliki preman
yang kukalahkan semalam. Itu adalah hasil dari kebiasaanku untuk mengambil seluruh
senjata orang-orang yang kukalahkan.
Satu persatu kuambil pisau-pisau itu dan
melemparkannya meskipun aku sudah tahu dia akan dengan mudah menangkisnya.
Disaat dia sibuk menangkis pisau-pisau berkarat itu aku mengambil kedua
senjataku yang tertanam di tanah dan berlari ke arahnya. Aku melancarkan
tebasan diagonal dengan belati putihku yang berhasil ditangkisnya. Kemudian aku
menebasnya sekali lagi dengan pisau hitamku. Dia melompat ke belakang
menghindari tebasanku.
“Hou... cukup pintar. Sejujurnya aku tidak mengira kau
akan menggunakan trik murahan semacam itu.”
“Aku tidak peduli trik apa yang kugunakan selama trik
itu bisa membunuhmu.”
Tanpa basa-basi dia berlari ke arahku dengan sangat
cepat. Sebelum aku bisa menyiapkan diri ia menebasku dengan pedangnya. Aku
dapat menghindari tebasan itu meskipun mantel dan bahu kananku menjadi
korbannya. Mungkin luka di bahuku tidak terlalu dalam, tetapi tetap saja luka
itu memperlambat gerakanku.
Aku kembali menggunakan Shadow Storage dan
mengeluarkan sebuah tombak sepanjang 2 meter. Aku merasakan perasaan yang aneh
seperti sebelumnya dan tombak yang ingin kukeluarkan terasa lebih berat.
Meskipun begitu dengan lancar aku mencabut tombak itu dan melemparnya. Leon
yang lengah terkena tusukan dangkal di perutnya. Kelihatannya traumaku kembali
untuk menghantuiku. Meskipun begitu dia dengan mudah mencabut tombak itu dan
menyerbu ke arahku.
Aku menyerbunya dengan serangkaian tusukan dan
tebasan. Meskipun bahu kananku terluka aku yakin luka di perutnya lebih parah.
Bunyi benturan antara pisauku dan pedangnya bergema di tempat ini. Tebasan
pedangnya berhasil kutepis, tusukanku berhasil dihindarinya, dia menusuk dan
menggores pipiku, tebasan pisauku mengenai celah baju bajanya.
Setelah saling melancarkan serangan dia melompat
mundur menjaga jarak. Beberapa bagian tubuhnya yang tidak terlindungi baju baja
terkena luka goresan. Kondisiku lebih buruk darinya. Beberapa bagian mantelku
sobek karena tebasannya dan luka yang cukup dalam dapat terlihat dari sobekan
di mantelku.
“Kelihatannya aku perlu sedikit serius.” Ucapnya.
Dia memposisikan pedangnya di depan tubuhnya. Aku
mendapat firasat buruk tentang kuda-kudanya. Aku merasa pernah melihat
kuda-kuda itu. Sialnya firasatku benar.
Pedang di tangannya mulai bersinar sangat terang.
Secara refleks aku menghindar ke arah samping kananku meskipun tidak ada
apapun. Tiba-tiba sebuah gelombang energi berbentuk tebasan membelah tanah
tempatku berdiri sebelumnya. Keringatku mengucur deras melihat celah yang cukup
dalam tertinggal di tempatku berdiri sebelumnya.
“Sepertinya instingmu cukup kuat untuk menghindari
serangan itu.”
“Sejujurnya aku sudah menduga kau akan menggunakan
teknik favoritmu itu.”
Manablade. Teknik yang baru saja Leon lakukan. Teknik
ini menginjeksikan mana dalam jumlah besar pada pedang dari bahan tertentu dan
melepaskannya dalam bentuk tebasan atau tusukan. Teknik ini adalah teknik yang
gagal kukuasai saat bersama guruku.
“Kalau begitu coba hindari ini!”
“Ugh!?”
Dia kembali menebaskan pedangnya. Aku yang sedikit
terlambat menghindarinya terhempas beberapa meter. Aku mendarat dan berguling
sebelum berhenti mencengkram tanah. Tanpa menungguku bersiap-siap Leon kembali
melancarkan Manablade dalam bentuk tusukan. Aku menghindari mereka dengan susah
payah. Sesekali aku membalasnya dengan melempar kristal es. Meskipun begitu
kristal es yang kulempar menghilang begitu saja saat mengenai Manabladenya
hingga akhirnya karena sesuatu yang tidak kuketahui aku tidak bisa menggunakan
sihir esku.
“Apa hanya sampai sini saja?”
“Diamlah pirang sialan.”
Aku melihat ke sekitarku untuk mencari tempat
bersembunyi. Bertarung dengannya di tanah lapang sama saja dengan bunuh diri.
Saat aku melihat ke sudut Ruin aku menyadari sesuatu.
“Nyx, apa kau
mendengarku?” ucapku secara telepati pada Nyx.
“Kenapa
Master? Kalau kau memintaku menghadangnya aku minta maaf tapi mana elemen
cahaya miliknya terlalu menyakitkan.”
“Tidak perlu,
apa kau masih bisa menggunakan Shadow Transsfer?”
“Hanya tiga kali.”
“Baiklah, saat
kuberi aba-aba pindahkan aku ke bangku penonton.”
“Baik,
Master.”
Aku memicingkan mataku berusaha melihat ke arah bangku
penonton. Meskipun bangku penonton di tempat ini hanya berbentuk seperti anak
tangga ada sebuah pagar pembatas antara bangku penonton paling depan dan arena.
Saat itu juga tubuhku terasa tenggelam ke dalam tanah dan kembali keluar di
belakang bangku penonton.
“!!?”
Kelihatannya gerakan barusan berhasil mengejutkannya.
Aku buru-buru menyembunyikan hawa keberadaanku dan bersembunyi dibalik pagar
pembatas. Jika dia mengetahui posisiku mungkin aku harus bermain kejar-kejaran
dengan tebasan energi lagi.
“... jadi, apa kau ingin bermain petak umpet sekarang?
Bloody Winter.”
Ingin sekali rasanya aku melemparkan beberapa kristal
es ataupun pisau yang masih tersisa di bayanganku. Tetapi entah mengapa aku
tidak bisa menggunakannya. Mungkin lebih tepatnya aku merasa lupa.
Aku menstabilkan nafasku. Rencana ini adalah
satu-satunya cara bagiku untuk kembali hidup-hidup sekaligus membalaskan
dendamku. Tetapi jika rencana ini gagal aku harus mengatakan selamat tinggal
pada kehidupan.
Matahari sudah mulai terbenam di ufuk barat. Bayangan
dinding Ruin of Light mulai semakin membesar. Leon melakukan kesalahan fatal
dengan berdiri membelakangi dinding bagian barat dan dengan percaya diri
berdiri menghadap ke timur.
Semua sudah siap di tempatnya.
“Nyx,
sekarang!”
“Roger!”
Tubuhku kembali ditelan bayanganku sendiri. Kemudian
tanpa kusadari aku sudah berada di belakang Leon. Dia membalikkan badannya dan
menatapku terkejut. Namun semuanya sudah selesai.
Dengan cepat aku menusukkan pisau hitam di tanganku ke
dadanya. Darah menyembur dari lukanya, mengotori wajahku. Matanya terbelalak
dan menatapku dengan penuh kebencian.
“Guh... kelihatannya... aku lengah....”
“Selamat tinggal, pirang brengsek.”
“Kutunggu... kau di... neraka....”
Pada saat itu nafasnya terhenti.
Aku menjatuhkan tubuhku ke samping kanan tanpa peduli
genangan darah di bawahku. Entah mengapa tubuhku terasa sangat lelah setelah
membalas dendamku. Aku tidak merasakan penyesalan sedikitpun setelah membunuh
pria ini. Paling tidak aku tidak perlu menggunakan teknik itu.
Tepat saat itu aku menyadari satu hal. Sebuah petunjuk
untuk memenuhi tujuanku.
Kehidupan adalah hal yang rapuh. Satu tusukan di
jantung dan semuanya selesai. Entah mengapa aku merasa sedikit frustasi
mengetahui kalau semuanya selesai hanya dengan ini.
Mungkinkah setiap orang hidup untuk menikmati
kehidupan yang rapuh ini?
Saat aku sibuk memikirkan hal itu muncul portal
berwarna-warni sedikit jauh dariku. Dua sosok muncul dari dalam portal itu,
seorang gadis yang mengenakan pakaian perang dan anak kecil berkepala... bantal
mungkin?
Aku bersusah payah mendudukkan tubuhku.
“Halo kakak, tadi itu pertarungan yang menarik.” Ucap
si kepala bantal.
“Kau menggunakan trik yang cukup cerdik untuk
mengalahkan orang yang lebih kuat darimu. Menarik.” Ucap gadis di sebelahnya.
“Terima kasih... dari cara kalian bicara sepertinya
kalian yang membuat distorsi ruang ini kan?”
“Distrosi... apa? Makanan macam apa itu?”
“Sebenarnya tebakan anda betul sekaligus salah.”
“Jadi... bisa ceritakan apa yang sebenarnya terjadi?
Biasanya aku tidak mencampuri urusan orang lain tapi berhubung kali ini aku
terlibat di dalamnya aku ingin tahu.”
“Baiklah~ tapi sebelumnya, ini hadiah untuk kakak
karena berhasil menyelesaikan tugas!”
Si kepala bantal memberikan sesuatu yang berbentuk
seperti gumpalan kapas kepadaku. Saat aku menyentuhnya tiba-tiba terdengar
suara aneh.
“Mbeeek...”
“Eh? Domba?”
“Baiklah kak, ikuti kami! Jangan lupa bawa dombanya
ya.”
Aku menghela nafas dan mengikuti mereka berdua. Hari
ini terlalu banyak hal yang terjadi sampai-sampai aku tidak tahu harus bicara
apa. Kurasa perjalanan ini masih panjang. Semoga tidak ada hal aneh terjadi
untuk sementara waktu.
END?
cerita yang bagus walaupun ada sedikit typo. pembawaan karakter OCnya mudah dipahami. semoga lolos ke babak selanjutnya.
BalasHapusnilai dari saya 8
Dwi Hendra
OC : Nano Reinfield
Terima kasih untuk komentarnya kak, awalnya sebelum dikirim sudah saya baca ulang dan rasanya sudah bear tapi setelah dipost saya baca ulang ternyata masih banyak yang salah. jadi sadar kalo agak ceroboh.
Hapussekali lagi terima kasih komentarnya, semoga kakak juga bisa lolos ke babak selanjutnya
Rangga Rahman A
Haloo Rang xD
BalasHapusAku sebagai temanmu di dunia nyata ngerasa agak canggung ngeliat ceritamu yang bagus dan dipaket dengan menarik.
Untuk jalan ceritanya sih aku suka. Gimana kamu mendeskripsikan karakter ataupun kemampuan secara mendetail dan mudah dipahami
Untuk tata bahasa ataupun EYD-nya sih kurang ngerti soalnya aku sendiri masih bingung tentang EYD. Tapi keliatannya udah benar dan tepat
Yang terakhir, kamu ngebuat narasinya terlalu panjang dan agak membosankan dengan kata yang diulang-ulang terus.
Itu aja kayaknya sih. Bareng-bareng ke babak selanjutanya ok?
Saya nilai 8/10
Raditya Chema
OC : Zauber Magi
Rasanya aneh, cerita ini dimulai dengan pov3 tapi di tengah" tau" ganti jadi pov1 snow. Yah, ga masalah sih, cuma kurang smooth aja. Abaikan
BalasHapusBattle di entri ini termasuk tipe yang mudah dicerna. Saya juga lumayan suka gimana Snow perlahan" kehilangan kemampuan es dan susah ngambil barang dari bayangan, dan ditutup dengan stay true ke kemampuan dasarnya : assassination
Nilai 8
...Jadi Leon ini influencenya Gilgamesh? /plak
BalasHapusKarakterisasinya udah pas, membuat pembaca seperti saya langsung kenal karakter Snow.
Typo itu tidak bisa dihindari(?), mungkin juga Karena deadline.
Pertarungannya sendiri juga udah keren menurut saya.
8/10
OC : Takase Kojou
terima kasih komentarnya
HapusEmang udah ketebak ya Leon terinspirasi dari Gilgamesh... memang lagi marathon Fate UBW waktu cari inspirasi sih :v
Hmm, entri ringan dan mudah dimengerti.
BalasHapusGak bisa banyak komentar karena entri ringan dan mudah dimengerti tak perlu banyak yang dikomentari. Paling hanya bisa berkata bahwa rasanya perpindahan/transisi adegan-ke-adegan kurang halus aja.
Overall entri ini sudah menyampaikan dengan baik.
Saya titip 8.
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
Leon Rheinhart atau Leon Cromwell? Itu tokoh yang sama, tahu! Kan cuma ada Snow, Nyx dan Leon saja.
BalasHapusAbaikan pertarungan batin diatas.
Ceritanya menarik jadi penasaran sama gadis malaikat yang bersama snow, tapi sayangnya dia sudah mati.
Keseluruhan cerita dapat dibawakan secara halus dan enak dibaca, kecuali paragraf yang panjang. Mungkin ini pendapat pribadi saya, saya enggak biasa baca paragraf panjang soalnya.
8 dariku
-=AI=-
Ahahaha... sebenernya Leon itu karakter yang dibuat detik-detik terakhir. Awalnya rencananya saya mau buat Snow lawan pasukan Golem sama boss-nya Naga tapi dapat ilham untuk dibuat duel satu-lawan-satu dengan sumber traumanya. Ditambah lagi Leon itu namanya saya ambil acak dan nama belakangnya awalnya cuman buat menambah kesan bangsawan.
Hapusada beberapa bagian narasi yg agak janggal buat dibayangkan. ane ambil satu aja.
BalasHapusTiba-tiba sebuah ledakan terjadi. Kami berdua terpental karena ledakan itu. Meskipun berat kupaksa tubuhku untuk bangun. Dari balik ledakan itu muncul orang yang paling kubenci di dunia ini.
Kondisi MC masih "terbang" dan belum jatuh atau menabrak sesuatu, mosok bisa bangun di udara?
tp secara keseluruhan entri ini ringan dan gampang diikuti. apalagi ada penampakan malaikat.
7
AXel
Ringan seringan kapas
BalasHapusnikmat senikmat permen kapas
Nilai sembilan? pantas. --Kaminari Quotes.
#Abaikan
Enjoy bacanya. Ada typo dan bagian narasi yang bikin "Out of Breath" alias gak ada jedanya. Jadinya kayak Running Text di TV, tapi kelewat cepat. Menges bacanya, kalo kata orang jawa.
Nyaris aja 7, tapi karena karakteristik Nyx mengingatkan saya akan Replica (autonomous Trion Warrior di World Trigger), melejit 9
OC: Kaminari Hazuki
Kenapa? karena Nyx juga sebagai mediator kekuatan Snow itu sendiri. Truly partner ini
HapusKalo enggak, si Snow bisa mindbreak nampung semua kekuatannya.
Gaya narasinya tell, kurang mudah dicerna kalimatnya, dan ... kurang ada perasaan karakternya. Antagonisnya belum solid sebagai karakter. Istilahnya karakter statis/tidak bulat. Coba ditunjukin lebih dari satu sisi kepribadian. Tapi Snow-nya cukup jelas.
BalasHapusAdegan awal lawan bos plus centeng-centengnya itu buat apa? Apa saya melewatkan sesuatu? ._.
Perpindahan sudut pandangnya saya rasa kurang perlu, ya. Walau nggak ganggu banget karena penceritaannya masih oke.
Ada:
"Aku, Leon Rheinhart menyatakan tantangan duel pada Snow Winterfeld hingga mati.”
“Aku, Snow Winterfeld menerima tantangan duel Leon Cromwell hingga mati.”
:))))
Titip 7
-Sheraga Asher
Entah kenapa, ketika melihat seberapa kuatnya Leon di awal-awal, kok kerasa terlalu gampang buat dibunuh hanya dengan seperti itu ya?
BalasHapusBattle-nya di awal juga nggak menjelaskan apapun selain pertarungan. Nggak ngaruh ke plot.
Selain itu, udah bagus.
7
Gold Marlboro