oleh : Lyre Reinn
Dream, Past, Present, and (Frozen) Future (?)
Altair's Dream & Past : [Memory, when Eve was created]
.
.
.
*Z City, April 6th, 2028
"Selesai."
Altair memandangi sebuah—tidak, seorang gadis Humanoid—yang ada di depannya sambil melepas sarung tangan karetnya.
"He…hei… Dia mirip sekali denganmu." ujar Shiro yang sedari tadi berada di sebelah gadis itu sambil memperhatikan Humanoid di depannya.
"Kecuali…"
Iris merah darahnya melirik sekilas ke arah dada Altair dan si Humanoid secara bergantian.
"Kecuali?"
"A..ah.. T..tidak ada apa-apa!" seru pemuda itu panik sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain, menyembunyikan wajahnya yang memerah.
"Selesai."
Altair memandangi sebuah—tidak, seorang gadis Humanoid—yang ada di depannya sambil melepas sarung tangan karetnya.
"He…hei… Dia mirip sekali denganmu." ujar Shiro yang sedari tadi berada di sebelah gadis itu sambil memperhatikan Humanoid di depannya.
"Kecuali…"
Iris merah darahnya melirik sekilas ke arah dada Altair dan si Humanoid secara bergantian.
"Kecuali?"
"A..ah.. T..tidak ada apa-apa!" seru pemuda itu panik sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain, menyembunyikan wajahnya yang memerah.
'Bisa gawat kan kalau aku ketahuan sedang membandingkan 'ukuran'nya' batinnya dalam hati.
Si gadis memandangi Shiro dengan tatapan bingung. Ia mendengar pikiran Shiro barusan, namun tidak mendebatnya lebih jauh. Toh yang dibandingkan tidak sesuai. Untuk apa membandingkan 'besi dengan daging'?
"Shiro…"
"I…iya?"
"Kurasa… Aku harus rajin minum susu…"
"E..e…."
"EEEHHH???"
"Shiro…"
"I…iya?"
"Kurasa… Aku harus rajin minum susu…"
"E..e…."
"EEEHHH???"
.
.
"Kita tidak punya waktu untuk ini, Huban. Kita harus menandai para Reverier yang lainnya!" kata seseorang yang berpakaian seperti mafia dan memakai kacamata semi gelap.
"Santai sedikit Paman Nurma~." Huban berputar-putar dengan antusias. "Lihat, deh! Ada gadis robot yang waktu itu, dan bocah naga juga~." lanjutnya riang sambil menunjuk Altair dan Shiro dengan payungnya.
"Apa aku boleh tandai mereka juga?"
Zainurma memfokuskan pandangan kepada pasangan sejoli di depannya. "Kau yakin mereka adalah orang yang pernah kau undang bertarung waktu itu?"
"Tentu saja!" jawab gadis berkepala bantal itu. "Hm… Mereka udah banyak berubah ya. Udah 3 tahun sih..."
Memang penampilan mereka sudah berubah. Rambut Altair dan Shiro menjadi semakin panjang. Namun berbeda dengan Shiro yang mengikat rambutnya dengan rapi, Altair justru membiarkan rambutnya terurai.
"Apa aku boleh tandai mereka juga?"
Zainurma memfokuskan pandangan kepada pasangan sejoli di depannya. "Kau yakin mereka adalah orang yang pernah kau undang bertarung waktu itu?"
"Tentu saja!" jawab gadis berkepala bantal itu. "Hm… Mereka udah banyak berubah ya. Udah 3 tahun sih..."
Memang penampilan mereka sudah berubah. Rambut Altair dan Shiro menjadi semakin panjang. Namun berbeda dengan Shiro yang mengikat rambutnya dengan rapi, Altair justru membiarkan rambutnya terurai.
Mencermati kata-kata Huban, Zainurma menepuk dahinya.
"Kita telah menjelajah sejauh ini rupanya." gumamnya. "Baiklah Huban, cepat tandai mereka lalu kembali!"
Dengan semangat Huban mengarahkan tongkatnya, dan seberkas cahaya langsung melesat ke arah Altair dan Shiro. Namun entah apa yang menghalangi mereka, cahaya tersebut terpental dan mengenai gadis Humanoid di sebelahnya.
"………Ups…."
"Kau sudah selesai?" tanya Zainurma tidak sabar. "Ada apa Huban?" tanyanya setelah melihat ekspresi Huban berubah. Walaupun kepala gadis itu berbentuk bantal tapi Zainurma bisa melihat ekspresi Huban menjadi sedikit panik.
"Uhhh… Sepertinya aku salah…."
"Hah? Maksudmu?"
Huban menunjuk tongkatnya, "Tongkatku meleset, dan akhirnya yang ditandai malah… Robot berwajah biru itu…"
Zainurma hanya bisa menutup wajahnya dengan sebelah tangan saking frustasinya.
"Astaga…"
Huban pun hanya bisa tertawa canggung.
"Tee Hee~…"
"Kita telah menjelajah sejauh ini rupanya." gumamnya. "Baiklah Huban, cepat tandai mereka lalu kembali!"
Dengan semangat Huban mengarahkan tongkatnya, dan seberkas cahaya langsung melesat ke arah Altair dan Shiro. Namun entah apa yang menghalangi mereka, cahaya tersebut terpental dan mengenai gadis Humanoid di sebelahnya.
"………Ups…."
"Kau sudah selesai?" tanya Zainurma tidak sabar. "Ada apa Huban?" tanyanya setelah melihat ekspresi Huban berubah. Walaupun kepala gadis itu berbentuk bantal tapi Zainurma bisa melihat ekspresi Huban menjadi sedikit panik.
"Uhhh… Sepertinya aku salah…."
"Hah? Maksudmu?"
Huban menunjuk tongkatnya, "Tongkatku meleset, dan akhirnya yang ditandai malah… Robot berwajah biru itu…"
Zainurma hanya bisa menutup wajahnya dengan sebelah tangan saking frustasinya.
"Astaga…"
Huban pun hanya bisa tertawa canggung.
"Tee Hee~…"
.
.
.
Lagi-lagi Altair tidak tidur. Kalau dihitung mungkin sudah seminggu dia seperti ini, duduk di depan komputer dan mengetikkan berbagai perintah dan settingan software untuk Humanoid itu. Sesekali ia menyeruput kopi hitam yang disiapkan oleh Chunhua, gadis berkebangsaan Xian yang tinggal bersamanya sejak setahun lalu. Segera setelah menghidangkan kopi khusus untuk Altair, gadis berambut hijau pastel dan bercepol dua itu kembali dengan aktivitas favoritnya, jaga malam.
"Altair-chan? Belum tidur?"
Altair menoleh ke asal suara dan mendapati seorang gadis berambut pirang menatapnya dengan wajah mengantuk.
Arisa Minaho, gadis yang di amanatkan Kurogami kepada Shiro untuk dijaga.
Setelah menatap gadis itu sejenak, Altair kembali memfokuskan diri pada komputer di depannya.
"Sebentar lagi." jawabnya. "Tinggal melakukan install beberapa program dan selesai."
Arisa mendesah kesal. "Jangan terlalu memaksakan diri. Nanti kalau Shiro marah padaku bagaimana?" tanyanya sambil bergurau. Namun Altair tidak menganggap itu sebagai candaan.
"Dia tidak akan marah." jawab Altair dingin. "Dan aku ingin menyelesaikannya malam ini."
"Tapi—"
"Besok pengujian terakhir." potong Altair. "Aku yakin kamu lebih tau kondisi dunia luar sekarang kan."
Kata-kata Altair biasanya emang tajam, namun kalimat yang ini seperti menampar Arisa dengan telaknya dan membuatnya membeku sejenak. Shiro memang sering bercerita padanya tentang keadaan kota saat ini. Monster lebih banyak muncul dari portal-portal random yang muncul secara tiba-tiba.
Itulah sebabnya terkadang Shiro datang ke lab dalam keadaan berantakan.
"Kau benar." gumamnya. "Kalau begitu aku akan membantu!" lanjutnya dengan semangat yang entah darimana datangnya.
Setelah mencuci muka dan memakai jas nya, sambil memeriksa humanoid tersebut dan memeriksa setiap detil, ia mencatat dengan cermat. Saat ia melihat garis-garis aneh berisi cairan kebiruan di seluruh tubuh humanoid itu, ia menoleh ke arah Altair yang masih sibuk mengetik.
"Altair-chan?"
"Hm?"
"Kamu…."
Altair mengalihkan pandangan ke arah Arisa dengan tatapan polos.
"Um… Tidak jadi deh, hehe…" ujarnya sambil kembali melanjutkan pekerjaannya.
Mereka pun terus bekerja hingga akhirnya mentari terbit di ufuk timur. Altair yang juga selesai dengan pekerjaannya merenggangkan tubuhnya. Lalu ia berjalan ke arah Arisa yang juga selesai mengecek fisik dan status komponen.
"Ah, Altair-chan! Sudah selesai?" tanya Arisa. Altair mengangguk.
"Pengujian terakhir. Hidupkan AH0704 V.1." jawab Altair datar. Arisa mengangguk dan menarik tuas besar yang terletak di luar tabung.
Suara mesin berderak kasar, namun terdengar lembut di telinga Altair. Ia menatap tabung itu dengan tidak sabar, seperti anak kecil yang menunggu mainan dari orang tuanya. Arisa mendekati Altair sambil tersenyum geli.
"Hehe, tidak sabar menunggu AH0704 V.1 hidup ya?" tanyanya. Altair mengangguk pelan.
Perlahan cahaya kebiruan memenuhi lantai tabung, membiaskan cahaya pada AH0704 V.1.
[Eve Angeline]
"Altair-chan? Belum tidur?"
Altair menoleh ke asal suara dan mendapati seorang gadis berambut pirang menatapnya dengan wajah mengantuk.
Arisa Minaho, gadis yang di amanatkan Kurogami kepada Shiro untuk dijaga.
Setelah menatap gadis itu sejenak, Altair kembali memfokuskan diri pada komputer di depannya.
"Sebentar lagi." jawabnya. "Tinggal melakukan install beberapa program dan selesai."
Arisa mendesah kesal. "Jangan terlalu memaksakan diri. Nanti kalau Shiro marah padaku bagaimana?" tanyanya sambil bergurau. Namun Altair tidak menganggap itu sebagai candaan.
"Dia tidak akan marah." jawab Altair dingin. "Dan aku ingin menyelesaikannya malam ini."
"Tapi—"
"Besok pengujian terakhir." potong Altair. "Aku yakin kamu lebih tau kondisi dunia luar sekarang kan."
Kata-kata Altair biasanya emang tajam, namun kalimat yang ini seperti menampar Arisa dengan telaknya dan membuatnya membeku sejenak. Shiro memang sering bercerita padanya tentang keadaan kota saat ini. Monster lebih banyak muncul dari portal-portal random yang muncul secara tiba-tiba.
Itulah sebabnya terkadang Shiro datang ke lab dalam keadaan berantakan.
"Kau benar." gumamnya. "Kalau begitu aku akan membantu!" lanjutnya dengan semangat yang entah darimana datangnya.
Setelah mencuci muka dan memakai jas nya, sambil memeriksa humanoid tersebut dan memeriksa setiap detil, ia mencatat dengan cermat. Saat ia melihat garis-garis aneh berisi cairan kebiruan di seluruh tubuh humanoid itu, ia menoleh ke arah Altair yang masih sibuk mengetik.
"Altair-chan?"
"Hm?"
"Kamu…."
Altair mengalihkan pandangan ke arah Arisa dengan tatapan polos.
"Um… Tidak jadi deh, hehe…" ujarnya sambil kembali melanjutkan pekerjaannya.
Mereka pun terus bekerja hingga akhirnya mentari terbit di ufuk timur. Altair yang juga selesai dengan pekerjaannya merenggangkan tubuhnya. Lalu ia berjalan ke arah Arisa yang juga selesai mengecek fisik dan status komponen.
"Ah, Altair-chan! Sudah selesai?" tanya Arisa. Altair mengangguk.
"Pengujian terakhir. Hidupkan AH0704 V.1." jawab Altair datar. Arisa mengangguk dan menarik tuas besar yang terletak di luar tabung.
Suara mesin berderak kasar, namun terdengar lembut di telinga Altair. Ia menatap tabung itu dengan tidak sabar, seperti anak kecil yang menunggu mainan dari orang tuanya. Arisa mendekati Altair sambil tersenyum geli.
"Hehe, tidak sabar menunggu AH0704 V.1 hidup ya?" tanyanya. Altair mengangguk pelan.
Perlahan cahaya kebiruan memenuhi lantai tabung, membiaskan cahaya pada AH0704 V.1.
[Eve Angeline]
[CN : AH0704 V.1
Startup...
.
.
.
[Checking Status…]
[System : OK]
[Physical : OK]
[Memory : OK]
[System : OK]
[Physical : OK]
[Memory : OK]
.
.
.
Power : ON
[Booting…]
.
.
10%
.
50%
.
.
.
100%
Kelopak mata biru itupun terbuka, menampilkan kedua iris heterochrome, lime dan red blood.
Kelopak mata biru itupun terbuka, menampilkan kedua iris heterochrome, lime dan red blood.
.
.
Eve's Dream & Present : [Darkness, Despair, Destruction]
.
.
"Reveriers….."
"Eh?" Kedua iris heterochrome-nya berusaha memfokuskan penglihatannya, namun nihil. Tempat itu terlalu gelap bahkan untuk melakukan Scanning saja tidak mungkin.
"Mahakarya…."
Ia pun menghentikan langkahnya.
"Siapa kalian?" ucapnya dingin saat melihat dua sosok—entah manusia atau apa—dari kejauhan.
"Alam Mimpi."
Kedua sosok itu mengecil.
"Hei! Tunggu!" Gadis itu pun mengejar kedua sosok itu. "Apa maksudnya, Reverier, Mahakarya dan Alam Mimpi?!" teriaknya sembari berlari semakin kencang. Namun semakin kencang ia berlari, kedua sosok itu semakin menjauh. Ia terus berlari sampai akhirnya seberkas cahaya membutakan matanya.
"Tunggu!"
"Reveriers….."
"Eh?" Kedua iris heterochrome-nya berusaha memfokuskan penglihatannya, namun nihil. Tempat itu terlalu gelap bahkan untuk melakukan Scanning saja tidak mungkin.
"Mahakarya…."
Ia pun menghentikan langkahnya.
"Siapa kalian?" ucapnya dingin saat melihat dua sosok—entah manusia atau apa—dari kejauhan.
"Alam Mimpi."
Kedua sosok itu mengecil.
"Hei! Tunggu!" Gadis itu pun mengejar kedua sosok itu. "Apa maksudnya, Reverier, Mahakarya dan Alam Mimpi?!" teriaknya sembari berlari semakin kencang. Namun semakin kencang ia berlari, kedua sosok itu semakin menjauh. Ia terus berlari sampai akhirnya seberkas cahaya membutakan matanya.
"Tunggu!"
.
.
.
Z City, April 7th, 2030
Eve terbangun di sebuah ruangan yang didominasi warna putih.
"Tadi itu….apa?" gumamnya heran. Jarang sekali ia tidur dan bermimpi, apalagi tentang hal yang aneh seperti ini.
Eve keluar dari tabungnya setelah melepaskan kabel-kabel yang terpasang di tubuhnya. Matanya menerawang ke setiap sudut ruangan lab di depannya. Memorinya memainkan kenangan sekitar 3 tahun yang lalu, saat ia baru dihidupkan.
"Tadi itu….apa?" gumamnya heran. Jarang sekali ia tidur dan bermimpi, apalagi tentang hal yang aneh seperti ini.
Eve keluar dari tabungnya setelah melepaskan kabel-kabel yang terpasang di tubuhnya. Matanya menerawang ke setiap sudut ruangan lab di depannya. Memorinya memainkan kenangan sekitar 3 tahun yang lalu, saat ia baru dihidupkan.
.
.
"Ohayou! Eve-chan~"
"Ah, si robot udah bangun rupanya."
Altair memandangi Eve dengan tatapan datar, lalu memberikan sebuah pedang berwarna ungu gelap dengan hiasan bintang emas kepadanya.
"Ini…"
Eve menerimanya dengan perasaan blank seperti biasanya. Suara datar sintesis pun keluar dari mulutnya.
"Ini apa, Master?"
"Hehe, itu namanya pedang, Eve-chan! Kau akan memakainya untuk melawan monster di luar sana."
"Oh… Begitu…"
"Ohayou! Eve-chan~"
"Ah, si robot udah bangun rupanya."
Altair memandangi Eve dengan tatapan datar, lalu memberikan sebuah pedang berwarna ungu gelap dengan hiasan bintang emas kepadanya.
"Ini…"
Eve menerimanya dengan perasaan blank seperti biasanya. Suara datar sintesis pun keluar dari mulutnya.
"Ini apa, Master?"
"Hehe, itu namanya pedang, Eve-chan! Kau akan memakainya untuk melawan monster di luar sana."
"Oh… Begitu…"
.
.
Sekarang ruangan itu kosong. Tidak ada Altair yang duduk di depan komputer sambil mengetikkan kode program. Tidak ada Arisa yang mondar mandir dengan beberapa komponen di pelukannya. Bahkan tidak ada Chunhua yang merecoki Altair dengan berbagai macam pertanyaan, atau sesekali menghidangkan kopi hitam untuk Altair dan susu untuk Arisa.
Awalnya ia merasa risih dengan berbagai kesibukan di ruangan itu, apalagi saat Arisa mulai memeriksa dirinya hingga bagian-bagian yang 'harusnya' tidak perlu di periksa. Namun sekarang entah mengapa ia merasa ruangan itu jauh lebih kosong dari yang seharusnya.
Mereka, satu persatu telah pergi.
Chunhua meninggal karena terkena wabah mematikan, dan Arisa berusaha mencari penawarnya, namun nyawanya juga tidak tertolong.
Sedangkan Altair, dia—.
Lamunannya terhenti saat mendengar suara pintu terbuka. Eve menoleh dan mendapati seorang pemuda (atau gadis?) berambut perak berbias pelangi masuk ke ruangan lab itu dan berjalan ke arah pintu bertanda bintang di sisi lain ruangan itu.
Orang-orang memanggilnya 13—atau thirteen dalam bahasa Inggris—ia sama sekali tidak mau menyebut nama aslinya. Gendernya tidak diketahui. Bahkan tidak ada yang pernah mendengarnya berbicara sama sekali.
Sebelum masuk, 13 menoleh ke arah Eve, iris peraknya bertemu dengan iris heterochrome itu. Lalu ia masuk ke dalam ruangan itu. Eve yakin pemuda(?) itu akan berada lama dalam ruangan itu sampai Vega dan Deneb datang dengan sebuket bunga Lily. Dan setelah mereka pergi, Shiro akan datang membawa sebuket mawar warna warni.
Mereka selalu datang ke ruangan itu setiap pagi sebelum akhirnya melakukan aktivitas mereka masing-masing
Eve tidak pernah mencoba masuk ke dalam ruangan itu, ia bahkan tidak ingin. Namun Eve tahu apa yang ada di dalam ruangan itu.
"Eve?"
Eve menoleh ke asal suara dan mendapati iris kuning-hijau-biru-ungu itu menatapnya dengan tatapan heran, lalu tersenyum jahil.
"Mau ngintip ya~" godanya. "Gak boleh loh ganggu pasangan yang lagi pacaran~" lanjutnya. Kata-kata Vega memang ada benarnya, karena saat itu Shiro sedang ada di dalam.
Eve pun menyadari posisinya dan bergerak mundur.
Sejak kapan ia ada di depan pintu berhias bintang itu?
"Maaf…" ucapnya dingin, lalu pergi meninggalkan Vega dengan wajah tertunduk.
"Eve? Tunggu!"
Eve terus berjalan keluar tanpa memperdulikan panggilan Vega di belakangnya.
Sekarang ruangan itu kosong. Tidak ada Altair yang duduk di depan komputer sambil mengetikkan kode program. Tidak ada Arisa yang mondar mandir dengan beberapa komponen di pelukannya. Bahkan tidak ada Chunhua yang merecoki Altair dengan berbagai macam pertanyaan, atau sesekali menghidangkan kopi hitam untuk Altair dan susu untuk Arisa.
Awalnya ia merasa risih dengan berbagai kesibukan di ruangan itu, apalagi saat Arisa mulai memeriksa dirinya hingga bagian-bagian yang 'harusnya' tidak perlu di periksa. Namun sekarang entah mengapa ia merasa ruangan itu jauh lebih kosong dari yang seharusnya.
Mereka, satu persatu telah pergi.
Chunhua meninggal karena terkena wabah mematikan, dan Arisa berusaha mencari penawarnya, namun nyawanya juga tidak tertolong.
Sedangkan Altair, dia—.
Lamunannya terhenti saat mendengar suara pintu terbuka. Eve menoleh dan mendapati seorang pemuda (atau gadis?) berambut perak berbias pelangi masuk ke ruangan lab itu dan berjalan ke arah pintu bertanda bintang di sisi lain ruangan itu.
Orang-orang memanggilnya 13—atau thirteen dalam bahasa Inggris—ia sama sekali tidak mau menyebut nama aslinya. Gendernya tidak diketahui. Bahkan tidak ada yang pernah mendengarnya berbicara sama sekali.
Sebelum masuk, 13 menoleh ke arah Eve, iris peraknya bertemu dengan iris heterochrome itu. Lalu ia masuk ke dalam ruangan itu. Eve yakin pemuda(?) itu akan berada lama dalam ruangan itu sampai Vega dan Deneb datang dengan sebuket bunga Lily. Dan setelah mereka pergi, Shiro akan datang membawa sebuket mawar warna warni.
Mereka selalu datang ke ruangan itu setiap pagi sebelum akhirnya melakukan aktivitas mereka masing-masing
Eve tidak pernah mencoba masuk ke dalam ruangan itu, ia bahkan tidak ingin. Namun Eve tahu apa yang ada di dalam ruangan itu.
"Eve?"
Eve menoleh ke asal suara dan mendapati iris kuning-hijau-biru-ungu itu menatapnya dengan tatapan heran, lalu tersenyum jahil.
"Mau ngintip ya~" godanya. "Gak boleh loh ganggu pasangan yang lagi pacaran~" lanjutnya. Kata-kata Vega memang ada benarnya, karena saat itu Shiro sedang ada di dalam.
Eve pun menyadari posisinya dan bergerak mundur.
Sejak kapan ia ada di depan pintu berhias bintang itu?
"Maaf…" ucapnya dingin, lalu pergi meninggalkan Vega dengan wajah tertunduk.
"Eve? Tunggu!"
Eve terus berjalan keluar tanpa memperdulikan panggilan Vega di belakangnya.
.
.
.
Setelah menutup pintu dengan rapat, Shiro meletakkan buket bunga itu di tangan Altair dengan lembut, lalu duduk di sisi gadis itu. Sambil menatap gadis itu dengan sendu, ia menanyakan hal yang sama setiap kali ia datang.
"Hei… bagaimana kondisimu? Baik?"
Tidak ada jawaban.
"Hei… bagaimana kondisimu? Baik?"
Tidak ada jawaban.
"Hei, bagaimana rasanya ada di alam mimpi?" tanyanya lagi. "Apakah di sana menyenangkan?"
Lagi-lagi tidak ada jawaban.
"Apa kau bertemu ibumu di sana?" Pandangan Shiro menerawang ke langit-langit di atasnya. Langit-langit itu dihiasi hiasan gantung berbentuk bintang dengan aneka warna, dan berputar-putar pelan sehingga memantulkan cahaya dari lampu yang menyala terang di ruangan bernuansa biru langit itu.
Shiro tidak menyadari bahwa ada aura hitam sedang mendekati mereka berdua. Dan tentu saja hal itu bukan hal yang baik.
Puas memandangi, ia menghela nafas untuk menceritakan pengalamannya yang belum pernah diceritakannya pada siapapun.
"Hm… ngomong-ngomong aku punya cerita soal alam mimpi. Kau mau denga---!" kata-kata Shiro terputus saat melihat Altair memandanginya dengan antusias.
"Tentu saja aku mau dengar, Shiro-kun~" jawabnya riang dengan nada seduktif, membuat wajah pemuda naga itu memerah.
"A…Altair? I..ini kau kan?" tanyanya gugup. Ia berusaha mengalihkan pandangannya saat menyadari gaun putih yang dikenakan Altair merosot ke bawah, memperlihatkan sebagian belahan dadanya.
"Kau bercanda ya? Tentu saja ini aku~" Altair semakin mendekat, membuat wajah pemuda itu semakin memerah. Tanpa diduga Altair pun memeluk Shiro dengan erat.
"Nee~ Shiro-kun~" ujar Altair. "Aku kangen~"
"E…EEEHHH?" Shiro memekik tertahan berusaha melepaskan pelukan Altair dengan panik. Ini bukanlah Altair yang dia tahu, karena setahunya Altair akan menjawab seadanya sambil menatapnya polos. Bukan bersikap frontal seperti ini.
"I…iya aku juga…" jawab Shiro terbata dengan senyum yang dipaksakan. "H-hei… bisakah kau lepaskan pelukanmu? A…Aku malu…"
Dengan kesal Altair melepaskan pelukannya.
"Shiro-kun bodoh!" teriaknya lalu berlari keluar dari ruangan itu. Membuat Shiro kebingungan sebelum akhirnya mengejar gadis itu.
"Altair! Tunggu!"
Shiro mencoba mengejar, namun gadis itu tidak ditemukan dimanapun. Dengan frustasi ia meraih earphone nya dan menghubungi anggota Dark Horizon.
"Altair kabur! Bantu aku mencarinya!"
Lagi-lagi tidak ada jawaban.
"Apa kau bertemu ibumu di sana?" Pandangan Shiro menerawang ke langit-langit di atasnya. Langit-langit itu dihiasi hiasan gantung berbentuk bintang dengan aneka warna, dan berputar-putar pelan sehingga memantulkan cahaya dari lampu yang menyala terang di ruangan bernuansa biru langit itu.
Shiro tidak menyadari bahwa ada aura hitam sedang mendekati mereka berdua. Dan tentu saja hal itu bukan hal yang baik.
Puas memandangi, ia menghela nafas untuk menceritakan pengalamannya yang belum pernah diceritakannya pada siapapun.
"Hm… ngomong-ngomong aku punya cerita soal alam mimpi. Kau mau denga---!" kata-kata Shiro terputus saat melihat Altair memandanginya dengan antusias.
"Tentu saja aku mau dengar, Shiro-kun~" jawabnya riang dengan nada seduktif, membuat wajah pemuda naga itu memerah.
"A…Altair? I..ini kau kan?" tanyanya gugup. Ia berusaha mengalihkan pandangannya saat menyadari gaun putih yang dikenakan Altair merosot ke bawah, memperlihatkan sebagian belahan dadanya.
"Kau bercanda ya? Tentu saja ini aku~" Altair semakin mendekat, membuat wajah pemuda itu semakin memerah. Tanpa diduga Altair pun memeluk Shiro dengan erat.
"Nee~ Shiro-kun~" ujar Altair. "Aku kangen~"
"E…EEEHHH?" Shiro memekik tertahan berusaha melepaskan pelukan Altair dengan panik. Ini bukanlah Altair yang dia tahu, karena setahunya Altair akan menjawab seadanya sambil menatapnya polos. Bukan bersikap frontal seperti ini.
"I…iya aku juga…" jawab Shiro terbata dengan senyum yang dipaksakan. "H-hei… bisakah kau lepaskan pelukanmu? A…Aku malu…"
Dengan kesal Altair melepaskan pelukannya.
"Shiro-kun bodoh!" teriaknya lalu berlari keluar dari ruangan itu. Membuat Shiro kebingungan sebelum akhirnya mengejar gadis itu.
"Altair! Tunggu!"
Shiro mencoba mengejar, namun gadis itu tidak ditemukan dimanapun. Dengan frustasi ia meraih earphone nya dan menghubungi anggota Dark Horizon.
"Altair kabur! Bantu aku mencarinya!"
.
.
.
K City
Dengan wajah tertunduk Eve berjalan di antara puing-puing bangunan. Meskipun telah hancur tapi masih banyak anak-anak yang berkeliaran dan bermain petak umpet di sana. Sesekali mereka tertawa riang saat menemukan teman mereka yang lain.
Kemarin kota K hancur karena portal random muncul dengan jumlah banyak sehingga monster-monster—Shiro menyebutnya Hatros—muncul dan langsung menghancurkan apa yang ada di sekitar. Saat itu keadaan sangat kacau sehingga mereka bingung untuk melawan monster terlebih dahulu atau menyelamatkan penduduk. Sampai akhirnya seluruh kota hancur dengan korban jiwa yang tak terhitung meskipun monster-monster itu bisa dikalahkan.
Eve mengangkat kepalanya saat menyadari sesuatu.
Kenapa tiba-tiba ia sudah ada di kota K? padahal kota K dan kota Z dipisahkan oleh hutan. Dan lagi, seharusnya tidak ada anak-anak di sini. Mereka seharusnya dipindahkan ke kota C yang lebih aman.
"Eve! Awas!"
Eve menoleh ke asal suara dengan sigap langsung menghindari serangan yang di arahkan kepadanya sambil menembakkan laser ke arah monster itu. Tentakel yang seharusnya mengenai Eve akhirnya mengenai bangunan di belakangnya, membuat bangunan itu hancur berantakan. Namun sepertinya serangan Eve tidak mengenainya sama sekali.
"Seharusnya monster itu telah dikalahkan, kenapa bisa?" tanya Eve kepada Deneb yang menghunuskan pedangnya.
"Entahlah aku juga tidak tahu." jawabnya. "Kakak juga hilang! Padahal aku baru saja mengunjunginya." lanjutnya lagi.
"Hilang…?" tanya Eve. Ia hendak bertanya lagi kalau Deneb tidak menyelanya.
"Sudahlah! Ayo kita kalahkan makhluk ini sebelum mencari Kakak!" ujarnya lalu berlari untuk menerjang monster yang memiliki banyak tentakel tersebut. Eve sendiri tak tinggal diam. Ia pun mengeluarkan Natsuki Sword, dan pedang itu berubah menjadi Twin Blade. Ia pun maju menyusul Deneb.
Suara pedang yang beradu dengan kulit lengket monster itu terdengar tidak menyenangkan di telinga Eve. Dengan susah payah Eve mencabut pedangnya dan mencoba menusukkan pedangnya. Namun kulit monster itu terlalu lengket dan licin untuk ditembus sehingga menumpulkan pedang Eve. Gadis itu pun terbang dengan Jet nya dan menembak monster itu dari jarak dekat.
Deneb pun lebih tidak beruntung. Pedangnya berhasil menembus kulit monster itu, namun tidak berhasil mencabutnya. Saai itu ia melihat Eve bersiap menembak monster itu dengan Laser-nya.
"Elemental Laser Mode : Red." suara sintesis Eve terdengar datar. Dari jarak kurang dari 1 meter, pasti tidak akan meleset.
Melihat itu Deneb seperti mendapat ide, ia menusukkan pedang itu sedalam-dalamnya dan mengeluarkan kekuatan apinya.
"Flaming Sword!"
Bersamaan dengan meluncurnya Laser dari telapak tangan Eve, Deneb membakar monster itu dan mencabut pedangnya sebelum ia ikut terbakar. Suara pekikan monster itupun tenggelam di tengah suara api yang berderak membakarnya. Eve pun mendarat di sebelah pemuda berambut coklat kegelapan itu dan melakukan Scanning.
"Kondisi target semakin menurun." gumamnya. "Sebentar lagi dia akan ka—" gumamannya terhenti saat tiba-tiba tentakel monster itu meraih mereka berdua dengan cepat dan menarik mereka ke arah api yang berkobar.
"Sial! Kita lengah!" keluh Deneb. "Eve! Kau tidak apa-apa kan?" teriaknya sambil meronta melepaskan cengkeraman monster itu. Eve berusaha menebas tentakel monster itu namun nihil. Bukannya tertebas, pedangnya malah jatuh ke bawah.
"Tidak lebih baik darimu…" ujarnya pelan. Eve pun mencari cara agar bisa lepas dari tentakel yang semakin ganas melingkari dirinya, bahkan sudah mulai masuk di balik pakaiannya.
"Coba kau tembak tentakelnya dengan Laser-mu!" perintah Deneb.
Mendengar itu Eve mengarahkan tangannya ke kulit monster itu. Namun Laser itu sama sekali tidak keluar dari tangannya.
"Sial…" umpat Eve. "Laser-nya tidak bisa digunakan!" ujarnya sambil terus mencoba.
"Sial! Kalau begini terus kita akan gosong!" seru Deneb. "Eve! Hoi! Jangan pasrah! Berusahalah! Terbang dengan Jet mu atau apalah!"
Eve pun menyalakan sepatu Jet nya namun hasilnya sama. "Evasive Jet juga tidak bisa digunakan."
"Eh? Lalu bagaimana kita bisa keluar dari sini?!" teriak Deneb panik. "Aku tidak mau mati di sini! Terus Vega bagaimana?!"
"Aku tidak tahu…" jawab Eve dingin. "Sebentar lagi kita akan terbakar…" seru Eve sambil memejamkan matanya pasrah. Diam-diam ia menghitung mundur, ia sudah pasrah akan kematiannya.
Sedangkan Deneb yang tidak menyerah masih berusaha menebas monster itu, namun akhirnya ia juga tidak sengaja menjatuhkan pedangnya karena licinnya kulit tentakel itu.
Akhirnya Deneb pun menyerah pasrah.
"Eh… ternyata kita juga akan mati di sini, eh, Eve?" gumamnya pelan. "Apa aku bisa bertemu Mama ya?" ucapnya sambil memejamkan matanya.
Namun sepertinya keinginan Deneb itu harus tertunda karena ia mendengar suara jatuhan pedang dari kejauhan.
"Falling Sword!"
Tiba-tiba ribuan pedang jatuh dari atas dan mengenai monster itu, juga memotong tentakel yang membelenggu Eve dan Deneb. Mereka pun terjun ke bawah dan mendarat agak jauh dari api. Sementara pedang-pedang itu terus berjatuhan dan menusuk monster yang terbakar itu.
"Ngiiiiiiiiiiiiihhhhkkkk!"
Pekikan itu membuat mereka mau tidak mau menutup telinga sebelum akhirnya suara itu hilang di telan derak api yang berkobar.
Kemarin kota K hancur karena portal random muncul dengan jumlah banyak sehingga monster-monster—Shiro menyebutnya Hatros—muncul dan langsung menghancurkan apa yang ada di sekitar. Saat itu keadaan sangat kacau sehingga mereka bingung untuk melawan monster terlebih dahulu atau menyelamatkan penduduk. Sampai akhirnya seluruh kota hancur dengan korban jiwa yang tak terhitung meskipun monster-monster itu bisa dikalahkan.
Eve mengangkat kepalanya saat menyadari sesuatu.
Kenapa tiba-tiba ia sudah ada di kota K? padahal kota K dan kota Z dipisahkan oleh hutan. Dan lagi, seharusnya tidak ada anak-anak di sini. Mereka seharusnya dipindahkan ke kota C yang lebih aman.
"Eve! Awas!"
Eve menoleh ke asal suara dengan sigap langsung menghindari serangan yang di arahkan kepadanya sambil menembakkan laser ke arah monster itu. Tentakel yang seharusnya mengenai Eve akhirnya mengenai bangunan di belakangnya, membuat bangunan itu hancur berantakan. Namun sepertinya serangan Eve tidak mengenainya sama sekali.
"Seharusnya monster itu telah dikalahkan, kenapa bisa?" tanya Eve kepada Deneb yang menghunuskan pedangnya.
"Entahlah aku juga tidak tahu." jawabnya. "Kakak juga hilang! Padahal aku baru saja mengunjunginya." lanjutnya lagi.
"Hilang…?" tanya Eve. Ia hendak bertanya lagi kalau Deneb tidak menyelanya.
"Sudahlah! Ayo kita kalahkan makhluk ini sebelum mencari Kakak!" ujarnya lalu berlari untuk menerjang monster yang memiliki banyak tentakel tersebut. Eve sendiri tak tinggal diam. Ia pun mengeluarkan Natsuki Sword, dan pedang itu berubah menjadi Twin Blade. Ia pun maju menyusul Deneb.
Suara pedang yang beradu dengan kulit lengket monster itu terdengar tidak menyenangkan di telinga Eve. Dengan susah payah Eve mencabut pedangnya dan mencoba menusukkan pedangnya. Namun kulit monster itu terlalu lengket dan licin untuk ditembus sehingga menumpulkan pedang Eve. Gadis itu pun terbang dengan Jet nya dan menembak monster itu dari jarak dekat.
Deneb pun lebih tidak beruntung. Pedangnya berhasil menembus kulit monster itu, namun tidak berhasil mencabutnya. Saai itu ia melihat Eve bersiap menembak monster itu dengan Laser-nya.
"Elemental Laser Mode : Red." suara sintesis Eve terdengar datar. Dari jarak kurang dari 1 meter, pasti tidak akan meleset.
Melihat itu Deneb seperti mendapat ide, ia menusukkan pedang itu sedalam-dalamnya dan mengeluarkan kekuatan apinya.
"Flaming Sword!"
Bersamaan dengan meluncurnya Laser dari telapak tangan Eve, Deneb membakar monster itu dan mencabut pedangnya sebelum ia ikut terbakar. Suara pekikan monster itupun tenggelam di tengah suara api yang berderak membakarnya. Eve pun mendarat di sebelah pemuda berambut coklat kegelapan itu dan melakukan Scanning.
"Kondisi target semakin menurun." gumamnya. "Sebentar lagi dia akan ka—" gumamannya terhenti saat tiba-tiba tentakel monster itu meraih mereka berdua dengan cepat dan menarik mereka ke arah api yang berkobar.
"Sial! Kita lengah!" keluh Deneb. "Eve! Kau tidak apa-apa kan?" teriaknya sambil meronta melepaskan cengkeraman monster itu. Eve berusaha menebas tentakel monster itu namun nihil. Bukannya tertebas, pedangnya malah jatuh ke bawah.
"Tidak lebih baik darimu…" ujarnya pelan. Eve pun mencari cara agar bisa lepas dari tentakel yang semakin ganas melingkari dirinya, bahkan sudah mulai masuk di balik pakaiannya.
"Coba kau tembak tentakelnya dengan Laser-mu!" perintah Deneb.
Mendengar itu Eve mengarahkan tangannya ke kulit monster itu. Namun Laser itu sama sekali tidak keluar dari tangannya.
"Sial…" umpat Eve. "Laser-nya tidak bisa digunakan!" ujarnya sambil terus mencoba.
"Sial! Kalau begini terus kita akan gosong!" seru Deneb. "Eve! Hoi! Jangan pasrah! Berusahalah! Terbang dengan Jet mu atau apalah!"
Eve pun menyalakan sepatu Jet nya namun hasilnya sama. "Evasive Jet juga tidak bisa digunakan."
"Eh? Lalu bagaimana kita bisa keluar dari sini?!" teriak Deneb panik. "Aku tidak mau mati di sini! Terus Vega bagaimana?!"
"Aku tidak tahu…" jawab Eve dingin. "Sebentar lagi kita akan terbakar…" seru Eve sambil memejamkan matanya pasrah. Diam-diam ia menghitung mundur, ia sudah pasrah akan kematiannya.
Sedangkan Deneb yang tidak menyerah masih berusaha menebas monster itu, namun akhirnya ia juga tidak sengaja menjatuhkan pedangnya karena licinnya kulit tentakel itu.
Akhirnya Deneb pun menyerah pasrah.
"Eh… ternyata kita juga akan mati di sini, eh, Eve?" gumamnya pelan. "Apa aku bisa bertemu Mama ya?" ucapnya sambil memejamkan matanya.
Namun sepertinya keinginan Deneb itu harus tertunda karena ia mendengar suara jatuhan pedang dari kejauhan.
"Falling Sword!"
Tiba-tiba ribuan pedang jatuh dari atas dan mengenai monster itu, juga memotong tentakel yang membelenggu Eve dan Deneb. Mereka pun terjun ke bawah dan mendarat agak jauh dari api. Sementara pedang-pedang itu terus berjatuhan dan menusuk monster yang terbakar itu.
"Ngiiiiiiiiiiiiihhhhkkkk!"
Pekikan itu membuat mereka mau tidak mau menutup telinga sebelum akhirnya suara itu hilang di telan derak api yang berkobar.
.
.
.
Eve memungut pedang miliknya dan memasukkannya dalam Inventory saat Shiro berlari ke arah Deneb. Pemuda berambut perak itu langsung menyemburkan kalimat yang tidak enak di dengar.
"Lagipula apa yang kau pikirkan! Melawan monster itu berdua! Kenapa tidak panggil bantuan?!" semburnya lagi setelah kata-kata umpatannya selesai.
"Heh, kakek tua!" balas Deneb tak kalah pedas, "Bukannya seluruh anggota sudah dapat tugas untuk mencari Kakak?!"
"Kau tidak tahu malu! Berani menghina ketua mu sendiri hah?!"
"Heh! Pedofil! Menyukai cewek yang umurnya ratusan tahun lebih muda darimu!"
"Playboy!"
"Labil!"
"Sister Complex!"
"Tsundere!"
"Hah? Apa kau bi—"
Pertengkaran mereka terputus karena Eve membenturkan kepala mereka satu sama lain dan menimbulkan suara berdebam yang cukup keras.
"Ukh! Apa yang kau lakukan, Eve!" tanya Deneb dan Shiro bersamaan sambil memegangi dahi mereka yang memar. Eve pun menatap keduanya dengan tatapan dingin.
"Maaf, tapi salah satu perintah Master adalah, kalau kalian berdua bertengkar, benturkan saja kepala keduanya." jawab Eve datar. Shiro pun menatap Eve dengan tatapan kesal sekaligus sendu.
"Baiklah! Ayo kita lanjutkan pencarian!" ujar Shiro lalu berjalan meninggalkan mereka berdua. Eve hanya bisa memandangi kepergian Shiro dengan tatapan datar hingga akhirnya merasakan tepukan halus di bahunya.
"Ikuti dia." ujar Deneb pelan.
"Hm? Kenapa?"
"Kita mau mencari Kakak kan?" tanya Deneb lembut. "Lebih baik kau ikuti Leader. Aku yakin dia lebih butuh bantuan daripada aku."
"Kau?"
"Aku bisa mencarinya sendiri." Deneb mendorong Eve. "Sana!"
Melihat senyuman itu, mau tidak mau Eve pun berbalik dan mengikuti Shiro dari belakang. Sementara Deneb tersenyum memperhatikan punggung Eve yang semakin menjauh.
"Kak… Kenapa kau menciptakan Humanoid yang mirip denganmu?"
Eve memungut pedang miliknya dan memasukkannya dalam Inventory saat Shiro berlari ke arah Deneb. Pemuda berambut perak itu langsung menyemburkan kalimat yang tidak enak di dengar.
"Lagipula apa yang kau pikirkan! Melawan monster itu berdua! Kenapa tidak panggil bantuan?!" semburnya lagi setelah kata-kata umpatannya selesai.
"Heh, kakek tua!" balas Deneb tak kalah pedas, "Bukannya seluruh anggota sudah dapat tugas untuk mencari Kakak?!"
"Kau tidak tahu malu! Berani menghina ketua mu sendiri hah?!"
"Heh! Pedofil! Menyukai cewek yang umurnya ratusan tahun lebih muda darimu!"
"Playboy!"
"Labil!"
"Sister Complex!"
"Tsundere!"
"Hah? Apa kau bi—"
Pertengkaran mereka terputus karena Eve membenturkan kepala mereka satu sama lain dan menimbulkan suara berdebam yang cukup keras.
"Ukh! Apa yang kau lakukan, Eve!" tanya Deneb dan Shiro bersamaan sambil memegangi dahi mereka yang memar. Eve pun menatap keduanya dengan tatapan dingin.
"Maaf, tapi salah satu perintah Master adalah, kalau kalian berdua bertengkar, benturkan saja kepala keduanya." jawab Eve datar. Shiro pun menatap Eve dengan tatapan kesal sekaligus sendu.
"Baiklah! Ayo kita lanjutkan pencarian!" ujar Shiro lalu berjalan meninggalkan mereka berdua. Eve hanya bisa memandangi kepergian Shiro dengan tatapan datar hingga akhirnya merasakan tepukan halus di bahunya.
"Ikuti dia." ujar Deneb pelan.
"Hm? Kenapa?"
"Kita mau mencari Kakak kan?" tanya Deneb lembut. "Lebih baik kau ikuti Leader. Aku yakin dia lebih butuh bantuan daripada aku."
"Kau?"
"Aku bisa mencarinya sendiri." Deneb mendorong Eve. "Sana!"
Melihat senyuman itu, mau tidak mau Eve pun berbalik dan mengikuti Shiro dari belakang. Sementara Deneb tersenyum memperhatikan punggung Eve yang semakin menjauh.
"Kak… Kenapa kau menciptakan Humanoid yang mirip denganmu?"
.
.
.
L City
Shiro dan Eve berjalan berdua tanpa mengatakan apapun. Dengan seksama Eve memindai lokasi tempat itu, mencari tanda keberadaan Altair. Sedangkan Shiro hanya menunduk tanpa menoleh sama sekali. Hal itu membuat Eve heran.
Biasanya saat ada misi seperti ini Shiro lah yang paling antusias. Namun saat ini ia melihat Shiro seperti enggan mencari Altair. Hal ini membuatnya bertanya-tanya.
Bukannya mereka memiliki perasaan kepada satu sama lain?
Namun ia tidak ambil pusing dan memilih untuk fokus pada tugasnya sendiri. Saat mendeteksi tanda kehidupan yang sangat besar, Eve berhenti.
"Tunggu!"
Shiro berhenti dan menatap Eve dengan tidak semangat. "Ada apa?"
"Aku mendeteksi adanya energi yang besar di sekitar sini." gumam Eve sambil memfokuskan penglihatannya. "Dari jarak 500 m, arah jam 1. Jumlah energi ada…. 3—"
Gumaman Eve terhenti saat ia melihat sosok perempuan berambut hitam dan bergaun putih panjang melayang-layang dengan aura hitam yang mengelilinginya. Di belakangnya ada 2 monster besar, yang satu makhluk berkepala banteng, berbadan manusia dan berkaki kuda, yang satu lagi berkepala gajah, berbadan manusia dan berkaki kudanil.
"Master?"
"A…altair?" panggil Shiro tidak percaya. "K..kau?"
"Altair? Siapa itu, aku gak kenal…" Si perempuan malah tertawa genit, lalu melayang perlahan ke arah Shiro dan menyentuh dagunya. "Shiro-kun~… Panggil aku Eyre, oke? Atau Ale-chan lebih bagus~"
"J..jangan terlalu dekat!" dengan wajah memerah Shiro menjauhi Eyre, membuat gadis itu mendesah kecewa. "Heehh… Sebenci itukah kau padaku? Apa kau punya pacar?"
Gadis itu lalu menoleh ke arah Eve yang menatapnya dengan tatapan datar. Diam-diam Eve melakukan Scanning pada Eyre yang menatapnya tajam. Lama gadis itu menatap Eve sebelum akhirnya ia melayang mundur ke belakang.
"Minotan! Nilgatan! Serang mereka!" perintahnya dengan muram. "Bunuh mereka kalau perlu!"
Dengan sigap Eve langsung mengeluarkan Natsuki Sword, mengubahnya menjadi katana dan langsung menerjang Minotan, sementara Shiro masih terdiam di tempat, membiarkan pertahanannya terbuka lebar.
"E..eehh! Tunggu, Altair! Kau yakin dengan ini?" teriak Shiro sambil berusaha menghindari serangan Nilgatan dengan palu nya.
"Dia bukanlah Master!" seru Eve sembari menahan serangan kapak Minotan. "Master dirasuki olehnya."
"E..Eh? Serius?" Shiro akhirnya mengeluarkan pedangnya dan dengan sigap menahan serangan dari Nilgatan. "Cara menyadarkannya bagaimana?"
Suara dentingan senjata yang beradu bagaikan music di telinga Eyre. Sembari melipat kedua tangannya di depan dada, ia menonton pertarungan itu dengan senyum jahat terkembang di bibirnya.
Biasanya saat ada misi seperti ini Shiro lah yang paling antusias. Namun saat ini ia melihat Shiro seperti enggan mencari Altair. Hal ini membuatnya bertanya-tanya.
Bukannya mereka memiliki perasaan kepada satu sama lain?
Namun ia tidak ambil pusing dan memilih untuk fokus pada tugasnya sendiri. Saat mendeteksi tanda kehidupan yang sangat besar, Eve berhenti.
"Tunggu!"
Shiro berhenti dan menatap Eve dengan tidak semangat. "Ada apa?"
"Aku mendeteksi adanya energi yang besar di sekitar sini." gumam Eve sambil memfokuskan penglihatannya. "Dari jarak 500 m, arah jam 1. Jumlah energi ada…. 3—"
Gumaman Eve terhenti saat ia melihat sosok perempuan berambut hitam dan bergaun putih panjang melayang-layang dengan aura hitam yang mengelilinginya. Di belakangnya ada 2 monster besar, yang satu makhluk berkepala banteng, berbadan manusia dan berkaki kuda, yang satu lagi berkepala gajah, berbadan manusia dan berkaki kudanil.
"Master?"
"A…altair?" panggil Shiro tidak percaya. "K..kau?"
"Altair? Siapa itu, aku gak kenal…" Si perempuan malah tertawa genit, lalu melayang perlahan ke arah Shiro dan menyentuh dagunya. "Shiro-kun~… Panggil aku Eyre, oke? Atau Ale-chan lebih bagus~"
"J..jangan terlalu dekat!" dengan wajah memerah Shiro menjauhi Eyre, membuat gadis itu mendesah kecewa. "Heehh… Sebenci itukah kau padaku? Apa kau punya pacar?"
Gadis itu lalu menoleh ke arah Eve yang menatapnya dengan tatapan datar. Diam-diam Eve melakukan Scanning pada Eyre yang menatapnya tajam. Lama gadis itu menatap Eve sebelum akhirnya ia melayang mundur ke belakang.
"Minotan! Nilgatan! Serang mereka!" perintahnya dengan muram. "Bunuh mereka kalau perlu!"
Dengan sigap Eve langsung mengeluarkan Natsuki Sword, mengubahnya menjadi katana dan langsung menerjang Minotan, sementara Shiro masih terdiam di tempat, membiarkan pertahanannya terbuka lebar.
"E..eehh! Tunggu, Altair! Kau yakin dengan ini?" teriak Shiro sambil berusaha menghindari serangan Nilgatan dengan palu nya.
"Dia bukanlah Master!" seru Eve sembari menahan serangan kapak Minotan. "Master dirasuki olehnya."
"E..Eh? Serius?" Shiro akhirnya mengeluarkan pedangnya dan dengan sigap menahan serangan dari Nilgatan. "Cara menyadarkannya bagaimana?"
Suara dentingan senjata yang beradu bagaikan music di telinga Eyre. Sembari melipat kedua tangannya di depan dada, ia menonton pertarungan itu dengan senyum jahat terkembang di bibirnya.
"Kau bisa menangani dua makhluk ini sekaligus?" tanya Eve. Shiro pun mundur perlahan dan tersenyum yakin pada Eve.
"Majulah! Kalahkan dia dan selamatkan Altair…. untukku…"
Eve pun mengambil ancang-ancang dan melompati kepala Minotan, dan langsung menerjang Eyre dengan katana-nya. Namun serangannya tertahan oleh pelindung transparan yang ada di antara mereka. Saking kerasnya benturan, percikan cahaya muncul dari gesekan dari pelindung dan katana.
"Hah! Mencoba mengalahkanku, eh?" ucap Eyre dengan nada merendahkan. "Memangnya kau tega melukai 'tubuh' ini?"
Sejenak Eve merasa ragu. Ia hampir mencabut pedangnya saat sebuah pikiran masuk ke alam bawah sadarnya. Tidak ada cara lain selain ini, apalagi Laser-nya tidak dapat digunakan sama sekali.
"Shiro memang tidak akan tega melakukannya." Eve menekan pedangnya agar bisa menembus pelindung itu. "Tapi aku…. akan melakukan apapun untuk menyelamatkannya, meskipun itu harus menyakiti tubuhnya terlebih dahulu."
Senyum sinis Eyre semakin bertambah lebar mendengar jawaban Eve yang nekat itu.
"Begitu ya… Kalau begitu, terima ini!"
Eyre mengangkat tangannya, dan panah-panah hitam yang terbentuk dari aura hitamnya langsung melesat menuju Eve. Dengan sigap Eve menghindari panah-panah itu meskipun ada beberapa yang menggores pakaiannya. Sesekali ia menahan laju panah itu dengan pedangnya.
"Majulah! Kalahkan dia dan selamatkan Altair…. untukku…"
Eve pun mengambil ancang-ancang dan melompati kepala Minotan, dan langsung menerjang Eyre dengan katana-nya. Namun serangannya tertahan oleh pelindung transparan yang ada di antara mereka. Saking kerasnya benturan, percikan cahaya muncul dari gesekan dari pelindung dan katana.
"Hah! Mencoba mengalahkanku, eh?" ucap Eyre dengan nada merendahkan. "Memangnya kau tega melukai 'tubuh' ini?"
Sejenak Eve merasa ragu. Ia hampir mencabut pedangnya saat sebuah pikiran masuk ke alam bawah sadarnya. Tidak ada cara lain selain ini, apalagi Laser-nya tidak dapat digunakan sama sekali.
"Shiro memang tidak akan tega melakukannya." Eve menekan pedangnya agar bisa menembus pelindung itu. "Tapi aku…. akan melakukan apapun untuk menyelamatkannya, meskipun itu harus menyakiti tubuhnya terlebih dahulu."
Senyum sinis Eyre semakin bertambah lebar mendengar jawaban Eve yang nekat itu.
"Begitu ya… Kalau begitu, terima ini!"
Eyre mengangkat tangannya, dan panah-panah hitam yang terbentuk dari aura hitamnya langsung melesat menuju Eve. Dengan sigap Eve menghindari panah-panah itu meskipun ada beberapa yang menggores pakaiannya. Sesekali ia menahan laju panah itu dengan pedangnya.
Semakin lama panah-panah itu semakin banyak, namun kelincahan Eve sama sekali tidak berkurang, gerakannya justru menjadi semakin cepat. Sementara Eyre melayang menjauhi Eve.
"Mau lari?" guman Eve sambil mempercepat larinya. Lalu melompat menerjang Eyre sekali lagi. Namun tebasan pedangnya tidak hanya sekali, namun berkali-kali. Namun nihil. Pelindungnya sangat sulit untuk di tembus.
Eve mendarat di tanah dengan mulus, dan saat ia bersiap mengayunkan pedangnya ia mulai merasa aneh.
"Mau lari?" guman Eve sambil mempercepat larinya. Lalu melompat menerjang Eyre sekali lagi. Namun tebasan pedangnya tidak hanya sekali, namun berkali-kali. Namun nihil. Pelindungnya sangat sulit untuk di tembus.
Eve mendarat di tanah dengan mulus, dan saat ia bersiap mengayunkan pedangnya ia mulai merasa aneh.
Sejak kapan ia merasa asing saat memegang pedang?
Eve mengabaikan perasaan itu dan kembali menyerang Eyre dari berbagai arah. Awalnya serangannya cepat, mantap dan teratur namun lama kelamaan ritme serangannya semakin kacau. Bahkan gerakannya melambat dan pedang yang dipakainya mulai terasa berat.
Eve mengabaikan perasaan itu dan kembali menyerang Eyre dari berbagai arah. Awalnya serangannya cepat, mantap dan teratur namun lama kelamaan ritme serangannya semakin kacau. Bahkan gerakannya melambat dan pedang yang dipakainya mulai terasa berat.
"Ada apa, hm?" tanya Eyre saat menyadari keanehan Eve. "Mulai merasa ragu? Mau menyerah?"
"Tidak akan!" Eve menekan pedangnya. "Tidak sampai kau yang menyerah dan keluar dari sana!"
"Baiklah, kalau begitu kau yang minta!" Eyre mengulurkan tangannya dan seberkas cahaya melesat ke arah Eve, membuatnya terpental. Pedangnya pun terlepas dari tangannya dan terlempar entah kemana. Eve pun terseret di tanah beraspal sejauh beberapa meter.
"Tidak akan!" Eve menekan pedangnya. "Tidak sampai kau yang menyerah dan keluar dari sana!"
"Baiklah, kalau begitu kau yang minta!" Eyre mengulurkan tangannya dan seberkas cahaya melesat ke arah Eve, membuatnya terpental. Pedangnya pun terlepas dari tangannya dan terlempar entah kemana. Eve pun terseret di tanah beraspal sejauh beberapa meter.
"Ugh!"
Eve hendak bangkit saat menyadari bahwa sebilah pedang sudah terhunus ke arahnya. Sejenak ia menghela nafas dan menatap si pemegang pedang itu.
"Kau…"
"Kau…"
.
.
.
"Falling Sword!"
Ribuan pedang pun langsung menghujani Minotan dan Ganetan, membuat mereka tercabik-cabik dan hancur.
"Nah, itulah yang kalian dapat kalau kau berani menyerangku." ujarnya menyombongkan diri. Ia lalu pergi dari tempat itu dan mencari Eve dan Eyre.
Sementara itu Eyre menatap Eve dengan tatapan merendahkan. Eve pun membalas dengan tatapan dinginnya.
"Kenapa kau menggunakan fisik Master?" tanya Eve datar. Yang ditanya malah tertawa nakal.
"Karena dia cantik, tentu saja. Dan 'tubuh' ini dibiarkan tidak terpakai, jadi aku gunakan."
"Tidak terpakai? Justru pemilik tubuh itu sedang tertidur panjang." balas Eve dingin. "Makanya aku akan merebutnya darimu lagi."
Eyre tersenyum sinis.
"Dengan keadaanmu yang terdesak begini? Yang benar saja! Haaaaaaa!" Eyre pun bergerak menusuk dada Eve, namun sebelum pedang itu berhasil menusuknya, gerakan pedang itu terhenti.
"Kenap---uagh!" Eyre melepaskan pedangnya sembari memuntahkan darah dari mulutnya. Begitu melihat ke bawah, matanya membulat.
Eve telah menusuknya tepat di ulu hati, dengan tangan kosong. Darah pun mengalir dengan deras, membasahi gaun putih yang dikenakan Eyre dan juga tangan besi Eve. Garis-garis biru di sekujur tubuh Eve pun perlahan berubah menjadi sewarna merah darah.
[Skill Copying process]
10%
"Nah, itulah yang kalian dapat kalau kau berani menyerangku." ujarnya menyombongkan diri. Ia lalu pergi dari tempat itu dan mencari Eve dan Eyre.
Sementara itu Eyre menatap Eve dengan tatapan merendahkan. Eve pun membalas dengan tatapan dinginnya.
"Kenapa kau menggunakan fisik Master?" tanya Eve datar. Yang ditanya malah tertawa nakal.
"Karena dia cantik, tentu saja. Dan 'tubuh' ini dibiarkan tidak terpakai, jadi aku gunakan."
"Tidak terpakai? Justru pemilik tubuh itu sedang tertidur panjang." balas Eve dingin. "Makanya aku akan merebutnya darimu lagi."
Eyre tersenyum sinis.
"Dengan keadaanmu yang terdesak begini? Yang benar saja! Haaaaaaa!" Eyre pun bergerak menusuk dada Eve, namun sebelum pedang itu berhasil menusuknya, gerakan pedang itu terhenti.
"Kenap---uagh!" Eyre melepaskan pedangnya sembari memuntahkan darah dari mulutnya. Begitu melihat ke bawah, matanya membulat.
Eve telah menusuknya tepat di ulu hati, dengan tangan kosong. Darah pun mengalir dengan deras, membasahi gaun putih yang dikenakan Eyre dan juga tangan besi Eve. Garis-garis biru di sekujur tubuh Eve pun perlahan berubah menjadi sewarna merah darah.
[Skill Copying process]
10%
.
20%
.
.
.
30%
.
.
.
80%
.
.
100%
.
[Copied Skill]
Angelic Shield
Dengan sekuat tenaga Eyre berusaha menarik tangan Eve keluar dari tubuhnya, namun Eve justru menusukkan tangannya semakin dalam, mendesak Eyre untuk segera menyerah.
"K…kau!"
"Karena kau sudah berani memakai tubuh Master dengan sesuka hati maka aku akan membuatmu merasakan sakit yang dirasakan oleh Master!" ucap Eve dingin, lalu menarik tangannya keluar.
"Aaaaahhhh tidaaakkkk!"
"K…kau!"
"Karena kau sudah berani memakai tubuh Master dengan sesuka hati maka aku akan membuatmu merasakan sakit yang dirasakan oleh Master!" ucap Eve dingin, lalu menarik tangannya keluar.
"Aaaaahhhh tidaaakkkk!"
Bersamaan dengan itu aura kegelapan Eyre menguap dan hilang tanpa bekas, meninggalkan tubuh Altair yang terkulai lemas.
Altair terjatuh bersimbah darah di hadapan Eve, namun tanpa disangka Shiro berhasil menahan Altair sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Shiro langsung menidurkan Altair di pangkuannya perlahan sambil melihat ke sekeliling.
"Mana Vega? Panggil dia, cepat!" teriak Shiro. "Altair, bertahanlah!"
"Master…." gumam Eve sambil memegangi tangan tuannya.
Altair menatap Shiro dengan tatapan nanar, namun pemuda itu hanya diam, tidak menampakkan ekspresi apapun. Altair tahu, pemuda itu menahan perasaannya agar tidak menangis di depannya. Tangan kanan Altair meraih pipi Shiro yang dihiasi luka pertarungan barusan.
"Shiro…" seraknya. Namun pemuda itu tidak merespon.
"Shiro…" ucapnya pelan sembari mengusap pipi Shiro. Lagi-lagi tidak ada respon.
"Shiro-kun…"
Akhirnya pertahanan pemuda itu runtuh. Dengan perasaan campur aduk ia meraih tangan Altair.
"Apa yang kau pikirkan?" Airmata Shiro mengalir deras, membasahi wajah Altair. "Aku… khawatir padamu, bodoh! Membiarkan dirimu dikendalikan seperti itu!"
"Maaf ya Shiro…. Karena sudah membuatmu… khawatir… uhuk!" Altair terbatuk, membuat darah kembali keluar dari mulutnya.
"Master! Jangan banyak bicara!" cegah Eve khawatir.
"Altair! Sudahlah! Ayo kembali ke lab!" Shiro pun bersiap menggendong namun Altair mencegahnya.
"Aku…ingin bicara…pada Eve…." ucapnya terbata-bata. "Lagipula…waktuku tidak… banyak…"
"Tapi Altair—" ucapan Shiro terhenti saat Altair menyentuh bibirnya dengan telunjuknya sambil menatapnya polos. Lalu iris pelanginya beralih ke arah Eve yang menatapnya khawatir.
"Eve…"
"Ya, Master?"
"Kau mungkin… bingung kenapa aku menciptakanmu…" Altair tersenyum samar.
"Tapi.. sesuatu diciptakan karena ada tujuannya."
Berjalanlah terus sampai kau menemukannya…
Karena sesungguhnya, jawabannya ada dalam hatimu…
Altair terjatuh bersimbah darah di hadapan Eve, namun tanpa disangka Shiro berhasil menahan Altair sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Shiro langsung menidurkan Altair di pangkuannya perlahan sambil melihat ke sekeliling.
"Mana Vega? Panggil dia, cepat!" teriak Shiro. "Altair, bertahanlah!"
"Master…." gumam Eve sambil memegangi tangan tuannya.
Altair menatap Shiro dengan tatapan nanar, namun pemuda itu hanya diam, tidak menampakkan ekspresi apapun. Altair tahu, pemuda itu menahan perasaannya agar tidak menangis di depannya. Tangan kanan Altair meraih pipi Shiro yang dihiasi luka pertarungan barusan.
"Shiro…" seraknya. Namun pemuda itu tidak merespon.
"Shiro…" ucapnya pelan sembari mengusap pipi Shiro. Lagi-lagi tidak ada respon.
"Shiro-kun…"
Akhirnya pertahanan pemuda itu runtuh. Dengan perasaan campur aduk ia meraih tangan Altair.
"Apa yang kau pikirkan?" Airmata Shiro mengalir deras, membasahi wajah Altair. "Aku… khawatir padamu, bodoh! Membiarkan dirimu dikendalikan seperti itu!"
"Maaf ya Shiro…. Karena sudah membuatmu… khawatir… uhuk!" Altair terbatuk, membuat darah kembali keluar dari mulutnya.
"Master! Jangan banyak bicara!" cegah Eve khawatir.
"Altair! Sudahlah! Ayo kembali ke lab!" Shiro pun bersiap menggendong namun Altair mencegahnya.
"Aku…ingin bicara…pada Eve…." ucapnya terbata-bata. "Lagipula…waktuku tidak… banyak…"
"Tapi Altair—" ucapan Shiro terhenti saat Altair menyentuh bibirnya dengan telunjuknya sambil menatapnya polos. Lalu iris pelanginya beralih ke arah Eve yang menatapnya khawatir.
"Eve…"
"Ya, Master?"
"Kau mungkin… bingung kenapa aku menciptakanmu…" Altair tersenyum samar.
"Tapi.. sesuatu diciptakan karena ada tujuannya."
Berjalanlah terus sampai kau menemukannya…
Karena sesungguhnya, jawabannya ada dalam hatimu…
.
.
.
Kata-kata itu menggema di telinga Eve saat akhirnya Shiro membawa Altair ke kota Z segera setelah Vega mengobatinya. Sementara Eve hanya bisa memandangi punggung mereka yang semakin menjauh.
"Ternyata meleset sedikit tidak buruk juga ya, Paman Nurma?"
"Yah, setidaknya kita disuguhi tontonan menarik dari salah satu kandidat yang akan memasuki Alam Mimpi."
Eve menoleh ke asal suara dan mendapati seorang pria berpakaian mafia dan seorang gadis berkepala bantal yang sedang asyik berbincang-bincang di belakangnya. Tanpa sadar sensornya bergerak melakukan scan secara otomatis.
"Zainurma, dan Huban?" gumamnya perlahan. Huban pun menoleh ke arah Eve dan langsung berputar mengelilinginya dengan riang.
"Wah, kau mengenal kami!" serunya riang. "Wah, senangnya~"
"Jangan salah paham, Huban. Dia baru saja memindai kita, jadi wajar." kata Zainurma santai sambil menghembuskan asap rokoknya.
"Ehh? Benarkah?" tanya Huban tidak percaya, lalu menoleh ke arah Eve. Eve balas menatap Huban dengan tatapan datar.
"Dia benar."
"Kukira kita sudah terkenal di seantero alam mimpi.." ujar Huban sedih. Sementara Zainurma memperhatikan lingkungan di sekitar mereka dengan seksama.
"Rupanya duniamu sudah sehancur ini." pria itu menghembuskan asapnya lagi. "Dan Humanoid yang diciptakan hanya kau? Atau ada lagi?"
"Humanoid yang lain telah hancur. Hanya aku yang tersisa."
"Ehh, sedih sekali."
"Dan manusia yang tersisa hanya yang memiliki kekuatan seperti Master atau Leader… Jadi.. Keadaan dunia saat ini sudah kacau balau."
"Hm… boleh aku bertanya satu hal?" Huban mengacungkan tongkatnya. "Dark Horizon itu apa?"
"Dark Horizon itu hanya sebuah kelompok kecil untuk menjaga keseimbangan Gaia." jawab Eve singkat. "Anggota nya hanya 13 orang, dan aku bukanlah salah satu dari mereka."
"Loh, jadi kenapa kamu ikut membantu mereka?"
"Karena… Master menginginkannya…"
"Jadi kau belum punya tujuan?" tanya Zainurma dengan nada meremehkan. "Lalu kenapa kau memilih melawannya daripada mengikutinya?"
"Entahlah…" jawabnya dengan nada ambigu. "Namun bukannya kalian yang membuatnya seperti itu, kerasukan arwah nenek-nenek yang ingin awet muda?"
Mendengar itu, Zainurma menatap Eve sambil tersenyum. Senyum yang dipaksakan, sebenarnya. Tentu saja karena perumpamaan yang aneh itu.
"Bukan itu. Kami hanya menguji mu apakah kau pantas menjadi salah satu Reverier yang berhak untuk mengunjungi Alam Mimpi."
"Mimpi? Jadi ini adalah Mimpi?" tanya Eve bingung.
"Bingkai Mimpi, lebih tepatnya." jawab Zainurma. "Ini juga merupakan bagian dari Alam Mimpi, namun dalam bentuk kecilnya saja."
Iris heterochrome Eve berkilat. Tentu saja itu menjelaskan kenapa jarak kota Z, K, dan L menjadi lebih dekat dibandingkan sebelumnya.
"Kalau begitu, maukah kau ikut dengan kami? Lagipula gadis pelangi itu sudah memintamu untuk menemukan tujuan kan?"
Eve menatap Zainurma dengan tatapan datar, seperti sedang menimbang-nimbang.
"Ayolah~ Pasti akan seru kok!" sambung Huban, berusaha membujuk Eve.
Eve terdiam.
" Sebelum itu… Bolehkah aku menanyakan beberapa hal?"
"Tentu saja boleh~" jawab Huban antusias. "Silakan, tanya saja…"
"Yang kalian maksud Reverier dan Mahakarya itu… apa?"
"Ah~ kalo itu sih bisa dijelaskan sambil jalan~" elak Huban.
Namun ia kembali teringat lagi kata-kata Altair sebelum akhirnya tertidur.
Teruslah berjalan….
Sampai kau menemukan tujuanmu…
Karena setiap hal yang diciptakan itu memiliki tujuan…
"….Baiklah…"
Maka pilihlah jalan yang menurutmu terbaik…
"Ternyata meleset sedikit tidak buruk juga ya, Paman Nurma?"
"Yah, setidaknya kita disuguhi tontonan menarik dari salah satu kandidat yang akan memasuki Alam Mimpi."
Eve menoleh ke asal suara dan mendapati seorang pria berpakaian mafia dan seorang gadis berkepala bantal yang sedang asyik berbincang-bincang di belakangnya. Tanpa sadar sensornya bergerak melakukan scan secara otomatis.
"Zainurma, dan Huban?" gumamnya perlahan. Huban pun menoleh ke arah Eve dan langsung berputar mengelilinginya dengan riang.
"Wah, kau mengenal kami!" serunya riang. "Wah, senangnya~"
"Jangan salah paham, Huban. Dia baru saja memindai kita, jadi wajar." kata Zainurma santai sambil menghembuskan asap rokoknya.
"Ehh? Benarkah?" tanya Huban tidak percaya, lalu menoleh ke arah Eve. Eve balas menatap Huban dengan tatapan datar.
"Dia benar."
"Kukira kita sudah terkenal di seantero alam mimpi.." ujar Huban sedih. Sementara Zainurma memperhatikan lingkungan di sekitar mereka dengan seksama.
"Rupanya duniamu sudah sehancur ini." pria itu menghembuskan asapnya lagi. "Dan Humanoid yang diciptakan hanya kau? Atau ada lagi?"
"Humanoid yang lain telah hancur. Hanya aku yang tersisa."
"Ehh, sedih sekali."
"Dan manusia yang tersisa hanya yang memiliki kekuatan seperti Master atau Leader… Jadi.. Keadaan dunia saat ini sudah kacau balau."
"Hm… boleh aku bertanya satu hal?" Huban mengacungkan tongkatnya. "Dark Horizon itu apa?"
"Dark Horizon itu hanya sebuah kelompok kecil untuk menjaga keseimbangan Gaia." jawab Eve singkat. "Anggota nya hanya 13 orang, dan aku bukanlah salah satu dari mereka."
"Loh, jadi kenapa kamu ikut membantu mereka?"
"Karena… Master menginginkannya…"
"Jadi kau belum punya tujuan?" tanya Zainurma dengan nada meremehkan. "Lalu kenapa kau memilih melawannya daripada mengikutinya?"
"Entahlah…" jawabnya dengan nada ambigu. "Namun bukannya kalian yang membuatnya seperti itu, kerasukan arwah nenek-nenek yang ingin awet muda?"
Mendengar itu, Zainurma menatap Eve sambil tersenyum. Senyum yang dipaksakan, sebenarnya. Tentu saja karena perumpamaan yang aneh itu.
"Bukan itu. Kami hanya menguji mu apakah kau pantas menjadi salah satu Reverier yang berhak untuk mengunjungi Alam Mimpi."
"Mimpi? Jadi ini adalah Mimpi?" tanya Eve bingung.
"Bingkai Mimpi, lebih tepatnya." jawab Zainurma. "Ini juga merupakan bagian dari Alam Mimpi, namun dalam bentuk kecilnya saja."
Iris heterochrome Eve berkilat. Tentu saja itu menjelaskan kenapa jarak kota Z, K, dan L menjadi lebih dekat dibandingkan sebelumnya.
"Kalau begitu, maukah kau ikut dengan kami? Lagipula gadis pelangi itu sudah memintamu untuk menemukan tujuan kan?"
Eve menatap Zainurma dengan tatapan datar, seperti sedang menimbang-nimbang.
"Ayolah~ Pasti akan seru kok!" sambung Huban, berusaha membujuk Eve.
Eve terdiam.
" Sebelum itu… Bolehkah aku menanyakan beberapa hal?"
"Tentu saja boleh~" jawab Huban antusias. "Silakan, tanya saja…"
"Yang kalian maksud Reverier dan Mahakarya itu… apa?"
"Ah~ kalo itu sih bisa dijelaskan sambil jalan~" elak Huban.
Namun ia kembali teringat lagi kata-kata Altair sebelum akhirnya tertidur.
Teruslah berjalan….
Sampai kau menemukan tujuanmu…
Karena setiap hal yang diciptakan itu memiliki tujuan…
"….Baiklah…"
Maka pilihlah jalan yang menurutmu terbaik…
Story End~
>robot perempuan yang bisa nembakin laser
BalasHapusSaya baru tau oc saya ada counterpartnya gini
Baca ini berasa ada bagian yang dilongkap sama penulis, karena meski nangkep nama" yang ada, tapi kurang penjelasan mereka" ini siapa atau settingnya gimana. Yah, mungkin ada sih, tapi tetep ga banyak dan berkesan tiba". Contoh paling jelasnya pas nama Deneb sama Vega disebut, dan saya langsung bingung ini siapa? Arisa sama Chunhua ini juga, buat apa disebut kalo mereka ga nongol lagi sepanjang cerita dan mati duluan offscreen? 13 ini siapa? Saya cuma nangkep Eve, Altair, dan Shiro, tapi selain bahwa Eve itu humanoid yang modelnya dari Altair dan Altair-Shiro keliatannya pasangan, siapa Altair atau Shiro juga kayaknya saya rada miss
Dan tantangannya kayaknya ga nyambung sama cerita ini. Malah bikin pertanyaan lagi, jadi Eyre yang ngerasukin Altair ini siapa - atau apa? Mungkin ke depannya coba buat cerita yang lebih jelas buat dicerna pembaca dan ga mancing buat banyak nanya kayak saya di sini
Nilai 7
Laser itu adalah pengembangan dari senjata utama Altair (B-Dama) tapi Eve lebih jago pake pedang daripada nembak...
HapusDan ini kesalahan fatal = aku kurang eksplor alam asalnya Eve --" (pengaruh ngantuk + ngejar deadline)
Deneb dan Vega itu kembaran dari Altair, 13 adalah anggota terakhir Dark Horizon, dan Eyre yang ngerasukin Altair itu adalah monster tanpa wujud yang make tubuh Altair karena dianggap 'tidak dipakai', walaupun ini setting dari Zainurma dan Huban juga buat menguji Eve..
Kalo dibilang sih ini sebenarnya script belum mateng tapi keburu dikirim karena kepepet deadline <<< dari kemaren juga mengutuk diri karena kebodohan diri sendiri (terus kenapa gak minta kirim ulang mbak? *plakk)
Kalo ada kesempatan buat ikut babak 1 mungkin akan di jelaskan lagi tentang sebagian dari mereka terutama Altair.
Sign,
Lyre Reinn
Tokohnya banyak, tapi yang dimainin dikit. Tokoh selain Altair, Shiro, dan Eve enggak jelas siapa mereka.
BalasHapusDi tengah cerita ada beberapa narasi yang buat saya kurang ngeh. Ada penyakit, ruangan yang enggak boleh Eve masuki, padahal kan kalaupun enggak ada narasi tentang itukan cerita masih bisa jalan dengan semestinya. Kaya enggak ada gunanya gitu dlam cerita.
Dan Eve enggak dapat domba.
6 dariku
-=AI=-
Ruangan yang Eve gak (mau) masuki adalah ruangan tempat Altair tertidur (ruangan tempat Shiro naruh buket bunga mawar itu)
HapusYang lain (maaf) kalo kesannya numpang lewat... aku lupa kasi keterangan... (kebiasaan buruk)
Eve dapat domba kok... tapi karena aku bingung tempatkan narasi soal itu jadi akhirnya gak ditulis..
Oke makasih udah mampir~
Sign,
Lyre Reinn
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKonsepnya menarik, tapi rasanya terlalu banyak yang terjadi di latar belakang tapi kemudian hanya setengah-digali. Memang menimbulkan rasa penasaran, tapi juga bisa jadi bumerang kalau lupa disimpulkan. Selain itu udah lumayan.
BalasHapus6/10
Nazhme Kaikhaz
Writer Nightpen
Uhh... maafkan diriku karena akhirnya lupa menyimpulkan...
HapusKebiasaan nulis fanfiction setengah" dan di lanjut di chapter berikutnya... *dibakar
Makasih rate nya~ XD
Sign,
Lyre Reinn
ni entri karakternya rame, tp yg manggung dikit amat yah. sbenernya ceritanya punya development bagus kayak robot iris. cuma eksekusinya lumayan kurang nendang.
BalasHapusalignment challengenya juga agak miss... kalo bisa sih perwatakannya lebih digali lagi. dan juga belajar buat membagi fokus ke karakter lain. tenang aja, saya juga dalam proses itu kok
6 Axel Elbaniac
Kemaren pas nulis emang kepikiran soal bagi spotlight, tapi takut kelebihan porsi jadi aku fokuskan di Eve... malah jadi gini... :'v
HapusYosh~ aku akan belajar lagi!
Makasih udah mampir~
Sign,
Lyre Reinn
Wah, rame banget pemerannya di sini. Sayangnya tidak dibarengi dengan pembagian porsi karakter yang pas. Penjiwaan karakternya juga kurang kalau menurut saya.
BalasHapusKonsep yang menurut saya masih rancu juga bikin entri ini kurang nikmat. Saya gak masalah sih simpen banyak misteri di dalam sebuah cerita. Tapi kalau terlalu banyak tanda tanya ya pembaca juga kebingungan sama plotnya. Kayak ditunjukin tebak-tebakan gitu, dan ga semua orang mau mikir keras buat nebaknya :s
Buat nilai, saya titip 7 ke mbak Evangeline, apakah mba Evangeline bisa makan tahu bulat?
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut.
Iya bener juga (._.")
HapusKonsepnya datang 8 jam sebelum deadline pertama... awal" masih ngeblank dan feel masih ke Altair malahan... :'D
Makasih rate nya~ XD
Eve bisa makan kok sebagai pengganti energi :3 apa aja bisa dia makan dengan syarat : itu makanan.
Eve : Tahu bulat? Apa itu?
Lyre : Gak tau, aku juga gak pernah makan.. :'v gak ada yang jual di sini...
Okeh, sekian.. makasih udah mampir~ XD
Sign,
Lyre Reinn
Gambarkan seperti ini: Anggota Dramkor siap terjun, tapi ujuk2 cma segelintir turun dikarenakan kendala klasik "Telat bro"
BalasHapus"Wah bru tau hari ini"
asumsi keramaian tadi jadi cma segelintir turun.
Lorenya dilongkap. Spekulasi 2
gak dibahas, atau bakal masuk R1 kalau lolos.
Kalau alesannya dilongkap, karena bakal all-out kalo masuk R1.
Yaudah gue bantu wujudkan.
Lyre Reinn, (gue suka penamaan karakternya) ini, Lyre Reinn dri FBC kan?
Saya menantikan debut kamu di R1
8.
OC: Kaminari Hazuki
"Shiro-kun baka!" kalo bayangin versi jepangnya "Shiro-kun kau bodoh!" /plak
BalasHapuscerita yang menarik menurut saya. tapi seperti di komentar sebelumnya, entry ini begitu banyak tokoh tapi cuma "numpang lewat".
perpindahan scenenya masih agak kasar dengan kejadian yang begitu berpindah secara cepat membuat saya seperti melihat film yang speednya dinaikan.
nilai dari saya 7. semoga sukses..
Dwi Hendra
OC : Nano Reinfield
Saya rada nggak ngeh dengan Altair yang diceritakan tak sadarkan diri lalu ada penjelasan bahwa ia sendang menjelalajah di Alam Mimpi, loh? Bukannya yang ditandai itu Eve ya? Lalu kenapa Altair bisa berada di Alam Mimpi? Lalu kenapa Shiro bisa tahu bahwa Altair lagi di Alam Mimpi? Atau saya melewatkan sesuatu?
BalasHapusTerus disajikan scene dengan Altair yang tiba2 ngomong "aku kangen" ke Shiro. Loh, tadi katanya tak sadarkan diri? Tapi kok seketika bisa ngomomong kaya gitu ke Shiro? Ini udah bangun gitu apa gimana?
Terus lagi disajikan scene kalo Eve sudah berada di K City. Ini membuat saya ngedumel lagi. Lah, ini kenapa Eve udah di kota K? Apa yang dia lakuin disana dan kenapa? Ini ceritanya sebenarnya bagaimana? Siapa itu Kakak? Kenapa mereka mencari Kakak?
Tapi, setelah membaca entri hingga selesai akhirnya semua terjelaskan sudah.
Memang sangat dianjurkan untuk membuat pembaca itu penasaran dengan cerita yang disajikan, tapi jika pembawaannya seperti itu yang terkesan melompat-lompat dan seketika aja udah kejadian ini, seketika aja udah kejadian itu, malah bisa membuat pembaca (atau cuma saya?) ngga ngerasa penasaran, malah jatuhnya ngedumel dan kesel. Mungkin bisa lebih dijelaskan sedikit lagi dan diperhalus lagi tanpa mengurangi rasa penasaran pembaca.
Lalu juga seperti penjelasan diatas, banyak sekali tokoh di sini, namun tidak ada setidaknya satu penjelasan singkat sebenarnya mereka itu siapa. Bener-bener ngga tahu siapa itu Deneb dan Vega, kenapa mereka mau menolong Eve dan Shiro?
Dan jika ada tokoh yang sebenarnya tidak punya andil besar dalam cerita seperti 13, Arisa, Chunhua, mungkin sebaiknya dihilangkan saja.
Nilai 6
~ Alexine E. Reylynn
Walaupun banyak nama-nama yang muncul dan tidaj dijelaskan siapa mereka. Tapi saya suka dengan alur ceritanya.
BalasHapusEve disini kebagian jatah cerita yang pas untuk karakter utama, nggak ketutupan sama karakter sampingan yang mana sering terjadi di dalam cerita yang banyak karakter tambahan didalamnya. Karakterisasi Eve juga udah oke, dingin-nya dapet.
Ada beberapa kalimat yang mengandung pengulangan kata yang terlalu sering. Tapi itu nggak masalah sih.
Oke deh. Skornya 8 dari saya.
Oc: Ulrich Schmidt
Tokoh yang muncul banyak, ya. Kalau bisa setiap karakter sampingannya diberi sedikit tambahan definisi. Beberapa kesalahan teknis juga ada. Tambah hati-hati, ya.
BalasHapusNilai: 7
SERILDA ARTEMIA
Deneb, Vega, monster portal, aura-aura kamen ridernya kuat disini. /gak
BalasHapusUntuk setting, walau kelihatannya setengah jadi sebenarnya sudah bagus menurutku, walau kebanyakan karakter dan perannya juga cuma figuran(?). Hope you improve it later.
Untuk pertarungannya, rada-rada anime/toku abis sih. Dan dari yang saya lihat kebanyakan dialognya pakai tanda seru. Pada panik semua kayaknya.
7/10
OC : Takase Kojou
entri ini lbh kurang sama kyk salah entri yg lain, rame karakternya, udah rame cuma sekilas nongolnya
BalasHapussettingan udah lumayan lumayan bagus, cuma saat berpindah settingnya maksa banget
7
Samara Yesta~