oleh : Suihei Yugure
--
Satu lagi hari yang sempurna bagi Lilia Fiennes. Yang mana sempurna bagi gadis itu adalah ia menghabiskan hari liburnya dengan membaca grimoire di perpustakaan keluarganya.
Lilia hanya meninggalkan perpustakaan dua kali untuk pergi ke toilet. Selebihnya, ia habiskan dengan membaca ulang buku-buku yang seluruhnya setidaknya sudah pernah ia baca dua sampai tiga kali. Sesekali beberapa pelayan masuk mengantar makanan dan teh.
"Nona Lilia."
Lilia yang terlalu fokus membaca tidak pernah menyadari kehadiran orang lain sampai orang itu menyapanya, ia menoleh dan mendapati salah seorang pelayan membungkuk hormat di sampingnya.
"Malam semakin larut. Sebaiknya anda tidur agar tidak terlambat besok pagi," lanjut pelayan itu.
Lilia mengeluarkan dan membuka jam sakunya, "Ah sudah selarut ini..." Gadis itu menutup buku yang tengah ia baca dan membawa buku itu beserta dua buku lain dari tumpukan buku di atas meja bacanya.
"Ah nona, biarkan saja. Saya akan merapikannya," sergah pelayan itu cepat. Tetapi Lilia tidak mengindahkannya dan tetap membawa buku-buku itu ke rak.
"Aku yang bikin berantakan kok," ujar Lilia. Ia kembali ke meja baca dan membawa dua buku besar, tebal, dan berat ke rak.
Pelayan itu turut mengambil beberapa buku dari atas meja dan membawanya ke rak di sebelah gadis itu. "Kalau begitu, izinkan saya membantu. Tenang saja, saya sudah hafal posisi letak seluruh buku di sini."
Senyum lebar mengembang di wajah gadis itu, "Terima kasih banyak Stella! Aku benar-benar terbantu," serunya riang.
Keduanya kemudian bekerja dalam diam –kecuali Lilia yang terus bersenandung- selama beberapa saat. Mereka bolak-balik mengambil buku dari meja dan meletakkannya kembali ke rak. Banyak dari buku itu memiliki ukuran dan berat yang jauh di atas buku pada umumnya dan harus dibawa satu-persatu.
Lilia memiliki kebiasaan tidak meletakkan kembali buku yang telah ia baca ke rak. Ia akan membiarkannya tergeletak di atas meja baca perpustakaan yang besar dan mengambil buku lainnya. Membuat gadis itu menumpuk pekerjaan besar yang menantinya ketika ia selesai membaca. Tapi sorot mata dan ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia menikmati pekerjaan itu.
"Dan ini yang terakhir!" Lilia meletakkan buku dengan sampul bertuliskan Solidity Control in Earth Magic pada rak. Ia kemudian berjalan keluar perpustakaan diikuti sang pelayang di belakangnya.
"Stella, Stella, aku rasa aku menemukan teknik baru dalam pyrokinetic. Aku baru sadar ketika membaca ulang bab empat puluh delapan buku Grenfell."
Lilia tidak pernah memedulikan cara berjalan Stella yang umum dilakukan para pelayan sebagai bentuk hormat pada majikan mereka dengan berjalan di belakang sang majikan. Gadis itu lebih memilih berjalan beriringan dengan pelayan setianya.
"Saya harap anda tidak mencoba teknik tersebut dengan bolos pengarahan rutin sekolah," balas si pelayan sambil tersenyum.
"Geh..." Lilia menghentikan langkahnya dan tampak terkejut. "Bagaimana... bagaimana kau tahu aku mau melakukan itu?"
Pelayan itu terkikik kecil, "Saya sudah bersama nona Lilia semenjak anda masih bayi. Sudah pasti saya mengetahui kebiasaan-kebiasaan yang sering anda lakukan."
"Habisnya, pengarahan rutin itu membosankan. Mendengarkan ceramah sok bijak tidak penting paman botak tukang mabuk itu," gerutu Lilia.
"Aku yakin kepala sekolah akan senang mendengar pendapat nona ketika ia berkunjung untuk minum dengan tuan besar besok malam."
Mata gadis itu berbinar-binar seketika, ekspresinya kembali ceria. "Papa sudah pulang dari Rumania?"
Stella menggeleng, "Belum, tapi tuan besar mengirimkan surat yang mengatakan ia akan sampai besok," ujarnya.
"Wah, aku tidak sabar melihat grimoire macam apa lagi yang dibawa ayah." Lilia bergumam-gumam sendiri dengan bahagia.
"Dan karena besok kepala sekolah akan datang, bukankah nona dapat menunjukkan teknik tersebut padanya dan meminta pendapat langsung seorang ahli?" saran Stella.
"Ah aku lupa dia punya gelar Archwizard dan ahli sihir api. Baiklah, akan kubuat dia hangus besok malam!" Lilia berseru semangat sementara Stella memperhatikannya sambil tersenyum.
"Ah iya Stella, aku ingin mandi dulu sebelum tidur ya. Badanku pegal semua, ingin berendam sebentar."
Pelayan itu membungkuk kecil, "Aku akan mengambilkan pakaian ganti. Nona silakan langsung menuju kamar mandi saja."
Lilia membalasnya dengan 'trims' pelan tidak jelas dan langsung bergegas ke kamar mandi.
***
"Aaahhh..." Lilia menghenyakkan dirinya di atas tempat tidur besarnya. "Hari yang menyenangkan," gumam gadis itu.
Seakan teringat sesuatu, ia melompat bangun dan beranjak menuju lemari pakaian di pojok kamar. Lilia membuka lemari itu dan menyentuh lantai lemari dengan telapak tangannya.
"Ego Ajure est Ego." Ia bergumam.
Lantai lemari itu menghilang, menampakkan ruang penyimpanan rahasia di bawahnya. Terdapat dua buku besar di dalam ruang tersebut. Lilia mengambil salah satu buku itu dan kembali bergumam, "Exsto." Yang membuat lantai lemari itu muncul kembali, menyembunyikan ruang penyimpanan tersebut.
Sekali lagi Lilia menghempaskan dirinya ke tempat tidur. Matanya memandang judul buku yang tertera di sampul. Judul buku itu tertulis dalam huruf rune. Begitu pula dengan isi buku tersebut. Penyihir pada umumnya akan menggunakan grimoire yang memberikan kemampuan menguasai bahasa lain untuk membacanya, namun Lilia berbeda.
Bagi gadis itu, menggunakan cara semacam itu akan mengurangi kenyamanan dalam membaca. Jadi ia mempelajari secara manual dan berhasil menguasai huruf rune dan berbagai bahasa kuno beberapa tahun silam. Ia merasa hal semacam ini amat diperlukan karena ayahnya seringkali membawa grimoire-grimoire kuno yang menarik. Dan sebagian besar tertulis dalam rune.
"Necronomicon..." gumamnya.
Lilia tidak ingat sudah berapa kali ia membaca buku itu semenjak menemukannya di ruang rahasia perpustakaan. Entah mengapa ia merasa tidurnya menjadi lebih nyenyak apabila membacanya sebelum tidur. Tanpa disadarinya, hal tersebut telah menjadi kebiasaan rutin.
Perlahan tangan gadis itu membalik halaman buku itu dan mulai membaca.
***
Sosok itu samar...
Tapi cukup jelas bagi Lilia untuk mengetahui bahwa sosok itu adalah seorang pria.
Reveriers... mahakarya... alam mimpi...
Kata-kata pria itu terdengar samar, ia tidak mengerti apa maksudnya.
Ia hendak meminta pria itu mengulangi kata-katanya, mulutnya terbuka, tapi tidak ada suara yang keluar.
Detik berikutnya lengkingan kemarahan terdengar, pandangannya tertutupi oleh bulu-bululembut dari sayap hitam legam.
Gagak? Apa maksudnya? Kenapa ada bisa ada gagak?
Ia hendak menyingkirkan sayap itu, tapi kali ini tangannya yang hanya diam, tidak bekerja sesuai keinginannya.
Lengkingan itu tergantikan oleh suara gemuruh. Dari balik suara gemuruh itu, ia merasakan seseorang memanggil namanya.
"Lilia..."
"Lilia..."
Suara itu memenuhi kepalanya, menganggu pikirannya. Ditambah seakan ada sesuatu yang menyodok lengan atasnya terus menerus.
Diam...
"Lilia..."
Diam...
"Lilia..."
Hentikan...
"Lilia... hey..."
Lilia membuka mata, ia menoleh pada gadis yang duduk disebelahnya, gadis itu berbisik memanggil serta mencolek lengannya.
"Amy?" gumam Lilia bingung.
"Kepala sekolah melihat ke arah kita. Bangun," bisik gadis itu lagi.
Kali ini Lilia menatap lurus ke depan, pada pria dengan kepala botak dengan jas resmi yang tengah tersenyum ke arahnya.
"Kau ketiduran selama pengarahan kepala sekolah ya, apa kau sedang tidak enak badan? Mau kuantar ke ruang kesehatan?"
Lilia menggeleng, "Aku tidak apa-apa Amy," balasnya. Gadis itu memandang sekitarnya, ia berada di aula sekolahnya.
Ruangan itu sangat luas, berbentuk seperti gedung orkestra dengan panggung dan podium di tengahnya. Tempat di mana kepala sekolahnya berdiri saat ini. Lilia mengalihkan perhatiannya pada tas sekolah yang tergeletak di sisi kursinya. Matanya sekilas menangkap sampul yang amat dikenalinya.
Dengan cepat Lilia mengeluarkan buku itu dari dalam tas. Ia tidak salah, Necronomicon.
"Bagaimana..."
Lilia tidak pernah membawa buku itu keluar dari kamarnya, ia tidak ingin seorangpun mengetahui akan buku yang ia temukan di ruang rahasia perpustakaan dalam peti kayu yang tersegel oleh sihir kuat. Karena ia tahu pengamanan semacam itu menandakan buku itu bukan buku biasa.
Suara keras dari atas podium menyadarkan Lilia dari gumamannya. Kepala sekolah selalu menutup pengarahan pagi di awal minggu dengan sihir teleportasi khas miliknya yang membuat seakan tubuh pria itu habis terbakar api dan menimbulkan suara ledakan di saat akhir.
"Dasar tukang pamer," gerutunya.
Sekarang aula tersebut bising dipenuhi oleh suara murid-murid yang bangkit dari tempat duduk dan saling mengobrol satu sama lain seraya berjalan menuju pintu keluar.
"Lilia, kau tidak pergi?" tanya gadis yang duduk di sebelahnya.
"Kau duluan saja Amy, aku akan menyusul," balas Lilia.
Gadis itu menggangguk, "Aku duluan ya kalau begitu," ujarnya.
Lilia tersenyum pada gadis itu, ia kemudian kembali mengarahkan perhatiannya pada buku yang ia pegang. Ia tidak pernah dan tidak akan membawa buku ini keluar. Kenapa buku itu bisa berada dalam tasnya? Gadis itu mencoba mengingat-ingat apakah ia seteledor itu sampai bisa salah memasukkan buku.
Saat itulah ia sadar akan sesuatu. Ia tidak bisa mengingat bagaimana dirinya sampai ke sekolah pagi itu, ia tidak bisa mengingat bagaimana ia bersiap sebelum ke sekolah. Bahkan, ia tidak bisa ingat bagaimana dia bangun pagi itu.
"Apa yang terjadi? Apa ini semua mimpi? Lucid Dream?" Lilia mencubit pipinya dengan keras dan menepuk muka dengan kedua tangannya. "Tidak, ini terlalu nyata sebagai mimpi. Dan sihir ilusi sekalipun harusnya pecah begitu aku menyadari ini semua tidaklah nyata. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Suara bising sudah tidak terdengar lagi, namun aula tersebut masih ramai dipenuhi orang. Perlu beberapa saat bagi Lilia untuk sadar akan sebuah keanehan yang tengah terjadi. Seluruh orang yang berada di aula itu, mereka semua diam mematung, wajah-wajah mereka masih menunjukkan ekspresi terakhir yang mereka bentuk.
"A-amy? Apa yang terjadi?" Lilia menepuk pundak gadis yang memunggunginya. Tubuh gadis itu keras dan kaku.
"George? Arthur? Anna? Rose?"
Seluruh orang yang Lilia hampiri bernasib sama.
"Ada apa... kenapa kalian semua begini?"
Seketika, keheningan itu terpecah oleh dentang bel yang menggema ke seluruh penjuru ruangan. Lilia mencari asal suara itu. Bel sekolah tidak mengeluarkan suara seperti itu. Suara bel ini terdengar sangat megah. Berulang-ulang dalam interval yang sama. Mendengarkannya membangkitkan rasa takut yang tersimpan dalam diri gadis itu.
Sesosok wanita muncul dari begitu saja di atas podium. Lilia terbelalak menatap sosoknya. Wanita itu mengenakan gaun putih, rambut coklat panjangnya terurai, sayap hitam besar di punggungnya terentang lebar. Menakutkan, pikir gadis itu. Tetapi indah di saat bersamaan.
"Namaku Lucifer," ujarnya dengan suara yang dalam dan lembut. "Salah satu dari tujuh iblis penjaga dari Necronomicon. Perlambangan dari kebanggaan dan harga diri manusia. Aku datang untuk menilai kelayakanmu sebagai pemilik baru buku itu."
"Lu-Lucifer? Kau benar-benar nyata? Buku ini benar-benar menahan tujuh iblis? Kalau ini semua benar berarti..."
Berikan kepadaku apa yang menjadi paling berharga bagimu, maka kau akan diampuni.
Berikan kepadaku apa yang paling kau hargai, maka kau akan dikaruniai.
Berikan kepadaku apa yang menjadi kebanggaan terbersarmu, maka kau akan diakui.
Suara-suara itu menggaung di aula. Lilia mengetahui itu semua, semuanya tercantum dalam buku tersebut bagaimana para iblis penjaga muncul satu-persatu dan memberikan tes untuk menilai kelayakan para pemilik.
Kejadian-kejadian yang jauh lebih menyeramkan terjadi pada mereka yang gagal melalui tes yang diberikan. Karena ketika pertama kali gadis itu mencoba untuk mengaktifkan grimoire tersebut tidak ada satupun hal yang terjadi, ia menganggap itu semua hanyalah fiktif.
Sampai saat ia bertemu langsung dengan salah satu iblis itu sekarang.
"A-apa yang kau inginkan..." ujarnya terbata-bata.
Lucifer memperhatikan gadis itu sejenak, "Hubungan... tidak... bukan itu... kekayaan... bukan... kau tidak mengangaggap itu sesuatu yang penting... mari kita lihat... aku tahu."
Wanita itu menunjuk buku di tangan Lilia, senyum mengembang di wajahnya yang semula tidak menunjukkan ekspresi.
"Grimoire... kebanggaan terbesar yang kau miliki. Yang membuat kau menganggap dirimu di atas orang lain. Yang kuminta, adalah seluruh memorimu akan grimoire."
Lilia bergidik ngeri, "Ke-kenapa? Bukankah semua orang memiliki grimoire? Bukankah semua orang bisa menggunakan grimoire?"
"Karena kau melebihi dari sekedar memiliki dan menggunakan. Kau membacanya berulang kali, menjadikan pemahamanmu tentangnya lebih mendalam. Kau menganalisanya secara mendetil, menciptakan beragam bentuk penggunaan yang menguntungkan. Kau mengendalikan grimoire, bukan sekedar menggunakannya. Menciptakan pikiran dimana kau menganggap dirimu di atas orang lain."
Semua itu benar, Lilia tidak dapat berkilah. Ia bangga akan dirinya yang mampu menggali potensi grimoire melebihi siapapun, ia bangga akan dirinya yang mampu mengendalikan grimoire melebihi siapapun.
"A-aku..." gadis itu mundur beberapa langkah. "Aku berjanji akan mengembalikan buku ini ke tempat semula. Aku berjanji tidak akan mengusik kalian lagi. Jadi aku mohon... lepaskan aku, kembalikan teman-temanku seperti semula." Gadis itu memohon, namun Lucifer menggeleng.
"Begitu tes sudah diberikan. Hanya ada dua kemungkinan. Lulus, atau gagal. Begitu tes berakhir, segalanya akan kembali normal."
"Tidak... tidak mau!" Lilia berlari keluar dari Aula. Ia berlari tanpa arah menyusuri lorong sekolahnya. Yang seakan tidak berujung.
Ketakutan semakin menyelimuti diri gadis itu, semakin lama ia berlari, semakin besar ketakutan dalam dirinya tumbuh. Entah bagaimana, sebuah pintu muncul di sisi kiri lorong begitu ia mengharapkan berada di tempat lain. Tanpa berpikir panjang, gadis itu masuk.
Ruangan yang baru ia masuki ini terasa tidak asing, puluhan rak yang menampung ribuan koleksi buku memenuhi ruangan itu. Tempat ini lebih dari sekedar tidak asing, Ia baru saja menghabiskan waktu seharian di sini kemarin.
Perpustakaan keluarga Fiennes.
"Bukankah aku tadi berada di sekolah? Kenapa bisa begini?" gumamnya bingung. Ia meraih salah satu buku dari rak terdekat dan membukanya. "Eh sepertinya aku belum pernah baca bagian ini."
Lilia membolak-balik halaman buku itu ia setidaknya pernah membaca seluruh buku paling sedikit dua kali. Tapi ia merasa tidak mengetahui isi buku tersebut. Gadis itu mengambil buku lainnya, berusaha mengingat-ingat apa isinya. Namun ia tidak dapat mengingat apapun. Begitu pula dengan buku berikutnya yang ia ambil. Buku kelima, ia masih dapat mengingat isinya tanpa masalah. Keenam, ia tidak ingat. Ketujuh, ia hanya dapat mengingat sebagian kecil isi buku tersebut.
Pada saat itu, pintu perpustakaan terbuka dan sosok Lucifer berjalan masuk. "Kau tidak bisa lari Lilia. Putuskan pilihanmu," ujarnya. Ia menatap lurus pada gadis itu, "Aku akan menunggu, tapi aku tidak dapat menunggu terlalu lama."
"Menunggu? Padahal kau sudah melakukan sejauh ini? Kau mengambil memoriku sedikit demi sedikit bukan? Aku mengingat isi semua grimoire yang terdapat di perpustakaan ini. Namun sekarang mereka terasa asing. Apa yang sudah kau lakukan padaku..." Lilia berseru frustasi.
Lucifer terdiam sesaat, "Semenjak tes ini dimulai. Apa yang menjadi kebanggaanmu akan mulai terkikis. Karena itu aku mengatakan, aku tidak dapat menunggu terlalu lama.
Pada saat itu Lilia tahu, apapun pilihan yang ia ambil, segalanya akan berakibat sama. Oleh karena itu, hanya ada satu jalan keluar untuk mendapatkan akhir baik dari segalanya, untuk menyelamatkan teman-temannya, dan untuk mengembalikan segalanya seperti semua. Ia harus mengalahkan wanita itu.
Dengan cepat Lilia mengambil salah satu grimoire di dalam tasnya. Grimoire itu terbuka di tangan kirinya, sementara tangan kanannya terarah pada wanita di hadapannya. Bola-bola api terbentuk dari dan langsung menghujani Lucifer tanpa ampun.
Namun Lucifer turut mengangkat tangannya dan bola-bola api itu menghilang sebelum dapat melukai wanita itu.
"Bagaimana kalau begini." Lilia melakukan gerakan memutar dengan tangan kanannya. Cincin api terbentuk mengelilingi tubuh lawannya. Beberapa saat kemudian, cincin api itu berubah menjadi kobaran api yang menyelimuti tubuh wanita itu.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Lilia berlari melewati Lucifer yang tampak diam walau seluruh tubuhnya dijilati api. Dan keluar dari perpustakaan itu.
Lilia tidak mendapati dirinya berada di lorong seperti sebelum ia memasuki perpustakaan. Melainkan berada di tengah podium aula sekolahnya. Tidak ada pintu tempat ia baru saja keluar dari perpustakaan. Seakan-akan dirinya secara tiba-tiba ditempatkan di sana segera setelah berlari keluar.
"Mengesankan sekali. Aku tidak menyangka kau akan mencoba melawan."
Lucifer muncul dari belakang panggung tempat podium berada.
"Tentu saja, semua orang pasti akan melawan," seru Lilia. Raut wajahnya serius, pandangannya lurus tertuju pada wanita yang berjalan ke arahnya.
"Sayang sekali kau salah." Lucifer menggelengkan kepalanya, "Ada satu orang yang-"
Kata-kata wanita itu terputus oleh gerakan cepat Lilia yang menghentakkan kakinya ke tahan dan melakukan gerakan mengangkat dengan jarinya.
Lilia telah menantikan saat itu, ia sengaja menjauhi dan keluar dari perpustakaan untuk menyiapkan serangan yang tidak dapat lawannya duga.
Namun apa yang terjadi berikutnya di luar perkiraan gadis itu.
Sihir apinya meleset. Pilar api besar yang seharusnya menyelimuti Lucifer terbentuk beberapa meter di belakang wanita itu. Selain itu, alih-alih pilar api besar, hanya kobaran api saja yang terbentuk.
"Apa? Kenapa..." Lilia tercengang. Teknik itu sudah berulang kali ia gunakan. Serangan tidak tiba-tiba yang tidak terdeteksi oleh lawannya. Memberinya keuntungan sepersekian detik sebelum lawannya dapat menggunakan kekuatan pertahanan. Namun ini pertama kalinya bukan hanya meleset, namun gagal memunculkan bentuk api yang ia inginkan.
Lucifer menatap kobaran api di belakangnya yang lenyap tak lama kemudian, "Kau benar-benar serius ingin bertarung ya?" tanyanya.
Lilia tidak menjawab, ia kembali berkonsentrasi dengan mata terpejam. Api menyelimuti tangan kanannya selama beberapa saat sebelum padam secara tiba-tiba.
"Kau sudah kehabisan mana. Menyerahlah Lilia..."
Gadis itu menggeleng, "Masih belum..." ujarnya pelan. Ia memasukkan kembali bukunya ke dalam tas dan meletakkan tas itu di lantai. "Aku masih bisa bertarung..."
Lilia berlari ke arah Lucifer yang entah bagaimana secara tiba-tiba telah berada di hadapan gadis itu dan menahan kedua tangannya.
"Kau bertindak sejauh ini, sampai ingin menyerangku dengan tangan kosong. Apa yang sebenarnya kau pikirkan?"
Lilia terdiam, ia tahu ia tidak memiliki harapan untuk menang. Walau begitu, ia tidak boleh kalah.
"Le-lepaskan aku..." dengan sekuat tenaga ia meronta berusaha melepaskan tangannya dari pegangan Lucifer.
"Kenapa kau berusaha sampai seperti ini?"
"Karena aku tidak boleh kalah."
"Kenapa?"
"Karena aku harus menyelamatkan mereka darimu." Lilia menoleh ke arah ratusan siswa yang diam mematung.
"Begitukah?"
Lucifer melepaskan Lilia, ia berjalan menjauhi gadis dan berdiri di sisi ujung podium.
"Kalau kau masih ingin bertarung, bagaimana kalau kuberi kau satu kesempatan." Lucifer mengarahkan tangannya pada Lilia dan seketika gadis itu merasakan segala keletihannya hilang, dan mananya telah penuh kembali.
"A-apa yang? Kenapa memulihkanku?" Lilia kebingungan. Ia menatap Lucifer yang sekarang tersenyum penuh arti.
"Sudah kubilang, kau akan kuberi satu kesempatan. Dan sebagai simbol dari kebanggaan dan harga diri, aku selalu menepati kata-kataku. Nah sekarang, dengan seluruh kekuatan yang kau miliki, serang aku. Aku tidak akan bergerak ataupun bertahan sama sekali."
Sebelum Lilia sempat berkata-kata, Lucifer mengibaskan tangannya. Gadis itu terbelalak, sosok yang amat dikenalnya muncul di hadapannya dan berdiri di depan Lucifer.
"Stella! Hei Stella!" Lilia hendak berlari menghampiri pelayannya, namun kakinya tidak dapat bergerak sama sekali. "Lucifer! Apa yang telah kau lakukan padanya? Stella, hei? Kau mendengarku?"
Wanita dengan seragam pelayan itu tetap diam bergeming. Pandangannya kosong.
"Nah, ayo. Serang aku. Apalagi yang kau tunggu Lilia? Serang aku, akhiri ini semua, dan kau akan mendapatkan kembali memorimu."
"Pengecut!"
Lilia mengeluarkan grimoire pengendalian api dari dalam tasnya. Tangan kirinya memegang grimoire yang terbuka dan tangan kanannya terarah pada Stella yang berdiri menghalangi dirinya dan Lucifer.
Beberapa saat berlalu, namun tidak ada yang terjadi. Lucifer masih berdiri dan tersenyum memandangnya, "Ayo Lilia, waktumu tidak banyak lagi."
Aku bisa melakukannya...
Mata Lilia menatap tajam melewati Stella pada sosok Lucifer. Tangannya terangkat dengan mantap.
Sihir pengendalian api adalah sihir yang paling bebas. Pengguna dapat mengubah partikel mana pada tubuhnya menjadi api dan menggerakkannya secara bebas.
Lilia menarik nafas panjang dan menghembuskannya.
Baiklah, akhiri ini semua dan pulang. Aku akan meminta Stella membuatkan cake.
Gadis itu kembali berkonsentrasi penuh. Percikan-percikan api terbentuk dari telapak tangan kanannya.
Untuk mengendalikan api, terutama dalam jumlah besar, tidak sekedar dibutuhkan konsentrasi. Beberapa metode khusus diperlukan untuk menggerakkan sihir api agar tidak lepas kendali. Pertama...
Lilia tidak ingat.
Pertama...
Pertama... gerakan...
Gerakan... koordinat... tidak.. hentakan...
Keringat dingin mengalir turun dari pelipis gadis itu. ia hendak menggunakan pengendalian api yang lebih kecil secara terus menerus, mudah dikendalikan, namun tidak yakin cara tersebut dapat menghabisi lawannya. Satu-satunya cara untuk mengalahkan musuhnya adalah dengan menggunakan seluruh kekuatannya dan menghabisi Lucifer dalam satu serangan.
Tunggu...
Saat itulah, sebuah pikiran yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehnya muncul. Bila ia berhasil melakukan serangan tersebut, ia benar-benar akan menghabisi musuhnya. Tidak sama dengan latihan duel yang selama ini gadis itu lewati.
A-aku akan membunuh seseorang...
Tidak... dia bahkan bukan manusia...
Tapi dia tetap hidup...
Tapi ini demi menyelamatkan orang lain...
Apa benar begitu?
Lilia tersadar, ia memandang pelayannya yang setia, yang selalu menemaninya semenjak ia masih kecil.
Lucifer tidak pernah mengancam akan mencelakai teman-temannya atau apa. Malah wanita itu sendiri yang mangatakan segalanya akan kembali seperti semua setelah tes itu berakhir.
Seandainya ia berhasil mengalahkan Lucifer, tidak ada orang yang ia selamatkan. Malah ia akan membahayakan nyawa orang yang berharga baginya.
Seandainya ia gagal mengalahkan Lucifer, tidak akan ada yang mati ataupun terluka.
Semuanya akan kembali berjalan seakan tidak ada yang terjadi. Segalanya akan baik-baik saja kecuali dirinya.
Ia tidak melindungi orang lain.
Ia hanya melindungi dirinya sendiri.
Fakta tersebut menghantam telak gadis itu. Keegoisannya memunculkan ilusi seakan dirinya bertarung untuk melindungi orang lain, padahal ia hanya melindungi dirinya sendiri, melindungi hal yang selama ini ia bangga-banggakan.
Tubuh Lilia gemetar, grimoire di tangannya jatuh ke tanah. Ia berdiri mematung dengan kepala tertunduk.
Lucifer berjalan mendekati Lilia dan berhenti di hadapan gadis itu. "Jadi, apa keputusanmu?"
Lilia tetap diam dengan kepala tertunduk.
"Kau masih ingin bertarung?"
Gadis itu menggeleng.
"Dengan begitu, kau bersedia menyerahkan kebanggaanmu? Seluruh memorimu akan grimoire yang telah kau pelajari?"
Tidak ada respon selama beberapa saat. Sampai akhirnya, Lilia mengangguk pelan. Ia kemudian merasakan sentuhan pada kepalanya.
Inikah akhirnya? Ia berpikir. Setidaknya dengan demikian segalanya akan berakhir, kesedihan luar biasa muncul dari dalam dirinya. Lilia memikirkan bagaimana ia harus menghadapi guru-gurunya mulai sekarang, bagaimana statusnya sebagai murid terbaik, dan bagaimana ia harus menjelaskan pada teman-temannya kalau ia tidak bisa membantu mereka belajar lagi.
Apapun yang terjadi, ia harus siap. Gadis itu memejamkan mata, menunggu rasa sakit, tidak nyaman, atau entah apa yang akan ia terima. Tapi, yang ia rasakan berikutnya adalah sentuhan di kepalanya berubah menjadi usapan, "Selamat, kau lulus. Aku, Lucifer. Mengakuimu sebagai pemilik sah Necronomicon mulai saat ini."
Lilia mendongak, menatap wajah yang sekarang tersenyum lebar padanya. Air mata mengalir dari pelupuk mata menuruni pipi gadis itu.
"Mengapa menangis? Kau harusnya bangga akan dirimu sendiri." Lucifer menghapus air mata gadis itu dengan tangannya.
"Aku... aku tidak mengerti... apa artinya memoriku tidak akan hilang?"
Lucifer menggelang, "Sayang sekali, semua ini tidak akan ada artinya bila kau tetap memiliki kebanggaan dirimu."
Mata Lilia kembali berkaca-kaca, "Tapi... tapi kau bilang aku lulus tes yang kau berikan. Jadi ini bukan sekedar tes biasa? Kau bukan penguji sekolah?" dalam lubuk hati gadis itu, ia masih berharap semua ini adalah lelucon belaka.
"Aku sudah mengatakannya. Aku Lucifer, satu dari tujuh iblis penjaga dari Necronomicon. Perlambangan dari kebanggaan dan harga diri manusia. Kami akan mengetes kelayakan dari pemilik Necronomicon sebelum mengakui mereka sebagai pemilik sah. Dan kau sudah lulus tes yang kuberikan."
"Apakah... apakah itu berarti masih ada enam lagi? Hal semacam ini?"
Lucifer menepuk kedua pundak Lilia dengan dua tangannya, "Lilia, kau sudah berhasil lulus dari tes yang kuberikan. Kau tidak membuang kebanggaan dirimu, kau berhasil mengalahkannya. Dengan tidak termabukkan dan bersedia mengorbankannya agar tidak merugikan orang lain. Kau menyadari ego yang kau miliki. Kau pasti bisa melewati semua ini. Aku yakin kau bisa."
Tubuh gadis itu masih gemetar, ia terisak sesekali dan menghapus air mata di wajahnya.
"Oh Lilia..." Lucifer memeluk erat gadis itu. Sayap hitam besarnya terentang dan kemudian turut menyelubungi keduanya. "Maafkan aku... kau pasti ketakutan. Aku tidak ingin melakukannya, tetapi tidak ada cara lain."
Seketika, Lilia merasakan kehangatan menjalar di seluruh tubuhnya. Ketakutannya menghilang, tubuhnya sudah tidak gemetar lagi. Entah mengapa, walau wanita itu yang menyebabkan ia ketakutan setengah mati, menyebabkan penderitaan yang tidak pernah ia bayangkan, bahkan mengambil apa yang berharga baginya, ia merasa nyaman dipeluk seperti itu olehnya. Ia merasa aman, dan tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi. Seolah apa yang baru saja terjadi bukanlah hal besar yang perlu ia pusingkan.
Lilia membalas pelukan itu. Gadis itu tidak sanggup lagi mengontrol air matanya. Ia tidak tahu mengapa ia menangis. Ia tidak ketakutan lagi, ia tidak tengah bersedih, namun air matanya terus keluar tanpa henti.
"Maafkan aku... tenanglah, segalanya akan baik-baik saja. Aku percaya padamu, kau gadis yang hebat. Kau bisa melewati ini semua."
Pada dasarnya, Lilia tidak begitu memedulikan pandangan orang lain terhadapnya, karena ia berasal dari keluarga terkenal dan banyak pujian yang bersifat formalitas ditujukan padanya. Namun kali ini ia merasa sangat senang mendengar wanita itu memuji dirinya, mempercayainya. Ia mempererat pelukannya dan menikmati sensasi kehangatan dan kelegaan yang disusul oleh rasa kantuk yang luar biasa.
Lucifer perlahan membimbingnya duduk, keduanya masih berpelukan erat satu-sama lain. Sampai pada akhirnya gadis itu tak kuasa lagi menahan kantuknya dan tertidur dalam pelukan wanita itu.
***
Retakan terbentuk di udara kosong, semakin lama retakan itu semakin membesar dan akhirnya membentuk sebuah portal.
Seorang pria berjalan keluar dari portal tersebut diikuti seorang wanita dengan kepala aneh berbentuk seperti bantal dan seekor domba putih. Lucifer menatap kedua orang yang berjalan menghampirinya, ia tersenyum.
"Sudah kubilang kan," ujarnya.
Pria itu mendengus, "Yah setidaknya ia memenuhi ekspektasiku. Tapi tetap saja, tidak berkelas."
"Musuh yang kau remehkan adalah musuh yang akan menhancurkanmu Zainurma." Senyum masih menetap di wajah Lucifer, namun sorot mata wanita itu menunjukkan keseriusan.
"Hoo... kita lihat saja nanti. Untuk sekarang, kurasa sudah cukup kubiarkan reuni indah ini berlangsung. Huban, bisa kau bawa gadis ini terlebih dahulu? Aku akan menyusul, ada beberapa hal yang harus kubicarakan dengannya."
"Eh... apa yang ingin paman bicarakan?" Ratu Huban memandang Zainurma dan Lucifer bergantian.
"Bukan hal penting, Huban, tolonglah."
Wanita berkepala bantal itu mengangguk, "Baiklah kalau begitu. Jangan lama-lama ya paman, kita masih harus menjemput yang lain."
"Aku mengerti," balas Zainurma pelan sembari memperhatikan Ratu Huban mendekati Lilia yang masih tertidur di pangkuan Lucifer.
Ratu Huban menunduk memandang gadis itu lebih dekat, "Aaaah... dia manis sekali," serunya.
Lucifer terkikik kecil, "tentu saja," balas wanita itu. Ia mengelus lembut kepala gadis yang tertidur di pangkuannya itu dan kembali berpaling pada ratu Huban. "Jaga dia baik-baik ya," tambahnya.
"Tenang saja, tidak usah mencemaskan hal itu!" Ratu Huban mengangguk mantap.
"Nah kalau begitu," Lucifer mencolek pipi Lilia dengan ujung jarinya, "bangun sayang, sudah saatnya pergi," bisiknya.
Lilia membuka mata perlahan, ia duduk dan menguap lebar. "Sudah waktunya sekolah kah?" gumam gadis itu. kedua matanya kembali menutup.
"Sayang? Eh? Tunggu, tunggu..." Ratu Huban memandang Lucifer bingung, "Kau ini siapa? harusnya kan, eh tapi-"
"Huban!" Bentakan Zainurma memotong kata-kata wanita berkepala bantal itu. "Cepatlah, kau sendiri yang bilang kita tidak bisa berlama-lama."
"Tapi paman, tidakkah paman merasa aneh? Maksudnya, kita memanggil makhluk yang paling berbahaya di dunia mereka untuk melakukan tes pada kemampuan mereka kan?"
"Akan kujelaskan lain kali," sergah Zainurma tidak sabar. "Cepatlah," lanjutnya lagi.
"Baiklah, tapi berjanjilah akan menjelaskan semuanya padaku."
Ratu Huban mengulurkan tangannya pada Lilia yang masih duduk dengan mata tertutup. Lilia bangkit dan berjalan sempoyongan dituntun ratu Huban memasuki portal.
Mata Zainurma mengikuti keduanya sebelum kembali berpaling pada Lucifer.
"Jadi," Ia menyeringai, "bagaimana rasanya tidak dikenali oleh yang paling kau cintai?"
Senyum dingin terbentuk di wajah wanita itu. "Tidak usah basa-basi, katakan apa yang kau inginkan."
"Wah wah... Tidak bisakah kita mengobrol dengan lebih santai?"
Lucifer tidak menjawab, ia memandang pria di hadapannya dengan serius.
"Baiklah baiklah, aku hanya ingin tahu. Ketika Huban mengatakan ada sesuatu entah apa yang menghalanginya memasuki mimpi seseorang, aku penasaran dan mengecek sendiri entitas macam apa yang mampu melakukan hal sehebat itu. Kau mengatakan dirimu adalah pelindung dari gadis manusia itu, tapi mengapa kau membiarkanku bertindak semauku?"
"Oh tidak, aku tidak membiarkanmu bertindak semaumu," Lucifer membalas santai. "Aku ingin ia mendapatkan sesuatu yang bahkan grimoire terhebat sekalipun tidak mampu memberikannya."
"Dan hal itu adalah?"
"Pengalaman."
Zainurma tertawa, "begitukah? Pengalaman? Lucu sekali, sangat lucu."
"Oh lucu tentu saja. Ia berhasil melakukan apa yang orang dewasa sekalipun tidak mampu lakukan. Aku sudah melihat banyak orang seperti dirimu yang hancur karena tidak mampu meninggalkan dan dimabukkan oleh kebanggaan mereka. Ia sudah berkembang melebihi apa yang kuharapkan."
Lucifer bangkit dari duduknya, menatap wajah Zainurma yang melihatnya dengan sinis.
"Bukankah akan lebih mudah bila kau mengatakan bahwa kau tidak mampu melakukan apa-apa untuk menahanku bukan begitu?" sindirnya.
"Oh yeah, harus kuakui kau dan dunia ini memang hebat, sangat hebat. Tapi," Sayap hitam di punggung wanita itu terentang lebar. Raut wajahnya yang selalu menunjukkan ketenangan tergantikan oleh kemarahan dan bingkai mimpi bergetar hebat. "Kalau sampai sesuatu terjadi padanya, aku bersumpah akan menyeretmu keluar dari dunia kecilmu dan menghabisimu saat itu juga."
Zainurma mengibaskan tangannya malas dan getaran itu langsung terhenti. "Menakutkan sekali. Tenang saja, aku akan memberi gadis itu banyak pengalaman yang bahkan kau sendiri belum pernah bayangkan."
Raut wajah Lucifer semakin jelas menunjukkan kebencian yang tertuju pada pria di hadapannya. "Kuperingatkan kau Zainurma! Sekali lagi kau berani menyakiti gadis itu, itulah akhir dari hidupmu."
"Sekali lagi? Hei, aku tidak pernah melakukan apa-apa padanya," protes Zainurma.
"Memorinya akan grimoire yang terkikis, itu perbuatanmu kan? Jangan kau kira aku tidak tahu. Aku tidak pernah benar-benar berniat mengambil memori anak itu. Walaupun ia gagal dalam tes yang kuberikan sekalipun."
"Oh itu. Tenang saja, itu hanya efek sementara dari perpindahannya memasuki bingkai mimpi. Memorinya akan kembali," balas Zainurma. Pria itu tampak berpikir sesaat sebelum melanjutkan. "Jujur aku terkejut ketika kau mengatakan padanya bahwa kau yang mengambil memorinya perlahan-lahan dan memintanya menyerahkan seluruhnya."
"Pertama, karena itu memang tes yang kuberikan pada pemilik yang baru."
Lucifer terdiam sebelum melanjutkan kata-katanya. "Kedua, bisa kau bayangkan bagaimana reaksinya kalau ia kehilangan memori tanpa sebab ketika ia sangat memerlukannya. Sama halnya dengan ahli bela diri yang kehilangan kemampuannya, dan cendekiawan yang kehilangan ilmunya. Mereka semua hilang dalam kegilaan karena aku turut menghapus memori pertemuanku dengan mereka ketika mereka gagal melewati tes. Setidaknya dengan memiliki penyebab, ia akan lebih mampu menerima kenyataan."
"Oh baik hati sekali, melakukan peran antagonis sampai sejauh itu." Zainurma mencemooh. "Menyenangkan sekali mengobrol dengamu, sayang aku harus pegi."
Raut wajah Lucifer kembali tenang. Namun matanya tetap menatap tajam pria yang sekarang tengah memunggunginya dan berjalan ke arah portal. Sebelum memasuki portal, pria itu berbalik.
"Oh ya, satu lagi. Bukankah kau adalah perwujudan dari harga diri dan kebanggaan? Kukira kau lebih, kau tahu? Angkuh."
"Oh aku angkuh tentu saja," Lucifer kembali tersenyum, menatap Zainurma yang tengah melihatnya dengan sebelah alis terangkat. "Tidakkah kau mendengarkan setiap kali aku berbicara mengenai gadis itu?"
"Tentu saja, aku lupa. Ternyata di mana pun selalu sama ya," balasnya dengan nada menyindir.
Lucifer tidak menghiraukannya dan melanjutkan. "Karena kebanggaan terbesar setiap orang tua adalah anak mereka."
***
Lilia terbangun di tempat yang tidak ia kenali. Namun alih-alih panik, ia merasakan ketenangan dan kehangatan dalam dirinya. Perlu beberapa saat baginya untuk menyadari bahwa ia tertidur dalam posisi duduk bersender pada seekor domba putih.
Gadis itu membuka tas yang tergeletak di sebelahnya dan mengeluarkan beberapa buku besar, tebal, dan berat dari dalamnya. Ia tidak mengetahui buku-buku apa itu, namun ada rasa ketertarikan luar biasa dalam dirinya melihat buku-buku itu. Ia kemudian membuka salah satu diantaranya.
Buku itu tampak sangat tua, kertas halamannya sudah sangat kecoklatan, dan tidak tertulis dalam huruf latin.
Lilia mengenali huruf-huruf itu sebagai rune. Bukan masalah baginya, ia sudah mempelajari dan memahami rune kuno bertahun-tahun lalu. Gadis itu membalik jilid buku tersebut dan membaca judulnya.
Necronomicon
Tidak tertulis nama pengarang ataupun hal lain. Hanya itu saja, dan ia tidak mengetahui apa artinya.
Lilia mengelus kepala domba itu yang dibalasnya dengan embikan pelan. Gadis itu kembali bersender pada si domba. Setelah merasa nyaman, ia mulai membaca.
***
Di luar dugaan, padahal saya kira bakal berujung battle, tapi di-twist jadi ujian ngalahin ego sendiri. Lumayan bagus. Meski saya ngerasa karakter Lilia sendiri belum banyak dieksplor selain kecintaannya pada Grimoire, tapi secara cerita standar prelim udah cukup mewakili
BalasHapusSaya juga suka sosok Lucifer di sini yang keliatan ngebimbing Lilia, sedikit banyak ngingetin sama Mira Slime di entri saya sendiri
Nilai 8
Abaikan beberapa Typo dan pembawaan yang mungkin agak "Crunchy"
BalasHapussaya gak nyangka Lucifer itu bisa begitu, "baik"
Challenge berjalan.
Dan, semakin mantab, Zainurma itu brengsek banget. Salut.
Suka krn tematisnya Grimoires, terutama ngebahas Necronomicon.
(Kurang tau kalau Prelati punya Parvati Prelati yg dipegang Gilles de Rais itu Grimoires apa bkan)
asik sih.
8
OC: Kaminari Hazuki
Eh , ya, gatahu kenapa saya malah suka karakter Lucifer daripada Lilia . Saya juga seneng banyak referensi yang saya tangkep . dan meski saya merasa ini masih bisa lebih dari ini, saya rasa ini cukup bagus.
BalasHapus9 karena saya ingin ketemu Lilia di ronde depan
Lucifer antikemapanan XD Lilia nampaknya terbilang standar putri bangsa/hartawan yang dipingit terus belajar sihir, ya? Masih ada cukup ruang untuk mengembangkan karakternya. Selain itu challenge juga diselesaikan dengan cukup menarik. Saya kira ga ada masalah untuk lolos ke babak berikut.
BalasHapus7/10
Nazhme Kaikhaz
Writer Nightpen
Ini mengundang spekulasi.
BalasHapusOpeningnya singkat, tapi enak diikuti. Sejak battle udah tercium ada maksud tersembunyi yang mungkin bisa malah menguntungkan Lilia.
Di samping kepolosannya, dia juga punya rasa teguh yang kuat buat nyerang Lucifer. Karakter scholarnya kuat sekali. Dan berhasil diangkat di setiap tindakannya.
Twistnya ini nih yang bikin saya kagum. Pertama, fakta bahwa Lilia bisa aja malah ngelukai orang-orang yang dia sayangu. Kedua--yang paling menonjol--bahwa Lucifer adalah orang tuanya.
Saya sempat tebak2 Lucifer ini siapa.
Stella kah?
Seorang laki-laki yang dikutuk jadi wanita?
Dan akhirnya sadar waktu dia bilang dia selalu angkuh, dan ucapan sayangnya nggak kayak ke pacar.
Awalnya nilai 8, tapi karena twistnya keren. Sehingga.
9/10
PUCUNG
Ini mengundang spekulasi.
BalasHapusOpeningnya singkat, tapi enak diikuti. Sejak battle udah tercium ada maksud tersembunyi yang mungkin bisa malah menguntungkan Lilia.
Di samping kepolosannya, dia juga punya rasa teguh yang kuat buat nyerang Lucifer. Karakter scholarnya kuat sekali. Dan berhasil diangkat di setiap tindakannya.
Twistnya ini nih yang bikin saya kagum. Pertama, fakta bahwa Lilia bisa aja malah ngelukai orang-orang yang dia sayangu. Kedua--yang paling menonjol--bahwa Lucifer adalah orang tuanya.
Saya sempat tebak2 Lucifer ini siapa.
Stella kah?
Seorang laki-laki yang dikutuk jadi wanita?
Dan akhirnya sadar waktu dia bilang dia selalu angkuh, dan ucapan sayangnya nggak kayak ke pacar.
Awalnya nilai 8, tapi karena twistnya keren. Sehingga.
9/10
PUCUNG
Ini mengundang spekulasi.
BalasHapusOpeningnya singkat, tapi enak diikuti. Sejak battle udah tercium ada maksud tersembunyi yang mungkin bisa malah menguntungkan Lilia.
Di samping kepolosannya, dia juga punya rasa teguh yang kuat buat nyerang Lucifer. Karakter scholarnya kuat sekali. Dan berhasil diangkat di setiap tindakannya.
Twistnya ini nih yang bikin saya kagum. Pertama, fakta bahwa Lilia bisa aja malah ngelukai orang-orang yang dia sayangu. Kedua--yang paling menonjol--bahwa Lucifer adalah orang tuanya.
Saya sempat tebak2 Lucifer ini siapa.
Stella kah?
Seorang laki-laki yang dikutuk jadi wanita?
Dan akhirnya sadar waktu dia bilang dia selalu angkuh, dan ucapan sayangnya nggak kayak ke pacar.
Awalnya nilai 8, tapi karena twistnya keren. Sehingga.
9/10
PUCUNG
Saya kira Lilia bakal nembak Lucifer ala Wanted, peluru belok itu. /gak
BalasHapusTwistnya di bagian itu emang ngehit, kayak yang orang-orang bilang. Karakterisasinya perlu dikembangkan lebih jauh, dan pembawaannya juga supaya gak dibilang Crunchy sama pembaca, dalam kasus Ini, om ikar /plak
8/10
OC : Takase Kojou
Saya sudah menduga kalau Lilia bakal enggak tarung sama Lucifer dari alligment challenge nya. Ceritanya lumayan bagus, tapi sayang ada beberapa typo fatal seperti diakhir ucapan tidak diberi tanda petik.
BalasHapusKepikiran Lucifer tuh siapanya Lilia. Apa mungkin dia ibunya?
8 dariku
-=AI=-
Lucifernya terkesan baik banget.. Dan mulai penasaran kenapa iblis paling berbahaya ini benar-benar ada kesan sosok 'overprotect guardian' buat Lilia.
BalasHapus...kyknya pake kata overprotect kelebihan (lol)
Sungguh saya tertarik dengan karakter ini. Semoga kau lulus di ronde berikutnya.
----------------
Rate = 9
Ru Ashiata (N.V)
Ada tebakan kalau Lucifer itu ibunya Lilia atau seenggaknya malaikat, atau iblis, penjaga Lilia. Kayaknya porsinya Lucifer agak kelebihan dikit, tapi gak apa-apa.
BalasHapusNilai: 8
SERILDA ARTEMIA
Wadoo. Lilia ini anak Lucifer? o.o
BalasHapusBener atau nggak saya kerasa seger habis baca entri Lilia ini, karena... ya, tes untuk memenuhi prelimnya kerasa beda dari biasanya.
Belum lagi Lucifer ini chemistry-nya kerasa kuat ama Lilia sendiri. Tapi masalahnya ya Lilia ini terasa kurang kuat karakternya. :s
Selain dari itu entri ini sudah rapi dan dieksekusi dengan baik.
Saya titip nilai 8 buat Lilia.
Apakah Necronomiconnya bisa panggil makhluk luar seperti CEtulu?
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
....wow
BalasHapusBanyak kejutan di sini... kukira bakal ada battle ternyata yang terjadi Lilia malah berhasil ngalahin ego nya..
Dan gak nyangka kalo tiba" Lucifer meluk Lilia pas nangis...
dan di ending aku ambil kesimpulan kalo Lucifer itu ibunya Filia.
Penulisannya rapi juga... gak ada keluhan lah.. XD
Nilainya 8..
Sign,
Lyre Reinn
OC : Eve Angeline
sungguh aku terhura... :"
BalasHapusentri yang dramatis, terasa, dan aku suka.
revievv sedikit
lilia ke perpus sampai larut, pulang, baca buku tebal judulnya Necronomicon. yang tadinya aku kira Necromonicon. Masuk ke alam mimpi dan terbangun di aula sekolah. sisanya pertarungan epik menlavvan lucifer. ditutup dengan drama mengharukan yang berhasil membuatku... terisak. ya.
flavvless
fight/vvithdravv nya terasa banget sampai akhirnya dia menyerah
narasi saat menggunakan sihirnya juga sudah apik
1. mungkin nanti bisa dijelaskan mekanisme pelepasan sihir grimoirenya ya? soalnya selama aku baca, lili ini cuma pakai sihir sihir instant realese. kayak menghentakan kaki, menunjuk dengan jari. membuka telapak tangan. apa memang tidak perlu dibaca hanya cukup membuka buku?
overall saya sangat menikmati entri ini
9/10 untuk...
LOLEEEH //bukananakkecilhoi
OC : Zia Maysa
Hmm, gadis yang sangat suka membaca grimoire. Bahkan sebelum tidur pun ia masih menyempatkan waktu untuk membaca. Seperti baginya tiada hari tanpa membaca.
BalasHapusSedikit iri dengan Lilia, karena kebiasaannya membaca masih sulit untuk dicontoh saya #kalahsamakarakterfiksiT_T
Well, cukup untuk curhatnya. Battle yang saya kira bakal jadi sembur2an api magis antara Lilia dan Lucifer di twist apik dengan Lilia yang perlahan menyadari egonya yang tinggi. Ia menyadari bahwa ia tidak menyelamatkan siapapun selain dirinya sendiri. Top!
Ditutup dengan adegan yang sungguh hearthwarming banget. Tapi, entah mengapa saat mereka berpelukan, saya mendapat kesan bahwa Lucifer ini sebenarnya orang yang dekat dengan Lilia, dan rasa penasaran saya terjawab ketika Lucifer mengungkapkan bahwa ia ibunya Lilia, benar kan?
Jika benar, timbul lah pertanyaan. Mengapa ibu Lilia bisa mewujud menjadi Lucifer penjaga Necronomicon? Apa memang ia sebenarnya Lucifer itu sendiri? Well, mungkin ronde selanjutnya bisa menjawab.
Nilai 9
~ Alexine E. Reylynn
masih bingung Lucifer sebenarnya laki-laki atau perempuan? /plak
BalasHapusoke.. cerita yang cukup apik dikemas ala magus abad medieval. tes battle dengan musuh ego sendiri sebenarnya cukup riskan kalo tidak dieksekusi dengan baik. alur ceritanya mengalir mulus dan tanpa ada kecacatan dan perpindahan scene cerita yang ganjil.
well, nilai dari saya 9. semoga sukses..
Dwi Hendra
OC : Nano Reinfield
Oke, tak kira Lucifer ini bakalan jadi iblis super sadis, tapi nggak, ternyata dia malah jadi iblis penyayang--orang tua overprotektif, mungkin?
BalasHapusSaya nggak baca challenge cerita ini apa, jadi kaget aja pas saya kira bakalan ada pertarungan tapi tidak, twist nya oke. Alur ceritanya juga mudah untuk diikuti, nggak terlalu bertele-tele.
Oke, skor dari saya 8.
Naer Sisra
OC: Ulrich Schmidt
Mau gak mau keinget scene di Harry Potter waktu si Harry juga sama-sama ketiduran di aula besar. Ada referensi kesanakah?
BalasHapusSecara teknis oke banget gak ada masalah, rapi dan terbaca dengan baik.
Yang agak konyol adalah waktu Si Lilia kabur dari Lucifer dan masuk ke perpus hadeh sempet-sempetnya ya buka buku bukannya malah sembunyi. Ketahuan banget kutu bukunya ahaha.
Yang menarik adalah si Luci dan Marikh kira-kira mengatakan hal yang sama. Pengalaman adalah hal yang penting. Ahahaha, nice sayings you got there, Lucifer!
Untuk itu, saya titip 8 buat Lilia, ya?
Akbarari/Tombakpatah
OC Marikh, Dewa Arak Kolong Langit
Kenapa banyak polanya sama beginiiii wkwkwk
BalasHapusUjiannya diwakilkan sama sosok terkuat di semesta OC.
Dan yang dikalahkan adalah ego pribadi.
Renyah banget ini entri.
Bahkan suasana ala mana khemia langsung tergambar di kepala aye.
8/10
Nibelhero | Wamenodo Huang
I like this story, ceritanya mengalir apa adanya, ringan namun bobotnya tetap terjaga. Hanya saja karakterisasi lilia masih kurang terasa di sini selain kecintaanya akan pengetahuan.
BalasHapusTwistnya juga gak disangka-sangka, ternyata lucifer(female ver.) adalah orangtuanya, nice-nice... XD
Nilai : 8
Mahapatih Seno
gurih-gurih :v
BalasHapuspembawaanya lilia masih berkutat di kesukaannya terhadap grimore, padahal saya pengen liat lagi sisi lain dari penyihir kita satu ini.
plotnya mudah dipahami tp bisa diimbangi dengan twist yg meski gak begitu wah, tp bikin semua orang puas
8
axel elbaniac