Kamis, 04 Agustus 2016

[ROUND 1 - 12L] 36 - SHERAGA ASHER | HASHACHOR HACHADASH


oleh : Sastrawatigila 

--

[Perhatian: ada beberapa bagian yang hanya bisa dimengerti jika menilik preliminer]

- 1 -
“Ini baru permulaan kecil untuk bencana yang amat besar,” makhluk di depan kandil bercabang menuturkan lirih. Tujuh titik api kehijauan mempermainkan bayangan di belakangnya, hingga menegaskan bentuk ketakutan yang paling murni.

Dayan—bangsa panjang umur—itu, menyeringai kecut. Bukan atas keinginan sendiri, melainkan entitas Menteri Neraka yang menyelap raganya.

Para saksi di hadapannya terkesiap, meski raga menjaga sikap. Nahas perasaan mereka tak kuasa dikhianati. Jantung berdentam kuat. Napas memburu tak keruan. Semuanya menciut bak sekawanan tikus, tatkala mata sewarna darah sang Peramal berkilat makin liar.

“Takkan lama lagi, takkan lama!” Kepalanya miring dalam sudut yang mendirikan bulu roma. “Bersiaplah untuk kutukan yang menelan benua ini—bahkan seluruh debu alam raya ini! Tak peduli milik bangsa kamu, Helev—manusia, atau orang-orang Timur! Kamu semua akan melesak ke liang Kegelapan! Tidak ada pengecualian!” Telunjuknya menuding para lawan bicara.

Nyala di depan hidungnya bergolak meninggi, seperti menjilat langit-langit. Tetapi kemudian mengecil ke semula.

Tawanya yang terdiri atas campuran beratus-ratus suara membahana. Bergaung di sudut-sudut kamar semerbak darah.

Lilin-lilin yang menjalin formasi lingkaran mengelilingi ruangan, meletus. Kilat disusul gemuruh membelah malam di luar jendela. Setengah dari selusin prajurit segera melindung telinga. Empat terkapar dengan mata terbeliak.

“Kamu sekalian akan tenggelam! Kebaikan dan Kejahatan absolut, dua kekuatan besar saling bersinggungan! Kiamat tak terelakkan! Pembebasan bagi Yang Tertuduh dan kejatuhan bagi Yang Bersinar!”

Ucapan itu menohok siapapun. Sosok Dayan berambut perak panjang, berikut selusin pengawalnya yang masih berdiri, kontan tenggelam dalam kengerian tiada tara. Malah, seorang miskin iman dibuat berkemih di celana.

Empat belas hari sejak hilangnya Ibukota Batya yang misterius itu, istana darurat di Achrav menerima tamu tidak biasa. Dialah Amram Yirmi, okultis Dayan yang reputasinya harum di seluruh dataran Yisreya.

Pengundangnya sendiri merupakan Dayan yang begitu dihormati. Belum lama semenjak penobatannya sebagai pemimpin negara sekaligus agama. Dengung-dengung mengenai citra baiknya menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru. Bahkan sampai ke tempat Amram yang terpencil, sekaligus mengantar kepadanya bayangan akan imbalan yang begitu melimpah.

Natan Asher, sang Raja.

“Itu tidak benar!” Salah satu prajurit akhirnya tak tahan. Kepiluan dalam suaranya mendongkrak keberanian semua orang. “Hei peramal, jawab jujur!”

Yang lain tak berani mendebat sama lantang, sebatas menatap Amram penuh kebencian.

“Aku memanggilmu kemari bukan untuk membual,” pengundang Amram menandas, “dan Tuhan tidak mungkin mengingkari janji-Nya. Kitab Kehidupan mengukuhkan, tiada datang Hari Penghakiman tanpa alamat.”

Natan Asher menggeleng lemah. “Sayang sekali, Amram.”

Amram tersentak kaget bersama perpisahan dengan Menteri Neraka. Surai serta bola mata sang Penujum berubah sepekat minyak. Kendali penuh atas dirinya kembali.

“Lenyapkan,” titah sang Raja tanpa bimbang, “jangan ada lagi yang termakan oleh bualannya.”

“Yang Mulia—“

Kemujuran telah kandas, pedih Ceruk Jahanam adalah miliknya. Dua orang lekas maju demi meringkusnya.

Itulah kali pertama Amram Yirmi merasa hidupnya sangat salah. Begitu hebatnya penyesalan sehingga dia tidak melawan prajurit di masing-masing sisinya. Semestinya dia mendengarkan nasihat leluhur: bekerjasama dengan iblis memang berbuah kesengsaraan. Makhluk neraka itu telah memperolok lantas membuang dirinya dengan cara yang amat menyedihkan.

Di sisi lain, kekhawatiran merayap dalam hati Natan Asher. Hari demi hari, optimismenya kian mengerdil. Ibukota Batya mendadak lesap. Menyisakan semata dataran legum di bibir pantai. Lebih janggal, tiada yang dapat bertahan hidup di sana. Seluruh tumbuhan dan satwa mati seketika.

Jalur Perdagangan terganggu. Segala unit kegiatan terhambat. Para Dayan di terpaksa mengungsi. Menerima kemiskinan dan terempas gelombang panik, beranggapan gerbang Dunia Bawah telah terurai. Banyak orang hilang akal dalam sekejap dan merayau buas di jalanan. Natan Asher begitu terpukul menyaksikan rentetan malapetaka itu, tanpa sanggup memperbaiki keadaan.

Tidak ada tanda-tanda semua bakal kembali normal. Tuhan seakan menutup segenap pintu doa dan komunikasi. Tak satupun lagi imam mendapat visi mengenai waktu mendatang. Akan tetapi Para Tetua dan anggota Kongregasi Tinggi tetap bungkam perihal rencana darurat pembangunan.

Yang paling gawat? Cepat atau lambat, mata-mata kerajaan manusia pasti mengetahui fakta tersembunyi di balik kubah sihir Ibukota Batya. Sebab mereka selalu mengincar tiap jengkal celah untuk menggempur takhta musuh bebuyutan.

Ini ujian bagi negeri masyhur yang baru saja silih pemimpin. Jangan bergundah. Sugesti positif merebak. Hanya untuk digerus kegelisahan tak terbantahkan.

Belum lagi, satu kecemasan sekonyong-konyong meriap dalam dadanya. Nyaris sama mengganggu dengan seluruh masalahnya.

Anakku, kamu masih hidup?

- 2 -
Senja yang tenang di suatu Bingkai Mimpi, pendar multiwarna membersil dari udara kosong. Keluar dari dalamnya ialah seorang pemuda kurus pasi. Ditemani makhluk berkepala bantal dalam kostum ganjil. Kedua ini membuyarkan kemasyukan yang ada.

Tak jauh dari situ, kerumunan manusia terlonjak. Tidak ada takjub maupun rasa ingin tahu. Alih-alih, cengkerama putus. Seorang pria langsung menyemburkan minuman dari mulutnya, diganjar sama oleh pria lain di seberangnya. Dua lagi refleks menjungkir balik meja judi. Mereka pun terpontang-panting sambil melolong berikut kawanan anjing penjaga. Sebagian lagi memilih ambruk di tempat.

Sekejap, permukiman itu berubah porak-poranda, lalu senyap. Sebagaimana Sheraga menginjakkan kaki untuk kali pertama.

Perilaku tersebut wajarlah adanya. Bangsa Helev amat takut dengan entitas rekaan. Salah satunya sosok wanita bertakhtakan alas kepala pertanda akhir zaman. Ratu Huban identik dengan legenda itu. Dan kalau saja ada pasangan horornya, dewa kematian mata satu, lengkap sudah kegaduhan yang bakal terjadi. Seisi kota dipastikan bakar diri.

Ratu Huban sendiri terkikik belaka. Sertamerta memulihkan situasi sebagai ungkapan sampai jumpa.

Keadaan Ibukota Batya versi mimpi tidak jauh berbeda dari saat Sheraga meninggalkannya. Kesuraman belum seutuhnya mengerumit cakrawala. Bedanya, kuil jahanam yang sempat dilihatnya terpampang di lukisan Museum Semesta, secara ajaib rata dengan tanah. Tergantikan pusara massal satu liang.

Sheraga membiarkan leluasa biri-biri pemberian sebelum membuka pintu rumah singgah—entah dahulunya milik siapa—yang ternyata tidak terkunci. Begitu masuk, tercium aroma gandum. Orim, sahabatnya, tengah duduk menghadap jendela.

“Apa ... yang terjadi?” tanyanya tanpa berbalik.

Tak pandai berbasa-basi, Sheraga memulai dengan transisi, para pemimpi dan kumpulan lukisan janggal, kutukan manusia porselen, dipungkas penjelasan Ratu Huban mengenai tempat tinggal baru di Bingkai Mimpi. Orim mendengarkannya tanpa menjeda napas.

“Firasatku berkata, nasibku bisa menyerupai kelima orang malang itu jika macam-macam pada Zainurma. Atau bila ‘seni’-ku ternyata tidak cukup kuat untuk menciptakan bualan sesuai kriterianya.”

Adegan mengerikan di Museum Semesta masih mengawang. Enam puluhan partisipan dikumpulkan, dan lima di antaranya disiksa di tengah-tengah balairung. Semata akibat penampilan yang dianggap tidak kompeten. Selanjutnya, tak disertai penjelasan memadai, mereka menjelma tembikar buruk rupa.

Sheraga dan beberapa pemimpi lain sempat hendak melajukan konfrontasi. Sial kesemuanya terpaksa bertekuk lutut oleh seberkas kekuatan dahsyat. Yang melemparkan Sheraga kembali ke tiruan Ibukota Batya.

Sahabatnya berdiri, menghela udara dengan gelisah. Kulitnya sepucat kapas. Boleh jadi, inilah kali pertama Sheraga mendapati lelaki itu secemas demikian.

“Itu ... buruk sekali. Aku tidak menyangka,” respons Orim. “Kita ... tidak boleh menjadi bagian permainan Zainurma. Kita tidak tahu apa yang mungkin terjadi ... sekalipun kamu menang.” Dia mondar-mandir. Tak jua membentur sesuatu kendati kenyataan dia hilang penglihatan.

Sheraga menjatuhkan diri ke kursi bersandaran. “Kaupunya gagasan?”

Orim mengangguk. “Amram Yirmi. Okultis kenalanku. Dia yang terkuat sepanjang pengetahuanku. Seharusnya kami ... bisa bertemu melalui mimpi.”

Amram Yirmi, seorang peramal kenamaan. Sheraga tak pernah meyakini maupun membuktikan omong kosong sejenis, tetapi mungkin akan berbeda bila seorang bermarga Kohan yang berurusan.

“Kaubisa melakukannya di sini?”

“Semoga,” sahut Orim. “Kuusahakan untuk melakukannya ... secepat yang kumampu. Tapi aku perlu ... beberapa persiapan. Barangkali tidak dalam jangka pendek, dan uh—” Dia memegangi kepala, merintih tertahan.

“Kenapa?”

“Rasanya aku tahu sanggup berbuat sesuatu, namun aku ... lupa caranya. Ilmuku lesap seluruhnya.”

“Aku akan membantumu dengan alkimia.”

“Sebaiknya begitu,” Orim berkata. “Dan dalam penantian, kita ... patutnya bersikap tunduk sementara untuk menghindari ... peristiwa yang tidak diinginkan.”

Mengingat kelaliman yang telah terjadi, Sheraga benci gagasan patuh meskipun sekejap. Dia mengimbuh, “sebenarnya bukan itu saja. Aku bertemu Mirabelle. Dia menjadi pengurus sama seperti Zainurma. Sayang sekali kami tak sempat saling bicara.”

“Maksudmu Mahalath putri Agrath?”

“Siapa lagi?”

Orim kelihatan bingung. “Kamu ... yakin?”

Sheraga pastikan Orim menangkap kesungguhannya. “Tidak diragukan lagi. Dia membanting para pemimpi dalam sekali sapuan, dengan Tombak Metzuyan yang legendaris itu.”

Mirabelle de l’Artemisia menurut bahasa utama di Hagashah—Benua Utara, atau Mahalath Bat-Agrath dalam bahasa Dayan. Entitas yang disebut-sebut sebagai inkarnasi Dewi Gallena; pujaan tertinggi dalam agama Helev.

Namanya wajib diselipkan dalam doa-doa kuil. Perang Besar Pertama satu setengah milenium lampau, antara manusia dan Dayan, berhasil dimenangkan pihak manusia berkat peran Mirabelle sebagai panglima. Sekali entakan tombaknya konon menggebuk mundur satu legiun musuh.

 Haluan matriarkis menyatakan Mirabelle kembali bersatu dengan Gallena di akhir Perang Besar. Sedangkan aliran laki-laki menyebut sosok itu terus bereinkarnasi demi menumpas angkara murka. Yang manapun, keduanya masih simpang siur. Lebih-lebih, namanya sama sekali tak terpampang lagi dalam sejarah perang akbar berikutnya.

“Mustahil,” Orim bicara pada diri. “Sangat mustahil.”

Bersamaan, pintu utama diketuk. Dia beranjak menyambut tamu. Beberapa kedipan berselang, dia kembali bersama sosok jangkung dalam lekap mantel kelam dan seseorang dalam bopongan. Sheraga sempat melihat juntaian rambut hitam panjang, dan tangan yang berkulaian.

“Shena, panggilkan tabib!” Suara samar Orim terdengar dari arah belakang.

Dengan ketergesaan yang membuat gelisah, si gadis Dayan meninggalkan dapur. Baru Sheraga hendak memadamkan rasa penasaran, Orim menampakkan diri. “Gal Raivah,” dia menyebut begitu Sheraga memberi bahasa tubuh bertanya. “Dan Nadav.”

Kenal orang pertama, Sheraga merinding. Sejenis dengannya, Gal manusia—atau sekurang-kurangnya berdarah campuran, dua puluh empat tahun usianya, dan fakta tersebut makin menggencet sanubari.

Pada masa pendidikan silam, gadis naif itu sempat membuat beragam ulah demi menarik perhatiannya. Dan nyaris berhasil melaksanakan niat bunuh diri karena Sheraga lebih memilih sahabatnya.

Sheraga mengaduh lirih. Akan tetapi sebagai orang yang berjanji pada diri untuk lebih beradab, akhirnya dia menjenguk gadis itu pula.

Dan jadilah makin termengah-mengah dia.

Entah dengan ilmu macam apa, Gal tumbuh menjadi insan yang amat rupawan. Sheraga membenarkan setulus dia mengakui kesempurnaan sifat dan kecerdasan Aliyah, kekasihnya dulu. Sekilas mencuri pandang, hampir rahangnya lepas. Belum pernah ditemuinya gadis secantik itu. Paras putih halus tak bercela, bagai lukisan yang mewujud sempurna. Kontras dengan rambut lurus berkilauan.

Ada perasaan aneh berkecamuk. Membuatnya sejenak lupa pada Aliyah. Maka demi memindahkan perhatian, Sheraga bertanya pada sosok di pinggir pembaringan, “bagaimana kalian berdua bisa kemari?”

Tudung dan topeng setengah rupa melindungi identitas penjawab. “Ssh, bahkan aku baru menyadari dongeng terisap ke dunia mimpi itu nyata. Kami baru saja di Vranwynn dan tiba-tiba terbangun di dunia celaka ini. Bersama sebagian Helev Vranwynn dari distrik kumuh, ssh, dan mereka pun bicara dalam bahasa Yashar. Menjijikkan.”

Suaranya tua dan keruh. Dan dia seakan-akan wajib mendesis setiap beberapa tempo sekali. Vranwynn sendiri adalah ibukota kerajaan terbesar di Hagashah. Pantas saja Bingkai Mimpi Sheraga berisi para Helev berambut pirang.

Secara ringkas Nadav bercerita, dirinya merupakan penjaga Gal. Berdua, mereka lari dari Yisreya oleh karena suatu alasan. Sebelum lenyap kesadaran, Gal sempat menyaksikan kesintingan di kuil, bahkan “kematian” Dalit yang ternyata dusta tak berperi. Nadav mengenal Orim—orang yang disebut-sebut sebagai pemimpin di Bingkai Mimpi—karena itulah mereka di sini.

Sheraga menukar informasi itu dengan ikhtisar pengalaman absurdnya di Ranah Mimpi, dan alasan pelariannya dua tahun yang lalu tanpa menyertai segala hal tentang ayahnya.

“Ssh, jadi ini sebuah kompetisi dan kami terjebak dalam bagianmu?” Nadav terdengar gusar. “Aku bahkan tidak mengenalmu secara pribadi!”

“Aku juga tidak paham sepenuhnya. Percaya atau tidak, yang kunyatakan kebenaran. Kalau bukan begitu, yang kautemui sekarang bukan Batya dengan penduduk Helev. Dan pemimpin di kuil itu bukan Betshev Eliezer karena semestinya dia seorang kepala peneliti di Urim Ushnashar—tempatku bekerja—bukannya rohaniwan.”

“Kaupikir siapa orang yang mampu melakukan itu? Aku sangsi jajaran Tetua sekalipun sanggup menandingi sihir ini, Sheraga melebih-lebihkan.

“Lagi pula, aku kenal putri yang harus kaujaga itu. Tadinya kupikir dia akan mengikuti jejak ayahnya. Bukannya memilih kabur ke Hagashah. Barangkali itulah alasan kalian terperangkap di sini.” Dia membubuhkan, “bila ada orang untuk disalahkan, itu adalah sang Kurator.”

Tabib tahu-tahu menyusur masuk. Dia wanita tua kerempeng dengan mata biru cekung, rambut jerami bergelung-gelung, dan berbau dupa menyengat. Diam-diam Sheraga tak rela saat orang itu memberi isyarat mengusir.

Di ruang tengah, Orim sudah memegang tabung surat bersadur emas. “Pengumuman babak lanjutan,” kabarnya.

“Nanti malam?” Sheraga menggeram—sekaligus senang akhirnya fokusnya dapat teralihkan—seraya menarik perkamen yang terbuat dari material asing dan menyelisik isinya.

Intinya pewartaan dalam bahasa Benua Utara itu menerangkan, dia diharuskan kembali berkonflik. Kali ini di sebuah pulau hidup, bersama empat pemimpi yang tidak dicantumkan namanya. Diduga untuk memeriahkan suasana, masing-masing diwajibkan memilih satu di antara dua kubu.

“Ssh, bagaimana cara menemui Zainurma?”

Sheraga melirik Nadav. “Kaumau menghabisinya, ‘kan? Percuma. Jangankan untuk mengentaskan pria itu, dia tidak bisa disentuh sama sekali. Lima orang baru saja disihirnya menjadi karya seni.”
               
Nadav tidak gentar. “Apa yang diujarkannya?”

Tabung surat dilempar padanya dengan akurat. Dia mencermati. “Baron sang Penyihir? Pulau kadal? Ssh, lelucon macam apa ini?” Kabar baiknya dia tak lagi meniti Sheraga dengan hawa membunuh meluap-luap.

“Yang kumengerti, aku harus mempersembahkan pertunjukan terbaik di manapun aku ditempatkan. Bisa melalui perkelahian, atau sebagainya.”

Nadav mendekat. “Ssh, kalau begitu aku turut serta.”

Orim mengerutkan alis, tampak kurang setuju. “Kami tidak ingin melibatkan kamu, Nadav. Terlalu berbahaya. Bukankah kamu ... menyimpan kepercayaan Tuan Raivah? Gal itu tanggungjawabmu.”

“Hutan adalah rumah kedua bagi pemburu, namun petaka bagi seorang klerik yang tidak bisa melihat, ssh,” tepis Nadav. “Jadi, maaf, sepatutnya kau tidak usah berlagak mengkhawatirkanku,” dia mendecih, “Bung.”

Pernyataan tadi menggiring Orim keluar rumah. Berziarah, begitu dalihnya.

“Sejauh yang kutahu, kau mengetuk pintu rumah ini dengan maksud menumpang,” sambar Sheraga tanpa menutupi kedongkolannya.

Tak peduli, satu mata Nadav yang tak terlindung kain berbinar. “Sh, mestinya kaukedepankan akal sehat, Cendekiawan. Lucu sekali apabila kau mati—”

Sheraga tertegun. “Terima kasih, Nadav,” balasnya. Senang menyambut kehadiran orang baik dalam hidupnya.

“—Itu karena aku tidak ingin terjebak di sini. Jika kita sudah kembali, ssh, kau berutang satu juta zahavot padaku. Tanpa angsuran!”

“Lupakan saja. Aku bahkan berniat merayakan kebebasanku dengan pengabdian seumur hidup pada masyarakat. Aku takkan punya apa-apa.”

“Ssh, kau pasti membayarnya dengan cara apapun, Asher.” Sebuah ungkapan untuk: kubawa kau pada ayahmu.

Sheraga memutar bola mata. ”Mimpimu.”

- 3 -
Esok dini hari, domba yang disepakati bernama Chabburah—lebam—mengirim Sheraga, Orim dan Nadav ke Bingkai Mimpi lain. Mereka kini berada pulau kecil tak berpenghuni di tengah-tengah samudra tanpa pergolakan. Berpegang pada jaminan Zainurma atas perlakuan baik masyarakat Bingkai Mimpi, Shena dan Gal dibiarkan tinggal.

“Pergi kau!” Sheraga mengusir si gumpalan serat.

Menunggu persiapan tergesa sang Alkemis yang akhirnya sama sekali batal, domba itu bertindak tak sabar dengan menyusul ke Urim. Lantas menyeruduk tuannya. Area kebiruan di lengan Sheraga memberi inspirasi nama bagi biri-biri itu.

Si domba menjulurkan lidah. Tak alang, Sheraga balas menendangnya ke dalam galur sinar nilam.

Sheraga menebarkan pandangan. Seumur-umur, baru dijumpainya kawasan sejenis ini.

Ada aroma khas begitu menjejak—perpaduan antara rerumputan dan bekas hujan yang lembap. Sayang sekali belum cukup untuk mengenyahkan suasana mencekam. Dekut-dekut, lolong dan auman, sampai kesahan makhluk sekarat, memenuhi udara. Pendar bulan perak raksasa merupakan satu-satunya penunjuk dia berada di tengah pelataran alam bebas.

Lain dari hutan jarum di Hagashah, pepohonan membiakkan daun lebih banyak, berbatang lebih lebar, dan akar-akarnya mencuat dari dalam tanah lambak berlumut. Ujung-ujung dedaunan di puncaknya membangun kanopi penuh celah.

Orim angkat bicara, “i-ini ... lingkungan apa? Rasanya terlalu ... penuh sesak dengan makhluk hidup.”

“Hutan yang asing,” respons Sheraga, agak terkejut pada keterangan tersebut, sambil meraba dengan sangsi permukaan pohon terdekat. Dia berjengit. Banyak sekali semut.

Usaha Nadav mengadakan api memicu kelelawar di dekatnya beterbangan. “Sssh, kau benar-benar tidak menemukan petunjuk tentang bagaimana mencari kubu-kubu itu?” tanyanya dengan jemawa, seolah perpindahan ini merupakan keseharian. Lalu dia membagikan obor pada Sheraga.

Sheraga menggeleng lekas. Sesudahnya, dia memimpin yang lain untuk menyusur pulau lebih dalam.

Dengan khawatir, diperhatikannya sekeliling. Kendati tak terlalu membantu, nyala api membuahkan bebayang menakutkan dan gambaran mengenai wajah asli hutan. Semuanya tampak terlalu ganjil dan berbahaya.

“Aku ... dengar seseorang,” Orim mewanti-wanti. “Dia makin dekat.”

Sheraga menatap sahabatnya. Jantungnya mencelus. “Benarkah?”

“Ssh, aku pun dengar itu. Akan kuurus.”

Nadav menyiapkan busur panjangnya, menjemput sebatang anak panah, dan membidik sudut tak terjamah cahaya. Senjata baru hendak melenting ketika sebuah suara memohon dari jauh.

“To-tolong! Aku bukan musuh! A-aku bukan musuh!” Seorang perempuan. “Tuan-tuan, dengarkan aku!”

“Sssh, dia adalah bagian dari rintangan yang harus—“

Sheraga menyalak, “tidak, Nadav. Beri dia kesempatan!”

“Aku juga memahami,” Orim mendukung, “tiada maksud buruk di balik permintaan itu.”

Nadav tak menggubris. Sebelum ada yang sempat mencegah, dalam gerakan sejurus dia memelesatkan panah pada sumber bicara. Kedua rekannya hanya mampu menyeru keberangan. Kelebatan hewan mengusir kesenyapan alam bebas, dan terkejar sepintas erangan sakit.

“Berengsek!” Sheraga mengeluarkan kata mutiara dan menghadiahkan delikan paling tajam untuk Nadav, sebelum beranjak menolong. Orim mendampinginya.

Tiba-tiba, Sheraga merasa ngilu.

Pemandangan di hadapannya amat mengenaskan. Seorang perempuan muda, dalam pakaian serbahitam, bersimbah darah. Sekujur tubuh tercabik, melebihi terkena amuk badai. Sementara tangan satunya bertumpu pada pohon, lengan kanannya tergantung tanpa daya. Ada koyakan brutal di sana. Beruntung panah Nadav menancap pada akar, bukannya menembus wanita itu.

“Terima ... terima kasih ....”

Usai berucap, dia jatuh tak sadarkan diri. Orim menangkapnya dengan sigap.
Meskipun buta, sang Okultis sadar perempuan yang terkulai di dadanya terluka serta perlu diselamatkan. Kenyataan bahwa dia makhluk Tuhan saja, sudah lebih dari cukup bagi Orim untuk mengulurkan bantuan.

“Kelihatannya dia berhadapan dengan harimau atau sejenisnya,” imbuh Sheraga. Ada kekhawatiran yang tidak biasa dalam suaranya.

Orim juga demikian. Dia bukanlah salah satu tokoh utama dalam pagelaran kematian yang digalakkan Zainurma. Mungkin juga takkan pernah berkesempatan menginjakkan kaki di Museum Semesta, terlebih menemui orang-orang senasib Sheraga. Namun, ada secercah keprihatinan dalam diri Orim yang timbul bagi mereka.

Sebagaimana kemarahannya pada Zainurma atas beban yang harus ditanggung sahabatnya, Orim menyimpan duka terhadap setiap insan yang dijadikan objek ambisi kurator itu.

Pasalnya, bagaimana jika salah satunya ternyata anak tunggal yang begitu didamba, atau seorang pemuda yang dinanti kekasih, atau malah menjadi pelita satu-satunya dari sebuah marga yang nyaris punah? Orim Kohan, di masa yang begitu belia, pernah mengalami periode kelam sendirian, dan tak kuasa membayangkannya menimpa orang lain.

Tapi aku hanya diberkati sepasang tangan, pikirnya, itu untuk menuntaskan agendaku sendiri.

Yang lebih memilukan, Dewi Mirabelle terlibat dalam rantai amoral tersebut. Semula dianggapnya wanita itu tak lebih dari bentuk keputusasaan bangsa Helev atas kekalahan Perang Besar Kedua. Mereka menakhlikan sosok idola, berharap itu akan memadai untuk mengobarkan spirit golongan menandingi Dayan.

Biar bagaimanapun, tiada kebimbangan dalam ucapan sahabatnya.

Bersama kemunculan Mahalath dan daya yang sanggup menembus lebih dari satu dimensi, menandakan sesuatu yang sama sekali bukan kebetulan: makin dekatlah masa menuju Hari Pembalasan.

Tebersit lagi sebuah pemikiran dalam benak Orim. Sejenak melunturkan senyum abadinya. Nyaris menjatuhkan tubuh dalam rengkuhannya.

Tidak, disudahinya kekhawatiran yang makin liar. Dia yang Lainnya akan tetap mati.

“Ssh, serahkan padaku!” perintah Nadav, membuyarkan lamunan. “Aku tahu bagaimana menanganinya.”

Sheraga mendebat, “kau akan membunuhnya!”

Nadav menyangkal dalam senyap. “Setidaknya, ssh, aku masih punya harga diri untuk tidak menghabisi onggokan sampah.” Menguar kepuasan begitu dia melontarkan hinaan. Orim cukup kesulitan mengungkap nalar pemuda itu, selain kelugasan pada permukaan.

“Dia tidak bermaksud buruk, Sheraga,” tegas Orim, memilih untuk berpikiran positif. Setelah itu, dia menguraikan pegangannya.

Perlu waktu yang tidak sedikit sampai Nadav mengembuskan napas tanda selesai mengobati. Kemudian, terdengar kesahan lirih, dari si gadis malang. Dirasa Orim tangan dan kaki jenjang menggeliat. Gadis itu kiranya mengerjap-ngerjap. Menimbang-nimbang mengenai ketiga penolongnya.

Oy—eh, hmm ... WOAH!!”

“Tenanglah. Kau sudah merasa lebih baik?” Sheraga, yang sebetulnya enggan bicara, mengambil alih, ”dan maukah kau bercerita?”

Orim juga seorang pencuriga. Sambil menarik sudut bibirnya lebih tinggi, dia menambahkan, “sebaiknya ... kamu jangan sedikit pun menambahkan informasi palsu, Nona. Kelompok ini ... akan tahu kebenaran dari keteranganmu.”

Si gadis ngeri pada Orim dan tak berminat menipunya. “Nebekhdik ikh iz nor—“

“HAH?”

“Eh—tidak bisa? Hmm ... slicha ani—

Sheraga mendesah. “Kau mengigau, ya?”

“Oh, ou. Kukira kalian—ah, tidak, tidak. Aku keliru. Aku ... terlalu kaget.”

Terutama akibat sifat pragmatis dan didorong kehendak untuk terus dibentengi, gadis itu pun menyerahkan kepercayaannya pada tiga orang tak dikenal. Namanya Ru Ashiata, berasal dari suatu tempat di alam sana yang disebut Jerman. Belum lama, dia berurusan dengan penghuni pulau, yakni kawanan satwa nirnalar berbahaya.

Kira-kira Sheraga melepas jubah luarnya untuk Ru. “Kau tidak bisa terus menyita perhatian dengan penampilan seperti ini.”

“Te-terima kasih,” sahut Ru kurang tulus. Dia mengutarakan pada Orim, “emm, bisa tidak, jangan nyengir dan merem terus? Bukannya keren, kau malah kelihatan seram.”

“Dia buta. Dan pembawaannya memang begitu,” terang Sheraga. “Dia tidak bermaksud apa-apa, Ru. Namanya Orim.”

“Oh maaf,” kata si gadis, “aku tak bermaksud, lho.”

“Aku tahu,” Orim menyambar. “Tidak apa-apa.”

“Ng, omong-omong siapa—”

Sheraga menjawab, “aku Sheraga. Dan ini Nadav.”

“—yang tanya?”

Di tengah udara yang menggemakan serangga saling bersahut-sahutan, Ru terpingkal-pingkal seorang. Tak acuh pada badannya yang penuh cedera. Karena lama tak satupun bergabung, agaknya sebatas memandangi, gadis itu akhirnya bergeming segan. “Kenapa sih?”

“Apa?” Sheraga terdengar bingung. “Memangnya ada yang salah?”

Nadav tertawa kering. “Ssh, tampaknya dia baru saja ingin melucu.”

Sheraga berusaha menghargai. Dan jelas-jelas Ru terenyak. “Jangan konyol! Apa itu perlu?”

Seterusnya, mereka berjalan tanpa bicara satu sama lain. Sampai Ru kembali bersuara. “Hiih, ampun deh! Hutan ini sama seluruh isinya sungguh penuh misteri. Termasuk kalian yang tidak punya selera humor. Huh!” Dia bertanya, “err, tapi aku lumayan penasaran. A-apa kalian juden?”

“Memangnya apa itu?” Sheraga balik meminta jawaban.

Ru terperangah, tidak dibuat-buat. “Ih, yang benar saja! Nama kalian itu mirip—“ Dia terbengong sesaat. “Eh, tidak, tidak. Itu bisa terjadi. Teori multidunia banyak beredar. Lagi pula ini Turnamen Antardimensi, ‘kan?” gumamnya. “Err, Tuan-Tuan, tolong jangan pedulikan ucapanku yang tadi. Hmm, jadi kalian bertiga pemimpi? Atau ada yang penduduk tulen Pulau Gaegator?

“Sheraga pemimpi,” sahut Orim. “Saya dan Nadav berasal dari Bingkai Mimpinya.”

“Masa sih? Kupikir kau lebih baik,” ungkap Ru jujur. “Maksudku, kau lumayan ... yah, berpotensi. Mimpimu kuyakin sangat luar biasa. Zainurma, kan, kulihat mengundang hanya yang kuat-kuat atau yang aneh-aneh.”

Orim tahu barusan dirinya ditunjuk. “Itu ... tidak benar, Nona.”

“Andai boleh jujur, aku juga tak ingin terlibat,” tandas Sheraga tanpa tersinggung.

Ada tekanan. Emosi dangkal yang panas. Nadav menggeram dan menukas, “Asher, Orim, bukankah tertulis dalam pemberitahuan bahwa kita harus menumpas segala halangan? Ssh, gadis ini, tidak salah lagi, termasuk. Jangan tertipu oleh tampilannya!” Lalu terdengar gesekan dari selongsong panah.

“Tidak! Tidak, Kak Nadav!” Ru menjura menahan sakit, meski ada sepotong harapan menghabisi Nadav. “A-aku bukan musuh! Tolong percayalah kepadaku! Aku akan ... membantu kalian sebisaku!”

Tali busur ditarik. “Sh, takkan ada orang yang menyesal pada awal. Asher, jangan lupakan sepasang teman palsumu.”

Sheraga terdiam tidak sebentar tanda mengiyakan. “Ya, kau benar,” tandasnya dingin. “Tapi bukan artinya—HEI!!”

Unggas-unggas menyorak. Malam semakin ramai. Dengkingan Ru lebih histeris ketimbang lolongan serigala. Orim patutnya lebih berhati-hati.
Pengalaman mengajarkan Nadav untuk senantiasa mengobar prasangka. Selain itu, torehan luka pada tubuh turut serta mengingatkannya berlaku waspada. Tipu daya dan timbunan kebohongan takkan pernah berhasil membunuhnya, menjadikannya sosok yang kian tak terbendung. Biarpun begitu, dia tidak boleh lengah.

Bagi lelaki dua puluh lima tahun itu, dosa paling tak terampuni adalah pengkhianatan. Dan dia takkan mengambil risiko dengan membiarkannya. Bibit-bibit dusta patut dimusnahkan.

Dibalut prinsip tersebut, panah dilepaskannya tanpa tedeng aling-aling, menyasar bakal pembelot. Perempuan pendatang berbahasa Yashar tidak santun itu. Nadav paham, cepat atau lambat peserta lain berpotensi menjadi rival berat Asher. Akan tetapi, tepat waktu Orim mendorongnya.

Laungan Ashiata merobek sunyi. Kegelapan mereguk anak panah.

“Sssh, Orim!” Mengabaikan etika, Nadav mendobrak batas kesabarannya. “SEJAK KAPAN KEHADIRAN PEREMPUAN MENGUBAHMU JADI TOLOL?”

Orim menyambut dengan cara yang sepadan, “tembak dulu, baru bertanya. Aku jauh melebihimu dalam deteksi apapun, DASAR BOCAH BODOH!”

Nadav bergeming.

“Sekali lagi ... kamu bertindak gegabah, aku takkan segan membalasmu,” ancam Orim. “Kamu ingat? Aku mengetahui satu rahasiamu, Nadav Chaim. Dan kapanpun, aku bisa ... memberitahukannya pada Ezar Raivah, atau putrinya.”

Mendadak, Nadav terkenang mantan ketua Pemburu Hening. Akal sehatnya dibeli dengan perasaan murah terhadap wanita, yang betul-betul menghendaki kebinasaannya. Dan tidak disangka, orang tunatetra sekalipun akan menempuh jalur idiot yang sama.

Sepanjang penelusuran, keantipatian Nadav pada sosok yang pernah dihargainya tersebut makin menggebu-gebu. Orim diawasinya lekat. Informasi-informasi mengenai si buta berduyun menyusup benak Nadav.

Tak cuman menjengkelkan, Orim begitu mencurigakan sejak awal. Nadav pertama mengenal lelaki itu sebagai seminaris aliran nonkonvensional, sosok misterius tanpa nama keluarga maupun kejelasan asal-usul. Wataknya sebagai penghindar konflik semestinya tidak banyak berubah, dan tampaknya masih bertahan hingga kini—setidaknya itulah kesan luarnya.

Tapi secara ganjil, sukarela dia melibatkan diri dalam ajang pertikaian ini. Pasti ada hal yang disembunyikan lelaki itu. Sekadar bualan tentang persahabatan sama sekali tak masuk akal. Boleh jadi, pada mulanya, dia menginginkan sesuatu dari putra Natan Asher.

Sandera? Deklarasi perlawanan pemberontak? Ada begitu banyak kemungkinan. Mengingat sang Raja naik takhta terlalu mendadak, tak segelintir yang berasumsi dia menjalankan konspirasi wafatnya penguasa terdahulu—yang begitu dicinta rakyat. Nadav termasuk, dan barangkali Orim pun demikian adanya. Hanya lebih ekstrem.

Tidak berhenti sampai di situ, desas-desus berkata pria itu memperoleh kekuatan supernatural dari iblis. Penglihatannya ditebus dengan indra yang lebih hebat. Dan bahwa istri sahnya adalah perempuan-gaib. Asher kemungkinan tumbalnya.

Apapun kebenarannya, incaran Nadav sudah mantap. Cita-citanya kini, dia ingin memagas dua kepala.

Sekarang tinggal melancarkan seolah ketewasan itu tampak alami bagi prioritasnya. Jangan sampai sandungan berupa orang dekat menggagalkan putra penguasa itu. Tamat sejarahnya berarti pintu kembali pada realitas tertutup selamanya.

Si perempuan sundal, dengan kelicikan yang didapati sang Pemburu semata, memeluk lengan Orim. Menempel padanya. Dalam diam lidah pelacur itu terjulur untuk Nadav.

“Terima kasih! Maaf mengataimu seram. Ternyata kau yang paling mengerti aku. Kau juga ternyata hebat sekali!”

Orim tersenyum menjijikkan. “Kembali. Selama kamu ... terus terang, selama itu pula saya melindungimu.” Dia berpaling pada Sheraga. “Ayo, lanjutkan menjelajah.”

Asher menyeru, “jangan diam saja, Nadav!” Tatapannya tertuju pada Ashiata. “Oh ya, Ru, maafkan Nadav dan aku juga!” Obor menegaskan wajahnya yang tanpa waswas.

Dalam perjalanan, Nadav tidak berkata-kata demi melindungi gagasannya. Dia telah memperhitungkan: Orim mati lebih dahulu, dan Ashiata tersangkanya. Atau kambing hitam.

Mujurnya sang Pemburu, penyembuhan yang dilakukannya tidak sebatas memulihkan musuh. Dia selalu menyisipkan lebih.

- 4 -
Ide paling brilian adalah menjadi penguasa. Bukannya menjalin kerja sama bagai bawahan rendah. Keparatnya, pribadi pengaju aliansi di hadapannya bukanlah manusia sembarangan.

Arca, masih terlalu mengasihi nyawanya, terpaksa memamah harga diri.

Segala upaya telah dikerahkan untuk menumbang pria plontos penyandang tombak, Baron Hanscale, tetapi nihil hasilnya. Silat Maenpo dan Ajian Bayang Diri andalan Arca, ditujukan dengan maksimal sekalipun, sama sekali bukan tandingan sang penyihir. Kedua jurus pamungkas itu dimentahkan semudah membalikkan telapak tangan. Tak meninggalkan bekas luka berarti.

“Aku mengampunimu,” Baron mencurai nasib Arca beberapa tempo lampau. “Tapi tentu ada harga untuk tiap kemurahan hati, Arca.”

Arca makin mengerti sangat tidak bijaksana menentang ahli magi yang sertamerta mengetahui identitasnya. Kesabaran merupakan kunci menang.

“Bergabunglah denganku.” Baron mengulurkan tangan. “Bersama-sama kita akan mewujudkan dunia yang ideal bebas kepandiran. Bukankah hidupmu jauh lebih bermanfaat bila diisi dengan kebajikan?”

Dalam relung hatinya, Arca menahan letup tawa. Kebajikan, ceunah! Dunia nu idéal? Anying! Gélo!

“Kaumau menyia-nyiakan kekuatan buat sesuatu yang muluk?” tanggapnya sembari berdiri, menepis bantuan yang jelas bermaksud mengejek. “Mémangnya buat apa susah-susah membikin bagus dunia bobrok ini, kalau kita bisa menguasainya sendiri?”

Dengan entengnya Baron menjawab, “karena aku orang yang baik.”

“Orang baik tidak menahan,” balas Arca, “meréka melepaskan.”

Baron tertawa kecil. “Aku tidak melepaskanmu karena kamu orang yang istimewa, Arca. Kekuatanmu amat diperlukan.” Kehangatan berubah kecaman. “Tapi jangan abaikan pembebasanku. Atau kamu ingin memilih menghentikan usia pada hitungan empat ratus dua puluh lima saja?”

Sang Penakluk terkesiap. Bagaimana mungkin penyihir ini mengetahui rahasianya?

“Akulah Dewa-mu sekarang.” Baron mengangkat senjata magisnya. “Patuhlah pada perintahku, maka aku akan kabulkan segala hasratmu!”

Tangan Arca mengelap darah tersisa pada dagu. “Jika aku menolak?”

Satu mata biru Baron berkilat-kilat. Membangkitkan dongeng religi dalam otak Arca; mengenai monster mata tunggal pemberi dua pilihan yang jadi pertanda Kiamat Besar.

Sontak pelataran bergetar, mengingatkan Arca pada peristiwa di Museum Semesta. Tidak, ternyata segenap hutan bergemuruh. Udara mendadak panas menyesakkan. Para binatang bergelepar dan melengking. Ombak mendebur di kejauhan. Pada klimaksnya, tercipta kertakan pada tiap jengkal tanah.

Arca pernah menonton film pop untuk mengetahui persis apa yang bakal hadir.

Di baliknya, sepasang tangan pucat mencuat dari dalam bumi. Pertama mencakar-cakar, lalu menangkap pergelangan kaki Arca. Tentunya tak berlangsung lama, sebab lelaki itu menyarangkan tempelengan untuk meremukkan penghalang. Dengan cekat, satu mayat hidup dihabisi sebelum sepenuhnya timbul ke permukaan.

Yang tadi bukanlah penghabisan, justru permulaan.

Jasad-jasad kering membersil keluar dari seluruh pelataran. Awalnya merangkak, tertatih-tatih seolah mengalami kelahiran kembali. Dan dalam sekejap gerakan mereka gapah. Arca perhatikan mayat-mayat hidup itu. Sebagian besar masih utuh, tak dikerip ulat-ulat kubur.

Saat maut merengkuh, mereka masih menyandang kebanggaan sebagai kesatria. Dilihat dari zirah dan perkakas perang lengkap. Dan Baron merenggut kehormatan tersebut dari mereka. Menjadikan manusia-manusia celaka itu serdadu pembunuh tanpa akal.

Mereka juga kekal, sebagaimana Arca. Perasaan langka dalam hidup penuh pengembaraannya menyeruak: ketakutan. Cemas dirinya pun akan menemui takdir yang setara.

Tiada maknanya hidup tak berkesudahan jika Arca gugur nalarnya sebagai manusia. Satu gigitan saja untuk mengubahnya.

Para mayat berbondong-bondong mendekat, mengangkat senjata. Siap sedia menamatkannya dengan berbagai kemungkinan cara. Kebekuan logam mulai terasa membelai leher Arca.

Tombak Baron mengentak satu kali, menyebarkan buih-buih cahaya merah. Zombie-zombie serempak kehilangan senjata mereka dan mematung di atas kaki.

Peluh Arca menetes.

“Inilah harkatku!” Baron mengultimatum. Suaranya bergema seakan-akan berbicara dari dalam gua. Kelihatannya kewarasan orang itu terganggu. “Tiada yang menyangkalku! Dunia akan mengenal namaku tanpa terkecuali!”

Sang penyihir mendecih begitu memandang Arca. “Sekarang kamu sadar bukan, betapa menyedihkannya kamu di hadapan kuasaku?”

Sang Pendekar Silat terpaksa mengakui. Biarpun begitu, sekurang-kurangnya dia mendukung pihak yang tepat: seorang penjahat. Arca suka itu.
Kira-kira sudah sepertiga malam.

Derik serangga di antara kekosongan memaharaja. Udara makin tidak dapat diajak berteman. Embusan napas mengepulkan asap tipis. Ru merapatkan jubah, dan belum sembuh jua dingin di bawah kulitnya, dia merekatkan diri pada Orim. Kelihatannya si buta ini tertarik padanya, maka Ru takkan menyia-nyiakan perlindungan darinya.

Bahkan orang tanpa penglihatan bisa merasakan betapa aku cantik. Si gadis mati-matian mengubur keinginan tertawa guling-guling. Tapi kaupikir aku akan menerimamu?

Nanti, Ru memiliki cerita yang betulan jenaka untuk dibagikan. Seorang tunanetra menyukainya dan bertekad melindunginya sepenuh hati. Dan coba tebak? Aku menolak pernyataan cintanya dengan dramatis. Ru menerka-nerka isi pesan untuk adiknya kelak. Lalu kulihat dia putus asa dan merengek histeris di tengah hutan serupa bayi.

Itulah yang memang hendak dilakukan Ru. Mengubah patrian senyum si buta menjadi cemberut dalam untuk selamanya. Tinggal meminimalisir cakap demi kelancaran rencana, karena kelihatannya dia mampu membaca pikiran saat Ru buka mulut saja.

Malang nian nasibmu, Om.

Jangankan lelaki cacat semacam Orim, Ru sama sekali tidak tertarik pada hubungan asmara. Dia akan dengan senang hati mengusir lawan jenis manapun yang mengantre demi perasaannya. Sebab yang terpenting yakni kebebasan. Menjalin kisah cinta jelas perusak mutlak landasan tertingginya.

Yang jadi penghambat bakal drama seru adalah fakta bahwa bukan Orim reverier-nya.

Ru mengerling pada Sheraga, cowok yang tidak mencolok sama sekali. Bakatnya mengayunkan pedang memang di atas mahir, tapi sebatas itu. Kecuali, barangkali, dia introvert, kikuk, dan ketegarannya untuk tetap diam yang sebanding batu karang. Seharusnya, menurut ukuran biasa, tipe pendiam lebih gampang disukai lawan jenis. Alih-alih demikian, dia sangat kuper. Membosankan.

Der Golem, begitulah Ru menjuluki Sheraga.

Mendadak Orim memerintah, “tolong jangan memautku terus, Fräulein. Kamu ... sudah lancar berjalan, ‘kan?”

“Orim-san, t-tidak juga, ah,” balas Ru centil, tanpa mengendurkan pegangan.

Sebagai reaksi, Orim malah melepas paksa lengan Ru. “Bitte benimm dich—jaga sikapmu!”

Ru terserang syok. Apa-apaan ini?

Dipandanginya wajah Orim, tidak berubah. Lantas pada Sheraga, biasa. Dan pada si pemanah sialan. Visi Ru bertembung dengan tiang listrik berjalan itu. Satu mata birunya menyipit. Ru menduga di balik topeng itu merekah seringai setan.

Saat itulah Ru merasa lemas. Tungkainya gemetar. Penglihatan berbayang. Suara radio rusak menjejali kepalanya. Sakit temporalnya menyiksa, lebih parah dari semestinya.

Tas kecil di balik jas dirogohnya. Pena insulinnya raib. Beretta plus magasin miliknya pun ditelan bumi. Sejak kapan?

Ru menilik Nadav lagi. Bertepatan dengan kabut biru menggerogoti panorama. Pembauannya perlahan hilang fungsi. Tetapi pendengaran sensitifnya, yang juga mulai terdistraksi, sempat menangkap maklumat kemenangan.

“LUNAA!!”
“Aku melihat harapan di  matamu Aku melihat titik terang bagi dunia dalam dirimu. Aku melihat masa depan serta keadilan dalam visimu. Dan selama ini aku terus berlandas pada keyakinan itu. Aku amat memercayai engkau sejak Dia hadirkan dirimu ke dalam hidupku. Sayangnya, sekarang kusadari bahwa aku pun masih terlalu naif.”

Sheraga terlonjak begitu sepotong imaji tak dikenal memintas. Dia termegap-megap meminta udara. Hampir lenyap keseimbangan gara-gara itu. Masih sesak, dia berhenti sejenak untuk menenangkan dirinya.

Orim menghadapnya. “Aku tahu ... kamu sedang resah. Bicaralah.”

Sheraga menceritakannya. Dan di ujung sahabatnya semata membalas, “wajar terjadi ... bagi yang terlalu merindukan kampung halaman. Sesuai pula dengan pernyataan Zainurma. Bukan masalah besar. Jangan resah lagi.”

“Ya.”

Kelihatannya Nadav menguping obrolan tadi. “Sssh, aku sanggup menjamin kepulanganmu, Asher. Dengan cepat dan tanpa kesulitan. Asal kita membuat beberapa kesepakatan—“ Kepalanya tertoleh. “Wah, wah, bangsat. Kita kedatangan tamu lagi.”

Dia membubut panah tiba-tiba, dan sambil maju dengan hati-hati, memasangkannya pada busur. “Siapa di situ?” bentaknya sambil mengarahkan senjata. Kemudian fokusnya berpindah. “Ssh, tunjukkan dirimu!”

Sesuatu melintas di kejauhan, Sheraga sekalipun mampu menangkap pergerakannya. Nadav berubah haluan ke sumber kekhawatiran tersebut.

“Tidak perlu,” beritahu Orim tidak tenang. “Mereka ... juga ada di bawah kita.”

“M-mereka?”

Angin beku menyapu pelataran, memuntahkan kabut tebal. Riuh rendah hutan merabung. Sheraga bergidik, hawa kemistisan mulai menggantung. Tak alang, pulau bergetar. Pepohonan bergemerisik ribut. Daratan berdentum-dentum kuat bagaikan sesuatu yang agam hendak membobol keluar. Burung-burung berseliweran lupa pada sarang.

Sedetik berikutnya, tangan-tangan mencuat dari dalam timbunan hijau. Tanpa perlu menunggu penampakan, Sheraga dan yang lain berlarian, dengan Nadav di posisi terdepan. Orim sendiri membopong Ru yang mulai melemah dan pasi.

“Kanan! Kanan!” Nadav mengomando. “Asher, jangan lamban!”

Tapi belum-belum Orim berteriak, “di belakangmu!”

Sheraga berbalik tepat waktu. Selagi berputar dia mengoper obor ke tangan kiri, mencabut pedang dari sarungnya, dan diakhiri dengan memisah kepala makhluk yang siap menyambut. Dalam kesempitan, dia melirik sekilas penggempurnya.

Sumber cahaya mutlak satu-satunya menampilkan raga ringkih dan kering. Berbalut zirah kulit koyak. Tiada semburan darah maupun rona kehidupan. Pernah mengetahui fakta tentang monster yang sama, Sheraga memekik, “jangan sampai terkena luka fisik! Dengar, jangan sampai terkena luka fisik!” Dia menatap berkeliling dan sadar makhluk-makhluk sejenis sudah menyambangi seantero hutan.

“Bakar mereka, bajingan tengik!” umpat Nadav sambil menyepak sepasang mayat hidup. “Ssh, apa ayahmu tidak mengajari satu sihir api pun?”

“Sihir apa, idiot?” tangkis Sheraga sama kasar.

Dia terkesiap. Sesosok jasad menyarangkan pukulan ke arahnya. Pemuda itu berkelit dan balas menebas, nahas tidak berarti apa-apa. Lawannya mengelik semudah dirinya. Monster itu pun akhirnya memilih mengerahkan segenap fisik. Dia menerjang dan coba menggencet yang masih hayat.

Sheraga terdesak. Tangan beraroma busuk mengimpit dadanya. Untunglah dia berhasil menepis belati yang bakal dihunjamkan kepadanya, lantas mengacungkan obornya ke atas sehingga api merambat pakaian musuh. Makhluk itu beranjak mundur sambil menggerung-gerung. Menyenggol kawanannya di luar kendali. Sekejap, tubuhnya berliput pijaran. Tiga monster di dekatnya ditimpa ketidakmujuran dan bernasib sama.

Nadav memecah tengkorak keempat-empatnya sebelum menghampiri Sheraga. “Ssh, pemalas. Kaumau selamat atau tidak?“

“Bangsat! Kau yang main-main!”

Sekonyong-konyong, Sheraga teringat Orim. Dia pun bersilekas. Benar saja, lelaki itu kini terkerubung dari segala sisi. Sedari awal dia bertahan dari serangan dadakan ini berkat usaha menghalau yang tidak berdampak banyak. Cepat atau lambat dia akan tiba pada ambangnya.

Sebagaimana sepatutnya, Sheraga memancing perhatian lawan-lawan. Satu monster pada lapis terluar diseret ke belakang dan digabruknya. Begitu tujuan tercapai, dengan sebagian besar jasad menyasar dirinya, Sheraga memanfaatkan kelincahannya untuk mengungguli musuh. “Berlindung, Orim! Nadav, bantu aku!”

Menghemat persenjataan, Nadav menanduk monster di kanannya. Selagi makhluk itu terhuyung, Nadav merampas pedang panjangnya dan langsung memakainya untuk menyembelih. Lima, sepuluh, tiga puluh tarikan napas ..., terjadi hujan kepala yang dramatis. Pemburu itu bertarung di antara himpun dua puluhan mayat hidup penyandang perkakas perang. Akan tetapi mereka bukan tandingan Nadav sececah jua. Tiap gerakannya tepat guna, seakan pedang merupakan lengannya yang ketiga.

Segalanya belum benar-benar usai ketika Nadav berlutut kelelahan. Masih ada empat monster. Pedang perak Sheraga terayun tanpa segan, menggorok satu dan mementalkan ke lumpur. Kemudian pemuda itu mengentaskan bibit-bibit pengacau yang tersisa dengan metode sebanding.

Pelataran bergelimpang alat-alat perang dan potongan rangka. Dipermanis semerbak bangkai. Beberapa unggas pemakan daging mulai berdatangan melahap sajian.

Nadav menyimpan kembali panah yang sempat dilontarkan. Dia menyelidiki satu jasad dan menyumpah kencang. “Sssh, bedebah! Ini namanya penghinaan terhadap orang mati! Pelakunya mesti dihukum gantung!”

“S-serangan berakhir?” Sheraga menyeka dahi.

“Menurutmu?”

Sama sekali tidak. Kemunculan gelombang kedua lebih tak terduga. Tahu-tahu seluruh penjuru dipenuhi geram. Perlahan, gugusan monster memamerkan rupa dan jumlah yang lebih mengerdilkan tekad. Berbeda dari sebelumnya, mereka bukan mayat. Melainkan sekawanan satwa dalam berbagai bentuk yang paling aneh. Dengusan dari ujung jungur menandakan permusuhan.

Orim keluar dari persembunyiannya. “Lima puluh,” hitungnya.

“Masih mau menunda-nunda, ssh?” Nadav meradang. “Di sini, tidak ada Baginda Raja, Tuan Putri.”

Kedua tangan Sheraga terkulai. “Demi Ushna dan Mahra ... sejak awal kau seperti berkumur! Aku tidak mengerti sedikit pun apa yang kaumaksud!”

“Berhentilah. Mereka ... tidak berbahaya.” Orim maju. Dua ekor rubah berbulu keemasan langsung merayap ke bahunya. “Turunkan senjata kalian.”

Barulah Sheraga sadari pilihan sikap lelaki itu. Dia menatap sekitarnya takjub. Para penghuni hutan memang mengepung. Namun terbatas pada tindakan tersebut. Bukannya menyerang, kesemuanya—mulai dari pemamah biak hingga yang berjuluk Raja Rimba—duduk menyerupai binatang peliharaan. Mereka menguik-uik ramah.

Orim meletakkan Ru di atas biri-biri kelabu yang bersedia ditumpangi. “Biarkan mereka ... mendengar kalian juga,” suruhnya.

Selamat datang.” Terlintas dialog dalam benak Sheraga. “Kalian tidak perlu takut, sebab kami di pihak kalian. Sebagaimana kalian memutuskan untuk membantu kami.”

Nadav memprotes dari balik pelindung wajahnya. “Ssh, siapa bilang?”

“Katakan apa yang bisa kami lakukan,” pinta Sheraga tulus, seraya menoleh pada sang Pemburu. “Mungkin inilah jalan pembebasan bagi kita, Nadav.”

Tanpa basa-basi lagi, seekor—atau malah seluruh—satwa menerangkan. Ringkas sarat makna, “seorang penyihir gila telah memulai agresi. Dia membangkitkan para pejuang yang mati. Semua demi mengambil kendali penuh atas Gaegator.”

“Baron Hanscale,” Sheraga menyebut sebuah nama, mulai mengerti duduk perkara ajang pihak-memihak ini. Berkat penjelasan tadi, dia tahu wajib memilih kubu Gaegator. Karena memberantas orang lalim merupakan ide yang takkan disangkalnya.

“Kami harus melawan Baron?” Dia memastikan.

“Benar. Baron bermaksud memperalat Gaegator sebagai bidak tak tertaklukkan, melawan seluruh dunia. Hampir dia berhasil melakukannya. Jiwanya telah menyatu dengan Gaegator sekarang.”

Kucing hutan berbulu perak mengeluskan bulu ke kakinya. Sheraga berjengit mundur. Bersamaan, ular kristal sedang memanjat di punggungnya. Dia menghalau hewan-hewan yang coba dekat padanya dengan dongkol sekaligus ngeri. “Maaf. Aku agak alergi.”

“Dan langkah selanjutnya adalah, memperkuat pengaruhnya juga atas kami. Dengan mengumpulkan Para Manusia yang Teramal. Jangan pernah tertipu oleh tawarannya. Kalian akan dijadikan sama iblis dengannya.”

“Manusia yang Teramal itu,” gumam Sheraga, “para Pemimpi.”

Orang gila berniat memprakarsai perang. Pertentangan ini tidak jauh berbeda dengan peristiwa Bingkai Mimpi-nya. Seorang maniak konflik yang dipertanyakan kewarasannya seolah minta dihajar di batang hidung.

Tanpa kesangsian sebab yakin sekali atas putusannya, dia mengangguk mantap. “Baiklah, kami akan menumpas penyihir itu.”

“Ya,” jawab Orim. Nadav masih belum bereaksi.

Bersamaan, terdengar gedebuk berat dari belakang mereka. Ru ambruk telentang. Kepala menghantam salah satu batuan pejal. Kedua matanya terbeliak. Sedangkan domba-domba penyangganya terbirit ke sudut tergelap.

Orim menyerukan namanya, mengguncang bahu wanita itu. Tetapi dia tak kunjung bangun. “Aku ... lengah. Aku tidak tahu bagaimana ini dapat terjadi.”

Apapun keadaannya, jangan ingkari kesepakatan yang kalian buat. Kalahkan Baron, dan kami bersumpah memperlancar jalan kalian.” Usai menyampaikan itu, kerumunan bubar. Menambah rumit suasana. Pelataran kembali lengang gelita.

“Lakukan sesuatu!” seru Sheraga.

Sang Pemburu berlutut dengan canggung di samping Ru. “Ssh, dia ini—“

Ru mendompak-dompak. Sementara pandangannya hampa. Kaki dan tangannya bergeliat-geliut janggal. Mulutnya melindurkan sesuatu yang tak dimengerti ditujukan pada siapa. “Siluman anjing! Siluman anjing! Siluman anjing!”

“Pegangi dia!” perintah Orim. Lekaki itu pun menahan lengannya di sisi kanan, dan Sheraga pada samping satunya. “Nadav!”

Nadav menangkupkan kedua tangan. Memancarkan selapis aura penyembuhan. Celakanya Ru makin kuat memberontak. “Jangan lakukan itu pada adikku! Jangan sentuh dia, dasar keparat! DASAR SILUMAN ANJING!”

“Dia ... berhalusinas—“ Kalimat Orim selesai kala dirinya terpelanting.

Sesuatu membelit pergelangan kakinya, memutarnya di udara, lalu melemparnya amat kencang ke tetumbuhan terdekat. Benturan tadi menggemuruhkan malam. Sementara Nadav yang masih terperangah terjungkal menuju lahan lebih rendah.

“Ru! Apa-apaan—”

Tak sempat mencemaskan nasib rekan-rekannya, Sheraga beringsut. Hampir disandung ilalang. Wanita di hadapannya dilatari sulur-sulur hitam melecut liar. Jangkauan obor sang Alkemis yang sejauh kurang lebih lima depa, menerangkan bahwa jalinan itu lahir dari ... bayangan?

“Kembali, Ru!” Pedang dihunusnya. Kedua kaki siaga beranjak.

Ru menuding Sheraga. “Hulbert ..., MAMPUS KAU!!”

Bola mata Ru bersinar semerah darah. Hawa panas menaklukkan sejuk. Benda-benda di sekelilingnya meleleh. Perlahan-lahan, tubuh wanita itu terselubung api, yang menjalar ke segala penjuru. Sepertinya dia menyaksikan pemuda di seberangnya sebagai orang lain. Sheraga menggigil akibat kenyataan.

Keterkejutannya berdampak kobaran melenting. Beruntung dia lebih dahulu berkelit. Membiarkan unggun api terbentuk di atas potongan daging. Akal dan asanya belum hilang, maka diambilnya langkah seribu. Mencampakkan festival kemilau dadakan. Menyongsong malam berbekal obor yang tak banyak diandalkan.

“Aku takkan mengampunimu!”

Dari ekor matanya, terlihat api hijau menyambar. Sembari mempertahankan kecepatan dan nyala api, pemuda itu bergeser haluan. Serangan barusan mengenai perdu. Sheraga terperanjat. Alih-alih hangus, tetumbuhan itu meranggas dan menguarkan aroma yang tajam. Alkimia?

Tiada waktu barang untuk menengok. Hujan gelegar mendepak keheningan. Warna jingga memeriahkan hutan. Di balik punggungnya, pohon-pohon mengalami penjagalan. Ketumbangan terakhir hanya berjangka lima tombak dari kiri. Para penghuni rimba berhamburan.

Sepasang manusia-kadal mengadang di setapak. Mereka menggeram pada Sheraga, dan dua-duanya menerjang tanpa aba-aba. Satu melompat dari sisi kanan dengan cakar terulur, yang berhasil dihindari dan dihabisi. Sementara serangan kiri disambut pula dengan ayunan pedang sebelah tangan.

Dua makhluk itu terkapar. Jasad mereka membenam di genangan, seiring enam lainnya menyeruak untuk menerkam. Mengira Sheraga biang keladi kekacauan. Monster-monster tersebut cukup lamban, memberi pemuda itu kesempatan melumpuhkan sebagian. Tiga kepala kehijauan terlontar. Selagi mereka sibuk, Sheraga melanjutkan pelariannya.

Dia berpaling, memastikan situasi. Perempuan itu telah lenyap. Tidak ada lagi tanda-tanda keberadaannya.

Belum juga mengembuskan napas lega, pawai detak jantung kembali. Gelombang manusia-kadal berikutnya berdatangan, tetapi tahu-tahu mereka bergelepar. Kelebatan hitam melintas di antara mereka, dan menamatkan nyawa saat itu juga.

Yakin pelakunya bukan Nadav, Sheraga malah memaksakan batasan kakinya. Segera menghindar sejauh-jauhnya. Ru jelas tidak lagi pandang bulu.

Pepohonan kian berkurang kerapatan, pun dengan ukurannya. Jalanan semakin menurun dan licin. Tanah begitu lunak sehingga terkadang kaki siapapun di atasnya terjeblos masuk. Dan seketika, lengan kirinya teriris. Obornya jatuh, yang kontan meredup total. Salah pijak, dia tergelincir. Terguling deras di atas turunan.

Sekujur tubuh Sheraga luar biasa kebas, diramaikan lecet dan lumpur. Kaki dan tangannya terlalu lemah untuk melawan arus kejatuhan. Kumpulan karang dan sembulan tanaman mengecupnya tiada jeda. Lajunya baru terhenti tatkala dia berpapasan dengan dahan. Diraihnya cabang itu.

Dengan ketiadaan tujuan maupun cahaya, Sheraga bangkit. Ru sendiri tengah berdiri. Beberapa tombak di hadapannya. Kobaran mengamuk di mata dan di kedua tangan wanita itu.

“Tidak termaafkan,” desisnya. “Dasar pengkhianat. Padahal kami begitu memercayaimu. Kubuat kau merasakan tiap detik pembelotanmu!”

Ru mengadakan bola api terkonsentrasi. Ancang-ancang menyerang didirikan, tetapi sontak dia memekik.

Anak-anak panah merajamnya tanpa ampun. Kena telak pada lengan, tungkai, dan memutus daun telinga. Nahas, Ru bersikukuh. Justru apinya yang kini berubah kebiruan kian bergejolak pertanda amarah meluap-luap. Membakar apapun yang mengadang. Bantuan susulan Nadav ditelan kecamuk panas.

Inspirasi mengetuk pintu benak Sheraga.
Keinginan rebah memaksa Orim diam sedemikian rupa, tapi dia tetap bangun. Ada rasa jejap dan remuk kala menegakkan diri. Seiring nyeri merongrong tulang-tulang serta organ dalamnya, dia memuntahkan sesuatu. Aromanya serupa besi. Hangat terasa di telapak tangan.

Getaran tiba ke bawah kakinya. Kontan mengetahui identitas si pengacau, Orim berkata, “Nadav, apa ini ... benar dirimu?”

“Ssh, jangan pura-pura dungu!” Terdengar gesekan pelan. Tali busur dihela. Penuh ketetapan.

Mengandalkan instingnya, Orim melompat ke belakang. Menarik diri menjauh. Bunyi nyaring menyiksa telinga. Panah barusan bertumbuk dengan padatan.

“Tunggu,” pintanya. “Apa maksud—“

Lengan di depan dadanya tertembus logam. Mengoyak sendi dan jemari. Orim tak sempat mengaduh walau dua jari kirinya tanggal. Kematian mencengkeramnya, dan dia tidak punya apa-apa untuk melawan. Dirasanya terdapat gerakan dari sisi kanan; sekumpulan hewan. Dia menuju ke sana, bersama harapan setipis napasnya sekarang.

Nadav lebih cepat bergegas. Dia melenting. Kakinya sedikit saja memijak. Dan tiba-tiba, panah dilepaskan.

Orim ambruk ke belakang, tersengal-sengal dan terkejut. Menyisakan ketidakpercayaan.

“Ssh, kau akan mati,” Nadav menegaskan takdir. “Ssh, salam untuk Barkiyal dan Agrath.” Hawa kehadiran sang Pemburu berangsur lenyap.

Sejak dahulu, sang Okultis terlindung dari pertikaian fisik maupun psikis berkat kebutaannya. Para pembencinya sekalipun menaruh simpati terhadapnya. Maka begitu dihadapkan pada bahaya manifes, dia tidak langsung mengerti apa yang mesti diperbuat.

Belum pernah Orim semenderita ini.

Di tengah pemakaman, sendirian, meregang nyawa.

Dengan panah menembus perutnya.

Ujung sarafnya mati rasa. Darahnya pasti tumpah ruah tanpa halangan. Bayangan keluarganya yang lebih awal berpulang seakan memanggil-manggil dirinya, menuntun jiwanya ke atas. Mempersembahkan tempat terindah di sisi mereka.

Kesadarannya dirampok sedikit demi sedikit. Digantikan nyeri tak tertahankan.

Lalu dingin merengkuhnya.

Ketika di ambang sekarat, Orim mendengar gaung suara. Tandas, penuh permohonan. Dari masa bertahun-tahun silam. Tentang sebuah janji untuk menjaga seseorang.

Dan pribadi tersebut hadir sebagai sahabatnya. Sang pemimpi utama. Pemuda yang telah Orim lindungi sejak kelahirannya.

Para hantu pulau beterbangan riuh. Siap menyambut Orim. Satu mendekat dan bicara. “Jangan bebani dirimu lagi. Kau diterima di dalam komunitas kami.”

“Maaf,” sahut Orim, “aku ... menolak.”

Pikirannya bekerja cepat. Menggunakan hayatnya yang masih tinggal, tangannya bergerak mengambil sebentuk relik dari balik jubahnya. Memulai ritual yang amat dibencinya. Dan dia merapal. Sebuah mantra yang selalu dia doakan supaya takkan pernah menggunakannya lagi.

- 5 -
Ru sangat mengasihi Luna. Dialah satu-satunya yang tersisa dari keluarganya. Seorang gadis labil yang memberikan semangat hidup pada Ru hingga detik ini. Walau mereka sering kali berselisih, Ru akui itu tidak lebih untuk mengusili adiknya tersebut. Menunjukkan betapa besar rasa sayang sang kakak.

Hulbert, pikir Ru.

Kepala keluarga Pledgethon telah memercayakan banyak hal pada pria di hadapan Ru ini. Namun dia memungkirnya. Belum lagi, mafia itu telah berhasil menyisakan Ru seorang.

Padahal Tendou-sama telah membunuh pengingkar tersebut, tetapi Hulbert bangkit dari dalam kubur. Kemudian seolah-olah sedemikian kesumat pada keluarga Pledgethon yang tersisa, dia bermanifestasi dalam wujud traumatis bagi Ru.

Luna telah mati. Terlalu terkejut atas kehinaan yang dialaminya. Dan jasadnya dihancurkan tepat di hadapan Ru, dalam elemennya sendiri. Tanpa terhentikan.

Maka tiada momen untuk berkabung. Pendusta harus segera dituntaskan.

Kengerian Ru tersingkir oleh kemarahan. Dia terbungkus dalam api. Biarlah musuhnya ini, yang terpojok, merasakan bagaimana ketakutan luar biasa. Merasakan bagaimana Malaikat Kematiannya hadir untuk kali kedua. Tewas cepat terlalu mahal bagi Hulbert. Ru takkan membiarkan anugrah itu.

Hulbert mengangkat kedua tangan. “Tunggu, Ru,” katanya. “Sadarlah pada kebenaran!”

Kebenaran? Gejolak api di sekeliling Ru kian meninggi. Dia tak berminat melayani bicara si penjahat amanah. Tapi diakuinya pernyataan tadi menggelitik juga. “Kaumau berkata bahwa kau kini menyerah dan tersadar?”

“Tidak!” bentak Hulbert, yang secara aneh suaranya mendadak lembut dan beraksen sengau. “Kau dalam pengaruh!”

“Lucu sekali.” Bisa-bisanya kau bergurau di saat begini. Ru mengangkat telapak tangan. Api biru tercipta dari sana. “Mati—“

Sekali lagi, sesuatu mencederai tubuhnya. Ru hanya memperbesar kemampuannya. Dia tak merasakan sakit. Sekalipun lengan dan tungkainya menjadi korban. Dan telinganya pamit dari rongganya.

“Baiklah.” Ru akan menuntaskannya sekarang juga. Apinya berubah hijau. Bermaksud memasak bubur daging.

Spontan, Ru tersentak ke depan. Punggungnya tertembus logam. Pryrokinesis-nya buyar. Berbarengan, ruang bawah tanah itu melumer. Keping-keping ingatannya menyusun ulang.

Ru tersadar, dia adalah reverier yang tengah diuji. Salah seorang dari enam puluhan makhluk spesial. Dipilih untuk merangkai sebuah karya di alam angan. Teringat pula dia dengan perjalanan pertama ke ranah asing, bertemu tiga pria dari dimensi antah-berantah yang entah bagaimana prosesnya berlogat dan bernama Ibrani.

Hulbert di hadapannya melebur bersama imaji lelaki berambut hitam. Seorang pemimpi utama yang lain. Dia berdiri lesu, penuh lumpur. Jemarinya memercikan api.

“Apa yang—“
               
Adrenalin Ru berdesir. Dirabanya bagian belakang. Menemukan batangan kayu, menembus dangkal dagingnya. Dan ternyata ada lebih dari satu.

Faktanya merasuki benak Ru dengan mengagumkan. Apa yang belum lama dilihatnya tak lebih dari pengaruh sesuatu. Terperangahlah dia. Kendati begitu, setidaknya satu berita melegakannya. Luna masih hidup.

“Kalian ... kenapa?” Ru menahan hangat di mata.

Panah mengoyak tangan kirinya. “Padahal aku memercayai kalian! A-aku—”

“Ru!” Sheraga mendekat. “Kau sudah sadar?”

Jangan berlaku seolah kau tidak mengetahui apapun! Dia teringat si pemanah. Pastilah bajingan jangkung itu yang telah menghasut teman-temannya, dan kini dia sedang mengeker dari kejauhan. Ru paham dia tak punya kesempatan lagi untuk memberi perhitungan. Sebentar lagi dia kehilangan nyawa juga, meski sejenis morfin masih menumpulkan rasa sakit sepenuhnya.

Dia berpikir lekas.

Ru merangsek ke muka. Menubruk Sheraga. Apabila lelaki ini mati, berakhirlah nasib dua rekannya. Minimal mereka terdampar selamanya di pulau terkutuk ini. Menunggu tibanya masa kelaparan merajai benak atau kumpulan ajak mencabik raga mereka.

Dipeluknya si mata kelabu. Terlalu lemah untuk berontak, Sheraga ikut terseret. Tanah semakin landai menurun, lama-kelamaan menuju curam. Pendar rembulan meluaskan kuasa. Debur laut menguar.

“Biarlah kita jadi pajangan museum sama-sama, Tampan~,” bisik Ru tiada sesal. “Kita mati dengan jalan yang paling romantis dan fabulous~!”

Sheraga menampik. “Perempuan jalang!” rutuknya, tergagap. “Bedeb—“

Au revoir, Sheraga-chan!” Melampaui batas kewarasan, Ru berteriak meniru seorang kolonel SS fiktif.

Tapi lagi-lagi, kebahagiaannya dirampas takdir.

Dia lebih dahulu kalah. Panah kali ini menembus tepat ke jantungnya. Dalam detik-detik penghabisan, wanita itu melepaskan segala ketakutan dan keraguannya, sekaligus satu-satunya napas yang tertinggal. Dilihatnya sendiri perwujudan jiwanya yang melayang ke angkasa. Murni tak terbebankan.

Walaupun begitu, harapannya terkabul di penghujung hayat. Dia terguling bersama korbannya. Dijamu lembah.
Untuk penyelesaian misi, Nadav termasuk orang yang gapah. Pengalamannya berburu iblis sampai buronan tak perlu diragukan lagi. Dari daratan Yisreya ke Hagashah, Avratika sampai Tharnai. Segalanya tuntas, rapi tanpa bekas.

Celakanya malam ini, kegagalan melanda. Sesuatu yang amat diantisipasi mati-matian. Porak porandalah semuanya. Tersadar dia berikutnya, rangkaian putusan malam ini merupakan ketergesaan yang penuh serampangan. Bermula dari terlalu berhasrat menumbangkan musuh sehingga dia kurang cermat. Formula mantranya berantakan.

Gambaran ketidakberhasilan besar pertama menusuk ingatan Nadav. Yang akibatnya masih bisa ditinjau di balik topengnya. Hampir dia menghajar kesia-siaan karenanya.

Masa lalu dilarang Nadav mengendalikan tindakannya lebih dari itu. Dia beranjak, meninggalkan Orim yang perlahan membusuk. Belum benar-benar terlambat untuk menyembuhkan nasib.

Tidak lama, dia saksikan pergumulan itu. Asher berada di ambang maut. Ashiata di hadapannya. Berdiri tegak bak malaikat mair bagi sang putra pemimpin.

Tanpa Ragu Nadav memberondong jalang itu dengan panah. Keparatnya, si perempuan Helev tak kunjung tumbang. Racun langka yang mengalir di pembuluh mencegahnya sakit.

Nadav berusaha mempertahankan ketenangan. Dia menembak empat kali lagi, beruntun dalam tempo sempit. Menyasar kepala, tetapi terus meleset.

Benak sang Pemburu terus bertanya-tanya. Mengapa kecermatannya menurun? Mengapa serangannya selalu lemah? Mungkinkah Orim mati terlalu dini dan arwah jahanamnya kini berupaya mengerip kewarasannya perlahan-lahan?

Jatuh pada serangan kelima, tahu-tahu Nadav melompat.

Sebentuk logam menggores lengannya belaka. Tak lama kemudian, hadir lagi desingan. Nadav mencondong ke samping. Anak panah selegum arang mendarat di dekat kakinya. Yang berikutnya, secara ajaib, melata.

Tatkala Nadav disibukkan dengan ketidaklaziman tersebut, sesuatu memelesat keluar. Dia tak cukup cepat untuk menghindar. Pedang figur tak diundang itu merobek tudungnya. Dan nyaris menghunjam jantung Nadav dari belakang bila dia tidak menjatuhkan diri.

Nadav berputar. Busurnya bertabrakan dengan senjata si pengacau. Lawannya ternyata seorang perempuan berambut pendek, dungu, dan pakaiannya tidak wajar. Pandangan mereka bersirobok. Kemarahan bercampur kesintingan terlukis di roman wajah perempuan itu. Diakah sosok yang mengendap dalam benak Ru?

Memanfaatkan kelengahan, tangan kiri Nadav terayun. Menghantam sebelah telinga musuh. Perempuan itu pun terhuyung ke belakang. Pendengaran serta keseimbangannya pasti terganggu mulai dari situ.

 Sang Pemburu memanfaatkan momentum. Sebuah tendangan tersarang ke betis kanan si perempuan, memaksanya berlutut. Pedang pendeknya terpental.

Sontak menguasai diri, dia bangkit dan melayangkan pukulan ke hidung Nadav. Lelaki itu menjerit tertahan. Tak lama berselang, dia menumbuk lawan. Alhasil keduanya saling memiting di atas tanah berlumut. Ketika berhenti, Nadav berada posisi menguntungkan. Dia tak menyia-nyiakan kesempatan dengan meninju wajah korbannya berkali-kali.

Lamat-lamat sesuatu melayang di sekeliling mereka. Pertama-tama, Nadav tak terlalu menggubrisnya. Tetapi begitu cairan jahat tersebut melumat pakaian luarnya, dia merasa kemalangan bakal mengurungnya jika terlalu menganggap remeh.

Setelah melepaskan mantelnya, dia berguling. Dan ditambah sebuah teriakan dari jauh, Nadav sadar situasinya.

Sekali lagi, dia ceroboh.

Nadav kembali ke posisi awal. Prioritasnya tiada lagi di sana. Dia beranjak. Mendapati targetnya melungsur ke dalam kegelapan. Mengarah ke samudra yang dalam. Saling berpelukan erat dengan Ashiata.

Untuk pertama kalinya Nadav merasa kacau, baik ruang pikir maupun batinnya. Dari jaraknya kini, dia tak sanggup berbuat apa-apa untuk mencegah. Bahkan ketika ujung panahnya telak menjebol inti nyawa si perempuan sundal, dia sadar telah mati langkah. Rumah barunya adalah pulau bangsat ini.
“Ikutlah, Sheraga. Perayaan ini tiada kesan tanpa kehadiranmu.”

Belum pernah memperoleh penerimaan sebaik ini, Sheraga gembira. Hari-harinya selalu berjalan dengan buruk akibat ketiadaan kawan yang tulus. Sekarang, dia sudah membuktikan pada semua, di balik statusnya sebagai putra tokoh terkenal, dia pun menyimpan hal yang layak dibanggakan pula.

Angin berembus stabil. Udara sehangat hatinya. Kapal itu terus berlayar ke lepas lautan. Selama itu, teman-temannya memancing. Sheraga pun melakukan kegiatan serupa. Pada malam hari, nuansa Hari-hari Besar merebak. Semua orang di atas kapal bernyanyi, berdansa, dan memakan ikan.

“Bagaimana kalau permainan cari dan tangkap?” usul Yaal Yifrach usai santap malam. “Siapa yang ingin berjaga?”

Anak perempuan gemuk, Dalit Shaar, menyahut, “Asher saja! Emm, soalnya aku belum pernah lihat Asher bermain.”

Semua orang setuju.

“Baiklah,” tanggap Sheraga pada akhirnya. Kesenangan sepenuhnya mendepak nasihat utama sang ayah, untuk tidak mudah menaruh percaya.

Tanpa banyak cakap, mereka memulai permainan kekanakan tersebut. Sheraga berjaga, dengan mata tertutup beledu. Untuk waktu yang lama tak disertai kehadiran teman-temannya sama sekali, dia belum kunjung waswas. Beginikah dunia orang buta? pikirnya, masih menikmati peran. Sejenak terkenang pemuda tunanetra yang tulus membantunya pagi ini.

Sampai pada suatu titik, bahunya didorong. Belum lagi, tolakan berikutnya bertubi-tubi melanda. Terdengar derap-derap langkah, dan Sheraga diempas kasar ke lantai. Kedua tangannya langsung diringkus. Sol sepatu menggesek rambutnya.

Salah seorang anak populer berteriak ricuh, “ANAK HELEV TERKUTUK! TIDAK ADA TEMPAT BAGI MAKHLUK SEPERTI ITU DI LINGKUNGAN KAMI!”

Sorak kegirangan terlontar sebagai balasan. Mereka ingin Sheraga sengsara, atau dihinakan, atau dicampakkan ke dalam air.

Mendapat kesempatan bagus, mereka memilih yang ketiga.

Dalit si pemalu berujar, “kami benci kamu, Asher!”

Itulah ujaran yang terakhir didengar Sheraga. Lalu didahului tendangan dan pukulan beramai-ramai, mereka mencemplungkannya ke himpunan air dingin, nyaris tanpa ceburan. Tangan dan kakinya terbebat. Di dalam karung. Sederajat dengan sampah.

Sembilan tahun berselang, Sheraga mengalami hal itu lagi. Sayangnya kali ini dia mengerti bakal nasibnya. Berbeda dari pengalaman pertamanya membenci laut, Sheraga tahu takkan ada perahu yang menyelamatkannya.

Jasad Ru terkunci padanya. Terus menenggelamkannya ke bawah. Dan sang Alkemis tak kuasa menentang.

Ru benar. Andai mereka dibangkitkan lagi oleh daya Alam Mimpi pun, keduanya telah ditentukan sebagai ornamen pameran yang baru. Teronggok menyedihkan di pagelaran raya.

Kian jauh ke bawah mereka tenggelam. Sheraga tak mampu melihat apa-apa. Dapat dirasanya cengkeraman sang mair semakin erat. Bermanifestasi ke dalam kebekuan yang mendobrak pertahanannya terhadap suhu.        

Seringainya terkembang. Mencemooh ketetapan atas dirinya. Belum lama, Sheraga menghinakan musuhnya, wanita bebal yang menjatuhkannya namun berbakti amat rendah pada Yang Kuasa.

Laksana sebuah ironi, Sheraga menjemput mautnya dalam rengkuhan wanita yang bukan kekasihnya. Dikungkung laut, apa yang menjelma ketakutan besarnya. Aliyah pastilah kecewa padanya.

Mungkin adalah tindakan penutup sebelum jiwanya dipanggang atau terperangkap dalam porselen, dia terbahak dalam hati. Sebab kelaziman berupa ratapan atau pun isak tangis bermakna penyerahan dan pengakuan. Sheraga tak berniat memuaskan kekejaman Tuhan.

Bermaksud membebaskan penderitaannya, Sheraga membuka mulut. Akan tetapi sebelum dia termegap-megap dan air asin mengisi paru-parunya, beban di tubuhnya menyusut. Dia terangkat. Terus menuju permukaan sementara kesadarannya lesap.

- 6 -
Emi tidak mungkin mati, ulang Nora untuk kesekian kali. Dia coba yakinkan diri. Insan yang amat berarti bagi Nora itu bagaikan kucing. Bagaimanapun musuh-musuh berjuang menangkap dan menumpasnya, dia tetap melenggang. Emi gadis yang kuat dan luar biasa. Ya, jelas-jelas dia masih hidup. Nora hanya harus mencari lebih giat.

Sayangnya Nora tak dapat menipu penglihatan. Emi pribadi yang begitu luhur budinya. Rela terbakar demi menghangatkan sekeliling. Baru saja dia menolong sesama. Menjadi perisai daging demi menghindarkan seseorang dari kematian.

Naif.

Lebih-lebih, sosok yang dilindungi itu bukanlah Nora.

Sang Tinta Hitam melimbung, lalu muntah akibat terlalu syok sekaligus merasa terkhianati habis-habisan. Airmatanya berderaian. Kilasan-kilasan mengenai masa lalunya bersama Emi berputar dalam otaknya. Seolah berusaha menegaskan kepedihannya.

Dia terduduk, memeluk lututnya yang gemetar. Terus menangis sampai tanpa sadar fajar telah menyingsing.

Tapi kemudian dia bangkit bersama amarah baru. Nora tidak bisa berdiam semata. Kedua tangannya terkepal erat. Aku harus membalas, katanya.

Belum juga bergegas, dua orang seketika muncul. Seorang pria paruh baya tanpa rambut dengan mata tak setangkup, berjubah lebar, dan membawa tongkat berkeluk, serta satu lagi sosok serbahitam dalam trenchcoat dan topi koboi.

“Nora sang Tinta Hitam,” pria plontos, yang seingat Nora bernama Baron Hanscale, menyebut. Nora yang berlumur kesalahan sekalipun mampu menerjemahkan pancaran hawa tidak nyaman dari pria itu sebagai sumber kekejaman.

“Bagaimana mungkin kau mengertahui namaku?” Waspada, Nora memasang sikap defensif.

“Itu terlalu mudah, Nak.” Lawan bicaranya mendengus. “Bahkan aku bisa langsung mengerti apa yang kamu inginkan.”

Nora menunggu.

Baron mengangkat bahu. “Orang yang kamu anggap berharga baru saja meninggalkanmu,” lanjutnya bernada simpatik. “Ini mudah saja, Nora, andai kamu berpihak padaku, aku bisa mengembalikan dia untukmu. Bukan tindakan yang sulit, ‘kan?”

Kekehan Nora berikutnya menyayat gendang telinga. Tanpa aba-aba, dia melenting ke depan. Pedang pendek temuan diayunkannya segenap hati. Celakanya tongkat si plontos menangkisnya tanpa kesulitan, seakan telah memperkirakan serangan kejutan tersebut dari awal.

“Pembohong!” umpat Nora.

Sang penyihir tak tampak gusar, hanya menguarkan aura kasatmata sewarna darah. Mementalkan Nora dengan sukses ke pohon pilang. Sedangkan pria satunya bergeming saja. Tidak menunjukkan ekspresi tertentu.

“Tiga, Nak,” sebut Baron. “Aku memberimu tiga kesempatan untuk memutuskan. Cobalah tenangkan diri dan pikir masak-masak. Jangan biarkan emosi menghalangi akal sehatmu. Kamu gadis yang tidak pantas mati.”

“Kaumau mengendalikanku dengan cara murahan!” raung Nora seraya mengerahkan segenap ink. Bermaksud melumat Baron tanpa pertimbangan. Tidak mujur, likuid itu lebih dahulu meleleh. Lagi-lagi sang penyihir memancarkan aura panas mematikan. Bahkan dedaunan di sekitarnya turut hangus.

“Dua.”

Terlalu tangguh dan gila. Nora tidak bisa mengambil risiko lebih banyak. Perselisihan tanpa taktik dengan manusia reptil di Bingkai Mimpi membuktikan, dan dia hampir kehilangan nyawanya karena itu. Namun dia juga takkan mau diperbudak, terlebih oleh penipu maniak dalam sampul figur baik-baik.

Jadi Nora membelakangi. Berlari sekencang-kencangnya.

Secara mengejutkan, si plontos tahu-tahu terbit di depan hidungnya. Menyodok Nora dengan ujung senjatanya yang nyala membara. Nora terguling. Dada kirinya yang terbakar seperti hendak dilubangi. Dan dengan begitu, Baron memojokkannya ke trembesi.

“Aku bukanlah orang yang kejam,” dusta Baron. “Pintu maafku masih terbuka luas. Kamu masih punya satu kesempatan.”

“Buktikan!” jerit Nora. “Jangan mengada-ada, Baron!”

“Arca,” panggil Baron.

Pria bertopi itu maju. Tetapi saat sudah berada di dekat Baron, sang penyihir mengayunkan tongkatnya.

Arca melengking kesakitan seraya anggota geraknya mengejang. Kulitnya banjir air, lantas menggelembung dan memerah. Terus-menerus hingga raganya tercerai. Gumpalan daging dan darahnya bertebaran kemana-mana, termasuk ke wajah Nora. Meski telah ditempa pengalaman sebagai tentara bayaran, dia menyaksikan adegan itu bagaikan diteror. Tanpa sadar merangkak mundur menahan jejap.

Selanjutnya, Baron mengentak senjata. Puncaknya melahirkan cahaya kebiruan. Perlahan-lahan, ceceran tubuh Arca berkumpul ke titik semula.

Nora memekik saat proses reka ulang terjadi. Dimulai dari tulang, urat-urat sampai membentuk tubuh utuh. Arca yang terlahir kembali lebih pucat, dipenuhi peluh, dan ditonjoli pembuluh pada sekujur kulitnya. Tangannya meraba dada, terkejut, kemudian jatuh terduduk. “Apa yang kaulakukan terhadapku?!” salaknya.

Baron tak mengindahkan. “Atau, kamu mau mencobanya sendiri pada tubuhmu?” tawarnya pada Nora.

Kata-kata gadis itu menguap.

“Bagus, anak pintar.” Baron pun menoleh pada Arca. “Itu juga sebagai jaminan atas keberpihakanmu padaku, Arca. Aku telah menyita kristal yang mengabadikanmu. Tapi tenang saja, kamu tetap dapat hidup sebagaimana biasa.”

“Dan aku berjanji atas nama jiwaku,” tandas Baron halus, “pasti mengembalikan apa yang menjadi hak kalian. Bahkan aku bisa memberikan kalian kejayaan.”

Arca menyela, “anjing kau! Mestinya kami kembali ke Alam Mimpi!“

“Aku tidak mengerti apa yang sedang kamu bicarakan, Pendekar,” ungkap Baron. “Yang jelas, kalian takkan berpulang ke mana-mana. Kalian, manusia yang tiba di pulau ini, telah kuramalkan. Kalian semua akan membantuku untuk mencapai perdamaian absolut di dunia yang hina ini.”

Perdamaian. Konsep hipokrit yang dipakai para penakluk untuk menghancurkan pihak lain. Sebab kenyataannya, mereka tidak pernah menepati janji muluk itu. Sangat sesuai untuk Baron. Terlebih, firasat jelek menghantui Nora. Dia merasa pria itu antara sakit jiwa atau berdusta. Nora tidak yakin pada opsi pertama.

Nahas sang Tinta Hitam tidak punya pilihan lain. Dia belum ingin mati.

“Kita ciptakan sebuah dunia tanpa kejahatan dan penderitaan. Dunia ideal di mana semua orang saling menghargai, saling mengasihi, tanpa takut pada teman maupun musuh imajiner,” tutur Baron sambil memerhatikan langit yang mulai bersemburat jingga. “Dunia yang betul-betul tanpa teror dan diskriminasi. Bukankah kalian setuju denganku?”

Dia tersenyum simpul. Sekilas ada aura seorang ayah dari pancaran matanya saat mengucapkan itu. Akan tetapi Nora menyangkalnya.

Seolah paham segenap keraguan, Baron menambahkan, “dan khusus untuk kalian, nantinya kuberikan kalian kekuasaan. Pimpinlah negara-negara besar yang penuh kedamaian dan pertahankan mereka.”

Arca menyahut, “kalau itu, aku baru suka!”

Baron mengangguk senang. “Ya, bahkan meniadakan kematian bagi kalian bukanlah mustahil. Bagaimana?”

Tepat saat itu, sesuatu menyembul dari balik rimbun. Kelopak mata Nora melebar. Itu pria pembunuh Emi. Tak ayal gadis itu lepas kendali dan menyerbu. Namun Baron lebih dahulu menciptakan selaput magis di antara Nora dan si pemanah. Nora tak bisa lebih maju lagi, atau kulitnya membuih.

“Selamat datang, Nadav,” sambut Baron. “Kamu pasti sudah banyak mendengar pembicaraan kami.”

“Ssh, ya. Aku di pihakmu tanpa perlawanan.”

“Terima kasih.”

Nora bergidik. Pria bernama Nadav seperti ular, dengan nuansa kehadiran menyamai Baron. Gadis itu buru-buru bereaksi. “Dia pembunuh Emi! Dia pembunuh kotor berdarah dingin! Dia tidak pantas memperoleh penghargaan apapun!”

Baron mengelus rambut Nora. “Anakku, sudah kukatakan bukan? Kematian sama sekali tidak masalah. Sekarang, biarkan seseorang menebus kesalahannya dengan berbuat kebaikan. Semua orang selalu memiliki kesempatan-kesempatan untuk memperbaiki diri. Jadilah pribadi mulia.”

“Tinggal tiga orang.” Baron berdiri. “Bersatunya kita akan memimpin jalan menuju ketenteraman.”

Nora terpaksa menunda pelampiasan gatal pada tinjunya.
Derak kayu serta keributan binatang kecil berkaki ruas saling berkomplot membangunkan Sheraga. Dia mengedip, dan mendapati diri berada di bawah naungan pohon lebat. Corak angkasa menjelang matahari terbit mengintip dari sela dedaunan. Ujian belum usai.

Pandangannya segera terumbuk pada api unggun. Terdorong entah oleh apa, Sheraga mengangsurkan tangan pada sumber kehangatan samar tersebut. Jemarinya naik-turun. Mengherankan, api itu turut bergerak mengikuti.

Kemampuanku. Sheraga ingat sekarang. Di Bingkai Mimpi, salah satu sihir bawaan keluarganya dibuat tidak aktif. Namun mencapai kembali kekuatan utama juga tak menyulut semangatnya. Kebalikannya, dia malah termangu. Apa ini pertanda sesuatu?

Tidak jauh darinya, Orim memunggungi. Sama dengan Sheraga, dia basah kuyup dan berpasir.

“Orim?” panggil Sheraga.

Lelaki itu menoleh. Penampilannya carut-marut. Jubahnya berlubang di mana-mana. Matanya terbuka, biru kelam dan berkabut. Dia menyerupai tahanan yang mendekam berabad-abad di sel bawah tanah dan ditarik paksa menghadap cahaya.

Sheraga terperanjat. “Apa yang terjadi padamu?”

Hening lama. Terlebih dahulu, Orim mengamati lawan bicaranya. Dia seperti menatap seonggok benda belaka.

Direspons anggukan. “Ya, golem. Aku dipanggil pemilik tubuh ini. Maka aku adalah dia sekarang.” Suaranya tak beriak, tanpa intonasi.

Sheraga mengerutkan alisnya. Orim baru saja menyebut sosok tanah liat yang sengaja diubah jadi manusia untuk diperbudak, hasil dari sihir lazim di Yisreya. “Jangan bergurau! Kau berutang banyak penjelasan padaku! Jadi selama ini kau hanya memejamkan mata?” Sheraga menelan ludah. “K-kau, maaf, tidak buta?”

“Benar-bena pandai. Tidak hanya berkembang layaknya manusia, kau memiliki kesadaran yang unik. Pembuatmu pastilah seseorang yang berbakat.” Perkataan Orim lurus, tak tebersit keraguan sedikit pula.

Sheraga memaksakan terkikik. “Gila kau!” semburnya. Tapi kemudian dia menuntut lagi, “tidak, ini tidak lucu, Orim. Katakan apa yang terjadi! A-aku seharusnya—”

“Aku yang menolongmu atas permintaan pemilik tubuh ini. Tak lebih dan tidak kurang. Dan kelihatannya dia benar-benar menyayangi teman golem-nya.” Orim menjelaskan, “aku Netzakh. Iblis tingkat dua yang sering berkeliling di antara kalian. Kami harus siap sedia ketika dipanggil.”

“I-iblis?” Sheraga bingung ingin tertawa atau prihatin. “Kepalamu membentur batu?”

“Orim tidak hilang ingatan. Kalau itu yang kaumaksud. Aku tahu kau alat yang diangkat anak oleh Natan Asher. Di dunia sana, ayahmu sedang mengerahkan banyak orang untuk pencarian atas dirimu.”

Sheraga tidak peduli pada raja munafik itu. Matanya justru berkedut kikuk oleh keseriusan sosok di hadapan. “Kau sungguh ... berubah.”

“Ini tidak akan lama. Begitu teman manusiamu pulih, aku dengan senang hati kembali ke alamku.”

Sheraga tidak mampu untuk menampik bahwa sebagian besar dirinya percaya pada Netzakh. “Tapi ... kau salah. Aku bukan golem. Aku bernapas, aku berdarah, dan aku mengalami sendiri masaku yang lebih belia. Bagaimana kaujelaskan itu?”

“Aku juga tidak mengerti. Atau, penciptamu bukan makhluk sembarangan. Mungkin seseorang yang menggadaikan jiwanya pada penguasa kami,” terang Netzakh. “Dan kami dilarang berbohong. Kenyataannya aku tidak melihat adanya jiwa di dalam lapisan dagingmu. Jadi kau pastilah golem.”

“Bukankah aku hampir tewas?” protes Sheraga. “Jika aku bukan manusia, aku—“

“Tapi kau masih hidup.” Mata suram Netzakh membenamkan sang Alkemis. “Dan manusia biasa yang tenggelam ke dalam laut lepas, mereka lekas mati akibat kebekuan. Yang terjadi, kau masih di sini.”

Suara Sheraga tercekat. Perkataan tadi menyeretnya pada bayangan sang ayah. Manusia tidak benar-benar diterima di lingkungan Dayan. Mereka menjadi kaum kelas dua. Namun Natan Asher, seorang Dayan yang begitu dihormati, berkenan merawat Sheraga. Seorang anak yang secara misterius berada di depan pintu rumah mantan perdana menteri. Cerita yang hampir-hampir terdengar pandir.

Natan Asher juga yang mengajarkan Sheraga untuk tidak meyakini siapapun. Dan berkat muslihat-muslihat, Dayan tua itu kini menjabat raja. Jadi dengan alasan masuk akal apa Natan Asher mengangkat Helev sebagai putranya?

Tidak mungkin. Sheraga menggigit bibir. Aku bukan golem. Akhirnya dia membantah, “tapi kau iblis atau semacamnya!”

“Aku tahu reputasi kaum kami di mata kalian, makhluk fana. Pasti kau mengira aku menyesatkanmu. Bukan masalah. Itu hakmu untuk percaya atau tidak.”

“Baiklah, ini mudah. Aku tidak memercayaimu.” Sheraga mengalihkan perhatian. Dasar bodoh, bagaimana bisa beberapa detiknya sia-sia untuk mencerna isapan jempol yang persuasif tadi? “Di mana Nadav?” tanyanya.

“Duri itu belakangmu. Dia yang berusaha membunuh Orim-mu.”

Sheraga berbalik. Empat orang menampakkan diri. Yang terdepan merupakan lelaki plontos, bermata satu, membawa tombak berpendar yang membantunya dikenali. Pada masing-masing sisinya ialah seorang pria dan wanita muda. Nadav di samping laki-laki bertopi.

Nadav kelihatan terkejut. Sebagian topengnya tercabik. Menampakkan kulit sepudar awan. “Ssh, syukurlah.”

“Sheraga Asher,” sebut si mata satu. “Orim Kohan.”

Fatal. Tindakan orang yang identitasnya jelas Baron Hanscale tadi pastilah memicu ketegangan. Mengetahui jati diri Orim, Nadav sontak meluncurkan panah. Tanpa disangka-sangka siapapun, termasuk Baron. Tapi Netzakh menangkapnya dengan satu tangan kosong dan mematahkannya detik itu juga.

“Kaulihat itu?” seru Nadav sambil berlari ke arah Sheraga. “Ssh, selama ini dia berpura-pura cacat! Aku berusaha menyingkirkan pemuja setan itu darimu! Dia hanya memanfaatkanmu! Dia berniat menjadikanmu korban kekejiannya!”

“Tapi pemuja setan ini baru menyelamatkanku dari kematian yang kaupicu,” balas Sheraga kaku.

Yang lain memerhatikan saja.

“Asher, ssh, kau putra sang Raja! Kami menghormatimu sebagaimana sebenar-benarnya Dayan.” Dengan ini, jelas sudah identitas Nadav. “Dengan mengetahui bahwa dia seorang Kohan, mestinya kau—“

Jawaban yang dilontarkan Sheraga memberi penjelasan melimpah. “Aku sudah tahu itu. Dan aku tidak peduli. Bahkan bila dia musuh Dayan itu sendiri sekalipun. Aku lebih memercayainya ketimbang kau dan bangsa bodohmu.”

“Bajingan! Kaum sampah tidak tahu diuntung!” Mendidih, Nadav benar-benar melupakan senjata andalannya dan bermaksud mencekik Sheraga berbekal kedua tangan. Dia menerjang, serupa hewan memburu mangsa.

Belajar dari kelengahan pertama terhadap Orim, Baron mengentak tanah dengan pangkal tumpul senjatanya. Nadav refleks terhenti. Menarik diri menjauh dari selubung api.

“Reuni yang dramatis sekali,” ujar Baron. “Kalian lupa masih ada kami di sini?”

Sheraga menatap penyihir itu nyalang. “Baron Hanscale, lupakan saja. Aku sudah memutuskan bahkan sebelum kau mengajukan tawaran.”

Baron menanti.

Tanpa membuang tempo keberanian, Sheraga mengumbar, “kami menolak. Aku dan Orim berseberangan denganmu. Jangan harap kami mendukung manusia keji yang munafik sepertimu!”

“Ssh, izinkan aku menghabisi mereka berdua,” Nadav mengajukan.

Baron menggeleng. “Jangan,” tepisnya. Sebelum diprotes, dia mengumumkan, “biarkan mereka hidup. Supaya kita bisa menyiksa dan menyadarkan mereka tentang arti kebajikan.” Dia menunjuk dua orang di sampingnya. “Nora, Arca, bantu Nadav.”

Setelah mengatakannya, dia pergi. Berbarengan dengan dimulainya agresi keremangan dan guncangan ganjil di pelataran sempit itu.
Selama beratus tahun hayatnya, Arca selalu memperoleh keinginan. Dia menaklukan banyak pendekar dan tiada yang bisa menghalangi. Sekarang, roda nasibnya berputar pada posisi bawah.

Tanpa Batu Keabadian tertanam di dadanya, Arca kembali ke masa awal. Sewaktu dirinya masih pendekar hijau yang senantiasa dilingkup waswas. Khawatir atas imaji mengenai ketidakberdayaan.

Saat itu berlangsung di hari ini. Diramaikan penjara kegelapan dan getaran berliput riak aura kacau dari bawah kakinya. Maknanya satu saja, dan seketika keberaniannya mengempis. Sebab dia tahu akan seperti apa akibatnya bila memaksakan diri. Aku harus lari, batinnya. Tapi ke mana?

Seseorang mendaraskan mantra. Lantang, dalam bahasa yang Arca pernah temui. Benaknya mengawang ke salah satu pengembaraannya ke daratan timur ras Kaukasia, dalam rangka meneguhkan ajian, beberapa dekade lalu.

Nyala memancar dari pemuda bernama Asher—sebagaimana yang ‘partner’ sementaranya katakan. Pijarannya lalu menyulut ranting dan dedaunan. Mencerahkan visi semua orang.

Kejadiannya berlangsung amat singkat, dan selama prosesnya Arca nyaris menahan napas. Monster-monster pasi menyeruak dari dalam bumi. Mereka mengepung dari segala haluan, menahan Arca dan sepasang pemimpi.

Berbeda dari pengamatan awal, sepasuk mayat di sekeliling Arca berwujud gundukan setinggi rumah dua tingkat. Terdiri atas gabungan dua puluhan manusia. Sekilas, makhluk menjijikkan itu seperti bukit bangkai.

Mereka ada di mana-mana.

Namun tiada yang menyasar Arca. Alih-alih, Asher dan temannya dibuat kerepotan. Nora sendiri masih mematung. Nadav menghilang.

Satu sudut bibir Arca tertarik ke atas. Dia simpulkan monster-monster itu berada di pihaknya. Mendapat kemudahan, dia melaju hendak menuntaskan pria berbusana padri. Satu langkah untuk kembali ke Bingkai Mimpi dan menyudahi rentetan omong kosong antah-berantah ini.

Begitu masuk dalam area serangan, Arca merasa tidak asing. Getar tenaga pria bernama Orim itu tidak berat, melainkan membauri sekitar. Sesuatu yang dengan sukses memancing gairah Arca untuk berlaga.

Kurang lebih aura yang dipancarkan Orim amatlah mirip dengan pria tua dari Prussia, sosok dalam sungai memori Arca. Rohaniwan yang pernah mengalahkannya dalam sebuah pertarungan memperebutkan pusaka. Dengan mengalahkan manifestasi sosok traumatis itu, setidaknya Arca memperoleh sedikit kepuasan. Obat untuk segala kekalahan hari ini.

“Ajian Bayang Diri,” rapalnya sambil bersalto. Memecah diri menjadi tiga bagian. Kesemuanya melemparkan kartu.

Orim, dengan kepekaan yang tidak manusiawi, cukup melangkah ringan serta bergestur tubuh tak berarti untuk menghindari terjang kumpulan Arca. Kartu-kartunya malah menancap pada satu gundukan jasad. Memutus salah satu tangan. Iklan tadi membuat Orim tak kelihatan lagi.

Halig siah!” Arca benci ini. Musuhnya berlagak terus berkelit tanpa meladeni perkelahian. Ini penghinaan. Dia mengedarkan pandangan dengan berang. Dan menemukan wadam itu melambai-lambai dari daerah lengang kegaduhan.

Sang Pendekar dan tiga tiruannya mengejar. Begitu tiba, tanpa ba-bi-bu mereka mengeroyok Orim. Satu menyasar arah muka, yang lain berjungkir balik di udara demi menyerang dari titik buta. Arca yang asli, memberdayakan kegelapan dan mengandalkan cahaya bakal fajar, menentang dari belakang.

Tak terprediksi, Orim berpaling. Bersemuka dengan Arca asli, dan menyeringai selebar-lebarnya. Pria berpandangan kosong itu mengangkat kepalan tepat waktu, merenggut jubah kedua bayangan Arca dari atasnya, lantas mengempas mereka kuat-kuat dan merontokkan tiruan itu berbekal pijakan. Dan Orim sempat berputar untuk menyarangkan siku pada klon Arca yang tersisa. Debu kemilau bertaburan.

Sambil menyumpah serapah, Arca memasang kuda-kuda lantas melancarkan serangan. Namun Orim tak lekas tumbang. Dia selalu sukses menukar terjangan. Walau bela dirinya serampangan dan tak terdefinisi aliran, arah geraknya sama sekali tidak terbaca. Dan tak sekalipun dia menunjukkan gelagat keletihan sebagaimana Arca. Lebih parah, sang Pendekar pun tahu musuhnya ini belum serius.

Kau itu apa? Jika ada semacam Batu Keabadian tertanam dalam tubuh lawan, Arca bertekad mati-matian merenggutnya. Nahas dia tidak menemukan apa-apa kecuali rentang kekuatan alami secara de facto yang amat merisaukan.

Tempo untuk penaklukan tiba juga. Nadav berhasil meluruhkan pertahanan Orim, memberi Arca kesempatan menanduk. Selagi pria itu lesap keseimbangan, tangan kanan Arca membenamkan kartu ke jantungnya. Deg! Satu, tiga, lima, tiada alamat musuh hendak ambruk. Jangankan demikian, mengaduh saja tidak. Maka Arca pastikan kematian Orim dengan menggorok lehernya.

“Kena kau!” semprot Arca. “Beréng—“

Tangan Orim menepis, dan kartu Arca terlepas. Lalu lelaki itu menyambar deras, mencekam rahang Arca. Mengangkatnya sampai kedua kaki berpamit dengan tanah. Sang Pendekar Silat mengerang, berjuang melepas cekauan. Tapi Orim terlalu kuat dan nirnalar. Segala kemampuan Arca sama sekali tak terterapkan. Kertakan dan tanggalan gigi mempertegas jarak daya di antara mereka.

Tiba-tiba Arca merasa panas, disertai aliran kenang-kenangan artifisial menyusup otak.

Dia diperlihatkan pemandangan palsu. Tangan dan kakinya terikat. Sementara orang-orang di sekelilingnya, pihak-pihak yang pernah ditaklukannya baik dari kubu pendekar maupun yang dibunuhnya demi olahraga, terus merajam dengan sabetan senjata. Chandra memimpin, dan tiap kali cemeti pendekar muda itu mencumbu Arca, yang lain menambahkan dengan kesengsaraan yang lebih menggebu.

Arca paham ini teknik ilusi, namun rasa sakitnya terlampau nyata. Segalanya bergulir lamban bagaikan selamanya. Sel-selnya bergemuruh menanti binasa, organ dalamnya digerogoti belatung pijar, dan sudut matanya beriap darah. Batinnya memohon ampun agar semua derita ini selesai.

Kéhéd!

Putus asa dan mengutuk diri akibat kalah dari umat Musa untuk kesempatan kedua, Arca biarkan harapannya terkabul. Selagi nyawa masih dikandung badan, dia rasakan tubuhnya dibanting. Lalu warna merah mengereti pandangan. Tengkoraknya diinjak-injak. Dan baru disetop pada embusan rutin terakhir.

“Cukup,” titah pencabut nyawanya, “kau telah melewati batas mempecundangi maut.”

Itu adalah saat kemunculan musuh yang lain. ”Ssh, lihat ini! Pendeta yang menjual jiwanya pada iblis!”

Netzakh tertawa. “Dan kau fana sombong yang tidak tahu apa-apa soal Ceruk Jahanam, Anak Ular.”
Medan penuh mayat hidup telah luput dari dua manusia. Sheraga melarikan diri sekaligus untuk mengecoh Nadav, sementara gadis bernama Nora berhasil mengimbangi. Berawal dari entakan kaki mantap, dia melambung di udara dan berdebum di hadapan Sheraga.

Sebagai sapa, gadis itu menghunus pedang ke lehernya. Sheraga sempat meraih senjata yang sama untuk menangkis teguran itu. Tak ayal Nora melayangkan sepasang libasan, yang ditahan lajunya dengan sama cekatan. Dua kali sambitan diluncurkan sebagai balasan, tapi Nora menolak tegas serangan tersebut. Sheraga mengambil selangkah mundur.

“Lumayan,” sanjung Nora. “Enggak buruk buat ukuran laki-laki yang kayaknya bisa diboyong angin. Tapi, aku lagi enggak terlalu berminat tarung.”

“Apa yang kauinginkan?”

Nora mengendurkan ancang-ancang. “Aku sebenarnya enggak sungguh memihak Baron,” dia mengaku. “Tapi aku memerlukan kemampuannya untuk mengabulkan satu keinginanku.”

Pedangnya tertodong pada Sheraga. “Tolong jangan goblok. Dengan kita semua memenangkan pihak Baron maupun menghancurkan Gaegator, bukan saja aku memperoleh mauku. Misi kita bakalan tuntas.”

Dia melanjutkan, “Sheraga, kau ini orang yang baik.”

Sheraga selalu punya ketetapan. “Aku tidak bisa,” tanggapnya. “Mendukung orang sinting itu berarti kehancuran bagi sebuah dunia.”

“Realistislah! Ini bukan urusanmu! Kenapa harus kau peduli? Ada jalan yang mudah. Kenapa kau malah mau bersusah-susah?”

Sebab memandang segala sesuatu dari takaran moral pribadinya, Sheraga membalas, “bagaimana jika dunia ini adalah tempat kau hidup?” Dia melontarkan pertanyaan paling dasar.

Nora mendengus. “Itu klise. Oke, aku enggak peduli. Bagiku di manapun, kehancuran itu pasti ada.”

Sheraga tidak langsung bereaksi, yang malah diterjemahkan Nora sebagai minta penjelasan.

“Temanku berkata, manusia pada dasarnya makhluk perusak,” jelas Nora. “Dengan atau tanpa kehadiran Baron, dunia pasti hancur, oleh insan-insan yang enggak berbuat apa-apa sekalipun. Bahkan ada yang bilang, kehadiran diktator lebih berarti ketimbang kumpulan orang cerdas apatis. Mereka menggerakkan perubahan. Itu bukti, ‘kan?”

Gadis itu, tak terelakkan, amat benar. Itulah yang memang terjadi di tempat asal Sheraga. Paham kebangsaan yang eratlah penyebab utama penyakit kehidupan.

Tapi pemuda itu mengerutkan kening. “Sebenarnya apa maumu?” tanyanya. Dia mulai merasa dipermainkan, tetapi Nora sama sekali tak menyiratkan kesan tersebut. Atau setidaknya sang Alkemis belum menemukannya.

“Ikutlah pada Baron.” Nora tiba-tiba menggamit lengan Sheraga. Dan tak ditampik. “Kau enggak perlu terlibat masalah yang bisa kauhindari.”

“Tidak.”

Sejenak, Nora seperti bergumul dengan nalarnya sendiri. Dia tertunduk, meracau dan menggeram, sebelum akhirnya memohon, “tolong dengarkan aku. Begini saja, kalau kau masih tetap mau sok jagoan, mari kita temui penyihir itu bersama-sama dan tanyakan motivasinya. Minat jadi pembela kebenaran, ‘kan? Pahlawan tidak main hakim sendiri.”

Berkat itu, Sheraga tak melawan tatkala dia dituntun. Tidak menyadari kelancungan niat si gadis berambut pendek.

- 7 -
Tak terlintas satu kali pun dalam benak si pemuda untuk meninggalkan bagian jiwanya. Tempatnya dibesarkan dan akan berpulang suatu hari nanti.

Biara Santa Luciella.

Bangunan kelabu dua tingkat itu terletak di pinggir sebuah desa kecil, dibingkai pemandangan bukit hijau. Sungai besar jernih membentang tak jauh dari situ. Pada bagian depan biara, bunga-bunga beraneka warna meriap subur. Seolah menjadi indikasi kebahagiaan para penghuninya.

Para biarawan serta biarawati senantiasa larut dalam sukacita. Lebih baik lagi, kesan itu turut merambah pada penduduk sekitar. Bisa dibilang, kehadiran biara tersebut merupakan anugrah tak ternilai bagi kawasan sunyi itu.

Sampai suatu ketika, timbul musibah di antara para pelayan Dewa; seorang anggota persaudaraan jatuh sakit. Lebih-lebih itu bukan gangguan biasa. Melainkan sejenis tenung-kejam. Perlahan namun pasti mengisap daya kehidupan penderita.

Si pemuda tidaklah tinggal diam. Korban teluh itu sahabat dekatnya. Orang yang dianggapnya sebagai kakak, sekaligus panutan hidup. Sebuah kebetulan, dia ditugaskan Kepala Biara untuk menemukan penawar.

Untuk pertama kali dalam kehidupan dua puluh tahun, pemuda itu berangkat ke Ibukota.
Tahun-tahun pengembaraan dan pelarian membiasakan Sheraga hati-hati dalam menghadapi berbagai rintangan. Jadilah mendaki sama sekali bukan masalah serius. Dalam kurun beberapa jam, pemuda itu selamat ke dalam gua utama di gunung api—meninggalkan Nora yang bersedia meladeni serangan mayat hidup dan manusia-kadal di tengah jalan.

Menurut ayahnya, Sheraga pernah diberkati oleh selarik mantra ampuh. Menyebabkannya tegar dirundung panas maupun dingin paling jahat sekalipun. Dia memancarkan api, dan perhatikan sekeliling. Makhluk berakal biasa pastilah tidak tahan berada di sini lama-lama.

Kontan, terdengar debuman kuat dari arah depan.

Sheraga, terpandu letusan tadi, tiba di aula gua. Kolam lahar menggelegak tidak jauh. Di atas situ, kristal merah redup mengapung mati. Retakan menganga tampak jelas di bagian tengah. Dan di antara bebatuan, pemuda itu sempat melihat kelebatan surai biru.

Baron tengah bersimpuh memegangi dada. Dia terbatuk darah.

“Kita perlu bicara,” Sheraga mengajukan.

Si lelaki plontos tidak merespons. Dia tetap tertunduk. Menyaksikan itu, Sheraga mendadak teringat kekejian Zainurma dan merumuskan jangan-jangan tugasnya sendiri malah untuk meninggikan pihak yang salah.

Sheraga menghela napas. “Aku tidak tahu apakah kau sudah mendengar ini atau belum, tapi aku dan beberapa orang yang muncul di pulau ini sebetulnya diutus untuk menyelesaikan sebuah permasalahan,” terangnya. “Kami diharuskan memihak, kau atau Gaegator. Namun maaf, aku dan temanku memilih kubu Gaegator karena informasi yang kami peroleh menyudutkan dirimu.”

Barulah Baron menoleh. “Lalu sekarang apa keputusanmu?”

“Tergantung dari bagaimana penjelasanmu.”
Kereta rusa mengantarnya ke sebuah tempat membingungkan.

Segala hal yang menyambangi si pemuda terasa sanggup menodai kebahagiaannya di biara kapan saja. Denting logam bergelora, keanekaragaman sifat yang asing namun menyejukkan hati, kemegahan dan kebebasan, dan bahkan ... kemolekan para wanitanya.

Dia tabah.

Niatnya adalah menjemput penyembuh andal untuk macam-macam keburukan, secepat mungkin. Namun hari demi hari berlalu dengan nihil. Jalan keluar tak kunjung membersil. Dan tiba-tiba segalanya perlahan menjadi semakin tak terkendali.

Pada suatu siang, pandangannya turun pada seorang gadis dengan kecantikan yang memukau, mendebar dada. Diakui pemuda itu amat berbahaya. Dia tentu berpegang teguh kepada prinsip, akan tetapi perasaannya juga tidak dapat diingkari.

Mereka kemudian saling mengenal. Teresa, nama gadis itu.

Pada kali kesekian perjumpaan, si pemuda bermaksud menyatakan betapa dirinya mencintai Teresa atas nama Yang Kuasa, lantas meninggalkan ibukota dan mengusahakan cara penyelesaian lain bagi saudaranya.

Namun Dewa berkehendak pahit.

Mengetahui bahwa Teresa merupakan seorang elf—bangsa dituduh iblisyang menyamar, warga kota beramai-ramai menyucikannya di tiang gantungan. Teresa terpuruk, bersama dengan mawar yang dibawakan si pemuda.

Mulai malam itu, pemuda biarawan tersebut mengesahkan sebuah cita-cita. Setelah berhasil mengembalikan ketenteraman biara, dia menimba ilmu lebih giat, mendengarkan keluhan dengan lebih khidmat, dan yang terpenting ... dia hendak menerbitkan mahakaryanya.
Sama dengan Sheraga, rekam jejak Baron tidak dapat dibilang menyenangkan. Lelaki itu pernah terkhianati, serta terinjak-injak harapannya. Agama mendustakannya, memporak-porandakan dunianya, dan dia bertekad untuk menggantikannya dengan kemanusiaan yang paling murni.

Sheraga nyaris mendukung. Tapi sepenggal bagian menunda putusannya. “Mengapa kau memerlukan pulau bergerak ini?”

Baron berdiri dan menatap Sheraga dengan damai. Sebelah tangannya bertumpu pada bahu pemuda berambut hitam itu. “Untuk memulai sistem yang baru, Nak, kita perlu kekuatan untuk menghancurkan kuasa lama.”

“Tapi itu artinya kau akan melibatkan orang-orang tidak bersalah!” bantah Sheraga.

“Dalam tiap perombakan, selalu ada risiko yang harus siap ditanggung. Itu tidak terelakkan.” Baron menjauh. “Belajarlah dari sejarah.”

Sheraga menjabarkan dengan tabah, “setahuku sejarah tidak melulu soal pertikaian. Selalu ada cara untuk menempuh kesejahteraan tanpa tumpah darah. Dan aku akan mendukungmu dalam hal itu.”

Secara terbuka, dia menyatakan, “aku sama sepertimu, Baron. Aku membenci betapa kaum terbanyak seringkali menindas yang berbeda dan tidak mereka pahami. Aku bahkan menolak Tuhan. Impianku juga sebuah masyarakat tanpa seorang pun memuja dan menakuti hal tak kasatmata. Tapi Baron, demi apapun, caramu salah. Justru manusia seperti kita harus membedakan diri dengan para fanatik pengagung kekerasan itu!”

“Jangan coba-coba mengguruiku, Bocah!” Baron malah menempelengnya. “Aku mengerti apa yang kulakukan. Jika kamu memang tidak ingin mendukungku, enyahlah!”

Sheraga tidak menyerah. “Kalau begitu apakah bedanya dirimu dengan kongregasi yang kaubenci itu? Mereka mendiskriminasi, tak segan-segan membunuh yang berseberangan dengan doktrin. Sekarang, Baron, tindakanmu tiada bedanya!”

“Sejak awal, dunia ini sudah sakit! Dewa menciptakan manusia atas nama tontonan demi pemuas hasrat kejinya. Dan tidak ada yang menyadarinya. Satu-satunya cara adalah ancaman yang nyata!” Baron mengacungkan tongkat. “Pergi kamu, Pembual!”

“Tidak sampai kau menyerah,” tantang Sheraga. “Berdamailah dengan Gaegator dan bebaskan dia.”

Sang penyihir terbahak-bahak tanpa kebahagiaan. “Kamu kesiangan! Gaegator sudah mati!” Dia menunjuk kristal redup di atas lava. “Dan kamu takkan kembali ke mana-mana!”

Itu menjelaskan mengapa Baron tak dilingkup lagi oleh hawa sihir bertekanan.

Kabar buruknya, konflik belum juga berakhir dengan tumbangnya salah satu poros. Sheraga menggigit bibir. Pilihan tersedia hanyalah mengalahkan Baron. Dan jelas bukan dengan proses penuh kedamaian seperti yang diharapkannya. Kesintingan Baron tak bisa ditawar-tawar lagi.

Sheraga melaju dengan menyeret pedang. Memutuskan bertarung tanpa memberdayakan api sama sekali. Baron juga menyerbu, dan lebih dulu menyapukan ujung tombaknya secara melintang ke arah muka lawan—yang lalu berkelit dengan menarik diri menjauh. Sang Alkemis balas menyarang area kulit, bermaksud melancarkan gertakan mula. Dia pun berhasil. Darah segar menodai pipi penuh bekas luka.

Baron menggeram. Tidak gentar, dia kerahkan senjata sekuat tenaga. Pada titik-titik yang dirasanya akan dengan ringkas menamatkan si pemuda. Tetapi pada suatu kesempatan, Sheraga menepis terjangan ke kanan bawah dengan kaki. Dalam tempo sempit dan sebelum Baron berinisiatif menyerang lagi, pemuda itu menginjak tombak tulang sampai hancur.

Keduanya saling memperlebar jarak. Sisa senjata Baron dicampakkan. Tak sempat terperangah, dicabutnya pedang pendek dari balik jubah. Dia menapak satu kaki ke batuan, melesat siap memutus pembuluh penantangnya. Sheraga menahan laju serangan dengan pedang ditumpu satu lengan. Denting menggema tatkala kedua bilah beradu. Memanfaatkan momentum, tangan Sheraga yang satunya beranjak sigap meraih sarung senjata untuk menggebuk balik.

Sang penyihir menyadari usaha tersebut lebih dini. Dia termundur sesaat, barulah merangsek lagi. Diiringi keteguhan untuk membalas dendam, dia melayangkan tebasan beruntun pendesak musuh. Sheraga memang sukses membendung keseluruhan, sayang tiap kali Baron mengambil giliran melawan, dia terus terdorong mundur. Selangkah demi selangkah namun pasti.

“Kena kamu!” Baron menutup sela. Dia menukikkan pedangnya menuju jantung Sheraga. Lagi-lagi, sasarannya mengelak ke samping. Membiarkan liang berasap tercipta di dinding gua.

Peristiwa itu menjadi bahan bakar untuk luapan emosi Baron. Laju serangnya meningkat dengan drastis, barangkali berbanding lurus dengan kebencian di dalam benaknya. Sejurus berikut, situasi terbalik sempurna. Sheraga kewalahan.

Sheraga mengulur waktu sebagai upaya persiapan. Konfrontasi seperti tadi hanya akan mempersingkat umurnya. Dia berlari, mengabaikan kebasnya tungkai. Ketika jarak telah cukup, dengan dia berdiri di atas permukaan yang lebih tinggi, dia merentangkan tangan ke sisi. Api menyembur dari telapak tangannya dan perlahan menyelimuti tiap jengkal dirinya.

“Baron, menyerahlah!”

Satu-satunya tanggapan Baron adalah terjangan secepat kilat. Dia memelesat, hampir-hampir tak dapat dinalar. Seketika, dia bersemuka dengan sang Alkemis, abai pada kobaran api bersuhu rendah yang sebetulnya ditujukan untuk ancaman belaka, dan pedangnya menebas lurus dari atas.

Bukan kepalang lagi Sheraga terkejutnya. Gejolak pada pusat edar darahnya sangat nyata. Beruntunglah pemuda itu karena dia condong ke belakang. Mata pedang mengiris dagu saja. Dan demi menunda serangan berikutnya, Sheraga melompat turun. Samar-samar dia mendengar Baron berucap, “kamu tidak akan berani membunuhku.”

Sheraga tidak ingin mengakuinya. Akan tetapi, Baron benar. Tanpa memandang cermin sekalipun dia kini mengerti betapa tolol usahanya menggertak baru-baru ini.
Pada sebuah malam tak berbintang, si pemuda memimpikan keluarganya. Dalam bunga tidur itu ayahnya terkekeh dan berteriak, “Nak, kau telah dikutuk!”

Itu membuatnya muntah-muntah sepanjang sisa malam. Di sisi lain, dia berharap itu hanyalah peringatan Dewa baginya, karena belakangan kebaktiannya banyak terusik oleh kegundahan. Akhirnya dia abai dan mendaraskan dua bagian kitab dengan sepenuh hatinya.

Tak kunjung lelap, si pemuda meneruskan pekerjaannya.

Buku yang menjadi sarana mimpinya, berisi ide-ide yang diharapkan akan mengubah wajah dunia, telah mendekati rampung. Kira-kira satu per lima lagi, pada bagian jalan keluar dan prinsip persatuan. Itu tidak masalah, mengingat dua hal tersebut merupakan penggalan paling menyenangkan.

Begitu selesai, hendak diberikannya buku itu pada Kepala Biara. Visi mengenai kesetaraan seolah telah mewujud sempurna di depan matanya. Dunia yang ideal, penuh tenggang rasa. Rohaniwan-rohaniwan revolusioner bermunculan berkat pergerakannya. Dan bahkan, dia juga mulai membayangkan diri sebagai santo.

Hanya saja, angan-angannya yang terlalu meluap-luap membutakannya pada keadaan. Dari balik punggungnya, sahabat karibnya telah menyelisik. Matanya melebar begitu menemukan kalimat-kalimat yang bertentangan dengan keyakinannya.

Saat itulah si pemuda memijak bumi. Dia berbalik dengan napas tak beraturan.

Jurnalnya segera direnggut. Rekan sekamarnya membanting mahakarya itu dan menginjak-injaknya.

“Kamu pembidah! Bagaimana mungkin kamu mengatakan perdamaian akan tercipta? Dewa jelas-jelas mengatakan manusia dan iblis takkan bisa bersatu!” Dengan linangan airmata, dia mendesis, “aku akan mengadukanmu!”

“Maafkan aku. Tolong jangan lakukan itu. Aku khilaf dan berjanji akan memperbaiki diri.”

“Tidak.” Sahabatnya menggeleng dengan sedih. “Dosa tetaplah dosa. Kamu akan dihukum. Dan kamu bukan siapa-siapa lagi bagiku.”

Si pemuda merasa semesta meluruh di bawah kakinya. Tangisnya memenuhi malam yang dingin. Begitu dalam, sehingga darah menggugurkan air.

Benarkah menginginkan perubahan merupakan dosa?

Benarkah menghendaki kedamaian adalah tindak tercela?

Benarkah mendamba kesetaraan derajat menghadiahkan padanya pintu neraka?

Si pemuda menggigit bibir bawahnya hingga sobek. Dan bukankah, pikirnya, landasannya itu berupa budi baik, dan bahwa kebaikan itu sendiri pertanda dirinya masih manusia?

Begitu tiba esok malam, dengan dirinya disidang di atas pancang hukuman, biarawan itu—Baron Hanscale—memohon pada setan. Yang tak cuman membebaskannya dari kematian, tetapi juga melimpahkannya kekuatan.

Dari sanalah tercipta tujuan baru dan membusuknya segenap iman.
Akhirnya Sheraga memilih berjudi nasib di tengah sengitnya suasana. Dia merelakan dirinya berlutut. Pedang dia tancapkan ke tanah. “Baiklah, aku akan jadi pengikutmu. Tapi maukah kau menjawab pertanyaanku?”

Di hadapannya, tanpa disangka-sangka, Baron meladeni. “Kamu mulai berpikir jernih. Katakan.”

“Jika seluruh tujuanmu terkabul, apa yang mau kaulakukan?” Sheraga melangkah maju. Batinnya merapal mantra api. “Perdamaian macam apa yang kauimpikan? Memaksa tunduk orang-orang atau kaubunuh mereka?”

“Kamu tidak tulus!” Baron jelas curiga. Tangannya tetap siaga pada alat pertahanan.

Sheraga menggeleng. “Salah,” dustanya, “aku hanya memastikan masa depan. Lagi pula, bukankah kau mengatakan sendiri aku tak berdaya dan tak bisa ke mana-mana? Tidak ada gunanya kita berselisih lagi. Pilihanku hanyalah tunduk padamu.”

“Jawab pertanyaanku, Tuanku,” pinta Sheraga sambil mempertahankan isi perutnya.

“Sudah kukatakan,” Baron mendengus. “Saat Takhta Suci hancur, itu adalah akhir bagi agama. Yang akan tersisa dari sumber kebohongan itu hanyalah pengingat betapa selama ini kepercayaan buta hanya menghasilkan kebencian, penderitaan, dan sekat-sekat.”

Ide itu terdengar bodoh dari sudut pandang manapun. Setidaknya gara-gara sisipan agenda gempuran sepihak. “Itu benar, Tuan,” timpal Sheraga. “Tapi menurutku, cobalah terka akibat lain. Tidak, aku bukan bermaksud menasehati. Namun pikirkan saja .... Jangan-jangan dengan kau melenyapkan sumber harapan manusia—maksudku Takhta Suci itu, kau malah memulai pergerakan religi yang lebih besar.”

“Apa maksudmu?” Baron terlihat mengendurkan kewaspadaan.

“Dan bukan itu saja. Pertama, dan yang paling penting, jangan yakin dulu. Kematian bukannya mustahil terjadi,” Sheraga sendiri menyadari tengah membual tanpa arah. “Atau, katakan saja kita berhasil mencapai tujuan dan memperbaiki sistem. Nyatanya tidak sesederhana itu. Pemberontak akan selalu ada. Perubahan akan senantiasa berlangsung. Sebagaimana kau melawan tatanan di dunia, kau akan memiliki penentang yang siap menumbangkanmu.”

“Aku sudah bersedia dengan risiko—“

Sheraga tidak mau disela. “Poin paling vital dalam pembicaraan ini bukanlah di situ,” tegasnya. Dengan yakin, dia menangguhkan, “Baron, bagaimanapun kau berusaha menyatukan semuanya di bawah pahammu, kau akan gagal. Tindakanmu pandir dan bobrok sejak semula. Pada hakikatnya manusia itu beragam. Kau tidak bisa menyangkalnya. Dan kenyataannya mereka masih memerlukan lelucon itu—agama.”

Tanpa sadar, jarak di antara keduanya tidak lebih dari satu tombak.

“Konsep itu memang jenaka, ia menimbulkan halusinasi dan fantasi yang memabukkan. Ia meredam derita dan luka. Tapi apa salahnya membiarkan orang lain tenggelam dalam imajinasi mereka sendiri? Kehidupan ini keras. Dan mereka perlu keringanan, mereka perlu pelarian. Apa yang mereka jadikan landasan sama sekali bukan urusanmu!”

Baron menyeringai keji. “Kamu bosan hidup.”

“Sejak awal, kau yang bosan hidup. Kau terlalu meremehkan semuanya. Kebencian membutakan akal sehat maupun nuranimu. Kau bahkan tidak bisa mengalahkan aku.” Sheraga menjentikkan jari. Kobaran api melingkar tercipta di sekeliling dirinya dan Baron. Menghalangi pemandangan gua.

“Menyerahlah atau kau boleh memilih menggelembung perlahan hingga meledak.”

Tiba-tiba, Baron membuang pedangnya. Dia bersimpuh. Tertunduk. Airmatanya mengalir deras. Terisak-isak. Pemandangan yang sangat menggetarkan hati. “Aku berserah padamu,” katanya. “Kamu menang. Dan aku akan menanggung dosaku.”

Sheraga tersenyum. Lengannya terulur. “Selamat menjadi pribadi yang baru—”

Baron menggenggam tangan Sheraga erat-erat. “Selamat bermimpi!” Lalu dia meneriakkan deretan mantra.

Itu adalah saat Sheraga merasa lemah. Energi sihirnya mengalir menuju lengan. Berpindah cepat pada Baron. Selubung api di sekitar mereka menyusut, kemudian kandas sama sekali. Setelahnya, Baron memuntir lengan Sheraga sampai patah. Begitu pemuda itu tersungkur di depannya, Baron menghajar rusuknya menggunakan kaki.

“Untuk tindakan gegabahmu,” kata Baron sambil menendang perut Sheraga. Menggulingkannya sedikit. Diteruskan dengan pijakan keras pada sikut yang remuk. Pemuda itu menjerit.

Dilanjut injakan tanpa ampun di ulu hati. “Untuk pemahaman bodohmu!”

Baron menyepak kepala Sheraga. “Dan untuk pikiran naifmu!” raungnya. Lelaki tua itu mencekal kerah baju lawan bicaranya dan mendesis. “Aku mengampunimu. Aku selalu memberimu kesempatan. Belum terlambat untuk berubah.”

Namun Sheraga lebih memilih untuk meludah. Baron mengerang. Darah mengenai matanya. Belum cukup, penglihatannya yang tersisa tertutup lagi oleh merah. Kelenggangan itu dimanfaatkan Sheraga untuk menerjangnya. Dia mendekap Baron dengan sebelah tangan, menjatuhkannya.

Sekonyong-konyong Sheraga putuskan untuk menutup rangkaian kegilaan hari ini dengan puncak kesintingan yang paling hebat. Dia sorongkan kepalanya ke bawah. Gigi-giginya dia benamkan ke leher Baron, merenggutnya dengan buas, nyaris tanpa menimbang dan tanpa kesungkanan, lalu menyepah gumpalan daging. Terus berulang.

Baron mengejang, tidak mampu bersuara. Semata akibat tak kunjung mencerna kenyataan. Darahnya berlomba-lomba membebaskan diri, ajaibnya dia tidak lekas bersua dengan ajal.

Kematian Baron sudah dapat dipastikan. Bila ada sesuatu yang menundanya, itu hanyalah tendangan ke wajah Sheraga—detik itu juga. Pemuda itu terpuruk. Pipinya lantak. Kekuatan tadi benar-benar luar biasa. Menyentaknya dari ketidakwarasan. Ternyata si rambut pendek.

Nora terengah-engah. “Bukankah sudah kukatakan padamu untuk menepati janji?” bentaknya sambil melindungi Baron. Cairan hitam kental berseliweran di baliknya.

Sheraga sadari perbuatannya. Muka dan pakaiannya diliputi darah. Baron terkapar tak berdaya. Lehernya tercabik dengan brutal, namun dia masih bernapas seolah mengejek hukum alam. Kedua matanya membelalak terpana. Dimeriahkan genangan amis. Nora pun menyerukan kalimat-kalimat untuk mempertahankan hidup lelaki itu.

Sekali lagi, Baron tak terkalahkan. Dengan sisa tenaganya, dia mencengkeram erat pergelangan kaki Nora. Menyedot inti kehidupannya secara tamak. Sehingga gadis itu sekejap mengering. Tubuhnya kerontang mempertontonkan tonjolan tulang-tulang. Diakhiri ledakan daging.

Selang puluhan denyut nadi, penyihir itu kembali utuh.

“Dasar sampah, beraninya sok hebat!” Baron menepuk-nepuk lehernya dengan santai. Seluruh cedera sirna, termasuk bekas-bekas kental pada jubahnya. Dia langsung melangkah pelan pada Sheraga. Tampaknya paham pemuda itu tidak bisa melawan lagi.

Sheraga mengangkat wajah. “Bu-bunuh ... saja aku ...,” dia memohon. “Aku ... lelah.”

Dia baru saja mengungkapkan kebenaran. Sheraga mengerjap sendu. Memahami, barangkali inilah waktunya untuk bersudah. Terlalu lama terjerat dalam rantai kemalangan, saatnya lepas. Zainurma tidak salah waktu itu. Tidak ada lagi yang mengharap kehadirannya.

“B-Baron ... bunuh aku ..., bu-bunuh aku!” Walau demikian, ada satu yang membuatnya gembira. Dia tahu Netzakh salah.

“Kukabulkan.” Baron mencabut pedang perak Sheraga.

Tiba-tiba terdengar siulan. Mengalahkan gemuruh gunung.

Sheraga menggulirkan pandangan. Orim tengah berdiri kukuh—bukan, matanya tak terkatup. “Hei, banci! Masa kaumau membantai sampah?”

Terjebak, Baron memelesat menuju Netzakh. Sang iblis semata menganjurkan lengan. Ketika telapak kanannya menahan pedang berbubuh mantra sakti tanpa luka, dia menyalam, “sampai jumpa, Sheraga Asher! Anggap saja tindakan ini sebagai apresiasiku terhadap aksimu dari tadi!”

Sang Alkemis tak memercayai visinya. Kedua laki-laki di tengah gua sempat berubah wujud. Dari tempat di mana seharusnya Baron berpijak, seorang anak muda meronta-ronta. Tangan dan kakinya dirantai. Tidak ada kebencian, justru kepedihan. Sedangkan di depannya, seberkas cahaya kebiruan menggantikan sosok Orim. Sinar itu kemudian terbang, dan menyeret jelmaan Baron ke langit-langit gua.

Chabburah mengembik tatkala Sheraga dan Orim ambruk. Sementara jasad Baron terurai menjadi silalatu.

- 8 -
Kekuatan orang yang berjibaku melawan Baron sama sekali tak boleh dianggap remeh. Karena itulah, Al menunggu sampai pestanya selesai otomatis. Menyisakan sosok pemuda kurus yang kuyu—reverier. Dengan pakaian monokrom tidak trendi tanda pelit pada diri. Dia masih berdiri. Baron bersimpuh di dekatnya, kelihatannya mengaku kalah.

Al punya panggilan praktis untuknya. RBT, alias Rambut Belah Tengah. Beruntunglah cowok itu lumayan menarik. Sehingga model surai culunnya tak kelihatan terlalu buruk. Sempat terpikir dalam benak Al untuk menculik RBT. Tapi hasrat unggul menyepak otak bisnisnya.

Dari balik bebatuan tinggi, Al mengokang senjata sama yang digunakannya untuk merontokkan kristal merah. Bersiap meledakkan kepala target dalam radius tiga puluh meter. Orang jelek atau ganteng setali tiga uang kalau mati. Gak bisa ketawa.

Jendela maya kembali menampakkan sosok Miller.

“Jangan repot-repot, dombamu ‘kan sudah keluar,” dia mempersembahkan kemurahan hati yang tidak ikhlas. “Tunggu saja, sebentar lagi juga muncul mafia necis.”

Al memutar bola mata atas gangguan itu. “Tomnook,” cibirnya. “Harusan lu ngerti gue benci bagi-bagi kemenangan.”

Suara di seberang menggelegar, “MATAMU, AL!! AKU. BUKAN. TOMNOOK!!”

“Oke, lo bukan Tomnook.” Al nyengir. “Tapi Semit Kapitalis. Hati-hati tumbuh cambang.”

Miller ternganga. Tampak tidak terima.

“Mending lo diem dulu. Kita ngobrol lagi abis misi selesai.”

Lubang kontak pun lenyap. Al membidik kepala belakang RBT dan tanpa ba-bi-bu menarik pelatuk. Senapan laras panjang memuntahkan sepasang sinar mematikan. Namun secara dramatis bak film aksi murahan, kelebatan hitam menepis niatnya.

Si gadis berkepala aquamarine terlonjak. Lututnya lemas. Sang pahlawan kesiangan bukan orang biasa.

“Ssh, jangan mencuri mangsaku.”

Yang barusan bicara itu makhluk absurd buruk rupa. Sekilas, Al mengira berhadapan dengan leburan tidak kreatif antara Slenderman dan Valak sang Biarawati edisi prototipe. Badannya anyir menusuk, lebih parah dari tercebur ke dalam kolam cairan plasma. Semakin horor saja rasanya.

Kepet! Mereka miara dibbuk.

Pandangan Al bersirobok dengan setan itu. Matanya jelek sekali.

Lengan kirinya yang terbakar bergantung lemah. Mau bernegosiasi bagaimanapun, Al paham betul tak bisa meredam sorot kebencian si manusia mendesis. Ada insting yang primitif di sana. Memaksa Al berlari menjauh.

Persetan! Dia menyambung komunikasi. Miller, gue diserang Voldemort KW! Tolong kirimin bantuan! GE PE EL. Nanti gue bayar utang—dua kali lipat!

Tiada respons, kecuali bunyi slurp nikmat. Besar kemungkinan tujuannya tutup mata dan memilih makan Bakmi Mewah. Terlalu meninggikan konsensus. Sama sekali tak berminat membantu.

Rakun buduk! Maruk! Kardus! Kencrot! Bangkrut—

Manusia ular kian menutup jarak. Merinding, Al segera berancang-ancang melepas tembakan lanjutan. Sampai lupa fakta tentang rentang waktu senjata. Kecemasan berlebih menumpulkan akal sehat. Terang saja, dia kalah sigap. Si jangkung bau ferum keburu menerkamnya.

Sang Anthro-deus merasakan bujuk rayu kemalangan yang manis.
Dalam sekejap, Nadav menyambar lawan. Kepala si perempuan menumbuk tanah pejal. Senjatanya terlempar dari genggaman.

Pesundal itu mengaduh kesakitan. “Sialan lo!” semburnya sambil memukul-mukul. “Gue gak mau ena-ena sama lo, bangsat!”

Nadav pun tak mengerti maupun peduli apa yang dibicarakan. Dia menggeram dari balik deret taringnya. Dilihatnya batu lain ukuran setengah kepala, lantas diambil.

“Eh, mau ap—“ Air muka lacur itu menampakkan sesal. “Mz, m-maafin gue, plis. Gue punya kepeng—“

Sambil menyipitkan mata Nadav benturkan benda di tangannya ke wajah musuh. Tak mengacuhkan sakit yang teramat pada satu lengannya.

Ayunan pertama, pekik campur serapah ganjil berdendang. Yang sepenuhnya Nadav abaikan. Pipi kanan perempuan di bawahnya memar parah.

Dua. Tangannya yang mencakar-cakar terkulai. Dibungkus merah. Batang hidungnya memipih. Napasnya kian menipis. Sebagian kulitnya acak-acakan. Gigi-giginya tanggal dan masuk ke dalam tenggorokan. Mulutnya penuh. Cairan keluar dari lubang-lubang wajah, termasuk air dari sudut mata. Dia meludah.

Itu menghadiahkan padanya hantaman ketiga. Rambut biru keparat itu tak bergerak lagi. Tengkoraknya pecah. Satu matanya menjadi bubur. Warna merah meruah tanpa ampun. Empat, lima, sepuluh dan seterusnya, gundukan sewarna samudra bergaul akrab dengan ceceran tulang dan daging. Darah memercik ke segala arah. Muka jasadnya sampai tak berbentuk lagi.

Terengah, kegusaran Nadav tetap saja tidak kunjung surut. Bersama kehangatan aneh pada wajah dan pakaiannya, dia berdiri. Tubuh tak bernyawa si bajingan diseretnya dengan tangan tersisa, lalu diumpankannya pada kolam lumpur pijar jauh dari jangkauan pandang Asher.

Nadav bersimpuh. Seluruh kemarahannya terkumpul ke ubun-ubun.

Kebencian Nadav terhadap marga Kohan tidak datang sejak kekalahannya terhadap Orim hari ini, melainkan jauh dari masa silam. Saat raja sebelum Natan Asher berkuasa, tatkala pencarian atas para bajingan pengendali setan itu sedang gencar-gencarnya.

Penguasa waktu itu menitah segenap bala tentara di Yisreya untuk memburu tikus-tikus tersebut. Termasuk di antaranya para Pemburu Hening. Nadav ditugaskan menyikat seorang pria Kohan, yang berujung kutukan seumur hidup kepadanya.

“Ukh.” Dia memegangi dada dengan ruas jari pipihnya. Sisa pertempuran dengan Orim masih terasa. Nadav terbatuk darah.

Satu perkiraan terbentuk dalam benak Nadav.

Pertama ... Sheraga, putra Natan Asher, sudah lama tahu kenyataannya dan menjalin pertemanan dekat dengan pengendali iblis. Dan tidak ada yang menjegal mereka. Lalu setelah Natan Asher naik takhta, pembasmian para pendosa itu ditanggalkan dengan alasan mereka telah punah. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya.

Nadav berdoa agar kecurigaannya salah, namun anggapan buruk terlanjur meracuninya. Seorang pemimpin Takhta Suci Batya memang berkonspirasi menggulingkan pendahulu. Menandakan eksistensi Dayan makin menghampiri ambang, sesuai Kitab Kehidupan.
[?]

21 komentar:

  1. Awkawkawk!! Sumpah ane ngakak pas awal bertemu Ru.
    Aduh, sial. Finggang ane.. Ouch encok.. #ahem#

    Entry yg paling ditunggu, muncul dengan sangat puas. Feelnya, ughh... jleb banget ke dada. Dari awal sampe akhir ane bener-bener hanyut.

    Kalau Ru liat lukisannya di museum semesta, mungkin dia akan tersipu dan bilang: "Oh~ Indah sekali bagaimana aku mati di sini."
    Andai ane bisa mati-in dia kyk gini nanti. Ahaha~ Ha... *pundung*

    Ohh... ini pendalaman tiap karakter OC di sini dalem banget. Banget. #repeat
    Bahkan OC tamu pun dapat spot indah disini.
    Ane ga nyangka karakter ane bisa manis kyk gini. Pokoknya TOP dah.

    Dan, ane hampir lupa sama Al..
    Dia walau munculnya cuma akhir2 doang, tapi menjadi penutup yang klop.

    Haduh, ane gatau lagi harus ngomong apa x'D
    Entry terbaik di grup L menurut ane
    ---------------
    Rate: 10
    Ru Ashiata(N.V)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wih, pertama ... makasih sudah bertandang. Nantikan kunbal ^3^

      Aduh, iya sih, saya juga sempet ketawa pas nulisnya. Sebenernya kalau nggak dipotong ada lebih banyak obrolan, yg kyknya lebih baik dr yg ada. Tp terpaksa kebuang //disepak. Walau begitu, saya minta maaf karena kayaknya ada yg salah dr Ru. :'(

      Al saya taro di belakang karena dia ... emang susah ditulisnya dan kepribadiannya rada individualis gitu, IMO. Baguslah kalau menikmati *evil grin* xD

      Sekali lagi makasih sudah mampir~~

      Hapus
    2. Oh~ Sama sekali ga ada yang salah. Ga ada #repeat
      Serius setting-annya ajib bener. Bahkan ane penasaran yg versi 20k lebihnya gimana

      Hapus
    3. 20k lebihnya kebanyakan kurang penting sih, kalo dipikir". Misalnya adegan museum semesta, obrolan singkat sm Mirabelle, obrolan gaje penguat sifat, PoV Nora, PoV Al yg ngancurin hutan, battle antarsub OC, dan epilog dr PoV Zainurma di akhir. Beberapa bakal saya tempel di R2, sepertinya~~

      Hapus
  2. Anjir, ente make settingnya ajib bener. Kalo narasi, kayaknya seperti biasanya. Indah, meski beresiko dikata”in sok nyastra ama orang-orang. Wkwkwk... tapi penggambaran tiap adegannya bisa dibayangin dengan mudah. Development ocnya pun gak maen-maen, bahkan sub oc sendiri juga berpotensi jadi betrayer di sini. Realistis dan dalem banget perwatakannya. Bhkan debat ideologi juga dibawakan dengan epik. Persetan dengan komentar org yg ngatain “sok yahudi”, yang penting asyik diikutin.
    Cuma aku ada kritik buat battlenya. Cukup seru, Cuma disayangkan ternyata diselesaikan ama pihak ketiga. Berkesan deus ex machina, padahal asher keliatan baru saja bisa pyrokinesisnya. Minimal dikasi jatah adegan pas make sihirnya lah. Namun keseruan konflik yang dialami para oc berhasil menutupi kekurangan kamu di bidang scene berantem.

    10
    Axel

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huhu, thank you :'3

      Dan yea, saya lebih fokus ke perwatakan para OC dan sub OC ketimbang aksi mereka. Saya biasa begitu--sebab ngga ahli dlm bakbikbuk ._.

      Sok Wahyudi? xD

      Deus ex machina tsb sebtulnya ada maksudnya juga sih. Untuk keperluan kontinuitas kanon. Dan demonstrasu kebegoan OC saya sendiri. Wkwk. Sebab tempo lalu saya merasa OC saya agak-agak menjurus Gary Stu :>

      Btw, makasih sudah mampir (y)

      Hapus
  3. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : B
    Overall character usage : B
    Writing techs : A
    Engaging battle : B
    Reading enjoyment : B

    Baca ini bikin saya mikir kalo saya emang ga bisa 'in' ke tulisan yang bener" full nyastra, meski saya akuin level teknik penulisannya jelas jauh di atas kemampuan saya sendiri yang ga seberapa. Indah, tapi kaku, kalo boleh saya bilang. Jadi kayak ada semacem kesan eksklusif

    Yah, abaikanlah, toh itu preferensi masing". Ga ngaruh ke ceritanya sendiri karena itu cuma masalah cara penyajian

    Saya inget Orim, tapi Nadav ini emang baru debut di entri ini ya? Maklum udah sebulan. Dia berasa benalu di antara Sheraga sama Orim. Dan pas Ru mendadak berserk, apa itu gara" dia juga? Saya agak miss di sana

    Saya suka konfrontasi Sheraga sama Baron di akhir dan lempar"an argumennya, tapi saya kurang nangkep Netzakh sebenernya ngapain pas bikin ronde ini berakhir. Dan Al, yang saya kira dilupain, muncul di akhir cerita, tapi juga ga berasa relevan ke keseluruhan cerita ini. Malah berasa biar Nadav yang jadi penutup aja. Apa pria ular ini masih bakal jadi parasit cerita Sheraga di ronde selanjutnya?

    ==Final score: B (8)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aduh, ternyata udah termasuk nyastra ya. Padahal karya saya masih jauh dari nyastra--kalo dibandingin sm karya sastra sungguhan TwT Tp syukurlah, begini pun yang prnting tahan bacanya sampe akhir, hehe xD Ke depannya mungkin akan ada penyederhanaan xD TBH, ini memang bukan gaya narasi saya yg biasa. Semacam eksperimen.

      Iya, Nadav sub OC baru, plus Gal Raivah (nahas CS-nya blm diperbaharui). Mereka bakal sgt berperan buat ke depannya :3

      Dan ya, Nadav penyebabnya. Dia nyembuhin sekaligus ngeracunin. Racunnya bermantra. Tp dia salah formula jd berantakan semua rrncananya. Dan, Netzakh itu setan. Dia bisa nyabut nyawa musuh dgn mudah. Saya tegasin di caranya nanganin Arca--biar pas ngalahin Baron bakalan pd nggak kaget lagi xD

      Al yang ledakin jantung Mbah Gae. Kalau nggak ada dia, Baron bisa kuat banget. Arca aja batunya dicabut ._.

      Terima kasih udah berkunjung :3

      Hapus
  4. Mantep mba noni, semua space yang ada dimanfaatkan dengan kata-kata indah. Teknis tida perlu ditanya, karena karyanya sudah berbicara u,u

    Dan... hmm, entah kenapa kalau dibanding prelim saya ngerasanya kalau yang ini rasanya ada yang kurang. Maksudnya kurang, dalam artian, tulisan R1 ini kurang engaging dibanding prelim. Porsi pembagian karakternya pas kok, dan saya seneng Al momennya pas banget, walau pada akhirnya harus mati begitu :'D

    Perihal kurang engagingnya, mungkin karena development Sheraga yang drastis tapi entah kenapa kayak gak keliatan bedanya di mana... seenggaknya, yang saya tangkep begitu.

    Nevertheless, this entry is an enjoyable read. Jadi ada bahan berkontemplasi juga ketika melihat pandangan Sheraga kontra Baron.

    Nilai dari saya 9, sampai bertemu di R2

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah iya ini ... saya juga ngerasa ada yang kurang. Mungkin karena spotlight yang mestinya buat Sheraga seorang malah kebagi" buat sub OC yg belum keliatan pentingnya di mana. Mungkin juga akibat editan ekstrem dari 20 ribuan kata ke 16k u,u Ah, emang jadi degradasi ini TwT

      Iya keknya. Sheraga diniatkan mau agak berubah di R1. Judulnya sendiri menyimbolkan itu (The New Black). Tapi karena satu dan lain hal, akhirnya ketunda. Jadi apa yang terjadi termasuk perkataan Netzakh, itu masih berupa foreshadow ._. Sekarang yah, Sheraga masihlah yg tampak di prelim ._. Tapi tentunya akan disingkap sesegera mungkin. Andai lolos. ^o^

      Ah, terima kasih udah baca tulisan sepanjang ini. Nanti saya kunbal ^3^

      Hapus
  5. Shh, saya sebal sama "shh"nya Nadav. Mengobar Prasangka pada siapapun, well... Tapi dia nggak salah juga. Toh si Ru memang ada niatan buruk. Jujur saya suka karakter Nadav, malah semakin lirik Nadav daripada Sheraga di entri ini.

    Semua karakter tergambar (*eh, tertulis, ya?) dengan bagus, bahkan Orim dan Nadav yang ikut Sheraga banyak berpartisipasi ke dalam cerita, bukan sebagai tempelan untuk Sheraga.

    Terakhir, saya juga merasakan yang dikatakan Mas Sam. Penulisannya agak kaku.Terimakasih~

    Nilai 9

    OC : Nora

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yah itu bagian dari ciri tubuhnya. Dia dikutuk sama keluarganya Orim jd sedemikian rupa. Mau gimana lagi? '-'

      Aduh, iya sih. Sempet juga saya rasa Nadav ini lebih realistis ketimbang OC utamanya. Dan yah, dua sub OC tersebut akan setara perannya dengan ... OC utamanya. ._. Tentu andai lolos ._.

      Ah, ya ... soal narasi. Jujur aja saya blm ngerti di mana kesan kakunya. Maaf", ya. Tapi tentu, masukan soal narasi bakal saya apply. Tobat deh make narasi ginian. Saya balik aja ke gaya prelim ._.

      Ah ya, terima kasih kembali xD Dan trims kunjungannya xD

      Hapus
  6. Damn. Baru dua paragraf aja aku udah mikir, “Wah, ini bener2 Noni-ish banget.” Gaya nulis ini yang selalu bikin aku iri sama perbendaharaan kata yang luar biasa darimu. Plus, aku belum nemu gaya nulis yang sejenis gini selama baca2 BoR. Makanya kayak nafas lega abis baca2 entri dengan narasi yang berulang terus baca gaya tulisan Noni. Dua paragraf aja dah menyenangkan buatku. Narasi penuh istilah asing begini dengan tema dan nama2 ibrani yang kental bikin cerita ini, selagi masih berbahasa Indonesia, tetap sekilas terasa seolah tidak berasal dari Indonesia sendiri. XD

    Karakter Nadav asyik, masuk dengan enak di antara Orim-Sheraga. Pun dia membuka semacam konflik baru di tengah dua sahabat ini. Sesuatu yang menarik buat diikuti ke depannya. Meski di sini kulihat separuh awalnya Nadav-Orim-Ru lebih dominan dibanding Sheraga, tapi okelah. Ceritanya masih enak buat diikutin.

    Pun masuknya Ru juga smooth, ga terkesan dipaksakan. Apalagi diawali dengan bahasa... eng, itu apa ya? Jerman bukan? Jadi konsep multisemestanya juga mengalir dengan lancar.

    Pas konflik Sheraga dan zombie2 itu juga bisa dinikmati, pula saat ilusi yang mengenai Ru ikut terlibat, pertarungannya jadi lumayan seru. Meski agak kurang kerasa ketika Ru lepas dari hipnotisnya, tapi okelah.

    Ampas, aku merinding pas adegan Arca diletusin. Beneran merinding. Damn. Kamu juga bisa membuat adegan2 yang penuh kengerian ini tergambarkan dengan sempurna. Suka.

    Wtf... plot twist? Sheraga itu golem? Meeeeeeen aku kaget beneran. XD

    Ah, adu mulut Baron sama Sheraga ini asyik diikutin. Aku suka pas mereka debatin prinsip masing2, sama2 berdasar soalnya. Sayangnya (atau untungnya) si Baron gak bisa dibilangin, jadi gebak gebuk lagi deh XD aku bahkan tadinya sempat terkantuk2 tapi begitu mulai adu mulut lagi pas Sheraga pura2 menyerah bikin aku melek. Prinsipnya keren. Sheraga dan Baron, dua karakter dengan latar serupa tapi berkesimpulan berbeda.

    Di akhir, kedatangan Al agak terasa aneh. Out of place dan terlalu tiba-tiba. But, okay. Alasan yang diberikan atas kedatangannya yang terlalu di belakang itu gak terlalu terkesan terpaksa.

    Entri ini bisa dibilang nyaris perfect. Kalo pun ada yg gak perfect, maka itu adalah gaya bahasa yang cenderung hanya bisa dimengerti oleh kalangan tertentu saking tingginya frekuensi penggunaan bahasa yang indah dan puitis. But it’s okay karena narasi begini adalah narasi yang kusuka.

    10/10

    ~Pencipta Kaleng Ajaib


    BalasHapus
  7. seperti biasa kosakatanya begitu luas~ saya sampe mesti buka kateglo.com buat mudeng beberapa kata ww

    hm 'kaku' mungkin bukan kata yg cocok. mungkin 'padat'? baca cerita ini harus bener2 meresapi setiap paragraf. melayap sedikit aja langsung kesasar ini siapa lagi ngapain xD

    bisa jadi anti-skimming buat yg suka baca cepet2 /dor

    lalu... di sini juga actionnya lebih banyak. kelihatannya ga ada satu oc/sub-oc pun yg gak berantem sampai titik darah penghabisan. ditambah bg/motivasi semuanya dikupas tuntas.

    bener2 cerita yg padat dan mengenyangkan~ puas banget bacanya -w-

    nilai: 10
    oc: castor flannel

    BalasHapus
  8. Diamlah kalian. Segala bentuk tulisan itu termasuk sastra.

    Rapi, enak dibaca dan ga sekedar cerita gitu aja. Di sini aku baru ngehh gimana teknik narasi yang bagus, soalnya gayaku lebih cenderung ke tell-nya sih.

    Tokoh-tokohnya aku ga ada yang kenal, tapi di sini tergambar bagus. Diksinya mantep, ngalir walau kadang tersendat kaku seperti kata mz Sam.

    9
    Jess Hutcherson

    BalasHapus
  9. Entri dengan narasi yang kaya akan penggunaan kata-kata. Walaupun terkesan kaku/formal, tapi menurut saya cocok buat pembawaan karakter Sheraga. Tiap karakter terkesan menonjol, tapi Sheraga tetap jadi fokus utama dan ini bagus. Walaupun entri ini cukup panjang dan melelahkan, tapi saya enjoy bacanya.

    Nilai dari saya 9
    OC : Catherine Bloodsworth

    BalasHapus
  10. Uh, entri Noni emang selalu indah, saat dibaca kadang suka lost, eh ini tadi apa ya ceritanya, bikin sy harus ngulang-ngulang bacanya, wkwk, tapi itu karena kelemahan di saya :')

    Saya merasa sub OC nya bahkan lebih strong karakternya dari protanya sendiri, Orim & Nadav bahkan bisa ikut sebagai OC mandiri XD

    NILAI: 9
    (Martha)

    BalasHapus
  11. Hmm... semua yang ingin kukomentari sudah dibahas di atas. Narasi puitis, tapi agak kaku. Setting tergambar dengan baik dan konflik memercik seru.

    Nilai 9~

    OC : Begalodon

    BalasHapus
  12. Wadoh. Sheraga agaknya mulai agak cerah moodnya di entri ini ya. Meski tetep ada distrust ke Zainrma. Kontras dari reaksi2nya di prelim karena melibatkan sekte sesat yang suasananya mencekam.

    Saya suka sekali liat gaya bicara Orim, Sheraga sama Nadav di sini. Keliatan banget orang 'jauh'nya. Mereka bawa bahasa petualangan dan ngegambarin dunia asalnya yang ada alkimia serta kebiasaan2 lain yang khas dari sana.

    Pas ngebandingin cara ngobrolnya sama Ru, asli kerasa beda banget. Tapi karena bawaan pribadi Ru yang eksentrik (bahkan sempet2nya ngerjain Sheraga dkk juga dia), perbedaan itu jadi kerasa wajar.

    Meski begitu, nampaknya porsi berantemnya agak dikurangi dibanding prelim ya. Kompensasinya, interaksi karakter jadi lebih kaya. Bahkan Ru sangat tergali kepribadian dan latarbelakangnya di sini. Sampe ngebahas Luna dan Hubert juga.


    9

    Pucung

    BalasHapus
  13. "Kesulitan mencerna, author?"
    "Maklumin lah, biasanya kan gue makan makanan ringan."
    -Marikh & Author

    +PROS
    +Menambah perbendaharaan kata dan memenuhi kuota adalah alasan utama membaca entri ini :D kisahnya menarik juga, sifat Sheraga dan kawan seperjalanannya tergurat jelas. Jadi inget Marikh yang Roan dan Sidya belakangan ini hanya jadi pemanis saja~

    -CONS
    -Seperti yang saya bilang waktu ngobrol sama Marikh, kesulitan mencerna kalimat jadi barrier buat membaca ini. Bahkan waktu baca prelimnya harus berusaha dua tiga kali baca sebelum akhirnya nyerah dan buka KBBI online, dan kini terulang lagi. gak papalah, sekalian memperkaya variasi kalimat~

    Titip 9 buat Sheraga, semoga sukses.

    TTD
    Dewa Arak Kolong Langit

    BalasHapus
  14. Terima kasih buat semua yang udah baca, komentar dan nilai, ataupun yang sekadar melirik :" Masukan soal narasi dan pengembangan karakternya bakal saya tampung dan terapkan di waktu mendatang :"

    Dan maaf kalau sekiranya entri saya mengandung unsur yang ... err, aneh x'D

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.