Kamis, 03 Maret 2016

[FBC] 014 - NOIDAL RAHIKA

VERSUS
FATANIR
BU MAWAR
EOPHI RASAYA
[Tantangan NV5]
oleh: Daka Prima Tanfiziah

---

Cerita Wredatama

Pada suatu hari, Noidal pernah mendengar mereka bertanya, "Kenapa kita bermimpi? Apa itu mimpi?"

Sungguh pertanyaan biasa.

Noidal langsung mendengar kalau beberapa dari mereka langsung mendapatkan variasi jawaban dari berbagai metode, sementara beberapa sisanya menghilang setelah bertanya. Mungkin menciptakan jawabannya sendiri, pikir Noidal. Sungguh tidak efektif.

Lalu satu pertanyaan muncul di benaknya.

"Mereka itu siapa?"

Lagi, sungguh pertanyaan biasa. Repetisi yang sia-sia.

Karena Noidal segera melanjutkan lelapnya setelah menyetel beker dan berkata dalam hati: tentu saja, siapa saja bisa bermimpi. Tanpa terkecuali, aku.

Dan mereka itu kita. Para pemain pentas ironi; bianglalanya ranah abstrak yang selalu siap dikejar atau mengejar.

***

"Selamat datang di mimpi campuran!" jerit seekor domba bersayap, yang juga berdiri menggunakan dua kaki belakangnya, dengan sangat antusias. Pendar halo di atas dua tanduknya yang melingkar empat kali sampai kelap-kelip seperti papan peringatan berenergi lebih. "Tolong sebutkan nama dan keperluan Anda—meeeh," lanjutnya, sambil membungkuk dan mengembik.

"Namaku, Noidal Rahika!" jawab yang ditanya, tak kalah semangat. "Dan untuk keperluanku, wahai domba-malaikat, adalah ... menciptakan mimpi yang terkontrol. Ya, itu dia. Mimpi, tapi terkontrol. Semesta di mana keadilan memiliki tempat untuk terus mencurahkan berkahnya seperti hujan di musim semi! Tapi, hey, ini mimpiku, benar? Karena kau tadi bilang, wahai domba-malaikat yang kelihatan semakin komikal di setiap detiknya, bahwa ini adalah mimpi campuran. Apa maksudnya? Mimpi yang tercampur itu seperti apa? Tunggu, apakah itu seperti horor kagetan dan drama ninja bawang gadungan di film-film spektakuler Raja Yupinto? Aku paling suka yang biru dan berlendir!"

Masih dalam posisi membungkuk penuh hormat, si domba penyambut tersenyum mengejek. Amatir, pikirnya. Lalu ia kembali menegakkan tubuh. Senyum servis lengkap dengan sikap seekor penerima tamu handal sudah kembali terpasang di penampilan dombanya. "O' Tuan Noidal Rahika yang hendak mengontrol mimpi demi keadilan," ia memulai, sopan, "mimpi campuran adalah bahasa paling sederhana untuk menjelaskan situasi kita saat ini. Tapi, mari, lewat sini. Akan saya perlihatkan langsung pada Anda, para pemilik mimpi yang lain. Mari."

Noidal mengangguk, mengikuti si domba penyambut berjalan menyusuri kabut keunguan—kabut yang bahkan Noidal sendiri tidak ingat kapan munculnya. Sejujurnya, ia bahkan tidak ingat ada di mana ia tadi ketika sedang berbicara dengan si domba penyambut.

Namanya juga mimpi, yah ....

***

"Wow!"

Keluar dari kabut keunguan, Noidal tahu-tahu sudah berada di tepi perosotan raksasa berwarna merah api. Celingak-celinguk, ia juga mendapati sekelilingnya tampak begitu luas, berwarna, dan ramai. Kabar baiknya, sekarang ia bisa mengingat semuanya.

Semuanya tampak nyata, ada, dan sadar.

Udara seolah ditempeli milyaran titik berinterval, variasi garis, dan warna-warna. Dan semua unsur itu tampak bernapas, bergerak. Mereka berbaur tanpa membentuk; mereka menciptakan kesan misterius ketika diperhatikan. Seolah ada sesuatu yang begitu penting, yang selama ini didamba sekaligus dicari, tercetak dan tersirat ke dalam bentuk-bentuk ganjil itu.

"Mari." Si domba penyambut mengulurkan tangannya yang pendek ke depan, mempersilakan Noidal untuk meluncur dari perosotan lebih dulu.

Noidal melakukannya. Ia merosot sambil memekik girang.

Jatuh ke bawah. Sangat-sangat cepat.

Turunannya begitu curam dan hampir seperti sedang terjun bebas saja. Tapi bokong Noidal tetap menempel di permukaan perosotan yang dingin sehingga tidak bisa dikatakan demikian. Dan ketika ia tiba di ujungnya, sensasinya tidak seperti baru mendarat di dasar. Tapi muncul di permukaan.

Langit di sekitarnya masih sama. Ada titik, garis, warna, dan bidang-bidang aneh. Hanya saja sekarang lebih ramai dan beraroma; manis, pedas, asam, asin, kadang pahit. Semua rasa tak kasatmata itu tersebar acak di sudut-sudut.

Jam kotak raksasa berwarna ungu cerah menjulang di hadapan Noidal. Hanya melihatnya saja langsung membuat Noidal kelaparan. Lalu di depan jam kotak itu, tiga sosok asing berdiri membelakanginya.

Ketiganya tengah mendongak ke satu figur yang sama. Jam kotak raksasa.

Pendar ajaib terselip di bawah kaki masing-masing ketiga sosok itu. Bayangan, ya, itu bayangan, pikir Noidal. Tapi bayangan mereka tidak sama, tidak lazim. Mengabaikan perspektif gelap dan terang, semua bayangan berpendar, dan bahkan menari. Bukan hitam, tapi terisi dengan berbagai hal yang bercerita. Kisah-kisah sedih, penuh perjuangan, tawa bahagia, dan tujuan.

Bayangan ketiga sosok itu seperti pantulan tiga dunia yang berbeda.

Noidal menelan ludah, ternyata ia juga memiliki bayangan serupa di bawah kakinya. Dan ketika melihatnya, ia langsung tahu bayangan itu memang memantulkan dunia.

Empat dunia masing-masing, terselip di bawah kaki mereka.

"Meeeh! Para peserta, mohon perhatiannya!" Suara si domba penyambut terdengar lantang. Tak terkecuali Noidal, semuanya menoleh ke belakang. "Demi menghormati mimpi-mimpi," lanjutnya, "saya bersujud (domba itu bersujud), bermunajat! Dan dengan ini, saya akan memulai kompetisi pertarungan umum edisi tiga puluh dua!"

***

"Cebol."

"Keriting."

Noidal dan pemuda bernama Fatanir pun jabat tangan, saling berkenalan tadi. Sebelumnya Noidal juga sudah berkenalan tanpa bersentuhan tangan, dengan sosok berbusana tertutup, seorang pengajar, bernama Kusumawardani ("Panggil saya Bu Mawar saja, Dik Noidal," kata sang Guru sambil tersenyum). Lalu berkenalan secara tidak langsung, karena yang diajak kenalan ternyata sedang tidur sambil berdiri, dengan sesosok Myrd bernama Eophi Rasaya—Bu Mawar yang akhirnya kasih tahu nama Myrd berambut hijau itu.

Sementara si domba penyambut, satwa fantasi itu masih bersujud sambil menggumamkan doa-doa berbahasa asing. Mengabaikan Noidal, Fata (panggilan Fatanir), Bu Mawar, dan Eophi (panggilan Eophi Rasaya, jelas).

"Hem-hem, jadi keknya kita berempat bakalan diadu domba, yak? Cwape de~," kata Fata sambil mengupil.

Noidal ikut mendeham, membahasakan tubuhnya sewibawa mungkin. Lalu: "Adu domba itu tidak baik, Fatanir. Secara teori, praktik, atau harfiah," ujarnya dengan suara dalam yang sengaja semakin diperdalam. "Kita tidak akan diadu domba atau menonton domba yang saling beradu. Kita sedang berada di alam mimpi. Kita harus melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat. Seperti ... menciptakan penakar super simetri untuk es krim? Kita tidak pernah tahu kapan kuota es krim yang tidak rata, terlalu banyak atau terlalu sedikit, bisa menciptakan perang besar! Benar? Setuju? Ayo latih keadilan kita selagi kita berada di tanah yang selalu bisa diperbaiki tanpa perlu banyak tetek bengek birokrasi. Tanah di mana keadilan bisa dijual secara cuma-cuma!"

Fata mengibas jambul keritingnya ketika ia sedikit menunduk untuk menatap Noidal menggunakan tatapan loe-abis-ngisep-daun-apaan-seh-cebol?

Noidal Rahika memang makhluk paling pendek di antara keempat makhluk yang ada. Ia mengenakan topi runcing, jubah kelewat besar, dan sandal jepit. Semuanya berwarna hitam. Hal itu mungkin juga menjadikannya makhluk berbusana paling aneh di antara yang lainnya. Belum lagi poni rambutnya yang cukup panjang sampai-sampai kedua matanya tertutup. Lalu yang terakhir, yang paling ganjil, adalah tas ransel putihnya yang berbentuk siput.

Mereka lanjut mengobrol ringan. Sampai jam kotak raksasa di hadapan mereka tiba-tiba berbunyi.

Perhatian semuanya segera teralih ke satu suara itu. Nyanyian, tapi tanpa nada yang biasa. Yang familier di telinga. Nyanyian jam kotak raksasa bernada nonfonem suprasegmental, sehingga sulit dimengerti tapi tetap bisa dinikmati. Noidal melihat Eophi bangun, mengucek mata; Fata bersedekap, terlihat cuek dan keren; Bu Mawar menyipitkan mata ke arah jam, ekspresinya lucu.

"Baiklah, meeeh, para peserta sekalian, mohon perhatiannya sekali lagi," kata si domba penyambut. Semua menoleh. Melihat, domba itu sudah berdiri tegak lagi; bergantian memberikan tatapan sopan-terlatih pada keempat makhluk di depannya. "Sesi perkenalan sudah selesai. Sekarang, Fatanir, Kusumawardani, Eophi Rasaya, dan Noidal Rahika, silakan pilih dengan metode apa kalian akan bertarung. Semua opsi ada di jam besar, siapa yang ingin menjadi penentu? Hm?" Ia menaikkan alis dombanya. "Silakan putuskan lalu maju ke depan jam."

"Tunggu, tunggu!" seru Noidal. "Jadi kita benar-benar akan diadu domba? Oleh domba? Tapi apa-apaan ini? Kita berada di tempat yang salah untuk bertarung! Kita tidak punya alasan untuk bertar—"

"Tuan Domba," kata Bu Mawar, tegas, "tolong jangan seenaknya suruh kita bertarung, dong! Lagian saya enggak punya banyak waktu, saya harus bangun. Murid-murid say—"

"Vegetarian hanyir!" umpat Fata yang tiba-tiba sudah memegang dua pistol. "Udah ketebak, seh. Tapi tetep ae, nyuruh gue berantem, lu sape, hah? Mau dibikin bolong itu torped—"

"Ah! Selamat! Meeeh!" embik si domba penyambut, lantang dan riang gembira. "Metode yang akan dipakai adalah: pertarungan beda sendiri, dengan sistem satu babak. Terima kasih, Eophi Rasaya, atas kesediaannya menjadi penentu! Terima kasih!"

"Hah?"

Noidal, Fata, dan Bu Mawar, langsung menoleh berbarengan ke arah jam kotak besar yang masih bernyanyi. Di depannya, ada Eophi yang sedang menguap lebar-lebar. Lalu, mungkin menyadari semua mata tengah tertuju ke arahnya, ia mengatakan, "... ng, maaf. Nggak bilang-bilang. Tapi lebih cepat lebih baik, kan? Ayo ... beresin ini. Hoam, harus buru-buru, biar bisa lanjut tidur ... ah, Hel sama yang lainnya mana, ya? Ng ...."

"De-demi Vishaz ...," gumam Noidal, gemetar. "D-dia, dia i-ingin tidur ketika sedang tidur? Misteri paradoks macam apa ini? Apa?! Apa ini boleh dibiarkan? Apa ini tidak melanggar keseimbangan? Hukum keadi—"

"Bongkrek, lha!" Fata membanting dua pistolnya. "Bocah beler bolot! Woey, kambing, gue ngundurin diri!"

"Oh, maaf, Fatanir, tidak bisa!" Si domba penyambut membentangkan kedua tangan pendeknya, dramatis. Sayapnya mengepak; halo di atas kepalanya bersinar terang. "Karena sungguh, kalian adalah para pemimpi pilihan, dan ini adalah jalan takdir kalian!" jelasnya. "Ini, adalah kesempatan yang kalian nantikan. Percayalah, pada keputusan sang Ratu, beliau lebih tahu. Mana yang terbaik ... mimpi-mimpi ... semuanya!"

Bu Mawar geleng-geleng kepala sambil buang napas lelah.

"Masya Allah, domba itu kok vulgar banget posenya."

***

Kompetisi pertarungan umum edisi tiga puluh dua, dimulai.

Jauh di sebuah alam mimpi campuran. Noidal, Fata, Bu Mawar, dan Eophi tiba-tiba terpaksa harus saling bertarung. Untuk: "Bayangkan saja, meeeh, luasnya mimpi kalian! Semua yang sedang diimpikan, terlupakan, atau masih berada di masa depan," jelas si domba penyambut. "Dan bayangkan. Mungkin saja, kan, kalau sang pemenang nanti bisa, atau berhak, mengambil sebagian mimpi itu, yang paling didambakan, lalu membawanya ke alam nyata? Meeehzing! Berusahalah untuk menang, para peserta sekalian!"

Ya. Keempat makhluk itu akan saling bertarung, demi sekeping mimpi yang bisa dibawa pulang.

Dengan konsekuensi: "Meeeh! Mohon jangan terlalu dipikirkan dulu. Tapi agar semuanya jelas saja, bagi peserta yang kalah nanti, kita akan menyiapkan hadiah khusus lainnya. Sebut saja, tiket emas untuk mengarungi mimpi-mimpi. Yang gugur berhak untuk tetap berada di sini, di mana-mana, terpenjara tak berdaya di dalam berbagai angan dan abstraksi sampai kebosanan dan kematian menjemputnya, meeeh! Jadi, jangan terlalu dipikirkan. Tapi berjuanglah agar tidak menjadi si kalah! Tidak ada tekanan sama sekali, wahai peserta sekalian!"

Begitulah. Pada penjelasan yang lebih sederhana, mereka akan bertarung demi sebuah mimpi dan jalan keluar darinya.

Dan tantangan pada pertarungan beda sendiri ini adalah: "Kejar-kejaran, meeeh!"

Kejar-kejaran.

Menggunakan peraturan tambahan: "Halo. Kalian harus merebut halo dari peserta lain dengan cara menyentuhnya. Hanya menyentuh peserta pemilik halo sudah cukup, meski segala cara diperbolehkan—memukulnya, membakarnya, memotongnya, pilih saja. Lalu, setelah mendapatkan halo, usahakan sebaik mungkin untuk mempertahankannya sampai waktu yang ditentukan. Simpel, kan, meeeh? Rebut halo, pertahankan. Oh, ya, jangan sampai terkena hujan cat atau kalian akan dikejar oleh para pemburu cinta. Sisanya silakan pelajari secara langsung. Selamat berjuang, para pemimpi! Saya pamit undur diri. Sampai berjumpa lagi!"

Dalam satu kedipan mata, si domba penyambut, jam kotak raksasa, pemandangan nirmana, menghilang. Dan keempat peserta tahu-tahu sudah berdiri saling berjauhan di tempat ajaib yang baru.

Di atas sebuah mulut kolosal yang bergerak secara konstan; gigi-giginya yang sebesar gedung saling bertabrakan ketika mulut mengatup, menciptakan guncangan hebat. Di udaranya, melayang-layang semacam dua spirit flamingo sewarna pelangi yang sesekali saling bertabrakan lalu menurunkan rintik-rintik hujan cat. Makhluk mengerikan—para pemburu cinta—bermunculan dari sela-sela gigi ketika hujan cat itu turun, mencari jejak-jejak cat yang berceceran di seluruh area mulut kemudian memakannya. Para pemburu cinta memiliki wujud serupa mumi. Mumi yang kedua tangannya menyilang terbelenggu di depan dada. Mumi tanpa mata, hidung, dan telinga, tapi memiliki mulut yang sangat besar sampai-sampai seluruh wajah tertutup ketika ia menganga.

"Baiklah." Noidal mengangguk. "Aku mengerti. Pertarungan ini—hm, aku tidak bisa lari dari pertarungan ini. Atau mencegahnya. Ya. Sempurna. Ketidakadilan ini harus menemukan jalan keadilan. Ya, ya. Ayo mulai!"

Udara di sekeliling mulut kolosal berubah menjadi pemandangan bercahaya, berkeping-keping, nyaris transparan. Pemandangan sebuah dunia. Dunia Eophi Rasaya, Myrdial, karena pada saat ini halo berada di atas kepalanya. Noidal tersenyum, berlari sekuat tenaga ke arah Myrd berambut hijau itu. Sebuah kitab kuno muncul di genggaman tangan kirinya, lalu sebuah timbangan putih di tangan kanannya. "Wow!" ia menggumam, terkesima. "Khadanaz, Nerali? Ternyata alam ini cukup baik untuk membawakan kedua senjataku! Ha-ha!"

Di arah yang lain, Noidal melihat Fata menciptakan ratusan misil yang melayang-layang; Bu Mawar menaiki harimau putih; Eophi Rasaya membentengi dirinya sendiri dengan peralatan tidur dan naga merah kecil.

"Oh! Jadi itu senjata dan kemampuan mereka? Cukup adil!" pekik Noidal. "Ini menjadi semakin menarik saja!"

***

Fatanir

Ratusan misil dilayangkan Fata ke arah Eophi.

"Mampooos ajaaa kaleaaan!" jerit si Kribo, gusar setengah mati.

Karena Fata, pemuda luar biasa berjambul keriting, tidak pernah sekesal ini di sepanjang hidupnya. Ia ingat sedikit, beberapa saat lalu, kalau ia sedang tidur seperti biasa. Ia memimpikan planet-planet dan bahkan semesta yang hancur oleh tinjunya, ia memimpikan pertarungan terdahsyat melawan separuh takdirnya. Kegelapan, dan cahaya, berperang tanpa batas waktu sampai titik final akhirnya hanya menyisakan kekosongan, tanda tanya besar, dan air mata kesendirian.

Tapi apa itu semua hanya mimpi? Atau memang benar-benar terjadi? Fata belum yakin. Satu-satunya hal yang ia yakini dan sadari adalah bahwa ia tertidur kemudian jatuh ke dalam alam sialan ini. Alam mimpi. Ia tersesat, kemudian dengan seenaknya dijadikan bahan aduan oleh seekor domba sinting yang memakai busana malaikat.

Misil pertama meledak berdentam-dentam, memicu serangkaian ledakan dari misil-misil lainnya. Api kehancuran meninggi, melebar, bertumpuk-tumpuk, mengurung sang target yang normalnya pasti langsung terurai menjadi serpihan abu tak bernyawa.

"Mampooos, njiiir! Mampooos—eh?" Fata mengusap pundaknya. "Cairan apaan, neh? Cat pelangi? Doh, wadoooh, gawat!"

Ashura! kata Fata dalam hati, coba salin imajinasi gue, terus materialisasikan, cepetan, yak!

Sesuatu tampak berpendar di balik kemeja Fata, dan itu adalah jantungnya. Ashura.

Afirmatif, lapornya seketika.

Terdengar suara dengungan ketika kulit Fata menyerpih menjadi serbuk-serbuk emas, dan setelahnya, zirah robot tercanggih tiba-tiba saja sudah tercipta, siap sedia, di depan mata.

"Ntap, lah!"

***

Bu Mawar

"Kribo gila!" Bu Mawar berteriak sekuat tenaga meski suaranya langsung lenyap tertelan gemuruh suara ledakan.

Harimau putih tunggangannya menyahut panik, "Ibu enggak kenapa-kenapa, kan, Bu?!"

"Ibu baik-baik saja, Sun!"

Harimau putih itu bernama Sunoto Mardika Lie. Salah satu murid Bu Mawar yang memiliki kemampuan istimewa. Tapi sungguh, kehadirannya di alam celaka ini merupakan hal terakhir yang Bu Mawar inginkan. Karena di dalam mimpi atau di atas kenyataan sana, kehilangan tetaplah kehilangan.

Karena murid adalah segalanya bagi guru yang baik. Dan bagi Bu Mawar, tidak ada hal yang bisa membuatnya terluka lebih dari itu; melihat murid-muridnya gagal, tersesat, celaka, ketika mereka masih berada di dalam jangkauannya.

"Ibu tenang aja, oke?" kata Sunoto. "Aku bakal jagain Ibu."

Bu Mawar geleng-geleng kepala. "Ibu yang bakal jagain kamu."

Ledakan masih meraung di depan sana, saat ini lapisan asap terluarnya bahkan mulai membentuk jamur raksasa. Tapi di antara bising itu, di antara dorongan angin yang menekan dan seolah membakar kulit, Bu Mawar malah fokus memikirkan sesuatu yang lain sambil memperhatikan tangan kanannya.

Jauh di dalam ingatan, atau mimpi yang lain? Bu Mawar merasa pernah pergi ke tempat di mana data-data digital menjadi pilar kehidupan. Di sana ia berjuang, di sana pula ia mendapat kekuatan baru. Tangan besi. Jadi, jika Sunoto bisa muncul dengan tiba-tiba untuk membantunya bertarung di sini, mungkinkah tangan besi itu juga bisa mewujud sekarang?

Bu Mawar terkesiap. Bagian lengan kanan jaketnya tercabik-cabik. Kepingan metal merambat dari bahu lalu turun seperti deretan domino sampai ke ujung jari.

Sunoto menoleh setengah wajah ke belakang sambil menggeram tak percaya. "Tangan kanan Ibu jadi tangan robot?" tanyanya.

Ekspresi Bu Mawar sama bingungnya, meski ada kelegaan juga di sana. "Ya," kata sang Guru. "Lumayan, kan, Sun? Buat jaga-jaga—hah? Ini apa? Air? Hujan, ya? Kok warna-warni?"

"Kenapa, Bu? Ah, iya, hujan berwarna! Pelanginya lagi bocor kali, Bu!"

Di atas mereka, tampak sisa pemandangan dari dua spirit flamingo yang beberapa saat lalu bertabrakan. Tumbukan kedua makhluk cantik itu menghasilkan tetes-tetes warna pelangi yang sangat indah. Bu Mawar yang pada saat ini berada di wilayah terluar dari permukaan bibir si mulut kolosal, memperhatikan tetes-tetes pelangi mewarnai asap ledakan di depan sana; mewarnai apa saja yang tersentuh.

Termasuk tangan besinya.

"RAKSASA!" Sunoto menjerit tiba-tiba, tubuh harimaunya bergerak-gerak gelisah sambil kepalanya terus mendongak, memperhatikan sesosok makhluk putih besar yang baru saja keluar dari puncak ledakan misil. "Parah! Kayaknya dia terbang ke arah kita, Bu! Raksasa itu terbang ke sini! Pegangan, Bu! Kita lari!"

Bu Mawar yang sependapat hanya bisa menelan ludah, dan menyaksikan; ketika raksasa putih itu menukik, melesat, mengabur karena gerakannya terlalu cepat untuk diikuti mata manusia. Telapak tangannya yang besar turun menyapu, bersiap meraup sang Guru dan muridnya sekaligus.

***

Eophi Rasaya

"... ini bakalan gawat. Karena, ng ... kita juga kena cipratan cat." Eophi mendongak. Rintik-rintik penuh warna turun membasahi wajahnya. "Kita bisa dimakan monster, terus mati di alam mimpi. Tunggu ... hm, mati di dunia mimpi, ya? Kayaknya bagus juga, sih, untukku."

Beberapa saat lalu, akibat tabrakan dari dua spirit flamingo di atas sana, terciptalah hujan cat pelangi. Hujan yang membasahi, sekaligus mewarnai, sebagian besar permukaan mulut kolosal.

Eophi masih cukup ingat perkataan si domba penyambut tentang hujan ini; tentang para pemburu cinta yang akan keluar untuk memakan jejak-jejak cat itu setelahnya.

"Tenanglah, Phi, kita sudah kembali bersama," kata kasur putih tunggangannya, penuh perhatian. "Kita akan melewati ini bersama-sama."

"Ya ... benar. Tapi, kan—"

"Dengar, idiot!" si guling langsung memotong, setengah membentak, "Dengar! Kita sekarang sudah kembali bersama! Jadi tolong kurangi rasa pesimis konyol itu!"

"Ya! Y-ya! Ki-kita pasti b-bisa bertahan!" selimutnya menambahkan, suaranya dipenuhi keyakinan palsu karena sebenarnya ia terlihat sangat gugup dan ketakutan. "Bersama-sama, bi-bisa!"

Beljuanglah, Phi! Kini sebentuk suara cadel menggema langsung di kepala Eophi. Suara milik Hel, naga merah kecil yang sedang terbang memutar, tampak senang, dan bebas.

"... tentu. Hey, aku memang nggak pesimis, kok. Cuma ... tadi itu, sedikit prediksi?"

Saat ini, Eophi sedang berdiri cukup jauh di luar jangkauan api ledakan yang diciptakan ratusan misil Fata. Tepatnya, di atas salah satu gigi depan si mulut kolosal—faktor keberuntungan, karena bukannya terjebak dan hangus terpanggang di tempatnya semula, ledakan malah mendorongnya menjauh sampai ke sini.

Eophi juga masih terlindung di dalam benteng cahaya; pertahanan sihir hasil transformasi bantal miliknya. Sementara peralatan tidur lainnya sedang sibuk membahas strategi lanjutan sambil saling melempar beberapa kalimat motivasi yang mengejek.

Peralatan tidur. Selain Hel si naga merah kecil, semuanya memang merupakan peralatan tidur. Kasur, guling, selimut, dan bantal. Keempat benda yang bisa bicara, melayang, berekspresi, dan bertransformasi menjadi media pelindung itu merupakan senjata utama Eophi. Mereka tadi muncul begitu saja ketika babak pertama dimulai.

Tidak banyak yang dipertanyakan atau dipikirkan soal kemunculan mereka. Karena berada di alam mimpi sudah cukup memberi Eophi alasan untuk tidak terlalu mempertanyakan hal-hal rumit.

Apa saja bisa terjadi di dalam mimpi.

Masalahnya sekarang adalah bagaimana ia bisa terus bertahan di dalamnya. Setidaknya sampai semua tantangan selesai.

"Bagaimana kalau ... jadi badut?" usul Eophi. "Lebih gampang lari kalau jadi badut, kan?" ia melanjutkan, sambil menunjuk lingkaran terang di atas kepalanya. "Selama halo di atas kepalaku ini tetap berada di atas kepalaku sampai waktu yang ditentukan, kita pasti baik-baik saja. Hm, hm, hm ...? Bagaimana?"

Menjadi badut membutuhkan banyak risiko, karena untuk mengoptimalkannya, Eophi membutuhkan lebih dari sekadar sihir Myrd untuk berhasil; ia harus melebur seluruh inti sihir Myrd dalam peralatan tidur dengan energi milik Hel dan kekuatan ingatan di dalam kalung botolnya. Belum lagi efek yang muncul beberapa saat setelah kemampuan itu selesai digunakan, yaitu hilangnya kesadaran dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Jadi jika benar-benar tidak mendesak, peralatan tidurnya tidak akan pernah mau mengizinkan perubahan itu.

"Bukankah setelah pertarungan ini selesai, kita masih harus keluar dari sini, Phi?" tanya si kasur. "Pikirkan. Jika kesadaranmu sampai hilang nanti, bagaimana kita bisa keluar? Bagaimana jika kita didiskualifikasi? Dengan cara apa kita akan melewatinya?"

"... terus hadapi dan jangan pernah menyerah?" kata Eophi sambil mengangkat bahu.

"Oh, jadi ada yang bisa terus bertarung meski dia tidak sadarkan diri," gumam si guling, sarkastis. "Pemikiran jenius, IDIOT!"

"Um, memang ada, kok. Manusia bumi banyak kasih contoh soal itu." Eophi menghitung dengan jumlah jari di tangannya. "Misalnya. Satu, mereka yang sekarat di rumah sakit, koma, tapi tetap berjuang untuk sembuh. Terus yang kedua itu ... buruh? Ya. Terus ... ketiga itu mungkin para mahasiswa. Ada juga mereka yang dikutuk punya porsi cinta buta sama—"

"Tapi, idiot, itu semua enggak ada hubungannya sama situasi kita saat INI!"

Kamu gak nyambung, Phi!

"Ma-mahasiswa? K-kok bisa?"

"Mungkin ada jalan keluar lain, Phi?"

"... nggak, cuma jadi bad—"

Perdebatan mereka terputus.

Tiba-tiba. Tertelan oleh bunyi gemuruh yang sangat mengerikan, yang berasal dari dalam sela-sela gigi serupa tebing curam dan gelap.

Gemuruh itu membesar dan terus membesar, dan para pemburu cinta pun bermunculan.

Makhluk-makhluk serupa mumi itu berlompatan keluar dari celah gigi sambil terus mendengking. Tanpa jeda, mereka langsung berlari ke segala arah. Merobek, mencabik, mengisap, setiap noda-noda pelangi yang tercecer di permukaan mulut kolosal.

"... hm, ratusan? Bukan, itu ribuan. Ya ... jadi ada ribuan mumi yang hobinya sedotin tumpahan cat pelangi. Dan mukaku sekarang kayak baru ketumpahan darah unicorn." Eophi menatap peralatan tidurnya satu per satu. "Intinya kita nggak punya banyak waktu. Aku harus berubah jadi badut. Mereka terlalu banyak buat dilawan. Kita ... cuma bisa lari dulu sekarang. Jadi aku mohon kalian ngerti."

Karena sadar Eophi mungkin memang benar soal beberapa hal pada akhirnya, dengan sangat berat hati, peralatan tidurnya menyetujui perubahan itu.

Setelah benteng cahaya pecah—kembali menjadi bantal—diterobos beberapa mumi yang hendak memakan noda-noda pelangi di dalamnya, Eophi langsung berubah menjadi si Badut.

***

Noidal Rahika

"Turunkan kami sekarang juga! Turunkan!"

Noidal dalam wujud raksasa putihnya bimbang. Ia tidak mau menurunkan Bu Mawar dan harimau putihnya karena di bawah sana para mumi masih mengamuk, membabi buta, mencari noda-noda pelangi. Tapi perintah absolut yang terkandung di dalam jeritan barusan memiliki kemampuan aneh, tak terbantahkan. Hasilnya, jeritan Bu Mawar barusan berhasil membuat Noidal menurunkan sang Guru dan harimau putihnya langsung ke tengah-tengah kerumunan monster.

"Aaah! Angkat, tolong angkat kami lagi! Sekarang!" pekik Bu Mawar setelah beberapa mumi berebut untuk menggigit tangan besinya yang berlumuran cat pelangi. "Angkat kami sekarang, Tuan Raksasa! Tolong!"

Sambil memutar bola mata, Noidal kembali meraup Bu Mawar lengkap dengan harimau putihnya. Lalu ia melompat tinggi-tinggi, hinggap di salah satu spirit flamingo yang mulai pulih dan sudah kembali terbang memutari mulut kolosal.

"Terima kasih," kata Bu Mawar, terengah-engah. "Terima kasih, Tuan Raksasa."

"Sama-sama, Bu Mawar," sahut Noidal. "Silakan tenang dulu."

"Eh, kok suaranya Tuan Raksasa mirip sama suaranya Dik Noidal?"

"Ibu kenal sama raksasa putih ini?" timpal Sunoto si harimau putih.

"Suaranya doang, Sun."

Noidal si raksasa putih tersenyum lebar. "Bu Mawar, saya memang Noidal." Dan berlangsunglah penjelasan panjang lebar soal kekuatan khususnya. Tentang kemampuannya untuk berubah wujud menjadi apa saja; tentang kitab kunonya yang bernama Khadanaz, timbangan putihnya yang bernama Nerali; tentang statusnya di Kotbulo; tentang topik-topik perdamaian yang kurang penting dibahas sekarang sehingga Bu Mawar langsung menyuruhnya untuk berhenti bicara.

"Jadi," kata Sunoto, "kenapa kamu selamatin guru saya, hah?"

"Sun! Enggak boleh gitu!"

"Bu, dia itu saingan Ibu di pertarungan ini, kan? Iya, kan? Kalau iya, dia pasti selamatin Ibu karena punya tujuan tertentu! Di film-film biasanya kayak gitu, Bu! Percaya sama aku."

Bu Mawar diam sebentar. "Apa benar begitu, Dik Noidal?"

Noidal si raksasa putih menghela napas panjang, mengembuskannya pelan-pelan. Ekspresinya terluka. "Saya hanya melakukan apa yang akan dilakukan oleh makhluk-makhluk adil lainnya pada situasi serupa," ujarnya. Seulas senyum sendu tersungging kaku. Setelah mendeham, ia melanjutkan, "Jadi tadi saya melihat tangan besi Bu Mawar berganti warna, dan asumsi saya hanya satu: Bu Mawar telah dinodai pelangi. Saya langsung ingat penjelasan domba-malaikat seputar konsekuensi untuk mereka yang ternodai oleh hujan pelangi. Mereka akan dikejar oleh para pemburu cinta. Lalu ... yah, lihat sendiri jumlah mereka. Bu Mawar dan harimau putih lucunya, melawan sekitar seribu monster sekaligus? Itu tidak adil. Hati saya tidak bisa menerimanya. Saya merasa harus selalu menyelamatkan mereka yang bernapas di sisi ketidakadilan, dan di sinilah saya sekarang."

Kedua mata Bu Mawar kontan berkaca-kaca, ia tutupi mulutnya dengan tangan organik sementara tangan besinya menjitak kepala harimau Sunoto. "Sun, ayo minta maaf sama Dik Noidal."

Sunoto meringis. "Iya, maaf. Tapi tadi dia enggak keren sama sekali. Kayak lagi ngobrol sama kakek-kakek! Napasnya juga bau ikan," tambahnya, nyaris berbisik.

"Ibu setuju, sih," Bu Mawar juga berbisik. "Tapi yang penting dia tulus, Sun."

"Saya maafkan!" kata Noidal, lantang dan senang.

***

Dari atas salah satu spirit flamingo, Noidal yang sudah kembali berubah ke wujudnya semula—sosok pendek berbusana serba hitam, bertas ransel siput—memantau situasi di permukaan mulut kolosal.

Terlihat, para mumi yang terus membanjir dari sela-sela gigi. Menyebar, menciptakan keributan.

"Sekarang kita ngapain, Bu?" tanya Sunoto.

Jawaban Bu Mawar, "Kita harus cari Myrd berambut hijau bermata sayu, namanya Eophi Rasaya. Soalnya halo yang jadi target utama di pertarungan ini ada di atas kepala dia."

"Oh, lihat! Lihat sekeliling!" seru Noidal, liar. "Pemandangan pada kepingan-kepingan latar berubah! Fatanir pasti telah merebut halo dari Eophi Rasaya!"

Bu Mawar dan Sunoto langsung celingak-celinguk.

Pemandangan di sekitar mereka, yang terpecah menjadi kepingan-kepingan setengah transparan, memang berubah. Beralih, dari Myrdial dunianya Eophi, ke bumi tempat tinggal Fata. Terlihat bangunan besar dan banyak sekali anak-anak kecil, tumpukan sampah, bengkel, dan berbagai kehidupan monoton.

"Itu dia! Itu mereka!" Noidal menunjuk dua sosok yang sedang bergerak dengan sangat cepat di sepanjang bagian gigi si mulut kolosal. Eophi dan Fata. Keduanya tampak susah payah menghindari kejaran para pemburu cinta. "Argh!" Noidal menggeram gemas. "Sistem di babak ini benar-benar tidak adil! Jumlah para monster itu pasti sudah sampai ratusan ribu banyaknya! Tunggulah, Fatanir, Eophi Rasaya, keadilan akan segera mendarat!"

Dan, Noidal pun melompat begitu saja dari atas spirit flamingo.

Meninggalkan Bu Mawar dan Sunoto yang tercengang, tak sempat mengatakan apa-apa.

***

"Evanesma!" seru Noidal.

Udara seketika membias, berubah menjadi gumpalan-gumpalan cahaya yang kemudian berubah lagi menjadi telapak tangan raksasa. Puluhan telapak itu melesat seperti meteor, menerjang sebagian kerumunan mumi yang mengejar Fata dan Eophi; lalu semuanya naik lagi ke udara dan melesat lagi, menerjang lagi.

Pukulan beruntun yang sangat dahsyat, bergerak mengikuti pergerakan Noidal yang saat ini telah berubah menjadi seekor burung putih besar.

"Kalian berdua adalah Fatanir dan Eophi Rasaya, benar?" kata Noidal ketika akhirnya ia berhasil terbang di atas kepala Fata dan Eophi. "Kenapa penampilan kalian berubah? Apa gigitan para monster itu yang mengubah kalian? Apa itu virus yang menular?"

Masih tetap sambil berlari, Fata dan Eophi mendongak bersamaan ke si unggas aneh.

"Ente burung siapa, heh?!" jerit Fata, sebal.

"... apa yang diinginkan burung itu, ya? Jagung?" gumam Eophi.

"Oh! Ini saya, Noidal Rahika! Saya bisa berubah wujud, dan saya juga bisa memanipulasi cahaya. Rentetan serangan telapak tangan besar itu adalah hasil perbuatan saya. Sekarang giliran kalian berdua yang menjawab, oke? Apa benar kalian ini Fatanir dan Eophi Rasaya? Kalian berdua mirip dengan mereka!"

Fata geleng-geleng malas, kembali fokus melihat ke depan, dan menambah kecepatan. Sementara Eophi masih mendongak, melamun memperhatikan si burung putih besar.

Ketiganya tidak saling mengenali, karena penampilan ketiganya berubah drastis.

Noidal menjadi unggas albino yang sangat bongsor.

Fata, untuk menambah mobilitas dan pertahanannya ketika para pemburu cinta bermunculan, masuk ke zirah robot yang ia ciptakan dalam waktu tiga detik saja. Jadi sekarang ia terlihat seperti robot modern yang kokoh, besar, keren, berwarna keemasan, serta memiliki jambul keriting yang sama persis seperti penciptanya.

Sementara Eophi, Myrd berambut hijau itu kini terlihat seperti badut berambut gondrong. Ia menunggangi bola sirkus yang memantul-mantul cepat. Ia juga memiliki tombak hitam yang tersampir di punggung dan pedang berantai di kedua tangannya.

"Saya yakin kalian itu adalah mereka. Fatanir dan Eophi Rasaya!" seru Noidal. "Jadi tolong dengarkan saya. Saya punya satu cara ampuh untuk menyudahi ketidakadilan ini!"

"Burung besar yang punya ide? Hm ... menarik," gumam Eophi.

Fata tidak mengatakan apa-apa.

"Begini," lanjut Noidal, "para monster di belakang kita ini bermunculan dari dalam sela-sela gigi, kan? Hanya dari sana, kan? Ya! Jadi sekarang, untuk menghentikan tingkat kelahiran mereka yang sangat kelewat subur itu, kita hanya perlu melakukan ... sudah jelas: penghancuran total pada semua gigi di tempat ini! Kalian setuju?"

Tidak ada respons.

Eophi hanya melamun. Fata bungkam.

Jeda keheningan di antara mereka bertiga diisi oleh suara-suara hantaman telapak tangan raksasa ciptaan Noidal, dengkingan para mumi, pantulan bola sirkus Eophi, dan dengung lembut mesin zirah robot Fata.

"Oke," kata Fata, pelan.

Noidal terbang semakin rendah. "Apa?" tanyanya.

"Tadi gue bilang: oke, burung budek!"

"... ya. Ayo pakai cara si burung," Eophi menimpali. "Genosida."

"Oh, oh! Kalian setuju? Bagus! Sangat bagus! Ayo mulai, wahai robot berjambul dan badut gondrong! Kita hancurkan para monster itu sampai ke akar, sehingga tidak ada lagi aksi keroyokan tak bermoral!" Noidal memutar. Paruh burungnya kini menghadap sisa-sisa kerumunan mumi yang masih mengejar. "BALIK BADAN!" kaoknya penuh semangat. "Nah, sementara saya menuturkan detail rencana penghancuran gigi, bagaimana kalau kita kasih mereka serangan kombinasi buat pemanasan? SIAP TEMBAK!"

Eophi balik badan lalu membuat bola sirkusnya mengerem. "Wah ...," katanya, "para pemburu cinta itu kayaknya makin banyak dan banyak dan banyak dan ... oke cukup—banyak."

"Dikit info, neh," kata Fata sambil membuat robotnya salto dengan sangat keren ketika balik badan; beberapa meriam tahu-tahu sudah melayang di sekitar pundaknya ketika ia mendarat. "Material di tempat ini kaga bisa diancurin. Tembakan misil ane aja tadi kaga bikin goresan sama sekali."

"Ya, saya mengerti! Sepertinya materi luar tidak bisa menghancurkan apa yang sudah berada di alam ini!" Noidal mengepak-ngepakkan sayapnya, membuat udara di sekitarnya kembali membias. "Oleh karena itulah, hanya saya yang bisa melakukannya. Memanfaatkan materi alam ini, menjadikannya senjata. Dan kalian berdua, robot berjambul dan badut gondrong, pastikan saja tidak ada yang mengganggu saya nantinya."

"Heh, songong juga lo!"

"... tipikal burung."

Noidal tertawa. "Ayo mulai! Panaskan! Tembak! TEMBAK!"

Bersebelahan, berbarengan, ketiganya meledakkan kemampuan masing-masing. Noidal meluncurkan tornado-tornado cahaya; Fata membuat meriamnya menembak tanpa jeda; Eophi tersenyum. Para mumi terpelanting, terburai, sampai hancur tak tersisa oleh serangan kombinasi ketiganya.

"Pffft! Woey, badut sulap!" seru Fata, mengejek. "Enggak punya serangan jarak jauh, yah? Senyum doang kayak baru cuci muka! Kesian amat sih, jadi pengen ngasih beras!"

"... ng, ya, mungkin. Dan kau ... kau, hm, cuma meriam doang?" kata Eophi, kedua alisnya terangkat. "Lebih baik tidak usah. Percuma. Tornado si burung membuat peluru meriam itu terlihat seperti kutil."

"Ho ...," gumam Fata. "Gitu, ya? Gimana kalo yang eni?"

Serpihan-serpihan kecil berwarna keemasan menguar dari zirah robot Fata, berdesis dan mendengung. Lalu sekejap kemudian, terciptalah sebuah galiung perang raksasa; melayang-layang di langit yang lebih tinggi dari rute terbang dua spirit flamingo.

"Heh, he-heh, bukannya mawu sombong nih," ejek Fata untuk Eophi, "tapi di kapal itu tuh udah ada milyaran artileri yang siap buat disuruh-suruh sama ane. Situ punya apa? Komen doang?"

Eophi mengangkat bahu, lalu, "Faceless!" ia mendesis sambil memainkan, melempar, kedua pedang berantainya ke udara. "Hey ... mau lihat kekuatan serang dari dua pedang sederhana? Ayo sekalian bandingkan dengan kekuatan kapal perang milikmu."

Fata tertawa. Zirah robotnya sampai berguncang. "Kekuatan kapal segede pulau mau diadu sama kekuatan dua pedang? Badut doyan amat guyon! Ayo dah jangan ngomong molo!"

Galiung raksasa menyuarakan suara derak yang memekakkan ketika bagian geladaknya membuka, mengeluarkan semacam kristal hitam berbentuk pentagon. Kristal itu berpendar, meledakkan satu gelombang radiasi, lalu memuntahkan mimpi buruk. Arus panas tersaput petir hitam melesat turun dari kristal itu. Turun menghantam dua spirit flamingo; turun menghantam permukaan.

Kehancuran dan keributan yang diciptakan sampai menenggelamkan setengah luas mulut kolosal. Noidal segera menciptakan kubah cahaya untuk melindungi mereka dari paparan panas dan petir yang menyebar.

"Gimana, heh?" tanya Fata.

"Mau bunuh diri, ya? Lihat jarak serangnya, dong," kata Eophi. "Oke, sekarang giliranku. Hm, burung ... tolong dilepas dulu kubah pelindungnya."

Kubah cahaya dihilangkan. Eophi langsung melempar jauh-jauh dua pedang berantainya. Fata masih tertawa-tawa ketika Eophi menarik dua pedang itu ke dalam posisi menebas, mengincar permukaan terjauh mulut kolosal, lalu menciptakan dua kilat raksasa yang menghunjam, mengguncang sampai seolah membelah tempat ini menjadi empat.

Arus panas dan petir kembali menyebar, memusnahkan para pemburu cinta yang bergerombol di sudut terjauh itu.

Fata berhenti tertawa. Eophi tersenyum.

"Kekuatannya sama, kan?"

"L-loe—aduh kegigit lidah—loe kalo punya kekuatan segede itu kenapa enggak dipake pas semifinal Battle of Realms V?" tanya Fata, kesal.

Eophi cuma angkat bahu. "... mungkin Author-ku lupa?"

Noidal mendeham keras-keras.

"Nah-nah, jangan lupa ada saya juga di sini," ujarnya. "Kalian berdua selesai saling pamer, kan? Sekarang tolong dengarkan detail rencananya. Jadi kita harus—"

"AWAAAAAAAAAS!!!" pekik seseorang.

Noidal, Fata, dan Eophi mendongak serempak. Di atas langit sana, sedang terjun bebas dengan kecepatan penuh, seekor harimau putih dan seorang wanita berbusana tertutup. Dan di belakang keduanya, terlihat dua gumpalan besar, cair, sewarna pelangi.

"... hujan pelangi season dua?" kata Eophi, skeptis.

Fata bersedekap, kesal. "Makin banyak manusia perban ae ntar. Makin lama! Buruan dah beresin!"

"Oke. Saya baru ingat Bu Mawar dan harimau putihnya masih ada di atas unggas pelangi. Mereka pasti ikut jatuh tadi, kena arus hitam. Baiklah. Sekarang siapa yang mau tangkap harimau putihnya Bu Mawar?" Noidal celingak-celinguk. "Karena saya kurang dekat sama dia, jadi akan lebih logis kalau saya selamatin Bu Mawar saja."

***

Noidal benar-benar melakukannya. Ia hanya terbang untuk mengambil Bu Mawar menggunakan cengkeraman cakarnya lalu meningggalkan Sunoto yang mengaum protes. Eophi akhirnya yang menyelamatkan harimau putih itu.

Lalu menyusul setelah keduanya terjatuh dan diselamatkan (Bu Mawar sempat marah-marah-imut juga karena ditinggal Noidal di atas spirit flamingo, kemudian marah-marah-imut lagi karena nyaris mati kena tembakan galiung raksasa Fata), adalah bergalon-galon gumpalan cair sewarna pelangi. Hanya Fata yang mencoba untuk melindungi diri dengan cara menciptakan perisai besi dan upayanya langsung terbukti sia-sia. Cat pelangi jatuh ke permukaan dan terciprat ke mana-mana. Keempat peserta sukses dinodai.

"Kenapa,"–Fata menggosok noda pelangi di pundak zirah robotnya–"kotoran ini,"–Fata mengelas noda pelangi di lutut zirah robotnya–"enggak bisa,"–Fata mengebor noda pelangi di mata kiri helm robotnya–"diilangin! Taeeeyiii!!!"

"... jangan berlebihan," kata Eophi.

Fata menjerit, "Berlebihan? Berlebihan?! Ente mau liat apa yang beneran bisa berlebihan? Simak!"

Kristal pentagon di bawah galiung raksasa ciptaan Fata kembali beroperasi. Bersiap menembak.

"Jangan lupa perhatikan jarak serangnya," Eophi mengingatkan.

"Peduli asu! TEMBAK!"

Arus panas dengan petir hitamnya kembali diturunkan. Kembali menghasilkan kekacauan. Noidal pun kembali menciptakan kubah cahaya untuk melindungi semuanya.

"Mamam noh!" Fata mengacungkan jari tengah. Tapi beberapa saat kemudian, setelah efek kekacauan mereda, Fata mematung. "Kok kaga ada yang mati, yak?" tanyanya, pelan.

Para mumi yang berdiri di dalam area serang tadi tidak ada yang hancur. Mereka hanya berhenti bergerak sebentar kemudian mulai berlarian lagi.

Konklusi liar muncul di benak keempat peserta: serangan yang sama tidak bisa menjatuhkan para mumi itu.

Sunoto menggeram, dua mata harimaunya nanar memperhatikan sekeliling. "Bu, kita bakal dikepung!"

"Jangan jauh-jauh dari Ibu, Sun!" sahut Bu Mawar sambil merapatkan diri ke muridnya.

Keempat peserta benar-benar terpojok di atas salah satu gigi taring si mulut kolosal. Dan dalam hitungan detik, segera terkepung oleh para pemburu cinta yang jumlahnya mungkin sudah mencapai jutaan sekarang.

"Tenanglah!" seru Noidal. "Keadilan akan selalu menang pada akhirnya! Kita akan tetap bergerak sesuai rencana semula!"

"Rencana apa, Dik Noidal?" tanya Bu mawar.

Sunoto menginterupsi, "Bu! Mereka semakin dekat!"

Gelombang para mumi hanya terpaut jarak beberapa puluh meter lagi; mereka mendengking, berlarian, tumpang tindih, tampak buas dan lapar. Fata mengumpat keras-keras lalu merombak galiung raksasanya, menciptakan kapal perang lain yang dipersenjatai artileri-artileri baru. Eophi melamun memperhatikan prosesnya, tapi sambil bersiap juga untuk menyalin hasil akhir kekuatan tempur kapal perang itu.

"Rencana kita, Bu Mawar," kata Noidal, "adalah menghancurkan seluruh gigi yang ada di tempat ini!"

"Bu! Mereka datang!!!"

Gelombang para mumi tiba. Jutaan, bertabrakan dengan lima.

***

"SUNOTO!"

"IBU!"

Kericuhan awal berhasil memisahkan sang Guru dan muridnya. Bu Mawar langsung mengamuk, fraksi-fraksi cahaya kehitaman memercik dari tubuhnya. Ia bertarung mati-matian, seperti kesetanan; memanfaatkan tangan besinya yang menyimpan data dari berbagai gaya tarung dan mampu sesekali menembakkan sinar penghancur. Sunoto di satu sisi, sibuk berlarian menghindari terkaman mumi-mumi—beberapa bahkan sudah berhasil membuatnya terluka. Darah mulai menetes dari perut dan satu kaki belakang.

Tidak terlalu jauh bergeser, ada Eophi. Ia melompat-lompat di atas bola sirkusnya sambil menghantam setiap mumi yang masuk ke jarak serang menggunakan pedang berantai dan tombak hitam.

Lalu di luar jarak tombak si Badut, tampak Fata menembakkan misil-misil dari zirah robot yang ia kenakan. Sementara di langit sana, kapal perang barunya bersiap menjatuhkan ratusan bom khusus.

Noidal, melayang beberapa meter di atas permukaan, meraup sebanyak mungkin udara dengan kemampuannya; memanipulasi, menunggu, menghimpun tenaga untuk ditembakkan. Beberapa kali ia juga harus terbang menjauh, menghindari serangan mumi yang saling bertumpuk menjadi menara agar bisa menggapainya.

"SEKARANG, NJET! BUANG!" Fata berteriak sekuat tenaga. Memberi komando pada kapal perang barunya—yang segera menjalankan perintah itu dengan mulai menghujani permukaan menggunakan bom-bom khusus.

Ledakan bombardir pertama menciptakan medan magnet yang mengembang menjadi tirai translusens di kerumunan terluar para pemburu cinta. Tirai itu berhasil menarik ratusan target, menjebaknya, kemudian semua korban langsung dihancurkan dengan ledakan-ledakan bom yang lain. Ledakan yang terus bergelung; ledakan yang membekukan; ledakan yang memotong.

"Faceless!" seru Eophi. Ia menyalin semua kekuatan bom khusus yang ada, kemudian mengaplikasikannya pada dua pedang berantai.

Serangan dari pihak peserta semakin menggila. Mulut kolosal berguncang.

Meski begitu, serangan bombardir dari kapal perang Fata dan dua pedang berantai Eophi hanya mengurangi sepersepuluh jumlah mumi yang ada. Dan ketika kerumunan mumi yang baru mulai bermunculan, bom-bom itu nyaris tidak memiliki efek sama sekali.

Dalam hitungan menit saja, jutaan mumi berlipat ganda menjadi puluhan juta.

"SUNOTO!" Bu Mawar menjerit histeris, memecah keramaian. Karena berada di jarak pandangnya, adalah seekor harimau putih yang tengah dicabik oleh sekumpulan mumi. Bu Mawar semakin menggila, menyerang membabi buta, melakukan apa saja agar bisa lebih dekat dengan muridnya—menyelamatkannya. "JANGAN! TOLONG JANGAN! HENTIKAN!" sang Guru memohon, mulai terisak. Tapi para mumi tidak memiliki telinga atau mata, apalagi nurani.

Wajah harimau putih itu sudah bersimbah darah, kesakitan, tapi ketika matanya bertemu dengan mata berkaca milik gurunya, ekspresinya dipaksakan damai. Menerima. Dan sebelum wajah itu lenyap tertutup mumi-mumi lain yang terus berdatangan untuk mencabiknya, wajah itu menyeringai, sambil berkata sekuat yang bisa dikeluarkan sisa tenaganya, "Jangan khawatir, Bu, aku enggak apa-apa."

"Enggak ... enggak boleh," lirih Bu Mawar. "JANGAN! TOLONG BERHENTI! JAUHIN MURID SAYA!!!"

"BERISIK WOEY!" Fata mendarat tepat di samping Bu Mawar, lalu memotong mumi-mumi yang mengepung area itu menggunakan pedang laser. "Fokus dulu sama lawan di sekitar sebelum khawatirin yang laen!" ia melanjutkan. "Situ mau mati?! Kalo udah mati boro-boro bisa teriak cemas! Ngedip aja susah!"

"Tapi Sunoto, murid saya! Tolong, selamatkan di—" Bu Mawar berhenti. Menatap horor ke depan.

Percikan darah naik ke udara. Bersamaan dengan terdengarnya geraman redup dari seekor binatang buas, dan kehadiran sesosok badut berambut gondrong di sampingnya. Badut itu, Eophi, membentangkan kedua tangan untuk melindungi harimau putih yang sudah kembali berubah menjadi anak kecil berambut ikal. Dua mumi menggigit masing-masing tangan Eophi. Darah terus memercik, bertetesan dari sana.

"... tenang," ujar si Badut sambil mengenyahkan dua rahang yang mencoba menggerogoti tangannya. "Anak ini masih hidup." Ia menunjuk Sunoto. "Mungkin ... dia cuma kehabisan tenaga? Yah, yang penting dia masih bernapas."

Bu Mawar jatuh bersimpuh, menangis. Bersyukur.

"Hey-hey, bangun," geram Fata. "Ini belom beres. Tapi ya kalo mau doa, doain aja rencana si burung sinting ntu bisa sukses."

"Terima kasih buat kalian," bisik Bu Mawar. "Terima kasih sudah jaga saya, dan murid saya ...."

Mata Fata memanas. Ia memalingkan wajah meski seharusnya tidak perlu, karena ekspresinya sudah terhalang oleh helm robot. "Bukan apa-apalah itu mah!" serunya. Padahal, ketulusan itulah—seperti ucapan terima kasih tadi—yang justru berhasil menggerakkan hati Fata pada awalnya. Tadi ia melihat perjuangan total Bu Mawar untuk Sunoto, lalu segera menghampiri Eophi untuk meminta bantuan menjalankan misi penyelamatan.

Sementara itu. Masih sambil mengepakkan sayapnya—terbang beberapa meter di atas permukaan, Noidal yang melihat semua kejadian tadi tersenyum. "Bagus," gumamnya, "kalian bagus sekali. Sekarang giliranku. Aku sudah mengumpulkan cukup banyak cahaya. Cukup, setidaknya, untuk menghancurkan semua gigi di tempat ini sampai ke akar-akarnya. Ya. Dalam satu serangan keadilan yang membahana!"

***

"EVANESMA—" Suara Noidal megah dan menggema. Kedua sayapnya penuh terbentang. Udara di sekelilingnya membias, berubah berdenyar-denyar, berdentum. Pada setiap dentumannya, radius udara yang diubah semakin melebar dan terus melebar. Seperti detak pada bom waktu, menunggu ujung pembatas, pemicu, untuk bisa meledak dan bebas.

Atmosfer yang melingkupi area gigi si mulut kolosal ditekan hawa panas dan keheningan. Bahkan pertempuran pun membeku dan ketiga peserta mendongak ke arah burung putih besar yang seolah siap melenyapkan semesta dengan kepakan sayapnya. Para mumi menjerit setelah detik-detik hening yang menunggu. Lalu semuanya, semua makhluk pemakan pelangi itu, mengubah fokus serangan mereka hanya pada satu target saja.

Noidal menarik napas terdalam, kemudian memuntahkannya menjadi satu teriakan terlantang: "LIBRALIA!"

Udara yang termanipulasi membalas jeritannya; menciptakan serebrum dari keributan-keributan kosmis. Lalu udara secara serempak berubah, terdistorsi, menjadi entitas-entitas dewata: spirit dari beberapa sosok orang tua berjanggut panjang, berjubah, bertudung, memegang palu. Para hakim.

"Fatanir! Eophi Rasaya! Bu Mawar!" seru Noidal. "Menjauhlah dari area gigi secepat yang kalian bisa! Saya akan memulainya! Hari penghakiman!"

"Pemberitahuannya kaga kurang mendadak, yak? Najis!" gerutu Fata, lalu ia buru-buru menciptakan semacam kapsul khusus untuk Bu Mawar dan Sunoto. "Pegangan, bakalan sakit pas mendarat!" serunya, seraya melontarkan kapsul yang sudah dinaiki guru dan murid itu ke atas, menjauh dari area gigi.

"Ternyata ... hatimu nggak sebusuk kata-katamu, ya?" tanya Eophi, tersenyum.

Fata ketawa tengil. "Pasti ngarep dibikinin kapsul juga, ya? Sory-sory neh bray—eh, tapi, kalo loe mau cium pantat gue sih oke aja. Gue bikinin satu, gimana dah? Deal?"

Masih sambil tersenyum, Eophi menginjak bola sirkusnya kuat-kuat lalu memantul sangat tinggi. Ia terus memantul seperti itu sampai tiba di zona aman.

Fata mendengus, menyalakan semua pendorong roket yang terpasang di zirah robotnya. "Dia bisa kabur sendiri ternyata. Bagus dah!" Lalu ia pun melesat keluar dari area gigi. Sekilas, ia melirik ke arah Noidal dan terkesiap. Burung putih besar itu dikepung oleh para mumi yang saling bertumpukan, menciptakan semacam sangkar.

***

"Yap, semua sudah melakukan evakuasi," kata Noidal setelah pemandangan terakhir tadi—sebelum puluhan juta mumi bertumpukan membentuk penjara mengerikan—memperlihatkan padanya ketiga peserta yang sukses keluar dari area gigi. "Sekarang, bisa kumulai. Kalian, bisa memulainya! Ayo, PERLIHATKAN KEADILAN!"

Dan, terjadilah. Semuanya berlangsung pada satu momentum yang sama. Serangan serempak dari puluhan juta para pemburu cinta ke satu unggas besar yang terkurung, dan ayunan palu dari para hakim raksasa ke setiap gigi yang ada.

Sementara tiga peserta lainnya, yang masing-masing sudah berdiri di posisi aman mereka, hanya bisa mendengar dan menyaksikan:

Kehancuran kolosal yang hanya terangkum dalam satu ledakan cahaya. Melumpuhkan semua; membutakan dan menulikan.

Dan setelah itu semua selesai, keheningan yang menyesakkan turun memenuhi atmosfer. Seperti tirai merah pada sebuah panggung drama. Menutup, membekap emosi.

Tidak ada lagi yang tersisa di area gigi, selain seekor burung besar berwarna putih yang masih mengepakkan sayapnya.

***

Keempat peserta berjalan mendekat dari arah mata angin yang berbeda (Noidal sudah kembali ke wujudnya semula, dan Sunoto masih pingsan jadi Bu Mawar sendirian).

Mereka berhenti bersamaan di jarak yang tidak bisa dibilang dekat satu sama lain, tapi tidak juga terlalu berjauhan. Mereka saling bertatapan. Mulut kolosal, atau bibir bawah tepatnya, yang menjadi pijakan mereka saat ini tampak kokoh meski beberapa detik lalu seluruh gigi sampai ke gusinya dirontokkan. Di langit, dua spirit flamingo sudah kembali berputar, bertabrakan dan menciptakan hujan—bedanya tidak ada lagi yang perlu ditakuti dari warna pelangi itu sekarang. Pemandangan yang berkeping dan nyaris transparan di sekeliling mereka pun masih menggambarkan sebuah dunia muda; dunia manusia, dunianya Fata sang pemegang halo sementara.

Lalu sekarang apa? Adalah pertanyaan utama yang tidak diucapkan siapa-siapa. Mereka sudah keluar jalur terlalu jauh. Karena bukannya saling berkejaran merebut halo, mereka malah setuju dengan ide Noidal tentang keadilan versinya untuk bertarung bersama demi menghancurkan para pemburu cinta.

Tapi mungkin pertanyaan itu memang tidak perlu diucapkan. Karena itu hanya pertanyaan biasa—bagi mereka. Karena jawabannya juga sudah jelas.

Mereka harus kembali ke awal untuk memperjuangkan semua yang telah dijanjikan. Mimpi, dan jalan keluar.

Jadi, setelah Eophi terkejut mengetahui bahwa halo di atas kepalanya sudah direbut sejak lama oleh Fata—("Badut dongo," ejek Fata. Kemudian ia menjelaskan, "Tanduk malaikat di kepala ente udah ane rebut sejak jaman dahulu kala, pas kita lari sebelahan dikejar bajingan-bajingan perban. Bagusnya ente juga kaga sadar sama perubahan pemandangan di mari. Terus lagian tanduk malaikatnya juga gak keliatan ada di atas kepala ane gegara ane pake helm. Kudu dijelasin mulu, nih, otak sambel!")—mereka kembali ke awal.

Keempat peserta memulai kejar-kejaran.

Dan entah karena alasan apa, keempatnya tidak menggunakan kemampuan khusus sama sekali. Fata melepas zirah robotnya; Eophi turun dari bola sirkus; Bu Mawar tidak membentak; Noidal tidak berubah.

Mereka hanya berkejaran, dan lebih anehnya lagi, mereka melakukannya sambil saling mencacimaki, bercanda, dan tertawa.

Eophi berhasil merebut lagi halo dari atas kepala Fata. Noidal, di saat yang sama, berusaha melompat ke arah Eophi tapi malah jatuh karena menginjak jubahnya sendiri. Bu Mawar yang akhirnya membuat Eophi salah langkah, dan halo di atas kepala si Badut pun berpindah ke atas kepala sang Guru.

Dan selama beberapa menit kemudian, halo itu memang terus berpindah, begitu pun kepingan pemandangan di sekeliling mereka. Dunia-dunia dalam bayangan yang menari, dipindahkan ke ribuan pigura baru; dunia-dunia yang ditentukan oleh kepemilikan lingkaran terang, sebuah simbol hasil hiperbolis para hipokrit.

Mereka terus berkejaran.

Sampai akhirnya, terdengar nyanyian familier dari jam kotak raksasa. Juga sebuah pemberitahuan:

[ Waktu yang tersisa, tinggal satu menit lagi ]

Keempat peserta saling memandang. Napas mereka sudah pendek-pendek tapi ekspresi mereka benar-benar bahagia. Tinggal sebentar lagi semuanya selesai. Dan saat ini, posisi halo ada di atas kepala Noidal.

Delapan mata bersiaga, lalu bersama-sama, tanpa peringatan sebelumnya, empat mulut berteriak.

Fata: "Ashura: Planetarium!"

Sebentuk planet animasi yang permukaan datarnya ditempeli persenjataan fantasi, berukuran dua kali lebih besar dari luas keseluruhan mulut kolosal, turun bersiap menghantam seperti meteor.

Bu Mawar: "X-Buster kekuatan penuh!"

Dari telapak tangan besi Bu Mawar, sinar penghancur yang terkonsentrasi menjadi sebaris tembakan, sebesar aliran sungai normal, melesat.

Eophi: "Jibriel!"

Eophi si Badut berubah menjadi kesatria bersayap, berukuran raksasa, dan memegang satu pedang besar.

Noidal: "Libralia!"

Sebuah timbangan putih dilempar ke tengah-tengah semuanya—ke depan planet bersenjata ciptaan Fata; ke depan arus sinar penghancur yang ditembakkan Bu Mawar; ke depan tebasan berbayang sewarna keemasan yang dilayangkan Eophi. Timbangan itu melepaskan radial yang ramai seperti konstelasi, yang berputar, dan berputar, dan berputar dengan sangat cepatnya sampai-sampai semua materi selain itu seolah berhenti. Semuanya menjadi adil, semua kekuatan menjadi sama rata. Lalu semua serangan bertemu dalam sebuah adegan yang berkedip hitam, bercahaya, hitam, bercahaya—

Planet Fata ditembus oleh sinar penghancur Bu Mawar. Kehancuran yang langsung memicu detonasi arkais pada inti planet; ledakan yang meraung dalam wujud gigantisme dari manusia gurita bersayap. Eophi menebas ledakan itu. Menjadikan semuanya kembali pada satu fokus, tak lagi berkedip. Menjadikan semuanya bercahaya. Terang, tak terlihat.

[ Tiga detik lagi ]

Terdengar pemberitahuan baru.

Dalam kebutaan, keempat peserta berlari. Mengulurkan tangan masing-masing, berusaha sampai akhir demi sebuah mimpi dan jalan keluar.

[ Waktu habis ]

Semuanya selesai.

Bersamaan dengan meredupnya cahaya yang membutakan. Pemandangan familier dari permukaan mulut kolosal kembali terlihat. Halo berada di atas kepala Fata. Dan posisi terakhir keempat peserta adalah: Noidal tersungkur, tangan kirinya mencengkeram ujung baju Eophi; Eophi, tertunduk dalam posisi merangkak, kedua tangannya berpegangan pada tangan besi Bu Mawar; Bu Mawar bersimpuh, nyaris terjatuh, tangan organiknya digenggam erat-erat oleh kedua tangan Fata; Fata, berdiri, terengah-engah, tidak melepaskan genggamannya.

Mereka saling terkoneksi, pada akhirnya. Jadi meski halo hanya melayang di atas kepala Fata, keping-keping pemandangan di sekeliling mereka membekukan bayangan dari empat dunia.

***

"Sudah bangun? Mimpi apa tadi?"

Noidal belum membuka matanya. "Mimpi," gumamnya, "yang sangat spektakuler. Mau dengar kisahnya? Saya bisa menceritakan semuanya. Siapa namamu, wahai Kotbulost? Dan, hm, kenapa kau berada di dalam kamarku?"

"Nama? Emmm ... Ratu Huban?"

Noidal membuka matanya lalu spontan menjerit. Ternyata ia masih berada di atas permukaan mulut kolosal—di alam mimpi campuran. Di sampingnya, sedang duduk sambil memainkan semacam tongkat, adalah sesosok makhluk berkepala bantal.

"Ratu Huban, ya?" tanya Noidal setelah mendeham. "Salam kenal dari saya. Saya Noidal Rahika. Kalau boleh saya bertanya, apa Ratu Huban melihat teman-teman saya? Mereka adalah Fatanir si pemuda keriting, Bu Mawar si pengajar, dan Eophi Rasaya si—ng, yah, dia tadi berubah jadi badut, jadi raksasa, dan terakhir kembali jadi peri sebesar manusia, rambutnya hijau. Bagaimana? Ratu Huban melihat mereka?"

"Tidurmu lama sekali," kata Ratu Huban malahan.

"Oh, begitu, ya? Maaf. Jadi mungkinkah mereka pergi saat saya tertidur?"

"Sangat lama sampai-sampai kakiku kram menunggunya." Ratu Huban memijat-mijat kakinya. "Apa bermimpi di alam mimpi akan menjadikan mimpi itu dua kali lipat indahnya, ya?"

"Hm, entahlah." Noidal mengangkat bahu. "Saya tidak bermimpi apa-apa ketika tertidur tadi."

"Hey, Bu Mawar dan Eophi Rasaya titip salam untukmu, Noidal. Fatanir enggak bilang apa-apa, sih, tapi dia senyum tadi pas pulang," jelas Ratu Huban tiba-tiba. "Mereka bertiga sudah pulang."

"Wow, benarkah? WOW! Berarti hasil akhirnya seimbang, ya? Karena saya ingat kita berempat saling bersentuhan!" Noidal melompat-lompat girang. "Dan kita semua bisa pulang sambil membawa mimpi yang diinginkan sebagai hadiah? Oh, ini luar biasa. Tunggu, tanpa mengurangi rasa hormat, apakah Ratu Huban semacam ketua di alam ini? Kalau iya, sebenarnya tempat apa ini? Kenapa sejak tiba di sini, saya merasakan sesuatu yang tidak biasa. Sesuatu itu ... firasat? Saya seperti merasakan sesuatu yang besar, yang akan melibatkan banyak hal. Sesuatu itu akan segera berlangsung di sini. Atau setidaknya, melibatkan sebagian dari alam ini. Begitulah. Oh, iya, ngomong-ngomong ke mana perginya si domba-malaikat?"

Ratu Huban malah melamun. Noidal menunggunya. Menit demi menit berlalu, Ratu Huban tetap tidak bergerak, tidak mengatakan apa-apa. Sampai tiba-tiba, sedetik setelah Noidal ketiduran, Ratu Huban berkata, "Mau pulang sekarang, Noidal?"

"Ng? Oh, ya. Ya! Tentu. Tapi, apakah Ratu Huban sekiranya mau menjawab pertanyaan saya dulu? Yang tadi?"

"Pertanyaan apa?"

"Itu ... ah, lupakan saja." Noidal tersenyum. "Mungkin lain kali. Di mimpi yang lain."

"Hm ... begitu. Padahal kalau mau bertanya, tanya saja. Tapi baiklah," kata Ratu Huban seraya melakukan sesuatu pada tongkatnya, sehingga ujungnya menembakkan seberkas cahaya warna-warni yang kemudian menyebar. Jadi seperti payung. Sebagian dari cahaya-cahaya itu berpusar, melepaskan diri, berubah menjadi persegi penuh warna. Sebuah portal yang cantik. "Noidal Rahika." Ratu Huban membungkuk anggun. "Selamat jalan. Terima kasih mimpinya—"

"TUNGGU, MEEEH!" Si domba penyambut mewujud di samping Ratu Huban dalam posisi memberi hormat. "Maafkan kelancangan saya," cerocosnya. "Tapi saya harus mengingatkan, meeeh, Ratu Huban perlu untuk menjelaskan pada Tuan Noidal Rahika tentang semuanya. Penjelasan yang sama, yang Ratu Huban berikan pada tiga peserta lainnya tadi."

"Penjelasan apa?" tanya Noidal dan Ratu Huban berbarengan.

Si domba penyambut langsung tepak jidat. Halo di atas tanduknya berkedip seperti sedang korsleting.

Penjelasan yang dimaksud, adalah, tentang keterlambatan Ratu Huban—selaku penyambut sekaligus penyelenggara pertarungan antar para pemimpi pilihan. Ratu Huban terlambat karena salah membuka portal dan akhirnya malah tersasar ke mimpi yang lain. Akibat insiden itu, jadilah si domba penyambut mewakili tugasnya. Menyambut keempat peserta, sampai menyetel segala sesuatunya di kompetisi pertarungan umum edisi ke tiga puluh dua ini.

"Bukankah Ratu Huban seharusnya dari awal berkata begini pada para pemimpi: 'Apa kau berani bermimpi?'" lanjut si domba penyambut. "Masih belum terlambat untuk mempraktikkan prosedur normal, Ratu Huban. Ayo, fokus."

Dan Ratu Huban, sekali lagi, malah sibuk sendiri. Si Kepala Bantal itu malah berputar-putar tidak jelas, sampai akhirnya cahaya pada payung surealisnya secara tak sengaja menciptakan portal lain, dan Ratu Huban pun menghilang ke dalamnya.

Si domba penyambut tepak jidat lagi.

Noidal justru tersenyum. Ia berjalan ke samping domba itu, menepuk pundaknya dan berkata, "Jadi pertanyaannya, apa saya berani bermimpi? Biar saya jawab. Saya berani. Dan bukan hanya saya saja. Semuanya pasti berani, karena bermimpi itu tidak sulit. Yang sulit dan yang perlu dipertanyakan adalah, apakah kau berani untuk bangun dan mewujudkannya? Tapi tentu saja, pertanyaan versi itu tidak relevan sama sekali. Nah, kalau begitu, saya pulang sekarang. Semoga kelak kita bisa bertemu lagi, wahai domba-malaikat! Selamat tinggal!"

Maka Noidal pun masuk ke dalam portal cantik yang sudah disiapkan Ratu Huban sebelumnya. Menghilang, meninggalkan keajaiban hanya untuk menghadapi keajaiban lain di ujung jalan nanti. Noidal akan pulang, atau terbangun. Yang jelas, selama perjalanan kembali itu, Noidal tak pernah berhenti berdoa.

"Semoga Ratu Huban tidak menciptakan portal yang salah untukku."

5 komentar:

  1. Huuh, seperti yang diharapkan dari daka. Entri kali inipun berhasil membuat saya ternganga heran, ko bisa entri panjang kaya gini selalu aja berakhir bikin saya penasaran. Entri yg sepertinya terfokus menggunakan character device ini, sukses membuat saya bisa menikmati setiap perbedaan karakter yg ada. Kekasaran fatanir, acuhnya eophi, lemah lembutnya bu mawar, dan betapa berisiknya noidal.

    Entah di sengaja atau memang tidak, ada beberapa pengulangan kata di entri ini..

    Saya juga masih bingung sama akhirnya, ko bisa noidal dinyatakan "pemenang" meskipun dientri itu tak disebutkan.

    Oke langsung nilai aja.
    Nilai : 9/10
    Oc : Altair Bonanza

    BalasHapus
  2. OC: Ghoul :=(D

    Diksi ranah sastranya keren

    Eyd bagus

    Kayak Mission x ya permainnya seru

    Keren pemikiran karakter mainnya soal keadilan

    Kurang greget ga kayak plot twist-mu di entri tcos kemarin…

    Suka ama istilah: Mati ngedip aja susah hahaha

    Ga begitu greget tapi diksi nya aku suka… meski aku kecewa sih entri ini ga sememuaskan yang dulu-dulu, hehe. Plot twistnya garing… 

    Aku hanya bisa kasih 8 karna plus dari eyedenya bagus hampir 100 persen…

    BalasHapus
  3. nyc.
    9 Edmund


    jk
    bentukan bahasa yang dipilih nyatanya sanggup menciptakan eufemis atas intensi menunjukkan demonstrasi daya linguistik personal lewat ungkapan-serapan akademis yang kemudian berpengaruh thd penilaian. Di akhir, kesan yang timbul adalah sebuah dunia mimpi rekaan yang dibuat benar-benar surreal, pengalaman membaca yang baru, yang perlu diulang-perlambat sekali-sekali, dalam medium penceritaan yang sekali-sekali bisa dicontoh sebagai usaha penyegaran. Metode pengembangbiakan jagung petik hibrida saya kira perlu dibahas lagi sebagai ladang bisnis sampingan petani-petani dataran rendah. <(")

    BalasHapus
  4. Standar mas bebek.

    Diksi dan struktur kebahasaan yang tinggi dan luhur, membuat saya terbujur-bujur saat membaca entri masyhur punya Noidal.

    Tak ada komentar soal kebahasaan, standar mas bebek soalnya.

    Pembawaan karakter udah pas banget. Kejadiannya juga udah diatur dengan rapi dan udah okeh lah.

    Gak usah panjang lebar lagi, kasih 9.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Zarid Al-Farabi.

    BalasHapus
  5. Oh well, seperti nostalgia membaca ketiga OC itu bertempur lagi. Kali ini dalam nuansa yang lebih bersahabat. Kurang kerasa anti-mainstream yang sesuai dengan tantangannya. Di sini semua peserta bertarung menggunakan skill bertempur mereka seperti sedia kala. Menunya saja yang berbeda. Tapi biarlah soal itu~

    Noidal ini kayaknya maniak keadilan, ya? Walau dari ocehannya sepanjang cerita, saya jadi ragu kalau dia benar-benar mengerti soal keadilan ._. Tapi barangkali bakal jadi sangat menarik semisal ada tiga OC FBC bertema keadilan yang ditarungkan satu dengan lainnya (yaitu Noidal, Emoar, dan Cat).

    Secara alur cerita sudah lancar banget, setidaknya jauh lebih lancar daripada entri-entri awal Eophi. Tapi penggunaan komanya kadang ndak terlalu mulus terutama ketika ada banyak koma berderet dalam satu kalimat panjang.

    Ponten 9-

    - hewan -

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.