Rabu, 27 Juli 2016

[ROUND 1 - 9I] 10 - SATAN RAIZETSU | PION DI ATAS PAPAN PERMAINAN

oleh : Hyakunosen
--
Pion di Atas Papan Permainan

Bagian 1

Dalam ruangan yang remang, hanya ada satu sumber yang menjadi penerangan kamar ini, sebuah lampu dinding yang memancarkan cahaya jingga seperti senja.

Aku tak begitu menyukai tempat terang, jadi suasana seperti inilah yang paling cocok denganku. Hanya dengan menenggelamkan diriku pada sofa, seluruh otot di kepala dan tubuh mengendur, membuatku merasa tenang.

Aku yang sekarang sedang mengharapkan ketenangan lebih dari siapapun. Aku hanya ingin bisa pulang ke rumah dan melanjutkan game Little Busters yang belum sempat kuselesaikan, lagi.

Tapi, sepertinya itu akan menjadi tujuan yang sangat panjang bagiku. Terlebih karena kejadian barusan yang mungkin akan meningkatkan kadar kegilaan dari dunia yang mereka sebut sebagai "Alam Mimpi" ini.

"Siapa nama dewi yang tadi? Umm ... Mirabelle, bukan?" gumamku sembari menghela napas. "Kenapa semua dewa seperti itu? Mereka selalu merendahkan kami manusia, dan menganggap dirinya lah yang paling kuasa."

Aku bukanlah orang yang menentang konsep "dewa", karena bagaimanapun ini kedua kalinya aku melihat "makhluk" seperti itu. Tapi, kedua "makhluk" itu meninggalkan kesan buruk dalam diriku.

Aku melirik orang yang sedang tertidur di atas kasur yang tak jauh dari sofa yang kududuki. Dia mungkin adalah salah satu orang yang mendapat kesan paling buruk terhadap makhluk bernama dewa.

Ya, dia adalah Urami, Urami Kazeha. Teman masa kecilku dan orang yang seharusnya menjadi tunanganku.

Dia kini terkapar tak berdaya tanpa ada tanda dari seorang makhluk yang "bernyawa". Suatu yang patut disyukuti adalah dia masih bernapas, namun jiwanya entah sudah menghilang kemana. Jika harus kukatakan, lebih mirip mayat hidup ketimbang boneka mati.

Saat aku baru saja kembali dari Museum Semesta, aku tak sengaja melihat Urami sudah tergeletak tak berdaya di tempat aku membunuh diriku sendiri dan menghancurkannya. Tentu aku sempat berpikir ini adalah ulah Chikako, namun saat aku melihat sekeliling dia sudah tak ada.

Bukannya aku mencoba mengelak. Aku juga berpikir dia seperti itu karena kerusakan mental yang kutinggalkan padanya, tapi setelah kupikir-pikir sudah jelas kalau ini bukanlah perbuatanku. Ini sangat aneh.

Karena bagaimanapun juga, tak peduli seberapa hancurnya hati dan mental manusia, dia tak akan pernah bisa kehilangan jiwanya dan berakhir dengan kondisi menyedihkan seperti ini. Itu sudah pasti.

Tak hanya itu, aku juga menyadari tempat yang menjadi Bingkai Mimpi-ku sudah berubah sepenuhnya abu-abu, benar-benar secara harfiah menjadi abu-abu. Tak ada warna yang dipantulkan ke mata selain abu dan hitam.

Merasa tak enak dengan itu, aku dengan segera mengangkat tubuh Urami dan merangkulnya. Aku berniat membawanya ke tempat lain, namun aku hanya menemukan sebuh hotel yang masih seutuhnya dipenuhi warna normal.

Aku sempat ragu, namun jika aku terus berdiam di bagian tanpa warna, aku sendiri tak tahu apa akibatnya. Jadi meskipun mau tak mau, akhirnya kubawa dia ke dalam.

Dan sekarang, beginilah keadaannya. Aku hanya berduaan dengan Chikako tanpa ada yang mengganggu.

Aku memperhatikan wajahnya dengan seksama. Bibirnya memisah, napasnya berhembus dengan pelan, dan keringat mengalir dari kepala hingga ke lehernya. Tubuhnya sama sekali tak bisa bergerak, meninggalkan dia tanpa pertahanan sama sekali.

Aku menelan ludah saat melihat keindahan yang melapisi ironi di dalamnya. Aku tahu ini bukan saatnya untuk bergairah, tapi tetap saja dengan keadaan yang sekarang membuat hasratku sebagai anak laki-laki normal terganggu.

Asal kau tahu saja, ini bukanlah hotel biasa. Ini adalah Love Hotel yang biasa digunakan pemuda-pemudi untuk saling bersenggama dan menuangkan seluruh cinta pada kekasih mereka.

Dan dengan status hubungan kami yang (seharusnya) bertunangan, sudah tak heran jika aku memeluk mesra tubuhnya sekarang di kesempatan ini.

Aku takut. Bukan karena aku bisa membayangkan apa yang akan terjadi, tapi karena aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika aku harus terus berada dalam ruangan penuh rayuan setan seperti ini. Aku sendiri berharap kalau tak akan terjadi apa-apa.

"Mbeeee..."

Ah, aku melupakan sesuatu. Kami tak hanya berduaan. Ada satu makhluk tambahan dalam kamar ini, seekor domba berbulu putih yang sama persis dengan domba yang orang bayangkan saat sedang mencoba tidur, domba melompati pagar.

"Hei, domba. Kenapa kau menatapku seperti itu?!" kataku sedikit kesal. "Apa kau menganggapku menjijikan atau bagaimana? Memang aku sedikit terganggu dengan wanita 3D yang bisa kuserang kapan saja, tapi aku sudah mempunyai istri 2D idamanku. Sasasegawa Sasami yang tersayang. Jadi berhentilah menatapku seperti itu!"

Meskipun setelah aku memperingatinya, dia masih saja melihat kearahku dengan bola matanya yang entah bagaimana terasa seperti mengatakan "kau menjijikan" itu.

"Baiklah, baiklah. Aku memang menjijikan. Dan juga maaf karena telah membentakmu. Jadi, tolong berhenti menatapku dengan tatapan tak manusiawi seperti itu."

Aku sendiri tak paham apa maksudku mengatakan manusiawi pada hewan. Mungkin mereka akan membalasku dengan istilah "hewaniawi" saat aku menghina balik mereka.

Dan memang dia sudah tak menganggapku sebagai makhluk yang pantas menyandang gelar manusia, tatapannya kini lebih menakuti diriku seolah dia tahu seluruh rahasia yang biasa dimiliki oleh anak seumuranku.

Kali ini aku berusaha mengabaikan tatapan tak enak itu dengan memalingkan wajahku, namun tak kusangka ternyata tatapannya terasa lebih tajam dan menusuk hingga menembus tubuhku.

"Apa lagi?" tanyaku.

"Mbeee..." dan hanya itulah jawabannya.

Aku menggelengkan kepalaku.

Sungguh menyedihkan diriku ini, mengajak bicara seorang domba yang bahkan tak mengerti apa yang kukatan, tentu saja dia akan menjawabnya dengan mengembik.

Sebenarnya, ini kulakukan dengan sengaja untuk mengalihkan pikiranku dari memikirkan masalah tentang Reveriers—Battle of Realms yang diriku ikut serta di dalamnya.

Terlebih juga dari rasa takut untuk yang pertama kali kurasakan setelah tiga tahun berlalu. Rasa takut yang tak bisa kugambarkan hanya dengan kata-kata, namun bisa kusamakan dengan satu kata, "takut".

Rasa takut ini tertuju pada "itu", pada patung raksasa berbentuk otak yang ditumpu oleh puluhan patung orang yang dirantai dan dipajang di tengah aula.

Aku sungguh tak mengerti entitas dari benda(?) itu sendiri, tapi kurasa itu bukanlah hanya sekadar patung berukuran raksasa yang membuat setiap orang terkagum karena detail dan kemewahannya.

Apakah dia Tuhan? Apakah dia dewa? Atau dia adalah pusat dari Alam Mimpi itu sendiri? Aku tak bisa memastikannya hanya dengan melihat sekilas "benda" itu.

Sejak awal memang aku sendiri tak pernah mengerti definisi dari "Tuhan" dan "dewa." Apa itu Tuhan? Dan apa itu dewa? Mana yang paling kuat di antara mereka? Atau mungkin bisa saja mereka adalah dua keberadaan berbeda yang tak pernah bisa dibandingkan? Percuma saja, aku tak akan pernah paham.

Tapi jujur saja, saat aku melihat dewi Mirabelle, aku tak merasakan perasaan apapun selain jengkel. Bukankah itu berarti, dewa itu lebih lemah dari Tuhan? Dan Tuhan itu sendiri adalah pemimpin para dew—aggh!

Lagi, ini pasti terjadi lagi. Rasa dari "kehilangan inspirasi" yang terus menerus mengekang pikiranku. Mereka bilang ini adalah efek dari bingkai mimpi, tapi aku merasa ini bukan hanya sekadar itu.

Dari yang kudengar-dengar, efek yang diberikan kepada Reveriers yang lain berbeda-beda, dan kebanyakan dari mereka adalah melupakan sesuatu yang menjadi jati diri mereka. Lalu, kenapa aku harus mendapat kutukan ini?

Meski begitu, rasa sakit kali ini tak terasa begitu intens dan aku juga merasa "inspirasi" yang telah hilang itu perlahan kembali. Tapi tetap, itu tak menyudutkan fakta kalau penghinaan ini akan terus berlanjut.

Sekali lagi, aku menghela napas. Dan tiba-tiba, nada dering "Ikenai Borderline" berbunyi dari smartphone-ku.

Aku mengambilnya dari meja di depanku, lalu mengarahkan jari pada layar dan membuka kotak pesan yang terisi satu pesan baru.

Aku tak mengenal alamatnya, tapi sepertinya ini adalah sesuatu yang bisa dibilang tak biasa atau aneh. Karena bagaimanapun ini adalah dunia yang terpisah dari dunia nyata.

Tanpa ragu lagi, aku tekan jari pada pesan itu dan muncullah tulisan yang berbunyi:

            Wahai Reveriers, permainan kalian akan segera dimulai. Segera bersiaplah! Karena kalau tidak, kalian akan dengan mudahnya menjadi karya murahan yang bahkan tak pantas untuk dipajang di pameran jalanan

Kalau begitu, akan segera kujelaskan permainannya. Dan ini adalah untuk kalian, kelompok The Thinker. Pengaturan permainan yang telah disiapkan adalah seperti berikut:

Telah terjadi suatu tindak kejahatan dimana ratusan orang telah disandera dalam suatu gedung tertentu. Tentu, mereka mengancam akan meledakkan para sandera jika keinginan mereka tak terpenuhi. Apa keinginan mereka? Kalian akan tahu saat sampai di sana.

Pilihlah sisi yang menurut kalian adalah jalan terbaik dalam menyelesaikan permainan ini. Membantu para penegak keadilan, atau malah menghancurkan mereka? Memilih kebajikan, atau ketidakadilan? Pilihlah sesuka hati kalian.

Oh ya, kalian akan pergi ke tempatnya dengan arahan dari domba yang sudah dekat dengan hati kalian. Jadi, jagalah dia baik-baik dan pastikan jangan hilang!

—Salam, Sang Kurator—      


Jadi, ini yang mereka sebutkan sebelumnya sebagai "penciptaan karya". Pesannya cukup singkat, tapi entah bagaimana aku bisa memahaminya.

Aku rasa, mereka akan menaruh beberapa orang jika dilihat dari kata "kalian" di dalam satu tempat. Dan kami semua akan saling berlomba untuk menyelesaikan permainan ini, meski itu artinya jika kami harus saling membunuh satu sama lain.

"Mbee..."

Domba ini tiba-tiba saja mengembik dan berlari menuju ke koridor luar dengan mendobrak pintu. Aku sendiri tak bisa percaya kalau ada domba sekuat itu, mungkin karena tempat ini sendiri tak masuk akal.

Aku segera mengambil katana yang tergeletak di atas meja, mengaitkannya di gesperku, dan mengejar domba sialan yang tanpa peringatan melesat pergi.

Aku sempat berhenti di dekat pintu yang rusak dan melirik ke arah Urami. Aku ragu untuk meninggalkannya begitu saja, takut akan ada hal yang menimpanya di saat dia dalam kondisi yang sama sekali tak bisa melawan.

Tapi bukankah lebih berbahaya jika membawanya ke tempat yang sudah diatur menjadi medan perang? Karena itulah, aku memilih percaya dengan perkataan makhluk-makhluk aneh itu kalau tempat ini adalah Bingkai Mimpi yang hanya bisa dimasuki oleh pemiliknya.

Dengan begitu, aku kembali mengejar domba tak bisa ditebak itu. Dan ternyata, dia sudah berbelok saat mencapai di ujung koridor karena terlihat sekilas dari ekor bulatnya.

Aku berlari secepat mungkin supaya tak tertinggal, dan saat sampai di belokan yang dituju oleh domba itu, semua sudah berubah menjadi tak familiar.

Aku sudah berada di tempat yang benar-benar berbeda.

Bagian 2

Pemandangan Love Hotel yang menggairahkan berubah menjadi pemandangan ruang kerja yang penat.

Meja kantor berada di sana-sini memenuhi ruangan, banyak tumpukan berkas dan alat-alat kantor di atasnya, serta terdapat mesin fotokopi di sudut ruangan.

Anehnya, tak ada seorangpun di sini. Jika dilihat dari sinar matahari terang yang menembus jendela, seharusnya ada beberapa orang karyawan yang sedang sibuk membuat maupun memilah berkas.

Mungkin di dalam permainan ini hanya terdapat Reveriers yang ikut serta. Itu yang aku pikir. Tapi itu sudah jelas aneh, karena mereka dengan jelas menyebutkan sandera.

Aku berjalan ke jendela, menempelkan wajahku pada kaca, dan melihat keadaan di luar bangunan kantor ini.

Apa yang kulihat mungkin akan membuat seorang penjahat yang sedang melarikan diri akan panik hingga basah oleh keringat, kumpulan polisi dengan persenjataan lengkap sedang mengepung gedung ini.

Senjata laras panjang M16, rompi anti peluru full-body, dan terlebih mereka menggunakan helm serta topeng gas yang bisa membuat mereka berjalan dalam kumpulan asap tanpa perlu takut akan sesak.

Beberapa mobil polisi jenis van bertuliskan Anti-Bomb Department di sisinya. Itu artinya, mereka berencana untuk menjinakkan bom yang ada di sekitar sini, tentu, itu adalah gedung ini.

Dan itu artinya juga aku sedang berada di dalam kondisi yang sangat tak menyanangkan, karena aku terjebak dengan putus asa di dalam gedung yang menjadi tempat penyanderaan oleh teroris. Yah, tak putus asa juga.

Kalau begitu, aku harus mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya terlebih dahulu sebelum bertindak. Jika berada dalam keadaan yang tak tahu apa-apa, aku mungkin akan berakhir dengan kekalahan.

Aku menjauhi jendela, dan pergi menuju ke pintu yang memisahkan ruangan ini dengan luar. Aku buka pintu itu, lalu mengintip ke luar untuk memastikan tak ada teroris yang mendekat ke tempatku berada.

Setelah aman, aku tutup pintu itu, dan melangkah ke tengah ruangan yang satu-satunya memiliki ruang kosong.

Aku mengeluarkan smartphone dari dalam saku celanaku, lalu melihat ke arah pojok kanan atas layar untuk memastikan lagi sesuatu. Ternyata ada sinyal, dan malah 4G dengan batang yang penuh.

Jari telunjukku bergulir di atas layar, menggulung kumpulan video di salah satu situs berita. Dalam kategori "Hot Live", aku menemukan sebuah video streaming dengan judul "Penyanderaan Gedung Kantor oleh Teroris".

Karena sudah menemukan apa yang kucari, aku menekan jariku pada video itu dan akhirnya layar smartphone-ku masuk dalam mode video layar penuh.

Tayangan di layar menunjukkan pemandangan dari ketinggian. Aku kira mereka menggunakan helikopter untuk merekam kejadian yang sedang berlangsung ini. Apa boleh buat, mereka dilarang mendekat dan itu juga akan membahayakan hidup mereka.

Entah kenapa, menonton tayangan berita dengan berdiri sedikit terasa tak nyaman. Karena itu, aku memilih duduk di salah satu kursi kantoran itu, dan mengangkat kedua kakiku ke atas meja. Aku sempat menghembus nyaman sebelum akhirnya melanjutkan melihat keadaan.

Mereka masih menampilkan sesuatu yang sama namun kali ini dari sudut yang berbeda. Mereka juga menambahkan komentar-komentar yang sudah seharusnya dilontarkan oleh seorang reporter.

"Seperti yang Anda lihat, Pemirsa. Kelompok teroris yang menyebut diri mereka sebagai Equilibrium, telah menyandera 123 orang dalam gedung perkantoran dan mengancam akan meledakkan gedung itu bersama dengan sandera di dalamnya jika pemerintah tak memenuhi pemerintahan mereka.

Orang yang memperkenalkan diri sebagai Kendrik Blaire dan merupakan ketua dari kompolotan ini, meminta pemerintah untuk menghentikan produksi senjata mereka dan menghentikan aksi militer. Mereka juga menuntut untuk memberikan seluruh uang itu demi kesejahteraan mereka sendiri."

Saat mendengar kalimat permintaan mereka yang terakhir, aku merasa sedikit janggal. Aku hanya bisa menduga kalau pemerintah dengan liciknya sedang memainkan media massa.

Tentu saja aku berpikir begitu. Karena jika para teroris itu memang membutuhkan uang, seharusnya mereka menyandera sebuah bank ketimbang gedung perkantoran biasa. Aku juga ragu kalau jumlah uang yang mereka butuhkan harus memakan satu biaya negara.

Lalu apa? Apa tujuan mereka yang sebenarnya? Benarkah mereka hanya membutuhkan uang? Jika memang benar, apa yang akan mereka lakukan dengan uang sebanyak itu? Aku tak bisa tahu sebelum menanyai langsung pada pemimpin mereka, Kendrik Blaire.

"Oh!!! Anda dengar itu pemirsa?!" kata reporter wanita itu terkejut. "Suara tembakan baru saja dilepaskan. Apa yang terjadi? mungkinkah teroris itu telah membunuh seorang sandera? Mereka benar-benar tak manusiawi. Mereka adalah penjahat!! Tapi tenang, para polisi sudah siap untuk memojokkan mereka dan segera mengangkap mereka. Karena itu, kami berharap keluarga di rumah untuk bersabar dan menyambut dengan hangat kedatangan anggota keluarga yang menjadi sandera."

Benar-benar kalimat yang klise. Tapi, begitulah media massa, selalu memberikan berita yang kebenarannya tertutupi oleh pengaruh politik.

Suara tembakan tadi juga terdengar samar-samar dari tempatku, itu artinya aku tak jauh dari lantai bawah di mana para karyawan di sandera. Dan tentu, Kendrik Blaire berada di sana.

Kalau begitu, tak perlu berlama-lama lagi. Aku segera berdiri dari kursi, dan melangkahkan kakiku menuju pintu. Saat aku baru saja menyentuh gagangnya, terdengar suara orang sedang mengobrol tak jauh dari pintu ini.

Tentu, aku langsung panik dan bersembunyi di kolong meja. Orang yang bisa berkeliaran bebas dalam keadaan seperti ini pasti hanyalah anggota teroris itu sendiri.

Suara mereka semakin mendekat dan mendekat menuju pintu itu. Mereka sepertinya berhenti tepat di depan pintu karena suara mereka tak terdengar bergerak kembali. Namun setelah itu, tak ada kalimat yang dapat terdengar lagi.

Pintu terbuka secara perlahan, dan kedua orang itu masuk ke dalam ruangan ini. Sudah jelas ini merupakan pertanda buruk bagiku.

Mereka mengenakan rompi anti peluru seadanya dan membawa senjata AK-47. Terlalu familiar bagi teroris untuk membawa senapan otomatis buatan Rusia itu.

Mereka memeriksa seluruh ruangan hanya dengan melihat bulak-balik secara sekilas, jadi aku dengan mudahnya lolos dari ancaman senjata mereka.

"Kami baru saja menerima laporan, kalau ada perempuan berpakaian aneh bersama dengan para polisi."

Dan tiba-tiba suara reporter wanita sialan itu terdengar lagi. Ternyata aku lupa menutup situs itu dan tayangan langsung berita itu terputar kembali.

Dengan terburu-buru aku tutup situs itu, dan berharap mereka tak mendengar suara barusan. Namun sayang sekali, mereka sudah menyadari itu dan kini sedang mendekat dengan hati-hati ke arahku.

Aku panik, sudah jelas! Jika dibiarkan begini terus, aku sudah pasti akan dilubangi oleh hujan peluru. Seluruh keringat mengucur dari tubuhku dan detak jantungku berdetak begitu kencang.

Aku mengobrak-abrik dalam laci secara diam-diam berharap ada sesuatu yang bisa kugunakan untuk menjatuhkan mereka, namun tak ada apa-apa. Saat itulah, aku menemukan sebuah daftar nomor telepon.

Nomor-nomor ini bisa kugunakan! Kalau tak salah, ini adalah ruangan Direksi Tiga saat aku melihat papan di atas pintu tadi.

Aku mengambil telepon yang berada di atas meja, lalu memasukan nomor yang sudah kutentukan. Dan segera setelah itu, telepon yang berada di atas meja pemimpin di ruangan ini berbunyi.

Sekarang!!

Saat perhatian mereka teralih oleh suara telepon itu, aku segera mendekati mereka dengan katana yang sudah terhunus.

Tentu mereka menyadari itu, namun aku sudah terlebih dahulu menghantam kepala mereka dengan sisi tumpul katanaku. Dan akhirnya, mereka terkapar begitu saja di lantai.

Aku ambil pistol yang ada di pinggang mereka, dan mennyisipkan kedua pistol itu ke pinggangku. Kuangkat AK-47 mereka dan kulucuti seluruh amunisinya. Terakhir, aku hancurkan salah satu radio dan yang satunya lagi akan kubawa.

Tanpa perlu berlama-lama lagi, aku segera pergi meninggalkan mereka dan sekarang aku berada di koridor.

Aku tak tahu jalan mana yang harus kutuju. Jika ceroboh, bisa-bisa saja aku akan bertemu teroris lagi. Dan yang lebih parah, aku terkepung dan tak punya jalan untuk lari.

Ngomong-ngomong, kemana domba tak tahu diri itu? Aku belum melihatnya semenjak sampai di tempat ini. Apa dia sedang berkeliling di saat seperti ini? kuharap dia sudah menjadi domba panggang dan sedang dinikmati!

Baru saja berpikir seperti itu, aku melihat sosoknya sekilas berbelok di ujung koridor di sebelah kiriku. Tentu, aku langsung mengejarnya.

Dan memang nasib sial sedang menimpaku, aku bertemu dengan dua orang teroris lain sesaat aku berbelok.

Tak ingin menarik perhatian, aku lemparkan saja salah satu pistol ke kepala satu orang teroris. Menuburuk yang satunya dengan bahuku, lalu kuambil pisau di pahanya dan kutusuk tepat ke jantungnya.

Napasku terengah-engah setelah melakukan serangan yang mendadak tadi. Tubuhku sedikit bergetar, namun kupaksakan untuk berdiri.

Domba itu memang cepat, sosoknya sudah menghilang saat aku hanya berpaling sebentar. Tapi, seharusnya dia belum pergi terlalu jauh.

Untuk berjaga-jaga nanti, kuambil saja pisau yang tertancap itu beserta sarungnya yang dia ikatkan di paha. Karena untuk mengeluarkan katana dari sarungnya membutuhkan waktu yang cukup lama.

Setelah mengelap pisau ke baju si teroris dan menyarungkannya ke pahaku, aku segera melanjutkan pencarianku terhadap domba pembawa kesialan itu.

Aku berlari mengelilingi tempat ini, tentu dengan sangat hati-hati. Saat di jalan, aku menemukan plat yang bertuliskan "Lantai 3" tertempel di dinding. Itu artinya aku sangat dekat dengan tempat para sandera.

Tetap saja, setelah berkililing untuk beberapa saat seperti ini, aku tetap tak menemukan domba itu. Apa fungsinya di tempat ini bahkan aku tak tahu selain menjadi pintu portal.

"Mbeeee...."

Suara yang sudah tak asing itu segera memasuki telingaku.

Domba itu pasti tak jauh dari tempatku, lalu kuikuti saja jalan yang kurasa menuju sumber itu. Dan benar saja, aku menemukan domba itu sedang memakan tanaman hias di sudut.

"Hei, kau domba sialan!!!" kesalku.

"Siapa itu?!" teriak seseorang yang tak kukenal.

Dan setelahnya, suara langkah kaki yang berlari terdengar semakin mendekat. Mau apa lagi, aku hanya bisa berlari sambil menggendong domba ini di bahuku dan masuk ke dalam salah satu ruangan untuk bersembunyi.

Memang domba ini adalah pembawa sial. Sudah dua kali aku mendapat pertemuan dengan teroris seolah itu adalah takdir. Kuharap, dia tak mengubah cerita ini menjadi semacam Shoujo Manga.

Kan tak lucu jika aku harus jatuh cinta pada teroris karena bertubrukan dengan mereka saat sedang menggenggam roti di mulutku.

"Hei, siapa yang barusan!!" suara mereka semakin mendekat."Kami tak akan menyakitimu, jadi keluarlah sekarang juga. Jika kau melawan, kau akan tahu apa yang akan terjadi pada tubuhmu!!"

Kata-katanya sangat berlawanan! Tak ingin menyakitiku atau malah ingin membunuhku?! Mana yang benar kau sialan?! Ingin aku berteriak seperti itu, tapi kutahan.

Aku menutup mulut domba ini dengan tanganku. Aku takut dia akan mengembik di saat aku sedang dalam persembunyian seperti ini. Jika ditemukan, aku sudah yakin aku yang akan ditembak dan domba ini akan selamat.

Derik senjata terdengar semakin jelas seiring langkah kaki mereka. Dan domba ini semakin menggeliat di tanganku berusaha untuk lepas.

Saat itulah aku baru terpikir hal yang bagus, mengingat bagaimana kuatnya domba ini.

"Jika kau memang ingin bebas segitunya, aku akan membebaskanmu sekarang juga." bisikku.

Langkah mereka berhenti tepat di depan pintu. Gagang pintu berputar dengan perlahan, dan bunyi berdenyit terdengar seiring pintu itu dibuka.

"Sekarang, pergilah!!"

Sebelum pintu itu penuh terbuka, domba itu sudah menerjangnya dengan sekuat tenaga. Hasilnya pintu penyok bersama dengan seorang teroris yang berada di belakangnya. Dan domba itu langsung pergi lagi entah kemana.

Melihat temannya lumpuh tak berdaya oleh seekor domba, dia tentu terkejut. Namun sayang, dia tak punya waktu untuk menjernihkan pikirannya karena aku telah menghantam kepalanya dengan gagang pistol hingga dia tak sadarkan diri.

Tak lupa, aku hancurkan juga radio mereka dan lucuti seluruh amunisinya sebelum meninggalkan mereka. Aku sudah tak peduli dengan domba itu, karena itu aku sekarang langsung pergi menuju lantai satu.

Aku berjalan menuruni tangga dengan perlahan dan penuh kewaspadaan. Takutnya nasib buruk masih menimpaku walaupun aku sudah terpisah dengan domba itu.

Tak disangka, lantai ini terasa lebih sepi. Mungkin mereka lebih memusatkan pasukan mereka di bagian pusat lantai ini untuk mengancam para polisi dengan sandera sebagai jaminannya.

Tujuanku sekarang adalah untuk bertemu dengan Kendrik Blaire dan ingin mendengar penjelasan langsung darinya. Karena kalau tidak, aku tak bisa memilih sisi mana yang akan kubela dalam permainan ini.

Sebutir peluru tiba-tiba saja terbang lewat tepat di depan wajahku. Aku terpatung, namun dengan cepat menyadarkan diriku untuk bersembunyi.

Aku mengintip dari balik dinding dan mendapati seorang laki-laki dengan penampilannya yang penuh karisma. Dalam sekejap, aku tahu kalau dia adalah Kendrik Blaire.

Tapi, dia terus saja menembak ke arahku meskipun aku bersembunyi seperti ini. Sepertinya aku tak punya pilihan lain selain menghentikannya dengan paksa.

Aku segera keluar dari persembunyianku dan menembakkan satu peluru ke arahnya, dan dia juga melakukan hal yang sama. Namun aku dibuat terkejut, kedua peluru kami bertemu di udara dan saling memantul.

Karena tak percaya aku menembaknya sekali lagi, dan hasilnya pun sama. Malah, dia dengan tepatnya menembak ke arah pistolku dan membuatnya terlempar dari tanganku.

Karena panik, aku langsung menarik keluar katanaku. Dan sekali lagi, senjataku ini tertahan oleh sebutir peluru yang dilontarkan sebelum sempat terhunus.

Tak cukup sampai di situ, Kendrik dengan cepatnya sudah berada tepat di hadapanku dan menbrukku dengan keras. Aku tak bisa melawan karena ujung pistolnya sudah mendarat di tengah keningku.

Aku mengangkat kedua tanganku dalam posisi terlentang tak berdaya. Sungguh menyedihkan.

Bagian 3

Seorang anak perempuan sedang berjalan sambil menghela napasnya.

Dia mendesah dan mendesah lagi, seolah hidupnya hanya dibuat untuk bermalas-malasan di depan layar komputer.

Kalian tak akan tahu bagaimana perasaannya, ketika seorang NEET yang biasanya mendekap di dalam rumah kini harus berjalan di tengah kota seperti dipanggang oleh terik sinar matahari.

"Kenapa aku harus melakukan ini?" eluhnya. "Apakah dunia ini memiliki gravitasi yang lima kali lebih berat dari bumi? Kakiku terasa sangat berat. Bahkan mungkin apel yang jatuh dari pohon akan hancur saat menyentuh tanah, dan nama Newton tak akan terkenal sampai sekarang."

Itu tak lebih dari sekadar rasa tidak senang dan kemalasan yang memenuhi pikirannya.

Bagaimana tidak? Saat dia sedang asiknya bermain dengan smartphone-nya, sebuah pesan masuk dan muncul di pemberitahuan. Otomatis itu mengganggunya, dan pasti dia menjadi kesal.

Dan yang lebih parah lagi, setelah selesai membaca pesan itu, domba yang diberikan padanya tiba-tiba mengembik dan menarik bajunya dengan paksa. Akhirnya dengan entah bagaimana, dia berakhir dengan terdampar di pinggir jalan yang tampak asing baginya.

Bukannya dia tak memahami keadaan. Dia hampir sudah memahami keseluruhan kejadian hanya dengan membaca pesan singkat yang dikirimkan oleh orang bernama Zainurma itu.

Tapi yang paling menjengkelkan baginya adalah, bagaimana orang-orang melihatnya dengan tatapan aneh dan penuh rasa penasaran. Bahkan, mereka terpatung saat bersilangan arah dengannya.

Tentu, perempuan yang biasa dipanggil Mia ini mengabaikan itu semua dan tetap berjalan menuju tujuannya, ditemani seekor domba yang berlenggak dengan anggun untuk seukurannya.

Ada kumpulan kameraman dan reporter yang berdesakan di ujung jalan ini. Sudah pasti mereka adalah media massa yang sedang mencoba untuk meliput kejahatan yang sedang terjadi.

Ya, penyanderaan 123 orang oleh kelompok teroris Equilibrium yang dipimpin oleh pria bernama Kendrik Blaire.

Dia mengetahui kejelasannya saat dia tak sengaja melihat berita TV di salah satu toko pakaian yang sempat dia datangi tadi.

Mia sudah tak heran sebenarnya dengan keadaan seperti itu. Bagaimanapun juga, kehidupan tentramnya selalu terganggu oleh utusan polisi bernama Julian. Dan anehnya, Mia selalu berhasil disuap olehnya.

Kerumunan media massa terbuka saat mereka melihat Mia datang, dan dia melewatinya dengan santai. Tentu, tatapan mereka penuh dengan tanda tanya.

Bahkan barikade polisi yang menghalangi para wartawan itu memasang wajah curiga.

"Mau apa kau? Di sini sedang terjadi tindak kejahatan yang berbahaya, jadi menjauhlah! Tempat parade yang sedang kau tuju bukanlah di sini, anak kecil." ejek salah satu polisi.

Mereka tertawa dengan lebarnya. Tak aneh. Namun yang membuat Mia sedikit kesal adalah ketika mereka memanggilnya dengan "anak kecil".

Dengan cepat Mia mengeluarkan selembar kertas yang tersimpan di sakunya dan menunjukannya pada mereka. Saat itulah, mulut tak tahu diri mereka terkunci.

"K-kau?! Surat Resmi sebagai Penyidik Kasus Khusus Kepolisian! Darimana kau mendapatkan itu?" tanyanya gemetar.

"Tentu saja ini adalah punyaku." balas Mia dengan percaya diri. "Memangnya kau pikir ini apa? Aku adalah penyidik khusus yang dikirimkan untuk membantu kalian. Dan apa-apan sifat kalian itu? Apa ingin kuadukan pada atasan kalian?"

Mereka sebenarnya ragu, namun karena takut terhadap hukuman dan mungkin penurunan jabatan yang akan diberikan oleh atasan mereka, akhirnya mereka membiarkan Mia melewati barikade mereka.

Mia sendiri tak begitu yakin kalau surat yang pernah dia minta pada Julian untuk memudahkan penyelidikannya sebagai detektif bayaran itu bisa membantunya, namun sepertinya itu berfungsi dengan baik.

Mereka meminta dengan baik-baik surat yang dipegang oleh Mia lalu mengantarkannya pada tempat pemimpin lapangan berada.

Di dalam sebuah toko terdekat dengan tempat kejadian, para polisi sedang mendiskusikan strategi. Dan polisi yang meminta surat Mia tadi, memberi hormat pada salah seorang polisi yang lain dan menyerahkan surat itu padanya.

Pria yang kemungkinan besar adalah pemimpin di sini langsung mendekatinya dan memberikan salam yang hangat.

"Selamat siang, Nona La—"

"Panggil saja Mia." Potongnya.

"Oh, maafkan saya. Nona Mia. Saya adalah Thomas McConnor yang bertugas sebagai juru bicara dan pimipinan lapangan dari operasi ini." katanya sambil mengulurkan tangan.

Mia menerima uluran tangan itu dan membalasnya dengan sopan. Setelah beberapa saat, akhirnya kedua tangan itu berpisah.

"Jadi, Anda adalah penyidik khusus yang dikirimkan untuk membantu kami?" tanya Thomas.

"Bisa dibilang seperti itu. Lagipula, aku ke sini untuk menangkap orang bernama Kendrik Blaire itu. Dia dalah buronan yang sudah kuincar belakangan selama setahun ini, dan untuk melacak jejaknya sangatlah sulit. Siapa sangka, dia akhirnya memunculkan dirinya ke hadapan publik dengan melakukan penyanderaan seperti ini."

"Oh begitu, saya paham. Hanya ... jujur saja saya tak percaya dengan Nona Mia."

Seperti yang diharapkan dari orang yang menjadi pemipin, tidak mudah untuk meyakinkannya.

"Bukannya saya tak mempercayai surat yang Nona bawa. Sudah jelas kalau surat ini asli, namun bagaimana saya bisa percaya dengan anak kecil berpakaian Gothic-Lolita yang membawa seekor domba dengannya?" lanjut Thomas.

"Itu semua karena si penjual toko yang memaksaku!" jawab Mia spontan. "Ini bukan berarti aku menginginkan pakaian ini. Aku hanya berpikir kalau aku memerlukan pakaian yang sedikit resmi, tapi itu adalah kesalahan."

Ya, Mia ditarik ke tempat ini sebelum dia dapat menyiapkan apapun. Kau tahu bagaimana penampilannya sehari-sehari, kaus oblong dengan jeans biru yang lusuh serta sepasang sneaker di kakinya.

Tapi karena Mia bertujuan untuk membela sisi polisi, dia memilih untuk mencari baju yang sedikit resmi demi mendapat kesan baik. Namun apa dikata, pilihan yang bukan kebiasaan bermalasnya itu malah menjadi senjata makan tuan.

Dia tak membawa Dietrich, namun seharusnya dia sendiri sudah cukup membuat penjaga toko itu menangis karena sarkas dari mulutnya yang kasar. Ternyata, meskipun telah dihujani hinaan oleh Mia, si penjaga toko hanya bisa tersenyum lebar.

Gaun serba hitam dengan renda di sana-sini dan topi bulat besar yang senada dengan pakaiannya, ditambah seekor domba sebagai pengawalnya membuat dia terlihat seperti seorang boneka hidup dari suatu parade kota.

"Baik-baik, saya bisa memaklumi kalau tentang itu." tawa Thomas. "Tapi tetap saja, saya tak bisa membiarkan seorang anak kecil masuk ke dalam area berbahaya seperti ini. Dan yang utama, saya tak bisa mempercayai kemampuan Anda sebagai penyidik."

"Sayang sekali, aku sudah berumur 22 tahun. Jadi, tolong berhentilah memanggilku dengan 'anak kecil'."

"Eh?!" Thomas terkejut.

"Ehem.." namun segera disadarkan kembali oleh Mia.

"Dan kau bilang, kau meragukan kemampuan penyidikku? Kau terlalu meremehkanku Tuan Thomas. Baiklah mungkin untuk awal, kenapa kalian memalsukan media massa? Itu pertanyaan yang seharusnya sudah bisa kau pahami." lanjut Mia.

Thomas tak memberikan reaksi apa-apa, jadi mungkin dia ingin lebih mendengar bagaimana jalan pemikiran Mia sebagai penyidik.

"Yah, sebagai orang yang sudah sering berada dalam seluk beluk dunia kriminal, aku tahu bagaimana kerja pemerintah di balik layar. Tapi, aku tak sepenuhnya berpihak pada pemerintah walaupun mereka salah. Memang aku akan memilih yang menurutku lebih mudah, namun aku tak akan membiarkan kesalahan yang ditimbulkan lebih besar daripada kebenarannya."

Masih sama, Thomas hanya terdiam tanpa mengatakan satupun kalimat. Namun matanya kini mengarahkan tatapan serius seolah orang yang ramah tadi kini sudah berubah menjadi pembunuh veteran.

"Misalnya seperti keadaan ini. Teroris yang menyebut diri mereka sebagai Equilibrilium menyandera sebuah gedung dan meminta uang sebagai tebusan, bukannya itu sangat bodoh? Memangnya berapa banyak yang mereka minta hingga harus menghentikan produksi senjata negara? Lagipula, kalau tujuan mereka hanyalah uang untuk 'diri mereka sendiri', kurasa mereka tak perlu melakukan itu."

Mia memegang erat kalung berbentuk tetesan air mata di lehernya, sebelum dia melanjutkan kalimat kesimpulannya.

"Jadi mungkin ini yang sebenarnya dikatakan oleh Kendrik, 'Kami menuntut pemerintah untuk segera menghentikan produksi senjata dan juga menghentikan aksi militer yang mereka jalankan, lalu menggunakan uang produksi itu untuk disalurkan pada masyarakat dan menjamin kesejahteraan kami!'."

Mia menekan tiap-tiap kata yang keluar dari mulutnya, seolah berusaha untuk memojokkan Thomas.

"Hooh, ternyata kemampuan Anda memanglah sangat mengesankan, Nona Mia." akhirnya Thomas berbicara. "Kata-kata yang Anda ucapkan sama persis dengan Kendrik walaupun Anda tak berada di sekitar saat kejadian."

"Hanya karena mereka menggunakan kata 'kami' di akhir, kalian mengkambing-hitamkan mereka dengan memberitahu pada masyarakat kalau mereka akan meminta uang itu untuk mereka sendiri. Bukankah mereka adalah penduduk negeri ini  juga?!" tegas Mia.

"Benar-benar kemampuan menyimpulkan yang hebat." Thomas menepuk tangannya. "Lalu, apakah Anda ingin membantu kelompok teroris itu dan menghancurkan pemerintah, Nona Mia?"

Anggota polisi lain yang sedari tadi diam, kini mengacungkan pistol mereka ke satu titik, yaitu Mia.

Mia melemaskan bahunya, lalu mengangkat kedua tangannya.

"Tidak, tidak... kan sudah kubilang sejak awal kalau aku hanya akan mengambil jalan yang paling mudah." tawanya. "Dan untuk kali ini, jika para teroris itu gagal untuk mendapatkan permintaan mereka, kurasa tak akan menimbulkan kesalahan yang lebih besar dari 123 nyawa orang yang ada di dalam. Niat mereka sudah benar, namun cara yang mereka gunakan salah! Dan itu sudah cukup menjadikan alasanku untuk menghentikan mereka."

Thomas tersenyum, dan dengan segera menyuruh bawahannya untuk segera menyarungkan pistol mereka kembali.

"Benar ... aku juga sebenarnya tak suka dengan cara pemerintah. Aku yang sudah menjadi polisi lebih dari dua puluh tahun ini, tahu mana keburukan dan kebaikan mereka terhadap masyarakat. Karena itulah, aku akan tetap menjadi polisi demi melindungi masyarakat tak bersalah dari luar dengan caraku sendiri."

Mia tak bisa menyela itu. Niat yang ditunjukan Thomas benar-benar murni dengan identitasnya sebagai polisi—pihak yang mengayomi dan melindungi masyarakat.

"Kalau begitu, mari ikuti saya." lanjut Thomas.

Thomas mengantar Mia ke meja diskusi, dimana seluruh strategi dan jalan pemikiran dikumpulkan menjadi satu di dalamnya.

Di atas meja sudah terdapat beberapa berkas: tata letak kota, struktur bangunan yang menjadi tempat penyanderaan, data seadanya dari teroris Equlibrium, dan data khusus dari orang yang bernama Kendrik Blaire, pimpinan mereka.

Mia mengamati berkas-berkas itu satu persatu, memilah yang menurutnya penting dan tak penting, lalu mencoba memahaminya.

"Tuan Thomas, bagaimana keadaan sekarang?" tanya Mia. "Kukira, kalian belum sama sekali melakukan pergerakan yang berarti."

"Iya, apa yang Anda kira itu benar." Thomas menjawabnya dengan polos. "Aku sebagai juru bicara sudah mencoba berbicara dan membujuk mereka, dan jawabannya ... Anda pasti tahu. Mereka akan meledakkan bom yang tertempel di setiap tubuh sandera setiap 10 menit kalau pemerintah tak menuruti permintaan mereka satu jam dari sekarang."

"Hmm, mereka terlalu nekat." Mia memberi komentar singkat. "Lalu, bagaimana dengan kemungkinan di mana kita menyergap mereka masuk? Dari yang kulihat, sepertinya cukup sulit untuk melakukan pergerakan secara diam-diam."

Tata letak gedung yang menjadi tempat penyanderaan menjadi lokasi yang strategis bagi mereka. Dengan hanya dikelilingi tiga bangunan kecil, gedung itu menjadi bangunan yang paling tinggi dalam blok itu.

"Seperti yang Anda lihat, tiga bangunan yang mengelilingi gedung itu hanya berkisar dua lantai. Dan lantai satu gedung itu sendiri tingginya sama dengan dua lantai, jadi sangat mustahil untuk menyelundup masuk melalui bangunan lain." penjelasan lanjut dari Thomas.

"Bagaimana dengan pintu darurat? Apa kau sudah mengeceknya?"

"Tentu, dan sepertinya mereka sudah memasang bom perekat di sisi-sisi pintu saat di deteksi oleh pasukan kami. Jadi itu tak bisa dibilang sebagai serangan sergapan, dan kalau tak hati-hati mereka bisa saja langsung mengetahui keberadaan kita di dalam dan tanpa ragu meledakkan sandera."

"Itu artinya, mereka juga pasti sudah menyiapkan bom di pintu atap. Dan kita juga tak mungkin untuk mematikan bomnya paksa dengan menggunakan gelombang elektromagnetik, karena kalau salah itu bisa menyebabkan error dalam sirkuit listriknya dan meledakkan bom." suara Mia terdengar putus asa.

Mia berpikir dengan dalam dan lebih dalam, mencari cara yang efektif, dan tidak menyebakan kesalahan dengan tingkat yang besar.

Saat diam seperti itu, Mia sangatlah cantik. Kulit pucat dengan rambutnya yang pirang, serta mata biru sejernih air, pasti akan membuat orang mengira kalau dia adalah boneka sungguhan.

Tiba-tiba saja, Mia memukulkan kedua tangannya ke meja, dan itu membuat keindahan dirinya memudar seperti debu yang beterbangan kemudian.

"Ada apa?" tanya Thomas.

"Inti dari masalah kita sekarang adalah bagaimana caranya agar kita bisa menyerang mereka tanpa membuat mereka meledakkan sandera, bukan?" tanya Mia balik.

"Iya, lalu?"

"Aku baru saja terpikir sebuah ide ... tapi ideku ini akan terlalu gila dan beresiko. Jadi, kukira ini tak akan diterima." kata Mia dengan ragu.

"Tak apa, katakan saja seluruh pemikiran yang ada di rencanamu itu. Bawahanku pasti akan bisa mengatasi apapun rintanganya, jadi tak perlu khawatir."

"Benarkah?" tanya Mia meyakinkan. "Benarkah kalian bisa melakukannya, meskipun nyawa kalian yang menjadi taruhannya? Yah, aku tak berniat untuk membiarkan salah satu dari kalian mati tapi ... dalam rencanaku sedikit kesalahan saja berarti mati..."

Semua terdiam, semua tertegun, tak ada yang berani untuk mengeluarkan pendapat mereka.

Mereka mungkin takut akan kematian, namun itulah artinya menjadi polisi. Mereka seharusnya sudah siap untuk mengorbankan nyawa mereka setiap saat dalam keadaan apapun.

Tapi, Mia tak akan memaksa orang yang tak ingin mengorbankan nyawa mereka. Mereka memiliki jalan yang harus mereka pilih sendiri.

"Kami tidak takut mati."

Suara si pemimpin memecah keheningan.

"Sejak awal, kami adalah pasukan negara yang sudah siap dengan resiko mati." lanjutnya. "Kami rela mati demi terjaganya keamanan masyarakat. Lebih baik ada kemungkinan untuk menyelematkan seluruh sandera daripada tak ada sama sekali."

Dan setelah itu, anggota yang lainpun memberikan tatapan yang sama. Tatapan penuh kebanggan yang memegang teguh jati diri mereka.

Thomas menjulurkan sebuah alat yang memiliki sangkutan untuk di telinga, itu adalah alat komunikasi.

Mia sempat ragu untuk menerima itu. Karena mengambil itu dari tangan Thomas artinya membuat Mia menanggung seluruh nyawa yang dia pimpin nanti.

Tapi, dia dengan segera menetapkan hatinya. Mengambil alat komunikasi itu dari tangan Thomas dan memasangnya di telinga.

Thomas memberikan sebuah jempol sebagai tanda "oke", dan mia juga membalasnya dengan jawaban yang sama.

"Baiklah kalian semua, aku punya satu pengumuman di sini. Singkat saja, mulai sekarang yang akan memimpin kalian adalah Nona Mia. Kalian mengerti?!"

"Mengerti!"

Jawaban langsung datang dari dalam alat komunikasi yang dipakai Mia. Suara yang terdengar tegas, tanpa ada keraguan sama sekali di dalamnya.

Mia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya. Entah kenapa, dia merasa tak ingin kalah dengan para polisi yang sudah siap mempertaruhkan nyawanya di luar sana.

Mungkin ini pertama kalinya bagi dia bersemangat dalam melakukan hal yang merepotkan. Tapi tetap, ini adalah permainan, permainan yang memerlukan nyawa.

"Aku Mi—" dia terhenti. "Aku ... Lamia von Rosendorn akan memimpin kalian mulai sekarang. Oleh karena itu, percayakan nyawa kalian padaku!"

Bagian 4

Dua buah helikopter militer sedang melayang di atas gedung yang menjadi tempat penyanderaan.

Angin kencang dari baling-baling yang berputar menghempaskan tumpukan kertas yang berada di sekitar.

Beberapa tali tambang dilempar keluar dari helikopter hingga menyentuh atap, diikuti oleh pasukan bersenjata lengkap serba hitam yang meluncur turun setelahnya.

Tak ada penggunaan waktu yang sia-sia dalam pergerakan mereka. Saat baru saja kaki mereka menyentuh permukaan, posisi bertahan telah mereka terapkan secara merata dari yang pertama hingga terakhir.

Setidaknya, ada dua puluh empat prajurit yang membawa senapan otomatis FAMAS, dan juga mengenakan seragam tempur anti peluru yang dilengkapi dengan helm serta topeng gas.

Setelah yakin seluruh prajurit telah turun, kedua helikopter itu pergi meninggalkan mereka di tengah medan perang, dan akan kembali menjemput mereka ... jika mereka berhasil kembali hidup-hidup.

Barisan prajurit yang paling depan segera mendekati satu-satunya pintu masuk menuju gedung yang ada di atas sini.

Barisan yang lain tentu mengikuti dari belakang, bersiap siaga dengan senjata yang sudah menodong tepat ke arah pintu.

Sebelum bisa membuka pintu itu, mereka memastikan ada atau tidaknya bahaya yang mengancam seperti bom dan lainnya. Namun tak seperti yang dikira, tak ada bom yang disiapkan di pintu ini.

Mereka tentu cukup dibuat heran, namun karena mereka adalah prajurit yang terlatih dengan segera mereka melaporkan keadaan pada atasan mereka.

"Keadaan, aman! Tak ada bom di titik Alpha." kata seorang dari mereka.

"Hah? Apa kau yakin sudah mengecek seluruhnya?" suara seseorang dari dalam alat komunikasi mereka sama heran.

"Siap! Tak ada tanda dari bahan peledak yang terdeksi di pintu."

"Baiklah ... segera lanjutkan operasi. Tapi, tetap berhati-hati dan jangan sampai mati!!"

"Baik!" jawab prajurit ini dengan tegas.

Dia memberi tanda dengan tangannya untuk melanjutkan operasi.

Seorang prajurit yang lain mendekati pintu itu. Rasa ragu dan takut menghampirinya saat tangannya akan menggenggam gagang pintu yang mencurigakan itu.

Ada kemungkinan jika pintu sudah dialiri listrik bertegangan tinggi. Tapi, seragam mereka seharusnya terbuat dari bahan tebal dengan isolator tingkat tinggi sehingga mereka tak akan bisa tersengat listrik.

Tetap saja, rasa cemas pasti ada. Jika ada orang yang tak mempunyai rasa negatif dalam dirinya, sudah bisa dipastikan kalau itu adalah sebuah kebohongan.

Secara perlahan, lebih perlahan, dan semakin perlahan tangannya menjulur dan menggenggam gagang pintu itu. Setelah yakin, dia memutarnya dan mendorong pintu itu.

Saat pintu itu baru saja terbuka, sepuntung rokok terjatuh dari selipan di atas pintu. Dan, terjadilah ledakan.

Di lain tempat,  seseorang sedang memantik api dari zippo-nya dan menyalakan sebatang rokok baru yang terselip di antara kedua bibirnya, dilanjuti dengan asap mengepul yang terhembus setelah dia menghirupnya dalam-dalam.

Setelah menaruh zippo-nya kembali ke saku, dia dengan segera mengarahkan radio ke telinganya sesaat suara bosnya terdengar, ditambah dengan decakkan lidah.

"Ya, ya ... mereka memang bodoh tak menyadari jebakan kecil seperti itu." jawabnya dengan setengah hati. "Bubuk mesiu yang tertutup oleh tumpukan kertas ... sudah pasti mereka hanya menganggap itu sebagai sampah kantoran."

"Bagus ... bagus sekali! Kau memang sangat bisa diandalkan, Gold!!" suara dari dalam radionya terdengar sedikit arogan. "Sangat jarang ada orang yang hebat sepertimu. Bagaimana, kalau kau masuk saja dalam kelompok kecilku yang kekurangan orang ini? Setidaknya itu akan menjamin keselamatan pacarmu itu ... dan aku juga akan diuntungkan dengan adanya orang sepertimu. Kesepakatan yang bagus, bukan?"

Lelaki yang dipanggil Gold ini hanya bisa terdiam sambil terus menghisap batang rokok di mulutnya. Dia jelas tak suka, namun wajahnya tak memberi kesan apa-apa selain datar.

Dia menarik napas dalam, lalu membuangnya sekaligus sebelum kembali berbicara dengan orang yang berada di seberang radionya, Kendrik Blaire.

"Yah, aku benar-benar tak peduli. Kesepakatan kita yang sekarang hanyalah aku yang menghabisi seluruh orang yang berusaha menyusup, dan kau tak akan menyentuh Baruna. Itu saja yang kita janjikan, benar?"

"Baiklah, baiklah. Aku adalah orang yang selalu menepati janjiku dengan siapapun." terdengar tawa dari seberang. "Jadi, kau sama sekali tak tak perlu khawatir. Tenanglah dan tenang saja! Setelah kegilaan ini selesai, aku akan membebaskan seluruh sandera termasuk kekasihmu itu."

"Baiklah. Jika kau memang akan menetapi janjimu, maka aku juga akan menetapi janjiku."

Diiringi dengan kata terakhirnya, Gold mengambil pistol di saku dengan tangan kanannya lalu menarik pelatuknya sekali ke arah ujung koridor.

Sebuah peluru melesat di sepanjang koridor meninggalkan suara yang menggelegar, sebelum akhirnya bersarang di kepala salah satu prajurit berpakaian serba hitam itu.

Tak cukup hanya satu, masih terdapat dua orang lagi di belakang prajurit itu. Tentu Gold langsung menembakkan lagi peluru dari pistolnya, namun sama sekali tak mengenai keduanya. Seolah, tembakan pertamanya hanyalah keberuntungan.

Tak ada pilihan lain, Gold memilih untuk bersembunyi di salah satu belokan koridor sesaat peluru menghujani tempat dia berdiri sebelumnya.

Tak perlu waktu lama bagi pasukan prajurit hitam itu untuk memenuhi lantai ini. Otomatis, kini Gold terjebak sendirian tanpa ada bantuan sama sekali.

Dia tak berusaha untuk meminta pasukannya sendiri pada Kendrik, itu karena dia berusaha menghindari kemungkinan dimana pasukannya akan menusuk dirinya dari belakang. Dan saat itu, keselamatan Baruna sudah pasti akan dipertanyakan.

Seluruh pasukan itu tak mati hanya dengan jebakan kecil yang Gold siapkan. Tentu saja Gold sudah memperkirakan hal ini, namun dia ingin berharap kalau mereka semua lebih baik mati. Karena harus melawan mereka sangatlah merepotkan.

Lagipula sejak awal kenapa dia harus melakukan ini? Hanya karena Baruna disandera, Gold harus mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan perempuan itu. Bukankah itu tak masuk akal?

Mereka pertama kali bertemu di dalam Bingkai Mimpi milik Gold, dan semenjak itu Baruna selalu mengikuti kemanapun Gold pergi. Bukannya Gold merasa terusik, hanya saja dia sendiri tak tahu apa yang harus dilakukan dengan perempuan itu.

Karena untuk mengetahui siapa dirinya sendiri pun, dia sudah sangat kesulitan. Dan kini, dia harus membagi fokusnya terhadap orang lain selain dirinya sendiri.

Gold menggeleng kepalanya sendiri. Tak ada gunanya memikirkan hal seperti itu di tengah medan perang, itu yang dia simpulkan sekarang.

Rentetan peluru terus menerus ditembakkan ke arah Gold, namun semua peluru itu terhalang oleh dinding. Mereka bukannya membuang peluru itu dengan percuma, tapi dengan sengaja untuk mengarahkan Gold ke jalan koridor lainnya.

Hanya dalam sesaat, Gold tahu kalau pasukan itu dipimpin oleh orang yang cukup mengerikan. Namun, dia pasti sangat berhati-hati dilihat bagaimana mereka bertindak.

Untuk saat ini, Gold hanya bisa mengikuti jalan permainan mereka dan memilih untuk pergi koridor lainnya. Karena koridor di sini saling berhubungan, pasti ada kemungkinan kalau sudah terdapat pasukan lain yang siap menyergapnya.

Dan benar saja, di koridor sebelah kirinya sudah ada tiga prajurit hitam yang menembakinya sesaat dia melewati pertigaan. Tapi, Gold yang mengetahui itu langsung menarik dirinya kembali untuk berlindung.

Sekarang, dia terjebak di dua arah. Kalau dia tak segera melakukan apa, sudah pasti dia akan ditembak hingga mati.

Meskipun terdapat jalan koridor lainnya di hadapannya, Gold sendiri tak yakin kalau jalan di depan sana aman. Bisa saja mereka sudah menaruh prajurit lainnya di sana dan sudah siap dengan senjata yang terarah.

Tak ada yang bisa dilakukan lagi. Mungkin begitu seharusnya, namun Gold malah melemparkan granat asap ke tiga prajurit di dekatnya.

Dan dengan secepat kilat, dia lari mendekati mereka di tengah kumpulan asap. Tembakan demi tembakan dia luncurkan sembari dia menghindari tembakan lainnya dari mereka.

Dua prajurit mati, namun yang satu masih hidup dan berusaha untuk memberi tembakan telak pada Gold. Dengan begitu, Gold yang tak memiliki keuntungan seharusnya mati.

Iya ... seharusnya. Tapi entah kenapa, si prajurit itu malah mengarahkan ujung silinder senjatanya itu pada kepalanya sendiri. Dan saat dia menarik pelatuknya, sudah dapat dipastikan dirinya sendirilah yang mati.

Gold sendiri merasa heran. Bukannya karena dia tak tahu, tapi justru karena dia tiba-tiba saja mengingat sesuatu yang menjadi bagian dari dirinya. Kemampuannya untuk mengganti ingatan orang lain.

Bagi Gold yang tak mengetahui jati dirinya sendiri, ini merupakan hal yang bagus. Tapi tetap saja, dia merasa sedikit terganggu dengannya. Terlebih, saat mengingat orang-orang aneh yang dia temui di dalam Museum Semesta atau begitulah yang mereka sebut.

Sembari Gold hening dalam pikirannya, asap dari granat yang dia lemparkan mulai menipis dan menghilang terhisap angin melalui ventilasi.

Dua pasukan prajurit berpakaian hitam sudah siap meluncurkan pelurunya dari dalam klip mereka sesaat asap lenyap dari sekitar Gold. Dia tak menyadari keberadaan mereka, itu semua karena kecerobohannya.

Sekarang, dia tak punya tempat untuk lari maupun berlindung. Rentetan peluru sudah bisa dipastikan akan melubangi dirinya sesaat dia membuat gerakan yang mencurigakan.

Entah terasa atau tidak, keringat mulai berkucuran dari kepala Gold tapi dia masih saja dengan santainya menghisap batang rokok di mulutnya dan menghembuskannya keluar.

Otaknya mulai bekerja mencari cara untuk keluar dari situasi yang menjepit ini—secara harfiah benar-benar terjepit.

Jika dia melempar granat ke arah satu pasukan, pasukan lainnya pasti akan menembaki dirinya. Dan misalkan dia membuat pengecohan, tak ada kepastian kalau pasukan lain akan menghalang dirinya dari arah koridor yang dia lewati.

Tak ada pilihan lain, dia hanya harus menyerah. Meskipun sebentar, setidaknya dia sudah berusaha menahan banyak prajurit itu hanya dengan satu tubuhnya sendiri.

Gold dengan perlahan membungkukan tubuhnya lalu menaruh pistolnya di atas lantai. Saat itulah, sebuah peluru menghantam dinding kaca hingga membuat suara pecahan yang sangat keras lalu tertancap dalam dinding di hadapan salah satu pasukan.

Mereka semua termasuk Gold sendiri tentu kaget dengan datangnya peluru itu. Jika dilihat dari efeknya, bisa diperkirankan kalau itu adalah peluru dari sebuah senapan sniper.

Gold dengan cepat kembali pada kesadarannya dan memanfaatkan keadaan untuk kembali menggunkan granat asap, lalu meninggalkan tempatnya dengan menyerbu ke arah pasukan yang yang terkejut karena serang sniper barusan.

Dia tak bisa membunuh mereka semua, tapi setidaknya dia bisa menyandera satu nyawa untuk menjadikannya sebagai perisai daging dan darah dari puluhan peluru yang akan ditembakan mereka.

Tapi ternyata, mereka tak segan-segan untuk menembaki Gold bahkan dengan teman mereka sebagai penghalangnya. Seperti yang diharapkan dari satuan anti-teroris profesional, mereka tak ragu untuk mengorbankan rekan mereka sendiri.

Merasa terdesak kembali, Gold membuang mayat di tangannya itu lalu berlari ke arah tangga menuju lantai bawah.

Sepertinya mereka belum mengirimkan pasukan di lantai ini karena terasa begitu sepi. Kalau begitu, ini adalah kesempatan bagus bagi Gold untuk menghindar dari pasukan hitam itu untuk sementara.

Tanpa lama lagi, Gold langsung saja mencari tempat persembunyian dan menemukan sebuah ruang kerja kosong dengan banyak meja kerja sebagai pelindung bagi dirinya.

Dia memilih untuk bersebunyi di kolong meja barisan tengah. Dengan begitu, dia seharusnya bisa mendapatkan cara untuk mengelabui mereka dan dapat kabur jika ditemukan.

Akhirnya, Gold dapat bernapas lega meskipun masih harus memasang sikap waspadanya.

Dia mencoba untuk memahami keadaan yang baru saja dia alami. Di saat peluru tadi menyelamatkannya, sekilas dia melihat ke arah tembakan itu dan itu membuatnya terheran.

Karena jarak antar blok yang tak jauh, Gold jadi bisa melihat seragam yang digunakan oleh penembak jitu. Jelas sekali, itu adalah seragam tempur yang digunakan oleh satuan polisi anti-teroris.

Karena itulah dia terheran. Kenapa sniper dari polisi menembak ke rekan mereka? Hanya satu kesimpulan yang bisa didapat, pasukan hitam itu bukanlah bagian dari kepolisian.

Dan akhirnya Gold menyadari sesuatu, karena langsung saja dia mengambil radio di pinggangnya untuk menghubungi Kendrik.

"Kendrik, jawab. Ini aku Gold, jawab!" kata Gold tergesa dengan napasnya yang terengap.

"Iya, ada apa Gold?" jawab Kendrik tak lama kemudian dari dalam radio. "Kenapa kau menghubungiku dengan terburu-buru seperti itu? Mungkinkah kau ingin memberikan sebuah kabar buruk, begitu?"

"Iya! Seperti yang kau bilang, ini adalah kabar buruk! Kita mendapat serangan dari kelompok lain, dan itu adalah dari polisi. Para polisi itu mengarahkan senjata pada pasukan yang menyerang kita barusan."

"Apa maksudmu?" nada Kendrik tiba-tiba saja berubah menjadi serius. "Bukankah yang menyerang kita adalah polisi? Lalu kenapa para polisi itu menyerang rekan sesama mereka?!"

"Aku tak tahu! Aku sendiripun bingung bagaimana menjelaskan keadaan kita sekarang! Tapi, aku bisa menyimpulkan satu hal..."

Gold menghentikan perkataannya sendiri. Lipatan senyum terbentuk di bibirnya sebelum dia melanjutkan perkataannya.

"... Pasukan yang menyerang kita pertama kali, bukanlah polisi."

Bagian 5

Keadaanku sekarang bisa dibilang sedang dalam masa yang menyulitkan. Seluruh senjataku telah dilucuti, ditambah tangan yang borgol sudah membuat hariku terasa tak menyenangkan.

Ingin aku mengeluh, tapi tentu saja itu tak diperbolehkan. Lagipula, keadaan ini terjadi akibat keinginanku untuk bertemu dengan pemimpin teroris Equilibrium yang kini sedang menodongkan pistolnya di punggungku.

Kendrik Blaire, itulah namanya. Orang yang penuh dengan karisma, dan hanya dengan sekali melihatnya siapapun bisa merasakan itu.

Aku terus dipaksa berjalan hingga akhirnya sampai di tempat para sandera. Ya, sekarang aku juga akan dijadikan sandera olehnya.

Itu yang aku pikirkan, namun ternyata dia malah memisahkanku dari kumpulan sandera dan membawaku ke selasar atas. Bagian dari lantai satu ini yang berada di atas tangga. Aku tak tahu ini bisa dibilang lantai satu atau lantai dua.

Dari atas sini, aku bisa melihat para sandera melalui atas pagar setinggi pinggang. Mereka semua dikelilingi oleh teroris bersenjata. Dan yang lebih parah, terdapat bom yang terpasang di tubuh beberapa sandera.

Mereka semua pasti sedang ketakutan. Tentu, itu adalah reaksi yang wajar dikeluarkan oleh manusia saat sedang berada dalam situasi yang mengancam hidup mereka.

Tiba-tiba saja, aku tak merasakan dorongan di punggungku lagi. Sudah dipastikan kalau kami telah sampai di tempat tujuan, di tempat mereka mengadakan diskusi tentang apa yang akan mereka lakukan.

Terdapat beberapa meja yang dirapatkan menjadi satu, dan di atasnya terdapat beberapa tumpuk kertas dan alat komunikasi. Dan yang lebih hebatnya, terdapat satu set alat siaran tepat di samping tempat ini.

Kendrik menyuruh anak buahnya untuk menjagaku semetara selagi dia mengambil sebuah kursi kantor dan memaksaku duduk di atasnya.

Dia juga menyuruh anak buahnya mengambil satu kursi yang lainnya, lalu dia sendiri duduk dengan santainya di atas kursi itu.

Dan sekarang, entah kenapa aku merasa situasi menjadi tegang bagiku. Tapi itu sepertinya tak berpengaruh untuk Kendrik, dia terlihat begitu tenang dengan satu kakinya yang dia lemaskan di atas kaki yang lainnya.

"Jadi, siapa kau ini?" pertanyaan Kendrik yang tiba-tiba itu sedikit mengagetkanku. "Dimana teman-temanmu yang lain? Jangan bilang kau menyerang kami hanya sendirian? Itu tidak mungkin."

Kendrik tertawa, dan seluruh anak buahnya yang berada di sekitar sini pun ikut tertawa seolah itu adalah wajar.

Dia menggeser kursi beroda itu mendekatiku seperti meluncur dengan mobil mainan. Dia mengarahkan tangannya itu ke wajahku dan menggenggamnya dengan kuat.

"Jika memang benar, setidaknya aku harus menghargai keberanianmu." lanjutnya. "Apa tujuanmu ke sini? Aku akan menunda kematianmu dan mungkin saja akan menjadikanmu bagian dari kami tergantung jawabanmu itu, kau tahu?"

Dengan rongga mulut yang tergenggam keras membuatku sulit berbicara. Karena itu, sebelum menjawab pertanyaannya itu aku terlebih dahulu menarik wajahku dengan paksa.

"Tujuanku adalah kau, Kendrik Blaire." jawabku.

Kendrik menaikkan alisnya dan mengerutkan keningnya. Dia memasang wajah seolah dia sudah menduga jawabanku.

"Biar kuperjelas," alisnya menurun dan kembali fokus padaku. "Aku di sini bukan untuk membunuhmu. Jadi, kusarankan untuk tidak menanyakan apa organisasiku dan apa hubungannya dengan pemerintah, karena itu percuma."

Bibirnya tertekuk menjadi senyuman. Kali ini wajahnya menunjukan ketertarikan seperti melihat sesuatu yang menghibur untuknya. Dan mungkin, itu adalah pertanda bagus bagiku.

"Tapi setidaknya aku bisa menanyakan namamu, bukan? Tak ada salahnya jika aku ingin mengetahui nama dari orang yang membuatku tertarik."

Aku sebenarnya tak terlalu suka mengenalkan namaku sendiri. Tapi yah, setidaknya itu adalah hal yang diperlukan sekarang.

"Namaku, Satan."

"Satan?" Kendrik terkejut. "Apa kau ini adalah Satan yang memerintah seluruh neraka dan merupakan iblis terkuat dari ke-72 Iblis Solomon?"

"Itulah sebabnya aku tak mau mengenalkan diriku." desahku.

"Bukankah itu bagus?" tawa Kendrik. "Namamu menggambarkan seorang yang akan menjadi pemimpin. Dengan kekuatan yang sangat dahsyat, seluruh dunia akan berada di bawah kekuasaanmu."

"Nah, mungkin itu terlalu berlebihan. Namaku terbentuk dari kanji 'perbedaan' dan 'tunggal'. Jadi saat disatukan akan dibaca Satan, tapi bisa juga dibaca Saizen. Terserah kau ingin memanggilku Sai atau Zen, atau mungkin digabungkan keduanya." jelasku.

"Sepertinya Zen lebih mudah untuk diucapkan."

"Begitu lebih baik."

Dia tertawa lagi. Namun semakin sering aku melihat tawanya, semakin cerah pula karisma dari orang ini. Dia terlihat seperti pembawa harapan bagi orang-orang yang mempercayainya.

"Kalau begitu, Zen. Kenapa kau ingin menemuiku?" tanya Kendrik.

"Alasannya sederhana." jawabku. "Aku hanya ingin lebih mengetahui kenapa kau melakukan tindakan teroris ini?"

"Bukankah kau sudah mengetahuinya dari berita yang disiarkan oleh media massa? Maka tak ada alasan bagiku untuk menjelaskan lagi alasan kami melakukan tindak teroris ini."

"Sudah kubilang bukan, aku ingin 'lebih' mengetahui alasan kenapa kalian melakukan tindakan ini." tekanku. "Aku bukanlah orang bodoh yang percaya begitu saja pada isi berita yang disampaikan pada media. Kebanyakan dari mereka itu hanya makan uang politik, atau bahkan mereka sendiri memang bodoh."

"Sudah kuduga, kau ini memang orang yang menarik. Bagaimana jika aku menjelaskan semuanya dari awal?"

"Tak masalah bagiku, selama itu menjelaskan semuanya."

"Kau tahu bukan, jika negara kita sedang mendapat desakan dari beberapa negara tetangga untuk segera memulai perang?"

"Iya."

Aku menjawabnya seolah aku tahu. Padahal aku sendiri tak pernah tahu negara apa ini dan bahkan keadaan dunia ini yang terbentuk dari dimensi Alam Mimpi ini. Tapi, aku berusaha untuk melancarkan pembicaraan ini.

"Karena itulah pemerintah sedang gencar-gencarnya mengadakan aksi militer dan memperbanyak produksi senjata. Dan kau pasti bisa memperkirakan berapa banyak dana negara yang mengalir untuk pembuatan senjata itu?" lanjutnya.

Aku hanya bisa mengangguk dan memasang wajah serius saat mendengar ucapannya. Supaya terlihat lebih meyakinkan.

"Inti masalah di sini adalah bagaimana pemerintah memaksakan penduduk mereka untuk mengabdi pada negara dengan masuk dalam militer dan mengorbankan nyawa mereka dengan uang jaminan yang kecil. Dan rakyat yang dikorbankan dalam aksi militer ini adalah..."

"Rakyat kecil yang tak mampu..." kataku melanjutkan.

"Benar sekali. Itu yang menjadi alasan utama kami bertindak."

"Tapi, jika pemimpin negara ini memilih untuk meningkatkan persediaan militer, bukankah itu artinya negara ini sedang dalam keadaan akan datangnya perang yang sangat penting?"

"Disinilah alasan kedua. Karena kenyataannya, jika negara ini tak ikut berperang pun tak akan terkena imbasnya. Negara ini ikut perang hanya karena ditekan oleh negara-negara tetangga yang mencoba mengambil keuntungan dari negara ini."

"Bukankah itu hanya akan merugikan mereka?"

"Karena itulah kami menuntut pemerintah menghentikan seluruh aksi militer mereka dan lebih memfokuskan dana itu untuk menyejahterakan rakyat kecil mereka." tutup Kendrik.

Aku sudah paham seluruhnya akan situasi yang membuat Kendrik dan komplotannya untuk bertindak seperti ini. Meski begitu, sekarang apa yang harus kulakukan?

"Bagaimana? Apa kau tertarik membantu kami untuk meyakinkan pemerintah kalau tindakan mereka itu salah?"

Kendrik mengatakan itu sambil berdiri dari kursinya dan mengulurkan tangannya padaku.

Aku tak langsung menanggapi tangannya itu, karena aku sendiri masih ragu jika aku bergabung dengan Kendrik akan menyelesaikan masalah yang telah diatur oleh makhluk-makhluk aneh itu.

Kendrik mulai menatap curiga ke arahku karena aku yang tak kunjung menerima ajakannya. Namun itu semua segera hilang sesaat suara ledakan terdengar dan menggetarkan seluruh struktur bangunan.

Para sandera berteriak dalam panik, tapi mereka segera diancam untuk tenang oleh suara tembakan dari para teroris yang mengelilingi mereka.

Tentu saja aku sendiri juga panik, takut akan gedung ini runtuh dan menimpa seluruh orang yang ada di dalamnya termasuk diriku. Tapi, sepertinya itu tak perlu karena Kendrik masih dengan tenangnya mengambil radio di pingganggnya lalu menghubungi seseorang.

"Gold, apakah mereka adalah orang-orang bodoh yang jatuh dalam perangkapmu?"

"Ya, ya ... mereka memang bodoh tak menyadari jebakan kecil seperti itu." suara orang dari dalam radio terdengar setengah hati. "Bubuk mesiu yang tertutup oleh tumpukan kertas ... sudah pasti mereka hanya menganggap itu sebagai sampah kantoran."

"Bagus ... bagus sekali! Kau memang sangat bisa diandalkan, Gold!! Sangat jarang ada orang yang hebat sepertimu. Bagaimana, kalau kau masuk saja dalam kelompok kecilku yang kekurangan orang ini? Setidaknya itu akan menjamin keselamatan pacarmu itu ... dan aku juga akan diuntungkan dengan adanya orang sepertimu. Kesepakatan yang bagus, bukan?"

Entah kenapa, Kendrik terdengar sedikit arogan sekarang.

"Yah, aku benar-benar tak peduli. Kesepakatan kita yang sekarang hanyalah aku yang menghabisi seluruh orang yang berusaha menyusup, dan kau tak akan menyentuh Baruna. Itu saja yang kita janjikan, benar?"

"Baiklah, baiklah. Aku adalah orang yang selalu menepati janjiku dengan siapapun." tawa Kendrik. "Jadi, kau sama sekali tak tak perlu khawatir. Tenanglah dan tenang saja! Setelah kegilaan ini selesai, aku akan membebaskan seluruh sandera termasuk kekasihmu itu."

"Baiklah. Jika kau memang akan menetapi janjimu, maka aku juga akan menetapi janjiku."

Itu adalah ucapan terakhir dari laki-laki itu sebelum akhirnya terdengar suara letupan mesiu dari dalam radio. Dan setelah itu, Kendrik menaruh kembali radio ke pinggangnya.

Tanpa lama lagi, Kendrik menyuruh beberapa anak buahnya untuk segera pergi ke lantai-lantai atas. Dan tentu, beberapa orang yang tadinya berada di sini semakin berkurang.

Setelah seluruh perintahnya dilaksanakan, Kendrik duduk ke kursi yang dia tinggalkan sebentar tadi dan kembali terfokus pada pembicaraannya denganku seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan dari ledakan barusan.

"Dia adalah orang yang membantu kami untuk mempertahankan gedung ini. Dan kau tahu, dia hanya sendiri di atas sana menahan satu pasukan bersenjata lengkap, hebat bukan?"

Kendrik tiba-tiba saja berkata seperti itu, mungkin dia ingin mengganti topik sebentar untuk mencairkan suasana. Dan itu adalah teknik yang bagus, jika bisa kubilang.

"Dia juga orang yang menarik sepertimu, karena itu aku menawarkannya untuk masuk ke dalam kelompokku. Tapi sayangnya, dia langsung menolak tawaranku itu. Dia juga membantu kami hanya karena kekasihnya kami sandera. Yah, setidaknya untuk sekarang itu cukup." lanjutnya.

"Yah, aku tak bisa bilang kalau cara yang kau gunakan itu buruk. Tapi setidaknya, kau akan membebaskan seluruh sandera di sini setelah ini selesai seperti yang kudengar dari percakapanmu dengannya barusan, bukan?"

"Tentu saja. Sudah kubilang sejak awal bukan, kalau aku menyandera orang-orang di sini hanya untuk mendesak pemerintah. Tak ada alasan lain dibalik itu semua. Kami juga pernah menggunakan demo, tapi sama sekali tak ditanggapi oleh mereka."

Setiap kata yang keluar dari mulut Kendrik terdengar sangat meyakinkan. Mungkin jika orang awam yang mendengarnya, sudah pasti dia akan langsung jatuh pada perkataannya.

Bukannya aku mencurigai perkatannya. Hanya saja, jika yang dikatakan Kendrik adalah kebenaran, apakah aku harus bergabung dengannya? Lalu, apakah itu akan menyelesaikan permainan ini?

Cara yang tepat, pendekatan yang tepat, dan hasil akhir yang tepat adalah semua hal yang kubutuhkan sekarang. Karena, aku hanya tak ingin mengakhiri permainan ini begitu saja. Ada hal yang harus kulakukan jika ingin menyelesaikan masalah ini hingga ke inti.

Dan sekarang, aku juga tak mungkin untuk memilih melawan Kendrik dan bergabung ke dalam polisi. Tak ada cara bagiku untuk meyakinkan pihak polisi kalau aku bukan bagian dari teroris.

"Misalkan," kataku tiba-tiba. "Misalkan tindakanmu untuk mendesak pemerintah kali ini tak berhasil, apa yang selanjutnya akan kau lakukan? Bukankah, kau hanya akan terjebak di sini dan seiring waktu kalian semua pasti akan tertangkap?"

"Rencana lain ya?" nada bicaranya terdengar tak peduli. "Tentu saja kami sudah menyiapkan itu. Dan yang lebih mengungtungkan adalah, dia dengan senang hati menawarkan dirinya sendiri untuk menjalankan rencana itu."

Aku tak mungkin menanyakan rencana mereka, karena itu di sini aku mencoba untuk menebak satu persatu hingga akhirnya tebakanku itu benar. Dan langsung saja kukeluarkan pertanyaan pertama.

"Apakah rencanamu itu adalah untuk menyerang gedung pemerintahan, dan mengancam langsung presiden?"

Kendrik langsung saja memasang wajah tak percaya. Dan itu artinya, tebakanku benar di percobaan pertama.

Dengan rasa heran, Kendrik mengarahkan ujung pistolnya ke diriku. Aku sudah tahu ini akan terjadi, karena itu aku hanya menghadapinya dengan wajah tenang. Anggap saja balasan yang tadi.

Dia mungkin akan langsung menembakkan peluru jika suara orang yang bernama Gold itu tak masuk dalam radionya.

"Iya, ada apa Gold?" jawab Kendrik tak lama kemudian. "Kenapa kau menghubungiku dengan terburu-buru seperti itu? Mungkinkah kau ingin memberikan sebuah kabar buruk, begitu?"

"Iya! Seperti yang kau bilang, ini adalah kabar buruk! Kita mendapat serangan dari kelompok lain, dan itu adalah dari polisi. Para polisi itu mengarahkan senjata pada pasukan yang menyerang kita barusan."

"Apa maksudmu?" nada Kendrik tiba-tiba saja berubah menjadi serius. "Bukankah yang menyerang kita adalah polisi? Lalu kenapa para polisi itu menyerang rekan sesama mereka?!"

"Aku tak tahu! Aku sendiripun bingung bagaimana menjelaskan keadaan kita sekarang! Tapi, aku bisa menyimpulkan satu hal..."

Dia tiba-tiba saja berhenti, dan aku tahu alasannya. Pasti saat ini, orang bernama Gold itu sedang tersenyum puas.

"... Pasukan yang menyerang kita pertama kali, bukanlah polisi."

Dan itu adalah kata-kata terakhirnya sebelum suara seperti gelombang tinggi menerpa radio Kendrik. Mungkin, Gold dengan sengaja menghancurkan radio miliknya.

Bukan hanya itu kabar buruknya. Salah seorang anak buahnya datang dan melaporkan kalau polisi dari barikade di depan gedung ini telah ditembak oleh pasukan hitam yang tak dikenal. Tentu, itu membuat Kendrik semakin geram.

Dia mungkin tak mengerti apa yang sedang terjadi, tapi aku sudah paham seluruhnya. Dan sekarang, aku harus memanfaatkan keadaan ini untuk dapat kabur dari genggaman Kendrik.

Dan aku menyadari kalau ada sesuatu yang bisa membantuku keluar dari keadaan ini dengan mudah, itu adalah dombaku yang sedang memakan tanaman tak jauh dari tempatku sekarang.

"Kau tahu, Kendrik. Aku hanya akan mengatakan satu hal ini. Aku, bukanlah musuhmu, tapi aku juga punya hal lain yang perlu kupertimbangkan dalam masalah ini."

Kendrik terlihat heran saat melihat wajahku. Mungkin saat ini, aku sedang tersenyum. Iya, tersenyum karena aku sudah tahu apa yang harus kulakukan untuk menyelesaikan permainan bodoh ini.

"Kesini kau, domba bodoh!!!!" teriakku.

Dan dalam sekejap, para teroris yang berada di sekitarku ini ditubruk dengan keras oleh domba sialan itu.

Tentu, aku tak tinggal diam. Kuambil sebuah flashbang dari pinggang salah satu teroris yang terjatuh dan dengan segera menarik kuncinya lalu menutup mata.

Saat cahaya yang terlalu terang itu menyilaukan mata kami semua, aku memilih menaiki punggung domba ini dan menyuruhnya berlari ke arah dinding kaca.

Sesaat kemudian, suara pecahan kaca terdengar begitu mengguncang dada.

Bagian 6

Seseorang perempuan sedang merungkup di dalam gelapnya gang kecil di antara bangunan.

Dia begitu stres, mengingat tak ada yang bisa dia lakukan di tempat seperti ini sendirian tanpa kedua teman baik yang selalu bersamanya, Eve dan Owl.

Apa yang bisa kulakuan? Hanya itu yang sekarang berada di dalam pikiran Alexine, atau yang biasa dipanggil dengan Lex.

Ini terjadi sejam yang lalu dimana ketika Lex mendapat sebuah email yang data di dalamnya berisi tentang permainan yang harus dia lewati sebagai bagian dari grup The Thinker.

Tentu saja, setelah mendapat pesan itu, domba yang dia dapat dari Ratu Huban menuntun Lex dan teman-temannya menuju arena yang telah disiapkan.

Namun, ketika mereka sampai di sana, ternyata tak terjadi apa-apa. Hanya sebuah gedung perkantoran damai tanpa ada masalah yang sangat berarti.

Awalnya Lex heran kenapa tak ada tindak teroris seperti yang dijelaskan dalam pesan yang dia dapat, dan bahkan dia kira kalau isi pesan itu hanyalah sebuah kebohogan.

Tapi ternyata, beberapa menit setelah sampainya mereka di dalam gedung itu sekelompok teroris menyerang gedung. Dan sialnya, mereka bertiga tepat berada di garis depan penyerangan kelompok teroris itu.

Mereka sadar betul kalau mereka tak mungkin bisa selamat kalau begini, karena itulah Eve dan Owl mengorbankan diri mereka agar setidaknya Lex dapat selamat.

Dan akhirnya beginilah keadaan Lex sekarang, tak bisa berbuat apa-apa selain menyesali kecerobohan dirinya sendiri.

Seekor domba putih dengan setia menemani di samping dirinya. Sekali-kali, dia menjilati Lex dengan harapan agar Lex kembali bersemangat. Namun apa dikata, itu juga tak sama sekali tak berpengaruh.

Lex membuka kunci layar smartphone-nya dan langsung mencari website berita yang berhubungan dengan tindak teroris yang sedang terjadi ini. Tak lama, dia langsung menemukannya dan menekan tombol mulai di video-nya.

"Seperti yang Anda lihat, Pemirsa. Kelompok teroris yang menyebut diri mereka sebagai Equilibrium, telah menyandera 123 orang dalam gedung perkantoran dan mengancam akan meledakkan gedung itu bersama dengan sandera di dalamnya jika pemerintah tak memenuhi pemerintahan mereka.

Orang yang memperkenalkan diri sebagai Kendrik Blaire dan merupakan ketua dari kompolotan ini, meminta pemerintah untuk menghentikan produksi senjata mereka dan menghentikan aksi militer. Mereka juga menuntut untuk memberikan seluruh uang itu demi kesejahteraan mereka sendiri."

Itulah yang dibawakan seorang reporter wanita. Dan Lex paham, kalau sudah tak ada yang bisa dia lakukan dalam keadaan seperti ini.

Bagaimanapun juga, ini sudah di luar jangkauan dirinya. Apa yang bisa dilakukan seorang perempuan untuk melawan sekelompok teroris bersenjata? Tak ada.

Dia sudah mengunci kembali layar smartphone-nya, dan tentu saja dia juga kembali merenung dalam keputusasaan.

Dia terdiam, hanya terdiam, terus saja terdiam. Tak ada yang dia lakukan selain mencari jalan keluar dari keadaan ini dengan tenggelam dalam pikirannya.

Entah sudah berapa lama waktu yang terlewati. Detik? Menit? Atau bahkan jam? Tak ada yang tahu, bahkan Lex sendiri. Yang dia tahu hanyalah kalau dia tak boleh berlama-lama seperti ini.

Akhirnya, Lex memutuskan untuk bertindak. Tak perlu melawan langsung, namun dengan meyakinkan masyarakat dan terlebih pemerintah untuk memenuhi tuntutan kelompok teroris itu. Hanya itulah jalan satu-satunya yang bisa dibilang aman.

Caranya? Tentu dengan berbicara di depan sebuah kamera yang menyiarkan siaran langsung ke seluruh orang yang menyaksikannya.

Tapi, apakah dia bisa? Lex adalah seorang introvert yang menjauhi perhatian, dan dia sendiri adalah orang yang suka menghindari masalah.

Tapi kali ini, dia harus menghadapi itu semua demi menyelamatkan kedua temannya yang kini sedang dalam dekapan kelompok teroris Equilibrium.

Dia mengangkat tubuhnya sendiri, memaksakan otot di seluruh kakinya untuk dapat membuatnya berdiri. Dan yang terlebih, menguatkan keadaan mentalnya agar dia dapat melewati seluruh rintangan ini.

Dia keluar dari gang kecil itu, dan langsung berjalan menuju kerumunan media. Dengan langkah yang sedikit tertatih-tatih, dia akhirnya sampai di salah satu media yang sedang membawakan berita.

Sekarang, apa yang harus dia lakukan? Bagaimana cara dia meyakinkan seluruh kru media ini agar membiarkannya membawakan berita? Namun, entah mengapa dia merasa kalau perkataannya akan ditanggapi dengan serius oleh mereka.

"Umm, apakah boleh saya yang membawakan berita?" kata Lex ragu. "Ini adalah masalah yang sangat penting! Ini menyangkut nyawa kedua sahabat saya, jadi saya mohon biarkan saya yang membawakan berita!"

Apa yang dia katakan Lex sendiri pun tak tahu. Jika didengar orang lain, sudah pasti itu hanyalah keegoisan dari Lex, dan tak mungkin mereka akan mengabulkan permintaannya itu.

Karena itulah, para kru media ini hanya terdiam dengan heran melihat ke arah Lex. Dan dalam sekejap, rasa percaya diri Lex hilang.

"Apa yang kau bicarakan, Alexine? Kau kemana saja? Ini sudah bagianmu membawakan berita, kau tahu?"

Namun ternyata mereka berkata seolah Lex memang bagian dari kru media itu. Tentu ini aneh, tapi Lex sendiri merasa kalau memang dia bisa melakukan itu dan sempat melupakannya.

Setelah memberi salam perpisahan, mereka mematikan siaran untuk sementara. Dan si reporter wanita menyerahkan mic yang dia pegang pada Lex.

"Baiklah Lex, kita akan melanjutkan siaran dalam dua menit. Oke, dua menit." kata kameraman.

Lex hanya bisa mengangguk untuk memberikan tanda setuju.

Rencana Lex berjalan lebih mulus dari yang dia duga. Karena itu, sekarang dia sedang berada dalam mode gugup. Bagaimana tidak? Tiba-tiba saja dia disuruh membawakan berita untuk pertama kalinya.

Dua menit berlalu begitu cepat. Tanpa terasa, si kameraman telah menghitung mundur untuk memberi tanda pada Lex kalau siaran akan dimulai. Dan saat hitungan selesai, Lex menerima tanda untuk segera berbicara.

"Baiklah pemirsa, saya Alexine Elizabeth Reylynn di sini untuk melaporkan bagaimana keadaan di tempat kejadian."

Lex melakukannya dengan improvisasi, tapi dia mencoba untuk berbicara se-natural mungkin demi menutupi rasa gugupnya.

"Seperti yang kita ketahui, kelompok teroris yang bernama Equilibrium telah menyandera 123 orang dan menyatakan akan meledakkan bom jika tuntutan mereka tak terpenuhi. Tuntutan mereka adalah untuk pemerintah agar menghentikan aksi militer dan produksi senjata mereka dan menggunakan uang mereka untuk diri mereka sendiri."

Lex hanya mengatakan apa yang dia dengar sebelumnya, namun itu saja tak cukup untuk meyakinkan para pemirsa. Karena itu, mulai dari sinilah dia akan menggunakan kata-kata yang menurutnya akan meyakinkan meskipun itu hanyalah kebohongan.

"Dan seperti yang kita ketahui juga, Equilibrium adalah kelompok teroris yang terdiri dari kumpulan rakyat miskin yang meminta untuk pemerintah menjamin kesejahteraan mereka ketimbang harus berfokus pada perang yang tak perlu."

Perkataan yang diucapkan Lex bertolak belakang dari media yang lain, tapi entah mengapa para pemirsa yang mendengarnya merasa setuju dengan Lex. Ini seolah, mereka semua sedang terhipnotis oleh setiap kata yang keluar dari mulut Lex.

"Karena itulah, saya pribadi memohon pada pemerintah untuk memenuhi permintaan dari Equlibrium agar para sandera dapat dibebaskan dengan selamat. Ini adalah masalah yang menyangkut nyawa banyak orang, jadi saya mohon agar pemerintah dapat menerima tanggapan saya dengan kritis. Saya Alexine Elizabeth Reylynn melaporkan dari tempat kejadian perkara."

Mereka semua merasa setuju dengan pendapat Lex, tak ada satupun yang menolak itu. Bahkan beberapa dewan pemerintah ikut setuju dengan itu dan mulai terjadi perdebatan.

Tapi, seketika terjadilah ledakan yang berasal dari atap gedung tempat terjadiya penyanderaan. Dan itu membuat efek dari kemampuan Lex hilang dari setiap kepala yang terkena.

Dan yang lebih parah, ledakan itu membuat keadaan mental Lex yang memang awalnya tidak stabil kembali goyah dan dia kembali pada keadaan yang membuat dia tertekan. Tentu, dia kembali melupakan kemampuannya itu.

B-bagaimana keadaan Eve dan Owl? Apa yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan mereka? Itulah pemikiran terakhirnya.

Bagian 7

Terdapat sebuah laptop yang di layarnya menunjukan kode-kode perintah yang tak akan pernah dipahami begitu saja oleh orang awam.

Jari-jari lincah seorang pria dalam jas lab tanpa henti menekan tombol-tombol keyboard dan memasukan perintah demi perintah pada program yang sedang dia jalankan.

Kedua tangannya berhenti mengetik saat terdengar nada panggilan masuk. Dia ambil ponsel itu dari saku jas-nya, dia angkat telepon itu, dan dia dekatkan dengan telinganya.

"Halo, Lucas? Segera laksanakan serangan! Seseorang sudah mengetahui rencana kita, dan ada kemungkinan dia akan mencoba menggagalkannya. Pastikan semuanya berjalan lancar!"

Suara orang dari telepon itu terdengar panik tak seperti dirinya yang biasa, dan Lucas yang sedang menjawab telepon hanya bisa pasrah mendengarnya sembari tangannya lanjut memasukan perintah.

"Tenang saja." jawab Lucas datar. "Semua persiapan awal sudah siap, hanya tinggal perlu beberapa penambahan lagi dan serangan akan segera dilaksanakan. Meskipun ada gangguan, aku yakin itu tak akan mengganggu rencana sama sekali."

"Soal itu, aku percayakan sepenuhnya padamu! Jadi, jangan sampai gagal!"

"Baik." jawabnya singkat.

Saluran telepon tertutup dan Lucas mengembalikan ponselnya ke saku dengan sebelah tangan sembari tangan satunya tetap sibuk di atas keyboard.

Puluhan baris, tidak, bahkan hingga ratusan lebih barisan telah tertulis dalam layar. Dan kini, dia sedang mengerjakan barisan terakhir dari program ini. Hanya perlu menekan 'Enter' untuk menyelesaikan semuanya.

"Baik semuanya, persiapan sudah selesai. Kita akan segera melakukan serangan segera setelah kuberi tanda untuk mulai. Apa kalian semua sudah siap?"

"Siap!" kata salah seorang bawahannya.

Yang lainnya pun tak ada yang memberikan respon penolakan. Ini artinya, rintangan yang akan dia lewati di depan sudah mulai menampakkan dirinya. Serangan terhadap gedung pemerintahan akan dimulai.

Lucas memperhatikan tombol 'Enter" di keyboardnya, dan dia arahkan jari telunjuknya tepat di atasnya. Lalu, ditekanlah olehnya.

"Mulai!"

Dengan satu kata itu singkat dari Lucas, seluruh sistem keamanan dalam gedung pemerintahan langsung mati seolah memberi jalan pada mereka untuk menyerbu masuk.

Tanpa perlu membuang waktu lagi, mereka masuk melalui jalan yang mereka buat. Dan kini, mereka sudah berada di dalam salah satu sudut bangunan gedung pemerintahan.

Tak lama kemudian, bunyi tembakan mulai terdengar menggema di koridor. Tak mungkin untuk menyelinap seluruhnya, mereka lebih memilih untuk membasmi seluruhnya.

Agen khusus lain yang berjaga mulai bermunculan untuk menghadang Lucas dan bawahannya. Tak heran jika baku tembak ini mengorbankan banyak nyawa.

Lucas sendiri, hanya bisa berlindung di balik kumpulan teroris yang datang bersamanya. Dia sedang memperhatikan layar laptopnya sembari dia terus mengawasi pergerakan dalam gedung lewat CCTV yang telah diretasnya.

Suara letupan-letupan mesiu berhenti sementara. Sepertinya, koridor di depan mereka kini sudah aman untuk dilewati.

Tentu saja, mereka semua langsung pergi menuju ke titik selanjutnya sesuai dengan rencana yang telah ditentukan oleh Lucas.

Baku tembak kembali terjadi saat mereka baru saja berjalan melewati dua koridor dari tempat mereka sebelumnya.

Di ujung koridor terdapat beberapa orang agen lengkap dengan senjata mereka masing-masing. Para agen itu terus menghujankan tembakan pada kelompok Equilibrium, dan tentu mereka membalasnya kembali dengan peluru.

Terjadi ketidakseimbangan di sini. Mungkin karena kemampuan dan teknik yang berbeda, kelompok Equilibrium menjadi mangsa yang sedikit terdesak di sini.

Meski begitu, mereka bukannya tak memiliki cara untuk membalas balik. Salah satu dari mereka melemparkan sebuah kaleng ke arah para agen lalu bersembunyi.

Agen itu semua dengan cepat mencari perlindungan. Tapi sepertinya itu tak perlu, karena tak terjadi apa-apa dan kaleng itu hanya mengeluarkan suara seperti angin yang menghembus.

Tentu, mereka semua heran dengan apa yang barusan dilemparkan oleh kelompok teroris itu. Dengan anggapan bahwa itu tidaklah berbahaya, mereka dengan biasa saja untuk melakukan baku tembak kembali.

Dan saat mereka menarik pelatuk, terjadilah ledakan yang mengisi seluruh koridor.

Mungkin itu adalah penyesalan bagi mereka karena terlambat menyadari, kalau kaleng itu terisi oleh gas hidrogen.

Sebenarnya jika mereka lebih teliti sedikit saja, mungkin mereka akan menyadari bahaya dari dalam kaleng itu. Tapi karena mereka sudah termakan rasa tegang dan nafsu untuk menghabisi kelompok utama musuh, yah mereka harus berakhir dengan luka bakar yang sangat parah.

Lucas dan kelompoknya dengan cepat keluar dari persembunyian dan berlari melewati koridor yang masih terdapat nyala api di beberap sudutnya.

Tiba-tiba saja anggota Equilibrium yang berada di depannya memuncratkan darah dari kepala sesaat bunyi tembakan terdengar. Ternyata, beberapa agen itu masih memiliki tenaga untuk bisa menarik pelatuk mereka.

Tentu saja sebelum dia bisa melanjutkan membunuh pasukannya yang lain, Lucas sudah lebih dahulu menghabisi nyawanya dengan pistol dari dalam saku jas lab-nya.

Lucas bukanlah tipe orang yang suka membunuh, tapi dia juga tak akan ragu jika itu memang diperlukan jika itu memang untuk memperlancar rencana yang dia buat.

Anggota yang lain juga dengan hati-hati memeriksa mayat agen yang lain supaya kejadian barusan tak terulang lagi.

Setelah memasttikan tak ada agen yang dapat bergerak, mereka lanjut bergerak menuju tempat tujuan mereka seperti dalam rencana.

Lucas terus mengawas keadaan tempat lain melalui layar laptopnya, sembari mereka semua bergerak secara perlahan dan hati-hati.

Namun, ada yang menarik perhatian Lucas. Beberapa kamera CCTV tak bisa diakses oleh Lucas, atau mungkin tepatnya tak ada hubungan yang bisa dikendalikan secara langsung untuk masuk dalam ke CCTV.

Itu membuat Lucas kesusahan, jelas. Jika begini terus, bisa saja area yang akan mereka datangi tak bisa terawasi oleh Lucas dan itu akan membuat mereka terjebak dalam keadaan yang tidak mengenakkan.

Dan kenyataannya memang begitu. Kamera CCTV yang berada di area depan mereka tak bisa terakses oleh jaringan palsu Lucas, dan itu membuat tingkat bahaya di area tersebut meningkat.

Setelah Lucas memberi tanda berhenti, dia menyuruh mereka semua untuk lebih mengawasi area sekitar. Tak lupa, dia juga memerintahkan mereka untuk menyebarkan gas hidrogen di arah koridor yang tak terhubung dengan koridor di mana mereka bersiap.

Setelah semuanya siap, mereka semua langsung melemparkan sebauh zippo ke arah kumpulan gas hidrogen yang terjebak dalam koridor. Dan hasilnya, tentu adalah ledakan besar yang memanjang seperti ular.

Terdengar samar-samar teriakan dari beberapa orang yang mungkin sekarang terbakar hidup-hidup. Bagaimana rasanya? Sudah bisa dipastikan sangat panas.

Iya panas, seperti di dalam sini pun mulai terasa panas. Api yang membakar di beberapa titik di depan menciptakan asap yang menyesakkan pernapasan.

Jika mereka tak cepat bergerak, mungkin mereka sendirilah yang akan terkapar dan kehilangan nyawa.

Rentetetan peluru menghujani mereka secara tiba-tiba dari depan. Dengan refleks, mereka memasang posisi bertahan dan bersembunyi di balik sudut koridor.

Mereka tak menyadari itu sebelumnya, terdapat beberapa pasukan bersenjata lengkap dengan topeng gas yang bisa membuat mereka bergerak secara leluasa dalam lebatnya asap.

Suara baku tembak meraung di koridor. Senapan otomatis yang kedua kubu gunakan terdengar seolah saling nyahut menyahut. Serta, dering selongsong peluru yang terjatuh di lantai menambah suasana ketegangan.

Meskipun dalam keadaan sepertini, Lucas berusaha untuk tetap tenang dan memantau pergerakan musuh melalui CCTV yang tentu tersebar di berbagai sudut gedung pemerintahan.

Dan apa yang terjadi membuat ketenangan Lucas sedikit goyah. Jumlah kamera CCTV yang tak bisa dijangkaunya makin bertambah.

Apa yang sebenarnya terjadi? Eluh Lucas dalam hatinya. Tapi, dia sendiri tak bisa berbuat banyak dalam keadaan seperti ini.

Saat dia memutuskan untuk ikut menyerang balik, suara dengan gelombang yang tak teratur masuk dalam radionya hingga perlahan terdengar lumayan jelas.

"Lucas, Lucas. Jawablah!"

"Ya, di sini Lucas. Ada masalah apa?" jawab Lucas.

"Ada yang tak beres di titik yang kami jaga." katanya ragu. "Tak ada pasukan bersenjata yang mencoba membuka jalan keluar di tempat kami, ini aneh. Bahkan, tak tanda-tanda dari mereka untuk menyerang kami."

Demi mengantisipasi kaburnya presiden melalui rute-rute pelarian, sudah sewajarnya Lucas menaruh beberapa pasukan di seluruh titik pelarian dan menjaganya agar presiden terkepung di dalam ruangannya.

Tentu, pasti ada satu rute pelarian rahasia yang tak mungkin bisa diketahui oleh siapapun kecuali orang dalam pemerintahan itu sendiri. Tapi, Lucas juga sudah menghalang rute itu dengan mengambil alih jaringannya.

Karena itulah, dia tak heran jika di dalam laporan barusan tak ada pasukan pemerintah yang menyerang. Mungkin saja, mereka mencoba rute pelarian lain yang di mana kemungkinan berhasilnya lebih tinggi.

"Kalau begitu, tetaplah siaga dan pastikan tak ada yang melewati kalian!" perintah Lucas.

"Baik!"

Dengan satu jawaban singkat itu, dia menutup saluran dan Lucas kembali menaruh radionya di pinggangnya.

Baku tembak masih berlanjut, dan kemungkinan tak akan selesai dalam waktu dekat. Jika berlangsung terlalu lama, sudah bisa dipastikan kalau mereka sendirilah yang akan terdesak.

"Cepat, lemparkan kaleng yang satu lagi ke arah mereka!" perintah Lucas tiba-tiba.

Para anggota Equlibrium itu tentu langsung saja mengikuti perintah Lucas dan melemparkan beberapa kaleng yang jelas berbeda dengan kaleng yang terisi oleh gas hidrogen.

Efek yang dikeluarkan oleh kaleng itu saat terbentur dengan lantai adalah sama, terdengar bunyi hembusan angin. Jika begitu, kemungkinan besar itu adalah gas.

Tapi, bukannya membuat api semakin membesar, gas itu malah memadamkan api yang berkobar secara instan.

Bukan hanya itu, pasukan pemerintah yang menggunakan topeng gas terlihat goyah perlahan demi perlahan. Seolah mereka baru saja pulang dari klub malam dan masih merasa mabuk.

"Itu adalah gas tetroklorida." jelas Lucas. "Gas itu menipiskan oksigen yang berada di udara. Karena api membutuhkan oksigen untuk dapat terbakar, saat kandungan oksigen menipis maka akan memadamkan api.

Mereka mendengarkan penjelasan Lucas sembari terus berfokus pada bidikan senjata mereka.

"Dengan jenis topeng gas seperti itu, sudah dipastikan mereka akan sulit bernapas di tengah-tengah tipisnya udara." tambah Lucas.

Mereka hanya memasang wajah heran seolah mengerti. Yah, kemungkinan besar mereka seharusnya mengerti dengan penjelasan mudah dari Lucas barusan.

Dengan memanfaatkan kesempatan ini, mereka semua menyerbu maju ke depan sambil terus melontarkan peluru dari senjata mereka.

Darah bercipratan di mana-mana, ini merupakan bentuk dari pembantaian. Pasukan pemerintah tanpa ampun terus dilubangi dengan peluru hingga mereka semua kini terkapar hilang nyawa.

Lucas tak boleh menyesal, karena ini adalah jalan yang dia pilih untuk menyelesaikan permainan yang diberikan kepadanya.

Ruangan di mana presiden berada seharusnya sudah dekat. Tinggal berjalan melalui bebera koridor depan, maka mereka akan sampai di tempat tujuan akhir mereka.

Ketika Lucas sampai koridor di depan pintu besar menuju ruangan presiden, betapa terkejutnya dia dengan apa yang dia lihat. Tumpukan agen terkapar tak berdaya di sepanjang koridor.

Sudah jelas, ini bukanlah perbuatan Lucas dan bawahannya. Tapi, siapa yang bisa melakukan ini semua? Lucas bertanya dalam hatinya namun dia tetap tak menemukan jawabannya.

Dengan berusaha tenang, Lucas menyuruh seluruh anggota Equilibruim untuk berjaga di sekitar. Karena jika mereka ikut hingga masuk, maka itu akan mengacaukan rencana Lucas itu sendiri.

Tapi, apakah rencana yang sedang dia jalankan sudah tepat sasaran? Dia sendiri ragu. Setelah melihat tumpukan mayat yang tak sesuai dengan tindakan mereka, pasti terdapat gangguan yang sangat berdampak besar bagi rencananya.

Langkah kakinya terdengar santai, namun sebenarnya dalam hati dia dengan terburu-buru mendekati pintu besar yang berada di hadapannya.

Saat sudah sampai tepat di depannya, Lucas letakkan tangannya di kedua daun pintu yang tingginya sekitar tiga meter itu dan mendorongnya.

Pintu itu terbuka secara perlahan. Tanpa terdengarnya bunyi derit, pemandangan di dalam ruangan presiden itu kini terlihat secara jelas.

Lucas tak bisa membayangkan apa-apa lagi, apa yang dia lihat sudah mengacaukan seluruh bagian dari rencananya.

Presiden sudah terlentang dalam tidur yang panjang di lantai, dan seorang iblis bermata heterochromia merah-hitam dengan santainya menggantikan posisi presiden untuk duduk di atas kursi panas kepemimpinan negara ini.

Bagian 8

Duduk tenang di atas kursi, sembari mengistriahatkan kedua tanganku yang jarinya tersambung satu sama lain di atas meja.

Ini membuatku merasa puas, terlebih karena aku sudah menyelesaikan tugasku dalam permainan ini. Tapi, sepertinya orang itu yang masuk ke ruangan ini secara tiba-tiba tak setuju dengan keputusanku.

Wajahnya menunujukan perasaan yang berbanding terbalik dengan apa yang kurasakan sekarang. Aku bisa paham kenapa dia begitu kecewa, tapi aku tak akan meminta maaf. Karena ini adalah hal yang diperlukan.

Tapi entah bagaimana, dia berhasil menjaga dirinya tetap tenang dan tak membiarkan rasa penasaran mengendalikan dirinya.

"Kau, Reveriers?" tanya dia.

Sepertinya dia menyadari arti domba yang sedari tadi sedang sibuk memakan tanaman hias di sudut ruangan ini. Kalau begitu, aku tak perlu mengelak dari pertanyaannya itu.

"Iya, aku adalah Reveriers." jawabku. "Dan kalau tak salah sepertinya kita sudah pernah sekali berpapasan di Museum Semesta."

Dia tersenyum, lalu mengangkat kedua bahunya ringan.

"Yah, aku ini adalah tipe orang yang pelupa. Jadi, maafkan aku."

Aku tak punya pilihan membalas dengan senyuman kembali jika dia berperilaku seperti itu.

"Aku punya beberapa pertanyaan untukmu. Tapi sebelum itu, bolehkah aku tahu namamu?" tanyanya.

Aku bukannya tak ingin menjawab pertanyaan itu. Hanya saja, aku mempunyai masalah yang sedikit kompleks terhadap sesuatu yang berkaitan dengan namaku sendiri. Entah itu saat perkenalan ataupun seseorang yang memanggil dengan akrab.

Tapi sepertinya, lelaki dengan jas lab di hadapanku ini menanggapinya dengan salah paham.

"Oh, maafkan aku. Sebelum kita menanyakan nama seseorang, adalah lebih baik kalau kita menyebutkan nama sendiri terlebih dahulu." nada suaranya berubah sopan. "Aku Lucas, Lucas Masoleum. Kalau boleh tahu, siapa namamu?"

Aku ingin tertawa, tapi kutahan. Ini pertama kalinya aku melihat seorang ilmuwan berlagak sopan seperti seorang bangsawan. Bukannya tak cocok, tapi ini terasa aneh bagiku.

"Tak usah bersikap sopan seperti itu." engganku. "Namaku Satan. Tak ada arti khusus di dalamnya. Jadi, aku lebih menghargai jika kau memanggilku dengan sebutan Zen."

"Baiklah, Zen. Aku punya pertanyaan untukmu. Pertama, bagaimana caranya kau melakukan ini semua? Apa kau hanya bertindak sendirian?"

Sepertinya, dia sangat penasaran dengan caraku bisa menerobos masuk ke tempat ini. Aku tak ada niat untuk mengelak dari pertanyaan itu. Tapi sebelum itu, aku mempersilahkan dia duduk terlebih dahulu di sofa yang saling berjajar berhadapan.

Tanpa sungkan, dia langsung menerima tawaranku dan merebahkan tubuhnya di atas lembutnya sofa. Setelah kuyakin dia nyaman dengan posisi duduknya, barulah kumulai sesi tanya jawab yang dia inginkan.

"Aku akan menjawab pertanyaanmu, tapi akan kujelaskan dengan singkat saja. Karena aku tak ingin berlama-lama berada di tempat tak karuan ini." jelasku.

"Baiklah, jika itu memang perlu."

Dia tak menolak. Itu artinya, dia juga tak suka untuk terus menerus berada di tempat yang seolah mengadu kami satu sama lain.

"Tak perlu basa-basi lagi." kataku. "Caraku menyusup ke dalam ruangan ini, yah? Bagaimana jika kubilang kalau aku berhasil melakukan semua yang kau lihat sekarang karena memanfaatkan keributan yang kalian semua timbulkan?"

Dia hanya terdiam, tak ada respon sama sekali. Mungkin dia bermaksud mendengarkan penjelasanku dengan seksama.

"Dengan keadaan panik yang terjadi di dalam gedung ini, itu bukanlah hal sulit untuk menyusup masuk dan meruntuhkan beberapa penjaga. Tentu, itu semua dengan bantuan domba yang gila kuatnya. Dia bahkan bisa memotong sebuah borgol dengan giginya, dan juga dia tak bisa mati saat tertembak. Dia hanya akan terhambur lalu menjadi utuh kembali seolah tak terjadi apa-apa, kau tahu?" lanjutku.

"Begitukah? Mungkin seharusnya aku juga membawa domba milikku juga. Lalu, apakah kau juga yang menghalang saluran CCTV?"

"Daripada menghalang, mungkin lebih tepatnya aku menghancurkan kamera CCTV itu. Aneh saja jika mereka tak melakukan itu, karena mereka menganggap bisa mengembalikan sistem dalam kendali mereka. Padahal, sebelum mereka dapat mengambil kembali, kamera CCTV yang berada di seluruh bangunan ini sudah jatuh pada tangan teroris. Otomatis, mereka sendiri yang dirugikan dalam segi informasi. Yah, tentang hal ini pasti kau sudah paham, bukan?"

"Baiklah, aku paham. Lalu, pertanyaan yang kedua mungkin sedikit tak sopan. Tapi, sebagai sesama Reveriers aku ingin menanyakan alasanmu memilih jalan ini?"

Benar-benar orang yang langsung menuju intinya. Yah, aku tak benci dengan orang seperti ini. Malah, ini membuat semuanya lebih mudah untuk dijelaskan.

"Sebelum aku menjawab itu, biar kutebak alasanmu bergabung dengan pihak teroris. Kau pasti berpikir untuk meyakinkan, tidak, mungkin lebih tepatnya mengancam presiden langsung untuk memenuhi tuntutan kelompok Equilibrium, bukan?" tanyaku.

"Yah, bisa dibilang begitu. Karena jika aku membunuhnya seperti yang kau lakukan, itu akan menyebabkan beberapa masalah diplomasi atau masalah lainnya yang berhubungan dengan dewan pemerintah lain di bawahnya. Kau sendiri seharusnya sudah tahu hal itu, bukan?" tanyanya kembali.

Aku tersenyum. Kenapa? Aku sendiri juga tak tahu. Yang kutahu hanyalah, kumpulan percobaan yang sedang terkumpul di kepalaku ini sedikit gila.

"Kau tahu, Lucas. Aku sendiri sama sekali tak tertarik dengan permainan bodoh ini. Ada hal yang jauh lebih penting ketimbang menyelesaikan permintaan egois kelompok teroris kecil yang tak tahu diri. Yah, bukannya aku bermaksud untuk mengabaikan kondisi yang diperlukan untuk menyelesaikan permainan ini."

"Lalu, apa sebenarnya 'hal penting' yang kau maksud itu?"

"Mereka yang memperhatikan dan menilai kita, mungkin aku menyebut mereka sebagai 'Supervisors'"

Kening Lucas mengkerut, seiring dengan topik pembicaraan yang menjurus pada hal serius.

"Supervisors? Siapa mereka itu?" tanya Lucas.

"Mari kita mulai ini dari awal. Kau masih ingat dengan perkataan Zainurma dan Ratu Huban tentang Alam Mimpi, Reveriers, dan mahakarya, bukan?"

"Yah, mereka menjelaskan kalau kita adalah 'bahan mentah' yang akan dipoles hingga menjadi 'mahakarya' termahsyur di dalam Museum Semesta. Intinya adalah itu."

"Dari situlah, aku mulai berpikir, 'siapa yang menilai kita pantas atau tidak sebagai sebuah karya?' semacam itulah. Sudah pasti, ada pihak yang menilai kita selain Zainurma serta yang lainnya. Dan itulah, makhluk-mahluk yang kusebut sebagai 'Supervisors'."

"Jadi kau ingin bilang, kalau ada 'makhluk' lain yang statusnya jauh lebih tinggi ketimbang kita dan mereka sedang memperhatikan kita dari luar sana dan tak menganggap kita lebih dari sebuah benda?"

"Benar, itu yang kumaksud. Dan sebagai ajang untuk memilah-milah karya itulah, kita sekarang sedang berpartisipasi dalam permainan yang telah disiapkan oleh mereka. Dimensi yang kita berada sekarang ini tak lebih dari sekedar papan permainan bagi mereka, dan kita hanyalah 'pion' sekali pakai yang akan disingkirkan jika tak dibutuhkan. Lebih tepatnya, menjadi pajangan sampah yang terhina."

Lucas tenggelam dalam pikirannya, mencoba untuk memahami teoriku yang mungkin terdengar gila. Itu tak bisa dipungkiri, bahkan aku sendiri tak mempunyai bukti untuk membenarkan teoriku  itu.

"Dan, aku sangat yakin inti dari semua masalah ini adalah patung otak raksasa itu. Sejak awal aku melihatnya, aku sudah merasakan perasaan tak enak. Entah apa tujuan sebenarnya dengan mengumpulkan kita semua sebagai bahan mahakarya, tapi aku yakin itu bukan hal yang bisa dibilang baik." lanjutku.

"Kalau itu, aku setuju."

Kali ini Lucas setuju, tidak, bahkan mungkin seluruh Reveriers akan setuju dengan perkataanku barusan. Karena, kami semua berada dalam posisi yang sama.

"Aku tak bisa menerima itu." kesalku. "Siapapun mereka, di manapun mereka berada, tak akan pernah kumaafkan karena telah mempermainkanku seperti ini. Aku akan menghancurkan ajang tak masuk akal ini hingga ke intinya. Tak peduli apa hasilnya, sudah kupastikan mereka akan menyesal."

Suasana terasa sangat berat, seolah aku mulai tak diterima dalam tempat ini. Bukan, mungkin lebih tepatnya keberadaanku dengan perlahan ditolak secara paksa dari dimensi ini.

"lalu, apa yang kau lakukan mulai dari sekarang?" suara Lucas menyadarkanku. "Ini bukanlah hal yang bisa dilakukan oleh manusia biasa seperti kita."

"Tenang saja, aku sudah menyiapkan beberapa rencana. Mungkin untuk sekarang, aku hanya perlu mengikuti permainan mereka lebih lama. Dan juga, aku masih belum menjawab pertanyaan keduamu, bukan? Aku menyimpulkan kalau cara ini  adalah yang paling mudah dan dekat dengan tujuanku. Ingat, kenyataan dalam dimensi ini tak saling berhubung hingga jauh, tapi tetap berada dalam batas logika standar. Karena bagaimanapun juga, tempat ini tak lebih luas dari satu kotak papan permainan."

"Baiklah, jika memang itu adalah caramu."

Aku hanya bisa tersenyum mendengar balasan terakhir dari Lucas. Wajar saja, ini adalah sesuatu yang tak bisa dipahami dalam sesaat setelah kau mendengar penjelasannya.

"Dan, aku hanya perlu satu langkah terakhir untuk menyelesaikan permainan sekarang. Siaran langsung dengan menggunakan laptop milik presiden ini." lanjutku.

"Siaran langsung?"

"Iya. Kau tahu bukan bagaimana media menerima pemberitahuan langsung jika seorang presiden akan melakukan hal penting? Pihak pemerintah akan mengirimkan pesan itu, dan seluruh media akan menyiarkannya secara langsung."

"Iya, aku tahu tentang hal itu. Tapi, untuk apa?"

"Untuk menyelesaikan pertikaian antar kubu teroris dengan polisi, ini sangat diperlukan. Bukan hanya itu, ini juga merupakan garis awal untuk memulai percobaan dari teoriku. Dan kau tahu, Lucas? Aku ini paling pandai berperan sebagai 'Raja Iblis'."

Bagian 9

Berita tentang penyerangan gedung pemerintahan sudah tersebar di mana-mana. Berbagai media berusaha mengirimkan kru lainnya untuk meliput langsung kejadian yang menggemparkan itu.

Suasana tegang dan risau memenuhi udara kota ini. Bagaimana tidak? Dua penyerangan teroris terjadi di hari yang sama, dan bahkan hampir bersamaan. Tentu, rasa percaya mereka akan keamanan sudah hilang ditelan logika.

Dan ditengah kekacauan itulah, setiap media menerima pesan penting dari pemerintahan yang berisi tentang siaran langsung yang akan dilakukan oleh presiden.

Mereka semua tergesa-gesa menyiapkan siaran penting itu, hingga perlu memotong seluruh acara yang ada di jadwal mereka masing-masing. Dengan begitulah, siaran langsung ekslusif dari pemimipin negara ini dimulai.

Seperti biasa, bendera negara ini terbentang di dinding belakang. Ditambah, polesan pada furniture yang sudah sangat familiar di mata rakyatnya.

Hanya saja, sosok yang muncul di layar mereka bukanlah laki tua berambut putih yang mereka kenal, melainkan seorang pemuda yang memiliki tatapan seolah menelan mereka dengan matanya yang berbeda warna, hitam dan merah.

"Umm ... selamat siang, seluruh rakyat negara ini yang tak dicintai oleh dia. Ya, 'dia' ... presiden kalian." kata pemuda itu dengan arogan.

Setiap individu yang melihat itu terasa heran. Berbagai pertanyaan menyangkut keberadaan dari seorang presiden tersebar keluar dari mulut mereka.

"Saya tahu seluruh pertanyaan yang ingin kalian semua sampaikan, tapi saya tak akan menjelaskannya. Karena keberadaan saya di dunia ini hanyalah sementara. Ayolah, kalian pasti tahu tentang pertanyaan 'Apakah diriku ini asli? Apakah dunia yang kutempati ini adalah kenyataan? Apakah orang yang berada di sekitarku adalah manusia?' semacam itu, bukan?"

Mereka semua mulai rusuh. Teriakan kekesalan terdengar dari setiap sudut kota. Itu artinya, rasa gelisah mulai muncul di dalam hati mereka.

"Tenang saja, aku bukanlah Raja Iblis yang ingin menguasai dunia, melainkan hanya seorang manusia yang sedang dijadikan bahan percobaan." tawanya. "Bicara apa aku ini. Ngomong-ngomong, jika kalian menanyakan keadaan presiden dia baik-baik saja. Kalian tak percaya? Akan kuperlihatkan buktinya."

Pemandangan dalam video itu berputar. Sepertinya, pemuda itu memutar laptop yang dia gunakan. Tak lama kemudian, fakta yang tersaji dalam frame gambar sangat berbeda dengan yang dia katakan.

Tubuh tanpa nyawa tergeletak di mana-mana dengan darah yang menyelimuti mereka. Dan yang lebih mengejutkan, sosok presiden yang mereka kenal dengan senyumnya itu kini sudah menjadi salah satu mayat di sana.

Sekali lagi, pemandangan itu berputar dan kembali menunjukkan wajah pemuda yang telah membunuh presiden mereka.

"Lihat, dia baik-baik saja bukan? Dia sekarang sudah tenang dalam tidur panjangnya tanpa ada yang mengganggu. Jadi, Kendrik ... hentikan saja perbuatan tak bergunamu itu. Siapa yang akan kau ancam? Presiden? Tak akan ada yang mendengar keluhanmu itu. Kau bisa saja meledakkan seluruh sandera itu, tapi kau tak akan mendapat apa-apa selain hukuman yang menunggumu."

Kendrik Blaire serta bawahannya tentu menonton siaran itu. Dia sudah dibuat sangat kesal oleh pemuda yang baru dikenalnya beberapa saat yang lalu itu. Namun dia sadar, kalau sudah tak ada yang bisa dia lakukan.

Bisa saja dia tetap mengancam para dewan pemerintah yang lain, tapi tentu nyawa 123 orang tak akan mereka gubris dalam keadaan seperti ini. Sosok presiden sebagai pemimpin negara telah tiada, apa ada hal yang lebih penting dari itu?

"Ada lagi. Untuk kalian Reveriers lain yang menjadi ikut serta dalam permainan ini, akan kukatakan kalau tindakan kalian itu percuma. Umm, bagaimana mengatakannya? Intinya, kalian tak perlu mengikuti seluruh peraturan dalam permainan ini. Karena pada akhirnya, kita semua akan menjadi pajangan, tak peduli itu indah mauupun tak enak dipandang."

Mia, Gold, Alexine, bahkan Lucas yang tepat berada di dekat pemuda itu merasa bimbang. Mereka semua mulai merasa takut. Tentang dunia ini, tentang permainan ini, hingga tentang diri mereka yang akan menjadi sebuah "benda" tak peduli apa bentuknya.

"Ini adalah pesan terakhirku. Bukan untuk penduduk kota ini maupun kalian Reveriers, melainkan untuk mereka yang telah mengamati kami Reveriers selama ini, Supervisors. Dan juga kau, patung otak raksasa. Aku pasti akan menghentikan permainan yang kalian buat ini. Tak peduli meskipun aku gagal di tengah jalan, pesanku ini pasti akan tersampaikan pada penerusku selanjutnya. Tak peduli berapa kalipun kami gagal, kami akan mencoba terus-menerus hingga akhirnya kalian semua akan berhenti mempermainkan kami. Ingat itu!" tutup pemuda itu.

Terdengar embikan domba dari dalam video itu setelahnya. Suaranya begitu menggema memenuhi seluruh kota, hingga membuat setiap orang yang mendengarnya berusaha menutup telinga mereka meskipun itu tak berguna.

Seiring dengan suara itu, retakan muncul di seluruh tempat. Di jalan, di bangungan, bahkan hingga ke langit. Seolah seluruh dimensi ini hancur seperti lapisan kaca yang terpecah belah dan telah kehilangan strukturnya.

Bagian 10

Tanpa kusadari, aku sudah kembali ke dalam kamar hotel yang kutinggalkan sebelumnya. Terasa begitu lama, namun saat aku melihat ke arah jam yang tertera di smartphone-ku, waktu hanya berjalan selama lima menit.

Semua kembali normal. Luka yang kuterima sudah sembuh, tiap barang yang ditahan oleh Kendrik kembali begitu saja di tanganku, bahkan rasa kesal yang sempat kuluapkan tadi kini hilang.

Tapi, aku merasakan suatu perasaan yang aneh saat melihat ke arah Urami yang sedang tertidur dengan lelapnya. Perasaan yang mungkin sudah tertahan selama ini, seakan memaksa keluar untuk menunjukan jati dirinya yang sesungguhnya.

Aku mendekati Urami dan duduk tepat di sampingnya, lalu mengelus kepalanya dengan lembut turun hingga ke bibir.

Kunaikkan tubuhku hingga berhadapan dengan Urami. Kuperhatikan dengan seksama lekukan tubuh indahnya dari atas hingga ke bawah.

Tubuhku terasa panas ... sangat panas, seiring dengan tanganku yang meraba halus gundukan kenyal nan lembut tepat di bawah lehernya.

Aku sendiri tak tahu apa yang terjadi dengan tubuhku. Mungkin saja, ini adalah hal normal yang akan dilakukan oleh seorang laki-laki saat berduaan dengan perempuan.

Tapi, ada satu hal yang aku pahami. Diriku yang sekarang, sudah tak bisa merasakan apa-apa selain kegelapan sempurna yang memenuhi penglihatanku.[]


>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 23 - SATAN RAIZETSU | KUTUKAN SATAN
>Cerita selanjutnya : -

27 komentar:

  1. hmm...menurut saya sih alurnya bagus. smua karakter mendapat perannya. hacker, reporter, detective, tepaksa bnt krn diancam. tokoh utama yg netral.

    cuma ada beberapa pengulangan yang menurut saya kurang penting. seperti berita yang disiarkan, jika sudah di sebut lengkap di bab sebelumnya saya rasa nggak perlu lagi disebut secara utuh. atau jika memang ingin menampilkan lagi sebut saja secara singkat.

    lalu ada juga penggunaan bahasa yang kurang pas menurut saya. misalnya saja reveriers yang menjadi ikut. ntah kenapa itu kalimat menurut saya aneh. trus ada juga tanya dia mungkin lbh enak kalo pake tanyanya kali ya. dan beberapa lainnya.

    ngomong2 si mia tiba2 ilang ya. jd rencana dia kayak gmana atau trgabung ke pasukan yg nyerang gold? hmm mungkin saya bacanya kurang teliti dan fokus.

    8

    BalasHapus
    Balasan
    1. oh oke terima kasih, di sini saya hanya berusaha real-time.. berusaha menunjukkan bagaimana setiap OC berusaha menjalani permainan dengan cara mereka sendiri dengan sudut pandang OC itu sendiri, dan semua itu saling berhubungan....

      Tapi, terima kasih

      Hapus
    2. Dan juga kalau baca trope tentang 36 strategi, pasti paham... Mia, adalah trigger dari itu..

      Hapus
  2. Somehow, saya merasa Satan malah kurang menonjol di entry-nya sendiri. Saya baca ini putus putus karena sambil jalan. Terus saya sempat ngira ini entry Gold karena dibanding yang lain dia justru kelihatan paling oke somehow. Menurut saya pribadi of course.

    Permulaan ceritanya lambat, tapi begitu mulai seru kerasa oke. Penggunaan power Lex lumayan keren dan berpotensi game changing, meski dengan bijak dihentikan. Sayang endingnya kerasa kurang nendang.

    Saya beri cerita ini nilai 7/10

    Fahrul Razi
    OC: Anita Mardiani

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang, sesuai yang dibilang oleh King. Di sini saya memang sejak awal sudah memikirkan bagaimana kalau Satan tak menonjol, karena dia sudah terlalu menonjol di entri sebelumnya.

      Gold ya? Iya, bahkan saya sendiri yang ngetik aja merasa itu orang keren banget. Dengan gayanya yang cool, sambil menghisap rokok di mulutnya. Hahaha

      Berhubungan dengan ending... itu bukan ending.. ini baru permulaan deklarasi perang terhadap Sang Kehendak.

      Hapus
  3. Somehow, saya merasa Satan malah kurang menonjol di entry-nya sendiri. Saya baca ini putus putus karena sambil jalan. Terus saya sempat ngira ini entry Gold karena dibanding yang lain dia justru kelihatan paling oke somehow. Menurut saya pribadi of course.

    Permulaan ceritanya lambat, tapi begitu mulai seru kerasa oke. Penggunaan power Lex lumayan keren dan berpotensi game changing, meski dengan bijak dihentikan. Sayang endingnya kerasa kurang nendang.

    Saya beri cerita ini nilai 7/10

    Fahrul Razi
    OC: Anita Mardiani

    BalasHapus
  4. Alur ceritanya sudah sangat bagus kok. Mulai dari perkenalan sampai penutup semuanya sangat rapi. Deskripsi tentang adegan sudah sangat bagus digambarkan. Terus, karakteristik tokohnya tergambar dengan baik, nggak ada yang kurang. Mereka juga mendapatkan peran di dalam cerita ini. Dari yang berpihak sama polisi, mafia sampai jadi reporter pun ada.

    Hmmm… Satan ini juga benar-benar true netral sekali ya. Aku pikir Satan akan berpihak sama mafia, eh ternyata dia berada di pihak netral. Aku suka cara Satan menyelesaikan konflik di cerita ini dan saat dia menantang sang kehendak dengan berani.

    Tapi kekurangan di cerita ini mengenai sudut pandang. Kalau penulis menggunakan sudut pandang pertama, biasanya penulis menceritakan cerita ini melalui si tokoh aku yang berperang menjadi tokoh utama. Tapi di sini karakter Gold, Lucas, Alexine dan Mia bukan melalui si tokoh aku, melainkan dari pengarangnya sendiri seolah-olah menggunakan sudut pandang orang ketiga.

    Aku juga menemukan salah penyebutan nama di bagian ini, ‘Dan sekarang, beginilah keadaannya. Aku hanya berduaan dengan Chikako tanpa ada yang mengganggu’. Aku jadi bingung pada saat baca bagian itu soalnya Satan kan berduaan dengan Urami bukan Chikako. Tapi sedetik kemudian aku nyadar jika kemungkinan besar si penulisnya salah nulis nama.

    Nilai dariku untukmu adalah 8.

    Note : Ini mungkin nggak penting ya, tapi aku nggak nyangka jika kamu juga penggemar Little Buster. Aku juga suka Little Buster, tapi aku lebih memilih Natsume siblings.

    BalasHapus
  5. Oooo-keeee. Checkpoint Bom Komen 1 Reached.

    Saya mulai review saya perihal Entri Saizen yang satu ini.


    Gaya menulisnya konsisten sih, jadi tidak perlu dikomentari lebih banyak lagi. Udah solid lah urusan yang satu ini.

    Perkembangannya udah oke sih, belum lagi dengan sesumbarnya si Satan. Menarik juga. Tapi pas di ending jadinya antiklimatik, yang kurang berkesan kalau menurut saya.

    Dan peran Satan sendiri agak kena overlap, tapi udah oke sih pembagian fokusnya.

    Dari saya sih, entrinya nilai 8 deh.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru, Mbah Amut sedang tidur.

    BalasHapus
  6. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : B
    Overall character usage : C
    Writing techs : B
    Engaging battle : C
    Reading enjoyment : B

    Yang dibawa ke hotel Urami, tapi kenapa malah dibilang berduaannya sama Chikako?

    Kayaknya daripada 'hewaniawi', yang bener 'hewani' aja

    Saya ngerasa ganjil karena beberapa elemen dunia lain entah gimana masih bekerja juga di setting entri ini, kayak hape Satan masih dapet sinyal, surat Mia dianggep berlaku buat kepolisian setempat, atau kenapa tau" Lex diminta jadi reporter

    Terus, saya ngerasa sebaiknya penulis milih salah satu aja : antara pov1 Satan dan eksplor sepak terjan dia sepanjang entri, atau full pov3 yang lebih fleksibel buat bagi fokus. Di sini, saya ngerasa begitu narasi ngeekspos reverier lain, Satan jadi malah kurang berperan. Di akhir pun dia berasa jadi sekedar ngasih infodump aja 'jadi aku bisa sampai ke sini karena begini" dst'. Saya pikir lagi, Lex sama Mia berasa ga ada gunanya buat disorot di cerita ini, dan Gold sama Lucas perannya juga ga banyak yang langsung konfrontasi sama Satan sendiri

    Saya sempet kebayang Satan ini diniatin jadi semacem mastermind cerdas ala Light Yagami atau Lelouch, tapi eksekusinya kurang nendang buat saya. Masih berkesan tell daripada show kenapa Satan ini pantes disebut brilian.

    ==Final score: B (8)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oke buat Mas Sam. Gak mungkin lah karakter yang saya masukin gak ada gunanya... Misalkan saja Mia, kalau gak ada dia Gold pasti nganggur... dan kalau Gold nganggur, sudah dipastikan ledakan di atas atap itu tak akan terjadi dan permainan langsung selesai saat Alexine menggunakan kekuatannya.

      elemen dunia lain gimana ya? Ini sudah jelas settingnya dunia modern, bahkan kartu seluler apa saja bisa di pakai di belahan dunia mana saja selama ada sinyal. Tahu-tahu Lex diminta jadi reporter? Kan sudah dijelaskan, kalau dia menggunakan keuatannya untuk mengganti ingatan mereka meskipun secara tak langsung... Dan masalah surat Mia, anggap saja Translasi Universal BoR berlaku di sini. Jika memang dia heran darimana surat itu, pasti kan ada negara lain di sekitar tempat setting.. Well, saya gak yakin kalu saya harus membuat setting terhubung dengan negara lain.

      Hapus
  7. Saya suka sama narasi dan penyajian alurnya. Walaupun membingungkan di beberapa titik, tapi tetap enak dibaca.

    Di entri ini saya ga ngeliat interaksi antar reverier selain Satan sama Lucas di bagian akhir. Lainnya hanya disiratkan sebagai pembela teroris, pembela polisi, dan pemanipulasi media.

    Endingnya kerasa aneh sih buat dia. Entah apa motivasinya Satan langsung grepe-grepe Urami pas balik ke bingkai mimpinya, padahal habis bunuh beberapa lusin orang.

    Overall Score: 8

    At last, greetings~
    Tanz, Father of Adrian Vasilis

    BalasHapus
    Balasan
    1. "kerasa aneh sih buat saya.", ralat..

      Hapus
    2. Haduh saya ngakak sendiri... itu bukan nafsu, hanya kebingungan sesaat.. masalah psikologis

      Tapi, thanks...

      Hapus
  8. okee, setingan sih bagus, alur juga enak. plot twist juga lumayan.
    cuma, ada beberapa hal yg ganjal. sudah dibilang sama yg lain sih, kyk masalah teknis dan malah karakter lain yg kena sorot.

    dan waduh Mia.... sejak kapan kamu punya surat gituan. oops.

    jadi nilai: 7
    OC: Mia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayolah, tak ada yang mau kau bahas lagi? Misalkan seperti kostum yang kupakaikan untuk Mia. Bukankah itu imut?

      Dan sebagai detektif bayaran oleh utusan kepolisian, bukankah wajar jika Mia mendapat Surat Izin seperti itu jika suatu saat dia bertindak sendiri? Seharusnya setiap detektif punya, yah saya gak tahu juga sih. Bukan OC saya>>

      But Thanks

      Hapus
  9. apa yang kamu harapkan dari review saya, Satan? well, ini entrimu semacam warna untuk saya, setelah entri saya mendapatkan dua cacian buruk yang mau tidak mau untuk kedua kalinya harus saya terima. ikhlas atau tidak.

    membaca bagian awal itu bikin saya terbakar cemburu. serius. saya sudah malas untuk melanjutkan membaca entrimu. aku tidak mau ada ego yang besar dalam dirimu akan Urami. hahaha... dan, saat membaca bagian battle, saya berharap kamu mati saja di tangan Kendric. sayangnya, itu tidak mungkin.

    alur yang rapi, bahasa yang memikat dan 'memaksa' saya untuk semakin jatuh ke dalamnya. kupikir menggunakan sudut pandang orang pertama itu membosankan. tapi kamu nggak. kamu beda.

    katamu orang-orang bilang penjelasan karakterisasi Satan kurang detail dibanding prelim. tapi, buat saya justru ini yang lebih pas. tidak terlalu mendetail dan meninggalkan penasaran untuk segera membaca kisah selanjutnya di R2 nanti.

    well, mau 8 atau 9? hem? kalau 8 kamu harus mengencani Tal. kalau 9 kamu harus meninggalkan Urami. hahahaha... saya bercanda.

    nilai akhir dari saya 8.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayolah 9 saja lah.. tambahkan satu angka lagi...

      Tak bisa dippungkiri, soalnya Satan dan Tal belum pernah bertemu langsung. Niatnya juga mau nyari timing yang pas buat Satan dengan Tal, tapi karena tuntutan pertarungan di R2 saya harus pakai sub OC dan yang paling wajar itu Urami.. HAhahaha ayolah...

      Hapus
  10. Nama kamu siapa? Satan kurang suka untuk menjawab atau menjelaskan makna pertanyaan barusan, karena terlalu sering diakhiri dengan persepsi yang kurang mengenakkan. Well, The Thinker terasa sekali di entri ini.

    Dari segi penulisannya juga ini mengalir dan empuk pas dibacanya, dari awal sampai akhir. Pembagian karakternya jeli dan informatif, meski, ya, saya pun harus mengakui kalau Gold bersinar, dia keren banget, dan Satan (Zen) sendiri agak samar meski jelas tujuannya.

    Lanjut ke akhir-akhir, pusat penyelesaian, ke interaksi antar Lucas dan Zen, penjelasan tentang konspirasi, kekesalan Kendrik, damn, the devil sudah merebus peperangan. Ditunggu kelanjutannya. 9/10

    Oc: Namol Nihilo

    BalasHapus
  11. Ralat nilai.
    Jadinya, 9.

    Tambahan satu poin, sebagai ucapan perpisahan. ^^ good luck.

    BalasHapus
  12. Stlh dibaca kemaren baru bisa komen skrg alhasil gw gk tau mau ngomen apa. Pov 1 di sini lumayan halus lus lus, jadi bacanya pun enak ampe akhirrr.

    Si emas lebih bersinar drpd yg punya kyknya. Yg terakhir itu... tolonglah wkwkwkwk. Btw endingnya Satan jadi buta ya? LoL

    8
    Samara Yesta~

    BalasHapus
  13. Stlh dibaca kemaren baru bisa komen skrg alhasil gw gk tau mau ngomen apa. Pov 1 di sini lumayan halus lus lus, jadi bacanya pun enak ampe akhirrr.

    Si emas lebih bersinar drpd yg punya kyknya. Yg terakhir itu... tolonglah wkwkwkwk. Btw endingnya Satan jadi buta ya? LoL

    8
    Samara Yesta~

    BalasHapus
  14. "Hei, domba. Kenapa kau menatapku seperti itu?!" kataku sedikit kesal. "Apa kau menganggapku menjijikan atau bagaimana? Memang aku sedikit terganggu dengan wanita 3D yang bisa kuserang kapan saja, tapi aku sudah mempunyai istri 2D idamanku. Sasasegawa Sasami yang tersayang. Jadi berhentilah menatapku seperti itu!"


    >_>) plz


    "Mereka yang memperhatikan dan menilai kita, mungkin aku menyebut mereka sebagai 'Supervisors'"

    wao, nambahin makhluk di luar canon panitiauntuk nyambungin ke canon panitinih?

    btw, ga ada komentar soal penulisan. danini panjang banget ceritanya, tapi kok berasa bukan entri satan, mana satan nyaaaaaaaaaa.

    8 deh.

    Wamenodo Huang

    BalasHapus
  15. Hai mas Wibu-Otaku akut

    diluar dugaan gaya nulis kamu enak banget dibaca ya 8^)

    Plotnya bagus buat saya, sayang Satan agak-agak gaib gt (maksudnya kurang dapat spot). Dan ini ya yang kamu tanyakan kemaren? Risky juga pakai 2 POV. Bukan ga boleh, asal bisa eksekusinya. Saran aja, ke depan mungkin tiap part, dikasih itu sudut pandang siapa. Misal kalau pas partnya Satan yang pake POV 01 bisa ditambah sub judul 'Satan's View: -judul-'

    Just suggest


    Karena bahasanya enak dan saya lumayan ngalir bacanya
    8



    PS : Fix saya lapar. Baca Urami jdi Umami.


    -Odin-

    BalasHapus
  16. Hai Kuro, saya sempat kaget pas awal-awal udah rusuh aja, eh taunya cuma lamunan lel

    Oke, saya sempat tertegun baca ini. Kenapa? Karena stylenya shonen banget, sayangnya seperti yang saya bilang diatas. Rusuh. Saya berasa kayak lagi dijejelin roti ke mulut padahal yang di dalam mulut masih belum ditelan. Ditambah lagi, fokus ceritanya malah mencar. Padahal, plot sama world buildingnya sudah oke, apalagi adanya joke di tengah pas mereka mau battle, sayang eksekusinya kurang. Kamu lagi buru-buru kah?

    Sekarang sih saya cuma bisa kasih 7 tapi saya berharap kamu bisa maju. Soale ada penulis yang kesusahan sama world building di tahun pertama mereka. Contohnya, saya. WWW


    PS : Dialog emang boleh bahasa ga baku,tapi penulisan katanya diperhatiin lagi ya


    -Odin-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini akan saya masukkan ke review untuk Kuro ._ .

      Hapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.