Senin, 17 Oktober 2016

[5_DOMBA] KUNJUNGAN MUSEUM


oleh : hewan


Ringkasan cerita sebelumnya:


Para reverier dihadapkan pada kenyataan memuakkan, yaitu semesta asal mereka jadi taruhan dalam setiap pertarungan di Alam Mimpi. Dan dari 32 reverier yang tersisa untuk bertempur di babak kedua, setengahnya akan tersingkir. Itu berarti akan ada 16 semesta yang terserap ke Alam Mimpi pada akhir babak tersebut atas kuasa Sang Kehendak. Semesta itu akan lenyap dari asalnya, berganti menjadi wilayah mimpi yang terdistorsi di Alam Mimpi.

Pernah Zainurma mengatakan pada mereka untuk bertahan dan terus menang, serta bertambah kuat. Kalau ada harapan untuk impian diri mereka dan impian semesta mereka, maka itu hanya bisa diraih dengan kekuatan tersebut.

-reveriers-

Seorang pemuda berwajah oriental duduk di kursi seraya memetik gitar dan menyanyikan sebuah tembang klasik dari negeri barat di dunianya:

Dream, dream, dream, dream~
When I want you, in my arms
When I want you, and all your charm
Whenever I want you, all I have to do … is dream

Dream, dream, dream~
When I feel blue, in the night
And I want you, to hold me tight
Whenever I want you, all I have to do … is dream

I can make you mine, taste your lips of wine,
anytime, night or day
Only trouble is, gee whiz, I’m dreamin’ my life away~~

(All I Have to Do is Dream, oleh Everly Brothers)


Ketika dia beres menyanyikan lagu itu, maka impiannya pun berakhir sudah. Dalam hatinya pemuda itu hanya bisa berharap, andai si hijab putih bisa selamat. Kemudian dia hanya bisa pasrah saat tubuhnya bertransformasi menjadi patung perunggu dengan gaya seperti patung-patung pada era romantik. Citarasa artistiknya lumayan tinggi. Pemuda itu telah bertarung dengan baik selama setidaknya tiga babak.

Prinsip turnamen ini hanya satu. Semakin lama para reverier bertahan maka karya yang mereka hasilkan akan semakin indah. Termasuk saat mereka sendiri yang akhirnya jadi karya seni itu. Dan pemuda penyanyi itu hanyalah 1 dari 16 reverier yang tersingkir di babak kedua. Keenam belas pemimpi tangguh itu telah takluk oleh lawan-lawan mereka. Kini mereka berkumpul di suatu aula istimewa di Museum Semesta hanya untuk menanti jiwa raga dan impian mereka termanifestasi (baca: dikutuk) menjadi karya seni.

Nama besar bukanlah jaminan untuk bertahan. Impian seorang koki legendaris tak cukup kuat untuk mengalahkan impian dari manusia kloning yang belum tahu banyak soal dunia. Sekumpulan badut sirkus dengan segala atraksinya hanya bisa mengundang tepuk tangan kagum sebelum akhirnya dikalahkan oleh tebasan pedang dari wanita tinta.

Seorang nabi pun kini kehilangan petunjuk dari “tuhan”-nya, tak mampu untuk sekadar mengalahkan pemuda dengan dunia yang dipenuhi nama-nama aneh. Robot supercanggih sudah kehilangan kesempatan untuk mencari siapa pencipta dirinya karena kalah populer dari, sebut saja, si pemburu hantu.

Beberapa reverier memilih untuk tidak melakukan apa-apa pada babak tersebut. Pemuda penyandang gelar setan sudah menyerah begitu saja. Begitu pula dengan gadis berkacamata asal Betawi, tiba-tiba hilang kabarnya sama sekali meskipun sudah meraih kepopuleran di turnamen ini. Menyusul selanjutnya adalah teroris yang apinya telah padam. Lalu makhluk mitos dari suku Indian juga takluk. Bahkan ada pula seorang pengendali tumbuhan tak lagi bisa memupuk dan menumbuhkan impiannya. Terakhir, wanita PSK merasa dirinya tak sanggup lagi bertahan. “Aku yang cuman bisa ngeseks, punya daya apa buat memenangkan pertarungan gila ini?” katanya.

Setelah semua reverier itu selesai berubah menjadi karya seni, catatan kuratorial mereka pun muncul di Katalog Semesta yang dipegang oleh sang Kurator. Pria perlente itu hanya bisa menghela napas panjang menyaksikan terciptanya 16 karya baru. “Hhh … bukan mereka. Pecundang seperti mereka ternyata tidak cukup kuat untuk membangkitkan Arsamagna. Padahal aku sudah sedikit berharap dari nama-nama besar mereka. Cih, sialan!”

-reveriers-

Dipenuhi perasaan kesal, Zainurma sang Kurator hanya bisa berpaling dan kembali ke ruangannya. Setidaknya begitulah niatnya semula, andai saja dia tidak segera merasakan perubahan udara. Hawa menekan yang tadinya begitu kuat menyelimuti Museum Semesta kini menghilang begitu saja. Dan itu tandanya …

“Sang Kehendak tertidur? Di tengah berlangsungnya turnamen??”

Tak mempercayai hal itu, Zainurma segera berpindah ke Aula Kehendak di mana terdapat patung otak berantai dengan ukuran gigantik yang ditopang ratusan patung manusia—atau Sang Kehendak. Namun terdapat keanehan. Ratusan patung manusia telah hancur remuk, tak lagi mampu menopang otak yang bertambah besar hingga dua kali lipat. Otak itu terus berdenyut dan berdenyut pelan. Rantai yang tadinya membelit kini berserakan begitu saja di lantai.

Mata Zainurma membelalak. “Tidak … artefak sial ini bukan sedang tertidur. Tapi dia sedang BANGKIT!”

Dari belakang sang Kurator muncul Mirabelle yang juga merasakan peristiwa ini. Dia juga berkomentar, “Apa yang terjadi, Tuan Kurator?” Lalu sang dewi pun menatap sosok Sang Kehendak, “A-aku belum pernah melihat Sang Kehendak seperti itu.”

Zainurma membalas, “Aku juga belum pernah! Tapi kurasa artefak brengsek ini sedang dalam proses … err, anggap saja kepompong pada kupu-kupu.”

Mirabelle terdiam. Dirinya masih mencerna penggambaran yang dijelaskan secara tak meyakinkan oleh sang Kurator. Mirabelle pun menyimpulkan, “Kalau memang ini adalah kepompong, bukankah itu berarti dia sedang dalam kondisi terlemahnya?” Kemudian dewi itu mengeluarkan tombak Giruvedan-nya seraya memasang ekspresi siap perang. Namun—

Rantai raksasa yang tadinya berserakan di lantai tiba-tiba melesat cepat hendak memecut Mirabelle dari atas. Sang dewi berusaha menahan rantai itu dengan melintangkan tombak ke atas. Akan tetapi, hantaman rantai tersebut mampu mematahkan tombak Giruvedan Mirabelle dan menghunjamkan tubuh sang dewi ke permukaan tanah. Retakan besar tercipta bersamaan dengan bunyi menggelegar. Mirabelle kehilangan kesadaran.

Kemudian rantai-rantai tersebut kembali bergerak, bertumpuk lekat-lekat menciptakan secamam kubah pelindung yang tak tertembus.

Zainurma tertawa kecut, “Heh, kurasa tak semudah itu, ya?” Pria itu pun mengangkat dan membopong tubuh Mirabelle. “Namun ini kesempatan. Ahahaha!”

Walaupun hanya sementara, melemahlah kekangan dari Museum Semesta terhadap diri sang Kurator. Dan yang ada di pikirannya adalah memanfaatkan jeda ini untuk mengunjungi suatu tempat yang selama ini ingin dia datangi namun tak memungkinkan karena jiwa raga dan mimpinya terikat pada Museum Semesta yang dikuasai Sang Kehendak.

“Ah, tapi turnamen harus tetap berjalan,” gumam Zainurma. “Kuserahkan saja pada si Huban untuk saat ini.”

-reveriers-

Enam belas reverier yang tersisa kini dikumpulkan lagi di suatu wilayah di Alam Mimpi. Bukan di kuil pegunungan berkabut seperti pembukaan babak sebelumnya. Kali ini mereka terombang-ambing di lautan susu karamel, hanya berpegangan pada pelampung berbentuk donat beraneka rasa dan ukuran (ekstra mini untuk si kaleng). Mereka tak mendapati sosok Zainurma ataupun Mirabelle yang biasanya memandu jalannya turnamen. Yang mereka temui hanya si kepala bantal yang melompat-lompat girang di perahu pancake.

“Yeay, selamat sudah lolos ke babak ini~~” sapa Ratu Huban, si kepala bantal.

Tapi tak ada yang menjawab. Para reverier merasa badan mereka gatal-gatal karena separuh badan mereka terbenam di lautan susu karamel. Bahkan ada beberapa yang mengaduh karena ada sesuatu yang mirip ikan sedang menggigiti badan dan kaki mereka di bawah air.

“Hey, Bantal Setan! Apa nggak ada tempat lebih nyaman buat kita ngobrol, hah?” seru si demonologist tangguh yang penuh percaya diri sehabis mengalahkan robot supercanggih. Namun balasan yang dia dapat hanyalah pukulan tongkat permen dari Ratu Huban—yang secara ajaib terasa begitu menyakitkan.

“Aku ucapkan terima kasih karena sudah merawat domba-dombaku dengan penuh impian~~ kurasa mereka semua sudah bisa berevolusi sekarang~”

Para reverier terpana. Berevolusi, katanya? Menjadi apa?

“Jadi apapun yang kalian butuhkan, tentu~” jawab Ratu Huban seolah membaca pikiran semuanya. Kemudian dia melanjutkan, “Tapi aku memanggil kalian ke sini bukan cuman untuk itu, ehehe. Kalian semua beruntung~”

“B-beruntung?” tanya pemuda yang kerepotan menjaga palu besarnya supaya tidak tenggelam.

“Ya,” jawab Ratu Huban, “karena aku yang jadi pemandu kalian sekarang, kuputuskan inilah saatnya untuk … treng deng deng ♪ … KUN-JUNG-AN MU-SE-UM!”

Para reverier kembali terheran.

Salah satu yang pemalas di antara mereka segera mengeluh, “Astaga, kunjungan museum seperti anak sekolah??”

Selanjutnya bocah muda bertutup mata sebelah menyadari sesuatu, “Tunggu! Kunjungan museum itu maksudnya kita mengunjungi MUSEUM SEMESTA!?”

“Waduh gawat,” respon alien di antara para reverier, “berada di Museum Semesta sebentar saja membuat kami sangat tertekan, tahu? Seolah pikiran bisa jadi gila seketika.”

Ratu Huban menggelengkan kepala bantalnya, “Tenang saja~ kali ini Museum Semesta sedang aman. Dan ini kesempatan besar kalian~”

Mengocehlah Ratu Huban panjang lebar soal petualangan di museum, pencarian harta impian, atau petunjuk untuk mewujudkan cita-cita, juga tentang sumber pengetahuan yang terkira banyaknya di museum yang semuanya berasal dari entah berapa juta semesta.

“Tapi tentu saja kalian masih tetep harus berantem satu lawan satu~ nanti kukasih memonya siapa yang melawan siapa. Sekarang, saatnya kalian kembali ke Bingkai Mimpi masing-masing~”

Ratu Huban menyelupkan ujung tongkat permennya ke permukaan laut susu karamel, lalu tongkat itu diputar-putar. Pusaran air pun tercipta, dengan cepat membesar dan menelan seluruh reverier yang ada di sana. Mereka hanya bisa berteriak kesal, tak berdaya diusir oleh Ratu Huban.

Dan para reverier satu pikiran, sesampainya di Bingkai Mimpi maka mereka harus mandi jika tak ingin badan mereka yang berlumuran susu dikerubungi semut.

Ketika pusaran mereda, para reverier sudah tak terlihat lagi. Ratu Huban tertawa gembira. Sungguh dia merasa dirinya sedang pintar sekarang. Memanfaatkan kosongnya Museum Semesta, dia malah memilih museum itu sebagai tempat berlangsungnya babak selanjutnya. Itu sangat berbeda dengan instruksi Zainurma yang menemui Ratu Huban beberapa waktu lalu. Sang Kurator menyuruh agar lokasi pertempuran para reverier tetap dilangsungkan di Alam Mimpi. Akan tetapi, bagaimana mungkin dirinya melewatkan peluang untuk menemukan impian sendiri? Karena itu dia akan mengirimkan para reverier ke Museum Semesta … tempat semuanya berasal dan berakhir.

“Yeay, ideku sangat cemerlang~~”

-reveriers-

Bukan hanya Ratu Huban yang punya pikiran untuk menyusup (atau mengirimkan segerombolan penyusup) ke Museum Semesta. Tampaklah si penggembala domba hitam, Oneiros, sedang mengamuk sebal karena di babak yang lalu dirinya malah terkesan sebagai pengganggu yang tidak penting. Rencananya untuk mengusir para reverier telah gagal total. Tapi kali ini, dia punya rencana lain.

“Kalau mereka semua pergi ke Museum Semesta, maka aku juga harus pergi.”

Domba-domba hitam Oneiros mengembik kencang bersahut-sahutan. Si penggembala pun menenangkan domba-dombanya.

“Demi kalian, dombaku, maka aku akan berlatih agar lebih kuat. Aku punya bayangan, aku bisa merasakannya. Aku akan mempelajari Museum Semesta sebanyak-banyaknya dalam masa kekosongan ini! Aku bisa meraih inspirasi tertinggi. Aku juga tahu tentang itu, Kurator jelek, … tentang Arsamagna!”


[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.