Rabu, 08 Juni 2016

[PRELIM] 52 - NAZHME KAIKHAZ | RAJA DI ANTARA DUA DUNIA

oleh : Aryo Budi P.


===
===

“Kakek Yadhaor! Kakek Yadhaoooor!”
Sepasang anak-anak elf berlari berhamburan menuju ruang baca dalam mansion luas di pegunungan itu.
“Wah wah wah! Kalian sudah datang ya,” ucap seorang tua bertubuh pendek sambil mengangkat mata dari buku besar terbuka di atas meja. “Bagaimana sekolah kalian? Apa Melilo masih usil dan Gielana masih ranking bontot?”
“Kakeeeek!” seru sang gadis kecil sambil merengut. “Aku udah gak ranking bontot lagi!”
“Iya, tapi sekarang ranking tiga,” timpal sang pemuda yang sedikit lebih tua. “Dari belakang.”
“Kakaaaak!” seru sang adik sambil meninju bahu sang kakak yang tertawa-tawa.
“Wohoho~ ternyata memang kalian ada perkembangan, hmm?” ucap sang kakek sambil menutup buku besar itu dan melompat turun dari kursi tinggi yang tadi ia duduki. “Wah, kau juga tambah tinggi ya Gielana!”
“Mmhm!” balas Gielana sambil membusungkan dada, bangga. “Tahun depan Kakek nggak bisa mengataiku pendek lagi!”

“Ahahaha! Bagus, begitu semangatnya!” ucap Yadhaor sambil menepuk bahu Melilo. Mereka pun beranjak dari ruangan penuh rak buku dan meja belajar itu menuju ruang tamu utama. “Bagaimana pelajaran bela diri kalian dengan Tash’kale?”
“Guru Tash masih mengajari kami kuda-kuda,” gerutu Melilo yang tingginya sudah satu kepala lebih tinggi dari Yadhaor. “Membosankan!”
“Yah, pelajarannya sendiri tidak salah,” ucap Yadhaor sambil tersenyum lalu menyapa seorang wanita yang sedang menikmati the di salah satu kursi tamu. “Ah, Nyonya Elishka. Bagaimana kabar Tuan Kelmar?”
“Yah, seperti biasa Tetua Yadhaor,” ucap sang nyonya sambil menghembuskan nafas. “Yang Mulia Naryav menugaskannya untuk memperkuat perbatasan sebelah utara. Suku Mosike mulai berbuat ulah lagi.”
“Ah… sulit memang menghadapi orang-orang yang harga dirinya terlalu tinggi seperti mereka,” ucap Yadhaor sambil melompat ke atas kursi di seberang Elishka, lalu duduk di atas setumpuk bantal yang tersedia.
“Adik Ipar sudah berkali-kali mencoba membuka pintu negosiasi dengan mereka,” ucap Elishka sambil melipat tangan dan bersandar. “Delegasi terakhir yang berangkat tiga bulan lalu pun masih mentah juga.”
“Begitu ya,” balas Yadhaor pendek. “Bisa-bisa perang berkobar lagi di sana…”
“Ibu dan Kakek Yadhaor pasti sedang bicara hal yang membosankan lagi!” seru Gielana memecah atmosfer suram yang baru mulai turun. “Ini kan liburan! Liburan itu untuk senang-senang!”
“Yak, Gielana benar!” balas Yadhaor sambil tertawa. “Ngomong-ngomong, beberapa hari yang lalu kabar dari tante kalian baru datang, lho!”
“Tante Naz? Uah, keren!” seru Melilo antusias. “Tante sudah sampai di mana sekarang?”
“Ia mengeposkan suratnya dari kota Tanbrinn di Dataran Sentra. Suratnya ada di sini,” ujar Yadhaor sambil menarik keluar sebuah gulungan dari dalam mantelnya. “Ia juga mengirim cinderamata.”
“Cinderamata?” ucap Elishka sambil mencondongkan tubuh ke depan.
“Yap! Dia rupanya berhasil menangkap Oribas legenda yang lebih besar dari yang dulu kukejar-kejar. Tantemu itu tinggal lama di bagian Sungai Elin yang itu rupanya,” ucap sang halfling tua sambil menarik keluar tiga sisik ikan selebar tiga jari orang dewasa dari saku mantel lain setelah meletakkan gulungan di meja tamu. Melilo menerima sebuah dengan antusias.
“Luar biasa…” ucap Elishka sambil melihat sisik ikan di tangan anak lelakinya. Sinar matahari membuat semburat pelangi muncul di permukaan sisik itu. “Berapa ukuran ikan ini, Tetua?”
“Melihat dari sisiknya? Menurutku setidaknya dua setengah metre… mungkin juga tiga, kalau ikannya betina,” ujar Yadhaor sambil mengagumi sisik di tangannya. “Ikan ini sudah hidup sekitar dua puluh lima musim, cukup tua untuk jenis Oribas. Semoga ikan itu bisa bertahan hidup lebih lama lagi dan memberikan perlawanannya pada pemancing lain.”
“Uuu… aku ingin juga seperti tante! Berkelana dan menangkap ikan besar!” seru Melilo sambil mengepalkan tangan.
“Begitu? Mari kita lihat lima sampai sepuluh tahun lagi,” balas Yadhaor sambil mengedipkan mata.


Wala wala
Nun di sana di cakrawala
Entah di hulu atau kuala
Entah kurnia ataukah bala

Lagu yang aneh. Beberapa katanya belum pernah kudengar, baik dari Tetua Yadhaor maupun Pendongeng Alutiel. Tanpa nada maupun irama, hanya satu bait yang terulang-ulang. Tanpa makna tersurat, tidak layaknya nyanyian para sinden selatan maupun para skjald dari utara.

 “Kau … Reverier...”

Tiki tiki
Buah ditebah tiada berisi
Entahkah ini semua mimpi
Saat semua sedang terjadi

Bentang alam ini asing. Pohon-pohon yang dapat kulihat seperti habis dibakar, hitam legam dan tertekuk-tekuk. Bulan merah menggantung di langit, dan kalau kubilang menggantung, ya… tergantung dengan sebuah benang yang jelas kelihatan, dan berayun-ayun. Ayunannya pun tidak seirama dengan benda langit lainnya.

“… Itu, mungkin kau … Mahakarya … Alam Mimpi.”

Wara wara
Semburat senyap sebuah suara
Wahai engkau, sang Reveria
Apakah kau, Mahakarya?

Dengan segala keanehan dalam mimpi ini, dua sosok itu jelas yang paling aneh. Mereka berkata, tapi tidak berkata. Gerakan bibir mereka tidak selaras dengan lagu ini, tidak pula selaras dengan perkataan putus-putus yang kudengar di sela lagu. Ujaran dalam bahasa Kedeth, bahasa umum para Dwarf yang dulu kukuasai karena aku tak ada pekerjaan lain. Dan… apa itu permen tongkat? Kacamata gelap? Bantal?

“…Mencapai … tak mampu … duniamu.”

===
===

“Nngh…”
Matahari belum juga nampak ketika seorang gadis elf mulai tersadar dari tidurnya. Bagian Dataran Sentra ini memang kerap diselimuti kabut yang turun dari pegunungan di sebelah selatannya; pada hari-hari tertentu kabut bahkan akan tetap tinggal hingga tengah hari. Sampan tempat ia tertidur dibuai arus air, ditahan di tempat oleh jangkar kecil yang tersangkut di batu dasar sungai.
“Apa itu tadi…” gumam sang gadis sambil sejenak duduk mengumpulkan kesadaran. Tak ada suara selain desau daun semak yang saling beradu dan air yang mengalir di bawah perahu. “Apa mungkin ini… sebuah pertanda?”
Sang gadis pun melihat sekeliling, berusaha mencandra di mana ia sekarang berada. Ia jelas masih ada di bagian hulu Sungai Gezanty, sekitar dua minggu mendayung melawan arus dari arah kota Tanbrinn tempat ia mengeposkan surat untuk Guru Yadhaor. Semoga saja tiga sisik Oribas raksasa yang ia sudah susah-payah ia tangkap dan lepaskan tidak rusak dalam perjalanan.
“Hmm… Ini tidak biasa…” gumam sang gadis sambil menurunkan dayung yang ia bawa hingga menyentuh bebatuan di dasar sungai. “Hm… sekitar setengah metre…? Mungkin lebih? Yang jelas tak lebih dari satu metre…”
Kabut tebal di sekitar sang gadis membuat jarak pandang tak lebih dari satu kilometre, dan matahari pun tak kuat bersinar di atas kepala. Dengan gerakan terlatih, sang gadis berusaha menaikkan jangkar sederhana yang menahan perahu tetap di tempatnya, namun jangkar itu tak bergerak sedikitpun. Usaha kedua dan ketiga pun gagal.
“Geh… terpaksa ditinggal di sini sementara…” gumam sang gadis sambil memandang ke tepian. Bagian sungai ini tak begitu dalam namun cukup lebar, dan ia yakin tali jangkar yang ia bawa tidak akan cukup jika diulur sampai ke tepian. Ia pun mengikat sebuah kantung air kosong yang telah digembungkan di tali jangkar dan mengapungkannya, menandai di mana jangkar itu ditinggalkan sebelum mulai mendayung ke tepian.
“Sekarang… saatnya makan pagi,” gumam sang gadis sambil turun ke dalam air, lalu menyeret sampan barunya itu keluar dari air.

===
===

“Kakek, apa Kakek pernah menemui ikan yang tak bisa Kakek tangkap?”
Yadhaor yang sedang mengoleskan mentega ke atas roti panas yang baru saja dihidangkan itu terdiam sejenak. Kumis tebal berwarna coklat yang menghiasi bibir atasnya berkedut mengikuti kedutan otot wajahnya, tanda ia berpikir keras menghadapi pertanyaan Gielana di meja makan siang itu. Cuaca saat makan siang itu sangat cerah, namun panas sengatan matahari banyak berkurang oleh angin dataran tinggi tempat villa peristirahatan wangsa Kaikhaz itu terletak.
“Jelas tak mungkin!” sambar Melilo sesudah menelan gigitan roti isi miliknya.
“Mm, aku bisa menyebut beberapa nama,” ucap Yadhaor selesai mengoles mentega.
“Tak mungkin! Kalaupun ada, pasti ikannya ada di tengah lautan luas sana!” seru Melilo tak percaya.
“Bagaimanapun Tetua hanyalah makhluk, Melilo,” sang ibu megingatkan putra sulungnya itu. “Pasti pernah mengalami kesalahan dan kegagalan.”
“Cerita dong Kek, ikan yang tak bisa kakek tangkap itu!” timpal Gielana sambil menumpukan siku ke atas meja makan kayu cedar itu.
“Sebagian besar ikan yang tak bisa kutangkap itu sudah mati saat aku sampai ke sana. Jenis Ralgatoia, Masquinongy, Culiusoxe… banyak yang sudah sampai umurnya ketika aku menemukan mereka,” ujar sang kakek sambil menghela nafas. “Umur seekor ikan biasanya akan lebih pendek dibandingkan dengan bangsa halfling seperti aku, apalagi dengan bangsa elf seperti kalian. Ada beberapa jenis yang katanya hidup lebih lama dari bangsa manusia, contohnya ikan Gontruse dari Sungai Rasefir, tapi yang seperti itu sudah sangat langka.”
“Hoo… selain Gontruse, apa lagi Kek?” tanya Melilo antusias. Sang halfling tua berhenti sejenak, berpikir untuk kata-kata berikutnya.
“Dulu, ada seekor ikan yang sangat terkenal,” ucap sang guru memulai ceritanya. “Begitu terkenalnya, sampai-sampai ia diberi nama sendiri, terpisah dari nama ikan sejenisnya…”
Dengan nada misterius nan membuai itu, kedua anak yang ada di meja langsung terjerat. Nafas mereka bak ditahan aura misteri yang menguar keluar dari kata-kata sang guru. Sang ibu lebih memilih mundur bersama pelayan-pelayan yang membereskan peralatan makan.
“Orang-orang dataran menyembahnya sebagai dewa sungai, dan ia sudah hidup sejak suku-suku dataran menempati tanah leluhur mereka,” tutur sang tetua sambil mencondongkan badan ke depan. “Huoch Nemyat, mereka memanggilnya dengan nada berbisik…”

===
===

Di pinggir sungai dua minggu dari kota kecil terdekat itu, sebuah api unggun kecil membuat suara berkeletak pelan saat nyala itu melahap ranting kering dan potongan-potongan kayu yang disediakan seorang gadis elf yang sedang memanggang ikan. Ikan-ikan kecil itu sendiri bukanlah tangkapan yang sulit bagi sang gadis, yang mungkin bisa menangkap mereka dengan mata tertutup dan sebelah tangan diikat ke belakang. Tapi tujuan mereka hanyalah sekadar lauk penyedap, menemani biskuit keras yang menjadi makanan pokok bawaan lazimnya pengelana dunia.
“Mmh, harusnya cukup,” ucap sang gadis sambil memeriksa salah satu ikan yang dipanggang dan mendapati daging di bawah kulit renyahnya sudah matang. Dengan the panas, tiga keping biskuit, dan beberapa ikan panggang, sang gadis memulai hari.
Sembari makan, sang gadis kembali melihat sekeliling. Bantaran sungai tempat ia duduk dan menikmati sarapan tidaklah hijau seperti  padang rumput sabana di sekelilingnya, dan tutupan rumput terdekat berjarak beberapa metre dari tempatnya duduk. Sebagai gantinya, kerakal dan batu-batu besar terhampar seperti karpet di kedua sisi sungai, diselingi rumpun herba muda setiap beberapa meter.
“Sisa banjir musim semi ya…” ucap sang gadis sambil menghembuskan nafas. Setelah dicelup the sekalipun, batang biskuit pengelana (atau apapun namanya) itu tetap sulit dicerna. Rasanya yang gurih cenderung manis itu pun tak begitu membuatnya berselera, apalagi ini sudah minggu kedua ia harus bertahan dengan makanan pokok itu.
Mungkin memang sebuah keberuntungan saat sang gadis melempar pandangan ke arah pelampung sementara yang menandai di mana jangkar kecil sang gadis tersangkut di dasar sungai, karena saat itu juga sebuah semburat emas melompat dari dalam air dan menimpa benda mengapung itu. Suara mencebur keras pun menggema dalam pendengaran sang gadis dan mengusik beberapa burung dalam semak, yang terbang menjauh. Gelas the di tangan sang gadis nyaris saja menumpahkan isinya ke atas api unggun kecil.
“Itu…” ucap sang elf terbata. “Apa mungkin…”
Sementara sang elf terpana, ikan besar di dalam sungai itu kembali menampakkan diri, kali ini menyundul pelampung sementara sang gadis dari bawah. Jika tadi sang gadis hanya sempat melihat semburat merah dan emas, kali ini ia melihat keseluruhan kepala dan setengah panjang ikan raksasa itu. Bila tadi ia terpana dengan mulut yang terbuka, maka sekarang sang gadis mengambil satu langkah ke belakang.
“Huoch… Nemyat…” ucap sang gadis dengan suara tertahan. “Tak salah lagi…”
Untuk kali ketiga, sang Dewa Sungai menampakkan diri. Ia kembali menyerang pelampung malang itu, kali ini dengan cara memukulkan bagian samping kepalanya pada pelampung itu. Keajaiban kecil pelampung itu tak pecah dan masih dapat melakukan tugasnya.
Sang gadis menarik sebuah tarikan nafas, sebelum menampakkan perubahan air muka. Setengah biskuit pengelana di tangan sang gadis yang belum lagi termakan segera dihabiskannya. Tas peralatan di sampan segera dibongkarnya. Udara di sekitar sang gadis bak mengental oleh tekad.
“Saatnya bertarung,” bisik sang gadis sambil merakit peralatannya.

===
===

“Terus, terus?” tanya Gielana dengan bahasa tubuh yang mencondong ke depan tanda sangat tertarik.
“Tak seperti jenis Rutto sungai yang lain, sisik Huoch berwarna keemasan dengan larik-larik merah,” ucap sang guru sambil mengangkat gelas the pribadinya mendekati bibir. “Warna yang sangat khas.”
“Mm, tapi bukannya ada beberapa jenis Rutto lain yang berwarna merah atau kemerahan, Tetua?” tanya Melilo dengan siku di atas meja menumpu dagu. “Kalau tidak salah… Rutto Kepala-besi dan Konchio bisa berwarna merah. Sekali setiap sekian tahun juga selalu ada Kepala-besi berwarna emas yang tertangkap nelayan…”
“Kau mengerjakan pekerjaan rumahmu, Melilo. Bagus sekali,” jawab sang tetua sambil tersenyum. “Memang, baik Rutto Kepala-besi maupun Konchio keduanya menunjukkan sifat berwarna merah. Rutto Kepala-besi Palowoch, yang berwarna emas itu, juga sesuatu yang relatif langka. Nama Palowoch sendiri diambil dari nama panggilan mereka di bagian hilir sistem sungai Gezanty dan Gomnek, yang berarti anak dewa.”
“Anak Dewa, ya…” ucap sang anak perempuan penuh rasa kagum.
“Terus, apa Tetua pernah menangkapnya?” tanya Melilo penasaran.
“Pertarunganku dengan Huoch Nemyat? Mm, itu sebuah cerita yang lain lagi… tapi mari kuceritakan tentang ilmu bela diri Elello. Kalian tahu, Melilo dan Gielana,” ucap Yadhaor sebelum menghembuskan nafas dan asap pipa tembakau ke udara. “Ada tiga jenis pendekar. Mereka yang mencari kekuatan, mereka yang hidup untuk harga diri, dan mereka yang mahir membaca pasang-surut medan perang…”

===
===

“Yak, bagian ini selesai,” gumam sang gadis elf sambil menyelesaikan simpul di cincin terakhir joran logam miliknya. Di latar belakang, ia masih mendengar suara sang ikan besar di sekitar pelampung.
Perangkat memancing sang gadis tidaklah rumit, tak seperti joran pancing para dwarf yang dilengkapi kelos-otomat yang bisa menampung belasan metre kenur di dalam gulungannya. Hanya sebuah joran, seutas kenur sepanjang dua kali joran, dan sebuah umpan lilitan wol dan bulu burung di ujungnya yang akan membantu sang gadis elf menangkap ikan.
Tentu kesederhanaan perlengkapan milik sang gadis menyembunyikan kekuatan yang sebenarnya. Joran berwarna keperakan yang ia pakai berukir indah, menyembunyikan kelenturan logam campuran serat baja dan mithril yang kekakuannya dapat diatur dengan tenaga dalam sang pemilik. Benang putih yang diikatkan di cincin terakhir dekat pangkal joran lalu dilewatkan ke cincin-cincin di sepanjang joran, berasal dari sebuah gulungan khusus yang telah dimantrai. Benang itu sendiri terbuat dari sutera laba-laba dan mempunyai kekuatan yang jauh melebihi benang pancing pada umumnya.
“Hmm… apa yang kira-kira akan bekerja…” gumam sang gadis sambil membuka sebuah kotak peralatan berisi beragam umpan palsu. Beberapa berukuran kecil dan terbuat dari lilitan benang dan bulu burung berukuran kecil, sementara yang lain berukuran lebih besar dan terbuat dari kayu. Selain umpan palsu, di kotak itu juga terdapat beberapa pemberat dari timbal dan mata kail berbagai bahan dan ukuran, dari kail baja halus untuk menangkap udang hingga kail adamantine hitam berukuran besar.
“Nampaknya tidak banyak serangga di sini, jadi nampaknya umpan-serangga tak akan efektif…” ujar sang gadis sesudah memandang sekeliling. “Popper? Mungkin bisa dicoba, tapi menawarkannya agak sulit dan aku tak mungkin mendayung sampan sambil memancing di arus seperti ini… umpan hidup mungkin?”
Tanpa sadar, sang gadis membelai telinga kanannya. Ia terbiasa menggantung umpan-serangga kepercayaannya di telinga itu, pada anting berbentuk cincin yang selalu dipakainya. Tersentuh pula sebentuk cacat, bagian daun telinga yang hilang akibat pertarungannya melawan pasukan elite seorang tiran.
“Mungkin bisa dicoba…” ucap sang gadis tertahan sambil melepaskan umpan kepercayaannya itu dari gelang logam yang menghias telinganya, lalu mengikatnya di ujung bebas tali pancingnya. Ia telah siap.
Dengan langkah yang hormat, sang gadis melangkah menuju tepian sungai terdekat dengan pelampung sementara yang ia tinggalkan. Sang Dewa Sungai masih ada di sana, memainkan pelampung itu seperti layaknya seorang bocah dan mainan barunya.
“Ai, iphant Huoch Nemyat… maquet utulie, Turca-Huoch, anim,”[1] ucap sang gadis dalam bahasa elven kuno, dengan nada khidmat sambil menangkupkan tangan di jorannya yang berdiri di depannya. Pastilah terdapat kecerdasan yang tak biasa dalam diri ikan itu, karena setelah kalimat itu diucapkan sang ikan berhenti mempermainkan pelampung. Sejenak suasana sepi ditingkahi suara aliran air dan daun yang berbisik ditiup angin.
Dengan sebuah tarikan nafas tajam, sang gadis melemparkan umpannya setelah melangkah ke dalam air setinggi lutut. Lecutan joran dan senar itu membuat suara yang tak lebih keras dari desau semak padang rumput, saksi kemampuan sang gadis dalam melempar sebuah umpan kecil yang beratnya tak lebih dari tujuh biji kedelai kering. Umpan itu pun melesat ke arah hulu dan mendarat beberapa metre dari pelampung di tengah sungai, kemudian mengapung terbawa arus ke arah pelampung.
Satu lemparan dilakukan, kemudian dua lemparan, lalu tiga lemparan. Pada lemparan kesepuluh, sang gadis mengembuskan nafas yang ia tahan. Mungkinkah Huoch Nemyat sudah pergi? pikirnya.
Sebuah sentakan tiba-tiba menerobos ketidakpastian yang menyelimuti sang gadis pada lemparan kelima belas, tapi sentakan itu terlalu ringan untuk seekor ikan seukuran Huoch Nemyat.
“Memang kurang masuk akal bila ikan seukuran itu makan serangga…” pikir sang gadis sambil menarik ikan yang menyambar umpan-serangga yang ia tawarkan. Seekor Rutto berukuran dua jari orang dewasa menyantap umpannya dan melawan sepadan dengan ikan seukurannya, namun perangkat joran dan kenur sang gadis masih terlalu kuat untuk ditaklukkan hanya dengan kekuatan sebatas itu. Dengan cepat sang gadis melepas kail dari dalam mulut ikan dan melepaskannya, sebelum kembali ke tepian.
“Hmm… apa aku harus menggunakan umpan yang lebih besar? Tapi kalau aku memaksakan umpan popper, aksinya tidak maksimal dan sulit dikendalikan…” gumam sang gadis sambil duduk di sebuah batu besar lalu memotong lepas umpan yang tadi ia gunakan dan menggantungnya kembali pada anting di telinga cacatnya. Suara sang ikan memecah permukaan dekat pelampung bak godaan untuk mencoba ide yang menentang logika nelayannya itu.
“Pikir… Tetua selalu bilang, sesuaikan alat dengan lingkungan…” bisik sang gadis sambil memandang sekeliling. Tak ada yang berubah, kecuali beberapa burung walet berwarna hitam yang terbang melayang, mungkin memburu serangga kecil yang jadi makanannya. Tiba-tiba, Huoch Nemyat melompat dari sungai sambil menggoyangkan kepala, bak ingin menyambar sesuatu yang letaknya tinggi.
“Apa mungkin…” gumam sang gadis sambil menghela nafas. “Tak ada waktu dan bahan untuk membuat umpan bersiluet burung… apa memang harus begitu…?”
Setelah sejenak berhenti untuk memantapkan niatnya, sang gadis mengambil sebuah kail logam hitam bermata tiga dan mengikatkannya pada ujung kenur. Selesai mengikatnya, sang gadis pun menunggu. Satu menit berlalu, kemudian dua menit, lalu tiga menit. Nampaknya sekelompok burung walet yang tadi mencari serangga di bagian sungai ini sudah pergi, terancam dengan isyarat dari Huoch Nemyat. Sepuluh menit berikutnya berlalu dalam diam yang sama, tanpa perkembangan yang berarti. Pada menit ke-dua puluh lima, seekor puyuh padang rumput melompat keluar dari rerumputan tinggi, diikuti beberapa puyuh muda di belakangnya. Mereka berjalan beriringan menuju tepi air dangkal, mungkin untuk minum.
“…Maafkan aku. Halathir-” gumam sang gadis elf sambil menyentak pancingannya ke arah salah satu puyuh muda, membuat kail di ujung benang melejit seperti ujung paruh burung raja udang memburu mangsa. Leher burung kecil yang disasar itu segera terbelit oleh benang pancing, sementara induk dan saudara-saudaranya langsung berlarian masuk kembali ke dalam semak. Sang gadis terdiam sejenak, sementara burung kecil itu meronta terjerat kenur.
“Untukmu, Huoch Nemyat!” seru sang gadis sambil melakukan lecutan joran kedua yang melemparkan burung malang itu ke dalam air, sekitar beberapa metre dari pelampung sementara yang tadi dimainkan oleh sang Dewa Sungai. Burung itu mengepak-ngepakkan sayap, berusaha untuk kembali ke daratan. Namun sekejap kemudian, burung itu pun menghilang ke dalam mulut Huoch Nemyat.
“Huah!” seru sang gadis sambil melawan tarikan keras sang penguasa sungai dengan sentakan balik untuk mengubur salah satu kait kail itu dalam rahang sang ikan. Usahanya terasa berhasil, namun kini ia harus melawan seekor ikan besar tanpa memutuskan senar yang tipis itu.
Segera setelah sang gadis elf merasakan tarikan luar biasa ke arah hilir, ia melompat ke dalam air dengan segera. Ia harus memperpendek jaraknya dengan Huoch Nemyat tanpa kehilangan tegangan kenur; terlalu tegang dan kenur akan putus, atau terlalu longgar dan kail akan mudah lepas dari mulut ikan. Ia segera menarik tenaganya dari joran, membuatnya sedikit lebih lentur dan mengurangi beban kenur.
Bak tak mau kalah, sang Dewa Sungai pun mengubah taktik. Tarikan ke hilir tadi diubahnya ke arah sang pemancing. Arah berenangnya yang melawan arus sungai membuatnya berada dalam posisi yang tak begitu baik, namun dengan batang ekornya yang kuat ia dapat mengimbangi kekuatan arus dan melaju ke arah hulu.
“Apa yang terja- Huah!” seru sang elf bertelinga cacat ketika Huoch Nemyat tiba-tiba melompat keluar air, menerjang ke arahnya dari jarak tak sampai satu setengah metre di depannya. Tanpa ruang dan kekuatan yang cukup untuk bertindak, sang gadis terpaksa memutar separuh atas tubuhnya sambil menjatuhkan diri ke dalam air agar sang ikan tak bisa menabraknya.
Riuh gelembung segera menyambut pendengaran sang elf ketika sejenak kepalanya turun ke dalam air, diikuti tarikan keras ke arah hulu yang nyaris membuat joran pancing di tangannya terlepas. Tanpa membuang waktu dan kesempatan lagi, sang gadis berusaha duduk dan membiarkan sang ikan menghabiskan tenaganya dengan berenang ke arah hulu menyeret berat tubuh sang nelayan.
Bak merasakan beban tubuhnya bertambah, sang ikan kembali mengubah arah. Kali ini, ia mencoba berenang memutar, memanfaatkan lebar sungai untuk menggiring sang nelayan ke lokasi yang tak menguntungkan untuk berpijak. Bagaimanapun sang elf hanyalah makhluk darat yang menginjak bumi, bukan makhluk air yang berenang bebas seperti dirinya.
Sang elf dengan cepat mengimbangi gerakan sang ikan. Setiap gerakan mendekat sang ikan diimbanginya dengan mengangkat joran nyaris tegak untuk mengurangi ruang berontak sang ikan, dengan harapan tenaga sang ikan akan semakin terkuras. Tentu, gerakan menjauh sang ikan akan membuat sang nelayan menurunkan joran lagi untuk mengurangi tegangan di senar. Tarik-ulur ini berlangsung beberapa belas menit, menguras stamina baik sang pemancing maupun yang dipancing.
Suatu saat, sebuah manuver dari sang Dewa Sungai membuatnya berada di arah hulu sang elf pemancing. Bak mengerti ini posisi terbaik, Huoch Nemyat segera meluncurkan diri ke arah sang pemancing. Dengan ledakan kecepatan yang dibantu oleh arus sungai yang cukup deras, sang ikan merah berlarik emas itu memecah permukaan dengan tenaga yang luar biasa.
Sang elf yang sudah pernah dikejutkan oleh manuver itu tidak tertipu dua kali, namun kecepatan dan kekuatan Huoch Nemyat yang dibantu arus sungai itu tetap sulit diatasi sepenuhnya. Dengan refleks secepat raja udang, sang pemancing menepis kepala Huoch Nemyat ke permukaan air dengan keras, menghentikan gerakan sang ikan selama sedetik yang berharga. Tanpa menyia-nyiakan waktu, sang gadis menangkap pangkal ekor sang ikan. Sebuah rontaan keras membuat tubuh sang ikan terbanting ke permukaan air dari ketinggian dua puluh sentimetre, sebelum gerakan sang ikan akhirnya cukup melemah untuk dibawa ke pinggir sungai.
Pertarungan itu selesai sudah.
Ikan raksasa itu tergeletak di air dangkal yang hanya menutup sepuluh sentimetre, tubuh merah-dan-emasnya menggelepar tak berdaya setelah tenaganya terkuras oleh pertarungan hebatnya melawan sang gadis elf bertelinga cacat itu. Sang gadis yang berlutut di samping sang ikan pun tak kalah lelahnya, bertumpu pada joran miliknya yang menggeletak di tepian. Sesekali ikan raksasa itu memukul-mukulkan ekornya ke dasar sungai dangkal, membuat suara berkecipak.
Dari dekat, Huoch Nemyat semakin menampakkan diri sebagai makhluk yang luar biasa. Tubuh liat berototnya membentang lebih dari dua metre dari ujung moncong ke lekuk ekor, hampir sama panjang dengan joran yang menjadi kejatuhannya. Sang gadis juga yakin, lingkar tubuh sang Dewa Sungai melebihi satu metre. Kepalanya yang keras seperti pelat zirah seorang kesatria, mempunyai moncong penuh gigi tajam berukuran kecil yang cocok baik untuk menangkap ikan licin di dalam air maupun burung air malang yang kebetulan menjadi sasaran sang dewa. Mulut yang lancip berbentuk segitiga sedikit menyulitkan untuk mangsa yang tak sesuai, namun dengan ukurannya masalah itu terpecahkan dengan mudah.
“Oh… Dewa Sungai…” ucap sebuah suara di belakang sang gadis. Ia pun menoleh ke belakang, mendapati seseorang yang samar-samar pernah ia lihat dalam ingatan setengah-jelas. Nada bicaranya begitu hormat, cenderung bersifat memuja bahkan.
“ Huoch Nemyat…” ucap sang gadis dengan nafas yang masih belum teratur.
“Dan kau menaklukkannya dengan joran itu?” tanya sang pendatang baru dengan nada kagum.
“Begitulah…” ucap sang elf sambil menghembuskan nafas, berusaha mencari irama nafas keadaan istirahat miliknya.
“Kalau begitu… kumohon, berikanlah Dewa Sungai untuk kami, orang-orang dataran,” ujar sang pendatang baru sambil mendekat selangkah. “Daging Dewa… sangat bertuah. Bila dibagikan dengan adil, panen, ternak, dan buruan kami akan berlimpah selama bertahun-tahun ke depan.”
“Tidak,” ucap sang gadis tanpa jeda berpikir, sambil menggelengkan kepala.
Sejenak ada sepi diantara kedua persona di tengah padang rumput itu. Beberapa burung terbang di atas kepala mereka, dan sinar matahari mulai menguat walaupun belum bisa sepenuhnya mengusir kabut tebal. Suara air sungai yang membuncah sesekali ditingkahi suara kecipak, baik dari pukulan ekor lemas Huoch Nemyat maupun dari sumber lain di latar belakang.
“Mengapa begitu, nona?” tanya sang penghuni dataran dengan nada keheranan. “Dewa Sungai sangat berarti buat kaum kami, inti dari berbagai kepercayaan…”
“Saya mengerti,” ucap sang gadis sambil mulai mengangkat tubuh Huoch Nemyat dengan hati-hati. Tubuh yang dipindahkan sang gadis dengan cara mengangkatnya di rahang bawah dan perut itu dibawanya perlahan menuju ke air yang lebih dalam di bagian tengah sungai. Huoch Nemyat yang merasakan arus kebebasan berusaha berontak walaupun sang gadis masih terlalu kuat untuknya, batang ekornya kembali memecah air dengan suara berkecipak. “Tapi apakah itu terdengar seperti penyerahan diri untuk anda? Bila anda sangat membutuhkan tuah dewa, andalah yang harus menaklukkannya sendiri.”
“Bukankah wajar, bila seorang kepala suku yang telah takluk dibunuh?” tanya sang pendatang, mencoba menekan lawan bicara untuk mendapatkan posisi yang lebih baik. “Kami bisa membelinya darimu, senilai tebusan seorang raja…”
“Jawaban saya tetap tidak. Saya sudah menerima hadiah tak ternilai dari sang raja budiman… caranya bersiasat, usahanya membebaskan diri, lompatan tingginya. Kami sudah berbicara empat mata, dua hati,” lanjut sang gadis. Tenaga sang ikan di tangannya semakin pulih, dan rontaannya semakin kuat. “Bukankah namanya tak tahu diuntung, bila kemudian saya menyerahkan sang raja pada musuh untuk dibunuh? Tak ada kehormatan yang dapat diperoleh, tak ada balasan yang bermanfaat.”
Kembali, kedua persona itu dikunci sepi barang sejenak, seiring dilepaskannya pegangan tangan sang gadis pada tubuh sang ikan. Sejenak gerakan sang Huoch Nemyat berhenti, sebelum sang ikan menyentakkan ekornya dan melesat menghilang ke dalam sungai sepinggang berair kelabu dengan semburat kebiruan itu.
“Hm. Memang kau seorang yang terpilih, Nazhme Kaikhaz,” ucap sang pendatang. Sang gadis tersentak namanya dipanggil oleh pendatang baru ini, namun tak beranjak dari posisinya dalam air sepaha.
“Dari mana kau tahu namaku?” ucap Nazhme sesudah mencuci mukanya. Sinar matahari kini sudah cukup kuat untuk menaikkan suhu udara. “Aku… tak pernah memperkenalkan diri sebelumnya. Tidak di daerah Sentra yang ini, atau di awal percakapan.”
“Angin membawa selentingan dan kabar lebih cepat daripada kuda pos, Putri Ketiga,” ucap sang pendatang baru sambil tersenyum. “Anda sangat terkenal di kalangan-kalangan tertentu. Tak sulit melacak keberadaan anda bila saya tahu ke mana harus mencari.”
“Gilda Nelayan ya…” ucap Nazhme sambil menghela nafas. “Jadi, apa anda punya keperluan tertentu dengan nelayan pengelana ini?”
“Seperti itulah, kurang-lebih. Anda adalah Reverier, salah satu dari para Pemimpi yang Terpilih,” ucap sang pendatang baru. Sosoknya seperti kebanyakan pemburu suku pengelana Sentra, tidak menonjol dalam sekelompok orang di kota manapun di dataran. “Nama saya Zainurma, dan saya mempunyai kepentingan dengan sepak-terjang anda di Dunia Mimpi ini.”
“Begitukah…” ujar sang elf sambil mencabut joran yang tergeletak lalu melangkah menuju sampan tempat semua perlengkapannya ditaruh. “Sudah kuduga ini bukan dunia nyata… Huoch Nemyat sudah takluk di tangan Tetua Yadhaor, lebih dari setengah abad yang lalu. Tetua membunuhnya, dan masih menyimpan tutup insangnya sampai sekarang.”
“Eng ing eng~ Ratu Huban telah datang~” potong seorang gembala yang muncul dari dalam kabut. Nazhme yakin ia tidak merasakan kedatangannya, suatu hal yang mustahil apalagi dengan sekelompok domba yang patuh mengikuti di belakangnya.
“Kau terlambat,” dengus Zainurma sedikit kesal.
“Bukan salahku, domba-domba ini susah diatur!” balas Ratu Huban sambil mendengus. “Oh, salam kenal untukmu, Nazhme Kaikhaz! Pertarunganmu seru sekali! Aku suka sekali saat kau memutar badan untuk menghindari…”
“Sudahlah, serahkan saja Domba untuknya,” potong Zainurma sambil mencegah Ratu Huban mengoceh lebih jauh. “Semakin lama kita di sini, semakin lama pula tugas kita tertunda.”
“Hmph! Selalu diburu-buru waktu, tak ada sopan santun…” gerutu Ratu Huban sambil menarik seekor domba dari dalam kawanan yang mengikutinya. “Selamat, Naz! Anda mendapatkan seekor Domba!”
“…Domba,” ucap Nazhme datar sambil menerima tali leher domba berbadan putih berwajah hitam itu. Situasi ini sungguh aneh tapi cukup nyata.
“Ya! Jangan sampai hilang yaa~” ucap Ratu Huban sambil mengikuti Zainurma yang sudah beranjak pergi. Sejenak Nazhme tertegun seiring menghilangnya rombongan itu ke dalam kabut, sebelum ia memandang sang domba. Pandangan mereka bersilang sejenak. Sang domba mengembik.
“Baiklah, Domba. Bagaimana kalau kuikat kamu ke sampan dulu selama aku membereskan peralatan dan jangkar,” ujar Nazhme, tanpa mengharapkan balasan dari siapapun.
Dan ia belum mengerti kenapa kepala gembala wanita itu nampak seperti bantal.

===
===

“Bagaimana dengan pasukan kecilku, Tetua?” ucap Elishka sambil tertawa kecil. Sudah ada dua cangkir the di meja ruang duduk.
“Yah, mereka sudah aman di kamar tidur atas. Aku mulai kehabisan dongeng untuk mereka,” ucap sang tetua sambil melompat ke atas setumpuk bantal di atas kursi. Piring ceper dan cangkir the di tangannya tak bergoyang sedikitpun karena gerakan tiba-tiba itu. Sejenak, ada keheningan diantara sang elf dan sang halfling tua.
“Atas persetujuan Yang Mulia Naryav, Jenderal Kelmar meminta anda untuk turun gunung, Tetua,” ucap sang perempuan elf setelah menyesap the dalam cangkir di tangannya. “Keadaan di utara genting, namun dewan penasihat takut ini hanya taktik pengalih perhatian saja. Federasi Audrilon terus memperbesar kekuatan militer mereka, dan dewan takut mereka akan bergerak masuk saat pasukan dikerahkan untuk meredam huru-hara Suku Mosike. Bila anda bersedia memimpin pasukan ke utara, Kelmar dapat tinggal di Ibukota dan bisa segera bertindak apabila pasukan Audrilon bergerak secara mencurigakan.”
“Begitukah,” ucap sang halfling pendek. “Aku ini sudah tua, Nyonya. Gerakanku tak selincah dulu lagi. Muridku tak banyak, dan mereka tidak semua ada di negara ini. Aku tak yakin aku bisa membuat perbedaan.”
“Bagaimana dengan Adik Bungsu, Tetua?” tanya Elishka.
“Nazhme setia pada negara dan keluarga ini, itu tak diragukan lagi. Ia juga muridku yang termuda dan boleh dikatakan terkuat juga,” jawab sang tetua selesai menyesap minuman di tangannya. “Tapi… yah, ia menganggap dirinya lebih sebagai seorang nelayan dan pengelana daripada seorang pendekar. Ia tidak tahan lama berdiam di sebuah kota, apalagi memimpin pasukan ribuan orang.”
“Memang sulit, tapi pastinya Adik Bungsu menyadari tugasnya terhadap negara, kan?” balas Elishka sambil meletakkan cangkirnya di meja.
“Itu pasti… buktinya ia kembali saat Maleodon Bermandi-darah mengancam kedaulatan Kellamarn,” ujar Yadhaor sambil menghembuskan nafas. “Kita lihat saja.”

===
Glossarium
[1]: Artinya “Wahai, Huoch Nemyat nan berumur panjang… Aku meminta, Huoch yang perkasa, (bayangan) diriku.”

Word count bersih: 4895 kata

15 komentar:

  1. Hoo. Angler!

    Rapi sekali ini. Openingnya hangat. Jadi dapet info banyak soal ikan-ikan bernama unik dan setting high fantasy asal Nazhme, terutama dari dialog sang tetua di awal dan soal suatu perang di akhir.

    Juga, gimana karakter2 di sana menonjolkan sifat. Seperti Melilo yang polos dan semangat saat si anak satunya--siapa ya, lupa namanya tadi haha--nanya sang tetua apa ada ikan yang gak bisa dia tangkep.

    Gaya penceritaan sang tetua juga tersimplifikasi karena cerita ke anak2. Jadi mudah dicerna.

    Porsi pertarungan pas. Kebanyakan monolog Nazhme tapi itu bukan masalah. Ada suspense waktu loncatan sang ikan pertama, dan keliatan adaptasi Nazhme yang udah ga kaget di lompatan kedua.

    Adegan favorit adalah saat Nazhme ditanya tentang raja oleh Nurma. Wow. Saya nggak nyangka jawabannya seperti itu! Khas wanderer memang.

    Ada kata the sama metre yang mungkin autocorrect dari mode bahasa English UK, tapi ga ngeganggu cerita.

    Saya pengen ini lanjut. Sehingga.

    8/10

    PUCUNG

    BalasHapus
  2. Saya kagum. Biasanya saya kurang sreg kalo dijejelin banyak nama dan istilah asing, apalagi berbau fantasiyah begini. Tapi entah kenapa, penulis sanggup ngebawainnya jadi nyaman dibaca dari awal sampe akhir

    Saya suka hampir semua aspek di cerita ini. Pertarungannya dalam bentuk mancing ikan, pindah" setting antara cerita tetua yang ngeforeshadow apa yang lagi dihadapin Naz, sampe dialog terakhirnya sama Zainurma. Sukses jadi oc yang pengen saya liat maju ke ronde selanjutnya

    Nilai 9

    BalasHapus
  3. Wih, cerita enak benar. Dari awal sampai akhir saya ngikutin ceritanya dengan nyaman. Narasi dan dialognya ngalir.

    Perpindahan tempat satu dengan yang lain kerasa teratur dan dapat dimengerti dengan cepat. Kurang sreg cuma pas ada nama-nama aneh, kaya nama ikan-ikan. Walaupun dah dijelasin dengan jelas saya masih belum ngeh. Semoga pembaca lain tidak bernasib sama dengan saya.

    Adegan battle(mancing) ikannya bisa dibayangin dengan jelas. Sampai akhirnya Zainurma datang bersama Ratu Huban dan para domba.

    9 dariku
    -=AI=-

    BalasHapus
  4. Banyak nama tempat yang kesannya cuma sembarang pakai, eh, tunggu, punya saya juga kaya gitu wkwkwk misalnya kayak dataran sentra itu. Memori saya jadi kesusahan buat mengingatnya dan gak tahu apa tempat itu akan disebut lagi atau menjadi penting pada entri-entri kamu selanjutnya. Mungkin ini penyakit setiap penggemar High Fantasy, ya lol

    Sama pas adegan battlenya kerasa banget berondongan narasi yang lewat gitu aja di kepala karena terasa agak susah dicerna.

    Walau begitu, feelnya dapet kok sebagai kisah High Fantasy yang apik(dan mungkin saja bakalan epik)

    Karena saya mau Naz lolos, maka saya kasih 9. jeng jeng jeng!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bazeng, lupa kasih signature. Tak apalah, toh penulisnya udah komen di lapak ane. #abaikan

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. Singkat saja, entry ini lumayan bersih dari typo, walaupun kadang autocorrect nyari ribut dengan mengubah teh jadi the dan meter jadi metre, dan, menurutku, plotnya menarik. Pengen lihat aksi selanjutnya si Naz.

    Nilai: 9

    SERILDA ARTEMIA

    BalasHapus
  7. Hmm, Entri Fantasiyah, dengan deskripsi yang segar sekali!

    Cerita rapi, pengolahan karakter dan adegan yang mumpuni, serta adegan aksi yang ternyata epik juga, bikin saya jatuh hati sama Nazhme.

    Jarang sekali yang menggambarkan seorang Elf petarung. Rerata kalau bukan penyihir, pemanah, ksatria pakai pedang tipis biasanya. Tapi Elf yang satu ini kekar banget coy.

    Dan sepertinya penulisnya punya pengalaman cukup lama juga ya. Hmm... maksud saya, yang udah lama nulis biasanya tulisannya beda, dan ada ciri khasnya sendiri. Menurut saya, gaya deskripsinya unik juga.

    Saya kasi nilai 9 untuk Nazhme. Semoga sukses.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  8. uoo entri yang beda dari entri lain
    revievv dikit
    baca ini jadi kayak nonton film titanic atau heart of the sea. ada yang cerita dan ada film epicnya. si kakek cerita tentang ikan legenda... yang somehovv kayak main harvestmoon ini xD sisannya pertarungan antara nelayan dengan ikan raksasa

    1. yang menggangguku itu ukuran ikan dan sungainya. sungainya dangkal, lingkar ikannya besar. kerasa jadi kayak ikannya nyangkut di sungai itu. yah kurang epic lah tarik ulurnya. gaya bertarung masih samar, soalnya sekedar diceritain pancingnya buat ngelilit burung
    2. challagenya ga terasa. kayak cuman levvat aja. itu challangenya pas bagian ngebunuh puyuh buat umpan itu kan?.
    3. banyak istilah asing muncul ga dijelaskan... untung saja ga seberapa pengaruh ke alur cerita. so masih aman sih, hanya saja nama nama itu tadi akhirnya ga aku pronounsasikana dengan benar. dan... autocorrect yang sebernernya sih engga mengganggu

    begitu menurutku
    challangenya dan gaya bertarungnya masih samar. padahal di prelim buat eksplor itu. kecuali emang karakternya ga prefer bertarung sih
    jadi 3 poin minus yang artinya 7/10
    sayang belum ada yang menarik perhatianku jadi belum ada nilai +

    so keep spirit

    OC : Zia Maysa

    BalasHapus
  9. Seorang nelayan Elf yang suka berkelana, wah, bacaan fantasi yang baru untuk saya.

    Well, ngga akan banyak komentar. Semuanya disajikan dengan baik, suka dengan adegan dimana sang tetua menjelaskan apa yang akan dihadapi Nazhme dengan cara menceritakannya pada anak2.

    Battle alih2 melawan monster atau sebangasanya, digantikan dengan batlle mancing melawan ikan legenda, sungguh menggugah saya untuk terus membaca. Karena memang ini fantasi dan karakter utamanya Elf jadi saya kira bakal melawan Orc gitu, yang dimana saya rada bosen karena mainstream banget.

    Maju terus pokonya...

    Nilai 9

    ~ Alexine E. Reylynn

    BalasHapus
  10. Yo.. Mancing Mania! Strike!! /plak

    cerita yang menurut saya unik dengan menggunakan kegiatan memancing sebagai battlenya. cukup menarik bagi saya. sepertinya suatu keganjilan bila sungai yang dangkalnya tidak sampai 1 meter ada ikan legendaris yang besar. yang jadi kemungkinan buat saya adalah ikannya seperti ikan lele yang melebar atau sungai yang dalamnya kurang satu meter hanya dibagian tepinya.

    mungkin yang jadi kesalahan adalah setting wordnya masih pake US, jadinya yang seharusnya teh jadi the dan meter jadi metre.

    tapi selebihnya bagus dan dieksekusi dengan baik.

    nilai dari saya 8. semoga sukses..

    Dwi Hendra
    OC : Nano Reinfield

    BalasHapus
  11. Banyak makanan di entri ini.. *ngiler* #huss#

    Pertarungan antar Nazhme dan Dewa Sungai bener2 keren. Sampai kebawa tegang dan tergambar jelas perjuangan dan pertarungan.
    Jadi teringat cerita HxH di episode awal-awal. xD

    Untuk typo sendiri ane ga permasalahkan.

    Penggambaran suasana benar-benar kerasa dipenjelasan paragraf. Seperti ada proyeksi di otak ane tiap baca paragrafnya. Begitu rapi dan jelas. Sungguh kereeen~!!

    ----------------
    Rate = 8
    Ru Ashiata (N.V)

    BalasHapus
  12. 8/10

    Nilai yang pas buat mancing mania.
    Penguasaan bidangnya mantap.
    Alignmentnya sayangnya kurang tampak...

    Ini ngasi aye motivasi buat belajar "menginformasikan" bidang yang seharusnya aye kuasai dan bawakan dalam cerita.

    Men sepertinya bisa kerja sama dengan si pemancing untuk bikin mie dengan kaldu ikan yang segar.

    Nibelhero| Wamenodo Huang

    BalasHapus
  13. 8

    entri dengagn arah berbeda... biasanya para OC berkutat dengan villain. lah ini berkutat ama ikan.

    cuma emang kayak kata kang dhiko, karakteristiknya belum nampak. prelim ini seolah seperti "guide book" ttg dunia nazhme itu sendiri. tapi saya akui, pembawaannya begitu epik

    axel elbaniac

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.