Rabu, 16 November 2016

[ROUND 3] 01 - ANITA MARDIANI | BULLS IN A CHINA SHOP

oleh : Fachrul R.U.N

--

Volume #4 Bulls in a China Shop



 Prolog



Sejak Prima-1 diciptakan oleh Makhluk Tetua jutaan tahun lalu, ia sudah menjadi budak.  


Dulu status itu tidak mengganggunya. Ia tidak protes saat Makhluk Tetua memerintah dia dan kaumnya untuk mendirikan struktur-struktur megah di atas permukaan bumi. Ia tak menyuarakan keberatan meski dirinya dikerahkan untuk menghadapi Cthulhu Agung tanpa harapan untuk selamat. Ia bahkan tidak merasa bersalah meski dirinya diharuskan membunuhi saudara-saudaranya yang memberontak.


Biar bagaimanapun, ia adalah salah satu produk terbaik. Saat banyak saudaranya melawan penciptanya sendiri, ia tetap patuh seperti boneka. Tak seperti mereka, akal budinya tak pernah benar-benar berkembang.


Lalu Anita Mardiani mengambil alih tubuhnya, menempatkan ia ke dalam status perbudakan lain lagi. Prima-1 sudah terlalu terbiasa dengan situasi seperti itu hingga ia tidak memberontak. Namun keberadaan Anita membuat entitas kuno itu berpikir.


Perlahan, akal budinya berkembang. Semua yang Anita Mardiani ketahui ikut ia serap. Bagian-bagian dari kepribadian Anita ikut terintegrasi dengan kesadaran kolektif, hingga ia akhirnya mampu memanfaatkan informasi dari ratusan ribu jiwa yang ia serap. Tanpa gadis itu sadari ia mendekam di kegelapan, menanti momen untuk kembali mengambil kendali.


Prima-1 tidak benar-benar membenci Anita. Gadis itu adalah bagian tubuhnya, dan tidak mungkin ia membenci diri sendiri. Ia memahami kalau Anita juga terkekang sebagai budak; tanpa sadar dikendalikan oleh Serikat Penyihir demi kekuatannya. Prinsip seperti keadilan dan kemanusiaan ditanamkan ke dalam dirinya agar ia lebih mudah dikendalikan.


Pada dasarnya, semua makhluk hidup adalah budak dari mereka yang lebih perkasa. Shoggoth diciptakan khusus sebagai ras budak; 99% manusia di bumi dieksploitasi 1% elit; bahkan ribuan daemon saja dikekang oleh Nama-Nama Terlarang tanpa kesempatan untuk dapat lepas.


Karenanya, Prima-1 berpikir misi Anita Mardiani tidak masuk akal. Untuk apa menguras seluruh jiwa yang diserap Kehendak hanya demi menciptakan kembali semesta yang sudah hancur?


Triliunan jiwa yang sudah dikumpulkan Museum Semesta bisa digunakan untuk hal yang lebih besar. Prima-1 dapat menyerap semuanya, menjadikan dirinya sendiri sebagai dewa dengan kekuatan seperti Yog-Sothoth, atau bahkan Azathoth. Saat dirinya mencapai tingkatan seperti itu, baik dia dan jiwa-jiwa lain yang membaur membentuknya tidak akan lagi menjadi budak siapa pun. Akhirnya ia akan memperoleh kebebasan sejati.


Karena itu....


Prima-1 melongok ke dalam kolektif kesadaran. Perhatiannya tertuju ke jiwa Anita Mardiani yang kini dijerat. Kesedihan menguar kuat dari gadis itu.


Rasa dari tubuh Song Sang Sing masih dapat terasa di tubuh kolektif. Kesadaran Anita ikut merasakan daging pemuda Korea itu, juga tulang, saraf, otak, dan setiap potong organnya. Ia tahu ia telah melakukan kesalahan yang sangat parah, dan ia ingin menyakiti dirinya sendiri untuk mengakhirinya.


Karena itu kamu diam saja di sana, bagian diriku.


Anita Mardiani hanya bocah malang yang menderita karena satu orang dungu membuka portal ke Aldebaran, bukannya di manapun itu tempat Nyarlathotep tinggal. Ia bukan senjata hidup yang pernah selamat dari pertarungan melawan Cthulhu Agung.


Dalam turnamen dengan taruhan seperti ini, seharusnya sejak awa Prima-1 dan seluruh bagian dari kolektiflah yang terlibat. Nanti, saat Anita akhirnya membaur, ia akan memahami itu.


Untuk sekarang, Prima-1 akan kembali berperang.


Chapter 1



Hujan permen menyambut Anita versi Prima-1 saat ia berhenti melamun. Makhluk itu menatap ke atas, kebingungan. Karena ia berada di Alam Mimpi, ia tahu kalau wajar bila hal-hal aneh seperti itu terjadi. Tapi setelah terbiasa dengan reruntuhan rumah Klaus yang cenderung sepi, fenomena aneh ini cukup menarik perhatiannya.


"Ratu Huban...." terdengar suara ceria seorang gadis. Terbentuk lingkaran berbentuk pelangi di dekat undakan. Sosok humanoid dengan kepala bantal ungu melompat keluar dari sana, menciptakan sekumpulan bunga berkelopak merah jambu saat ia mendarat di lantai. "Hadir!"


Anita memiringkan kepalanya. Ia ingat siapa Bantal Ungu ini; dia adalah salah satu panitia turnamen, bersama Zainurma dan Mirabelle. Setelah beberapa kali dipandu langsung oleh Mirabelle, Anita mengira ia hanya akan berurusan dengan dewi yang satu itu.


Bantal di atas leher Huban melongok ke Anita. "Dan kamu adalah Anita Mardiani!" serunya bersemangat. "Atau lebih tepatnya, tadinya kamu Anita Mardiani. Tapi kamu sekarang adalah ciptaan dari para Pemimpi Pertama. Bagaimana aku harus memanggilmu, nona yang badannya meleleh?"


"Untuk sekarang, Anita Mardiani saja cukup," sahut Prima-1, sudah kukuh tetap menggunakan identitas Anita selama turnamen ini. "Ke mana Mirabelle?"


"Mirabelle, Mirabelle, Mirabelle...." Huban melompat-lompat kecil. Dalam setiap tapakan, muncul patung cokelat dengan bentuk klasik manusia salju. Setiap cokelat dilengkapi dengan helm, tombak, dan perisai, tiga atribut khas dari dewi yang namanya Huban ulang-ulang. "Mirabelle dan Zainurma sedang ada urusan. Jadi mereka meminta aku menangani semuanya."


"Oh, begitu. Jadi, kurasa sudah saatnya untuk bertempur lagi?"


"Benar, benar. Karena itu aku ke sini."


"Apa akan ada alam mimpi antah berantah yang datang lagi?" seringai Anita melebar.


Ia hanya tinggal melongok ke depan untuk melihat kota Barus, yang masih luluh-lantak akibat pertempurannya dengan Song Sang Sing. Anita mengira kota  itu akan meninggalkan Bingkai Mimpi ini, dikutuk bersama dunia asalnya. Ternyata tidak. Walau Mirabelle memastikan dunia asal Song Sang Sing sekarang dikuasai Kehendak, justru Bingkai Mimpi milik Song aman.


Anita masih dapat mencium pergerakan manusia dari Barus. Untuk sekarang ia masih membiarkan mereka. Nanti, kalau ia iseng, ia mungkin akan mengambil satu-dua untuk kudapan.


"Tidak, tidak akan ada Bingkai Mimpi. Kali ini kamu akan bersenang-senang di tempat yang lebih... heboh!" Huban merentangkan lengannya lebar-lebar. Cahaya pelangi menyilaukan bersinar, membuat Anita harus menyipitkan seluruh matanya.


Begitu ia bisa melihat lagi, reruntuhan rumah Klaus maupun sisa-sisa kota Barus sudah tidak ada. Anita berdiri di dalam sebuah koridor dengan dinding berwarna kelabu. Ada deretan lampu dengan pendaran putih lembut di langit-langit. Sistem suara membunyikan lagu tenang yang ingin membuai pendengarnya untuk bersantai.


Anita tahu tempat ini. "Museum Semesta," gumamnya penuh minat.


"Ah, curang, curang, curang! Seharusnya kamu kaget!" omel Huban kekanakan. Lima kembang api kecil meledak beruntun di dekatnya tanpa menimbulkan suara maupun bau.


Kesadaran kolektif masih belum aktif saat Anita Mardiani pertama menjejakkan kaki di tempat ini. Tapi mereka tetap bisa mengakses semua ingatan yang diperoleh gadis itu saat ia menguasai mereka. Mereka juga tahu kalau ingatan Anita soal museum ini terganggu.


Itu bukan hal yang wajar. Shoggoth tidak bisa lupa hanya karena kepala fisiknya  terbentur, jadi tak seharusnya ada kenangan terlupakan. Ia pasti telah dipengaruhi oleh sebuah kekuatan besar.


Kehendak, batin Anita. Siapa lagi. Bila makhluk dengan kekuatan absolut itu sampai mencoba menutupi kenangan kunjungannya ke sini, berarti ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan. Anita ragu Kehendak hanya ingin menutupi dulu tempat ini hingga tiba saat pengungkapan latar.


Anita berpikir untuk menelusuri jejak dirinya di masa lalu. Hanya saja, ada satu misi penting yang bisa menghalanginya. "Aku harus bertempur di sini?"


"Benar! Benar!" Huban menempelkan telunjuknya hingga ke permukaan depan bantal. Suaranya menjadi lirih. "Tapi jangan bilang-bilang Zainurma sama Mirabelle ya, sebenarnya ini di luar rencana mereka lho. Aku cuma pingin lihat apa yang terjadi kalau ada banteng yang beneran ditaruh di museum, kaya pepatah itu."


"Maksudnya banteng di toko antik?"


"Toko antik ya?" Huban mengusap bagian bawah bantal. "Berarti aku salah. Yah, sudah telanjur. Sekarang aku mau lihat apa yang terjadi kalau ada shoggoth dilepas di museum! Pasti asyik!"


Seringai yang terpasang di wajah Anita cocok dengan perasaannya sekarang. Minatnya bangkit mendengar Mirabelle maupun Zainurma belum ingin membawa para peserta ke sini. Kunjungan tidak resmi gagasan Huban ini bisa membantunya mengumpulkan informasi. Selama ia tidak salah langkah dan membuat masalah dengan entitas yang lebih kuat dari Cthulhu Agung tentunya.


"Musuh kamu di ronde ini adalah kaleng... tunggu dia bukan kaleng lagi. Musuh kamu adalah seorang gadis. Namanya Stalla... bukan, namanya juga sudah ganti, jadi Maia atau apa gitu kalau tidak salah. Pokoknya dia di sini. Antara kamu menghabisi dia duluan, atau dia menghabisi kamu duluan. Setelah itu 'POOF!' yang menang akan langsung dikembalikan ke Bingkai Mimpi, dan Mirabelle sama Zainurma hanya akan mengira aku telah mengerjakan tugasku dengan baik dan benar!"


"Ada deskripsi yang lebih jelas soal gadis ini?"


"Dia bau kaleng pewangi? Seharusnya sih dia masih bau kaleng pewangi. Kepompongnya saja kaleng pewangi." Anita tidak tahu ia harus menanggapi kata-kata itu dengan serius, atau Huban hanya meracau. Dari gerak-geriknya, entitas ini terkesan tidak terlalu waras. "Dia juga bawa domba sih pastinya."


Domba. Mendengar itu, Anita membuka mata di punggungnya. Walau tidak diperhatikan, Fluffy sudah mengikutinya di sana. Wujudnya masih sama seperti di akhir ronde: makhluk berkaki empat dengan tubuh ditumbuhi mata dan tentakel.


Fluffy dapat memandunya menemukan Song Sang Sing, seakan-akan dia adalah anjing pelacak. Domba shoggoth itu harusnya bisa melakukannya lagi.


"Ada batasan yang harus diperhatikan?"


"Kamu bebas sebebas-bebasnya! Hancurin aja semua yang di sini! Jangan sampai mengganggu kreativitas kamu dalam berkarya! Cuma...." kepala bantal Huban tertunduk. Suaranya kembali lirih. "Jangan terlalu heboh juga. Dan jangan terlalu lama. Kalau sampai Zainurma dan Mirabelle pulang, terus kamu ketahuan masih berantem, bisa-bisa kamu dihukum."


"Begitu. Baiklah."  Anita melihat Fluffy sudah bergerak sendiri. "Terima kasih, Ratu Huban," kata gadis itu, bergerak menjauh. Tidak seperti dirinya yang dulu, ia tak lagi menyimulasikan gerakan melangkah. Bagian di bawah pahanya berubah menjadi tentakel yang membawanya bergerak cepat. "Mari kita mulai perburuannya."


"Ya, mulai! Menggila! Tunjukkan pertarungan yang bagus!" seru Huban memberi  semangat.


Dengan kesadaran kolektif sebagai pengendali utama tubuh Anita, makhluk itu tidak yakin pertarungan yang tersaji akan benar-benar bagus. Ini akan berakhir singkat, cepat, dan efektif. Bila durasi duelnya ternyata melar, berarti Anita sengaja mengulurnya demi mengumpulkan informasi atau ada gangguan tak terduga.


Hmm. Gerakan Anita terhenti sebentar. Bicara soal gangguan tak terduga, kesadaran kolektif baru saja merasakannya. Ada jiwa tak diundang masuk ke dalam dirinya. Jiwa yang sangat familier.


Jurgen Wagner. Gigi-gigi Anita melebar lebih jauh, mengenali rasa dari orang yang memperbudak tubuhnya di bawah kesadaran seorang gadis kecil. Tak hanya memperoleh kesempatan mengenali Museum Semesta dan pemiliknya, ia juga bisa membalas dendam ke penyihir itu. Benar-benar kesempatan langka.



***



Saat Wagner memasuki kesadaran kolektif di tahun 2001, bentuk tempat ini sederhana: ruang hitam tak terbatas, hasil peleburan dari entah berapa banyak jiwa yang telah diserap sang shoggoth. Bukan itu yang ia hadapi sekarang.


Pria berkumis tebal itu berdiri di koridor berkarpet merah. Ada ratusan televisi menempel di dinding-dinding kanan-kirinya, semuanya menyala dan menampilkan adegan berbeda-beda. Bukan jenis orang yang bisa mengabaikan detail, Wagner mencoba fokus menyaksikan salah satu layar.


Mein gott.


Layar itu sudah menampilkan cuplikan dari semua yang perlu ia tahu. Ia disuguhi informasi tentang Museum Semesta, tentang turnamen antar jagat, hingga kejadian-kejadian yang mendorong Anita Mardiani kehilangan kendali atas tubuh Prima-1. 


Jelas sekarang kalau buminya telah menjadi bahan pertaruhan skala kosmis. Ini  penyebab selubung hitam menyelimuti kota. Ia harus secepatnya memberitahukan ini ke Asosiasi Penyihir... tapi ia harus fokus ke Anita dulu.


Informasi yang ia lihat membuat Wagner menyadari Anita sudah dianggap sebagai kontestan dalam turnamen kejam ini. Setidaknya, jawara buminya adalah makhluk yang tak terkalahkan. Ia hanya tinggal memastikan yang menguasai pusat kendali tubuh senjata ini tetap anak gadisnya, bukan monster pemilik asli tubuh.


"Murid bodoh!" seru Wagner, suaranya tertelan oleh sistem suara dari seluruh televisi yang bersuara serentak. "Murid bodoh, kamu mendengarku?!" ia berteriak lebih keras, tanpa hasil berarti.


Wagner mendecak. Jiwanya mulai maju, dengan awas mengamati kanan-kiri. Pasti bukan kebetulan wujud kesadaran kolektif menjadi seperti ini. Prima-1 telah menyadari kedatangannya, dan ingin menyampaikan semua informasi ini kepada dirinya.


Semua televisi mati serentak, membuat koridor gelap dan sunyi. Wagner bersiaga, siap mengerahkan energi dari jiwanya sendiri untuk membela diri.


Saat ratusan televisi itu kembali menyala, yang tampil di layarnya hanyalah garis-garis statik dan suara dengung mengganggu. Wagner menutup telinga untuk melindungi diri, tapi tak ada hasil. Ia bahkan tidak benar-benar memiliki telinga dan tangan fisik dalam wujud ini.


"Halo Wagner. Lama tidak berjumpa." Suara itu menembus gemerisik. Wagner mengangkat wajah, melihat Anita Mardiani berdiri lima puluh meter di depannya. Bibirnya membuka, menunjukkan deretan gigi tajam. Matanya yang kecokelatan meleleh menyisakan ronggah itam. "Cari siapa?"


"Sudah saatnya tidur lagi, Prima-1!" seru Wagner, tidak mau membuang waktu. Ia rapal beberapa nama terlarang. Energi sihir memancar dari jiwanya, meretakkan dinding televisi di sekelilingnya. Sulur-sulur biru muncul, mencoba menjerat proyeksi Anita di depan sana.


Proyeksi itu tetap tersenyum, tidak memperlihatkan rasa takut. "Ini tidak akan semudah dulu, Wagner. Maaf."


Lantai koridor memudar. Wagner didorong oleh kekuatan tak terlihat hingga ia jatuh ke kegelapan.


Ini tidak nyata, ia mengingatkan dirinya yang tengah ditarik gravitasi menuju dasar tak terlihat. Semua ini hanya proyeksi imajiner, seperti mimpi. Bila ia menginginkan dirinya mendarat di bantalan salju empuk, maka ia akan mendarat di sana. Seharusnya. Masalahnya ini bukan mimpinya.


Cahaya memenuhi kegelapan. Dinding berdiri, atap membentuk menutup hitam, lantai terhampar menyambut. Saat Wagner kembali menapak, ia berada di ruangan bundar dengan langit-langit tinggi.


Ini....


Ada gumpalan daging memenuhi dinding dan pilar. Sejumlah tentakel menjulur keluar, bergerak-gerak tanpa tujuan. Tapi tambahan ganjil itu tak menghalangi Wagner untuk mengenali tempat ini. Ia kembali berada di ruang sekte kegelapan yang ia satroni bersama Hariadi di tahun 2001.


Di pusat ruangan, altar pengorbanan digantikan oleh kepompong yang berdenyut-denyut. Warnanya merah, berlendir, dengan tekstur daging. Ada selaput bening yang memperlihatkan kepompong itu menyimpan apa: jiwa Anita Mardiani, yang diperlihatkan sedang terlelap.


Wagner dapat merasakan jiwa itu memancarkan hawa yang familier. Ia tidak ragu lagi kalau yang dilihatnya adalah jiwa muridnya, yang selama belasan tahun ia pertahankan untuk menguasai tubuh Prima-1. Dia tidak bisa ditipu untuk hal-hal seperti ini.


Tapi seharusnya tidak semudah ini menemukannya. Prima-1 sudah membuktikan dirinya dapat memanipulasi kesadaran kolektif dengan sedemikian rupa. Mudah bagi makhluk itu untuk menciptakan labirin yang menyesatkan Wagner.


Kini, Prima-1 seakan ingin menantang Wagner. Jiwa Anita Mardiani ada tepat di depannya. Pasti ada sesuatu yang sengaja ditempatkan sebagai sistem perlindungan. Tidak mungkin Prima-1 suka rela ingin disegel lagi.


"Oke, tentakel." Jiwa Wagner bersinar. "Kita lihat kamu merencanakan apa."


Chapter 2


Maia Maharani yakin kalau bukan kebetulan ia menemukan patung di depannya. Museum ini terasa begitu luas, begitu dipenuhi karya, hingga mustahil rasanya ia bisa begitu saja menemukan karya yang bisa ia kenali.


Patung yang mengusiknya itu menampilkan Adrian Vasilis, pemimpi yang ia hadapi di ronde sebelumnya. Bagian torso ke atas Adrian dipahat dalam bentuk manusia. Torso ke bawahnya dibentuk menyerupai awan, menunjukkan kemampuan pemuda itu untuk berubah menjadi gas.


Ekspresi patung Adrian menampilkan rasa sakit tak terperi. Tak heran, karena ada delapan domba hitam menyerangnya dari segala sisi. Beberapa domba malah digambarkan menggigiti asap, menunjukkan kekuatan Adrian tak bermakna untuk mereka.


"(Antara dia atau kita, Maia. Antara dia atau kita)," embik Saviit sang domba dari belakang Maia.


Maia menapak selangkah. Ada dorongan di dalam dirinya untuk menyentuh patung. Adrian dan dunianya hancur karena Maia dan Saviit menolak untuk mati. Gadis dengan baju putih bermotif bunga-bunga itu ingin merasakan denyut jantung, hawa kehidupan, atau apapun yang bisa mengatakan kalau sebetulnya Adrian masih hidup, menantikan momen untuk dibebaskan.


"(Hei, jangan bodoh!)" seru Saviit. Terlambat.


Domba hitam menggigit Maia. Ia mencoba lari, tapi lebih banyak perwujudan rasa takut datang menggerogotinya. Kulitnya tercabik, daging terkoyak. Ia menjerit. Dirinya bukan manusia lemah, ia dapat melarikan dengan mudah bila ia menjelma menjadi wujud gas. Tapi... tapi ia lupa caranya.


Di puncak kesakitan, matanya menyajikan sebuah kota. Bukan, itu bukan hanya kota, otak Maia membenarkan dirinya sendiri. Walau tak pernah mengunjunginya ia tahu itu adalah Seattlon, kota kecil Malayan. Matahari mulai menyingsing, toko-toko dibuka, jalanan dipadati kendaraan yang hendak memulai aktivitas mereka....


Lalu sunyi datang. Seluruh warna lenyap, digantikan kelabu. Langkah terhenti, piring-piring yang hendak jatuh tertahan di udara, kata-kata tertahan, angin berhenti.


Saviit menggigit belakang kaus Maia dan menyentak, menjatuhkan bokong gadis itu ke permukaan lantai marmer. Visi yang menghantui Maia terhenti seketika. Sayang itu tidak cukup. Tubuh Maia gemetaran, matanya membelalak seakan ingin melompat keluar dari rongga, dan keringat deras membasahi wajah.


Gadis itu sudah melihat terlalu banyak. Ia tidak perlu menyaksikan lebih jauh untuk menyadari dirinya baru dibanjiri ingatan Adrian Vasilis. Seakan belum cukup menderita, menjelang ajal pemuda itu dihadapkan pada imaji kehancuran dari seluruh dunianya.


Bagaimana dengan patung-patung lain di sini? Wanita dan serigala yang ditindih jam besar di kanan, hantu dan seniman yang saling jambak meski tengah dicakar tangan-tangan berkuku, pemuda bertudung yang berlutut bersama seorang gadis. Bila ia menyentuh mereka, akankah ia menyaksikan kehancuran dari semesta lain juga?


Ia tidak menginginkan ini.


"(Ayo, Maia. Kita tidak bisa diam saja di sini. Kalau Ratu Huban benar, musuh kita juga sudah sampai. Kita harus melakukan sesuatu,)" embik Saviit.


Tidak perlu penjelasan seekor domba mimpi untuk menyadari itu. Semasa hidup, memori Maia soal dunianya mungkin tidak indah. Tapi ia mengenal banyak orang di sana. Bila ia menyerah, maka mereka semua akan mati. Sebaliknya, jika ia terus bertahan hidup, maka semesta lain yang menderita untuknya.


Bayangan Bapak menapak melewati Maia. Pria dengan kemeja batik lusuh itu memunguti sampah tak kasat mata dan memasukkannya ke keranjang dari anyaman bambu yang ia panggul.


"B-Bapak...." desis Maia. Ia adalah Maia Maharani, dan ia mengingat sepenuhnya siapa pria itu.


"Ada apa, Nak?" bayangan Bapak berpaling. "Ngapain duduk di situ, a-" warna lenyap dari tubuhnya. Sorot matanya mati. Seketika itu juga, kelabu menyebar melahap dinding, lantai, lukisan, patung....


"(Maia!)" Saviit berseru. "(Hei, kamu tidak apa-apa?!)"


Bayangan Bapak sirna. Kelabu khayal mundur kembali ke otak Maia yang masih tersisa.


Gadis itu berdiri. Armor Ravennya rusak dan ia bukan lagi Stalla. Ia hanya putri Bapak, yang mati karena sebab biasa. Dirinya sama sekali bukan pejuang super. Bila ia ingin melindungi diri, ia harus mencari cara lain. Tapi perlukah? Ia baru saja disiksa oleh akibat kemenangannya. Haruskah ia mempertahankan dunianya dan Bapak dengan mengorbankan hidup triliunan lain?


"Apa yang kamu tahu soal tempat ini, Saviit?"


"(Tempat ini tidak setua Alam Mimpi, Kehendak masih melakukan pelebaran dan penambahan koleksi, pokoknya semua yang diketahui tuanku. Tapi jujur, aku kurang tahu detailnya. Ini bukan tempat untuk domba jalan-jalan santai soalnya. Kenapa?)"


"Ini adalah tempat Kehendak mengumpulkan koleksinya." Maia memilih satu arah dan menapakinya. "Mungkin... mungkin aku bisa menemukan cara lain untuk mengakhiri ronde ini."


"Cara lain seperti apa?"


Terbayang relik yang bisa membuat penggunanya melawan kuasa Kehendak. Dilanjutkan kemunculan seorang pria tampan yang dengan kibasan tangan dapat membuat semua "karya" di sini kembali ke wujud semula.


"Apapun selain sekedar bertarung."


Ratu Huban juga sudah memperingatkan kalau ini kunjungan tidak resmi, dan ada konsekuensi serius bila Maia terlalu lama berkeliaran. Ketetapan hati Maia tak tergoyahkan. Tempat ini disebut sebagai Museum Semesta. Dengan nama seangkuh itu, Maia membayangkan kalau isinya seharusnya tak hanya pameran korban Kehendak.



Chapter 3


Anita sudah tahu kalau ingatan samar saja tidak cukup untuk membantu menemukan jalan yang ditempuh tubuhnya dulu. Ia sudah menduga duluan kalau Museum Semesta tidak akan mengikuti logika Makhluk Tetua apalagi manusia. Dia hanya mengambil jalur asal dan menapakinya.


Semakin lama, semakin ia yakin kalau museum ini justru membantunya. Seperti yang terjadi bila suatu makhluk mengalami lucid dream, museum seakan mengubah strukturnya sendiri demi memenuhi hasrat pemimpi. Baru juga tentakel-tentakelnya membawanya merayap sekitar satu kilo, ia mulai melihat dekorasi familier.


Ada lukisan Saturnus memakan anaknya karya Francisco Goya di kiri. Tiga langkah ke depan, ada koleksi lengkap lukisan sup kaleng Campbell-nya Warhol menghiasi dinding kanan. Yakinlah Anita kalau koridor lukisan legendaris seniman manusia ini adalah yang ia tapaki sebelumnya.


Menarik. Kesadaran kolektif mengakses ingatan Anita Mardiani. Dia baru mulai memasuki Alam Mimpi, namun sebuah kekuatan besar menariknya tepat ke tempat ini.


Anita di masa lalu menarik keluar batu komunikasi mimpi pemberian Klaus dari dalam perutnya. "Klaus, aku sudah menemukan Museum Semesta." Tidak ada respons. "Klaus?"

Anita merogoh perutnya sendiri, tapi batu komunikasi itu sudah tidak ada lagi di  sana. Kalaupun ada, seharusnya ia sudah merasakannya sejak jauh hari. Struktur tubuhnya mungkin kompleks dan rumit, tapi tetap saja ia tidak bisa mengabaikan sesuatu nyangkut di dalam. Pasti benda itu jatuh.


Setelah itu tubuh ini memutuskan menjelajah, gumam Anita, melanjutkan maju. Prioritasnya saat itu adalah menemukan korban-korban yang kesadarannya tak kunjung kembali ke tubuh mereka. Ia yakin kalau ia tidak berhasil melakukannya. Yang ia temukan, dan kemudian menuntun langkahnya adalah pancaran kekuatan.


Oh ya.


Dalam kunjungan pertamanya, semakin ia melangkah semakin terasa pancaran kekuatan dari suatu tempat. Tenaganya begitu besar hingga seluruh bagian dari kesadaran kolektif sukses dibuat gentar.


Pusat dari kekuatan itu tentunya adalah Kehendak, patung yang masih ada di ingatannya dan bahkan pernah diperlihatkan langsung kepadanya oleh para panitia. Menghadapi makhluk itu sekarang tak terasa sebagai keputusan bagus. Tapi ada yang aneh: ia tak merasakan hawa keberadaan Kehendak yang seharusnya mendominasi Museum Semesta.


Tentakel-tentakel Anita membawanya berkelok-kelok menjelajah Museum Semesta. Seharusnya ia semakin dekat dengan ruang tempat Kehendak dipajang. Di kanan dan kirinya sekarang terhampar hutan yang membeku; burung-burung, rusa, hingga kumpulan serangga dibekukan waktu. Ia yakin ruang Kehendak dekat dengan dekorasi tersebut, tetap saja ia tak merasakan apa-apa.


Anita mencapai bagian lain Museum Semesta. Patung-patung setinggi empat meter berdiri di sisi-sisi ruangan. Langit-langit sengaja dibuat tinggi untuk menampung mereka semua. Ada yang terbuat dari emas, perunggu, baja, hingga metal-metal yang tidak berasal dari bumi manusia.


Semua patung dipahat membentuk monster. Patung terdekat dari jalan masuk berwujud seperti monster cyclops yang digambarkan oleh Roy Harryhausen di film Sinbad 1958. Figur perunggu itu memiliki satu mata dan satu tanduk. Satu tangannya menggenggam pemukul kayu yang ukurannya sudah sepanjang manusia dewasa.


Di kanan Anita ada centaur raksasa. Figur berjanggut dengan torso bak binaragawan itu memegang busur dan panah, siap menembak. Sekujur tubuhnya memancarkan kilau emas.


Bukan waktunya untuk berhenti dan mengagumi patung, Anita maju melewati singa besar, raksasa bertangan delapan, dan monster-monster lain. Seluruh matanya terfokus ke depan, menuju koridor kecil yang ada di sana.


Koridor itu unik. Tidak ada patung maupun karya seni lain di sana. Ia yakin kalau seharusnya di ujung sana ada ruang bundar yang dikelilingi oleh kebun penuh bunga. Sinar matahari bersinar lembut, menerangi patung otak yang berdiri di pusatnya.


Anita mempercepat gerakannya. Ia masih belum merasakan keberadaan khas Kehendak, dan ia ingin tahu kenapa. Terutama karena ia yakin kali ini, akhirnya, ia dapat mengingat perjumpaan pertamanya dengan makhluk maha perkasa itu.


Langkahnya terhenti. Ada dinding tak terlihat menghalangi jalannya. Ia menyentuh dan menyengkeram sihir tersebut, mencoba menghancurkannya dengan kekuatannya. Dinding itu tetap berdiri.


"Heh," dengusnya. Tangan kanannya membesar, menjadi gumpalan tentakel raksasa. Ia ayunkan organ-organ tubuhnya itu mengenai dinding sihir. Justru dia yang dibuat mundur.


Anita menahan hasrat untuk mencoba lagi. Percuma. Bisa-bisa ia malah melukai dirinya sendiri. Jadi ia terpaksa berdiam di situ, mengingat kunjungan perdananya ke Museum Semesta. Tanpa tahu apa-apa, dirinya di masa lalu menapaki koridor kelabu itu, hingga ia menemukan Kehendak di ruang bundar. Lalu....


Ia ingat. Tubuh perkasanya dibuat berlutut oleh kekuatan Kehendak. Tak peduli seberapa kuat ia meronta, ia tak bisa bergerak. Saat seluruh matanya menatap patung itu, ia melihat....


Ia melihat dirinya berada di pusat semesta, di tengah ledakan-ledakan bintang. Sekumpulan daemon terbang berputar-putar, mengorbit sebuah obyek besar. Mereka memainkan seruling yang dapat bersuara bahkan di tengah kehampaan luar angkasa. Sesosok humanoid dengan tubuh sehitam tinta tersenyum kepadanya, memperlihatkan deretan gigi putih.


Obyek besar yang diorbit daemon-daemon itu tengah terlelap. Orkesta para daemon sengaja dibunyikan hanya agar tubuh fisik makhluk itu tak pernah terbangun. Dan tentunya dalam tidur abadinya makhluk itu juga bermimpi....


Oh....


Bibir di wajah Anita membentuk seringai sangat lebar. Tercipta juga mulut di perut, lengan, dan punggungnya yang menunjukkan ekspresi serupa. Ia ingat. Visi itulah yang mendatanginya saat dia melihat Kehendak untuk pertama kali.


Alih-alih senang, ia justru merasakan kengerian hebat dan menyadari apapun yang terjadi, ia akan tetap celaka. Ia tak yakin Kehendak benar-benar akan mengampuni siapa pun. Itu sama sekali bukan sifatnya. Kekuatan yang ia saksikan itu dari dewa multi semesta yang dapat menghancurkan apapun bila ia ingin.


Tapi kenapa Mirabelle dan Zainurma menghilang? Kenapa kekuatan Kehendak tak terasa lagi? Apakah sang kurator dan sang dewi telah menjalankan rencana mereka?


Bumi berguncang. Tentakel-tentakel di "kaki'" Anita menembus lantai, membantunya mempertahankan posisi. Awalnya ia kira itu pertanda kalau Kehendak telah kembali. Ternyata bukan. Tetap tak ada pancaran kekuatan setingkat ledakan jutaan bintang dari koridor kelabu.


Namun guncangan itu memulai masalah lain lagi. Emas, perunggu, metal, dan bahan-bahan lain memudar dari tubuh para monster, digantikan warna kulit merah, hitam, cokelat, dan hijau. Deru nafas mereka memenuhi ruangan. Kepala mereka bergerak, diikuti oleh lengan dan kaki.


Semua monster raksasa itu hidup. Pandangan mereka langsung tertuju ke Anita, yang hanya menatap balik dengan ekspresi khasnya.


"Kehendak tak mengizinkanmu berada di sini," tegur Centaur langsung ke benak Anita. Hanya itu yang ia katakan sebelum meluncurkan anak panah yang telah siap di tangannya.


Tubuh Anita tertembus mata panah yang ukurannya mencapai satu setengah meter. Seringainya tak menghilang. Tekeli-li, siul seluruh tubuhnya saat udara masuk dan keluar lagi dari setiap pori-pori.


"Itu...." dengan telepati, Cyclops menyuarakan keterkejutannya ke Anita dan rekan-rekannya. "Suara itu, dia...."


"Tenang. Kita adalah makhluk-makhluk terkuat yang telah diberi mandat Kehendak untuk menjadi bagian kekuasaannya." Centaur menyiapkan anak panah baru. "Makhluk seperti ini bukan apa-apa."


Walau ia berkata begitu, Centaur dapat melihat rekan-rekannya yang lain juga bergidik mendengar siulan tadi. Ada sesuatu yang primal dari siulan tersebut, hingga semua makhluk di bumi bisa terintimidasi hanya dengan mendengarnya.


Lengan kanan Anita membentuk tentakel, menjerat anak panah yang meluncur dari udara dan melemparnya balik. Serangan itu menancap di langit-langit dan menimbulkan retakan panjang.


"Beraninya kau merusak gedung milik Kehendak!" marah Centaur.


"Jadi kalian ini apa? Ciptaan kehendak? Makhluk dari negeri dongeng?" Anita menjadi setengah cair, hingga ia dapat dengan mudah meninggalkan anak panah yang menancapnya.  


Tubuh Anita membesar hingga dua meter, lalu tiga meter, hingga akhirnya ia menyamai para monster. Kedua lengannya ikut berubah menjadi tentakel. Bola mata menyembul keluar dari mantel, pipi, perut, pinggang, bahkan tubuhnya.


Tekeli-li, ia bersiul lagi. Kali ini lebih keras.


"Atau jangan-jangan kalian hanya makanan untuk kusantap?"


Makhluk-makhluk lain ketakutan. Namun mereka tidak punya jalan untuk melarikan diri. Koridor keluar-masuk area ini sengaja dibuat kecil, menggambarkan hasrat Kehendak untuk tidak membiarkan mereka ke mana-mana kecuali ia menginginkan.


Tak dapat kabur, mereka mengangkat senjata. Semuanya menyerukan raungan pertempuran, siap menyambut tantangan. Kata manusia, hewan paling berbahaya saat mereka terdesak. Seluruh bagian kesadaran kolektif ingin melihat apakah itu benar.



Chapter 4



Guncangan bumi menjatuhkan Maia Maharani hingga lututnya terantuk lantai. Gadis itu merangkak, mencoba mencari meja atau apapun yang bisa ia gunakan berlindung. Gempa terhenti sebelum ada batu yang benar-benar menimpanya.


"(Tidak apa-apa?)" tanya Saviit.


"Ya...." Maia meringis, mengusap-usap lututnya. Untung tidak lecet. "Ada apa itu tadi?"


"(Mungkin museum ini membesar.)"


Semakin membesar dan membesar setelah menelan semua dunia di hadapannya. Seram sekaligus masuk akal.


Maia melanjutkan berjalan. Langkahnya agak pincang.


"(Tidak duduk dulu, Maia?)"


"Tidak perlu."


"(Yakin? Kita kan tidak tahu mau ke mana. Sejauh ini yang kamu lakukan hanya menjauhi musuhmu.)"


Memang. Saviit dapat merasakan di mana musuh Maia sekarang. Setiap sang domba mengembikkan arah dan jarak, Maia menapaki koridor yang berseberangan.


Maia melanjutkan yang ia lakukan sebelum guncangan menjatuhkannya: mengamati senjata. Kebetulan ia berada di galeri persenjataan. Di dinding yang tingginya sampai sepuluh meter, terpajang rapi pedang, tombak, hingga senjata modern seperti AK-47 dan senapan mesin. Masing-masing memancarkan aura yang agung, hingga gadis itu terintimidasi untuk tetap menjaga jarak.


Kesadaran kolektif Anita ingin mengingat apa yang ia lakukan dalam kunjungan pertamanya ke sini. Koridor museum memenuhi kehendaknya. Maia Maharani ingin tahu cara untuk melawan Kehendak. Yang terbayang di benaknya adalah kekuatan, jadi – tanpa Maia sadari - museum memandunya ke penyimpanan senjata terbesar di seluruh semesta.


Semua itu adalah instrumen perang. Maia bertanya-tanya, adakah di antara benda-benda ini yang bisa ia gunakan untuk melawan kuasa Kehendak. Ataukah jawaban untuk dapat mengakhiri semua ini justru bukan melalui kekerasan?


Langkah gadis itu gontai. Matanya masih mengamati setiap senjata, tapi ia tidak  benar-benar tahu apa yang harus ia cari. Lelah membuat bahunya turun. Ia bahkan tak dapat memikirkan apa yang harus ia lakukan.


Ia selalu bisa mengambil satu senjata yang cocok untuknya, lalu berputar arah dan meminta Saviit memandu jalan. Ia bisa bertarung, seperti yang diharapkan Ratu Huban saat membawanya ke sini. Kali ini ia bahkan memiliki lengan dan kaki. Ia tak mutlak perlu mengandalkan Saviit untuk bergerak dan bertempur.


Lalu sebuah dunia hancur. Entah dunianya, entah dunia lawannya. Begitu seterusnya hingga hanya satu yang tersisa. Darah seakan turun sepenuhnya meninggalkan wajah Maia, menyisakan putih. Dingin memeluknya, membuatnya gemetar.


"(Apa kamu benar-benar tidak apa-apa?)"


"Ya." Maia mengangguk. Kuku-kuku kanannya mencakar lengan kirinya. "Sejauh ini tidak apa-apa."


"(Mulutmu bilang gitu tapi ekspresimu kok tidak setuju.)"


Bunyi langkah mengisi ruangan, membuat gadis itu mematung. Itu jelas bukan tapakan domba. "Wahaha! Ada cewek manis!" dan suara serak tadi juga sama sekali bukan embikan domba. "Bagus banget buat dilumat!"


Perlahan, Maia memutar kepalanya hingga dia dapat melihat orang yang datang. Pria itu tubuhnya hampir dua meter. Otot-ototnya sangat besar dan kekar. Cawat yang ia kenakan dan kulitnya yang berkilau membuatnya seperti model sampul novel fantasi dewasa. Dia menenteng sebatang pemukul kayu seukuran tubuh Maia dengan satu tangan saja, tanpa menunjukkan tanda-tanda keberatan.


"S-Saviit, ini... apa dia musuhku?"


Saviit mengamati si pendatang. "(Hmm? Dia sudah berbau tempat ini.)"


"Gimana?"


"Kenapa ngomong sendiri di situ, bocah? Ayo sini? Kamu kelihatan kedinginan...." pria itu menyeringai. "Sini biar kubantu. Kalau tulang-tulangmu remuk, kamu nggak akan kedinginan lagi. Apalagi ketakutan."


"(Semua pemimpi masih memiliki aroma tempat asal mereka, Maia. Tapi orang ini sudah berbau Museum Semesta, sama seperti seluruh senjata di sini.)"


"Jadi?"


"(Jadi dia seharusnya adalah pajangan museum!)"


"Kenapa ada pajangan bergerak?"


Mendengar kata pajangan, urat-urat pria kekar itu menegang. Dia memukulkan kayu di tangannya ke lantai. Tanah terdorong membentuk cekungan, serpihan-serpihan marmer berterbangan ke segala arah memaksa Stalla dan Saviit merunduk.


"Grok bukan pajangan! Kalau saja aku tidak dicurangi, aku sudah memenangkan pertarungan itu dan si sundal Sonja itulah yang menjadi patung! Jadi jaga mulutmu baik-baik, bocah, dan cepat ke sini!"


"Sonja?" bisik Maia.


"(Jangan ambil pusing, Bocah! Sepertinya dia itu kontestan lama yang balik jadi manusia. Mending kamu cepat ambil senjata sana, apa saja boleh! Dia tidak waras!)" seru Saviit, seakan Maia tidak bisa menerka sendiri dari ancaman yang berulang kali Grok lontarkan.


"Kalau kamu tidak mau ke sini...." Grok mempercepat langkah. "Biar paman yang ke sana! Paman punya kuota penderitaan yang harus dipenuhi!"


Ya, itu jelas bukan kata-kata orang waras. Maia berbalik dan mencoba lari. Matanya menyapu cepat seluruh pajangan di sekelilingnya. Apakah ia benar-benar bisa mengambili senjata-senjata ini begitu saja?


"Sini kamu!" Grok ikut lari.


Maia Maharani memiliki tubuh jangkung yang atletis. Seharusnya ia dapat dengan mudah meninggalkan Grok yang tubuhnya terlalu penuh otot. Nyatanya tidak. Grok bergerak di luar akal sehat, mampu melesat cepat walau tubuhnya besar dan berat. Hanya dalam sepuluh langkah ia sudah hampir menutup jarak.


"(Kuh!)" Saviit mencoba menghalangi laju Eric. Kontestan lama turnamen semesta itu mengganjar Saviit dengan tendangan yang begitu kuat, hingga sang domba mimpi terlontar menghantam dinding.


"Saviit!"


Rahang Grok membuka kegirangan. Pemukul di tangannya siap terayun. Matanya yang nanar sudah membayangkan bagaimana bentuk tubuh Maia saat tulang-tulang gadis itu remuk.


Kalau saja Maia masih memiliki armor RAVEN mungkin ia bisa membalas. Bahkan, kalau saja tubuhnya masih tubuh kaleng Stalla, ia mungkin dapat melakukan sesuatu....


"Tapi, Stalla kan memang bagian dari dirimu. Bukan gitu, Nak?" suara Bapak terdengar di kepala Maia.


Otak Maia memproyeksikan tubuh kaleng Stalla, mulai dari bentuk sederhana pengharum ruangan, warnanya yang hijau, hingga merek yang tercetak besar-besar di pinggirannya.

Dentang besi menandakan serangan Eric mengenai sasaran. Maia terlontar jauh hingga mendarat di lantai. Rusuknya rasanya tidak karuan, membuat ia harus meringis. Tapi... tapi ia masih hidup.


"Apaan sih, tiba-tiba munculin zirah?!" omel Grok. "Kamu seharusnya sudah mati, Bocah! Aku kan jadi repot!"


"A-apa?" saat Maia hendak menyentuh rusuknya, tangannya justru menyentuh permukaan baju besi. Gadis itu menganga, menyadari ia kini mengenakan armor komplit. Bahkan ada helm yang melindungi kepalanya.


Awalnya ia kira itu armor RAVEN. Namun zirah pelindungnya itu kini berwarna hijau terang. Ada tulisan STALLA besar-besaran di bagian dada. Saat ia menyentuh permukaan atas helmnya, bahkan ada tombol semprotan raksasa


Hah.


Maia masih memiliki wajah, kaki, dan lengan. Tubuh dan ingatannya tidak kembali lenyap. Hanya saja secara ajaib kini ia mengenakan baju pelindung yang antara terinspirasi dari Stalla, atau memang terbuat dari kaleng Stalla.


Belum sempat ia memahami apa yang terjadi, Grok sudah menyerang lagi.



Chapter 5



Darah menggenang, membasahi permukaan tengah ruangan. Kepala seekor singa raksasa terbang tinggi, mengenai dinding hingga sisi tengkoraknya remuk. Delapan tentakel berujung runcing menembus dada seekor Minotaur, sementara empat lagi menghunjam mata dan mulut banteng jejadian itu.


Makhluk mitologi pajangan Kehendak tumbang satu demi satu. Saat minotaur rubuh tak bernyawa, yang tersisa untuk dihadapi Anita hanya Centaur, Cyclops, dan seorang raksasa berkulit biru bertangan empat. Tiga makhluk itu juga terpaksa menjaga jarak. Salah langkah sedikit saja, organ tubuh mereka bisa terburai.


"Apa kalian bersenang-senang, Tuan-Tuan?" tanya Anita. Bagian "kaki" gadis itu  menyerap utuh-utuh jasad tanpa kepala dari singa yang takluk di belakangnya. "Aku sih senang. Lawanku di ronde sebelumnya cukup seru...."


Kepala Anita berubah menjadi seorang pemuda Korea tampan berambut cepak. Suaranya juga jadi suara laki-laki merdu. "Tapi pada akhirnya, dari segi kekuatan fisik dia tidak bisa menandingi kalian. Tidak ada yang lebih baik dari menghadapi makhluk yang seukuran denganku, lalu melahapnya...."


Tubuh Anita berubah lagi, kali ini menjadi singa raksasa yang baru ia santap. "Dan memperoleh semua yang ia ketahui."


Raksasa bertangan empat meraung marah. Makhluk itu menyambar kaki dari satu jasad temannya yang tumbang, hendak menggunakannya sebagai senjata. Melihat gerakan rekannya, Centaur menembakkan satu lagi anak panahnya ke Anita.


Kali ini, Centaur menggunakan sihir. Anita dapat melihatnya. Kalau serangan itu mengenai tubuhnya, ia mungkin akan repot.


Dalam hitungan sepersekian detik saja Anita kembali ke wujud aslinya. Perutnya  membuka, membiarkan panah magis lewat. Lengan kirinya menjadi empat tentakel, tiga di antaranya meruncing di bagian ujung. Dua menebas putus keempat lengan raksasa yang datang dari samping; satu lagi menyayat dalam leher makhluk itu, memuncratkan darah berwarna kehitaman.


Saat si raksasa terhuyung, kehilangan kekuatan, Centaur menarik anak panah lain dari busur. Tentakel terakhir Anita terlebih dahulu menjerat raksasa tanpa lengan di dekatnya dan, seakan makhluk itu hanya mainan murah, melempar tubuhnya ke Centaur.


Tubuh dua makhluk besar itu beradu, hingga busur sang centaur terjatuh. Anita menciptakan dua kaki kuat di bagian bawah tubuhnya untuk melenting tinggi di udara, tepat ke arah centaur. Sebelum ia mendarat, kedua kakinya menyatu menjadi satu tentakel yang besar dan tajam seperti mata bor.


Centaur tidak sempat menghindar. Tentakel Anita sudah terlebih dahulu menembus punggung raksasa tanpa lengan dan dada si makhluk setengah kuda. "Ter... kutuk..." umpat Centaur.


"Heh, ya, banyak manusia yang bilang aku makhluk terkutuk kok. Entah siapa yang mengutuk sih," sahut Anita santai. Pinggangnya memunculkan empat tentakel, yang menancap di lantai untuk menjaga posisi tubuhnya. Tentakel tunggal yang menembus centaur terangkat kembali ke tubuh. Kini bagian bawah gadis itu kembali membuka, memperlihatkan mulut menganga.

Lidah berwarna hitam menjulur dari mulut baru Anita, membelit dan menjerat centaur serta raksasa tanpa lengan sekaligus. Kedua makhluk raksasa itu diangkat agar dapat lebih mudah dikunyah dan diserap.


Tinggal Cyclops saja yang tersisa sekarang, memegang pemukul yang telah ditebas hingga sisa separuh. Makhluk itu berdiri gemetaran, satu matanya melotot tak percaya. Setelah apa yang terjadi pada rekan-rekannya, ia tak melihat cara untuk menang.


Jadi ia mencoba lari. Pemukulnya ia jatuhkan agar kedua tinjunya dapat menghancurkan dinding koridor dan memperluasnya. Baru juga ia memulai, tiga tentakel menusuk bagian belakang kepalanya dan tembus hingga ke bola matanya. Saat Anita mencabut lagi tentakelnya Cyclops tumbang dengan suara berdebum keras.  


Ruangan kembali tenang. Yang tersisa hanya Anita, cukup kelelahan akibat menggunakan kekuatannya. Tak semestinya ia memforsir diri hingga seperti itu. Bisa-bisa naluri buasnya kembali, menindih segala kecerdasan yang kini dimiliki kesadaran kolektif. Tapi setelah terlalu lama melihat dirinya terlalu sering main aman, membebaskan diri begini terasa begitu... menyenangkan.


Sembari beristirahat, Anita mengakses ingatan dari makhluk-makhluk yang kini bergabung dengan dirinya. Ternyata mereka semua berasal dari era Yunani kuno, saat para dewa dan makhluk fantastis masih berkuasa.


Awalnya, mereka ditakuti. Sedikit manusia yang sanggup melawan mereka. Tapi waktu berlalu. Ilmu pengetahuan manusia terus berkembang, senjata baru ditemukan, metode pertempuran baru dicetuskan.


Tiba-tiba, makhluk-makhluk berumur panjang ini harus berhadapan dengan musuh-musuh yang lebih banyak dan kuat. Awalnya mereka dapat bertahan, namun perlahan tapi pasti mereka terdesak. Habitat mereka dirusak. Bahkan para dewa sekalipun berpaling dari mereka, membiarkan mereka punah.


Lalu baik singa raksasa, centaur, maupun makhluk lain yang disantap oleh Anita  mendapati diri mereka dibawa ke museum ini. Sebuah suara agung berbicara langsung ke benak mereka, menyampaikan kalau era mereka telah berlalu, tapi mereka bisa tetap hidup selamanya di museum ini.


Tubuh mereka membatu. Kesadaran mereka lenyap. Hanya sesekali saja mereka  dibangunkan. Terkadang untuk mengatasi penyusup, terkadang untuk dibiarkan menjumpai kaum mereka yang juga diawetkan di sini.


Hmm....


Anita ingat Mirabelle sang dewi perang mengatakan perannya telah diubah Kehendak menjadi dewi konservasi. Ia ingat juga potongan Barus dari Song Sang Sing, yang justru bertahan di Bingkai Mimpi. Rasa-rasanya ia tadi juga melewati patung dari beberapa peserta yang pernah bersamanya mendengarkan pengarahan Zainurma dan Mirabelle.


Memori para makhluk mitologi tadi membuat monster itu memikirkan kemungkinan baru: semesta dari semua petarung di turnamen ini sebenarnya telah mendekati akhir, dan ini adalah upaya sakit makhluk mahakuasa untuk melindungi mereka.


Ia tidak mengira makhluk di balik Kehendak memiliki kebaikan seperti itu. Mungkinkah ia tadi menyimpulkan terlalu cepat? Ataukah ada makhluk lain yang  bekerja di balik sang penghancur? Konservator yang melindungi sesuatu, sebelum majikannya memutuskan meledakkan segalanya?


Pada akhirnya, Anita memutuskan ia tidak peduli. Ia tak yakin Kehendak benar-benar akan mengabulkan permintaan, tapi ia masih penasaran atas rencana Mirabelle dan Zainurma. Ia telah memperoleh semua informasi yang ia inginkan, jadi....


"Fluffy," panggil Anita. Gumpalan mata dan tentakel itu tengah menyantap cyclops yang barusan ia habisi dengan mulut raksasa yang ia munculkan di bawah perutnya. "Uh, jangan makan yang itu. Pengecut begitu sih tidak enak."


Tekeli-li, siul Fluffy, mengeluhkan Anita sudah memakan yang lebih enak.


"Oke, maaf," Anita terkekeh. "Sudah cukup senang-senangnya sih. Bisa tunjukkan aku di mana musuhku untuk ronde ini?"


Tekeli, sahut Fluffy. Ia berhenti makan dan mulai merayap di koridor, langsung memandu.


Anita menyepak minggir jasad besar cyclops dan mengikuti. Sementara tentakelnya membawa dirinya maju, pikirannya kembali melongok kesadaran kolektif, ingin kembali melihat apa yang dilakukan musuh lamanya di sana. Melihat dia masih berkuasa atas tubuh ini, jelas Jurgen Wagner belum melakukan sesuatu yang berarti.



***



Rasa tidak berdaya membuat jiwa Anita lebih mudah diserap kesadaran kolektif. Gadis itu dapat merasakan setiap tambahan jiwa dari perbuatan tubuhnya di dunia nyata. Semua aturan yang ia tetapkan agar tak kehilangan kendali kini dilanggar seenaknya.


Ia ingin menjerit. Ia ingin meraih kesadaran kolektif, agar tubuh shoggoth ini mati bersamanya. Tapi ia tak bisa melakukan apa-apa selain menderita. Lambat laun, ia merasa melebur hingga sirna adalah satu-satunya pilihan yang bisa diambilnya sekarang.


"Don't be afraid to be weak," terdengar suara nyanyian, yang membuat jiwa Anita semakin bergetar. "Don't be too proud to be strong," itu suara Song Sang Sing, tak salah lagi.


"Hentikan, Prima-1... kau sudah menang...." ia menyampaikan.


"Just look into your heart, my friend. That will be the return to yourself. The return to innocence," suara itu masih menyelesaikan lagunya. "Untuk sekarang, Anita Mardiani, aku masih aku."


"Song?"


"Ya."


Tentakelnya menusuk paru-paru pemuda itu, menghalanginya untuk bernyanyi lagi. Ratusan gigi membentuk di tubuhnya mencincang segala sesuatu yang menyusun tubuh Song, termasuk jiwanya. 


Jiwa Anita meraung. Ia menangis sejadi-jadinya, terutama karena ingatan itu membuatnya kembali merasakan darah dan daging Song. Lalu ia merasakan sesuatu membalut jiwanya, mencoba memberikan ketenangan.


"If you want, then start to laugh, if you must then start to cry. Be yourself don't hide, just believe in destiny," Song masih mencoba bernyanyi, melanjutkan lirik Return to Innocence karya Enigma.


"Maaf..." isak Anita, walau ia tahu itu tak akan mengubah apa-apa. "Maaf...."


"Sekarang, aku sudah mati. Duniaku berakhir. Sejujurnya itu membuat hati ini terasa berat, tapi itu sudah tak bisa diubah lagi. Tapi bagaimana dengan kamu? Apa kamu akan tetap berada di sini?"


"Aku tak bisa ke mana-mana lagi...."


"Benarkah? Buka matamu."


Anita mematuhi. Ia tak percaya dengan yang ia temukan. Jurgen Wagner sang guru tengah menggedor-gedor penjara yang mengurungnya, mencoba membebaskannya. Apakah ini ilusi lagi?


"Petualanganku sudah berakhir, Anita. Apa kamu juga memutuskan petualanganmu berakhir di sini juga?"


"Sudah bangun, murid bodoh?!" teriak Wagner. "Coba bantu aku! Kepompong yang mengurungmu ini sulit dibuka dari luar, tapi kalau kamu membantu dari dalam, mungkin aku bisa mengeluarkanmu!"


Harapan terpercik. Anita memproyeksikan lengan untuk membantu menjebol penjaranya. Tapi baru tangan baru itu terjulur, ia kembali terhenti.


Kesadaran kolektif membanjiri jiwanya dengan memori. Ia ingat kalau Wagner menempatkan dirinya sebagai "pilot" Prima-1 karena itu akan membuat dirinya lebih mudah digunakan sebagai senjata. Dan Hariadi membantunya.


Pada akhirnya, bukankah ia memang senjata? Ia selalu patuh terhadap Keputusan Asosiasi Penyihir. Ia bohongi dirinya bahwa ia bertindak atas nama hukum, padahal jelas kalau dirinya hanya bom nuklir yang mereka arahkan untuk memusnahkan musuh-musuh mereka.


Keraguan menguat. Kepompong yang membungkus jiwa Anita semakin keras.  


Di luar kepompong, ingatan yang menghantui Anita tadi tersaji lewat puluhan televisi yang muncul dan menyala bersamaan. Wagner terpaku. Kebohongan yang telah ia tutupi sejak lama telah terkuak. Untuk pertama kalinya, mulut penyihir hebat itu kelu, tak tahu harus mengatakan apa.


"Dengar...." jiwa Wagner mencoba membela diri.


Dua tentakel menjeratnya dari belakang sebelum ia melanjutkan berbicara. Satu lagi muncul sesaat kemudian, menusuk jiwanya. Serangan tak terduga itu membuat Wagner langsung memudar.


Keraguan Anita langsung sirna, digantikan pedih. "Guru!" pekiknya panik. Tangan jiwanya kembali tercipta, meninju kepompong. Namun penjaranya itu tetap kokoh.


Tiga tentakel tadi lenyap. Serpihan jiwa Wagner melayang ke langit, ke lantai, ke dinding, semakin lama membuat sosoknya kian menghilang, turut membaur bersama kesadaran kolektif. "Bodoh," Anita masih dapat mendengar umpatan favorit pria itu.


Dengan sisa kekuatannya, Wagner membentuk tangan untuk menyentuh jendela kepompong Anita. Ia juga memproyeksikan kembali wajahnya, membentuk senyum damai. "Mungkin... mungkin lebih baik begini, Anita. Mungkin lebih baik begini," ucapnya susah payah. Setelah itu, jiwa Wagner menghilang.


Apanya?


Apanya yang lebih baik?!


Kini rasa putus asa Anita membengkak ke tingkat tertinggi. Suara Song tak lagi terdengar. Dirinya pun turut sirna, melebur semakin cepat. Ia akan lenyap kalau  saja aliran memori baru tidak menghentikannya.



Chapter 6


Maia merasakan ada daya yang sangat kuat mengaliri lapisan dalam zirah Stalla. Seharusnya ini mustahil. Dirinya bukan lagi kaleng ajaib itu. Tapi....


Grok maju dengan bersemangat. Pemukulnya terangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Kalau Maia diam, ia hanya akan dilumat lagi. Jadi gadis itu berlari ke samping, mendekati dinding terdekat.


Kalau armor ajaib ini adalah Stalla, maka seharusnya tombol penyemprot di kepalanya bukan dekorasi jelek saja. Ia menanduk dinding untuk menekan tombol tersebut. "Aduh!" sakit menyengat tengkuknya. Kedua tangannya memegangi kepalanya. Perlindungan helm tak sepenuhnya dapat meredam benturan.


Grok hanya berjarak lima langkah saja dari Maia, tapi ia tiba-tiba berhenti. Pria kekar itu terbahak. "Kamu sudah gila, Bocah?!" tanyanya.


Awalnya tak terjadi apa-apa, namun dalam beberapa detik Maia merasakan daya di seluruh bagian armornya terfokus ke kedua sarung lengan. Kekuatannya begitu besar.


Buru-buru Maia mengarahkan telapak tangan kanan dan kirinya ke Grok, membuat pria raksasa itu berhenti tertawa.


Energi meluncur sesaat, mengenai wajah Grok hingga pria kekar itu terjungkal. Hidung peseknya bergeser sedikit ke kiri dengan lubang mengalirkan darah. Sisi kanan bibirnya pecah. "Apa itu?!" hardiknya murka.


Itu adalah kekuatan serangan Gork sendiri. Stalla, atau lebih tepatnya armor Stalla, menyerapnya. Dengan menekan tombol semprotan, Maia meluncurkan kembali serangan Grok ke peluncurnya.


Mengantisipasi serangan lagi, Maia sudah mengambil enam langkah mundur. Adrenalin membantunya untuk meredam sementara sakit di rusuknya, memberi dia kekuatan untuk fokus. Nyeri di leher dan kepalanya yang berdenyut tetap terasa.

Maia masih merasakan kekuatan mengaliri pakaian pelindungnya. Sepertinya yang ia luncurkan tadi hanya sebagian kecil dari energi yang armor ini serap. Tapi masa ia harus membenturkan kepala ke dinding lagi?


Grok juga tak memberinya kesempatan. Pria kekar itu mengayunkan pemukulnya. Maia dapat mengelak mundur, membiarkan Grok meretakkan lantai museum.


Ya, kalau kena serangan seperti itu dua kali sih dia akan mati. Maia  melirik tembok lagi. Ia bukan benar-benar kaleng, kenapa tombol semprotannya armorini tetap ada di atas kepala? Siapa yang bisa menekannya? Bukannya akan lebih  praktis kalau tombol ini ada di tangan gitu, seperti penembak jaring milik seorang pahlawan komik?


Eh?


"Jangan gerak-gerak!" Grok mengayunkan pemukulnya  dengan vertikal, membuat Maia yang sempat tidak fokus harus merunduk. Gadis itu lalu berguling, menghindari serangan lanjutan yang kembali menghancurkan lantai.


Maia membuka telapak tangan kirinya. Sekarang ada tombol semprotan kecil di sana. Kepalanya pun terasa lebih ringan. Saat tangan kanannya menyentuh permukaan atas helm, ia tak lagi menemukan apa-apa. Ia tidak tahu bagaimana caranya, tapi kehendaknya baru saja memodifikasi sendiri armor Stalla ini.


Grok kembali datang. Dalam posisi berjongkok dan kebanyakan melamun, Maia tak bisa berkelit jauh. Walau ia dapat menghindari ayunan, guncangan di lantai tetap menggoyahkannya hingga ia jatuh telentang.


"Nah, diam di situ!" Grok, tak terlihat lelah, sudah siap melumat.


Maia menggunakan empat jari untuk menekan tombol semprotan di sarung lengan kiri. Dapat ia rasakan semua energi yang ia serap mengalir ke lengan kanan. Ia membuka telapaknya ke arah Grok.


Kekuatan besar menghajar wajah Grok lagi, membuat hidungnya semakin tak karuan. Durasi serangan itu pun tidak sekilat sebelumnya. Maia terus menekan tombol di tangan kiri, benar-benar mengeluarkan semua tenaga yang telah diserap oleh zirahnya.


Saat Grok melindungi kepalanya, Maia mengarahkan serangan ke selangkangan pria itu. Taktik kotor, tapi siapa yang peduli. Pertahanan Grok langsung kedor. Mulutnya membuka membentuk huruf O. Pemukulnya jatuh.


"Makhluk kecil... keparat..."


"Ups," keluh Maia. Kekuatan armornya surut. Tangan kanannya tak dapat mengeluarkan apa-apa lagi. Sudah begitu, tubuhnya juga tiba-tiba merasa lelah. Padahal di hadapannya Grok masih berdiri, susah payah mengambil langkah.


Maia menyeret tubuhnya mundur. Seharusnya ia berguling bangkit, tapi sulit melakukan itu saat ia mengenakan armor.


Grok bisa mempercepat langkahnya. "Mati kau brengsek!" umpatnya, tinjunya siap terayun. Maia menutup mata, berharap ia bisa bertahan untuk menyerang balik dengan kekuatan tinju pria itu.


Sesuatu berdebum menyentuh lantai. Serangan Grok tak pernah datang. Penasaran, Maia membuka matanya. Ternyata pria kekar yang ingin membunuhnya itu sudah jatuh tengkurap, hanya satu langkah saja dari posisinya.


Maia bernafas lega. Saat itu juga armor Stalla lenyap, memperlihatkan kalau sekujur tubuh gadis itu dipenuhi peluh. Ia sangat bersyukur bisa tertolong karena kemampuan tak terduga itu, tapi tetap saja bergerak-gerak sambil mengenakan armor bukan sensasi yang menyenangkan.


"(Apa-apaan itu tadi?)" Saviit mengembik. Empat kakinya melangkah mendekati majikannya.


"Saviit!" saat Maia hendak bangkit, sakit di rusuknya menguat, menahannya. Justru Saviit yang mendekatinya duluan.


"(Jangan kebanyakan gerak, oy!)" tegur Saviit.


"Kamu tidak apa-apa?"


"(Sakit sih, tapi nggak terlalu masalah. Kamu sendiri, gimana kamu bisa ngeluarin kemampuan kaya gitu?)"


"Aku nggak tahu. Aku...." ia teringat sesuatu. "Tadi aku kaya dengar suara Bapak ngomong Stalla itu bagian dari aku. Jadi, aku ngebayangin aja Stalla itu kaya apa. Tiba-tiba aku pakai armor begitu."


Saviit terdiam sesaat. Saat ia bicara lagi, ia bertanya, "Kamu bisa ngeluarin lagi tidak?"


"Sebentar...." Maia mencoba membayangkan kembali bentuk dirinya sebagai Stalla. Kaleng hijau dengan tombol semprotan di atas. Ada merek besar-besar di bagian tubuhnya.


Cahaya memancar dari Maia. Saat pendaran itu memudar, Saviit melihat Maia kembali mengenakan armor Stalla. Lengkap dengan tombol semprotan raksasa di kepala.


"Semprotannya...." Maia terengah.


"(Hei, kamu nggak apa-apa? Mukamu tiba-tiba pucat,)"


"Apa ada tombol semprotan di kepalaku?"


"(Iya, tapi kamu nggak apa-apa?)" sementara Saviit bertanya, Maia kembali membayangkan tombol semprotan berada di tangan kirinya. "(Lho, tombol semprotannya hilang!)"


Maia membuka telapak tangan kirinya. Tombol semprotan sekarang berpindah ke sana. Ternyata, armor ini benar-benar menuruti kehendaknya.


Gadis itu terjatuh dalam posisi menyamping, terlalu kelelahan. Armor Stalla kembali lenyap. Nafasnya terengah dan aliran keringatnya semakin deras.


"(Hei! Bertahanlah!)" Saviit mendekati majikannya dengan khawatir. "(Apa... apa memunculkan armor itu segitu melelahkannya?)"


"Waktu ngeluarinnya sih nggak kenapa-kenapa, tapi... kalau kelamaan makai itu, badanku jadi capek. Aku nggak tau kenapa."


"(Oke. Setidaknya....)" Saviit melirik Grok, yang masih bernafas. "(Setidaknya kita selamat dari konfrontasi tidak penting ini. Jadi kalau kamu mau istirahat dulu, ya silakan saja. Biar aku....)" kata-kata Saviit sempat tertahan. "(Oke, lupakan. Maia, cepat naik ke punggungku!)"


"Kenapa?"


"(Domba musuhmu mendekat ke sini!)"



Chapter 7



Museum ini masih membantu Anita. Ia mencium bau manusia tadi. Ada sedikit wangi, namun ada juga darah dan keringat. Saat ia memikirkan untuk menyelidiki bau itu, seketika itu juga jalan ke sana tercipta.


Koridor yang Anita lalui berubah total. Kumpulan lukisan seniman terkenal digantikan oleh diorama perang yang diperagakan manekin. Seluruh bangunan ini tersusun ulang untuk memenuhi hasratnya.


Anita semakin yakin dengan cara kerja museum ini. Ia tertarik juga ingin melihat apa lagi yang tersimpan di dalamnya, kalau ia hendak mencari sesuatu yang lain. Ia bisa mencoba itu setelah membereskan musuhnya dulu. Seharusnya ini tidak lama.


Fluffy membawa Anita memasuki ruang senjata. Ia disuguhi pemandangan kehancuran, bekas duel Maia dan Grok. Bahkan Grok saja masih berada di sana, berlutut dengan hidung masih meneteskan darah.


"Dia musuh kita?" tanya Anita. Rasanya yang Huban bilang tadi perempuan, bukan laki-laki cuma pakai cawat.


Tekeli.


"Bukan. Jadi dia siapa?"


Percakapan itu membuat Grok menyadari ia tak lagi sendirian.


Tekeli.


"Ah, tidak apa. Kalau kamu tidak tahu, berarti dia tidak penting."


"Siapa yang tidak penting?!" Grok mengangkat pemukulnya dan berdiri. "Aku sudah cukup dipermalukan untuk hari ini! Tidak lagi! Mati kau monster!"


Anita bahkan tak perlu berhenti memasang kuda-kuda. Sambil maju tubuhnya membesar. Perutnya membuka, memperlihatkan mulut raksasa yang ia ciptakan di sana. Saat Grok menyadari ia terlalu tergesa, sejumlah tentakel menjulur, menjerat dan menarik tubuhnya ke deretan gigi yang siap mengunyahnya.


"Kepara-"


Grok masih mencoba melawan dari dalam. Otot-otot besarnya ia kerahkan untuk mencoba membebaskan diri dari tentakel. Ia hampir berhasil, namun puluhan gigi Anita sudah terlebih dahulu menggigit sekujur tubuhnya dalam-dalam. Hanya bagian otaknya saja yang secara strategis dibiarkan utuh.


Gigitan kedua meremukkan tulang Grok dan menembus hingga ke tulang-tulang. Satu tentakel kecil mengiris kepala pria barbar itu, sementara tentakel lain menarik keluar otaknya. Otak dihisap, dipisahkan dari tubuh dan jiwa yang hancur menjadi serpihan dengan gigitan ketiga.


Fluffy dan Anita maju dengan enteng, seakan pembunuhan tadi tak ada artinya. Anita masih merasakan bau keringat di kejauhan, terus mencoba membuat jarak dengan dirinya. Apakah itu lawannya?


Sepuluh detik kemudian ia memperoleh ingatan Grok. Ia tahu identitas pria bercawat tadi. Ia tahu kalau pria itu tinggal di bumi yang dikuasai oleh pendekar tangguh dan tukang sihir yang sangat kuat. Grok lalu diculik oleh Kehendak untuk bertarung, tapi dia bukan peserta turnamen ini. Musuh-musuh Grok berbeda dari yang Anita temui sejauh ini. Bahkan yang memberi pengarahan bukan Mirabelle dan Zainurma.


Anita juga mendapat kepingan memori yang masih segar dan memang ia butuhkan: lawan Grok sebelum ia berjumpa dengan dirinya.


Ia melihat seorang gadis berpakaian bunga-bunga. Grok masih marah dan malu karena kalah dari turnamen. Jadi melihat seorang remaja yang terlihat tak berdaya, Grok mencoba melampiaskan emosinya ke sosok itu. Anita dapat merasakan diri Grok terangsang saat membayangkan kepala gadis itu remuk di tangannya.


Dia bukan sosok biasa. Anita melihat gadis itu memunculkan armor norak, yang pada akhirnya ia gunakan untuk menundukkan Grok. Dari gerak-geriknya, bahkan si baju bunga-bunga itu sendiri belum terlalu paham kekuatannya.


Anita memutar ulang kenangan di mana dirinya dikumpulkan dengan seluruh peserta. Ia yakin baju bunga-bunga ini tidak ada di kumpulan itu. Tapi gadis itu membawa domba. Itu seharusnya bukti kalau memang itulah lawannya sekarang.


"Hmm. Mungkin ini tidak akan semudah yang kita kira, Fluff. Mungkin."


Tembakan energi pastinya bukan satu-satunya trik yang lawannya itu miliki. Kesadaran kolektif memutuskan untuk menyelesaikan gadis itu secepat dan seefektif mungkin, menghindari kemungkinan ia bisa menembakkan api. Tapi ada beberapa bagian pemikiran mandiri sang monster yang justru ingin melihat seluruh kebolehan lawannya. 



***



Seperti pasca tes fisik di jam olahraga, awalnya Maia merasa dirinya hanya butuh duduk-duduk lima menit. Lalu dia tengkurap di punggung Saviit, dan batas lima menit tertembus. Tubuh dombanya yang diselimuti bulu lembut itu sudah terasa seperti kasur empuk. Walau Saviit sedang bergerak kencang pun Maia malah ingin tidur. Matanya kian berat.


Pertanyaan Saviit membuat mata Maia membuka lagi. "(Gimana di atas sana)?"


"Nyaman."


"(Bukan itu, kamu sudah baikan? Kira-kira bisa berubah lagi?)"


"Berubah sih bisa-"


"(Bukan sekarang lho ya!)"


Maia terkekeh. "Tidak akan. Rasanya... lemas."


"(Oke, jadi mungkin perubahan itu benar-benar menguras tenaga. Antara itu atau kamu belum terbiasa jadi manusia.)"


"Ada apa?"


"(Lawanmu mengejar, dan dia cepat banget. Aku sudah ngebut tapi rasanya tidak ada gunanya. Dia sudah dekat.)"


"Oh."


Kalau begitu benar-benar bukan saatnya istirahat. Maia mencoba bangkit.


"(Kalau memang masih capek, diam saja di situ jangan macam-macam. Manfaatin setiap detik untuk narik nafas!)"


Nafas Maia sih sudah teratur. Kalau ia memaksakan diri, ia rasa ia bisa mengeluarkan Stalla lagi. Tapi misi penjelajahannya tadi gagal. Ia tak menemukan apa-apa. Tidak ada cara lain, ia tahu ia harus menghancurkan satu semesta lagi.


Atau jangan-jangan ia bisa berunding, menyoba menyelesaikan ini baik-baik? Kalau musuhnya tidak sesinting Grok, bisa saja mereka bekerja sama untuk mencari solusi alternatif. Masalahnya, ancaman kehancuran semesta bisa membuat siapa pun nekat.


"(Maaf sekali, tapi musuhmu sudah dekat! Padahal ini sudah kecepatan maksimumku!)" embik Saviit.


Maia duduk dengan posisi menghadap ke belakang dombanya. "Tidak apa-apa. Rasanya konfrontasi ini sudah tak bisa dihindarkan," katanya. Benaknya mulai membayangkan


"Will the circle, be unbroken, by and by... by and by...." terdengar suara merdu seorang laki-laki dari depan Maia. Seekor anjing doberman menampakkan diri, disusul pemuda berkaus kuning. "There's a better home awaiting in the sky, in the sky."


Saviit hampir mencapai belokan saat Maia meminta, "Berhenti."


"(Mbak, jangan bilang kamu tidak merasakan keanehan orang ini! Aku bahkan tidak perlu menoleh untuk menyadarinya!)"


"Pokoknya... berhenti dulu," Maia mengulangi perintah. Walau Saviit tidak suka, sang domba berhenti tepat di depan belokan koridor. Tubuhnya ia taruh dalam posisi menyamping, agar ia bisa melihat si penyanyi dan kabur cepat bila dibutuhkan.


"Oh, annyeonghaseyo. Tak aku sangka bisa ketemu orang lain di sini." Pemuda itu melangkah. Ia tak terlihat menunggangi dombanya, tapi tubuhnya tak dibasahi keringat. Nafasnya tidak terengah. Bahkan kulitnya tetap pucat, tak ada tanda-tanda memerah karena lari atau jalan.


"(Anjing itu domba lho. Sekedar ngasih tahu saja,)" Saviit berbisik. "(Mungkin dia mau pura-pura bukan peserta.)"


"Terima kasih, Saviit," sahut Maia lirih.


"Domba itu... apa kamu kontestan juga?" tanya pria itu, terus melangkah ke arah Maia. Tangannya terangkat. "Tenang, aku tidak ingin bertarung. Sepertinya kamu juga bukan lawanku."


"(Hanya satu itu domba yang kurasakan di area ini. Aneh kalau dia bukan lawan kita,)" Saviit kembali mengembik.


"Aku juga tidak ingin bertarung," sahut Maia. Tubuhnya mendadak dingin. Semakin dekat pemuda itu, semakin ia merasa ada yang tidak beres. Tetap saja, karena si pemuda tak membawa senjata, Maia masih melanjutkan bicara. "Aku sudah menghancurkan banyak sekali semesta untuk sampai di babak ini."


"Demikian juga dengan aku, Nona."


"J-jadi, mumpung Mirabelle dan Pak Kurator sedang tidak ada di sini, bagaimana kalau kita gencatan senjata?"


"Oh?"


"Tempat ini luas. Isinya banyak sekali. Mungkin kita bisa menemukan sesuatu yang bisa membebaskan kita."


"Aku tidak tahu apa yang seperti itu ada di sini, Nona. Tapi kurasa gagasan Nona itu tidak ada salahnya dicoba. Benar begitu, Fluffy?" tanya pemuda itu ke doberman yang berjalan di depannya.


Tiga tentakel menyeruak keluar dari dada si kaus kuning. Ketiganya meluncur dengan sangat cepat, hampir menembus Saviit dan Maia kalau saja Saviit tidak bergegas lari lagi.


"(Ternyata kita memang seharusnya jangan berhenti, kan?!)" keluh Saviit.


"Maaf, aku hanya ingin memastikan dulu dia jahat tidak."


"(Terus sekarang kamu sudah yakin?)"


"Dia menyerang kita duluan. Jadi anggap saja iya." Dengan tentakel pula. Gadis muda dan tentakel itu bukan pasangan baik.


Maia kaget melihat itu bukan akhir serangan. Tentakel yang tadi menyerangnya kini bercabang dan melanjutkan mengejar. Muncul sekumpulan mata di ujung-ujungnya, membuat penyerang dapat terus melihat.


"Apa-apaan sih ini?!" pekik Maia jijik.


"(Ada apa ada apa?)" Saviit menoleh. "(Yang benar saja!)"


Dengan gesit, Saviit menghindari setiap tentakel yang menyerangnya. Semakin jauh sang domba dari penyerang, semakin tipis pula tentakel tajam yang datang. Maia dan Saviit sempat mengira mereka akan aman.


Lalu Anita Mardiani menampakkan diri, menyusul tentakel yang ia kerahkan duluan. Sang shoggoth sudah kembali mengenakan wujud wanitanya. Tubuhnya memunculkan banyak kaki laba-laba, yang membantunya untuk merayap dengan sangat cepat. Matanya yang seperti rongga kosong serta seringainya yang bagai hiu membuat Maia gentar seketika.


"Oke, sebenarnya sih menurutku rencanamu itu membosankan," kata Anita santai, memunculkan lebih banyak tentakel yang menusuk-nusuk lantai dan merusak lukisan serta patung di kanan-kiri. "Tapi mungkin aku akan mempertimbangkannya. Sekarang, gimana kalau kamu ke sini?"


Itu jelas lawakan tidak lucu. Tanpa perlu ke sana pun Maia menyadari makhluk itu dapat dengan mudah menyusul Saviit. Tak peduli betapa kencang sang domba berlari, makhluk itu semakin mendekat. Ia harus melakukan sesuatu.


Maia hendak mengenakan armor Stalla lagi, namun ia teringat kalau armor itu beda dengan Stalla asli. Tubuh Stalla asli biasanya selalu diisi kekuatan, kecuali dia mengosongkannya habis-habisan dalam pertarungan. Armor tadi selalu terasa kosong saat Maia mengaktifkannya. Ia harus mengisinya lagi dari awal, dan itu akan repot.


Anita sudah semakin mendekat. "(Oh tidak,") keluh Saviit. Sejumlah tentakel menancap jauh di depan domba itu, hendak menutup koridor.


Bagaimana sebetulnya cara kerja kekuatan ini? Maia berpikir keras. Tak bisakah ia menjadi bentuk lain? Bagaimana kalau ia menjadi robot seperti di TV-TV? Ia bayangkan bentuk seorang robot pahlawan dan... kekuatannya bekerja. Tubuhnya diselimuti proyeksi armor. Namun proyeksi itu tidak solid seperti armor Stalla. Wujudnya saja tembus pandang.


Maia terengah. Armor robot hilang.


"(Hei, Mbak, ngapain kamu?! Sudah kubilang santai saja, biar kubawa kamu keluar dari sini!)"


Mana bisa ia santai? Maia mencoba memikirkan apa yang salah. Mungkin... mungkin percobaannya tadi gagal karena ia kurang memahami struktur armor robot? Ia kan bisa memahami Stalla karena ia sudah lama menjadi kaleng.  


Mata Maia melebar. Bukankah ada satu armor yang pernah ia kenakan sebelum ini?


Maia membayangkan kembali armor RAVEN. Tubuhnya bercahaya terang, hingga ia sendiri silau. Saat kemilau lenyap, kelelahannya sudah semakin parah. Tapi kini tubuhnya dibungkus armor canggih berwarna hitam.


"(Tunggu, Maia, kamu kok jadi berat?!)"


Tentakel Anita sudah menutup ujung koridor. Maia berganti posisi menjadi tengkurap. Ia sentuh punggungnya, menemukan adanya semacam pendorong roket di sana. Ia coba bayangkan kalau mesin itu bisa diaktifkan dengan suara.


"Pendorong roket, aktif!"


"(Pendorong ro- LHO?!)"


Pendorong roket memang aktif. Tidak hanya itu, kekuatannya juga luar biasa. Maia dapat mengangkat Saviit dan terbang meluncur ke depan, semakin mendekati tentakel yang menutupi jalan.


"Tembakan...." Maia membayangkan fungsi lain RAVEN juga bisa diaktifkan dengan suara. Sementara satu tangannya masih memegangi Saviit, tangan kanannya terarah ke depan dengan telapak membuka. "PETIR!"


Listrik meluncur dari armor RAVEN, menyengat tentakel. Di belakang, Anita menjerit. Dinding tentakelnya rontok dan terbakar, membuka jalan bagi Maia.


Maia bisa melindungi diri. Petir RAVEN dapat menyakiti monster itu. Gadis itu menurunkan dulu Saviit, agar sang domba bisa kembali membawanya.


"(Itu RAVEN? Aku tidak tahu gimana kamu memunculkannya lagi, tapi yang tadi itu keren!)"


Tubuh Anita terlihat kacau. Ia kini seperti gumpalan hitam bertentakel, yang terlalu berantakan untuk dapat digunakan bergerak. Maia bisa menyelesaikannya sekarang. Satu tembakan lagi. "Tembakan...." cukup satu tembakan lagi. "Pe-"


Lelah kini diperparah haus. Stamina sudah mencapai batas. Gadis berbaju bunga-bunga itu jatuh tengkurap ke punggung Saviit. Ia mencoba bangkit lagi, tapi bahkan mengangkat tangan saja sulit.


"(Maia, kamu tidak apa-apa?!)" Saviit dapat merasakan Maia kenapa-kenapa, tetap saja ia bertanya. 


Bagaimana kalau sebaiknya begini? pikir Maia. Monster itu pun bagian dari semesta. Mungkin ada satu-dua monster baik di sana. Bagaimana kalau ia membiarkan dirinya dan Saviit dibunuh, sehingga semesta monster itu bisa bertahan?


Wajah Bapak terbayang di benak Maia saat matanya terpejam. Ia bayangkan Bapak dan semua orang yang ia kenal menjadi batu, terlupakan untuk selamanya.


Tidak, ia memutuskan. Ia tidak ingin Bapak terluka. Kalau ternyata Bapak mati dengan sadis, seperti yang ia impikan di awal turnamen ini, maka ia ingin Bapak kembali hidup.


Akhirnya ia memutuskan, walau ia harus menghancurkan semesta lain demi Bapak ia akan tetap berjuang.


Kalaupun ia harus kalah, ia tidak ingin yang memusnahkan dirinya dan semestanya adalah Anita. Bila ia membiarkannya, ia yakin makhluk ini akan menghancurkan semesta-semesta lain tanpa pikir panjang.


Tapi ia butuh air untuk mengatasi tenggorokannya yang kering. Ia juga butuh sesuatu, apapun, yang dapat mengulur waktu hingga tubuh ini kembali siap memanggil kekuatan.


Serangan tentakel menandakan Anita sudah kembali. Benar saja, monster itu sudah memulihkan tubuhnya dan kembali merangkak. Kali ini, Anita bahkan lebih cepat. Awalnya ia hanya main-main, namun sengatan petir tadi membuatnya murka.


"(Yang benar saja sih!)" keluh Saviit. Sang domba pun mulai kelelahan. Ia mengharapkan sesuatu, apapun, bisa menolongnya.


Koridor Museum Semesta membawa Saviit dan Maia kembali ke area korban. "(Lho kok ke sini lagi?!)" serunya terkejut.


"Air...." Maia membuka mata mendengar suara pancuran di tengah deretan serangan Anita. Ada air mancur di ujung koridor, tepat di pertigaan jalan.


"(Kamu mau air?! Oke, oke sabar!)"


Serangan Anita juga jauh lebih akurat. Saviit semakin kesulitan. Pada akhirnya, sang domba membuat kesalahan gerakan. Saat ia menghindari satu tentakel, ia tak melihat adanya tentakel lain di arahnya. Ia hanya dapat melotot. (Aku tidak ingin Maia berakhir di sini....) batin sang domba. Tapi ia tak dapat melakukan apa-apa.


Hembusan angin datang, memotong tentakel berbahaya itu tepat sebelum mengenai Saviit. Masih ada tentakel yang menyusul, tapi kembali muncul angin tajam yang menyayat setiap tentakel sebelum mereka dapat menyerang.


"Kamu melindungi Nona cantik itu ya, Domba? Kerja bagus," seorang pemuda bertudung biru melangkah. Saviit tak percaya, orang itu tadi hanya patung di sini. "Kalian bisa tenang. Aku tidak tahu gimana aku bisa hidup, tapi Nano Reinfield ini akan melindungi kalian."


"Terima... kasih...." ujar Maia lelah. Savit pun mengembikkan terima kasih.


Maia melirik salah satu patung. Ia ingat tadi ada patung pemuda bertudung memeluk gadis. Ternyata si pemuda hilang dari podium, menyisakan gadisnya saja. Si tudung biru ini baru saja pulih kembali menjadi manusia, seperti Grok. Bedanya dia terasa baik.


Anita datang. Saviit buru-buru melanjutkan maju ke air mancur agar Maia bisa minum, membiarkan Nano untuk menanganinya sendirian.


Nano tak keberatan. Ia berdiri gagah dengan dua belati terhunus, siap menjadi pelindung. Baru saat itu si tudung biru melihat jelas sosok monster yang menyerang Maia dan Saviit. Walau bentuknya kini tak manusiawi, model rambut dan bahkan mantel sosok itu sama seperti wanita yang ia kenal.


"Anita?"



Chapter 8



Air pancuran terasa segar dan dingin. Rasanya lebih seperti Aqua botolan dari kotak es ketimbang air keran. Karenanya Maia menengak dengan rakus untuk menggantikan cairan tubuhnya yang telah terpakai.


"(Sepertinya mereka saling kenal,)" Saviit menyampaikan. Sementara majikannya minum, sang domba dengan waspada mengamati lawan. Mendengar itu Maia ikut menoleh.


"Na... no...." bisik Anita.


"Kita berjumpa lagi, Cantik," panggil Nano.


"Aku tidak...."


"Penampilanmu mungkin tidak bisa dikatakan cantik. Tapi kita saling mengenal di Little Italy bukan, Nita? Dan aku tahu kalau hatimu mulia. Kau tidak akan menyakiti orang lain kecuali monster di dalam dirimu keluar menguasaimu," Nano menyampaikan. "Itu yang terjadi sekarang, bukan?"


Anita menjerit, kedua tangan memegangi kepala. Saat ia mengangkat wajahnya lagi, Maia mendapati kalau ekspresi wanita itu kini lebih manusiawi. Seringainya menutup, memperlihatkan bibir normal. Hitam meninggalkan rongga matanya, menampilkan sklera putih dan iris cokelat. Sakit membentuk raut wajahnya.


"Dia... menguasaiku...." rintih Anita. "Aku sudah berjuang sejak kamu menolongku, tapi dia terlalu kuat...."


"Kau bisa melawannya, Nit. Kamu sukses melakukannya di Little Italy, jadi kamu pasti bisa melakukannya lagi sekarang. Aku akan membantumu," Nano mengucapkan dukungan. "Walau kuharap kali ini aku tidak perlu jadi buta dan tuli."


"Aku tidak... bisa...." kepala Anita kembali tertunduk. Tubuhnya menegang.


"(Lanjutkan istirahat, Bocah,)" kata Saviit ke Maia. Maia mematuhi. Tetap saja, gadis itu berharap dialog tak terduga di hadapannya dapat menyelesaikan konflik.


"Kamu lebih kuat dari ini, Nit. Aku tahu itu. Jadi lawan dia! Temukan monster itu di dalam hatimu dan jangan biarkan dia mengendalikanmu!"


Anita meraung, suaranya begitu keras hingga kuping Maia berdenging dibuatnya. Tubuhnya bergetar semakin hebat, membuat Maia bersiaga mengantisipasi serangan. Lalu hening.


Kaki laba-laba Anita lenyap. Kini wanita itu berlutut di lantai, terengah. "Nano?"


"Sudah kubilang, aku tahu kamu bisa." Nano mendekati Anita. "Kamu tidak apa-ap-"


Dari punggung Anita menyeruak enam tentakel berujung runcing, semuanya terarah ke Nano. Pemuda bertudung biru itu buru-buru menggunakan belati gandanya untuk berputar, menebas semua organ Anita yang menyerangnya. Dengan lincah Nano melompat mundur untuk mengantisipasi serangan susulan.


"Hmmm, mungkin aku harus belajar bersabar juga. Kalau aku berpura-pura sedikit lebih lama saja...." saat Anita menunjukkan wajahnya lagi, seringainya sudah kembali. "Kalian berdua sudah mati."


Maia kecewa. Ia kira Nano berhasil menyentuh hati monster itu.


"Tidak...." dari desahan si tudung biru, Maia juga dapat merasakan kepedihan Nano.


"Jangan khawatir, Playboy," kaki laba-laba Anita kembali. "Anitamu masih ada di dalam diriku. Jadi...." perut Anita membuka vertikal, memperlihatkan deretan gigi dan lidah. "Silakan masuk ke sini. Nanti kamu juga bisa bertemu sama dia."


Nano mengayunkan kedua belatinya sekaligus, membuat gerakan kombinasi yang indah seperti tarian. Udara di sekelilingnya mematuhi gerakannya. Tubuh Anita disayat oleh angin kuat yang mendadak berhembus ke arahnya.


"Wow, kamu tidak semenyebalkan ini di Little Italy," komentar Anita.


"Waktu itu aku terluka dan lupa kekuatanku. Sekarang tidak lagi. Kalau memang kamu sudah membunuh Anita, berarti...." Nano membuat dua gerakan lagi, dan dua tebasan besar pun membelah tubuh Anita. "Aku bisa leluasa membunuhmu!"


Belahan Anita menyatu dan membentuk tubuh utuhnya. "Cita-cita yang bagus. Masalahnya, apa kamu bisa?"


Nano menari, menggerakkan angin bersamanya untuk menebas tubuh dan tentakel Anita. Sesekali ia membuat gerakan menusuk, menembakkan udara untuk melubangi monster lawannya.


Karpet terangkat. Lukisan terjatuh. Patung-patung korban bergetar. Kalau melihat efeknya ke sekitar saja, rasanya Nano memang bertarung epik dengan lawan berat. Tapi Maia menyadari sebaliknya: monster yang dihadapi pemuda itu bisa menahan semua serangan yang ia derita.


Lubang kembali menutup. Semua tentakel yang terpotong merayap pulang ke tubuh utama. Anita sama sekali tidak kesakitan, sementara Nano cepat atau lambat akan kelelahan. Satu-satunya yang dilakukan pemuda bertudung biru itu hanya memastikan Maia dan Saviit tetap aman.


"(Si cowok itu boleh juga. Gimana kalau kita tinggal dia di sini saja?)" tanya Saviit. ("Siapa tahu kita menang tanpa perlu bekerja keras.)"


Maia berdiri. Matanya tertuju tepat ke Anita. Ia ingat tadi listrik membuat monster itu menjerit.


"(Hei, jangan mikir macam-macam!)"


Usul Saviit untuk lari itu bodoh. Sekarang, Maia sedang beruntung bisa berjumpa dengan pemuda seperti Nano. Keberadaan Grok menunjukkan kalau tak semua pengunjung museum bisa membantu. Sekarang ia sedang bertemu dengan sekutu yang bisa diandalkan, mana bisa ia meninggalkannya begitu saja. Justru ini kesempatan untuk melawan.


Armor RAVEN kembali membungkus tubuh Maia. Hanya sedikit lagi, ia meyakinkan dirinya saat merasakan beban dari transformasi itu. Gigi-giginya berkeretak, kedua lengannya terangkat ke depan. Kalau memang kemampuan ajaib ini ingin menyerap seluruh staminanya yang tersisa, biarlah.


"Tembakan petir!"


Menyambut teriakan Maia, arus listrik bertegangan tinggi meluncur mengenai Anita, menyetrum monster itu saat ia terlalu sibuk menyerang Nano. Makhluk itu kembali dibuat meraung.


"W-wow, kamu bisa begitu?! Keren!" puji Nano.


Maia tak bisa menanggapi. Ia bertahan, membiarkan petir demi petir menyambar. Perhatian Anita langsung tertuju ke arahnya.


"Saviit, berlindung!" seru Maia. "Pendorong roket, aktif!" Pendorong roket di punggungnya menyala, membantunya untuk mengudara dan menghindari setiap cambukan tentakel.


Serangan Anita terlalu banyak untuk dapat dihindari seluruhnya. Dua tentakel berujung tajam tetap mengenai bahu Maia. Rasa sakit akibat benturan tetap terasa, meski tubuhnya terlindung armor. Meski begitu, ia tak terluka.


Maia membayangkan ada tombol pengaktif arus listrik di kedua sarung lengan. Dapat ia rasakan keinginannya kembali terwujud. Sebelum lebih banyak tentakel mencengkeramnya, Maia terlebih dahulu mencengkeram dua tentakel yang pertama menyakitinya. Tombol tertekan, menyebabkan seluruh bagian armor RAVEN memancarkan medan listrik bertegangan tinggi.


Anita begitu kesakitan hingga ia sampai memutuskan sendiri tentakel yang dipegang Maia. Saat monster itu tengah memikirkan cara lain untuk menyerang si baju bunga-bunga, yang kini mendadak sangat berbahaya, tubuhnya justru terangkat dari lantai.


"HAH?!" seru Anita terkejut. Muncul tornado tepat di tempatnya berdiri. Laju anginnya begitu kuat hingga tubuhnya yang berat bisa terangkat kian tinggi.


"Terima kasih sudah membantu, nona cantik!" teriak Nano keras-keras.


Kerongkongan Maia sudah kering lagi. Lidahnya terlalu kelu untuk menjawab. Matanya mulai berat untuk dipertahankan membuka. Untuk sesaat armor RAVEN bahkan memudar.


"Pendorong roket, aktif!" Maia dapat memunculkan kembali RAVEN dan memaksanya mengudara sebelum ia menyentuh lantai. Tetap saja kelelahannya tak teratasi.  


Maia meminta maaf kepada semua orang atau makhluk baik yang tinggal di semesta Maia. Ia bayangkan seluruh kekuatan yang tersisa di tubuhnya mengalir ke tangan. Dengan satu seruan, ia tembakkan aliran listrik jutaan volt ke tubuh raksasa Anita yang masih tertahan oleh tornado.


Bentuk manusia Anita memudar, digantikan gumpalan hitam penuh mata dan tentakel. Jeritan kesakitannya melengking, membuat Nano dan Maia kesakitan.


"Anita!" Nano masih sempat-sempatnya memanggil. "Kalau kamu masih ada di dalam monster itu, bangkitlah! Kumohon!"


"Nano!" balas Anita lantang dari dalam pusaran, suaranya bahkan mampu menembus deru angin. "Tolong!"


Jangan lengah, jangan lengah, jangan lengah, Maia memohon di dalam hati. Ia tidak mengenal Anita sebelum ini, jadi ia tak yakin monster itu benar-benar memiliki sisi baik. Yang jelas, sejak pertemuan pertama saja Maia tahu makhluk itu tak ragu menggunakan tipuan untuk menyerang.


Walau ragu, Nano juga tetap mempertahankan anginnya. Udara dan petir bersatu, semakin merusak tubuh Anita.


Lalu Anita berteriak. Kali ini bukan hanya dengan satu mulut, tapi memanfaatkan sepuluh yang ia ciptakan. Ia kerahkan semua kekuatan yang ia miliki untuk satu jeritan itu. Tentakel-tentakelnya memanjang, keluar dari pusaran dan bahkan ikut berputar menyerang sekeliling. Beberapa patung hancur karena ulahnya.


Maia tertolak ke belakang hanya karena suara Anita. Darah menetes dari kedua telinganya. Pendengarannya hanya dapat menangkap denging panjang.


Tidak boleh berhenti... ia mencoba bangkit. Tubuhnya terlalu berat untuk diangkat, memaksanya tetap berbaring telentang. Armor RAVEN muncul-hilang dari tubuhnya.


Pusaran angin terhenti. Mata Maia berbayang menyaksikan gumpalan hitam bertentakel kini tak lagi terangkat. Satu tentakelnya mengangkat sosok Nano tinggi-tinggi.


Saat pandangan Maia kembali fokus, gadis itu yakin bibir Nano bergerak-gerak, mencoba mengucapkan sesuatu ke Anita dengan raut damai. Apapun ucapannya, Anita membalas dengan menusukkan satu tentakel untuk menembus kepala Nano dan satu lagi merusak jantungnya.


Selesai menghabisi Nano, Anita menjatuhkan saja jasad pemuda itu seperti seongok sampah. Ia bahkan tak menyantapnya.


Perut Maia serasa ditonjok. Gadis itu tahu perlawanannya sudah berakhir. Kematian sekutu barunya membuat ia tak mampu menahan konsentrasi, hingga armor RAVEN buyar.


Tiga tentakel lagi meluncur ke arah Maia. Maia membayangkan Stalla, tahu kalau wujud armor kaleng itu seharusnya dapat menyerap kekuatan serangan. Yang dapat ia wujudkan hanya proyeksi samar.


"(Awas!)" suara Saviit terdengar di kepala Maia. Domba itu berinisiatif maju ke depan Maia untuk melindungi.


Usahanya sia-sia. Tentakel Anita menembus sekaligus tubuh Saviit, perut Maia, hingga lantai yang gadis itu tiduri.


"(M-maaf....)" gumam Saviit. "(Aku... aku seharusnya... membantu...)"


Setitik air mata Maia mengalir. Seharusnya ia yang minta maaf. Saviit sudah membantunya dari awal. Setelah semua yang mereka lalui bersama, baik sebagai Stalla maupun Maia, ia tak ingin melihat domba itu merenggang nyawa, tertembus mengenaskan oleh sejumlah tentakel.


Mata Maia melotot menatap musuhnya. Anita sempat-sempatnya memunculkan tubuh manusianya di puncak gumpalan, memperlihatkan lagi seringai kejinya.


Tidak adil.


Emosi Maia menggelegak. Tangannya mengepal. Tubuh Anita terlalu sempurna. Sengatan listrik tak bisa membunuhnya seketika, sementara sayatan angin bahkan tak mampu menyakitinya.


"Grhh...." Tentakel mengangkat tubuh Maia dan Saviit dari lantai. Mulut membuka vertikal di gumpalan Anita, siap menyambut makanan baru.


Maia berteriak murka. Ia bayangkan dirinya memiliki wujud Anita; gumpalan tentakel abadi yang tak terkalahkan. Yang menyusun tubuhnya bukanlah darah, daging, dan tulang melainkan gumpalan hitam seperti mainan slime yang bisa berubah wujud menjadi apapun.


Armor baru tercipta. Dua lengan Maia terbungkus warna hitam, yang mengubah bentuk organnya menjadi tentakel panjang berujung tajam. Dengan tentakel itu, Maia menebas Anita, membebaskan dia dan Saviit sekaligus.


"(M-Maia....)"


Wajah Maia membiru seperti mayat, membuat Saviit mengira majikannya semakin di ambang maut. Sebaliknya, armor baru Maia memulihkan staminanya. Gadis itu terus membayangkan kalau dirinya hanya gumpalan slime, bukan manusia. Ia tak akan mengenal sakit dan lelah. Sekedar lubang di tubuhnya bukan masalah, terbukti saat bekas tusukan Anita menutup sendiri.


"Wow," pendengaran Maia juga pulih, membuatnya dapat menangkap reaksi tak percaya Anita.


Hitam turut menyelimuti kaki dan kepala Maia, menyamarkan hidung, mata, dan mulut sampai menyisakan tekstur rata.


Tekeli-li, siul pori-pori Maia saat udara berhembus dari sana. Tentakel tumbuh dari punggung dan kakinya juga. Ukuran badannya membengkak hingga dua meter, lalu berkembang lebih jauh lagi jadi tiga meter.


Selama proses transformasi itu Anita hanya diam. Ia tahu Maia bisa berubah wujud, tapi ia tak menyangka gadis itu sampai bisa beradaptasi menjadi seperti dirinya. Ia tertawa terbahak. Sejak tadi, ia sudah merasa girang bisa dibuat kesulitan. Ini jelas akan sangat menarik.


Dengan sisa imajinasi dan kekuatannya, Maia Maharani baru saja menciptakan armor shoggoth.



Chapter 9


Akal budi Maia tidak turut hilang bersama daging, tulang, dan wajahnya. Tanpa itu, ia tidak bisa fokus mempertahankan armor barunya. Ia masih dapat membayangkan tentakel kanannya menjadi tinju besar, yang ia gunakan untuk menghantam Anita. Tubuh Anita sampai terlontar mundur saking kuatnya serangannya.


"Ha... hahahahahahahaha!" tertawa liar, Anita merayap maju dan memukul balik. Ganti Maia yang terlempar, menghancurkan lebih banyak patung korban. Saat kembali mendarat di lantai, wujudnya buyar menjadi gumpalan hitam.


Tidak ada sakit. Maia juga tinggal membentuk lagi tubuhnya dari awal.


"Gimana, Dik? Ada rasanya?" tanya Anita, seakan ia adalah manusia yang sedang bicara ke saudaranya.


Tentakel mewujud dari perut Maia, menyingkirkan Saviit yang terluka dari jalan. Tentakel tambahan membentuk di bagian bawah Maia, membantunya merayap maju. Lengan kirinya menjerat Anita, menarik paksa monster itu dengan kekuatan besar. Tangan kanannya sekali lagi menjelma menjadi tinju untuk memukul.


Maia melayangkan uppercut, membuat bagian manusia Anita terlempar hingga hancur ke langit-langit. Ia kemudian memukul ke bawah, mengguncang sisa gumpalan Anita. Tangan kirinya ia ubah juga bentuknya untuk membantunya menghajar.


Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Anita. Anita menusukkan tentakel untuk membalas, tapi Maia tak merasakannya.


Satu mata tercipta di kepala Maia, memungkinkannya melihat jasad rusak Nano Reinfield. Ia belum lama mengenalnya, tapi tak seharusnya pemuda itu mati. Ia lalu melihat Saviit, yang masih dapat bernafas meski sangat menderita. Kalau ia  menyelesaikan ini secepatnya, Dewi Mirabelle pasti bisa menolong dombanya.


Tekeli. Maia merobek gumpalan Anita menjadi dua bagian. Ia ayunkan keduanya ke dinding, meninggalkan noda hitam di permukaannya. Mati! Mati! Mati! amuknya marah.


Kalau Maia bisa berpikir lebih jernih, ia pasti akan menyadari kalau Anita tak sekalipun menyuarakan sakit.


Gumpalan Anita yang menempel di langit-langit jatuh tepat ke Maia, menyelimuti bagian atas tubuhnya. Bagian Anita yang dipegang Maia ikut melumer dan meresapi armor shoggoth.


"(Begini, Dik)" suara Anita terdengar seperti telepati bagi Maia. "(Kalau sesama shoggoth bertarung fisik sih tak akan ada yang menang. Kita tak dibuat para Makhluk Tetua untuk adu jotos.)"


Maia melolong, mencoba meronta melepaskan diri. Ia terlambat. Kini tubuhnya sudah benar-benar berada di dalam Anita.


"(Kalau memang shoggoth harus bertarung dengan sesama, kita akan saling melebur... dan mencoba memakan jiwa musuh duluan!)"


Maia tidak benar-benar paham bagaimana cara kerja shoggoth, jadi ia bahkan tak bisa membayangkan apa yang harus ia lakukan untuk memakan jiwa. Itu bukan berarti ia tidak bisa melawan.


Di dalam tubuh Anita, Maia memodifikasi wujudnya. Di benaknya, kini ia mengenakan armor RAVEN bertentakel shoggoth. Ia masih dapat mengubah tentakelnya menjadi sarung tangan RAVEN. Ia ingat lagi bagaimana cara kerja armor itu, hingga ia bisa menyengat Anita dari dalam.


Jeritan Anita meretakkan dinding dan menghancurkan kaca. Asap berhembus keluar dari tubuhnya. Percikan api mulai berkobar dari dalam, menghalangi sel-selnya untuk mengobati luka secara instan.


"Bagus sekali, Dik! Bagus sekali!" tetap saja ia memuji, walau dalam setiap kata  terasa ia menahan pedih. "Tapi kamu sudah di dalamku sekarang. Kalau kamu nekat, kamu juga bisa mati!"


Maia tidak peduli. Ia melanjutkan menyetrum dan menyetrum, walau tentakel Anita mulai dapat menjangkau jiwanya.


Api membakar Maia dan Anita sekaligus, hingga karpet di bawah mereka juga tersulut. Tubuh Anita semakin kacau. Mati-matian monster itu mengayunkan tentakel, mencoba memadamkan dirinya sendiri. Ia sampai membesarkan tubuh hanya untuk melindungi diri.


Maia terus menyetrum. Tak masalah, kini ia tak lagi lelah. Kalau ia bisa bertahan, minimal ia akan menyeret monster terkutuk ini tersingkir bersamanya.


Panas semakin hebat. Maia memejamkan pengelihatan, membayangkan Bapak menyambutnya pulang sambil tersenyum. Adrian Vasilis ada di sana, menepuk-nepuk pundaknya dan mengatakan kalau semestanya sudah pulih. Ian masih kesal karena kalah, tapi kini ia tak lagi menaruh dendam.


Sel-sel tubuh Maia turut membara. Ia tetap bisa merasakan sejuk membayangkan Nano Reinfield. Pemuda bertudung biru itu memperkenalkan diri sebagai siswa dari sebuah SMA. Dia dari keluarga kaya dan bertanya apa Maia ingin bersahabat dengannya. Sifatnya agak norak dan Maia tak suka rayuannya, tapi sepertinya Maia bisa bersahabat dengannya.


Lalu....


Lalu tenang. Maia tak dapat lagi merasakan sengatan listrik dan api. Ia juga tak dapat melihat dan mendengar apa-apa.


Kemudian, ia berada di pusat semesta, menyaksikan sekumpulan daemon mengorbit makhluk raksasa. Anita ada di sana, demikian juga dengan Grok dan sejumlah makhluk mitologi seperti centaur. Mereka semua melambai ke arahnya sambil tersenyum tipis. Satu gerakan sama, satu ekspresi sama.


"Nah, Dik. Aku tidak tahu gimana kita bisa bebas nanti. Tapi yang di hadapanmu ini, kecuali aku salah, adalah wujud asli dari Kehendak. Antara itu, atau zat yang mendukung keberadaan Kehendak."


Maia ketakutan. Ia tak lagi dapat merasakan tubuhnya. Ia mencoba memanggil armor Stalla, RAVEN, atau bahkan bentuk tentakel. Tidak ada yang berhasil. Ia hanya satu jiwa, melayang di kehampaan.


Seribu layar televisi menyala bersamaan, menerangi kegelapan. Semua layar menampilkan seringai Anita.


"Tadi itu benar-benar tipis, Dik. Tipis sekali. Hampir saja kita mati berdua," Anita terkekeh. "Tapi jangan khawatir, kita akan bebas dari Kehendak... sebagai satu kesatuan. Selamat datang di kesadaran kolektif, Maia Maharani."


Jiwa Maia hanya dapat menjerit, ditarik ke kegelapan oleh sebuah kekuatan besar.



Epilog



Selama satu jam lebih, Anita hanya bisa diam di posisinya. Tubuhnya tak lagi lembek seperti slime. Api dari sengatan listrik Maia membuatnya mengeras dengan tekstur bagai arang. Kalau saja ada lawan lain menampakkan diri saat kondisi tubuhnya seperti itu, beberapa serangan lemah saja cukup untuk membuatnya menjadi tumpukan abu.


Tak ada yang memanfaatkan kesempatan itu, jadi Anita dapat pulih seperti sedia kala. Tubunya mengecil, kembali membentuk sosok wanita berambut pendek dengan kaki tentakel.


Pelajaran yang ia petik dari pertarungan tadi? Tak sebaiknya dia bermain-main dengan lawannya lagi dalam ronde berikutnya. Hanya tinggal sedikit saja pemimpi yang tersisa untuk bertarung. Segelintir itu, bahkan Maia Maharani yang penampilannya tak mengancam, adalah pemusnah semesta. Mereka pasti memiliki kekuatan dan tekad besar, kalau tidak mereka tak akan sampai sejauh ini.


Anita cekikikan. Membayangkan ia harus berjuang habis-habisan seperti ini hingga akhir membuatnya merasakan kenikmatan tersendiri. Ia kagum bahkan kreasi Makhluk Tetua seperti dirinya saja harus habis-habisan hanya untuk menyingkirkan sekumpulan musuh manusia.


Ia juga semakin yakin kalau ia mengambil alih tubuh ini tepat waktu. Setelah mengakses seluruh ingatan Maia, ia tahu kalau lawannya tadi adalah gadis baik-baik yang terjebak dalam situasi rumit. Sama saja dengan Song Sang Sing. Seperti Song Sang Sing juga, Anita asli tak akan mau melawan Maia.


Anita asli akan mengalah, menyia-nyiakan kekuatannya dan membiarkan saja semestanya musnah hanya demi membiarkan Song Sang Sing atau Maia Maharani lanjut. Ia bahkan tidak akan memikirkan kemungkinan kalau orang seperti Song atau Maia bisa saja dikalahkan oleh musuh yang lebih kuat di ronde berikutnya.


Bagaimana kesadaran kolektif bisa mengetahui itu? Karena Anita asli sudah hampir sepenuhnya menjadi bagian dari mereka. Hanya tinggal sisa sedikit bagian saja yang mandiri, dan potongan itu tak akan dapat bangkit lagi. Terutama setelah Jurgen Wagner dipastikan tak akan bisa mengacau.


Jadi diam saja kamu di sana, diriku. Situasi sudah terkendali, ujar Anita sebagai pusat kendali ke bagian kecil kesadaran kolektifnya.


Timbul lingkaran berwarna ungu di udara. Ratu Huban menapak keluar dari sana. Kepalanya tertunduk. Tak ada lagi keceriaan dari gerak-geriknya.


"Ada apa, Ratu Huban? Tak suka melihat saya menang?" tanya Anita tertarik.


Ratu Huban hanya mengangkat tangan, mengembalikan Anita ke Bingkai Mimpi. Mengira ia tepat, Anita hanya terbahak.


Padahal dugaan itu sama sekali tidak benar.



***



Ratu Huban berdiri di koridor galeri korban. Ia saksikan karpet yang tadinya terbakar kembali seperti semula. Dinding dan lantai yang bolong tersusun ulang  hingga pulih. Jasad Nano Reinfield sirna diiringi dengan kembalinya patung pemuda bertudung biru itu di satu podium, memeluk bentuk granit Natera.


Semua dekorasi yang tadinya rubuh atau hancur karena tornado maupun amukan Anita juga kembali utuh. Mengingat masing-masing patung atau lukisan berisi satu semesta, seharusnya Huban senang. Kepala bantalnya yang terus tertunduk berkata lain.


"Kamu ingin menghancurkan tempat terkutuk ini...." ada suara terdengar.


"Oneiros," gumam Huban melihat siapa yang datang.


Si tengkorak berkepala mata menampakkan diri lagi, setelah sebelumnya Mirabelle membuat sosok kekanakan itu lenyap bersama domba-dombanya. Para domba hitam juga tetap setia di belakang sang gembala.


"Kok kamu bisa di sini?" Huban menempelkan telunjuknya ke bagian bawah kepala.

"Gara-gara si dewi bertombak itu. Tahu-tahu saja aku muncul di sini. Untungnya gara-gara itu, aku jadi bisa tahu banyak hal. Termasuk rencanamu."


"Rencana? Aku tidak punya rencana," Huban mengangkat tangan, pura-pura tidak tahu.


"Saat si tombak dan kacamata pergi, kamu sengaja membawa para peserta ke sini. Kamu tahu Kehendak jahat itu sedang hilang. Kamu berharap para pemimpi, dengan kekuatan mereka yang besar, akan minimal membuat kehancuran besar di satu-dua areanya."


"Aku mau tempat ini hancur!" Huban menginjakkan kaki, membuat permen-permen pedas keluar dari bawah tanah. "Tempat ini sudah merusak alam mimpi kita! Juga alam mimpi dari begitu banyak dunia!"


"Maaf aku baru tahu kamu berpikiran sama denganku." Oneiros mengangkat bahu tengkoraknya. "Si tombak dan kacamata sudah balik?"


"Belum. Tapi kekuatan Kehendak sudah kembali terasa," sahut Huban, merasa lemas. "Ada perubahan dari tenaganya. Aku tidak suka."


"Si tombak dan kacamata jelas merencanakan sesuatu. Jadi, gimana kalau kita juga membuat rencana sendiri?"


"Kita berdua bukan tipe yang bisa membuat rencana bagus. Karena itu aku ngikut Zainurma dan Mirabelle." Bahkan Huban sendiri tahu kalau pemikirannya yang kadang terlalu acak, dan sifat Oneiros yang sering kekanakan, tak bisa berbuat banyak di depan Kehendak.


"Memang. Tapi tidak seperti si tombak atau kacamata, kita adalah penduduk asli alam ini. Jadi mungkin kalau kita saling membantu, kita bisa memikirkan sesuatu."


Kepala bantal Huban terangkat. Ia mencoba memaksa kepalanya untuk berpikir serius, mencerna dengan seksama tawaran Oneiros itu. Ia tetap tidak yakin dirinya dan sang mata satu bisa berbuat banyak.


Tapi sang kepala bantal menyadari juga kalau Mirabelle dan Zainurma sedang memikirkan sesuatu tanpa menyertakannya. Kalau rencana mereka ternyata merugikan Alam Mimpi, maka makhluk seperti dirinya dan Oneiros bisa celaka.


"Kalau begitu mari kita main bersama lagi, Mata. Kita kembalikan Alam Mimpi seperti sedia kala."


Oneiros mengangguk. "Tentu saja."



***



"Apa gunanya memberi dia kebebasan berpikir?" jiwa Anita asli mendengar kata-kata. Yang mengucapkannya adalah seorang wanita, umur kira-kira 40an. Ia rasa itu adalah Martha Vale, pemimpin Asosiasi Penyihir. "Kamu bisa memperbudak shoggoth itu sudah bagus. Sekarang, jadikan saja dia tanpa pikiran seperti golem. Itu akan lebih aman."


Yang menjawab adalah suara Jurgen Wagner. "Dia bukan budakku. Dia muridku."


"Hah? Dalam laporan awalmu, kamu sendiri yang menulis kamu sudah memperbudak satu shoggoth."


"Salah tulis. Dia muridku, dan dia bisa mengerjakan aljabar. Aku tidak akan membuat makhluk apapun yang bisa aljabar menjadi budak tanpa kehendak."


"Lihat? Kamu mulai terpikat oleh dia. Monster itu bukan-"


"Dia juga bukan monster. Dia muridku. Kalau kamu ingin membuatku marah, Martha, sebaiknya kamu cepat angkat kaki."


Anita merasa tersentuh. Ia... ia tidak tahu kalau gurunya pernah membelanya seperti itu.


Lebih banyak lagi kenangan mengunjunginya. Saat dia duduk-duduk di taman bersama sang guru setelah menyelesaikan suatu kasus, saat dia susah payah belajar untuk menjadi manusia. Semua ia saksikan kembali dari mata Wagner.


"Dia adalah monster," kali ini suara Wagner bicara ke dirinya sendiri. "Sejak awal dia itu monster yang kuperbudak untuk menjadi kaki tangan Asosiasi Penyihir. Dia...."


Wagner tertawa pelan. "Rupanya...." tangan Wagner membelai Anita yang sedang tidur. Itu artinya yang ia belai bukanlah sosok wanita cantik, melainkan gumpalan hitam. "Hatiku bisa melunak juga."


Gurunya selalu peduli kepadanya. Mengingat sang guru bahkan jarang memanggilnya dengan namanya, ia bahkan tak menyangka Wagner begitu.


"Kalau aku bicara langsung juga kamu tidak akan percaya, murid bodoh. Karena itu, mungkin terserap jadi bagian makhluk terkutuk ini ada bagusnya," komentar jiwa Jurgen. "Maaf. Aku dan Hariadi memang sudah berbohong kepadamu. Tapi kalau soal menyayangimu sih, kami selalu sayang ke kamu. Dengan cara kami sendiri, tentunya."


Tapi keraguannya membuat Wagner terbunuh. Anita justru merasa semakin pedih. Ia ingin menjerit dan menangis.


"Hei. Hei, Nita. Dengar. Ini belum selesai."


"Ini... ini sudah selesai," Anita menjawab. "Aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi." Sejak tadi ia merasakan semakin banyak jiwa memasuki kesadaran kolektif.


"Jadi kamu hanya akan berdiam di sini, melebur, membiarkan Prima-1 mengambil alih nama dan penampilanmu?"


"Kalau aku bisa melawan sih aku sudah melakukannya!"


"Tentu kamu bisa. Kamu adalah pengendali tubuh ini sejak tahun 2001. Kalau kamu mau, kamu selalu bisa keluar. Yang menghentikanmu adalah rasa takut."


"Takut?"


"Aku adalah bagian dari kamu sekarang, Nit. Aku bisa melihatnya dengan sangat jelas sekarang. Aturan-aturan yang kamu tetapkan? Itu kamu ciptakan karena kamu tak bisa lagi beremosi dengan normal. Kamu takut kalau kamu melanggar aturan sedikit saja, sisi monstermu akan bangkit."


"Dan itu benar. Dia sudah menguasaiku sekarang!"


"Karena sesuatu yang di luar kendalimu. Begini... kita tidak bisa lari lagi dari kenyataan. Kamu adalah monster."


Kata-kata Wagner malah membuat muridnya semakin murung.


"Tapi jiwamu tetap jiwa Anita Mardiani. Jiwa perkasa yang bahkan masih bisa bertahan dari peleburan hingga sekarang. Langkah pertama yang harus kamu lakukan adalah menerima fakta itu. Selama ini kamu terlalu takut untuk menerimanya. Karenanya pertanyaan dari proyeksi bapakmu yang brengsek itu bisa tetap mempengaruhimu hingga sekarang!"


Kini suara Sharif juga terdengar. Anita bahkan dapat melihat proyeksi sang ayah  angkat mewujud. "...apa kamu manusia yang terperangkap di tubuh monster? Atau monster yang berpura-pura jadi manusia?"


Jawabannya ternyata adalah: dirinya jiwa manusia yang terperangkap di dalam tubuh monster. Ketidaktahuannya akan hal itu membuatnya menghabiskan bertahun-tahun mencoba berpura-pura dirinya adalah manusia.


Jiwa Anita kembali ingin menangis, walau jelas tak akan ada air mata menitik. Ia menikmati kekuatannya, tapi ia selalu ingin berpura-pura kalau dirinya masih  sama seperti sebelum kejadian di Gunung Salak. Hanya gadis normal yang ingin  hidup normal.


Ia bukan gadis normal. Satu-satunya bagian dari dirinya yang tersisa hanyalah jiwanya.


Ya. Walau tidak ingat kejadian asli di Gunung Salak, Anita selalu dapat menduga  sendiri apa sebetulnya yang terjadi kepada dirinya. Ia bisa menerka kira-kira tubuh ini apa. Rasa takut membuatnya lari dari jawaban yang begitu jelas, memicu semua tragedi ini.


Namaku Anita Mardiani. Saat ini, aku adalah monster.


Jiwa Anita membayangkan tangan imajiner, mencengkeram wajah Sharif.


"Ya, anak terkutuk! Benar! Kamu itu monster!"


Rasa takut juga menghalanginya untuk memanfaatkan kesadaran kolektif. Ia segel mereka semua, lebih memilih mengandalkan sisa ingatan dan kecerdasannya saja. Sudah menerima siapa dirinya lagi, ketakutan tak lagi berguna.


Sebagai bagian dari kesadaran kolektif, ia membuka jiwanya. Ia izinkan mereka membagi seluruh kepingan informasi ke dirinya juga, sambil tetap menutupi percakapannya dengan Wagner tadi.


Ia dapat memahami diri Prima-1 sekarang. Makhluk itu tidak sepenuhnya monster mengerikan seperti dulu. Walau Prima-1 sendiri tidak menyadarinya, terlalu lama di bawah kendali Anita membuatnya merasakan emosi dan bahkan sedikit nurani. Pada dasarnya, Prima-1 bahkan bertarung hanya agar semestanya sendiri tidak musnah.


Aku membuat aturan karena aku takut. Sudah terlambat untuk itu. Ia mengingat lagi kematian Maia, Nano, Song, dan Wagner.


Ia terima keputusan Prima-1. Dalam pertempuran gila ini, mungkin tak seharusnya ia pernah merasa ragu. Ia tidak bisa membiarkan semestanya musnah hanya karena ia kasihan. Terutama setelah ia kini mengingat siapa kira-kira kekuatan di balik Kehendak.


Tetap saja, Anita tak suka melihat kehancuran tidak perlu yang dilakukan oleh Prima-1. Aturan standarnya mungkin tidak tepat di turnamen, tapi itu bukan berarti ia bebas untuk menghancurkan. Ia juga tetap tidak bisa menerima tekad  Prima-1 untuk menjadi dewa, membiarkan saja dimensi-dimensi lain hancur.


Namaku Anita Mardiani. Aku adalah monster.


Gadis itu membayangkan ia meremukkan kepala Sharif perlahan-lahan. Proyeksi ayah angkatnya itu panik.


Monster yang akan melindungi semestaku dari ancaman. Proyeksi Sharif hancur sepenuhnya. Monster yang akan menggunakan tubuh ini untuk kebaikan. Kali ini, takut tak akan lagi membuatku ragu.


Ia tidak bisa mengubah kenyataan kalau tentakelnya telah mencabut nyawa dari  orang-orang baik. Sama saja seperti ia tak bisa memutar balik waktu untuk membebaskan setiap korban yang kini menjadi bagian dari kesadaran kolektif.


"Aku tidak marah dan mendendam. Kamu hanya melakukan yang perlu kamu lakukan," suara Song Sang Sing menyampaikan. "Tapi tetap saja, melihatmu sampai ke keputusan ini benar-benar mengagumkan."


Itu bukan berarti ia tidak bisa menggunakan kekuatan ini dengan lebih bijak. Ia minta maaf pada semua yang akan ia sakiti, tapi ia juga bersumpah akan tetap pada tekadnya semula. Bila benar Zainurma dan Mirabelle bisa memanfaatkan jiwa-jiwa semesta untuk mengabulkan permintaan, maka akan ia pulihkan segala kehancuran akibat turnamen ini.


"Itu baru muridku," komentar Wagner.


Prima-1 tidak menyadarinya. Tapi Anita mulai menghubungi satu persatu bagian dari kesadaran kolektif, mulai dari Song, Wagner, hingga Maia yang baru bergabung. Ia hendak mengajak mereka untuk memberi kejutan luar biasa kepada makhluk yang tengah mengendalikan tubuh ini.



End of Volume 4


5 komentar:

  1. keren! penyajian alur cerita yang memukau membuat perasaan pembaca serasa diaduk seperti menaiki roller coaster. bahkan hampir membuatku meneteskan air mata (Hei! siapa yang menaruh bawang disini? :v )

    pacenya lumayan lambat namun bisa dinikmati. untuk typo ya masih ada lah walau dikit. pertemuan kedua kontestan pun cukup epic dimana Ani- maksudku Prima-1 yang terbebas beraksi dengan ganasnya. dan juga jalan ceritanya yang bermain kejar-kejaran seperti ada di film-film horror.

    OC yang "dibangkitkan" di entry ini lebih sedikit dari entry sebelah yaitu Groc dan Nano Reinfield, selebihnya merupakan karakter pendukung. namun semuanya diberi porsi dalam cerita sehingga tidak terkesan kaku.

    seperti biasa, drama yang tersuguhkan di entry ini mengena dimana hubungan sebenarnya Anita dengan gurunya.

    Nano : Kau tega, Anita! Kau tega membunuhku!
    (Balik sana jadi patung lagi! keluar bentar malah mati!)

    ya segitu saja komentarnya. untuk vote nunggu di lain hari aja >.o)

    Dwi Hendra
    OC : Nano Reinfield

    BalasHapus
  2. Anita
    Yang pertama ... seperti biasa, entri Anita menghadirkan drama horor yang enak diikuti. Saya suka deskripsinya yang mudah dibayangkan, ringkas, dan gak terbelit-belit. Nuansanya jadi dapet berkat cara penyajiaannya. Terus, battle-nya keren. Kekuatan baik Anita maupun lawannya dijelaskan dgn baik gak serba dadakan (kek saya). Maia aja sempat mengalami proses penemuan kekuatan sejatinya. Ending-nya pun menimbulkan beragam tanda tanya (?)
    Tapi soal karakterisasi, saya jujur aja kurang suka sih. Kadang-kadang terasa ada sesuatu yang dipaksakan. Guru Anita matinya kurang dramatis T_T Terus, saya masih kurang ngeh apa fungsinya monster-monster rendahan yang muncul sebelum hidangan utama. Kalau Grok, mungkin emang buat testi kekuatan Maia ya. Tapi macam yg patung jadi hidup itu ... saya belum nemu fungsinya selain buat menghambat Anita. Entahlah apa saya melewatkan informasi atau begimana. Oh ya, Grok sempet salah penulisan nama.
    Akhir kata, saya suka dengan entri ini dan mengantisipasi kanonnya (y) Saya berharap ke depan Anita akan memunculkan semacam ... latar belakang kehidupannya yang lebih detail. Soalnya saya kepo, hehe.

    - Sheraga Asher

    BalasHapus
  3. susah ngasih saran utk tulisan ini. perjuangan dan flow penceritaannya udah luar biasa. karakter Prima-1 sangat memikat, sehingga Anita nyaris tenggelam di bawah bayang2 kekerenan Prima-1. paling ada dua poin masukan aja.

    1. Poin minor, aku agak kurang sreg karena Maia ngeduplikasi wujud tentakelnya Anita sebagai senjata pamungkas, karena kesannya mesti niru2 kemampuan musuhnya. Padahal kalau dibikin Maia ngerubah struktur badannya jadi logia petir sesuai kemampuan RAVEN, itu bakal jadi lebih kerasa "jurus pamungkas milik Maia sendiri".

    2. Poin mayor, yaitu tentang plot ke depannya. Sampe saat ini udah ada revealin dan twist2 gede yg dimunculin di antaranya identitas Anita (jawaban dari pertanyaan Syarif), dan pergantian peran dengan kolektif. mudah2an Mas Fachrul masih punya twist besar di depan tentang perjuangan internal Anita, wujud sebenarnya dari
    Kehendak (apakah mimpinya Azatoth atau bukan), terus Anita bakal pake power dari siapa buat ngalahin Prima-1, dan apakah Anita bakal milih kebaikan mainstream berupa pemulihan seluruh semesta atau Anita bakal nemuin resolusi baru atau nambahin elemen kejutan pada resolusinya itu.

    BalasHapus
  4. halo King, FYI udah dua kali aku mau komen tapi selalu batal arena lost connection... padahal baca entry ini sudah lama sebenarnya...

    semua review sudah disebutkan di komentar sebelumnya. Saya nggak bakalan mengulang, kecuali memberikan impresi saat membaca entry ini.

    tadinya saya pikir alurnya akan mainstream, karena karakter Anita - Prima 1 sudah seperti godlike dibandng Maia, ternyata Maia juga bisa memberikan aksi perlawanan yang seru juga, sebenarnya bisa lebih sru sih kalau arournya dimaksimalkan.. dan, keberadaan Grok di sini hanya sekedar selingan agar Maia bisa membangkitkan armournya.

    buat saya, bagian epic disii adalah bagian epilog (yang justru kelam dan kalem), dimana Anita akhirnya menyadari penyangkalannya terhadap kenyataan, dan justru ituah yang membuat Prima-1 bebas (?)... which is, kelanjutan canonnya ke depan amat menggiurkan untuk disimak. Probably next round will be a pertarungan canon juga antara grup Anita-Nora-Namol-Shade.

    gemes ingin segera nulis Anita versi Shade, hehehehe



    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.