Rabu, 16 November 2016

[ROUND 3] 04 - MAIA MAHARANI | [G]URITA

oleh : J. Fudo

--


"Ah, seandainya kemarin aku mencoba."


Di suatu semesta, kamu adalah seseorang yang pernah menyesal karena tidak berbuat sesuatu. Pernahkah kamu bayangkan jika sesuatu itu kamu laksanakan? Pernahkah engkau memikirkan bagaimana jadinya bila dirimu melakukan hal yang sama sekali berbeda?


Di realita lain, ada versi dirimu yang tidak ragu hingga mencapai keberhasilan. Sementara di bumi satunya, bisa saja engkau akan menemukan dirimu yang gagal bahkan setelah berusaha keras. Boleh jadi juga terdapat semesta yang mana tidak ada dirimu sama sekali di sana.


Satu tindakan, berlaksa peluang. Itulah multimesta, ruang adiraksasa penampung segala kemungkinan. Itulah multimesta, penopang segenap jagat alam.


Namun ada satu persamaan yang menghubungkan semua semesta dalam benang merah tanpa putus, tak peduli seperti apapun dunianya. Satu-satunya keberadaan yang tiada lesap. Jelmaan perantara buana dengan rupa senantiasa sama.


Dia adalah mereka, disebut dengan satu jenama.


Singularis.



Satu: Tidur-Kunjungan-Lagu


"Ayo, kemarilah!"

"Tunggu aku! Aku juga ingin melihatnya, melihat para pemuja yang berperang dengan mengelukan nama kita!"

"Haha, lihat mereka! Berkat anugerahmu, mereka unggul!"

"Apa kalian tak ada tontonan lain?"

"Aku Dewi Kemenangan dan Mirabelle adalah Dewi Perang, Eirene. Tak ada yang lebih menyenangkan dari melihat pemuja kami berjuang dalam pertempuran!"

"Maklumilah, Eufema. Eirene memang benci perseteruan, bukan?"

...

Membuka pejam, kilas balik terpendam.

Tangan Mirabelle belum terlepas dari patung emas sang dewi di hadapnya. Lembut, dibelai perlahan pipi saudarinya yang kini dingin. Mata menelusuri rupa, menenggelamkan wujudnya dalam pandang. Meski rona mukanya senantiasa tegas, gurat-gurat kesepian tak kuasa ia tahan.

Lalu beralih ia, mengusap lainnya. Satu, dua, tiga. Semua dewa-dewi yang membatu itu berjajar gagah di sekeliling istana, menghias bingkai Mirabelle yang serupa kayangan. Kala rindu tak mampu dibendung, ritual ini diperbuatnya. Demi meluapkan rasa yang membuncah, ditatap dan dielusnya seluruh patung saudara-saudarinya tanpa luput.

Kecuali satu.

"Eirene ...," keluh Mirabelle sesudah berkeliling, "seandainya engkau selamat dari cengkeraman Kehendak saat itu, mungkin patungmu pun akan berada di sini. Seandainya–,"

Kesah Mirabelle terhenti tiba-tiba.

Rasa terhimpit yang luar biasa segera menyergap, menekannya jatuh. Satu lutut membentur tanah, Mirabelle tetap mencoba bertopang pada tombaknya.

Hawa beralih rupa. Liang napas seakan menyempit, memaksa mulut turut mencari udara. Langit yang tadinya biru berlarik-larik jingga, memerah darah. Bahkan mentari menghitam, menjatuhkan kelam.

Lalu lenyap.

Mirabelle sontak menghirup kuat-kuat begitu rasa kembali lapang. Langit seketika cerah, seakan tiada terjadi suatu apapun. Himpitan tadi sirna, menjadikan segalanya ke semula ... selain sosok seorang anggun berjubah putih yang berdiri menggantikan salah satu arca emas.

"M-Mirabelle ...?"


===


"B-bagaimana ...?"

Takjub menjemput kala Maia menjumpai sesosok pria yang tak asing di hadapnya. Berbatik kumal dan bersarung lusuh, berambut hitam berhias uban. Senyumnya saat menatap Maia sungguh lembut, mendorong sang gadis untuk berlari merengkuh peluk. Aroma khas pria tua yang dikenalinya itu membuatnya tak kuasa menahan sedu.

"B-bagaimana bisa, Ayah ...."

"A-ada apa, 'Nak?" kaget sang pria, tak sangka Maia akan menangis. "Bagaimana apanya?"

"B-bukankah Gleastran telah membunuh ... Ayah?"

Ayah tercenung sesaat, lalu tertawa renyah. Maia bengong.

"Gleastran? Kamu mimpi barangkali? Gleastran 'kan tokoh raja dari buku yang dulu sering Ayah bacakan," tanggap sang Ayah. "Kamu ingat, buku yang judulnya [Gleastran dan Lampu Ajaib]?"

"(Sebenarnya, di sini pun masih dunia mimpi,)" Saviit melangkah masuk ke dalam gubuk, mendekati Maia. "(Zainurma tadi bilang, belenggu Kehendak melemah. Mungkin karena itu bingkai mimpi ini tak lagi terkekang oleh aturan-aturannya dan makin menyerupai dunia asalmu.)"

Maia ingat waktu Zainurma menjemputnya setelah kekacauan melanda bingkai miliknya dan si pria asap. Tanpa basa-basi ia menantang sang Kurator, tak pedulikan para domba hitam yang baru dihempasnya.

"Ini karena ulahmu!"

"(Stal– Maia, itu percuma! Petugas museum tak akan bisa disentuh oleh manusia biasa sepertimu. Lebih baik kau–)"

"Kilat, Adrian, bahkan Ayah pun... !"

"Hei, ayolah ... aku juga korban. Sama sepertimu."

Saat itu Maia tahu sang Kurator hanya akan menjadi bulir cahaya jika diserang. Pun begitu Maia terus menerjang Zainurma sampai keganjilan terjadi. Zainurma mendadak sesak, pula Maia. Suasana mengelam, rumput dan dedaunan tiba-tiba layu dengan cepat. Kabut kelabu mengumpul, mengaburkan pandang.

Namun sekilas, lalu segalanya lesap.

Nuansa suram itu hilang, beralih menjadi kelapangan tiada batas. Perasaan lega menyelimuti, bahkan lebih dari sebelumnya. Seakan habis lepas dari kekangan, ketenteraman melanda bingkai Maia.

"Perasaan ini ... Sang Kehendak tertidur? Di tengah berlangsungnya turnamen?! Otak keparat! Huban, ayo kita kembali."

Huban memiringkan kepala saat mendengar umpatan Zainurma. Si kepala bantal lalu mengetuk payungnya ke arah depan, memunculkan pusaran berkilau perak. Tampak terburu, Zainurma langsung melangkah.

Mereka lenyap, meninggalkan Maia dan Saviit. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk kembali ke gubuk, mendapati sang Ayah pun turut terlepas dari lagam Kehendak.

"Jadi karena itu ... ayah kembali? Tapi bukankah Ayah di dunia nyata juga telah ....".

"Kamu bicara dengan siapa, 'Nak?" tanya Ayah, menyadari Maia menyahuti embikan Saviit. "Kambing siapa itu?"

"I-ini dombaku, Ayah, bukan kambing," jawab Maia. "Namanya Saviit."

"(Mengingat para kayal terwujud dari kenangan, sepertinya beliau pun adalah jelmaan memorimu,)" lanjut Saviit tanpa pedulikan sang Ayah. "(Jadi tidak mengherankan jika ia muncul di sini, di dunia berlandas ingatanmu yang baru saja kembali.)"

"Lalu kenapa kamu seperti mengobrol dengannya, Maia?" heran Ayah.

"Ah? I-itu ... aku nggak ... AHHH!!"

Sesuatu bergerak di pijakan, seperti lembek tapi tak basah. Lalu timbul gelombang, mulanya jinak kemudian menggila. Getaran itu bergerak memutar di satu titik, menimbulkan pusaran yang luar biasa kencang sampai mampu menghisap siapapun yang berada di atasnya ...

... yaitu Maia.

"Ayaahhhh!!"


===


Berserakan.

Laksaan patung manusia yang tadinya menopang arca otak agung perwujudan Sang Kehendak, kini telah remuk. Otak itu berdenyut-denyut, kian membesar seiring detik. Rantai yang biasanya mengikat kini terlepas, meliuk-liuk memenuhi aula seakan siap memecut segala yang menghampiri.

Di sisi aula raga sang Dewi Perang tengah didukung oleh Zainurma. Dibaringkannya Mirabelle di lengan, membiarkannya berucap sedikit kata.

"Padahal kukira Kehendak melemah, mengingat dewa-dewi di bingkaiku telah terbebas dari kungkungan," keluhnya lirih sebelum akhirnya pingsan. Rantai-rantai itu lalu mengumpul, mewujud sejenis kubah yang melingkupi Sang Kehendak.

"Jadi kau memang bukan tidur, tapi sedang dalam proses kebangkitan," ujar Zainurma. "Namun ini kesempatan. Ahahaha!"

Berabad-abad dirinya dikekang, baru kali pertama ia menemui Kehendak mengalami fase semacam ini. Sayangnya, hal ini bukan berarti ia berada dalam titik terlemahnya.

"Untung Mirabelle menyerangmu duluan, jadi aku tak perlu mengotori tanganku untuk memastikan," lanjut Zainurma. "Aku harus memanfaatkan jeda ini. Kuserahkan saja kelanjutan turnamen ini pada Huban."

Tanpa suara, Zainurma meninggalkan aula. Dibiarkannya arca Kehendak yang masih terasa detaknya.

"Humm ... humm ...." tanpa sepengetahuan Zainurma dan Mirabelle, sedari tadi seorang gadis kecil memerhatikan tingkah mereka dari balik salah satu pondasi aula. Ia bersenandung ringan, seakan senang melihat peristiwa barusan.

"Hihi~ alangkah bodohnya, Paman Nurma," ujarnya. "Disangkanya dia bisa menaklukkan Kehendak? Mimpi, hihi~ mimpi di dunia mimpi, hihihi~"

Ia lalu memperhatikan kubah Sang Kehendak. Senandung berganti tawa kecil, tak bisa menahan rasa gelinya.

"Ah, buat mereka saling bertarung di sini saja!" serunya pada diri sendiri.

"Mumpung dua suruhan bodoh itu lagi tidak di sini, mana tahu daya inspirasi yang didapat bakal melimpah!"


===


"Yeay, selamat sudah lolos ke babak ini ~!"

Maia terkesiap. Begitu sadar ia sudah hadir di antara sekumpulan makhluk-makhluk berpelampung donat, mengapung di atas lautan putih susu sejauh pandang. Aromanya manis, serupa bau-bauan yang biasa ditemukan di toko roti ternama. Huban di sana, menari-nari di atas kapal serupa kue panekuk.

"Terima kasih karena sudah merawat domba-dombaku dengan penuh impian," lanjut Huban, "kurasa mereka semua sudah bisa berevolusi sekarang~"

Para pemimpi malah ricuh sendiri, tak mengindahkan sapaan Ratu Huban. Mereka semua terlalu bingung untuk bereaksi, tak terkecuali Maia.

Masa bodoh dengan respons pemimpi, Huban mencelupkan sedikit tongkatnya ke permukaan. Sambil menggumamkan irama-irama tak jelas ia kemudian mengaduk air susu di depannya. Pelampung-pelampung donat itu bergerak, mengitari perahu panekuk mengikuti arah adukan.

"Dudidudidam~ Saatnya kunjungan Museum, didadidam~~ Nanti akan kuberitahu domba kalian siapa lawan masing-masing dadidam~~"

Laun gerakan Huban kian cepat, cepat, dan cepat. Saking cepatnya sampai ketika ia melepaskan tangan, tongkat permen itu bergerak sendiri. Pemimpi yang tadinya mengapung tenang, kini ikut beputar kencang. Dari riak kecil menjadi olakan air, seluruh pemimpi segera terhanyut ke dalam lautan manis.

"Yap, sekarang giliranku ke sana~~"

Huban melompat, lalu turut menenggelamkan diri ke dalam cairan vanila.

Detik berikutnya si ratu bantal itu sudah berada di dalam kemegahan tak terbendung, sebuah bangunan yang tak terukur luasnya. Emas berkilap di sana-sini, karpet merah bercorak berlian, serta ukir-ukiran indah terpatri. Tak pernah Huban berhenti kagum tiap ia menghampiri tempat ini.

Museum Semesta.

"Oho ~?"

Tak dinyana, Huban mendapati kawan lamanya berdiri di sana. Berdiri di sisi lorong Kehendak, seorang kerdil berjubah ungu dengan bola mata sebagai pengganti kepala. Tidak ada domba hitam, hanya dia seorang dengan tongkat gembala kesayangannya.

"Ada apa Oneiros? Kamu merindukanku ~?"


===


"Ugh ... di mana ini?"

Kicau burung, gesekan daun-daun, serta bunyi aliran sungai menyambut Maia. Sekilas tercium bau-bauan rumput di pinggir sungai yang seakan habis didera hujan, ditambah semerbak melati yang menenangkan. Tak luput sepoi angin menghembus rambut Maia yang hitam berkilau, menyejukkan. Tenteram mendekap, seolah segalanya dicipta untuk memanjakan indera.

Di sekelilingnya Maia menemukan berbagai jenis binatang dan tumbuhan. Dari kijang sampai kanguru Australia, dari putri malu sampai pohon kurma, semua ada.

Namun hal yang paling menakjubkan bukan itu.

Berdiri di tengah-tengah taman ajaib itu, patung pria megah yang terbuat dari perunggu dengan suatu silinder serupa panggung berkarpet merah sebagai pijakan. Wajah tampan dengan rambut cepak menambah kesan sempurna padanya. Sebelah kakinya berlutut, satu tangannya terulur ke depan dengan tangan kiri menutup dada. Pose yang biasa dilakukan seorang pria ketika hendak merayu wanitanya.

Seekor elang terbang mendekat. Burung itu lalu hinggap di telapak patung yang terulur, membuka paruh hendak berkoak.


I'm telling you ....


Alangkah terkejutnya Maia, burung jambul putih itu bernyanyi. Ia mengenalinya, sebuah lagu dari grup musik ternama di dunia Maia.


I softly whisper ....


Burung-burung lain yang lebih kecil pelan mendekat. Satu hinggap di kepala, lainnya menaiki lutut, ada juga yang memijak telinga.


Tonight tonight ...,

you are my angel ....


Satu demi satu mereka membuka mulut, memainkan nada demi nada yang teratur mengikuti nyanyian sang elang. Seakan telah dirajut dalam simfoni, semua burung itu melagukan kicau dengan elang besar di depan sebagai pemimpinnya.

Merdu menderu, Maia terpejam menghayati lagu.


Wherever you are, i always make you smile ....

Wherever you are, i'm always by your side ....

Whatever you say, you're always on my mind ....

I promise you "forever" right now ....


Sekejap berikutnya burung-burung terbang serentak, menyadarkan Maia dari lamunnya. Di sela kepakan sayap, Maia melihat garis-garis tipis bergelombang di bawah mata sipit si patung.

"Pria ini ... menangis?"

Diperhatikannya bagian depan panggung bundar itu, barisan-barisan abjad terukir indah di atas papan nama persegi panjang.


[Yang Lalu dan Terakhir Kalinya]


"(Dia pemimpi yang gugur di pertarungan lalu,)" terang Saviit, mengagetkan Maia. "(Dilihat dari wujudnya yang megah, karya seperti ini hanya mungkin muncul di ronde dua. Pantas sekali jika Kehendak memberikan ruangan khusus pada karya-karya semacam ini.)"

"Kamu dari mana saja, Saviit?" tanya Maia setengah membentak. "Kukira kamu tidak ikut kali ini."

"(Huban mengirim kami kemari setelah kalian, jadi wajar kalau para domba datang belakangan,)" kilahnya. "(Sejujurnya masih aneh bagiku berinteraksi dengan manusia dan bukan kaleng ... meski seharusnya itu hal yang normal.)"

"Tunggu, kamu bilang ini patung pemimpi? Berarti dunia orang ini ...?"


"Bah?! Ini 'kan patung aku!!"


Seorang pria menaruh dagunya di pundak Maia, mengucap satu kalimat dengan nada menghentak. Pacu jantung naik pesat, Maia spontan loncat menjauh.

"S-siapa ...?"

Maia dikagetkan oleh kedatangan pria berambut cepak dengan warna kulit kuning langsat. Ia membuka telapak di samping telinganya yang beranting hitam bulat, menyapa Maia. Wajahnya yang oriental tersenyum ramah, makin menyipitkan kedua matanya.

Rupa pria itu sama persis dengan sang patung perunggu.

"Kundae ... kayaknya lebih pas kalau kubilang, itu salah satu wujud kami."

"Kami?"

Kulit pria itu tiba-tiba berkedut. Ketampanannya lenyap, berganti rupa seram. Warnanya pun beralih, kulit dan pakaian perlahan menggelap. Sedikit demi sedikit ukuran si pria bertambah. Ia yang tadinya tak sampai dua meter, kini menjadi gumpalan hitam sebesar hunian manusia.

"(Maia, hati-hati,)" Saviit memperingatkan. "(Dia lawanmu kali ini.)"

Maia menelan ludah mendengar embikan Saviit. Dirinya menggigil menatap sang makhluk legam raksasa. Kaki Maia bergetar hebat hingga lutut serasa goyah. Jantung berdegup kuat, napas tak mau diatur. Wajah Maia pucat, bersimbah peluh.

Namun tak lama, gumpalan itu kemudian mengecil. Dari ratusan meter ke puluhan, lalu berlanjut ke satuan, kemudian melambat ketika mendekati dua meter.

"Kami Prima-1."

Sosok itu kini menjelma jadi figur wanita cantik berambut pendek. Tampilannya cantik, dengan bibir tipis berbalur senyuman manis. Warna kulitnya putih ditambah rona pipi kemerahan.

"Tidak ..., kami lebih suka dipanggil Anita."

"Kami telah mengonsumsi ... jiwa orang itu."

"Dia sekarang telah bergabung dengan kami, dalam ... kesadaran kolektif kami."

"Itu benar ..., dia sudah jadi bagian dari kami."

Wanita itu berujar pada dirinya sendiri sembari menunjuk patung perunggu tadi. Mirip radio rusak, suaranya terdengar buram. Suaranya pun tersendat, sedikit-sedikit ganti nada bicara seakan ratusan kepribadian serempak menghuni pita suaranya.

Selagi menyungging senyum, kedua ujung bibir itu mulai saling menjauh dan mendekati daun telinga. Seringai manis itu melebar, memperlihatkan barisan gigi yang tajam. Kedua mata lalu menghitam, hingga seakan tiada apapun di sana. Kegelapan itu lalu berhias cairan merah, seperti mata yang menangis darah.

"Sekarang ... bagaimana?"

"Kita makan ... saja dia."

"Ya ..., kita serap sekalian."

Dari punggungnya mencuat berpuluh tentakel yang bergoyang-goyang menjijikkan. Berpuluh mulut tumbuh di sepanjang sulurnya, menyuarakan vokal yang berbeda nada. Kepala dimiringkan, mempertontonkan seluruh taringnya di balik seringai mengerikan. Maia menggeriap ketakutan.

"Kita tambah ... satu jiwa lagi."



Dua: Tentakel-Meluber-Mematung


Burung beterbangan, rusa berlarian.

Anita, makhluk ajaib yang memanggil dirinya dengan 'kami' itu mengayunkan lengannya yang serupa cambuk. Tak hanya dari lengan, delapan lainnya juga mencuat dari punggungnya. Liar melecut-lecut, tak peduli apakah akan menyentuh Maia atau tidak. Maia sendiri kabur bersama Saviit, menungganginya dan melaju sekuat tenaga.

"Dia sebenarnya apa? Cuak? Wujudnya mirip gurita."

Satu menggores pohon, dalam sekejap menjadikannya layu dan kering. Langkah demi langkah yang diambilnya, membunuh tiap rumput yang dipijak. Para binatang mendekat pun tak bernyali, mereka pontang-panting tak tentu arah.

"(Bukan,)" terang Saviit. "(Dia memang mirip, tapi dia tetaplah pemimpi sepertimu!)"

"Dia kabur ... lihat itu!"

"Iya ... padahal percuma saja."

"Huahahaha ...."

"Diam, kita ... habisi saja!"

Satu lengan cambuk mengincar dari atas, tapi si domba cepat tanggap. Ia mengelak, membiarkan Anita membanting tentakelnya hingga terbentuk cekung di permukaan. Lainnya mengayun, menjadikan Maia sebagai sasaran. Tubuh mesin Saviit menyiapkan misil, membidik.

Satu sulur kena.

Ledakan menimbulkan asap, mengacaukan tilik Anita. Memanfaatkan itu, Saviit menambah percepatan gerak. Tentakel Anita lantas dijulurkan ke mana-mana, berusaha keluar dari kepulan asap. Dari setiap sulur legam itu Anita memunculkan puluhan mata, mencari Maia ke segala arah.

Ketemu. Satu mata berhasil menangkap gerak si domba dan tuannya. Sebuah mulut lekas dimunculkannya dari bawah mata itu.

"Kami akan memburumu ... ke manapun."

Lengan Anita menerjang. Maia sigap, ditariknya tanduk Saviit untuk menghindar ke arah lain. Namun sial, mereka melarikan diri ke arah jalan buntu. Sebuah danau tak berujung terhambar di sana, memutus jalur mereka.

"Awas, Saviit!!"

Tentakel menghempas Saviit, turut melontarkan Maia yang menungganginya. Tak sempat menghindar, keduanya tercebur ke dalam telaga.

"Hellggh!!"


===


"Daya inspirasi ... meluap-luap."

Oneiros, pria kerdil berbadan tengkorak itu mengacungkan tongkat gembalanya ke muka bantal Huban. Huban hanya tertawa, tak memahami emosi yang ditunjukkan Oneiros dengan kepalanya yang hanya terdiri dari biji mata tunggal.

"Bukankah itu bagus? Dunia butuh inspirasi, ya 'kan?"

"Tak begitu. Keseimbangan itu aturan dunia. Inspirasi dan ketakutan harus beriringan. Inspirasi berlebih, harus dimusnahkan! Huban, kamu–"


"Ukh!" 


Pedang mengadu pisau, terdengar perseteruan tak jauh dari sana. Pria berambut jingga bertelanjang dada dengan sebelah mata tertutup melawan pria berambut hitam belah tengah dengan jubah hitam lebar menutupi fisiknya.

Perbincangan Huban dan Oneiros terhenti, menatap mereka yang tengah berkelahi.

"Pikirkan ini: jika semua orang memang diharuskan berjalan pada jalurnya yang sudah ditentukan dan tanpa ragu mengikutinya, lantas bagaimana bisa menuju perkembangan?" teriak si pria berjubah. "Invensi di dunia ini ada karena ide menyimpang!"

"Buat apa aku susah-susah memikirkannya?! Aku punya keyakinan sendiri!" balas lawannya, tak kalah menyentak. "Pernah dengar kata malas? Aku malas berpikir, apalagi berhadapan dengan orang sepertimu!!"

Mereka terus beradu mulut selagi bertukar tebas dan tinju. Darah muncrat, luka sabetan di mana-mana. Demi keselamatan dunia masing-masing, tak seorang pun mau mengalah.

"Bla bla bla~~ museum luasnya begini kenapa kalian bertengkar di dekat sini, sih~?! Padahal tadi aku sudah mengelompokkan dua-dua sewaktu mengirim kalian kemari."

"Inspirasi meluber," Oneiros mengarahkan tongkatnya ke salah satu petarung. "Harus dikurangi."

"G-gahhh!!"

Pria berambut belah tengah tertegun menatap lawan terhenti lakunya. Sang musuh mendadak seperti tersedak, memegangi dadanya yang tak terlapis apapun. Terbelalak, kedua bola matanya seakan hendak copot.

"Oneiros, kamu ngapain?"

Dia yang ditanya hening, meneruskan apapun yang dilakukannya.

"G-guaggllgh!!!"

Kepala si jingga mendongak, memunculkan sulur hitam dari mulut yang menganga. Alat gerak seperti hilang sendi, menggeliat-geliat dan memanjang hingga tak berwujud lagi. Perutnya terdedah vertikal, membentuk mulut bergerigi tajam.

"Oneiros, cukup!" teriak Huban menghalau tongkat Oneiros, menghentikan tindaknya. Oneiros melompat mundur, sedikit menjauh.

"Cuak terbentuk ... aku selesai."

Tepat setelah berkata demikian, Oneiros lenyap.

"GrrraaARGGHH ...."

Monster yang terwujud dari si rambut jingga mengamuk, menyerang siapapun di hadapannya. Meski terkejut si jubah hitam masih bisa menangkis terjangannya. Sayangnya ia tetap terlempar, tersungkur di dekat Huban.

"Huban! Siapa si bola mata itu?!" teriaknya selagi berusaha berdiri. "Kenapa Odin jadi begini?! Menjadi ... cuak?!"

"Uhh ... tugasmu tak berubah kok, Sheraga~ Kamu tetap harus mengalahkannya untuk bisa lanjut ke ronde berikutnya," ulas Huban pada si pemimpi, ditanggapi dengan raut amarah. Tak lama, si rambut jingga kembali menerjang. Huban langsung mengayun tongkat permennya, mengetuk ke ketiadaan.

Sebuah pusaran terbentuk.

"Aku pergi dulu, deh~ Dadah ~~"


===


"Ghh ..."

Saviit dan Maia tenggelam. Namun ajaib, Maia bisa bernapas tanpa kesulitan. Tak hanya itu, seluruh tubuhnya kering, seperti tiada air di sana.

Semakin dalam panorama bawah air mulai berganti, dari biru cerah menjadi hitam dengan titik-titik putih bertebaran. Maia dan Saviit melayang-layang, menatap pemandangan tanpa cakrawala.

Ini luar angkasa.

"(Kita berpindah ruangan,)" embik Saviit. "(Kamar-kamar khusus seperti ini memang saling terhubung, entah apa tujuannya.)"

"[... Stalla?]"

Sesuatu bersinar merah di tengah kelap-kelip bintang di antariksa. Perlahan titik itu mendekat, memperlihatkan siluet manusia. Maia agak terkejut mendapati seseorang berada di tengah ruang hampa begini, tapi ia lebih terkejut ada yang mengenalinya sebagai Stalla.

"Tunggu ... Iris? Robot yang dulu diperalat oleh A.I di Anatolia?!" kejut Maia saat melihat titik merah itu ternyata adalah mata tunggal seorang robot.

"[Benar, aku Iris Lemma,]" jawab si robot dengan nada datar. "[Tadinya aku terbelenggu dalam wujud patung perunggu(karya seni). Entah bagaimana pengekang kami melemah.]"

"Tapi bagaimana kamu tahu ini aku? Dulu 'kan wujudku hanya kaleng?"

"[Gelombang energi(Daya kehidupan) yang engkau pancarkan sama seperti–bzzzt!]"

"IRIS!!"

Tubuh robot itu tertikam!

Sebuah pisau hitam raksasa menusuk Iris, memecah belah tubuhnya. Maia dan Saviit spontan menengok. Anita. Pisau yang terjelma dari lengan itu segera ditarik Anita, kembali berwujud seperti mulanya.

"(S-sial, makhluk itu masih mengejar kita!)"

Tentakel di punggung Anita melesat maju, menerjang Maia. Ia sontak meraih lengan Iris yang masih tersisa, melayang di dekatnya. Maia mengayun-ayunkannya sekuat tenaga, menepis segala serangan Anita.

"(Maia, lepaskan itu!)"

Saviit cepat menggigit belakang kerah Maia, menariknya terbang dengan roket di punggung. Lengan Iris lucut, terpecah menjadi butir-butiran halus dan membaur bersama bintik gemilang di ruang hampa. Laun melebur, tubuh sang robot bermata esa kini meluruh laksana abu.

"B-bahaya kalau kita kena itu."

"(Makhluk itu, aku melihat bagian tubuh Iris hancur terkena tentakelnya,)" terang Saviit. Ia menoleh, memastikan. Anita makin dekat, menghampiri mereka.

"(Untuk sekarang lebih baik kabur dulu ... di sini!)"

Saviit mendorong ketiadaan dengan sundul, memperlihatkan pintu kembar raksasa berwarna emas dengan dekorasi mirip gerbang sebuah istana. Saviit melewatinya bersama Maia di tunggangan, menyusuri lorong museum.

"Ke mana ... kalian?!"

Sekali gebuk, pintu terdobrak. Anita langsung menyusul mereka yang telah keluar ruangan. Saviit memacu langkah di atas karpet merah sementara seringai lebar itu kian memburu, berlari menggunakan bagian bawah pinggangnya yang telah menjelma tentakel sepenuhnya.

Barisan pilar emas berukir aksara-aksara unik tak mampu menahan laju, diterobos saja sampai lantak.

"S-Saviit," panggil Maia,

"kamu masih menyimpan baju RAVEN?"


===


"B-bukankah aku telah mati?"

Pria botak berkulit emas tersungkur di lapik kayu. Belum ada semenit lalu ia masih berupa patung perunggu, terjebak sebagaimana pemimpi-pemimpi lain. Tasbih bulat-bulat besar mengalung di leher, mengitari tudung jaket kelabunya.

Dialah Ganzo, sang pemimpi yang sempat bertemu Stalla di Anatolia. Ia kini terbangun dalam sebuah bangunan yang terbuat dari kayu. Bangunan itu mirip kuil Varsaria, huniannya di dunia asal.

Ganzo bangkit, menatap dudukan berbentuk bunga teratai besar yang mengambang di udara. Di bagian depan tertulis "Magnashiya", nama yang megah untuk karya terakhir sang nabi awal zaman.

Ironis.

"Sibotak ...? Ohiya, Sibotak! Kamu di mana?"

Teringat akan domba berbulu emas miliknya, Ganzo panik. Sunyi menjawab, memastikan nasib si domba.

Kenangan mimpi buruk kembali menghantuinya. Ganzo ingat tatkala ia menghajar kerongkongan sendiri di hadapan lawan, tak kuasa jika harus dibunuh tiruan orang tuanya. Lebih-lebih ketika ia tahu bahwa Tuhan Varsakhtan yang dipujanya selama ini adalah palsu, dorongan bagi Ganzo untuk mati semakin tinggi.

Samar-samar terbayang di benak Ganzo bagaimana dombanya menjadi liar ketika dirinya digerogoti mimpi buruk. Pun saat leher ia sodok sendiri dengan ujung tongkat, domba itu turut tersiksa.

"Domba itu pengantar tidur~ kalau kamu tak bisa lagi bermimpi ya dombamu juga ikut-ikut mati," Huban mendadak muncul dari pinggir kuil, menjelaskan pada Ganzo.

"Huban? Bagaiman– aaaRGHH!!" Ganzo memekik.

Huban menekan kepala bantalnya, bersikap menutup telinga meski jelas tak punya kuping. Ia mencari sekeliling, berupaya memergoki sang dalang.

"Oneiros, kamu ...!!"

Oneiros tertangkap basah. Belum sempat Oneiros bergerak, Huban langsung lenyap. Huban tersembul kembali di balik punggung Oneiros melalui portal ajaib, menyabet tongkatnya sekuat tenaga.

Beruntung, Oneiros sempat menangkis dengan jubah ungunya. Tak perlu waktu lama bagi sang gembala hitam untuk pergi, lesap tanpa bekas.

"Uuh~ dasar mata belo! Seenaknya mengacau turnamenku dari kemarin!" kesal Huban. Ia mencak-mencak, merasa dipermainkan.

"G-ghhh ...," Ganzo tersungkur. Syukur, ia belum sempat terjelma menjadi makhluk mimpi buruk. Ia memandang Huban dengan mata sayu seakan semua energinya diserap habis.

"Maaf ya, Om Nabi~"

"Ap– ugh!"

Tongkat permen teracung pada Ganzo, mengunci laku. Tubuhnya tiba-tiba tak mampu dikendalikan, berlagak tanpa dikehendaki diri. Ia bersila, memasang pose seperti tengah bertapa. Tubuh berkulit emas itu laun memudar, menanggalkan warnanya yang megah. Mulai dari ujung kaki hingga kepala Ganzo menjadi perunggu, mengikis tanda-tanda kehidupan.

Sebuah buku besar kemudian muncul di pangkuan sila Ganzo, terbuka dan turut mengeras menjadi perunggu. Pelan Ganzo terbang ke dudukan teratai bertuliskan "Magnashiya".

Ganzo mematung, dalam artian sebenarnya.

"Kehendak enggak ada, ternyata jadi pada bebas ya ~?"


===


"Kenapa ... kamu tidak ... lari?"

Maia tegap, menantang Anita. Dirinya geming, tak lagi gentar. Armor pemberian Kilat di tangan menambah kepercayaan diri, apalagi kali ini ia bisa bertarung dengan wujud manusia. Diangkatnya sarung tangan besi itu ke atas, hendak mengaktifkannya.

"RAVEN, menyala!"

Satu debuman meniadakan bisu.

Tipis. Serangan barusan nyaris menyentuh sasaran. Anita berlaku gesit, bahkan Saviit pun tergemap. Tak ada satu pun menduga ia akan diserbu hantam.

"K-kenapa RAVEN tidak mau bekerjaa!?"

Tanah mencekung, efek benturan kepal Anita barusan dengan lantai museum. Ternyata sedari awal RAVEN tak berfungsi. Maia jadi membiarkan saja serangan Anita jatuh menimpa bentala di mukanya, melompat mundur di detik terakhir.

"Beraninya ... mempermainkan kami ... agh!!"

Saviit sontak meluncurkan misil-misil kecilnya, memukul mundur Anita barang sejenak. Memanfaatkan detik, Maia segera beranjak dari sana. Saviit membuntuti setelah menambah beberapa butir ledakan.

"(RAVEN pernah terkena domba hitam Oneiros, Maia?!)" tanya Saviit. "(Daya inspirasinya menghilang, kekuatannya lenyap. Kemungkinan sudah termakan mereka.)"

"Lantas bagaimana ... AWAS!!"

Kepul asap mencegat mereka, menahan lari. Laju terhalang dinding abu yang membubung sampai lelangit, mengaburkan pandang. Asap itu lalu menggumpal, perlahan turun dan memadat. Asap membentuk wajah seorang pria, lalu badan.

Tetapi ganjil. Kedua matanya mencuat dari telinga laksana siput, membiarkan lubang matanya berliang tanpa isi. Bagian mulutnya terjahit, digantikan oleh garis mendatar di bagian dada yang ternganga menunjukkan taring dan lidah seukuran kepala.

"Ad-Adri ...? Adrian ...?" heran Maia. "Kok bisa Adrian terbebas seperti ... Iris?!"

"(I-ini cuak!)" jerit Saviit. "(Jangan sampai mimpi burukmu bangkit, Maia!)"

"Lihat ... ke mana kalian?!"

Tentakel dilecut, melontarkan Maia ke samping hingga membentur dinding. Kaos putih-hijau yang ia kenakan menghitam di titik sentuh, kemudian menjalar pelan. Maia panik, dilepaskannya kaos itu meninggalkan selembar singlet hitam di baliknya.

Dipandangnya saja pakaiannya melebur bersama angin, seperti kertas yang terbakar jadi abu.

"Gggrrreeaaargh!!"

Cuak-Adrian mengganas. Asap lengan menjelma jadi berpuluh kepala binatang buas dan menyebar, menghancurkan segala yang terjangkau mata. Seakan gempa, dinding dan pilar-pilar runtuh semuanya.

"(Maia, kesempatan! Kita menyingkir dulu!)"

Cuak-Adrian berseteru dengan Anita. Ukurannya yang besar menjadikan Anita sebuah target empuk bagi amukan. Berniat memanfaatkan kekacauan, Saviit mengajak Maia kabur.

"(Maia?)"

Sayang Maia tak menggubris. Ia jatuh berlutut, memandang cuak-Adrian dari jauh. Matanya sembab, bibirnya kelu. Ditutupnya mulut dan hidung dengan kedua telapak, berusaha menahan sedu.

"Itu ...," ucap Maia,

"gara-gara aku?"



Tiga: Baju-Denyut-Tolong


"(Untunglah kita selamat ....)"

Terengah, Maia dan Saviit bersandar di tembok. Mereka telah jauh meninggalkan Anita, membiarkannya menangani Adrian. Dahi berpeluh, lelah baru menghinggap kala mereka rehat. Penat menjangkit badan, ingin sekali rebah barang sesaat.

"B-brrr ...! Kenapa di s-sini d-dingin sekali ...?!"

Tak disadarinya sebuah gerbang raksasa terbuka di samping tempat mereka mengaso, memperlihatkan debu-debu salju yang tertiup angin dari dalam. Sekilas tampak permadani putih menghampar jauh, tebal menumpuk-numpuk.

Maia tergugah untuk menghampiri gerbang itu, bangkit dan berjalan ke arahnya.

"(Maia? Mau apa kamu?)" tegur Saviit.

Rasa penasaran melangkahkan kaki Maia masuk ke padang salju, tak acuhi keluhan Saviit. Lapik putih terbentang dari pelupuk mata hingga cakrawala, menjadikannya takjub. Sebagai gadis yang tumbuh di negara yang tersebar di sabuk khatulistiwa, ini kali pertama baginya melihat salju.

Namun bersama salju, datang pula angin yang membawanya. Dingin menusuk raga, menjalar hingga batin. Tak perlu lama baginya untuk rasakan gigil.

"S-s-s-saavvviiiiit ...."

"(Pakaianmu hanya begitu, wajar kalau kamu kedinginan,)" kesal Saviit. "(Ini masih di alam mimpi, dunia yang tercipta dari memori. Kalau kamu mengingatnya baik-baik, pakaian yang kamu mau seharusnya bisa dimunculkan.)"

Bibir Maia seperti beku, sukar untuk menjawab Saviit. Ia terpejam, coba membayangkan dirinya mengenakan jaket hangat dan topi sinterklas lengkap dengan kumis dan jenggot palsu. Dirinya berpendar kemerahan.

"Wohohohoho!" Maia tertawa mendapati tubuhnya menggemuk, mengejutkan Saviit. Ia melompat-lompat di atas salju kegirangan. "Ternyata aku bisa begini juga, Saviit! Membayangkan baju setebal ini juga bisa, huohohoho!!"

"(Kamu tidak bisa serius ya?)" tegur Saviit. "(Rasanya ketika masih Stalla, kamu lebih bisa diatur. Padahal jika kau mati, aku pun ...!)"

Saviit berhenti, tak melanjutkan melihat Maia tiba-tiba bungkam.

"Lalu apa yang harus kulakukan, Saviit?" tanyanya. Raut muka seketika mengeruh.

"Iris, pria penyanyi tadi, Kilat, juga Adrian. Mereka semua mati akibat turnamen ini. Aku harus apa?! Jika aku terbunuh, semestaku akan mati. Jika aku membunuh, dunia mereka yang musnah! Aku tahu, enggak semudah itu bisa menang ... tapi tetap saja aku tak mau membunuh siapapun!"

"Naif."

Figur cebol dengan kepala bulat sempurna muncul dari ketiadaan, mengacungkan tongkatnya pada leher Maia. Maia terkesiap, tak menyangka seorang kerdil akan menodongnya. Saviit sendiri mendadak ketakutan melihat keberadaan si kerdil itu, seketika menyembunyikan diri di betis tuannya. 

"(I-itu Oneiros!)" embiknya. "(Penggembala domba hitam!)"

"Dunia satu harus hancur untuk dunia lain," tutur Oneiros. "Itulah keseimbangan. Harga satu dunia adalah satu dunia lainnya."

"A-apa yang kau inginkan, tuan bola mata?" takut Maia.

"... Pemimpi mati."

"Minggir kamu mata belo ~!! GHAIDAA KIIIICK ~!!!"

Huban tiba-tiba ikut memperlihatkan diri, menghenyakkan Oneiros. Ia tersungkur meski sempat melindungi diri dengan jubah ungunya, terperosok di tanah bersalju. Maia seketika jatuh terduduk, efek kaget diselamatkan oleh Huban.

Oneiros kemudian bangkit, pupilnya membesar seolah memelototi Huban. Iris matanya kehilangan biru, merah menyala seperti membara.

"Eh? Bukannya tadi matanya ungu?" tukas Maia.

"Huban ...!!"

Seekor serigala muncul dari bola mata Oneiros. Hitam, seolah terbuat dari bayang. Serigala itu langsung menerjang Huban, melompat ke arah si kepala bantal. Huban gesit, memutar tongkatnya dan dalam sekejap membentuk portal. Serigala lesap sebelum serang menghinggap.

"Kamu sudah diracuni Kehendak! Kamu mengabaikan tugasmu dan ... bermain-main dengan alam mimpi!"

Serigala kedua dari atas, berusaha menerkam. Huban lincah, menghajar leher serigala itu dengan tongkat. Lalu disusul dua ekor menyerang bersamaan. Tak sulit bagi Huban untuk memasang portal dan mengalihkan salah satu, membiarkan serigala itu menggigit saudaranya.

"Apa sebenarnya mau kamu sih, mata belo ~?!" kesal Huban.

"Diam! Padahal kamu juga sama ...," Oneiros terdengar murka kali ini. "Mauku, Huban, adalah mengambil alih Kehendak!"

Oneiros masih kukuh melayangkan kawanan serigala untuk memburu Huban. Tapi ia tangkas, para serigala terus saja diasingkan ke tempat lain dengan ayunan Huban. Tak kunjung padam, Huban mulai dongkol. Ia memasang portal di kakinya lalu hilang, tak hirau serigala yang mencabik salju.

"Huban perg–auw!" Maia tersentak, seseorang mencengkeram baju sinterklasnya dari belakang.

"Kalian ikut aku ~!!"


===


"G-guhh ...."

Terseok, seorang lelaki remaja berjaket abu menyusuri museum dengan bertahan pada dinding. Raganya kurus, terhuyung kala menapaki permadani merah di koridor museum. Rambutnya panjang berponi, menutup sebelah mata.

Adrian.

"Kita ... menyerap cuak?"

"Ya ...."

"Sekarang bagaimana ... bocah itu?"

"Kita kejar."

Permukaan tubuh Adrian kembang kempis, lalu menggelap. Tak hanya kulit, seluruh pakaiannya pun menghitam. Pelan, Adrian beralih rupa jadi gumpalan gelap. Gumpalan itu kemudian membentuk tangan, kaki, lalu rupa seorang wanita.

Anita kembali.

"Memang wujud ini ... yang paling nyaman ... hm?"

Percik-percik jingga muncul di muka Anita. Mulanya berpusing pelan, lalu makin cepat. Tak butuh semenit baginya untuk membentuk pusaran besar. Anita waspada, memundurkan kaki sejejak.

"Gyaaah!!"

Anita terperangah mendapati seorang gendut berpakaian merah muncul dari dalamnya, disusul Ratu Huban dan seekor domba berbadan robot. Si gendut terjerembap, mengaduh kala muka membentur karpet. Sepasang jenggot dan kumis palsu putih tergeletak, memperlihatkan wajah asli si gendut.

"Maia ...."

"Uwaa!! Kenapa kita bisa di sini lagi!?"

Anita kesenangan, buruannya sampai tanpa diundang. Lengan kanan mewujud tentakel, dicambukkan dengan Maia sebagai incaran. Saviit tahu Maia susah bergerak, disundulnya menggelinding agar terhindar.

"(Maia, lepaskan pakaianmu itu!") bentak Saviit, memaksanya berdiri. "(Baju setebal itu malah membuatmu susah berdiri!)"

"U-ugh apa boleh buat!"

Maia berlari sembari menanggalkan baju sinterklasnya, kembali dengan rok biru dan singlet hitam sebelumnya. Sementara itu Huban hanya memperhatikan mereka dari kejauhan sambil cekikikan.

"Jika kubiarkan kalian jauh-jauhan, nanti turnamennya enggak selesai-selesai~ Tidak bisa begitu, anak-anak~ Hihihihi~~" Huban pun melenggang pergi, membiarkan Anita mengejar mangsanya.

Anita menambah puluhan kaki ekstra berupa tentakel, mempercepat gerak. Anita memanfaatkan jumlahnya yang tak terhitung, memakai dinding dan lelangit sebagai penumpu jejak. Tahu-tahu ia telah menyalip Maia, menghadang lajunya.

"Saviit! Lompat kemari!!" suruh Maia tiba-tiba, memperlihatkan kedua telapaknya yang terbuka.

"(Hah?!)"

"Percaya saja!"

Di saat yang sama Anita sedang menyatukan sebagian tentakelnya, dibanting menuju Maia. Mau tak mau domba itu menurutinya, langsung mendaratkan kaki depannya ke telapak Maia. Ditangkapnya kedua kaki itu lalu diayunkan. Bulu putih membentur sisi, mengalihkan arah serangan Anita.

"(MBEEAAARKKH!!)" jerit Saviit ketika terpecah menjadi butiran cahaya. Beruntung, tak lama berselang ia telah kembali dalam wujud asalnya. Belum sempat Saviit menapak tanah, kaki depannya ditangkap lagi oleh Maia.

"(GYAARGH!!)"

Serangan Anita berhasil dihalau berkali-kali, dipantulkan dengan apik oleh Maia. Berulang kali pula Saviit lebur menjadi pendar dan balik ke semula. Hingga setelah tangkisan terakhir, Maia menangkap Saviit dengan kedua tangan lalu diangkat tinggi-tinggi.

"Makan ini, DOMBA GULING!!"

Tepat mengenai muka.

Tanduk Saviit meninggalkan bekas di wajah seram Anita. Geming, Anita hanya mendongak karena terdorong sundul. Kengerian yang ditampilkan Anita makin menjadi akibat kesal, seluruh tentakel di punggung menggeliat-geliat.

"Bocah keparattt ...."

Begitu Saviit mendarat, ia segera lari mendekati Maia demi mengelakkan dari terjangan Anita. Maia menangkap leher, merangkulnya agar tak jatuh dari tunggangan.

"(Kenapa kamu lakukan itu?!)" sentak Saviit.

"Habis, kamu tak akan mati juga meski diserang berkali-kali 'kan?" dalih Maia. "Lagipula aku tak punya cara lain untuk melawan. Baju RAVEN dari Kilat sudah tak berfungsi, satu-satunya hal baru yang kupelajari cuma cara ganti pakaian ... eh? AHH!!"

"(K-kenapa?!)" Maia mendadak berseru, mengagetkan Saviit.

"Aku sepertinya tahu harus apa! Berikan RAVEN padaku lagi!"

Bingung, tapi lagi-lagi Saviit menuruti saja mau Maia. Sebongkah besi yang seharusnya tak berguna itu kini ada di genggaman Maia. Sialnya di belakang Anita telah mengejar. Satu tentakel meluncur, hendak menggapai Saviit jika saja ia tak lincah mengelak.

Sementara itu Maia malah menutup kelopak, mempercayakan laju pada Saviit.

"Kilat ... Kilat ... Kilat ...." bisik Maia.

Tiba-tiba mereka terselimuti cahaya ungu, memukul mundur Anita yang terbutakan sesaat. Tapi tak lama kemudian benderang itu raib, mempertunjukkan Maia dengan jubah coklat tersampir. Bagian mulut terlindung semacam masker besi kelabu, menutupi wajah. Sebagian besar raga tertutup besi, membuat Maia sekilas mirip robot.

"Bocah ... beraninya kamu ...!!"

Anita meluncur hendak menerkam. Maia segera menimbulkan percik-percik elektrik di lengan kirinya. Larik-larik petir itu lalu mengumpul menjadi bola energi di telapak, ditunjukkannya pada Anita.

Ledakan halilintar.

"Lihatlah, Saviit," ujar si gadis seraya menguncir kuda rambut hitamnya.

"Baju Kilat telah kembali."


===


"Sekarang, kembali ke Oneiros~"

Di sisi lain Huban berdiri di atas permadani merah di lorong museum. Tongkat permennya diarahkan ke atas, hendak diputar. Belum sempat portal terbentuk, Huban dikejutkan oleh seseorang.

"Huban!!"

Seorang pria rambut merah bertudung biru gelap mencegat Huban. Di kedua tangannya teracung belati kembar, gagang satu terukir "Nano" sementara lainnya terpahat "Dimara". Pria jangkung itu tampak murka, siap menikam Huban kapan pun diinginkannya.

"Aku tahu apa sebenarnya niatmu, niat kalian!" akunya. "Mumpung aku bisa bergerak, tak akan kubiarkan kal– Gahh!"

Tubuhnya beku. Belum sempat menyerang, tubuh pria itu tertahan oleh Huban. Seperti yang terjadi pada Ganzo, si rambut merah perlahan beralih jadi perunggu.

"Berisiknya~" keluh Huban. "Jangan-jangan ini benar-benar terjadi pada semuanya?"

Tak berselang lama, ribut menyela. Sekawanan binatang purba menerobos salah satu pintu ruang karya di belakang Huban, mendobrak dan menghancurkannya. Dinosaurus, gajah raksasa, harimau bertaring pedang, serta puluhan makhluk yang sukar dikenali lainnya berlari ke arah Huban.

"Uhh~ Merepotkan sekali~"

Satu ayunan tongkat, mereka pun lesap. Huban membuka portal raksasa, mengirim mereka semua entah ke mana.

"Aku harus segera ke aula~~"


===


"(Kamu jadi mirip Kilat, Maia.)"

"Tentu saja! Dengan membayangkan baju yang dikenakan Kilat, aku bisa sekaligus mendapatkan kekuatannya," Maia berlagak, mengibaskan jubah coklatnya. "Kunamai ini [Baju Lamun] versi Kilat!"

"Grrhh ...."

Anita mengerang setelah dihajar petir Maia. Separuh wajahnya lebur, meninggalkan lubang besar di kepala. Dari rongga itu tumbuh benang-benang kecil yang perlahan mengembalikan bentuk wajahnya.

"D-dia bisa tumbuh lagi?" takut Maia.

"Bocah sialan ... harus dimusnahkan!"

"Benar ... bunuh!"

"Tunggu ..., jangan dibunuh .... Kita makan saja dia!!"

"Tapi sebelum itu ...."

Setelah berucap demikian, Anita membuka mulutnya lebar-lebar sampai seukuran kepala orang dewasa. Sesuatu bulat berlendir menyembul dari dalam. Sejurus kemudian Anita menyemburkannya, terlempar hingga mendarat di depan Maia.

Kepala benda itu mirip Saviit, tapi tanduknya tebal serupa kerbau. Seharusnya diselimuti bulu-bulu putih, tubuhnya malah berlapis puluhan bola mata yang berkedip-kedip. Lidahnya menjulur layaknya anjing gila dengan liur yang terus menetes. Kedua matanya seakan hanya rongga, hitam dan hanya hitam.

"(K-kamu 'kan ... Caarz?! Caaryxzoinadashanzoiretedededesyiriana?!)" Saviit terperangah, "(Bagaimana kamu bisa jadi seperti ini?!)"

"Tangkap dia ..., Fluff!"

Dua julur tentakel tiba-tiba muncul dari domba yang dipanggil Fluff oleh Anita, menyembul di antara sela bola-bola mata. Tentakel Fluff seketika meluncur, berusaha menggapai mereka. Saviit menanggapi dengan letusan misil dari tubuhnya.

"(Ugh ... sepertinya domba itu pun telah "dimakan" olehnya,)" simpul Saviit.

"Tak masalah! Kita cuma harus mengalahkan mereka berdua, 'kan?!"

Maia melejang maju, mengalirkan listrik ke bagian kaki dan memanfaatkan dayanya untuk melompat setinggi mungkin. Kepal disatukan, hendak dibanting pada Anita. Larik-larik petir terkumpul dikepalan.

Namun sial, sulur Anita mengincar dari sisi Maia.

Refleks Maia membelokkan genggam, memusatkan listrik pada bagian bawah lengan. Lengan Anita langsung lebur, tak mampu menahan petir Maia. Anita meraung, memekakkan pendengaran.

"(Maia, awas!)"

Tentakel Fluff yang lebih kecil berhasil mencengkeram lengan kiri Maia, menariknya sampai terjungkal. Entah bagaimana tentakel itu memendek cepat, mempersempit jarak mereka. Tak sempat bereaksi, Fluff melejang. Pundak kanan Maia diterkam.

"AAAAAGGH!!"

Saviit berhasil menyeruduk Fluff sebelum gigitan menancap dalam. Lutut Maia menyentuh permadani, meringis menahan sakit. Sementara itu Anita telah sempurna, lengan yang hancur tadi tumbuh kembali seperti tiada luka.

Satu tentakel melesat.

"(Ugh! Awas!!)"

Beruntung Saviit berhasil menarik Maia tepat waktu, membiarkan Anita menikam karpet merah. Tentakel berikutnya meluncur, ditangkis dengan ledakan petir di tangan kiri. Namun seperti sebelumnya, sulur Anita tumbuh sebagaimana mula.

"Tak hanya mereka lebih kuat ... tubuh Anita pun tak bisa dihancurkan?"

"Tubuh kami terbuat dari materi kelam .... Mau berapa kali pun engkau hancurkan, kami akan kembali!"

Sulur lain menyerbu. Tubian lengan gurita itu menusuk-nusuk permukaan tanah, berupaya mengincar Saviit dan Maia. Keduanya terus menghindar, sesekali menghalau dengan misil maupun serangan petir.

Sayangnya nihil, semua balasan Saviit dan Maia tak berpengaruh banyak bagi Anita dan dombanya.

"Kamu ... tak akan bisa menang, Maia."


===


"Apa-apaan ...?!"

Zainurma kembali bersama Mirabelle, muncul di aula Kehendak. Wujud sang Kehendak masih sama, terbungkus dengan rantai-rantai yang menyatu mewujud kubah. Detaknya masih terasa, mengintimidasi siapapun yang menatapnya.

Mereka tak cuma berdua, seorang berjubah ungu telah menyambut di sana.

"Oneiros," panggil Mirabelle, "sedang apa kau di sini?!"

"Tuan Kurator, Nona Konservator," balas si mata. Tongkatnya teracung ke depan kala berucap, "Aku ingin melalap Kehendak!"

Mata ungu menjelma merah, memunculkan serigala-serigala petang dari irisnya. Satu hendak menerkam Zainurma tapi Mirabelle gesit menghunus tombaknya. Disabetnya ke sisi, menghalau serigala itu jauh menghantam dinding.

Dua lainnya melejang, siap menggigit Mirabelle. Namun Mirabelle lebih sigap, satu dipukul jatuh ke tepi dan lainnya dihantam pada leher dengan pinggiran perisai hingga terbanting.

"Mundur, Mirabelle."

Zainurma maju, seketika membentangkan telapak kanannya sementara tangan kirinya menahan halaman sebuah buku agar tetap terbuka. Sekejap berikutnya sebuah senapan seukuran meriam muncul dari ketiadaan, hinggap di panggulan pria klimis itu.

Aula berdentum.

"Tuan Kurator, anda ingin menghancurkan aula?!" kejut Mirabelle.

Serigala meluruh, berbaur dengan ledakan meriam. Tiada yang tersisa kecuali Oneiros yang berhasil melindungi diri dibantu serigala ciptaannya. Zainurma tersenyum meremehkan, menutup bukunya dengan satu gerakan. Bersamaan dengan itu, senjata menghilang.

"Aula ini diciptakan untuk menjaga karya semacam ini, mana bisa hancur semudah itu?"

"Kalian ... terutama anda, Tuan Kurator," Oneiros murka, suaranya bergetar, "sejak Kehendak tercipta, keseimbangan dunia mimpi kacau! Dirimu menciptakan cuak di mana-mana, hingga aturan tak terjaga. Aku jadi membunuh cuak yang berlebih."

"Apa kau bilang?!" Mirabelle tertegun. "Bukankah kamu yang–"

Ucapan Mirabelle terhenti. Zainurma meminta sang mantan Dewi Perang untuk bungkam dengan menunjukkan telapak kirinya.

"Oneiros," seru Zainurma, "kamu bicara apa? Jelas-jelas kamu yang menciptakan cuak. Apalagi kamu menciptakannya tak hanya berbahan makhluk-makhluk kayal, tapi juga dari pemimpi yang datang. Kenapa kamu bisa menuduhku?"

"Aku ... hanya melaksanakan tugas."

"Tugas apa maksudmu, hah?!" sela Mirabelle. Oneiros mengalihkan tatapannya ke Mirabelle. Mata merahnya mereda, berubah ungu.

"Tugasku," jawab Oneiros, "adalah menjaga keseimbangan dunia mimpi."

"Bagaimana bisa duniamu seimbang jika kamu menciptakan cuak di mana-mana? Bodohnya, hahaha!" Zainurma tergelak. Mendengarnya, mata Oneiros kembali memerah.

Oneiros menciptakan lagi makhluk-makhluk buas itu dari iris matanya, menjadikan Zainurma sebagai incaran. Melihat Zainurma malah membuka-buka buku, Mirabelle mengambil alih posisi untuk melindunginya. Jemari Zainurma menelusuri laman buku itu hingga berhenti di satu titik, sedikit mengetuknya dengan ujung telunjuk.

"[Kuratorial A]: Museum Perlengkapan Seniman ... ini dia! Munc– argh!!"

Buku Kurator terjatuh. Zainurma tiba-tiba merasakan dentuman yang kencang dalam tubuhnya hingga memaksanya memegangi dada. Pun Oneiros dan Mirabelle, menjatuhkan segala yang digenggam karena tubuhnya terguncang.

Patung Kehendak kembali berdenyut-denyut.


===


"Kali ini apa?"

Demi kabur dari terjangan Anita, Maia dan Saviit memasuki salah satu ruang karya. Tampilannya unik dengan perabot dan pondasi serba kayu. Seluruh pilar berlekuk-lekuk, seakan dibangun bukan untuk menyangga atap. Dindingnya berukir batik, terlihat benar adalah buah tangan pengrajin ternama.

Maia dan Saviit segera sembunyi di balik salah satu tiang yang paling tebal, bersandar demi menghela napas sejenak.

Mendadak terdengar decit, Maia mengitar pandang mencari sumber. Beberapa ekor makhluk kecil serupa rusa berlarian, kabur menyadari kehadiran mereka. Meski kecil tapi tanduknya gagah, bervariasi bentuk dan rupa menyaingi keindahan pahat batik di sana.

"Jangan ... kabur!"

Anita menyabet, pilar mereka lantas hancur. Beruntung Maia sempat merunduk, terelak dari cambukan tentakel raksasa. Anita menampakkan diri dengan taring menganga. Leher itu tiba-tiba memanjang, hendak menerkam Maia.

"S-sial!"

Kedua telapak Maia dihadapkannya pada Anita, melepaskan peluru halilintar tepat ke leher. Kepala Anita terlepas, menjadikan lajunya tertahan. Namun singkat, segaris bibir terbentuk di pundak Anita bersama dengan dua bola mata di perutnya.

"Percuma ... kepala kami diputus."

Tentakel-tentakel di punggung menggumpal, ujung-ujungnya membulat. Dua mata muncul dari masing-masing bulatan, disusul bibir. Berikutnya rambut, hidung, dan telinga terwujud dari tiap ujung tentakel, satu per satu membentuk kepala baru. Bekas leher yang sempat dipisahkan oleh Maia itu pula memanjang, meraih kepala yang tergeletak di tanah.

"I-ini jelas lebih buruk dari cuak!"

Di hadapannya kini berdiri seorang wanita dengan puluhan kepala, tiap-tiapnya terlihat buas lagi seram.

"Kami akan memakanmu!"

"... menggerogotimu hingga ke akar jiwa."

"Tak ada gunanya memutus kepala."

"Mati satu, kami tumbuhkan seribu!"

Dua di antaranya membuka rahangnya selebar mungkin, lalu menyerbu Maia ingin mengerkah. Baru hendak menyingkir, kedua tangan tangan terbelit tentakel Fluff. Saviit tanggap, lekas melentingkan diri. Ditendangnya satu kepala, memakai pantulannya untuk menyeruduk kepala lainnya.

Maia sadar ia selamat, langsung meledakkan tentakel Fluff dengan letupan kilat. Kepala lain memburu, dihindari dengan gesit oleh Maia. Dialirkannya listrik ke telapak kaki.

"Hup!"

Melesat cepat, Maia melompat dari tembok ke lelangit lalu ke tembok lain. Ia memanfaatkan daya lentingnya, menerjang Anita. Tinju petir membidik.

Meledak.

Nyaris separuh badan Anita lebur, kembali serupa gumpalan hitam. Ledakan itu melontarkan Saviit dan Fluff jua, terlempar hingga tepi ruangan. Pun para rusa kecil sebagian terhempas, meski ada yang terlindung pilar.

Maia di sana terdiam, menatap tubuh Anita dari kejauhan.

"U-ugh!"

Mendadak terasa denyutan kuat di jantung. Tak hanya Maia, Saviit dan Fluff juga merasakan tekanan yang sama. Bahkan para rusa seakan tersiksa, sampai tanduk artistik itu meretak.

"Skrieeeekh!!" pekik Anita turut kesakitan, melesatkan puluhan larik-larik tajam.

Saviit dan Fluff hanya lebur menjadi sinar, sementara Maia sempat menghalau dengan petir meski susah payah. Berbeda dengan rusa-rusa mini yang tersebar di ruangan, sebagian besar tertikam. Seluruh ruangan ternoda darah, membaur coklat dengan merah.

"P-perasaan ... apa ini ...?!"


===


"K-Kehendak, kenapa gerangan?"

Zainurma berusaha bangkit, satu lututnya bertumpu lantai. Oneiros dan Mirabelle terkapar, kesulitan bertindak. Denyut Kehendak kian kuat, menjadikan segala mereka yang berada di museum tergelepar. Tak hanya yang ada di aula, semua petarung mimpi pun sama.

Semua kesakitan.

"U-ugh ... Kehendak ... kenapa ...."

Kubah rantai itu berdetak, mengguncang aula. Zainurma melaung, disusul Mirabelle. Hanya bagi mereka itu sunyi, terhapus suara oleh gejolak yang dirasakan tiap-tiap individu. Mata terbutakan, hanya bisa menatap kelam dalam batin. Kegulitaan itu lalu menjadi terang, kemudian gelap, hingga kembali benderang.

Pandang mereka kini satu, cahaya yang amat menyilaukan.

"<T-Tolong ....>"

Samar terdengar suara wanita, entah dari mana. Perlahan muncul siluet seseorang dalam benak, figur berambut panjang dengan postur tinggi semampai. Lehernya terhubung dengan rantai yang panjangnya tak terukur, seolah membelenggu.

Sinar itu pelan berkurang, mulai menampakkan wajah ayu sang wanita yang menampakkan rona sedih yang memelas.

"Eirene!? Eirene Areshild?!"

Denyut berhenti, menyadarkan semua. Mirabelle tercenung, mengenali sosok barusan yang muncul di benak mereka. Permintaan tolong barusan pun Mirabelle yakin benar datang dari wajah yang sangat familiar baginya.

"E-eirene ... jadi benar kamu dibelenggu oleh Kehendak?!"

Mirabelle bangkit, meraih tombak Giruvedan dan mengacungkannya ke arah kubah. Pancaran energi pipih muncul dari ujung senjata, mewujud bilah tajam sepanjang dua meter. Mirabelle menerjang.

"Eirene, akan kuselamatkan engkau!!"

Naas, berjulur-julur rantai yang melingkupi Kehendak segera meliuk dan menyatukan diri. Rantai itu kemudian menyabet Mirabelle, menghantamnya hingga membentur tiang. Mirabelle merintih kesakitan, tapi apa daya ia tak sanggup melawan.

Sementara itu tak hanya Mirabelle, pula Zainurma tengah tertegun. Hatinya kalut, yakin bahwa wanita itu bukan Eirene yang disebut oleh Mirabelle meski ia sadar betul tak mungkin Mirabelle berbohong.

"Wanita itu ... Umi ...?" bisiknya. "Bagaimana mungkin Mirabelle mengenal Umi? Mereka 'kan berasal dari semesta yang berbeda? Lagipula, kenapa Umi dipanggilnya Eirene ...?"

Sementara itu di sisi lain, di balik pintu aula seorang cebol berkepala bantal sedang bersembunyi. Sedari tadi ia hanya melihat. Tak terpengaruh apapun, ia bersiul lirih mengetahui apa yang tengah terjadi di dalam sana.

"Ayolah, meski sesaat kamu ingin berontak, ya ~?"



Empat: Ibu-Kelam-Kaleng


"Eaaaaargh!!"

Maia dan Anita tampak tersakiti, merasakan detak yang luar biasa kuat dalam tubuh mereka. Pun Saviit dan Fluff, serta rusa-rusa yang tersisa mengalaminya jua. Siksa itu begitu kuat hingga mata terbutakan. Tubuh mereka geming, berhamburan di lantai ruang karya.

Dari gelap, lalu cerah terpandang. Dari benderang yang merabunkan itu muncul sosok seorang wanita cantik dengan roman memohon. Samar, terdengar permintaan tolong yang memelas.

Persis seperti yang dialami Mirabelle dan Zainurma.

"I-itu ... kamu 'kan ...?"

Maia sekilas ingat wujud seorang wanita di mimpinya yang lalu kala masih terjebak dalam kaleng penyegar ruangan. Seorang yang ia lihat ketika bingkainya bertubrukan dengan bingkai Adrian, bangkit dari kubur dengan tubuh penuh belatung habis menjelma cuak dari kayal.

Figur yang tak sempat ia miliki dan hanya dikenalinya melalui foto pernikahan ayahnya.

"I-ibunda?" lirih Anita.

Maia terkesiap begitu denyut melesap. Maia menoleh, mendapati Anita telah kembali membentuk diri. Tak disangkanya Anita yang baru kali ini ia temui memanggil wanita yang muncul dalam benak mereka dengan panggilan sama seperti dirinya.

Ibu.

"Apa maksudmu ibu?!" tegas Maia. "Bagaimana kamu mengenali wanita itu?!"

"G-guhhh!!" Anita terlihat menderita, memegangi kepalanya dengan dua tangan. "Ibu ... ibu siapa? Ibu Anita ...? Ibuku ... GAARHHH!!"

Anita meraung kesakitan. Permukaan tubuhnya bergelombang-gelombang, mulai kehilangan bentuknya. Tentakel itu meliuk-liuk dan mencuat ke segala arah, seperti kebingungan. Fluff bahkan tak mampu bergerak, seakan kesadarannya ikut bergejolak.

"I-Ibunda ...!"


===


"A-Anita ...!"

Seorang wanita berteriak menatap anak semata wayangnya terikat di atas altar batu, hendak dicabik di depan mata. Jeruji besi tak membantunya untuk diam, malah menjadikan ia dan puluhan wanita serta anak-anak yang terkurung makin histeris ketakutan.

Belasan tahun lalu di sebuah goa dalam Gunung Salak tersebutlah seorang pria yang keji, mengorbankan wanita dan anak-anak demi memanggil makhluk terbuas sepanjang sejarah. Ia bahkan tak peduli bila tumbal yang harus dipersembahkannya adalah istri dan anak sendiri.

Dialah Sharif Khoiruddin, ayah kandung Anita Mardiani.

"Ayahh ... kenapa Ayah melakukan itu ...?  Lepaskan Anita, Ayah ...."

"Diam!" teriak Sharif. "Aku memerlukan kalian untuk sesembahan. Sebentar lagi kekuatan iblis akan mendampingiku!"

Anita ini adalah percobaan kesekian, tak lagi Sharif sanggup menghitung. Semua korbannya tak ada yang berhasil, atau menurut Sharif: kurang banyak. Semua bangkai tumbal sebelumnya masih anyir tercium, bertumpuk di sumur yang tak jauh dari sana.

Sang Ayah lalu menyayat lengan Anita pelan, membiarkan darah mengucur. Setetes merah mengalir ke bawah, mengenai lingkaran sihir di kaki altar.

Simbol-simbol aneh yang tergambar di sana tiba-tiba menyala.

"Bingo!" seru Sharif. "Sudah kuduga sesembahan yang harus diberikan adalah yang paling berharga! Huahahaha!"

Ruangan itu seketika gelap. Awan mendung terbentuk padahal tempat itu beratap. Laun memusar, awan-awan itu membentuk putaran hitam. Sesekali terdengar gemuruh, menyaingi jeritan-jeritan gentar mereka yang tersembunyi di balik jeruji.

Kemudian dari tengah pusaran awan gelap itu muncul segumpal hitam dengan belasan tentakel menggeliat-geliat.

"Ternyata jika tumbalnya pas, sedikit darah sudah cukup. Hahaha!" tawa Sharif. "Kemarilah, Shoggoth yang agung! Kemarilah dan terimalah ak– ugh!"

Sharif tertusuk.

Makhluk itu bertubi-tubi menikam Sharif, kontan membunuhnya di tempat. Amukan sulur makhluk itu bahkan mencapai kerangkeng Ibunda Anita, membunuh sebagian yang ada di sana. Seperti tak peduli, monster gurita itu mematikan siapa saja yang terjangkau serang.

Makhluk itu lalu melompat turun dari lingkaran mendung, menghampiri batu altar pemanggilan.

"T-tidak! Mau kau apakan Anita!?"

Mata raksasa mencuat dari gumpalan besar bertentakel itu, memfokuskan irisnya pada Anita. Di bawahnya muncul pula segaris mulut, dibukanya lebar-lebar untuk menerkam si gadis kecil. Ibu Anita tak sanggup melihat.

Anita ditelan bulat-bulat.


===


Ingatan masa itu kembali mencuat dibenak Anita.

Tubuhnya menjadi nirstabil, seakan tak bisa menentukan wujud yang hendak dipakai. Tentakel di punggung meliuk-liuk kacau, permukan raga berkedut-kedut. Pula wajah Anita seperti meleleh, kehilangan paras ayunya.

"Lalu kenapa bila kau ingat akan ibumu? Kau adalah monster, Anita!" satu mulut terbentuk di pundak, menghujat Anita yang sedang kesakitan.

"D-diam!" umpat Anita kesal. "Tak akan kubiarkan ... kalian ....!"

Mulut lain terwujud di pinggang, lalu lutut. Terus bertambah hingga tak mampu lagi Maia menghitung. Ia memperhatikan dengan cengang, semua bibir mencaci Anita dengan sebutan "monster" atau "iblis".

"Kita ini satu kesadaran kolektif, Anita," ujar mulut di pipi.

"Ya ..., kamu adalah bagian dari kami," sahut yang di lengan.

"Anita yang asli telah terbunuh, jiwamu telah jadi satu dengan kami."


Tak tahan, Anita menjerit.


Lambat laun mulut-mulut itu menghilang. Tadinya berisik, kini sunyi. Badan Anita mulai stabil, membentuk diri kembali menjadi wanita bermuka elok dengan rambut seleher. Napasnya tersengal, seperti kelelahan. Anita lalu menyentuh dada kirinya dengan kedua tangan.

Dada Anita terbelah.

"M-Maia ... itu namamu 'kan? Cepat bunuh aku!"

Maia tertegun. Anita menunjukkan suatu merah yang berdenyut kuat. Kalau bukan jantung, Maia tak tahu apa sebutan untuk benda itu.

"Sebelum Prima-1 mengambil alih kesadaranku lagi," seru Anita lagi, "bunuhlah aku mumpung bisa! Satu-satunya cara menghabisiku hanya dengan ini!"

"(Maia! Lakukan saja!)" tegur Saviit yang masih terkapar. "(Ini kesempatanmu!)"

"T-tapi kenapa? Jika kulakukan, bukankah duniamu akan lenyap?!"

Peluh Anita menderas, serasa makin menderita. Ia tersungkur, tak mampu menahan beban diri. Julur di punggung kian mengganas, memecut segala yang terjangkau. Sepasang mata muncul di punggung, melihat ke arah Maia.

"T-tenang saja," lirih Anita, "Mirabelle sempat memberitahuku ... kalau kita bisa mengembalikan seluruh jagat yang terserap .... Itu jika kita menang ...."

Napas Anita makin tersengal.

"Tidak ada waktu, Maia! Cepa– aaagh!!"


===


Letupan peluru.

Mata besar makhluk buas itu lantas teralih, mencari sumber suara. Seorang polisi berdiri di sana, menodong pistol dengan gemetaran. Pakaiannya serba coklat ala polisi nusantara, dengan pin nama tersemat di dada.

Sayang kedatangannya terlambat, monster itu telah mereguk Anita.

"Pak Hariadi!" asa terkembang dalam ibu Anita, mendapati orang yang dikenal datang hendak menyelamatkan. Namun dengan apa yang terjadi, harap itu segera lesap.

"Monster itu memakan Anita, Pak!" pekiknya.

"Mein Gott," seru seseorang di sisi Hariadi.

Hariadi tak sendiri, ia bersama pria asing bernama Jurgen Wagner. Hariadi melihat sekeliling, mayat bergelimpangan baik yang masih baru ataupun telah membusuk. Hanya beberapa yang masih selamat di dalam jeruji. Ingin ia menangkap Sharif untuk menyalahkan dia, namun sang pelaku telah mati.

"Bajingan!" umpat Hariadi hendak memicu senjatanya kembali jika tidak ditahan oleh Jurgen.

"Tunggu, Pak! Makhluk itu memakan Anita?!"

Makhluk itu menemukan mangsa baru, menatap lekat kedua pria yang baru saja datang. Mulut besarnya menganga, lidah terjulur pula seakan lapar. Gurita buruk itu lalu melesat, menyerang dengan segenap tentakelnya.

"Mundur sebentar, Pak Har."


===


"Aku tak bisa membunuh!"

Melihat Anita makin kacau tak lantas menyadarkan Maia akan bahaya yang mendekap. Moralnya bergejolak, Maia bersikukuh tak ingin membunuh. Saviit tertegun, juga Anita. Bahkan Saviit tak menyangka Maia bisa begitu naif.

"(Apa maksudmu, Maia!?)" bentak Saviit. "(Apa lagi yang kamu nanti?!)"

"T-tapi ... apa tidak ada cara lain?" tanya Maia.

"Kupikir lagi, aku tak pernah benar-benar membunuh. Meski untuk sesaat, aku tak ingin ada yang mati ... aku tak mampu .... Aku tak sanggup melihat ada lagi yang jadi seperti Adrian."

"M-Maia ...," Anita merintih, "tak ada cara lain bagimu selain menikam jantungku sekarang juga ... cepatlah ...."

Maia berlutut, memegangi kepalanya yang terunduk. Ia tak lagi mau dengarkan seruan Saviit ataupun Anita. Sementara itu erangan Anita makin kuat, raganya makin tak berbentuk. Warna-warna mulai beralih gelap, badan Anita terkumpul menyerupai liat hitam. Lubang jantung yang tadi menganga, kini buntu.

Anita menggumpal.

Gumpalan itu kini menjadi seukuran gedung, tak mampu Maia mengira berapa tingginya. Atap ruangan terasa meluas, tak terpengaruh ukuran Anita yang telah melebihi seratus meter. Tentakel tetap di sana, bergeliat-geliat bersama organ-organ lain yang bertumpuk tanpa aturan.

"M-maafkan aku, Anita ...."


===


"Anita ...?"

Segumpal besar hitam tergeletak di hadapan Hariadi dan Jurgen, menjulurkan tentakel seakan merespon panggilan Hariadi. Lengan gurita itu gemetar, disambut Hariadi dengan belai halus di julurannya.

"Apa yang kamu lakukan tadi, Wagner?" tanya Hariadi. "Ap-apa ini Anita? Katakan padaku apa yang terjadi?"

"Itu Prima-1," ujar Jurgen. "Sebenarnya Anita sudah mati, jiwa dan raganya telah dimakan oleh makhluk besar itu."

"La-lalu ini?!"

"Semenjak lahirnya, makhluk ini telah memakan puluhan bahkan ratusan jiwa," terang Jurgen. "Semua kesadaran itu melebur jadi satu sehingga makhluk ini kehilangan identitas tunggal."

"A-aku tidak mengerti."

"Aku berhasil mendiamkan kesadaran kolektif itu sebelum 'jiwa' Anita ikut terlebur. Dengan begini, makhluk ini hanya memiliki satu kesadaran di dalamnya."

"... Dan itu adalah Anita?" tanya Hariadi memastikan. Jurgen mengangguk.

"Setidaknya meski Anita yang asli sudah mati, kita bisa membuat makhluk ini menganggap dirinya sebagai Anita."

"Lalu bagaimana Khadijah, ibu Anita, bisa menerima semua ini?" Hariadi spontan menoleh ke dalam kurungan, tahu bahwa kenyataan ini tak sesederhana itu untuk bisa diterima oleh orang tua manapun di dunia ini.

Namun alangkah terkejutnya ia melihat hampa.

Khadijah lesap.


===


"Grrrrrgh!!"

Gumpalan raksasa itu memunculkan puluhan mulut, mata, taring, sayap, bahkan belalai dan tanduk. Raga itu sangat tak stabil, seakan hanya terdiri atas tumpukan asal dari organ berbagai makhluk.

"Bodoh," ucap salah satu mulutnya, "seharusnya kau membunuh kami selagi dia memberimu kesempatan."

"Benar," sahut mulut lain. "Serangan biasa tak akan mempan pada kami yang tercipta dari 'kelam' ...."

"Sekarang matilah!"

Anita mencambuk. Berbeda dengan tadi, seluruh tentakelnya kini seukuran tiang bangunan. Meski sukses mengelak, hempasannya cukup untuk menerbangkan Maia. Dari arah lain Fluff yang kembali bangkit meluncurkan sulurnya ke Maia. Saviit tahu, menyeruduk Fluff untuk menghalangi niatnya.

Namun dari depan lecutan Anita tak berhenti jua.

Satu membanting. Listrik dipusatkan di telapak kaki, Maia memakainya untuk menambah daya loncatan ke sisi. Belum sempat mendarat tentakel lain meluncur. Maia menyilangkan lengan, memusatkan daya eletrik untuk menghancurkan tangan gurita saat tersentuh.

Saviit terpukul mundur, bertubrukan dengan Maia yang terhempas ledak.

"Apa tak ada cara lain untuk mengalahkannya?" tanya Maia.

"(Selain membunuh? Entahlah.)"

"Anita bilang aku punya kesempatan membangkitkan dunia mereka semua, tapi apa gunanya jika aku belum tentu menang? Lagipula, aku tak ingin melihat pemimpi menjadi cuak."

"(Awas!)"

Hantaman berikutnya. Kali ini Maia tak sempat berkelit, terhempas sampai keluar ruang karya dan menghancurkan gerbangnya. Seperti terbakar, warna hitam merambati baju Kilat yang dikenakan Maia.

"S-sial!" lekas Maia menanggalkan semuanya, menyisakan pakaian semula. Dilihatnya saja baju RAVEN menjadi abu, membaur bersama udara.

"(Maia, ayo!)" Saviit berlari keluar, mengajak Maia kabur lagi. Ia yang sadar tak lagi punya cara untuk melawan, segera melompat ke tunggangan.

"(Ugh ... apa boleh buat, lebih baik kita kabur dulu,)" embik Saviit. "(Kalau saja tubuh itu tak terbuat dari materi kelam.)"

"... Materi kelam?"

"(Itu materi pencipta kegelapan, unsur yang menekankan ketiadaan cahaya. Bukankah tadi Anita juga telah menjelaskannya?)"

Sejulur tentakel raksasa tiba-tiba mendobrak dinding, menghadang laju Maia di lorong museum. Beruntung mereka mengerem tepat waktu. Saviit segera berbalik, tapi naas. Lengan berikutnya menyusul, menjadikan kedua jalur buntu.

Mereka terjebak.

"Tunggu sebentar ... jadi tubuh itu terbuat dari unsur?!" Maia tercenung sesaat, seakan berpikir.

"ITU DIA! Kenapa kamu tidak bilang dari tadi?!"


===


"Menurutmu ke mana Ibunda Anita?"

Hariadi kebingungan. Khadijah istri Sharif lenyap tanpa bekas. Tiada tanda-tanda sel itu terbuka, tapi tetap saja sang ibu tak ada di tempat. Seluruh korban yang berhasil diselamatkan dan diungsikan oleh mereka pun tak mampu bersaksi apa-apa kecuali seberkas cahaya yang menyilaukan pandang sebelum Khadijah menghilang.

"Salah satu dari mereka bilang bahwa ia melihat makhluk kerdil dengan satu bola mata besar dari balik cahaya," lanjut Hariadi.

"Aku tak tahu," jawab Jurgen. "Untuk sementara lebih baik kita selamatkan Anita terlebih dahulu. Tidak keberatan jika kamu merawatnya?"

Hariadi menggeleng, menegaskan bahwa dirinya bersedia menerima Anita. Selagi mereka berbincang, Hariadi menginspeksi kerangkeng yang dibuat oleh Sharif.

"Tak ada apapun yang bisa kita dapat dengan berlama-lama di sini," ujar Hariadi, "kecuali kesaksian tadi, meski sukar dipercaya."

"Apakah yang barusan kau lihat tidak cukup sulit dipercaya juga?"

Jurgen meneruskan lingkar sihir yang tengah digambarnya di secarik kertas. Satu, dua, tiga, empat lembar dibuatnya. Jurgen lalu menempelkan keempatnya di setiap sudut kurungan besi.

"Dembolcen ebe ueng darjeto!"

Lantunan mantra dilafalkan, memunculkan guratan-guratan tak jelas di udara, abjad yang sukar dipahami oleh awam seperti Hariadi. Namun sebentar tulisan melayang itu terombang-ambing, bertumpukan satu sama lain.

Meledak.

Jurgen dan Hariadi terhempas hingga keluar goa, tak mengira datangnya bahaya. Beruntung mereka hanya membentur rumput sehingga tak ada masalah berarti, kecuali wajah Jurgen yang berubah pucat.

"I-ini ...," Jurgen panik. Rautnya jelas menampilkan takut.

"Khadijah diculik ke dalam alam mimpi?!"


===


"Ada sesuatu yang sebenarnya dari tadi ingin kucoba. Kalau tidak sekarang, aku tak tahu lagi kapan waktu yang tepat."

Belum sempat Saviit bereaksi pada ucapan Maia, tentakel lain dengan mata raksasa di ujungnya menerobos tembok. Lubang besar terbentuk, mempertunjukkan lagi sang gumpalan kelam raksasa. Dari pinggir bola mata muncul bibir.

"Sudah kubilang ... kalian akan kalah!"

Tentakel-tentakel yang habis dipakai untuk menembus dinding itu tahu-tahu terbelah. Tiap belahan itu langsung menumbuhkan cabang, bercabang lagi dan terus bercabang hingga menikam bumi maupun dinding dan lelangit.

Sementara Maia malah terpejam.

"Stalla ... Stalla ... Stalla ...!"

Seberkas sinar kehijauan mengurung Maia. Serangan Anita tidak melambat, tiap cabang baru yang tumbuh seketika menusuk apapun yang terjangkau. Maia terkurung dalam situasi genting meski Saviit telah berupaya menahan dengan peluru miliknya.

Benderang melesap.

Saviit takjub. Maia kini terbungkus pelindung dada dan pundak berwarna hijau-putih. Lengan kiri dan kanan pun dilengkapi baju besi serta sesuatu mirip moncong senapan yang terhubung dengan semacam pipa lentur. Pipa itu terus menyambung ke belakang, menempel pada sebuah tabung di punggung.

Saviit memperhatikan benda silinder itu, menemukan rangkaian huruf yang membentuk suatu nama.

STALLA
The Air Freshener

"Lihat aku, Saviit," panggil Maia.

"Si Kaleng Ajaib telah kembali!"



Lima: Jantung-Singularis-Mata?


"Heaaahhh!!"

Tangan kiri teracung, mengarah langsung ke sang gumpalan. Seperti lubang hitam dalam ruang hampa, bulatan serupa moncong senjata di lengan Maia menyedot segala yang tampak. Unsur, materi, zat, apapun yang bisa diserapnya maka diseraplah.

Bahkan Anita.

"(M-Maia,)" embik Saviit yang bersembunyi dan berpegangan di kaki Maia, "(apa yang sedang kau lakukan?!)"

"Jika ia terbuat dari suatu unsur, pasti Anita juga bisa diserap Stalla," ulas Maia. "Jika ia mampu dijebak dalam kaleng Stalla, aku tak perlu sampai membunuhnya!"

Bagai tergerus, tentakel-tentakel Anita berkurang. Satu demi satu untaian julur menjijikkan itu menghilang, menyisakan liat legam yang mengerikan. Pun raga itu tak aman dari sedotan, menyusut terus dalam kecepatan konstan.

"Mau apa ... kau!?"

Anita membanting sisa sulurnya, memaksa Maia untuk mengelak dan menghentikan penyerapan. Tak cukup hanya selamat, Anita mengejar Maia dengan tentakelnya. Maia terpaksa terus bergerak, membuatnya tak bisa menghisap.

Misil Saviit meluncur, melantakkan sulur yang mengejar Maia. Namun segera setelahnya Fluff menangkap Saviit, mengunci gerakannya dengan belitan tentakel.

"(Maia, lari!)"

"Uh, tanpa RAVEN aku tak bisa bergerak seleluasa sebelumnya."

Maia berlari, berusaha meloloskan diri dari juluran Anita. Tangan kanan menekan sesuatu di lengan kirinya, melepaskan ledakan api melalui moncong senjata. Satu tentakel itu terpukul mundur, tapi tiga lainnya mengepung.

Maia memunculkan besi spiral di bawah kakinya.

Memanfaatkan daya pegas, Maia melontarkan diri ke udara. Anita tak tinggal diam, menumbuhkan sulur baru dari gumpalan raganya. Maia kembali memencet tombol di lengan kiri, kali ini melontarkan angin beliung.

"U-uahhh!!"


===


"Apa kamu bilang?!"

Zainurma kalap. Ia begitu murka begitu tahu bahwa Huban melanjutkan turnamen di museum. Sejatinya ia pernah melarang siapapun menginjak museum selagi dirinya tak di sana, namun kini Huban melanggarnya.

"Benar, Tuan Kurator," balas Mirabelle. "Sepertinya aku merasakan puluhan pemimpi tengah berada di museum."

Tentu Zainurma kesal. Baru saja ia berhadapan dengan Kehendak yang membingungkan, ditambah Oneiros kabur sebelum sempat mereka bertikai. Kali ini mengetahui Huban tak mengindahkan aturannya, Zainurma tak lagi bisa menahan amarah.

Zainurma hendak pergi keluar aula jika ia tak dihalangi seseorang.

"M-maafkan aku, Om Mafia~"

"Huban!" bentak Zainurma. "Kenapa kamu berbuat i–"

Tongkat Huban berpendar kuning, diarahkan pada dahi Zainurma. Sinar yang sama juga muncul di jidat si mafia, berpijar seperti kunang. Huban tertawa kecil melihat pandang Zainurma tak berisi, menatap kosong.

"Sssh, Om~" Huban menaruh satu telunjuk di depan wajah bantalnya, "untuk kali ini saja, Om akan memaafkan Huban. Iya, 'kan ~?"

Zainurma mengangguk. Mirabelle tercengang menatapnya, tak percaya. Setahunya Kurator adalah pemilik kekuasaan tertinggi di sini setelah Kehendak. Ia tak menyangka Zainurma sampai tunduk di bawah Huban.

"Hu-Huban? Apa yang kamu laku–" kata-kata Mirabelle terpotong. Sang Dewi mendapat pijar yang sama di atas alisnya kala ditunjuk tongkat oleh Huban.

"Nona Mirabelle juga pemaaf, 'kan ~?"


===


Maia terlempar.

Angin yang dihembuskannya terlalu kuat, bahkan diri Maia pun terlontar agak jauh. Setidaknya ia selamat, tentakel Anita tak sanggup menjangkau Maia. Dipandangnya gumpalan yang ukurannya kini tinggal sehunian rumah.

"(M-Maia!)" teriak Saviit dengan tubuh masih terbelit. Mendengar itu Fluff kontan menggigit leher Saviit, berusaha menahannya lebih jauh.

"(T-teruskan saja hisap Anita!)" embiknya. "(Lekas selesaikan semua ini– aargh!!)"

Maia mengangguk, mengacungkan moncong penghisap kembali ke Anita.

Namun tak dinyana, Anita mendekat. Anita berhasil mewujud figur manusia, tapi tak sempurna. Seluruh tubuhnya hitam, tak mampu lagi membentuk warna. Seakan meleleh, permukaan tubuh Anita bergelombang-gelombang. Hanya seringai mengerikan itu yang tersisa.

"Tak akan kubiarkan ... kamu!"

Anita meluncurkan tentakel, seketika melilit lengan kanan Maia. Tubuh Maia melemas, seakan energinya terhisap semua. Lengan laun menghitam, lalu merambat ke pundak.

"U-ugh ...," Maia mengerang. "Sial!"

Dengan tinju Maia menekan tombol di tangan kiri, menembakkan petir ke tentakel Anita. Tangan Anita bebas, tapi perambatan kelam tak berhenti di sana. Maia mengarahkan senjata lengan kiri ke pundak kanan, memencetnya dengan sundul.

"Gyahhh!!"

Lengan kanan terlepas dari sendi. Darah mengucur, membanjiri pijakan. Dipandangnya saja tangan yang terputus itu melebur, menyatu dengan angin. Muka Maia memucat.

"Kamu ... akan kalah ..., Maia!"

Satu lengan Anita membentuk cakar raksasa, melesat ke arah Maia.

Maia menyundul tombol di lengan kirinya, memanfaatkan ledakannya untuk menghindar. Membentur bumi, si gadis mengaduh sakit. Dirinya tersungkur, berusaha bangkit dengan satu lengan tersisa.

"Ugh ... kita selesaikan ini, Anita!"

Maia kembali menindak penghisapan dengan satu kaki berlutut.

Anita meraung, begitu keras hingga menyiksa dengar. Maia tak peduli, terus bertahan dalam posisinya meski telinganya serasa tercabik. Tubuh Anita terus mengecil, melebur jadi abu bersama angin kencang yang turut terserap.

Tak mau menerima kekalahan, Anita berusaha meraih Maia dengan juluran lengan.

"Gahh!"

Nihil. Tentakel Anita tak mampu memanjang lebih jauh. Raga Anita terus terhisap, pelan-pelan mengerdil sampai seukuran kepal. Fisiknya meluruh laksana debu hingga menyisakan satu benda merah. Benda itu berbentuk hati, berdetak-detak seperti hidup.

Maia ambruk.

"S-sudahkah?"


===


"Setelah ini kalian akan melupakan situasi ini dan membiarkan aturan ronde tiga seperti mauku, 'kan ~?"

Zainurma dan Mirabelle mengangguk, mengiyakan perkataan Huban. Keduanya memandang ke depan, melihat hampa, berdiri dengan titik pijar di dahi. Seperti boneka, mereka seolah tak mampu bertindak selain dengan perintah Huban.

"Om Mafia pikir dengan menyerap inspirasi sebanyak-banyaknya, Om bakal bisa meraih Arsamagna sekaligus melemahkan Kehendak?" Huban tergelak. "Hihi~ Dasar pesuruh-pesuruh bodoh~~"

Huban kemudian berbalik pandang, mendekati kubah Kehendak.

"Kalian juga, singularis ~!!" bentak si kepala bantal. Ia memasang postur sok memarahi, memukul-mukulkan tongkatnya ke lantai. "Kalian 'tuh cuma perwujudan keinginanku makanya kunamai begitu~"

"Huh, ya sudahlah~" Huban menghela napas. "Sekarang kalian, kembalilah~"

Ia lalu berbalik ke arah Zainurma dan Mirabelle. Diketukkannya tongkat permen ke pijakan mereka, mengirim kembali ke ruangan masing-masing.

"Lagian Zainurma dan Mirabelle masih belum sadar meski mereka telah melihat wujud kalian sesungguhnya~~ Hihi~ dikiranya kalian terjebak dalam patung otak, padahal ya kalian itu patung otaknya~"

Huban memegang kedua sisi kepalanya, mendorongnya ke atas. Bantal itu segera terpisahkan dari badan, menampilkan sebuah bulatan besar sebagai pengganti kepala. Huban lalu merogoh dalam bantal, mengambil sebuah kertas.

Dipandanginya gambar dua orang cebol berkepalakan bola mata terpampang di lembaran itu.

"Kamu apalagi, Oneiros~" ujar Huban.

"Mau sampai kapan dirimu hanya memikirkan aturan ~?"


===[B]ersambung===



4 komentar:

  1. alur cerita Stall- eh maksudku Maia ini lumayan cepat ya? setelah masuk museum semesta langsung bertemu Ani- maksudku Prima-1 dengan wujud lain. dengan adegan pertarungan sekilas OC lain dan OC yang "dibangkitkan" dengan perebutan antara Ratu Huban dan Oneiros.

    OC yang "dibangkitkan" di entry ini lumayan banyak dari entry sebelah. kebanyakan dari Grup yang berjuang di Anatolia.

    drama yang tersaji di entry ini ada yang mengganjal. kenapa terlalu membahas masa lalu Anita? kenapa tidak membahas lebih di masa lalu Maia sebelum ingatannya terdistorsi dan berubah jadi kaleng Stalla?

    dan ternyata twist di entry ini adalah Ratu Huban yang terkesan lebih dark ternyata adalah kembaran Oneiros. jadi kesannya kaya tobi di Naruto yang awalnya terkesan bodoh ternyata biang dari segala masalah.

    oke segitu aja komentarnya. untuk votenya di lain hari aja ya? >.o)

    Dwi Hendra
    OC : Nano Reinfield

    BalasHapus
  2. Kaleng telah berubah wujud ._.
    Btw, makasih sudah meng-cameo Asher. Xixixixi (y) //plak
    Okey, kita mulai review-nya. Setelah saya kenal Stalla sbg benda yang cenderung lebih ke tokoh pengamat dan perlu bantuan karakter lain, saya mengharapkan bisa ngeliat sesuatu dalam diri Maia yg manusia. Saya kira Maia akan dijabarkan isi pikirannya, apa yang dia rasakan, penilaiannya thd sesuatu ... ternyata nggak. Saya kira masih mirip-mirip dengan penyajian Stalla. Maia masih jadi tokoh utama pengamat. Saya nggak bisa bilang ini bagus atau buruk, toh terserah penulisnya, tapi saya sejujurnya kurang sreg saja. Mungkin karena saya selalu bikin tokoh utama manusia yang dijabarkan isi benaknya, hehe. Sayangnya, saya juga gak diberikan gambaran soal pola pikir lawannya.
    Buat narasi, saya suka penggunaan kata-katanya yang nggak umum. Jadi menimbulkan kesan tersendiri. Walau kadang-kadang, penjabaran dgn cara demikian bikin flow cerita jadi kurang lancar. Saking saya terkesima dgn narasinya, saya terkadang baca itu sbg puisi alih-alih alat penuntun penggambaran kisah (srs, soalnya cerita saya sendiri not that poetic). ._.
    Untuk cerita, saya lumayan suka. Mirabelle diberi hint tentang hubungannya ke kanon (mungkin) dan endingnya yang whoa. Zainurma dan Mirabelle ternyata—ups, saya gak mau spoiler. Intinya saya seneng dan mencium hal-hal yang bagus ke depan. Semoga ini bukan cuman potensi, saya berharap realisasinya. Ceilah ...

    -Sheraga Asher

    BalasHapus
  3. - Cerita tokoh2 di dunia mimpinya punya banyak kejutan dan motif tersembunyi, Fudo nyoba ngebangun setting yang saling terkait antara Cuak-Kayal- panitia, dan konsepnya kyknya disiapin dgn serius

    - Gaya bahasanya juga unik. tapi gaya unik ini gak selalu bisa dipake. kadang kalo dipake di situasi2 di mana pertempuran terjadi dlm tempo cepat, pake gaya dan kosakata puitis itu bisa bikin kesan pertempuran malah jadi melembek. Jadi Fudo mesti cari timing yg pas untuk make jenis narasi yg diusahain sbg ciri khas itu

    - plot berputar dgn nggak terduga di sekitar panitia, ada flesbek juga tentang Anita. Tapi karakter Maia bener2 belum digarap. Sepanjang cerita, karakter Maia keliatan kayak non-playable character yang sifat serta perjuangan emosionalnya nggak kegambar. Tapi karena dia adalah jagoannya, jadi dia menang.

    - Di sisi lain, pengolahan karakter Anita juga udah diupayakan dgn flashback dan mengaitkan cerita besar yg Fudo bikin. Tapi sama, karakter dan sifat Anita di sini kerasa lebih mirip monster yg cuma punya 1-2 script dialog ala monster zombi berpemikiran rendah, dan cuma ada sebagai kyk monster gurita di game utk dikalahkan. bukan sebagai karakter yang punya kedalaman.

    - Cukup dulu sampe sini. Mudah2an klo pendapatku dirasa bener, bisa utk improvement ke depannya

    BalasHapus
  4. Halo, Fud,...

    semua review sudah dinyatakan oleh komentator sebelumnya, khususnya pak Po yang sudah bilang bahwa kosakata puitis nggak harus berada di semua tempat. Untuk adegan petarungan, saya sepakat kalau teralu puitis malah jadi salah tempat alias lebay.

    Tapi, kalau saya, menikmati alur cerita entry ini meskipun cepat. saya cuma sayang aja kenapa momen-momen tragis dan emosional nggak dipeksplor lebih jauh, pun juga dunia batin, dunia emosinya para tokoh.

    anyway, saya suka gaya bahasamu di entry ini, terepas dar jargon-jargonnya. nilai dan vote saya tahan dulu deh.

    Rekgards, Rakai A.
    OC Shade

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.