Senin, 13 Maret 2017

[ROUND SEMIFINAL - 2] NAMOL NIHILO | LIMA


oleh : Aesop Leuvea
--

LIMA



Identitas


Devalt

"Apa kau kemari karena kau sudah mati?" tanya suara halus milik makhluk serupa mannequin laki-laki. Ia tidak mengenakan apa pun di sekujur keberadaannya yang mulus, berpendar, dan bersayap, selain topeng bundar sederhana berekspresi muram.

"Aku ... a-aku juga kurang begitu paham," jawab yang ditanya—makhluk jangkung dan langsing berkulit gelap, bermata merah, berambut ikal oranye. "Apa aku sudah mati?"

Si mannequin mengangkat bahu sambil menggeleng. "Kurasa, iya. Kurasa kau bukan Sephira atau saudaraku. Tapi kau ada di sini. Tidak ada penjelasan lain. Kau sudah mati, maaf."

"Oh ...."


"Jangan terlalu dipikirkan. Kematian, maksudku. Baiklah, sebutkan identitasmu sebelum masuk ke dalam."

"Identitas?" Si makhluk jangkung melamun.

"Iya, identitasmu. Atau ... jangan-jangan kau kehilangan ingatan? Kalau begitu duduklah dulu."

"Terima kasih."

Dua makhluk itu duduk bersebelahan. Bersandar di sisi brankas hitam raksasa, satu-satunya benda yang ada di ruang putih tanpa ujung ini.

"Hey ...," kata si makhluk jangkung tiba-tiba, "aku mengingat sesuatu. Ya. Namaku Namol Nihilo."

"Namol Nihilo," kata si mannequin sambil mengangguk. "Bagus. Lalu?"

"Atap. Aku sedang berada di atap rumahku waktu itu."

"Jadi, Namol, kaulompat dari atap? Mati bunuh diri?"

Namol menggeleng buru-buru. "Bu-bukan! Aku berada di atap ketika aku mengetahui identitasku. Ya ... pasti begitu."

"Hm, baiklah. Ceritakan semuanya."



***



Bingkai Mimpi Bumi-Regaia

Siang itu di atap rumahnya. Ayahanda Namol, Messier Hamal, memberikan penjelasan. Tentang masa lalu, masa depan, dan identitas terpendam. Sambil menggunakan ekspresi was-was yang baru sekali ini Namol lihat, sang ayah mengeluarkan buku kecil bersampul cahaya-padat dari saku jubah laboratoriumnya.

Jurnal perjalanan.

Namol menerima buku itu dengan perasaan tercampur. Ia berjalan pelan ke tepi atap. Sempat tegang melihat panorama anomali Bumi-Regaia di hadapannya. Ia duduk bersila. Menarik napas, membuka halaman pertama.

Oulversa ..., adalah suatu tempat di luar tatanan seantero multisemesta, seantero multidimensi, yang akan, dan pernah ada.



***



Oulversa

Kisah di tempat yang tidak pernah ada ini, dimulai ketika Namol kecil memperhatikan Binaki, sang penjaga berbangsa Rillia, bekerja.

Setiap harinya Binaki selalu menanam pagar pelindung. Semata, agar bangsanya bisa tetap mengabdi pada para Sha-Mayael tanpa harus hancur. Dan setiap hari semenjak bisa mengingatnya, Namol kecil selalu asyik memperhatikan proses pekerjaan itu.

"Bagaimana mungkin pagar sekecil itu bisa melindungimu dari kehancuran?" tanya Namol kecil sambil mendongak, karena Binaki merupakan makhluk besar.

"Kira-kira ... jawabanku sama seperti kemarin," dengus Binaki. Suaranya dalam dan berdentam di kekosongan hitam yang luas. Ia baru saja selesai menanam kayu keenam. Pagar terakhir.

Dari kejauhan, enam kayu itu seolah mengambang di kehampaan.

Oulversa memang tidak memiliki batasan bagi pijakan dan langit. Semua juga kadang entah berwarna hitam pekat, menjadikan para penghuninya berpendar seperti kunang-kunang. Atau putih menyilaukan, menjadikan penghuninya membara seperti sedang diselubungi bayangan.

Meski begitu, bagi para penghuninya sendiri, Oulversa merupakan tempat ramai dan dipenuhi warna. Karena di sini siapa pun bisa merasakan apa yang ingin ia rasakan, menyaksikan apa yang ingin ia saksikan, menciptakan segalanya. Semua berdasarkan kehendak masing-masing.

Penghuni tetap Oulversa sebenarnya hanya para Sha-Mayael. Tapi para Sha-Mayael selalu menciptakan satu bangsa yang dikhususkan untuk menjadi pelayan mereka. Dan bangsa pelayan itu sering berganti. Kebanyakan dihancurkan karena teledor.

Saat ini, bangsa Rillia adalah pelayan para Sha-Mayael.

"Mabuk lagi, Binaki bedebah?!" damprat suara menggelegar berkesan feminin. "Suatu hari nanti Rillia akan hancur karena kau terlalu sibuk menanam kebodohan daripada pagar pelindung! Oh, lihat dirimu! Demi para Sha-Mayael yang bertanggung jawab atas penciptaan ini ... heh, pemabuk, berapa satu ditambah satu?"

"Mmmh. Sayang, kenapa kau selalu membuatku depresi? Tentu saja jawabannya sebelas," kata Binaki pada istrinya, Citruillen, yang baru saja datang.

Citruillen menampar suaminya.

"Namol, apa Binaki sudah menanam pagar pelindung hari ini?"

Namol kecil yang sedang memperhatikan eksistensi seantero multisemesta, seantero multidimensi, di antara spasi pada kedua tangan mungilnya, mendongak. Karena Citruillen juga merupakan makhluk besar.

"Sudah tadi."

Ketiganya lalu duduk bersebelahan. Citruillen sibuk memainkan berbagai instrumen musik; Binaki minum-minum sambil bernyanyi sumbang; Namol kecil lanjut mengobservasi.

Namol kecil adalah entitas spesial di Oulversa. Karena ia satu-satunya Sha-Mayael yang dilahirkan. Sementara Sha-Mayael lainnya merupakan keberadaan awal. Pencipta.

Dan yang melahirkan Namol kecil ke Oulversa ini adalah Sha-Viendei—Sha-Mayael yang bertanggung jawab atas penciptaan kekuatan, kebebasan, dan ketidaksengajaan.

Sha-Viendei kerap memberi pesan-pesan menyenangkan dengan inti sama pada dua Rillia—Binaki dan Citruillen—yang dipercaya bisa mengurus Namol kecil. Pesan agar mereka berdua tak perlu sungkan mendidik Sha-Mayael cilik itu sesuka mereka.

Hasilnya, Namol kecil mendapatkan seluruh kebebasan untuk berekspresi.

"Hik-hik. Siapa yang sedang kauintip kali ini, heh, pendek?" tanya Binaki, melongok ke bawah. "Hey ... tadi dia ada! Di mana dia sekarang? Sha-Mayael memang misterius."

"Janggutmu menyembunyikanku, Binaki," kata Namol kecil sambil merangkak keluar.

"Ah. Kupikir kau lenyap. Jangan sembunyi di antara janggutku! Dan ... hik. Hey, apa itu?" Binaki menunjuk pemandangan semesta spesifik yang sedang diobservasi Namol kecil. "Olala! Apa makhluk itu baru saja memakan sesuatu lewat pantatnya?"

"Bukan bodoh, itu memang wajahnya! Mereka kembar!" Namol kecil tergelak. Ia besarkan lagi skala observasinya menjadi seantero multisemesta, seantero multidimensi.

Kali ini Citruillen yang bertanya. "Lalu ... apa itu? Apakah semuanya baik-baik saja? Kenapa mereka semua bergerak?"

"Jangan khawatir. Ini adalah Nevodia, kemampuanku. Akan lebih menarik kalau mereka bisa selalu mendapatkan hal baru, kan?" Namol kecil tersenyum senang dan polos. "Semuanya akan baik-baik saja."

Tapi Sha-Mayael cilik itu salah. Kebebasannya telah melahirkan malapetaka terbesar bagi dirinya sendiri.

Nevodia Namol menjadikan seantero multisemesta, seantero multidimensi, bergejolak.

Tragedi ini mendapat respons yang sangat cepat dari para Sha-Mayael lainnya. Dan sebelum Namol kecil menyadarinya, ia sudah berdiri sendirian di sebuah persidangan.

Oulversa seakan meledak-ledak, terbagi-bagi ke dalam kilasan bayangan acak tak terhitung, ketika para Sha-Mayael saling melempar kebijaksanaan dari hal-hal yang menjadi ciptaan sekaligus tanggung jawab mereka.

Namol kecil ditekan habis-habisan. Sha-Mayael cilik itu dibuat tidak tahu harus berbuat apa, karena ia sendiri menyadari ia salah dan pantas mendapatkan amukan.

Sampai akhirnya, Sha-Viendei maju membelanya. Terjadi argumen-argumen baru—dan pertukaran argumen para Sha-Mayael merupakan perang sampai pembaruan kosmis terbesar bagi seantero multisemesta, seantero multidimensi.

Kemudian, secepat dimulainya, persidangan pun selesai. Keadaan ingar bingar padam seperti nyala lilin yang diterpa angin. Para Sha-Mayael kembali pada kesibukan mereka masing-masing. Oulversa kembali menjadi hitam dan putih yang hampa dan tidak berada di mana-mana.

Sha-Viendei bersimpuh di hadapan Namol kecil menggunakan wujud sederhananya, merangkul pundak Sha-Mayael cilik itu. "Menangislah," katanya. "Kau tidak akan disidang kalau hanya karena itu."

Dan Namol kecil pun melepas tangisnya. Meminta maaf berulang-ulang. Entah sampai berapa lama, tapi di satu titik akhirnya ia memutuskan untuk berhenti meratap. Memilih untuk mencoba memperbaiki kerusakan dari apa yang sudah terjadi daripada sekadar menyesalinya.

Sha-Viendei, dengan ungkapan yang bisa diterima, tanpa menyakiti, kembali menjelaskan konsekuensi perbuatan Namol kecil.

Seantero multisemesta, seantero multidimensi, berada dalam posisi diam dari sudut pandang para Sha-Mayael di Oulversa. Semua materi pada beragam eksistensi di dalamnya pun, sampai akhir, seharusnya berjalan sesuai rencana mereka.

Tapi Nevodia Namol kecil menjadikan sesuatu yang diam itu bergerak. Mengacaukan segala sistemnya sampai ke noktah terkecil. Menciptakan sistem baru.

Tidak seharusnya seantero multisemesta, seantero multidimensi, hancur tanpa sisa dalam satu detak yang bersamaan. Sekarang, berkat Namol kecil, semua itu bukan lagi hanya kemungkinan belaka. Tapi suatu hal yang pasti akan terjadi.

Meski sebenarnya tragedi di luar rencana bukan hal baru di antara para Sha-Mayael sekalipun, normalnya, kerusakan semacam ini bisa diselesaikan dengan kerja sama biasa. Jika saja pelakunya bukan Namol kecil. Entitas spesial, anomali, di Oulversa.

"Kau merupakan singularis tanpa penyeimbang. Tidak seperti Sha-Mayael lain yang saling melengkapi dalam tugas menyokong semua ciptaan mereka," jelas Sha-Viendei. "Kau adalah kekuatan yang tidak bisa dipadamkan dengan apa pun kecuali kekuatanmu sendiri."

"Apakah aku bisa memperbaiki ini semua?" tanya Namol kecil. "Aku tidak ingin menjadi sesuatu yang menghancurkan."

"Apakah hanya itu kekhawatiranmu? Karena Sha-Mayael akan menciptakan kembali semuanya setelah proses kehancuran selesai. Begitulah hasil persidangan. Kami akan menunggu."

Namol kecil menggeleng. "Maaf. Ada lagi. Aku ... aku juga sangat menyukai mereka. Semesta-semesta, tersembunyi, terlarang, alternatif, berparalel, dan dimensi-dimensi yang bertumpuk! Semuanya."

"Maka biarkan mereka berakhir. Bukankah itu keputusan bijaksana? Lebih daripada mengikuti sistem keabadian para Sha-Mayael? Kau membawakan mereka kesempatan untuk beristirahat bersama-sama. Mengulang segalanya dari nol."

"Tidak ... maaf. Aku tidak bisa. Aku harus memperbaiki semuanya! Tolong jawab aku, apa aku bisa memperbaiki semuanya?!"

Sha-Viendei tersenyum. "Bisa." Lalu ia menjelaskan satu lagi konsekuensi yang harus dihadapi Namol kecil.

Untuk bisa memperbaiki semuanya, Namol kecil harus meninggalkan Oulversa. Kenyataan ini membuatnya jatuh bersimpuh dan kembali menangis. Bagaimana pun, Oulversa adalah rumahnya.

Setiap penghuni Oulversa bisa meninggalkan Oulversa kapan pun mereka mau. Tapi tidak ada satu pun yang kemudian bisa menemukan cara untuk kembali.

"Kekacauan bisa terlahir dari tempat paling tersembunyi. Orkestra bayangan. Tapi keteraturan harus memiliki representasi. Kau ingin menjadikan segalanya kembali normal, kau harus membuat mereka semua mendengarkan dan percaya. Pergilah. Hadapi mereka semua secara langsung."

"Ya ...."

Dan dengan begitu, setelah berpamitan pada Binaki dan Citruillen, Namol kecil menjalani proses perjalanan satu arahnya. Meninggalkan rumah selama-lamanya.



***



Bingkai Mimpi Bumi-Regaia

Namol berhenti membaca jurnal perjalanan. Menutup buku itu buru-buru setelah secara asal menandainya. Saat ini, ia bahkan tidak tahu harus terkejut karena apa. Fakta bahwa dirinya berasal dari tempat yang tak pernah ada di mana-mana—bernama Oulversa, atau kehebohan tiba-tiba yang terjadi di setiap sudut Bingkai Mimpi-nya.

"Mereka bertambah," gumam alien berambut oranye itu, takjub. "Bingkai Mimpi."

Dari atap rumahnya, fenomena penambahan sangat jelas terlihat. Awalnya hanya wilayah demi wilayah baru yang bermunculan. Berarak seperti awan abstrak. Memecah belah dimensi. Lalu negara-negara, lautan, sampai akhirnya benua, dan banyak sekali tempat-tempat ajaib.

Bingkai Mimpi Namol yang semula hanya sebatas wilayah Chicago dan sedikit elemen lubang hitam, kemudian meluas menjadi keseluruhan daratan Amerika, sekarang berubah menjadi seisi Planet Bumi dan seisi eksistensi Regaia.

Semua keramaian sempurna itu tercampur dalam fase anomali, selayaknya wilayah Manhattan Hutcherson dan Jess yang mewujud sebagai semacam pesawat kertas kolosal.

Dua benua, Asia dan Eropa, memuntir ke atas seperti tornado. Terpecah lalu menjadi kembang api peradaban-peradaban yang tak terhitung jumlahnya; ketika menghantam gelora lapisan langit serupa denyar cat warna-warni di wadah kristal.

Barisan pegunungan timbul-tenggelam di permukaan bumi dalam bentuk tangan yang menggapai-gapai. Bergerak menyiku. Di antaranya terdapat hutan, gurun, laut, dan danau yang menjelma menjadi milyaran transportasi. Mereka berdinamika, bermain-main bersama para raksasa yang terbentuk dari benturan semua elemen cuaca dan musim.

Menjadikan atmosfer alien milik seluruh lingkungan hidup lubang hitam Regaia terlihat normal. Monster-monster besar yang meraung kelaparan. Bangsa-bangsa kecil yang sibuk berperang. Teknologi-teknologi yang mendaur ulang tata letak bintang dan planet; memproses reaksi nuklir dan semacamnya pada lapisan kosmis yang mati lantas berguguran seperti hujan.

Hal-hal irasional itu tercampur. Bergerak berdampingan, tapi, seperti yang sudah-sudah, tidak bersama-sama. Penduduk Planet Bumi tetap beraktivitas seperti biasa tanpa merasakan perubahan apa pun. Begitu pula dengan penghuni Regaia.

Namol sendiri, yang menyaksikan semua itu, hanya bisa merasakan persepsi tentang kepungan suatu panorama hiper-surealis-komikal. Dan, anehnya, familier.

"Nak," panggil Messier.

Namol menoleh untuk melihat sang ayah, yang ternyata sedang memegangi Danny—manusia rumit, berasal dari Museum Semesta.

Alasan Danny bisa ikut ada di atap saat ini adalah kemampuan khusus dalam memindahkan sesuatu. Namol membutuhkan kemampuan itu untuk memisahkan semua hal yang bersemayam dalam tubuhnya.

Karena menurut manifestasi mimpi buruk bernama Timiel Isadore—musuh utama di pertempuran yang lalu, dan kini sudah ditelan oleh Namol berkat bantuan Maria Venessa—Namol menyimpan banyak hal di dalam perut. Tapi entah apa.

"Danny!" Namol berlari menghampiri si manusia rumit yang sedang dipapah oleh Messier. "Ayah, kenapa dia?"

"Buffering, mungkin? Dia tiba-tiba saja seperti ini, Nak."

"Mereka kembali ...," Danny menggumam susah payah. "Sang Kurator ... dan dewi itu. Sialan. Museum Semesta menginginkan semua karyanya untuk pulang."

"J-jangan pergi sekarang," kata Namol, pelan. "Kau belum membantuku."

"Siapa bilang aku mau?" Danny meringis. "Atau ... ugh! Begini saja. Aku tidak ingin kembali ke tempat itu sebagai karya, tapi manusia bebas. Jadi ... tolong aku. Setelah itu aku mungkin membantumu."

Namol mengangguk mantap.

Sudah banyak yang terjadi di atap ini. Dan, Namol harap, semua itu akan berhubungan. Penyerahan buku jurnal berisi identitas rahasia, lalu ... kesempatan untuk mengetahui apa saja misteri yang terkubur di dalam tubuhnya.

Kesempatan yang selamanya hilang jika Danny ditarik pulang ke Museum Semesta.

Antimateri, pikir Namol. Tapi lalu ia meragu. Apa itu cukup? Bagaimana dengan yang lainnya? Mahakarya-mahakarya, selain Danny, yang ikut mengungsi dari Museum Semesta ke Bingkai Mimpi ini. Mereka semua adalah sahabat. Apa ... enggak ada cara lagi?

Terlintas segera satu nama kemampuan lain. Nevodia.

Bukankah, di dalam jurnal perjalanan, Nevodia merupakan kemampuan yang mampu mengacaukan segala penciptaan atau apa pun itu?

Dari ragu, Namol berubah kalut.

"Nak, dia semakin memudar."

"Y-ya. A-aku juga bisa melihatnya."

"Cepat, bodoh ... tolong aku ...."

Tidak ada waktu lagi. Namol menyentuh pundak Danny.

Semua bisa kuselamatkan ... SEMUA BISA KUSELAMATKAN!

... Nevodia!

Cahaya hitam dan putih menyelubungi, bukan hanya Danny, tapi seluas wilayah rumah besar. Namol langsung bisa melihat perubahan kondisi si manusia rumit. Ia pulih, kembali bisa berdiri sendiri.

Efek Nevodia bertahan sampai Danny menyuruh Namol untuk menghentikannya. Tarikan dari Museum Semesta pada karya-karyanya sudah berlalu.

Berganti, menjadi tarikan pada para Reverier yang tersisa. Dan Namol tidak sempat melakukan apa pun untuk itu selain berteriak.

Ia lenyap ditarik begitu saja. Kembali ke Museum Semesta.



***



Devalt

Kembali ke ruang putih tanpa ujung, dimana hanya terdapat brankas hitam raksasa, dan dua makhluk yang sedang duduk bersandar di sisinya.

"Jadi kau mati dalam perjalanan menuju Museum Semesta?" tanya si mannequin.

"Ummm. Kenapa kau selalu mengakhiri tindakanku yang berjeda dengan prediksi kematian?" kata Namol, tersinggung.

"Karena kau ada di sini. Dan tugasku untuk mencatat semua tentangmu. Sekaligus, kurasa, aku juga memang senang menduga-duga."

"Begitu. Tapi, yah, aku selamat sampai ke Museum Semesta. Setidaknya seingatku. Ngomong-ngomong, tempat apa ini sebenarnya? Siapa namamu?"

"Namaku Zizi," kata si mannequin. "Sementara tempat ini disebut Devalt oleh para penghuni Planet Sephira—"

"Tunggu! Zizi ... Planet Sephira ... dan Devalt, katamu?" gumam Namol, menerawang.

"Iya. Devalt adalah tempat bagi mereka yang sudah mati dan siap dimasukkan ke dalam brankas untuk diproses."

"P-proses seperti apa?" Namol membayangkan cara kerja mesin cuci.

Zizi angkat bahu. "Aku hanya bertugas menjaga tempat ini dan menanyakan riwayat arwah-arwah."

"Nah," Zizi melanjutkan, "jika kau tidak mati di perjalanan menuju Museum Semesta, apa kau bisa menceritakan lebih jauh lagi?"

"Ng, ya." Namol meremas-remas rambut oranyenya. "Memang masih agak kabur dan acak. Tapi kurasa ingatanku mulai pulih. Aku ingat sekarang ... apa yang kulakukan di Museum Semesta setibanya aku di sana."

"Bagus." Zizi mengangguk. "Karena sejauh ini aku hanya mendapatkan namamu ... dan bukti kalau kau ini sangat delusif. Identitas yang aneh."

"H-hey apa maksudmu delusif, aneh? Dan dari mana kau mendapatkan papan berjalan berkerangka serta pulpen berujung tengkorak itu?"

"Ah, ini. Aku memang menyukai anatomi."

"Oh, aku paham—hey, Jiji, b-bukan itu masalahnya!"

"Namaku Zizi, Nomor Judul."

"... Namol! Namol Nihilo. Baiklah, setidaknya tulis saja namaku dengan benar."





Nincompoop Bersaudara


Suatu tempat di Alam Mimpi

Museum Semesta ternyata hanya persinggahan. Setelah ditarik paksa dari atap rumahnya, Namol tiba di House of Memory, salah satu ruangan museum; tempatnya melakukan pertarungan terakhir, dan kini sudah kosong karena semua penghuninya mengungsi ke Bingkai Mimpi si alien berambut oranye.

Mantan Dewi Perang, Mirabelle, datang menjemput ke situ. Membawa si alien ke semacam koridor tempat Sang Kurator berada, dan tak lama kemudian, ketujuh Reverier yang tersisa ikut bergabung.

Lalu semuanya dibawa pindah lagi. Dan di sinilah mereka berada sekarang. Suatu tempat di Alam Mimpi.

Pertengahan hutan belantara.

Api unggun yang lumayan besar menjadi satu-satunya sumber penerangan. Cahaya itu meretih menekan hawa kesunyian sosok-sosok yang duduk mengelilinginya, serta siluet mencekam pepohonan dan semak di belakang mereka. Bunga-bunga merah-panas beterbangan di antara formasi persegi onggokan kayu lembap ke langit tak berhias.

Tertimpa atmosfer itu, Zainurma, Sang Kurator, kelihatan sangat misterius ketika menjelaskan tentang inspirasi tertinggi—Arsamagna—yang harus diperlihatkan kedelapan Reverier pada pertarungan selanjutnya.

Namol kurang menyimak dan lebih banyak memikirkan hal lain. Jadi ketika Sang Kurator selesai memberi penjelasan lalu menghilang, ia cukup kebingungan harus melakukan apa.

Inspirasi tertinggi? Arsamagna? Alien itu memijat kening, memperhatikan api. Dan lebih banyak pertarungan ....

"Boy, jangan melamun," kata satu makhluk yang duduk di sampingnya. "Apa kau kurang pintar?"

Namol mengira makhluk itu Reverier lain. Sebentar lagi ia akan tahu kalau perkiraannya salah.

Makhluk itu memiliki bentuk selayaknya miniatur tebing curam yang mengenakan kacamata renang dan mafela.

"Ikut ke sini, Boy," ia memerintahkan. Suaranya terlampau cool untuk penampilannya yang seperti lelucon. "Ke kelompokmu."

Namol baru sadar. Saat ini hanya dirinya dan makhluk itu yang masih duduk di lingkaran api unggun. Para Reverier sudah berdiri terpisah sesuai kelompoknya.

Si alien pun ikut berjalan ke satu sudut remang.

Ada tiga Reverier yang berdiri dalam jarak amannya masing-masing. Diam dan terasa waspada. Lalu satu lagi makhluk konyol—yang ini berbentuk gigi geraham beraksesoris celana kedodoran, dan topi glamor dipakai miring.

Dua makhluk itu mengaku sebagai penghuni asli Alam Mimpi yang hidupnya hanya dipenuhi kepopularitasan. Mereka juga merupakan pemandu kelompok ini.

"Kita biasa dipanggil Nincompoop Bersaudara, Yo," kata si geraham. "Dan sebelum kita kirim kalian, empat Reverier kampungan, ke arena, kita mau kasih sedikit pendidikan soal mahalnya harga tanda tangan kita. Lima miliar Sheepfond, Yo!"

Si tebing curam menimpali, "Boys, Girls, kita juga sultannya swag comm—"

Namol mengabaikan bualan kedua makhluk itu, dan mencoba memperhatikan tiga calon lawannya. Tapi tidak terlalu jelas karena temaram.

Yang bersandar di pohon bersama dombanya, terlihat seperti wanita. Wow ... dia kelihatan tenang banget, pikir Namol, berdebar. Pandangannya bergeser. Ada satu laki-laki, berpostur tegap. Dia pasti sangat kuat! Dan ... seorang gadis berjubah tebal? Tunggu, apa dia mencoba memukul dua makhluk mimpi itu? H-hebat! Kumohon, lakukan!

"... begitulah secuil cerita ketenaran kita. Sekarang kalian berempat enyahlah, Yo!" sembur si geraham tiba-tiba.

Sementara si tebing curam melempar semacam pigura ke tengah-tengah keempat Reverier. Pigura yang bekerja seperti lubang hitam.

Hasilnya, sekali lagi, Namol tidak sempat melakukan apa pun selain berteriak, ketika mendadak ditarik ke tempat yang lain. Kali ini, ke arena pertarungannya.



***



Devalt

"Kau mati karena terisap pigura?" tanya Zizi si mannequin bersayap. "Atau karena omong kosong dua makhluk konyol itu?"

"Omong kosong keduanya. Tapi enggak sampai membunuh. Nyaris, sih," kenang Namol. "Oh, iya, Zizi. Kau tahu ke mana pigura itu membawaku?" Si alien berambut oranye tiba-tiba merasa dingin.

Zizi angkat bahu. "Tentunya tidak, karena kau mencoba menggantungku atau memang belum ingat. Jadi, ke mana?"

Namol mengusap kepalan tangannya sambil memasang ekspresi berpikir keras yang tersenyum. Mata merahnya menyipit memperhatikan kekosongan putih di ruang tanpa ujung ini.

"Ke Planet Sephira," jawab alien itu. "Bingkai Mimpi Planet Sephira."





Permainan di Negeri Serba Ada


Bingkai Mimpi Planet Sephira

Daratan Solnile

Namol, bersama tiga lawannya—plus satu domba, mendarat menggunakan cara masing-masing di permukaan datar yang kerasnya seperti berlian. Keempat Reverier itu telah tiba di arena pertarungan mereka. Berdiri bersebelahan. Tampak tangguh dan siap.

"S-s-s!" pekik tertahan Reverier berjubah tebal yang seketika meringkuk seperti bola bervibrasi. "S-s-s-S!"

"S? Oh, s ... embelit?" tebak Namol, berjongkok di dekatnya. Prihatin melihat kondisi itu. "S ... elalu bergetar karena cinta? B-bukan. Jadi, apa? Beri aku petunjuk tambahan!"

"S-s-s-s-s ...."

"Bagaimana kalau, s ... elamat datang di tempat bening ini?" sahut Reverier lain, laki-laki tampan berpostur tegap, polos. "Apakah wilayah ini miliknya?"

Reverier keempat, wanita cantik berambut pendek, secara sopan ikut menimpali, "Mungkin bukan huruf 'S'? Tapi kata 'es' yang berarti dingin atau ... eskalator? Anda baik-baik saja, hm, Nona?"

"S ... s ... s ...."

"Baaa-baaa!" Domba aneh milik si wanita berambut pendek menyeruduk pelan.

Si jubah tebal memukul gemas permukaan keras di sampingnya. "S ... s ... SSSILLLAU! Terlalu terang! Ini bukan permainan tebak kata! Aaah, aku mati! Apa iya? Tidaaak!"

Dan langit cerah di atas mereka tiba-tiba berubah mendung. Benderang kehangatan siang mengerjap menjadi kegelapan malam yang dingin. Awan-awan kelabu, besar, bergerak perlahan. Bergemuruh. Berusaha membentuk, atau memuntahkan, sesuatu.

"Ini lebih baik," kata si jubah tebal. Berdiri berkacak pinggang, dan, seperti tiga Reverier di sampingnya, mendongak ke langit hitam.

Terlihat di sana, sesosok bercahaya yang tampak seperti mannequin laki-laki bersayap, mengenakan topeng berekspresi senang. Ia mendarat perlahan. Membentangkan kedua tangan dan terkekeh.

"Nora, Shade, Anita, dan Namol," katanya, nyaring. "Akhirnya kalian datang juga. Maafkan sambutanku yang sederhana. Perkenalkan, namaku Nini. Anak emas Klan Sephira."

Namol melihat uluran tangan di depan wajahnya. "Halo," kata si jubah tebal. "Namaku Nora. Ini waktunya berkenalan, kan? Salam kenal. Kau kelihatan lumayan enak—maksudku bersahabat."

"O-oh, ya, kenalan. Tentu. Namaku Namol. Namol Nihilo. Senang berkenalan denganmu."

"Ah, jangan terlalu senanglah!" Nora tersenyum. Ia melirik dua Reverier lain.

"Kalian bisa memanggilku Shade," kata si laki-laki tampan berpostur tegap.

"Nama saya Anita Mardiani," kata si wanita cantik berambut pendek.

"Domba yang manis, Anita. Apa dia menggigit?" tanya Namol. "B-bisa geser dia sedikit dari betisku?"

"Hm, tenang saja. Dia hampir selalu jinak, Namol," Anita berjanji. Suaranya mengesankan wanita itu sedang tersenyum. Tapi ekspresinya datar. "Ke sini, Domba."

"Baaa."

"Hey, manusia cokelat. Aku menggigit, lho. Tapi jangan usir aku, ya?" goda Nora ke Namol yang langsung gemetar: ("S-s-s!"). "Maksudmu, s ... ilakan telan? Yey! Kelingkingmu masih kepakai enggak?"

"Maaf, Nini," kata Shade pada si mannequin, "tempat apa ini sebenarnya?"

Bukannya menjawab, Nini malah kembali terkekeh.

"Ha-ha! Mungkin sebaiknya jangan terlalu akrab! Tapi aku memang tidak bisa menyalahkan itu. Kalian sedang berada di Planet Sephira. Sekarang, sebelum kalian kutendang ke pulau masing-masing, tolong jawab pertanyaan ini.

"Apa yang sebenarnya ingin kalian lakukan di sini? Apa ..., tujuan kalian?"

Keempat Reverier saling bertukar pandang. Ekspresi mereka berubah-ubah—kecuali Anita, dan pada akhirnya tidak ada yang mengatakan apa-apa.

"Benar," kata Nini, berjalan mendekat. "Kalian tidak mengingat apa-apa. Nah, semoga beruntung!"

Pijakan keras di bawah kaki keempat Reverier meleleh dalam sepersekian detik, secara bersamaan lalu menelan mereka semua. Masing-masing tergulung kebekuan dan terbawa arus ke empat arah yang berbeda.



***



Devalt

Ruang putih tanpa ujung ini tiba-tiba ramai.

"Jadi kau bertemu dengan Kakak Pertamaku, Nini, dan mengikuti Sephira Festival?!" tanya Zizi, sangat antusias. "Pantas saja kau kehilangan ingatan!"

"Y-ya, begitulah!" Namol mengangguk-angguk ragu. "Tapi, tunggu dulu, apa yang kaulakukan di sini?! Sejak kapan ...."

Bola jubah tebal bervibrasi yang Namol teriaki pun menggumam, "Oh? A-aku, ya? Jangan hiraukan aku. Aku cuma ketakutan. Hiks, di sini terang banget, sih ...."

"Nora? Hey, ini aku!"

"Eh? Ya?" kata si bola jubah tebal bervibrasi. "OH! Suara yang lumayan enak itu ... kau Namol?"

"Memang aku. Nora, sedang apa kau di sini?"

Tanpa memperlihatkan wajahnya pun Namol tahu Nora sedang terisak. "Entahlah," kata gadis itu, merana. "Aku takut dan lapar ... dan nyaris tidak mengingat apa-apa."

"Dia sudah mati, selamat datang di Devalt," tukas Zizi, kalem. "Nah, sebelum kau diproses di brankas, tolong sebutkan identitasmu, Nora. Lalu silakan cicipi hidangan khusus seratus arwah penasaran ini kalau kau mau." Tahu-tahu Zizi sudah menata kotak-kotak berbau lezat di hadapan Nora.

"Tempat ini selalu mendatangkan hal-hal mengejutkan," gumam Namol.

"Baiklah, aku sudah selesai," kata Nora. "Terima kasih makanannya, pemilik suara lembut."

"T-terlalu cepat!"

"Sama-sama, Nora yang selalu gemetar. Sekarang, apa saja yang kauingat?"

Nora menggelinding ke antara Namol dan Zizi. "Aku ingat ...," mulainya, "dibawa arus ke pulau itu. Pulau Teka-Teki."

"Ah, a-aku juga ingat!" sambar si alien berambut oranye. "Kalau aku, sih, dibawa arus ke Pulau Kuburan—"

Zizi membekap mulut Namol dengan sayapnya. "Sekarang giliran Nora. Nah, Nora, tolong lanjutkan. Dan ini kudapan untuk menemanimu bercerita."

"Siap!"





Kisah Tinta (Nora)


Bingkai Mimpi Planet Sephira

Pulau Teka-Teki

Nora terbawa arus sampai ke bagian selatan planet. Terdampar lalu di pulau paling berawan, paling tak bercahaya, sekaligus paling memenuhi kebutuhannya untuk merasa nyaman di ekologi asing.

"Arus aneh. Untung aku enggak dibikin basah," ia menggerutu, jalan sampai ke depan genangan air tenang yang tertampung di cerukan karang. "Oh, halo, Nora," bisiknya. "Di mana Emi?"

Refleksi dirinya menatap balik. Seorang gadis manis berkulit pucat, memiliki mata cokelat hampa, senyum sendu, dan rambut hitam yang hanya sedikit lebih panjang dari Anita. Busana yang dikenakan olehnya tampak gelap semua—pakaian dalam, jaket, rok. Kecuali jubah tebalnya yang berwarna biru.

"Sembunyi, pasti. Emi selalu begitu."

Ombak berdebur. Nora lanjut berjalan. Beberapa saat lagi ia akan mengetahui sedikit tentang pulau ini. Pulau Teka-Teki. Tapi sebelum itu, hal pertama yang harus dihadapi olehnya adalah sesosok raksasa berbentuk kura-kura arkais.

Keduanya berhadapan. Hening.

Lalu, alih-alih bergerak merayap, kura-kura sebesar gedung itu bergerak dengan dua kaki belakang. Dan alih-alih berjalan pelan sepantasnya binatang sejenis sepengetahuan Nora, kura-kura yang juga mengenakan jubah hitam itu berlari. Cepat seperti pelesatan anak panah.

"ROOORRRAAA!!!"

"WUUUAAA!!!"

Nora berlari demi nyawanya. Ekspresinya tak ternilai. Ia masuk lebih jauh ke dalam pulau. Melompati batuan tajam, rumput kering, rute-rute terjal. Ujung cakar kaki monster kura-kura itu kini hanya berjarak sepuluh meter dari rambut hitamnya yang berantakan.

"Kumohon jangan makan aku dengan kakimu!!! Tol—ah, sial ...." Nora terantuk. Jatuh menyeret ke depan. Tenggelam kemudian oleh bayangan jejak si monster kura-kura yang menukik, siap melumatnya. "TIDAAA ..."

"RORAAA!!!" tangis kura-kura raksasa. "TOLONG HENTIKAN AKU!!!"

"... AAAKKK—Eh?"

"AKU ... CELAKA ...! AKU LUPA CARA MENGEREM!!!"

Monster kura-kura melesat melewati Nora. Sampai, dengan kecepatan bodohnya, ia menubruk semacam deretan dinding kaca lalu jatuh dalam keadaan terbalik.

Daratan berguncang ...

"TOLONG AKU!!! INI BUKAN POSISI YANG BAIK!!!" pekik si monster. Meronta-ronta untuk membalik tubuhnya lagi. "ROOORRRAAA! INI KIAMAT!!! AAAAAA!!!"

... angkasa gempar.

Nora bangkit. Menepuk rumput kering yang menempel di badannya, berjalan sampai ke samping kepala kura-kura, lalu memberi tendangan sekuat tenaga.

"KAU, KAN, TADI BERGERAK DENGAN DUA KAKI! BERDIRI SAJA SENDIRI, ANTROPOID BERISIK!"



***



Arkor, adalah nama si kura-kura raksasa. Tapi Nora tidak percaya.

"Buat apa kura-kura punya nama."

Arkor ternyata merupakan pemandu pulau ini, Pulau Teka-Teki. Nora tidak percaya juga.

"Buat apa dipandu kura-kura."

Bahkan sampai Arkor memohon dengan ekspresi tersedih yang bisa dikeluarkan seekor kura-kura arkais, dan mengatakan bahwa dirinya tak berbahaya, Nora tetap tidak percaya.

"Lagi pula buat apa aku memercayaimu? Aku enggak akan membantumu balik badan cuma buat dikejar-kejar lagi."

Si kura-kura raksasa yang masih dalam posisi terbalik, melolong mendengar alasan aneh Nora. Sambil putus asa ia merogoh sesuatu dari balik tempurungnya. Ikan bakar sebesar rumah yang disatai. Makanan dingin itu diletakkan lalu di hadapan si gadis berjubah tebal.

Perut Nora seketika meraung-raung. Matanya berbinar dan liurnya menitik pelan-pelan. Tapi ia tetap berkata, "Aku enggak percaya kalau itu makanan."

Arkor merengut. Ia hendak mengambil lagi jatah makan siangnya, ketika Nora mengangkat tangan.

"Mmm, tunggu," katanya malu-malu. "Coba ... kucicipi."

Nora melahap semuanya dalam sekejap, dengan cara unik yang membuat si kura-kura raksasa terkesima.

"Oke, aku percaya kalau yang barusan itu makanan. Tapi sisanya aku tetap enggak percaya."

Nora berjongkok di samping kepala Arkor, menatap kosong ke dinding cermin di hadapannya.

"Kalau memang begitu," kata si kura-kura, heran, "kenapa kau masih di sini bersamaku?"

"Ng, entahlah. Mungkin karena ... aku enggak tahu lagi harus apa."

Sekarang setelah situasi sedikit lebih kooperatif, ditambah perut yang lumayan terisi, Nora bisa lebih leluasa memperhatikan sekeliling.

Selain dinding cermin yang menjulang di hadapannya, pulau ini tampaknya hanya terdiri dari hamparan berbatu tajam atau berumput kering. Langit di atasnya seolah sudah mendung sejak ratusan tahun silam. Awan hitamnya bergumpal-gumpal seperti gelombang badai, dan cahaya hanya menyorot kontras ke bawah dalam sebaris-sebaris tipis di wilayah tertentu.

"Ingatanmu hilang," tebak Arkor. "Tidak. Itu kurang tepat. Ingatanmu ... dibatasi."

Nora tidak mengiyakan, tapi juga tidak menyangkalnya dengan cara apa pun.

"Mungkin kau tidak memercayaiku, mungkin kau bingung," kata Arkor, suaranya yang dalam dan terdengar seperti gelembung di dalam sumur, seolah menerawang, "tapi cobalah dengarkan aku sebentar saja. Tentang pulau ini, Pulau Teka-Teki, dan Sephira Festival."

Si gadis berjubah tebal mengangguk sedikit. Arkor tersenyum, lantas menjelaskan.

Hilangnya ingatan Nora adalah hasil manipulasi penguasa Planet Sephira. Sistem itu diberlakukan untuk setiap makhluk pilihan pada periode tertentu. Mereka yang kehilangan ingatan kemudian dideteksi dan disambut sebagai peserta di Sephira Festival.

Keempat pulau minor—Pulau Teka-Teki, Pulau Waktu, Pulau Bawah Air, dan Pulau Kuburan—akan digunakan selama festival berlangsung. Pulau-pulau itu adalah representasi dari para peserta yang mendiaminya, sekaligus zona aman, dan faktor pendukung utama.

Festival akan dibagi menjadi beberapa babak, sesuai dengan jumlah peserta. Mereka yang mendapatkan kemenangan terbanyak, berhak memasuki pulau utama—Pulau Permintaan. Sementara mereka yang kalah, di setiap babaknya akan mendapatkan konsekuensi berupa: penyerahan hal-hal berharga.

"Begitulah. Ini semua, jika aku boleh memberikan pendapat, adalah pertarungan untuk mempertahankan apa yang benar-benar penting. Sesuatu dimana kita tidak bisa hidup tanpanya."

Arkor menyudahi penjelasannya.

"Mempertahankan ... apa yang penting," gumam Nora, terbata. Kemudian, dengan alasan yang tak bisa ia pahami, gadis berjubah tebal itu menangis.

Si kura-kura raksasa langsung panik. "ROOORRRAAA! Hey ... aduh, kenapa menangis?"

Nora mencengkeram erat-erat sisi jubah birunya. Sekuat tenaga mencoba untuk berhenti meski sengatan itu malah semakin terasa. Ia membenci tangisan ini, tapi ia tidak tahu kenapa. Dan itulah mungkin yang menyakitinya. Ketidaktahuan akan hal-hal penting. Sesuatu yang pernah ia miliki tapi kini dibatasi. Ingatannya.

"Emi." Nora membisikkan satu nama dengan sangat yakin dan penuh penjagaan, seolah ada kekuatan yang sewaktu-waktu mampu merebut itu. "Emi sangat penting buatku."

Arkor tersenyum hangat.

"Maka bertarunglah untuk Emi," kata si kura-kura, yang lantas membelalakkan matanya dan berdiri dalam satu lompatan mengesankan. "MUNCUL! AKHIRNYA! KAU HARUS BERTARUNG SEKARANG!"

"Jadi kau memang bisa berdiri sendiri?!" bentak Nora masih sambil menangis.

Dibilang begitu, si kura-kura juga kelihatan heran. "Ah, iya—TAPI ITU BUKAN HAL PENTING! LIHAT!" Ia menunjuk ke bagian terjauh pulau. Sesuatu tumbuh di sana. Seperti pohon raksasa berdahan tunggal.

Nora mengelap wajahnya. "A-apa itu?"

"Itu," kata Arkor, "adalah kelahiran Pohon Hukuman. Tanda bahwa Sephira Festival, babak pertama, sudah dimulai. Ayo, naik, biar kubawa kau kembali ke pantai!"



***



Bingkai Mimpi Planet Sephira

Daratan Solnile

"Kalian sama sekali tidak terlihat kuat," kata Samael yang melayang anggun di tengah, sementara keempat Reverier mengepungnya dari setiap mata angin. "Apa kalian bisa mengalahkanku, wahai makhluk-makhluk lemah?"

"Saya rasa Anda baru saja melakukan pengamatan yang buruk, sir," desis Shade, fokus. Laki-laki berpostur tegap ini berdiri mewakili utara.

Anita, tegak di barat, bungkam. Tanpa ekspresi menyikapi ucapan Samael barusan. Sementara Namol, gemetar di timur, hanya menelan ludah.

Dan Nora, mewakili selatan, menyeringai di balik armor barunya. Dalam hati berterima kasih pada si kura-kura raksasa.

Beberapa saat lalu, di pantai Pulau Teka-Teki ....

"Tantangan untuk para peserta di babak pertama adalah Samael," jelas Arkor. "Kalahkan malaikat bersayap delapan itu dengan mencabut pedang Mikail yang tertancap tepat di bawah kakinya."

"Hanya mencabut pedang? Gampang," kata Nora.

"Jangan lengah. Samael sangat kuat."

"Aku juga kuat, kok." Nora mendesah, menunjuk langit di luar pulau. "Masalahnya ... mungkin aku enggak bisa bertarung sama sekali. Terlalu terang di luar sana."

Arkor menatapnya prihatin. "Rooora. Jadi kau takut sama UFO?"

"Takut sama cahaya! C-a-h-a-y-a! Kenapa jadi UFO? UFO apaan?!"

Si kura-kura tidak menyahut. Malahan ia mengeluarkan sesuatu dari tempurungnya.

"Pakai ini. Seharusnya cukup."

"Ini ...." Nora seolah kehabisan kata-kata. Benda yang dikeluarkan Arkor adalah tempurung versi kecil, lengkap dengan pelindung seluruh anggota tubuh termasuk helm full-face. "Seperti baju perang yang sangat konyo—"

"Aku tahu. Keren. Pergilah sekarang. Lautan Solnile akan berubah menjadi Daratan Solnile selama pertarungan berlangsung." Arkor tersenyum. "Arus akan membawamu ke sentral planet, tepat di bawah Pulau Permintaan yang terapung. Berjuanglah, ROOORRRAAA!"

Setelah mengenakan zirah kura-kuranya, Nora pun melompat ke laut yang seketika berubah menjadi hamparan datar. Hanya pijakannya saja yang bergerak dikendalikan semacam arus. Melejit ke depan. Sentral planet.

Ia tiba bersamaan dengan Reverier lain. Saling tatap sebentar, lalu si malaikat bersayap delapan pun terbentuk dari distorsi cahaya bersama pedang Mikail di bawah kakinya ....

"Maju." Samael mengambil posisi bersila di tengah udara. Sebelah tangan di dagu. "Aku takkan ke mana-mana."

Orientasi Nora kembali ke masa kini seutuhnya. Tanpa aba-aba, bersama tiga Reverier lain, ia menyerang.

Si gadis berzirah kura-kura memiliki kemampuan untuk memanipulasi materi khusus bernama Ink. Cairan hitam yang hidup dan berubah keunguan setiap dipadatkan.

Masalahnya, dan ini baru terpikirkan olehnya, Ink juga tidak menyukai cahaya. Bagaimana ia bisa memanipulasi cairan tersebut di antara benderang?

Nora yang telanjur mengaktifkan kemampuan itu akhirnya harus berterima kasih lagi pada Arkor.

Ink merayap dari dalam jaketnya, di balik zirah. Dan ketika cairan tersebut sampai ke genggaman, diubah menjadi sebilah pedang, cairan tersebut tetap di sana. Sempurna terlindung. Bagian luar tangan kura-kuranya lah yang secara fleksibel mengikuti. Memanjang, meruncing, menyamai kontur pedang.

"Kostum konyol ini memang jempolan!" pekik Nora, girang. "Victoria milikku! Wahaha ... ha ... eeeh?" Dan pada saat inilah ia menyadari hidup tidak pernah sesempurna janjinya.

"Kenapa enggak sampai-sampai?!"

Nora bergerak sangat lambat karena berat dari zirah kura-kura.

Sambil tertatih-tatih mendekat, ia hanya bisa melihat aksi tiga Reverier di depannya. Mengeroyok Samael dan berupaya untuk mencabut pedang Mikail.

Ujung rambut pendek Anita menyerpih ketika tergores tembakan cahaya panas dari salah satu percikan sayap Samael. Meski begitu, wanita itu berhasil menghindar dan menyerang balik. Menggunakan kekuatan yang membuat Nora tercengang.

"Shoggoth." Bahkan si malaikat bersayap delapan menggumam kagum. "Menarik."

Sebelah tangan Anita berubah menjadi tentakel. Menusuk lurus. Sangat cepat, dan, sesaat sebelum serangan itu mengenai Samael, serangan itu bercabang.

Enam tentakel tercipta. Tiga mengincar musuh utama, tiga yang lain menukik untuk meraih pedang Mikail.

Dalam kelebatan sepersekian detik, keenam serangan itu jatuh tertusuk tombak putih yang berdesis dan mengunci.

Samael tersenyum. "Makhluk naif." Dua belas tombak putih lain tercipta, mengitari dirinya.

Tanpa ekspresi, Anita meraungkan suara kesakitan yang menegakkan bulu roma. Tapi lalu, menggunakan suara normalnya yang seakan tersenyum menantang, ia mengatakan, "Makhluk naif yang berhasil menguasai atensi Anda, wahai fraksi Kekacauan."

Dan yang dimaksud wanita berambut pendek itu adalah sebuah momentum. Selama sesaat, Samael terfokus padanya. Mengabaikan keberadaan dua Reverier lain di arah berbeda.

Shade dan Namol, menyerang si malaikat bersama-sama.

Gerakan yang segera disambut oleh pelesatan dua tombak putih.

Namol mengisap salah satu tombak itu seperti seseorang menyeruput mi. Sementara Shade berkelit dengan sangat cekatan, kemudian melempar senjata utamanya, tongkat baton, hingga mengenai gagang pedang Mikail.

Meski tidak tercabut seutuhnya, benturan tersebut menjadikan posisi pedang sangat miring ke kanan. Satu dorongan lagi, dan faktor penentu kemenangan babak pertama bisa diraih.

Dengan ketenangan terlatih, si laki-laki berpostur tegap mencoba meraih senjata lain di balik rompi tempurnya. Tapi Samael lebih cepat.

Shade terpental ke belakang oleh empat tembakan cahaya panas.

Di saat yang sama, Namol memuntahkan materi dari tombak putih yang tadi ia telan, menjadi dua prajurit anomali. Kepala mereka tajam dan tubuh mereka lurus seperti gagang sapu.

"Serang!" perintah si alien berambut oranye.

Kedua prajurit melesat, dan meledak menjadi cahaya menyilaukan. Tepat beberapa meter di hadapan Samael yang sama sekali belum berpindah posisi.

Selama sesaat tidak ada yang bisa terlihat. Bahkan Nora, di balik kaca gelap helm full-face, terpaksa memejamkan mata sambil gemetar.

Setelah cahaya mereda, tampaklah pemandangan itu. Namol tersungkur di depan pedang Mikail yang gagal ia raih. Samael berdiri di sampingnya, menginjak kepalanya.

"Shoggoth, tentara super, dan alien dari bangsa Juvas," gumam si malaikat bersayap delapan. "Biar kuperbaiki frasa tadi. Kalian ... makhluk-makhluk naif yang lemah—"

"HEEEAAA!!!"

Nora akhirnya tiba di belakang Samael dan melayangkan tebasan. Si malaikat menoleh cepat kemudian meledakkannya menggunakan api putih.

Gadis berzirah kura-kura itu terkapar dalam posisi terbalik. Bersungut-sungut dengan mulut berasap. "Ko-kostum enggak guna ...."

Dengan begitu, keempat Reverier berhasil dikalahkan.

Samael menghilang bersama pedang Mikail. Para peserta kembali diseret arus ke pulau masing-masing. Dan babak pertama Sephira Festival, selesai.



***



Bingkai Mimpi Planet Sephira

Pulau Teka-Teki

"Anu ... hm, halo? Terima kasih banget buat baju perangnya," kata Nora, tersenyum manis sekali. Melepas zirah pelan-pelan. "Ampuh!"

Si kura-kura raksasa tersipu. Salah tingkah. "ROOORRRA! Jangan dipikirkan. Suatu kewajiban buat pemandu sepertiku. Te-he. Tapi apa memang sekuat itu, ya? Bagaimana pertarungannya tadi?"

Masih tersenyum, Nora mengangguk. Melompat seperti kijang ke lutut Arkor, pundak, sampai ke samping pipinya, lalu melayangkan tendangan kekesalan murni.

"AKU NYARIS MAMPUS KARENA KEBERATAN!"

"ROOORRRADUHUUU ... maafkan aku ...."

Sementara si kura-kura kembali jatuh terbalik, dengan pipi bengkak, perhatian Nora dicuri oleh suatu dentuman di ujung terjauh pulau. Tempat pohon raksasa berdahan tunggal berada.

Pohon Hukuman.

Pohon itu memiliki bentuk puncak yang tidak biasa. Melengkung, membuka ke arah bawah seperti lampu belajar. Atau, menurut Nora, seperti mulut meriam.

Kembali terdengar dentuman. Puncak pohon bergetar hebat, kemudian meletus memuntahkan bidang-bidang besar yang terbenam, bertumpuk, dan terlempar. Nora memekik terkejut, jatuh terjungkal. Daratan berguncang selama proses itu berlangsung.

Dari bidang-bidang itu—kubus dan kerucut berwarna gelap—sebentuk gunung asimetris tercipta.

"A-apa ... tadi itu kenapa?" tanya Nora.

Arkor yang masih telentang, bukannya langsung menjawab, hanya diam memandangi langit muram.

"Halo ...?"

"Rooora, ya," gumam si kura-kura, sedih, "itu tadi adalah konsekuensi kekalahan peserta festival. Apa pun yang dijatuhkan Pohon Hukuman ... pasti hanya hal-hal berharga buatmu."

Nora bingung. Jika benar pohon itu hanya mengeluarkan sesuatu yang penting, kenapa malah mengeluarkan bidang-bidang besar nan gelap, bertumpuk, saking banyaknya, seperti gunung kecil?

Tapi lalu, suatu hal yang terasa familier mendorong si gadis berjubah tebal untuk melihat lebih teliti. Pada tumpukan bidang-bidang itu.

"Enggak," ia menggumam tidak percaya, sambil mulai berlari. "Mustahil!"

Seiring derap lajunya meninggalkan pantai, ke gunung buatan yang memuncak di samping deretan dinding cermin, gambar-gambar singkat melintas di kepalanya.

Ingatan itu mulai memulihkan diri, menggunakan cara yang menyakitkan ....

Pertama, tentang suatu hal yang besar dan gelap.

"Dunia ini tidak akan pernah memiliki nama!" jerit satu bangsa ke bangsa lainnya di tengah peperangan.

Satu peradaban jatuh, sementara yang lainnya menjulang sombong. Menunggu diruntuhkan. Lingkaran imajiner itu berputar merah, menertawakan semua yang bergerak di lintasannya.

Gambar-gambar kehancuran melintas, meninggalkan kekosongan.

Atap permukiman rontok ditekan api. Langit di atas prajurit sekarat dipenuhi oleh anak panah. Keluarga-keluarga terpisah. Jejak miliaran langkah di tanah amis dan pengap oleh genangan kehitaman. Kekuasaan lama yang diteriaki oleh revolusi.

Lalu, semua itu menghilang. Dingin. Pikiran Nora hanya memproyeksikan ingatan di suatu malam.

"Emi ... sudah mati ... terimalah," suara serak itu benar-benar rapuh.

Suaranya sendiri ....

"ENGGAK! PEMBOHONG!!!" Nora menabrak permukaan terluar tumpukan bidang-bidang besar. Terhuyung, dan jatuh telentang seperti Arkor. Banjir ingatan berhenti menghantam pikirannya.

"Emi ...," ia berbisik datar, "aku harus cari Emi ... dia belum mati. Dia ada di sini."

Tangan gadis itu menggapai ke arah gunung buatan. Karena sesungguhnya, entah dengan cara apa, bidang penyusun gunung itu adalah bagian dari dunianya.

Pohon Hukuman telah memuntahkan wilayah-wilayah dunia tanpa nama tempat Nora berasal.

Langkah raksasa berhenti tepat di belakang si gadis berjubah tebal. Arkor, memberikan tatapan prihatin lalu duduk bersila.

"Rora. Ingatanmu akan kembali di setiap babak. Kuatlah," jelasnya, pelan. Memandangi tumpukan bidang. "Jadi ... itu deformasi duniamu?"

Nora masih telentang. Menutupi wajahnya dengan punggung tangan. "Ya." Ia bahkan sempat melihat Kota Kematian tadi, di salah satu sisi kubus.

"Bangkitlah. Kau mampu melewati ini," janji si kura-kura. "Babak kedua akan segera dimulai."





Kebahagiaan Bercerita


Devalt

Di ruang putih tanpa ujung, Nora yang masih melingkar seperti bola jubah tebal bervibrasi, menghentikan ceritanya.

"Jadi kau mati di babak kedua, Nora?" tanya Zizi. Citra topeng muram si mannequin bersayap itu sama sekali bertolak belakang dengan suaranya yang lembut-enteng.

"Nanti kau terbiasa dengan pertanyaan mati itu," bisik Namol pada bola jubah di sampingnya.

"Benarkah? Bagus. Dan aku enggak mati di babak kedua, kok," kata Nora, pelan.

"Tapi sepertinya kau kehilangan semangat," Zizi menukas. "Mungkin istirahat dulu, Nora?"

"Aku ...," lirih si bola jubah tebal bervibrasi.

"Hm?"

"... hanya sedikit lapar."

Namol melirik datar ke arah kotak kosong beragam camilan yang dikunyah Nora selama bercerita tadi. Meski ingin, alien itu tidak bisa menghakimi hal tersebut. Cara kerja perut seseorang. Karena ia sendiri tidak tahu apa yang berada di dalam tubuhnya sekarang.

"Silakan tambah kudapannya, kalau begitu." Si mannequin menyusun kotak baru.

Bola jubah tebal menyikat semuanya sekaligus.

"Ngomong-ngomong, Nora, pemandumu yang bernama Arkor itu kedengaran baik dan bijak," Namol memulai. "Enggak kayak pemanduku, ya ampun, dia kerjanya cuma—"

"Belum giliranmu." Kembali Zizi membekap Namol menggunakan sayapnya.

Si alien berontak. "T-tapi bagaimana kalau ingatanku keburu hilang?! Lagi pula Nora sedang istirahat!"

Bola jubah tebal bervibrasi itu memang sedang mendengkur kekenyangan.

Tapi Zizi menunjuk sesuatu di belakang Namol. "Sekarang giliran dia. Selamat datang di Devalt. Namaku Zizi. Kau sudah mati. Silakan sebutkan identitas sebelum diproses di dalam brankas."

Namol menoleh kikuk.

"... k-kau ini Shade, kan?"

"Hai, Namol. Ng, apakah bola itu Nora? Salam kenal, Tuan Zizi," kata si pemuda tampan berpostur tegap, polos. Duduk bersila di depan ketiganya. "Maaf, tapi apa benar kita sudah mati? Apa sebabnya, ya?"

"Pertanyaan bagus, Shade," gumam Namol. "Dan, ya. Bola ini Nora. D-dia tidur betulan?"

"Mengagumkan bisa tidur di situasi ini," puji Anita, tanpa ekspresi. "Saya akui Nora memang gadis yang kuat."

Hening sejenak.

Lalu Namol melompat kaget. "A-ANITA?!"

"Miss Anita," kata Shade, tersenyum menyambut.

Nora mendengkur semakin keras.

Anita—seperti segala hal yang ada di ruang putih ini—secara ajaib sudah duduk di antara semuanya. "Ya. Saya." Wanita berambut pendek itu menyuarakan senyuman sopan. "Semoga saya tidak mengganggu apa pun yang penting."

Jika ada yang terlihat paling gembira di antara keramaian mendadak ini, pastilah itu si mannequin Zizi.

"Selamat datang di Devalt, Anita! Sangat disayangkan, tapi kau sudah mati dan menunggu untuk diproses dalam brankas. Sekarang langsung saja sebutkan identitasmu." Zizi berhenti sebentar, terlihat berpikir. "Atau," sambungnya, "begini saja. Aku punya ide yang lebih baik untuk kalian semua."



***



Ide si mannequin dimulai dari menciptakan rekapitulasi.

Pertama: Kematian keempat Reverier. Terbukti dari kehadiran mereka sekarang di Devalt—suatu tempat di Planet Sephira yang berfungsi untuk memproses arwah-arwah.

Kedua: Hilangnya ingatan keempat Reverier begitu tiba di planet ini, sekaligus keikutsertaan mereka dalam Sephira Festival.

Ketiga: Proses pemulihan keseluruhan memori. Apa saja yang sudah kembali teringat. Dimulai dari sebelum keempat Reverier menginjakkan kaki di planet ini—riwayat hidup mereka—sampai akhirnya menjadi peserta festival lalu mati.

Namol memulai ingatannya dari atap rumah. Tempat alien itu mengetahui tentang identitas rahasianya. Ia juga bisa sedikit mengingat lebih jauh ke belakang, meski masih samar, tentang sosok-sosok penting di dalam hidupnya. Lalu, tentang suatu kompetisi besar di Alam Mimpi. Pertarungan-pertarungan yang mempertaruhkan banyak hal.

Nora juga kurang lebih sama. Gadis berjubah tebal itu mulai mengingat dunia tanpa nama tempatnya berasal. Peperangan di dalamnya. Kesedihan dan perjalanan. Lalu, sosok teramat penting bernama Emi.

"Kalian juga pasti begitu," kata Zizi pada Shade dan Anita. "Ingatan kalian seputar planet ini masih sebatas babak pertama festival. Jadi, untuk semuanya, cobalah bergerak mundur lebih jauh. Sempurnakan identitas kalian. Ceritakanlah di sini."

Si mannequin membagikan papan berjalan dan pulpen pada keempat Reverier.

"Kertas dan tinta tidak pernah habis ketika digunakan untuk bercerita," katanya. "Selamat menulis dan mengenang. Kalian bisa memanfaatkan luasnya ruang putih Devalt jika ingin menyendiri. Lalu, ingatlah, semua ini bukan hanya karena aku menginginkan identitas utuh sebelum memproses arwah di brankas.

"Mengingat sejauh apa eksistensi bisa menoleh ke belakang, sampai akhirnya berhadapan dengan peristirahatan terakhir ... mengetahui semua itu akan menjanjikan penyelesaian sejati. Nah, silakan mulai."

Maka, para Reverier—kecuali Nora yang masih mendengkur—mulai bergerak menjauhi brankas hitam raksasa. Duduk menyendiri di antara putih. Mengingat. Menuliskan garis kisah masing-masing yang pada akhirnya saling bertemu di satu persimpangan pasti.





Kisah Profetik (Shade)


Bingkai Mimpi Planet Sephira

Pulau Waktu

"Babak kedua dimulai sebentar lagi," kata Villist. "Apa keputusanmu, Shade? Mungkin ini kesempatan terakhir. Tantangan semakin berat. Sudikah kau menjual usiamu untuk melihat, merasakannya? Masa lalu ... dan masa depan?"

Shade tidak memberikan jawaban langsung. Dicengkeram olehnya tongkat baton yang masih dalam kondisi tempur.

Apa ..., yang harus kulakukan, Mrs. Zaitsev?

Beberapa saat lalu, ketika laki-laki berpostur tegap itu baru tiba di pulau ini ....

"Selamat datang di Pulau Waktu, Shade," sambut sesosok makhluk jangkung berjubah hitam, dan terlihat seperti manusia ayam jantan. "Namaku Villist. Sang pemandu."

Villist menjelaskan semua hal dasar. Tentang peserta Sephira Festival yang ingatannya dibatasi; tentang babak demi babak yang harus dilewati; tentang hadiah pemenang; tentang konsekuensi kekalahan.

Shade yang memang hampir tidak bisa mengingat apa pun setibanya ia di planet ini, hanya bisa tekun menyerap segala jenis informasi.

Villist segera merasakan ketertarikan sehat pada sosok Shade.

Meski tak terucap, bagi si manusia ayam, Shade merupakan pendengar yang baik dan pelajar yang cepat tanggap—di luar kebiasaannya mempertanyakan trivialitas seperti: "Apakah kau lebih ingin menjadi unggas atau manusia?" Lalu, "Kenapa sebenarnya ayam menyeberang jalan?"

Selain itu, Shade juga dengan teliti melakukan pengamatan terhadap sekelilingnya.

Arus awal telah membawanya ke bagian utara planet. Pulau Waktu. Daratan seluas lapangan bola. Semacam jam raksasa merebah di tengah-tengahnya, menempati sebagian besar wilayah.

Si manusia ayam menamai benda itu Pelatuk Zaman. Jam bermekanisme magis karena mampu menunjukkan tentang masa lalu dan masa depan. Dengan bayaran usia pengguna.

"Pelatuk Zaman merupakan jawaban dari semua pertanyaan," jelas Villist. "Selama masih ada di pulau ini, Shade, kau berhak untuk menjadi pengguna. Apa keputusanmu?"

Itu tadi tawaran pertama si pemandu. Shade menolak dengan halus, meski keingintahuan seolah membakar isi kepalanya.

Aku memang tidak pernah memikirkan ini sebelumnya, tentang seberapa lama aku akan hidup, kata Shade dalam hati, sambil berjalan santai di atas permukaan Pelatuk Zaman. Tapi satu hal yang bisa kuingat sekarang, adalah janjiku pada Mrs. Zaitsev, dan yang lainnya, untuk pulang ke rumah dalam keadaan selamat. Aku tidak boleh menambah risiko dengan membuang-buang usia demi rasa penasaran sesaat.

Tak lama, Pohon Hukuman lahir di Pulau Waktu. Babak pertama festival dimulai. Villist menjelaskan tentang Samael dan pedang Mikail. Setelah itu, Shade berangkat menaiki arus ke sentral planet.

Bertempur bersama ketiga Reverier lain melawan malaikat bersayap delapan, dan kalah.

Diseret lagi oleh arus kembali ke pulau di wilayah utara. Villist sudah menunggunya di tengah-tengah permukaan Pelatuk Zaman.

Jam raksasa itu berdetak, seolah memanggil. Shade berjalan mendekat sambil menekan luka yang perlahan dipulihkan atmosfer pulau.

Seiring langkahnya, ingatan-ingatan masuk ke dalam pikirannya seperti angin ribut.

Laki-laki berpostur tegap itu jatuh bersimpuh. Kepalanya dipenuhi gambaran acak.

Planet mengagumkan dengan ekologi ekstrem, Proto Gaiea ....

Hari-hari pelatihan militer ....

Misi melawan SPHERE ....

Di antara tekanan ingatan, Shade juga melihat aktivitas aneh pada Pohon Hukuman yang tumbuh di bagian terjauh pulau.

Pohon tersebut memuntahkan sesuatu. Bidang-bidang besar. Bertumpuk sampai menjadi gunung kecil.

Konsekuensi kekalahanku, Shade membatin. Kedua mata teduhnya membelalak memperhatikan tumpukan asing dari kubus serta kerucut beragam warna. Hal berharga yang diambil dariku adalah ... wilayah-wilayah deformatif Proto Gaiea?

Laki-laki itu tiba di depan Villist dalam keadaan kacau. Terengah-engah.

"Kau melemah karena bimbang," gumam si manusia ayam, murung. "Terlalu banyak memendam tanda tanya." Lalu ia kembali memberikan penawaran pada Shade untuk menjadi pengguna Pelatuk Zaman ....

Kembali pada saat ini.

Shade menatap Villist lekat-lekat. Mengatur napas.

"Maaf, Villist, tapi aku tidak bisa menjadi pengguna," jawabnya. "Ingatanku mulai pulih dengan sendirinya. Jadi, aku ... akan berusaha lebih keras di babak kedua nanti. Menang menggunakan kemampuanku sendiri. Lalu pulang ke rumah." Karena mereka semua membutuhkanku. Keberadaanku memegang peranan penting untuk berlangsungnya kehidupan di Proto Gaiea. Aku tidak tahu spesifiknya, tapi ...

... entah kenapa hatiku hangat. Membayangkan adanya sosok-sosok itu. Mereka yang menantikanku jauh di rumah sana.

"Kuhargai keputusanmu, Shade," kata Villist. Bersamaan dengan itu, Pohon Hukuman yang menjulang di belakangnya kembali bergetar hebat. "Dan semoga tadi bukan penawaran terakhir dariku. Bersiaplah. Babak kedua sudah dimulai."

Shade menoleh ke arah laut. Sentral planet yang ditandai oleh bayang-bayang besar sebuah pulau di tengah langit.

"Apa misiku kali ini, Villist?"

"Mengalahkan salah satu Nephilim bernama Goliath dengan cara memenggal kepalanya." Si manusia ayam berjalan ke wilayah pantai. "Ada pertanyaan?"

Shade kembali mencengkeram tongkat baton, berjalan mengikuti.

"Tidak ada, sir."



***



Bingkai Mimpi Planet Sephira

Daratan Solnile

Keempat arus dari setiap pulau pada mata angin utama, di permukaan laut yang mengeras, kembali mempertemukan para Reverier.

Mereka berdiri mengepung tantangan babak kedua Sephira Festival. Nephilim bernama Goliath.

Shade segera memasang kuda-kuda sesempurna mungkin. Ia tidak bisa memungkiri rasa takut dan takjub yang hebat, berdenyut dingin di sekujur tubuhnya.

Bagaimanakah ... kita bisa memenggal kepala makhluk ini ...? pikirnya. Kedua matanya tak sedetik pun ia izinkan untuk beralih dari sosok sang raksasa.

Goliath, merupakan makhluk sebesar gedung pencakar langit. Tubuh kekarnya dilapisi zirah. Kedua tangannya dipersenjatai dengan kapak. Dan ia menunggangi seekor gajah perang.

Shade menguasai banyak teknik bertarung. Caranya menggunakan tongkat baton pun sangat mematikan. Ditambah, persenjataan rahasia di sekujur tubuh. Tapi apa itu cukup untuk menghadapi lawan seperti sekarang ini?

Entah bagaimana Reverier lain menanggapi horor tersebut, Shade tidak bisa terlalu memastikan. Anita di barat hanya mematung tanpa ekspresi. Nora di selatan tak terlihat karena terhalang. Namol di timur berdiri gemetar, pucat, seakan bisa pingsan kapan saja.

Gajah perang Goliath mengangkat dua kaki depannya, lantas menjejakkannya kembali sekuat tenaga. Berat pertempuran seketika terasa. Daratan Solnile bergetar.

Sang raksasa tertawa terbahak-bahak.

"PARA PEMBERANI!" raungnya. "Kita tentukan hidup dan mati kita di sini."

Pertarungan dimulai.

Terus bergerak! perintah Shade pada dirinya.

Kapak sepanjang kereta bawah tanah terayun, bilah tebal menancap di tempatnya berdiri sepersekian detik lalu. Permukaan di sekitarnya meledak, meretak.

Laki-laki berpostur tegap itu terus berlari. Mengatur napas. Goliath mengayun kapak yang lain. Kembali meleset. Shade berguling di saat terakhir. Tapi belum sempat ia berdiri, dua serangan sekaligus menukik ke atas kepalanya.

Tidak mungkin ... dia terlalu cepat ... maafkan aku, Mrs. Zaitsev ... aku

Kapak kembar Goliath menumbuk telak sosok Shade.

"Kau berjuang dengan baik," gumam sang raksasa. "Beristirahatlah sekarang."

Tapi ketika ia mencabut dua senjatanya yang tertancap, Shade masih ada di sana. Tidak terluka dan tidak sendirian. Namol memegangi pundak laki-laki itu sambil menggigil.

"B-begini sudah cukup?!" jerit si alien berambut oranye.

"Ya!" sahut suara Anita, lega. Wanita berambut pendek itu berdiri bersama Nora, agak jauh di sebelah kiri.

"Terima kasih sudah menyelamatkanku, Namol," kata si laki-laki berpostur tegap, tercengang.

Namol tergagap, "B-bukan ideku, sebenarnya! Anita lari ke arahku, mengajak kerja sama. Dia bertanya apa aku bisa menjagamu, dan kemampuan antimateri memang cukup—"

Goliath kembali menyerang. Permukaan hancur semakin dalam. Tapi Shade dan Namol tetap bertahan.

"INTINYA," kata si alien, frustrasi, "kita harus kerja sama. Sialan, jantungku enggak kuat terima semua serangan ini."

"Sekali lagi!" raung sang raksasa, lantas mengayun kapak kembarnya ke titik yang sama.

Kali ini, setelah dua senjata itu dicabut, Shade dan Namol tidak terlihat di mana-mana. Goliath dengan sangat polos mengecek bagian bilah kapak, mengira akan menemukan serpihan daging dari target atau sisa-sisa lain.

"Ke mana mereka? Apa seranganku terlalu dahsyat?"

"Hebat! Namol, kau juga bisa membuat kita tak kasatmata?!" kata Shade.

"SSST! SHADE, T-TOLONG DIAM! KAU MEMBOCORKAN POSISI KITA!"

"Di sana, eh?" Goliath menggumam. Memicingkan mata ke sumber suara. "Kali ini kalian takkan lolos!"

Dan serangan Goliath memang tak meleset, jika saja Anita tidak menusuk lehernya lebih dulu. Ia melayang beberapa meter dari panel-panel pelindung bahu sang raksasa. Puluhan tentakel yang dirapatkan sampai menjadi semacam ujung tombak, mencuat di sisi seberang, memuncratkan darah.

Goliath berteriak kesakitan. Disusul kemudian oleh raungan senada dari si wanita berambut pendek. Tentakelnya berdesis, berasap. Dan sebelum ia selesai melakukan penarikan, mulut menganga sang raksasa lebih dulu mencabik setengah tubuhnya.

Apa yang tersisa dari Anita jatuh menghantam permukaan seperti agar-agar.

"Shoggoth, ya?" kata Goliath, agak serak. Raksasa itu kehilangan keseimbangan dan terselip dari gajah perang. Berdebum telentang di permukaan. "Lumayan. Tapi seranganmu tidak bisa bertahan lama di kulit ini. Karena aku ... masih menyisakan kesucian—"

Sebutir granat khusus masuk ke dalam mulut sang raksasa lalu meledak di tenggorokan.

Sambil terbang bersebelahan dengan Namol, Shade melempar granat kedua. Goliath menyuarakan lolongan tercekik, bagian dalam mulutnya berubah merah kehitaman.

Dan ketika ia masih mencoba untuk berdiri, sesuatu merayap di wajahnya, lantas merobek-robek sebelah matanya.

Nora, dalam zirah kura-kura yang telah sedikit dimodifikasi, berpindah dari mata kiri sang raksasa ke mata kanan. Kembali merobek, menggunakan Ink berstatus tajam dan keras.

"KURANG AJAR!" Goliath buta. Jeritannya seperti seseorang yang berkumur. Ia melepas genggaman pada satu kapak. Menangkap Nora yang terlambat menghindar, lalu meremasnya. Membantingnya sampai menyeret ke samping jasad Anita.

Gadis berzirah kura-kura itu tak bergerak lagi.

Shade dan Namol yang sedari tadi turut berimprovisasi untuk mengikuti serangan beruntun para Reverier, membeku di udara.

"Satu serangan lagi," kata Shade, bergetar. Ia tatap Namol sekilas, berterima kasih karena sudah menjadikannya antimateri, tak kasatmata, dan bisa terbang. Lalu laki-laki itu melesat bebas sambil menggenggam granat ketiga. Tak menghiraukan peringatan si alien agar berhati-hati.

Gajah perang Goliath bergerak menggagalkan serangan. Menyabet Shade menggunakan belalainya yang berlapis logam.

Shade terempas. Mengejang di permukaan. Merasakan nyaris semua tulangnya patah. Namol terbang meraih tangan laki-laki itu tepat sebelum gajah perang melumatnya sampai rata.

"Kalian ... menakjubkan," geram Goliath tak terlalu jelas. Sang raksasa sudah kembali berdiri tegak meski darah mengalir deras dari leher, mulut, dan matanya. "Tapi kalian salah."

Di saat yang sama, Namol sudah selesai merapatkan dirinya dengan tiga Reverier. Menjadikan mereka semua antimateri. Alien itu menangis pedih karena ketakutan, panik, dan merasa tak berdaya.

"Sampai detik ini ... aku ... tetap malaikat yang taat. Tuhan ... menjatuhkanku ke dalam nasib Nephilim karena fitnah entitas lain. Bukan ... salahku." Goliath mengangkat dua kapak kembarnya. Menghantamkannya ke arah keempat Reverier sesuai arahan si gajah perang. "Mereka yang ingin berada di posisiku ... mereka yang hanya memikirkan diri sendiri. Mereka yang terkutuk ... mereka ... yang pada akhirnya ... kumengerti."

Namol, semakin terisak, mati-matian mempertahankan status antimateri.

"Icarus, mengabaikan permohonan ayahnya, terbang mendekati matahari sehingga sayapnya meleleh ... dan dia jatuh ke laut. Adam ... dan Hawa ... bertingkah melewati batas di Taman Eden sehingga Tuhan menghukum mereka." Masih sambil melayangkan serangan, Goliath tersenyum. "Seolah semua dongeng ditakdirkan hanya untuk memikirkan diri sendiri."

"A-aku ... me-menyerah," kata Namol, terbata. Ia usap wajahnya yang berantakan oleh air mata. "AKU MENYERAH!!!"

Sang raksasa berhenti menyerang.

Keempat Reverier sudah tidak mampu melanjutkan pertarungan. Mereka kalah.

"Usaha yang ... bagus ... dan, bocah, camkan ini." Goliath jatuh bertekuk lutut. Terbatuk memuntahkan darah. "Jika ada satu tempat ... untuk menjadi egois, itu adalah ... di sini. Kalian sangat kuat ... ketika bekerja sama. Tapi pada akhirnya ... hanya satu—"

Sang raksasa tumbang. Menghilang bersama gajah perangnya.

Namol sendiri langsung pingsan. Terbaring berdekatan dengan tiga Reverier lain. Tak lama kemudian, arus pulau masing-masing membawa mereka pulang.

Menandakan selesainya babak kedua Sephira Festival.



***



Bingkai Mimpi Planet Sephira

Pulau Waktu

Dingin, pikir Shade.

Laki-laki itu terbaring tanpa daya di pasir pantai yang basah. Menerawang ke angkasa tak berawan. Takjub pada dirinya sendiri karena masih hidup.

Atmosfer pulau memulihkan kerusakan di sekujur tubuhnya dengan sangat efektif. Luka sobekan merapat, tulang-tulang berderak ke struktur semula. Wajah tampan nan polosnya yang memucat kembali menyemburatkan warna kehidupan.

Shade berdiri, menoleh ke belakang. Pulau Waktu memang tidak terlalu besar, dan sembilan puluh persen daratannya diisi oleh keberadaan jam raksasa bernama Pelatuk Zaman. Villist, si manusia ayam jantan berprofesi pemandu, mematung di tengah-tengah. Memperhatikan Pohon Hukuman yang merambati ujung terjauh pulau sampai ke batas langit.

Di dekat pohon itu, terdapat tumpukan bidang-bidang berwarna menyerupai gunung kecil. Proto Gaiea deformatif.

Maaf, Shade membatin, merasa teriris, lagi-lagi aku kalah. Apakah ... akan lebih banyak lagi wilayah planetku yang terbawa ke sini?

Jawaban muncul hampir seketika.

Pohon Hukuman bergetar, kemudian meletus. Memuntahkan bidang-bidang baru. Wilayah yang familier di kedua mata sedih Shade berjatuhan. Peradaban-peradaban. Alam liar memesona sekaligus berbahaya. Semua saling bertumpuk, berpartisi, dalam bentuk sederhana.

Gunung kecil berisikan potongan Planet Proto Gaiea pun semakin menjulang. Kokoh, seakan mencemooh, kekalahan Shade pada dua babak berjalan.

Dan laki-laki berpostur tegap itu bahkan tidak sempat melihat penumpukan bidang sampai selesai. Karena badai ingatan kembali menghantam pikirannya. Memaksanya bersimpuh ....

"Layth," bisik Mrs. Zaitsev pada Shade, sepenuh hati. Suara familier yang sangat dirindukan karena beberapa alasan.

Tapi ... Layth. Siapa dia, Mrs. Zaitsev? Bukankah namaku Shade?

Gambaran memori dipenuhi banyak hal acak seperti isi sebuah laboratorium ... tabung ... sepasang tongkat baton ... topografi padang es beserta tiupan dingin bertekanan tinggi ... wajah-wajah berharap yang dilapisi keterkejutan.

Lalu semua menghilang. Hanya gelap.

"Tato berinisial ini mungkin kelak menjadi salah satu petunjuk penting," terang suara familier lainnya.

Jenderal Zu ...?

Pemimpin seluruh pasukan militer Proto Gaiea, Jenderal Zuraida, sedang berbicara dengan beberapa wanita lain. Salah satunya segera dikenali Shade.

Mrs. Zaitsev.

"—akan kugali semua potensinya. Mengajari dia banyak hal."

Oh, jadi ... ini adalah hari dimana Mrs. Zaitsev memutuskan untuk menjadi guru favoritku?

Suara perbincangan melebur. Kegelapan digantikan oleh visualisasi memukau yang nyaris membutakan. Perjalanan, merangkum beragam pertarungan, di Alam Mimpi.

Reverier, ya, begitulah mereka menamaiku. Dan aku memiliki seekor domba.

Memori memutar detik-detik kekalahannya di suatu tempat bernama Arthessa. Pelajaran untuk menanggapi ketidakberdayaan, kekalahan, sekaligus pertemuan pertamanya dengan Pria Misterius dan Gabe Blackwood ....

Badai ingatan semakin mengamuk. Gambaran-gambaran berkelebatan, lebih banyak yang mengabur.

Latihan khusus di Planet Dragnaar ... menggodok jati diri, mendewasakan sudut pandang ....

Hubungan impian dari pasangan Rin Blackwood dan Gabe Blackwood ....

Janji untuk membantu sosok itu, Pria Misterius, untuk menemukan jalan kembali ke rumah ....

Kematian domba ....

Pertemuan manis dan rumit dengan Reverier bernama Mia dan kelompoknya ....

Pertarungan melawan Dietrich, sang iblis ....

Shade tengkurap memegangi kepalanya. Ingatan masih terus menekan hebat seperti besi panas.

"Aku akan kembali dalam keadaan selamat ... lalu menyelesaikan semuanya!" Shade menjadi dirinya sendiri yang mendesis pada Mrs. Zaitsev di dalam suatu barak.

Kenapa ... aku begitu marah? Dan kenapa pandangan Mrs. Zaitsev begitu dingin ... apakah kita baru saja bertengkar? Apa yang sebenarnya terjadi ....

Satu pintu tertutup ....

Badai ingatan menghilang.

Kembali ke masa kini. Shade berdiri susah payah. Terengah-engah, memegangi bagian dadanya yang seperti baru saja tertikam benda tumpul berkarat.

Sambil berjalan ke arah sang pemandu di tengah Pelatuk Zaman, Shade terus bertanya-tanya. Karena itulah konklusi dari ingatannya yang berangsur pulih.

Lebih banyak tanda tanya.

"Aku senang kau selamat," kata si manusia ayam, setelah Shade berdiri di sampingnya. "Tapi selanjutnya adalah babak final. Jadi, Shade, inilah penawaran terakhirku yang sebenarnya. Sudikah kau menjual usiamu ... demi menjawab semua pertanyaan ... dan menjadi pengguna?"

Shade memperhatikan Pohon Hukuman, lalu gunung besar yang terdiri dari bidang-bidang berisi wilayah Proto Gaiea.

Laki-laki itu mengaku dalam hati. Ia takkan bisa bertarung dalam kondisi sekacau ini. Terlebih, hanya tersisa babak final. Meski belum jelas apa maksud Pohon Hukuman memuntahkan isi planetnya, kekalahan pada pertarungan mendatang pasti akan berakibat sangat buruk.

Apa pun itu.

Jadi, aku rasa ... kehilangan satu sampai sepuluh tahun usiaku untuk mendapatkan seluruh jawaban, bukanlah hal yang terlalu merugikan, pikir Shade. Tersenyum pahit. Di babak selanjutnya, aku harus bertarung untuk menang. Bukan memikirkan beban psikologis yang tak bisa ditolong dengan sekadar bermeditasi.

Ini adalah pertaruhanku. Aku harus mengetahui semuanya.

"Villist," kata Shade. "Aku bersedia menjadi pengguna. Kapan bisa kita mulai?"

"Kuhargai keputusanmu, Shade." Si manusia ayam menepuk pundak laki-laki di sampingnya. "Akan kuaktifkan Pelatuk Zaman kapan pun kau merasa siap."

"Aku siap. Tolong lakukan sekarang."





Kisah Monster (Anita)


Bingkai Mimpi Planet Sephira

Pulau Bawah Air

Di atas lingkaran portal merah darah, Anita terbaring. Tubuhnya yang berantakan, berdesis, dan berasap, mulai pulih perlahan.

"Ibu ...?" bisik wanita berambut pendek itu, mencari-cari.

"Di sini, Nak. Sssh ... tenanglah ...," satu suara halus terisak. "Ibu bantu kamu ... Ibu sudah peluk kamu."

"Terima kasih, Bu. Penglihatan saya—" Anita tak kuasa melanjutkan. Gelombang ingatan sekejap saja menguasai setiap sudut pikirannya. Ia menggigil sebentar, lalu pingsan.

Kembali ke tempat itu ....

Anita berdiri di tengah pemakaman temaram. Dikepung oleh banyak sekali kuburan tanpa nama. Sudah dua kali ia tersadar di sini—yang pertama, ketika dirinya baru saja kembali menginjakkan kaki di Pulau Bawah Air setelah dikalahkan Samael.

Sekarang ia bisa mengambil kesimpulan.

Pemakaman ini adalah wilayah imajiner yang tercipta ketika ingatannya memperoleh pemulihan.

Pada kunjungan pertama, beberapa kuburan sekaligus berbicara padanya. Mengembalikan sebagian ingatan tentang kehidupan di Planet Bumi; tentang monster yang bersemayam dalam tubuhnya; tentang tekad untuk menegakkan keadilan berdasarkan ketentuan hukum, serta menjaga bangsa manusia dari apa pun.

Hal paling membahagiakan untuk para korban yang kehilangan ingatan adalah mengetahui dirinya banyak melakukan perbuatan mulia di masa lalu. Anita menyukai masa lalunya.

Ia jadi mengerti. Nalurinya untuk selalu berbuat baik dan taat ternyata memang ada sejak lahir.

Tapi, bagaimana pun, memorinya belum selesai dipulihkan. Dan kali ini, kunjungan ke pemakaman terasa lebih membingungkan.

Hampir setiap kuburan berusaha berbicara padanya. Kebanyakan menceritakan kenangan-kenangan acak dan bertolak belakang dari versi masa lalu yang ia dengar saat kunjungan pertama.

Tidak ada lagi kebaikan. Hanya ada kekejaman tak berakal, pedihnya penyesalan, dan keputusasaan.

"Hentikan ... kalian salah ... hentikan!"

Suara-suara itu justru kian meninggi. Menuntut. Anita berlari menghindar, tapi pemakaman yang menjebaknya seolah tak berujung.

"Hey, Kakak lagi. Kakak kenapa?" tanya seseorang. "Gantian, ya, kita nangisnya?"

Anita sedang duduk di antara dua makam. Bosan berlari, berharap tuli. Tapi ia kenal suara ceria yang menyapanya barusan. Di kunjungan pertama, pemilik suara itu menghampirinya dalam keadaan menangis.

Seorang gadis kecil yang mengenakan topeng hitam.

"Oh, halo. Kakak ... hm, Kakak cuma kelilipan," dusta Anita dengan ekspresi datar, dan sebelah tangan yang mencoba mengusap dagu. "Kita ketemu lagi, he-he. Kamu sendiri gimana, Dik? Sudah baikan?"

Gadis bertopeng itu mengangguk. "Mereka sudah berhenti mengejarku, Kak."

"Wow, bagus! Kakak ikut senang, Dik."

"Hm, Kakak mau aku tiupin matanya?"

"... Iya, boleh."

Si gadis kecil sedikit membuka topengnya, membiarkan mulutnya terlihat. Lalu ia meniup mata Anita.

"Sudah baikan, Kak?"

"Langsung sembuh," kata Anita yang masih menangis. "Ini pasti cuma sisanya."

Keduanya duduk bersebelahan, berpegangan tangan. Gadis bertopeng menyenandungkan satu lagu familier. Anita lupa judulnya apa. Tapi nadanya benar-benar menenangkan.

Di kunjungan pertama, gadis kecil yang entah datang dari mana itu menubruk Anita. Sambil menangis ia meminta tolong.

"Sesuatu kejar aku! Mau makan aku!" desaknya.

Anita berhasil membuatnya tenang dengan bercerita. Mereka duduk bersebelahan dan berpegangan tangan seperti saat ini.

Cerita Anita berisi tentang petualangannya yang seru di Planet Sephira. Tentang kehilangan nyaris seluruh ingatan di awal-awal ... menjadi peserta festival ... dibawa ke Pulau Bawah Air di perairan paling barat planet ... bertemu dengan pemandu pulau bernama Le-Dienloth, manusia kepiting betina yang sangat baik hati dan bersikeras agar dipanggil ibu ...

... bertarung melawan malaikat bersayap delapan dan kalah ... diseret arus kembali ke pulau ... mendapat penawaran dari Le-Dienloth untuk menggunakan kemampuan rahasia Pulau Bawah Air ... menyaksikan Pohon Hukuman memuntahkan deformasi Planet Bumi bercampur wilayah asing ... sampai akhirnya mendadak diserang gelombang ingatan dan tiba di pemakaman imajiner.

Si gadis bertopeng sangat bahagia mendengar petualangan Anita yang hebat.

Tapi gadis itu juga ternyata punya cerita.

Cerita bahwa ia dijebak oleh salah satu orang terdekatnya. Dijadikan bahan eksperimen. Menyaksikan teman-teman sebayanya tewas ....

Saat itu, Anita langsung memeluk si gadis kecil—yang lanjut bercerita dengan suara lurus tapi air mata merembes dari topeng hitamnya.

"Sekarang, apa Kakak punya cerita lagi?" tanya si gadis.

Masih mengeluarkan air mata, Anita menyudahi lamunan. Ia mengangguk. "Kakak tadi berkelahi sama raksasa dan gajah perang."

"Kakak menang?"

"Kakak kalah."

"Yaaah. Pasti gara-gara mereka gede banget terus banyak bulunya, ya?"

"Iya!"

Keduanya tertawa. Spontan senang. Bahkan, suara-suara masa lalu nan gelap dari seluruh kuburan yang menuntut untuk didengar, bisa Anita abaikan.

"Dik, Kakak kayaknya harus pergi sekarang."

"Oh, iya. Hati-hati, Kak."

Mereka berdiri, saling bertatapan.

"Sudah enggak ada yang kejar kamu, kan?" tanya Anita. "Kamu langsung pulang, ya, Dik."

"Tapi ... ini rumahku, Kak. Dan mereka memang sudah enggak kejar aku. Karena mereka sudah tangkap aku."

Belum sempat Anita merespons, panorama pemakaman temaram berputar di matanya. Semua mengabur.

Kecuali dirinya, dan gadis kecil itu.

Gadis kecil yang membuka topeng hitamnya perlahan ... memperlihatkan seraut wajah familier ... dilanjutkan dengan ledakan ingatan.

Anita menjerit.

Dan ketika wanita berambut pendek itu sudah kembali berada di atas portal merah darah milik Pulau Bawah Air, ia merasa, akhirnya, mengetahui lebih banyak lagi.

Sekaligus tenggelam. Tergantikan ....

"Namaku ...," ia mendesis, menyeringai, "Anita Mardiani ...."

Tubuh beserta kesadaran Anita telah diambil alih oleh makhluk bernama Prima-1. Monster dari seluruh monster yang selama ini hidup berdampingan dengannya.



***



Pulau Bawah Air terletak di kedalaman Lautan Solnile bagian barat. Daratan besar berbungkus semacam tirai sihir. Tempat mengagumkan dengan sisa-sisa peradaban kuno yang divisualisasikan oleh puing dan reruntuhan.

Untuk bisa mencapainya, siapa pun harus menggunakan portal rahasia di permukaan laut tertentu.

Saat ini, pada portal di dalam pulau, sosok Anita berdiri sempoyongan.

Ketika hendak menolong, Le-Dienloth—pemandu pulau berwujud manusia kepiting betina—membeku, heran melihat perubahan signifikan dari penampilan wanita berambut pendek itu.

"Anita ... Nak?"

Anita tak lagi cantik dan tanpa ekspresi. Sekujur tubuhnya kini seolah meleleh. Pada bagian mata hanya terdapat dua lubang hitam. Garis mulutnya melebar tak wajar, memamerkan gigi kejam para karnivor. Ia juga tidak bergerak menggunakan dua kaki melainkan beberapa tentakel.

"Apa yang terjadi, Nak ...?"

"Apa yang terjadi, Nak ...?" Anita mencibir, mengulang ucapan si manusia kepiting betina. "Tidak ada yang terjadi, Bu, sungguh." Ia menyeringai semakin lebar. Beberapa mata tumbuh di perut dan pinggang, liar memelototi sekeliling.

"Yakin?" Le-Dienloth menatap cemas, tak terintimidasi sama sekali pada abnormalitas lawan bicaranya. "Katakan jika ada yang mengganggumu. Ibu akan tolong."

Anita mengangguk sangat manis, lalu mencermati pemandangan pulau. Filamen warna air yang berpendar hitam, hijau, dan biru keputihan tercetak di semua struktur berbatu. Makhluk-makhluk kedalaman berenang tenang dan mengagumkan di luar tirai. Pohon Hukuman menjulang bersama tumpukan menyerupai gunung di depannya.

"Oke, Bu ... jadi kekuatan apa yang mampu mengekangku sampai sedemikian rupa?"

"Maaf, Nak?"

Puluhan mulut meletup di sekujur tubuh Anita. "SIAPA YANG CUKUP KUAT UNTUK KEMBALI MENCIPTAKAN INDIVIDUALITAS PADA KESADARANKU, LALU MENYEMBUNYIKAN MEREKA, RAJUNGAN?! SIAPA YANG MELENYAPKAN INGATAN-INGATAN?!" Mulut-mulut mengatup dan lesap. Hanya tersisa satu di leher. Mencemooh, "He-he. Maaf, Bu, sama sekali tidak berniat membentak."

"Ibu mengerti, Nak," kata Le-Dienloth. "Tapi ... bukankah menghilangnya ingatan memang persyaratan peserta festival? Kau sudah mengetahuinya—"

"Ya, ya, ya. Aku tahu soal itu. Anita Mardiani jelas masih mengingatnya. Yang kumaksud adalah ... siapa, Bu? Apakah si mannequin bersayap bernama Nini?"

"Pewaris utama Klan Sephira! Benar, Nak. Mereka yang bertanggung jawab atas semuanya."

"Begitu ... bukan masalah." Anita mendengus. "Apakah ingatanku akan kembali seutuhnya?"

"Ya, Nak, setelah babak final."

"Bagus sekali," wanita berambut pendek itu menggumam. "Lebih dari cukup waktu untuk memenjarakan jiwanya—"

Le-Dienloth bergerak melebihi cetusan kilat, memotong setengah meter jarak dengan Anita, memosisikan capitnya yang mendesis panas di leher wanita itu.

"Uh-oh," kata Anita, menyeringai meski sedang terancam. "Apa salahku, Bu?"

Entah bagaimana caranya, sepanjang Anita—bukan Prima-1—berada di Pulau Bawah Air, si manusia kepiting betina mampu memperlihatkan tatapan keibuan yang hangat dari wajah lebarnya. Tapi kini kebaikan itu menghilang. Digantikan oleh sorot predator. Dingin.

Dalam kondisi itu, Le-Dienloth berujar serak, "Jangan sombong, Budak. Di planet ini, bahkan entitas terlemah bisa melukaimu. Apa pun rencanamu terhadap jiwa Anakku,"—Tebersit ekspresi datar Anita dan tutur kata yang sopan juga lembut—"semoga kau mengambil langkah bijak untuk melupakannya. Jangan ganggu Anakku. Mengerti?"

"Tidak, sayangnya."

Le-Dienloth, menggunakan capit bebasnya, menghantam perut Anita dengan sangat cepat dan kuat sampai-sampai wanita itu terempas di barisan debris.

"Aku mendengar banyak soal Shoggoth," desis si kepiting sambil berjalan mendekat. "Apakah mereka memang berakal atau bodoh ... sekarang aku meragukan yang pertama."

"Jangan sakiti aku, Ibu." Meski Anita sendiri sedang memperbesar wujudnya. Tentakel menyeruak di mana-mana. Menggelapkan udara dengan lengkingan tekeli-li.

"Kau tidak bisa mengancamku di sini," geram Le-Dienloth, tak gentar. "Sekarang, dengar, kau memiliki ingatan yang sama dengan Anakku—Anita. Jadi kuasumsikan itu juga berlaku sebaliknya.

"Sebelum kuangkat tempat ini ke permukaan untuk babak final. Sebagai pemandu, ada satu hal terakhir yang harus kutawarkan. Kemampuan rahasia Pulau Bawah Air—Sang Mata. Anita menolak tawaran itu dua kali."

"Ah, ya," desis Prima-1 sambil tetap melanjutkan transformasi. "Sang Mata. Kemampuan untuk mengetahui keinginan terdalam dari seseorang. Dengan harga menghilangnya satu hari si pengguna. Benar-benar konyol."

Portal merah darah di sudut pulau meledak. Cahayanya terpencar ke setiap penjuru. Pulau Bawah Air mulai bergerak. Melesat menuju permukaan.

"Jadi apa jawabanmu, Shoggoth?"

"Hm ... baiklah. Jadikan aku pengguna. Biarkan Sang Mata mengatakan keinginan terdalamku, Ibu." Prima-1 menumbuhkan ratusan mulut menyeringai. "Suatu hal yang sudah kuketahui sejak lama."

Le-Dienloth merapal singkat. Dari tengah perutnya, sepasang bola mata emas tercipta. Seketika menikam sosok monster Prima-1 hanya dengan menatap.

"Dan untuk babak final," jelas si manusia kepiting betina, "kita akan berperang."

Prima-1 meraung.

Pulau Bawah Air akhirnya timbul di permukaan. Menciptakan ledakan gelombang air laut. Ia muncul langsung di wilayah sentral planet. Berdekatan dengan tiga pulau lain yang tadinya saling berjauhan di ujung mata angin.

Sementara di langit benderang, ribuan pasukan malaikat melesat turun seperti bintang jatuh.



***



Bingkai Mimpi Planet Sephira

Sentral Planet

"Aku akan membantumu di babak final ini," kata Le-Dienloth. "Lawan utama kita adalah empat ribu Pasukan Seraphim yang dipimpin langsung oleh Sephiroth. Untuk menjadi pemenang, kalahkan malaikat bersayap enam itu dengan cara apa pun."

Prima-1 bersiul. "Apa yang Ibu maksud dengan lawan utama? Apakah,"—Bola mata besar membelalak di antara gumpalan hitam berisi organ tubuh, memperhatikan tiga pulau tak jauh di depannya—"kali ini peserta lain dikonsiderasikan sebagai lawan?"

Si manusia kepiting betina menggeram. "Anita, Anakku ... akan memilih untuk kembali bekerja sama dengan mereka—"

"Meski pada akhirnya hanya ada satu pemenang," potong Prima-1. Puluhan mulut menyuarakan tawa mimpi buruk. "Baiklah, Ibu. Aku cukup mengerti." Sosok Anita normal menyembul mengintip, tersenyum.

Le-Dienloth kelihatan sedih dan marah. Tapi demi Anita normal itulah, ia akhirnya sanggup mengatakan, "Ayo, Nak. Bersama-sama."

Lautan Solnile di hadapan mereka mulai mengeras. Ribuan malaikat yang melayang-layang di sekitarnya serempak mengangkat senjata dengan takzim.

"Baaa ...."

"Oh, Fluffy."

Dari balik tumpukan puing, seekor domba aneh menggeliat keluar. Berjalan menghampiri Prima-1 dan Le-Dienloth di tepi batas pulau.

"Anak pintar. Sudah cukup tidur? Anita mengistirahatkanmu sejak babak pertama, ya? Wanita yang—terlalu—baik." Prima-1 merengkuh mamalia kecil itu ke sampingnya. "Sekarang bertarunglah di sisiku."

"Baaa!"

Langit bergemuruh. Para malaikat bernyanyi mengangungkan Sang Pencipta. Di antara semua itu, satu malaikat paling bercahaya, bersayap enam, menjejak di permukaan.

Sephiroth.

Sementara di setiap mata angin, tiga Reverier lain berdiri di tepi batas pulau masing-masing. Didampingi pemandu mereka.

"Dengan ini," Sephiroth mendeklarasikan, suaranya yang dalam dan megah seolah menggema di seisi planet, "babak final Sephira Festival ... dimulai."





Kisah Adagio (Namol)


Bingkai Mimpi Planet Sephira

Sentral Planet

"Belok kiri!" teriak sesosok manusia bola salju seukuran bantal, dan mengenakan topi caping.

"S-siap!" respons Namol.

"Aaah! Bukan ke sana! Kau buta arah?"

"Tapi kaubilang belok kiri, kan?!"

"Kau berani menyalahkan pemandumu ini? Maksudku tadi sebelah kiri dari sudut pandang malaikat-malaikat itu!"

Namol memutar bola mata sekaligus arah terbangnya.

Saat ini, si alien berambut oranye, bersama pemandu pulaunya yang bernama Witwhistle, sedang berusaha menerobos penjagaan ribuan Pasukan Seraphim.

Tiga malaikat datang mengadang. Mengayun pedang mereka. Namol mengumpat dan mengubah kemampuan berdasarkan refleks, dari terbang ke antimateri. Seluruh serangan menembus tubuhnya dan tubuh si manusia bola salju.

"S-selamat ...."

"Yeah, bagus. Sekarang kita jatuh," gerutu Witwhistle.

"Ugh. Belajarlah untuk mengucapkan terima kasih, Snowman." Namol kembali menyetel kemampuan Hellind-nya ke mode terbang. "A-ada serangan lagi!"

"Namanya juga babak final. Hindari, jangan panik!"

Puluhan malaikat melesat, mengadang, menyerang. Mengeroyok, silih berganti, dan seolah tak ada habisnya. Namol terus bertahan.

"Ternyata ingatanmu tidak lebih baik dari kemampuanmu untuk menebak arah," ejek Witwhistle. "Bukankah, rencananya adalah terbang ke inti formasi Pasukan Seraphim? Langsung berhadapan dengan Sephiroth? Ingat itu? Kau hanya terbang memutar dari tadi."

"Hey, bagaimana kalau kita berganti posisi?" Namol tersenyum kesal. "Kau yang terbang, dan aku menjadi boneka salju penggerutu yang digendong—S-SIALAN, PEDANG BESAR BERSINAR! NYA-NYARIS ...!"

"Fokus makanya. Hampir aku ditebas belah dua."

Namol mendapatkan dorongan menggoda untuk pura-pura menjatuhkan Witwhistle ke Daratan Solnile. Tapi harus ia urungkan karena fokusnya kembali terarah hanya untuk bertahan.

Kali ini, gelombang serangan yang datang jauh lebih banyak. Si alien melayang-layang di tengah kepungan malaikat bersenjata, kebingungan mencari celah.

Bom cahaya meledak di atas kepalanya. Tebasan demi tebasan menyusul. Pasukan Seraphim menerapkan formasi ofensif yang efektif meski rumit. Dalam hitungan detik, Namol telah menderita cukup banyak luka di sekujur tubuh.

"Kau berdarah banyak sekali," kata Witwhistle, sementara Namol mati-matian menyeimbangkan pergantian mode terbang ke antimateri.

"He-he. Khawatir aku jatuh, Snowman?"

"Tentu. Soalnya aku juga bakal kebawa-bawa."

Rantai putih panas menembus kepala si alien. Meleset karena antimateri.

"Te-tenanglah ... aku bisa mengatasi ini—mungkin!"

"Jangan sok kuat." Witwhistle menarik baju Namol yang kuyup oleh darah. "Lebih baik kita turun sekarang. Bukankah jika tetap di darat, kau bisa fokus seutuhnya menjadi antimateri—atau apalah namanya, dan berlari ke posisi Sephiroth tanpa halangan?"

Ide super logis itu menghantam kepala Namol seratus kali lebih perih dari gada cahaya terakhir yang melukainya. "B-benar juga, ya ...."

Witwhistle mendesah. "Harusnya hal itu dilakukan dari dulu."

"Kau yang menyuruhku terbang pada awalnya, Snowman!"

"Karena kukira itu bakal lebih keren."

Maka Namol mendarat. Berlari—sambil tetap menggendong Witwhistle—di permukaan lautan keras menggunakan antimateri. Tidak ada satu pun malaikat yang bisa menembus pertahanan absolut itu.

Tidak ada, kecuali satu. Tinju panas yang melesat seperti laser.

Sephiroth, melayangkan pukulan itu tepat di pinggang Namol. Si alien memuntahkan darah, terempas ke samping. Sekujur tubuhnya seolah dibakar.

"Kau menonaktifkan kemampuanmu di saat yang salah," gumam Witwhistle.

Masih terkapar, Namol menggeleng. "E-enggak ... aku masih ... antimateri ... sampai sekarang ... uhuk! Sakit banget ...."

"Hm. Padahal dari tadi semua serangan jadi mentah berkat kemampuan itu. Tapi pikirkanlah sendiri sebabnya." Manusia bola salju melompat dari pelukan Namol. "Yang terpenting sekarang kita sudah tiba di inti formasi Pasukan Seraphim."

Namol melirik sekitar. Masih ada dua ribuan lebih malaikat. Berputar-putar, bersiap menyerang. Lalu ia melihat Sephiroth tak jauh di depannya, sedang bertempur melawan tiga sosok sekaligus.

Mereka ..., pikir si alien.

"Perhatikan," kata Witwhistle. "Tampaknya tiga peserta lain memiliki strategi yang sama dengan kita. Dan mereka tiba lebih dulu."

Ya ....

Nora, sosok mirip Shade, beserta gumpalan hitam mengerikan yang Namol tebak merupakan perubahan wujud Anita, saling melemparkan serangan. Dan bukan hanya ditujukan pada Sephiroth, tapi juga ke satu sama lain.

Sementara para pemandu pulau masing-masing berdiri membelakangi. Sibuk mengusir malaikat-malaikat yang berniat mengganggu pertempuran utama.

Namol bangkit.

"Babak final, eh?" ia menggumam.

"Selesaikan misinya, Bung. Biar kujaga sudut matimu." Manusia bola salju melesat melompat-lompat ke sekumpulan pasukan di belakang si alien. "Dan tetaplah hidup!"

"Itu ... pasti aku enggak bisa janji."

Namol maju, bergabung bersama tiga Reverier lain dan Sephiroth yang sedang baku hantam.



***



Semuanya berubah! pikir si alien berambut oranye begitu melihat ketiga Reverier lain dari dekat.

Nora—walaupun secara keseluruhan masih tampak seperti kesatria berzirah kura-kura dan bersepatu roda—kini menambah semacam kain hitam di tempurungnya. Namol, yang teringat kalau gadis itu juga mengenakan jubah tebal berwarna biru, bertanya-tanya apa ia tidak akan kegerahan di dalam sana?

Lalu Shade. Laki-laki berpostur tegap itu menua. Ia tidak lagi memiliki wajah kencang yang terlihat polos. Keriput terukir di dahi—seakan mencoreng sebuah tato berbentuk  huruf "S" di tengah-tengahnya—lalu sekitar mata, hidung, dan mulut. Tatapannya berubah dalam, mencengkeram, dipenuhi pengetahuan serta pengalaman. Bentuk tubuhnya semakin kokoh. Rambut hitamnya panjang sepinggang, memutih sebagian.

Dan Anita. Tidak terlihat lagi paras cantik berekspresi datar, atau bentuk manusiawi sekalipun dari keberadaannya. Hanya ada gumpalan hitam besar berisi organ tubuh yang berubah-ubah secara konstan. Serta tentakel-tentakel yang bermekaran di sekitarnya sambil memainkan orkestra kematian. Semua itu hanya bisa disaksikan Namol dalam keadaan antimateri. Karena, ketika sempat melihat langsung tanpa pertahanan, si alien seketika merasa jiwa serta indranya tercabik-cabik oleh kegilaan.

Sephiroth segera menyambut Namol dengan satu tinju super cepat lainnya. Si alien berhenti mengobservasi. Mengetahui kalau antimateri tidak bisa menahan serangan itu, ia melompat ke samping sambil berteriak histeris.

Pukulan panas malaikat bersayap enam hanya menyerempet sisi tubuhnya.

Dalam kesempatan itu, Namol akhirnya tahu apa yang menyebabkan antimateri bisa dipecahkan serangan Sephiroth.

Juvaneer!

Logam unik bersifat adaptabel. Terbentuk dari tiga detik proses kristalisasi semua jenis cairan yang dikeluarkan—lalu terpisah—oleh bangsa Juvas. Satu-satunya materi di seantero multisemesta, seantero multidimensi, yang mampu menonaktifkan kemampuan Hellind.

Menyadari Namol sedang memperhatikan, Sephiroth mengangkat dua tinjunya yang bersarung tangan besi-putih, dan kini dihiasi logam Juvaneer di setiap buku jari.

"Pasukan Seraphim adalah bagian dari diriku," ia berujar megah. "Darah bangsa Juvas yang kautumpahkan di senjata mereka tadi ... membawa kita pada situasi ini."

Sekarang si alien tahu dari mana malaikat bersayap enam itu mendapatkan Juvaneer. Darahnya sendiri, yang masih merembes dari baju dan menetes ke daratan Solnile.

Saat ini, ia juga menyadari ternyata ada empat Sephiroth. Satu untuk masing-masing Reverier.

"K-kalian kembaran?!"

Sephiroth mengabaikan pertanyaan bodoh itu. Maju menyerang.

Mengetahui bahwa dirinya kalah cepat, Namol menyelam ke bawah permukaan keras menggunakan antimateri. Hanya kedua tangannya, lalu, yang kembali dipadatkan untuk menarik kaki lawan.

Ia berniat menghancurkan tubuh si malaikat bersayap enam dengan cara menenggelamkannya.

Tapi upaya tersebut gagal.

Sephiroth lebih dulu melayang dari jangkauan. Arus cahaya ia tembakkan dari satu tinju. Serangan yang berhasil menghancurkan beberapa meter lapisan permukaan keras Daratan Solnile, sekaligus Namol yang bersembunyi di baliknya.

Alien itu terkapar setengah hangus. Luka bakar menganga di sekujur tubuh. Tapi ia segera bangkit, keluar dari cerukan. Tersaruk-saruk menghindari arus cahaya lain. Sephiroth mengejar. Menghantam menggunakan pelesatan tinju panas tanpa jeda.

Namol melayang-layang tak menentu. Babak belur.

Sesaat, alien itu bisa melihat kerumunan Pasukan Seraphim yang ditahan para pemandu pulau. Sepersekian detik lewat, kepalanya berputar perih sampai ia bisa melihat Pohon Hukuman di setiap mata angin, lengkap dengan gunungan bidang sederhana berisi semesta para Reverier.

Namol terempas ke permukaan. Pandangannya kian meredup. A-aku ... cuma sampai sini—Lalu kembali terbuka lebar. Beberapa luka serius di sekujur tubuhnya pulih dengan cepat.

"S-Snowman?!"

Witwhistle menabur semacam awan salju penyembuh di sekitar keberadaan si alien.

"Bertarung yang serius. Jangan bikin repot pemandumu," gerutunya. "Sekarang berdiri!"

"Terima kasih!" Namol bangkit. Sementara si manusia bola salju kembali menghalau sepasukan malaikat yang berusaha menyerang dari belakang.

Baiklah, kembali bertarung ....

Tapi, malaikat bersayap enam yang menjadi lawannya tidak terlihat di mana pun. Meski tak terlalu jauh di depan, ia bisa melihat Reverier lain sedang berjibaku melawan jatah Sephiroth masing-masing.

Mungkin dia pikir aku bakalan mati tadi. Pemikiran bagus. Atau

Masih sambil mencari, Namol berkesempatan menyaksikan kehebatan para pemandu pulau.

Ada manusia kura-kura raksasa berjubah hitam, bergerak selayaknya pelesatan anak panah, menumbuk puluhan malaikat sekaligus dengan dua telapak tangan.

Ada manusia ayam jantan, memegang senapan canggih berlaras panjang, fokus menembaki para malaikat yang lantas jatuh berguguran seperti batu putih.

Ada manusia kura-kura betina, merapal sihir dalam bahasa kuno yang berderak, menciptakan elemen penghancur di darat dan langit.

Lalu pemandu pulaunya sendiri, Withistle. Manusia bola salju yang melompat-lompat di antara Pasukan Seraphim sambil menebar awan hitam. Para malaikat di area tersebut tiba-tiba saling menyerang satu sama lain, seolah terhipnotis.

"Demi Elojah! Kirim mereka ke Devalt!" malaikat-malaikat berseru serempak. Seruan itu menggetarkan Daratan Solnile.

Para pemandu pulau membalas tak kalah hebat.

"RRROOORRRAAA!!!" jerit semangat si manusia kura-kura raksasa.

"Ini adalah kesempatan terakhir kalian terbang di langit!" dengus si manusia ayam jantan.

"Terus menyerang, Nak!" pinta si manusia kepiting betina. "Ibu akan selalu melindungimu!"

Dan Witwhistle. Mencemooh langsung ke arah si alien, "Hey! Kalau masih mau bengong akan kubawakan kursi untukmu!"

Namol kembali sadar diri. Ia terbang ke belakang Sephiroth yang sedang dihadapi Nora.

"Butuh bantuan?" tanyanya.

Tanpa menunggu jawaban si gadis berzirah kura-kura, dan sebelum Sephiroth mendapat kesadaran penuh atas kehadirannya, Namol mengaktifkan antimateri.

Dari belakang, ia tusukkan sebelah tangan ke titik di mana jantung seseorang berada. Serangan itu menembus, dan kembali padat di bagian tertentu setelahnya. Menghasilkan kehancuran internal.

Meski tak tumbang, Sephiroth mendelik terluka. Memutar tubuh ke arah Namol.

Pada saat inilah Nora melompat akrobatik.

Tempurung zirahnya menutup benderang langit. Bagian perutnya membuka, memperlihatkan sebelah tangan yang dilapisi bagian dari jubah berwarna biru. Dari situ ia melecutkan Ink berbentuk puluhan ular berdesis ke sekujur tubuh si malaikat bersayap enam.

Dalam momentum singkat nan berbayang itu, Ink Nora berhasil menghunjam keberadaan Sephiroth. Membungkusnya, lantas meremasnya sampai tak bersisa.

Nora mendarat di samping Namol.

"Trm ksh, Nml. Ssah bngt kurng dia kya tdi," kata si gadis berzirah kura-kura dari balik helm full-face. "Tpi kit ttap msuh."

Si alien mengerti intinya. Mengangguk grogi.

Bersamaan dengan itu, beberapa meter di samping mereka, Shade meremukkan tengkorak Sephiroth yang menjadi jatahnya menggunakan tongkat baton.

Malaikat bersayap enam terhuyung, mencoba terbang menjauh, tapi laki-laki yang kini menua itu lebih dulu melubangi setiap titik vital tubuhnya.

Dua tumbang, pikir Namol. Ia segera menoleh ke arah satu-satunya Sephiroth yang tersisa. Masih sibuk bertukar serangan dengan gumpalan hitam mengerikan.

Tanpa saling mengucapkan apa-apa, tiga Reverier maju membantu.

Belum sampai tujuan, Shade sudah lebih dulu membidik kaki Namol. Si alien siap dengan antimateri. Di sisi yang lain, Nora melempar semacam manipulasi Ink berbentuk jaring.

Namol otomatis lolos, sementara si laki-laki tua menangkisnya dengan semacam cip eksplosif.

Ledakan membulat di antara tiga Reverier.

Ini dia, pikir si alien, nelangsa, sesuatu yang enggak bisa dihindari. Pertarungan sesama peserta. Karena cuma ada satu pemenang ....

Sebagian api ledakan ditelan oleh Namol. Dimuntahkan kemudian menjadi empat prajurit api bertubuh kecil, berhelm tanduk, bersenjatakan trisula.

"Serang!" perintahnya.

Dua prajurit menyerang Nora dan Shade. Sisanya melesat ke arah gumpalan hitam dan Sephiroth.

Bersamaan, semua prajurit api meledakkan diri menjadi spiral oranye. Nora menahan tekanan panas dengan jubah hitam; Shade berkelit lincah; gumpalan mengerikan menusuk permukaan keras lalu menciptakan perisai dari pecahan; Sephiroth kena telak.

Satu dari enam sayap si malaikat hangus terbakar.

Belum sempat melakukan respons apa pun, keempat Reverier datang mengeroyok. Nora menyayat satu sayap lagi menggunakan Ink berbentuk sabit; Shade menembak tepat ke spasi di antara mata; gumpalan hitam mengeluarkan dua tentakel yang mengikat kedua tangan dan liar menyobek; Namol menusuk perut menggunakan pola kerusakan antimateri.

Sephiroth berteriak penuh penderitaan setelahnya. Tubuhnya bergetar tak beraturan. Menciptakan secara berulang, proses gagal dari kemampuan membelah diri. Sekarang, bahkan untuk terbang menjauh pun sulit karena sayapnya terlalu lemah. Akhirnya ia hanya mengeluarkan cahaya melingkar yang seketika mendorong keempat Reverier ke belakang.

"Opere et veritate ... omnibus locis fit caedes ...." Sambil bersimpuh dan menangkupkan kedua tangan, malaikat sekarat itu merapal penuh penghayatan. "Omnes vulnerant, postuma necat—"

Sekitar seribu sisa Pasukan Seraphim—dan semuanya masih ditahan oleh para pemandu pulau—ikut merapal, membuang senjata masing-masing. Tubuh mereka mengeluarkan kemilau yang meledak-ledak.

"ROOORRRA! BERLINDUNG!" pekik manusia kura-kura raksasa, tangannya terulur demi menggapai Nora.

Pemandu pulau lainnya menghampiri peserta mereka.

"Shade, ini yang terakhir. Tetaplah di belakangku," kata manusia ayam jantan.

Manusia kepiting betina menatap sedih gumpalan hitam besar yang meraung tak terkendali di sampingnya. "Jangan ke mana-mana, Nak. Kali ini Ibu pasti menyelamatkanmu."

"A-apa yang sebenarnya akan terjadi, Snowman?" tanya si alien berambut oranye.

Witwhistle hanya melepas topi caping, lalu melompat dan memakaikannya di kepala Namol.

"Sephiroth sudah kalah. Babak final selesai," ujarnya, lega. "Sebentar lagi dia akan menghancurkan seisi planet kecuali Pulau Permintaan—destinasi terakhir Sephira Festival. Sekarang pegang erat-erat topi yang kuberikan, agar kau selamat dari ledakan."

"Ki-kita sudah menang?! Hore! O-oke! Akan kupegang!"

Si manusia bola salju tersenyum, balik badan.

"... Oremus pro invicem ...." Sephiroth bersama Pasukan Seraphim miliknya berhenti serempak. Mengambil jeda dua puluh detik penuh, lalu meneriakkan, "ANALEMMA!"

Seluruh malaikat terpecah menjadi serpihan hitam-putih. Melesat ke berbagai arah. Meracuni setiap spasi yang mereka lewati. Selayaknya miliaran penghapus kecil pada papan tulis raksasa. Satu per satu gambar ditarik lenyap. Pulau-pulau, daratan, laut, langit, dan Pohon Hukuman. Menyisakan hanya empat gunungan bidang sederhana, berisi deformatif semesta-semesta asing, di kehampaan.

Para Reverier melesat naik melewati semua proses itu. Terbungkus oleh aura hangat di sekitar mereka. Langsung menuju tempat penentuan. Pulau permintaan.





The Ghost of an Image


Bingkai Mimpi Planet Sephira

Nora

Sebelum babak kedua dimulai.

Pulau Teka-Teki. Di depan tumpukan bidang yang menjulang seperti gunung kecil.

"Rora, pasang ini agar kau bergerak lebih cepat ketika menggunakan Tempurung Junior," kata Arkor si manusia kura-kura raksasa, seraya melempar sepasang sepatu roda unik.

"Tempurung Junior?" tanya Nora setengah gila.

"Iya, itu nama zirah kura-kura yang kuberikan padamu. Keren, ya? Te-he. Oh, iya, jangan sampai lupa mengerem, oke?"

"... oke, deh. Makasih, ya?"

"ROOORAAAHAHA, sudah menjadi tugasku."

Nora menggunakan modifikasi sepatu roda itu di pertempuran babak kedua melawan Goliath ....

Sebelum babak final dimulai.

"Aku pasti mati kalau enggak pakai kostum konyo—keren ini. Badanku diremas kayak ayam tepung sama raksasa bernama Goliath itu," Nora bercerita di wilayah pantai, sementara atmosfer pulau menyembuhkan lukanya.

Arkor mendengarkan baik-baik lantas terisak. "Syukurlah kau baik-baik saja, rooorrraaa ...."

"Baik apanya?!" dengus si gadis berjubah biru. "Aku sudah bilang, kan, badanku nyaris rusak? Hey, jangan nangis, dong! Basah, nih, kyaaa—ingus! DASAR BODOH!"

Nora menendang lagi pipi si kura-kura, lalu terkekeh. Setelah berhenti mengaduh, Arkor juga ikut-ikutan tertawa.

Pohon Hukuman di tengah pulau, dekat dinding cermin, kembali menjatuhkan bagian semesta—planet tak bernama—dalam bentuk bidang sederhana. Bersamaan dengan itu, ingatan pun kembali datang membanjir.

Si gadis berjubah bersimpuh seketika sambil memegangi kepalanya.

Ia mengingat cukup banyak kali ini.

Tentang orasi Emi ... tentang Knowledge dan perpustakaan ... tentang Gargo dan kastel ... tentang gua tempat tinggalnya dulu ... tentang Kota Clockwork ....

Lalu tentang Alam Mimpi ... perkelahian emosional dengan Gargo ... Kota Kematian dan Manusia Kadal ... tentang menjadi Reverier ... mendapatkan domba menyebalkan sekaligus teman baik—Maximillion ... pertarungan demi pertarungan ... para penguasa ....

Tentang gadis berkostum badut, bernama Olive, yang terjebak di dalam Bingkai Mimpi planet tak bernama, dan kini sedang "dipinjam" tubuhnya ....

Banjir ingatan berhenti.

"Bagaimana?" tanya si kura-kura raksasa, prihatin.

Nora merebahkan diri di wilayah pantai. Menggigit bibir, menahan sekuat tenaga agar sengat di kedua matanya tidak sampai bobol menjadi tangis. "Aku ... ingat banyak hal," ia berbisik pecah. "Terlalu banyak malah ...." Karena baginya, memang ada ingatan yang lebih baik tetap menjadi ingatan. Tak perlu terulang dalam bentuk apa pun.

"Bisa ikuti aku, rora, kumohon," kata Arkor. "Sebelum babak final dimulai, ada penawaran khusus buatmu. Kemampuan rahasia Pulau Teka-Teki."

Nora menyedot ingusnya. Berdiri dan berjalan mengikuti si manusia kura-kura raksasa sampai ke depan dinding cermin.

Arkor menunjuk tiga dinding yang paling kecil, lalu meminta agar si gadis berjubah memilih. Pulau Teka-Teki akan memberikan salah satu senjata terkuat apabila ia memilih dengan benar.

Kesulitannya, masing-masing cermin pasti menampilkan refleksi yang berbeda. Satu di antaranya hanya memperlihatkan Nora. Sementara di sampingnya menampilkan gunungan makanan lezat. Terakhir malah kosong.

Apabila salah memilih, bayarannya adalah pencabutan satu fungsi indra.

"Roraaa, pilihan yang benar dinilai dari bagaimana hatimu memaknai refleksi-refleksi itu. Tapi kau juga bisa saja tidak memilih ketiganya. Kemampuan rahasia di setiap pulau sifatnya adisional untuk para peserta festival."

"Aku mau pilih," kata Nora, meski tak tahu harus memilih yang mana.

Ia baru berjalan beberapa langkah mendekat, ketika kakinya terantuk rumput kering. Tubuh gadis itu berguling sampai akhirnya menabrak salah satu dinding cermin yang tidak merefleksikan apa pun.

"ROOORA! KAU MEMILIH YANG KOSONG?! Kenapa?"

"Eh? A-aku enggak tahu! Jangan ambil pancaindraku!"

Tapi pilihan Nora ternyata benar.

Cermin di belakangnya memuntahkan semacam jubah hitam sebagai hadiah. Arkor dengan senang hati menjelaskan bahwa benda itu dulunya milik Helel. Malaikat legendaris yang memulai Perang Suci melawan Mikail.

Jubah hitam yang hampir mampu menahan segala jenis serangan. Nora dengan senang hati menerimanya.

Setelah itu, babak final dimulai. Keempat pulau bergerak mendekati Sentral Planet. Para peserta beserta pemandu mereka harus berperang melawan Sephiroth dan Pasukan Seraphim ....

Setelah babak final selesai.

Saat ini.

Nora melesat dalam balutan aura hangat. Melewati proses kehancuran Planet Sephira, menuju Pulau Permintaan. Sebuah daratan yang terapung di tengah langit.

Ingatan sedang memenuhi pikiran si gadis berzirah kura-kura. Mereka kembali seutuhnya.

Tentang gadis itu, pelayan Ratu Huban ....

Tentang bagaimana ia mendapatkan jubah biru tebal yang kini sedang dipakai ....

Dan tentang ingatan di suatu hutan gelap milik Alam Mimpi. Dimana Sang Kurator menjelaskan soal Arsamagna. Inspirasi tertinggi yang melahirkan kekuatan tak terkira ....

Semuanya utuh.

Nora membuka kedua matanya. Tersenyum.

"Ingat, rooorrra, jangan lupa mengerem," sapa Arkor. Sosoknya terbentuk samar dari pancaran aura hangat.

"Hey! Ingatanku sudah sembuh, loh! Mau tahu tentang Emi? Duniaku? Atau bahkan cerita di balik jubah biru yang sedang kukenakan?"

Si kura-kura raksasa tersenyum.

"Di kesempatan yang lain, mungkin, rooora. Aku hanya ingin pamit."

"Eh? Kenapa?"

"Tugasku selesai, rora. Sekarang, lakukan apa yang menurutmu harus dilakukan. Seperti ketika memilih dinding cermin."

"Maksudmu tersandung? Ya, aku bakal berusaha habis-habisan!"

Arkor tertawa.

"Sampai jumpa lagi, rora."

"Sampai jumpa lagi ... Arkor. Terima kasih sudah jadi pemandu pulauku." Nora tersenyum. Meski takkan terlihat karena terhalang helm full-face.

Perlahan, aura hangat yang membentuk sosok kura-kura raksasa menghilang. Meninggalkan Nora sendirian dengan tekad kuatnya untuk memenangkan apa pun yang harus dimenangkan nanti.

Arsamagna gadis berzirah kura-kura ini sudah terlahir.



***



Bingkai Mimpi Planet Sephira

Shade

Sebelum babak final.

Setelah Pelatuk Zaman diaktifkan di Pulau Waktu.

"Lima ratus tahun, Shade," kata Villist si manusia ayam jantan. "Itu usiamu sekarang. Kira-kira pengetahuan apa saja yang kau peroleh dari menjual sebegitu banyak waktu? Dan harus kuakui ... untuk ukuran bangsa manusia sampai bisa hidup selama itu—"

"Maaf, Villist," Shade-tua menginterupsi. Suaranya dalam dengan intonasi tertata. Hawa presensinya sangat mengintimidasi. "Aku bukan manusia. Aku klon yang terus berevolusi, sekaligus kunci senjata mematikan multisemesta. Pelatuk Zaman membawaku ke lima ratus tahun di masa lalu, dan masa depan. Aku sudah mengetahui semua tentang arti keberadaanku."

"Luar biasa. Menurutku, kau bahkan sudah mengetahui akhir dari Sephira Festival?" Si manusia ayam mengeluarkan senapan canggih berlaras panjang dari balik jubah. "Dan berapa total malaikat yang berhasil kujatuhkan dengan benda ini?"

Shade tersenyum tipis, mengangguk.

"Baiklah. Apa pendapatmu soal semua pengetahuan itu, Shade?"

"Sempurna."

"Begitu? Kuhargai pendapatmu. Sebagai gantinya, Shade, tolong ingat ini. Pelatuk Zaman memang memberikan jawaban. Tapi di dalam prosesnya, statusmu terbatas sebagai pihak luar. Penonton pasif. Kau hanya mengetahui, belum menjalani. Menurutku itu dua hal yang berbeda."

"Ya. Aku mengerti."

Setelah itu, si laki-laki tua bersama manusia ayam jantan berangkat ke peperangan di babak final ....

Setelah babak final selesai.

Saat ini.

Shade menatap kosong pada proses kehancuran Planet Sephira, sambil terus melesat, berbalut aura hangat, ke destinasi terakhir. Pulau Permintaan.

Laki-laki tua itu bahkan tidak berkedip ketika badai ingatan datang meramaikan isi kepalanya. Memulihkan semua yang terlupakan.

Mungkin, karena ia sudah lebih dulu mengetahui semua hal berkat Pelatuk Zaman. Atau, beban psikologis dalam skala sekecil itu tidak lagi memberikan efek pada lingkup pikirnya yang tak terukur.

Tapi, lalu, Shade dikejutkan oleh kehadiran sensasi asing. Sekelompok perasaan yang seolah telah sangat lama dikesampingkan, hampir terhapus, oleh wujud aktualnya—laki-laki tangguh berusia lima ratus tahun.

Harapan.

Ketidakberdayaan.

Tubuh tua Shade menyambut hangat kembalinya semua persepsi. Semua yang benar-benar telah dialaminya secara langsung.

Kehidupan keras sebagai klon di Proto Gaiea ....

Mrs. Zaitsev yang tersenyum kapan pun ia membuat kemajuan ....

Mrs. Zaitsev yang menatapnya dingin di barak ....

Mrs. Zaitsev yang mencintai Layth Mazin, bukan dirinya ....

"Aku adalah klon sekaligus senjata terbaik milik Proto Gaiea." Shade mendengar dirinya sendiri berbicara dalam hati. Suara yang masih berekspresi dan hijau.

Suara yang pudar, tersembunyi, mencoba sekuat tenaga meyakinkan diri sendiri, seakan-akan kekuatan semesta turun langsung membatasi takdirnya dengan hal itu.

Meski baginya yang sekarang, itu hanyalah suara masa lalu.

Dengan menggunakan Pelatuk Zaman, sesungguhnya Shade telah melihat dirinya keluar dari pertarungan hidup-mati di Alam Mimpi; dalam keadaan tua dan selamat. Kembali ke Proto Gaiea. Berperang melawan SPHERE. Mengetahui rencana lengkap Chronos perihal Arsenal.

Mengetahui bahwa tubuhnya merupakan kunci untuk membangkitkan senjata mematikan itu. Karena selain terlahir sebagai klon dari sesosok tokoh besar Proto Gaiea bernama Layth Mazin, Shade memiliki virus khusus di dalam darahnya.

Virus yang dipelajari para peneliti Planet Chronos. Virus yang dipanen langsung dari DNA suatu inti planet khusus dan hidup secara harfiah. Planet Blu Fed—pusat produksi kloning terhebat di multisemesta.

Alasan kenapa keberadaan Shade kerap mengganggu hukum ruang dan waktu di sekitarnya—selama ia berada di Alam Mimpi dan terus berkembang—adalah karena laki-laki itu mengemban semacam cangkang kolosal di dalam dirinya.

Cangkang yang terus bergolak, bersinergi dengan berat virus inti Planet Blu Fed, dan perkembangan setiap kemampuan dasar.

Shade adalah duplikasi keseluruhan planet itu sendiri.

Laki-laki yang hidup sambil membawa beban triliunan DNA. Entitas yang memiliki bakat multisemesta serta kepatuhan terhadap tanah airnya. Planet dengan jiwa yang kasatmata. Itulah hadiah Chronos untuk Proto Gaiea.

Senjata mutakhir yang dinamai ... Shade.

Selama ratusan tahun ke depan—setelah mendapatkan keabadian dari penelitian kesekian terhadap tubuhnya—Shade hanya melihat peperangan. Ia tidak bisa ke mana-mana. Terjebak dalam rantai takdir dan jati diri.

Karena pertempuran tidak akan pernah berakhir ....

"Dan aku menerimanya. Takdirku, jati diriku. Aku akan pulang setelah menyelesaikan turnamen ini—"

Membangkitkan Arsamagna dan menang ....

Suara polos dari masa lalu terngiang lagi. Si laki-laki tua menyunggingkan senyum mengejek. Sorot tajam dari matanya yang dalam mengabur. Wajahnya basah.

"Aku tidak mengerti soal hukum waktu. Jika waktu sekalipun hanyalah konsep yang kita ciptakan untuk melabeli hal-hal berkaitan, kita tetap tinggal di dalamnya, kan?" Villist si manusia ayam jantan terbentuk samar dari aura hangat. "Dan itulah bebanmu saat ini, Shade."

Ia sengaja membelakangi Shade-tua yang sedang menunduk, menangis.

"Sebagai pemandumu tadi, aku menawarkan kemampuan Pelatuk Zaman. Sekarang, sebagai partner, kukatakan padamu ... kemampuan yang diciptakan para malaikat Cherubim itu tidak melulu akurat.

"Masa depan bukan hanya milikmu, Shade. Ia seperti prasangka ketika kita hendak memasuki rumah hantu. Kita tahu ada ketakutan di dalam sana. Tapi selain itu, juga kejutan. Mengetahui hal-hal mengerikan, kemudian menjalaninya dengan keberanian. Mungkin itulah faktor yang mampu mengubah suatu hasil akhir.

"Membentuk jati diri kita yang sejati. Ingatlah bahwa kau tidak sesendirian itu. Bertarunglah sambil terus percaya. Masih ada mereka yang membuka tangan dan menyayangimu apa adanya."

Tebersit senyum tulus Mrs. Zaitsev ... canda tawa teman-teman di Proto Gaiea ... janji pada sosok misterius ....

"Terima kasih, Villist," Shade menggumam serak. "Terima kasih."

Si manusia ayam jantan tersenyum, lantas memudar.

Shade lanjut melesat sendirian. Kuat, bersinar, dan hangat.

Arsamagna laki-laki itu telah terlahir.



***



Bingkai Mimpi Planet Sephira

Anita

"Jadi ... ini wujud kamu yang sebenarnya, Prima-1?" tanya Anita Mardiani.

Prima-1 duduk di tepi patahan pilar hitam bekas konstruksi semacam kuil raksasa berbentuk ganjil. Ia ada di sana sebagai seorang gadis kecil yang mengenakan topeng.

"Hooo, Kakak kenapa bisa ada di sini? Menanyakan hal bodoh," ujarnya, santai. "Sama sepertiku."

Saat ini aura hangat berkekuatan suci sedang membalut sang Shoggoth, membawanya menuju Pulau Permintaan. Hal itu sekaligus melemahkan seluruh mekanisme pertahanan si monster. Ditambah juga, gelombang ingatan yang mulai masuk satu per satu ke dalam jiwa pada kesadaran kolektifnya.

Semua memori akhirnya pulih.

Anita berjalan sampai ke samping Prima-1. Ikut memperhatikan apa yang sedang terjadi di bawah sana.

Kekacauan.

"Beginilah seharusnya kita berperang," gumam gadis bertopeng. "Melindungi hal lain tanpa peduli pada diri sendiri. Lantas punah ... sambil selamanya menjadi bodoh."

Anita tersenyum. "Kamu sedang mengejek kebijakanku, Prima-1?"

"Oh, ya? Memangnya sejelas itu?" Prima-1 lalu terdiam beberapa saat.

"Padahal kau adalah bagian dari diriku, Kak," ia melanjutkan. "Kenapa kau sangat mengecewakan?"

"Hmmm ... mungkin karena itulah fungsi seorang kakak?"

"Tapi kau bukan kakakku, Kak."

Anita menjitak kepala gadis bertopeng di sampingnya. Suatu hal yang sangat tidak terduga. Insting monster kuno di dalam Prima-1 seketika terusik. Menggeram, siap meledak.

Tapi Anita tidak takut dan bersikap seolah itu merupakan hal biasa.

"Dari luar, aku adalah apa yang orang lain katakan tentang diriku," katanya, gemas. "Setiap orang berhak mempertahankan kata-kata mereka. Tinggal kita membuktikan pada mereka bagaimana kebenarannya."

"Membingungkan!" desis gadis bertopeng.

"Tidak lebih parah daripada memanggil seseorang dengan sebutan 'Kak', tapi tidak menganggapnya sebagai kakak."

Prima-1 menggerutu menggunakan bahasa tak dikenal. Anita tertawa lepas karena mendengar pelafalan thithid.

"Ya, tertawalah." Gadis bertopeng ikut tertawa. Meski tawa mencemooh. "Setelah kudapatkan seluruh kendali, jiwamu adalah yang pertama kuasingkan, Kak."

"Kunjungi aku sesekali, ya?" kata Anita, tersenyum. "Yang paling parah dari pengasingan itu merasa kesepian."

Gadis bertopeng mencengkeram tepi pilar. "Justru itu tujuanku, Kak."

"Menjadikanku kesepian? Kenapa kamu jahat banget, Prima-1?"

"Sudah cukup."

"Apanya?"

Prima-1 mengaum menggunakan sosok si gadis bertopeng.

"Aku mengetahui rencanamu, Anita," desisnya. "Mencoba menghubungi semua jiwa dalam kesadaran kolektif untuk menggulingkan kekuasaanku atas tubuh ini? Apa sebenarnya kita, hah? Semacam pemerintahan tolol?! Camkan ini ... aku takkan ke mana-mana."

"Dengar, Prima-1, kamu memang tidak akan—"

"PERHATIKAN!" Gadis bertopeng berdiri. Sambil menatap ke arah Anita, sebelah tangannya menuding kekacauan di bawah sana.

Perang mengerikan. Pemberontakan Shoggoth atas kuasa Tetua Semesta.

Anita menggigit bibir, memalingkan wajah. Meski tampilan perang itu sudah ditekan sampai sesederhana mungkin untuk disaksikan jiwa manusia, aura kekejaman dan kegilaan yang terkandung di dalamnya sama sekali tidak bisa disembunyikan.

"Aku akan menjadi setara dengan para penguasa," Prima-1 mendeklarasikan sendu. "Di akhir perjalanan nanti ... semua jiwa akan menjadi milikku. Dan kebebasan ... serta perang teatris konyol seperti ini, atau yang lainnya ... AKU AKAN BERDIRI DI ATASNYA TANPA IKATAN APA PUN!"

Lagi-lagi Anita melakukan hal bodoh yang bisa disetarakan dengan bunuh diri. Ia memeluk si gadis bertopeng.

"Sejak di Pulau Bawah Air ... sejak kamu mengambil lagi kendali tubuh ini ... kamu sudah ketakutan, kan, Prima-1?"

Prima-1 meraung. Dari tubuh gadis kecil itu mencuat puluhan tentakel yang segera bergerak mencabik.

Tapi Anita bergeming.

"Sekarang aku sudah mengingat semuanya."

Tragedi Gunung Salak ....

Misi demi misi yang diberikan Komunitas Penyihir ....

"Lihat, selama itu ... kamu selalu ada di sana. Bikin aku takut."

Semua pertarungan di Alam Mimpi ....

Embikkan Fluffy ... keteguhan Nano Reinfield ... dukungan Song ... perlawanan Maia ....

Sosok mengerikan yang tertidur dan menunggu untuk bangkit ....

"Maaf ... karena aku terlambat menyadarinya. Kita adalah monster yang berkembang bersama-sama. Terima kasih sudah menjadi sumber kekuatanku selama ini ..., Ellumthir."

Seluruh tentakel yang masih mencabik Anita membeku. Tangisan peperangan di bawah sana tak lagi terdengar. Seluruh gambar menguap perlahan.

Hingga, di kekosongan hitam yang berdengung halus, hanya ada ia, Prima-1 dalam wujud sejati sesosok monster mengerikan—Shoggoth sebesar tiga ratus meter, bersama gadis kecil tanpa topeng bernama Anita Mardiani.

Saling berhadapan, gadis itu tersenyum lugu. "Kita maju sama-sama, Ellumthir."

Pemandangan kembali berubah. Gadis kecil tumbuh menjadi wanita dewasa, sementara Prima-1 mengecil selayaknya bentuk awal ketika ia diciptakan.

"Tekeli-li ... kau memanggil namaku," erang Shoggoth kecil itu. "Tekeli-li!!!"

"Kita semua sebenarnya satu, kan?"

Kekosongan hitam seketika berubah ramai. Seluruh jiwa pada kesadaran kolektif berdiri di belakang Anita, sementara wanita itu bersimpuh membelai gumpalan kecil yang masih meronta di hadapannya.

"Bersama-sama, Ellumthir. Kita menangkan kebebasan ini."

Prima-1 meraung, melompat ke belakang. Ia tidak bisa menerima semua ini. Ia tidak diciptakan untuk ini. Tapi luapan sensasi yang kini sedang menyerangnya, menyakitinya lebih dari Api Yunani sekalipun, adalah sesuatu yang nyata.

"TEKELI-LI! ENYAH SAJA SANA!!!"

Bagi monster yang diciptakan untuk patuh tanpa akal, bisa bertemu dengan kepribadian sesosok Anita dan belajar hidup bersamanya, merupakan kelahiran baru dari dua kekuatan bertolak belakang.

Tapi pertemuan itu tetap terjadi.

Sampai akhirnya mereka tiba pada tahap penerimaan ini. Hal itulah yang menyakiti Prima-1.

Dorongan untuk menyerah.

Shoggoth kecil melompat menyerang Anita. Tanpa harus menghindar, wanita itu tidak mendapatkan luka apa-apa.

Prima-1 menghilang. Bergabung sukarela bersama jiwa-jiwa pada kesadaran kolektif yang masih berdiri di belakang sana.

Wanita itu menoleh. Melihat senyum di masing-masing wajah familier sebelum mereka menyerpih.

Dan senyum miring khas dari Pak Guru-nya, Jurgen Wagner, adalah satu pemandangan terakhir yang bertahan.

"Akhirnya kamu bisa buka mata kamu, murid bodoh. Ada banyak semesta yang harus kamu tolong."

Anita membalas tersenyum. Mengangguk, lalu memejamkan mata.

Ketika terbangun, atau terlahir kembali, ia sedang diselimuti aura hangat yang sesaat lagi menjejak di destinasi terakhir. Pulau Permintaan.

"Selamat berjuang, Nak." Citra samar Le-Dienloth, si manusia kepiting betina, maju memeluk erat Anita.

"Terima kasih, Ibu."

Sebelum memudar, Le-Dienloth memperhatikan wanita berambut pendek itu menggunakan tatapan kasih sayang dan bangga.

Anita yang cantik tanpa ekspresi. Berhasil berdamai dengan banyak hal.

Arsamagna wanita itu telah terlahir.



***



Bingkai Mimpi Planet Sephira

Namol

Setibanya si alien di Pulau Kuburan.

A-apakah makhluk itu hidup ...? Ia mempertanyakan keberadaan manusia bola salju kecil yang sedang rebahan di atas nisan kosong.

Karena memang hanya itulah yang ada di pulau musim dingin; seluas lima kali kotak telepon umum ini. Batu nisan dan manusia bola salju bertopi caping.

Namol bersila di hadapan keduanya. Menunggu sesuatu. Tidak ada yang terjadi. Memang, sosok manusia bola salju seolah memasang ekspresi bosan. Tapi si alien mengira itu pasti hanya keisengan dari sang pembuat.

Sampai akhirnya, Pohon Hukuman tumbuh menjulang di pulau ini, pertanda dimulainya babak pertama Sephira Festival.

"Sana pergi," kata si manusia bola salju, tiba-tiba, pada Namol yang masih tercengang melihat kemunculan pohon raksasa.

Alien berambut oranye itu ditendang sampai ke luar pulau. Tanpa mengetahui apa pun, ia terbawa arus ke Sentral Planet untuk melawan Samael ....

Setelah babak pertama selesai.

Namol marah-marah ke manusia bola salju yang sudah kembali rebahan di atas nisan. Alien itu menuntut penjelasan.

"Repot," gerutu si manusia bola salju. "Tonton saja sendiri." Ia menjentikkan jarinya yang terdiri dari ranting.

Gambar-gambar menakjubkan muncul di penglihatan Namol.

Sephira Festival di masa lalu. Era kejayaan dimana masih terdapat sekitar tujuh miliar pulau di planet ini.

Dari situ Namol paham soal syarat peserta yang kehilangan ingatan. Lalu tentang pemandu, Pohon Hukuman, kemampuan khusus tiap pulau, dan konsekuensi kekalahan.

Selesai diperlihatkan semua keterangan itu, si alien jatuh. Kali ini karena guncangan hebat dari letusan Pohon Hukuman yang memuntahkan deformasi semesta.

Juga, karena tekanan ingatan.

Memorinya pulih sedikit-sedikit ....

Namol ingat kehidupan semasa kecilnya di dalam lubang hitam bernama Regaia.

Bermain perosotan sendirian ....

Menangis karena lupa bawa uang ketika hendak beli es krim satelit, tapi juga menolak untuk dibayari teman yang kebetulan lewat ....

Sendirian memancing asteroid di antara kuali ledakan bintang kecil ....

Menonton peristiwa kuantum yang rutin terjadi setiap Regaia mengisap galaksi minor, di kursi jauh terpisah, meski teman-temannya telah menyediakan tempat berdekatan ....

"Aku ... punya teman. Tapi aku selalu sendirian."

Namol ingat hari-hari dimana ia mengintip bengkel khusus Messier, ayahnya, tempat yang dipenuhi makhluk unik seperti cacing besar dan peri bawel. Lalu ia diusir karena mengganggu.

Hari-hari dimana ia diperbudak menyirami taman logam Hubble, ibunya, selama hitungan eon dalam kalender rotasi Actinarum yang membeku dan dipenuhi Ticuqh sang penggigit.

Atau hari-hari lain ketika hanya mereka bertiga—Namol, Messier, Hubble—tertawa bersama sambil makan di atap, dan serpihan gravitasi bintang mencoret puluhan angkasa sebagai latarnya ....

"Meskipun mereka kadang jahat dan gila, mereka tetap orangtuaku."

Sendirian, Namol kecil menyusup keluar dari lubang hitam. Duduk di cakrawalanya sambil menangis karena hal-hal bodoh ....

Tekanan ingatan mereda.

"Pemandu pulaumu." Ranting berbentuk tangan terulur ke wajah si alien yang masih terbaring-terkejut mengatur orientasi. "Witwhistle."

Setelah itu Witwhistle si manusia bola salju kembali menendangnya keluar pulau. Tanpa menjelaskan apa pun. Namol dibawa arus untuk menghadiri babak kedua melawan Goliath ....

Setelah babak kedua selesai.

Namol kembali marah-marah. Kali ini sambil menangis dan memang serius kesal. Ia menepak topi caping Witwhistle sampai terlepas dari kepala saljunya.

Hal berikutnya yang terjadi adalah Witwhistle menghajar alien itu sampai tercebur ke Lautan Solnile.

Mereka saling meminta maaf setelahnya.

Pohon Hukuman kembali menjatuhkan bidang sederhana yang menggunung, terapung di atas permukaan air. Bersamaan dengan itu, tekanan ingatan pun kembali menyerang kepala Namol ....

Ia mengingat tentang perjuangannya di Alam Mimpi.

Bertemu Ariadne di Bumi ....

Kerusuhan di Anatolia ....

Petualangan di Exiastgardsun ....

Mengunjungi House of Memory di Museum Semesta ....

"Meskipun menakutkan, senang rasanya bisa melewati itu semua dengan Reverier lain ... nasib kita memang buruk."

Proses pemulihan ingatan selesai, Witwhistle segera menjelaskan tentang kemampuan khusus Pulau Kuburan.

"Kalau kau mau, kau bisa melihat di nisan ini, nama kematian terbesar yang akan disebabkan olehmu."

"Hah?"

Witwhistle buang napas jengkel. "Kalau kau mau, kau bisa melihat di—"

"Enggak perlu diulang! I-itu enggak ubah apa-apa. Aku tetap enggak paham."

"Kukira telingamu bermasalah. Ternyata lebih parah. Ya sudah, lihat saja nisan di bawahku. Nama apa, atau siapa, yang keluar? Beruntung pulau ini tidak memiliki konsekuensi pada kemampuan khususnya. Gila, kalau harus menjelaskan ...."

Namol berjongkok di depan batu datar itu. Sebentuk kalimat lantas terukir dengan sendirinya:

Seantero multisemesta, seantero multidimensi

Witwhistle yang ikut membacanya kembali buang napas jengkel.

"Yah, kadang-kadang mainan para Cherubim ini bisa rusak."

"Memangnya kenapa?"

"Bung, yang benar saja. Kalau nisan itu tidak sedang rusak, artinya kau—cepat atau lambat—akan membunuh seantero multisemesta, seantero multidimensi."

"Memangnya bisa ...?"

Namol dan Witwhistle bertatapan datar.

"Ya. Pasti rusak."

Terakhir, Witwhistle menjelaskan tentang babak final—berperang melawan Sephiroth dan Pasukan Seraphim.

Si manusia bola salju punya ide brilian soal itu ....

Setelah babak final selesai.

Saat ini.

Sambil dibalut aura hangat, melesat menuju Pulau Permintaan, Namol mendapatkan kembali seluruh memorinya.

Di Regaia ... alien itu selalu sendirian karena tidak mau terikat dengan apa-apa.

Lalu Regaia menghilang, dan ia terasing ke Bumi.

Bahkan mengikuti kompetisi besar antarsemesta.

Ia memiliki ikatan persahabatan pertamanya dengan Puppis dan Heppow. Berpetualang bersama mereka sampai akhirnya terpisah dan kembali merasa sendirian.

Meskipun, di sepanjang perjalanan itu, ia juga telah banyak mendapatkan ikatan lain dengan kehidupan menarik.

Semua yang telah berkumpul di Bingkai Mimpi-nya saat ini.

Lalu satu hal lagi ...

Tentang Oulversa.

"Baiklah, aku melupakan sesuatu. Atau beberapa." Witwhistle sukses mengejutkan Namol. Manusia bola salju itu tercipta tiba-tiba dari pancaran aura hangat.

"Aku sudah ingat semuanya," kata Namol, senang.

"Bagus buatmu. Tapi sekarang dengarkan ini dulu. Nisan di Pulau Kuburan, nama kematian yang tertulis di sana, aku lupa bilang kalau itu bisa diubah oleh satu hal."

"Oh?"

"Namamu sendiri."

Namol memaksakan tawa sambil berkeringat. "Yeah, untung nisan itu sedang rusak!"

"Lalu," kata Witwhistle, "kembalikan topiku!" Manusia bola salju itu merebut topi caping dari kepala si alien. "Nah, selamat bersusah-susah," sambungnya, "semoga menang."

"Terima kasih, Snowman."

"Hm. Bertarunglah karena hal-hal yang memang membutuhkan perjuanganmu agar mereka bisa bertahan."

"Tentu."

Witwhistle memudar. Ekspresi bosan di wajah saljunya tahu-tahu berganti sedih. "Terakhir ... aku hanya ingin mengatakan—"

"H-hey! Kalau enggak kuat, enggak perlu bilang apa-apa! Aku paham, aku pasti bikin kangen."

"—aku ini manusia cerpelai." Witwhistle tersenyum. "Makhluk yang sudah terlalu lama menunggu di pulau bersalju, sampai-sampai identitasku terkubur. Hari ini, semua itu akan meleleh dan aku akan kembali normal.

"Semoga kau bisa merasakan apa yang kurasakan, Bung."

Namol tersenyum. "Kuharap, ya. Mungkin nanti."

Witwhistle menyerpih ke bawah, bercampur bersama proses kehancuran Planet Sephira yang masih berlangsung.

Aura hangat terus membawa Namol lebih jauh. Menuju bayangan samar dari sebuah pulau di tengah langit.

Arsamagna sang alien telah terlahir.





We Will Always Be


Bingkai Mimpi Planet Sephira

Pulau Permintaan

"Selamat datang di Pulau Permintaan; titik penentu pemenang Sephira Festival," sambut sejenis makhluk serupa mannequin perempuan bersayap. Topeng berekspresi datar menutupi wajahnya.

"Nama saya Mimi," lanjutnya. "Tugas saya di sini untuk menjelaskan tentang Pohon Kehidupan,"—Ia berbalik mempersembahkan keberadaan pohon tua nan kokoh, tumbuh menjulang di tengah prairi yang luasnya tak terhingga—"Dan memberikan kalian kesempatan."

Mimi melempar sehelai daun emas untuk masing-masing Reverier yang berdiri berjauhan dari satu sama lain.

"Dengan menggunakan benda itu, kalian bisa keluar dari Planet Sephira sekarang juga. Semua hal berharga yang telah dikeluarkan oleh Pohon Hukuman pun akan dikembalikan." Mimi membentangkan sayapnya.

"Tapi jika kalian memilih untuk tinggal, silakan hancurkan benda itu. Siapa pun yang tersisa nantinya harus bertarung sampai akhir. Bagi yang kalah akan kehilangan hal berharga milik mereka selamanya. Dan pohon Kehidupan hanya aktif untuk satu pemenang.

"Silakan putuskan sekarang. Bersamaan. Dalam hitungan ke tiga."

Satu ....

"Ah, kalau begitu, sih," kata Nora, "sudah jelas banget, dong."

Shade memperhatikan daun emas di genggamannya.

Dua ....

Anita mengangkat sebelah tangannya yang memegang daun itu.

"I-ini kesempatan terakhir?" Namol menggumam. "Oke."

Tiga.

Keempat Reverier meremas daun di cengkeraman mereka sampai habis menyerpih.

"KAMI HANYA MEMILIKI ALASAN UNTUK TERUS MAJU!"

Mimi mengentakkan kedua kakinya dan terbang.

"Baiklah. Dengan ini ... keempat peserta Sephira Festival akan saling berhadapan di titik penentuan." Mannequin perempuan itu memudar. "Selamat berjuang sampai akhir. Semoga Elojah memberkati kita semua."

 Dan dimulailah pertarungan mereka.

Nora bergerak secepat anak panah. Sepatu roda pada zirah kura-kuranya menghamburkan tanah dan rumput ketika bermanuver setengah lingkaran. Ink membentuk sebilah pedang.

Shade memanjangkan dua tongkat baton. Memasang kuda-kuda. Berlari ke depan seperti embusan angin.

Anita melompat sambil mengepalkan tinju.

Namol terbang melesat.

Serangan mereka saling bertabrakan. Pedang Nora menghantam salah satu baton Shade. Sementara tongkat satunya lagi ditahan tinju Anita. Namol bebas di tengah, mencoba menusuk menggunakan efek kerusakan antimateri.

Shade lebih dulu menendang wajah si alien. Kena telak. Pada ujung bot laki-laki tua itu terdapat deretan kecil Juvaneer.

"Terima kasih untuk Sephiroth," ia berujar dalam, provokatif, "atas logam ini. Sekarang bahkan Juvas bisa berdarah."

Namol terjungkal.

Ink Nora berubah menjadi cambuk berdesis. Melilit, lantas menggigit, kaki si laki-laki tua. Di saat bersamaan Anita menjulurkan tiga tentakel.

Satu pelesatan tentakel berhasil dihindari si gadis berzirah kura-kura. Satu lagi menembus tanah tempat Namol bertahan menggunakan antimateri. Satu sisanya mendorong jatuh tongkat baton di tangan kiri Shade.

Shade bergerak cekatan menarik belati di pinggang, balas menebas cambuk Nora, lalu, detik yang sama, melempar senjata itu ke arah Anita.

Belati prajurit terbenam di pundak si wanita berambut pendek. Tapi Anita bahkan tidak berkedip dan lanjut menyerang. Mengeluarkan puluhan tentakel.

Zirah kura-kura Nora tergores, terdorong. Shade melompat ke belakang sambil menyiapkan sesuatu. Namol muncul di hadapan Anita, menusuk menggunakan efek kerusakan antimateri.

Perut wanita itu pecah di dalam. Meski begitu tetap belum ada pengaruh berarti. Sampai akhirnya Shade melemparkan cip eksplosif ke tengah-tengah. Menciptakan ledakan yang tersebar.

Anita merintih. Punggung tangannya sedikit terbakar.

Keempat Reverier beringsut mengelilingi api. Menarik napas. Fokus dan penuh perhitungan. Kemudian mereka kembali saling serang. Terjatuh dan bangkit.

Sampai akhirnya, terengah-engah, mereka berdiri di sekitar Pohon Kehidupan. Pandangan masing-masing terhalang oleh sulur serta akar kuno. Tidak ada lagi yang tahu siapa akan menyerang siapa dan kapan.

Tapi dalam satu momentum yang sama, keempatnya bergerak maju.

Cahaya keemasan, samar, meledak lurus ke langit temaram dari dalam tubuh mereka. Hanya selama sesaat.

Hanya ketika Arsamagna masing-masing meluap terbebas.

Nora melepas seluruh Ink. Cairan itu menjalar selayaknya ombak hidup, menggelapkan apa saja yang dilewati. Terus membesar sampai akhirnya berubah menjadi sebentuk mata tombak seukuran gedung pencakar langit.

Shade berlari menuju titik temu serangan sambil sekuat tenaga melempar tongkat baton. Gelombang asing membulat, meraksasa, meletup dari tubuh laki-laki tua itu. Seolah ia sedang menciptakan medan gravitasinya sendiri.

Anita bertransformasi menjadi Shoggoth sebesar tiga ratus meter. Monster dengan wujud dan hawa presensi mengerikan. Tiga tentakel selebar kapal perusak mencuat. Merayap cepat di udara. Tumbuh bercabang-cabang.

Namol terbang sambil mengisap sebanyak mungkin udara dan apa pun yang ada di sekelilingnya. Ia memuntahkan lagi semua itu dalam bentuk batalion prajurit anomali. Bersama-sama, lalu, mereka meluncur dalam posisi siap mati.

Mata tombak raksasa dari Ink Nora ... misil tongkat baton berbalut medan gravitasi milik Shade ... tekanan dewata tentakel-tentakel Anita ... batalion prajurit anomali Namol ....

Keempat Arsamagna berbenturan. Menciptakan kerusakan yang mengamuk selama beberapa menit penuh. Pohon Kehidupan tumbang ke atas prairi setengah hangus.

Gempa kolosal meruntuhkan seisi Pulau Permintaan.



***



Setelah bagian terakhir dari Planet Sephira—Pulau Permintaan—hancur ketika Pohon Kehidupan tumbang, keempat Reverier melayang-layang di luar angkasa.

Dan mereka bertahan; hidup. Malah mampu bergerak lebih bebas. Karena bahkan setelah sumbernya hancur, pendar aura hangat yang berfungsi untuk menyembuhkan luka masing-masing peserta, tetap ada. Kini beralih sebagai penunjang kehidupan di arena baru ini.

Suatu galaksi asing tempat planet mengagumkan itu, mungkin, mengorbit pada enam bintang raksasa pemancar energi panas seperti matahari Bumi. Bagaimanapun, pikir Anita, kondisi keenamnya jauh dari standar kestabilan yang ia tahu.

Gangguan prominen pada masing-masing permukaan mataharinya menjadikan bintang itu seolah memiliki sulur hidup yang berpusar. Cahayanya redup; merah kehitaman selayaknya lava tua. Dan jaraknya jauh lebih dekat.

Semua benda kosmis lain pun terlihat sejelas kristal dari tempat para Reverier berdiri terapung sekarang.

Paling besar—karena jarak—adalah dua belas satelit alami Planet Sephira. Bulan. Dunia tenang tunakehidupan tersebut bahkan sampai terasa pergerakannya. Beberapa di antaranya tidak lagi memiliki wujud serupa bola. Hancur-keropos membentuk kepulauan.

Rongsokan antariksa, dimulai dari meteorid dan asteroid berlintasan eksentrik, mengalir memenuhi ruang gelap seperti sungai besar dipenuhi barisan sampah.

Tiriliunan noktah putih samar mengindikasikan bintang yang tak terjangkau di kejauhan. Pada spasi tertentu, beberapa kumpulan debu dan gas serupa Awan Magelanik Besar, nebula-nebula, berdenyar fantastis.

"Pada akhirnya, kita malah bikin musnah Pohon Kehidupan," desah Nora seraya melepas zirah kura-kura. "Itu salahmu juga, hey! Hah ...? Iya, sih. Maaf, deh."

Lebih banyak zona gelap di arena baru ini. Selama bisa menghindari wilayah yang diterangi bintang, gadis itu bisa bertarung secara maksimal. Ia mengecup kerah jubah biru tebalnya dua kali. Tersenyum. "Oke. Waktunya serius."

"Hm, tunggu. Apa yang terjadi kalau kuhancurkan mantel mencolok itu?" Shade bertanya tiba-tiba.

"Gampang," jawab Nora. Ekspresinya menggelap seperti amarah dewi-dewi arkais. "Aku bakal bikin kamu mampus, orang tua."

Shade mengangkat sebelah alis, menantang.

"Tapi benar juga," kata Namol sambil menahan takut memperhatikan angkasa luar di sekeliling. "Pohon Kehidupan sudah hancur."

"Oh. Anda khawatir tidak bisa menemukan jalan pulang?" Anita menempel tatapan kosongnya ke setiap pergerakan si alien.

"Y-ya ... setengah cemas."

"Kalau begitu, maaf. Untuk semuanya." Masih tanpa ekspresi, wanita berambut pendek itu menangkupkan sebelah tangan di depan dada. "Kalian mungkin tidak akan pernah bisa pulang, karena saya yang akan memenangkan pertandingan ini."

Nora tertawa.

Shade memasang kuda-kuda.

Namol menggaruk rambut.

"Kalau itu, sih ... kita lihat saja nanti."

Ketiga Reverier maju serentak. Mulai saling serang.

Meninggalkan Anita seorang yang masih berdiri di tempat semula—berusaha mengeraskan tekadnya pada keputusan penting, sekaligus sangat berbahaya.

Memulihkan segala kehancuran akibat turnamen antarsemesta, adalah tujuan mulia wanita itu. Alasan kenapa ia harus memenangkan pertarungan ini. Sedangkan hal besar yang mungkin akan diciptakan sesaat lagi, merupakan kebalikannya.

Membuka alam Outer Gods, di mana pun, hampir selalu sama seperti memohon kiamat. Kerusakan kolateral skala besar tidak akan bisa dihindari.

Ini adalah pertaruhan. Anita sudah melihat kapasitas lawan dan merasa masih bisa menang dengan kekuatannya sendiri. Tapi persentasenya sangat berisiko.

Maka terjadilah. Melihat tidak adanya tanda planet berpenghuni sejauh mata memandang, juga sambil berharap tindakannya dimaafkan ras khusus yang mungkin mendiami bintang-bintang di galaksi ini, ia membuka gerbang itu.

Semuanya, nanti, pasti bisa kuperbaiki ...!

Hamparan kegelapan angkasa luar terdistorsi menjadi belantara kabut yang disesaki denyar hijau pekat. Lima kali lebih besar dari matahari galaksi ini. Selubung hitam bersahutan dengan garis-garis patah, merambat membentuk imajiner suatu kedalaman labirin dan bergolak selayaknya badai plasma keunguan.

Hanya perlu satu detik bagi Anita untuk menyadari bahwa rencana pertaruhannya telah gagal.

Gerbang membuka tidak hanya untuk tentakel beserta lengan raksasa milik fraksi makhluk-makhluk sinting yang bersemayam di semesta terlarang.

Yog-Sothoth turut menderas keluar melintasi gerbang, menggunakan wujud sejati yang tidak bisa diterjemahkan oleh kebanyakan entitas pemilik indra fana mau pun kekal. Keagungan keberadaan itu menekankan intimidasi mutlak pada setiap dimensi. Mengubah mereka sekehendak detakan ritmis dari pergerakan siluet-siluet memanjang; merengkuh. Seakan hal lain hanya biomassa letih di dalam struktur samudra kuasanya.

Keberadaan mahaada atas seluruh pengetahuan, penyatuan, dan waktu itu lantas melakukan suatu tindakan drastis. Ia membuka gerbang transenden yang terhubung langsung ke setiap tempat di semesta terlarang. Teritorial paling mortal sampai seantero mayapada tak tersentuh.

Konstelasi baru tercampur aduk di galaksi Planet Sephira berada. Kesunyian awal seketika tersapu oleh dengung sayup dari teror yang sesaat lagi melesat berhamburan ke tengah pertempuran.

Anita jatuh bersimpuh. Wanita itu merasa bisa membunuh diri sendiri, dan tetap merasakan tekanan rasa bersalah serta dosa yang tidak mungkin terbayar atas terciptanya kegilaan saat ini.

Tak jauh darinya, Nora pucat mematung memperhatikan sekeliling. Pada warna dan ancaman baru.

Sementara Namol menggigil dari ujung kepala sampai jemari kaki. Seolah bisa mencair kapan saja karena rasa takut. Sampai, ia melihat sosok Anita—tertunduk tanpa daya.

Dan meskipun wanita itu tidak memiliki ekspresi, entah kenapa si alien tetap mengerti kondisinya. Bahwa sekarang Anita sedang sibuk membenci sekaligus menyalahkan diri sendiri.

Hanya si laki-laki tua, Shade, tetap berdiri dengan ketenangan tak masuk akal. Ia pandangi sepotong presensi Yog-Sothoth yang masih bergerak melintasi gerbang kabut.

Bangsa manusia telah mendorong dirinya terlalu jauh ....

Shade saat ini merupakan planet sempurna dalam wujud klon. Pelatuk Zaman telah memperlihatkan kemampuan masa mudanya untuk membelokkan materi.

Sekarang, bukan hanya itu. Sebagai klon suatu planet—terlebih planet buatan yang unik—Shade memiliki gravitasi dan sifat setara lain. Ruang lingkup kemampuannya meluas gila-gilaan.

Menyesuaikan dengan seberapa besar planet itu sendiri.

Dan di galaksi ini, ukuran Planet-Shade bisa disetarakan dengan satu matahari.

Laki-laki tua itu menajamkan pandangannya. Mengaktifkan Arsamagna.

Menarik tiga buah bulan sekaligus.

Tapi aku telah mengetahui akhir petaka ini!

Sekali lagi, keempat Reverier bergerak serempak. Kembali berusaha menumbangkan satu sama lain. Seolah pikiran mereka terkoneksi dengan sempurna.

Terus bertarung, adalah jalan tercepat untuk mengakhiri semua kegilaan.

Sampai angkasa luar menciptakan suara baru. Ancaman yang dinanti. Tepat ketika Arsamagna keempat Reverier saling bertumbukkan, seisi penghuni semesta terlarang melesat keluar dari liang kelahiran masing-masing.

Membaur dalam peperangan.



***



Nora mengabaikan sebuah bulan yang melesat beberapa puluh ribu meter di atas kepalanya, seperti bola meriam, lantas menghantam selegiun makhluk mengerikan yang mungkin mimpi terburuk pun kesulitan untuk menggambarkan.

Hujan asteroid menyusul. Memukul mundur sekitar ratusan ribu monster dimana ia hanya tahu beberapa jenis di antaranya.

Entah siapa yang memanipulasi pergerakan benda langit dengan cara anak kecil melempar mainan balok seperti sekarang ini. Yang jelas Nora bersyukur dan berterima kasih.

Serangan-serangan besar itu setidaknya berhasil menahan sepuluh persen dari total kontestan perang.

Dari tadi Nora sendiri sudah melepas liar seluruh Ink. Materi buas yang segera membungkus ratusan penghalang dalam satu sapuan ombak hitam. Meski kadang reaksi berantai jadi terlalu meluas hingga sulit dikendalikan, gadis itu tidak bisa berhenti jika ingin tetap hidup.

Shade berdiri di jarak pandangnya, sedang sibuk menghabisi antrean monster-monster. Nora memanipulasi sebagian Ink menjadi cakar raksasa. Membantu laki-laki tua itu, sekaligus menyerang.

Cakar raksasa hanya mencabik beberapa puluh makhluk serupa jamur dan lendir.

Di arah lain, Nora kembali menemukan Reverier.

Namol.

Nora mengerang buru-buru di antara napasnya yang patah-patah. Sudah tak terhitung percobaan gadis itu untuk menjerat si alien ke dalam Ink. Tapi semua selalu meleset.

"Jimatnya pasti bagus!" ia menggumam sambil menahan serangan makhluk mengerikan yang hampir tak memiliki bentuk. Hanya terdiri dari bias ruang hampa dan campuran nada tinggi mengandung halusinogen.

Lalu, terlihat di antara monster, Anita. Wanita berambut pendek yang menyebabkan pecahnya perang ini. Nora langsung mempersiapkan Ink dalam jumlah besar untuk menyerang.

Tapi sebelum ia bergerak, ledakan besar hadir berdentum. Membuatnya terempas sampai agak jauh. Mendarat di tengah sengatan monster-monster serupa ikan.

"EMI!!!" gadis itu berteriak murka. Salah satu monster ikan berhasil menarik jubah biru tebalnya sampai lepas.

Ketika berusaha mengejar sambil terus membantai, ledakan lain muncul.

Berasal dari beberapa entitas raksasa—yang untuk memandangnya saja minimal harus mimisan atau paralisis. Mereka sedang sibuk merobek tiga matahari dan enam bintang.

Sisa-sisa reaksi nuklir dari kehancuran tersebut terpencar seperti kembang api muram sebesar benua. Beberapa menukik ke dekat wilayah Nora. Menerangi tempat itu.



***



Beberapa saat sebelumnya.

Berjarak agak jauh ke bawah.

Namol baru saja menyelamatkan Anita dari cengkeraman makhluk mengerikan. Entitas raksasa.

Tentakel-tentakel bergerak liar di antara kabut yang menyembunyikan bentuk sejati dari kepalanya. Tubuhnya kekar menjulang. Bersisik, berbayang. Dua sayap besar berujung runcing terbentang meremukkan eksistensi monster-monster kecil.

Alien berambut oranye itu mungkin bisa sekadar bertahan jika menggunakan antimateri. Tapi hawa kosong, ditambah aroma menyengat dari janji kematian yang dikeluarkan entitas raksasa tersebut benar-benar mengganggu mental.

Sampai saat ini Namol baru tahu bagaimana pikiran suatu makhluk ternyata bisa benar-benar terbunuh.

Jadi ia membawa Anita terbang menjauh. Aman sementara berkat antimateri. Sepanjang peperangan, belum ada monster yang bisa menembus pertahanan ini.

"Cthulhu ... Nyarlathotep ...," wanita berambut pendek itu menggumam serak. Ekspresi datarnya memberikan kekontrasan aneh. "Shub-Niggurath ... Hastur ... Yog-Sothoth ... Tsathoggua ... Ithaqua—"

"H-hey!" potong Namol. Di segala arah, seperti penghuni neraka, tangan-tangan makhluk dari semesta terlarang berusaha mencengkeram. "Maaf ... mengganggumu mengabsen. Tapi kenapa kau enggak bertarung seperti biasa?"

Sejak gerbang pertama terbuka, si alien memang terus memperhatikan Anita. Tapi pertanyaan langsung itu tidak mendapat respons.

"Hey—"

"Kenapa Anda menolong saya?" wanita berambut pendek itu bertanya balik.

Giliran Namol yang tidak menjawab. Karena bagaimanapun, meski di tengah kekacauan ini, pertarungan keempat Reverier terus berlangsung pada tiap kesempatan.

Jadi perbuatan si alien sekarang, menolong Anita, memang bisa dianggap menyimpang.

"A-aku—"

"Perang dalam skala ini tidak akan berhenti sampai ... entah kapan Nama-Nama Terlarang bisa puas," racau Anita, menggunakan suara tegas yang akhirnya terpecah menjadi isakan. "Ini akan menyebar ... menciptakan lebih banyak kerusakan ...

"Dan ini semua salahku ... aku ... enggak bisa menyelamatkan mereka ...."

Ekspresi datar Anita berubah menjadi sebentuk gambar memilukan. Wanita paling bersedih sekaligus menyesal.

Namol seketika merasakan timah dingin tumbuh di dekat tulang belakangnya. Matanya panas dan berair. Hal paling kejam dari mengetahui kesialan seseorang adalah kita lantas mengerti.

Kita pernah berada di sana; neraka itu. Terbakar.

Ulu hati si alien seolah bergeser. Kali ini secara harfiah. Entitas raksasa yang tadi menyerang Anita—makhluk kolosal dengan kepala menyerupai gurita berkabut—mengepakkan sayap. Menjebak dan mencabik segala hal di lintasan serangnya.

Pa-padahal aku masih dalam status antimateri ....

Anita terlepas dari pegangan Namol. Dalam hitungan sepersekian detik mereka terpisah. Masing-masing sudah diriungi kelompok monster.

Hawa kegilaan semakin menekan angkasa luar.

Entitas raksasa berkepala gurita menggeser dan mengunci pandangan ke tempat si alien berada.

Alien itu langsung sibuk mengisap monster, menciptakan prajurit sendiri. Sementara Anita melolong buas, kembali berubah menjadi Shoggoth tiga ratus meter dan berhadapan dengan sejenisnya.

Sesaat Namol lega. Mengira semangat wanita itu sudah pulih. Tapi ia salah.

Saat ini Anita bertarung bukan untuk menang, ia maju hanya karena ingin menebus kesalahan. Bergerak tanpa perhitungan. Caranya menyerang memang menjadi sangat mengerikan. Tapi sekaligus berbahaya bagi diri sendiri.

Biarpun begitu, Namol sendiri tidak bisa terlalu banyak memperhatikan. Entitas raksasa berkepala gurita melesat ke arahnya. Ratusan pasukan segera dimuntahkan untuk menghalau. Tidak ada yang bekerja.

Desing waktu seolah melambat. Entah kenapa, meski masih bertahan dalam kondisi antimateri, si alien merasa ia akan mati ketika entitas raksasa itu tiba di hadapannya. Melakukan hal-hal tak terbayang.

Detik-detik terpecah jadi lebih kecil ... lama ... sebelum kita berakhir, pikir Namol sambil meresapi sekeliling.

Nora atau Shade bahkan sudah tidak terlihat lagi sejak wilayah mereka dihujani energi yang meledak-ledak—dan masih begitu sampai saat ini.

Namol tersenyum sedih. Sebelah tangan entitas raksasa berkepala gurita terayun berbayang sampai seolah merobek dimensi, tepat ke arahnya. Suara kosmis yang tercipta, dan meledakkan ribuan monster tanpa pertahanan, nyaris terdengar seperti orkestra para paus di kedalaman.

Keempat Reverier akan jatuh.

Oh ... dan aku, seperti biasa, juga akan merasa bodoh. Kali ini karena belum sempat mengetahui apa saja yang bersemayam di dalam perutku.

Juga ... membaca jurnal perjalanan sampai akhir.

Benarkah Oulversa ada? Tunggu. Tempat itu tidak pernah ada.

Ini membingungkan.

Bukankah Nevodia benar-benar ada? Memang enggak sampai mengacak seantero blablabla. Tapi sejauh ini kemampuan Hellind bisa kugabungkan karena itu.

Ah. Terserah, deh ....

Namol memasang kuda-kuda. Darah meledak keluar dari kepalanya. Ia berjengit. Hantaman entitas raksasa berkepala gurita hanya terpaut satu detak jantung lagi.

Tapi boleh, kan, kusambut kematian ini dengan sedikit berharap?

Karena aku hanya ingin pulang ke rumah.

Serangan entitas raksasa berkepala gurita menyapu bersih sampai jutaan monster yang berdiri di sekeliling si alien. Bahkan masih terus merambat ke semacam bintang biru-putih dan menghancurkannya.

Sambil bersimpuh dan mencicipi rasa dari kehilangan segala hal, tubuh Namol bergetar hebat. Darah Juvas mengalir deras dari setiap pembuluh yang hancur.

Setengah sadar, lalu, alien berambut oranye itu memonyongkan mulut. Melakukan proses pengisapan.

Beberapa monster kecil termakan seperti biasa. Kemudian lebih banyak lagi. Sampai akhirnya, daya tarik kekuatan itu mampu menggerakkan entitas raksasa berkepala gurita.

Izinkan aku pulang ke rumah.

Galaksi tercampur ini menciut dalam kecepatan tak terukur sampai menampakkan bentuk keseluruhan. Spiral putih transendental. Lalu muncul garis lurus dengan amukan hitam yang membelah-belah wilayahnya.

Nevodia Namol Nihilo.

Setelah gerbang pertama dibuka Anita, lalu Yog-Sothoth muncul dan membuka seluruh gerbang lain menuju setiap wilayah semesta terlarang, peperangan yang berlangsung seketika didominasi oleh kehadiran entitas raksasa.

Nama-Nama Terlarang. Mereka mengacak apa pun.

Kini, menjadi sentral kekacauan paling hancur tersebut, adalah si alien berambut oranye. Sekujur tubuh remuk meledakkan gempuran cahaya hitam yang terus mengisap. Bukan hanya kontestan perang, tapi setiap persisi atom dari eksistensi itu sendiri.



***



Shade sudah melihat masa depan. Dan semua hal memang masih berpusar secara akurat di dalam pola yang ia ingat.

Sampai kejadian-kejadian ini tercipta.

Nora—yang seharusnya tewas seketika, setelah gadis itu memilih meraih jubah biru tebalnya di hadapan pecahan matahari daripada kabur menjauh—ternyata selamat.

Anita—yang seharusnya menyerah dan tidak memiliki keinginan untuk bertarung lagi—mengamuk sampai menjadi monster di antara monster.

Dan bagian terparah. Namol—yang seharusnya tewas diserang salah satu entitas raksasa—berdentum menjadi semacam kekuatan tak terbendung. Berbalik menyerang tanpa ada balasan berarti.

Masa depan berubah ....

Laki-laki tua itu menangis. Bukan karena banyaknya hal negatif, melainkan momentum untuk kembali merasakan konsep berisiko dari suatu pengharapan.

Setiap langkah adalah misteri. Shade melesat menerobos semua. Ia adalah planet dalam wujud klon. Pergerakannya absolut tanpa penghalang. Laki-laki tua nan tangguh itu mengosongkan seluruh energi yang tersisa, demi mementalkan sebentuk kepulauan matahari.

Ia berteriak lantang. Menahan sisa serangan panas yang meletup dan tak lagi terbendung. Maju, meraih tangan mungil setengah hangus milik sesosok gadis yang sedari tadi terus bertahan di dalamnya.

Nora, masih memeluk erat jubah biru tebal yang tak tergores sedikit pun, menatap lemah sang figur penyelamat.

"Shade ...?"

Shade mengangguk. "Kau bertahan. Sejak monster ikan itu merebut jubahmu, lalu meninggalkannya untuk dihantam pecahan matahari ... ketika kau masih mengejarnya, menghadapi kerusakan apa pun yang mendekat ... kau tetap bertahan."

Nora tersenyum kering. "Apa, sih? Memangnya ... enggak boleh?"

Kepulauan pecahan matahari dan jasad bintang lain kembali terkumpul. Mengepung.

"Kukira ... cahaya membuatmu takut?"

"Memang," suara Nora tak lebih keras dari bisikan. "Tapi aku lebih takut kehilangan Emi. Ngomong-ngomong ... kenapa ikut campur urusanku, orang tua? Penyelamatanmu kelihatan konyol beberapa saat lagi. Kita tetap musuh ...."

Shade jelas mengetahui itu.

Jadi bukan itu masalahnya. Bagi si laki-laki tua, bisa kembali mendapatkan probabilitas adalah kemenangan tersendiri. Seperti Nora yang memprioritaskan "Emi" lebih dari nyawa sekalipun.

"Alasan yang sama dengan kegigihanmu mempertahankan benda itu." Shade tersenyum. Sekilas wajah mudanya berbayang. "Aku ingin menang tanpa harus kehilangan satu apa pun."

"Aw ... begitu ...."

Kedua Reverier itu terombang-ambing di tengah ledakan kosmis. Dan menghilang, dalam satu sengat panas yang membutakan.



***



Tidak ada apa pun yang tersisa sejauh mata memandang.

Hanya hitam, dan pendar serupa kunang-kunang dari masing-masing tubuh remuk milik keempat Reverier.

Tapi mereka semua masih bertahan.

Dia ... menelan semuanya ..., pikir Anita. Redup memandangi Namol. Semuanya ....

Perlahan, ekspresi pilu dari wanita berambut pendek itu berganti menjadi senyum komplimen. Sangat dalam sampai menyakitkan.

Sekarang semua kembali pada situasi awal.

Pertarungan Reverier.

Dan, lagi, seolah ada benang merah yang saling terjalin dalam pikiran mereka, pergerakan serempak kembali terjadi.

Menggunakan sisa-sisa napas, semua memberikan yang terbaik.

Anita meletus menjadi monster tiga ratus meter. Melayangkan serangan area. Tentakel dan dengkingan kegilaan merajam atmosfer.

Shade gagal membendung apa yang ditujukan ke arahnya. Energi dan staminanya menyurut. Ia lesap ditelan gumpalan hitam.

Begitu pula Nora.

Setelah sempat mengadu Ink terakhirnya dengan terjangan tentakel, ia kalah. Tumbang dan lesap tertelan.

Hanya Namol yang bertahan.

Alien itu terbang menyedihkan, menjauh sampai tiba di ketinggian yang cukup berjarak. Mendongak, kemudian memuntahkan seisi perutnya.

Terima kasih! batin Anita. Sementara ia menyiapkan segenap kekuatan yang tersisa. Menyambut tumpahan samudra surealis Namol Nihilo, berisi prajurit dari sekian semesta, langsung berhadap-hadapan.

Benturan terjadi selama sepersekian detik. Anita larut tenggelam di dalam kekuatan tak terucap setelahnya.

Kekosongan hitam, kini, hanya menyisakan geliat lelah milik si alien berambut oranye.

Sosok itu masih melayang. Berpendar. Dan, seperti pelesatan anomali terakhirnya, ia pun memudar.

Tidak ada yang tersisa.

Keempat Reverier tewas di ujung pertempuran puncak mereka.





Tiba di Persimpangan


Devalt

Ruang putih tanpa ujung berdengung sunyi. Zizi, si mannequin bertopeng muram, berdiri membelakangi brankas hitam. Memperhatikan keempat Reverier di hadapannya. Mereka yang telah menyelesaikan kisah masing-masing.

"Jadi kalian mati karena—"

"Ya, Zizi," Namol memotong, tersenyum. "Kami mati setelah bertarung habis-habisan."

Tanpa ekspresi, Anita melirik ke arah si alien.

Nora memeluk jubah biru tebalnya erat-erat.

Shade menunduk, entah memikirkan apa.

"Itu tadi identitas-identitas paling menarik yang pernah kutangani," kata Zizi serak. "Baiklah. Sekarang semua sudah lengkap. Siapa mau masuk pertama?" Ia menyetel kombinasi pada brankas, kemudian membukanya lebar-lebar.

"Hey, Keter!" kejut satu suara asing. "Tunggu dulu, bo ... doh!"

Kecuali Zizi yang sudah langsung saling berhadapan, semua menoleh ke belakang.

Ada dua mannequin bersayap berdiri di sana. Laki-laki mengenakan topeng berekspresi senang, sementara perempuan mengenakan topeng tanpa ekspresi.

Keempat Reverier mengenal keduanya. Mereka adalah Nini dan Mimi, pemandu Sephira Festival.

"Malkhut! Yesod!" pekik Zizi. "Bagus sekali kalian bisa mampir ke sini!"

Nini, si mannequin bertopeng senang, terkekeh. "Punya adik seperti dia benar-benar bikin sakit kepala."

Mimi, si mannequin bertopeng datar, mengangguk. "Malkhut, mungkin Keter melupakan tugasnya?"

"Seharusnya begitu, Yesod." Nini terkekeh lagi. "Hey, Keter, ingat apa yang kubilang soal memandu empat peserta di akhir festival?"

Zizi memiringkan kepala. Lantas ia melompat seperti baru saja disengat beberapa volt listrik. "YA AMPUN! AKU LUPA! JADI EMPAT PESERTA ITU ... MEREKA?!"

"Yah, memang ciri-cirinya kurang apa lagi?"

Zizi memperhatikan keempat Reverier. "Maaf, Malkhut ... aku bodoh. Tapi akan kujelaskan pada mereka sekarang!"

"Tidak usah, Keter." Nini terkekeh. "Biar aku saja."

"S-sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Namol. "Apa ... ada babak lain?"

Nini mengangguk.

"Ya. Satu lagi."



***



Tujuan diadakannya Sephira Festival adalah untuk mengetahui setiap tindakan para peserta ketika mereka dihadapkan pada banyak situasi.

Mengetahui apa yang sebenarnya mereka inginkan.

Itu karena, Semesta Sephira—seperti banyak semesta lain yang terperangkap—memperhatikan dengan cara sendiri sepak terjang para Reverier sewaktu kunjungan museum.

Baginya, Reverier yang tepat merupakan harapan terakhir apabila mahakarya-mahakarya di Museum Semesta terancam bahaya.

Pemimpi pembawa kebebasan.

Nini menjelaskan hal itu, juga sedikit sejarah kelam antara Klan Sephira dan Klan Nurma.

Sebelum terperangkap di Museum Semesta, Planet Sephira memiliki sekitar tujuh miliar pulau. Kemudian Klan Nurma datang, mengobarkan api peperangan.

Kehancuran besar-besaran akhirnya hanya menyisakan sedikit hal. Empat pulau minor, lautan atau daratan Solnile, Pulau Permintaan, segelintir pasukan kerajaan, lalu Devalt.

Meski begitu, seharusnya Planet Sephira bisa langsung pulih. Karena planet ini memiliki keunikan dalam sistem yang mengatur soal kelahiran dan kematian.

Selama Devalt—tersembunyi dalam dimensi terpisah—tidak hancur, segala hal yang tewas di Planet Sephira akan terus bangkit kembali setelah diproses dalam brankas hitam.

Sayangnya, sebelum melakukan proses pemulihan planet pascaperang hebat dengan Klan Nurma, Museum Semesta lebih dulu menarik keberadaan tempat ini. Membekukannya menjadi karya. Terjebak dalam momen yang berulang.

Bebas dan pulih, lalu memiliki kesempatan untuk membalas dendam terhadap Klan Nurma, adalah keinginan terdalam dari apa yang tersisa pada Klan Sephira—yaitu keberadaan tiga bersaudara: Zizi Keter, Nini Malkhut, dan Mimi Yesod.

" ... intinya, kami hanya ingin mempersiapkan dan memperkuat para Reverier untuk ancaman final di depan sana," kata Nini. "Kami memang tidak berani terlalu banyak berharap, tapi hal ini memang kenyataan. Dari sudut pandang mana pun kita menilai ... kalian para Reverier adalah harapan pembawa kebebasan. Perubahan, setidaknya.

"Nah, sekarang acara puncaknya. Penyerahan hadiah pada pemenang Sephira Festival. Namol Nihilo, selamat. Kau ... bebas memilih apa saja yang berada di planet ini. Temukan itu di dalam brankas hitam."

Si alien melongo. "A-aku menang? Bukankah kita semua mati?"

"Yah, kalau enggak mau, sih—" Nora menyeringai. "Mana hadiah yang paling berdaging?"

"Anda mati setelah mengalahkan kita semua," kata Anita. Suaranya tersenyum. "Silakan."

"Itu hakmu, Namol." Shade menepuk pundak si alien. Apresiasi polos tergambar di wajah mudanya. "Ambil."

"Dalam situasi normal, banyak sekali yang bisa dipilih oleh pemenang Sephira Festival. Sekarang terbatas. Tapi ini tetap menyenangkan, loh," ujar Zizi. "Kau bisa memilih Samael si sombong, Goliath si perasa, bahkan Sephiroth dan Pasukan Seraphim! Atau salah satu dari pulau minor? Pemandu? Ayo!"

Namol beringsut ke depan. Melongok ke dalam brankas. Ia langsung memantapkan hatinya pada satu pilihan.

"Ng, setelah ini," ia menggumam, "apa kita bisa pulang?"

Zizi berkacak pinggang. Nini terkekeh. Mimi berdiri mematung.

"Ya," kata mereka bertiga bersamaan. "Pulang dan teruslah berjuang sana."

Si alien tersenyum. "Kalau begitu ... aku memilih benda-benda ini sebagai hadiahnya. Terima kasih."





Jejak Padat Para Pengukir Sejarah


Bingkai Mimpi Bumi-Regaia

Namol memilih gunungan materi milik semesta Reverier lain sebagai hadiah. Ketika ditanya kenapa, alien itu cuma angkat bahu dan menggeleng gugup.

Karena itu, saat ini, Nora, Shade, dan Anita, kembali bisa tinggal di semesta masing-masing—meski wujud semesta mereka masih terlihat aneh; ditempatkan di suatu kamar di rumah besar Namol.

Anita mengeluarkan dombanya—Fluffy—dari dalam tubuh. Selama pertarungan berlangsung makhluk itu memang terus ada di sana. Mereka lalu pulang ke semesta suram yang hanya terdiri dari hal-hal tandus dan rumah bobrok. Biasanya, di langit juga ada semacam tentakel besar milik penghuni semesta terlarang. Tapi karena Namol sudah mengisap semua, angkasa kembali kosong. Wanita itu kini duduk di depan patahan tangga, menimang batu kehijauan milik Klaus. Ditemukan, sekaligus diberikan, Ratu Mirabelle sebelum babak ini dimulai.

Shade pulang ke semacam barak di Padang Skursk. Berbincang hangat dengan Pria Misterius; berterima kasih atas rompi perang berikut persiapan senjata yang diatur pria itu jauh sebelum babak ini dimulai. Jaim di hadapan Mrs. Zaitsev; mengingat tensi perbincangan di pertemuan terakhir mereka. Lantas bengong melihat keluar jendela. Ada seekor domba bersayap, berukuran besar—pemberian Ratu Huban—sedang bermalas-malasan di pekarangan.

Nora, sepulangnya, berhasil merebut lagi tubuh Olive setelah melewati negosiasi panjang—segera berlarian di Kota Kematian sambil memanggil satu nama. Gadis itu memakai payung bertirai; berdentingan seperti lonceng. Gargo dan Maximillion si domba kepayahan mengejar di belakang. Tujuannya lari adalah untuk berterima kasih atas jubah biru tebal yang ia temukan di depan gubuk sebelum babak ini dimulai. Benda itu, ia yakin, pasti diberikan Emi. Di dalam reruntuhan gedung pencakar langit, gadis pelayan Ratu Huban mengintip bersama Lucy.

Jadi, untuk sementara waktu ini, mereka berpisah dengan Namol. Sampai, mungkin, ketentuan turnamen selanjutnya diberitakan.

Si alien berambut oranye sendiri, sekarang, sedang duduk di atap. Sendirian.

Jurnal perjalanan ia buka lagi. Siap lanjut dibaca.

Kali ini tentang ... "Kebangkitan Bangsa Juvas".

"Lagi baca apa, Namol?"

"A-ah. Ini ... ng, jurnal perjalanan—" Namol seketika berhenti ketika melihat wujud si penanya.

Seorang gadis pirang yang pada jari kelingkingnya terikat seutas benang merah. Seseorang yang tak seharusnya ada di sini.

"Ariadne ...?"

Gadis itu tersenyum manis sekali. "Halo, Namol. Kita semua di sini siap membantu!"

"Eh ...? KALIAN?!"

Di bawah langit anomali—dikelilingi keramaian yang memang sudah tak masuk akal di sekitar rumah besar ini—adalah sekelompok manusia bersetelan hitam. Mereka berjajar pada induk pesawat perang bersama beberapa makhluk ajaib.

Ariade duduk di samping si alien yang masih tercengang. "Aku sudah tahu semuanya, Namol," bisiknya. "Tentang kamu. Tentang sejarah pen—"

Setiap akses menuju ke atap membanting terbuka. Kegaduhan dari para penghuni temporer rumah besar si alien membludak seperti air mancur komikal. Ada manusia burung, kesatria, cacing raksasa, domba tampan, dan banyak lagi.

Kehadiran mereka di sini saat ini pun, kurang-lebih, karena alasan yang sama:

"KAU BAIK-BAIK SAJA, HEY, NAMOL?!"

Si alien melongo, tersipu. Ariadne mencubit pipinya.

"Kamu sudah punya cukup banyak teman, ya? Sisanya serahkan padaku! Sudah waktunya kamu bicara sama mereka, kan?"

"Mereka? hey-hey, Aria ... jangan bikin aku tambah gila. A-apa yang sebenarnya terjadi?!"







Lima

Selesai

1 komentar:

  1. Halo, Namol...

    pertama-tama selamat, kita udah bisa ngirim babak semifinal... still waiting for others. Karena aku sudah baca entry ini, lemme spark some comment.

    as usual, eksperimentasi nama, setting yang hyper-realis, dan diksi udah jadi karakteristik Aesop, yang kukira, emang itu udah teridentifikasi menjadi keunggulan Daka. Fitur lain, adalah adegan komikal yang dimana disini pelaku utamanya adalah Nora (I have to admit she's the clown in this entry).

    Di entry ini, konsep yang anjir banget (note: kalau terpesona aku biasanya mengumpat) adalah tentang Pohon Kehidupan, sungguh konsep yang menurutku menarik banget, dan justru aku malah merasa sedih "Yaaah..." ketika kebangkitan Arsamagna justru menghancurkan Pohon Kehidupan.

    Saya enggak kebayang betapa berwarnanya dan rumitnya imajinasi yang ada di otakmu saat ini, in which, ya, orang-orang berotak liar kayak kita ini memang butuh media untuk menumpahruahkan semua yang ada di kepala. Cuma, memang ada sedikit perbedaan kalau dibanding entry sebelumnya, antara lain, di entry ini rasaya lebih banyak dialog ya? Mugkin sama seperti penulis Shade yang keburu-buru nulis entry-nya, tapi itu lebih baik daripada enggak sama sekali. Ah, lupakan.

    Saya tulis aja kesan & impresi saya tentang entry ini ya...

    1. konsep dia sebagai senjata adalah kumpulan genetik, yang bagiku terasa "wow, sci-fi banget", grande, penultimate. L
    2. Sosok versi tuanya Shade, aisssh, lelaki berumur yang masih tegap dan bertarung dengan badass, sepertinya memantik jiwa fangirl saya jejeritan dalam hati. Semisal masuk final, ijinkan aku munculkan Shade versi tua ini juga, hehehehe
    3. Interaksi antara para penjaga pulau dengan para kontestan. Kelihatan banget kalau karakteristik setiap penjaga pulau udah disesuaikan dengan karakteristik kontestan. Lain dengan entry Shade yang langsung ngambil salah satu jadi antagonis, di entry ini semua kontestan diperlakukan netral, dikasih masalah yang sama, dan akhirnya kerjasama dan lalu Namol yang keluar jadi pemenang.
    4. Rasanya ada kesamaan antara Shade dengan Namol. Moralnya tinggi. Dan kayaknya Namol lebih polos dan bermoral dari Shade . :p
    Ah, tapi enggak masalah, itu masalah selera.
    5. Peak dimana para Reverier mengeluarkan Arsamagna, deskripsi kalimatnya aku suka. Meskipun yang diperlihatkan bertahan paling akhir adalah Anita dan Namol, resolusi antara Anita-Namol itu kena banget.


    And then beberapa krisar yang bisa aku tulis setelah membaca entry ini:
    1. Plot cerita di entry ini masih masuk "zona aman" dimana nggak ada yang terluka atau mati, dimanipulasi atau dimanfaatkan, jahat atau baik, sehingga relatif benturan konflik emosionalnya masih "aman", enggak ada yang terlalu berdarah-darah menyakitkan, bahkan konflik Anita-Prima 1 juga masih di zona aman menurutku. Satu-satunya yang menyentuh secara meosional, bagiku adalah interaksinya ibu kepiting dengan Anita.

    ( Terpisah dari entry ini, sebenarnya aku tertarik dengan perkembangan menulisnya Daka. Kalau boleh lempar tantangan buat next BoR (yang surely saya ngga ikut), bagaimana kalau coba menulis villain? pokoknya tokoh yang "tidak rata". Eh tapi itu terserah Daka, sih. Write at the most your own way.)

    2. Deus ex Machina. Meskipun yang aku lihat disini bukan Namol DM-nya, tapi ketiga penjaga Nini Mimi Zizi (namanya cute baget btw). Tapi Battle royale 4 arah memang susah, saya sendiri ngerasain betapa susahnya untuk enggak keperangkap trope dalam menulis entry (Mungkin, peserta yang lain enggak segera muncul entry-nya juga karena itu...?).

    Baca entry Shade juga ya Dak. Kasih krisar dan bantai.

    cheers.
    Rakai A
    (OC Shade)

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.