Kamis, 11 Mei 2017

[ROUND FINAL] NAMOL NIHILO | ENAM



oleh : Aesop Leuvea

ENAM

.
.
.


.


.


.
.
.


.








.

.
.
.

.
.

.

For the dreamers, those damned creatures who live happily ever after

.
.

.

.

"Nafhirin tahakh! Nafhirin tahakh! Rux ravaroght!!! Summa ... Yakhez! (Lelucon abulhayat! Lelucon abulhayat! Nafiri dalam testamen senja!!! O' ... para Raja sekalian!)"
- Pierros, tu unhk Xafirahul, Badut Nebula, di tiang gantung perhelatan katastrofe dewa-dewi Yiznier

.
.


.

"Sac na alluna quif na oun ... Mellesij! La Mellesijliah, au laveal ... lavealia .... (Karena harta itu bersembunyi di masing-masing kamu dan satu ... wahai Kehidupan Fana! Dan hanya Kehidupan Fana, kekasih atas cintaku ....)"
- Lim Asvilnaya, Llucos Deisl, High Wizard of Doom, di tepi ranjang layu milik istrinya yang sekarat

.

.


.
.

Let me show you the very last journey of this chaotic mirth


.

.

.
.
.


"EMBAUN MAIR, EMBAUN MURCO! (ANAKKU YANG KUPELUK, ANAKKU YANG TELAH TIADA!)"
- Junma, Rumidas, Pahlawan Pembebas Galaksi Barkraya, di puncak peperangan suci

.
.
.

.

"Eonia, beatio-uunimta juunou pa ciifia. Katlim pa selavi ... uunimta. Nuau ni kalami. (Keluargaku, terima kasih atas tulang dan arang ini. Esok dan kapan pun setelah itu ... terima kasih. Sekarang aku pamit.)"
- Wava Bluumai Yeta, Aoutti, Arkeolog Multisemesta, di tengah kampung halamannya yang hangus terbakar

.
.
.

.


.

"Leindrungr, leindrungr, leindrungr, leindrungr. Vava, rileindrungr. (Bermimpi, bermimpi, bermimpi, bermimpi. Lalu mati, dan diimpikan.)"
- Azarim Sontis, Quirstrak, Lonely Sage, di dalam tiap doanya yang menggema pada palung-palung gelap

.



.

.
.

And the beginning of the end,
this is it ...
the last chapter of the Alien

.

.
.
.


.
.

.

.


.



Opera Mauve Fiasco


Pertempuran di suatu semesta bernama Ordus Navarel ....

G
emuruh kosmis itu bersahut-sahutan, sangat marah, ketika—dan sesungguhnya ini terjadi di luar-dalam keseluruhan tatanannya—berbagai macam energi melintasi setiap bentuk spasial untuk kemudian saling bertumbukkan.

Fanael, Clementiel, Reminiz, dan Inefriem. Segelintir bintang mandiri sewarna kilat dalam tirai emas, merah, biru, dan hijau nirwana itu, meletus membaur selayaknya jeritan Tuhan yang terkurung selamanya dalam bentuk vorteks kelaparan; berdenyar berekspansi.

Vishaz, Sephinyuviter, dan Ilvalaha, tiga dari sembilan rasi suci yang menyandang nama para pencipta planet utama, terpencar di antara kekacauan. Melakukan pergerakan mengerjap, tersamar. Mereka menyusup meminimalkan galiung kaos transendental pada tiap sudut semesta. Seperti kehidupan berangin beku memadamkan racun dalam lapisan angkasa berapi abadi.

Jauh terlempar ke setiap arah, arus-arus menyengat menampakkan delapan lubang hitam supermasif. Masing-masing terbebas dari zona putih yang mengutuk mereka sebagai budak-budak pagar. Semuanya bergerak buas. Menarik apa pun, bahkan dimensi, di sepanjang lintasan liarnya.

Ordus Navarel bergelora tanpa jeda.

Kekuatan tempur sepuluh planet utama, bersama himpunan pasukan bayaran dari bangsa yang mendiami wilayah-wilayah tersembunyi, dan kaum penjaga Sha-Marriendz—mereka semua para pemicu peperangan pengantar kiamat ini—melesat dalam kekangan posisi hening kebiruan, apostolik, yang diciptakan oleh suatu prosesi Kelahiran Baru; sambil berusaha saling melenyapkan satu sama lain.

Dewa-dewi mitologis dari tiap bangsa, hamparan legiun-legiun berisi prajurit super berbagai ras, monster-deformatif pembunuh, wahana-wahana penghancur skala kolosal paling mutakhir-pragmatis atau arkais-elusif, dan mekanisme jebakan-jebakan terkutuk yang mampu menjadikan gambaran janji neraka seterang rentetan kilas balik kehidupan, tumpah berdinamika seutuhnya di suatu bingkai medan tempur berlatarkan kematian jagat raya.

Raxash El-Asteroth, matahari gigantisme khusus yang terus-menerus berteleportasi, meninggalkan jejak ledakan-ledakan hening pada benda langit inferior, sampai skuadron angkasa luar milik para kontestan perang tersebut. Dan, selalu tepat berada di sekelilingnya—di mana pun sang surya terbit-tenggelam dalam ketidakteraturan orbit imajiner—adalah regu pengintai dari Sha-Marriendz.

Menunggangi sekawanan Manthabi, atau bintang berekor berkecepatan cahaya Yumi; pemakan bulan, tiap-tiap pengintai berbangsa Hiakelth itu mengepung Raxash El-Asteroth seperti formasi kapal perburuan yang hendak membunuh seekor paus putih.

Sesosok Hiakelth muda bernama Alleba Rajrulle, matematikawan Sha-Marriendz, terpana oleh suatu hal di luar tanggung jawabnya: mengalokasi sejumlah besar energi ke setiap koordinat planet-planet utama, agar rute teleportasi sang matahari hanya terfokus pada apa-apa saja yang boleh diporak-porandakan.

Marco—teknologi berbasis kecerdasan artifisial; makhluk abstrak serupa untaian beras yang dihubungkan oleh semacam rantai fosforesens—menyadari kelengahan partnernya itu. "Fokusmu teralih, Alleba," tegurnya. "Apa pun penyebabnya, kuharap itu lebih penting dari misi menjaga sepuluh titik beku para pengembara."

Alleba mengabaikan Marco. Menggeser enam kaki berbulu halus ke sisi terluar komet yang ia kendarai. Mengusap dada transparannya dengan sensasi kecemasan; ketika inti terdalam pada mata dan pikiran sibuk memproses pemandangan itu berulang-ulang.

Ini bukan tentang ritual peperangan gila yang mengatasnamakan Kelahiran Baru di seisi semesta Ordus Navarel, atau permukaan badai fusi nuklir anomali Raxash El-Asteroth di sebelah kiri jauhnya.

Tapi sebentuk kekosongan persegi yang tercipta di atas semua hal—dalam keasingan tata letak ruang angkasa sekalipun. Sebuah presensi besar tak terelakkan, sekaligus hampa, tanpa makna warna dan persepsi lain untuk mendefinisikannya.

Gerbang sederhana itu terbentang menjadi atap; langit kusam pada bagian semesta terluar yang kini sedang berkobar.

"Penantian kita mendapatkan jawaban," lirih Alleba. Kepala indahnya terangkat takzim ke arah gerbang kosong nun jauh di atas perandaian. Kini berdenyar dalam tekstur melankolia. Karena bahkan ketulusan sanggup menghangatkan jiwa para makhluk kekal yang membeku. "'Hari Perjanjian'. Namol Nihilo—"

Raxash El-Asteroth kembali berteleportasi. Muncul, lalu, di tengah letupan suatu reruntuhan pada peradaban kosmopolit nebula Krumor dan Anvaraya. Saat cahaya putih sang surya seketika menghanguskan segalanya, Alleba sang matematikawan Hiakelth sudah tidak lagi terlihat di antara komet-komet regu pengintai Sha-Marriendz.



S
ementara itu, di dalam salah satu planet utama bernama Kotbulo. Wilayah paling barat Benua Neredadh—pada separuh bagian danau Tundra Nez Rohor, Sallvas ....

Angkasa selalu tersibak seperti tirai teater klasik. Hingga, tiap-tiap kepingan salju dwiwarna yang sibuk menggigiti lapisan langit Uvoroter beserta kandungan gas Reterolom—suatu proses penghimpun natural agar mereka bisa sempurna mendarat dan melompat lagi ke atas (para Kotbulost L pribumi menganalogikan fenomena ini dengan "Detakan Jantung Sinterklas")—seolah turun langsung dari peperangan ketuhanan di surga sana.

Sesosok Kotbulost M berjubah hitam khas penyihir—Anlainz bernama Noidal Rahika—berbaring di atas tempurung Wildist yang mengambang tenang pada perairan Sallvas yang dingin. Ia memandangi lewat sela-sela poni pirangnya, berbingkai aurora segelap darah, hiruk pikuk aktivitas angkasa luar.

Dan, terutama, gerbang ganjil itu. Persegi hampa, tercipta di atas semua kekacauan.

Noidal melompat sambil mengeluarkan tawa lepas tak terbendung. Mengejutkan dua sosok lain yang sedang berkejaran di udara dengan kepingan salju yang memantul. Kotbulost M anak-anak berwajah lugu bernama Reve Laluka, dan sahabat baiknya, Tabu—sesosok Pato, atau entitas penjaga.

"Ada perubahan rencana besar-besaran, Teman-teman Istimewaku!" kata Noidal sambil mengusap bulir di sudut matanya. "Keadilan sudah tiba."

Reve bertepuk tangan sambil terkekeh tak terkendali. "Adil. Datang. D-A-TANG. Tabuuu!!!"

Dengan sangat lembut, Tabu memeluk Reve agar kebahagiaan anak spesial itu tak sampai melukai diri sendiri. "Apakah 'Kelahiran Baru' sudah dimulai, Yang Mulia Khadanaz? Apakah kita menang?"

"Perang terbesar di Ordus Navarel, atas nama Kelahiran Baru, masih berlangsung, Tuan Tabu." Noidal menyeringai, merentangkan pelan kedua tangan pendeknya. "Tapi bukan itu masalahnya. Kita akan mengalami hal yang jauh lebih buruk. Ya. Dari amukan tak beralasan milik Vishaz sang Pencipta sekalipun! Bayangkan!"

Lalu, Noidal melakukan suatu hal yang membuat dirinya kerap dijauhi seisi Planet Kotbulo. Yaitu bercerita.

"Pada suatu kejauhan terdalam di masa lalu, sesosok alien kecil nan menyedihkan jatuh tersesat ke planet ini. Oh, dia merupakan makhluk paling hancur, Tuan Tabu! Dan keputusasaan seolah menjadi kulit keduanya! Ya, tentu, aku sedang tidak melebih-lebihkan. Kehidupan merana itu memiliki nama jelek yang serasi. Namol Nihilo.

"Dan, ini bagian terbaik kedua dari kisah si alien kecil—ah, tolong tahan Tuan Reve dan enyahkan salju pegas itu dari kantung kalian! Tidak adil untuk alam. Nah, bagian terbaik kedua, wahai Sahabat, adalah tujuan si alien kecil. Yaitu meminta maaf, berinteraksi ... dengan seantero multisemesta, seantero multidimensi."

Noidal Rahika merupakan Anlainz Keadilan. Dewa yang mengatur kebaikan sebuah hukum. Meskpun begitu, ia juga gemar memancing, berbicara, dan bercanda. Jadi Tabu menertawakan saja dengan sopan tentang kisah si alien kecil barusan. Menganggapnya sebagai satu dari sekian banyak lelucon hambar sang Khadanaz.

Tawa itu seketika ditimpali oleh guncangan-guncangan mahabesar. Tundra Nez Rohor berikut setengah Danau Sallvas seolah berderak jungkir balik menerimanya. Suatu kehadiran tak terduga dari tiga puluh dua Anlainz sekaligus.

Sesosok Gantus bernama Rufel Vrauz, Anlainz Kematian, meraung sambil memukul perbukitan putih di sampingnya sampai menyerpih menjadi debu-debu beku. "KEBERUNTUNGAN, BUAHAO! PARA MYRD BERWAJAH BONEKA DI WILAYAH YOKSIEL! JIKA SAJA PERTANDA ITU TIDAK MUNCUL, BUAHAO!!!"

"Siapa saja, tolong hentikan si bandot-bongsor-bodoh." Anlainz Ketakutan bernama Vladarea, Ractorian sebesar empat puluh meter, maju ke depan Noidal. ("Apa maksudmu, Pajangan Rumah Hantu?! Memberiku komando seperti itu!" pekik Petita Rarenai, Kotbulost S penyandang Anlainz Makanan.) "Dan kau, Poni Rambut, kenapa ada di sini? Sembunyi?" Vlad mendesis halus. "Di salah satu tempat paling terbuka yang ada di Kotbulo? Vishaz tidak seharusnya menitipkan Reve padamu. He-he ... serahkan dia padaku ...."

Anlainz-Anlainz lain mulai saling serang. Menciptakan kegilaan mendadak yang wajar. Dataran Nez Rohor berubah menjadi kepingan puzzle abstrak bersalju, sementara gletser di permukaan Sallvas melecut-lecut seperti petir. Pun seperti itu, semuanya tetap menyimak baik-baik permasalahan utama:

Kemunculan gerbang paling hampa di atas peperangan kosmis Ordus Navarel.

"Namol Nihilo! Gyamulululuhehoy! Si kecil menyedihkan itu telah menepati janji! Gyamulululuhehoy!" Anlainz Kebodohan, Niren bernama Yo Lufus, menjerit komikal lewat mikrofon khususnya. "Babi-babi harus terbang besok! Gyamulululuhehoy! Kalian mendengarku, kan, Losara, Remi? Jadwal kalian sudah ditentukan! O' pengatur Siang-Malam dan Keberanian! M E L A Y A N G! Gyamulululuhehoy!!!"



G
erbang hampa dan sosok bernama Namol Nihilo adalah kuncinya. Dua variabel yang didengungkan bersama-sama oleh para penghuni Ordus Navarel saat ini. Gema yang bahkan mampu menekan dentuman to apeiron dari peperangan berskala semesta.

Di dalam planet utama lainnya, Myrdial. Tempat para Myrd—peri penjaga—membangun peradaban paling kokoh berkat naungan spirit burung agung El Phinity dan berkah jantung sihir Aellgis. Jauh ke ujung timur permukaan inti Solarskia, benua liar De Soliant ....

Myrd tua berambut hijau menaruh rangkaian bunga hitam Anastasia di pelataran tugu monumental sesosok desertir dan pahlawan. Eophi Rasaya dan Minerva B. Louferish.

Hujan cahaya turun ke batu-batu peringatan di kompleks pemakaman ini. Singgah pada pundak dan punggung Myrd tua yang kini jatuh bersimpuh. Sunyi ia berdoa. "Namol Nihilo harus mati."



D
i dalam Luthenberg. Planet utama yang tercipta dari materi terkeras penyusun kitab suci Luthrien. Pada lembar-lembar Durgumor, daratan tanpa hukum wilayah Uzdur utara ....

Timbunan bangkai kriminal dalam Perang Kelahiran Baru sudah mengalahkan puncak tertinggi Pegunungan Ruthellios—dan masih terus dikirim melalui satelit-satelit penghubung yang melayang di langit jingga pudar seperti barisan nisan. Kabut hitam bersama gagak-gagak Nezakh berpusar di antaranya.

Para peziarah itu lantas terpencar ketika sebuah pesawat tempur setengah terbakar menukik turun dari salah satu portal satelit, mendarat meledakkan sebagian kecil tumpukan mayat di bagian terbawah.

Sang pilot, Munty Akria, mengambang seperti tenggelam di bawah parasut abu. Lalu adiknya, Sabilla Akria—kriminal dalam kategori titah Hanerbiq 01:06, Teroris Dimensi—tewas dalam pelukannya setelah mengatakan, "Tandanya ... seperti kata Baba, Sir. Tandanya ...! Gerbang tadi ... jangan lupa ceritakan padaku, oke, pemandangan itu. Nanti. Dan Namol Nihilo ... penyelamat kita—dan kau, Sir ... maafkan keegoisanku sekali lagi ... di atas semuanya, aku selalu menghormatimu, Kak ...."



T
riangle, planet utama berselubung partikel kegilaan atau Voices. Tepat di tengah lapisan langit ketujuhnya, Nazim ....

Celah besar dengan retakan menjalar—mengguntur merabas—tercipta. Berasal dari seberkas cahaya merah yang ditembakkan wahana perang angkasa luar, Archlazard, milik planet utama Appleturiel.

Sebagian kawasan para pahlawan—Pesisir Basil—hancur. Peradaban Pentagium Remosa beserta istana-istana bermenara elemen dan kota-kota pedagang jatuh.

Langit Nazim menyerpih menghujani lapisan Konstantin. Sementara kerusakan yang ada segera melahirkan virus penyusun serupa cermin; lantas mendatangkan sewilayah hantu Planet Appleturiel, daratan Earl Femur, ke tengah-tengahnya.

Triangle terinvasi. Pasukan Sera Dema setempat—para prajurit bertelinga sayap bersenjatakan senapan-senapan badai dan tombak angin—bersitegang dengan batalion tak kasatmata dari daratan asing tersebut.

Dan di zona pertempuran itu, keluarga besar Menteri Kehutanan Malakhi duduk tenang dalam ruang makan rumah sederhana mereka. Mengelilingi meja berundak seperti tak terjadi apa-apa. Setiap anggota mendengarkan baik-baik tentang "Hari Perjanjian" yang dikisahkan sang Kepala sendiri. Tuan Keithan; Sera'L Dema Yantra.

"... maka seantero multisemesta, seantero multidimensi, di hari itu mengepung sesosok alien kecil yang menangis memegangi lututnya ...." Dinding rumah meledakkan debris panas dan sumpah serapah berbahasa asing.

Beberapa anggota keluarga dibantai oleh kekuatan tak terlihat. Sisanya berbalik, melawan, menahan sekuat tenaga. Bayi berbangsa campuran Sera Dema-Mureel menangis di pelukan dingin sang ibu.

Tuan Keithan melanjutkan kisahnya dengan penyesalan. Suara bergetar.

" ... Namol Nihilo, meminta maaf. Namol Nihilo berjanji. Makhluk kecil tanpa identitas jelas, tapi tujuan luhur itu! Kelak seluruh ciptaan akan kembali dalam satu pemandangan yang sama. Bersama dia di sana dan bukti-bukti kehancurannya. DI 'HARI PERJANJIAN' INI—"



F
riedel, benua yang bernapas dan bergerak, berlokasi di tenggara Samudra Visile; Planet Utama Appleturiel. Jauh ke dalam tangis dan kebencian di pusat kota Naurum, negara perbatasan Adresa dan Hoppers ....

Perseteruan abadi dua keluarga legendaris meninggikan suara mereka sampai ke puncak.

Patrick Apple melempar ratusan ribu arwah-arwah penyerang. Thomas Turiel meledakkan gravitasi hitam. Lengkingan kematian meremukredamkan sedikit yang tersisa dari negara para penyair berdarah ini. Penduduk tak berdosa menguap penuh siksa dalam sekejap tidur tanpa mimpi. Kedamaian gagal menemukan keamanan di mana-mana; karena binasa sesungguhnya merupakan lullaby termanis ketika jiwa-jiwa pasrah menginginkan jalan pintas pulang ke rumah.

Empat anggota keluarga Apple lainnya meneruskan pola serang tersebar. Empat anggota keluarga Turiel menyambut dengan sengit. Pijakan dan udara bergeser seperti tangan dayang buta pendendam yang menyembunyikan belati untuk mencungkil mata sang raja.

"'Kelahiran Baru' tidak ada hubungannya dengan takdir kita." Patrick Apple menyeringai di atas kepala-kepala pucat. "Tapi gerbang itu ... di luar sana. Di antara pasukan perang yang dipimpin si Tolol Edda! Yeah ... kalian paham legendanya, Turiel sekalian. Atau jangan-jangan—? Wah, perlu kueja sejarah Hari Perjanjian sekarang juga? Aku merasa romantis siang ini. Jadi ...

"Kegelapan hidup menjadi apa pun yang pernah hidup ... blablabla ... cahaya di sekeliling hujan galaksi! Ng ... Namol Nihilo—hah, alien lucu itu!—akan berdiri di sana. Sentral. Menunggu. Sekarat. Mati ... yeah, begitulah. Kurang lebihnya tolong dimaafkan. Sejarah bukan pelajaran favoritku."

Thomas Turiel menjatuhkan sebagian langit terang menggunakan kepakkan sayap. "Berhenti bicara, Apple keparat!!!"



S
inclair, planet utama. Retakan Cresthellar yang memisahkan dimensi inti dan akar tampak semakin menganga di sepanjang peperangan Ordus Navarel. Pada titik terdekatnya; Induk Dunia—Area Maidenvalth—Peter Luca berdiri tegak sambil melamun ....

"Kelahiran Baru adalah periode saling sindir bagi sang Kreator. Dan ... ujung bagi mereka sisanya," ia memberi penjelasan untuk bintang dan mesin destruktif yang kolaps ke dalam warna-warna kaya di angkasa luar sana. "Lalu, seolah memperolok semua kehilangan, pada akhir peperangan ini, planet baru akan muncul ...

"Ah, semesta yang licik. Tampaknya kali ini kesenanganmu bersambut dengan banyak hal, huh? Namol Nihilo sudah menepati janjinya. Gerbang hampa ... tidak ... wajah itu. Benar sekali. Dia akan menelan kita ke dalam pertemuan yang belum bisa dipahami. Dulu, setidaknya.

"Sekarang alien kecil itu pasti sudah tumbuh besar. Mimpinya memiliki rencana. Jadi, mengamuklah nanti, hey, Ornavalle. Bersikap galaklah pada penentu umur kita yang sebenarnya ... tanpa batas ini.

"Teman Lamaku, mari kita bergerak menuju kehancuran."



E
arth Folks, planet utama paling muda di sistem tata surya Ordus Navarel; Rizzlervein, planet utama berbentuk lima rangkaian kubus Nadi Semesta; Drifgraf Yubileum, planet utama berupa entitas kolosal dan peliharaannya; Niltelfeyri, planet utama terbesar sekaligus terkuat saat ini ....

Empat pengembara itu membeku dalam posisi putaran terdekat bagi satu sama lain. Seolah tangan transendental—yang terlalu banal jika disebut takdir—turun langsung menentukan formasi tersebut.

Euforia peperangan dalam antonim lebih terpusat bagi masing-masing kekuatan tempur angkasa luar mereka. Kehancuran di permukaan planet juga menjadi sangat kasatmata karena inisiatif invasi sudah tak lagi terbendung arus kedatangannya.

Kelompok pembasmi kejahatan milik Earth Folks, Asia, bernama Green Secret, tumbang satu per satu ketika Triana—anggota terkuat mereka—melarikan diri di tengah pertempuran. Semata demi cinta misteriusnya pada Pangeran Verlast dari Nilltelfeyri, Adam Willy, yang menghilang lebih dulu ke dalam amukan lubang hitam Norknile.

Drama kosmos berlanjut. Menghantui dua planet utama lainnya: Rizzlervein dan Drifgraf Yubileum.

Sesuatu yang berhubungan dengan ikatan terlarang pada awal era abstraksi; antara Themeros, realitas ciptaan Themer Sean—dimensi kubus empat kerajaan, Rizzlervein—dengan wilayah selangkangan Drifgraf, daratan Nukhag di Akyasa Dhein.

Permasalahan-permasalahan serius yang harus tertunda ...

... karena bertepatan dengan itu, panorama persegi kehampaan; gerbang di atas peperangan ..., melebar bersama satu dentuman berlipat. Mengalir seperti inversi detakan waktu. Menyeret semuanya ke dalam titik kulminasi suatu simulakrum yang menggeram.

Tidak ada yang tersisa dari semesta Ordus Navarel selain eksistensi semu. Semuanya redup. Ditinggal berangkat. Padam.



* * *



Lalu, kesibukan lain dari semesta yang berbeda. Les Universum ....

K
apal induk antariksa sebesar bintang katai merah—Lluminor deu' Abel—milik sang bangsawan Loranium dari Trinamyte X12, Onilmahati Terrestra VI, baru saja mendapatkan laporan perkembangan paling tak terduga di sepanjang sejarah mereka meneliti aktivitas angkasa luar.

Seratus ribu tabung likuid Informaria di ruang penerima pusat menayangkan dua mimpi buruk yang berkesinambungan. Sebuah peperangan milik semesta asing. Langsung dikirim dari transmiter tak dikenal dalam bentuk koordinat-koordinat berskala mikro; merayap secara keruh pada radar silindris. Sampai akhirnya diterjemahkan oleh simulator inti menjadi suatu pecahan adegan hiperealitas sejernih kelahiran baru.

Teknologi-teknologi komunikasi satu arah tersebut bergejolak dari dalam. Setiap inci membran krem pada permukaannya meletup mengiringi visual pergerakan pertempuran. Membahana, riuh mengisi keheningan ruang temaram ini seperti lengkingan harmonium gereja-gereja kolosal.

Onilmahati mengamati kegilaan itu tanpa berkedip. Cerutu-cerutu mahal terselip dari empat mulut lebar yang menganga di sepanjang tubuh beratnya.

"Kebocoran pada gelombang Dark Energy, B-Bos, mungkinkah—"

"Diam," geram Onilmahati. Ia menunduk susah payah demi memungut salah satu cerutunya dengan tangan basah yang bergetar. "Ini bukan adegan acak dari novel fiksimu, Konterina. Demi Nenek Moyangku, diamlah."

Tapi Konterina—kolega sang bangsawan dari planet miskin Jahafya—selalu bisa menemukan alasan membuka mulut mungil bangsa Yiti-Un miliknya. "Para peretas dari koloni Warlock tidak sanggup menciptakan fenomena serumit ini," cerocos makhluk berkulit kuning pisang itu, "kalau kau mengira mereka—oh, kumohon percayalah, Onil, Saudaraku! Multisemesta berbicara pada kita! 'Hari Perjanjian' ...."

"Konterina." Onilmahati mendesah sambil mencekik si kolega kecil. "Jangan lagi utarakan gurauan kelas tiga. Kumohon. Hari Perjanjian hanya dongeng milik bangsamu yang menyedihkan. Semesta berdiri untuk dirinya sendiri. Cukup begitu. Sekarang, bereskan masalah peretasan ini—aku sangat letih. Hubungi Alliance. Sekumpulan idiot itu berkewajiban menjaga keamanan transmisi seluruh operasi. Beri mereka makian terbaik dariku."



T
hunorfrige. Eksoplanet terdekat dari sistem tata surya Galaksi Andromeda. Di atas pulau artifisial bernama Nommada—salah satu stasiun menuju markas utama para saudagar atau pemerintah yang bercokol dengan perniagaan bawah tanah, Anacore Detmah ....

Digsy, Jhumo muda dari Padang Pasir Mamati, melolong pelan seperti seekor serigala yang tersesat; Cupid, sesosok kecil Xenoris bermartabat, tidak pernah berhenti mengoceh tentang kekayaan Keluarga Besar di Benua Biru; Mitchell, bocah Nirfinitia, sibuk menulisi kertas-kertas eposnya.

Ketiga makhluk mungil berbeda bangsa, sampai semesta untuk tinggal tersebut, merupakan beberapa dari banyak tawanan lain yang saat ini sedang disekap di dalam suatu ruangan metal tanpa jendela.

"Auuu ...," isak Digsy.

"—Pamanku saja punya empat gunung api, padahal dia—sialan! Diam, dong, Jhumo bodoh!" Sambil menggembungkan pipi merahnya, Cupid terbang rendah ke depan Digsy. Ia cubit moncong hibrida malang tersebut. "Jangan 'au-au-au' berisik! Sialan, seandainya kubawa stik penerjemah termahal milik kakek. Kamu ngomong apa, sih?"

"Auuu ...."

Cupid memutar kedua bola matanya. "Terus kamu, hey, Nirfinitia! Paham bahasa universal Andromein, kan?" Ia perhatikan rambut keriting Mitchell. "Kamu dari Allahamel, kan? Halo?! Ugh. Apa di sini ada yang bisa diajak ngomong jelas?"

"Oh, tadi lagi bicara denganku, ya, bocah tanpa dagu?" gumam Mitchell, melirik ke arah Cupid lalu kembali tenggelam dalam tulisan eposnya. "Ada apa, Gendut?"

Cupid tersenyum. "Bangsa Nirfinitia memang pandai memuji, ya? Terima kasih. Hm, tadi itu aku mau tanya. Apa yang sedang kamu tulis?"

"Oh, tulis cerita, dong. Jelas."

"Auuu ...."

"Wah! Tentang apakah?"

"Silakan baca sendiri. Dan demi Kebesaran Fatanir Tuhanku, tolong kamu berhenti ngomong sebentar, Lemak Kotor."

"Keren! Tentu saja!"

Tapi nyatanya Cupid tetap mengoceh meski sedang membaca. Ia tidak mengerti isi cerita Mitchell.

"Auuu ...."

Mitchell memasang ekspresi kendur. Sambil menggaruk rambut, ia menjelaskan.

"Semua eksistensi—kamu, aku, serigala cengeng itu, semesta, dimensi—sebenarnya merupakan sebentuk kesadaran Tuhanku Fatanir yang terpencar. Terpujilah Dia. Maka, sebagai salah satu Darinya, aku juga memiliki kemampuan untuk menjadi kreator. Isi ceritaku ini mengisahkan tentang semesta lain. Ciptaanku sendiri."

"Baik. Tapi kata Ayahku—yang memiliki tiga planet katai di Galaksi Vinta Nova!—kita ini tercipta dari hujan debu hasil pertempuran Prajurit Lvnraghk dan Nrimthattrh di titik awal air mancur Ibu Universum!" Cupid terbang berputar, bersemangat. "Mungkin karena kepercayaan kita berbeda-beda, ya. Tapi tetap hebat, kok, kalau kamu mau jadi penulis apa pun alasannya!"

"Auuu ...."

"Sebenarnya aku malas mengobrol dengan kaum harbi," kata Mitchell. "Tapi ... kayaknya kamu cukup tertarik dengan dunia rekaan. Kisah-kisah hebat, semacam itu. Nyata atau tidak. Heh? Pernah dengar tentang legenda Battle of Realms? Mungkin namanya beda-beda di setiap semesta—"

"AKU. PAHAM. BANGET!" Cupid menjambak gemas rambut Mitchell. "Purtlinggard es Casmok ... Jaya Haffrla ... Battle of Realms! Dan lainnya! Ya. Namanya memang beda-beda—"

"Whoa. Jangan terlalu semangat, Kantung Kentut. Kamu pasti bau kalau berkeringat. Hm ... jadi kamu tahu tentang Battle of Realms, eh. Kukira kegiatan berbahaya itu sifatnya cukup tertutup—"

"Apanya?! Battle of Realms adalah ritual terbesar yang saling berhubungan dan banyak diperbincangkan! Coba kuingat ... oke, finalnya! Periode awal ... Roger Daniel dan Rena di Le Colosseum de Phantasm. Periode dua ... Mliit dan Galon di Situs Bersejarah. Periode tiga ... Mahesa Werdaya dan Edward di Realitas Emas. Periode empat ... Ursario, Stallza, dan Lazuardi di Netherworld Nanthara. Periode lima ... Fatanir dan Mima Shiki Reid di Hisaria Sol Shefra! Ayahku punya ensiklopedia mereka semua. Oooh! Benda itu sangat-sangat-sangat mahal sekaligus sangat-sangat-sangat pantas buat dikoleksi! Makhluk-makhluk fantastis!!!"

"Heh. Battle of Realms memang besar, tapi bukan untuk diperbincangkan sembarangan, bocah! Tragedi multisemesta, multidimensi, yang terkandung di dalamnya selalu memiliki potensi melenyapkan segala hal!"

Cupid mengangguk antusias. Setiap pori-pori di kulit mulusnya menerima sensasi dingin membakar. Terbombardir habis oleh ingatan pertempuran para pejuang; kisah perjalanan paling menggetarkan dari masing-masing kekuatan yang tak pernah padam.

"Setuju!"

"Heh, anak baik. Dan ... aku terkesan karena kamu memang sedikit mengetahui sejarah legendaris itu." Mitchell mendengus sambil menyeringai sinis. "Sekarang apa kamu tahu kalau Allahamel, semestaku, banyak ditinggali oleh keturunan para petarung tersebut?"

"Tentu saja, bodoh! Keluargaku memilki 'mata' dan 'telinga' hampir di semua semesta!"

"Keren. Tapi apa keluargamu tahu tentang periode keenam Battle of Realms yang sedang berlangsung sekarang?"

Cupid tercengang dengan mata membesar dan tubuh berkeringat. "A-apa—?"

"Apa ... keluargamu tahu tentang kebangkitan para petarung ... pertemuan seantero multisemesta, seantero multidimensi ... 'Hari Perjanjian'?"

"TUNGGU! SATU-SATU, KUMOHON ...! J-jadi maksudmu ... jangan-jangan—"

Mitchell tertawa mengejek.

"Tepat di generasi kita ini, Anak Manja, mereka akan dibangkitkan oleh ramalan! Semuanya! Tuhanku terutama! Pertempuran terbesar ... semata demi menghabisi si biang kerok itu ... sebuah nama dalam badan masa lalu ... alien—"

"Shade ...?"

"Apa?"

"Shade!" ulang Cupid. "Benar, kan? Dia adalah paria sekaligus Arsenal Planet Proto Gaiea. Pahlawan Pilihan. Klon kontroversial. Buah bibir kalangan tertentu di Galaksi Andromeda. Aktivitasnya yang mencurigakan akhir-akhir ini ... desas-desus buruk dari Planet Blu Fed. Apakah Shade adalah biang kerok itu? Termasuk—demi harta karun keluargaku!—peserta final Battle of Realms periode keenam?!"

"Apa maksudmu?"

"Ya, ampun, Nirfinitia! Bahkan penghuni semesta lain pun seharusnya tahu jika Blu Fed bertemu dengan Alliance, perang terbesar akan tercipta dan menghancurkan Les Universum pada akhirnya! Itu, kan, yang kamu maksud soal 'Hari Perjanjian'?"

Mitchell merenung sejenak. "Sebelum aku minggat, kabar dua kekuatan besar itu memang pernah kudengar. Jadi ... Shade, eh? Allahamel bahkan tidak tahu ini. Hm, mungkinkah ganti nama? Karena, terakhir kuriset, nama dalam ramalan seharusnya Namo—hey, Gendut! Bangun!"

Cupid terbaring lemas di samping Digsy yang telah lama tak terdengar lolongannya. Begitu pula, ternyata, dengan tawanan lain. Satu per satu tumbang seperti boneka tali tanpa dalang.

Gas berwarna biru pudar, tanpa bau, menerobos lewat semacam palka kecil di pertengahan langit-langit. Mengambang memenuhi ruangan metal tanpa jendela ini dengan sangat cepat dan tenang.

Mitchell sudah lama tidak ada ketika terdengar tawa puas yang menjijikkan dari balik dinding. Suara milik mereka, para saudagar dan dewan pemerintahan, yang telah membayar banyak untuk meraih suatu kepuasan ganjil.

Melihat sekumpulan ras—korban penculikan—tewas oleh proses eksekusi tertentu.

"Bawa kelompok berikutnya! Perbanyak anak-anak atau betina hamil!" bentak salah satu saudagar. "Metode pembantaian dari peradaban apa kali ini, hah? CEPAT MULAI!" Lalu semuanya kembali tertawa. Makan dan mabuk sambil membahas kelangsungan bisnis mereka di hadapan semua kegilaan yang bisa disajikan spontanitas kehidupan.



A
nuv Shalisa, planet ketiga dari matahari Galaksi Andromeda. Benua utama Terrao. Di ketinggian Dataran Mesnett, perbukitan berapi Pasn V'ow Jkimiaht. Sebuah tempat yang mampu mencekik Locales mana pun dengan sobekan kematian tergelap, terkeji ....

Para Klovstreak, bagaimanapun, merupakan pengecualian. Karena ketiga Locales di keluarga kecil itu—Ayahanda Shameq, Ibunda Dendrobi, dan sang anak Guuk—bisa hidup di lipatan bukit-bukit pembunuh tanpa menerima kesulitan apa pun.

Guuk Klovstreak adalah Locales muda. Kepala hijaunya berembun dan halo di sekitarnya belum menciptakan terang kebijaksanaan. Ia masih hidup dengan observasi asupan jawaban atas segala misteri yang disalahtafsirkan, kemudian bahagia karenanya.

Bersama Shameq, pagi-pagi buta ini Guuk berangkat berburu Ferhobo yang licin di muka hutan Qoei M'es Enlea. Seperti biasa, sang ayah adalah rumah terbaik bagi pertanyaan-pertanyaan si Locales muda.

Kenapa kita hidup di antara bebatuan api dan Bezzesh yang sewaktu-waktu bisa membunuh kita? Kenapa aku tidak bersekolah di Desa Utaka bersama Locales sebaya lainnya? Kenapa Ayah sangat hebat? Kenapa Ferhobo selalu menggigit ketika mereka diganggu, tapi diam ketika disantap?

Pertanyaan terus bergulir seperti fraksi hangus sisa lemak, kulit, dan tulang para Locales yang ditembakkan ke langit dari lubang pada kawah-kawah Bezzesh di sepanjang bukit.

Kadang, Shameq akan memeluk anaknya di antara raungan kematian dan kabut merah. Di lain waktu, ia akan menggendong Guuk lalu meluncur di tanah hitam yang melandai. Sebelum akhirnya menjawab semua tanya dengan satu kalimat sederhana: "Karena kita bukan alien, Nak. Kita berhak hidup normal."

Guuk, selalu, tersenyum puas setelahnya. Shameq pun meraung menciptakan simbol dari cahaya halo; membentuk komunikasi batin pada Leluhur yang telah lama dicuri. Tetap bersyukur.

Kebanggaan adalah respons terbaik yang bisa diberikan sang anak kepada ayahnya.

Berburu Ferhobo menjadi suatu kemudahan. Sampai siang. Keduanya pulang ke rumah, lantas Dendrobi mengolah akar-akar bernutrisi dari hasil tangkapan itu menjadi jamuan mengagumkan.

Shameq akan mengusap halo istrinya dalam pujian, mesra. Sesekali, bahkan, jika tak tahan mereka akan pamit sebentar ke puncak bukit untuk bertukar kabut dan saling melenguh menciptakan kor prosesi penyatuan yang hakiki.

Keseharian keluarga kecil itu merupakan kebahagiaan yang sejuk.

Hingga hari ini.

Di setengah jalan menuju lokasi kubangan favorit Shameq dan Guuk memancing Sisiba bersayap, sekelompok Bezzesh yang dipimpin langsung oleh sang Alfa muncul mengadang. Menyerang secara membabi buta.

Guuk kehilangan kemampuan berbicara, melihat, dan bergerak. Ia sekarat berdarah-darah di dekapan sang ayah yang tak jauh lebih baik kondisinya. Mereka berhasil melarikan diri, tiba di rumah. Hanya untuk menemukan jasad berantakan milik Dendrobi.

Bekas cakar dan pesing dari presensi selusin Bezzesh masih terasa di dinding-dinding hangat rumah batu ini.

Shameq meraung putus asa. Sambil menggendong Guuk yang sekarat ia segera berlari ke Desa Utaka. Meminta tolong. Malah mendapatkan hujatan alienasi dan ancaman serangan.

Ia beringsut menjauh. Tumbang di dekat ratusan sulur pepohonan Elmer. Mengusap wajah damai anaknya. Meminta maaf dalam tangis penyesalan yang merajam seperti gatal pada langit-langit mulut, danau di musim dingin, dan kuasa suatu intensi membunuh musuh paling kuno.

"Aku ... ada di sini bersamamu, Teman."

Suara itu begitu hati-hati dan penuh simpati. Shameq tidak terkejut. Ia sudah menyadari kehadirannya beberapa saat lalu. Sedikit menunduk, berdiri sambil memegangi sulur, adalah Gabe Blackwood, partner lamanya di Alliance.

Shameq meledak. Kulit Locales berhamburan seperti konfeti. Menyisakan hanya parasit bersel tunggal yang terlihat seperti ubur-ubur semitransparan. Wujud sejatinya.

Penyamaran telah mati.

Lewat telepati menyakitkan, Shameq langsung berusaha memastikan apakah kedatangan Gabe hari ini memiliki alasan terbaik. Karena setelah memutuskan untuk keluar dari Alliance demi menjalani hari-hari normal bersama mukjizat Dendrobi, ia mengharamkan panggilan komunikasi dalam bentuk apa pun. Kecuali satu.

Laporan keberadaan Leluhur-nya yang telah lama dicuri. Dan tepat di hari laknat ini, Gabe membawakan kabar itu.

Dendam terberat seketika termaterialisasi menjadi satu tujuan berkaitan.

Bawa aku ke sana, geram Shameq, meledak-ledak di dalam pikiran Gabe. Pencuri itu harus mati di zaman ini ... PENCURI ITU HARUS—NNNRRRAAAHHH—TERKUTUKLAH KAU DI KEDALAMAN INFEROSA, SANG KEHENDAK!!!



B
enteng pusat Interstellar Alliance, Les Unirom. Sedang bersauh di dekat lubang hitam supermasif—Ficus Benjamina—yang menghubungkan Galaksi Andromeda dengan Phoenix Cluster pada poin NHCC S9562.44+173.8 ....

Hanya baru terjadi lima kali dalam sejarah terbentuknya organisasi persatuan ini. Seluruh anggota senat, menteri, dan Presiden Perdamaian dari berbagai galaksi melangsungkan pertemuan serempak.

Setiap perwakilan berdiri di atas panel keemasan, dalam ruangan berdinding transparan, mengitari kursi-kursi tinggi Kristalikal khusus yang diduduki para petinggi sampai tamu kehormatan.

Pada pertemuan terakhir, IA (Interstellar Alliance) membahas tentang pergerakan Planet Blu Fed sebagai agresor—salah satu ancaman terbesar Les Universum yang dijadikan kasus prioritas—dan cara menghadapinya.

Sekarang, pokok permasalahan yang akan dibahas bahkan mampu memaksa perwakilan Planet Blu Fed tersebut untuk menghadiri rapat. Enam kapal antariksa milik mereka, tak dipersenjatai sama sekali, masuk melewati gerbang Les Unirom beberapa saat lalu.

Tapi bukan mereka partisipan terakhir pada perkumpulan ini. Melainkan perwakilan Planet Proto Gaiea—permata Andromeda—yang hadir dalam satu kapal induk dengan pasukan dan persenjataan lengkap.

Rapat akbar pun dimulai.

Dilatari kegelapan angkasa luar yang kaya, moderator pertama; berkepala kijang jantan tua dari Planet Trinamyte XI, mempersilakan teknisinya menampilkan rekaman simulasi peperangan besar di semesta asing.

"Ordus Navarel," jelas si kepala kijang jantan tua, bernama Gahatil Majavi, "semesta terluar dalam peta multiverse kita. Peperangan ini,"—Ia menunjuk ke salah satu adegan dimana matahari yang berteleportasi melenyapkan meriam merah bermateri megaton unik dan organisme termofosforesens—"menurut beberapa kitab empiris literator Trinamyte Supercluster, merupakan prosesi suatu Kelahiran Baru.

"Lalu ini,"—Ia menunjuk persegi kosong yang terus melebar di atas semua kekacauan—"adalah reaksi awal dari 'Hari Perjanjian'." Keheningan ruang rapat mulai pecah menjadi gumaman acak. "Menurut salah satu catatan ramalan tertua Les Universum ... tanda pertama ...."

Suara Gahatil Majavi tenggelam di antara seruan liar. Kebanyakan mempertanyakan ke mana sebenarnya arah pembahasan rapat ini.

"Proses tahap berikutnya," geram si kepala kijang jantan tua ke salah satu teknisi, sementara para petinggi lain sibuk menenangkan suasana.

Dan segera setelah rekaman simulasi berubah, ruang rapat kembali menemukan keheningan. Gambaran peperangan digantikan oleh fenomena yang mencengangkan. Persegi kosong serupa gerbang itu berdentum, mengisi setiap ruang di semesta Ordus Navarel, lalu menariknya. Hingga tak tersisa apa pun.

"Trinamyte Supercluster akan memenuhi panggilan sebanyak yang diperlukan." Gahatil mengedarkan pandangan tajam ke seluas ruangan elips ini. "Hari dalam legenda telah lahir dan inilah saatnya. Alarey Hanendus Sollusar. Bergerak menuju kehancuran."

Masih diiringi keheningan, Gahatil Majavi menyelesaikan bagiannya, kembali duduk.

Catatan "Hari Perjanjian" adalah warisan omong kosong tertua bagi sebagian besar penghuni Les Universum. Mengisahkan tentang kunjungan sesosok alien kecil di berbagai galaksi, keberhasilan sekaligus kegagalannya mengumpulkan semesta, dan sumpah akan kesempurnaan kesempatan kedua.

Bagaimanapun, berkat kebocoran insiden di Ordus Navarel, lalu keputusan berani dari perwakilan Trinamyte Supercluster, banyak petinggi lain yang ikut bertindak. Membagikan informasi krusial yang semula hanya dikategorikan sebagai anomali sampai kejahatan peretasan tingkat tinggi.

Informasi tentang fenomena lebih banyak pergeseran.

Hasilnya, pada jeda rapat, telah tergambar suatu pola berdasarkan peta multiverse Les Universum. Rute pergerakan bergilir dari setiap semesta dan ke mana mereka menghilang. Sekarang, bahkan jika masih ada keraguan di pihak partisipan, semua teori akan berubah menjadi pengalaman. Karena Andromeda telah dikalkulasikan ikut terseret arus besar milik Hari Perjanjian sesaat lagi. Bergabung bersama kekuatan kosmis lainnya di satu tempat itu.

Alam Mimpi. 


D
alam kapsul Meinlight. Transportasi angkasa luar tercepat milik Alliance. Melesat di antara ledakan pertempuran sengit. Sektor debu sayap nebula Nixmark, perbatasan Andromeda dan Exodus ....

Kerusakan signifikan pada beberapa sistem navigasi turut menghalangi komunikasi dua arah antara Rin Blackwood dan Gabe Blackwood. Energi kapsul: 75%.

Proyektor tiga dimensi berukuran nyata menampilkan sosok pria gagah. Gabe. Wajahnya tampan dengan indikasi menyimpan berbagai kekhawatiran mendesak di balik senyum kikuk. Ia juga menaiki Meinlight; dalam perjalanan cahaya dari Planet Anuv Shalisa menuju Benteng Les Unirom bersama Shameq.

"Apa semua baik-baik saja di sana, Sayang?" Gabe menyapa. "Aku kangen sekali—oh, tunggu, maksudku, he-he, kau tahu, kan, prioritas?"

Rin tersenyum sambil meninju pelan dada semitransparan milik suaminya. Setetes darah lagi jatuh ke permukaan lantai aluminium, yang lain mendarat di dahi sesosok Jhumo kecil dalam kondisi tak sadarkan diri tapi bernapas pelan-pelan.

"Shade akan menjadi kuncinya," lanjut Gabe. "Presiden Zimmich memberiku hasil rapat akbar beberapa saat lalu. Destinasi kita adalah Alam Mimpi. Sejauh ini Ordus Navarel ... Hos Yuanblizz ... Demearl ... Vintdelzan ... Jasdraakhtgraakht ... semesta terluar dari peta multiverse sudah bergerak. Les Universum berada di jantung pusaran. Cukup jauh. Meski begitu, hasil perhitungan telah—hey, Rin, bicaralah padaku.

"Um, Shameq berhasil kuajak pulang. Shade akan mendapat dukungan penuh dari kita. Tapi ... dia ... sedang berkabung di kokpit saat ini. Aku turut menyesal atas kehilangannya. Cerita lengkap menyusul, oke? Yakin tidak mau merespons sama sekali? Baiklah.

"Sebentar lagi aku akan cukup dekat untuk mengaktifkan Jetstream. Seharusnya kau pun sudah ada di benteng saat itu. Ceritakan padaku di antara limun dingin, bagaimana ekspresi para bangsat kaya raya dan pejabat korup ketika istriku tercinta muncul—mengamuk. He-he. Dan, ya, love you too, Hon."

Proyektor mengerjap. Padam. Energi kapsul: 60%.

"Auuu ...." Jhumo kecil bernama Digsy melolong parau di pelukan Rin yang berdarah.

"Kau terbangun, jagoan?" Rin tersenyum letih. "Maaf, suamiku pasti berbicara terlalu keras. Tapi, well—izinkan aku memberinya sedikit drama sebelum mengirimmu ke tempat paling aman. Tetap di sini, oke."

Setelah mendudukkan Digsy ke dalam tabung teleporter, Rin mengaktifkan proyektor. Terhubung langsung ke kapsul Gabe.

"Halo, ganteng. Maksudku, Shameq di bagian kokpit." Rin terbatuk. "Singkat dan sederhana. Aku hanya ingin meminta maaf dan berterima kasih pada suami terhebat yang pernah ada. Gabe Blackwood, familier?

"Maaf, karena aku tidak bisa pulang untuk menikmati limun dingin bersamamu dan menyaksikan akhir multisemesta ... dan terima kasih ... atas semuanya.

"Postscript ... dalam penyerbuan ke Thunorfrige, ada Jhumo kecil yang sekarat. Hidup di antara tumpukan kematian. Rawat dia, Gabe. Jangan pernah biarkan dia menyerah. Untuk Shade ... ya ... pastikan dia menyelesaikan ini semua. Kalahkan si alien ...."

Rin menonaktifkan proyektor. Tertawa pelan sambil menangis. Tak kuasa membayangkan ekspresi suaminya saat ini. Ia mengusap lembut kepala Digsy lalu mengirim Jhumo kecil itu ke tempat Gabe.

Energi kapsul: 0.4%.

Selamatkan mereka, Gabe ... Shade ....










.
.

.

.
.
.

.

.

.
.

.



The Kinder Hero


Sebentuk kekacauan di antara tabrakan dua bingkai mimpi ....

N
amol menahan tiga hal sekaligus saat ini. Rasa sakit, dorongan berteriak, dan menampilkan ekspresi terkejut. Untuk yang ketiga, bagaimanapun, alien berambut oranye itu tidak bisa terlalu lama menutupinya.

Ia berdiri gemetar di tepi atap Rumah Besar. Di hadapannya, Shade memberikan tatapan tajam sambil menambah tekanan pada kedua tangan yang menggenggam sebilah pedang indah sekaligus mematikan—dan kini sedang menikam telak perut si alien.

Seisi penghuni dua Bingkai Mimpi—campuran dari Planet Bumi dan Lubang Hitam Regaia. Lalu Planet Proto Gaiea yang masih mengalir keluar dari salah satu kamar; mengambang di langit anomali—memperhatikan kejadian mendadak itu dalam diam.

Shade bergerak mundur dengan cepat ketika beberapa helai benang merah berusaha menyerangnya. Namol jatuh bersimpuh, memegangi gagang pedang yang segera dicabut oleh Ariadne. "H-hey," bisik gadis berambut pirang itu, "bertahanlah ...."

Si alien tersenyum lemah. Sekujur tubuhnya berpendar hitam, diselubungi aksara asing, lalu meledak tanpa memberikan kerusakan kolateral.

Pada saat inilah semua hal yang tadinya diam secara bersama-sama membunyikan nada frustrasi terlantang. Atap rumah besar segera menjadi medan pertempuran.

Messier dan Hubble mengamuk bersama sumpah serapah yang ditujukan pada Shade. Tapi pasangan suami-istri itu tertahan oleh sesosok laki-laki berkacamata hitam.

"Cukup. Jangan ganggu muridku," ujar Pria Misterius.

Messier dan Hubble tidak berhenti. "KATAKAN ITU SEBELUM MURID TOLOLMU MENIKAM ANAK KAMI!"

Tak jauh di samping mereka, Oneiros bersungut-sungut menahan serangan tongkat permen yang sangat bersemangat dari Ratu Huban.

"Kenapa menyerangku?!" bentak si kepala bola mata.

"Karena ini menyenangkan~!" sahut si kepala bantal.

Heppow si cacing raksasa, Puppis si peri bintang, dan Holo si manusia domba juga ikut bergerak. Mengamuk ke arah Shade. Tapi mereka pun tertahan. Kali ini oleh sesosok pria bertudung hitam.

Tanpa kesulitan berarti, tiga makhluk itu terempas sekaligus. Pria bertudung hitam hanya menggunakan pandangan yang mengentak. Lalu ia meninggalkan pijakan atap; berteleportasi ke atas. Sambil melayang-layang, tangannya terayun selaras. Seperti menarik sesuatu ...

... dan itu adalah dua benua deformatif di luar wilayah Rumah Besar Namol Nihilo. Masing-masing berbentuk pilar berujung runcing. Keduanya lantas melesat seperti misil raksasa. Menghancurkan kubah prisma semitransparan yang bekerja sebagai mekanisme pertahanan terluar.

Keributan semakin mencekik. Terlebih dari mereka yang saat ini berada di seluas halaman rumah. Pecahan-pecahan kedua benua berupa bongkahan tanah, air asin, dan peradaban jatuh menghujani setiap sudut.

Tak berhenti sampai situ, pria bertudung hitam kembali menarik sesuatu. Kali ini empat dari beberapa matahari anomali milik Lubang Hitam Regaia. Semuanya diarahkan langsung ke Rumah Besar.

Hanya satu dari serangan gila tersebut yang menghantam target. Karena tiga berhasil ditahan oleh gabungan kekuatan penghuni temporer. Meski begitu, efek kerusakan sebuah matahari sudah cukup untuk meluluhlantakkan segalanya.

Rumah Besar yang memiliki mekanisme "pemulihan otomatis" terjebak dalam proses kehancuran dan pembentukan ulang. Mereka yang tadinya berada di atap kini mendarat satu-satu di antara puing dua benua.

Shade memperhatikan amukan keramaian bergerak cepat ke arahnya. "Kita terkepung, Kairos."

Pria bertudung hitam merespons dengan gelengan kecil. Tatapannya seolah menjangkau sesuatu di balik langit siang Bumi-Regaia yang dipenuhi corak berwarna kelam dan objek ganjil.

"Mereka tiba ...," bisiknya. "Semesta-semesta."

Sesuatu yang besar dan tak kasatmata silih berganti menabrakkan diri. Bingkai Mimpi Namol terombang-ambing seperti botol menyedihkan dalam badai. Tapi Ariadne—bersimpuh di tengah-tengah lingkaran api, pijakan curam, jeritan, puing rumah bata dari peradaban silam Eropa Barat—merengkuh sebuah bola hitam. Mengabaikan hal lainnya.

"Hey, Namol ... ayo bertahan ...."



* * *



Satu hari sebelum Namol Nihilo tertikam ....

N
amol menutup jurnal perjalanan dengan desahan letih dan sorot mata bersemangat—atau tidak percaya. Ia baru saja membaca semua halaman mengejutkan yang menjelaskan tentang identitas rahasianya.

Langit malam Bumi-Regaia tidak pernah setenang ini. Meskipun definisi tenang di Bingkai Mimpi si alien benar-benar relatif. Contohnya, dari tempat ia duduk di tepi atap sekarang, bisa terlihat jelas Benua Asia yang sedang menari santai dengan Samudra Pasifik dalam wujud merak dan pria bertopi panjang.

Atau dari sudut pandang wilayah Lubang Hitam Regaia. Gerombolan awan hujan melempari sepotong lapisan gelap malam yang berlari seperti penjahat film lama, menggunakan makhluk-makhluk kecil berbulu kilatan cahaya.

Gedung-gedung dan siluet infrastruktur melayang, bertebaran. Kadang meminta maaf ketika tidak sengaja menyentuh raksasa-raksasa mengerikan yang sedang berjudi. Pemakan bulan berserdawa keras-keras di bawahnya.

Namol mendesah lagi.

"Apa memang se-membosankan itu semua pemandangan aneh ini?" sapa suara menyenangkan di balik punggung si alien—yang langsung menoleh dan mendapati sosok Shade berjalan mendekat.

Laki-laki tampan berpostur tegap itu duduk di sampingnya. Otomatis tersenyum memandangi pegunungan di cakrawala imajiner. Mereka berjajar, lalu dihantam oleh segerombolan manusia-hutan. Seperti boling. "Yeah. Enggak buruk, kok. Kalau dipikir-pikir menggunakan akal sehat."

"Sayangnya akal sehat belum tentu masuk akal," kata Namol.

"Oh, baiklah." Shade tertawa pelan, menerawang ke arah bintang jatuh yang segera bangkit lalu marah. Menciptakan nova yang mengagumkan. "Ngomong-ngomong, aku tidak melihat Nora dan Miss Anita akhir-akhir ini."

"Ya, aku juga. Aneh ... kukira mereka bersamamu."

"Mungkinkah sedang beristirahat di Bingkai Mimpi masing-masing?"

"Mungkin." Namol menyeringai. "Kita susul ke sana? Kau ingat manusia kadal di Bingkai Mimpi Nora, kan? Mereka punya lelucon terbaik."

"Yeah. Mereka kejam."

Sudah lebih dari satu minggu berlalu sejak pertarungan luar biasa Namol, Shade, Anita, dan Nora di Bingkai Mimpi Planet Sephira. Sudah selama itu pula keempat Reverier tersebut hidup satu atap di Rumah Besar.

Mereka mendapatkan kamar masing-masing—bersebelahan di lantai sembilan puluh satu—untuk menaruh Bingkai Mimpi. Mereka juga sudah cukup mengenal satu sama lain.

"Apa yang sedang kaubaca?" tanya Shade. "Masih sama?"

Namol mengangguk. Mengusap sampul bercahaya jurnal perjalanannya. "Baru saja tamat."

"Benarkah? Bagus. Jadi bagaimana?"

Haruskah Shade mengetahui apa yang kini diketahui oleh si alien? Tentang asal mula bangsa Juvas, Pengembaraan Awal, Kegagalan Pertama, Hari Perjanjian, dan Nevodia?

Namol memutuskan untuk, lebih baik, menyamarkan fakta menggunakan perumpamaan dan majas-majas payahnya saja.

"Di dalam jurnal perjalanan ini terlalu banyak nama memusingkan," ia memulai. "Jadi, sepertinya, aku menghabiskan masa kecilku mengunjungi beragam semesta. Mencatat semua yang berkaitan dengan mereka. Budaya dan semacamnya."

"Masa kecil yang menyenangkan," kata Shade. "Menurutku begitu. Soal kerumitan segala hal tentang mereka ... kenapa dibikin pusing? Tentu saja akan banyak nama dan budaya. Kau mengharapkan apa? Pastinya kunjungan semesta tidak sama seperti mampir ke pekarangan rumah orang?"

Shade dan Namol seketika melihat ke bawah. Di pertengahan malam halaman Rumah Besar masih tetap ramai oleh tarian suku abstrak, perkelahian manusia burung, pelatihan kesatria, balap kereta, roda raksasa yang berputar agung, dan keunikan bodoh lainnya. "Pekarangan rumah ini adalah pengecualian besar," Shade menambahkan.

"Ya. Mungkin ... aku hanya lelah."

"Beristirahatlah, pengelana."

Namol memijat pelipis menggunakan telunjuk dan ibu jari. "Lalu ... menurutmu sejauh apa kesalahan masa kecil bisa memengaruhi masa depan? Menurutku, masa kecil adalah awal. Dan, awal, tentu saja bukan tempat untuk mengakhiri segalanya, kan? Jadi ... lupakan yang sudah berlalu. Karena itu hanya proses pembelajaran."

"Di Planet Sephira 'waktu' memberiku banyak pelajaran. Anehnya, aku tidak ingat sedikit pun soal detail," kenang Shade. "Menarik, huh ... sesuatu yang disebut 'masa' itu? Aku setuju dengan pemikiranmu. Jika ada perbedaan, mungkin itu hanya sedikit menambahkan. Dan pastinya ini bukan pemikiran empiris. Kadang, masa kecil memiliki fungsi lain dari sekadar pembelajaran. Kadang, cukup dengan menerima saja ... segala sesuatu bisa membaik. Bahkan lebih baik. Jadi, yeah, kenapa tidak? Kadang awal adalah akhir."

Keduanya lalu terdiam. Menikmati pemandangan. Seekor monster bersayap terbang melintasi wilayah Rumah Besar, diikuti oleh relik-relik yang bernyanyi. Di spasi kecil antara labirin jalan raya dan air mancur terbalik, Namol juga bisa melihat Negeri Exiastgardsun dalam bentuk anomali terbaru—siluet permaisuri kolosal.

"Apa Mrs. Zaitsev sudah kembali berkunjung?" tanya Namol.

"Belum. Kuharap, iya, dalam waktu dekat ini." Shade menelan ludah. Ekspresinya menjadi lucu. "Aku kangen sekali sama dia."

Namol tertawa lalu mengolok-olok. Ia sudah beberapa kali mengunjungi Bingkai Mimpi Shade dan mengobrol dengan Mrs. Zaitsev. Wanita yang sangat cantik, menyenangkan, dan pintar.

"Keadaan di kenyataan sana pasti sedang tidak baik," kata Namol.

Shade mengangguk muram.

"Dan kurasa ... keadaan kita di sini juga tidak lebih baik dari itu."

Keduanya kembali terdiam. Setelah beberapa saat, Shade pamit beristirahat lebih dulu. Namol menyusul tak lama kemudian. Alien itu turun ke dapur yang berantakan, mengambil sekotak susu dari kulkas dan pil tidur di laci kesehatan, baru melayang masuk kamar.



P
agi-pagi sekali di Bingkai Mimpi Shade. Padang Es Skursk. Dewi Konservator—Mirabelle—berdiri di depan pintu barak yang baru saja dibuka laki-laki tampan bertelanjang dada, berkeringat, dan bernapas pendek-pendek ....

"Oh. Masuklah, Dewi," kata Shade, bergeser ke samping. "Badai bulan ini biasanya awet."

"Jangan khawatir." Mirabelle meluruskan tombak Giruvedan di depan tubuhnya.

"Anda yakin? Hawa dingin seperti ini bahkan sanggup membekukan sang dewi. Masuklah, demi kesehatan."

"Saran mendidik dari seseorang yang baru saja memaksakan melakukan rutinitas berolahraga luar ruangan."

Shade tersenyum. "Anda memperhatikan? Baiklah, tapi saya sendiri bukan seorang dewi. Jadi—"

Mirabelle maju selangkah. "Apa maksudmu?"

"Maksud saya, ada cokelat panas dan roti hangat di dalam. Silakan."

"Baiklah ... hanya karena kau memaksa."

Shade mengenakan sweter hitamnya, menarik kursi untuk sang Dewi, menambahkan kayu pada perapian, lalu duduk di tepi tempat tidur.

"Jadi," katanya, "ada apa?"

Mirabelle mengelap busa cokelat di atas bibir, berterima kasih, mengambil sesuatu dari balik gaun, lalu memberikannya pada Shade.

"Itu adalah salinan berkas milik Sang Kurator. Tentang rahasia Museum Semesta."

Berkas itu bergemeresik di genggaman Shade. Dunia luar yang putih dan dingin berembus mengetuk jendela. Kehangatan jingga dari nyala api bermain-main ke setengah wajah muram sang Dewi.

"Turnamen ini menjelang akhirnya ... dan aku sama sekali tidak tahu apa-apa." Mirabelle menghabiskan sisa cokelat panas dalam satu tenggakan. "Simpan, Shade. Berkas itu mungkin memiliki petunjuk penting."

"Kenapa memilih saya, Dewi?"

Sang Dewi berdiri. Mengambil Giruvedan yang disandarkan di samping perapian, berjalan membuka pintu. Badai es melolong ganas, menyusup ke dalam barak. "Karena semua memilihmu," ujarnya. "Tapi tenanglah, kau tidak sendirian. Peserta terakhir satunya juga akan kuberikan beban yang sama."



K
etukan itu menjadi gedoran pada hitungan keenam. Namol terjatuh beberapa kali ketika berjalan sempoyongan dari tempat tidur ke depan pintu. Ia mengerang. Siapa pun yang berdiri di baliknya harus memiliki alasan masuk akal datang sepagi ini ....

"K-kau ...?" Si Alien mengucek mata. "S-silakan masuk. Ada apa ...?"

Mirabelle menggelang tegas.

"Ayolah ... berbicara dengan tamu di depan pintu sama sekali enggak sopan."

"Tenang." Sang Dewi meluruskan Giruvedan. "Aku takkan lama."

"Aku punya beberapa minuman bagus di dalam?"

"Hm, baiklah. Karena ini adalah paksaan yang terhormat."

Mirabelle menatap aneh pada ratusan cermin di dinding kamar Namol. Ia duduk di atas bantal, di depan jendela balkon yang memperlihatkan langit anomali pagi—abu-abu tipis dengan sentuhan kemacetan lalu lintas.

Namol menaruh sebotol Bir Bulan Galaksi Strongmere sebagai jamuan untuk sang Dewi. Sebotol lagi ia tandaskan sendiri setengahnya dalam satu tegukan.

"Kepalaku pusing. Semalam, susu yang kuminum ternyata sudah basi, dan pil tidur sialan itu ... lagi-lagi kebanyakan—"

"Untukmu," potong Mirabelle. "Salinan Berkas Sang Kurator. Berisi rahasia Museum Semesta jika kau sanggup memecahkannya."

"Oh, terima kasih."

Berkas penting itu ditaruh di tepi karpet. Keduanya lantas meminum bir masing-masing dalam diam. Setidaknya untuk tiga botol pertama. Karena masuk ke botol keempat sampai terakhir, baik sang Dewi dan Namol tidak ada yang bisa berhenti berceracau.

"Ini absurd." Mirabelle cegukan. Pipinya memerah dan fokus pandangan matanya turun. "Untuk apa semua ini ... sebenarnya? Hah?!"

Namol cengengesan tolol. "Oh, kau tahu, melemaskan saraf? Kehidupan sungguh berat ...."

"Bukan ... maksudku turnamen ini. Untuk apa sebenarnya?"

"Kau pasti mabuk. Kau, kan, penyelenggaranya. Siapa yang lebih tahu?"

"Kebebasan adalah suara yang jarang," Mirabelle meneruskan, mengabaikan si alien. "Sangat jarang ... jadi kita terpaksa mencari dan terus mencari, hingga akhirnya kita terbiasa dalam keputusasaan. Terpaksa. Kebahagiaan kosong ...."

"Setuju untuk tidak setuju," siul Namol.

Tiba-tiba, sang Dewi membungkuk memeluk helm perangnya dan menangis. Jenis tangisan yang sangat dalam, berjeda, dan menyakitkan. "Maafkan aku ... kalian semua. Maaf ...."

Angin dingin masuk melalui sela jendela. Keramaian samar di luar sana terdengar seperti gumaman tenang yang mengelabui. Namol mengusap sudut matanya sendiri. Lantas memaksakan perutnya untuk menandaskan botol kesembilan.

Mirabelle pamit tak lama setelah itu.



B
ersama Pria Misterius yang baru tiba dari suatu tempat di Alam Mimpi, Shade menekuni salinan berkas Sang Kurator pemberian Mirabelle. Naskah-naskah ditebar memenuhi meja, diberi pemberat.

Di luar barak, badai es semakin menggila. Salah satu kaca jendela pecah beberapa saat lalu. Hasil tambalan darurat, seadanya, mengizinkan beberapa keping salju beterbangan sampai ke langit-langit.

Pria Misterius cukup yakin piktogram asing yang digunakan sebagai bahasa utama pada kebanyakan naskah merupakan sandi terlarang khas semesta-semesta gelap. "Hieroglif atau Brimoire, contohnya, masih memiliki pola meski rumit. Arti utama. Sedangkan simbol-simbol dalam naskah ini bersifat bebas. Setiap kata terhubung pada kemungkinan kalimat yang ada," jelasnya.

"Jadi?" tanya Shade, merapikan bandana merahnya.

"Kita membutuhkan waktu lama untuk mengurai dan menyeleksi, atau kita hanya membutuhkan seorang omnilingual."

Laki-laki tampan berwajah polos itu langsung tersenyum. "Mrs. Zaitsev mungkin bisa."

Pria Misterius mengangguk sedikit.

"Jika saja dia ada di sini saat ini."

Dinding barak bergetar ditabrak gelombang angin dingin. Meski hari seharusnya sudah siang, tak setitik pun cahaya terang terdeteksi. Berhektare-hektare hamparan putih menyelimuti Skursk dengan bisikan dingin. Shade sedang bersandar di samping perapian—beristirahat. Menyesap kopi-susu racikan Pria Misterius dan memikirkan Mrs. Zaitsev—ketika siluet sebuah bola tampak dari jendela.

Benda besar itu mendarat dan seolah memiliki semacam medan pelindung berlapis. Karena gemuruh salju di sekitarnya berhenti bergerak hingga saling tumpuk menciptakan beberapa cincin berbentuk huruf X.

Shade, diikuti Pria Misterius, bergegas keluar barak. Menerobos badai. Siaga. Tapi belum sempat keduanya bergerak lebih dekat ke siluet bola itu, seseorang sudah lebih dulu menghampiri mereka sambil berlari.

Hal berikutnya yang diketahui Shade adalah pelukan erat Mrs. Zaitsev. Pria Misterius, bagaimanapun, tetap mengoptimalkan kesiagaan karena wanita cantik berambut kemerahan itu tidak datang sendirian.

"Bawa gurumu ke dalam," kata Pria Misterius. "Seseorang yang bersamanya ... sangat berbahaya."

Baru sekali ini Shade melihat kewaspadaan total dari laki-laki berkacamata hitam itu. "Baik. Aku akan segera menyusul."

Sementara Shade bergegas memapah Mrs. Zaitsev kembali ke barak, Pria Misterius berhadapan dengan sosok bertudung. Kulit wajahnya pucat dan penuh luka. Rambut peraknya tampak gelap di antara badai.

"Mrs. Zaitsev—" Shade menggosokkan tangannya ke pundak sang guru. Ya, Tuhan, dia nyaris membeku! Bertahanlah ....

"Aku ... baik-baik saja, Shade." Franka Zaitsev tersenyum letih. "Aku sudah terbiasa dengan suhu menggigit."

Entah sudah berapa hari Shade membayangkan senyum wanita ini. Sekarang, ketika kenyataan berada di depan matanya, ia malah merasa tidak mampu dan siap menyerah pada kesengsaraan. Kerinduan yang melemahkan.

Laki-laki tampan itu bahkan sampai terlambat menyadari keberadaan Pria Misterius yang berjalan melewati pintu terbuka bersama sesosok bertudung hitam.

"Namanya Alshain Kairos," jelas Mrs. Zaitsev buru-buru setelah melihat Shade yang bersiaga. "Dia bukan musuh."

Pintu barak pun ditutup.

Keempat orang itu duduk mengitari meja. Shade menggenggam erat-erat sebelah tangan gurunya ketika beliau menjelaskan dengan suara bergetar kondisi darurat di luar sana.

Semesta-semesta sedang bergerak. Semuanya menuju Alam Mimpi.

Mrs. Zaitsev juga memberikan rekaman rapat akbar Les Universum yang diselenggarakan di Benteng Les Unirom. Antisipasi sebuah ancaman bernama "Hari Perjanjian".

"Kau harus membangkitkan semuanya sekarang, Ars-dar-Sanaa'a," kata Kairos tiba-tiba. Pria berambut perak itu memberikan tatapan tajam mengintimidasi ke arah Shade. "Kau harus siap."

"Aku ... apa maksudmu?"

"Ini semua berjalan di luar dugaan siapa pun," Kairos melanjutkan. "Tapi keberadaanmu di sini sekarang adalah bukti bahwa kau berhasil bertahan. Battle of Realms periode keenam sudah mencapai finalnya."

"Apa yang sebenarnya sedang dia bicarakan ...?" Shade melirik Mrs. Zaitsev dan Pria Misterius, meminta bantuan. Gurunya hanya mengisyaratkan dengan gerak mata agar fokus saja mendengar semua penjelasan. Sementara si laki-laki berkacamata hitam mengangkat bahu.

"Namamu adalah Ars-dar-Sanaa'a." Kairos berdiri, sebelah tangannya terulur ke arah jendela. "Satu dari lima keping senjata pamungkas yang tercipta untuk mengalahkan SPHERE dari Planet Blu Fed."

Setengah bagian barak hancur seperti terdorong kekuatan besar tak terlihat. Badai es menyambut keterbukaan mendadak dengan amukan yang tak pernah sampai. Karena gelombang salju hanya berpusar di atas keempat orang itu. Tertahan.

Sebentuk peti dengan simbol menyerupai angka delapan dimuntahkan oleh siluet bola di kejauhan. Melesat tepat ke depan tangan Kairos yang terulur. "Bangkitlah sekarang," ujarnya. "Atau kau takkan bisa bertahan di festival kekacauan nanti."

Mrs. Zaitsev menarik ujung sweter hitam Shade sambil menunduk. "Kairos mengendarai Planet Chronos untuk menjemputku di Benteng Les Unirom. Dia ... sudah menjelaskan semua hal padaku. Shade, percayalah padanya."

"Apa yang harus kulakukan?"

"Bangkit."

"Baiklah ... tapi—"

"Aku hamil." Mrs. Zaitsev menunduk semakin dalam. "Mengandung anakmu."

Shade tidak akan pernah bisa lagi menciptakan ekspresi paling bodoh, bingung, dan berharap sehebat yang sedang ia tampilkan sekarang. Kedua matanya membulat, garis mulutnya menjadi sangat tipis. Laki-laki tampan ini juga kehilangan semua perbendaharaan kata untuk merespons.

"Perjanjian lama," gumam Mrs. Zaitsev. "Pertukaran. Proto Gaiea mendapatkan Arsenal, Chronos mendapatkan aku. Hari penjemputanku seharusnya bertepatan dengan waktu kebangkitanmu, tapi ... karena situasi saat ini ... hal itu tidak bisa ditunda.

"Dari awal, Kairos sebagai representasi Chronos, menginginkanku sebagai media penerus. Melahirkan keturunanmu. Semua proses sudah dipercepat sekarang ...."

Shade menatap tajam sekaligus nausea ke arah Kairos, Pria Misterius, lalu kembali ke Mrs. Zaitsev. Masih tak bisa mengatakan apa pun.

"Ars-dar-sanaa'a," panggil Kairos sambil mengulurkan tangannya lagi seolah hendak meraih sesuatu. Kali ini dua tongkat baton Shade yang disimpan di atas perapian. "Waktu kita tidak banyak."

Peti bersimbol di belakang pria berambut perak itu terbuka. Tiga relik asing tampak tertanam di bagian dalamnya. Menjadi empat ketika tongkat baton dimasukkan ke slot kosong yang sesuai.

Shade beringsut ke depan peti. Ke depan spasi yang pas untuknya berbaring dalam ketidaktahuan.

"Peti ini adalah cangkang yang ditempa dari esens suatu energi murni bangsa Dragneid. Mesin orisinalitas. Pencipta atau penghancur dimensi. Kau akan bangkit bersama kepingan lainnya di bawah pengaruh kekuatan ini. Menjadi sempurna sambil mengisap seluruh alternatif dirimu dalam setiap probabilitas.

"Kau akan menjadi satu-satunya, sekaligus semuanya, Ars-dar-sanaa'a. Bangkitlah."

"Hadiah dari salah satu komandan Interstellar Alliance dan temannya, ketika mereka tahu aku akan menyusulmu lebih dulu ke sini bersama Kairos," tambah Mrs. Zaitsev. "Gabe Blackwood dan Shameq—"

"Franka Zaitsev ...," bisik Shade. Mrs. Zaitsev bungkam, berdebar di sampingnya. "Apa kau benar-benar ... mengandung ... tidak. Bagaimana bisa—"

"Waktunya, Ars-dar-sanaa'a. Kita harus berhasil membunuh Namol Nihilo sebelum kehancuran total."

Seakan belum cukup, fakta mengejutkan lain terlontar begitu saja. Dan semua yang sudah diketahui tidak akan bisa ditarik. Lelucon sekalipun. "Membunuh ... Namol ...?"

"Seantero multisemesta, seantero multidimensi, akan hancur ketika mereka tiba di titik pertemuan," kata Kairos. "Perang terbesar akan menjadi akhir riwayat kita semua."

"Tapi kenapa Namol—"

"Karena dia adalah penyebab semua ini. Dan kau terlibat seutuhnya dalam kerumitan sistem Battle of Realms. Ars-dar-sanaa'a ... akan kuberikan pedang waktu Chromureanz ketika kau siap. Pembunuhan itu harus terjadi."

Shade bernapas pendek-pendek. Letih meski sedari tadi ia hanya berbicara.

"Pergilah," kata Pria Misterius. "Atau tolak dengan tegas. Tunjukkan prioritasmu, Shade."

Mrs. Zaitsev melepas ujung sweter hitam laki-laki tampan yang akan menjadi ayah dari anaknya. "Kau ditakdirkan untuk melakukan ini ...."

"Aku ...."

Maka Kairos, Pria Misterius, dan Mrs. Zaitsev berdiri bersebelahan di setengah bagian barak yang tidak hancur. Sementara Shade masuk ke dalam peti bersimbol di antara badai yang tidak mampu menyentuhnya.

Ia memilih untuk bangkit ... Ars-dar-sanaa'a ... ayah ... pembunuhan Namol ... menjadi satu ... apa pun arti semua penjelasan itu.



S
emangat Ariadne benar-benar tak bisa dibendung dengan apa pun. Sejak datang secara tiba-tiba sekitar satu minggu lalu, gadis berambut pirang yang memiliki sehelai benang merah pada jari kelingkingnya ini selalu mewanti-wanti Namol dengan banyak hal.

Baca jurnal perjalanan sampai habis, Namol!

Makan sayur dan minum susu, Namol!

Jangan bergadang, Namol!

Latih terus Nevodia yang ada dalam dirimu agar semakin sempurna, Namol!

Daftarnya terus bergulir panjang mengitari seluas wilayah Rumah Besar.

Menjelang siang ini, meski sudah bersembunyi di antara rerimbunan pohon logam milik sang ibu, Hubble Meissa, Ariadne tetap berhasil menemukannya dan bersiap memberikan titah lain.

"Semesta-semesta sudah mulai bergerak, Namol," kata si gadis berambut pirang.

"Kalau begitu suruh mereka diam."

Ariadne melilit Namol menggunakan benang merah kemudian menggantungnya dalam keadaan terbalik di salah satu dahan pohon. "Jangan bercanda! Aku serius! Akses menuju Museum Semesta pasti akan terbuka dalam waktu dekat ini. Kita harus segera menemukan Terand dan menghentikan Osqual! Keselamatan seantero multisemesta, seantero multidimensi benar-benar dipertaruhkan! Terancam!"

"To-tolong turunkan aku dulu. Atau keselamatanku juga bakal terancam ... oh, Tuhan, darah ini cepat sekali merasuk ke kepala ...."

Setelah si alien selesai diturunkan.

"Jadi, tolong jelaskan lagi siapa itu Teri dan Osu?"

"Terand dan Osqual, Namol!"

"Terserah."

"Apakah kau tidak mendengarku waktu itu?" Ariadne cemberut.

"Ng ... kau mau jawaban jujur?"

"Teranuta—Terand—adalah nama dari pemilik Museum Semesta yang sebenarnya. Osquaine—Osqual—adalah nama dari entitas yang kauketahui sebagai Sang Kehendak," jelas si gadis berambut pirang. "Mereka berdua adalah teman baikku."

Rintik bayangan dedaunan di tanah bergerak sedikit. Sementara logam-logam yang bergantung saling berbenturan menciptakan ilusi sebuah parade lonceng. Namol, tanpa ia sadari, menelan ludah lalu duduk bersila.

"Teman baik Sang Kehendak?"

Ariadne kembali cemberut. "Benar-benar tidak sopan, Namol! Padahal aku sudah cerita semua tentang Namaya!"

"Karena kau menceritakannya di sedikit waktuku untuk tidur, Aria!"

"Tidur itu aktivitas untuk mereka yang normal!"

"K-kau pikir aku ini apa ...."

"Sudahlah. Akan kuceritakan lagi nanti. Sekarang kita sedang buru-buru. Namol, kau harus belajar tampil di depan keramaian. Bagimana kalau ... berpidato di hadapan seluruh penghuni Bumi dan Regaia?"

"B-berpidato? Aria, sekarang kau yang bercanda."

Ariadne hendak menggantung Namol lagi tapi kemudian urung karena si alien mengatakan, "Buat apa pidato?!"

"Latihan, lah, Namol! Di Hari Perjanjian ... ketika semua sudah berada di titik temu, kau, kan, harus menghadapi seantero multisemesta, seantero multidimensi! Mau ngomong apa nanti?!"

"Gadis berambut pirang memang gila." Namol berdiri. Ariadne menahannya.

"Demi keselamatan semuanya, Namol ...."

"Ya, ya, ya! Kau pikir kenapa aku berdiri? Jadi mau pidato di mana? Puncak gunung? Dasar laut? Celana dalam Barlaghart?"

Ariadne tertawa. "Jangan bodoh, dong. Di atap saja. Akan kukumpulkan semuanya ketika kau siap."

Keduanya lantas memasuki Rumah Besar. Melewati ruang-ruang ramai, menyenangkan, sekaligus berantakan. Sungguh, ketenangan hanya impian di tempat aneh ini. Karena hampir semua hal yang pernah Namol temui di pertarungannya demi menciptakan mahakarya ikut terbawa pulang.

Ada Dannistraz Teffereth yang tidak jadi dipakai jasanya karena suatu alasan pengecut; ia sedang mengajar menggambar. Raja mungil dari Alam Kematian mengacak-acak dapur bersama prajurit lucu. Kesatria tertidur di kamar mandi.

Bagaimanapun, hal tersebut—meskipun diam-diam disyukuri si alien berambut oranye—tidak cocok jika disebut keuntungan. Barangkali satu-satunya keuntungan di minggu terakhir ini hanya perubahan sikap Puppis dan Heppow.

Peri bintang dan cacing raksasa itu telah mengambil keputusan untuk tetap mengabdi. Dan seingat Namol, ia tidak pernah merasa sebahagia ini saat mendengar pernyataan dari makhluk ajaib.

Akrab dengan Shade, Anita, Nora, dan Reverier lain ... berjalan di Rumah Besar yang selalu ramai ... hubungan yang membaik ... kedua orangtuanya yang mulai bertingkah seperti orangtua ... perhatian Ariadne. Semua hal indah itu terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan. Tapi begitulah keadaan hidup saat ini.

Namol merasa sudah tinggal di dalam impian terbesarnya—terlepas dari kesamaan kata yang ironis.

Tiba di atap, latihan pidato segera dimulai.

Setelah satu-dua upaya menyusun kata-kata dan mencoba mengucapkannya keras-keras, Namol minta istirahat. Ia rebah memandangi langit siang yang penuh dengan anomali.

Kebisingan menenangkan ....

Sayangnya, seolah sangat sulit untuk memaknai frasa "tidur santai", Ariadne kembali bercerocos. Kali ini soal strategi jitu menumbangkan Sang Kehendak.

"Pada dasarnya kemampuan Osqual itu adalah Nevodia awalmu, Namol," katanya. "Jadi kau bisa saja melawan Nevodia dengan Nevodia."

Namol mendesah. Sekarang, setiap kali diingatkan kesalahan masa kecilnya, sensasi aneh yang membakar sekujur tubuh selalu ia rasakan. Campuran malu dan benci.

"Aku enggak bisa, Aria."

"Trauma, Namol?"

"Bahas yang lain atau diam."

Ariadne memeluk si alien dari samping. "Kau pasti bisa ...."

Latihan pidato pun dilanjutkan. Berlangsung selama hampir setengah jam ketika akhirnya Namol menemukan kalimat yang pas.

Sesuai janji, Ariadne segera mengumpulkan seluruh penghuni Bumi dan Regaia sebagai penyimak.

Untaian benang merah tak terhitung jumlahnya meledak dari sekujur tubuh si gadis berambut pirang. Menembus kubah prisma semitransparan, menempel pada tiap kehidupan dan kematian. Menggerakkan hati mereka menggunakan satu suara ajakan, lantas memberikan rute perjalanan tepat ke halaman Rumah Besar.

Namol menelan ludah sebagai saksi terdekat atas kemampuan dewata ini. Berbondong-bondong semuanya bergerak; meski di antaranya ada yang terlihat bingung.

Tak lama, terkumpullah mereka—status anomali memungkinkan perjalanan terjauh mampu ditempuh dalam waktu sesingkatnya. Sebagian di halaman rumah, sebagian lagi di luar pagar.

Penghuni temporer Rumah Besar pun mengosongkan gedung, berdesak-desakan di barisan depan. Hanya Messier, Hubble, Puppis, Heppow, dan Holo yang ikut naik ke atap. Bersama Ariadne menyemangati Namol dari belakang.

"Ayo ... mulai."

Alien itu mendeham di tepi atap. Suaranya tersalurkan dengan jelas berkat benang merah yang masih menempel di hamparan penyimak.

Aku bisa.

"S-selamat siang—"

"PEMIMPI BODOH! AWAS!!!"

Sesosok makhluk berkepala bola mata terlempar keluar dari portal tepat di hadapan Namol. Diiringi bunyi konyol campuran mengaduh dan tulang pipi yang retak, terjadilah tabrakan. Keduanya terjungkal.

Hamparan penyimak hening selama sepersekian detik, lalu tertawa selama hampir satu menit penuh. Terhenti karena suatu kejadian lain.

Dari dalam Rumah Besar, mengalir keluar seperti aurora, isi Bingkai Mimpi Shade.

Bersamaan dengan itu, tiga sosok melompat keluar. Salah satunya si laki-laki tampan berpostur tegap; mendarat di samping Namol yang baru saja berdiri.

"Shade? Hey, Bingkai Mimpi-mu—"

Tanpa mengatakan apa pun, Shade menikam si alien menggunakan pedang asing yang indah tepat di perut.










.
.
.

.

.
.

.

.

.
.

.

.

.



Histeria


Di ujung perjalanan Sang Kurator ....

M
useum Semesta, Aula Kehendak. Sebuah patung tanah liat bertekstur kasar, dengan modelnya yang bergaya necis kelas atas, berdiri dalam posisi siap memukul. Tampak kuat, percaya diri, dan tidak berdaya.

Itu adalah Zainurma. Pose terakhirnya sebelum Sang Kehendak melepaskan kemurkaan.

Tepat di depannya, di antara sisa pecahan otak, rantai, dan serangkaian manusia, sesosok makhluk putih berdiri tegap. Ia lebih pendek dari raksasa mana pun tapi tetap akan terlalu besar dalam standar tinggi manusia normal.

Wajahnya tirus meski bentuk kepalanya sendiri seperti wajik. Sesuatu yang tampak seperti asap merah pekat tumbuh di puncaknya lalu melengkung, bercabang, terhubung pada pinggang ramping, tonjolan panjang siku, dan seruncing mata kaki. Empat garis keemasan mencoreng wajahnya dari dahi sampai dagu. Tanpa telinga. Kedua matanya berwarna hitam; lebar dan tajam, tak berkelopak. Mulutnya hanya merupakan garis tipis nyaris tersamar.

Tubuhnya memiliki kulit tanpa pori-pori. Semua jarinya panjang, tumpul. Dan Ketika makhluk ini bergerak, udara di sekelilingnya akan berubah lebih hening. Suatu pengalaman kekosongan yang membunuh.

Itu adalah Sang Kehendak yang baru saja keluar dari cangkangnya.

Mulutnya melengkung sendu saat berjalan ke samping Zainurma. "Menangislah. Nantikan keabadian setelah tidur singkat yang menyiksa. Aku adalah diriku dan semua dalam momentum berharga ini. Kita mulai pestanya, Dewi. Gandakan dia."

Ia menengadah perlahan, kemudian mengerjap hilang. 


* * *



Kembali ke proses pemisahan Bingkai Mimpi dua Reverier ....

S
etelah tertikam pedang waktu Chromureandz, Namol berubah menjadi bola hitam. Ariadne masih memeluknya erat. Sementara Shade bersama Pria Misterius dan Kairos berhasil meloloskan diri di tengah kerusuhan yang ditimbulkan guncangan besar.

Kedua kubu terpisah seutuhnya. Meski hanya untuk waktu yang singkat.

Langit milik Bingkai Mimpi Bumi-Regaia, dan Bingkai Mimpi Proto Gaiea—keduanya dibatasi oleh retakan energi—terdistorsi menjadi sebentuk tangan kolosal beserta rantai-rantai yang memekik pilu.

Fenomena itu mengisap paksa Namol dan Shade serta beberapa keberadaan dalam jarak tertentu. Membawa mereka ke suatu tempat di mana langit anomali dan langit biru muda tadinya membentang.

Museum Semesta.

Bangunan nostalgia yang kini menjulang muram di tengah-tengah Alam Mimpi. Orientasi semua sudut pandang berputar hebat. Semesta-semesta berdatangan dari segala arah seperti remah berdenyar, menempel bertumpuk-tumpuk. Menjadi hitam-padam pada benturan pertama.

Ariadne, bola hitam di pelukannya, Shade, Pria Misterius, Kairos, dan Mrs. Zaitsev ditelantarkan begitu saja oleh tangan kolosal berantai di suatu titik milik pelataran museum yang telah ditulikan keramaian acak.

Pertempuran antarbangsa pecah. Dewa-dewi, atau entitas tinggi setara; sampai Tuhan beragam kepercayaan, mengamuk dalam gulungan surealis tersebar. Mengaduk dimensi.

Semua benda langit melesat bercampur, bertabrakan, luruh tak bersisa. Pijakan menjadi warna-warna tribunal tak terdefinisikan. Jejak hitungan masing-masing kepala petarung sampai korban berserak seperti seni titik paling padat dan marah.

Di antara itu semua, Ariadne berdiri gemetar. Bola hitam di pelukannya hancur hingga memperlihatkan sesosok bayi berkulit gelap. Namol Nihilo. Shade yang berdiri tak terlalu jauh di sampingnya kembali menghunus pedang waktu, terkejut. Kairos mengulurkan tangan untuk menahan.

Sang Kehendak berdiri setenang patung di depan kedua kubu. Hawa presensinya sangat kuat dan luas—keheningan beku—sampai bisa dimanipulasi sebagai barikade. Itulah kenapa tidak ada satu pun dari seluruh kekacauan yang berani mendekat.

Permukaan masih terus bergolak sehingga menciptakan sensasi berdiri terbalik atau jatuh dari banyak arah. Dan pada satu detak kesempatan ketika dunia mengubah posisi inti gravitasinya yang menakutkan lagi, Sang Kehendak melesat menyerang.

Ekspresinya dingin, terluka, dan sedih. Ia mengayunkan tangannya yang seolah menggenggam pusaran semesta tak kasatmata ke arah bayi Namol dan kena telak. Terlalu cepat untuk antisipasi apa pun.

Percikan keemasan berlapis merah darah merambat seperti petir dari tubuh mungil itu. Keluar menjauh. Ariadne melempar sejumlah benang dan mengikat semuanya. Lalu ia bergerak ke samping—Sang Kehendak mengejar tenang mematikan—menerobos barikade hawa presensi. Berhasil menghilang di antara kekacauan.

Kehilangan mangsa pertama, Sang Kehendak memutar tubuhnya perlahan ke arah rombongan Shade.



S
hade meledakkan arus plasma dengan panas setara gabungan konstelasi bintang muda dari telapak tangannya. Kairos menarik berbagai macam energi sekitar untuk mengontrol, mengekang, semua jenis pergerakan dalam radius tertentu. Pria Misterius menembakkan senapan otomatis tanpa jeda.

Semua difokuskan pada sosok Sang Kehendak.

Makhluk putih itu menghindar dengan anggun. Belum tergores atau kehabisan napas selama bombardir terus berlangsung. Bahkan di zona gravitasi artifisial terberat yang dibentuk Shade hanya untuknya, pelesatan peluru Pria Misterius dan serangan-serangan kritikal Kairos tetap tidak bisa melukai apa pun.

Seolah, Sang Kehendak memiliki zona waktunya sendiri dan melihat segala hal dalam kondisi lampau. Termasuk kemampuan prediksi terbaik Kairos.

"Sudah cukup." Makhluk putih itu menghilang dari kepungan tiga serangan yang akhirnya saling bertabrakan. "Giliranku."

Pria Misterius terjebak dalam sulur menyengat di sekitar keberadaannya, ke mana pun ia menghindar. Kairos dikurung dalam semacam gelembung transparan, berkilatan. Shade dihantam berulang-ulang menggunakan tangan kosong tak kasatmata. Kemudian, selayaknya anak kecil yang bosan, ketiga orang itu dibenturkan satu sama lain. Diangkat bersamaan, dibanting satu-satu.

Mrs. Zaitsev memekik tertahan. Bersimpuh. Dalam satu detak jantung, Sang Kehendak sudah berdiri di belakangnya. Mengusap kepalanya yang menggigil. Tak berani menoleh.

"JANGAN SENTUH DIA!" Shade membentak. Wajahnya berdarah deras. Beberapa tulangnya patah. Ia bangkit dan berlari ke arah Sang Kehendak. Tapi harus terempas sebelum sempat melayangkan serangan. Laki-laki itu terus mengulang sampai beberapa kali.

Kairos dan Pria Misterius bergerak membantu. Semuanya tetap percuma.

Setelah beberapa percobaan menyedihkan dan siksaan yang pedih, ketiga petarung tumbang tak bangkit lagi. Berada di ambang batas kesadaran.

"Ada penawaran," kata suara tipis, dingin, tak beremosi milik Sang Kehendak. "Kejarlah Reverier yang kabur itu—Namol Nihilo—dan bunuh. Karena seperti yang kalian lihat, seranganku tadi meleset. Divinia. Pembagi eksistensi. Dia tidak akan mati selama pecahannya bisa dikembalikan."

"Bicara yang jelas ... keparat," Shade mengumpat pelan. "Dan jauhi Mrs. Zaitsev. Kecuali mengancam seorang wanita memang keahlianmu."

Sang Kehendak melakukannya. Ia berpindah ke belakang Shade. Berjongkok memperhatikan wajah babak belur itu. "Shade ...," katanya. "Shade-ih. Sedih. Aku akan mengaplikasikan Divinia juga padamu. Memecahmu dalam potongan yang sama. Lalu, kaukejar semua pecahan Namol dan bunuh. Bisa ... dimengerti?"

Shade tersenyum mengejek. "Aku mengetahui semua rahasiamu, pemalas."

"Rahasia diciptakan untuk itu, Shade ...."

"Hari Perjanjian ... Nevodia! Apa yang sebenarnya kauinginkan, heh ...? Bukankah jika Namol terbunuh, sumber kekuatanmu hilang?!"

Sang Kehendak tertawa terbahak-bahak. Melengking menegakkan bulu roma.

"Nevodia milikku dan Nevodia miliknya merupakan satu hal yang dulu sama tapi kini berbeda. Mungkin. Jadi ... bukankah itu menarik? Karena kau tidak bisa mengalahkanku, Shade, kuberikan padamu kesempatan lain. Jalan alternatif."

Shade memperhatikan mata hitam Sang Kehendak. Darahnya seolah membeku. Tidak ada apa pun yang terpantul di sana.

"Kenapa tidak membunuhku sekarang ...?"

"Karena aku ... tidak tertarik. Memohonlah, mungkin keputusanku berubah. Atau terima penawaran itu. Terpecahlah. Kejar pecahan Namol Nihilo. Bunuh."

Ini merupakan situasi tak terduga. Menakutkan sekaligus melegakan. Kenapa Sang Kehendak melakukan penawaran? Kenapa tidak menghabisi semua di sini?

Setelah selesai menjalani proses penyatuan, Shade segera diberitahu secara detail isi catatan masa lalu soal "Hari Perjanjian" dari Mrs. Zaitsev dan Kairos. Lengkap dengan spekulasi-spekulasi.

Namol Nihilo merupakan nama alien kecil yang pernah mengumpulkan hampir semua semesta hanya untuk meminta maaf. Kesalahan fatalnya adalah menciptakan Nevodia. Kekuatan penghancur seantero multisemesta, seantero multidimensi.

Kelak, alien kecil itu akan kembali mempersatukan semesta. Mempertanggungjawabkan kesalahannya. Entah menggunakan kehancuran atau perbaikan. Begitulah inti dari catatan Hari Perjanjian.

Kesimpulan spekulasi yang terkumpul adalah ... entah bagaimana caranya, Nevodia Namol Nihilo diadopsi oleh Sang Kehendak. Sebuah pemikiran berujung kenyataan. Karena Shade berhasil memastikan hal itu beberapa saat lalu.

"Aku menerima tawaranmu ...."

Sang Kehendak mengangguk datar. "Bagus."

Shade bangkit susah payah. Melirik Pria Misterius dan Kairos yang masih terkapar, lalu ke arah Mrs. Zaitsev. Jantungnya seketika berdenyut perih.

Sosok wanita yang sedang ketakutan itu akan menjadi ibu dari anaknya.

"Divinia."

Sebentuk senyum penyemangat diberikan oleh Shade pada Mrs. Zaitsev dan seorang anak laki-laki sehat yang berdiri dalam imajinasi, di samping ibunya. Mereka tertawa.

Shade berteriak menahan sensasi tercabik ketika akhirnya kemampuan Sang Kehendak bereaksi. Memecah eksistensinya menjadi beberapa bagian utuh.

Misi utamanya memaparkan dua pemikiran hitam-putih. Untuk menyelesaikan semua ini, Namol Nihilo atau Sang Kehendak harus mati.

Ars-dar-sanaa'a telah memilih jalannya.



* * *



I
sak bayi Namol memecah keheningan gersang suatu wilayah Museum Semesta serupa campuran padang pasir, hutan, pesisir, dan bagian dalam gua kristal. Waaa ... waaah ... uwaaah ... siyalaaan ...!

Masih dalam dekapan Ariadne, bayi kecil itu lantas bertransformasi melalui proses alamiah yang dipercepat. Menjadi balita.

Temukan aku ... kupinjamkan impianku ... selamatkan ..., atau hancurkanlah semesta ini ....

Balita Namol memperhatikan sekitar.

Wahai, dua Reverier terakhir ....

Namaku Terand ....

Mencari sumber suara asing itu. Tidak ketemu. Maka ia ganti targetnya. Apa pun yang mampu digunakan sebagai media pengangkut. Kali ini ketemu. Sambil berjalan dengan tingkat keseimbangan mengkhawatirkan, balita Namol menarik batang suatu pohon berdaun jingga sampai mendekati Ariadne.

Gadis berambut pirang itu belum sadarkan diri. Wajahnya kian memucat dan benang merah di kelingkingnya menguarkan uap keunguan.

Meski bertubuh balita, Namol masih memiliki mental bangsa Juvas remaja-dewasa. Hal buruk selalu menimpa siapa pun yang memilih stagnan di tempat asing. Jadi ia menggeser Ariadne ke atas dedaunan, lalu menarik batangnya dari depan. Terus bergerak menyeret melintasi pasir panas, rerumputan tajam, dan kristal-kristal pipih.

Temukan aku ... kupinjamkan impianku ... selamatkan ..., atau hancurkanlah semesta ini ....

Wahai, dua Reverier terakhir ....

Namaku Terand ....

Temukan aku ...

"Berisik!!! Enggak mau beli! Jualan apa, sih?!" Balita Namol akhirnya menimpali suara misterius di udara dengan umpatan-umpatan.

Keributan itu segera membangunkan Ariadne.

"Kau telanjang, bocah nakal," gumamnya. "Syukurlah pedang waktu Chromureanz itu tidak mengurangi usiamu sampai nol. Penggunanya pasti ragu-ragu. Tunggulah sebentar lagi ... semua pasti kembali normal."

Balita Namol menoleh, tersenyum senang. Ia berhenti menyeret batang pohon. "Sudah sadar, ya? Bisa jalan sendiri, Aria?"

"Kurasa belum bisa, Namol."

Batang pohon pun kembali membelah pasir. Kaki gempal si balita menjejak dalam-dalam. Kadang, pada beberapa langkah tertentu, usianya akan kembali bertambah.

"Maaf, ya?"

Meski ingin protes, saat ini Ariadne tampak sangat lemah. "Enggak apa-apa. Cepat sembuh, ya?"

"Tentu, Namol." Gadis berambut pirang itu tersenyum. Pandangannya menerawang menembus langit hijau tanpa batas. "Tenagaku habis ... tapi setidaknya aku berhasil menghidupkan mereka. Semesta-semesta yang mati ketika menyatu dengan Alam Mimpi."

"Bisa?"

"Bisa. Aku memutus ikatan mereka dengan Osqual. Sang Kehendak."

Namol tujuh tahun mengangguk meski masih belum paham bagaimana sebenarnya kemampuan Ariadne bekerja. Beberapa langkah kemudian, ia menemukan kerangka tanpa tengkorak di antara tanaman berbentuk terompet bertangan.

Jasad sial ribuan tahun yang mengenakan pakaian compang-camping.

Perjalanan dilanjutkan. Butiran pasir berderai di bagian perbukitan. Namol sudah berusia sepuluh tahun sekarang dan mengenakan baju bolong-bolong kebesaran.

Ariadne mengerjap. Meminta maaf lagi. Kali ini karena—seiring dengan hidupnya semesta-semesta—keadaan pasti akan semakin kacau. Terlebih bagi mereka yang mengetahui tentang "Hari Perjanjian" dan menginginkan agar Namol Nihilo mati.

"Kayaknya enggak apa-apa buat sekarang," kata si alien berusia sebelas tahun. "Tempat ini aman. Seperti neraka pribadi."

"Setibanya di museum, aku langsung melakukan pemindaian menyeluruh. Ini memang salah satu rute paling sepi menuju Aula Sang Kehendak."

"Oh—hey! Kenapa kita malah ke sana?"

"Kau lupa dengan tujuan kita, Namol? Kita harus menghentikan Osqual dan menemukan Terand ... aku merasa mereka akan ada di sana ...."

Ariadne terbatuk parah tapi kemudian memaksakan sebentuk senyum. Namol cukup kenal dengannya. Gadis berambut pirang itu tidak suka dikasihani. Maka, untuk mengalihkan kekhawatiran, si alien bertanya, "Sang Kehendak berhasil menyerangku waktu aku masih bayi—ng, terdengar aneh, ya?"

"Ya ... itu adalah Divinia. Kemampuan untuk memecah eksistensi. Favorit Osqual. Bagian yang terpecah akan membusuk perlahan dan ketika semuanya habis, tubuh inti mati. Tapi tenanglah, aku sudah mengikat semua pecahanmu. Mau ... kusatukan sekarang, Namol?"

"Enggak. Nanti saja."

Dalam pikiran terwaras si alien, membiarkan Ariadne mengeluarkan tenaga lebih saat ini merupakan ketololan nomer satu.

"Terima kasih."

"Sama-sama, Aria."

"Hm. Aku ingat sesuatu." Ariadne memejamkan matanya. "Aku berutang padamu untuk bercerita ulang tentang Namaya."

"Ingat juga untuk istirahat sekali-sekali. Enggak menyakitkan, kok."

"Bisa kumulai, Namol? Namaya adalah bangsaku, Terand, dan Osqual ketika kita bertiga masih tinggal di Oulversa."

Namol berhenti tiba-tiba. Batang pohon di genggamannya jatuh menghamburkan pasir dan potongan rumput.

"Oulversa ...?"

Ariadne mengangguk. Tersenyum dan menangis.










.

.
.

.

.

.

.

.
.
.
.

.

.
.

.

.

.

.
.

.



Namaya


Kisah tentang kejatuhan dan kebangkitan ....

E
lirbevi (Eliar) adalah nama Ariadne ketika ia masih hidup di Oulversa sebagai bangsa Namaya, penjaga suci. Teranuta (Terand) adalah nama pemilik Museum Semesta yang sesungguhnya. Osquaine (Osqual) adalah nama Sang Kehendak.

Sama seperti bangsa penjaga lainnya, tugas Namaya adalah memasang pagar. Jika lalai sekali saja, Sha-Mayael akan menghukum mereka dengan cara membinasakan mereka seketika. Dan di tempat yang tidak pernah ada ini pun lahir anak-anak atau sebuah awal dengan sifat khas masing-masing berkat suatu observasi atau genetika.

Osqual tidak menyukai sistem Oulversa sejak ia bisa mengingatnya. Tapi, seperti halnya Namaya yang lain, Osqual hanya bisa menurut. Kesalahan individu berakibat punahnya satu bangsa.

Osqual tumbuh, sayangnya, dengan nasib sial yang beruntun. Waktu kecil Osqual pernah nyaris lupa memasang pagar terakhir ketika tiba gilirannya. Ia terburu-buru karena ingin secepatnya pulang lalu bermain dengan Eliar dan Terand. Pagar berhasil dilengkapi pada akhirnya. Tapi budaya keras Namaya (perfeksionis) memaksa keteledoran itu menjadi sangsi yang berkepanjangan.

Karena Osqual masih terlalu kecil untuk menerima hukuman, maka hukuman jatuh pada salah satu orang tuanya. Sang ayah yang berkorban. Ia dihukum mati dan semoga itu menjadi pelajaran berharga bagi Osqual. Tak lama setelah kematian sang ayah, sang ibu menyusul dikarenakan depresi. Osqual yang sudah berjanji pada sang ayah untuk menjaga ibunya, benar-benar hancur kala itu. Eliar dan Terand bersabar di sampingnya, menghiburnya.

Waktu berlalu, Osqual tumbuh besar menjadi pribadi yang berhati-hati dan pintar. Ia memiliki daya tarik dan pemikiran yang luar biasa hebat dalam pengembangan budaya Namaya dari yang terkecil sampai yang ekstrem.

Osqual banyak memiliki pengikut dan penggemar. Meski, sesungguhnya Osqual merupakan pribadi pengecut yang akan lari pertama kali ketika ada bahaya apa pun.

Ia memiliki ideologi hebat dan pengikut yang siap hidup dengan ideologi tersebut tapi ia sendiri tidak menggunakan ideologi tersebut.

Lalu Osqual memiliki pasangan bernama Klubiastra (Klubi) yang selalu gagal memberinya keturunan. Meski begitu, Osqual sangat menyayanginya. Sampai akhirnya tiba hari itu. Hari di mana Klubi dikabarkan akan segera melahirkan anak (Namaya memiliki proses bereproduksi sendiri). Dan itu tepat di hari ketika Osqual bertugas memasang pagar.

Ia pulang di hari itu, bahagia, tanpa menyadari satu pagar terakhir belum terpasang. Bangsa Namaya dihancurkan dalam sekejap oleh para Sha-Mayael.

Saat itu Osqual sedang di depan ruang persalinan dan hendak melamar Klubi (karena pasangan yang berhasil menghasilkan keturunan baru boleh menikah) dan menamai anak mereka, ketika Sha-Mayael menyerang. Namaya hilang saat itu juga.

Meski, ajaibnya, tersisa tiga sosok yang melayang-layang di angkasa luar. Yaitu Osqual, Eliar, dan Terand. Mereka selamat karena saat itu ketiganya sedang berdekatan dan Osqual masih mengantungi pagar terakhir. Tapi sekarang mereka kehilangan segalanya dan tidak lagi ada di Oulversa, atau bisa kembali ke sana.



K
arena mukjizat lain, dua dari tiga bangsa penjaga itu dianugerahi kemampuan lazim milik Oulversa.

Eliar mampu melihat berbagai ikatan dan memanipulasinya sepuas hati. Terand mampu menciptakan dan menghancurkan apa pun. Hanya Osqual, pemegang pagar terakhir, yang tidak mendapatkan bakat.

Tapi itu nyaris tidak dijadikan beban pikirannya karena kebenciannya pada Oulversa dan para Sha-Mayael saat itu melebihi apa pun. Osqual mengurung diri selama beberapa eon.

Ia baru bicara ketika akhirnya menyadari nilai kehadirannya di luar Oulversa. Osqual sadar ia tidak lagi terikat dengan apa pun yang berhubungan dengan ketentuan Sha-Mayael. Ia membenci karena ia yang menciptakan benci itu sendiri, dan semacamnya.

Maka, menggunakan daya tarik dan pemikiran briliannya, Osqual mengajak kedua teman baiknya untuk menjadi penguasa atas segalanya (seantero multisemesta, seantero multidimensi).

Kedua temannya, termakan visi luar biasa dari Osqual dan dendam lama dan segala ketidaksukaan yang dikobarkan dengan sempurna, menciptakan kelompok kecil dari entitas mahakuasa yang nantinya bernama Tiga Entitas Maya.

Semua berjalan lancar. Mereka bermain-main menjadi Tuhan di atas Tuhan seantero multisemesta, seantero multidimensi, semata demi memperolok para Sha-Mayael yang tidak bisa menyentuh mereka dari Oulversa sana (atau begitulah pikir mereka bertiga saat itu).



S
ampai tiba hari itu. Jatuhnya hadiah terbesar untuk Osqual langsung dari Oulversa. Yaitu Nevodia Namol Nihilo.

Nevodia turun dalam bentuk janin transendental yang mampu melenyapkan sebuah semesta atau beberapa tergabung sekaligus dalam satu pergerakan paling kecil.

Osqual mengadopsi kekuatan itu. Pada saat ini, baik Eliar maupun Terand sebenarnya sudah menemukan kedamaian mereka; melanjutkan hidup baru, beradaptasi.

Eliar hidup di pinggiran peta seantero multisemesta, seantero multidimensi, sebagai pemantau sekaligus penyeimbang. Terand hidup di sentral seantero multisemesta, seantero multidimensi, yaitu di Alam Mimpi, sebagai pemilik sebuah tempat yang mengabadikan semua ciptaan dan kehancuran terindah yaitu Museum Semesta.

Osqual sendiri memiliki rencana baru setelah mendapatkan Nevodia. Yaitu penghancuran segalanya demi mencapai gerbang Oulversa dan akhirnya masuk kemudian membalas dendam secara langsung pada Sha-Mayael.

Rencana itu segera ditentang oleh Eliar dan Terand. Bagi Osqual, keduanya sudah terlalu mencintai tempat ini.

Maka, dibutakan oleh ambisi, Osqual menciptakan rencana untuk melenyapkan keduanya setelah ia berhasil merebut bakat mereka.

Ia gagal mendapatkan bakat Eliar karena di saat terakhir Eliar lebih dulu bunuh diri dan melepaskan bakatnya tanpa pernah bisa terlacak oleh Osqual (nantinya inti eksistensi dan bakat Eliar akan tersangkut oleh bintang jatuh Eophi Rasaya. Menjadi permintaan seorang wanita-manusia yang sekarat dan tengah mengandung anak perempuan (Ariadne).

Sedangkan Terand berhasil diperdaya meski bakatnya tidak terambil dan di sini juga Osqual baru menyadari kalau bakat teman-temannya memang tidak bisa dipindahkan dan ia juga tidak bisa membunuh mereka (Eliar tewas karena bunuh diri).

Osqual menyekap Terand di suatu tempat terdalam di Museum Semesta. Dipertahankan hidup dalam keadaan terkekang sepenuhnya sementara Osqual memanfaatkan atau memanipulasi, bukan mencuri, kekuatan Terand untuk mengatur Museum Semesta.

Di sinilah lahir Sang Kehendak.

Karena Nevodia memerlukan waktu untuk benar-benar dewasa (cukup kuat untuk melenyapkan seantero multisemesta, seantero multidimensi sekaligus; karena kalau tidak sekaligus maka semuanya percuma dan yang hancur akan kembali pulih), maka Osqual mengurung dirinya di dalam cangkang karya seni, atau lebih tepatnya Leluhur Kembar Dragneid yang memiliki kekuatan untuk menjadikan sebuah ciptaan benar-benar hanya satu tanpa alternatif atau sebaliknya; menjadikan sebuah ciptaan menjadi tak terhingga probabilitasnya.

Osqual menggunakan cangkang ini untuk meredam kemampuan Nevodia agar tidak meluap-luap membuang energi demi menghancurkan apa yang nantinya bisa pulih lagi (di sini bukan berarti Nevodia memiliki limit, tapi tubuh Osqual lah yang memiliki limit. Meski jika terpaksa ia akan membebaskan Nevodia dan hancurlah semuanya termasuk dirinya).

Sambil mengerami Nevodia, Osqual juga tetap memanipulasi kemampuan Terand untuk mencuri momen-momen paling berkesan dari semua yang ada. Hal ini juga berguna untuk mengetahui kondisi di luar cangkang otak.

Dari sini Osqual mendengar tentang Battle of Realms (saat ini ia sudah memiliki Zainurma dan Mirabelle) dan setuju pada gagasan Sang Kurator untuk menggelar salah satu festival terbesar tersebut di sini.



* * *



N
amol sudah kembali ke usia normalnya. Ia terpaku dalam posisi bersila ketika Ariadne selesai bercerita. Menurut jurnal perjalanan, Oulversa adalah rumahnya, dan Sha-Mayael adalah keluarganya—terutama Sha-Viendei. Bisa mendengar lagi tentang mereka dari sudut pandang lain merupakan suatu kesenangan tersendiri.

Sensasi kerinduan akan hal-hal tak terjangkau, lebih jauh dari menyesakkan, sangat mengesalkan, mendera perasaan si alien seketika. Persis seperti berdiri ketakutan membelakangi tempat favorit yang berubah gelap, atau mengambang sendirian di tengah laut berkadar garam tinggi sambil tersenyum. Menantikan kedatangan kapal hantu.

"Apa kau pernah menyesal?" tanya Namol. "Selamat?"

"Beberapa kali." Ariadne menggosok hidungnya. Kedua matanya memerah. "Tapi ada hal yang lebih hebat dari itu dalam urusan penyesalan. Kenyataan ... bahwa sampai akhir aku tidak pernah memahami apa pun tentang semua tindakan di masa lalu."

"Osqual penjahatnya. Sang Kehendak. Bukan kau."

"Karena dia ingin melenyapkan seantero multisemesta, seantero multidimensi, berdasarkan alasan yang salah? Ya ... aku setuju dia antagonis di bagian itu. Tapi, Namol, bagaimana dengan sisanya? Saat ketika, setelah dilahirkan, Osqual hanya ingin terus hidup?

"Sebagai satu dari dua keberadaan yang mampu mendekatinya dan menciptakan pemahaman, hal itulah yang terus menghantuiku ...."

Namol membiarkan Ariadne terisak sampai puas. Diam dengan sendirinya.

"Apa kau menangis juga ketika pertama kali menceritakan tentang Namaya?"

"Sebanyak sekarang." Gadis berambut pirang itu mengusap wajahnya menggunakan punggung tangan. Tertawa pelan.

Dengar ini, Aria. Aku pasti akan berusaha menghentikan Sang Kehendak, pikir si alien. Demi membebaskanmu dari beban memusingkan ini.

Batang pohon lanjut bergerak. Bagian berpasir pada tempat gersang mulai terasa jarang, digantikan pemandangan genangan-genangan air keruh yang bergetar.

"Kalau aku sampai gugur di sini karena Sang Kehendak muncul tiba-tiba, tolong tenggelamkan jasadku."

"Tidak akan terjadi," kata Ariadne. "Aku belum cerita yang satu ini. Dengarkan baik-baik, Namol. Sebelum hilang, Terand pernah berhasil melacak keberadaanku yang belum memiliki wujud. Dia mengirimiku pesan berisi ramalan sampai rencana perlawanan. Dan itu berpusat pada kata Reverier."

"Ada apa dengan titel itu?"

"Terand memanifestasikan segenap kekuatan ke dalamnya, Namol. Para penyandang nama Reverier terakhir yang diprediksikan berhadapan dengan Osqual akan mendapatkan keistimewaan.

"Mereka tidak bisa dikalahkan oleh apa pun, kecuali impian terdalam mereka dilukai. Atau sesama Reverier terakhir memutuskan untuk saling serang."

Namol berhenti di depan salah satu genangan air. Menarik napas.

"Keren."

"Terand memang selalu berpikir jauh ke depan." Ariadne menyeringai. "Sementara Osqual selalu mencari pemilik orisinal dari Nevodia. Apalagi setelah insiden besar dikumpulkannya semesta-semesta oleh sesosok alien kecil, dan beredarnya catatan Hari Perjanjian. Sebelum mengikuti turnamen ini, kau beruntung bisa menghindari pencarian. Sekarang, bagaimanapun, dia pasti sudah tahu.

"Itu pun percuma, sih. Terlambat. Bayangkan, pemilik orisinal Nevodia yang paling dia cari malah mengikuti Battle of Realms yang dia selenggarakan. Dan kini terlindung oleh status Reverier terakhir! Sempurna, kan?"

"Ya. Kau tahu?" Si alien kembali menarik batang pohon. "Aku ingin sekali mencium tangan sosok bernama Terand ini."

"Tanganku tidak, Namol?"

"Tentu saja tidak. Um ... enggak di tangan."










.

.
.
.

.
.

.

.

.
.

.
.

.

.

.
.
.

.



Battle of Realms


Bisnis di gerbang utama Museum Semesta ....

S
ang Kehendak yang sedang berjalan santai di tengah kekacauan diadang oleh sesosok laki-laki berambut panjang yang memimpin barisan prajurit manusia berseragam hitam.

"Saya merasa sangat terhormat akhirnya bisa bertemu langsung dengan Anda, Sang Kehendak. Maafkan segala jenis kelancangan ini." Laki-laki berambut panjang membungkuk dalam-dalam. "Saya sudah menyaksikan demonstrasi kekuatan dari penguasa sebenarnya ... saya tertarik untuk membagikan pengalaman tersebut secara lebih menyeluruh.

"Nama saya Annunnaki. Ketua Planet Blu Fed. Jenderal seluruh pasukan SPHERE. Izinkan saya menciptakan beberapa kloning terhadap keberadaan Yang Mulia."

Sang Kehendak mematung memperhatikan punggung Annunnaki tanpa ekspresi. Tapi sepersekian detik kemudian tiba-tiba saja ia bergerak. Melayangkan tinju normal yang segera direspons oleh sepasukan berseragam hitam. Ratusan senjata perak diarahkan ke makhluk putih.

"Jangan melakukan apa pun!" kata Annunnaki.

"Kau ... mengutarakan keinginanmu dengan cukup langsung, Annunnaki," kata Sang Kehendak. Sebelah tangannya mengangkat dagu ketua Blu Fed tersebut sampai akhirnya mereka berdua sama-sama berdiri tegak. "Menciptakan kloningku?"

"Maafkan saya jika itu merupakan suatu kesalahan. Saya hanya tidak ingin mengulur apa pun di tengah waktu kita yang berharga dan sangat menyenangkan ini." Annunnaki merogoh sesuatu dari balik jas hijaunya. Sebuah detakan hidup berupa berlian tercantik dengan pantulan dua belas warna. "Inti Semesta Les Universum. Saya peroleh dari Interstellar Alliance, penjaga utama mereka, beberapa saat lalu melalui tragedi pengkhianatan termanis.

"Dengan ini dan empat inti semesta lain yang sedang saya proses ... saya akan menciptakan kloning Yang Mulia jika memang diizinkan."

Sang Kehendak tertawa.

"Kuizinkan," ujarnya, seraya berhenti tertawa dalam tempo yang terlampau mendadak. "Sebagai gantinya ... bantu aku membunuh dua Reverier bernama Shade dan Namol Nihilo, Annunnaki ... kita saling mengerti di sini?"

"Sangat jelas sekali, Yang Mulia Sang Kehendak." 


* * *



Pertempuran acak dari masing-masing pecahan dua Reverier ....

W
ilayah utara Museum Semesta, ruang operasi legendaris Pharanuum. Namol dan Shade berkejaran di antara peperangan tak terkendali dari campuran beberapa semesta sekaligus.

Serangan berdatangan dari segala penjuru. Sihir-sihir menghilang, terlempar acak mengikuti tekstur dimensi yang berlapis-lapis. Kontestan perang tak terhitung jumlahnya, dengan perlengkapan mereka, jatuh bergemuruh dari berbagai sudut tanpa meninggalkan cedera sama sekali.

Seperti labirin yang terus diacak rutenya dan setiap pengunjung di sana berlarian sambil menghantam apa saja.

Wahana antariksa menembakkan arus cahaya ke sebuah planet. Entitas kolosal keluar dari kepulauan debu. Namol menunggangi monster berkaki dua—seperti hibrida burung unta dan serigala—melesat bagai seorang maniak paranoia di atas hamparan rongsokan kosmis. Shade terbang membayangi; menyerang tanpa jeda dengan taraf kemarahan sang Karma.

"LAWAN AKU!" bentak laki-laki itu.

"Jangan dengarkan dia," kata Namol pada tunggangannya. "Kecepatan penuh! Berhenti hanya ketika kita mati!"

Si alien terjun ke peleburan berdarah milik makhluk-makhluk berlengan sabit yang sedang mencincang sekelompok ras berkulit cemerlang. Monster berkaki duanya tewas tertikam di sini. Mengumpat lalu meminta maaf, ia berlari secepat mungkin ke tepi pijakan dan melompat. Mendarat di atas kepala ular berzirah merah.

Shade memotong ular itu menggunakan pedang energi. Meledak. Namol terempas ke atas tapi mendapatkan sensasi mendarat dan medan tempur pun seolah berputar seperti biasa ketika ia berdiri. Menyesuaikan.

Terengah-engah, terluka, dan letih memikirkan satu cara aman keluar dari putaran badai kekacauan ini, si alien mengangkat salah satu senjata berat bekas di tumpukan jasad pasukan berwajah cermin.

Hilang akal, Namol berteriak lepas sambil menekan seluruh pemicu di tubuh senjata. Mengarahkannya pada Shade yang meluncur mendekat. Sebuah lubang hitam kecil meletup dari ujung laras bersama rambatan magnetis pemusnah.

Shade terlambat bermanuver. Sebelah kakinya memanjang seperti mi ketika terisap. Namol tertawa penuh kemenangan tapi di detik selanjutnya berteriak panik karena tangan raksasa, bersisik keemasan, membobol pijakan.

Alien itu terpontang-panting sampai mendarat dengan kasar di tengah peperangan lain. Di atas rerumputan yang tadinya hijau berserat sebelum memerah lengket. Hutan besar di sekeliling terbakar bersama bangunan-bangunan panjang berdekorasi sayap-sayap serangga serupa capung.

Pasukan ganas, berkaki satu, mengayunkan pedang besarnya ke arah Namol. Meleset. Memanfaatkan licinnya rerumputan, si alien meluncur merayap. Meraih batu sampai belati retak yang terserak. Menggunakan itu untuk menghantam titik tumpu sang penyerang.

Namol bangkit. Berlari menuju hutan melewati perut buncit kadal raksasa. Shade mendarat tepat di hadapannya. Langsung melesat lagi seperti pantulan bola karet. Memburu alien yang kehabisan tempat mengelak mau pun akal untuk bersiasat.

Ia ingat pelukan Ariadne ... serangan telak Sang Kehendak di pelataran Museum Semesta ... dirinya terpecah menjadi beberapa bagian ... salah satunya, dirinya, terdampar ke wilayah ini.

Lalu Shade datang. Laki-laki itu menyuarakan kejujuran ketika mengutarakan niat kedatangannya. Yaitu membunuh pecahan Namol Nihilo yang ada di sini.

Perut buncit kadal raksasa meledak akibat udara menyayat yang diproduksi kedua tangan Shade. Dalam satu gerakan menggaruk, di antara jeroan dan darah biru, laki-laki itu memenggal bersih kepala si alien.



W
ilayah barat Museum Semesta, ruang abstraksi ortodoks Nurgenjussam Abraith. Pecahan Namol dan Shade yang lain saling serang di hadapan: tumpukan arang dari hasil pembakaran jemaat Abirnus, fenomena saling gesek antara laju suatu konstelasi bintang asing dengan badan semesta pribumi, peperangan campur membentang saujana mata selayaknya rumah jagal paling sukses.

"Kau menjadi sangat hebat sekali! Tidak adil!" kata Namol di dalam zirah suci salah satu pasukan beragama oposisi.

"Keluar dari sana! Bertarung yang benar!" Shade sekali lagi melepaskan tinju ledakan bintang.

Zirah suci si alien terpelanting ke dalam formasi jet. Membentur menciptakan ledakan berantai. Serpihan-serpihannya meluncur jatuh ke samping melintasi potongan warna langit di bawah atmosfer dan angkasa luar berlatarkan makhluk besar yang meraup sekumpulan transportasi perang.

Namol, terluka parah, terdorong embusan angin dan tercebur ke lautan emas yang tak tenang. Dilingkupi badai sampai seolah tiap gelombang bergeser secara vertikal satu-satu.

Makhluk-makhluk licin nan mengerikan melompati tiang-tiang utama kapal perang besar; memperlihatkan bagian bawah perutnya yang diperjelas kilatan tanpa jeda di wilayah langit hitam bergelembung.

Tiga planet hangus menahan klimaks ledakannya sampai menyentuh percikan air pertama. Lautan naik menyentuh langit akibat kerusakan yang ditimbulkan. Namol, bersamaan dengan itu, sedang ditelan manusia laut berpunggung pedang. Ia selamat dari radiasi dan elemen kehancuran lain.

Terjun bebas seperti pecahan daging, sisa bagian tubuh, dan objek-objek rusak yang hanya ditelan tanpa dikunyah. Sambil melayang-layang kehilangan orientasi, alien itu melihat Shade di antara kelompok awan paling besar.

Meraih potongan metal bersisi tajam, Namol mengarahkan terjun bebasnya ke belakang laki-laki itu. Petir terdekat dan galaksi yang berderak di cakrawala; ketika disobek oleh mulut entitas transenden, berhasil menyerap seluruh perhatian target pada momentum menentukan.

Alien itu menikam puncak kepala Shade. Menembus tengkorak. Kematian yang cepat dan tak disadari.



W
ilayah selatan Museum Semesta, suaka alam vegetasi purba Adelieph. Satu lagi tentang pecahan Namol dan Shade. Dua Reverier terakhir yang sedang terbaring di atas patahan kelopak bunga kanibal. Mengambang sangat pelan setelah terjebak persimpangan arus dimensi.

"Namaku adalah Ars-dar-sanaa'a," kata Shade. Setengah wajahnya sudah remuk. "Aku menjalani proses penyatuan menggunakan cangkang Dragneid. Semua kekuatan di dalam tubuhku saat ini, berasal dari diriku yang lain."

"Pantas saja." Namol mengangguk. Sisi kanan tubuhnya nyaris habis tercabik.

"Saat ini semua hal semacam itu sedang berkumpul di sini. Mungkin seorang prajurit akan tersesat cukup jauh lalu bertempur melawan dirinya sendiri di realitas alternatif."

"Apa kau akan terus menyerangku?" tanya si alien.

"Eksistensi kita terpecah. Mungkin bagian diriku yang lain sedang menghajarmu habis-habisan."

Namol tertawa lalu meringis menahan sakit.

"Hal yang sama bisa terjadi sebaliknya."

"Kau benar."

"Kita akan mati begitu kelopak bunga ini keluar dari persimpangan dimensi."

"Masih ada penyesalan?"

"Kurasa enggak ada, Ars-dar-sanaa'a. Lagipula kita bukan sesuatu yang inti."

"Aku ada. Dengar, ini mungkin tidak masuk akal. Tapi ... apakah seorang wanita bisa hamil, mengandung anak kita, meskipun dia tidak kita sentuh sama sekali?"

Namol terkejut karena Shade menampilkan ekspresi serius atas pertanyaan radikal tersebut.

"Aku akan menjadi ayah, Namol," laki-laki itu melanjutkan. Tersenyum bahagia sekali. "Menjadi suami dari istri yang akan selalu ku-Tuhan-kan. Oke, itu terlalu ekstrem."

"Selamat. Kau memang benar-benar manusia. Menurut referensiku yang terbatas, setidaknya."

"Yeah. Mengejutkan, huh? Ternyata aku ini manusia."

"Mungkin kita semua memang manusia dalam satu penilaian tertentu."

"Entahlah. Percakapan yang bagus."

Namol memejamkan matanya. "Setuju."

Patahan kelopak bunga melenting keluar dari jebakan dimensi. Seketika bertabrakan dengan berbagai kekacauan dalam kecepatan serupa. Ia jatuh bertebaran ke atas peperangan dan terinjak oleh kekerasan yang berdarah.



W
ilayah timur Museum Semesta, ruang pamer The Kingdom of Zodiac Ou. Pecahan Namol dan Shade hampir melupakan aktivitas baku hantam atau kejar-kejaran yang harus mereka prioritaskan.

Mereka sibuk mengevakuasi penduduk berbagai bangsa yang terjebak di mana-mana.

Di ruangan ini juga—sedang berjibaku dengan kesibukan masing-masing—tersebar delapan puluh sembilan Reverier mengagumkan.

Jane Cho makan ayam di kursi Raja Leo bersama Jalu Bin Jabrik. Pucung bertempur mati-matian melawan Dullahan raksasa dari Planet Harbingseaj, dibantu kemudian oleh Weiss Nacht dan Aliya Kalinda. Axel Elbaniac meledakkan pulau kecil Demamakh ketika sedang bertempur melawan Mureel Tefania, kemudian mereka dikepung pasukan Murdok.

Dwi Paramadiwa tak sadarkan diri bersebelahan dengan Kaspeer di genggaman nenek sihir raksasa. Moki-moki, Serilda Artemia, dan Begalodon berjuang mati-matian di tengah peperangan dua bangsa Overmerry dan Padrette.

Kaminari Hazuki berkorban melindungi Martha A. Dorapunzel dari hujan meteor.

Sheraga Asher memegang kepala Jenderal Vreenochtis Aburan dari Planet Hitam Eretor, hujan sihir segera diarahkan padanya. Zauber Magi menghalau sebagian sihir terdekat.

Arisato Shirogane terluka parah di hadapan naga berkepala tiga. Eve Angeline terkulai di dekapan Castor Flannel yang mengumpat di antara hujan badai. Maia Maharani membantu penduduk yang terjebak dengan putus asa bersama Tal Becker dan Samara Yesta.

Alpacapone tidur siang santai di atas menara Aiba, sementara monster-monster buas Grimoarkh mengendap di bawahnya.

FA tertembak tepat di kaki oleh peluru liar ketika hendak membuka sebuah pintu. Zephyr tenggelam dalam inti matahari beku. Adolf Castle terkubur di antara puing sementara Satan Raizetsu bertempur mati-matian di dekatnya melawan algojo bersayap dari bangsa Ytienne.

Song Sang Sing dan Arca disalib di antara tarian para setan Xabioc Chiq Xabiory. Adrian Vasilis masuk ke kubu bangsa asing Winevalor, bertempur dengan Bian Olson dan Eleanor Tiffany yang masuk ke pasukan bangsa Justille.

Nora menarik siapa saja yang melewati bintang gelap Cona tempatnya bersembunyi. Nano Reinfield tertikam beberapa tombak pasukan Azillom dan menahan sisanya. Irina Traumen ditelanjangi suku Uli'Neluluhu.

Ru Ashiata menertawakan sebelah tangannya yang tercabik habis. Gold Marlboro bersujud di bawah kaki Ganzo Rashura yang berdiri tersenyum, membelakangi gelombang air berisi monster-monster besar setinggi langit.

Snow Winterfield membantu seorang anak dari bangsa Piya membenahi puing rumah dan membungkus jasad keluarganya. Catherine Bloodsworth, Lucas, Christa Pradana bermain catur khusus yang mempertaruhkan nyawa, milik pemimpin utama Planet Csavnaw.

Arian Senjakala dan Firsan Hardrake saling memunggungi mengusir ribuan serangga pemakan jiwa, Qalot. Alrond bersimpuh, terengah di hadapan enam kesatria bayangan dari Planet Mikrilbargo.

Maiko Hanase, Airi Einzworth, dan Daytona Fort menarik sekuat tenaga bersama penduduk Desa Fliknia sebuah rantai penghubung seribu istana yang akan jatuh ke peradaban padat penduduk. Iris Lemma menumbangkan satu lagi dewa minor, Ansel, dari Planet Marolisyche.

Lilia dan Lilia Fiennes bertempur di atas permukaan bulan sabit hidup Galaksi Normnam.

Ysara Evergreen terbaring sambil tersenyum di atas kubangan darahnya yang menetes ke mulut-mulut makhluk kanibal kecil, Zemlin. Revand Arsend dan Alexine Elizabeth Revlynn terombang-ambing di arus ruang hampa. Onihana diarak oleh sekte Renemar.

Mahapatih Seno dan Ulrich Sorge Schmidt tertimpa Planet Dollaq Offelus yang memantul. Takase Kojou menikam Jess Hutcherson yang juga balas menikamnya, lalu mereka jatuh dari puncak pepohonan Flisurb yang menyeringai.

Harum Kartini dikubur hidup-hidup dalam zona kuantum rekaan oleh entitas pelintas Galaksi Jorkal. Nazhme Kaikhaz, Alesia Novante, Tristana Westwood, dan Ghoul berlarian dikejar gulungan parkamen suci Bintang Marjs.

William Amadeus Anderson dijadikan bahan eksperimental penciptaan ras baru oleh peneliti sinting dari kedalaman Galaksi Ro'ark. Asibikaashi bertempur hebat melawan mesin-mesin hidup milik peradaban Tritilux.

Wamenodo Huang meronta ketika digantung oleh para raksasa antariksa Galaksi Forbidd. Kiran Fizhgerald dan Uriell Croncque bertukar salam tinju sebelum jutaan anak panah menghunjam ke arah mereka.

AI melakukan program ulang pada pasukan bangsa Waltzou untuk kemudian diarahkan ke empat gunung yang membentuk pintu serta dijaga oleh raksasa Gu'o dan Olive of La Ercilla. Forol dan Cain Amakusa membeku perlahan di tengah-tengah samudra api hijau.

Mirielle Gwyth Talfryn merayakan kemenangannya dengan bersulang bersama para bayangan dari Planet Lissinrend, lalu salah satu dari bayangan itu menggigit leher Mirielle dan sisanya bergabung mengerubuti.

Merald dan Akasa Zen hangus terbakar di antara puing-puing Kota Tua Killintur.

Alice Shadouzin berciuman dengan Pangeran Rue dari Negeri Hellav. Odin dan Mia berpelukan sambil menangis di depan hamparan bayi hibrida yang tercabik mati. Uno Fibri membangunkan seorang putri monster Planet Dinea dari tidur panjangnya.

Marikh, Marietta Sullivan, dan Anita Mardiani bertempur bersama melawan sosok yang mengaku Tuhan, bernama Sakhazata.

Zia Maysa Poasea melompat di antara ranjau yang meledakkan masa lalu. Mbah Amut dipapah oleh Venessa Maria ke tempat aman jika itu ada.

Kuro Godwill bertempur dari satu pertempuran ke pertempuran lain. Alys Dymond menunggangi salah satu burung api Frelore dan berperang melawan armada angkasa luar Galaksi Aurmezehoth.

Namol tertimpa bokong prajurit asing ketika hendak menolong para lansia. Sementara Shade menciptakan ruang bawah tanah sebesar negara untuk para desersi.

Kepanikan ... mekanisme pertahanan ... bertempur adalah tindakan yang menyeluruh ..., pikir si alien. Aku enggak bakal bisa mengontrol ini semua. Tapi ini semua bisa dihentikan ....

Pengalih. Ya. Mereka pengalih. Seharusnya aku bisa menyadari hal itu lebih awal. Jangan lagi tersesat ke dalam kekacauan seantero multisemesta, seantero multidimensi. Karena sampai melampaui dungu dan menjadi politikus bengkok pun aku takkan pernah selesai ... bahkan mungkin bosan ... mengobservasinya ....

Namol memastikan keselamatan penduduk terakhir yang ia papah menjauh dari kekacauan padat. Lalu ia berlari sendirian tanpa memedulikan apa pun. Bertahan hidup.

Ada hal-hal yang harus dilakukan secepatnya untuk menyelamatkan semuanya!

Lagipula ... mereka semua sepertinya ada di sini.

Reverier-Reverier malang itu.

Kuserahkan, dalam semua arti, ruangan ini pada mereka.

Di suatu sudut yang tak terlihat. Berbaur bersama benturan senjata atau ledakan sihir. Mata-mata Blu Fed melapor pada Annunnaki bahwa Namol Nihilo menunjukkan tanda-tanda mencari rute keluar dari ruangan.

Tak lama setelah itu, satu per satu Reverier yang ada kembali berubah menjadi patung-patung. Meski tidak melihat semuanya, Namol—juga Shade—sangat mengenal metode penyiksaan ini.

Meski tak sekeras suara lain di sekitarnya, patung-patung itu terpecah sampai berkeping-keping. Namol dan Shade lengah. Pembunuh dari Blu Fed menyusup dengan mudah ke sudut mati mereka. Menyelesaikan tugas dalam satu serangan telak.



S
ementara itu, di Aula Kehendak. Makhluk putih tertawa terbahak-bahak sampai air matanya mengalir. Ia menuding patung Zainurma dan hancurlah benda tersebut. Tersebar di bawah langit koyak, di depan amfiteater patah, di antara rumput dan pohon-pohon kering.

"Aku kehilangan kendali atas semua mahakarya di Museum Semesta ... ketika makhluk naif yang baru saja kuhancurkan menghancurkan Katalog Semesta." Sang Kehendak bersila. Mengambang. Menghilang. Berada di sudut lain dengan pose lain. "Tapi aku adalah ... tempat ini. Semuanya. Mengagumkan, bukan begitu, Annunnaki?"

Laki-laki berambut panjang—ketua Blu Fed—membungkuk anggun penuh hormat. "Sangat mengagumkan. Tidak bisa kurang dari itu."

"Tapi ... lalu ... kenapa aku merasa cemas?"

"Maaf, Yang Mulia Sang Kehendak?"

"Cemas, Annunnaki. Satu dari komponen perasaan yang membuatku sempurna."

"Apa yang Anda cemaskan?"

"Keberhasilanmu mengurus Namol Nihilo dan Shade."

Keberadaan lain pasti sudah membunuh dirinya sendiri saat ini, jika ia mendapatkan tatapan pemburu Sang Kehendak seperti yang Annunnaki rasakan. Ketua Blu Fed itu, bagaimanapun, tersenyum.

"Semua persiapan sudah selesai, Yang Mulia Sang Kehendak. Lima klon Anda akan kami lepas ke tengah kekacauan."

"Oh ... berita baik."

Annunnaki memainkan proyeksi lima makhluk putih yang sedang berdiri tenang membelakangi triliunan prajurit kloning, dan triliunan lain milik prajurit dari sekutu Blu Fed.

Mereka semua bergerak dalam satu perintah. Membunuh Namol Nihilo dan Shade. 


D
i wilayah gersang Museum Semesta, tempat sepi dimana Namol sedang menyeret batang pohon dengan Ariadne terbaring di atasnya.

Alien berambut oranye itu berhenti sejenak untuk menarik napas. Sekujur tubuhnya baru saja kembali dilanda sensasi asing. Hal ini terjadi setiap pecahan dirinya mengalami sesuatu.

Ariadne bangkit, berjalan mendekat. "Aku mampu melakukannya, Namol. Jangan khawatir. Akan kutarik semua pecahanmu yang tersisa sekarang."

"Belum," kata alien itu.

"Kutarik sekarang!"

"Cerewet!"

Ariadne mendesah lemas lalu terjatuh. Namol menyangga kepalanya.

"Kan? Lihat kondisimu! Bikin repot saja."

"Maaf ...."

Namol merebahkan lagi Ariadne di antara dedaunan. Melanjutkan perjalanan.

"Ini bukan hanya karenamu saja," si  alien buka suara. "Kurasa ... di berbagai tempat sana, pecahanku sedang melakukan banyak hal bermanfaat. Aku tidak tahu apa tapi semangatnya tersampaikan dengan cukup baik."

"Semoga salah satu dari mereka berpidato," gumam Ariadne.

"Ya. Semoga enggak. Serius, Aria, kurasa bukan itu cara terbaik untuk menyelesaikan masalah 'Hari Perjanjian' ini."

"Siapa pun bisa salah."

"Terserah ... ng, ngomong-ngomong, apa kau tahu keadaan yang lain? Ayah, Ibu, Puppis, Heppow, Holo ... semua? Termasuk ... Shade dan kelompoknya ...?"

"Ya. Tapi kurang jelas. Benang-benangku masih lemah. Jangan khawatir, Namol. Semua baik. Atau ... hampir semua. Kelompok Shade sedang ... wow ... mereka juga sama seperti kita. Menempuh rute teraman menuju Aula Kehendak. Pasti ada navigator handal di sana."

Namol mengangguk. Ia sebenarnya ingin sekali bertanya apa maksud dari kata "hampir semua" yang Ariadne gunakan tadi. Tapi urung karena ini adalah kekacauan besar. Semua bisa terjadi. semua harus bisa diterima.



M
endekati pusat Museum Semesta. Koridor-koridor penyamun. Oneiros memimpin rombongan pendukung Namol menuju Aula Kehendak.

"Yang tadi itu Namol, kan?!" kata Heppow si cacing raksasa berkaus kaki.

"Dan si penikam," tambah Puppis, peri bintang mungil berambut jabrik. "Shade."

Messier memapah Hubble di sentral formasi. Tempat paling aman bagi mereka yang terluka. "Ada yang aneh dari gerak-geriknya. Anak itu tadi terlalu terburu-buru."

Hubble tersenyum. "Pusat Solar-ku, mungkin Namy sedang mengejar cintanya. Atau menciptakan bangsa Juvas yang baru?"

"Semoga memang dia yang mengejar. Bukan dikejar. Oh, masalah ... ya, sebagai pendiri bangsa kita, dia cukup kreatif. Aku jadi khawatir."

"Kau sungguh manis ketika merisaukan sesuatu, Akhir Zaman-ku."

Rombongan ini baru saja melihat pecahan Namol yang sedang berlari menghindari kejaran pecahan Shade.

Oneiros mengangkat tongkat penangkap mimpi sebagai isyarat bahaya. Rombongan berhenti bergerak seketika, bersiaga. Sudah beberapa kali mereka terjebak dalam kekacauan. Perang besar. Sebagian gugur dengan sangat heroik.

"Ada yang mendekat," kata si kepala bola mata. "Jahit mulut kalian!"

Mereka bersembunyi ke antara bayangan undakan kosong. Langkah-langkah berat berderap di atas karpet hitam yang menipis. Dinding-dinding retak-berlubang menggemakan sebagian. Siapa pun itu, ia semakin mendekat. Dan dari segala arah.

"Bersemangatlah," geram Oneiros. Memelototi rombongan. "Jika kalian ingin membantu pemimpi bodoh itu. Kita akan sampai sebentar lagi. Aku yakin dia juga sedang menuju ke sana. Karena dia juga memang ada di sana. Oh, mereka datang!"

Salah satu undakan yang menyembunyikan puluhan petarung terhebat dari suku Illuvres dari Lubang Hitam Regaia, hancur berkeping-keping. Musuh misterius telah membuka serangan pertama.

Rombongan Namol berseru lantang. Keluar dari tiap bayangan untuk melawan pasukan yang tak terhitung jumlahnya. Dan di atas itu semua ... berhadapan dengan satu dari lima kloning Sang Kehendak.

"Cicipi 'Kantung Tidur'-ku ini, albino sombong!!!" Oneiros maju menerjang. "DEMI SI PEMIMPI BODOH!"



S
ebagian besar kekacauan berubah menjadi pembantaian sepihak. Kloning Sang Kehendak bersama triliunan—dan terus bertambah—pasukan pembunuh yang mereka pimpin segera menjadi mata badai.

Seluruh wilayah Museum Semesta dan Alam Mimpi menjerit. Kekuatan dari tiruan si makhluk putih tidak hanya gemilang dalam sisi destruktif, tapi juga persuasi. Sudah banyak entitas luhur berbagai semesta yang menyatakan ketertarikan dengan cara bergabung. Pola itu terus berekspansi secara masif.

Sang Kehendak meledakkan planet-planet ... melempari bintang ... melenyapkan satu galaksi dengan satu sobekan besar pada Dark Energy ... berdiri tanpa ekspresi di atas samudra jasad berbagai ras.

Di koridor penyamun beberapa blok jauhnya dari Aula Kehendak, rombongan kecil baru saja dibinasakan. Potongan tubuh cacing raksasa tercecer di atas undakan. Setitik noda hitam yang takkan dihiraukan siapa pun, di suatu sudut berdarah, sebenarnya merupakan bekas pembakaran peri bintang kecil.

Rombongan pemberani ini terus menyerukan kalimat yang sama hingga keberadaan terakhir tumbang tak bernyawa. "DEMI SI PEMIMPI BODOH!"

Misi utama menghabisi pecahan Namol Nihilo dan Shade pun seketika menjadi suatu hal yang mudah. Satu per satu ditemukan. Dibunuh di tempat.

Melesat menuju pelataran museum—pada dimensi yang menampakkan prairi, hujan, mayat-mayat tertikam, dan pegunungan yang terapung—Sang Kehendak berjalan tenang ke arah sesosok laki-laki berjambul kribo.

Di sini ... kau dan aku ... terbiasa bersama~

Menjalani kasih sayang~

Di sini ... surga kita~

Bila kita mencintai yang lain~

Mungkinkah hati ini akan tegar~

Sebisa mungkin ... tak akan pernah ... sayangku akan hilang~

My heart~

"Bura, kenali rasa malu sedikit. Setel lagu cengeng jangan keras-keras, BURRRAWWWOOORRR!" Boneka beruang berkacamata hitam mengokang senapan laras panjang ke samping kepala si Kribo.

Sang Kehendak berhenti berjalan tepat di hadapan keduanya. Menyaksikan. Triliunan pasukan campuran menunggu agak jauh di belakang, menanti komando.

"Kang bubur berisik amat, seh!" bentak si Kribo pada boneka beruang. "Disimak, lah, pake biji mata kalo gue eni lagi pake headset, helllooo!"

Headset yang dikenakan si Kribo ternyata tidak tercolok dengan benar.

"Hoh, makasih neh, Tuan Narator. Jadi kaga enak."

"Jangan ganggu narator kita, burrra! Dia belum tidur!"

Sang Kehendak mengulurkan sebelah tangannya ke arah kedua makhluk berisik itu. Kemudian ditepis. Oleh seorang pemuda tampan berambut hitam, berpenampilan rapi sekaligus fresh.

"Kau terlalu mencurigakan, Om," kata pemuda itu pada si makhluk putih. "Biarkan mereka berdua berkelahi. Mereka lucu."

"Definisikan 'lucu'," timpal sebuah suara baru. Makhluk pendek yang mengenakan jubah kedodoran dan topi sulap panjang. Duduk tepat di samping mata kaki tajam Sang Kehendak. "Aku pernah dengar satu di antaranya bisa dijadikan kudapan. Siapa lagi yang lapar?"

"Wah! Ada yang ulang tahun hari ini? Selamat! Jadi di mana santapannya, Teman?" Pemuda sipit berambut hijau menepuk jahil pantat si makhluk putih.

Detik itu juga, ledakan amarah menggelegar. Dalam satu ledakan energi, Sang Kehendak berhasil meniadakan dimensi tersebut. Tapi tidak dengan beberapa isinya.

"Ngajak ribut woy bangsat?!" si Kribo merobek kemejanya sendiri.

"BURRRAA!!! Kacamata hitamku!!! Oh, ternyata tidak apa-apa, bura." Boneka beruang tertawa.

"Kasar," kata si pemuda berambut hitam.

"Setuju," sahut  si makhluk pendek berjubah.

Pemuda sipit berambut hijau mengacungkan tinjunya ke depan. "Ini tidak bisa didiamkan, sepertinya."

Triliunan pasukan Sang Kehendak menyerbu dari segala arah. Mengerikan seperti kematian. Kelima keberadaan itu bergerak membalas. Dan beberapa saat setelahnya ... tidak ada yang berdiri selain mereka.

Bahkan Sang Kehendak tumbang tak bergerak.

Pemandangan mengejutkan itu mengundang tanya para penyimak. Sementara mereka berbodong-bondong menghampiri, beberapa di antaranya ternyata mengenali sosok-sosok tersebut.

Air mata dan tawa kerinduan mengisi sewilayah kecil dimensi di pelataran museum ini.

"Tuhan-ku Fatanir!"

"Leluhur Ursario!"

"Itu Mahesa! Hey, Nak!"

"Mliit! Dia tambah tinggi!"

"Roger? Roger?! Tidak mungkin!"

Mereka berlima adalah petarung dari Battle of Realms terdahulu. Dan itu belum semuanya. Lebih banyak lagi bermunculan. Di tempat-tempat terpisah. Seperti bintang memenuhi kegelapan malam yang paling cerah.

Kehadiran misterius dari para petarung legendaris ini memutarbalikkan situasi peperangan yang sempat dimonopoli oleh kubu kloning Sang Kehendak dan pasukannya.

Kekacauan perang tetap berlangsung. Karena seantero multisemesta dan seantero multidimensi seolah tidak memiliki batas. Tapi lima makhluk putih tiruan beserta sebagian besar pasukannya sudah dikalahkan. Menciptakan atmosfer pahit di Aula Kehendak ketika seluruh laporan tersampaikan.

Sang Kehendak inti tertawa terbahak-bahak. Sementara Annunnaki dan tambahan beberapa penguasa dari semesta lain seolah kehilangan kemampuan bersopan santun licin mereka.

Tragedi tersebut lantas ditutup dengan dua pukulan tak terduga, telak ke wajah Sang Kehendak. Tinju masing-masing dari Namol dan Shade inti.

Mereka termaterialisasi di kedua sisi menggunakan metode berpindah tempat yang berbeda. Tapi, ajaibnya, tiba dalam momentum yang sama.










.

.

.

.
.
.
.

.
.

.
.
.

.

.
.

.

.



The Last of Us


Pertemuan dan pertempuran di Aula Kehedak ....

N
amol keluar melalui ujung benang merah, sementara Shade melalui portal dimensi. Keduanya memijak di tempat tujuan ini bersamaan. Diikuti pandangan-pandangan sisa kebencian dan murni terkejut. Sang Kehendak yang terhantam dua tinju terjungkal dari amfiteaternya.

Rerumputan kering beterbangan singkat di sekitar punggung berasap itu. Si makhluk putih berdiri lagi secepat ia terjatuh. Memperhatikan dua Reverier terakhir dengan tatapan dingin yang memuji.

Kedatangan susulan menggebrak seluruh akses dalam puncak rahasia. Pintu utama Aula Kehendak yang megah dan keropos dijebol oleh beberapa makhluk. Dipimpin Oneiros, satu-satu dari mereka segera memanfaatkan elemen kejutan sebaik mungkin. Menyerang.

Dinding kokoh yang juga dibentengi oleh lapisan dimensi di setiap sudut meretak lalu meledak. Melempar puing-puing berdebu emas. Aliran semesta-tercampur menyusup ke dalam. Mengontaminasi wilayah suci ini. Memberikan kekacauan dan warna pada pepohonan mati atau langit-langit koyak.

Di satu sudutnya, tarian semesta dibayangi oleh pergerakan terlatih para pasukan Proto Gaiea. Mereka pun dengan senang hati segera bergabung dalam pertempuran. Membombardir semua hal terkait penampakan prajurit berseragam SPHERE, Blu Fed, seperti banteng terhadap matador yang terpojok.

Sebagai pusat kekacauan—berlangsung di kebocoran dimensi yang membawa mereka ke tengah-tengah ledakan kosmis dan lembah abu-abu—Namol, Ariadne, Shade, Kairos, dan Pria Misterius secara serempak menggempur Sang Kehendak.

Bebatuan terpecah tak karuan. Energi ledakan melecut-lecut dimanipulasi. Dimensi-dimensi lain datang menggantikan sebagai latar baru.

Kairos dan Pria Misterius terpisah dari kelompok penyerang si makhluk putih. Keduanya terhantam telak sampai keluar arus perpindahan ke bagian semesta yang lain.

Shade berikutnya. Terpisah karena suatu pertarungan yang sudah ditakdirkan. Bersama Annunnaki ia melesat menabrak perisai-perisai raksasa di atas wahana perang angkasa luar.

Tersisa hanya Namol dan Ariadne. Mati-matian saling menahan gempuran amarah Sang Kehendak yang sesunyi tidur tanpa mimpi. Makhluk putih itu tertawa terbahak-bahak sambil menangis dalam tiap pergerakannya. 


S
hade meledakkan satu lagi wahana angkasa luar menggunakan segaris pelesatan termonuklir dari kedua mata. Annunnaki bergerak seperti setan kilat dalam ruang hampa, menghindari bunga api, menghantam Ars-dar-sanaa'a tepat di wajah.

Tubuh laki-laki itu terempas menembus pecahan bulan, terseret gravitasi dimensi lain, dimuntahkan ke atas puncak pegunungan bersalju. Annunnaki mengikutinya. Memijak di lereng yang berseberangan.

Sekujur tubuh Shade kini dipenuhi tato yang mendesis. Begitu pula dengan si laki-laki berambut panjang. Terdapat kemiripan janggal antara pahlawan Proto Gaiea dan ketua Blu Fed itu.

"Kekuatan penuh Ars-dar-sanaa'a," kata Annunnaki. "Membunuh dirimu yang lain untuk menjadi satu, eh? Kita memiliki pemikiran serupa."

"Kita berbeda." Shade berdiri. Memanfaatkan persenjataan yang telah menyatu dalam tubuhnya. Dan berkat kemampuan cangkang Dragneid, semua kekuatan itu diamplifikasi dengan berbagai teknik alternatif. Kali ini ia mengeluarkan tongkat baton.

Keduanya menendang lereng gunung masing-masing, bertabrakan di udara. Annunnaki kehilangan sebelah tangannya karena sabetan baton Shade yang bersuhu inti matahari.

"Aku telah menyingkirkan diriku di kemungkinan kehidupan lainnya ...." Laki-laki berambut panjang itu terengah tapi menyeringai. Tangan kirinya tumbuh lagi dengan sempurna dalam satu letupan beruap. "Kau harus mengerti, Ars-dar-sanaa'a ... kita sudah sering melakukan ini di kehidupan yang lain. Aku lebih memahamimu daripada siapa pun. Kau tidak pernah bisa mengalahkanku."

Shade tahu akan hal itu. Ketika ia dibangkitkan bersama kepingan Arsenal yang lain di dalam peti Dragneid, semua probabilitas terpampang.

Seperti menonton berbagai acara televisi sekaligus dengan kita sebagai tokoh utamanya. Kemudian semua itu disatukan. Pengalaman yang lain akan terus hidup, berkembang, hanya di satu tubuh.

"Apa tujuanmu yang sebenarnya, Annunnaki?" tanya Shade.

"Menciptakan Blu Fed, Ars-dar-sanaa'a ... adalah visi terbesarku tentang upaya mengisi kekosongan. Memalsukan dan menguasai segalanya. Aku adalah individu yang rendah hati."

Keduanya kembali saling serang. Annunnaki melemparkan bom gravitasi. Shade terkubur sangat dalam di kaki gunung sampai menembus ke semesta yang lain. Sebuah peperangan barbar antara monster berbulu melawan koloni manusia bersenjatakan pedang.

"Proto Gaiea adalah contoh kemunafikan!"

Laki-laki berambut panjang itu terjun sambil membawa kekuatan masif sebuah planet dalam tinjunya. Shade menyambut dengan kekuatan setara. Peperangan di sekeliling terburai ke dalam cekungan yang terus tergali akibat benturan besar.

"DAN DI SITULAH LETAK KESALAHANMU!" Shade bergerak dalam kecepatan cahaya. Menabrak Annunnaki. Membawanya melintasi arus dimensi dan semesta-semesta hancur.

Terpisah. Berkejaran. Saling melukai.

Sampai akhirnya mereka tiba di titik akhir. Keduanya merasakan berat serangan yang akan dikeluarkan. Ini adalah penentu.

"Aku membayangkan semesta tanpa hipokrit." Annunnaki mengangkat sebelah tangannya. "Tapi ... kau menyadarinya, kan, Ars-dar-sanaa'a. Bahkan di situasi seperti ini ... Hari Perjanjian ... ketika kita bisa menggapai semuanya. Apakah kau pernah tersesat ke dalam tempat seperti itu?

"Aku sendirian di tengah kebesaran ini."

Shade maju seperti segaris cahaya. Cengkeraman tangannya menciptakan unsur yang sama seperti pedang waktu dan lubang hitam.

Annunnaki menurunkan sebelah tangannya dan menjatuhkan potongan galaksi.

Serangan itu bertemu dalam putih. Menjebak segalanya dalam tekanan energi.

Si laki-laki berambut panjang menyerah lebih dulu. Menyalami Shade kemudian membiarkan eksistensinya menghilang.

Kau melihat segala sesuatunya dalam skala yang terlalu besar dan berhenti pada pandangan pertama ... meski sesungguhnya kita terlahir kecil karena kita ditakdirkan berkembang ...

Kau terlalu meremehkan waktu, Annunnaki ....

Shade sendiri sudah hampir menyerah ketika uluran lembut itu menangkap lengannya. Menariknya ke atas. Keluar dari perangkap energi anomali. Kembali ke Aula Kehendak yang kacau bersama setiap kesibukan masing-masing.

Mrs. Zaitsev memeluk dirinya di antara semua itu. Di sampingnya berdiri sesosok makhluk ajaib berkepala bantal.

"Kita nyaris saja kehilangan salah satu harapan terbesar seantero multisemesta, seantero multidimensi~!" Ratu Huban menuding Shade dengan tongkat permen. "Hati adalah petunjuk jalan terbaik, ya? Franka pasti sangat mencintaimu, Pria Beruntung."

Ya, Shade tersenyum, mencium Franka Zaitsev tepat di bibir. Tentu saja ....



N
amol dan Ariadne di ambang kekalahan. Sang Kehendak terlalu kuat. Mereka sudah bertempur melalui semesta-semesta yang kini punah total akibat kerusakan kolateral. Persenjataan alien yang disediakan si gadis berambut pirang sebelum berteleportasi ke ruangan ini pun nyaris habis.

"B-baik-baik saja, Aria ...?" Namol merayap menyedihkan untuk menyentuh tangan lemah gadis di sampingnya. "Aku akan melepas semuanya sekarang."

Ariadne mengatur tarikan napasnya susah payah. "Belum, Namol. Masih ada sesuatu yang salah ...."

"Kalian ... tidak bisa mengalahkanku," Sang Kehendak menginterupsi. Berdiri di depan keduanya. "Mengecewakan."

Si alien meludah ke kaki makhluk putih itu.

"Serangan terakhirmu ... Namol Nihilo?"

"Itu hinaan populer, jenius labil ...."

Sang Kehendak menggeleng frustrasi. Kembali menangis tanpa alasan yang jelas. "Status Reverier terakhir melindungimu dan Shade. Bukan hanya dari semua seranganku ... tapi juga pemikiranku. Mengagumkan ketika aku yakin bisa membunuh kalian dengan memecah eksistensi kalian ... mengelabui organisasi pembunuh kecil ... membiarkan mereka bekerja. Gagal. Situasi ini benar-benar memuakkan."

"Yeah. Untuk itu agaknya kita sepemikiran."

Shade menghantam bagian belakang kepala si makhluk putih menggunakan tongkat baton. Membuatnya terlempar jauh ke dalam kekacauan lain. Laki-laki itu lantas mengulurkan tangan, membantu Namol berdiri.

"Seharusnya aku membunuhmu di sini sekarang juga," katanya.

"Sekali tidak cukup, kurasa?" Si alien tersenyum.

"Beberapa kali." Koreksi Shade tanpa ekspresi. "Kau tahu, aku juga memecah eksistensiku untuk mengejar pecahanmu. Aku yakin kau selalu kalah dalam duel yang tidak pernah kita saksikan itu."

"Demi Tuhan, Shade—"

"Membunuh Namol sekarang hanya akan menjadikan status seantero multisemesta, seantero multidimensi, seperti ini di sepanjang sisa umurnya!" bentak Ariadne.

"Seharusnya kau membunuh dirimu sendiri sejak lama, Namol."

Alien itu menunduk. "Ya. Maaf ...  jika aku mengetahui jalan keluar sederhana itu dari dulu—"

Tamparan dari gadis berambut pirang di sampingnya saat ini memiliki kategori sakit yang berbeda.

"Jangan dengarkan laki-laki putus asa itu, Namol! Jika kau mati sejak dulu Nevodia dalam diri Osqual memang akan menghilang. Tapi ... bagaimana denganku? Osqual akan menemukan cara lain untuk meneruskan rencananya! Dan aku—kau sudah berjanji akan membebaskanku dari beban ini! ya! Aku mendengarmu! Aku selalu mendengarmu, bodoh!

"Jadi jangan pernah menyerah."

Aula Kehendak bergetar. Pijakannya terbelah membiarkan lebih banyak aliran semesta berjejalan masuk. Sekarang, meski aliansi Blu Fed dan si makhluk putih sudah diputus, kekacauan tetap menggema dari dimensi-dimensi lain.

Sang Kehendak sendiri bangkit dan menghabisi siapa saja yang menghalangi jalannya menuju dua Reverier terakhir.

Oneiros dan Ratu Huban melompat ke depan Namol dan Shade untuk menutupi pemandangan pembantaian tersebut.

"Cukup, pemimpi bodoh! Berapa banyak lagi yang harus hilang karena keegoisanmu, hah?! Cacing jumbo dan peri kecil itu tewas demi membuka jalan keluar untuk kami di koridor! Bersama kesatria ... manusia burung ...." Makhluk berkepala bola mata itu menangis.

"Jangan cengeng, dong, Oneiros~!" Ratu Huban menepuk pundaknya.

"DIAM! Dan kau, pemimpi bodoh! Kau tidak akan pernah bisa mengalahkan Sang Kehendak sendirian! Pemilik Museum Semesta yang sebenarnya ada di ruangan ini ... dia bisa melakukan sesuatu, aku yakin. Cari dia!"

Tapi Namol mematung.

Puppis dan Heppow ... tewas?

Sisa dinding yang memisahkan Aula Kehendak dengan ruangan lain dijebol oleh suatu kekuatan baru. Siluet-siluet pendatang itu berjalan gagah di antara kabut dimensi dan warna-warna semesta campuran.

Para petarung Battle of Realms terdahulu.

Mereka semua menyerang Sang Kehendak bersama sisa rombongan Namol dan Shade.

Si alien sendiri—mengabaikan ocehan Oneiros—memungut pedang dari tangan monster besar di dekat kakinya lantas berlari menyongsong pertempuran.

Shade dan Ariadne mengikuti.

Di tengah pertempuran tercampur dan memiliki satu target yang sama itu, di antara sisa prajurit Proto Gaiea, Pria Misterius bersinggungan dengan sosok Fatanir. Galaksi memori meledak di atas kepala mereka.

Laki-laki berkacamata hitam melihat dirinya dalam bayangan seorang wanita cantik yang memanggil si Kribo dengan sebutan "Ayah".

Wanita itu bernama Neria. Ibunya. Sedangkan ayahnya bernama Morpheus. Laki-laki kekar yang selalu serius.

Mereka berkumpul dalam satu ruangan hangat. Keluarga besar dalam semesta alternatif. Ada wanita tua yang tampak tangguh sedang membalik daging asap dengan tongkat baton. Itu adalah Mima Shiki Reid. Buyutnya.

Pria Misterius sendiri tidak hadir secara fisik di sana. Hanya dalam dunia rekaan yang dipikirkan dengan penuh harap oleh Neria.

Sampai sekarang ... sesungguhnya Pria Misterius merupakan makhluk khayalan. Impian seorang Neria yang tak pernah bisa memiliki anak.

"Keluargaku," gumam laki-laki berkacamata hitam itu. "Semestaku."

Selesai mengetahui itu semua, terlepas dari keraguan apakah gambaran tadi hanya merupakan permainan kosmis yang menipu, Pria Misterius berlari ke samping Shade. Bertempur mati-matian melawan Sang Kehendak. Bahu-membahu.

Kenangan kecil itu sudah cukup baginya untuk dijadikan bukti bahwa pada akhirnya ... bahkan sosok yang tidak pernah ada ini pernah berjuang dan berpengaruh.

Pria Misterius gugur setelah melindungi Shade dari salah satu serangan si makhluk putih. Terbaring damai di samping Messier dan Hubble yang juga telah selesai memainkan perannya di dunia ini.

Kematian-kematian yang mendorong Sang Kehendak selangkah lebih dekat pada kekalahan.

Di tengah pertempuran terbesar ini, dimana berkabung hanya merupakan aktivitas menyengat dan pandangan yang mengabur selama sesaat, Namol dan Shade mengeluarkan segalanya.

Penyerangan tanpa jeda itu akhirnya berhasil menjatuhkan Sang Kehendak.

Kemenangan tak ternilai ini, bagaimanapun, lesap dalam satu kata pengantar dari si makhluk putih yang telah tumbang ....

"Maaf."

Museum Semesta bangkit dalam artian sesungguhnya. Dua Reverier terakhir—Namol dan Shade—melemas tanpa sebab yang terlihat.

Seisi bangunan kokoh itu dimuntahkan pada hamparan kekosongan. Seantero multisemesta, seantero multidimensi, meledak keluar mengisi ruang dalam pemandangan fantastis yang sudah ditulis sejak lama dalam suatu ramalan. Mengitari dengan sabar ... Museum Semesta dalam wujud entitas kolosal.

Hari Perjanjian datang.

"Dan sambutlah ... Sang Kehendak," ujar satu suara asing kasar yang meresap dalam tiap bahasa penanda Akhir suatu Awal.

Ariadne merupakan satu-satunya keberadaan yang segera memahami perubahan situasi ini. Sambil terus memeluk Namol di tengah kekosongan yang berpijar bersama putaran kemegahan seantero multisemesta, seantero multidimensi, ia mengutuk satu nama menggunakan kebencian terpekat.

"Bukankah seharusnya kita menang?" bisik Namol.

Si gadis berambut pirang tersenyum lemah. Pandangannya lalu tertuju pada si makhluk putih yang terkapar sendirian. Menengahi mereka semua dengan entitas kolosal Museum Semesta.

"Simpan benang ini, Namol," ia berbisik sambil menarik keluar benang merah yang selalu terikat di jari kelingkingnya. "Maaf."

"Tunggu. Aria—"

Terlalu lemah untuk mengejar, alien itu hanya bisa pasrah menyaksikan ketika Ariadne berlari menerjang entitas kolosal Museum Semesta. Lalu meledakkan dirinya menjadi sesuatu yang ... sama.

Gadis berambut pirang itu menjadi sesosok dewi besar yang dikelilingi benang merah tak beraturan. Ia mengamuk. Menangis putus asa.

Maaf.

Kita semua salah, Namol ....

Terand memang ada di ruangan itu selama ini ....

Osqual telah menjadikannya Sang Kehendak yang baru saja kita kalahkan ....

Aku akan berakhir ... tapi aku sungguh tidak mau berpisah ....

Namol ... kumohon ....

Jangan pernah menyerah!

Namol berteriak memanggil namanya sekali lagi. Terlambat dan sia-sia. Entitas kolosal Museum Semesta merobek keberadaan sang dewi besar itu dalam satu serangan yang seharusnya mampu melenyapkan apa saja di belakangnya.









 .
.

.
.

.

.

.

.
.

.

.

.



Nevodia


S
etelah mengetahui adanya ancaman baru—ancaman sesungguhnya—sisa petarung di luar putaran seantero multisemesta-seantero multidimensi, juga terkecuali Namol dan Shade, kembali melakukan penyerangan serempak. Tapi tidak ada satu bentuk perlawanan pun yang mampu menghentikannya.

Osquaine, Osqual. Sang Kehendak.

"Hey," kata Shade yang terbaring lemah di samping Namol. "Apa aku sudah gila ... atau ini semua memang belum berakhir?"

Mrs. Zaitsev mengusap lembut rambut laki-laki itu. Menangis tanpa suara.

"Status Reverier terakhir memberikan kita kekuatan spesial, Shade," jelas Namol sambil memandang kosong pertempuran sia-sia di hadapannya. "Status itu sudah menghilang sekarang. Karena kita ... telah membunuh sosok yang menitipkan seluruh kekuatannya pada nama itu."

Shade mengernyitkan dahinya yang memiliki simbol penuh kenangan.

"Ini memang rumit," sambung Namol. "Tapi kita ... tadinya ... adalah benteng terakhir yang menahan semuanya agar tidak hancur."

"Jelaskanlah."

Si alien mengangguk kecil.

"Eliar, Terand, dan Osqual adalah tiga keberadaan yang memiliki kuasa atas apa pun di seantero multisemesta, seantero multidimensi ini. Mereka memiliki bakat masing-masing yang tidak bisa dicuri. Mereka juga tidak bisa membunuh satu sama lain.

"Osqual paling buruk dari ketiganya. Dialah Sang Kehendak. Dialah yang seharusnya kita kalahkan. Dia sudah mengelabui kita dengan menjadikan Terand ... pemilik sebenarnya dari Museum Semesta, sebagai wajah palsu Sang Kehendak."

"Jadi ... makhluk putih yang kita kalahkan bersama-sama dengan susah payah itu ... bukan Sang Kehendak ... melainkan sumber pemberi kekuatan pada status Reverier terakhir kita?"

"Ya. Osqual menang saat kita menjatuhkan Terand."

Tak terduga, Shade malah tertawa.

"Aku sama sekali tidak menyangka akan kalah di tangan pengecut terbesar."

Namol tersenyum. "Ya. Sialan."

"Sekarang." Shade memaksakan tubuhnya untuk bangkit. Berhasil setelah dipapah Mrs. Zaitsev. "Namol, apa kau sedang memikirkan apa yang kupikirkan?"

Si alien juga sudah berdiri meski sempoyongan. "Kurasa ... ya."

Keduanya saling bertukar pandang.

"Kita bukan tipe yang menyerah sebelum bertarung."

Lalu dengan satu sentakan memaksa, Namol berlari ke depan. Terus berlari menyongsong pertarungan yang tak mungkin bisa ia menangkan. Aku masih memiliki satu kesempatan itu ....

Shade memberi kecupan singkat di dahi Mrs. Zaitsev lalu berlari menyusul tanpa mengatakan apa pun yang mungkin takkan bisa ia tepati.

Bagaimanapun, keduanya harus terjatuh setelah tersandung tangan putih yang membentang.

"Semangat kalian sangat bagus, Reverier ...."

Selama beberapa saat, baik Namol atau Shade tidak mengucapkan apa pun pada sosok itu.

Si makhluk putih.

Bangkit.

Putaran seantero multisemesta, seantero multidimensi seakan berdentum semakin keras. Kekosongan di sekitarnya mengerjap. Memantulkan kembali warna-warna harapan pada wajah-wajah yang telah berpasrah.

"Bantu aku dalam satu serangan terakhir ini," kata si makhluk putih. Terand. "Kita lenyapkan parasit itu."

Lalu ia berbalik. Melangkahkan kakinya yang penuh luka. Satu ... dua ... dan berlari. Meledak menjadi entitas kolosal setara. Wujud sejati.

KAU!!!

Suara itu merayap kasar dalam kekosongan.

Apa kabar, Osqual? Siap ... mengembalikan museumku?

Kali ini sebentuk suara dingin tak berekspresi.

KAU SEHARUSNYA MATI!!!

Jangan khawatir ... ini memang takkan berlangsung lama.

Dan bertemulah keduanya. Makhluk bercahaya, bersiap melayangkan serangan dari tangannya yang memanjang. Melawan makhluk deformatif yang diselubungi bagian-bagian Museum Semesta.

Selesaikan tugasmu ... wahai Dewi ... dan Sang Kurator ....

Meluncur ke depan dari distorsi singkat yang merobek kekosongan di spasi sempit antara Terand dan Osqual, adalah dua sosok familier. Mirabelle de l'Artemisia dan patung utuh Zainurma.

Lempar sekarang!

Mirabelle melempar partnernya ke depan.

Patung dalam pose memukul itu seketika mencair dalam satu momentum menentukan. Arsamagna Sang Kurator melaju lurus dalam bentuk serigala lapar ke arah Sang Kehendak ... dan kena telak.

Kemampuan yang mampu menghancurkan mimpi ... ambisi ... kehendak.

Osqual meraung hingga dinding berputar dari semesta-semesta meledak. Tubuh deformatif Museum Semesta runtuh debris demi debris. Tapi makhluk itu masih meronta. Terand menahannya dalam satu pelukan mengunci.

KENAPA, TERAND?! SEDIKIT LAGI ... SEDIKIT LAGI KITA BISA SAMPAI KE SANA!!!

Karena kau temanku, Osqual ... karena kau temanku.

Namol dan Shade memperhatikan proses keruntuhan itu dalam diam. Bahkan getaran yang memutarbalikkan seantero multisemesta, seantero multidimensi, serta gesekan bercahaya yang mampu menjadikan kuasar mana pun sepucat lampu rumah lama dan kosong ... berhasil dinikmati dalam alunan kedamaian ganjil.

Aku membutuhkan ... sedikit bantuan terakhir.

Si alien mengangguk mengerti. Ia maju sampai cukup dekat dengan dua entitas Maya itu. Bersebelahan dengan para petarung masa lalu, Mirabelle, dan Zainurma yang kebingungan.

Senyum Ariadne terlintas bersama segudang saran konyolnya. Namol memetik gambaran itu untuk disimpan dalam hati.

Terima kasih atas semuanya, Aria. Akan kulepaskan beban itu sekarang.

"NEVODIA!"

Rencana Ariadne untuk Namol, di atap ketika mereka bercengkerama mempermasalahkan kalimat berpidato. Menggunakan Nevodia untuk mengalahkan Nevodia.

Aku menahan seluruh kemampuan Hellind-ku selama pertempuran berlangsung untuk satu momen ini. Mengamuklah, Nevodia. Ciptakan awal yang baru untukku dan mereka semua!

Namol Nihilo dalam bentuk spirit berlari ke atas dan menghilang ke dalam wujud Sang Kehendak. Diiringi geraman menyedihkan yang berlangsung selama dentuman-dentuman selayaknya proses penciptaan suatu semesta baru ... ia pun menghilang.

Osqual, Sang Kehendak. Dan Terand.

Sahabatnya.

Ada satu alasan kenapa aku memilih Alam Mimpi sebagai peristirahatan terakhirku. Dan Osqual tidak pernah memikirkannya ketika dia merebut ini semua di hari itu.

Mimpi, Teman Alien-ku, adalah kebebasan yang takkan bisa dihancurkan oleh siapa pun. Karena dia bergerak terpisah dari semua kenyataan ... penciptaan ... dan kehancuran.

Mimpi adalah suatu hal yang membawamu ke sini saat ini.

Dengan begitu, gema suara Terand di antara kekosongan tak lagi terdengar. Tergantikan, oleh repertoar kosmis dari putaran seantero multisemesta, seantero multidimensi.

"Terand pasti disuruh latihan pidato berulang-ulang sama Aria—Eliar, dulu. Hey, Shade ... kita menang."

Shade mengangguk. Tersenyum. Mrs. Zaitsev menangis di pelukannya. Para petarung Battle of Realms terdahulu berjalan pulang ke semesta masing-masing. Mirabelle pamit. Zainurma pergi setelah mengangguk kecil.

Semua berakhir dengan semestinya.

Atau begitulah yang terjadi sebelum Shade tiba-tiba berteriak kesakitan dan meronta di permukaan kekosongan.

"Menjauh! Menjauh!" kata laki-laki itu pada Mrs. Zaitsev.

Suaranya yang parau berubah sesekali menjadi teriakan kasar pemicu traumatis. Namol mencoba menenangkannya. Mencengkeram bahunya dan terus berusaha mengenyahkan pikiran durjana.

Bahwa Sang Kehendak belum benar-benar musnah.

REVERIER ....

REVERIER!!!

Bersama teriakan batin itu, Namol dan Mrs. Zaitsev terlempar menjauh dari Shade yang berdiri sambil berusaha mencabik-cabik tubuhnya sendiri.

DIVINIA ADALAH KEMAMPUAN YANG KUKEMBANGKAN DARI NEVODIA ... NAMOL NIHILO. MENDEKAM SEPERTI PARASIT!

SHADE SUDAH BERADA DI BAWAH KENDALIKU KETIKA DIA MENERIMA KEMAMPUAN ITU ....

SEKARANG ... SETELAH AKU BISA MEMBUNUHNYA ... MARI KITA LIHAT APA YANG BISA DIA LAKUKAN SEBELUM MATI!!!

Shade meledak menjadi entitas kolosal. Persis Sang Kehendak tanpa bagian-bagian museum semesta. Makhluk setengah transparan dengan sembilan lengan bercakar.

Korban pertama dari kegilaan itu adalah Mrs. Zaitsev. Lalu mereka yang kembali turun dari putaran seantero multisemesta, seantero multidimensi.

Meski berdiri cukup dekat, entah kenapa Shade tidak menyerang Namol. Si alien pun hanya mematung memandangi itu semua.

Nevodia kecil dalam Divinia yang berada di tubuh Shade saat ini tidak memiliki kekuatan untuk melenyapkan segalanya sekaligus. Tapi kerusakan yang ditimbulkan juga tidak akan sedikit dan mungkin akan berlangsung selamanya.

Karena semua akan terus terjebak dalam putaran di antara kekosongan ini.

Namol melesat sampai ke depan wajah Sang Kehendak. Berusaha mencari tanda-tanda keberadaan Shade di dalamnya. Hasilnya nol.

Tidak ada pilihan lain selain kembali ke awal.

Melawan Nevodia dengan Nevodia.

Pertaruhan yang sulit ..., pikirnya. Karena sekarang berbeda dengan kondisi sebelumnya dimana ia menyusun Nevodia itu dari awal. Fokus. Sampai tidak menggunakan kemampuan Hellind sama sekali.

Jika ini gagal ... Nevodia akan bergerak tak terkendali ....

Sang Kehendak meraup aliran semesta yang berputar dan mengacaukannya. Nyanyian-nyanyian berhenti. Getaran dan ledakan kembali mengisi kekosongan.

Namol meneriakkan nama kemampuan terlarang itu sekali lagi. Kemampuan yang membuatnya terasing dari rumah. Kemampuan yang menciptakan momen tak berkesudahan ini.

Kemampuan yang justru menghancurkan segalanya.

Nevodia itu menjadi liar. Merasuk ke dalam tubuh Namol sendiri dan menggerakkannya dalam tarian kehancuran.

Bersama Sang Kehendak yang seolah menertawakan semua itu; bahkan ketika Nevodia menghabisinya juga, Namol Nihilo mengakhiri Hari Perjanjian dengan kehancuran total.

Garis hitam menjadikan kekosongan terlihat lebih abu-abu dan warna-warna yang sudah terkumpul berdenyar sendu. Seantero multisemesta, seantero multidimensi, lenyap dalam satu detakan yang sama.









 .

.

.

.

.
.
.
.

.

.
.

.

.
.
.

.
.
.



Ein Traum


Pada suatu ketika ....

N
amol dan Shade terbangun di perbatasan Oulversa dengan kekosongan tempat seantero multisemesta, seantero multidimensi, tadinya ada.

Pagar-pagar megah menjulang tanpa terlihat ujungnya. Di balik itu, terdapat dimensi putih yang kadang mengerjap hitam. Dan, seperti arwah, para penghuninya jarang sekali terlihat.

Kedua Reverier terakhir itu memijak di tepi suatu permukaan datar yang lebih hitam dari kegelapan di sekitarnya. Semua tampak curam dari sudut pandang mereka.

Belum sempat saling mengatakan apa pun, sesosok anak kecil berjalan menghampiri—tanpa diketahui kapan dan dari mana asalnya.

"Mimpi-mimpi yang indah," katanya. "Namaku Sha-Viendei."

Mendengar nama itu, kesedihan naik dan menggumpal di tenggorakan Namol. Matanya sangat berat oleh cairan.

"Halo, Namol," sambung Sha-Viendei. "Kau mau pulang?"

Pada saat yang bersamaan, keping-keping seperti bola lampu kecil bermunculan satu per satu di tepian curam tempat gelap itu.

Masing-masing menampakkan gambar yang bergerak dari berbagai makhluk.

"Apakah ini semua ...?" Shade mendekati salah satunya.

"Ya," kata Sha-Viendei. "Mimpi."

Dari sekian banyaknya kepingan cahaya, Shade segera menemukan satu yang ingin sekali ia lihat saat ini.

Mrs. Zaitsev.

Laki-laki itu duduk bersila sambil memegangi mimpi berharganya di kedua telapak tangan.

"Kalian tidak bisa terus berada di sini," kata Sha-Viendei tiba-tiba. "Semua mimpi ini harus memiliki tujuan yang jelas. Karena kalian merupakan dua keberadaan terakhir dari tempat itu,"—Ia menunjuk kekosongan—"Kalian bisa memutuskannya."

Shade berdiri. "Apa saja pilihan yang kami punya?"

"Sebenarnya tak terbatas. Tapi akan kuperkecil jadi dua. Pertama, kalian boleh memulangkan semua mimpi ini kembali ke sana, lalu kalian sendiri menghilang. Kedua, kalian boleh menyimpan semua mimpi ini di sini untuk menghilang bersama-sama."

"Apa maksudnya ... menghilang?"

"Terlahir kembali. Dari nol." Sha-Viendei tersenyum. "Sesuatu yang baru, tapi itu tetap kalian."

Shade dan Namol bertukar pandang. Mereka berdua memiliki jawaban yang sama. setidaknya untuk saat ini.

"Pulangkan mimpi-mimpi ke tempatnya semula."

"Silakan," kata Sha-Viendei. "Jadikan tempat itu indah seperti sedia kala."

"Kau ... tidak membantu?" bisik Namol.

"Kalian bisa sendiri."

"Bagaimana caranya?" tanya Shade.

Sha-Viendei pun menjelaskan.

Entah karena faktor keberuntungan atau apa, semua kehancuran total itu terjadi di Alam Mimpi. Meski saat ini tempatnya sendiri sudah tidak ada, tapi ia tetap pernah ada di sana, dan kekosongan sendiri terkadang memiliki suara pengingat yang takkan pernah meninggalkan kenangannya.

Semua masih bisa dikembalikan dengan cara menebar mimpi-mimpi itu kembali.

"Dengan menggunakan Nevodia Namol Nihilo." Sha-Viendei menunjuk si alien. "Pada dasarnya, kemampuan itu adalah kemampuan pemersatu. Pemahaman akan suatu identitas. Kau membuat semuanya bergerak saling mendekat dalam jarak kosong di antara satu sama lain. Itu bukan suatu kesalahan. Meski, terkadang, sesuatu yang buruk muncul tepat setelah penyatuan tersebut.

"Jadi ingat ini. Nevodia tidak pernah merusak apa pun. Jangan takut untuk menggunakannya lagi. Terlebih jika kau memang memilih untuk memulangkan mimpi-mimpi itu."

Shade menepuk bahu si alien. "Kuserahkan padamu, sir."

Namol mengangguk.

"Kalian sudah memutuskan. Itu bagus," kata Sha-Viendei. "Sebagai peringatan. Kalian memiliki kemampuan unik yang ditanamkan pada kalian ketika mengikuti Battle of Realms periode ... keenam? Ya. Oh, tentu aku tahu. Sesuatu bisa menyandang gelar turnamen terbesar itu hanya ketika berpuluh-puluh semesta terlibat di dalamnya.

"Dan kemampuan unik kalian adalah sebuah nama. Reverier. Terand mengerahkan seluruh harapan dan kekuatannya untuk membangun julukan tersebut. Kalian menjadi sesuatu yang tak terkalahkan ketika menyandangnya.

"Kelemahan kekuatan itu ada pada impian terbesar kalian. Jika impian terbesar kalian mengalami sesuatu yang buruk, kalian juga akan mendapatkan hal serupa. Sekarang ... Terand sudah tiada. Tapi ketahuilah pengaruh Reverier masih, dan akan terus, melekat pada jiwa kalian.

"Bukan berarti selamanya kalian takkan terkalahkan. Tapi selamanya memiliki kemampuan untuk mengenali impian terbesar dan bagaimana kalian harus menyikapinya. Inilah, sekaligus, konsekuensi dari pilihan kalian untuk memulangkan mimpi-mimpi itu.

"Sebagai Reverier, kalian akan terus membawa impian terbesar tersebut di dalam hati. Bahkan dalam kondisi tak menguntungkan seperti sekarang ini. Ingat, kalian ada di sini bukan sebagai mimpi. Tapi keberadaan terakhir. Utuh. Sementara yang bisa dipulangkan hanya mimpi-mimpi.

"Kesimpulannya, impian terbesar kalian tidak akan pernah bisa pulang dan harus menghilang di sini bersama kalian. Dan berbeda dengan kalian yang akan terlahir kembali dari nol, impian itu akan selamanya menghilang."

Shade merasa dirinya baru saja jatuh dari tepian hitam ini ke dalam kekosongan yang dingin dan tak berujung.

"Cara lain!" seru laki-laki itu, memaksakan tawa singkat. "Katakan cara lainnya!"

"Tentu. Kalian bisa bermain-main dengan mimpi-mimpi itu. Memperhatikan dari dekat apa-apa saja yang menemani satu eksistensi di sepanjang perjalanan jauhnya. Atau terserah. Tapi kalian harus cepat. Kehadiran kalian di sini tidak akan bertahan lama."

Namol menepuk pundak Shade yang segera bergerak menjauh.

"Harus ada cara lain!" ia membentak frustrasi. Kepingan mimpi Mrs. Zaitsev masih ada di telapak tangannya.

"Shade, aku akan menggunakan Nevodia sekarang," kata si alien.

Dalam satu gerakan cepat, Shade melompat ke depan Namol, melayangkan tinju yang berdentam di kekosongan.

"AKU TELAH KEHILANGAN BANYAK HAL!"

Menggunakan antimateri, Namol meloloskan diri dan menyusup ke samping untuk kemudian melayangkan pukulan balik.

"AKU JUGA MEMILIKINYA! SEBANYAK YANG KAU PUNYA!"

Shade jatuh bersimpuh, menunduk. Sementara Namol mengusap wajahnya yang basah ketika berjalan ke tepi pijakan. Menyiapkan Nevodia.

Garis hitam itu kembali tercipta. Kali ini, untuk menuntun mimpi-mimpi seantero multisemesta, seantero multidimensi, pulang ke rumah.

Semua akan berakhir seperti kisah klasik yang hangat di penghujung malam. Ketika mereka terbangun dari tidur panjang masing-masing dan mendapatkan sensasi menyenangkan setiap mengingat hal-hal acak yang membuat mereka hidup.

Kepingan mimpi-mimpi itu bertebaran seperti peradaban yang sangat jauh. Bercahaya di tengah kegelapan.

Shade berjalan ke tepi pijakan. Mendorong sekuat tenaga kepingan mimpi Mrs. Zaitsev agar ikut melayang bersama yang lainnya.

Tapi mimpi itu tak pernah meninggalkan telapak tangannya.

Seiring pulangnya kepingan cahaya terakhir, Shade memudar. Menghilang. Kepingan mimpi Mrs. Zaitsev tersenyum padanya sambil berusaha memaksa Shade Jr. melambaikan tangan ke ayahnya yang murung.

Namol menghampiri cahaya impiannya sendiri. Di sana terlihat kehidupan ramai yang membosankan. Yang kerap didapatkan kehidupan-kehidupan beruntung tanpa perlu bersusah payah berusaha.

Sebelum akhirnya menghilang, alien itu mengalihkan pandangannya ke tempat luas yang membentang di balik pagar megah. Sha-Viendei tersenyum padanya.

Ini adalah rumah yang dulu ia tinggalkan. (*)

6 komentar:

  1. Openingnya agak bikin pusing, tapi maklum ya perang kosmik skala ultra-gigantis. Menurut saya terlalu panjang untuk pembukaan saja tapi rupanya hal itu juga berkontribusi untuk mengantar pada peperangan yang memuaskan. Beberapa bagian saya suka(seperti si cupid yang ngobrolin Fatanir itu) walau beberapa biasa(seperti perang bintang di awalan). Fragmen Namol dan Shade yang terpecah-pecah dan bertarung itu sangat original, gk pernah baca yang semacam itu dan seru banget melihat mereka berdua saling bunuh satu sama lain di berbagai belahan multidimensi-multisemesta.

    Semua reverier dan para pendahulu BoR bahkan disebutin, uah! Sayang jadi agak tidak berkesan karena...Ya, gitu. disebutin semua. Sebenarnya asik bacanya tapi jadi panjang banget dan itupun tanpa penjelasan yang berarti lebih jauh. Jadi bacanya kaya si X lagi Y, sedangkan si A lagi B...meski sudah divariasikan narasinya, polanya tetap terbaca. Terkesan kayak dipaksakan, yang penting semua disebut, gitu.

    Akhirannya berlangsung damai, semua kembali ke masing-masing meski harus dengan pengorbanan impian kedua finalis. Nggak terduga, sih. Tapi adegan favorit masih pecahan Namol-Shade yang saling membunuh itu.

    sekian, vote akan ditentukan saat saya udah baca entri Shade.

    -Authornya Marikh(mabok lalu tersesat di museum).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya perang megakosmik, kisah dari berbagai belahan semesta, dan konsep yang benar-benar baru(fragmen Shade-Namol) dan ending yang mencakup keseluruhan OC yang ikut BoR 6 membuat saya memberikan vote pada....


      Namol Nihilo!

      Hapus
  2. Namol

    - Diksi yang kaya. Sejak awal cerita, udah banyak jenis kosakata puitis dan dramatis di entri Namol.
    - Dunia yang sangat luas. Entri Namol ini sangat ambisius karena ingin menyatukan setiap universe Battle of Realms mulai dari seri pertama sampai terakhir.
    - Battle berskala besar. Aku secara pribadi paling suka pertarungan yang penuh ledakan, spell-spell magis, senjata berat yang berdebum2, dan kehancuran besar-besaran. Battle di Namol menyediakan tema itu sehingga menjadi penyemangat baca buatku.
    - Sejarah panjang dari Battle of Realms yang berkaitan dengan cerita masa lalu Namol. Keberadaan Oulversa sebagai tempat kelahiran para dewa atau observer alam membuat entri ini ingin membuat kerangka setting khusus untuk Namol.


    - Diksi yang kaya ini mantap di awal tapi sejak pertengahan sampai akhir jadi kedodoran. Terlebih mengulang kata “seantero multisemesta, seantero multidimensi” yang menurunkan kesenangan membaca karena terlalu sering diulang.
    - Dunia yang sangat luas ini tidak disertai rincian yang khas pada setiap dunianya, hanya ada bangsa-bangsa yang disebut namanya dalam pertarungan melawan peserta-peserta setuap seri BoR, tapi apa ciri khas mereka, itu tidak tergambar. Ini sepertinya krn manaajemen waktu untuk menulis cerita sepanjang ini belum bisa dimanage maksimal.
    - Battle berskala besar ini tidak disertai taktik, perkembangan karakter, emosi, tujuan atau penyelesaian yang jelas. Biasanya di dalam adegan battle itu ada titik-titik fokus yang mau disampaikan ke pembaca karena sangat penting untuk perkembangan cerita, tapi di sini entri Namol sepertinya ingin membuat setiap battle menjadi megah, tapi agak mengabaikan build-up ketegangan, resolusi setiap karakter utama, solusi konflik, atau perspektif mereka dalam pertarungan. Sehingga kesan yang kudapat seolah2 dalam entri ini semua yang terjadi adalah pertempuran dengan ledakan2 dahsyat tapi para karakternya nggak terpengaruh oleh semua pertarungan itu.
    - Plot utama dan juga berbagai subplot dalam entri ini kurang terjalin rapi. Contohnya adalah asal keberadaan Namol yang dilahirkan sebagai dewa dari segala dewa karena Nevodia dsb dsb. Karena di Oulversa itu dewanya terlalu bamyak, sementara trio dewa Maya juga punya kemampuan bagaikan dewa, membuat segala karakter dewa ini jadi kurang khas atau kurang spesial di mataku. Sebab dan akibat di cerita Oulversa sampai BoR terselenggara juga kurang kuat alasannya. emosi dan kepentingan masing-masing karakter dalam perjalanan mereka di final ini kurang jelas karena sepertinya entri final Namol ini lebih fokus kepada banyak dunia-banyak nama karakter-banyak battle yang fancy dan ledakan galaktik, tapi kurang menerapkan logika dan alasan yg kuat dari kerangka ceritanya.



    ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷

    BalasHapus
    Balasan

    1. Shade

      Keunggulan:
      - Plotnya rapi sehingga jelas bgt urut-urutannya. Keterlibatan SPHERE di realm asal Shade, ketiga istri Layth, sampai sejarah Shade yang ternyata bukan sekedar kloning dari Layth, dan keberlangsungan konflik dari awal sampai akhir kelihatan asik dan jelas poin-poin cerita yang ingin ditonjolkan.
      - Kadar drama yang kental. Dengan battle yang nggak terlalu banyak, tulisan final Shade ini bisa lebih mengeksplorasi flashback dan visi-misi serta perasaan karakternya. Entah kenapa entri ini punya ciri khas yaitu seperti film drama serial yang dibungkus oleh komponen sains fiksi dan dunia spionase-militer. Ini ciri khas penulis yang menurutku sekarang udah terasah semakin tajam. Bahkan battle Shade vs Pria Misterius aku malah sangat suka krn nggak banyak teriakan2nya, justru lebih terkesan hening dan sendu, sebuah pertarungan yang sedih dan menyakitkan.
      - Revealing atau momen penyingkapan plot yang kuat. Sejarah Fatanir, terkumpulnya setiap komponen Ars-Dar-Sanaa’a yang nggak terlalu overpower tapi sangat taktis-strategis serta natural untuk setting dunia Shade, identitas Pria Misterius terlebih pas di dunia nyata, semuanya mengasyikkan untuk dibaca dan mengalir secara natural.
      - Fokus yang baik pada karakter Shade dan perjalanan hidupnya. Shade betul2 kerasa sebagai tokoh utama yang kita support seiring pencarian hidupnya.

      Kekurangan:
      - Battle dengan Namolnya kerasa nggak dominan di entri ini. Seolah hanya selewat sekedar untuk supaya Namol muncul aja. Dan battle dengan Namolnya juga nggak menjadi adegan klimaks, padahal ini kan semestinya pertarungan final antara dua peserta.
      - Karakter Shade kurasa kurang dieksplorasi ciri-ciri khasnya secara sifat, entah kenapa. Malah struggle internal Pria Misterius menurutku pribadi lebih dalam dibanding Shade sendiri.
      - Revealing identitas Pria Misterius ini sangat menarik tapi ketika nama aslinya muncul, kurang dieksplorasi siapa dia (identitasnya) dan apa sejarah tokoh ini.

      ÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷

      Dengan pertimbangan atas efektivitas cerita, keberhasilan menyampaikan gagasan, fokus2 plot, dan perkembangan karakter, aku udah bikin pilihan.

      VOTE SHADE

      Hapus
  3. KEUNGGULAN:
    - soal EYD tak usah dibahas lagi karna sudah sempurna menurutku.
    - Entri ini mengandung diksi dengan gaya bahasa yang khas.
    - Kaya kosa kata dengan beragam makna yang luas. Penulisnya suka bermain kata!
    - Show don’t tellnya main banget.
    - Banyak istilah sains alam semestanya.
    - Ada lucunya juga, tapi ngelawaknya tak hambar.
    - Entri yang imajinatif fantasy kelas kakap, hehe.
    - Endingnya bikin sendu juga ya.
    - I like it cus bertarungnya ama shade jadi pas, satu hati.
    KEKURANGAN:
    - prolog untuk final kurang menarik, gak kayak round sebelumnya.
    - Hm saking banyaknya istilah aneh bertebaran jadi kurang bisa membayangkan battlenya, tapi makin ke ending sih makin enak dibaca karna istilah itu berkurang dan hilang sama sekali, jadi lebih enjoy n mudah dingertiin.

    VOTE: ENTRI SHADE
    - Genre cerita battlenya aku lebih suka scific daripada fantasy modern sih.
    - Battlenya lebih mudah dipahami karena bahasa dan penyampaiannya sederhana daripada entri namol yang menggunakan banyak istilah ribet.
    - Tuh aja sih, lebih ke selera.
    - :=(D udah…

    BalasHapus
  4. Entri Namol terasa "jauh" sesaat, kemudian terasa dekat lagi mulai Battle of Realms keenam disebut. Juga sampai ada koneksi yang sangat believable untuk jadi true canon dari seluruh battle of realms sampai sekarang. Jujur saja, ini sangat menggoda. Menarik melihat Namol menjadi benar-benar terasa jadi bagian signifikan dari seluruh sejarah battle of realms.

    Kepingan-kepingan puzzle yang tersebar mungkin tidak semuanya bisa saya serap dalam dunia Namol. Masalahnya adalah bagaimana puzzle yang kian lengkap ini tumpah ke cerita. Ada perasaan telanjur agak lelah saat semuanya akhirnya berumuara pada battle yang seru sekali. Mungkin sesaat sebelum mulai battle, pembaca sebaiknya melakukan hal lain dulu agar mereka siap dengan segala kejutannya.

    Memang, worlbuilding yang top noch dengan konstelasi dewa, jenis-jenis barang, spesies, dan nama tempat yang asing namun menggelitik ini tentu jadi poin plus buat ngangkat plot utama yang terkoneksi dengan sejarah battle of realms. Hanya saja pendalamannya mungkin perlu waktu lebih, alih-alih hanya tertuah dalam satu entri.

    ---

    Sementara, entri Shade sepertinya memiliki buildup yang steady dan mengerucut meski ada beberapa kameo karakter yang perannya secara mengejutkan sangat besar bagi kelangsungan turnamen daripada sekadar kameo (I'm looking at you, Kairos, Fatanir) mengesankan sekali bagaimana dua oc itu digambarkan sangat rinci dan karakterisasinya terjaga. Kekurangannya hanya di porsi battle yang terlihat sebagai penggugur syarat mengalahkan Namol, tapi terbayar dengan intrik-intrik yang disuguhkan sebelum dan setelahnya. Misteri tentang Shade terkuak banyak. Selain itu, mngkin karena nature mereka berdua yang sepakat tidak ingin ada yang mati, singkatnya battle tetep kerasa menegangkan. Sesudah battle pun Shade masih ada urusan2 yg berkaitan dengan latarbelakangnya, jadi dramanya pun mengalir dengan nyaman. Apalagi dengan susunan plot yang seapik ini.

    Kedua entri saya rasa sudah berusaha sekuat tenaga untuk menyuguhkan sajian menggoda untuk final.

    Dengan paparan di atas, saya hampir akan vote Shade
    atas cerita yang lebih straightforward dan kedalaman canon yang terfokus utuh unruk Battle of Realms 6 ini. Bagaimanapun, jika dilihat dari bobot ceritanya, saya rasa yang berkesan di saya masih bukan entri Shade. Tapi Namol. Bukan cuma dari battle megakosmiknya, tapi juga keterpaduan antara worldbuilding, konflik, karakterisasi kedua karakter dan plot latarbelakang dan progres plotnya ke depan.

    VOTE NAMOL NIHILO


    PUCUNG

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.