Sabtu, 28 Mei 2016

[PRELIM] 23 - SATAN RAIZETSU | KUTUKAN SATAN

oleh : Hyakunosen

---

Kutukan Satan

Satu malam yang sangat dingin, dengan dilapisi lembaran-lembaran selimut aku berusaha memejamkan mataku. Malam di bulan Januari yang menghembuskan angin putih, disertai butiran-butiran salju yang terus jatuh dari langit, terlihat begitu lambat dari jendela kamarku.

Apa yang membuatku masih terjaga di malam yang tak bersahabat ini? Mungkinkah aku akhirnya merasakan yang namanya "kekhawatiran" dalam hidupku ini? Lalu, apa yang sebenarnya aku khawatirkan? Aku tak tahu. Kukira, itu sudah tak lebih dari sebuah masa lalu.

Aku mencoba memejamkan mataku sekali lagi. Kulemaskan setiap inchi bagian dari tubuhku. Seperti kata orang, aku juga mencoba menghitung setiap domba yang melompati pagar. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk tertidur. Walaupun aku tahu, aku tak akan pernah lagi mendapati diriku untuk bermimpi.

"Reveriers..."

Ketika kesadaranku hampir saja meninggalkan raga ini, telingaku menangkap suara yang belum pernah kudengar sebelumnya. Suara itu, tidak, suara-suara itu terdengar bergema lalu seolah menjadi satu. Mau tak mau, kini aku harus terfokus pada suara yang membuat hatiku terasa tak nyaman.

"Mahakarya..."

Aku mencoba mencari darimana datangnya suara itu. Aku tak bisa meyakinkan diriku sendiri untuk memastikan darimana suara itu berasal. Apakah itu suara seorang manusia? Apa itu suara makhluk mimpi buruk yang siap menghantuiku? Atau mungkin itu suara dari alam bawah sadarku yang terdalam ... isi hatiku?

Mencoba mengelak pun tak bisa, terlebih untuk menerima suara siapa itu. Hingga aku sadar, terdapat dua sosok yang mengawasi diriku dari kejauhan. Sosok yang pertama terlihat seperti bayangan manusia yang biasa kulihat dimana-mana. Tapi, sosok yang kedua membuatku terpatung tanpa makna. Tubuh mungil dengan kepala yang berbentuk persegi panjang, ditambah dengan tongkat yang melengkung di salah satu ujungnya. Membuatku bertanya-tanya siapa dia—siapa mereka?

"Alam Mimpi..."

Apa? Apa yang mereka daritadi katakan? Aku tak bisa mendengar suara mereka dengan jelas. Mulut mereka terbuka dan tertutup beberapa kali, tapi yang dapat kudengar hanyalah "Reveriers", "Mahakarya", dan "Alam Mimpi".

Apa maksud dari ketiga kata itu? Siapa sebenarnya kalian? Apa tujuan kalian? Apa yang kalian ingin sampaikan padaku? Ingin aku melontarkan pertanyaan itu, namun mulutku hanya bisa terbuka tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

Apa ini mimpi? Apakah akhirnya aku dapat bermimpi kembali? Jika iya, apa arti dari mimpi yang sedang kualami ini? Aku terus bertanya pada diriku, pada pikiranku, pada hatiku fenomena macam apa ini? Sembari terus bertanya, aku terlambat menyadari bahwa ini bukanlah mimpi yang sudah hilang dari diriku, melainkan pertanda dari langkah awal untuk mencari arti sebuah "mimpi".

****** 

Cuaca hari ini terasa sangat panas. Matahari yang bersinar terang melewati lapisan ozon, terasa membakar kulit hingga lapisan lemak. Keringat yang mengalir di seluruh tubuhku membuatku terlihat seolah baru saja keluar dari pemandian air panas.

Aku mengelap keringat di dahiku dengan lengan bajuku. Napasku sedikit terengap karena dehidrasi yang berlebihan. Biasanya tubuh manusia akan beradaptasi terhadap cuaca secara bertahap, namun kini tubuhku sama sekali tak bisa menahan hawa panas ini. Alasannya? Tentu karena semalam masih turun hujan salju, namun kini sudah digantikan dengan teriknya sinar matahari! Karena itulah, tubuhku tak terbiasa dengan perubahan suhu yang sangat jauh berbeda.

Apa yang sebenarnya terjadi? Seingatku ini masih bulan Januari, tapi pemandangan di depanku kini telah berubah menjadi jalanan yang memantulkan cahaya dan terlihat seperti kumpulan air yang menjadi danau.

Musim panas. Ya mungkin itu yang bisa kukatakan untuk menggambarkan pemandangan yang kualami ini. Tapi, itu sangatlah mustahil! Musim panas seharusnya terjadi pada bulan Agustus. Lalu apa yang memungkikan hal seperti ini bisa terjadi? Liburan musim dinginku sudah berubah menjadi liburan musim panas. Hari dimana aku bermain bola salju kini telah berganti menjadi bola voli.

Aku menghela napas. Aku mencoba memikirkan kembali apa yang baru saja kualami. Seingatku, semalam aku masih tertidur dikamarku yang dingin karena salju yang berjatuhan di luar. Tapi, kini aku tanpa peringatan maupun ingatan apapun sudah berdiri di tempat yang panas ini.

Tunggu! Sejak awal, bagaimana aku bisa berada di sini? Apakah ini mimpi? Tapi perasaan ini terlalu nyata untuk sebuah mimpi. Lagipula, bukankah aku sudah tidak bisa bermimpi? Kalau ini memang mimpiku, kuharap mimpi pertamaku setelah sekian lama adalah mimpi yang indah dan bukan mimpi yang tak ada artinya ini.

Kucoba untuk mengamati daerah sekitar. Mulai dari segi bangunan, pengarahan jalanan, hingga tata letak lampu jalan. Aku kenal daerah ini. Bagaimana tidak? Aku melewati tempat ini hampir setiap hari saat pulang sekolah. Daerah yang kumaksud adalah perumahan yang tak jauh dari distrik pertokoan.

Meski begitu, aku tetap saja terheran-heran mengapa tidak ada orang lain yang lalu-lalang. Masih banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Mungkin saja orang-orang di sekitar sini terlalu malas untuk keluar dari rumah mereka karena cuaca yang sangat panas. Tapi, seharusnya akan ada satu atau dua orang yang melewati daerah ini. Kenapa? Tentu saja karena daerah ini dekat dengan distrik pertokoan. Bahkan ibuku juga akan menyempatkan dirinya untuk pergi berbelanja di tengah siang yang menyiksa ini.

Percuma! Semakin kupikir, semakin juga kepalaku terasa berat dan kehilangan kesadaran sedikit demi sedikit. Mungkin karena aku sedang mengalami dehidrasi. Kalau begitu, aku perlu mencari minuman untuk mengembalikan cairan tubuhku. Terlebih yang dingin pasti nikmat.

Tak perlu waktu lama bagiku untuk menemukan mesin penjual minum yang kuidamkan. Warna-warni minuman yang memenuhi kotak putih yang terlapisi oleh kaca, seolah menghilangkan dahaga hanya dengan melihatnya. Tentu, tujuanku terfokus pada kaleng berwarna jingga dengan label "jus jeruk", terlebih dengan tombol biru yang bertuliskan "dingin" dibawahnya membuat diriku tak tahan ingin segera meminumnya.

Aku dengan cepat memasukkan satu koin 100 Yen. Dan dengan satu tekan di tombol yang telah kutandai, suara kaleng berguling terdengar hingga akhirnya keluar di kotak yang berada di bagian bawah mesin ini.

Kuambil tanpa ragu jus jeruk kalengan yang telah kupilih ini, lalu dengan sekali tekan pada tutupnya terdengarlah suara busa mendesis yang entah bagaimana memberi efek segar pada tubuh. Saat baru saja meminum jusku beberapa tegukan, aku melihat sesuatu yang tak bisa dipercaya hingga jus kaleng yang kupegang terjatuh dan mengeluarkan dentangan yang keras.

"....!"

Tak jauh dari tempatku berdiri terdapat sebuah Katana yang tertancap dalam tanah dengan tegak. Yang mengejutkanku bukan hanya itu, melainkan darah merah berkilau yang melapisi Katana itu. Darah itu juga terus mengalir turun menuju tempatku yang berada di pangkal jalanan menanjak ini.

Katana siapa itu? Apakah terjadi perang antar Yakuza di tempat ini? Kalau begitu, mengapa hanya ada satu buah Katana saja? Tidak, bukan itu yang harus kupertanyakan. Sejak awal, apa Katana itu memang ada di sana? Mengapa aku tak menyadarinya dengan segera? Jangan bilang bahwa sebenarnya aku menyadari Katana itu, tapi alam bawah sadarku dengan sengaja mengabaikan keberadaan Katana itu?

Sekilas terlintas dalam pikiranku, di bawah Katana itu seharusnya terdapat seorang mayat. Namun, kenyataannya tak terdapat mayat siapapun di sana, meskipun terdapat darah yang mengalir seperti sungai. Mayat siapa itu, akupun tak tahu. Bahkan aku sendiri tak tahu mengapa aku sempat berpikir seperti itu.

"Guhh!!"

Saat itulah kepalaku tiba-tiba terasa sakit. Rasa sakit ini bukanlah rasa sakit yang biasa kurasakan. Seperti lilitan rantai yang mengekang tepat di otakku, rasa sakit macam itulah yang sedang kurasakan. Kusentuh kepalaku dengan harapan bisa mengurangi rasa sakit ini, tapi tetap saja percuma.

Entah mengapa, aku merasakan perasaaan tak asing saat melihat Katana itu. Tapi, aku sendiri tak tahu kapan dan bagaimana aku bisa tahu Katana itu. Meskipun kupikirkan terus menerus, jawabannya tak kunjung datang.

Rasa penasaranku akhirnya mendoronng diriku untuk melihat Katana itu dari dekat. Kaki yang terasa berat untuk digerakkan, seolah melarang diriku untuk terus mendekatinya. Bahkan indera penglihatanku seolah kabur hanya dengan melihatnya. Tetap, semua alasan itu harus kalah dengan kemungkinan yang bisa saja terjadi jika aku mendekati Katana itu.

Kini, Katana itu telah berada tepat dihadapanku. Darah yang menggenang di jalanan kutapaki tanpa rasa jijik sedikitpun, meski aku sedikit merasa terganggu dengan apa yang kuinjak ini. Aku seolah berdiri dihadapan pedang yang terkutuk.

Aku tak tahu apa lagi yang harus kulakukan. Apa aku akan meninggalkan Katana ini begitu saja? Atau mungkin aku akan mencabut Katana ini, dan memastikan rasa aneh yang mengganjal dalam diriku terhadapnya? Seharusnya aku sudah tahu, tak ada pilihan lain bagiku yang sekarang ini. Aku harus memastikannya!

Aku mengulurkan tanganku secara perlahan tapi pasti ke arah gagang Katana itu. Rasa takut, penasaran, dan serba salah bercampur sehingga membuat tanganku bergetar kuat saat ingin menggapainya. Aku terus memaksakan lenganku, hingga saat baru saja ujung jariku menyentuh gagangnya aku merasakan ada sesuatu yang memperhatikanku.

"Apa yang coba kau lakukan terhadap Katana ayahku?!"

"...!"

Dengan refleks aku menengadahkan kepalaku tepat ke arah sumber suara yang masuk dalam telingaku. Sumber suara itu berasal dari seorang perempuan berambut pirang dengan perawakan yang indah. Dia mengenakan seragam sekolah yang sama denganku sembari membawa sebuah Katana di pinggangnya. Suara dan wajahnya sudah tak asing lagi bagiku, aku kenal orang ini!

"Urami?!"

Wajah yang sangat tak bersahabat dia tujukan padaku, seolah melihat buruannya sudah ada di depan mata. Bagai anak serigala yang ingin membalaskan dendam terhadap kematian induknya. Mata itulah yang dia tunjukan padaku.

"Menjauhlah dari Katana ayahku!"

"Tunggu Urami..."

Bukannya aku tak tahu mengapa dia seperti itu terhadapku! Hanya saja, aku ingin menyelesaikan semua ini tanpa kekerasan. Apa itu mungkin? Apa Urami akan memaafkanku walau aku menjelaskan semuanya? Apakah dia akan percaya pada apa yang kukatakan? Bagaimanapun juga, aku adalah...

"Dasar pembunuh!"

Iya, bisa dikatakan akulah orang yang membunuh kedua orang tua Urami. Jika dia sudah mengetahui itu, artinya ingatannya telah kembali. Dan yang menghapus ingatan Urami terhadap pembunuh orang tuanya tak lebih tak bukan adalah aku sendiri, Satan Raizetsu.

Jika diingat kembali, kejadian "itu" terjadi saat liburan musim panas 3 tahun yang lalu. Dan sekarang aku berada di tempat yang pernah menjadi saksi kejadian "itu" dalam keadaan yang sama. Hanya saja, sekarang tak separah waktu itu. Tak ada lautan api, tak ada kekacauan, tak ada musuh yang harus kubunuh.

Meski begitu, perempuan dihadapanku kini sudah tenggelam dalam "lautan dendam". Apa yang bisa kulakukan untuk menariknya dari dasar lautan itu? Aku tak tahu, aku tak bisa menemukan jawaban yang tepat. Setidaknya, aku ingin meminta maaf dan menunjukkan bahwa aku sangat menyesal.

"Uram--.....!!!!!!"

Hanya dalam beberapa detik, dia berhasil menutup jarak sekitar 20 meter dengan sekali dorongan dan sudah siap mengayunkan Katananya ke arah leherku. Aku yang terkejut dengan refleks mencabut Katana di dekatku lalu meletakkannya tepat di jalur serangan Urami, hingga akhirnya suara dentangan antar dua bilah besi terdengar keras menggema.

Gaya dorong yang dihasilkan oleh Urami sangatlah besar hingga aku terseret mundur beberapa meter. Dua mata pedang yang saling bergesekan mengeluarkan suara berderik yang menggetarkan tubuh.

"Jangan sok akrab denganku, dasar pembunuh!! Lepaskan tangan kotormu itu dari Katana ayahku!!!"

"....!"

Aku tak bisa membalas balik perkataannya. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menatap balik mata yang menatap tajam ke arahku.

Dia menarik pedangnya lalu menyiapkan tebasan diagonal dari atas kanan. Aku yang sudah memprediksi itu, dengan cepat merendahkan tubuhku lalu berlari menuju bagian belakang Urami dan menjauh sehingga berhasil menghindar dari serangannya.

Seperti yang diharapkan dari seorang pengguna Teknik Pedang Kazeha, tak ada waktu yang terbuang percuma dalam kuda-kudanya. Setelah aku berhasil menghindar, dengan cepat dia sudah menyiapkan kembali serangan berikutnya.

Dengan satu hentakan dari kakinya, dia melaju dengan cepat sembari mengarahkan ujung pedangnya ke depan seperti sebuah tombak. Angin berkumpul dan berputar di sekitar tubuhnya, bagaikan bor yang siap menembus dinding beton.

Kali ini mungkin aku tak bisa menahannya. Oleh karena itu, aku akan mencoba mengubah jalur serangannya. Dengan waktu dan pengukuran sudut yang tepat, aku mengayunkan pedangku ke ujung pedang yang sedang melaju itu. Hasilnya, serangan Urami berbelok 20 derajat dari jalur aslinya. Kecil memang, namun itu berhasil menyelamatkanku meskipun lengan kiriku mengalami luka yang lumayan karena terserempet.

Urami menabrak salah satu bangunan, dan bangunan itu hancur seketika. Sulit dipercaya memang, namun begitulah kekuatan dari penerus Teknik Pedang Kazeha—Urami Kazeha. Kekuatan yang anak SMA biasa sepertiku tak akan pernah bisa melampauinya.

Seperti tanpa luka, dia berjalan dengan santainya keluar dari reruntuhan yang dia ciptakan sendiri. Katana yang dia pegang memantulkan sinar matahari yang menyilaukan. Aku yang melihatnya hanya bisa menelan ludah, merekatkan gigiku, dan mengencangkan genggamanku di gagang Katana yang menjadi alat untuk melawan monster itu, bukan, Dewi Kematian itu.

Dia berlari dengan cepat untuk memperpendek jaraknya denganku. Sepertinya kali ini dia berencana untuk melakukan pertarungan jarak dekat. Setelah menutup jaraknya denganku hingga di jangkauannya, dia mengayunkan pedangnya dengan halus menuju dadaku. Aku yang sedikit panik hanya bisa mengubah jalur tebasannya dengan bilah pedangku untuk menjauh dari tubuhku.

Terus menerus Urami mengayunkan tebasan kearahku, secara horizontal, vertikal, ditambah tusukan tepat ke arah wajah, bahkan dia sampai memutar tubuhnya untuk menyembunyikan dari mana arah bilahnya itu terayun.

Entah bagaimana aku berhasil mengalihkan seluruh serangan itu. Jika aku terus menerus menahan serangannya secara langsung, otot lenganku sekarang pasti telah lemas karena tekanan yang berantai. Bagaimanapun juga, fisikku sedikit di bawah rata-rata anak SMA lainnya.

"Apa salah keluargaku?!!"

Suara Urami terdengar bergetar sembari dia terus melanjutkan serangan berantainya. Wajahnya mulai memerah, dengan air mata yang mengalir sedikit demi sedikit dari kedua matanya.

"Kenapa kau membunuh kedua orang tuaku?" lanjutnya.

"....."

"Apa yang telah mereka lakukan padamu sehingga kau tega membunuhnya? Dendam apa yang kau miliki terhadap kedua orang tuaku? Siapa sebenarnya kau? Mengapa? Mengapaaaaaa??!!!!!!"

Serangan yang dikeluarkannya terasa lebih intens namun sedikit tak teratur jika dibandingkan dengan sebelumnya. Ayunan pedangnya seolah menggambarkan kemarahan dari si pemiliknya. Bagai samsak tinju, diriku terus menerus diberikan serangan yang mematikan.

"......?!"

Aku menyadari ada yang aneh dari pertanyaannya yang barusan. Kalau tak salah tadi dia berkata "Siapa sebenarnya kau?". Itu artinya, dia tidak mengingatku? Lalu mengapa dia mengingat kejadian saat orang tuanya terbunuh? Apakah mungkin dia hanya mengingat wajahku namun tak mengenali diriku?

"Urami! Ini aku Satan, Satan Raizetsu!! Apa kau tak mengenaliku?"

Tanpa mempedulikan perkataanku, dia tetap mengayunkan pedangnya tanpa henti. Sembari diiringi bunyi dentangan pedang yang menyatu seperti melodi, aku dan Urami menari di panggung penuh darah ini dalam keabadian.

"Tidak, aku tidak mengenalmu!!! Sudah kubilang, jangan sok akrab denganku dasar pembunuh!!"

Balasan yang kuterima ternyata sama seperti yang sudah kuduga. Sedikit kecewa, namun aku tak bisa melakukan apa-apa terhadap fakta yang terbentang di hadapanku.

Aku yang terus menerus menahan tanpa diberikan kesempatan untuk menyerang balik mulai merasakan kelelahan. Tenagaku sudah terkuras hingga mendekati batasnya. Kalau begitu, aku harus segera menyelesaikan pesta dansa ini lalu mengembalikan Cinderella pada kereta labu yang ditumpanginya.

Ayunan pedang Urami datang dari arah diagonal kiri atas, aku mengangkat pedangku sedikit menyamping dari jalur serangannya. Saat kedua mata pedang bertemu, bilah Katana milik Urami bergerak sesuai jalur yang kubuat dengan bilahku. Saat itulah aku memanfaatkannya untuk mendekat dan menghantamkan ujung gagang pedangku tepat ke ulu hatinya, dan itu membuat Urami tersedak hingga air liurnya tercecer.

Tak cukup sampai di situ, aku melanjutkan seranganku dengan tendangan ke arah yang sama hingga membuatnya benar-benar terkaku tanpa bisa bergerak. Setelah itu, dengan cepat aku berlari menjauhi Urami untuk menciptakan jarakku dengannya.

Urami jatuh berlutut dengan diam tanpa kata. Aku yang melihatnya merasa bersalah. Tentu, karena aku telah menyakiti tubuh perempuan yang dianggap suci. Bukan hanya itu, aku juga tak bisa menjelaskan kematian orang tua-nya pada dirinya. Betapa tak bergunanya diriku.

Meski begitu, aku tak punya pilihan lain. Jika aku terus menghadapi Urami seperti barusan, hanya tinggal menunggu waktu bagiku untuk mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini. Aku juga tak mengerti mengapa aku masih ingin hidup bahkan dengan dosa yang kubawa ini. Setidaknya sampai masalah ini terselesaikan, aku tak berniat untuk mati.

Sepertinya Cinderella kita belum mau mengakhiri pesta dansanya. Urami kembali membangkitkan tubuhnya walau dengan gemetar. Dipasangkannya lagi  kuda-kuda, dan sambil mengangkat Katananya ke atas tinggi-tinggi, persiapan telah selesai.

Keringat dingin mengucur dari seluruh tubuhku saat aku melihatnya mengeluarkan posisi itu. Sebagai teman yang sudah bersamanya sejak kecil, tentu aku tahu jika harus berhadapan dengan posisi itu sudah tak ada lagi harapan bagiku. Melarikan diri tentu tak bisa, terlebih jika harus menahan serangan itu secara langsung. Sama saja seperti aku menawarkan diriku pada kematian.

"....!"

Dengan satu tebasan ke bawah, badai angin pipih menyerbu menuju arahku. Angin-angin pipih itu memotong setiap benda yang dilewatinya, memotong mobil yang sedang terparkir menjadi dua, bahkan meninggalkan jejak-jejak tebasan di jalanan.

Bagaimana ini? Jika aku terus berdiam diri di sini, sudah dipastikan aku akan terbunuh! Apa aku harus menyembunyikan diriku di balik sesuatu? Tidak, itu tidak berguna! Sudah pasti aku akan ikut terpotong bersama dengan "sesuatu" itu. Atau aku hanya harus berdiri di antara celah-celah angin pipih itu? Itu juga tidak mungkin! Lihat saja, tak ada celah sama sekali dalam serangannya! Lalu apa? Kemungkinan apa yang bisa kupakai? Apa ak----

"Aghh!!!!"

Sakit kepala ini kembali kurasakan. Entah mengapa, setiap aku mulai berpikir rasa sakit yang mengekang ini akan muncul. Dan rasa sakit ini lebih parah ketimbang pertama kali aku merasakannya.

Karena rasa sakit yang cukup hebat ini, tubuhku sama sekali tak bisa digerakkan. Dan itu artinya, kesempatan kecilku untuk hidup kini telah hilang. Aku hanya bisa pasrah terhadap hidupku, sembari badai angin pipih itu terus mendekat dan akan segera mencabik-cabik tubuhku.

"..............................!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"

Rangkaian petir tiba-tiba menghempas jalanan tepat beberapa meter di hadapanku. Rangkaian petir itu memiliki tegangan yang sangat tinggi, hingga bisa memanaskan jalanan dan udara di sekitarnya. Oleh karena itu, badai angin pipih itu berubah arah dan menciptakan celah kecil yang terbuka tepat di arahku. Meski begitu, aku masih tetap terkena sisi luar angin-angin pipih itu hingga menyebabkan luka-luka tebasan kecil di sana-sini.

Entah bagaimana, aku berhasil selamat dari serangan Urami. Aku sendiri tak bisa begitu menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Darimana datangnya petir itu? Di cuaca yang seterik tanpa awan ini, tak mungkin terdapat awan badai. Lalu, apa yang bisa menyebabkan petir itu?

Pertanyaanku terjawab oleh jawaban yang bahkan diriku tak bisa memperkirakannya. Seorang perempuan turun dari langit dengan indahnya menggunakan listrik yang keluar dari tubuhnya. Secara perlahan, dia menopang tubuhnya hingga akhirnya kedua kakinya dapat menyentuh permukaan tanah.

Rambut hitam sebahu, yang kontras dengan kulit pucat seputih salju membuat mataku tak bisa beralih dari dirinya. Bahkan hanya dari bagian belakang, aku tahu perempuan di hadapanku sangatlah cantik. Lengkungan tubuhnya pasti membuat setiap laki-laki yang melihatnya terpana tanpa bisa berkata.

Meski begitu, aku harus tetap waspada pada perempuan di hadapanku. Aku tak tahu apa tujuannya menyelamatkanku. Apakah dia kawan atau malah lawan, masih terlalu awal bagiku untuk membuat keputusan. Karena itulah, aku kembali mengeratkan genggaman di Katana-ku dan bersiap untuk pertarungan yang mungkin bisa terjadi kapan saja.

"....?"

Dia mencoba melihat ke arahku dengan lirikan matanya, dan memutar tubuhnya setelah itu. Ayunan rambutnya yang terurai begitu halus, menghalangi wajahnya untuk sementara. Setelah seluruh tubuhnya menghadap ke arahku, kewaspadaanku benar-benar lenyap.

Mata hitamnya yang penuh dengan kelembutan, menatap lurus tepat ke kedua bola mataku. Bibir merah mudanya yang terlihat tipis namun halus, melipatkan senyum nan memukau. Aku dibuat tak berdaya hanya dengan parasnya. Karena wajah itu, wajah yang tak bisa kulupakan dalam setiap tidurku. Wajah yang menjadi sumber utama penyesalanku.

"Ch-Chikako?!"

"Iya, kakak. Lama tak jumpa!"

"......."

Bagaimana bisa? Kenapa Chikako ada disini? Bukannya dia sudah mati? Lalu, mengapa dia dengan santainya berdiri di sana—di hadapanku seolah kematiannya 3 tahun lalu hanyalah sebuah kebohongan? Mana kenyataan yang sebenarnya? Ingatanku atau kejadian yang tak bisa aku jelaskan ini?

Sejak awal, segala sesuatu yang terjadi di sini sangatlah aneh. Aku yang tiba-tiba berada di luar rumah dengan cuaca yang berubah 180 derajat, Urami yang mengingat wajah pembunuh orang tua-nya namun tak mengenali siapa dia, dan sekarang Chikako yang hidup kembali.

Apa-apaan ini?! Apa aku sedang dipermainkan? Oleh siapa, dan apa tujuan mereka melakukan ini? Apakah dua sosok aneh yang muncul dalam mimpiku? Percuma saja, aku bahkan sama sekali tak mendengar apa yang mereka ucapkan. Tidak, tidak sepenuhnya! Kalau tidak salah mereka mengatakan ini,

"Reveriers ... mahakarya ... Alam Mimpi..."

Hanya ketiga kata itu yang tersangkut dalam pikiranku. Menyedihkan memang. Satu-satunya hal yang mungkin menjadi petunjuk bagiku, malah menambah pertanyaan yang berputar terus dalam kepalaku.

Apa maksudnya Reveriers? Apa itu artinya aku sekarang sedang berhalusinasi? Lalu, mahakarya apa yang dimaksud? Apakah aku disuruh untuk membuat sebuah karya yang bisa menjadi "mahakarya"? Dan yang terakhir membuatku semakin ragu, apa itu Alam Mimpi? Apa sekarang aku sedang bermimpi? Tapi, sensasi yang kurasakan terlalu nyata bagi hal yang terjadi dalam "mimpi". Sialan, aku sama sekali tak mengerti apa-apa!

"Agh...!!"

Rasa sakit ini kembali menyerang kepalaku. Setiap kali aku berpikir terlalu jauh, rantai yang melilit kepalaku akan semakin mengencangkan tarikannya. Dan semakin waktu berlalu, semakin intens pula rasa sakit yang kurasakan. Dalam keadaanku yang sekarang, aku bahkan sudah tak kuat menahan berat tubuhku sendiri dan membuatku jatuh berlutut.

"Agghhhhhh!!"

"Kakak?!!"

"Aaggh-guuuhhhh-aaaaAAGGGGGGGGHHHHHHHHH!!!!!!!!!"

Chikako dengan panik berlari mendekatiku, dan dengan cepat menangkap tubuhku yang terjatuh ke depan. Lengannya yang kecil dan ramping, dengan baik menopang tubuhku yang kehilangan seluruh tenaganya. Raut khawatir dengan jelas tergambar di wajahnya.

"Kakak! Kakak, kamu kenapa kak? Kak Satan!!!"

Melihat Chikako yang dengan panik memanggil namaku, entah kenapa membuatku merasa senang. Setelah 3 tahun berlalu, aku akhirnya dapat bertemu dengan adikku lagi. Meskipun ini hanyalah ilusi, ini terasa menenangkan hatiku. Rasa yang sudah kulupakan sejak lama.

"Kakak! Kakak!!!!"

"Guh..!!"

"Kakak, mana yang terasa sakit?!!"

Tubuh Chikako yang memelukku sudah berbeda dari yang kutahu. lengannya, kakinya, lehernya, suaranya, bahkan dadanya sudah lebih besa—sudah berubah semenjak 3 tahun yang lalu. Hahaha, apa yang kupikirkan di saat seperti ini.

Meski begitu, wajah dan sifatnya masih sama dengan Chikako yang kukenal. Wajah yang memberikan kehangatan hati pada setiap orang yang melihatnya, dan sifatnya yang selalu menjunjung tinggi kebenaran namun mengajarkannya dengan lembut. Itulah jati diri adik perempuanku, Chikako Raizetsu.

Karena itulah, aku tak ingin membuat Chikako khawatir terus menerus. Aku mendorong tubuh Chikako dengan perlahan, lalu mengenggam lengannya dengan lembut. Dengan wajah yang sedikit tak percaya, dia menangis sendu.

"Aku tak apa-apa Chikako."

"Tak apa-apa bagaimana?!! Jelas-jelas kakak terlihat kesakitan! Apa yang terjadi kak?!!"

"Sudah kubilang bukan, aku tak apa-apa. Tadi aku hanya sedikit pusing. Dan lihatlah betapa menyedihkannya dirimu sekarang. Kau masih saja menangis seperti anak kecil. Apa hanya tubuhmu saja yang bertambah besar, sedangkan dalamnya masih Chikako yang 'cengeng'?"

"Tapi kak... tapi..."

"Lagipula, hanya dengan dipeluk oleh Chikako sudah membuatku merasa baikan. Jadi, tak usah khawatir lagi."

Tentu saja, itu hanyalah sebuah kebohongan yang dibuat untuk menenangkan Chikako. Dia tentu tahu kalau apa yang kukatakan bukanlah hal yang sebenarnya, namun dengan sekuat tenaga dia menghapus air matanya dan memberikan senyuman hangat penuh semangat pada kakak tercintanya.

"Kau hebat, Chikako."

Setelah mengusap-usap kepalanya sesaat, aku menahan berat tubuhku dan menaruh tenaga di kedua kakiku sehingga aku dapat berdiri diikuti oleh Chikako. Aku menyentuh kepalaku sekali lagi hanya untuk memastikan rasa sakitnya sudah berkurang. Mungkin ... pelukan Chikako memang benar-benar bisa menyembuhkan luka seseorang.

"Chikako, jangan ganggu pertarunganku!" perintahku.

"Apa kakak ingin melawannya sendiri? Itu gila kak! Dia pewaris keluarga Kazeha, kakak tak mungkin menang melawannya secara langsung!"

"Aku harus menyelesaikan semuanya sekarang, dan meluruskan kesalahpahaman ini segera. Aku tak mau lagi ada orang yang harus tersiksa karena dendam yang tak berguna! Karena itu, maukah kau perhatikan saja kakakmu yang akan bertarung ini?"

Aku memberikan senyuman pertanda "jangan khawatir" pada Chikako. Dia awalnya merasa enggan untuk mematuhi perintahku, namun setelah kuyakinkan berkali-kali dengan usapan di kepalanya, akhirnya dia mau untuk menyingkir dan menunggu di pinggir jalan seperti anak penurut.

Kuambil Katana yang tergeletak di sampingku, lalu dengan sekuat tenaga kuacungkan ujungnya menunjuk tepat ke arah wajah Urami. Setelah menenangkan diriku dengan mengambil napas dalam-dalam beberapa saat, persiapanku untuk bertarung telah selesai.

"Maaf membuatmu menunggu lama, Urami!"

Teriakanku menggema di celah sisi bangunan. Mendengar nada sok akrab dariku untuk kesekian kalinya membuatnya naik darah. Wajah tak senang yang bercampur bosan, membuat kecantikannya semakin mempesona.

"Tenang saja, adikku sudah berjanji tak akan mengganggu pertarungan kita. Jadi, kau bisa menikmati sepuasnya sesuka hatimu!" lanjutku.

"Begitukah? Heh, baguslah kalau begitu. Biarkanlah adikmu itu melihat saat-saat dimana kakaknya mati tepat di hadapannya! Biarkan dia merasakan dendam yang kupendam dengan sangat berat ini sama sepertiku!!"

"Tapi, sebelum kita memulai kembali pertarungan kita, aku ingin meluruskan tentang 'sesuatu' di sini."

Kejengkelannya dengan jelas terlihat. Seolah dia ingin segera mengetahui jawaban dari kuis yang dia ikuti, namun terpotong oleh iklan sponsor yang mendanai kuis itu.

"Apa itu? Apa yang ingin kau 'luruskan' di saat seperti ini? Jangan bilang kalau kau yang membunuh orang tuaku hanyalah sebuah salah paham? Jangan bercanda! Aku dengan jelas melihat dengan kedua mata kepalaku sendiri saat itu! Kau yang berlumuran darah ... mayat kedua orang tuaku terkapar lemas tak bernyawa tepat di kedua kakimu!!!"

Entah mengapa aku merasa ingin tersenyum. Kalau begitu, aku hanya perlu tersenyum selebar mungkin dan terus menambahkan minyak ke dalam api yang semakin membesar.

"Tebakanmu benar, bukan aku yang membunuh kedua orang tuamu! Saat itu aku mencoba untuk menghentikan pembunuh orang tuamu, namun sayangnya aku terlambat. 'Maafkan aku, Urami'. Jika aku berkata seperti itu, apakah kau akan percaya?"

"Tentu saja tidak, DASAR PEMBUNUHH!!!!"

Dengan penuh emosi yang bersarang dalam hatinya, dia melaju secepat angin untuk menutup jarak di antara kami. Pedangnya terayun menuju tubuhku secepat gerakan tubuhnya. Aku yang sudah menduga itu, dengan sigap mengarahkan pedangku pada posisi yang tepat. Dan saat kedua pedang itu selesai bersilangan,

".......!"

Luka sayatan cukup besar tertinggal di dadaku. Darah yang mengalir sangat banyak, hingga mungkin aku akan mati karena kehilangan darah. Dan sepertinya dampaknya langsung terasa, ditandai dengan kesadaranku yang mulai menghilang secara perlahan. Samar-samar aku bisa mendengarkan teriakan Chikako, hingga akhirnya hitam pekat memenuhi dinding jiwaku.

"Maaf..."

******

"Guaaahhhhh......!!!!!"

Napasku terengap-engap. Detak jantung terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Otot tubuhku terasa lemas tak bertenaga. Ditambah, rasa perih yang ditimbulkan oleh luka yang membekas tepat di dadaku membuat semua itu lebih buruk.

"Sialan, aku hampir saja mati..."

Dengan tubuh yang dilumuri oleh darah, diriku yang mungkin dianggap mayat kini terbangun kembali dari kematian. Aku sendiri tahu kenapa aku masih hidup, mungkin ini adalah sebuah "Plot Armor" yang biasa dirasakan oleh seorang karakter utama.

Menyampingkan hal itu, jika aku masih hidup seperti ini itu artinya aku masih diberi kesempatan untuk menjelaskan kesalahpahaman ini pada Urami. Kalau begitu, aku tak boleh berlama-lama berdiam diri di sini dan segera pergi ke tempat Urami berada.

Lenganku bergetar saat aku mencoba berdiri—tidak, bukan hanya lenganku. Namun seluruh bagian dari tubuhku ikut bergetar dengan hebat. Bahkan kakiku yang kugunakan untuk menopang tubuh bagian bawahku, tak dapat menahan beban yang menyebabkanku kembali terkapar di lumuran darah.

"......"

Seperti yang diduga, keadaan tubuhku sekarang bisa terbilang cukup parah. Kehilangan darah yang kualami sudah sampai di tingkat dimana aku bisa terkena anemia. Tangan kiri yang tergeletak di hadapanku, terlihat berwarna putih pucat yang kontras dengan darah di bawahnya.

Menyedihkan sekali. Dengan tubuh seperti ini, apa yang bisa kulakukan? Untuk menggerakkan jariku  saja, aku perlu menggunakan tenagaku dengan bersusah payah. Lalu, apa tekadku untuk menyelesaikan masalah ini hanya bualan belaka? Tidak, aku benar-benar serius!

Setelah menarik napas dan membuangnya beberapa kali, aku mencoba sekali lagi untuk berdiri. Kupusatkan seluruh tenaga dan tekad di kedua tangan dan kakiku, tentu juga dalam hatiku sendiri. Lalu dengan sebuah teriakan sebagai pertanda, aku berhasil bangkit kembali dari kekalahan.

Aku mencari-cari dua orang yang seharusnya berada di dekatku, namun mereka kini telah hilang seolah mereka hanyalah halusinasi yang tergambarkan dalam hatiku. Aku tahu, aku sendiri tak punya hak untuk berharap. Tapi, aku akan sangat senang jika memang Chikako yang baru saja kutemui adalah Chikako yang asli.

"Reveriers..."

Aku menggumamkan kata itu lagi. Kata yang sangat tepat menggambarkan keadaanku sekarang. Meskipun jika Chikako dan Urami yang muncul di hadapanku adalah asli, masalah yang dulu terjadi tak akan selesai semudah membalikan telapak tangan. Keinginanku untuk menebus seluruh kesalahanku tak lebih dari sebatas imajinasi.

Aku menghela napas dengan dalam, lalu kuambil Katana yang tergeletak di sampingku sekali lagi. Kugenggam dengan erat, kali ini seerat-eratnya hingga tak akan terlepas lagi dari tanganku. Karena aku tahu masalah—kutukan yang diberikan padaku belumlah selesai.

".......!!"

Terdengar suara ledakan yang memekakan telinga. Tak berselang lama, asap muncul di sisi lain bangunan yang tidak terlalu jauh dari tempatku berada. Aku yang tak ingin berdiam diri saja dengan tergesa-gesa mulai melangkahkan kakiku.

Sayangnya, hanya dengan melangkah salah satu kakiku, tubuhku hampir saja terjatuh. Sekali lagi aku mencoba menggerakan kakiku yang satunya, namun hasilnya tetap saja sama. Aku terus mengulangi selangkah demi langkah, walau bertatih-tatih kujalani.

Ledakan-ledakan lain terus menyusul sembari aku berusaha menuju arah ledakan itu. Aliran listrik bertebaran di sepanjang ledakan, disusul dengan angin-angin pipih yang memotong-motong asap itu menjadi beberapa bagian.

Petir menyambar beberapa kali di tempat yang sama. Bahkan, aku melihat angin puyuh yang terbentuk merambat ke atas, lalu melebar dengan kuat dan menghilang. Angin yang disebabkan angin puyuh itu terhempas hingga ke tempatku, menyebabkan benda-benda terhempas dan kaca-kaca bangunan terpecah.

Aku yang tak bertenaga ikut terhempas oleh angin hingga terguling-guling di tanah. Sekali lagi kupaksakan tubuhku untuk berdiri meski terdapat pecahan kaca yang tertancap di paha kiriku. Kuhiraukan rasa sakit karena mencabutnya, lalu kembali melangkahkan kedua kakiku.

Tanpa henti listrik dan angin menghancurkan bangunan-bangunan yang berada dalam jarak serangan mereka. Terlihat bagai badai angin dan petir sedang melanda kota ini di tengah teriknya sinar matahari.

Perlahan tapi pasti, langkah-langkah kecilku akhirnya sudah membuatku sampai di pusat badai. Aku hanya bisa menganga tanpa kata melihat daerah yang sudah terlibas oleh amukan badai. Dinding-dinding runtuh, kaca terpecah, tiang listrik rubuh, hingga jalanan yang retak terbelah menjadi dua.

Penyebabnya tentu dua perempuan sekuat Dewi Kehancuran yang mewarisi teknik pedang keluarga mereka masing-masing. Urami dan Chikako yang saling terus menyilangkan pedang mereka, semakin menambah kerusakan di tempat ini.

Pertarungan mereka berdua terlihat mengerikan, namun di satu sisi membuatku terkagum-kagum. Mereka berdua dengan leluasa mengendalikan elemen yang menjadi kekuatan mereka, lalu mengubahnya menjadi serangan yang amat sangat mematikan. Seperti Isabel dan Katrina, dengan nama yang Indah, namun sesungguhnya mereka adalah penyebab kehancuran saat kita melihatnya.

Mereka saling mengadu bilah pedang dengan elemen mereka untuk terakhir kalinya, sebelum akhirnya sebuah ledakan tercipta dan membuat mereka terpental hingga terpisah beberapa meter. Dengan napas yang terengap-engap, mereka sepertinya memutuskan untuk berhenti sementara.

Keadaan tubuh mereka sangat parah, luka dan memar tertinggal dimana-mana. Pakaian yang mereka kenakan telah robek hingga dalam keadaan dimana sudah tak layak pakai. Tentu, kulit dan pakaian dalam mereka ikut terekspos hingga membuatku menelan ludah. Mungkin ini  adalah salah satu "Fetish" yang biasa membuat orang mesum bergairah. Itu bukan aku ... mungkin.

Sepertinya yang menjadi penyebab mereka berhenti adalah karena mereka menyadari keberadaanku. Chikako menunjukan wajah tak percaya dan senang saat dia melihatku hingga meneteskan air mata. Dan untuk Urami, matanya tetap menatap tajam ke arahku seperti sebelumnya, namun dia tak terlihat terkejut sama sekali.

Seolah ingin menebus kegagalannya dalam membunuhku, tanpa basa-basi dia langsung mengubah sasarannya dari Chikako menjadi diriku. Dengan bantuan dorongan dari anginnya, dia sudah berada tepat di depanku hanya dalam sekejap disertai dengan ayunan Katana yang tak bisa dilihat oleh  mata.

"......!"

Bilah pedang itu berhenti tepat beberapa centimenter dari leherku. Aku yang sudah mempersiapkan diriku dengan kemungkinan "mati" kini hanya bisa terheran-heran. Tidak mungkin Urami sendiri yang menghentikan tebasannya, karena dia sendiri memasang wajah kesal.

Setelah itu aku menyadari sesuatu, terdapat aliran listrik yang terlihat seolah menyatukan bilah pedang Urami dengan tiang listrik yang telah terpotong. Arus listrik yang memiliki tegangan tinggi menyebabkan laju tebasan bilah pedang tertarik kebelakang oleh medan magnet statis yang terbentuk. Sudah jelas, ini perbuatan Chikako.

"Kali ini, tak akan kubiarkan kau menyentuh Kak Satan!"

"......"

Dengan gaya magnet yang sebesar itu, seharusnya pedang di genggamannya sudah terlepas lalu menempel di tiang. Namun, justru tiang listrik itu sendiri yang mengeluarkan suara berdenyit seolah sedang ditarik paksa. Seperti yang diharapkan dari Urami, hal seperti ini bukanlah masalah baginya.

"Kakak, menjauhlah darinya!"

Mengikuti perintah Chikako, aku segera pergi menjauh dari Urami hingga dalam jarak yang bisa memastikan keselamatanku sendiri walaupun kecil. Setelah memastikan aku sudah tak berada di dekat Urami, Chikako melontarkan tubuhnya tepat menuju Urami secepat kilat

Seperti sistem kerja Kereta Maglev yang memanfaatkan konduktivitas elektromagnetik, Chikako menggunakan listrik dari tubuhnya untuk membentuk medan magnet yang menjadi lintasannya. Dengan menciptakan gaya tolak di belakang dan gaya tarik di depannya, dia meluncur dengan lancar tanpa halangan.

Chikako menabrak Urami yang tak bisa bergerak dengan telak, lalu kumpulan asap terbentuk dan memenuhi jalanan setelahnya. Aku tak bisa melihat apapun, pandanganku terbatas hanya sekitar satu meter. Apa yang terjadi pada mereka sekarang, akupun tak tahu. Yang pasti, tabrakan tadi menyisakan kerusakan yang sangat besar.

Tak lama kemudian, asap-asap yang mengelilingiku hilang hanya dalam satu hembusan angin. Tentu, itu bukanlah angin biasa yang berhembus dikala cerah, melainkan angin yang berontak dikala badai melanda.

Betapa terkejutnya aku melihat keadaan mereka berdua yang kini sudah kembali memasang jarak. Mereka mungkin sudah mengalami benturan saat aku tak dapat melihatnya, dan kembali berjauhan saat Urami menyerang Chikako dengan salah satu "teknik angin"nya.

"Sepertinya, aku memang harus mengalahkanmu terlebih dahulu, lalu membunuh orang biadab yang di sana!"

"Tak akan kubiarkan kau melukai kakak!! Aku pasti akan melindunginya!"

Sudah jelas "orang biadab" yang dimaksud adalah aku. Memang benar, untuk dapat membunuhku Urami harus membunuh Chikako atau setidaknya membuatnya tak sadarkan diri. Karena bagaimanapun, Chikako pasti akan melindungi diriku walau itu artinya nyawanya sendiri menjadi taruhannya. Begitulah Chikako.

Itu bahkan mengingatkanku saat keluarga kami diusir dari keluarga utama. Penyebabnya adalah karena aku yang menjadi anak pertama tak memiliki bakat untuk menjadi seorang pendekar pedang. Hal itu menyebabkan kakek kecewa dan menendang keluar keluarga kami hingga dipermalukan oleh kerabat yang lain.

Saat itulah, dengan gagah berani Chikako berdiri di depan kakek untuk melindungi orang tua kami. Walau dengan badannya yang kecil, walau saat itu dia baru berumur 5 tahun, dia dengan tegas berkata,

"Biarkan Chikako yang akan meneruskan Teknik Pedang Raizetsu! Jadi, jangan sakiti ayah, ibu, dan kakak Chikako lagi!"

Semuanya terdiam, termasuk aku. Bahkan orang tua kami hanya bisa melihat dengan wajah yang penuh rasa terkejut. Terlebih, itu adalah serangan telak untuk kakek kami. Karena hal itu, kakek akhirnya menerima tekad Chikako dan memberikan keringanan untuk keluarga kami. Hasilnya, hingga kini keluarga kami masih dapat memegang nama "Raizetsu" yang berarti "Petir Abadi". Meskipun sebenarnya aku menganggap itu tak perlu.

Dan sekarang, aku kembali dilindungi oleh Chikako? Bahkan, penyebab kematian Chikako karena dia melindungiku. Aku tidak boleh terus bergantung padanya! Kali ini, akulah yang akan melindungi Chikako!

"Chikako, sudah cukup! Jangan lanjutkan pertarungan ini lagi!"

Aku mengatakan sesuatu yang aneh secara tiba-tiba, mungkin membuat Chikako merasa heran. Genggaman pada gagang Katana yang mengendur menjadi pertanda kalau dia merasa sesuatu yang tak benar sedang terjadi.

"Apa yang kakak bicarakan? Perempuan ini mencoba membunuh kakak! Mengapa kakak melarangku untuk mengalahkannya?!"

"Tidak ada alasan Chikako! Apa yang akan kau lakukan saat kau berhasil mengalahkannya? Apa kau akan membunuhnya supaya tak bisa membunuhku lagi, begitu? Kalau iya, aku tak akan mengizinkanmu Chikako!"

"T-tapi, aku hanya mencoba melindungi kakak!"

"Aku tak pernah memintamu untuk melindungiku! Sejak awal, bahkan sejak kita diusir dari keluarga utama, aku tak pernah sekalipun memintamu untuk melindungiku! Aku tahu, saat itu kau memaksakan dirimu menggantikan posisiku untuk melindungi harga diriku, harga diri keluarga kita. Tapi, aku tak ingin melihat itu! Aku tak ingin melihatmu menderita karenaku!!"

"......"

Chikako hanya terdiam, begitupun diriku yang tak tahu harus berkata apa lagi. Aku menarik napas beberapa kali, mencoba untuk meringankan sakit kepala yang terus menyerang selagi aku memikirkan rangkaian kata yang tepat kukeluarkan untuk saat ini. Dan kata yang mungkin tepat untuk saat ini adalah,

"Bagaimanapun juga..." lanjutku.

"...?"

"Urami adalah orang yang sangat penting bagiku."

".......!"

Chikako akhirnya melemaskan seluruh lengannya hingga ujung Katana yang dia pegang menyentuh tanah. Mungkin, akhirnya dia mau mengerti perasaanku dan mencoba untuk menuruti perkataanku. Karena bagaimanapun juga, Chikako adalah anak yang baik.

"Apa barusan kau bilang?!!"

Urami yang semenjak tadi berdiam diri, kini sudah tak tahan dengan perkataanku dan mencoba untuk masuk dalam percakapan.

"Apa maksudnya itu?!! Sudah kubilang sejak awal, bukan? Aku tak mengenalmu, selain kau adalah orang yang membunuh orang tuaku. Jangan sok akrab denganku, aku tak bisa memaafkanmu sedikitpun dalam hidupku sebelum aku bisa membunuhmu!!"

"Lalu apa yang kau dapat setelah membunuhku? Apakah orang tuamu akan kembali hidup? Apa kau akan membuang seluruh hidupmu dalam dendam tanpa mengetahui kebenarannya dari kematian orang tuamu? Baiklah, jika itu memang membuatmu puas, bunuhlah aku. Aku tak masalah jika harus mati di tanganmu, Urami."

"Dasar pembunuh!!!"

Setelah mendapat Izin dariku, Urami tak sia-sia memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang langsung tepat ke arahku. Ujung bilah yang mengunci targetnya kini sudah tertembak. Sudah terlalu banyak keberuntungan yang menimpa diriku mengetahui aku tak mati sampai saat ini, dan sekarang mungkin aku akan benar-benar mati. Oleh karena itu, aku memejamkan mataku...

".....!"

Perutku tertusuk sebilah pedang hingga menembus ke tulang punggungku ... atau itu yang harusnya terjadi. Tapi, yang bisa kudengar hanyalah dentangan pedang yang keras. Saat aku membuka mataku, terdapat Chikako yang berdiri sebagai perisai yang menahan Urami. Sekali  lagi, Chikako menyelamatkanku.

"Apa yang kakak lakukan? Apa kakak ingin merelakan hidup kakak begitu saja?! Aku tidak bisa menerima keputusan dimana kakak harus mati! Aku sangat tak bisa menerima itu kak!! Jadi kumohon, jangan mati kak..."

Meski aku tak dapat melihat wajahnya, aku tahu Chikako kini sedang menangis. Suaranya tersedak-sedak, bahunya bergetar, dan yang lebih penting ... air matanya yang kini sedang mengalir turun dari matanya membuatku hanya bisa memalingkan wajah.

"Cih, kau mengganggu! Minggir sekarang juga, biarkan aku membunuh orang itu!"

"Tidak, aku tak akan mungkin meninggalkan kakak begitu saja. Aku akan menghentikanmu walau harus mengotori tanganku ini!"

Arus tinggi listrik mengalir keluar dari tubuh Chikako. Dengan satu hempasan yang kuat, dia berhasil melempar mundur Urami lumayan jauh. Setelah itu, dia melanjutkan serangan dengan meluncur lurus menuju Urami. Sekali lagi dentangan pedang mereka terdengar.

Mungkin dari sudut pandang Chikako, Urami adalah orang jahat disini. Namun sebenarnya, semenjak awal aku mencoba untuk membenarkan kesalahpahanamannya, dia mulai berlinang air mata. Dan air mata itu itu kini semakin kuat dengan pernyataanku yang baru saja kulontarkan.

Baik Urami maupun Chikako bukanlah penjahat disini, mereka hanyalah korban. Jika ada orang yang pantas disebut sebagai "penjahat", sudah jelas itu aku. Meskipun begitu, aku tak ingin membuat mereka menjadi "korban" untuk kedua kalinya.

"Chikako, berhenti!!"

Suaraku tak berhasil menggapai Chikako. Dia sudah membulatkan tekadnya untuk melindungiku walau apapun yang terjadi. Dan inilah hasil dari tekad itu, pertarungan yang dahsyat kembali terjadi. Sekali lagi, badai petir dan angin mengamuk tak karuan.

Sejak awal, posisi kami memang berada dalam lingkaran gunting-batu-kertas. Urami adalah gunting, Chikako adalah batu, dan aku adalah kertas. Diantara kami bertiga, jelas aku yang paling lemah, tapi di satu sisi hanya aku yang bisa menghentikan mereka berdua.

Fungsi "gunting" adalah untuk memotong kertas. Fungsi "batu" adalah untuk mematahkan gunting. Dan fungsi "kertas" adalah untuk membungkus batu. Lalu, bagaimana cara "kertas" untuk menumpulkan mata si "gunting"? Caranya mudah.

"Kertas" bisa saling menumpuk dirinya dan membuatnya tebal, hingga membuat si "gunting" tak mudah untuk memotong kertas. Lalu bagaimana jika hanya selembar kertas? Apakah dia bisa menahan tajamnya mata gunting? Tentu tidak.

"Agghh..."

Denyutan di kepalaku terasa semakin kuat. Tak heran jika aku merasa seperti lilitan rantai itu kini sedang meremas habis isi kepalaku keluar. Sudah kuduga, sakit kepala ini terjadi saat aku mencoba untuk berpikir melalui kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Dan, itu merupakan cara berpikir yang biasa kulakukan.

Mudahnya seperti ini. Jalan pemikiranku jika digambarkan dengan rangkaian, jelas akan membentuk sebuah paralel tanpa hingga. Dimana, aku selalu memikirkan suatu kemungkinan akan berhubungan dengan kemungkinan lainnya dan memperhitungkan berapa persen kemungkinan itu akan terjadi.

Contohnya, saat aku sedang menyebrang jalan pasti akan ada kemungkinan dimana aku akan tertabrak oleh kendaraan. Entah itu mobil, motor, truk, bahkan aku juga memperhitungkan aku akan tertimpa oleh pesawat yang tiba-tiba jatuh. Lalu misalkan setelah aku tertabrak mobil, apa yang akan terjadi padaku? Apakah aku akan langsung mati? Atau mungkin aku akan sekarat terlebih dahulu? Mungkin saja aku hanya patah tulang? Bukankah aku akan terhindar dari itu semua jika aku tak menyebrang? Kira-kira seperti itulah cara berpikirku yang biasanya.

Namun kini, kemungkinan-kemungkinan itu mulai hancur satu persatu, bukan, tapi dipaksa untuk hancur. Aku sendiri tak tahu kapan seluruh kemungkinan itu akan hancur, oleh karena itu aku sudah mempersiapkan diriku.

Jika memang aku tak bisa menggunakan pola pikir yang biasa kupakai, aku hanya tinggal menggantinya. Dengan keadaanku yang sekarang, pilihan yang bisa kupilih hanyalah "pola pikir satu rantai". Dimana kemungkinan yang muncul hanyalah satu dan juga hanya menyambung pada satu kemungkinan. Namun, aku bisa menambahkan detail sebanyak apapun dalam "satu kotak  kemungkinan" itu. Itu sudah kubuktikan dengan perbuatan-perbuatanku.

Ini seperti saat kau mencoba segala cara untuk membuat seorang perempuan jatuh cinta padamu, ketimbang memilih melakukan hal yang dia sukai. Sulit dan tentu banyak kelemahannya, tapi jika dimanfaatkan dengan maksimal jelas memiliki keuntungan yang bisa digunakan.

Selagi aku tenggelam dalam pikiran yang dipenuhi oleh rasa sakit, keadaan di sekitarku mulai tambah tak karuan. Pertarungan Urami dan Chikako yang membabi buta, seloah tak mengenal ampun lawan yang ada di hadapan mereka. Bunyi dentangan menggema di seluruh kota, terdengar bagai lonceng pertanda Dewa Kematian telah tiba.

Mereka terus melancarkan serangan, menahan, lalu melakukan serangan balik. Chikako mengayunkan Katananya yang terlapisi oleh listrik hingga terlihat seperti cambuk. Urami tentu tak bisa menahan serangan itu, hingga dia menghindar dengan mendorong tubuhnya untuk terbang ke atas. Dan hasilnya, jalanan kembali hancur untuk yang kesekian kalinya.

Kali ini, Urami mencoba serangan balik. Dengan satu tebasan ke samping, angin pipih besar menyerbu tepat ke arah Chikako. Chikako dengan cermat menghindar dengan menarik dirinya ke bangunan di sampingnya lalu menempel seperti magnet. Angin yang tak berhasil memotong Chikako, kini berhasil memotong bangunan yang berada di belakang Chikako dengan rapih.

Chikako mendekati Urami dengan berlari di dinding. Urami yang melihat itu tentu tak tinggal diam, sekali lagi dia mengeluarkan serangan angin pipih. Namun sayang, Chikako sudah memperkirakan hal itu dan berpindah menggunakan listrik ke bangunan di seberang jalan. Lalu dengan sekali gaya dorong, Chikako dengan cepat menerjang Urami.

Mungkin karena keadaannya yang kurang bagus, atau dia salah memperhitungkan serangan Chikako, Urami terkena serangan itu dan terpental berguling-guling hingga menabrak salah satu bangunan. Asap-asap kembali bermunculan. Tak ada yang tahu bagaimana keadaan Urami setelah terkena serangan itu. Apakah sudah mati, atau masih hidup?

Aku tak tahan melihat kejadian ini. Meskipun Urami menginginkan kematianku, aku sama sekali tak ingin melihatnya mati. Tapi, dari kondisi pertarungannya dengan Chikako, jika terus dilanjutkan sudah dipastikan ini akan menjadi kekalahan baginya.

"....!"

Angin berputar di sekitar asap dengan cepat, dan dalam sekejap mata kumpulan asap-asap itu telah menghilang. Di bekas tempat asap menghilang, munculah Urami yang berdiri dengan gagah. Wajahnya tak menunjukan sama sekali rasa kesakitan, dan genggaman di pedangnya masih sangatlah kuat.

Seperti yang diharapkan dari Urami. Dia tak akan mungkin menerima kekalahan sebelum dia berhasil membunuhku dengan kedua tangannya sendiri. Mungkin dia tak akan ragu untuk membuang seluruh kehidupannya jika itu dapat menghilangkan kehidupanku juga. Jika dipikir, dia hampir sama dengan Chikako namun memilki tujuan yang berbeda dalam menentukan nasib si "kertas".

Urami kembali memasang kuda-kuda, begitu juga Chikako yang tak mau kehilangan waktu sedikitpun untuk dapat menghentikannya. Pertarungan mereka berdua akan segera dimulai kembali. Tak bisa hanya berdiam diri, aku berjalan mendekati mereka.

"Chikako, sudah hentikan!!"

Aku berusaha menghentikan mereka, namun tak ada jawaban sama sekali yang kuterima. Hanya lirikan mata yang mereka berikan. Seolah mereka berkata "Jangan mengganggu!" kepadaku. Dengan segera, langkah kakiku terhenti karena tatapan mereka yang membuatku terpatung.

"Maaf kakak, tapi aku akan menghentikan perempuan ini bagaimanapun caranya."

Di waktu yang bersamaan, mereka melontarkan tubuh mereka dan terdengarlah suara dentangan. Pedang mereka saling tertahan hingga tak dapat mencapai tubuh musuhnya. Tak ada suara lain setelahnya, mereka hanya diam saling menatap tajam lawan di hadapannya.

Ini adalah keadaan dimana 'dia yang pertama kali menyerang, adalah dia yang akan kalah'. Saat dia menarik bilahnya untuk melancarkan serangan, dia yang satunya akan memanfaatkan bukaan itu dan menebas orang itu. Karena itulah, ini adalah saat-saat penting dimana seorang pendekar pedang harus mempertimbangkah langkah terbaik.

Yang mengambil inisiatif pertama kali adalah Urami. Dia menarik pedangnya menjauh dari Katana Chikako, dan tentu Chikako memanfaatkan itu untuk segera mengarahkan mata pedanganya pada Urami. Namun sayang, ternyata itu hanyalah jebakan Urami.

Urami memutar tubuhnya lalu angin puyuhpun terbentuk dan mementalkan Chikako. Tak lama, urami melanjutkan serangannya dengan membuat angin puyuh itu berdiri secara horizontal seperti bor. Serangan itu terbang menuju Chikako yang belum menyiapkan kembali posisi tubuhnya, otomatis serangan Urami berhasil melukai bagian kiri Chikako.

".....!"

Tiba-tiba saja, angin puyuh disekitar Urami menghilang. Ternyata, bilah pedang Urami tertempel pada tutup lubang gorong-gorong di jalan dan membuatnya terhenti. Lalu, Chikako dengan kuat menendang Urami tepat di perutnya dan membuatnya terpental lumayan jauh.

Tak berhenti hanya di situ, Chikako melanjutkan serangannya dengan menembakkan listrik dari pedangnya. Aku yang melihat itu merasa panik, jika dibiarkan begitu saja tentu Urami pasti akan mati. Oleh karena itu, aku mengambil Smartphone yang berada di kantung celanaku dan melemparkannya di saat yang tepat untuk menghalangi tembakan listrik itu.

Dikarenakan tegangan listrik yang begitu tinggi diterima oleh Smartphoneku, membuat komponen-komponen di dalamnya menerima terlalu banyak daya. Dan hasilnya adalah, ledakan yang cukup kuat setara dengan granat tangan.

Mendapatkan gangguan dari kakaknya sendiri membuat Chikako memasang wajah "kenapa?" saat melihat ke arahku. Dia dengan segera kembali terfokus pada Urami untuk menyerangnya kembali, namun tak bisa dia lakukan karena Urami sudah kembali berada dalam kuda-kudanya.

Urami sempat melirikku, namun dia segera membuang wajahnya dari pandanganku dengan kesal. Setelah itu, dia kembali memulai pertarungan sengitnya dengan Chikako. Aku sempat berpikir, apakah dia itu sebenarnya Tsundere, tapi berlaga seperti Yandere dengan penampilan bagai seorang Kuudere? Nah, jelas itu hanya pemikiranku saja.

Sampingkan hal itu untuk sekarang, karena ada masalah yang lebih penting untuk dipikirkan. Keadaan mereka sudah dalam batas yang tak bisa ditolerir. Tak peduli siapa yang mungkin akan mati, pertarungan ini sejak awal tak akan menguntungkan siapapun. Karena itu, aku akan menghentikan mereka sekarang juga meski dengan paksa!

Sekali lagi, aku berusaha masuk dalam pertarungan mereka. Dengan listrik dan angin yang tepat berada di hadapanku, aku pasti akan mati sekali terkena semua serangan itu. Itu karena, tak ada cara lain untuk menghentikan mereka jika hanya berteriak dari jauh.

Urami terus mengeluarkan angin pipihnya dan memotong segala sesuatu yang berada di sekitar. Sedangkan Chikako berusaha menghindar dengan gaya magnet yang dimilikinya. Dalam satu serangan, Urami berhasil melukai kaki Chikako dan disaat bersamaan menghancurkan pijakannya di salah satu bangunan hingga membuatnya terjatuh ke jalan. Namun sebelum Chikako benar-benar menyentuh tanah, ternyata dia sudah menyiapkan serangan balik dengan menembakkan listrik ke kaki Urami. Dan akhirnya, mereka sama-sama terjatuh dengan telak.

Mereka dengan susah payah untuk bangun. Kaki mereka kini sudah tak dapat berdiri dengan tegak lagi. Seluruh tubuh mereka bergetar menahan sakit. Tak ada jalan lain bagi mereka selain untuk segera mengakhiri pertandingan ini. Dengan kuda-kuda yang mantap, mereka sudah siap mengeluarkan serangan terhebat mereka masing-masing.

Siapa sangka, kesempatan ini akan datang dengan cepat. Inilah saatnya bagiku untuk segera bertindak. Disaat mereka akan mengadu kekuatan mereka, aku akan menginterupsi serangan mereka dan menghentikan mereka tepat saat itu juga.

Angin mulai berhembus memutari Urami dengan lembut. Listrik kecil mulai mengalir keluar dari tubuh Chikako bagai kembang api. Mereka sama-sama menenangkan dirinya dengan menarik napas dalam lalu membuangnya secara perlahan berulang kali. Dalam tarikan napas yang terakhir, dengan lantang mereka berteriak,

"Teknik Pedang Raizetsu ke-10, Rainoryuu (Naga Petir)!!!"

"Teknik Pedang Kazeha ke-13, Mainokaze (Tarian Angin)!!!"

Seekor naga listrik besar terbentuk mengikuti alur pedang Chikako. Angin berputar bagai menari dengan ganas mengikuti gerakan Urami. Mereka berdua melaju dengan cepat menuju musuh yang ada di hadapan mereka dengan tujuan untuk saling menghancurkan.

Sekarang!!!

Mengabaikan seluruh rasa sakit dan tenaga yang tersisa, aku menghentakan kakiku dan dengan sekuat tenaga berlari menuju mereka. Secara nekat, aku akan menghentikan mereka dengan berdiri tepat di tengah-tengah mereka. Sebagai seorang dari keluarga Raizetsu, aku juga akan menggunakan kekuatanku untuk menghentikan mereka.

"Teknik Pedang Raizetsu ke-0, Railgun!!!"

Aku melempar satu koin 100 Yen yang tersisa di kantungku tepat ke arah Chikako. Dengan tekanan magnetis dan lintasan rel lurus yang telah diciptakan oleh listrik, saat koin 100 yen itu mengenainya dia akan kembali terlempar dengan kecepatan hingga mencapai 7x kecepatan suara.

Karena posisiku yang hampir berada di tengah jalur serangan Chikako, menyebabkan tembakan Railgun menyerempet bagian kiriku dan menghancurkan lengan kiriku tanpa tersisa. Sementara itu, koin yang terbakar oleh gesekan udara itu kini terus melaju menuju urami.

Saat Railgun berbenturan dengan Urami, terjadi ledakan yang menghempaskan angin-angin ganas yang mengelilingiya. Mungkin karena kekuatan angin Urami yang sangat dahsyat, tembakan yang seharusnya bisa melubangi lapisan-lapisan baja itu hanya cukup menghancurkan Katananya saja. Meski begitu, dampak serangan yang terlalu kuat membuat Urami sudah tak bisa melanjutkan serangannya lagi.

Chikako masih terus melaju dengan naga listrik yang menjadi pelindungnya. Dia tiba-tiba melebarkan listriknya ke samping kanan dan kirinya untuk membentuk medan magnet, yang memaksanya berhenti saat serangannya itu hampir tepat mengenaiku dadaku. Aku tahu, Chikako pasti akan menghentikan serangannya.

Kini, Urami dan Chikako sudah berhenti dan tak dapat lagi bertarung. Bagi Urami, dia sudah tak bisa melancarkan serangan apapun yang bisa membunuhku sekarang. Dan untuk Chikako, sudah tak ada alasan baginya untuk menyerang lawan yang tak bisa melawan. Sedangkan aku sendiri, sudah tak memiliki tenaga untuk melakukan sesuatu kecuali menghadap Urami.

"Terima kasih, Chikako."

Setelah mengucapkannya pada sosok yang meneteskan air mata di belakangku, aku berjalan dengan tertatih-tatih menuju Urami. Kini aku berdiri di hadapan Urami yang terduduk lemas di kotornya jalan. Dia juga menangis, mungkin lebih kuat dari Chikako. Sudah tak ada lagi alasan baginya untuk hidup, dan kini dia sudah siap menerima ajalnya.

"Ada apa? Cepat bunuhlah aku!!"

"......"

Aku tak bisa berkata-kata. Aku sama sekali tak tahu kata apa yang tepat kukatakan di saat seperti ini. Semua kata-kata yang kurangkai hancur dalam seketika oleh rasa sakit yang menghalanginya. Kalau begitu, aku hanya perlu menunjukan senyum padanya. Bukan senyum ejekan, bukan senyum kesenangan, melainkan senyum penuh penyesalan.

"Bagaimana cara selembar kertas menahan tajamnya mata gunting?" Tentu tidak bisa bagaimanapun kau memikirkannya. Beda hal jika pertanyaannya seperti ini, "bagaimana cara selembar kertas menumpulkan sebuah gunting?" Itu mudah, si "kertas" hanya perlu merobek dirinya sendiri sehingga si "gunting" tak punya sesuatu untuk dia gunting.

Dengan seluruh tenagaku yang tersisa, aku mengayunkan pedangku untuk menusuk tubuh yang penuh darah dan daging. Suara daging yang terobek dan tulang yang terpatah terdengar begitu memilukan. Darah mengalir keluar dari mulut dan dari tempat tertusuknya pedang itu. Bilah itu menembus hingga ke punggung ... bilah itu menusuk tubuhku yang akan mati dengan segera.

Nyawaku secara perlahan dihisap keluar dari tubuhku, bersamaan dengan mulai habisnya darah dan matinya organ-organ dalam tubuhku. Penglihatanku mulai menghitam, tubuhku mati rasa, dan napasku kini sudah berhenti seluruhnya...

******

Cuaca hari ini terasa sangat panas. Matahari yang bersinar terang melewati lapisan ozon, terasa membakar kulit hingga lapisan lemak. Keringat yang mengalir di seluruh tubuhku membuatku terlihat seolah baru saja keluar dari pemandian air panas.

Aku mengelap keringat di dahiku dengan lengan bajuku. Napasku sedikit terengap karena dehidra—tunggu sebentar! Aku menyadari ada sesuatu yang aneh sekarang. Aku kembali ke saat pertama kali aku berada di tempat ini.

Apa yang terjadi? Bukankah seharusnya aku sudah mati? Lalu, kenapa aku masih dapat hidup? Bahkan, luka yang berada di seluruh tubuku telah menghilang tanpa bekas. Seolah-olah, semua yang kulalui barusan hanyalah mimpi—benar-benar mimipi yang buruk.

Awalnya aku memutuskan bahwa tempat ini adalah mimpi, namun sekarang aku terbangun kembali dari mimpi. Apa ini yang disebut "mimpi dalam mimpi"? Atau mungkin aku hanya berimajinasi karena panas berlebih? Jangan bilang jika sebenarnya dunia ini adalah dunia yang asl—

"....!"

Rasa sakit di kepalaku ini, jelas-jelas rasa sakit yang sama saat aku bertarung melawan Urami. Itu berarti, semua hal yang aku alami adalah asli dan bukanlah mimpi? Lalu, yang mana "mimpi" dan yang mana "kenyataan"?

Saat aku memikirkan itu semua, rasa sakit di kepalaku terasa semakin kuat. Semakin banyak kemungkinan yang kuperkirakan akan semakin intens rasa sakit ini, dan saat sudah mencapai batasnya otakku akan dipaksa berhenti berpikir. Ternyata benar, semua yang kualami  benar-benar terjadi menyampingkan itu mimpi atau bukan.

Lagipula, ada hal yang benar-benar berbeda dengan yang kuingat. Terdapat dua sosok yang berdiri tak jauh di hadapanku. Aku tak tahu sejak kapan mereka ada disana, hanya saja aku merasa pernah melihat mereka entah di suatu tempat.

Salah satu dari mereka adalah seoarang laki-laki dengan penampilan rapih bak seorang mafia. Selagi memakai jas hitam yang dilapisi mantel berbulu ditambah kacamata semi-hitam, lalu dipoles dengan rambut hitam klimis dan janggut tipis menambah kesan elegan namun licik darinya.

Sedangkan yang satunya, aku tak tahu harus berkata apa. Seorang perempuan(?) dengan fisik berkisar 8 tahun. Menggunakan jas hujan berwarna kuning, lengkap dengan sarung tangan dan sepatu boots yang kuning kehijauan. Tak lepas dari tongkat permen(?) yang dia putar-putar di tangannya. Yang membuatku bingung adalah, kepalanya yang secara harfiah terbentuk dari bantal berwana ungu.

"Benarkan apa kataku, Paman Nurma? Pertarungannya sangat menarik."

Perempuan Berkepala Bantal itu mencoba mengajak laki-laki mafia untuk berbicara. Hanya saja, laki-laki yang disebut Nurma itu sedang asik memakan sesuatu, dan dengan santainya mendengarkan perkataan Kepala Bantal.

"Meski kau bilang begitu Huban, dia tak menyelesaikan tantangan yang kita berikan. Karena itu, dia tak pantas menjadi seorang Reveriers."

"Paman Nurma itu ternyata bodoh ya? Sudah jelas dia memberikan tontonan yang menarik, sampai-sampai Popcorn-ku sudah habis hingga 5 Cup. Seluruh hal yang terjadi bergerak sesuai yang direncanakannya, seolah semuanya itu adalah bidak caturnya sendiri. Di satu sisi dia berhasil melewati tantangannya, namun di satu sisinya lagi dia menghindari tantangan."

"Bukan begitu, aku sudah tahu hal itu. Yang menjadi masalah disini adalah, apakah dia bisa memberikan 'mahakarya' yang terbaik? Aku sendiri tak merasakan adanya 'mimpi' darinya. Ditambah elemen 'ketidakpastian' yang ada pada dirinya, akan sangat sulit untuk memprediksikan pergerakannya."

"Malah itulah yang akan membuatnya menjadi menarik. Benarkan begitu, Kak Satan Raizetsu?"

Siapa sebenarnya mereka? Nurma? Huban? Aku tak mengenal mereka sama sekali. Namun suara mereka, aku pernah mendengarnya dengan jelas. Tak salah lagi, mereka adalah orang yang muncul dalam mimpiku. Apa yang mereka  inginkan dariku?

"Oh, kakak terheran-heran dengan kami? Yah, memang benar kata orang 'tak kenal maka tak sayang', kalau begitu aku akan mempernalkan diri. Namaku Huban, panggil saja Ratu Huban. Dan orang tua di sampingku ini adalah Paman Zainurma. Kami ini orang baik kok, jadi tak usah takut. Nanti kubelikan es krim, mau?"

"Apa boleh yang rasa coklat?"

"Tentu!! Aku sendiri malah ingin rasa vanilla, dengan taburan strawberry dan blueberry, ditambah irisan pisang, dan jangan lupakan pitasio."

"......"

Dia menanggapinya dengan serius, sialan! Aku tak bisa membaca pikiran orang yang bernama Ratu Huban ini. Pikirannya terlalu abstrak!

Selagi Ratu Huban terus melanturkan kata-kata yang tak ada gunanya, Zainurma melihat ke arahku dengan tatapan panas seolah ingin melahapku. Sayangnya, aku tak ada rasa terhadap laki-laki, terlebih yang sudah berumur. Jika seperti Hideyoshi atau Totsuka, tanpa ragu akan membalas cintanya.

"Meski begitu, harus kuakui caramu memanipulasi Urami sangatlah hebat. Kau memanfaatkan kebencian dalam hatinya, lalu perlahan-lahan menimbulkan rasa ragu dalam dirinya dengan perbuatan-perbuatanmu."

Jujur, aku ingin tersenyum. Mendengar seseorang memuji diriku adalah hal yang jarang kudengar. Karena itulah, aku harus menerima pujian ini dengan senang hati.

"Itu bukanlah hal yang hebat, hanya dia saja yang terlalu mudah percaya pada perkataan seseorang. Dengan berkata 'Urami adalah orang yang berharga bagiku' sudah membuat rasa ragu pada pembunuh orang tuanya semakin membesar. Aku hanya memanfaatkan sifatnya yang terlalu baik." kataku.

"Dan pemicu rasa ragu itu adalah jelas, saat dimana kau menerima dengan sengaja serangannya di dadamu. Kau yang seharusnya bisa menghindar dari serangannya, malah dengan lapang dada memasrahkan hidupmu padanya. Sudah bisa dipastikan, rasa ragu muncul di dalam hati Urami dan menyebabkan serangannya di dadamu tak terlalu dalam hingga kau masih dapat hidup. Itu benar-benar hal yang nekat."

"Ya benar sekali, itu sudah bisa kuperkirakan. Kalaupun aku mati saat itu, itu artinya aku memang tak punya hak untuk hidup."

"Hahaha, benar kata Huban. Kau ini orang yang sangat menarik. Tak heran kau membunuh dirimu sendiri hanya demi membuat Urami putus asa. Orang yang seharusnya menjadi sasaran 'dendam'nya, tanpa dia duga ternyata berbuat baik padanya. Dan kau membuktikan itu semua dengan perbuatan dan perkataanmu. Lalu setelah kau mati, alasannya untuk membunuhmu benar-benar sudah menghilang. Bahkan, aku tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya jiwanya sekarang."

"Itu lebih baik daripada harus membunuhnya. Selama dia masih hidup, dia masih bisa mencari tujuan baru yang lebih baik. Lagipula, aku membunuh diriku sendiri tak lain tak bukan untuk membuktikan teoriku. Jika memang benar ini adalah Alam Mimpi seperti yang kudengar, aku pasti akan kembali hidup atau mungkin kembali ke kamarku."

"Lalu bagaimana dengan Chikako? Kau pasti membuatnya khawatir. Entah sudah berapa kali dia menangis untukmu."

"Kalau Chikako, aku yakin dia pasti akan mengerti."

"Kenapa kau sangat mempercayai Chikako?"

Ratu Huban mencoba bergabung dalam percakapan kami. Wajahnya seolah menunjukan penuh tanda tanya, karena aku bahkan tak tahu dimana wajahnya.

"Tentu saja karena dia adikku. Atau kau ingin aku menjawab dengan jawaban yang berbeda? Yah bisa dibilang, aku sama sekali tak mempercayai siapapun. Memang, aku menerima siapa saja tanpa membedakan mereka, namun itu bukan berarti aku mempercayai mereka. Itu juga berlaku pada adikku."

"Bahkan saat dia menghentikan pedangnya ketika akan mengalahkan Urami?"

"Iya, kemungkinan dia memberhentikan pedangnya saat itu adalah 99%. Dan 1% yang tersisa adalah kemungkinan kesalahan teknik yang bisa terjadi. Aku bertindak berdasarkan kemungkinan terbaik, bukan karena rasa percaya."

Ratu Huban hanya bisa tertawa, sementara Zainurma mendengarkannya dengan seksama. Sebenarnya apa yang membuatnya tertawa? Apakah itu adalah hal yang harus ditertawakan? Aku sama sekali tak mengerti.

"Aku  mempunyai pertanyaan di sini. Mengapa Urami mengingat kejadian itu tapi tak mengingat diriku? Itu pasti ulah kalian kan?" tanyaku.

"Tebakan Anda benar!! Aku dan Paman Zainurma yang menyiapakan semunya."

Ratu Huban menjawab seolah dia berperan sebagai pembawa acara kuis mingguan di televisi.

"Aku menyiapkan hal itu karena kupikir itu akan membuat semuanya lebih menarik. Sengaja kubiarkan Urami tak mengingatmu, sehingga dia tak akan ragu untuk membunuh orang yang berharga baginya. Tapi ternyata, kau masih bisa memanfaatkan itu dan berhasil membuatnya ragu dengan pendekatan yang berbeda." lanjutnya.

"lalu, kenapa juga harus ada Chikako?"

"Itu hanya tambahan suapaya tontonannya lebih seru dan menegangkan, hehehe. Dan sekali lagi, kau berhasil memanfaatkan itu untuk membuat keuntunganmu sendiri."

Alasan yang sederhana. Jika ini memang tantangan dari mereka, jalan seperti apa yang seharusnya kupilih dalam menyelesaikannya? Tapi, mereka terlihat cukup puas dengan hasil yang kuberikan.

Aku sedari tadi penasaran dengan makanan yang dimakan oleh Zainurma. Bentuknya bulat dan ditaruh dalam plastik. Cara memakannya dengan menusukan lidi ke benda bulat itu, lalu menaruhnya ke mulut seperti makan Takoyaki. Zainurma yang menyadari aku melihat pada makanannya, langsung saja menawarkannnya padaku.

"Kau mau, tahu bulat?"

Tahu bulat? Makanan apa itu? Baru pertama kali aku mendengarnya. Dengan segan, aku mengambil satu tahu bulat itu dan langsung melahapnya. Rasanya gurih, malah terlalu gurih hingga menjadi asin. Aku tersedak hanya dengan memakannya satu.

"Apa ini? Asin sekali! Darimana makanan ini berasal?"

"Makanan ini berasal dari Indonesia, kau tak tahu? Kukira ini makanan terkenal di duniamu."

Menyampingkan makanan yang bisa dibilang "wah!" itu. Aku masih mempunyai sesuatu yang mengganjal di kepalaku.

"Aku ingin bertanya satu hal lagi, apa rasa sakit yang menyerang kepalaku ini adalah ulah kalian juga?" tanyaku.

"Ya, itu adalah efek dari Bingkai Mimpi."

"Bingkai Mimpi?"

"Tempat dimana kau berdiri sekarang ini adalah Bingkai Mimpi, dimana 'inspirasi' akan terkikis secara perlahan. Efek dari Bingkai Mimpi itu sendiri seharusnya hanya membuat seseorang kehilangan ingatan akan kemampuannya. Aku tidak tahu jelasnya, namun sepertinya dalam kasusmu itu spesial."

"Sial, aku lebih memilih 'kehilangan ingatan' ketimbang harus merasakan 'kekangan rasa sakit' ini. Tunggu, jadi ini bukan Alam Mimpi?"

"Bukan, tempat yang akan kau tuju sekarang baru disebut Alam Mimpi."

Sebenarnya, apa yang mereka maksud dengan "Alam Mimpi" dan "Bingkai Mimpi? Aku tak tahu apa perbedaan dari kedua kata itu. Yang aku tahu sekarang adalah, mereka akan membawaku ke suatu tempat yang tidak berada di dunia ini.

"Jika kalian ingin membawaku ke suatu tempat maaf saja, aku menolak. Kembalikan saja aku ke kamarku sekarang juga. Aku sudah sangat lelah, dan ingin segera tidur kembali."

"Kalau itu tak bisa! Kau tak bisa mundur semenjak kau sudah membunuh Alshain Kairos."

Alshain Kairos? Siapa dia? Aku sama sekali tak mengingat nama itu. Tak peduli seberapa jauh aku mengingat, nama itu tak mau muncul di kepalaku. Yang ada malah hanya rasa sakit yang disebabkan oleh menghilanya inspirasiku.

"Kau tak bisa mengingatnya? Itu wajar, karena aku telah menyegel ingatanmu saat itu. Biarkan aku membukanya sebagai ucapan selamat karena telah melewati tantangan keduamu."

Ratu Huban memutar-mutar tongkatnya, lalu mengarahkannya padaku. Dan dalam sekejap, seluruh ingatanku tentang hari itu muncul. Siapa itu Alshain Kairos, mengapa aku bisa bertarung dengannya, bahkan bagaimana caraku mengalahkannya. Semua terbuka seperti lembaran baru yang diisi dengan paksa.

"Kau sudah ingat bukan? Dia adalah orang yang kupilih untuk berperan sebagai lawan ujianmu yang pertama. Karena kau hanyalah orang biasa yang tak memiliki apapun selain pola pikirmu yang aneh, aku dengan sengaja memberimu lawan yang sulit. Jika kau kalah, itu artinya kau memang benar manusia biasa. Namun jika kau menang, itu pasti akan sangat mengagumkan. Aku melakukan itu hanya karena iseng dan rasa penasaranku. Dan siapa sangka, ternyata kau berhasil mengalahkannya dengan cara yang tak diduga. Karena itulah, aku menganggapmu menarik ... Satan Raizetsu."

Jadi begitu ... sekarang semuanya terlihat bersambungan. Sejak awal, aku sudah terjebak dalam permainan tak berguna ini. Yang paling membuatku kesal adalah, aku pernah membunuh seseorang namun tak bisa mengingatnya. Aku benar-benar kesal, hingga aku merasa ingin menghancurkan permainan itu sekarang juga!

"Hahahahaa!!!! Baiklah kalau begitu, aku akan main dalam permainanmu, Ratu Huban!!"

"Baguslah!! Seperti yang diharapkan dari orang yang memegang nama Satan!"

"Hahah, jangan bercanda! Nama ini tak lebih dari sekedar pemikiran nyentrik orang tuaku. Bahkan nama Chikako terbentuk dari kanji [=darah] dan [過去=masa lalu]. Aneh bukan? kau tak akan menenumkan orang tua seperti ini dimanapun. Sudah cukup bercandanya! Cepatlah bawa aku ke Alam Mimpi!

"Segera seperti yang kau minta! Kalau begitu, terimalah benda-benda ini!"

Ratu Huban memutar-mutar tongkatnya dan keluarlah efek seperti dalam Anime Mahou Shoujo*. Tiba-tiba saja dari dalam kehampaan udara munculah Smartphone-ku yang seharusnya sudah rusak, Katana milik ayahnya Urami lengkap dengan sarungnya, dan terakhir adalah seekor domba putih.

Aku mengambil Smartphone-ku dan menaruhnya kembali di kantung celanaku. Lalu, aku juga mengambil Katana itu dan menyangkutkannya di gesperku. Tapi, aku tak tahu apa yang harus kuperbuat pada domba ini.

"Domba putih itu akan menjadi pemandumu selama di Alam Mimpi. Jadi pastikan jangan hilang, karena tak ada Information Center di sana."

Sekali lagi, sebuah pintu muncul entah darimana. Saat pintu itu terbuka, sebuah pusaran air berwarna emas muncul dari balik pintu itu. Hanya dengan melihatnya saja sudah membuatku merasa terhisap ke dalamnya.

"Selamat menikmati perjalananmu!"

Dengan salam perpisahan yang singkat dari Ratu Huban, aku melangkah mendekati pintu itu seperti dituntun oleh pusaran yang seolah menghisapku secara perlahan masuk ke dalamnya. Dan hanya dalam sekejap mata, aku akan berada di dunia sana ... dunia yang disebut Alam Mimpi.[]






Catatan Pengarang

Halo semunya, saya di sini ingin menjelaskan "mengapa Satan tak melupakan kemampuannya melainkan terkena kekangan?". Oke, pertama saya akan bagikan fakta terlebih dahulu dimana seluruh "kemampuan aktif" satan tercipta dari "kemampuan dasarnya". Oleh karena itu, kalau Satan melupakan seluruh "kemampuan aktif" miliknya, tak perlu waktu lama bagi satan untuk mendapatkannya kembali.

Kemampuan dasar Satan adalah Logic-Relate (Anda bisa lihat sendiri di Charsheetnya). Intinya adalah, kemampuan dasar Satan itu sendiri adalah identifikasi dan seluruh "kemapuan aktif" Satan adalah hasil identifikasi tersebut. Sekarang, mengerti kenapa saya tak membuat Satan melupakan kemampuan aktifnya?

Maka dari itu, saya lebih memilih untuk membuat kemampuan satan terkekang bahkan hingga ke "kemampuan dasar". Setengah dari "kemampuan dasar" Satan sudah terkekang, karena itu dia lebih memilih untuk mengganti pola pikirnya. Jika Satan mengganti pola pikir yang menjadi dasar kemampuannya, bukankah itu juga akan membuat seluruh "kemampuan aktif"nya menghilang?

Memang, dengan pembatasan kemampuan yang seperti ini tak seluruh kemampuan menghilang.  Contohnya kemampuan Multiuser Satan dimana dia dapat menggunakan berbagai macam senjata dan mesin teknis. Dia bisa melakukan itu karena dia mengidentifikasi cara penggunaan senjata ataupun mesin teknis itu. Karena dia tak bisa menggunakan pola pikirnya yang semula, dia tak dapat menggunakan senjata-senjata dengan cara dan fungsi yang berbeda.

Sejauh ini, Satan hanya bisa menggunakan Katana, pistol dan sejenis keduanya karena dia mengingat cara menggunakannya. Bahkan Wakizashi perlu teknik yang berbeda dalam menggunakannya. Dan untuk kendaraan, yah dia hanya bisa mobil, motor, dan kendaraan yang mempunyai teknik berkendara yang sama.

Saya membuat Catatan Pengarang ini dalam rangka menghindari salah paham dimana saya dianggap tak mengikuti  kanon panitia atau semacamnya. Lagipula, saya sudah dapat konfirmasi dari admin bahwa "kehilangan inspirasi" tak perlu mesti "kehilangan ingatan". Dan juga, mungkin ini dapat membantu peserta yang lain untuk lebih memahami bagaimana cara kerja kemampuan Satan.

Terima kasih yang sudah membaca entri saya, jika berkenan izinkan saya untuk maju ke babak berikutnya dan biarkan saya menyuguhkan lebih banyak permainan yang mungkin mengasah otak Anda sekalian.

22 komentar:

  1. Sekilas entri ini keliatan panjang, tapi buat saya rasanya entri ini ga berasa lebih panjang dari prelim Namol Nihilo. Alesannya karena kebanyakan alokasi jumlah kata habis di narasi Satan, yang keliatannya tiap maparin sesuatu harus makan satu paragraf sendiri. Sementara apa yang terjadi di entri ini sebenernya ga banyak, selain Satan vs Urami terus Chikako dateng di tengah"

    Biasanya saya agak males baca pov1 yang rada ribut, tapi setelah coba diikutin, rasanya lumayan menghibur juga. Berasa ada unsur hiperbola ala anime-esque di kebanyakan kalimatnya. Beberapa dialognya juga tanpa disengaja jadi berasa komedik, kayak "Mengapa? Mengapaaaaaa??!!!!!!" atau "Ini aku Satan!"

    Soal plot sendiri, Satan ini jadi lebih kayak bystander ya begitu adiknya muncul. Mungkin karena kemampuannya sendiri bukan sesuatu yang wah kalo dibandingin sama angin vs petir

    Alshain Kairos disebut", apa Satan ini ikutan FBC sebelumnya?

    Btw, saya agak keganggu sama pikiran Satan yang kadang ngeganggu flow tensi cerita, kayak ngomongin soal fetish atau dere. Analogi cinderella sama gunting-kertas-batunya juga agak miss buat saya, berasa di luar konteks meski ngerti maksudnya apa

    Nilai 7

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hmm Oke... saya memang penulis cerita bergenre Mistery, jadi biasa nulis hal terkecil atau bahkan hingga pemisalan-pemisalan yang mungkin kalau diperhatikan lebih dalam maksudnya akan jelas tersambung dengan cerita.

      Iya saya ikut FBC sebelumnya.

      Yah silakan biasakan diri Anda karena dari sini akan lebih memutar otak :3

      Terima kasih.

      Hapus
  2. hmm...orang tua yang aneh. masa kasih nama anaknya sendiri satan? kan bagusan tenshi
    kuro: thor? kayaknya author sendiri juga harus nyadar deh.
    chou: oh iya ya. namamu sendiri artinya 'kesulitan' ya
    kuro: BUKAN!! (>_<) beda kanji dan intonasi thor! pake ini nih 九郎(kurou) yg artinya 'putra ke sembilan'
    chou: ho, jd lu punya saudara?
    kuro: ....ok, abaikan author yg mulai ngaco ini. hm...abis bc yg 2000n kata trus bc ini jd kerasa panjang bnget...bgian yg kurasa kurang penting jd aku skip. btw settingnya jepang ya. ada 'jihanki' nya. 'jihanki' emang praktis nggak cuma minuman, rokok sama udon jugaada. jus jeruknya pengen juga
    chou: momo tea sama coffe milk late juga enak lho!. sering beli milk late anget pas musim dingin
    kuro: thor jangan nglantur lagi! buru kasih kesan2 ma nilai! ini udah panjang
    chou: critanya kn juga panjang. nggak papa dong komen panjang
    kuro: thor...
    chou: ok2. sbnarnya bingung juga mau nulis apa. sbgian udah disebut kuro. cuma tadi sempet kebayang kuro sama zweite aja di tengah2. hmm...nilainya....karna kalo saya kasih kurou nanti saya kesepian, jadi saya kasih kakaknya kuro aja deh-hachirou (8)
    kuro: author jangan bkin salah paham deh (−_−;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya tapi artinya Satan sendiri disini bagus loh "Perbedaan Tunggal". udah baca Charsheet kan?

      Pokoknya, terima kasih.

      Hapus
  3. "Kakak, mana yang terasa sakit?!!"

    Chikako manis sekaliiii :*

    Pertaruangan Satan melawan Urami keren dengan dialog dan pemikiran-pemikiran Satan. Saya beneran suka di bagian Chikako muncul dan membantu Satan. Awalnya ngira katana yang tertancap itu ada hubungannya denga Alshain Kairos. Apakah Satan jatuh cinta denga Urami?

    Tidak semua orang bosan dan mengantuk saat membaca narasi Satan yang panjang. Apalagi ditambah beberapa joke yang menghibur. Alurnya juga enak diikutin, sesuai ketentuan panitia. Saya suka di bagian Satan mengalami perubahan musim.

    Salam untuk Chikako

    Nilai 8
    Merald

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ada, kan tempat yang mmenjadi bingkai mimpi itu sama dengan tempat dimana Satan lawan Kairos. nah kan dijelasin juga sama Ratu Huban pas terakhir.

      Satan cinta pada Urami? well, bisa dibilang begitu sebelum kejadian 3 tahun lalu.

      Chikako pasti senang di alam sana, terima kasih.

      Hapus
  4. Bacanya pusing... beneran mesti pake otak ini...

    Adegan battle nya lumayan intens, seru, kaya' nonton anime aja.. *plak
    Seketika inget Misaka Mikoto dengan "Railgun" nya. Tapi agak gak nangkep sih... itu beneran di lempar doang? (._.)

    Yap aku bisa nangkep analogi soal "gunting, batu dan kertas" dan soal "Cinderela..

    Dan baru ngerti maksud tindakan Satan dari percakapan Satan, Ratu Huban dan Zainurma.

    Tapi entah kenapa aku kurang enjoy bacanya. Aku suka misteri tapi mungkin bahan bacaanku terlalu ringan jika Dibanding in sama entry mu...

    Aku suka saat Chikako melindungi kakaknya dengan sekuat tenaga... ^^

    Well... tadinya aku mau kasi 7, tapi tambah 1 deh... karena ada joke soal "es krim" (gak tau kenapa aku ketawa di bagian itu *plak)

    Itu aja mungkin... maaf kepanjangan...

    Overall 8

    Sign,
    Lyre Reinn

    OC : Eve Angeline

    BalasHapus
  5. Hmm, kan dilempar ke Chikako nah pantulannya itu yang membakar koin. karena konsep Chikako saat meluncur menggunakan konsep kereta Maglev, cek google kalau gak tahu. otomatis, sudah terbentuk rel dari serangan Chikako. Supaya bisa ngancurin musuh, daya listrik di depannya harus besar. karena besarnya daya listrik itulah, saat koin dilempar ke Chikako akan terpental hingga mencapai 7x kecepatan suara.

    Well, terima kasih

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. Teruntuk ananda Saizen Raizetsu

    Tadinya Mbah mau memberi komentar mengenai lakon ananda, tapi mbah capek. Mbah tidur dulu ya.


    Dengan Hormat,

    ttd

    Mbah Amut

    ========================

    Abaikan komentar yang di atas. Mbah mah begitu orangnya.

    Jadiii... sebagai entri yang terpanjang saat ini, saya malah gak berpikir ini sesuatu yang panjang. Beda dengan Namol Nihilo yang panjangnya memang karena banyak sekali materi di dalamnya.

    Panjangnya cerita Satan terjadi karena Satan ini sepertinya sangat memperhatikan segala detail yang ada. Well, kemampuannya juga observasi sih, jadi relevan. Ya, kurang lebih sama dengan komentar mas sam.

    Narasinya gak jauh beda dengan yang versi FBC, memang khas LN dan ada sedikit bumbu Hachiman dan beberapa protagonis ala LN lainnya. Gak buruk kok, Satan masuknya jadi protagonis LN hebat (kalau dia memang punya LN wwww)

    Dan akhirnya kita bisa lihat Satan membawa senjata dan gak asal mainin pedang juga. Ditambah kemampuan "normal" miliknya, Satan is truly a force to be reckoned with. Walau menurut saya, masih kurang "Netral" perkara alignment-nya. Atau mungkin ini terjadi karena konflik Satan berkenaan dengan orang dekatnya.

    Eksekusi PoV 1 yang mantep, adegan-adegan yang pas, dan karakterisasi yang jelas membuat Satan pantas dapet 9/10

    Kalau ketemu Mbah, saya bakal penasaran bakal jadi gimana... hehe

    Salam Sejahtera dari Enruumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  8. Alur yang mengalir kalem dan teratur beriringan detail yang apik. Meskipun agak terlalu hiperbola dalam beberapa ungkapan, tapi ini enak dinikmati saat santai dan baca enak */lho..

    Lalu, ada semacam ketimpangan kecil yang kurasa.., yah kayak kenapa satan pasrah ajj padahal dia gak bersalah.. aku kurang menerima pilihan itu.. /*ButImNeutral okay

    Yang kusuka adalah penataan alur dan cerita, meskipun ada gaya penulisan yang tidak sesuai selera saya.., //subjectiveWay.. overall good opening, satan..

    Dan satu lagi.. gak bisa nge-feel tiap baca namanya 'Satan'.. kata itu mengundang kerutan di kening dengan persuasif banget.. secara gituuh.. i swear i hate satan.. not you, but real satan, dear..

    7
    Love your story

    Sincerely,
    RJ Marjan
    Author of Lucas's Story

    BalasHapus
  9. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  10. saya punya mixed feeling sama entri panjang. Kalau panjang sebanyak kata kayak ini porsinya pas buat menceritakan sebuah kejadian, maka saya oke bacanya. Kalau ternyata banyak porsi kata kemakan di daerah yang bukan kejadian, saya kok dongkol.

    maksudnya gini, kalau nulis cerita itu kan ada bagian yang jalanin cerita, ada bagian yang bikin cerita mandek. Dan porsi katamu banyakan di bagian yang mandek. Ui Ui~ cerita panjang tapi jalannya dikit, jadi sebel.

    Jujur saja, saya punya prasangka jelek dari awal sama OCmu, soale namanya jalan di rule of cool dan membaca entrymu belum bikin saya berubah pikiran.

    Salam dari William Amadeus Anderson
    Nilai 6
    Ps : harusnya saya belum nyambung dan perlu baca ketiga kalinya, tapi karena panjang jadi cuma baca satu kali trus ngulang setengah cerita.

    BalasHapus
  11. umm karena bukan peserta gak perlu kasih nilai kan ya... baru baca setengah sih .. nanti siang lanjut <(")

    BalasHapus
    Balasan
    1. ...kalo misalkan mas komen begini di entry ku udah kulempar bata kali --" (tapi belum jadi juga sih :'v)

      Hapus
  12. well... meski emang terkesan over info dump. tp cara penarasiaannya sudah cukup bagus dan cocok buat satan yang observatif. cuma sebagai konsekuensinya sendiri, banyak orang yg kurang nyaman pas menikmat cerit yang disampaikan.

    untuk bettlenya sendiri, ckup seru dan alot. hanya saja kehadiaran sang adik itu ibarat deux ex machina. saya malah lebih mengharapkan satan bisa membunuh urami dengan akal-akalan sendiri. we need more suprise anda twist :)

    saya kasih aja 8

    axel elbaniac

    BalasHapus
  13. weh.. si satan kebanyakan bengong di awal entry dan akhirnya beraksi di akhir.

    ceritanya bagus dan alurnya mulus. tidak ada typo di sepanjang cerita.

    well, nilai dari saya 7. semoga sukses..

    Dwi Hendra
    OC : Nano Reinfield

    BalasHapus
  14. GHOUL : “Satan manusia biasa ya? Ga ajaib2 banget, kan? Rival yang cocok nih buat aku, jadi penasaran ama kemampuannya karna sama2 manusia biasa.” (sambil mengolah napas cara bernapasnya manusia biasa) :=(D

    SHUI : “Karna satan manusia biasa jadi pertarungannya mudah dibayangkan secara normal, ga ribet2 amat. Mau kritikin apa ya?”

    SUNNY : “Kayaknya ‘embus’ deh bukan ‘hembus’.
    Bahasa ‘aku’-nya kaku banget. Meski pov-1 sih tapi ada baiknya ada beragam jenis pemakaian diksi yang mengenai ‘aku’ itu.
    pembunuh orang tuanya tak lebih tak bukan adalah aku sendiri—Satan Raizetsu = pake em dash, bukan tanda koma.
    Ini aku Satan—Satan Raizetsu = ini juga sama kayak di atas.
    Memedulikan = huruf p luluh sama kayak memelihara karna imbuhan kata dasar beda ama memperhatikan p nya ga luluh karna imbuhannya memper-kan dan kata dasarnya hati.
    Dan typo2 lainnya…”

    GHOUL : “Hm, padahal aku menanti Satan beraksi dan akhirnya entrinya keluar juga. Hanya aja, sayang banget ga sekeren dugaan. Masih lebih suka entri Satan di FBC kemaren. Padahal Ghoul pengen bertemen ama Satan hanya bisa nyetor 7” :=(O

    BalasHapus
  15. Dibandingkan dengan entri FBC, sepertinya Satan di sini kebanyakan mikir,ya? Hati-hati, cepat tua, lho!

    Saya suka sifat analitik Satan, latar dan aksi dijelaskan dengan baik, tapi masih bisa ditingkatkan dengan mengurangi atau memisah beberapa kalimat kurang penting, misal pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Satan pada dirinya berkali-kali.

    Dan...

    "..."

    Tolong jangan memakai ini untuk menggambarkan tidak ada yang bicara! Lebih baik ditambahkan dengan penggambaran si Satan sedang bengong, terdiam, terpaku atau sejenisnya.

    Nilai : 8

    OC : Nora

    BalasHapus
  16. Detailnya oke, tiap gerak tokoh paling minimal sekalipun kayaknya diikuti penjabarannya. Rinci bgt sampe kadang berasa ganggu

    Tapi saya lumayan nyaman sih sama ini. ditambah satu catatan, bakal lebih oke lagi kalo kosakata yang dipakai lebih bervariasi. Poin minusnya, waktu Satan gelut sama Urami, disitu rasanya temponya cukup lambat (baca: diperlambat, kalo ini memang diniatin gitu sama pengarang), jadi untuk ukuran pertarungan sengit, narasinya kurang berhasil bikin sy ikut ngerasain ketegangannya.

    7
    Olive

    BalasHapus
  17. Puaaanjaangnya... *lelah hayati ini bang...

    Astaga, hidup jadi satan ngejelimet amat yah. Maksudnya terlalu banyak yang dia pikirin, kemampuan konservasi dan analitisnya mengerikan. Dengan kemampuannya itu, aye rasa dia sanggup bertahan di dunia penuh keajaiban seperti di alam mimpi ini.

    Banyak info dump *sama kaya entri saya TAT cuma bedanya, sang author bisa mengemasnya lebih baik. *TAT
    Meskipun tetap melelahkan sih bacanya.
    Untuk battlenya, lumayanlah untuk seorang manusia biasa. XD

    Nilai : 7
    Mahapatih Seno

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.